upaya kepolisian dalam penyidikan penjualan …digilib.unila.ac.id/61376/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
1
UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN PENJUALAN
KENDARAAN BERMOTOR KREDIT MACET
MELALUI JEJARING SOSIAL
Oleh
Ibnu Azas
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
SKRIPSI
ABSTRAK
UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN PENJUALAN
KENDARAAN BERMOTOR KREDIT MACET MELALUI
JEJARING SOSIAL
Oleh
Ibnu Azas
Upaya Kepolisian sendiri memiliki makna atau arti usaha yang dilakukan oleh
pihak kepolisian dan Penyidikan sendiri merupakan tahap awal dari proses
penegakan hukum pidana atau bekerjanya mekanisme sistem peradilan pidana
(SPP). Penyidikan menentukan berhasil tidaknya proses penegakan hukum
pidana, Penjualan Kendaraan Bermotor Kredit Macet maksudnya adalah
penjualan kendaraan yang masih ada ikatan kredit pada perusahaan tetapi tidak
diteruskan sampai selesai melainkan dijual kembali oleh pemiliknya.
Permasalahan dalam penulisan ini adalah: (1) Bagaimanakah upaya kepolisian
dalam melakukan penyidikan penjualan kendaraan bermotor kredit macet melalui
jejaring sosial? (2) Apakah faktor penghambat kepolisian dalam melakukan
penyidikan penjualan kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial?
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Upaya kepolisian dalam
penyidikan Setelah melakukan serangkaian upaya yang dilakukan kepolisian dan
upaya yang harus dijalani oleh kepolisian dalam proses penyidikan penjualan
kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial harus sesuai dengan
prosedur. Faktor penghambat dalam penyidikan ialah faktor hukum, faktor
penegakan hukum, faktor sarana atau fasilitas pendukung, faktor masyarakat dan
faktor kebudayaan.
Saran yang diberikan oleh penulis berkaitan dengan upaya kepolisian dalam
penyidikan penjualan kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial
diharapkan pihak kepolisian dapat dengan maksimal dalam melakukan penyidikan
karena sekecil apapun permasalahan dalam masyarakat jika tidak ditindak dengan
maksimal akan menjadi kebiasaan yang buruk dalam masyarakat.
Kata kunci : Upaya Kepolisian, Penjualan Kendaraan Bermotor Kredit
Macet, Jejaring Sosial.
ABSTRACT
POLICE EFFORTS IN INVESTIGATION OF BAD CREDIT SALES OF
MOTORIZED VEHICLE THROUGH SOCIAL NETWORKS
The Police effort itself has the meaning of the attempts carried out by the police
and the investigation as the initial stage of the criminal law enforcement process
or the operation of the criminal justice system mechanism. Investigation
determines the success or failure of the criminal law enforcement process, bad
credit sales of Motorized Vehicles mean the sale of vehicles that still have credit
ties to the company but are not carried out to completion but are resold by their
owners. The problems in this paper are: (1) What is the police effort to investigate
the bad credit sales of motorized vehicles through social networks? (2) What is
the factor that preventing the police from investigating bad credit sales of
motorized vehicle through social networks?
Based on the results of research and discussion, police efforts in investigation
after making a series of efforts made by the police and efforts that must be
undertaken by the police in the process of investigating bad credit sales of
motorized vehicle through social networks must be in accordance with
procedures. The inhibiting factors in the investigation are legal factors, law
enforcement factors, supporting facilities or factors, community factors and
cultural factors.
The advice given by the author related to police efforts in investigating bad credit
sales of motorized vehicle through social networks. It is expected that the police
can optimally conduct an investigation because even the slightest problem in
society if not dealt with maximally will become a bad habit in society.
Keyword : Police Efforts, Bad Credit Sales of Motorized Vehicle, Social
Networks.
UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN PENJUALAN
KENDARAAN BERMOTOR KREDIT MACET
MELALUI JEJARING SOSIAL
Oleh
Ibnu Azas
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Judul Skripsi : UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN
PENJUALAN KENDARAAN BERMOTOR
KREDIT MACET MELALUI JEJARING
SOSIAL
Nama Mahasiswa : Ibnu Azas
No. Pokok Mahasiswa : 1212011145
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. Eddy Riffai, S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H.
NIP 19610912 198603 1 003 NIP 19631217 198803 2 003
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Eko Raharjo, S.H., M.H.
NIP 19610406 198903 1 003
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. EDDY RIFFAI, S.H., M.H. ..........
Sekretaris/Anggota : FIRGANEFI, S.H., M.H. ..........
Penguji Utama : Prof. Dr. SUNARTO, S.H., M.H. ..........
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. MARONI, S.H., M.H.
NIP 19600 310 198703 1 002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 30 Desember 2019
LEMBAR PERNYATAAN
Nama : Ibnu Azas
No. Pokok Mahasiswa : 1212011145
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
Dengan ini menyatakan bahwa skipsi saya yang berjudul “Upaya Kepolisian
Dalam Penyidikan Penjualan Kendaraan Bermotor Kredit Macet Melalui
Jejaring Sosial” Adalah hasil karya saya sendiri. Semua hasil tulisan yang
tertuang dalam skipsi ini telah mengikuti kaidah penulisan karya ilmiah
Univesitas Lampung. Apabila kemudian hari terbukti bahwa skipsi ini merupakan
hasil salinan atau dibuat oleh orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Bandar Lampung, 30 Desember 2019
Yang menyatakan
Ibnu Azas
RIWAYAT HIDUP
penulis dilahirkan di kalirejo lampung tengah pada tanggal 21
februari 1995, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara .
Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Dharma Wanita Gedung
Aji Tulang Bawang pada Tahun 1999, Sekolah Dasar Negeri 01 Gedung Aji
Tulang Bawang pada Tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama Negeri 01 Gedung
Aji Tulang Bawang 2006, Sekolah Menengah Atas Gajah Mada Bandar Lampung
2009, kemudian pada Tahun 2012 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk mereka yang bertanya:
“Kapan skripsimu selesai”?
Terlambat lulus atau lulus tidak tepat waktu bukan sebuah kejahatan, alangkah
kerdilnya jika mengukur kepintaran seseorang hanya dari siapa yang paling cepat
lulus dan dengan IPK Cumlaued.
Bukankah sebaik-baiknya skripsi adalah yang selesai? Baik itu selesai tepat waktu
maupun tidak tepat waktu.
MOTTO
“Pengalaman tidak didasarkan pada kebenaran saja, tetapi juga kesalahan”
“Kebenaran itu relatif fan kebaikan itu absolut, maka berbuat baiklah tanpa
harus menuntut kebenaran”
“kaya bukan ukuran dan sarjana bukan jaminan, tetapi adabmu lah ukuranmu
dan ibadah serta doa orang tuamu lah sebagai jaminanmu”
SANWACANA
Puji syukur Kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi tugas akhir yang
diwajibkan untuk mencapai gelarKesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung, dengan judul “Upaya Kepolisian Dalam Penyidikan Penjualan
Kendaraan Bermotor Kredit Macet Melalui Jejaring Sosial”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak
lepas dari kelemahan dan kekurangan meskipun penulis telah berusaha
semaksimal mungkin, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak akan
penulis terima dengan senang hati. Keberhasilan dalam menyelesaikan skripsi ini,
tentu tidak lepas dari bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesmpatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Bapak Dr.Maroni., S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Bapak Eko Raharjo,S.H.,M.H selaku Ketua Bagiam Hukum Pidana.
3. Bapak Dr.Eddy Rifai, SH,MH sebagai Pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya serta memberikan masukan-masukan dalam
penulisan skripsi ini.
4. Ibu Firganefi,S.H.,M.H sebagai Pembimmbing II yang telah meluangkan
waktunya serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi
ini.
5. Bapak Prof. Dr Sunarto,MH selaku Pembahas I atas kesediaanya untuk
memberikan saran-sarannya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Damanhuri WN.,S.H.,M.H selaku Pembahas II atas kesediaanya
untuk memberikan saran-sarannya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
7. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Khususnya Dosen
Pidana, Terimakasih atas Segala Ilmu yang telah kalian berikan.
Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini betapa pun kecilnya, kiranya dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya pebaca pada umumnya.
Bandar Lampung, 30 Desember 2019
Penulis,
Ibnu Azas
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN Halaman
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup .................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian Dan Kegunaan Penelitian ...................................................... 5
D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual .................................................................... 7
E. Sistimatika Penulisan ........................................................................................ 15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kepolisian ...................................................................................... 16
B. Tugas, Wewenang Dan Fungsi Kepolisian ...................................................... 29
C. Pengertian Penyidikan dan pengaturannya ....................................................... 34
D. Pengertian Penyidikan Polri ............................................................................. 36
E. Aturan Kredit Kendaraan Bermotor ................................................................. 40
F. Kaitannya Hukum Pidana Dengan Jaminan Fidusia ......................................... 50
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan masalah ......................................................................................... 51
B. Sumber Data ..................................................................................................... 51
C. Penentuan Narasumber ..................................................................................... 54
D. Metode Pengumupulan Dan Pengolahan Data ................................................. 54
E. Analisis Data ..................................................................................................... 56
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Upaya kepolisian dalam melakukan penyidikan penjualan kendaraan
bermotor kredit macet melalui jejaring sosial .................................................. 57
B. Faktor penghambat kepolisian dalam melakukan penyidikan penjualan
kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial ................................. 67
V. PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................................................... 72
B. Saran ................................................................................................................. 75
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan industri otomotif yang cepat dengan penjualan kendaraan bermotor
baru yang cukup tinggi dengan fasilitas pembiayaan secara kredit, maka oleh
karena itu untuk melindungi industri keuangan khususnya multifinance atau
leasing, pemerintah dan DPR menciptakan pranata hukum baru dengan
melahirkan kodifikasi hukum yang disebut jaminan fidusia yang ditandai oleh
lahirnya UU No.42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang bertujuan untuk
mengatur dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam jaminan
kebendaan.
