urt ikaria

21
Tinjauan Artikel PATOGENESIS URTIKARIA KRONIS: An Overview Sanjiv Jain Patogenesis urtikaria kronis masih belum bisa dijelaskan secara baik. Pengobatan yang diberikan bersifat paliatif dan tidak berdasarkan mekanisme patogenesis penyakit. Kunci patofisiologi terletak pada kelainan aktivasi dan degranulasi sel mast. Stimulus yang memicu dan kompleksnya mekanisme kerja sel mast, masih sebuah spekulasi. Urtikaria kronis yang disebabkan penyakit autoimun masih diperdebatkan. Jumlah dan aktifitas basofil, perubahan pada sinyal ekspresi molekul, serta kelainan fungsi jalur koagulasi ekstrinsik, juga dijadikan hipotesis penyebab urtikaria kronis. Sel mast diperkirakan ikut terlibat dalam patogenesis urtikaria kronis melalui mekanisme afinitas stimulasi reseptor IgE. Urtikaria kronis juga diketahui sebagai penyakit inflamasi yang disebabkan oleh sistem imun. Hal ini terkait perubahan kerja sitokin dan kemokin sehingga menyebabkan kelainan regulasi imun dari imunitas innate. Berbagai mekanisme patogenesis ini diperkirakan terhubung satu sama lain, dan bukan suatu kaskade yang terpisah. Mereka dapat berjalan secara sinergis atau beruntun, untuk menghasilkan manifestasi klinis dari urtikaria kronis. Pengertian mendalam mengenai kompleksitas patogenesis akan

Upload: muhammad-gufran

Post on 16-Nov-2015

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bjhvjhv

TRANSCRIPT

PATOGENESIS URTIKARIA KRONIS

Tinjauan Artikel

PATOGENESIS URTIKARIA KRONIS: An OverviewSanjiv JainPatogenesis urtikaria kronis masih belum bisa dijelaskan secara baik. Pengobatan yang diberikan bersifat paliatif dan tidak berdasarkan mekanisme patogenesis penyakit. Kunci patofisiologi terletak pada kelainan aktivasi dan degranulasi sel mast. Stimulus yang memicu dan kompleksnya mekanisme kerja sel mast, masih sebuah spekulasi. Urtikaria kronis yang disebabkan penyakit autoimun masih diperdebatkan. Jumlah dan aktifitas basofil, perubahan pada sinyal ekspresi molekul, serta kelainan fungsi jalur koagulasi ekstrinsik, juga dijadikan hipotesis penyebab urtikaria kronis. Sel mast diperkirakan ikut terlibat dalam patogenesis urtikaria kronis melalui mekanisme afinitas stimulasi reseptor IgE. Urtikaria kronis juga diketahui sebagai penyakit inflamasi yang disebabkan oleh sistem imun. Hal ini terkait perubahan kerja sitokin dan kemokin sehingga menyebabkan kelainan regulasi imun dari imunitas innate. Berbagai mekanisme patogenesis ini diperkirakan terhubung satu sama lain, dan bukan suatu kaskade yang terpisah. Mereka dapat berjalan secara sinergis atau beruntun, untuk menghasilkan manifestasi klinis dari urtikaria kronis. Pengertian mendalam mengenai kompleksitas patogenesis akan menghasilkan motivasi untuk mengembangkan pengobatan imunomodulator dan biologis aman serta efektif untuk urtikaria konik refrakter yang berat.1. PendahuluanUrtikaria kronis adalah sebuah penyakit yang menyulitkan pasien hingga dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Patogenesis urtikaria kronis belum bisa dijelaskan dengan baik sehingga pengobatan yang diberikan bersifat paliatif dan hasilnya suboptimal. Informasi mengenai patogenesis sangat dibutuhkan untuk mengembangkan terapi yang akan diberikan. Langkah terbaru yang dilakukan untuk memahami tentang mekanisme patogenesis urtikaria kronis telah tercatat. Fakta dan kesimpulan hipotesis saat ini, masih dapat terbantahkan oleh pendapat alternatif lain yang juga logis.Pengetahuan tentang imunopatogenesis molekular dan kompleksitas dari mekanisme efektor pada urtikaria kronis telah ditingkatkan. Penelitian imunohistologi yang dilakukan dengan menggunakan biopsi pada wheal urtikaria terfokus pada infiltrasi sel Tabel 1: Sel infiltrasi: pola pada wheal urtikaria, kulit yang tidak terlibat, dan subjek kontrol normal yang sehat [4].

