unlock
DESCRIPTION
jurnal kimiaTRANSCRIPT
-
ADSORPSI ION LOGAM TEMBAGA (Cu) DAN TIMBAL (Pb)
OLEH ARANG SABUT KELAPA DALAM AIR LIMBAH
UMUHANI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M / 1435 H
-
ADSORPSI ION LOGAM TEMBAGA (Cu) DAN TIMBAL (Pb) OLEH
ARANG SABUT KELAPA DALAM AIR LIMBAH
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
UMUHANI
107096002858
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M / 1435 H
-
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Maret 2012
Umuhani
107096002858
-
ABSTRAK
UMUHANI. Adsorpsi Ion Logam Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Oleh Arang
Sabut Kelapa Dalam Air Limbah. Dibimbing Oleh NURHASNI dan
HENDRAWATI.
Penelitian adsorpsi ion logam tembaga (Cu) dan timbal (Pb) oleh arang
sabut kelapa dalam air limbah telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sebagai hasil limbah sebagai adsorben logam berat
serta mengetahui kondisi optimum untuk proses adsorpsi ion logam Cu dan Pb
oleh arang sabut kelapa. Penelitian ini dilakukan dengan metode batch dengan
menggunakan shaker incubation. Parameter yang diteliti untuk mengetahui
kondisi optimum adalah massa adsorben, pH, konsentrasi ion logam, lama
pengadukan, dan temperatur pengarangan. Tipe isoterm adsorpsi ion logam Cu
dan Pb dipelajari dengan dua tipe isoterm yaitu tipe isoterm adsorpsi Langmuir
dan Freundlich. Tipe isoterm yang sesuai dengan data eksperimen diuji dengan
metode regresi linier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum
adsorpsi ion logam Cu dan Pb adalah pada massa adsorben 1,5 g, pH untuk ion
logam Cu adalah pH 6 sedangkan untuk ion logam Pb adalah pH 4, konsentrasi
ion logam 10 mg/L, lama pengadukan 30 menit, dan temperatur pengarangan
250oC. Tipe isoterm adsorpsi untuk ion logam tembaga (Cu) dan timbal (Pb)
sesuai dengan tipe isoterm Freundlich.
Kata kunci : Adsorpsi, adsorben, arang sabut kelapa, dan tipe isoterm
adsorpsi.
-
ABSTRACT
UMUHANI. Adsorption Of Metallic Copper (Cu) and Lead (Pb) Ion By Husk
Coconut Charcoal In Liquid Waste. Advicer by NURHASNI and
HENDRAWATI.
The research about adsorption of Copper (Cu) and lead (Pb) metal ion by
husk coconut charcoal in liquid waste has been done. The objective of the
experiment is to use of husk coconut waste as adsorbent copper (Cu) and lead (Pb)
in liquid waste and to know optimum condition for adsorption of metallic copper
(Cu) and lead (Pb) ion with use husk coconut charcoal as adsorbent. This
experiment was carry out in a batch method by using shaker incubation. The
variables studied in this experiment is adsorbent mass, pH, metallic ion
concentration, shaking time, and temperature for charcoal kiln. The isotherm
adsorption model of Cu and Pb was studied by both the isotherm model of
Langmuir and Freundlich. The isotherm model was in accordance with the data of
experiment by the regression linear method. The result showed that the optimum
condition for adsorption of metallic copper (Cu) and lead (Pb) ion with used husk
coconut charcoal as adsorbent is 1,5 g (adsorbent mass), optimum pH for copper
ion is pH 6 and lead ion is pH 4, metallic ion concentration is 10 mg/L, shaking
time is 30 minutes, and temperature for charcoal kiln is 250oC. Adsorption of
copper (Cu) and lead (Pb) ion more suitable to the Freundlich isotherm model.
Keywords : Adsorption, adsorbent, husk coconut charcoal, and isotherm
adsorption model.
-
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan izin dan perkenanNya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Adsorpsi Ion Logam
Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Oleh Arang Sabut Kelapa Dalam Air
Limbah . Tak lupa pula shalawat serta salam kami curahkan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW sebab karena Beliaulah kami dapat hijrah dari zaman
kebodohan ke zaman yang penuh dengan kemajuan IPTEK seperti saat ini.
Skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa semua pihak yang
memberikan bimbingan dan dukungannya. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dan
memberikan batuan, dorongan, serta motivasi sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Ucapan terima kasih ini ditujukan kepada :
1. Nurhasni, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan
memberikan saran dalam menyelesaikan Tugas Akhir dan penulisan skripsi.
2. Hendrawati, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah membimbing
dan memberikan saran dalam menyelesaikan penulisan skripsi.
3. Drs. Dede Sukandar, M.Si, sebagai Ketua Program Studi Kimia Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. DR. Agus Salim, M.Si, sebagai Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kepala Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian di tempat ini,
-
iii
6. Seluruh dosen kimia yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya
kepada penulis.
7. Ayah dan Mama serta Adik-adikku (Fadli, Qonita, dan Millah) yang selalu
memberikan kasih sayang, motivasi, dan doa kepada penulis agar menjadi
yang terbaik.
8. Abang Basyir yang selalu memberikan kasih sayang, motivasi, dan doa
kepada penulis agar menjadi yang terbaik.
9. Seluruh Staff Laboran Laboratorium Kimia PLT UIN Jakarta.
10. Seluruh Staff analis Laboratorium Analitik BTL Serpong.
11. Teman-teman Program Studi Kimia angkatan 2007 yang telah memberikan
motivasi kepada penulis.
Semoga Allah SWT membalas segala amal perbuatan dan selalu
memberikan kemudahan, rahmat, karunia, dan perlindungan-Nya kepada kita
semua. Amin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar dapat menjadi pelajaran dalam penulisan berikutnya untuk
menjadi lebih baik.
Jakarta, Maret 2012
Penulis
-
iv
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI.............. iv
DAFTAR GAMBAR. vii
DAFTAR TABEL. ix
DAFTAR LAMPIRAN.. x
BAB I PENDAHULUAN.. 1
1.1. Latar Belakang. 1
1.2. Perumusan Masalah......... 3
1.3. Hipotesis...... 3
1.4. Tujuan Penelitian 4
1.5. Manfaat Penelitian.. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Kelapa 5
2.2. Sabut Kelapa.. 6
2.3. Pirolisis. 7
2.3.1. Pirolisis Selulosa. 8
2.3.2. Pirolisis Hemiselulosa. 9
2.3.3. Pirolisis Lignin 10
2.4. Arang 12
2.5. Adsorpsi 13
2.5.1. Metode Sorpsi...... 16
2.5.2. Faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi. 17
-
v
2.6. Isoterm Adsorpsi. 18
2.6.1. Isoterm Langmuir. 20
2.6.2. Isoterm Freundlich... 21
2.7. Logam Berat 22
2.7.1. Tembaga (Cu) 23
2.7.2. Timbal (Pb) 24
2.8. Spektroskopi Serapan Atom (SSA). 25
2.8.1. Prinsip Spektroskopi Serapan Atom (SSA)... 26
2.8.2. Metode Analisis 30
BAB III METODE PENELITIAN. 33
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian. 33
3.2. Alat dan Bahan 33
3.2.1. Alat 33
3.2.2. Bahan. 33
3.3. Preparasi Sampel Sabut Kelapa 34
3.4. Penentuan Kondisi Optimum 34
3.4.1. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan
Ion Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) 34
3.4.2. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Tembaga (Cu) dan
Timbal (Pb). 34
3.4.3. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Tembaga (Cu)
dan Timbal (Pb).. 35
3.4.4. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Tembaga
(Cu) dan Timbal (Pb) 35
3.4.5. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan Ion
Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb).. 36
3.5. Aplikasi Limbah 36
-
vi
3.6. Bagan Alir Penelitian. 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.. 39
4.1. Penentuan Kondisi Optimum. 39
4.1.1. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan
Ion Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb).. 40
4.1.2. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Tembaga (Cu)
dan Timbal (Pb). 41
4.1.3. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan
Ion Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) 43
4.1.4. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan
Ion Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb).. 44
4.1.5. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan
IonTembaga (Cu) dan Timbal (Pb) 45
4.2. Aplikasi Penyerapan Ion Logam Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)
Dalam Air Limbah 47
4.3. Isoterm Adsorpsi.. 49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 52
5.1. Kesimpulan. 52
5.2. Saran 53
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN.. 58
-
vii
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Penampang Membujur Buah kelapa 5
Gambar 2. Sabut Kelapa... 6
Gambar 3. Struktrur Rantai Selulosa 8
Gambar 4. Struktur Hemiselulosa 9
Gambar 5. Struktur Lignin 11
Gambar 6. (a) Arang Sabut Kelapa (b) Struktur Ikatan Karbon dalam Arang.. 12
Gambar 7. Kurva Isoterm Langmuir. 20
Gambar 8. Kurva Isoterm Freundlich.. 21
Gambar 9. Komponen-Komponen Utama SSA... 27
Gambar 10. Lampu Katoda. 28
Gambar 11. Nebulizer, Burner, dan Spray Chamber... 28
Gambar 12. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam
Cu dan Pb (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion
Logam 10 mg/L, Lama Pengadukan 30 menit,
dan Temperatur Pengarangan 250 oC ). 40
Gambar 13. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu dan Pb
(Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion Logam 10 mg/L,
Lama Pengadukan 30 menit, dan
Temperatur Pengarangan 250 oC).. 41
Gambar 14. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam
Cu dan Pb (Volume Larutan 20 mL, Lama Pengadukan
30 menit, dan Temperatur Pengarangan 250 oC ) 43
Gambar 15. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion
Logam Cu dan Pb (Volume Larutan 20 mL,
Konsentrasi Ion Logam 10 mg/L,
dan Temperatur Pengarangan 250 oC ).. 44
Gambar 16. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan
Ion Logam Cu dan Pb (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi
Ion Logam 10 mg/L, dan Lama Pengadukan 30 menit). 46
-
viii
Gambar 17. Kurva (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich
Adsorpsi Ion Logam Tembaga (Cu)
Oleh Arang Sabut Kelapa............................................................ 50
Gambar 18. Kurva (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich
Adsorpsi Ion Logam Timbal (Pb)
Oleh Arang Sabut Kelapa............................................................. 51
-
ix
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Komposisi Buah Kelapa (Palungkun, 2000)........ 5
Tabel 2. Efisiensi Adsorpsi Ion Logam Cu dan Pb Oleh Sabut Kelapa 39
Tabel 3. Aplikasi Penyerapan Ion Logam Cu dan Pb Oleh Arang sabut
Kelapa dan Arang Tongkol jagung (Lestari,2012) dalam Air Limbah.. 48
Tabel 4. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu 58
Tabel 5. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Pb 58
Tabel 6. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu.... 58
Tabel 7. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Logam Pb.... 58
Tabel 8. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu...59
Tabel 9. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam Pb ...59
Tabel 10. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu 59
Tabel 11. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam Pb... 59
Tabel 12. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan
Ion Logam Cu.. 60
Tabel 13. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan
Ion Logam Pb.... 60
Tabel 14. Perhitungan Kurva Isoterm Langmuir pada Adsorpsi
Ion Logam Cu oleh Arang Sabut Kelapa.. 61
Tabel 15. Perhitungan Kurva Isoterm Langmuir pada Adsorpsi
Ion Logam Pb oleh Arang Sabut Kelapa.. 61
Tabel 16. Perhitungan Kurva Isoterm Freundlich pada Adsorpsi
Ion Logam Cu oleh Arang Sabut Kelapa... 62
Tabel 17. Perhitungan Kurva Isoterm Freundlich pada Adsorpsi
Ion Logam Pb oleh Arang Sabut Kelapa... 62
-
x
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Data Penentuan Kondisi Optimum.... 58
Lampiran 2. Penentuan Isoterm Langmuir pada Adsorpsi Ion Logam
Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) oleh Arang Sabut Kelapa. 61
Lampiran 3. Penentuan Isoterm Freundlich pada Adsorpsi Ion Logam
Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) oleh Arang Sabut Kelapa.. 62
Lampiran 4. Kurva Kalibrasi Ion Logam Cu.. 63
Lampiran 5. Kurva Kalibrasi Ion Logam Pb... 64
Lampiran 6. Pembuatan Larutan Untuk Preparasi Sampel. 65
Lampiran 7. Pembuatan Larutan Buffer Sitrat dan Posfat.. 66
Lampiran 8. Contoh Perhitungan Efisiensi dan Kapasitas Penyerapan. 67
Lampiran 9. Dokumentasi Alat Penelitian. 68
Lampiran 10. Dokumentasi Bahan Penelitian.. 69
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang proses industrialisasinya
sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Akibat perkembangan proses
industrialisasi tersebut dihasilkan berbagai jenis limbah industri berupa limbah
cair, padat, maupun gas yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran
lingkungan. Limbah cair pada industri ini memberikan kontribusi terhadap
pelepasan logam berat beracun di dalam aliran air.
