usaha kecil-mudrajad

Upload: eriski1

Post on 12-Jul-2015

143 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PEMBIAYAAN USAHA KECILOleh : Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D 1

Abstrak Paper ini menganalisis perkembangan industri kecil dan rumah tangga (IKRT) di Indonesia, khususnya menyangkut karakteristik utama IKRT dan permasalahan yang dihadapinya. Cepatnya pertumbuhan usaha besar dan menengah telah mengabaikan pertumbuhan IKRT. Walaupun demikian IKRT telah mampu berperan dalam mengatasi masalah tenaga kerja dan menambah pendapatan keluarga. Memang, telah banyak program yang diintroduksi oleh berbagai institusi (pemerintah, LSM, Universitas) untuk meningkatkan peran IKRT, namun hasilnya masih belum kelihatan baik untuk menggenjot pertumbuhan IKRT maupun merubah struktur industri nasional.

Mengapa Usaha Kecil Perlu Dikembangkan? Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai upaya deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukturisasi perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bidang perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan kecil dan menengah; bahkan justru perusahaan besar dan konglomeratlah yang mendapat keuntungan. Studi empiris membuktikan bahwa pertambahan nilai tambah ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, sedang, dan besar, namun justru perusahaan skala konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1.000 orang, yang menikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata perusahaan (Kuncoro & Abimanyu, 1995). Dalam konstelasi inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan industri kecil dan rumah tangga (IKRT) setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, IKRT menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak IKRT juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi karena lokasinya banyak di pedesaan, pertumbuhan IKRT akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di pedesaan (Simatupang et al., 1994; Kuncoro, 1996). Dari

1

Guru Besar dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Economic Review No. 211 Maret 2008

1

sisi kebijakan, IKRT jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam upaya pengentasan kemiskinan. Di pedesaan, peran penting IKRT memberikan tambahan pendapatan (Sandee et al., 1994), merupakan seedbed bagai pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin (Weijland, 1999). Bisa dikatakan IKRT juga berfungsi sebagai strategi mempertahankan hidup (survival strategy) di tengah krisis moneter. Kedua, IKRT memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, yang pada tahun 1990 mencapai US$ 1.031 juta atau menempati peringkat kedua setelah ekspor dari kelompok aneka industri. UKM (Usaha Kecil & Menengah) juga berkontribusi terhadap penerimaan ekspor, namun kontribusi UKM jauh lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi usaha besar (lihat Tabel 1). Pada UKM, penyumbang terbesar ekspor non-migas juga sektor industri pengolahan, terutama garmen, tekstil dan produk tekstil, dan sepatu. Tabel 1. Perkembangan Ekspor Non Migas Menurut Skala Usaha Tahun 2002-2006Thn UK 2002 2003 2004 2005 20.469 20.464 24.408 28.048 Nilai (Miliar RP) UM 66.821 55.394 71.140 UKM 87.290 UB Total UK UM 16,74 14,51 15,11 Peranan (%) UKM 21,87 19,87 UB 78,13 80,13 Total 100,00 100,00

311.916 399.206 5,13

75.859 305.997 381.856 5,36 95.548 375.242 470.790 5,18

20,30 79,70 100,00

82.290 110.338 433.864 544.202 5,15

15,12 20,28 79,72 100,00

2006 30.304 91.896 122.200 485.198 607.398 4,99 15,13 20,12 79,88 100,00 Keterangan: UK=Usaha Kecil; UM=Usaha Menengah; UKM=Usaha Kecil & Menengah; UB=Usaha Besar Sumber : statistik UKM 2005 - 2006

Ketiga,

struktur

ekonomi

Indonesia

yang

berbentuk

piramida

telah

mencuatkan isu dualisme industri. Berdasarkan Sensus Ekonomi 2006 yang dilakukan oleh BPS, dari total 22,7 juta perusahaan di Indonesia ternyata usaha mikro dan kecil mendominasi dari sisi unit usaha (99,1%) dan penyerapan tenaga kerja (84,4%), dengan perbandingan 2 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha mikro dan 3 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha kecil. Sebaliknya industri besar dan menengah, yang jumlah unit usahanya hanya 0,9%, menyerap 15,5% tenaga kerja dengan perbandingan 19 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha menengah, dan 108 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha besar (lihat Gambar 1). Pada dasar piramida didominasi oleh usaha skala menengah dan kecil yang beroperasi dalam iklim yang