Tabel 2: Ekspresi sitokin, kemokin, dan molekul adhesi: wheals urtikaria, kulit yang tidak terlibat, dan subjek kontrol normal yang sehat [4].imunofenotip, sitokin terkait, reseptor kemokin, dan molekul adhesi [1].

Wheal urtikaria memiliki karakteristik edema pada bagian dermis, vasodilatasi, dan terdapat non-nekrosis perivaskular infiltrat yang berisi sel mononuclear, terutama limfosit CD4+. Wheal memiliki jumlah monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil yang bervariasi [2-4]. Neutrofilia dermal terjadi pada enam puluh menit perubahan dari wheal, dengan neutrofil sebagai komponen utama sel infiltrat [4]. Jumlah sel mast tidak berubah jika dibandingkan dengan kulit yang tidak terpengaruh penyakit [4, 5]. Profil sitokin ditunjukan dengan peningkatan dari interleukin 4, interleukin 5 dan RNA interferon gama, yang mengindikasikan gabungan respons dari Th 1/Th 2. Kemokin mengalami upregulation dan menyebabkan peningkatan molekul adhesi. Kulit yang sehat digambarankan mengalami upregulation terhadap madiator yang solubel dan molekul adhesi. Hampir sama dengan kulit yang mengalami kelainan dan memiliki jumlah sel T yang lebih tinggi. Akumulasi neutrofil lebih spesifik pada kulit yang mengalami kelainan [4] (Tables 1 and 2).

Urtikaria kronis disebabkan karena kelainan sistem aktivasi dan degranulasi pada sel mast kulit. Kunci patofisiologi ini predominan pada awal terjadinya urtikaria. Pengeluaran molekul seluler mengawali fase inflamasi langsung, yang berlanjut pada kejadian kompleks mediator proinflamasi yeng bervariasi. Sitokin, kemokin, kemokin reseptor, dan molekul adhesi akan meregulasi aktifitas vasoaktif serta pergerakan spesifik infiltrasi seluler. Sel inflamasi akan berubah menjadi limfosit dan granulosit, memediasi reaksi hipersensitifitas yang bermanifestasi sebagai urtikaria. Sel inflamasi yang datang, akan semakin banyak memproduksi mediator proinflamasi dan akan mengaktifkan lebih banyak lagi sel tipe lain. Dengan demikian akan memperkuat dan memperlama respons pejamu. Upregulation molekul inflamasi, molekul adhesi dan peningkatan jumlah sel T pada bagian kulit yang tidak terkena mengindikasikan pelebaran aktivasi imunologi. Hal ini menunjukan ambang batas yang rendah untuk mengawali proses inflamasi kutaneus dan respons imunologi sel inflamasi. Fakta ini menegaskan kembali hipotesis urtikaria kronis laten dengan inflamasi minimal menetap, yang mungkin terjadi pada kulit sehat [4, 5]. Hal ini merendahkan ambang batas untuk memicu sel mast dan memfasilitasi kepekaan pada urtikaria pada fase remisi.