Logam dapat membahayakan bagi kehidupan manusia jika konsentrasinya
melebihi ambang batas yang diizinkan. Air limbah dari perindustrian dan
pertambangan merupakan sumber utama polutan logam berat. Namun demikian,
meskipun konsentrasinya belum melebihi ambang batas, keberadaan logam berat
telah diketahui bersifat akumulatif dalam sistem biologis (Quek dkk., 1998).
Tersebarnya logam berat seperti tembaga dan timbal diatas ambang batas
yang diizinkan akan menimbulkan keracunan pada manusia dan dapat
menyebabkan kematian (Kundari dkk., 2008). Oleh karena itu, diperlukan usaha-
usaha untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan dari logam berat
seperti tembaga dan timbal agar konsentrasi logam berat yang terkandung dalam
air limbah berada dalam batas aman atau hilang.
Beberapa metode untuk menghilangkan logam berat dari air limbah telah
dilakukan dengan proses secara fisika dan kimia yang meliputi presipitasi,
koagulasi, proses reduksi membran, dan pertukaran ion. Tetapi metode-metode
tersebut kurang ekonomis terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang.
-
2
Usaha pengendalian dan pengolahan limbah logam saat ini semakin berkembang,
yang mengarah pada metode baru yang murah, efektif, dan efisien.
Proses adsorpsi merupakan teknik pemurnian dan pemisahan yang efektif
dipakai dalam industri karena dianggap lebih ekonomis dalam pengolahan air dan
limbah (Al-Asheh, et al., 2000) dan merupakan teknik yang sering digunakan
untuk mengurangi ion logam berat dalam air limbah (Selvi et al., 2001).
Pemanfaatan biomaterial dari limbah pertanian untuk menyerap senyawa-senyawa
beracun seperti logam berat telah banyak diteliti, diantaranya sekam padi
(Saniyyah, 2010), genjer (Nurhasni, 2002), ampas tebu (Apriliani, 2010), arang
tongkol jagung (Lestari, 2012), dan kulit kacang tanah (Marshall et al., 1996).
Dari penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa biomaterial
yang mengandung gugus fungsi antara lain karboksil, amino, sulfat, polisakarida,
lignin dan sulfihidril mempunyai kemampuan penyerapan yang baik (Volesky,
2004).
Sabut kelapa adalah hasil limbah dari penjual minuman es kelapa yang
belum termanfaatkan secara optimal sehingga membawa masalah tersendiri bagi
lingkungan karena dianggap sebagai limbah. Limbah sabut kelapa dapat di proses
menjadi arang atau karbon aktif yang berpotensi sebagai adsorben, karena secara
kimiawi, komponen utama penyusun sabut kelapa adalah serat yang didalamnya
terkandung gugus selulosa, poliosa seperti hemiselulosa, lignoselulosa, dan lignin
yang mempunyai kemampuan adsorpsi yang baik (Mahmud, 2005) yang akan
dirubah menjadi arang yang tersusun dari atom karbon.
Penggunaan arang sabut kelapa sebagai alternatif biomaterial penyerap
ion-ion logam berat merupakan proses penghematan sumber daya alam dan
-
3
merupakan salah satu cara bagi pengolahan limbah, seperti yang dikemukakan
oleh para pakar lingkungan bahwa sebaik-baiknya pengolahan limbah adalah
dengan cara daur ulang. Selain itu, karena sabut kelapa mudah didapatkan serta
dapat diregenerasi dan dari sisi ekonomis harga sabut kelapa yang murah
dibanding penyerap sintetis lain, maka hal ini menjadi keuntungan tersendiri
dalam penggunaan arang sabut kelapa sebagai penyerap ion-ion logam (Fatoni,
2009).
Dalam penelitian ini akan diselidiki kemampuan arang sabut kelapa dalam
menyerap ion-ion logam, yaitu tembaga (Cu) dan timbal (Pb) didalam air limbah.
1.2. Perumusan Masalah
1. Apakah arang sabut kelapa dapat menyerap ion logam Cu dan Pb didalam
air limbah ?
2. Berapa efisiensi dan kapasitas penyerapan arang sabut kelapa sebagai
adsorben terhadap ion logam Cu dan Pb ?
1.3. Hipotesis
1. Arang sabut kelapa dapat menyerap ion logam Cu dan Pb didalam air
limbah.
2. Efisiensi dan kapasitas penyerapan arang sabut kelapa terhadap ion logam
Cu dan Pb didalam air limbah dapat mencapai 100%.
-
4
1.4. Tujuan Penelitian
1. Menguji dan menganalisis kemampuan arang sabut kelapa dalam menyerap
ion logam Cu dan Pb serta menentukan kondisi optimum terhadap beberapa
parameter yang digunakan antara lain massa adsorben, pH, konsentrasi ion
logam, lama pengadukan, dan temperatur pengarangan.
2. Mengoptimalkan pemanfaatan sabut kelapa sebagai hasil limbah sebagai
adsorben logam berat.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Memberi alternatif terhadap pemanfaatan limbah sabut kelapa sebagai
adsorben ion logam Cu dan Pb di dalam air limbah sehingga dapat
mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan yang disebabkan karena
terkontaminasi limbah oleh logam berat.
2. Memberi pengetahuan dan informasi tentang kemampuan adsorpsi arang
sabut kelapa dalam mengadsorpsi ion logam Cu dan Pb.
3. Memberi pengetahuan dan informasi tentang kondisi optimum (massa
adsorben, pH, konsentrasi ion logam, lama pengadukan, dan temperatur
pengarangan) dalam proses adsorpsi arang sabut kelapa.
-
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa
Kelapa dikenal sebagai tanaman yang serbaguna karena seluruh bagian
tanaman ini bermanfaat bagi kehidupan manusia serta mempunyai nilai ekonomis
yang cukup tinggi. Salah satu bagian yang terpenting dari tanaman kelapa adalah
buah kelapa.
Buah kelapa terdiri dari beberapa komponen yaitu kulit luar (epicarp),
sabut (mesocarp), tempurung kelapa (endocarp), daging buah (endosperm), dan
air kelapa (Palungkun, 2001). Adapun komposisi buah kelapa disajikan pada
Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Komposisi buah kelapa (Palungkun, 2001)
Bagian buah Jumlah berat (%)
Sabut
Tempurung
Daging buah
Air kelapa
35
12
28
25
Komponen-komponen penyusun buah kelapa disajikan pada Gambar 1 berikut:
Keterangan :
1. Kulit luar (epicarp) 4. Daging buah (endosperm)
2. Sabut (mesocarp) 5. Air kelapa
3. Tempurung (endocarp)
Gambar 1. Penampang Membujur Buah Kelapa
-
6
2.2. Sabut Kelapa
Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus
tempurung kelapa (Gambar 2). Sabut kelapa merupakan bagian terbesar dari buah
kelapa yaitu 35% dari bobot buah kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm
yang terdiri atas lapisan luar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium).
Gambar 2. Sabut Kelapa
Endokarpium mengandung serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai
bahan pembuat tali, karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan suara,
filter, dan bahan pengisi jok kursi /mobil. Satu butir buah kelapa rata-rata
menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut
kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, arang, tannin, dan
potassium (Rindengan et al., 1995).
Di kalangan kimiawan dan pakar lingkungan hidup, kelapa juga dapat di
dayagunakan sebagai adsorben/penyerap. Untuk polutan yang masuk ke tubuh
manusia seperti keracunan pestisida ataupun kation logam seperti Pb, Hg, Cd, dan
sebagainya, air kelapa sangat dianjurkan untuk diminum. Hal ini dikarenakan air
kelapa dapat menetralkan racun sebagaimana susu.
Untuk polutan yang masuk ke lingkungan hidup, bagian dari sabut dan
tempurung kelapa sangat potensial didayagunakan sebagai adsorben terutama
-
7
untuk polutan logam berat yang sangat berbahaya bagi manusia. Sebagai contoh
untuk masyarakat yang air minumnya bergantung pada air sumur dapat
memanfaatkan matras sabut kelapa yang telah dicelup pada zat pewarna wantex
untuk menyerap logam berat Mangan (Mn) dengan hasil 1 g matras - wantex
dapat menyerap 4,69 mg Mn (Mahmud, 2005).
