urgensi meluruskan sejarah ekonomi syariah indonesia
TRANSCRIPT
URGENSI MELURUSKAN SEJARAH EKONOMI SYARIAH INDONESIA
Anto Apriyanto, S.Pd.I., M.E.I.1
Di kalangan masyarakat umum tanah air, ekonomi Islam dikenal secara luas sejak
mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 27 Syawal 1412 H atau
bertepatan dengan tanggal 1 Mei 1992.2 Padahal, sejatinya ekonomi Islam telah ada sejak
bangsa Indonesia belum merdeka, bahkan diyakini sejak kelahiran Islam pada 15 abad
yang lalu.
Islam sebagai agama sempurna, yang di dalamnya turut pula masalah ekonomi
manusia diatur menjadi bukti tak terbantahkan bahwa ekonomi Islam lahir bersama
dengan Islam yang agung itu sendiri. Begitu sempurnanya Islam hingga Allah
Subhanahu wa Ta'ala menegaskan bahwa memang tidak ada satu permasalahan pun
yang terlewatkan dari pembahasan Al-Quran:
��ه ة في األرض وال طائر يط��ير بجناحي وما من دابيء ��اب من ش�� طنا في الكت إال أمم أمثالكم ما فر
هم يحشرون ) (٣٨ثم إلى رب"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu apa pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan." (QS. Al-An'am [6]: 38)
Meminjam pendapat Said Sa'ad Marthon3, bahwa sebagai peta kehidupan konsep
ekonomi Islam memang sudah ada semenjak kehadiran Islam di muka bumi. Terlebih
Al-Quran dan hadits sebagai sumber utama Islam kaya akan hukum-hukum dan
pengarahan kebijakan ekonomi yang harus diambil dan disesuaikan dengan kondisi
zaman dan tempat yang berbeda.
Menurut perhitungan Isa Abduh (dalam Fadhely: 1999), ayat-ayat yang berkenaan
dengan ekonomi di dalam Al-Quran itu mencapai 725 ayat, baik yang secara langsung
1Pegiat Komunitas Ekonomi Islam Indonesia (KONEKSI), Dosen Ekonomi Islam STES Islamic Village Tangerang dan Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi, Alumnus Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.
2Website resmi Bank Muamalat, "Profil Muamalat", <http://www.muamalatbank.com/home/about/profile>, diakses tanggal 06-01-2014.
3Said Sa'ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Terj. Ahmad Ikhrom dan Dimyauddin,(Jakarta: Zikrul Hakim, 2007), hlm. 21.
menegaskan prinsip ekonomi Islam, maupun pengertian yang tersirat dalam ayat-ayat
hukum atau kisah.4
Di dalam Sirah maupun Tarikh, sejarah banyak mencatat bagaimana perniagaan
yang menjadi tumpuan utama kegiatan ekonomi masyarakat Arab pada masa Rasulullah
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, semakin diperbaiki dan diluruskan
berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Semua sepakat, proses permulaan Islam hingga
berkembangnya dewasa ini tentu tidak luput dari peran sejarah. Begitu pun halnya
dengan ekonomi Islam. Di sinilah urgensi sejarah dalam ranah ilmiah. Begitu pentingnya
posisi sejarah sampai-sampai Budi Ashari, ahli Sejarah Islam kontemporer, menyatakan
bahwa sejarah merupakan sepertiga Al-Quran.5
Mengenai sejarah yang memiliki urgensi bagi kebangkitan sebuah peradaban,
dipertegas oleh wejangan Allahyarham Mohammad Natsir yang berbunyi:
Sejarah telah memberi tahu pada kita, bahwa bangsa mana pun yang berjuang demi kelangsungan mereka, dengan menempuh marabahaya demi mempertahankan eksistensinya, tentu pada suatu saat akan mempunyai tingkat peradaban yang tinggi. Mereka akan menemukan kebudayaan sendiri. Mereka dapat memberikan "pelajaran budaya" pada bangsa-bangsa lainnya, disamping memberikan "warisan budaya" pada keturunan atau bangsa-bangsa di belakang mereka. Ini adalah sunnatullah yang berlaku baik di Barat maupun di Timur, sejak dari bangsa Cina, India, Mesir, Romawi, Arab, sampai bangsa-bangsa dunia Barat sekarang ini.6
Dari pernyataan tersebut jelas sekali posisi sejarah yang cukup penting dalam
sebuah kebangkitan, di bidang apa pun, tak terkecuali ekonomi Islam. Namun
sayangnya, berbicara ekonomi Islam di Indonesia yang kian hari kian melesat pesat
digandrungi publik, hingga saat ini belum jelas kronologi sejarahnya, bahkan untuk
menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri sekali pun. Hal itu disebabkan ketersediaan
literatur yang membahas mengenai sejarah ekonomi Islam di Indonesia, dari masa
permulaan hingga perkembangan terakhirnya, bisa dikatakan belum ada. Padahal, tidak
mungkin ekonomi Islam hadir dan berdiri kokoh di Indonesia tanpa memiliki catatan
sejarahnya. Terutama mengenai siapa tokoh, pemikiran berikut perjuangannya, yang
berkontribusi dalam sejarah tersebut.