Economic Review No. 211 Maret 2008

2

sangat kompetitif, hambatan masuk rendah, margin keuntungan rendah, dan tingkat

drop-out tinggi. Struktur ekonomi bentuk piramida terbukti telah mencuatkan isukonsentrasi dan konglomerasi, serta banyak dituding melestarikan dualisme perekonomian nasional. Gambar 1. Piramida Ekonomi IndonesiaPersentase Jumlah Usaha (Total: 22,7 juta)Perbandingan Daya Serap Tenaga Kerja/Unit Usaha dan Persentase Jumlah Usaha

Tenaga Kerja/ Unit Usaha (Total: 49,7 juta orang)

Besar 0,2

108

9,6%

19 0,7Menengah

5,9%

3 15,8Kecil

21,9%

83,3

Mikro

2

62,5%

Sumber: Diolah dari BPS, Sensus Ekonomi 2006

Thee (1993:109) mengemukakan bahwa pengembangan industri kecil adalah cara yang dinilai besar peranannya dalam pengembangan industri manufaktur. Pengembangan industri berskala kecil akan membantu mengatasi masalah pengangguran, mengingat teknologi yang digunakan adalah teknologi padat karya, sehingga dengan demikian selain bisa memperbesar lapangan kerja dan kesempatan usaha, pada gilirannya bisa mendorong pembangunan daerah dan kawasan pedesaan.

Profil dan Sebaran Usaha Kecil Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp 200 juta (Sudisman & Sari, 1996: 5). Kedua, menurut kategori Badan Pusat

Economic Review No. 211 Maret 2008

3

Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga.BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; dan (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250). Kendati beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri kayu,bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga (ISIC33) masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas (ISIC34) dan kimia (ISIC35) relatif masih sangat sedikit sekali yaitu kurang dari 1%. Padahal, Tabel 2. menunjukkan bahwa IKRT memiliki peranan yang cukup besar dalam industri manufaktur dilihat dari sisi jumlah unit usaha dan daya serap tenaga kerja, namun lemah dalam menyumbang nilai output. Pada tahun 2006, dari total unit usaha manufaktur di Indonesia sebanyak 3,2 juta, ternyata 99,3 % merupakan unit usaha IKRT. IKRT, dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang, mampu menyediakan kesempatan kerja sebesar 60,3 % dari total kesempatan kerja. Kendati demikian, sumbangan nilai output IKRT terhadap industri manufaktur hanya sebesar 10,3 %. Pola ini sedikit meningkat dari tahun ke tahunnya (2002-2006). Banyaknya jumlah orang yang bekerja pada IKRT memperlihatkan betapa pentingnya peranan IKRT dalam membantu memecahkan masalah pengangguran dan pemerataan distribusi pendapatan. Di lain pihak, industri besar dan menengah (IBM) memberikan kontribusi yang dominan dari sisi nilai output. Pada tahun 2002, IBM menyumbang 91,6% dari keseluruhan nilai output, menyerap sekitar 39,9% dari total kesempatan kerja,

Economic Review No. 211 Maret 2008

4

namun dari sisi unit usaha hanya menyumbang 0,8% dari total unit usaha yang ada. Pada tahun 2006, IBM menyumbang 89,7% dari keseluruhan nilai output, menyediakan lapangan pekerjaan sekitar 39,7% dari total kesempatan kerja, namun hanya menyumbang 0,7% dari total unit usaha yang ada. Berdasarkan beberapa studi tentang organisasi industri

(industrial

organization) akhir-akhir ini, industri modern harus menghadapi adanya perubahanbaik dalam sisi permintaan maupun teknologi yang mengurangi skala ekonomi akibat adanya standarisasi dan produksi massal (Weijland, 1994: 97-110). Argumen ini diperkuat kembali oleh Porter (1998: 77-91) bahwa peta ekonomi dewasa ini didominasi oleh kluster (cluster) yang didefinisikan sebagai konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi yang saling berhubungan dalam wilayah tertentu. Kluster industri (industrial cluster) pada dasarnya merupakan kelompok produksi yang sangat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua industri utama saja.