2.3. Pirolisis
Pirolisis adalah proses pemanasan suatu zat tanpa adanya oksigen dan
terjadi penguraian komponen-komponen penyusun dari suatu materi. Istilah lain
dari pirolisis adalah penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik yang
disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa berhubungan dengan udara luar.
Pemanasan tanpa berhubungan dengan udara dan diberi suhu yang cukup tinggi
akan terjadi reaksi penguraian dari senyawa-senyawa kompleks penyusun suatu
materi dan menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu padatan, cairan, dan gas
(Widjaya, 1982).
Pirolisis adalah penguraian bahan-bahan organik pada temperatur tinggi di
bawah kondisi non-oksidatif. Pirolisis dilaksanakan pada kondisi temperatur di
atas 250oC. Pirolisis terkait dengan pendaurulangan bahan-bahan yang dapat
diuraikan secara termal untuk menghasilkan produk-produk yang bernilai
(Prananta, 2010). Reaksi pirolisis dapat diterangkan secara teori. Sebagai contoh,
pirolisis selulosa :
(C6 H10 O5)n 6n C + 5n H2O
Pirolisis yang banyak digunakan dalam industri kimia, misalnya, untuk
menghasilkan arang, karbon aktif, metanol dan bahan kimia lainnya dari kayu,
-
8
untuk mengubah etilen diklorida ke vinil klorida untuk membuat PVC, untuk
memproduksi kokas dari batubara, untuk mengubah biomassa menjadi gas
sintesis, untuk mengubah limbah menjadi bahan sekali pakai dengan aman, dan
untuk retak menengah-berat hidrokarbon dari minyak untuk memproduksi lebih
ringan yang seperti bensin.
2.3.1. Pirolisis Selulosa
Selulosa adalah makromolekul yang dihasilkan dari kondensasi linear
struktur heterosiklis molekul glukosa (Gambar 3). Selulosa terdiri dari 100-1000
unit glukosa (Fengel dan Wegener, 1995). Selulosa mendominasi karbohidrat
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan hampir mencapai 50% karena selulosa
merupakan bagian yang terpenting dari dinding sel tumbuh-tumbuhan. Selulosa
ditemukan dalam tanaman yang dikenal sebagai mikrofibril dengan diameter 2-20
nm dan panjang 100-40000 nm).
Gambar 3. Struktur Rantai Selulosa
Selulosa merupakan -1,4 poli glukosa, dengan berat molekul sangat
besar. Unit ulangan dari polimer selulosa terikat melalui ikatan glikosida yang
mengakibatkan struktur selulosa linier. Keteraturan struktur tersebut juga
menimbulkan ikatan hidrogen secara intra dan intermolekul.
(eckonopianto.blogspot.com/2009/04.selulosa.html)
-
9
Gugus fungsional dari rantai selulosa adalah gugus hidroksil. Gugus OH
ini dapat berinteraksi satu sama lain dengan gugus O, -N, dan S, membentuk
ikatan hidrogen. Ikatan H juga terjadi antara gugus OH selulosa dengan air.
Gugus-OH selulosa menyebabkan permukaan selulosa menjadi hidrofilik. Rantai
selulosa memiliki gugus-H di kedua ujungnya. Ujung C1 memiliki sifat
pereduksi. Struktur rantai selulosa distabilkan oleh ikatan hidrogen yang kuat
disepanjang rantai. Di dalam selulosa alami dari tanaman, rantai selulosa diikat
bersama-sama membentuk mikrofibril yang sangat terkristal dimana setiap rantai
selulosa diikat bersama-sama dengan ikatan hidrogen (Pertiwi, 2009).
Selulosa terdekomposisi pada temperatur 280oC dan berakhir pada 300-
350oC. Girard (1992), menyatakan bahwa pirolisis selulosa berlangsung dalam
dua tahap, yaitu tahap pertama adalah reaksi hidrolisis menghasilkan glukosa.
Tahap kedua merupakan reaksi yang menghasilkan asam asetat dan homolognya,
bersama-sama air dan sejumlah kecil furan dan fenol (Prananta, 2010).
2.3.2. Pirolisis Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan polimer dari beberapa monosakarida seperti
pentosa (C5H8O4) dan heksosa (C6H10O5). Hemiselulosa merupakan suatu
polisakarida yang terdapat dalam tanaman dan tergolong senyawa organik.
Struktur hemiselulosa ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Hemiselulosa
-
10
Hemiselulosa bersifat non-kristalin dan tidak bersifat serat, mudah
mengembang karena itu hemiselulosa sangat berpengaruh terhadap bentuknya
jalinan antara serat pada saat pembentukan lembaran, lebih mudah larut dalam
pelarut alkali dan lebih mudah dihidrolisis dengan asam (Pertiwi, 2009).
Pirolisis pentosa menghasilkan furfural, furan dan derivatnya beserta satu
seri panjang asam-asam karboksilat. Pirolisis heksosa terutama menghasilkan
asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa akan terdekomposisi pada temperatur
200-250oC (Herwanto, 2006).
Perbedaan hemiselulosa dengan selulosa yaitu hemiselulosa mudah larut
dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah sebaliknya.
Hemiselulosa juga bukan merupakan serat-serat panjang seperti selulosa. Hasil
hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan hasil hidrolisis
hemiselulosa akan menghasilkan D-xilosa dan monosakarida lainnya (Winarno,
1984).
2.3.3. Pirolisis Lignin
Lignin merupakan sebuah polimer kompleks yang mempunyai berat
molekul tinggi dan tersusun atas unit-unit fenil propana (Gambar 5). Lignin
adalah polimer tri-dimensional fenil propana yang dihubungkan dengan beberapa
ikatan berbeda antara karbon-ke-karbon dan beberapa ikatan lain antara unit fenil
propana yang tidak mudah dihirolisis. Senyawa ini adalah fenol, eter fenol,
siringol dan homolog serta derivatnya (Girard,1992).
-
11
Gambar 5. Struktur Lignin
Lignin mulai mengalami dekomposisi pada temperatur 300-350oC dan
berakhir pada 400-450oC. Lignin terdiri dari daerah amorphous dan bentuk-
bentuk tersturktur seperti partikel tabung dan globul. Ada indikasi pula bahwa
struktur kimia dan tridimensional lignin sangat dipengaruhi oleh matriks
polisakarida. Simulasi dinamik menunjukkan bahwa gugus hidroksil dan metoksil
di dalam prekusor lignin dan oligomer mungkin berinteraksi dengan mikrofibril
selulosa sejalan dengan fakta bahwa lignin memiliki karakteristik hidrofobik.
-
12
2.4. Arang
Arang atau karbon aktif adalah karbon yang mengalami proses
pengaktifan dengan menggunakan bahan pengaktif sehingga pori-porinya terbuka,
luas permukaan karbon menjadi lebih besar, dan kapasitas adsorpsinya menjadi
lebih tinggi. Seiring dengan perkembangan teknologi adsorpsi, kebutuhan akan
karbon aktif sebagai adsorben semakin meningkat, sehingga pengembangan
tentang pembuatan karbon aktif masih potensial untuk dilakukan.
Arang merupakan adsorben yang sangat bagus, berwarna hitam pekat
karena hasil dari proses pengarangan (Gambar 6 a) dan banyak digunakan karena
luas permukaan dan volume mikropori sangat besar (Isam dkk., 2007), kapasitas
adsorpsi sangat besar, laju kinetika adsorpsi sangat cepat, dan relatif mudah dapat
diregenerasi (Dinesh dkk., 2007). Arang memiliki ikatan yang kuat antar atom
karbon penyusunnya (Gambar 6 b). Arang atau karbon aktif tersusun dari 90%
atom karbon.
(a) (b)
Gambar 6. (a). Arang Sabut Kelapa (b). Struktur Ikatan Karbon dalam Arang
Karbon aktif dapat diproduksi dari berbagai bahan yang mengandung
karbon. Ketertarikan pemilihan bahan baku (prekursor) untuk karbon aktif dalam
jumlah besar disebabkan: ketersediaannya, harga terjangkau, dan tidak
-
13
menyebabkan pencemaran, selain itu proses pembuatan dan penggunaan produk
juga merupakan hal yang dipertimbangkan (Madhava dkk., 2007).
Proses pembuatan karbon aktif melalui tiga tahap yaitu dehidrasi,
karbonisasi, dan aktifasi. Dehidrasi adalah proses penghilangan air dimana bahan
baku dipanaskan sampai temperatur 170oC. Karbonisasi adalah proses pemecahan
bahan-bahan organik menjadi karbon. Temperatur diatas 170oC akan
menghasilkan karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2). Pembentukan
karbon terjadi pada temperatur 400-600 oC. Aktifasi adalah proses perluasan pori
dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul
permukaan sehingga arang akan mengalami perubahan sifat fisika dan kimia,
yaitu luas permukaannya bertambah besar yang akan mempengaruhi daya
adsorpsi (Pertiwi,2009).
2.5. Adsorpsi
Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu
terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya
tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap ke dalam
(Atkins, 1999).
Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau molekul
pada permukaan padatan yang tidak seimbang. Adanya gaya ini, padatan
cenderung menarik molekul-molekul lain yang bersentuhan dengan permukaan
padatan, baik fasa gas atau fasa larutan ke dalam permukaannya. Akibatnya,
konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar dari pada dalam fasa
gas atau zat terlarut dalam larutan. Menurut Giles dalam Osipow (1962), yang
-
14
bertanggung jawab terhadap adsorpsi adalah gaya tarik Van der Waals,
pembentukan ikatan hidrogen, pertukaran ion dan pembentukan ikatan kovalen.
Adsorpsi dapat terjadi pada antarfasa padat-cair, padat-gas atau gas-cair.
Molekul yang terikat pada bagian antarmuka disebut adsorbat, sedangkan
permukaan yang menyerap molekul-molekul adsorbat disebut adsorben. Pada
adsorpsi, interaksi antara adsorben dengan adsorbat hanya terjadi pada permukaan
adsorben. Adsorpsi adalah gejala pada permukaan, sehingga makin besar luas
permukaan, maka makin banyak zat yang teradsorpsi. Walaupun demikian,
adsorpsi masih bergantung pada sifat zat pengadsorpsi (Fatmawati, 2006).
