unud 12 1539426935 bab i final pendahuluan

14
1 BAB I PENDAHULUAN Bab Pendahuluan ini memuat empat uraian utama. Pertama, Latar Belakang. Didalamnya dibicarakan tentang perkembangan arsitektur pada umumnya sampai dengan arsitektur di Kota Denpasar yang semakin padat, plural, dan multikultur. Beragamnya penduduk Kota Denpasar juga mewarnai keragaman arsitekturnya. Arsitektur bangunan ibadah bagi umat Muslim yang tampil dengan corak Arsitektur Tradisional Bali (ATB) menjadi fokus penelitian ini. Kedua, Rumusan Masalah. Didalamnya disajikan tiga rumusan masalah yang menjadi titik berangkat serta dicarikan jawabnya dalam penelitian ini. Ketiga, Tujuan Penelitian. Didalamnya dijelaskan dua macam tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Keempat, Manfaat Penelitian. Didalamnya dijelaskan tentang manfaat teoretis dan manfaat praktis. Uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian disajikan secara lebih rinci dalam empat subbab dibawah ini. 1.1 Latar Belakang Hollingsworth (1995: i) menyatakan bahwa Arsitektur abad ke-20 bagi para arsitek yang dalam posisinya berperan sebagai penentu dalam membentuk lingkungan tempat mereka tinggal, memiliki kesempatan yang berlebihan untuk meniadakan paham sejarah dan melakukan pencaharian langgam sebagai simbol era modern. Mereka bereksperimen dengan bahan–bahan baru dan metode

Upload: ristiani-hotimah

Post on 31-Jul-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab Pendahuluan ini memuat empat uraian utama. Pertama, Latar

Belakang. Didalamnya dibicarakan tentang perkembangan arsitektur pada

umumnya sampai dengan arsitektur di Kota Denpasar yang semakin padat, plural,

dan multikultur. Beragamnya penduduk Kota Denpasar juga mewarnai keragaman

arsitekturnya. Arsitektur bangunan ibadah bagi umat Muslim yang tampil dengan

corak Arsitektur Tradisional Bali (ATB) menjadi fokus penelitian ini. Kedua,

Rumusan Masalah. Didalamnya disajikan tiga rumusan masalah yang menjadi

titik berangkat serta dicarikan jawabnya dalam penelitian ini. Ketiga, Tujuan

Penelitian. Didalamnya dijelaskan dua macam tujuan, yaitu tujuan umum dan

tujuan khusus. Keempat, Manfaat Penelitian. Didalamnya dijelaskan tentang

manfaat teoretis dan manfaat praktis. Uraian tentang latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian disajikan secara lebih rinci

dalam empat subbab dibawah ini.

1.1 Latar Belakang

Hollingsworth (1995: i) menyatakan bahwa Arsitektur abad ke-20 bagi para

arsitek yang dalam posisinya berperan sebagai penentu dalam membentuk

lingkungan tempat mereka tinggal, memiliki kesempatan yang berlebihan untuk

meniadakan paham sejarah dan melakukan pencaharian langgam sebagai simbol

era modern. Mereka bereksperimen dengan bahan–bahan baru dan metode

Page 2: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

2

konstruksi yang berbeda, kaya dengan kreasi di pelbagai macam bangunan.

Beberapa di antaranya dibuat dengan selera yang amat tinggi, dan ada pula yang

hanya menampilkan fungsi belaka.

Arsitektur Posmodern melihat kegagalan Arsitektur Modern yang

menekankan konsep kesatuan dan keseragaman, gagal meningkatkan harkat

manusianya. Desain arsitektur terpasung oleh adanya standar dan produksi massal

oleh kaum industri-kapitalis di era modernisme yang ditolak oleh posmodernisme.

Arsitektur terhempas ke dalam era kekuasaan para produsen yang melahirkan

produk akibat kemajuan IPTEK. Arsitektur kembali ke pangkuan industri.

Jika di era modernisme, fungsi menjadi yang terutama dengan bentuk yang

seragam, kini di posmodernisme, fungsi dan bentuk semakin beragam. Sebuah

bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkannya,

mengatakan apa yang ingin dikatakannya sehingga terdengar apa yang ingin

disampaikan oleh bangunan tersebut, demikian ujar arsitek dunia Charles Moore

(1973:243).