Tabel 2. Kontribusi masing-masing jenis Industri dalam Industri Manufaktur Indonesia, 2002-2006Jenis Industri Industri Besar dan Menengah Industri Kecil dan Rumah tangga Total Unit Usaha 2002 21,146 2,728,700 2,749,846 % 0.77 99.23 100.00 2003 20,324 2,641,909 2,662,233 % 0.76 99.24 100.00 2004 20,685 2,671,660 2,692,345 % 0.77 99.23 100.00 2005 20,729 2,916,025 2,936,754 % 0.71 99.29 100.00 2006 23,244 3,184,909 3,208,133 % 0.72 99.28 100.00

Jenis Industri Industri Besar dan Menengah Industri Kecil dan Rumah tangga Total

Tenaga Kerja 2002 4,364,869 6,566,232 10,931,101 % 39.93 60.07 100.00 2003 4,273,880 6,363,565 10,637,445 % 40.18 59.82 100.00 2004 4,324,979 6,547,855 10,872,834 % 39.78 60.22 100.00 2005 4,226,572 6,856,043 11,082,615 % 38.14 61.86 100.00 2006 4,730,125 7,178,990 11,909,115 % 39.72 60.28 100.00

Jenis Industri Industri Besar dan Menengah Industri Kecil dan Rumah tangga

Nilai Output (miliar Rp) 2002 882,476 81,160 % 91.58 8.42 2003 838,826 86,200 % 90.68 9.32 2004 985,946 101,627 1,087,573 % 90.66 9.34 100.00 2005 1,088,684 129,613 1,218,297 % 89.36 10.64 100.00 2006 1,368,638 157,219 1,525,857 % 89.70 10.30 100.00

Total 963,636 100.00 925,026 100 Sumber: BPS, http://www.bps.go.id, berbagai tahun.

Sektor ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (3) Industri Pengolahan; (4) Jasa-jasa; serta (5) Pengangkutan dan Komunikasi dengan perkembangan masing-masing sektor tercatat sebesar 53,57 persen, 27,19 persen, 6,58 persen, 6,06 persen dan 5,52 persen (lihat Gambar 2).

Economic Review No. 211 Maret 2008

5

Gambar 2. Proporsi Sektor Ekonomi UKM Berdasarkan Jumlah Unit Usaha Tahun 2006Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 0,17% Jasa - Jasa; 6,06% Pengangkutan dan Komunikasi; 5,52%

Perdagangan, Hotel dan Restoran; 27,19% Bangunan; 0,34% Pertambangan dan

Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; 53,57%

Listrik, Gas dan Air Sumber: Menegkop dan UMKM Penggalian; 0,54% (2008) Bersih; 0,03% Industri Pengolahan; 6,58%

Sumber : Menegkop dan UMKM (2008)

Strategi Pembiayaan Usaha Kecil Pada tahun 2007, pertumbuhan total kredit UMKM menunjukkan kenaikan sebesar 23%. Bank Swasta Nasional tercatat sebagai pemberi kredit UMKM terbesar dengan proporsi sebesar 47% dari total keseluruhan kredit UMKM. Sedangkan untuk penggunaannya, kredit tersebut lebih banyak digunakan untuk konsumsi dengan proporsi sebesar 50% dari total kredit, lalu diiukuti untuk penggunaan modal kerja sebesar 41%, kemudian untuk keperluan investasi sebesar 9% (lihat Tabel 3). Tabel 3. Pertumbuhan Kredit UMKM (Rp Milliar)Kelompok Bank Bank Persero Bank BPD Bank Swasta Nasional Bank Asing dan Campuran Total Kredit UMKM Jenis Penggunaan Modal Kerja Investasi Konsumsi 2005 122,189 42,462 176,421 13,836 354,908 142,633 33,049 179,225 2006 144,935 52,859 195,326 17,322 410,442 171,118 37,147 202,177 2007 176,740 67,774 238,211 20,073 502,798 204,765 44,578 253,453 Jan 2008 172,797 67,508 235,961 20,658 496,924 197,067 43,898 255,959 Growth (06-07) 22% 28% 22% 16% 23% 20% 20% 25% Share 07 35% 13% 47% 4% 100% 41% 9% 50%

Sumber: Diolah dari BI, Statistik Perbankan Indonesia (2008)

Untuk mengoptimalkan pemberian KUK oleh bank-bank kepada usaha kecil, Bank Indonesia bersama dengan perbankan selama ini telah menempuh tiga strategi dasar sebagai berikut: Pertama, penerapan batas minimum pemberian kredit sebesar

Economic Review No. 211 Maret 2008

6

20% dari keseluruhan kredit bagi semua bank, sesuai dengan ketentuan Paket Kebijakan Januari (Pakjan) 1990 serta penyediaan fasilitas kredit likuiditas untuk membiayai sektor yang menjadi prioritas yaitu pengembangan koperasi, pengadaan pangan dan pemilikan rumah sederhana. Hal ini dilaksanakan dalam pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Koperasi Unit Desa (KKUD), Kredit Ketahanan Pangan Agribisnis (KKPA) dan Bulog.