Membeli dengan cara kredit merupakan hal sangat biasa di masyarakat,
khususnya kredit sepeda motor. Setiap orang dapat mengajukan kredit
kepemilikan sepeda motor dengan sangat mudah dan murah, di tunjang lagi
dengan semakin banyaknya lagi perusahaan pembiayaan, pada saat ini justru
terjadi surplus/over suply, perusahaan mengalami kelebihan dana untuk
dibelanjakan, yang terjadi perusahaan pembiayaan berlomba-lomba untuk
mendapatkan konsumen dengan berbagai cara, salah satunya dengan program
uang muka sangat murah, angsuran yang bersaing dengan harapan dapat
menambah volume penjualan, dalam hal ini bertambahnya konsumen mengajukan
kredit sepeda motor.
2
Berbeda dengan pembelian secara tunai, pembelian secara kredit lebih banyak
melibatkan pihak. Pada pembelian dengan cara kredit selain pihak konsumen dan
dealer ada pihak yang sangat menentukan dalam proses kredit yaitu pihak
perusahaan pembiayaan. Salah satu kejahatan yang sering terjadi dalam
masyarakat adalah peggelapan dari objek jaminan fidusia, karena semakin
bertambahnya kebutuhan masyarakat tidak seimbang dengan kemampuan
ekonomi untuk membeli secara kontan terhadap suatu barang, seperti kendaraan
bermotor.1
Ketentuan pidana soal ini diatur dalam UU No.42/1999. Ada ancaman hukuman
pidana maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal Rp 50 juta. Pasal 23 Ayat 2
UU Fidusia berbunyi: “pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan,
atau meyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia
yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis
terlebih dahulu dari pihak penerima fidusia.” Pasal 36 UU No.42/1999 berbunyi
“pemberi fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda
yang menjadi objek jaminan fidusia sebagai mana dimaksud dalam pasal 23 Ayat
(2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima
fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.”2
1 Soerjono Soekanto, Hartono Widodo, dan Chalimah Suyatno, Penanggulangan Pencurian
Kendaraan Suatu Tindakan Kriminologi (Jakarta: Bina Aksara, 1998), hlm. 25. 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999, Jaminan Fidusia, 30
September 1999 (Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia, 1999) Nomor 168.
3
Latar belakang lahirnya lembaga fidusia adalah karena adanya kebutuhan dalam
praktek, setelah dikeluarkannya UU No.42/1999 lebih mempertegas apabila ada
wanprestasi seperti penggelapan tersebut maka sudah menjadi wilayah hukum
pidana dan peran polri sebagai penyidik sangat penting untuk mengusut kasus
tersebut hingga tuntas.3
Dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor tersebut tidak jarang membawa
persoalan keranah hukum pidana, padahal idealnya perjanjian kredit tersebut
merupakan bagian dari ranah hukum perdata, hukum pidana hadir manakala
dalam perjanjian tersebut timbul perbuatan yang termasuk dalam kategori hukum
pidana, munculnya hukum pidana dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor
karena adanya kasus penggelapan, terjadiya penggelapan dalam perjanjian kredit
tersebut karena umumnya pihak yang berhutang tidak mampu lagi membayar
hutangnya, sementara disisi lain dia telah membayar uang muka dan beberapa kali
setoran dalam perjanjian kredit tersebut.
Penjualan kendaraan bermotor kredit macet yang dimaksud disini adalah
seseorang yang masih ada tanggungan kredit kepada debitor namun tidak sanggup
untuk memenuhinya dan kemudian seseorang tersebut menjualnya kepada orang
lain. Contoh kasus yang dikutip oleh Tribunnews Bandar lampung para pemain
motor kini banyak berseliweran digrup-grup media sosial khusus jual beli motor
murah diberbagai Wilayah di Lampung, dengan mudahnya motor diduga hasil
3 Nurwidiatmo, Kompilasi Bidang Hukum Tentang Leasing (Jakarta: BPHN, 2011) hlm. 3.
4
curian atau motor kredit macet diposting dan dibubuhi berbagai keterangan antara
lain jual yang bisa jauh dibawah pasaran, dalam sehari setidaknya terdapat 10
postingan baru yang menampilkan foto motor yang dijual dengan harga super
murah, untuk motor kredit macet ini biasanya dilego dengan kelengkapan hanya
STNK saja, tanpa BPKB.4
Upaya Kepolisian sendiri memiliki makna atau arti usaha yang dilakukan oleh
pihak kepolisian dan Penyidikan sendiri merupakan tahap awal dari proses
penegakan hukum pidana atau bekerjanya mekanisme sistem peradilan pidana
(SPP). Penyidikan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan
strategis untuk menentukan berhasil tidaknya proses penegakan hukum pidana
selanjutnya, Penjualan Kendaraan Bermotor Kredit Macet maksudnya adalah
penjualan kendaraan yang masih ada ikatan kredit pada perusahaan tetapi tidak
diteruskan sampai selesai melainkan dijual kembali oleh pemiliknya, Melalui
Jejaring Sosial adalah media massa yang dijadikan tempat untuk menawarkan
barang yang dijual sebagai contoh facebook.
Isu hukum dalam kasus tersebut adalah sudah adanya peraturan dan Undang-
Undang namun kurangnya penegakan hukum itu sendiri.Berdasarkan uraian pada
latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “ Upaya Kepolisian dalam Penyidikan Penjualan Kendaraan Bermotor
Kredit macet Melalui Jejaring Sosial”.
4 Romi Rinando, “Jual Motor Kosongan Wilayah Lampung Marak Berseliweran di Facebook,”
diakses dari https://lampung.tribunnews.com/2017/01/27/jual-motor-kosongan-wilayah-lampung-
marak-berseliweran-di-facebook?page=4, pada tanggal 11 April 2019 pukul 14:15 WIB.
5
B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikaan diatas maka penulis dapat
memberikan batasan tulisan mengenai peranan kepolisian dalam penyidikan
penjualan kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah upaya kepolisian dalam melakukan penyidikan penjualan
kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial?
b. Apakah faktor penghambat kepolisian dalam melakukan penyidikan
penjualan kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial?
2. Ruang Lingkup
Berdasarkan pada permasalahan tersebut maka ruang lingkup hukum pidana
penelitian dilakukan dikantor kepolisian daerah lampung. Pokok pembahasannya
berkenaan dengan upaya kepolisian dalam melakukan penyidikan penjualan
kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial. Lingkup bidang ilmu,
lingkupnya yaitu bidang hukum pidana. Tahun penelitian 2019.
6
C. Tujuan Penelitian Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui upaya kepolisian dalam melakukan penyidikan penjualan
kendaraan bermotor yang macet kredit.
b. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor penghambat kepolisian dalam
melakukan penyidikan penjualan kendaraan bermotor yang macet kredit.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan
praktis, yaitu:
a. Secara Teoritis
Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan
ilmu hukum dan memberikan sumbangsih pikiran juga salah satu referensi
untuk penelitian lain pada umumnya serta perkembangan hukum pidana
pada khususnya.
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan terhadap kepolisian
dalam melakukan penyidikan penjualan kendaraan bermotor kredit macet
melalui jejaring sosial.
7
D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
yang digunakan harus berdasarkan kerangka acuan hukumnya. Karena
permasalahannya yang dibahas mengenai upaya kepolisian dalam penyidikan
penjualan kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial, dibawah ini di
kemukakan beberapa teori. Teori yang penulis gunakan adalah:
a. Teori ketentuan-ketentuan megenai kewenangan penyidik
Kewenangan yang diberikan undang-undang kepada kepolisian cukup besar yaitu
salah satunya adalah kewenangan penyidikan yang diberikan kepada penyidik dan
penyidik pembantu polri dalam menangani perkara tindak pidana umum (lex
generalis) maupun tindak pidana khusus (lex spesialis), penyidik mempunyai
peranan penting dan merupakan ujung tombak dalam proses penegakan hukum
pidana.