Berdasarkan besarnya interaksi antara adsorben dan adsorbat, adsorpsi
dibedakan menjadi dua macam yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia.
a. Adsorpsi Fisika
Dalam adsorpsi fisika, molekul-molekul teradsorpsi pada permukan
adsorben dengan ikatan yang lemah. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya
intermolekuler lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik
yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben, gaya ini disebut
gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan
ke bagian permukaan lain dari adsorben (Reza, 2002). Adsorpsi ini berlangsung
cepat, dapat membentuk lapisan jamak (multilayer) dan dapat bereaksi balik
(reversibel), sehingga molekul-molekul yang teradsorpsi mudah dilepaskan
kembali dengan cara menurunkan tekanan gas atau konsentrasi zat terlarut.
Panas adsorpsi yang menyertai adsorpsi fisika yaitu berkisar 10 kJ/mol
(kira-kira mempunyai orde yang sama dengan kalor yang dilepaskan pada proses
kondensasi adsorbat) dan lebih panas dari adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika
-
15
umumnya terjadi pada temperatur yang rendah dan jumlah zat yang teradsorpsi
akan semakin kecil dengan naiknya suhu. Banyaknya zat yang teradsorpsi dapat
beberapa lapisan monomolekuler, demikian juga kondisi kesetimbangan tercapai
segera setelah adsorben bersentuhan dengan adsorbat. Hal ini dikarenakan dalam
fisika tidak melibatkan energi aktivasi.
b. Adsorpsi Kimia
Pada adsorpsi kimia, molekul-molekul yang teradsorpsi pada permukaan
adsorben bereaksi secara kimia, karena adanya reaksi antara molekul-molekul
adsorbat dengan adsorben dimana terbentuk ikatan kovalen, sehingga terjadi
pemutusan dan pembentukan ikatan (Reza, 2002). Oleh karena itu, panas
adsorpsinya mempunyai kisaran yang sama seperti reaksi kimia, yaitu berkisar
100 kJ/mol (mempunyai orde besaran yang sama dengan energi ikatan kimia).
Adsorpsi kimia bersifat irreversibel, hanya dapat membentuk lapisan
tunggal (monolayer) dan diperlukan energi yang banyak untuk melepaskan
kembali adsorbat (dalam proses adsorpsi). Pada umumnya, dalam adsorpsi kimia
jumlah (kapasitas) adsorpsi bertambah besar dengan naiknya temperatur. Zat yang
teradsorpsi membentuk satu lapisan monomolekuler dan relatif lambat tercapai
kesetimbangan karena dalam adsorpsi kimia melibatkan energi aktivasi (Oscik,
1982).
Menurut Lynam dalam Syahmani (2007), energi adsorpsi fisika adalah 42
kJ/mol sedangkan adsorpsi kimia berada dalam kisaran 42-420 kJ/mol. Secara
kualitatif perilaku adsorpsi dapat juga dipandang dari sifat polar ataupun nonpolar
antara zat padat (adsorben) dengan komponen larutan (adsorbat). Adsorben polar
akan cenderung mengadsorpsi kuat adsorbat polar dan lemah terhadap adsorbat
-
16
nonpolar, demikian juga sebaliknya. Adsorben polar akan mengadsorpsi kuat zat
terlarut polar dari pelarut nonpolar karena kelarutannya yang rendah dan
mengadsorpsi yang lemah dari pelarut polar karena kelarutannya yang tinggi,
demikian juga sebaliknya.
Menurut Hughes dan Poole (1984) proses adsorpsi melalui pertukaran ion
dan kompleksasi hanya berlangsung pada lapisan permukaan sel yang mempunyai
situs-situs yang bermuatan berlawanan dengan muatan ion logam sehingga
interaksinya merupakan interaksi pasif dan relatif cepat.
Molekul adsorben secara kimiawi dianggap mempunyai situs-situs aktif
atau gugus fungsional yang mampu berinteraksi dengan logam permukaan sel
seperti posfat, karboksil, amina dan amida. Jika proses adsorpsi melalui
pertukaran ion, adsorpsi dipengaruhi oleh banyak proton dalam larutan yang
berkompetisi dengan ion logam pada permukaan adsorben, sehingga pada pH
yang rendah jumlah proton melimpah, peluang terjadinya pengikatan logam oleh
adsorben relatif kecil, sebaliknya pada pH tinggi, jumlah proton relatif kecil
menyebabkan peluang terjadinya pengikatan logam menjadi besar.
2.5.1. Metode Sorpsi
Metode sorpsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu statis (batch) dan
dinamis (kolom).
1. Cara statis yaitu ke dalam wadah yang berisi sorben dimasukkan larutan
yang mengandung komponen yang diinginkan, selanjutnya diaduk dalam
waktu tertentu, kemudian dipisahkan dengan cara penyaringan atau
dekantasi. Komponen yang telah terikat pada sorben dilepaskan kembali
-
17
dengan melarutkan sorben dalam pelarut tertentu dan volumenya lebih
kecil dari volume larutan mula-mula.
2. Cara dinamis (kolom) yaitu ke dalam kolom yang telah diisi dengan
sorben dilewatkan larutan yang mengandung komponen tertentu
selanjutnya komponen yang telah terserap dilepaskan kembali dengan
mengalirkan pelarut (eluen) sesuai yang volumenya lebih kecil.
Karena selektivitasnya yang tinggi, proses adsorpsi sangat sesuai untuk
memisahkan bahan dengan konsentrasi yang kecil dari campuran yang
mengandung bahan lain yang berkonsentrasi tinggi. Bentuk lain dari adsorpsi
adalah pertukaran ion (ion exchange).
Kecepatan adsorpsi tidak hanya bergantung pada perbedaan konsentrasi
dan luas permukaan adsorben, melainkan juga pada suhu, pH larutan, tekanan
(untuk gas), ukuran partikel, dan porositas adsorben tetapi juga bergantung pada
ukuran molekul bahan yang akan diadsorpsi dan viskositas campuran yang akan
dipisahkan (Hanjono, 1995).
2.5.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi
Menurut Gaol (2001), banyaknya adsorbat yang terserap pada permukaan
adsorben dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Jenis Adsorbat, dapat ditinjau dari
a. Ukuran molekul adsorbat, rongga tempat terjadinya adsorpsi dapat dicapai
melalui ukuran yang sesuai, sehingga molekul-molekul yang bisa diadsorpsi
adalah molekul-molekul yang berdiameter sama atau lebih kecil dari
diameter pori adsorben.
-
18
b. Polaritas molekul adsorbat, apabila diameter sama, molekul-molekul polar
lebih kuat diadsorpsi daripada molekul-molekul yang kurang polar, sehingga
molekul-molekul yang lebih polar bisa menggatikan molekul-molekul yang
kurang polar yang telah diserap.
2. Sifat Adsorben, dapat ditinjau dari :
a. Kemurnian adsorben, adsorben yang lebih murni memiliki daya serap yang
lebih baik
b. Luas Permukaan, semakin luas permukaan adsorben maka jumlah adsorbat
yang terserap akan semakin banyak pula.
c. Temperatur, adsorpsi merupakan proses eksotermis sehingga jumlah
adsorbat akan bertambah dengan berkurangnya temperatur adsorbat.
Adsorpsi fisika yang substansial biasa terjadi pada temperatur di bawah
titik didih adsorbat, terutama di bawah 50oC.
d. Tekanan, untuk adsorpsi fisika, kenaikan tekanan adsorbat mengakibatkan
kenaikan jumlah zat yang diadsorpsi. Sebaliknya pada adsorpsi kimia,
jumlah yang diadsorpsi berkurang dengn naiknya temperatur adsorbat.
2.6. Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi merupakan fungsi konsentrasi zat terlarut yang terserap
pada padatan terhadap konsentrasi larutan. Persamaan yang dapat digunakan
untuk menjelaskan data percobaan isoterm dikaji oleh Freundlich, Langmuir, serta
Brunauer, Emmet dan Teller (BET). Tipe isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk
mempelajari mekanisme adsorpsi. Adsorpsi fase cair-padat pada umumnya
-
19
menganut tipe isoterm Freundlich dan Langmuir (Atkins, 1999). Adsorben yang
baik memiliki kapasitas adsorpsi dan persentase penyerapan yang tinggi.
Kapasitas adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
(
)
Sedangkan persentase adsorpsi (efisiensi adsorpsi) dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
(
)
Keterangan :
C1 = Konsentrasi awal larutan (mg/L)
C2 = Konsentrasi akhir larutan (mg/L)
m = Massa adsorben (g)
V = Volume larutan (L)
Q = Kapasitas adsorpsi per bobot molekul (mg/g)
% E = Efisiensi penyerapan
Isoterm adsorpsi merupakan gambaran suatu keadaan kesetimbangan yaitu
tidak ada lagi perubahan konsentrasi adsorbat baik pada fasa terserap maupun
pada fasa gas atau cair. Isoterm adsorpsi umumnya digambarkan dalam bentuk
kurva atau plot distribusi kesetimbangan adsorbat antara fasa padat dengan fasa
gas atau cair pada suhu konstan.
Isoterm adsorpsi merupakan hal yang mendasar dalam penentuan kapasitas
dan afinitas adsorpsi suatu adsorbat pada permukaan adsorben. Kurva isoterm
untuk adsorpsi logam dalam sistem cair-padat didasarkan pada pengukuran
konsentrasi logam di fase cair pada kesetimbangan, sedangkan konsentrasi logam
pada fase padat diperoleh dari neraca massa menggunakan larutan pada saat awal
dan akhir percobaan.
-
20
2.6.1. Isoterm Langmuir
Tipe isoterm Langmuir merupakan proses adsorpsi yang berlangsung
secara kimisorpsi satu lapisan (Jason, 2004). Kimisorpsi adalah adsorpsi yang
terjadi melalui ikatan kimia yang sangat kuat antara sisi aktif permukaan dengan
molekul adsorbat dan dipengaruhi oleh densitas elektron. Adsorpsi satu lapisan
terjadi karena ikatan kimia biasanya bersifat spesifik, sehingga permukaan
adsorben mampu mengikat adsorbat dengan ikatan kimia. Kurva isoterm
Langmuir menggambarkan plot antara c dengan x/m (Gambar 7). Isoterm
Langmuir diturunkan berdasarkan teori dengan persamaan :
Keterangan :
x/m = jumlah adsorbat teradsorpsi perunit massa adsorben (mg/g)
C = konsentrasi kesetimbangan adsorbat dalam larutan setelah diadsorpsi
, = Konstanta empiris
Gambar 7. Kurva Isoterm Langmuir
Isoterm Langmuir dipelajari untuk menggambarkan pembatasan sisi
adsorpsi dengan asumsi bahwa sejumlah tertentu sisi sentuh adsorben ada pada
permukaannya dan semua memiliki energi yang sama, serta adsorpsi bersifat balik
(Atkins, 1999).