Arsitektur posmodern memberikan kebebasan manusia dalam

mengekspresikan petanda dan penanda yang akhirnya kesulitan dalam penafsiran

makna. Kepalsuan menjebak panca indra manusia karena rasionalitas dieliminasi

oleh pragmatisme. Dengan demikian, perbincangan arsitektur tidak hanya

mengenai ranah bentuk dan fungsi saja namun juga tentang tanda, simbol, dan

makna. Intinya adalah menuju kemajemukan yang dimaknai dari keberadaan

manusia sebagai makhluk individu yang memiliki beragam keinginan dan

kebutuhan. Itulah yang terjadi di seputar arsitektur posmodern. Kebebasan yang

Page 3: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

3

diperoleh, yaitu pengulangan masa lalu “klasik” dengan modern atau modern

dengan neomodern dengan muatan klasik, dan sebagainya.

Arsitektur di Indonesia, (Wijayanti, 2009:58) pada awal abad ke-21 adalah

hiruk pikuk. Maksud dari hiruk pikuk tersebut adalah bahwa perkembangannya

sangat beragam, ada yang berkembang dari potensi sendiri (arsitektur tradisi), ada

pula yang dicomot atau diboyong dari luar negeri. Pangarsa (2009:89)

menggambarkan bahwa perkembangan arsitektur di Indonesia tidak ditentukan

oleh dunia pendidikan atau keilmuan tetapi oleh kekuasaan, dunia dagang, dan

politik. Bahkan menurut pendapatnya, pada masa yang lalu proses arsitektur juga

memiliki persamaan. Tradisi vernakular di seluruh nusantara menerima difusi

praksis arsitektur melalui penyebaran Hindu dan Budha yang dianut oleh para raja

yang terwujud dalam bangunan candi sebagai contohnya.

Mencermati deskripsi di atas, Bali mengalami perkembangan arsitektur yang

sama dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Percampuran karena

pengaruh berbagai kebudayaan yang singgah ke Bali diolah dan dikemas sesuai

dengan tuntutan ruang dan waktunya. Kreativitas sekaligus inovasi yang

dilakukan dibingkai oleh adat dan agama yang diyakini, yaitu Hindu dan para raja

yang berkuasa. Kekuasaan yang berpusat pada raja meninggalkan warisan

arsitektur yang hingga kini masih dapat dijumpai dan dikembangkan oleh

masyarakat di Bali. Arsitektur hingga saat ini masih dijumpai dengan sedikit

perubahan yang disebut sebagai ATB.

ATB sebagai proses dan produk sejarah dan budaya merupakan rangkaian

sistem yang saling berhubungan di antara ke tiga wujud kebudayaan (sistem

Page 4: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

4

budaya, sistem sosial, dan wujud fisik). Pernyataan tersebut di atas dapat diartikan

bahwa arsitektur di Bali tumbuh dan berkembang karena adanya saling-silang

hubungan di antara ketiga wujud kebudayaan yang dilakukan oleh manusia.

Manusia merupakan objek sekaligus subjek dalam menghadapi berbagai

tantangan akibat dari ketiga wujud kebudayaan. Perkembangan sekaligus

perubahan adalah upaya manusia untuk mempertahankan hidupnya. Salah satunya

adalah melalui arsitektur. Perubahan demi perubahan, baik yang dilakukan secara

sadar maupun secara tidak sadar melalui proses adaptasi, akulturasi, negosiasi,

dan oleh manusia yang telah lama atau yang baru tinggal di Bali.

Di satu pihak, manusia sebagai individu dan kelompok yang hidup dan

tinggal di Bali menjadi pembela, penerus nilai-nilai ATB dan perlu dipertanyakan

apakah karena bentuk, fungsi, estetika, dan keunikannya. Sejalan dengan

pandangan Koentjaraningrat (1996:118) yang menyebutkan bahwa tingkah laku

manusia bukan disebabkan oleh ciri ras yang berbeda, melainkan oleh tempat

manusia itu bergaul dan beriteraksi. Atau dapat pula disebutkan bahwa ATB

bukan hanya menerima pengaruh budaya lainnya tetapi juga memberi pengaruh

kepada budaya lainnya. Saling silang ini menjadikan berbagai kekhasan dan

“keunikan” atau juga lahirnya bentuk, fungsi, dan makna baru.