Kinerja penyidik berpengaruh besar dalam proses penegakan hukum pidana,
dalam Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa ada dua pejabat yang
berkedudukan sebagai penyidik, yaitu “penyidik adalah pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan” dan pada
Pasal 1 Angka 3 KUHP dikatakan bahwa “Penyidik Pembantu adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu
8
dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini” dan
kewenang penyidikan tersebu tertuang dalam pasal 7 KUHP, sementara tujuan
dari penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu tersebut
bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban didalam masyarakat,
menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat sesuai degan Pasal 13 UU No.2/2002 tentang Kepolisian RI,
dan berdasarkan Peraturan Kapolri No.1/2012 tentang Rekruitmen dan Seleksi
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penegakan hukum penyidikan Tindak Pidana membutuhkan penyidik dan
penyidik pembantu yang profesional dan proporsional serta berintegritas tinggi,
oleh karena itu diharapkan dalam proses rekruitmen dan seleksi Penyidik dan
Penyidik Pembantu sudah seharusnya dilakukan secara bersih, transparan,
akuntabel dan humanis serta dilaksanakan pendidikan pengembangan spesialisasi
sehingga Penyidik dan Penyidik Pembantu memiliki standrasisasi dan statifikasi
dengan metode rekruitmen yang dinamakan asesment.5
Salah satu Kewenang penyidik adalah melakukan upaya penegakan hukum
berupa:
1) Upaya Preventif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
kejahatan.
2) Upaya Refresif adalah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi tindak
pidana berupa penegakan hukum dengan cara menjatuhkan hukuman.
5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, cet VII (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hlm. 110.
9
Penyelidikan dan penyidikan penting diuraikan karena dalam tingkat penyelidikan
dan penyidikan pejabat penyelidik dan penyidik mempunyai kewenangan untuk
melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Dalam tindakan upaya paksa
tersebut, jika yang diperiksa merasa keberatan atas perlakuan dirinya yang tidak
sesuai dengan ketentuan hukum, maka dapat melakukan praperadilan.
Terminologi penggunaan kata penyelidikan dan penyidikan, jika diperhatikan dari
kata dasarnya, sama saja, keduanya berasal dari kata sidik. Namun dalam KUHP
pengertian antara penyelidikan dan penyidikan dibedakan sebagai tindakan untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 1 butir 5 KUHAP menegaskan penyelidikan adalah
serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.
Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Dengan pengertian yang ditegaskan
dalam KUHAP, Tujuan dari pada penyelidikan memberikan tuntutan tanggung
jawab kepada aparat penyelidik, agar tidak melakukan tindakan hukum yang
merendahkan harkat dan martabat manusia. Penyelidikan dilakukan oleh Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
(Pasal 1 butir 4) yang memiliki fungsi dan wewenang sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 5 KUHAP Penyelidik atau Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
10
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana.
2) Mencari keterangan dan barang bukti.
3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri.
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab atas
perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
a) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan.
b) Pemeriksan dan penyitaan surat.
c) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
d) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik Penyelidik
membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan
sebagaimana tersebut pada Ayat 1 huruf A dan huruf B kepada
penyidik Menurut Pasal 184 KUHAP di jelaskan mengenai alat bukti
berupa:
1) Keterangan saksi
2) Keterangan Ahli
3) Surat
4) Petunjuk
5) Keterangan terdakwa6
6 Darwin Prinst, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Jakarta: Djambatan, 1989), hlm. 92-93.
11
Penegakan bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan
mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakatnya. Oleh karena
itu, penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan sendiri
yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut
merupakan kendala baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan
penegakan hukum tidak dapat dijalankan dengan seksama.
Menurut Soerjono Sukanto7, bahwa masalah pokok dari penegakan hukum terletak
pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
1. Faktor Hukum
Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan
antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan
merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum
merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Suatu kebijakan
atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang
dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan
hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup
law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum
sesungguhnya merupakan proses penyerasian nya antara nilai kaedah dan pola
perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
7 Soerjono Soekanto, Hartono Widodo dan Chalimah Suyatno, Op. Cit., hlm. 25.
12
2. Faktor Penegakan Hukum
Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan
peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik,
ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan
hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat
keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang
diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional,
sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya,
diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana
khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut
karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap.
Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas
dan banyak.
4. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya
mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan
hukum, yaitu kepatuhan hukumyang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat
kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum yang bersangkutan.
13
5. Faktor Kebudayaan
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan
soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi
yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia
dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan
sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.
2. Kerangka Konseptual
Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-
konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang akan di teliti atau yang ingin di ketahui. Agar tidak terjadi kesalahan
terhadap permasalahan maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan
untuk menjelaskan istilah yang di gunakan dalam pembahasan ini adapun istilah
yang di maksud adalah:
a. Polri adalah pejabat kepolisian RI yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang kepolisian,
bertindak sebagai penyidik atau penyelidik dalam rangka sistem peradilan
pidana dan sebagai pembina keamanan, ketertiban masyarakat.8
b. Kepolisian adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat.
8 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Kepolisian Republik
Indonesia, 8 Januari 2002 (Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia, 2002).
14
c. Penipuan adaah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong
dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari keuntungan dari
orang lain.
d. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
carayang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 Butir 2 UU No.8/1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Pelaksanaan tugas-
tugas penyidikan ditangani oleh pejabat penyidik atau penyidik pembantu,
sesuai dengan kewenangannya masing-masing sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 dan Pasal 11 UU No.8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan penyidik adalah pejabat polisi negara atau pejabat pegawai negeri
sispil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan (Pasal 1 Angka 1 KUHAP).9
e. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.
9 Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum (Jakarta: Bina Aksara, 1987),
hlm. 57.
15
E. Sistimatika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan akan di susun sebagai
berikut:
1. Pendahuluan
Bab ini berisikan tentang latar belakang,permasalahan dan ruang lingkup,tujuan
dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, metode pendekatan
serta sistematika penulisan.
II. Tinjauan Pustaka
Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang berisi mengenai pengertian kepolisian,
pengertian penyidikan, pengertian tindak pidana penipuan, dan pengertian teori
penegakan hukum.
III. Metode Penelitian
Bab ini merupakan metode penelitian yang berisi pendekatan masalah, jenis dan
sumber data, PenentuanNarasumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data
serta analisis data .
IV. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap
bagaimana upaya kepolisian dalam penyidikan penjualan kendaraan bermotor
kredit macet melalui jejaring sosial.
V. Penutup
Merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan sebagai jawaban terhadap
permasalahan yang di ajukan berdasarkan hasil penelitian , serta saran-saran.
16
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kepolisian
Kepolisian Negara Republik Indonesia (disingkat Polri) adalah Kepolisian
Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri
mempunyai moto Rastra Sewakotama yang artinya Abdi Utama bagi Nusa
Bangsa. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia
yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Lambang dan motto Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berbunyi
Rastra Sewakottama yang merupakan dari bahasa Sansekerta yang berarti
"Pelayan utama Bangsa". Dalam bahasa Sansekerta, Rastra berarti "bangsa" atau
"rakyat", dan sevakottama berarti "pelayan terbaik", maka disimpulkan bahwa
Rastra Sewakottama berarti "pelayan terbaik bangsa/rakyat", dan dipahami
sebagai "Polri sebagai pelayan dan abdi utama negara dan bangsa". Sebutan itu
adalah Brata pertama dari Tri Brata yang diikrarkan sebagai pedoman hidup Polri
sejak 1 Juli 1954.
Sebelum kemerdekaan Indonesia, Masa kolonial Belanda Veldpolitie di Malang
(sekitar 1930) Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk
pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas
17
melindungi raja dan kerajaan. Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan
keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari
orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di
Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah warga Eropa di
Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka.
Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen.
Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur general (jaksa agung). Pada
masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld
politie (polisi lapangan), stads politie (polisi kota), cultur politie (polisi
pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain. Sejalan dengan
administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan
bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan
menjabat hoofd agent (bintara), inspecteur van politie, dan commisaris van
politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti
mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Kepolisian modern Hindia
Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal dari
terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini. Pada akhir tahun
1920-an atau permulaan tahun 1930 pendidikan dan jabatan hoofd agent,
inspecteur, dan commisaris van politie dibuka untuk putra-putra pejabat Hindia
Belanda dari kalangan pribumi.
18
Masa pendudukan Jepang, pada masa ini Jepang membagi wilayah kepolisian
Indonesia menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta,
Kepolisian Sumatra yang berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia
Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di
Banjarmasin. Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang
pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tetapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang
yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.
Awal kemerdekaan Indonesia, Periode 1945-1950 Tidak lama setelah Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan
Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka. Inspektur
Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya,
pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik
Indonesia sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan
dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga
membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-
satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang
panjang.[9] Sebelumnya pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian
Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada
tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto
Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).
19
Pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri
dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab
masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada
Jaksa Agung. Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah
tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab
langsung kepada Perdana Menteri.[12] Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun
diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini. Sebagai bangsa dan negara
yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas
sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri
menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi
Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk
perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di
Surabaya, di front Sumatra Utara, Sumatra Barat, penumpasan pemberontakan
PKI di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap
Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh
presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana
menteri. Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah
mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan
Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di
Sumatra Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22
Desember 1948).
20
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik
Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan
Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian
Negara RI berkedudukan di Yogyakarta. Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950
dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional
berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan
dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam
negeri. Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI
pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS
No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam
Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya
kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan
siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.