-
21
Konstanta dan dapat ditemukan dari kurva hubungan
terhadap c dengan persamaan :
2.6.2. Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich merupakan isoterm yang paling umum digunakan dan
dapat mencirikan proses adsorpsi dengan lebih baik (Jason, 2004). Isoterm
Freundlich menggambarkan hubungan antara sejumlah komponen yang
teradsorpsi per unit adsorben dan konsentrasi komponen tersebut pada
kesetimbangan (Gambar 8).
Gambar 8. Kurva Isoterm Freundlich
Freundlich memformulasikan persamaan isotermnya sebagai berikut :
Apabila dilogaritmakan, persamaan akan menjadi :
Keterangan :
x/m = jumlah adsorbat teradsorpsi perunit massa adsorben (mg/g)
C = konsentrasi kesetimbangan adsorbat dalam larutan setelah diadsorpsi
k,n = konstanta empiris
-
22
Isoterm Freundlich menganggap bahwa pada semua sisi permukaan
adsorben akan terjadi proses adsorpsi di bawah kondisi yang diberikan. Isoterm
Freundlich tidak mampu memperkirakan adanya sisi-sisi pada permukaan
adsorpsi pada saat kesetimbangan tercapai (Jason, 2004).
2.7. Logam Berat
Berdasarkan daya hantar elektrik, semua unsur kimia yang terdapat dalam
sistem periodik dapat dibagi menjadi 2 golongan (Cotton, 1986), yaitu logam dan
non logam. Logam mempunyai daya hantar panas dan elektrik yang tinggi
(konduktor), sedangkan non logam bersifat isolator. Berdasarkan kerapatannya,
logam dapat dibedakan atas 2 golongan, yaitu logam ringan dan logam berat.
Logam berat adalah semua jenis logam yang mempunyai berat jenis lebih besar
atau sama dengan 5 g/cm3, sedangkan logam yang mempunyai berat jenis kurang
dari 5 g/cm3 dikenal sebagai logam ringan.
Istilah logam berat secara khas mencirikan suatu unsur yang merupakan
konduktor yang baik, mudah ditempa, bersifat toksik dalam makhluk hidup,
mempunyai atom 22-92 dan terletak pada periode III dan IV dalam sistem
periodik unsur kimia (Cotton, 1986).
Logam berat adalah unsur-unsur yang umumnya digunakan dalam
industri, bersifat toksik bagi makhluk hidup dalam proses aerobik maupun
anaerobik. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat ini dapat dibagi
dalam dua jenis yaitu logam berat esensial dan non esensial. Jenis pertama adalah
logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat
dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat
-
23
menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan
lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau
beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya
atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain.
Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan
manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat
dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu
menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh,
menyebabkan alergi, bersifat mutagen, karsinogen bagi manusia ataupun hewan
(Widowati dkk., 2008).
Secara alamiah, Cu dan Pb masuk ke dalam badan perairan sebagai akibat
dari peristiwa erosi atau pengikisan batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu
dan Pb di atmosfer yang dibawa oleh air hujan, serta berasal dari buangan
industri, pertambangan Cu dan Pb, dan lainnya. Hal tersebut dapat mempercepat
terjadinya peningkatan kelarutan Cu dan Pb dalam badan perairan. Dalam kondisi
normal, keberadaan Cu dan Pb dalam perairan ditemukan dalam bentuk senyawa
CuCO3, Cu(OH)2, Pb(OH)2, dan lain-lain. Bila dalam badan perairan terjadi
peningkatan kelarutan Cu dan Pb melebihi ambang batas yang seharusnya, maka
akan terjadi peristiwa biomagnifikasi terhadap biota-biota perairan.
2.7.1. Tembaga (Cu)
Tembaga atau cuprum adalah logam dengan nomor atom 29, massa atom
63,546 g/mol, titik lebur 1083oC, titik didih 2310
oC, jari-jari atom 1,173 A
o, jari-
jari ion Cu2+
0,96Ao. Tembaga adalah logam transisi (golongan IB) yang
-
24
berwarna kemerahan, dan mudah ditempa. Tembaga bersifat racun bagi makhluk
hidup. (Kundari et al., 2008).
Secara kimia, senyawa-senyawa dibentuk oleh logam Cu (tembaga)
mempunyai bilangan valensi +1 dan +2. Berdasarkan pada bilangan valensi yang
dibawanya logam Cu dinamakan juga cuppro untuk yang bervalensi +1 dan
cuppry untuk yang bervalensi +2. Kedua jenis ion Cu tersebut dapat membentuk
kompleks ion-kompleks ion yang sangat stabil seperti Cu(NH3)6Cl2. Logam Cu
dan beberapa bentuk persenyawaannya seperti CuO, CuCO3, Cu(OH)2 dan
Cu(CN)2 tidak dapat larut dalam air dingin atau panas, tetapi mereka dapat
dilarutkan dalam asam seperti H2SO4 dalam larutan basa NH4OH.
Senyawa Cu banyak digunakan dalam industri cat sebagai antifoling,
industri insektisida dan fungisida, sebagai katalis, baterai, elektroda, penarik
sulfur dan sebagai pigmen serta pencegah pertumbuhan lumut.
2.7.2. Timbal (Pb)
Timbal atau plumbum dalam keseharian lebih dikenal dengan timah hitam
merupakan logam yang lunak dan tahan terhadap korosi atau karat sehingga
logam timbal sering digunakan sebagai bahan coating. Pb adalah logam dengan
nomor atom 82 dan nomor massa 207,2 g/mol. Pb dan persenyawaannya dapat
berada dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak terhadap
aktivitas manusia.
Secara alamiah, Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan
Pb di udara dengan bantuan air hujan. Pb yang masuk ke dalam badan perairan
sebagai dampak aktivitas manusia diantaranya adalah air buangan limbah dari
-
25
industri yang berkaitan dengan Pb, misalnya dari pertambangan bijih timah hitam
dan buangan sisa industri baterai.
Senyawa Pb yang ada dalam badan perairan dapat ditemukan dalam
bentuk ion-ion divalen atau ion-ion tetravalen (Pb2+
, Pb4+
). Ion Pb tetravalen
mempunyai daya racun yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ion Pb
divalen. Timbal bersifat toksik bagi semua organisme hidup, bahkan juga sangat
berbahaya untuk manusia. Dalam badan perairan, konsentrasi Pb yang mencapai
188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan. Keracunan timbal bersifat akut dan kronis.
Hal itu disebabkan senyawa-senyawa Pb dapat memberikan racun terhadap
banyak fungsi organ dan sistem syaraf yang terdapat dalam tubuh (Palar, 1994).
2.8. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
Spektrofotometer serapan atom (SSA) merupakan metode yang
memanfaatkan fenomena penyerapan energi sinar oleh atom netral dalam bentuk
gas sebagai dasar pengukuran dan sangat tepat digunakan untuk analisis zat pada
konsentrasi rendah. Atom-atom bebas dapat dihasilkan dengan cara
menyemprotkan sampel yang berupa larutan atau suspensi ke dalam nyala.
Besarnya kepekatan analit ditentukan dari besarnya penyerapan berkas sinar garis
resonansi yang melewati nyala.
Cara analisis ini selain atomisasi dengan nyala dapat pula dilakukan
dengan tanpa nyala (flameless atomizer), yaitu dengan menggunakan energi listrik
dengan batang karbon (CRA = Carbon Rod Atomizer) atau bahkan dengan uapnya
saja seperti pada analisis merkuri (Ewing, 1985).
-
26
Dalam Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dengan nyala, biasanya
terdapat empat jenis nyala yang digunakan sebagai bahan bakar pada SSA, yaitu:
1. Asetilen udara, suhu yang dihasilkan oleh campuran ini adalah sekitar
2300-2400 oC dengan burning velocity 160 cm/det.
2. Nitrous oksida asetilen, campuran ini dapat menghasilkan nyala
dengan panas 3200oC, tetapi burning velocyty nya cukup besar yaitu
220 cm/det.
3. Udara hidrogen
4. Argon udara hidrogen (Suryana, 2001).
Keuntungan metode SSA adalah sebagai berikut :
a. Dari satu larutan yang sama, beberapa unsur yang berlainan dapat
diukur.
b. Pengukuran dan preparasi terhadap sampel lebih mudah dibandingkan
dengan metode lainnya, seperti kolorimetri (pembentukan senyawa
berwarna), gravimetrik (endapan dikeringkan terlebih dahulu),
c. Output data (absorban) dapat langsung dibaca.
d. Dapat diaplikasikan kepada jenis unsur dalam banyak jenis.
2.8.1. Prinsip Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
Metode SSA berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom
menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung sifat
unsurnya. SSA adalah cara analitis yang berdasarkan pada proses penyerapan
energi radiasi gelombang elektromagnetik oleh populasi atom yang berbeda pada
tingkat energi yang lebih tinggi. Jika pada sejumlah populasi atom yang berada
pada tingkat energi dasar (Eo) dberikan seberkas radiasi gelombang
-
27
elektromagnetik dengan tingkat energi tertentu (sesuai dengan besarnya energi
untuk menaikkan tingkat energi atom dari Eo E1) maka sebagian dari energi
radiasi akan diserap oleh atom dan tingkat energi atom naik dari Eo E1.
Energi radiasi gelombang elektromagnetik yang tidak mengalami
penyerapan akan keluar dari populasi atom dan intensitasnya berkurang sesuai
dengan jumlah atom yang mengalami perpindahan tingkat energi. Dengan
demikian, pengurangan intensitas radiasi pada panjang gelombang yang sesuai
dapat diukur dan besarnya sebanding dengan populasi atom yang menyerap
radiasi tersebut. Dengan mengukur jumlah energi yang diserap, maka dapat
menentukan konsentrasi atom elemen yang diuji dalam contoh (Suryana, 2001).
Hubungan antara konsentrasi atom logam dengan pengukuran cahaya yang
diabsorpsi ditunjukkan dengan persamaan Lambert-Beer :
A = -log Ic/Io = Kv.d.c
Keterangan :
A = Absorbansi
Io = Intensitas cahaya awal (erg/detik)
Ic = Intensitas cahaya setelah sebagian diabsorpsi oleh contoh (erg/detik)
Kv = Absortivitas molar-konstan (mol/L.cm)
d = Tebal media (cm)
c = Konsentrasi atom analit dalam contoh (mol/L)
Secara sederhana skema alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dapat
dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Komponen-komponen utama SSA
-
28
1. Sumber Cahaya
Sumber cahaya yang banyak digunakan adalah lampu katoda berongga
(Gambar 10), tabung yang bermuatan gas sumber radiasi yang baik adalah sumber
radiasi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Memancarkan intensitas sinar dengan pita radiasi yang sempit.
b. Tidak mengabsorbsi sendiri.
c. Tidak ada background yang kontinyu.