Arsitektur bukanlah sekedar wujud fisik belaka. Arsitektur juga dapat

menggambarkan gagasan, nilai, sistem sosial, serta dapat juga merupakan tanda

sekaligus simbol kebudayaan, zaman, dan langgam atau gaya. Pandangan senada

disampaikan oleh Danesi (2010:326) bahwa bangunan sebagai produk arsitektur

antara lain merupakan tanda identitas, status, dan kekuasan.

Page 5: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

5

Di era bebas batas ini saling silang pengaruh semakin deras dan menjadi

sulit dibendung. Memperkuat budaya lokal yang cenderung minoritas dalam

menghadapi budaya dunia yang mayoritas adalah sebuah upaya agar tidak

tercerabut dari peta budaya dunia. Arsitektur pascamodern memberi peluang

kepada para arsitek untuk menengok dan mengangkat kembali arsitektur tradisi.

Dengan demikian, arsitektur menjadi duta bagi bangsa, negara, bahkan juga etnis

tertentu. Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah identitas sekaligus simbol

Arsitektur adalah media yang paling mudah untuk menampilkan atau

mengenalkan identitas. Pencarian identitas atau jati diri dalam arsitektur oleh

Budihardjo (2009:7-8) disebutkan pada hakikatnya bukanlah merupakan proses

divisive, melainkan integrative, bagaikan jejak yang ditinggalkan oleh peradaban

sepanjang sejarah masyarakatnya. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa dalam

pencarian identitas ada usaha untuk menggali makna dan simbol dari aspek-aspek

yang teraga (tampak) dan yang nir-teraga (tidak tampak) untuk diungkap dan

diolah kembali dalam perwujudan baru. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa

dinamika arsitektur adalah juga dinamika identitas.

Problematik yang selalu muncul adalah ketika persoalan pencarian identitas

tersebut akan selalu berjumpa dengan ranah milik. Pengakuan terhadap milik dari

suatu komunitas terhadap identitas, seperti simbol, tanda, dan lainnya dalam

masyarakat plural akan menjadi arena konflik. Terlebih-lebih bila menyentuh

wilayah kepercayaan, agama, dan etnis. Arsitektur yang diyakini sebagai salah

satu media yang memuat simbol dan makna sekaligus sebagai suatu identitas

Page 6: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

6

menjadi ladang pencaharian tiada henti. Kata kuncinya terletak pada kreativitas

dan inovasi yang tiada henti.

Saling mempengaruhi dalam arsitektur tersebut apakah dari milik komunitas

minoritas ke mayoritas atau sebaliknya, telah mampu memberi warna ATB hingga

kini. Berbagai pengaruh Arsitektur Asing dalam ATB, seperti China, Belanda,

Arab, India, Thailand, dan lain-lainnya melalui wujud, struktur, bahan, pewarnaan,

dan ornamen, dari waktu ke waktu seolah-olah telah menjadi miliknya.

Sebaliknya demikian pula, beberapa unsur ATB ada yang memengaruhi fungsi–

fungsi baru terhadap bangunan perkantoran, sekolah, hotel, vila, dan bangunan

ibadah.

Khusus pada bangunan ibadah, seperti gereja sebagai representasi komunitas

Kristiani dan masjid yang dipandang sebagai representasi dari komunitas Muslim

khususnya di Bali perkembangannya sangat beragam. Masuknya pengaruh berupa

diterimanya unsur-unsur ATB merupakan pertemuan berbagai unsur kebudayaan

atas dasar ruang dan waktu.

Fenomena divergen-disintegratif dan konvergensi-integratif kian nyata

dalam keseharian hidup bermasyarakat dan berbangsa, berupa rasa kedaerahan,

identitas kesukuan, kelompok, dan agama yang menguat, menimbulkan

fragmentasi kelompok dan konflik-konflik horizontal yang sebelumnya tidak

muncul ke permukaan sekaligus juga rasa keuniversalan di mana visi satu dunia

baru yang benar-benar multikultural.