Periode 1950-1959, dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950
dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala
Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada
perdana menteri/presiden. Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena
belum ada kantor, digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene
Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto
merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN)
yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi
gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
21
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang
memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir
dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam
Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk
organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut
dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan
Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut
Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu
semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI
memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi
(PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai
negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Masa Orde Lama dengan Dekret Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan
Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya
kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm.
Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah
pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli
di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat
sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26
Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959,
ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda
Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan
Kepolisian Negara).
22
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari
Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan
keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada
tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat
Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian
RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Berdasarkan
Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan
selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya
dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961.
Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI
yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU. Dengan Keppres No. 94/1962,
Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU,
Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil
Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962
menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan
Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden
sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan,
tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
1. Alat Negara Penegak Hukum.
2. Koordinator Polsus.
3. Ikut serta dalam pertahanan.
23
4. Pembinaan Kamtibmas.
5. Kekaryaan.
6. Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI
disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang.
Sementara pada tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena
politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusupi memengaruhi
sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Masa Orde Baru, karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang
mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk
meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967
tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur
Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian
dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU, dan AK yang masing-
masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal
Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan
Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian
ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan
perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang. Pada
tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian
diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI,
24
namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini
diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969. Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969
sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan.
Masa Reformasi, sejak bergulirnya reformasi pemerintahan 1998, terjadi banyak
perubahan yang cukup besar, ditandai dengan jatuhnya pemerintahan orde baru
yang kemudian digantikan oleh pemerintahan reformasi di bawah pimpinan
presiden B.J Habibie di tengah maraknya berbagai tuntutan masyarakat dalam
penuntasan reformasi, muncul pada tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI
dengan harapan Polri menjadi lembaga yang profesional dan mandiri, jauh dari
intervensi pihak lain dalam penegakan hukum.
Sejak 5 Oktober 1998, muncul perdebatan di sekitar presiden yang menginginkan
pemisahan Polri dan ABRI dalam tubuh Polri sendiri sudah banyak bermunculan
aspirasi-aspirasi yang serupa. Isyarat tersebut kemudian direalisasikan oleh
Presiden B.J Habibie melalui instruksi Presiden No.2 tahun 1999 yang
menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari ABRI. Upacara pemisahan Polri dari
ABRI dilakukan pada tanggal 1 april 1999 di lapangan upacara Mabes ABRI di
Cilangkap, Jakarta Timur. Upacara pemisahan tersebut ditandai dengan
penyerahan Panji Tribata Polri dari Kepala Staf Umum ABRI Letjen TNI Sugiono
kepada Sekjen Dephankam Letjen TNI Fachrul Razi kemudian diberikan kepada
Kapolri Jenderal Pol (Purn.) Roesmanhadi.
Maka sejak tanggal 1 April, Polri ditempatkan di bawah Dephankam. Setahun
kemudian, keluarlah TAP MPR No. VI/2000 serta Ketetapan MPR nomor
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI, kemandirian Polri berada di
25
bawah Presiden secara langsung dan segera melakukan reformasi birokrasi
menuju Polisi yang mandiri, bermanfaat dan professional. Pemisahan ini pun
dikuatkan melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945 ke-2 yang dimana
Polri bertanggungjawab dalam keamanan dan ketertiban sedangkan TNI
bertanggungjawab dalam bidang pertahanan. Pada tanggal 8 Januari 2002,
diundangkanlah UU no. 2 tahun 2002 mengenai Kepolisian Republik Indonesia
oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Isi dari Undang Undang tersebut selain pemisahan tersebut, Kapolri
bertanggungjawab langsung pada Presiden dibanding sebelumnya di bawah
Panglima ABRI, pengangkatan Kapolri yang harus disetujui Dewan Perwakilan
Rakyat, dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional untuk membantu Presiden
membuat kebijakan dan memilih Kapolri. Kemudian Polri dilarang terlibat dalam
politik praktis serta dihilangkan hak pilih dan dipilih, harus tunduk dalam
peradilan umum dari sebelumnya melalui peradilan militer. Internal kepolisian
sendiri pun memulai reformasi internal dengan dilakukan demiliterisasi
Kepolisian dengan menghilangkan corak militer dari Polri, perubahan paradigma
angkatan perang menjadi institusi sipil penegak hukum profesional, penerapan
paradigma Hak Asasi Manusia, penarikan Fraksi ABRI (termasuk Polri) dari
DPR, perubahan doktrin, pelatihan dan tanda kepangkatan Polri yang sebelumnya
sama dengan TNI, dan lainnya. Reorganisasi Polri pasca reformasi diatur dalam
Perpres no. 52 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian
Republik Indonesia.
26
Selain Kepolisian, pada masa Reformasi juga banyak dibentuk lembaga baru yang
bertugas untuk penegakan hukum dan pembuatan kebijakan keamanan seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi (2002), Badan Narkotika Nasional (2009), Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (2010), Badan Keamanan Laut (2014).
Perwira aktif Polri dapat menjabat dalam lembaga ini, baik menjadi penyidik,
pejabat struktural sampai pimpinan. Lembaga-lembaga ini nantinya berkoordinasi
dengan Polri sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Selain dari paradigma dan
organisasi, sampai saat ini polisi pun berbenah perlahan-lahan mendisiplinkan dan
meningkatkan integritas anggotanya. Mengingat pada masa reformasi tidak sedikit
anggota Kepolisian yang terungkap ke publik melanggar kode etik profesi bahkan
terjerat hukum seperti korupsi, suap, rekening gendut, narkoba, dll. Selain kasus
hukum, saling serang antara anggota Polri dan TNI dilapangan dan ketegangan
antar lembaga penegak hukum masih mewarnai perjalanan reformasi Kepolisan.
Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
menjelaskan bahwa Polisi adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi
dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
istilah polisi berasal dari kata Yunani kuno, tersebut dalam buku Plato”Politea”
pemerintahan, terdiri dari bebagai kata “Polis” artinya urusan pemerintahan,
kemudian khusus jalankan fungsi keamanan dan ketertiban. Sedangkan pengertian
polisi terdapat empat pengertian yaitu10:
10 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Kepolisian Republik
Indonesia, 8 Januari 2002 (Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia, 2002).
27
1. Polisi sebagai fungsi
Yaitu berkaitan dengan tugas, fungsi dan wewenang sebagai organ sipil
pemerintahan yang tertuang dalam pasal 2 Undang-undang no 2 tahun 2002 yaitu
fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara dibidang
pemeiharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi polisi juga
adalah segala upaya dalam mencegah msyarakat melanggar hukum dan
mejauhkan masyarakat dari pelanggaran hukum, tugas polisi bukan untuk
menjebloskan orang kedalam penjara justru mencegah orang tidak masuk dalam
penjara agar fungsi kepolisian dapat berjalan lebih optimal maka diperlukan
pihak-pihak tertentu untuk membantu kepolisian dalam mengembankan
fungsinya, didalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002 pihak-pihak tersebut
adalah:
a. Kepolisian Khusus
b. Penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau
c. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana yang dimaksud adalah melaksanakan
fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing.
2. Polisi Sebagai Organ Negara
Maksud dari polisi sebagai organ Negara adalah suatu badan bagian dari fungsi
pemerintahan didalam bidang kamtibmas, sesuai dengan bentuk Negara dan
Pemerintahan, ketatanegaraan, kekuasaan politik yang sedang memerintah.
28
Bentuk kepolisian RI yang tertuang didalam undang-undang No 2 Tahun 2002
pasal 5 Ayat 2 dijelaskan bahwa kepolisian RI adalah kepolisian nasional yang
merupakan satu kesatuan didalam menjalankan tugas dan fungsinnya, yang
dimaksud dengan kepolisian nasional yaitu menekankan kesatuan didalam rantai
Komando sebagai satu kesatuan kepolisian RI. Bentuk kepolisian nasional ini
sejalan dengan bentuk Negara kesatuan RI, sedangkan pertanggung jawabannya
kepada presiden sesuai dengan bentuk, sistem pemerintahan RI. Guna mengetahui
kepolisian nasional maka diperlukan penjabaran mengenai kelebihan dan
kelemahan polisi nasional, berikut pemaparan tentang kelebihan dan kelemahan
kepolisian nasional.
a. Kelebihan Kepolisian Nasional
1. Efisien dalam regulasi
2. Rantai komando
b. Kelemahan Kepolisian Nasional
Kelemahannya adalah kurang memberi keragaman kepentingan daerah.
3. Polisi Sebagai Pejabat/Petugas
Maksud dari polisi sebagai pejabat adalah bila polisi itu sebagai pegawai negeri
sipil (PNS), mereka tergabung didalam KORP KEPOLISIAN RI. Sedangkan
sebagai badan tersendiri polri dilengkapi seragam, kepangkatan, tanda pengenal
atribut lain diwilayah kerjanya. Sebagai pejabat, Polri mempunyai keistimewaan
dibanding PNS yaitu berseragam, dan diwajibkan polisi memakai seragam dalam
menjalankan tugas.