2. Autoimunitas dan Urtikaria KronisUtikaria kronis akibat autoimun adalah hipotesis yang paling bisa diterima untuk menjelaskan kelainan aktivasi dan degranulasi sel mast. Toleransi imun dipertahankan dengan menjaga keseimbangan antara limfosit autoreaktif dan mekanisme regulasi yang melawan kerjanya. Peningkatan jumlah dan fungsi dari sel T autoreaktif atau hilangnya mekanisme regulator, akan bermanifestasi sebagai autoimunitas. Sel T regulatorik, terutama sel CD4(+) CD25(+) subset dari T (REG) menyediakan komponen penting untuk menjaga keseimbangan autoimun. Forkhead box P3 (FOX P3) adalah penentu utama perkembangan sel CD4(+) CD25(+) T(REG). Fungsinya telah memberikan gambaran mengenai sulitnya menjaga keseimbangan antara limfosit autoreaktif dan mekanisme regulasi pada kelainan autoimun, termasuk urtikaria kronis autoimun. Analisis fungsional assays dan analisis fenotip telah memperlihatkan bahwa T(REG) yang diisolasi dari pasien dengan kelainan autoimun memperlihatkan penurunan fungsi regulasi. Hal ini bertentangan dengan kontrol normal. Dapat disimpulkan bahwa penurunan presentase dari CD4(+) CD25(+) FOX P3(+) T sel regulator berperan dalam proses patogenesis autoimun dari urtikaria kronis [6]. Mekanisme patogenesis autoimun telah dirancangkan lewat sebuah pengamatan yang menyediakan bukti awal dan motivasi untuk penelitian lebih lanjut untuk kembali memperkuat konsep tersebut.

Prevalensi urtikaria kronis lebih tinggi pada pasien dengan thyroid autoantibodi [7]. Reaksi wheal dan flare urtikaria pada bagian yang diinjeksikan secara intradermal dengan serum autologous pada pasien subpopulasi (uji kulit positif serum autolog) dan kemampuan reproduksi pada transfer pasif serum ke subjek kontrol yang normal [8]. Identifikasi berlanjut IgG antibodi langsung ke subunit alpha reseptor IgE, mampu menginduksi serum autolog positif uji kulit seperti histamin yang dilepaskan dari basofil [9]. Insidensi kejadian autoantibodi seperti ini terjadi sekitar 30% dan tambahan 5-10% pasien memiliki antibodi anti IgE dibandingkan reseptor anti-IgE antibodi [10]. Hubungan positif dengan HLA subtipe DRB 04 (DR4) dan DQB 1*0302 (DQ8) [11]. Respons terapi terhadap plasmafaresis [12] dan imunoglobulin intravena [13].Bukti yang ada membantu menjelaskan mekanisme patogenesis autoimun. Bukti tersebut walaupun cukup meyakinkan namun belum lengkap. Beberapa masalah, harus dijelaskan agar hipotesis yang diajukan bisa diterima.

Respons kutaneus pada injeksi intradermal serum autolog bisa disebabkan karena adanya nonimunoglobulin vasoaktif histamin releasing faktor [14]. Reaktifitas terhadap serum autolog telah diamati pada pasien dengan penyakit alergi pernapasan dan orang sehat sebagai kontrol [15]. ASST mengidentifikasi pasien yang menunjukan autoreaktifitas dibandingkan menemukan autoimunitas.

Model binatang, yang diperlukan untuk menentukan status kelainan autoimun, masih dikembangkan terkait dengan urtikaria kronis [16].

Autoantibodi yang memiliki kemiripan spesifisitas telah dideteksi pada orang sehat dan bisa ada ditubuh manusia secara alami. Autoantibodi alami seperti ini bisa menjadi patogenik dibawah keadaan tertentu. Kejadian ini tergantung status okupansi dari reseptor FceRI terhadap ligand alaminya yaitu IgE. Urtikaria diperkirakan merupakan hasil dari perubahan perikatan jaringan autoantibodi sebelumnya pada beberapa individu, dibandingkan karena diproduksi secara de novo. Konsep mengenai urtikaria kronis tersebut sudah semakin berevolusi [17].

Telah diusulkan bahwa anti-FceRI dan autoantibodi anti IgE sebenarnya tidak patogenik. Mereka merupakan produk sekunder dari adanya urtikaria, pada pasien dengan predisposisi untuk mengalami penyakit autoimunitas [18].