Gambar 10. Lampu katoda
2. Sistem Atomisasi
Sistem pengatoman dengan nyala terdiri dari pembakar (burner), pengabut
(nebulizer) dan pengatur aliran gas serta kapiler (Gambar 11). Sedangkan sistem
pengatoman tanpa nyala yaitu pemanasan secara listrik oleh batang karbon dengan
tahapan pengeringan (drying), pengabuan (ashing) dan pengatoman (atomizing).
Gambar 11. Nebulizer,Burner dan Spray Chamber
-
29
Sistem pengatoman dengan nyala berfungsi untuk mengubah populasi
unsur dalam larutan menjadi populasi atom dimana akan dilakukan pengukuran
absorpsi. Proses yang terjadi dalam atomisasi secara umum adalah :
1. Nebulasi yaitu pengubahan cairan ke dalam bentuk kabut aerosol
2. Pemisahan titik-titik kabut dengan sebaran ukuran yang benar
3. Pencampuran kabut dengan gas memasukannya ke dalam burner
Gas (biasanya oksigen untuk pembakar) dialirkan ke dalam spray chamber
melalui venturi akibatnya cairan sampel terisap ke atas dan dialirkan ke dalam
spray chamber. Titik air yang besar akan mengalir ke bawah sedangkan yang
halus terus masuk ke dalam pembakar, diameter dari partikel-partikel biasanya
lebih kecil dari 2 m. Pada bagian spray chamber kabut sampel dicampur dengan
bahan bakar kemudian dimasukkan ke dalam pembakar. Campuran bahan bakar
dan oksigen harus diperhatikan dan disesuaikan dengan unsur yang dipakai.
3. Sistem Monokromator
Sistem pemilih panjang gelombang berfungsi untuk memisahkan radiasi
yang tidak diserap oleh populasi atom (yang berasal dari lampu katoda cekung)
dari radiasi-radiasi lain yang tidak diperlukan dan akan mengganggu pengukuran
intensitas radiasi yang diperlukan. Sistem monokromator terdiri dari gabungan
cermin, lensa dan prisma atau kisi (grating). Sistem monokromator ini ada yang
menggunakan saluran tunggal (single beam) dan saluran ganda (double beam).
4. Detektor
Detektor pada SSA berfungsi untuk mengubah intensitas radiasi menjadi
arus atau sinyal listrik. Keluaran dari detektor diumpankan ke suatu sistem
pencatat yang sesuai. Alat pencatat ini digunakan untuk mengubah dan mencatat
-
30
sinyal-sinyal listrik yang berasal dari suatu detektor ke suatu bentuk yang mudah
dibaca oleh operator, misalnya dalam bentuk angka-angka digital sesuai dengan
hasil analisis.
Detektor yang dipakai SSA pada umumnya adalah photomultiplier tube.
Photomultiplier tube menghasilkan sinyal listrik sebanding dengan intensitas
cahaya pada panjang gelombang yang telah dipisahkan oleh monokromator.
5. Sistem Pengolahan
Berfungsi untuk mengolah kuat arus yang dihasilkan oleh detektor
menjadi besaran daya serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi
besaran konsentrasi.
6. Pencatat (rekorder)
Berfungsi untuk mencatat hasil yang dikeluarkan oleh sistem pengolahan.
2.8.2. Metode Analisis
Ada tiga teknik yang dipakai dalam analisis secara spektrofotometri.
1. Metode Standar Tunggal
Metode ini sangat praktis karena hanya menggunakan satu larutan standar
yang telah diketahui konsentrasinya (Cstd). Selanjutnya absorbansi larutan standar
(Astd) dan absorbansi larutan sampel (Asmp) diukur dengan spektrofotometri.
Dengan mengukur absorbansi larutan sampel dan standar, konsentrasi larutan
sampel dapat dihitung.
-
31
2. Metode Kurva Kalibrasi
Dalam metode ini dibuat suatu seri larutan standar dengan berbagai
konsentrasi dan absorbansi dari larutan tersebut diukur denganSSA. Langkah
selanjutnya adalah membuat grafik antara konsentrasi (C) dengan absorbansi (A)
yang akan membentuk garis lurus melewati titik nol dengan slope = a.b.C larutan
sampel dapat dicari setelah absorbansi larutan sampel diukur dan diintrapolasi ke
dalam kurva kalibrasi atau dimasukkan ke dalam persamaan garis lurus yang
diperoleh dengan menggunakan program regresi linier pada kurva kalibrasi.
3. Metode Standar Adisi
Metode ini dipakai secara luas karena mampu meminimalkan kesalahan
yang disebabkn oleh perbedaan kondisi lingkungan (matriks) sampel dan standar.
Dalam metode ini dua atau lebih sejumlah volume tertentu dari sampel
dipindahkan ke dalam labu takar. Satu larutan diencerkan sampai volume tertentu
kemudian diukur absorbansinya tanpa ditambah dengan zat standar, sedangkan
larutan yang lain sebelum diukur absorbansinya ditambah terlebih dahulu dengan
sejumlah tertentu larutan standard dan diencerkan seperti pada larutan yang
pertama. Menurut hukum Beer :
Ax = k.Cx AT = k (Cx + Cs)
Keterangan :
Cx = Konsentrasi zat sampel
Cs = Konsentrasi zat standar yang ditambahkan ke larutan sampel
Ax = Absorbansi zat sampel (tanpa penambahan zat standar)
As = Absorbansi zat sampel + zat standar
-
32
Jika kedua persamaan diatas digabung akan menjadi :
Cx = Cs x (Ax/(AT Ax))
Konsentrasi zat dalam sampel (Cx) dapat dihitung dengan mengukur Ax dan AT
dengan spektrofotometer.
-
33
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama lima bulan yang dilaksanakan dari bulan
Juli November 2011. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di Laboratorium
Penelitian Kimia, Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan alamat di jalan Ir. H.Juanda No.95, Ciputat,
15412.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer serapan
atom Aanalyst 700 Perkin Elmer (SSA), shaker incubation (Heidolph Incubator
1000), ayakan dengan ukuran partikel 212 m Retsch, timbangan analitik, pH
meter, furnace, kertas saring, blender, dan peralatan gelas lainnya.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sabut kelapa (diambil
dari penjual minuman es kelapa di daerah Jakarta Selatan) yang sudah diberikan
perlakuan sebelumnya, CuSO4 (tembaga (II) sulfat), Pb(NO3)2 (timbal (II) nitrat),
HNO3 p.a. (asam nitrat), NaOH (natrium hidroksida), C6H8O7 (asam sitrat),
C6H5O7Na3.2H2O (trinatrium sitrat dihidrat), KH2PO4 (kalium dihidrogen posfat),
Na2HPO4.2H2O (dinatrium hidrogen posfat dihidrat) , aquadest, dan air limbah.
-
34
3.3. Preparasi Sampel Sabut Kelapa
Sabut kelapa dikeringanginkan dibawah sinar matahari selama satu
minggu kemudian di potong- potong dengan ukuran 1 cm, kemudian diarangkan
pada suhu 250oC selama 2,5 jam sehingga menjadi serbuk arang. Arang tersebut
dihaluskan dengan blender. Setelah itu, diayak dengan pengayak ukuran partikel
212 m (Saniyyah, 2010).
3.4. Penentuan Kondisi Optimum
3.4.1. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga
(Cu) dan Timbal (Pb)
Arang sabut kelapa dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-
masing dengan massa 0,5 ; 1 ; dan 1,5 gram, dimasukkan masing-masing
kedalam erlenmeyer 100 mL. Kemudian dimasukkan 20 mL larutan ion logam
dengan konsentrasi 10 mg/L ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer tersebut
diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada
suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu campuran disaring dengan menggunakan
kertas saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan kedalam vial dan ditambahkan
satu tetes HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan
SSA.
3.4.2. Pengaruh pH Larutan Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga
(Cu) dan Timbal (Pb)
Arang sabut kelapa dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-
masing dengan massa 1,5 gram. Setelah itu, dimasukkan kedalam erlenmeyer
100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion logam 10 mg/L dengan variasi pH 3,
4, 5, dan 6. Sedangkan untuk ion logam tembaga (Cu) dibuat juga larutan dengan
-
35
pH 7. Erlenmeyer yang berisi adsorben dan larutan ion logam dengan pH tertentu
diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada
suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara
disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan
kedalam vial dan ditambahkan satu tetes HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi
ion logam diukur dengan SSA.
3.4.3. Pengaruh Konsentrasi Ion Logam Terhadap Penyerapan Ion Logam
Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)
Arang sabut kelapa dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-
masing dengan massa 1,5 gram. Setelah itu, dimasukkan kedalam erlenmeyer
100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion logam dengan variasi konsentrasi
10, 20, 30, dan 40 mg/L dengan pH optimum. Erlenmeyer tersebut diletakkan
pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada suhu ruang
selama 30 menit. Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara disaring dengan
menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan kedalam vial dan
ditambahkan satu tetes HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi ion logam
diukur dengan SSA.
3.4.4. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam
Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)
Arang sabut kelapa dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-
masing dengan massa 1,5 gram. Setelah itu, dimasukkan kedalam erlenmeyer
100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion logam dengan konsentrasi optimum
dan pH optimum untuk masing-masing ion logam. Erlenmeyer tersebut
diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada
suhu ruang dengan variasi waktu pengadukan 30, 60, 90, dan 120 menit. Setelah
-
36
itu campuran dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas
saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan kedalam vial dan ditambahkan satu tetes
HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.
3.4.5. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan Ion Logam
Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)
Sabut kelapa yang telah dikering anginkan dan dihaluskan, dipanaskan
dalam furnace dengan variasi temperatur pengarangan 250 oC, 350
oC, 450
oC,
dan 550oC. Arang sabut kelapa yang telah terbentuk dengan variasi temperatur
pengarangan tersebut ditimbang masing-masing 1,5 gram. Setelah itu,
dimasukkan kedalam erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion
logam dengan konsentrasi dan pH optimum untuk masing-masing logam.
Erlenmeyer tersebut diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan
pengadukan 180 rpm pada suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu campuran
dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil
saringan dimasukkan kedalam vial dan ditambahkan satu tetes HNO3 pekat dan
selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.