29
4. Polisi Sebagai Ilmu Pengetahuan
Polisi bertugas memberikan ilmu pengetahuan kepada msyarakat umum tentang
hukum, memberikan penjelasan-penejelasan tentang penerapan undang-undang
agar masyarakat lebih taat dan mengerti hukum.
B. Tugas, Wewenang Dan Fungsi Kepolisian
1. Tugas Kepolisian
Tugas kepolisian dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu tugas represif dan tugas
preventif. Tugas represif ini adalah mirip dengan tugas kekuasaan executive, yaitu
menjalankan peraturan atau perintah dari yang berkuasa apabila telah terjadi
peristiwa pelanggaran hukum. Sedangkan tugas preventif dari kepolisian ialah
menjaga dan mengawasi agar peraturan hukum tidak dilanggar oleh siapapun.
Tugas utama dari kepolisian adalah memelihara keamanan di dalam negeri.
Dengan ini nampak perbedaan dari tugas tentara yang terutama menjaga
pertahanan negara yang pada hakikatnya menunjuk pada kemungkinan ada
serangan dari luar negeri. Sementara itu, dalam UU No.2/2002 Pasal 13 dijelaskan
bahwasannya tugas pokok kepolisian adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.11
11 Momo Kelana, Hukum Kepolisian (Perkembangan Di Indonesia) Suatu Studi Histories
Komperatif (jakarta: PTK, 1972), hlm. 43.
30
Selanjutnya pada Pasal 14 dijelaskan bahwasannya dalam melaksanakan tugas
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas:
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;a)memelihara ketertiban dan
menjamin keamanan umum;b)melakukan koordinasi, pengawasan, dan
pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil,
dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Mengenai ketentuan-ketentuan penyelidikan dan penyidikan ini, lebih jelasnya
telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
diantaranya menguraikan pengertian penyidikan, penyelidikan, penyidik dan
penyelidik serta tugas dan wewenangnya.
a. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
31
b. melindungi keselamatan jiwa raga,harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan
bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
d. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. melaksanakan tugas lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.12
2. Wewenang Kepolisian
Pasal 15 UU No.2/2002 menyatakan bahwasannya Dalam rangka
menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14
Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
a) menerima laporan dan/atau pengaduan;
b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa;
e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian;
12 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Kepolisian Republik
Indonesia, 8 Januari 2002 (Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia, 2002).
32
f) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan;
g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h) sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i) mencari keterangan dan barang bukti;
j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat;
l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan lainnya berwenang:
a) memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;
b) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c) memberikan surat izin mengemudikendaraan bermotor;
d) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam;
f) memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan;
g) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan
petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
33
h) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional;
i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
k) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, maka kepolisian
mempunyai wewenang yang telah diatur secara rinci pada pasal selanjutnya.
Seorang anggota polisi dituntut untuk menentukan sikap yang tegas dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya Apabila salah satu tidak tepat dalam
menentukan atau mengambil sikap, maka tidak mustahil aka mendapat
cercaan, hujatan, dan celaan dari masyarakat.
3. Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kata “fungsi‟ berasal dari bahasa inggris “function”. Menurut kamus webster,
“function”berarti performance; the special work done by an structure. Selain itu
menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No.79/1969 (lampiran 3), fungsi
adalah sekelompok pekerjaan kegiatan-kegiatan dan usaha yang satu sama lainnya
ada hubungan erat untuk melaksanakan segi-segi tugas pokok.13
13 Moylan, Pengertian kepolisian (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1953), hlm. 4.
34
C. Pengertian Penyidikan dan pengaturannya
1.Pengertian Penyidik
Kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Kepolisian cukup besar yaitu
salah satunya adalah kewenangan Penyidikan yang diberikan kepada Penyidik dan
Penyidik Pembantu Polri dalam menangani perkara tindak pidana umum (lex
generalis) maupun tindak pidana khusus (lex spesialis), Penyidik mempunyai
peranan penting dan merupakan ujung tombak dalam proses penegakan hukum
pidana. Kinerja penyidik berpengaruh besar dalam proses penanganan perkara
pidana, dalam Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang No.8/1981
tentang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa ada dua pejabat yang
berkedudukan sebagai penyidik, yaitu “Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Pada Pasal 1 Angka 3 KUHAP dikatakan bahwa “Penyidik Pembantu adalah
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang
tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini”
dan kewenangan Penyidikan tersebut tertuang dalam Pasal 7 KUHAP, sementara
tujuan dari Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penyidik Pembantu
tersebut bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban di dalam
masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan Pasal 13 UU No.2/2002 tentang
35
Kepolisian Ripublik Indonesia, dan berdasarkan Peraturan Kapolri No.1/2012
tentang Rekruitmen dan Seleksi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
penegakan hukum Penyidikan Tindak Pidana membutuhkan Penyidik dan
Penyidik Pembantu yang profesional dan proporsional serta berintegritas tinggi
oleh karena itu diharapkan dalam proses rekruitmen dan seleksi Penyidik dan
Penyidik Pembantu sudah seharusnya dilakukan secara bersih, transparan,
akuntabel dan humanis serta dilaksanakan pendidikan pengembangan spesialisasi
sehingga Penyidik dan Penyidik Pembantu memiliki standardisasi dan stratifikasi
dengan metode rekruitmen yang dinamakan assesment.
Penyidik adalah pejabat polisi yang diangkat secara khusus dan berpangkat cukup
tinggi. Pengertian Penyidikan menurut UU No.8/1981 tentang Hukum Acara
Pidana adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.14 Dan Berdasarkan pasal 21 UU No.26/2000 tugas penyidikan
dilakukan oleh Jaksa Agung dan ruang lingkup penyidikan kewenangan untuk
menerima laporan atau pengaduan. Secara garis besar, penyidikan adalah suatu
proses untuk mencaribukti-bukti yang menguatkan suatu tindak pidana serta
mencari tersangkanya. Tersangka sendiri itu adalah seseorang yang dianggap atau
diduga melakukan suatu tindak pidana.
14 Hamrat Hamid dan Harun Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana (Jakarta:
Rineka Cipta, 1991), Hlm. 19.
36
Ketika dalam proses penyidikan sudah terkumpul bukti-bukti yang menguatkan
maka penyidik akan mengirim BAP (berkas acara pemeriksaan) kepada kejaksaan
untuk kemudian kejaksaan membentuk penuntut umum yang kemudian membuat
surat dakwaan dan diajukan pada pengadilan negeri. Ketua pengadilan
membentuk majelis hakim yang bertugas memanggil terdakwa. Istilah penyidikan
dipakai sebagai istilah yuridis atau hukum pada tahun 1961 yaitu sejak dimuat
dalam Undang-undang No.13/1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kepolisian Negara. Penyidikan berasal dari kata “sidik” yang artinya terang. Jadi
panyidikan artinya membuat terang atau jelas. Walaupun kedua istilah
“penyidikan” dan “penyelidikan” berasal dari kata yang sama KUHAP
membedakan keduanya dalam fungsi yang berbeda, Penyidikan artinya membuat
terang .
D. Pengertian Penyidikan Polri
Penyidikan merupakan tahap awal dari proses penegakan hukum pidana atau
bekerjanya mekanisme sistem peradilan pidana (SPP). Penyidikan mempunyai
kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk menentukan
berhasil tidaknya proses penegakan hukum pidana selanjutnya. Pelaksanaan
penyidikan yang baik akan menentukan keberhasilan Jaksa Penuntut Umum
dalam melakukan penuntutan dan selanjutnya memberikan kemudahan bagihakim
untuk menggali/menemukan kebenaran materil dalam memeriksa dan mengadili
di persidangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
memberikan pengertian penyidikan sebagaimana yang di atur menurut Pasal 1
Angka 2 KUHAP, yaitu:
37
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dari pengertian di atas, kegiatan penyidikan merupakan upaya paksa yang
meliputi kegiatan untuk melakukan pemanggilan, penangkapan, penggeledahan,
dan penyitaan. Kegiatan di dalam penindakan pada dasarnya bersifat membatasi
kekebasan hak-hak seseorang dan perannya. Dalam melaksanakan kegiatan
penyidikan harus memperhatikan norma-norma hukum dan ketentuan-ketentuan
yang mengatur atas tindakan tersebut.
Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek)
yang seyogyanya di titik beratkan pada upaya pencarian atau pengumpulan “bukti
faktual” penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat di ikuti dengan
tindakan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan
yang di duga erat kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi. penyidikan adalah
suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan
pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan
bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut di
duga merupakan tindak pidana.dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan
dengan pengertian opsporing.
Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh
pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah
mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada
38
terjadi sesuatu pelanggaran hukum, Istilah lain yang dipakai untuk menyebut
istilah penyidikan adalah mencari kejahatan dan pelanggaran yang merupakan
aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu,
dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau di duga terjadinya suatu tindak
pidana.
Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh
penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana.
Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus
di usahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah
dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian siapakah pelakunya,
penyidikan itu dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang
pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya masih
sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau
tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya.
Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan
penuntutan,15 yaitu untuk menetukan dapat atau tidaknya suatu tindakan atau
perbuatan itu dilakukan penuntutan. Secara konkrit tindak itu disebut penyidikan
dapat diperinci sebagai tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk
mendapatkan keterangan tentang:
1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan,
2. Kapan tindak pidana itu dilakukan,
3. Di mana tindak pidana itu dilakukan,
4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan,
15 R. Soesilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil (Bogor: Politea, 1980), hlm. 21.
39
5. Bagaimana tindak tidana itu dilakukan,
6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan dan,
7. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.16
Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang pada
pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung mertabat individu yang dalam
persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting
dalam hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk
menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari
tindakan yang seharuskan dibebankan padanya. Oleh karena tersebut sering kali
proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang
cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis
diusahakan dari penghentian penyidikan.
Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang
dilakukan oleh Penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan,
penangkapan, penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam
ketentuan hukum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses penyidikan
itu dinyatakan selesai. Proses Penyidikan Polri dalam KUHAP Penyidikan mulai
dapat di laksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam instansi penyidik, dimana
penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa
tindak pidana.
16 Jan Remmelink, Hukum Pidana (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 23.
40
Berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan
wewenangnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan
KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya
bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut
maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum.
2. Aparat Penyidikan
Dalam proses penyidikan, yang berhak melakukan penyidikan adalah Pejabat
Penyidik. Seorang penyidik melakukan penyidikan adalah dalam usaha
menemukan alat bukti dan barang bukti, guna kepentingan penyidikan dalam
rangka membuat suatu perkara menjadi jelas/terang dan untuk mengungkap atau
menemukan tersangka kejahatan. Dalam Pasal 1 Butir ke-1 KUHAP dijelaskan
pengertian penyidik. ”Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan”.17
E. Aturan Kredit Kendaraan Bermotor
1. Uang Muka
Uang muka atau DP merupakan komponen yang sangat penting dalam peraturan
mengenai penentuan uang muka sudah ditetapkan oleh Bank indonesia dan
tercantum dalam surat edaran No. 15 sejak tahun 20113. Jika anda melakukan
kredit melalui bank, maka anda harus membayar uang muka sebesar 25 persen
17 Herbert L. Packer, The Limit Of The Criminal Sunction (California: Stanford University Press,
1968), hlm. 174.
41
dari harga kendaraan bermotor yang ingin dibeli. Untuk kendaraan roda empat
uang muka yang dibebankan lebih besar yaitu 30 persen dari harga kendaraan.
Hal ini berlaku untuk setiap pembelian kendaraan nonproduktif yang artinya
kendaraan digunakan secara pribadi, bukan untuk transportasi umum atau mobil
dinas. Ketentuan uang muka akan berbeda apabila kendaraan digunakan untuk
tujuan produktif dengan uang muka sebesar 20 persen dari harga. Peraturan kredit
dari leasing berbeda dengan bank karena uang muka yang ditetapkan adalah
sebesar 20 persen dari harga motor dan 25 persen untuk kendaraan roda empat.
2. Jaminan Fidusia
a. Pengertian
Fidusia berasal dari kata fiduciair atau fides, yang artinya kepercayaan, yaitu
penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan)
bagi pelunasan piutang kreditor. Fidusia sering disebut dengan istilah FEO, yang
merupakan singkatan dari Fiduciare Eigendom Overdracht. Penyerahan hak milik
atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu,
di mana memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia
(kreditor) terhadap kreditor – kreditor lainnya.
Pranata jaminan fidusia telah diberlakukan sebelumnya di dalam masyarakat
hukum romawi. Ada dua bentuk jaminan fidusia di dalam masyarakat hukum
romawi ini, yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico. Kedua bentuk
jaminan fidusia ini timbul karena perjanjian yang disebut dengan pactum fiduciae
42
yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cession.18 Pengertian
fidusia dinyatakan dalam Undang-Undang No 42/1999 Pasal 1 Angka 1, bahwa:
fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda.
Pengertian jaminan fidusia terdapat dalam Pasal 1 Angka 2 UUJF yang
menyatakan, bahwa: jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia
terhadap kreditor lainnya.19
Jaminan fidusia merupakan jaminan kepercayaan yang berasal dari adanya suatu
hubungan perasaan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya yang mana
mereka merasa aman, sehingga tumbuh rasa percaya terhadap teman interaksinya
tersebut, untuk selanjutnya memberikan harta benda mereka sebagai jaminan
kepada tempat dimana mereka berhutang.20
18 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 113-114. 19 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002), hlm. 3. 20 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002), hlm. 64.
43
b. Sifat Lembaga Jaminan fidusia
Jaminan Fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima jaminan fidusia, yaitu
hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak ini tidak dihapus karena
adanya kepailitan atau likuidasi dari pemberi jaminan fidusia. Pasal 4 Undang-
Undang No. 42/1999 juga secara tegas telah menyatakan bahwa “jaminan fidusia
merupakan perjanjian asesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu yang dapat
dinilai dengan uang.”21
Sebagai suatu perjanjian asesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai
berikut:
1) Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok.
2) Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok.
3) Sebagai perjanjian bersyarat, maka dapat dilaksanakan jika ketentuan yang
disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.
Selain dari sifat-sifat yang telah dipaparkan di atas, jaminan fidusia juga memiliki
sifat sebagai berikut:
1) Sifat Mendahului (Droit de Preference) Dalam Jaminan Fidusia.
Jaminan fidusia dengan prinsip ini adalah hak yang didahuluan didalam prinsip ini
maksudnya adalah hak pnenerima jaminan fidusia untuk mengambil pelunasan
piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak
21 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Op. Cit., hlm. 131.
44
untuk mengambil pelunasan ini mendahului hak-hak kreditor lainnya. Bahkan
sekalipun pemberi jaminan fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi, hak yang
didahulukan dari penerima jaminan fidusia tidak hapus karena benda yang
menjadi objek jaminan fidusia tidak temasuk ke dalam harta pailit pemberi
jaminan fidusia, dengan demikian penerima jaminan fidusia tergolong kedalam
kelompolk kreditor separatis.
2) Sifat Droit de Suite Dalam Jaminan Fidusia.
Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam
tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda
persediaanyang menjadi objek jaminan fidusia. Ketentuan ini merupakan
pengakuan atas prinsip droid de suite yang telah merupakan bagian dari peraturan
perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak kebendaan.
c. Pengalihan dan Hapusnya Lembaga Jaminan Fidusia
1) Pengalihan Jaminan Fidusia
Sebagaima diketahui bahwa suatu piutang dapat saja dialihkan kepada pihak lain
dengan jalan cessie piutang. Pasal 19 Undang-Undang Jaminan Fidusia
menentukan bahwa piutang dialihkan kepada pihak lain, maka fidusia menjamin
hutang tersebut juga ikut beralih kepada pihak yang menerima pengalihan fidusia.
Pihak penerima fidusia berahli secara hukum kepada penerima pengalihan piutang
tersebut. Hal ini juga sesuai dengan prinsip perjanjian jaminan fidusia sebagai
perjanjian yang asseoir, yaitu mengikuti perjanjian piutang (perjanjian pokok).
Peralihan tersebut didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran
Fidusia.
45
Prinsip pemberian fidusia tidak boleh mengalihkan benda Objek jaminan fidusia
mengingat Undang-Undang No.42/1999 masih menganggap ada pengalihan hak
(secara constitutum posesorium) atas benda jaminan fidusia kepada pihak
penerima fidusia.22 Pihak pemberi fidusia tidak berwenang lagi untuk
mengalihkan benda tersebut kecuali atas larangan tersebut dibuka dan dibenarkan
secara tertulis oleh pihak penerima fidusia atau jika benda Objek Jaminan Fidusia
adalah benda persediaan dimana dalam hal ini permberi fidusia masih dapat
mengalihkan benda Objek Jaminan Fidusia menurut cara-cara dan prosedur yang
lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.23
Melindungi pihak penerima fidusia sebagai yang dijaminkan hutangnya dalam hal
pemegang fidusia mengalihkan benda persediaan, maka pemberi fidusia
diwajibkan mengganti benda persediaan yang telah dialihkan tersebut dengan
benda yang setara. Dalam hal ini setara dalam arti jenis maupun nilainya. Namun
apabila terjadi wanprestasi oleh debitur, maka:
a) Benda persediaan yang menjadi objek fidusia tidak dapat dialihkan lagi.
b) Hasil pengalihan dan/atau tagihan yang timbul karena pengalihan demi
hukum menjadi Objek Jaminan Fidusia pengganti dari Objek Fidusia yang
telah dialihkan.
Proses pemberhentian pengalihan barang persediaan sebagai Jaminan Fidusia ini
bila terjadi wanprestasi disebut dengan proses “kristalisasi”. Jika benda persediaan
objek fidusia tersebut dialihkan kepada pihak ketiga maka pembeli benda
22 Sri Soedewi Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional,
1980), hlm. 14. 23 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hlm. 148.
46
persediaan tersebu bebas dari tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahui
tentang adanya Jaminan Fidusia tersebut.