Perjalanan kompleks yang terlibat dalam memicu timbulnya reaksi, mempertahankan, dan mengontrol formasi autoantibodi melawan FceRI dan/atau IgE masih belum bisa dijelaskan. Autoantibodi yang berkaitan dengan urtikaria kronis adalah sistem komplemen subtipe IgG1 dan IgG3 [19]. Kebocoran vaskuler akibat autoantibodi karena kejadian lokal tersebut akan memfasilitasi perikatan antara baik FceRI atau IgE, berikatan dengan reseptor dan mengaktivasi komplemen C5a. C5a berinteraksi dengan reseptor komplemen anafilatoksin (Reseptor C5a) yang berlokasi dipermukaan sel mast MCTC. Sebuah subtipe yang dominan berada pada bagian kulit, dan berpartisipasi pada aktivasi sel mast [20]. Hal ini mengakibatkan terpicunya beberapa kejadian intraseluler. Sinyal transduksi menyebabkan fosforilasi dari immunoreceptor tyrosine activation motifs (ITAM). ITAM berhubungan dengan keluarga protein Src tyrosine kinase (PTKs) seperti Lyn dan Syk yang akan mengawali aktivasi jalur efektor [21]. ITAM menyebabkan penglepasan granul yang mengandung histamin, heparin, tryptase, TNF-alfa, juga sintesis sitokin proinflamasi lain dan eikosanoid [22]. Penghambatan sinyal transduksi dan pelepasan mediator diatur oleh SIRP (signal regulatory proteins) yang mengandung ITIMS (immunotyrosine inhibition motifs). ITIMS bekerja dengan merekrut SH-2 yang membawa tyrosine phosphatases (SHIP 1 dan 2) untuk memfosforilasi ITAM pada subunit beta dan gama dari FceRI [21].

Autoantibodi terhadap rantai alfa dari FceRI dan/atau IgE telah dideteksi pada 35-40% dan 5-10% pasien [23]. Lebih lanjut deteksi autoantibodi pada serum tidak mengkonfirmasi fungsi dan tidak selalu ikut terlibat dalam induksi pelepasan histamin dari sel mast atau basofil. Faktor yang meningkatkan permeabilitas vaskuler lain ikut terlibat dalam kebocoran pembuluh darah yang dimediasi oleh serum.

3. Agonis NonimunologisAgonis nonimunologi termasuk substansi P, endorfin, enkefalin, peptida endogen, dan somatostatin mungkin menyebabkan degranulasi serta pelepasan molekul proinflamasi dari sel mast. Hal ini terjadi terutama jika produk dari sistem imun menurunkan ambang batas pelepasan sel mast di lapisan kutan [24].

4. Kelainan Seluler : BasofilKelainan utama pada beberapa pasien dengan urtikaria kronis bisa jadi seluler atau subseluler. Tidak sekedar mekanisme imunologi yang dimediasi mekanisme autoimun.

Semakin banyak bukti mengenai perubahan jumlah, struktur, fungsi, dan defek jalur basofil. Basopenia pada urtikaria telah banyak didokumentasikan dan jumlah basofil sangat berkaitan dengan keparahan urtikaria [25]. Bukti lain yang mungkin lebih meyakinkan adalah penekanan paradoksikal dimediasi FceRI, anti-FceRI atau anti-IgEantibodi yang diinduksi pelepasan histamin dari basofil. Hal ini terjadi selama fase penyakit aktif [26]. Basofil memiliki respons normal terhadap monosit kemotaktik protein-1 (MCP-1) dan bradikinin, namun hiper-responsif terhadap serum [27]. Basofil pada urtikaria kronis autoimun kemungkinan telah didesensitisasi secara in vivo untuk menginduksi aktivasi FceRI. Namun, autoantibodi yang dimediasi oleh desensitisasi IgE reseptor tidak memiliki respons yang sama seperti basofil yang diamati pada pasien yang tidak memiliki autoimun antibodi [27].

Gambaran lebih kompleks muncul mengenai disregulasi ekspresi molekul yang penting untuk meningkatkan atau menurunkan sinyal setelah aktivasi reseptor IgE [28]. Spleen tyrosine kinase (Syk) adalah regulator positif ke sinyal FceRI. Jumlahnya adalah faktor determinan mayor pelepasan histamin basofil pada basofil normal [29]. Homolog Src 2 mengandung inositol fosfat, SHIP-1, dan SHIP-2, merupakan regulator negatif dari perbanyakan sinyal [30]. Pada urtikaria kronis ada perubahan pada paradigma dominasi regulasi Syk terhadap HR. Tidak seperti basofil normal, kelainan jumlah SHIP-1 dan SHIP-2 berhubungan dengan pola anti-IgE terstimulasi pelepasan histamin [31, 32].