3.5. Aplikasi Limbah
Air limbah Laboratorium Kimia Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Balai Teknologi Lingkungan, dan air limbah
pencucian aki diambil kemudian disaring untuk memisahkan larutan dari padatan
yang tidak larut. Setelah itu diukur konsentrasi awal dari ion logam tembaga (Cu)
dan timbal (Pb) sebelum dilakukan adsorpsi menggunakan arang sabut kelapa.
Kemudian air limbah yang telah diukur konsentrasi ion logam awal, dilakukan
pengaturan pH agar tercapai pH optimum untuk masing-masing logam.
-
37
Dengan menggunakan kondisi optimum yang diperoleh, arang sabut
kelapa ditimbang sebanyak 1,5 gram. Setelah itu dimasukkan kedalam
erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion logam dengan
konsentrasi dan pH optimum untuk masing-masing logam. Erlenmeyer tersebut
diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada
suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara
disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan ke
dalam vial dan ditambahkan satu tetes HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi
ion logam diukur dengan SSA.
-
38
3.6. Bagan Alir Penelitian
Pengeringan dibawah
sinar matahari
Sampel dihaluskan
Preparasi Sampel
(Sabut Kelapa)
Sampel diarangkan
Penentuan
Kondisi Optimum
1. Massa
Adsorben
3. Konsentrasi
Ion Logam
2. pH
Larutan
4. Lama
Pengadukan
5. Temperatur
Pengarangan
Penentuan Isoterm
Aplikasi Terhadap Limbah
-
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penentuan Kondisi Optimum
Penelitian yang telah dilakukan diawali dengan menggunakan sampel
sabut kelapa (212 m) tanpa pengarangan sebagai adsorben. Hasil pengukuran
efisiensi penyerapan ion logam tembaga (Cu) dan timbal (Pb) oleh sabut kelapa
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Efisiensi Adsorpsi Ion Logam Cu dan Pb Oleh Sabut Kelapa
No Ion
Logam
Massa
Adsorben (g)
C
(mg/L)
C1 (mg/L)
C2
(mg/L) %E
Q
(mg/g)
1 Cu 1,5000 10 8,1815 7,4635 8,78 0,0095
2 Pb 1,5000 10 10,7329 9,9670 7,13 0,0093
Pada Tabel 2 menunjukkan nilai efisiensi penyerapan ion logam Cu
(8,78%) dan Pb (7,13%) dengan menggunakan sabut kelapa tidak maksimal. Hal
ini disebabkan karena struktur pori sabut kelapa pada permukaan sabut kelapa
belum terbuka sempurna sehingga daya serap terhadap adsorbatnya kecil. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan nilai efisiensi penyerapan maksimal dilakukan
pengarangan pada sabut kelapa untuk mengaktivasi struktur pori (sisi aktif) secara
sempurna.
Berikut adalah data hasil lima parameter penentuan kondisi optimum
adsorpsi logam Cu dan Pb oleh arang sabut kelapa, yaitu massa adsorben, pH,
konsentrasi ion logam, lama pengadukan, dan temperatur pengarangan.
-
40
4.1.1.Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga
(Cu) dan Timbal (Pb)
Hasil pengukuran pengaruh massa arang sabut kelapa terhadap penyerapan
ion logam Cu dan Pb ditunjukkan pada Tabel 4 dan 5 (Lampiran 1) dan Gambar
12. Variasi massa adsorben yang digunakan adalah 0,5 ; 1 ; dan 1,5 gram. Hal ini
terkait dengan skala perbandingan massa adsorben dengan volume larutan ion
logam yang digunakan (20 mL). Jika massa adsorben diperbesar maka adsorben
tidak akan teraduk secara sempurna (tidak bersinggungan dengan adsorbat)..
Pada Gambar 12 menunjukkan bahwa untuk kedua logam massa arang
sabut kelapa berbanding lurus dengan nilai efisiensi penyerapan yaitu semakin
banyak arang sabut kelapa yang digunakan maka semakin besar pula nilai
efisiensi penyerapannya.
Gambar 12. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu
dan Pb (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion Logam 10
mg/L, Lama Pengadukan 30 menit, dan Temperatur Pengarangan
Adsorben 250 oC).
Menurut Barros (2003), nilai efisiensi penyerapan akan meningkat jika
terjadi peningkatan massa adsorben. Hal ini disebabkan karena terjadi
peningkatan sisi aktif adsorben. Semakin banyak arang sabut kelapa yang
digunakan maka akan semakin bertambah sisi aktif adsorben arang sabut kelapa
untuk proses penyerapan adsorbat (logam Cu dan Pb) ke permukaan partikel arang
0
5
10
15
20
0 0.5 1 1.5 2Efi
sien
si P
eny
era
pa
n
(%)
Massa Adsorben (g)
Pb
Cu
-
41
sabut kelapa. Efisiensi adsorpsi menyatakan banyaknya konsentrasi ion logam
yang diadsorpsi oleh adsorben sehingga nilainya ditentukan oleh perubahan
konsentrasi ion logam setelah diadsorpsi oleh adsorben.
Sementara jika adsorben (arang sabut kelapa) yang digunakan lebih sedikit
maka adsorbat yang di adsorp juga lebih sedikit, karena sisi aktif adsorben dalam
larutan logam tidak tersedia untuk mengadsorp ion logam secara maksimal. Sisi
aktif seluruh permukaan partikel arang sabut kelapa sudah mengadsorp logam Cu
dan Pb. Jadi, massa maksimum arang sabut kelapa terhadap adsorpsi ion logam
Cu dan Pb yang digunakan pada penelitian ini adalah 1,5 gram.
4.1.2. Pengaruh pH Larutan Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga
(Cu) dan Timbal (Pb)
Nilai pH merupakan faktor internal yang mempengaruhi kesetimbangan
kimia didalam larutan logam. Variasi pH yang digunakan yaitu pada kondisi asam
(3, 4, 5, 6, dan 7). Hal ini dikarenakan pada kondisi basa (pH 8-14) logam lebih
cenderung bereaksi dengan ion hidroksida (OH-) yang ditandai dengan
terbentuknya endapan hidroksida di akhir reaksi.
Data pengaruh pH terhadap penyerapan ion logam Cu dan Pb dapat dilihat
pada Tabel 6 dan 7 (Lampiran 1) dan Gambar 13.
Gambar 13 . Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu dan Pb.
(Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion Logam 10 mg/L,
Lama Pengadukan 30 menit, dan Temperatur Pengarangan
Adsorben 250 oC).
0
50
100
150
0 2 4 6 8
Efi
sien
si
Pen
yer
ap
an
(%
)
pH
Pb
Cu
-
42
Pada Gambar 13 terlihat bahwa untuk penyerapan logam Cu semakin
tinggi nilai pH maka terjadi peningkatan efisiensi penyerapan. pH optimum untuk
penyerapan logam Cu adalah pada pH 6, karena efisiensi penyerapannya tertinggi
(94,92%). Sementara pada pH 7 nilai efisiensi penyerapan tetap terus meningkat,
Hal ini disebabkan oleh pada kondisi netral (pH 7) akan terjadi reaksi hidrolisis
karena jumlah ion H+
sama dengan ion OH-, sehingga pada kondisi ini logam tidak
stabil dalam bentuk ion, adsorbat lebih cenderung bereaksi untuk membentuk
senyawa. Sehingga berkurangnya ion logam Cu pada larutan terjadi bukan karena
terserap ke permukaan adsorben, tetapi karena logam Cu bereaksi untuk
membentuk senyawa (Fatoni, 2009).
Nilai pH merupakan faktor yang mempengaruhi kesetimbangan kimia
dalam suatu larutan. Ion-ion H+, OH
-, dan molekul adsorbat (logam) akan terjadi
kompetisi untuk bereaksi baik logam dengan ion H+/OH
- maupun logam dengan
molekul yang terikat pada permukaan adsorben.
Pada pH 3 dan 4 jumlah proton (ion H+) lebih banyak dibandingkan
dengan ion OH-, hal ini memungkinkan terjadinya proses adsorpsi lebih besar
dibandingkan pada pH tinggi.
Pada kondisi basa (pH 8-14), jumlah ion OH- lebih banyak dibandingkan
proton (ion H+) didalam larutan. Banyaknya ion OH
- dalam larutan
mengakibatkan timbulnya reaksi antara adsorbat (logam Pb dan Cu) yang
bermuatan positif dengan ion OH- yang ditandai dengan terbentuknya endapan
Pb(OH)2 dan Cu(OH)2 sehingga efisiensi penyerapannya sulit untuk ditentukan,
karena tidak diketahuinya logam bereaksi dengan ion OH-
atau terserap ke
permukaan arang sabut kelapa .
-
43
Faktor lain yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah kecepatan gerak
partikel dalam larutan. Ion OH- dalam larutan cenderung bergerak lebih cepat
untuk mencari kation membentuk ikatan ion. Logam Pb dan Cu yang bermuatan
positif (kation) lebih cepat terikat oleh ion OH- membentuk senyawa hidroksida,
karena sudah bereaksi, maka ion-ion logam tidak akan mengalami proses
adsorpsi. Oleh karena itu, proses adsorpsi logam cenderung terjadi pada kondisi
asam. Untuk adsorpsi ion logam Pb, pH optimum adsorpsi adalah pada pH 4 dan
ion logam Cu pada pH 6.
4.1.3. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga
(Cu) dan Timbal (Pb)
Kemampuan suatu adsorben untuk mengadsorpsi logam sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi ion logam. Hasil pengaruh konsentrasi ion logam
terhadap penyerapan ion logam tembaga dan timbal oleh arang sabut kelapa
ditunjukkan pada Tabel 8 dan 9 (Lampiran 1) dan Gambar 14.
Gambar 14. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu danPb.
(Volume Larutan 20 mL, Lama Pengadukan 30 menit, dan
Temperatur Pengarangan 250 oC).
Pada Gambar 14 terlihat penurunan efisiensi penyerapan. Hal ini
disebabkan karena pada konsentrasi ion logam yang lebih besar terdapat
ketidakseimbangan antara jumlah ion logam yang akan diserap (adsorbat)
020406080
100120
0 10 20 30 40 50
Efi
sien
si P
eny
era
pa
n
(%)
Konsentrasi (mg/L)
Pb
Cu
-
44
terhadap sisi aktif adsorben yaitu kuantitas jumlah adsorbat lebih banyak didalam
larutan dibandingkan dengan sisi aktif adsorben. Pada kondisi ini permukaan
adsorben akan mengalami titik jenuh sehingga adsorbat akan kembali terlepas dari
permukaan adsorben (desorpsi) (Fatoni, 2009).