Penggunaan nama-nama, simbol di antara pengusung atau pelaku budaya

kadang-kadang saling pinjam; kadang-kadang ditiru seperti aslinya, dimodifikasi,

Page 7: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

7

atau melalui destilasi kreativitas masing-masing. Bahkan tidak jarang di antara

nama atau simbol-simbol tersebut, setelah ditransfer ke dalam wujud fisik, ditiru

dengan muatan fungsi lainnya. Contohnya adalah ketika nama sekolah

Swastyastu menjadi polemik sekitar tahun 2000 yang lalu di Bali, atau bentuk

bangunan lobi Hotel Nusa Dua yang mengambil bentuk bangunan suci di Bali

menjadi permasalahan.

Contoh lainnya juga terjadi ketika lambang swastika tidak hanya dimiliki

dan digunakan sebagai lambang umat Hindu, tetapi juga oleh Nazi-Hitler, olah

raga bela diri Kempo, dan sebagainya. Bentuk dan namanya sama tetapi

penggambarannya yang berbeda. Simbol Agama Hindu dengan garis silang tegak

lurus yang dikenal sebagai tanda tambah, sedangkan Nazi dengan visualisasi tanda

silang yang dikenal sebagai tanda kali. Begitu pula jika dibandingkan simbol bela

diri Kempo dengan Simbol Swastika Hindu, Kempo menunjukkan tanda tambah

yang bergerak ke kiri sedangkan Hindu bergerak ke kanan.

Kejadian lainnya yang merupakan pantulan dari cermin politik yang lebih

tinggi, misalnya pandangan mengenai ketidaksetaraan jender dalam agama,

instrumentasi politik melalui etnisitas, agama, dan asal daerah terjadi di beberapa

belahan wilayah Indonesia. Patji (2001:10) dengan jelas menuliskan bahwa

realitas objektif bangsa Indonesia sebagai masyarakat pluralistik oleh karena

kepentingan politik nasionalisme lebih mengedepankan kemanunggalan daripada

keberagamannya. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional-kultural

dimaknai dengan lebih menonjolkan ketunggalannya..

Page 8: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

8

Demikian pentingnya arsitektur dalam membentuk lingkungan buatan

sekaligus sebagai cermin dari kebudayaan, pemerintah Propinsi Bali menuangkan

peraturan untuk melestarikan arsitektur tradisi sekaligus sebagai pemertahanan

identitas. Diterbitkanlah untuk pertama kalinya Perda No.4/PD/DPRD/1974 yang

mengatur tentang Bangun-Bangunan ‘arsitektur’. Perda tersebut kemudian

diperkuat atau dipertegas lagi dengan Perda Propinsi Bali No.5 Tahun 2005

tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.

Hakikat dari diterbitkannya Perda yang mengatur tentang arsitektur

bangunan gedung karena adanya pemikiran kritis setelah dibangunnya bangunan

Hotel Bali Beach dan perluasan Bandara Ngurah Rai yang berdampak pada

dibangunnya berbagai fasilitas pelayanan pariwisata yang dikhawatirkan akan

menghilangkan identitas ATB.

Seiring dengan perjalanan waktu, berbagai perubahan tatanan dunia dengan

spirit global, atau dari dalam negeri melalui otonomi daerah, serta berbagai

perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan di Propinsi Bali sejak Pariwisata,

ditetapkan menjadi garda depan pembangunannnya. Demikian juga dampak dari

mewabahnya kecanggihan informasi teknologi, bermuara pada semakin tipisnya

batas–batas bangsa dan negara. Bali kini menjadi sebuah pulau tempat

bermukimnya aneka suku, ras, dan bangsa, termasuk kaya dengan aneka ragam

kebudayaan.

Percampuran dan perkembangan masyarakat Bali oleh jumlah dan kualitas,

berakibat pada berbagai perubahan yang akhirnya menyentuh lingkungan

buatannya “arsitektur”. Arsitektur di Bali yang melestarikan Arsitektur Tradisi

Page 9: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

9

diperkuat dengan terbitnya Perda No.5 Tahun 2005 memperkokoh kehendak

melestarikan ATB sebagai salah satu puncak budaya daerah. Namun, tidak

dipungkiri di beberapa kasus terdapat pelanggaran yang menggunakan pembenar

dari semangat reformasi, demokrasi, HAM, pasca modern, bahkan juga

berlindung di balik kepentingan multikultural.