Basofil yang diaktivasi secara ex vivo dengan konsentrasi optimal dari anti-IgE poliklonal mengkonfirmasi bahwa degranulasi basofil dengan fenotip berbeda terjadi pada urtikaria kronis. Sebuah bimodal stratifikasi basofil telah diajukan [32]. Dimana 50% pasien urtikaria kronis menunjukan reduksi signifikan pelepasan histamin basofil dengan stimulasi dari anti-IgE. Sebagai konsekuensi peningkatan SHIP-2 dan molekul sejenis adalah mereka tidak akan berespons terhadap anti-IgE (CIU-NR). Subjek yang masih tersisa memiliki basofil yang melepaskan lebih dari 10% isi histamin setelah stimulasi anti-IgE. Pasien tersebut memberi respons terhadap anti-IgE (CIU-R). Jumlah SHIP-1 pada basofil tersebut akan menurun.Pola fenotip basofil fungsional (CIU-R dan CIU-NR) sepertinya bebas dari keberadaan level autoantibodi [33] dan tetap stabil pada pasien yang memiliki penyakit menetap. Hal paling menonjol dari fenotip basofil pada urtikaria kronis bisa dilihat pada table 3 [31-33].

Jumlah dan/atau ekspresi dari protein regulatorik tetap berfungsi normal selama remisi [33]. Perubahan pada fungsi basofil terbebas dari status autoimun urtikaria. Pada keadaan autoimunitas tidak ditandai dengan penurunan parallel dari titer antibody.Sifat protein pemberi sinyal pada basofil dalam hubungannya dengan stratifikasi terhadap fenotip lain adalah, fungsi abnormal mungkin menjadi kunci patogenesis.5. Sel Mast dan Urtikaria KronisSel mast mungkin berperan langsung pada urtikaria kronis (Tabel 4). Faktor yang mengaktivasi derifat dari sel inflamasi menginfiltrasi bagian sekitar dermal di venula [34] postkapiler. Sel mast terstimulasi untuk mensekresikan molekul vasoaktif yang mengaktivasi sel endotelial. Ekspresi molekul adhesi akan ter-upregulation [35]. Permeabilitas vaskuler akan meningkat, menyebabkan kebocoran ekstravaskuler dari cairan dan protein yang menyebabkan wheal urtikaria.

Sebuah penelitian in vitro dilakukan untuk mengevaluasi penyebab peningkatan aktifitas permeabilitas pada urtikaria kronis. Sebuah jalur yang sama dengan degranulasi sel mast dan peningkatan permeabilitas selapis endotelial diteliti setalah terpapar dua jenis sel mast berbeda (LAD-2 dan HMC-1) [36, 37] ke serum urtikaria kronis. Serum urtikaria kronis menunjukan respons stabil setelah penurunan jumlah IgG. Menegaskan kembali ketidak tergantungan terhadap aktivasi reseptor IgE sel mast [38]. Disimpulkan bahwa molekul vasoaktif mungkin dilepaskan dari sel mast tanpa degranulasi [38].