Kedua, mengembangkan kelembagaan dengan memperluas jaringan perbankan,mendorong kerja sama antarbank dalam penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK) dan mengembangkan lembaga-lembaga keuangan yang sesuai dengan kebutuhan penduduk berpenghasilan rendah, seperti pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah.

Ketiga, pemberian bantuan teknis melalui Proyek Pengembangan Usaha Kecil(PPUK), Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), dan Proyek Kredit Mikro (PKM). Dengan PPUK diharapkan dapat mengubah sikap, pendekatan, dan keterampilan petugas perkreditan bank dalam penanganan kredit usaha kecil. Bantuan kepada perbankan tersebut berupa identifikasi peluang investasi yang layak dibiayai dengan KUK atau dibiayai melalui proyek kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil. Tujuan PHBK adalah mengusahakan tersedianya pelayanan keuangan bagi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang mempunyai kegiatan simpan pinjam dan beranggotakan petani kecil, serta para pengusaha kecil di sektor informal kegiatan PHBK berdasarkan prinsip-prinsip pokok swadaya, yang antara lain mempromosikan tabungan dan mengkaitkan tabungan tersebut dengan pemberian kredit. Dengan demikian, maka kredit akan diberikan apabila kelompok tersebut berhasil dalam memobilisasi tabungan anggotanya. PKM bertujuan mendorong program pemerintah dalam meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja di pedesaan, pengentasan kemiskinan, dan meningkatkan kemampuan lembaga pedesaan. Sasaran proyek ini adalah memberikan penyediaan pembiayaan kepada 300.000 pengusaha mikro di 5 propinsi. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan program penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR diluncurkan pertama kali pada 5 November 2007, kemudian selama tiga bulan berikutnya total KUR yang sudah dikeluarkan mencapai Rp1,7 triliun. Nilai kredit pada program ini dipatok sebesar Rp500 juta per debitur dengan bunga maksimal 16% per tahun. Apa beda KUR dibanding kredit lainnya? Pertama, program kredit yang ditujukan untuk sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan koperasi ini diberikan dengan pola penjaminan pemerintah. Penjamin kredit KUR adalah Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU) dan Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo).Jaminan KUR sebesar 70 persen dapat ditutup oleh pemerintah melalui Askrindo dan SPU, dan bank pelaksana 30%.

Economic Review No. 211 Maret 2008

7

Jelas KUR didesain untuk mengatasi masalah agunan, yang umumnya jadi kendala UMKM untuk memperoleh kredit dari bank umum. Masalahnya, apakah SPU dan Askrindo mempunyai daya jangkau ke seluruh daerah Indonesia? Masih bersediakah kedua lembaga asuransi kredit ini menjamin kredit UMKM di daerah gempa (seperti Bantul dan Klaten) dan bencana (misal Sidoarjo, Aceh), di mana nilai aset merosot 25-50%? Kedua, KUR disalurkan untuk sektor ekonomi produktif dengan bunga maksimum 16 persen dan jumlah plafon kredit maksimum Rp 500 juta per debitur. Sektor produktif yang dimaksud adalah pertanian, perikanan, kelautan, koperasi, kehutanan, perindustrian, dan perdagangan. Agaknya program ini diluncurkan untuk mendukung program pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Program KUR ini hanya melibatkan enam bank pemerintah, tanpa melibatkan BPD. Namun, hal penting yang harus diperhatikan adalah proses pendampingan bagi UMKM yang telah diberikan kredit tersebut. Pihak-pihak debitor, khususnya bank, harus memiliki program pendampingan usaha bagi UMKM tersebut. Tujuannya adalah agar UMKM dapat dengan baik mengelola kredit yang telah diberikan. Proses pendampingan dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pemerintah, universitas, dan pihak-pihak lain yang terkait.