Kekacauan penandaan, selain dalam kalimat juga terdapat dalam gambar,

teks, atau objek. Dengan demikian pemahaman arsitektur juga dapat dianalogikan

melalui pendekatan bahasa. Artinya, arsitektur bukan gambar dan objek semata,

tetapi juga sebuah teks. Dengan demikian, berbagai dialog dari elemen–elemen

yang terputus, atau tidak terhubungkannya satu elemen dengan elemen lainnya

dalam arsitektur berdampak pada kesulitan pada penafsiran maknanya.

Kesimpangsiuran bentuk yang direfleksikan oleh penggunaan garis dan bidang,

bahan, warna, bahkan juga fungsi yang seolah-olah menikmati keanekaragaman,

berdampak pada riuh-rendahnya makna.

Perkembangan arsitektur di Bali atas dasar perkembangan ruang dan

waktunya, menjadikan Bali bagaikan ladang arsitektur yang sangat kaya dengan

berbagai bentuk dan langgam. Harus diakui pula bahwa berbagai tampilan ATB

merupakan proses panjang melalui dialog ekonomi “perdagangan”, politik

“kekuasaan”, keyakinan “agama”, mitos, IPTEK, dan lain-lainnya. Akibatnya,

ATB dipandang sebagai arsitektur asli Bali, tidak dapat melepaskan diri dengan

kemiripan-kemiripan yang ada di Arsitektur Asia (perhatikan bangunan candi,

meru, wantilan, dan lain-lainnya). Dari kasus ini kiranya arsitektur bukan hanya

refleksi sosial belaka, tetapi juga merupakan cermin dinamika kebudayaan dunia.

Page 10: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

10

Dengan demikian, arsitektur juga menjadi duta bangsa, negara, dan tentunya

budaya.

Penerapan ATB khususnya di bangunan ibadah bagi umat Islam “Masjid” di

Bali sangat variatif dan tersebar di kota–kota besar atau desa-desa tua yang

menjadi awal atau pusat pertumbuhan Islam di Bali. Banyak di antaranya justru

tidak tersentuh oleh ATB. Walaupun tidak ada ketentuan yang mengikat dalam

wujud arsitektur Masjid, para arsitek dan masyarakat Muslim berupaya mencari

identitas bagi bangunan ibadahnya sebagai suatu tanda tempat mereka melakukan

persembahyangan. Pencaharian ini sangat dimungkinkan diawali dari pendekatan

kesejarahan, solidaritas, bahkan mungkin juga melalui adaptasi, atau produk

kekuasaan yang ditransformasikan melalui peraturan. Banyak kemungkinan yang

dapat ditelusuri. Namun, yang pasti adalah mereka membangun rumah ibadah

yang paling indah bagi yang Mahakuasa dan juga indah bagi umat dan

lingkungannya.

Produk ATB sebagai ikon Bali diyakini melalui proses waktu yang panjang

menerima bahkan juga mengadopsi pengaruh budaya dari luar dirinya.. Namun

atas dasar ruang dan waktunya, unsur-unsur ATB sebagai presentasi Kebudayaan

Hindu yang diterima atau dipergunakan oleh kebudayaan lainnya, khususnya

Kebudayaan Islam melalui cerminan arsitektur masjidnya. Fenomena ini kian

menarik manakala kedua pengusung kebudayaan yang berbeda keyakinan

menafsirkan tanda dan makna yang diemban oleh sosok masjid di Kota Denpasar,

yaitu Masjid Al Hikmah.

Page 11: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

11

Kini Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar yang dibangun pada tahun

1978 menjadi sebuah tanda sekaligus simbol bagaimana dua kebudayaan menjadi

satu dalam sebuah teks arsitektur yang menyiratkan penghormatan, kebersamaan

dalam bingkai keindahan. Diplomasi kebudayaan melalui tanda dan simbol

arsitektur menjadi bukti kerukunan dan kedamaian bagi masyarakat Kota

Denpasar yang plural dan multi kultural.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut di atas diketahui ada tiga masalah yang diteliti.

Ketiga masalah tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan dibawah ini.

1) Unsur-unsur ATB apa sajakah yang diterapkan pada Masjid Al Hikmah

di Kertalangu, Denpasar?

2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan ATB diterapkan pada Masjid

Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar?