Variasi reseptor permukaan membran yang diekspresikan pada sel mast secara selektif dipicu oleh ligan seperti IgG, peptide, derivat mikrobial, dan fragmen komplemen yang teraktivasi [39]. Sinyal aktivasi merangsang sel mast untuk mensintesis substansi vasoaktif seperti metabolit lipid, sitokin, dan kemokin [40, 41]. Faktor permeabilitas yang baru terbentuk, seperti TNF alfa, interleukin 6, VEGF, dan platelet activating faktor [40,41] disekresikan oleh sel mast. Sekresinya terlepas dari pelepasan mediator yang sudah tersimpan didalam granul seperti histamin, serotonin, protease, dan proteoglikan [40, 41]. Faktor permeabilitas ini yang memfasilitasi timbulnya wheal urtikaria. Pengamatan ini menjelaskan kurangnya korelasi antara deteksi autoantibodi dengan degranulasi sel mast, [42] kualitas dan kuantitas dari pelepasan faktor vasoaktif, peningkatan permeabilitas vaskuler, urtikaria berat yang refrakter pada tatalaksana standard lini pertama dengan antihistamin, dan respons terapi pada agen imunosupresif.6. Urtikaria Kronis : Kelainan Reaksi Inflamasi Dimediasi ImunKonsep bahwa urtikaria kronis sebagai kelainan reaksi inflamasi yang dimediasi sistem imun berkembang dari pengamatan tak disengaja. Pengamatan dilakukan pada terapi dengan target biologi imunomodulator langsung pada sitokin tertentu atau reseptor sel. Terapi ini diberikan pada kelainan reaksi inflamasi lain yang telah diperbaiki bersama urtikaria kronis [43]. Kaskade reaksi inflamasi pada urtikaria kronis mungkin disebabkan kelainan jaringan kemokin-sitokin. Hal ini menunjuk pada kelainan regulasi sitem imun sebagai konsekuensi dari imunitas innate yang terganggu pada kelainan tersebut.Pemahaman tentang kelainan respons regulasi sistem imun didapat melalui investigasi pada kejadian awal dari imunitas innate. Melalui studi terhadap sel dendrit yang menghubungkan sel imun innate dan sel imun adaptif [44]. Plasmacytoid dendritic cells (pDC) mengekspresikan toll-like receptor (TLR) yang diaktivasi oleh ligan alami dan sintetik. Mengakibatkan terpicunya respons proinflamasi yang memegang peranan penting pada patogenesis beberapa kelainan respons inflamasi termasuk urtikaria [45].Penelitian mengenai kejadian awal dari respons imun melalui aktivasi dari pDC oleh TLR, dilakukan untuk mengevaluasi kelainan regulasi imun urtikaria kronis [44].pDC secara tak nyata terhambur diantara infiltrasi seluler pada lesi kutaneus. Tabel 3: Fenotip basofil: Sifatnya pada urtikaria kronis

Tabel 4: Mediator sel mast: Terkait urtikaria kronisPersentasenya pada sel mononuklear darah perifer tidak terganggu dan sama jumlahnya dengan orang sehat. Penelitian dilakukan terhadap aktivasi pDC pada tingkat normal. Yaitu melalui ekspresi molekul stimulatorik dan peningkatan fosforilasi STAT 1 pada limfosit yang tidak terstimulasi. Namun, IFN-alfa yang disekresikan pDC akibat stimulasi dari CpGA sangat lemah. Hal ini dikaitkan dengan kelainan IRF-7 dan penekanan ekspresi TLR 9. Mengindikasikan kelemahan fungsi pDC dan kelainan regulasi imun pada urtikaria kronis [44].Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan downregulation TLR9 pada pDC setelah stimulasi CpGA. IgE atau anti-FceRI autoantibodi mungkin bersilangan dengan FceRI pada pDC imatur. Hal ini melemahkan fungsi imun dengan mensupresi produksi IFN-alfa [46]. Reseptor yang berfungsi sebagai regulator termasuk BDCA-2, ILT-7, dan NKp44 mengurangi modulasi produksi IFN [47-49]. Pengeluaran histamin ke sirkulasi yang berasal dari degranulasi sel mast atau basofil sepertinya ikut meregulasi beberapa tipe sel. Yaitu melalui stimulasi reseptor histamin dan aktivasi pDC oleh respons CpG terhadap histamin lewat reseptor H2 dengan penghambatan dari produksi IFN-alfa [50].