2) Hapusnya Jaminan Fidusia
Jaminan fidusia merupakan perjanjian asesoir dari perjanjian dasar yang
menerbitkan kewajibkan bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sebagai
suatu perjanjian asesoir, jaminan fidusia ini demi hukum hapus bila hutang pada
perjanjian pokok yang menjadi sumber lahirnya perjanjian penajminan fidusia
atau hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia dihapus. Hapusnya jaminan
fidusia adalah tidak berlakunya lagi jaminan fidusia. Ada 3 sebab hapusnya
jaminan fidusia yaitu:
a) Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia. Yang dimaksud hapusnya
hutang adalah antara lain karena pelunasan dan bukti hapusnya hutang berupa
keterangan yang dibuat kreditur.
b) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia.
c) Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim
asuransi.24 Sifat ikatan dari jaminan fidusia tergantung pada adanya piutang yang
dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya hutang
atau karena pelepasan, maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang
bersangkutan menjadi hapus.
24 Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), hlm. 88.
47
Hapusnya hutang ini antara lain dibuktikan dengan bukti pelunasan atau bukti
hapusnya hutang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditor. Pelepasan hak atas
jaminan fidusia oleh penerima fidusia hak jaminan diberikan kepada kreditur
penerima fidusia yang memperjanjikan hal tersebut. Hak tersebut diberikan untuk
melindungi kepentingan penerima fidusia. Jadi, bahwa hak untuk melepaskan hak
jaminan fidusia adalah kreditur penerima fidusia.
Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusa juga tidak menghapuskan
klaim asuransi, dan tidak diperjanjikan lain. Jadi jika benda yang menjadi objek
jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan maka klaim asuransi
akan menjadi pengganti objek jaminan fidusia tersebut. Bahwa jaminan fidusia
yang hapus adalah jaminan fidusia atas”benda jaminan yang musnah”.25
Benda yang musnah merupakan bagian dari sekelompok benda jaminan fidusia,
maka untuk benda-benda jaminan yang selebihnya tidak musnah atau tetap
berlaku. Apabila hutang dari pemberi jaminan fidusia telah dilunasi, maka
menjadi kewajiban bagi penerima jaminan fidusia, kuasanya, ataupun wakilnya
untuk memberitahukan secara tertulis kepada kantor pendaftaran fidusia mengenai
hapusnya jaminan fidusia yang disebabkan karena hapusnya hutang pokok.
Pemberitahuan itu dilakukan paling lambat 7 hari setelah hapusnya jaminan
fidusia yang bersangkutan dengan dilampiri dokumen pendukung tentang
hapusnya jaminan fidusia.26
25 Thomas Suyatno, Himpunan Karya Tentang Hukum Jaminan (Yogyakarta: Gramedia, 1982),
hlm. 48. 26 Salim H. S, Op. Cit., hlm. 88-89.
48
Diterimanya surat pemberitahuan, maka ada 2 hal yang dilakukan oleh kantor
pendaftaran fidusia, yaitu:
a) Pada saat yang sama mencoret pencatatan jaminan fidusia dari buku daftar
fidusia.
b) Pada tanggal yang sama dengan tanggal pencoretan jaminan fidusia dari
buku daftar fidusia, kantor pendaftaran fidusia menerbitkan surat keterangan
yang menyatakan “sertifikat jaminan fidusia tidak berlaku lagi”.
Terkait penjelasan tersebut dalam Undang-Undang No 42/1999 tentang fidusia
disebutkan pula, bahwa Undang-Undang ini menganut larangan milik beding,
yang berarti setiap janji memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk
memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji,
yaitu batal demi hukum.
Hapusnya fidusia karena musnahnya hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia
adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian jaminan fidusia yang merupakan
perjanjian ikatan (accesoir), terhadap perjanjian pokoknya berupa perjanjian
utang-piutang. Jadi jika perjanjian utang-piutang atau utangnya lenyap karena
alasan apapun maka jaminan fidusia sebagai ikatannya ikut lenyap juga.
Hapusnya jaminan fidusia karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh
penerima fidusia juga wajar, mengingat pihak penerima fidusia sebagai yang
memiliki hak atas jaminan fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau
melepaskan hak itu.
49
Hapusnya fidusia akibat musnahya barang jaminan fidusia tentunya juga wajar,
meningat tidak ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan jika benda yang
dijadikan objek jaminan fidusia tersebut sudah tidak ada. Mengenai musnahnya
benda yang menjadi objek jaminan fidusia, Pasal 25 Ayat (2) Undang-Undang
Jaminan Fidusia mengatur sebagai berikut, “Musnahnya benda yang menjadi
objek jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana diaksud
dalam pasal 10 huruf b.”
Penjelasan atas pasal 25 Ayat (2) UUJF menyatakan, “Dalam hal benda yang
menjadi objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan, maka
klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan fidusia tersebut.”
Penjelasan pasal tersebut sudah jelas menentukan bahwa klaim asuransi yang
diterima akan menjadi pengganti objek jaminan fidusia. Selain itu, Pasal 25 Ayat
(3) menyatakan ketentuan sebagai berikut, Penerima fidusia memberitahukan
kepada kantor pendaftaran fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dengan melampirkan pernyataan mengenai
hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi objek
jaminan fidusia tersebut.
Prosedur tertentu yang harus ditempuh manakala suatu jaminan fidusia hapus,
yaitu harus dilakukan pencoretan pencatatan jaminan fidusia dikantor pendaftaran
fidusia. Selanjutnya kantor pendaftaran fidusia menerbitkan surat keterangan yang
menyatakan bahwa sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan dinyatakan tidak
berlaku lagi. Dalam hal ini, pencatatan jaminan fidusia tersebut dicoret dari buku
daftar fidusia yang ada di kantor pendafaran fidusia.
50
F. Kaitannya Hukum Pidana Dengan Jaminan Fidusia
Dalam perkembangan hukum dewasa ini, antara hukum pidana dan hukum
perdata termuat dalam suatu ketentuan perundang-undangan seperti Undang-
Undang No.42/1999 tentang fidusia juga memuat sanksi pidana, sesuai ketentuan
dalam Pasal 35. Meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana.27 Hukum pidana sebagai
hukum publik mempunyai hubungan yang erat dengan perdata dan hukum
administrasi, bahkan menurut Hazewinkel-Suringga sebagaimana dikutip oleh
Wirjono Prodjodikono bahwa “Tidak pernah dapat dikatakan secara tepat, dimana
letak batas antara hukum pidana dan hukum perdata, antara hukum pidana dan
hukum pendidikan, antara hukum pidana dan hukum administrasi.”28
Hukum pidana mempunyai kedudukan istimewa, yang harus diberi tempat
tersendiri diluar kelompok hukum publik dan hukum privat. Hukum pidana
memberi sanksi istimewa, baik atas pelanggaran privat maupun atas pelanggaran
hukum publik, hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh
peraturan-peraturan hukum privat maupun peraturan-peraturan hukum publik,
hukum pidana melindungi kedua macam kepentingan itu dengan membuat sanksi
istimewa, hukum pidana dan hukum perdata berjalan seimbang.
27 http:// staff.unila.ac.id/eddyrifai 28 Widjono Prodjodikono, Asas-Azas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: Refika Aditama,
2003), hlm. 17-18.
51
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan masalah
Pendekatan masalah yang penulis gunakanadalah dengan menggunakan dua
metode pendekatan, yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan
secara yuridis empiris.
1. Pendekatan secara yuridis normatif Yaitu suatu langkah pendekatan yang
dilakukan dengan cara mempelajari ketentuan dan kaidah berupa aturan
hukumnya atau ketentuan hukum yang ada hubungannya dengan judul skripsi
ini dan berhubungan dengan permasalahan yang di bahas.
2. Pendekatan secara yuridis empiris Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan
mengadakan hubungan langsung terhadap pihak-pihak yang dianggap
mengetahui hal-hal yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang di
bahas dalam skripsi ini. pendekatan empiris dilakukan dengan cara
meperhatikan atau melihat perilaku-perilaku atau gejala-gejala hukum dan
pristiwa hukum yang terjadi di lapangan.
52
B. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa:
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara lisan dari pihak-pihak yang terkait
dalam pennelitian ini melalui wawancara. Pengumpulan data primer dilakukan
dengan mengunakan teknik wawancara terhadap Pihak kepolisian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah sebuah publikasi hukum yang bukan berupa dokumen-
dokumen resmi, publikasi hukum Berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar termasuk skripsi dan tesis data yang
diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan cara melakukan studi
kepustakaan, yaitu dengan melakukan studi dokumen dan arsip dan literatur
dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis yang berkaitan dengan pokok
penulisan serta ilmu pengetahuan hukum mengikat yang terdiri dari bahan hukum
antara lain :
a) Bahan Hukum Primer bahan–bahan Hukum yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat seperti perundang-undangan dan peraturan-peraturan
lainya yang terdiri dari:
1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang pembentukan Kitab undang-undang hukum
Pidana
2) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
53
3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia.
4) Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
5) PP No. 27 Tahun 1983 jo PP No.58 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
KUHAP.
b) Bahan Hukum Sekunder bahan-bahan yang erat kaitanya dengan bahn
hukum primer, yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan
hukum primer, terdiri dari buku-buku, literature, dan hasil penelitian yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
c) bahan-bahan penunjang lain yang ada relevansinya dengan pokok
permasalahan, memberikan informasi, petunjuk dan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, bukann merupakan bahan hukum, secara
signifikan dapat dijadikan bahan analisa terhadap penerapan kebijakan
hukum dilapangan, seperti kamus besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia,
majalah, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainya yang sifatnya
seperti karya ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini.