3) Bagaimanakah dampak dan makna penerapan ATB pada Masjid Al

Hikmah di Kertalangu, Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan

umum ditujukan untuk memperoleh jawaban atas permasalahan dari penelitian

secara umum. Sedangkan tujuan khusus ditujukan guna memperoleh jawaban dari

rumusan masalah.

Page 12: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

12

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memahami diterapkannya

ke-arifan lokal berupa unsur-unsur ATB pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu,

Denpasar. Melalui pemahaman penerapan kearifan lokal sebagai presentasi Hindu

pada objek fisik arsitektural masjid sebagai presentasi Budaya Islam dipandang

sebagai peristiwa budaya antara mayoritas dengan minoritas yang memposisikan

dirinya dalam kesetaraan. Ketika unsur-unsur ATB sebagai salah satu puncak

Kebudayaan Indonesia yang diterapkan pada Masjid Al Hikmah dapat menjadi

tanda adanya penerimaan yang memperkaya kebudayaan nasional dan

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya hubungan antara Kajian Budaya

dengan Kajian Arsitektur.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas

pertanyaan mengenai masalah-masalah tersebut di atas. Jadi, tujuan khusus

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) untuk memahami unsur-unsur ATB yang diterapkan pada Masjid Al

Hikmah di Kertalangu, Denpasar;

2) untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan ATB diterapkan pada

Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar; dan

3) untuk memahami dampak dan makna diterapkannya ATB pada Masjid

Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar.

Page 13: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

13

Di samping itu, tentu juga penelitian ini diupayakan agar diperoleh

deskripsi tambahan, yaitu gambaran tentang hubungan umat Hindu dan Islam di

lokasi Masjid Al Hikmah yaitu di lingkungan komunitas Kertalangu dan Kota

Denpasar pada umumnya sebagai kota yang berwawasan budaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis yang sangat

penting dan diperlukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi perguruan

tinggi; sedangkan manfaat praktis adalah manfaat

1.4.1 Manfat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini diharapkan dapat membentang sekaligus

menjembatani pengetahuan arsitektur bahwa bentuk tidak semata-mata lahir

karena fungsi belaka. Bahwa bentuk yang tampil melalui beragam wujud tidak

dengan segera dapat dikenali dan dimaknai. Ada maksud-maksud yang tersimpan

di balik bentuk tersebut, khususnya bagi kelompok masyarakat tradisi.

Pemakaian bentuk atau simbol setempat sebagai upaya hibridisasi menjadi

tidak sederhana, sengaja atau tidak multi kultural berlangsung bukan hanya

melalui teks atau bahasa dan aspek budaya lainnya, melainkan dapat juga melalui

teks berupa gambar (arsitektur).

Dengan demikian, manfaat kritis utama bagi pengembangan arsitektur dari

sudut pandang kajian budaya adalah bahwa bentuk yang dihegemoni dan

didekonstruksi pada kasus bangunan Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar

Page 14: Unud 12 1539426935 Bab i Final Pendahuluan

14

merupakan perkawinan atau penyatuan atau percampuran dua budaya yang tidak

saling menghilangkan.

Diplomasi antar arsitektur adalah jembatan pemersatu bagi masyarakat

yang plural dan multikultur. Artinya adalah bahwa arsitektur menjadi tanda

sekaligus simbol pemersatu dan persatuan. Proses semacam ini dapat

dikembangkan menjadi metodologi disain arsitektur di masa mendatang. Dengan

demikian arsitektur bukan hanya bentuk fisik yang fungsional belaka akan tetapi

memiliki jiwa yang dihidupkan oleh pemaknaan yang menyertainya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

rujukan sekaligus kontribusi bahan pemikiran, keputusan, dan titik tolak dalam

merancang peraturan arsitektur bangunan ibadah bagi umat Muslim di Kota

Denpasar dan Bali pada umumnya.

Demikian pula bagi para pengambil keputusan, perizinan, arsitek, dan

masyarakat pengguna kiranya dapat menjadikannya sebagai pijakan dalam

perancangan masa kini dan masa mendatang sebagai sebuah pendekatan perekat

multikultur melalui bahasa arsitektur “simbol” di tataran setempat, regional,

hingga nasional.

Kepada para peneliti diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat sebagai

inspirasi untuk mengembangkan penelitian lanjutan serta memperkaya khasanah

Kajian Arsitektur dan Kajian Budaya.