Respons sel imun innate yang mengalami kelainan pada urtikaria kronis sebagai akibat kelemahan fungsi dari pDC untuk mengaktivasi TLR9. Hal ini mengganggu produksi sitokin oleh sel T, terutama IL-17A dan IL-10 [51]. Peningkatan nilai serum IL-1, IL-4, IL-13, IL-18, TNF-alfa [52, 53], Faktor aktivasi sel B (BAFF) [54], dan faktor-faktor lain yang terkait proses inflamasi seperti neopterin [55] dan protein c-reaktif telah diteliti. Penelitian ini menyatakan bahwa terjadi proses inflamasi yang terus berlangsung. Menyebabkan terbentuknya lingkungan pro-inflamasi pada urtikaria kronis, yang bertanggung jawab terhadap kelainan pola sekresi dari kemokin.Pada urtikaria kronis telah diobservasi tingkat kemokin serum yang secara signifikan lebih tinggi (C-C dan C-X-C) termasuk CXCL8, CXCL9, dan CXCL10, dan CCL2. Hal ini tidak memiliki hubungan dengan parameter klinis atau hasil dari pelepasan histamin basofil (BHR) dan/atau ASST esai [56]. Kemotaktik sitokin proinflamasi berinteraksi dengan reseptor kemokin pada permukaan sel inflamasi. Hal ini memicu kemotaksis dan migrasi transdendotel dari leukosit ke bagian yang mengalami inflamasi.CXCL8/IL-8 adalah kemotaksis untuk neutrophil, T-limfosit dan monosit [56].

CXCL9/Mig adalah monokin yang diinduksi oleh interferon- (IFN-) gamma induced protein 1 (IP-10). Merupakan tipe 1 C-X-C kemokin dan memperlihatkan kemotaksis kuat untuk limfosit T-helper tipe 1 (Th1) [57, 58].

C-C ligan 2 (CCL2) (monosit kemotaktan protein 1), prototype dari C-C kemokin, disekresikan terutama oleh monosit, dengan bukti peningkatan ekspresi mRNA pada sel CD14+ pada urtikaria kronis. CCL2 mengaktivasi berbagai sel termasuk monosit, makrofag, limfosit, eosinophil, dan basofil. Merupakan sebuah faktor krusial untuk perkembangan respons Th2 [59].Upregulation dari kemokin pada urtikaria kronis berkontribusi pada pertahanan status aktif sel inflamasi. Basofil pada urtikaria kronis memperlihatkan upregulation aktivasi atau marker degranulasi CD203c dan CD63. Basofil juga memperlihatkan respons tinggi terhadap stimulasi IL-3. Basofil yang teraktivasi sepertinya terpicu CCL2, yang merupakan faktor aktivasi basofil poten [60].CCL2 menginduksi degranulasi sel mast dan memiliki aktifitas pelepasan histamin basofil yang kuat. Telah didokumentasikan bahwa gabungan kemokin yang bersirkulasi CCL2, CCL5, CXCL8 memainkan peran penting pada aktivasi sel mast dan pembentukan histamin serta serotonin [61].Dapat disimpulkan bahwa disregulasi imunologi menyebabkan terganggunya respons imun innate. Hal ini mengganggu jalur sitokin-kemokin, menyebabkan terpicunya status inflamasi yang berkontribusi terhadap patogenesis urtikaria kronis.

7. Urtikaria Kronis dan Sistem KoagulasiMenurut sebuah penelitian tentang plasma autolog, bahan antikoagulasi dengan substansi selain heparin membentuk respons positif autoreaktif. Hal ini terlihat pada sebagian besar pasien dibanding autologous serum skin test (ASST) [62, 63]. Karena serum dan plasma tidak berbeda dalam hal isi autoantibodi, penelitian ini ingin menunjukan kemungkinan peran faktor pembekuan pada reaksi wheal dan flare urtikaria. Plasma mengandung lebih banyak faktor koagulasi dan komplemen. Konsumsi faktor tersebut dalam serum selama pembentukan bekuan darah bertanggung jawab dalam reaktifitas yang bertentangan dari plasma autolog dan serum. Dapat disimpulkan bahwa kaskade pembekuan mungkin terlibat dalam patogenesis urtikaria [64]. Hal ini memberikan penjelasan mengenai efek terapi yang dilihat pada beberapa pasien dengan obat aktif pada sistem koagulasi [65, 66].