Kesimpulan dan Implikasi Artikel ini telah mencoba menganalisis perkembangan IKRT (UMKM) di Indonesia. Fakta membuktikan bahwa pertumbuhan usaha besar yang pesat dan fantastis sejak dasawarsa 1970-an terbukti telah mengabaikan pertumbuhan IKRT yang relatif tersendat-sendat. Kendati demikian, IKRT ternyata telah memainkan peran yang patut diperhitungkan perdesaan. Memang berbagai program telah ditawarkan oleh banyak lembaga baik pemerintah, bank, LSM maupun universitas. Namun, hasil dari program tersebut belum banyak dirasakan oleh sebagain besar IKRT. Ini terbukti setidaknya dari belum tuntasnya masalah yang mereka hadapi. Program kemitraan dan keterkaitan antara usaha besar dan kecil ternyata masih dalam tahap embrionik. Pembiayaan bagi UMKM pun masih harus ditingkatkan di masa depan, mengingat masih banyaknya UMKM yang belum bisa mendapat kucuran kredit karena belum bankable. Implikasinya, agaknya sudah saatnya diperlukan reorientasi pembiayaan UMKM dengan prinsip kemitraan. Jalinan kemitraan harus didasarkanEconomic Review No. 211 Maret 2008 8

dalam menyerap tenaga kerja, ekspor, dan

menopang penghasilan keluarga rumah tangga baik di perkotaan maupun di

atas prinsip sinergi, yaitu saling membutuhkan dan saling membantu. Prinsip saling membutuhkan akan menjamin kemitraan berjalan lebih langgeng karena bersifat "alami" dan tidak atas dasar "belas kasihan". Berlandaskan prinsip ini, usaha besar akan selalu mengajak usaha kecil sebagai partner in progress. Pola Bapak-Anak Angkat banyak yang tidak didasari atas prinsip saling membutuhkan. Ini berdasarkan fakta, seringkali bidang usaha dari si Bapak Angkat sama sekali berbeda dan tidak ada kaitan hulu-hilir atau hilir-hulu dengan bidang usaha dari usaha kecil yang menjadi anak angkatnya. Sistem Bapak Angkat ini memang diharuskan bagi BUMN dengan menyisihkan 1-5% labanya, dan bagi perusahaan swasta besar dengan cara persuasif. Yang terjadi di lapangan adalah: (1) pembinaan yang diberikan bapak angkat dirasakan kurang efektif karena Bapak Angkat bagaikan sinterklas yang membagi dana pembinaan tanpa peduli dengan dinamika bisnis anak angkatnya; (2) Bapak Angkat pun merasakan kemitraan yang terjalin hanyalah sekadar memenuhi misi sosial. Prinsip saling membantu akan muncul apabila usaha besar memang membutuhkan kehadiran usaha kecil. Program subkontrak yang telah berjalan dari Grup Astra dan Bukaka, misalnya, merupakan contoh betapa jalinan kemitraan dapat meningkatkan efisiensi. Astra mensubkontrakkan pembuatan suku cadang kendaraan bermotor kepada para pengusaha kecil di Jawa. Bukaka juga mempercayakan pembuatan bagian-bagian tertentu dari "garbarata" kepada pengusaha kecil. Demikian juga, pengusaha-pengusaha batik nasional kita mendapat pasokan batik dari pengusaha batik skala kecil di Yogya dan Surakarta. Apabila kedua prinsip kemitraan tersebut diterapkan, maka kemitraan bukan lagi "barang mewah" di Indonesia, namun akan menjadi "barang kebutuhan" sebagaimana lazimnya hubungan bisnis yang lain. Kemitraan bukan lagi merupakan

charity. Sebagai mitra tentunya, kedua belah pihak berdiri pada posisi yang setara.Pada gilirannya, dengan kemitraan diharapkan tidak ada lagi kecemburuan dan kesenjangan sosial.

Economic Review No. 211 Maret 2008

9

Referensi : Abimanyu, Anggito. 1994, "Orientasi Usaha dan Kinerja Bisnis Konglomerat", makalah dalam Seminar Nasional "Mencari Keseimbangan Antara Konglomerat dan

Pengusaha Kecil-Menengah di Indonesia: Permasalahan dan Strategi", DiesNatalis STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta, 30 April. Kuncoro, Mudrajad dan PT Asana Wirasta Setia. 1997. Pengembangan Pola Pembinan Usaha Kecil dan Masyarakat di Sekitar Obyek dan Kawasan Pariwisata, PT Asana Wirasta Setia dan Deparpostel, Yogyakarta.

Porter, Michael E. (1990), The Competitive Advantage of Nations, The Macmillan Press Ltd, London and Basingstoke.

Simatupang, Pantjar, M.H. Togatorop, Rudy P. Sitompul, Tulus Tambunan (eds.). 1994. Prosiding Seminar Nasional Peranan Strategis Industri Kecil dalam

Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, UKI-Press, Jakarta.Sudisman, U., & Sari, A. 1996. Undang-Undang Usaha kecil 1995 dan Peraturan

Perkoperasian. Mitrainfo. Jakarta.

Economic Review No. 211 Maret 2008

10