4M. Mohammad Fadhely, Meneropong Kehidupan Ekonomi Umat Islam, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1999), hlm. 31-32.
5Disampaikan Budi Ashari dalam Stadium General Akademi Siroh, "Bagaimana Nabi Belajar Dari Sejarah", di Bazaar Madinah Business Hall, Jl. Prof. Lapran Pane (RTM) No. 100 Cimanggis Depok Jawa Barat, Ahad (22/12/2013).
6Adian Husaini, Indonesia Masa Depan Perspektif Peradaban Islam, (Jakarta: INSISTS dan Gema Insani Press, 2009), hlm. 8-9.
Berkaitan dengan hal tersebut penulis teringat dengan pernyataan M. Umer Chapra.
Ia menulis:
Model dinamika sosioekonomi Ibn Khaldun memungkinkan kita menjawab sebagian persoalan paling penting yang harus dijawab oleh ilmu ekonomi Islam. Persoalan-persoalan tentang mengapa dunia Islam bangkit begitu cepat dan terus maju selama beberapa abad, dan mengapa sesudah itu ia merosot sedemikian rupa sehingga kehilangan elan vitalnya, dan tidak saja sebagian besar menjadi daerah jajahan, melainkan juga tidak mampu memberikan respons yang baik terhadap tantangan yang kini dihadapinya? Tidak mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tanpa menelusuri ke belakang kepada sejarah untuk melihat kapan, di mana, dan bagaimana kemerosotan bermula. Ini merupakan tugas berat. Namun, jawabannya sangat krusial karena jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak dijawab, tidak mungkin bagi ilmu ekonomi Islam melengkapi suatu strategi efektif untuk membalikkan arah yang sudah terjadi beberapa abad dan menimpa di hampir seluruh bidang kehidupan, termasuk ekonomi.7
Berdasarkan pendapat tersebut, adalah sebuah kebutuhan yang tidak bisa
dikesampingkan bila kita berbicara ekonomi Islam sebagai kajian ilmiah dengan
menelusuri pula jejak rekam sejarahnya. Yang perlu difahami adalah ketika penelusuran
sejarah ekonomi Islam tersebut dilakukan akan sangat mungkin bersentuhan dengan
bidang ilmu yang lain, yang perlu pula diperhatikan. Oleh karena itu, Umer Chapra8 lebih
lanjut menegaskan bahwa tidak mungkin bahkan tidak akan bermakna jika memisahkan
sejarah ekonomi Islam dari sejarah politik, sosial, dan agama.
Sebagai perbandingan saja, saat ini cabang ilmu Sejarah Pendidikan Islam
Indonesia sudah ada, tapi Sejarah Ekonomi Islam Indonesia belum ada. Di dunia Islam
skala global dikenal tokoh-tokoh seperti Abdul Aziz Islahi, M. Nejatullah Siddiqi,
Hasanuz Zaman, dan Kadim Sadr, yang merupakan para pionir di bidang sejarah
ekonomi Islam.9 Mereka adalah para ahli ekonomi Islam yang mengkhususkan diri dalam
bidang tersebut. Sementara di Indonesia, belum ada yang mengikuti jejak seperti mereka.
Dengan demikian, ihwal sejarah ini seharusnya sudah menjadi perhatian bagi para
peminat dan pegiat ekonomi Islam di tanah air. Walaupun mungkin bagi kalangan
praktisi ekonomi syariah hal semacam ini dianggap tidak begitu penting. Namun dalam
ranah ilmiah justru sangat diperlukan bagi konstruksi ilmu ekonomi Islam, khususnya
bagi kalangan akademisi. Urgensi masalah sejarah tersebut diperkuat oleh pendapat 7M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam, Terj. Ikhwan Abidin Basri,
(Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendekia, 2001), hlm. 149-150.8Ibid, hlm. 152.9Adiwarman Azwar Karim (ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: The International Institute
of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, 2002), hlm. vii.
Juhaya S. Pradja10 yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi Islam setidaknya bersumber
dari Al-Quran, Sunnah Rasul, hukum Islam dan metodologinya, sejarah masyarakat
Islam, serta data yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi.