54
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah pihak-pihak yang menjadi sumber informasi dalam suatu
penelitian dan memiliki pengetahuan serta informasi yang dibutuhkan sesuai
dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber dalam penelitian ini sebagai
berikut :
1. Penyidik Kepolisian daerah Lampung 1 orang
2. Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung 1 orang+
Jumlah : 2 orang
D. Metode Pengumupulan Dan Pengolahan Data
1. Prosedur pengumpulan data
Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini ditempuh
prosedur sebagai berikut:
a) Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah mengumpulkan data yang
dilakukan dengan cara membaca, mengutip, mencatat dan memahami
berbagi litertur yang ada hubunnganya dengan materi penelitian, berupa
buku-buku, peraturan perundang-undangan, majalah-majalah, serta
dokumen lain yang berhubungan denga masalah yang dibahas.
b) Studi Lapangan Studi Lapangan adalah mengumpulkan data dengan
penelitian langsung pada tempat atau objek penelitian yang dilakukan
dengan wawancara kepada para informan yang sudah ditentukan.
55
2. Pengolahan Data
Data yang terkumpul, diolah melalui pengolahan data dengan tahap-taha sebagai
berikut:
a) Identifikasi
Identifikasi yaitu mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan upaya
kepolisian dalam penyidikan penjualan kendaraan bermotor kredit macet melalui
jejaring sosial.
b) Editing
Editing yaitu meneliti kembali data yang diperoleh dari keterangan para
responden maupun dari kepustakaan, hal ini perlu untuk mengetahui apakah data
tersebut sudah cukup dan dapat dilakukan untuk proses selanjutnya. Semua data
yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang ada dalam
penulisan ini, editing dilakukan pada data yang sudah terkumpul diseleksi dan
diambil data yang diperlukan.
c) Klasifikasi Data
Klasifikasi Data yaitu menyusun data yang diperoleh menurut kelompok yang
telah ditentukan secara sistematis sehingga data tersebut siap untuk dianalisis.
d) Penyusunan Data
Sitematis Data yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dam data tersebut
dapat dianalisa menurut susunan yang benar dan tepat.
56
e) Penarikan Kesimpulan
Penarikan Kesimpulan yaitu langkah selanjutnya setelah data tersusun secara
sitematis, kemudian dilanjutkan dengan penarikan suatu kesimpulan yang bersifat
umum dari datum yang bersifat khusus.
E. Analisis Data
Pada tahap ini data yang di peroleh dilakukan analisis secara kualitatif yang
artinya hasil dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat
yang mudah di baca dan di mengerti untuk di interprestasikan dan di tarik
kesimpulan mengenai upaya kepolisian dalam penyidikan penjualan kendaraan
bermotor kredit macet melaluui jejaring sosial, dari hasil analisis tersebut
sehingga di peroleh gambaran yang jelas tentang masalah yang di teliti, dari hasil
ini dapat di lanjutkan dengan menarik kesimpulan secara indukatif yaitu cara
berfikir dan mengambil kesimpulan secara umum yang di dasarkan atas fakta-
fakta yang bersifat khusus dan selanjut nya dari berbagai kesimpulan tersebut
dapat di ajukan saran.
72
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan, maka dapat dibuat
simpulan sebagai berikut:
Upaya Kepolisian sendiri memiliki makna atau arti usaha yang dilakukan oleh
pihak kepolisian dan Penyidikan sendiri merupakan tahap awal dari proses
penegakan hukum pidana atau bekerjanya mekanisme sistem peradilan pidana
(SPP).
1. Upaya kepolisian dalam penyidikan penjualan kendaraan bermotor kredit macet
melalui jejaring sosial adalah:
Setelah melakukan serangkaian upaya upaya yang dilakukan kepolisian dan upaya
yang paling terpenting dan harus dijalani oleh kepolisian dalam proses penyidikan
penjualan kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring sosial harus sesuai
dengan prosedur sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah sebagai berikut :
73
a. Penangkapan
Pengertian penangkapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat 20 KUHAP
yaitu: Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan.
b. Penggeledahan
Penggeledahan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 32 sampai
dengan Pasal 37 KUHAP, untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang
untuk melakukan penggeledahan terhadap rumah, pakaian dan badan. Adapun
tujuan dilakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti, dan sekaligus
untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka.
c. Penyitaan
Pelaksanaan penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana dapat
dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu adanya
suatu pembatasan-pembatasan dalam penyitaan, antara lain keharusan adanya izin
ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan
hanya atas benda bergerak, dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua
Pengadilan Negeri setempat guna mendapat persetujuan. Penyitaan terhadap
barang bukti diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP dimana
penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik hanya dapat dilakukan
dengan surat izin dari ketua Pengadilan Negeri setempat.
74
d. Penahanan
Penahanan merupakan salahsatu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak
seseorang. Jadi disini terdapat pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak
seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati disatu pihak
dan kepentingan ketertiban umum dilain pihak yang harus dipertahankan untuk
orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka, ketentuan mengenai
penahanan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 20 sampai
dengan Pasal 31 KUHP.
2. Faktor penghambat kepolisian dalam melakukan penyidikan penjualan
kendaraan bermotor kredit macet yaitu:
a. Faktor Hukum
Ketentuan pidana soal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang jaminan Fidusia. Peraturan perundang-undangan yang menyangkut upaya
kepolisian dalam penyidikan penjualan kendaraan bermotor kredit melalui jejaring
sosial mempunyai beberapa kelemahan yang terletak pada substansi peraturan
perundang-undangan, sehingga memungkinkan terjadinya ketimpangan dalam
proses penyidikan.
b. Faktor Penegakan Hukum
Yang menjadi penghambat dalam upaya penyidikan kendaraan bermotor kredit
macet melalui jejaring sosial adalah kurangnya respon pihak terkait atas adanya
laporan dari masyarakat serta kurangnya koordinasi dari pihak terkait, salah satu
kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentaitas atau kepribadian
penegak hukum.
75
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat
keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang
diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional,
sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya,
diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana
khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut
karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap.
Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas
dan banyak.
d. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
di dalam masyarakat. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap
hukum, merupakan salah satu indikator fungsinya hukum yang bersangkutan.
e. Faktor Kebudayaan
Berdaasarkan konsep kebudayaang sehari-hari, orang begitu sering membicarakan
soal kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang
perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan
apa yang dilarang.
76
B. Saran
Adapun saran yang diberikan penulis berkitan dengan analisis upaya kepolisian
dalam penyidikan penjualan kendaraan bermotor kredit macet melalui jejaring
sosial adalah sebagai berikut
1. Kepolisian diharapkan dapat memaksimalkan dalam melakukan proses
penyidikan penjualan kendaraan bermotor kredit macet.
2. Untuk pihak masyarakat diharapkan untuk lebih mengerti dan paham akan
hukum dan resiko yang diterima jika melanggar hukum.
77
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Literatur
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 995.
Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hamid, Hamrat, Harun Husein. 1991. Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses
Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Harahap, M Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan. cet VII. Jakarta: Sinar Grafika.
Kelana, Momo. 1972. Hukum Kepolisian (Perkembangan Di Indonesia) Suatu
Studi Histories Komperatif . jakarta: PTK.
Moylan. 1953. Pengertian kepolisian. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Ngajenan, Muhammad. 1990. Kamus Etismoogi Bahasa Indonesia. Semarang:
Dahara Prize.
Nurwidiatmo. 2011. Kompilasi Bidang Hukum Tentang Leasing. Jakarta: BPHN.
Packer, Herbert L. 1968. The Limit Of The Criminal Sunction. California:
Stanford University Press.
Prakoso, Djoko. 1987. Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum. Jakarta:
Bina Aksara.
Prinst, Darwin. 1989. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan.
Prodjodikono, Widjono. 2003. Asas-Azas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:
Refika Aditama.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
S, Salim H. 2014. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
78
Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono dkk. 1998. Penanggulangan Pencurian Kendaraan Suatu
Tindakan Kriminologi. Jakarta: Bina Aksara.
Soesilo, R. 1980. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bogor: Politea.
Sofwan, Sri Soedewi. 1980. Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Badan
Pembina Hukum Nasional.
Suyatno, Thomas. 1982. Himpunan Karya Tentang Hukum Jaminan. Yogyakarta:
Gramedia.
Widjaja, Gunawan, Ahmad Yani. 2005. Jaminan Fidusia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Republik Indonesia.
Lain-lain
Romi Rinando, Jual Motor Kosongan Wilayah Lampung Marak Berseliweran di
Facebook. https://lampung.tribunnews.com/2017/01/27/jual-motor-
kosongan-wilayah-lampung-marak-berseliweran-di-facebook?page=4,
diakses pada tanggal 11 April 2019 pukul 14:15 WIB.
http:// staff.unila.ac.id/eddyrifai