Jalur koagulasi ekstrinsik teraktivasi dan trombin terbentuk dari protrombin dengan mengaktivasi faktor X, faktor V serta ion kalsium [64]. Penelitian in vitro telah mengkonfirmasi bahwa plasma pada pasien urtikaria memiliki nilai fragmen protombin

Gambar 1: Patogenesis urtikaria kronis: Komunikasi molekular antara autoimun, komplemen dan kaskade pembekuan

F1+2 yang lebih tinggi. Sebuah polipeptida dari 34kDa yang dilepaskan ke sirkulasi selama aktivasi protrombin menjadi trombin oleh faktor X [67]. Eksaserbasi urtikaria berat dihubungkan dengan aktivasi kuat dari kaskade pembekuan. Kaskade berakhir dengan pembentukan fibrin dan fibrinolisis yang terlihat melalui peningkatan nilai plasma D-dimer.Trombin adalah protease serine yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, mengaktivasi dan mendegranulasi sel mast, serta menginduksi pembentukan anafilatoksin C5a. Pendapat lain juga mengusulkan teori aktivasi jalur ekstrinsik dari pembekuan.

Jalur mekansime patogenesis autoimun seroimunologi, nama, inflamasi, defek seluler, koagulasi, dan sistem komplemen, saling terhubung. Jalur-jalur tersebut bukan jalur yang terpisah satu dan yang lain. Aksi tersebut sinergis atau berurutan baik sebagai mekanisme patogenesis yang berdiri sendiri atau saling terhubung. Jalur itu mengaktivasi sel mast dengan pelepasan mediator dan/atau sekresi dari molekul vasoaktif yang baru terbentuk. Dengan hasil akhir berupa gambaran klinis dari urtikaria [68, 69] (Figur 1).Berbagai mediator sel mast, yang baru terbentuk atau yang sudah bekerja, berkaitan dengan urtikaria kronis, dirangkum dalam table 4.

Histamin adalah mediator vasoaktif paling penting. Histamin yang tergabung, histamin 1 dan histamin 2 respons reseptor dibutuhkan untuk ekspresi penuh vasoaktifitas histamin. Termasuk aktivitas vasodilatasi langsung, perubahan pada permeabilitas pembuluh darah, ekstravasasi plasma, dan stimulasi saraf sensorik bagian dermal [69-71]. Peranannya dalam terjadinya patogenesis wheal urtikaria masih kurang pasti. Mediator sel mast non-histamin mungkin meregulasi rekrutmen sel. Leukotrien, sitokin, dan kemokin, meningkatkan regulasi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel. Mereka juga membantu rolling, adhesi leukosit, kemotaksis, migrasi transendotel dan masuknya sel dalam wheal urtikaria. Sel yang menginfiltrasi ini akan menyebabkan pengeluaran sitokin proinflamasi dan kemokin yang bertugas merekrut dan mengaktivasi lebih banyak sel inflamasi. Hal ini akan mempertahankan, meningkatkan, dan memperpanjang respons dari pejamu. Sinyal untuk penyembuhan urtikaria tidak bisa dipastikan secara benar. Hal ini melibatkan downregulation dari reseptor histamin, pembentukan kembali integritas sel endotel, apoptosis sel inflamasi, pembersihan debris seluler oleh makrofag, dan drainase cairan edem ke sirkulasi vaskuler [22].Disimpulkan bahwa patogenesis urtikaria kronis masih membingungkan. Mekanisme patogenesis yang mungkin bisa menjelasankan secara rasional semua kasus belum ditemukan. Pengertian yang tidak menyeluruh menghambat pencarian obat dengan toksisitas rendah dan efikasi baik. Obat yang mungkin ditawarkan sebagai alternatif untuk urtikaria yang tidak remiten dan tidak berespons terhadap tatalaksana lini pertama. Pengertian yang lebih mendalam pada kompleksitas patogenesis bisa menyiapkan jalan untuk terapi yang lebih spesifik pada mekanisme patogenesis dari penyakit. Serta menyediakan motivasi untuk mengembangkan terapi imunomodulator dan biologis yang baik.