Penulis seringkali menemukan artikel maupun buku yang terkesan 'tanggung' di
dalam membahas mengenai sejarah perkembangan ekonomi Islam di Indonesia. Hal itu
karena tidak menyertakan sosok para tokoh pemeran utama dalam perjuangan tersebut.
Sebagai contoh Ma'ruf Amin, Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) Pusat. Dalam buku "Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah Dalam
Pengembangan Produk Keuangan Kontemporer", ia menulis:
Di ujung abad ke-20, setelah seratus tahun dari fase kebangkitan Islam yang pertama, menurut hemat saya terjadi kebangkitan Islam kedua, yaitu tepatnya diawali pada tahun 1990 ketika MUI merekomendasikan lahirnya lembaga perbankan berbasis non bunga. Ini adalah merupakan awal dari gerakan ekonomi syariah di Indonesia, sebagai kelanjutan dari pendapat para ulama bahwa sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam, karena berbasis bunga.11
Pun ketika ia berbicara dalam sebuah orasi ilmiah, ia menyatakan "Sedangkan
dalam konteks Indonesia, lahirnya ekonomi syariah terhitung ketinggalan. Walaupun
mayoritas penduduknya beragama Islam, ekonomi syariah khususnya lembaga keuangan
syariah baru terbentuk pada awal tahun 1990-an".12
Dalam dua kali kesempatan tersebut, penulis tidak menemukan penjelasan tentang
siapa sebenarnya tokoh yang memiliki andil di dalam perjuangan penegakkan ekonomi
Islam di Indonesia. Di dalamnya hanya disebutkan peran lembaga MUI saja. Meski tidak
panjang lebar, seharusnya disebutkan nama-nama tokoh yang terlibat dalam kejadian
tersebut. Sebab sejarah berkaitan pula dengan tokoh.
Selanjutnya Syahbudi dalam Jurnal Hermeneia, menyatakan:
Selanjutnya pada periode ini sekitar tahun 1990-an, pemikiran dan gerakan SEI (Sistem Ekonomi Islam) berkembang dalam dua tataran, yakni tataran teoritis dan praktis. Pada tataran teoritis dikembangkan melalui pendidikan tinggi, kajian keilmuan dan perkembangan riset-riset Islamisasi ekonomi. Pada tataran praktis dikembangkan mulai dari sektor moneter, bank umum, BPRS, BMT, pengembangan pengelolaan
10Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 62.11Ma'ruf Amin, Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah Dalam Pengembangan Produk Keuangan
Kontemporer, (Banten: Yayasan An-Nawawi, 2013), hlm. 4-5.12Disampaikan Ma'ruf Amin dalam Orasi Ilmiah Wisuda Tahap II Universitas Ibn Khaldun Bogor Tahun
Akademik 2012-2013, dengan judul "Perkembangan Ekonomi Syariah Dari Masa ke Masa", Sabtu (8/6/2013).
zakat produktif, asuransi, dan bursa saham Islam serta pegadaian Islam.13
Hal yang sama dinyatakan pula oleh Agustianto, Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi
Islam Indonesia (IAEI) yang juga merupakan Wakil Sekjen Masyarakat Ekonomi
Syariah (MES) Pusat, dalam website pribadinya:
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentumnya untuk tumbuh kembali, semenjak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, setelah mendapat legitimasi legal formal dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.14
Sama dengan sebelumnya, dalam artikel di atas penulisnya mencatat sejarah
perkembangan ekonomi Islam di Indonesia yang tiba-tiba lahir pada 1990 atau 1992.
Saat membaca secara lengkap artikel itu, susunannya terkesan tidak teralur rapi dan
seakan 'loncat' melewati beberapa masa yang masih menjadi misteri. Oleh karena itu,
jika para ahli atau pakar ekonomi Islam Indonesia sekelas Ma'ruf Amin dan Agustianto
saja tidak dapat memberikan penjelasan mengenai sepak terjang ekonomi Islam di
Indonesia dalam pentas sejarah, lalu bagaimana mungkin generasi ke depannya bisa
menghormati perjuangan penegakkan hingga pembumian ekonomi Islam, yang sering
dikenal pula dengan istilah ekonomi syariah, di bumi Indonesia tercinta. [ ]
13Syahbudi, "Pemikiran dan Gerakan Sistem Ekonomi Islam di Indonesia", (Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Hermeneia, Vol. 2 No. 2, Juli-Desember 2003), hlm. 212.
14Agustianto, 16 April 2011, "Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia", dan 21 Mei 2012, "Kebangkitan (Nasional) Ekonomi Islam Kedua – 100 Tahun Setelah Berdirinya Syarikat Dagang Islam (1912-2012)", <http://www.agustiantocentre.com/?p=578>, diakses tanggal 04-01-2014.