Dengan meningkatnya konsentrasi ion logam didalam larutan, terjadi
penurunan efisiensi penyerapan dan peningkatan kapasitas penyerapan. Efisiensi
adsorpsi menyatakan banyaknya konsentrasi ion logam yang diadsorpsi oleh
adsorben sehingga nilainya ditentukan oleh perubahan konsentrasi ion logam
setelah diadsorpsi oleh adsorben.
4.1.4. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam
Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)
Hasil pengaruh lama pengadukan terhadap adsorpsi logam Pb dan Cu
ditunjukkan pada Tabel 10 dan 11 (Lampiran 1) dan Gambar 15.
Gambar 15. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam
Cu danPb. (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion Logam 10
mg/L, dan Temperatur Pengarangan 250 oC).
Pada Tabel 10 dan 11 terlihat bahwa pada adsorpsi kedua logam (Cu dan
Pb) memiliki nilai kapasitas adsorpsi yang relatif tidak berubah (Cu (0,0672;
0,1138; 0,1121; 0,1143) dan Pb (0,1065; 0,1713; 0,1715; 0,1711) mg/g ). Hal ini
93
94
95
96
97
98
99
100
0 50 100 150
Efi
sien
si P
eny
era
pa
n (
%)
Lama Pengadukan (menit)
Pb
Cu
-
45
disebabkan karena kemampuan penyerapan adsorben arang sabut kelapa terhadap
adsorbat sudah mencapai nilai maksimum. Semakin lamanya waktu pengadukan
pada shaker incubation dapat melepas adsorbat dari permukaan adsorben.
Dari Gambar 15 terlihat bahwa parameter lama pengadukan tidak
mempengaruhi proses penyerapan secara signifikan. Nilai efisiensi dan kapasitas
penyerapan ion logam memperlihatkan nilai yang stabil. Untuk ion logam Pb nilai
efisiensi penyerapannya berkisar antara 97-98% sedangkan untuk ion logam Cu
berkisar antara 94-95% . Oleh karena itu, untuk proses adsorpsi kedua ion logam
digunakan lama pengadukan optimum berlangsung selama 30 menit. Hal ini
dilakukan untuk mengefisienkan waktu, nilai efisiensi penyerapan tertinggi untuk
ion logam Cu dicapai pada lama pengadukan 60 menit, tetapi nilai efisiensi
penyerapan waktu 30 menit tidak mengalami peningkatan sesuai dengan
peningkatan lamanya waktu pengadukan hingga 60 menit.
Untuk ion logam Pb nilai efisiensi penyerapan tertinggi pada lama
pengadukan 30 menit. Setelah 30 menit, adsorbat mengalami desorpsi sehingga
nilai efisiensinya mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adsorpsi ion logam
Pb berlangsung secara fisisorpsi yang memiliki kekuatan ikatan yang lemah.
4.1.5. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan Ion Logam
Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)
Pada parameter ini adsorben sabut kelapa dipanaskan tanpa berhubungan
dengan udara luar dan diberi variasi suhu yang dipakai. Hal ini dikenal dengan
proses pirolisis. Pada proses pirolisis akan terjadi reaksi penguraian dari senyawa-
senyawa kompleks penyusun dan menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu
padatan, cairan dan gas (Widjaya, 1982).
-
46
Hasil arang dari variasi temperatur 250, 350, 450, dan 550 oC secara fisik
tidak memperlihatkan perbedaan secara signifikan. Setelah dilakukan pengadukan
selama 30 menit, warna larutan filtrat yang dihasilkan pada masing-masing
temperatur berbeda-beda. Perbedaan warna filtrat hasil penyaringan disebabkan
karena adanya senyawa-senyawa yang hilang pada proses pembakaran menjadi
arang. Semakin tinggi temperatur yang dipakai, maka akan semakin banyak
senyawa-senyawa yang hilang (Prananta, 2010). Hal ini menyebabkan filtrat hasil
saringan oleh arang sabut kelapa 550 oC lebih jernih dibandingkan dengan arang
sabut kelapa 250 oC dan 350
oC.
Data penyerapan logam Cu dan Pb untuk parameter temperatur
pengarangan dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13 (Lampiran 1) dan Gambar 16.
Dari hasil tersebut konsentrasi ion logam Pb memiliki nilai efisiensi penyerapan
yang stabil (99%). Hal ini menunjukkan adsorpsi ion logam Pb tidak dipengaruhi
oleh temperatur pengarangan sabut kelapa dalam proses pembuatan menjadi
arang.
Gambar 16. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan Ion Logam
Cu danPb. (Volume Larutan 20 ml, Konsentrasi Ion Logam 10 mg/L,
dan Lama Pengadukan 30 menit).
Pada adsorpsi ion logam Cu, arang sabut kelapa dengan temperatur
pemanasan 550 oC mengalami penurunan efisiensi penyerapan. Hal ini disebabkan
karena struktur sisi aktif arang sabut kelapa mengalami perubahan. Pada
85
90
95
100
105
0 200 400 600
Efi
sien
si
Pen
yer
ap
an
(%
)
Temperatur Pengarangan (oC)
Pb
Cu
-
47
temperatur tinggi (diatas 500 oC) akan terjadi reaksi kondensasi dan pembentukan
senyawa baru seperti senyawa hidrokarbon polisiklik aromatis, sehingga
mempengaruhi proses adsorpsi. Hal ini dikarenakan gugus OH yang
mempengaruhi proses adsorpsi pada suhu tinggi akan bereaksi membentuk
senyawa baru seperti siringol, fenol, dan derivatnya. (Prananta, 2010).
4.2. Aplikasi Penyerapan Ion Logam Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) dalam
Air Limbah
Limbah yang digunakan dalam aplikasi penyerapan ion logam dengan
menggunakan arang sabut kelapa berasal dari limbah laboratorium kimia Pusat
Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Jakarta, laboratorium analitik Balai Teknologi
Lingkungan (BTL) Serpong, dan limbah pencucian aki.
Sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi awal dari ion logam yang akan
diukur denga SSA sebagai kontrol , air limbah yang telah diambil terlebih dahulu
disaring dengan kertas saring untuk memisahkan residu pengotor dan di atur pH
nya sesuai dengan pH optimum dari masing-masing logam.
Tabel 3 menunjukkan hasil analisis penyerapan ion logam Cu dan Pb
dalam air limbah dengan menggunakan adsorben berbeda yaitu arang sabut kelapa
dan arang tongkol jagung. Pada tabel tersebut terlihat bahwa penyerapan ion
logam Pb dua limbah laboratorium cukup baik karena konsentrasi ion logam Pb
mencapai nilai 99% untuk efisiensi penyerapannya.
Pada limbah pencucian aki memiliki nilai efisiensi penyerapan ion logam
Pb kecil dibandingkan efisiensi penyerapan pada limbah lab UIN dan BTL. Hal
ini disebabkan karena adanya kompetisi dengan ion hidroksida yang ditambahkan
-
48
pada larutan untuk mencapai pH optimum karena pH awal dari limbah pencucian
aki bersifat asam yang disebabkan aki menggunakan pelarut asam (H2SO4).
Tabel 3. Aplikasi Penyerapan Ion Logam Cu dan Pb Oleh Arang Sabut Kelapa
dan Arang Tongkol Jagung (Lestari, 2012) dalam Air Limbah.
Ion
Logam Limbah
Arang Sabut Kelapa Arang Tongkol Jagung
C1 C2 %E Q C1 C2 %E Q
Cu Lab UIN 8,5946 1,5314 82,18 0,0953 8,5946 2,4274 71,76 0,0826
Cu Lab BTL 9,5986 6,7549 29,62 0,0381 9,5986 5,0265 47,63 0,0604
Cu Aki 2,1312 2,5355 0 0 2,1312 2,2591 0 0
Pb Lab UIN 11,8197 0,0414 99,65 0,1552 11,8197 0,1863 98,42 0,1552
Pb Lab BTL 3,2706 0,0414 98,73 0,0931 3,2706 0,0414 98,73 0,0414
Pb Aki 22,2007 19,8099 10,76 0,0031 22,2007 1,6456 25,70 0,0072
Keterangan :
C1 = Konsentrasi Awal (mg/L)
C2 = Konsentrasi Akhir (mg/L)
%E = Efisiensi Penyerapan (%)
Q = Kapasitas Penyerapan (mg/g)
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa arang sabut kelapa dan arang tongkol
jagung (Lestari,2012) berpotensi sebagai adsorben yang memiliki kemampuan
mengadsorp ion logam Cu dan Pb dalam air limbah. Berdasarkan data pada Tabel
3 arang sabut kelapa memiliki nilai efisiensi penyerapan yang lebih besar
dibandingkan arang tongkol jagung. Hal ini disebabkan oleh kandungan senyawa
kimia yang mengandung gugus OH (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) lebih
banyak pada sabut kelapa dibandingkan dengan tongkol jagung.
Sabut kelapa tersusun dari senyawa seperti selulosa, hemiselulosa dan
lignin yang mengandung gugus OH yang terikat dan dapat berinteraksi dengan
komponen adsorbat. Gugus OH pada suatu senyawa menyebabkan terjadinya sifat
-
49
polar pada komponen yang disusun. Dengan demikian adsorben arang sabut
kelapa lebih mengadsorpsi zat yang bersifat polar daripada zat yang kurang polar.
Fenomena ini sesuai dengan istilah like dissolves like . Mekanisme adsorpsi
yang terjadi antara gugus OH yang terikat pada permukaan dengan ion logam
yang bermuatan positif (kation) adalah sebagai berikut :
COH + M+ YO M + H+
COH +M2+ YO M
M + 2H+
YOM
M+ dan M
2+ adalah ion logam, -OH adalah gugus hidroksil dan C adalah
matriks tempat gugus OH terikat (selulosa). Interkasi antara gugus OH dengan
ion logam juga memungkinkan melalui mekanisme pembentukan kompleks
koordinasi karena atom oksigen pada gugus OH mempunyai pasangan elektron
bebas, sedangkan ion logam mempunyai ordital d kosong. Pasangan elektron
bebas tersebut akan menempati orbital kosong yang dimiliki oleh ion logam,
sehingga terbentuk suatu senyawa atau ion kompleks (Cotton, 1986).
4.3. Isoterm Adsorpsi
Tipe isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme
adsorpsi. Dalam penelitian ini digunakan dua model tipe isoterm. Tipe isoterm
adsorpsi dapat menunjukkan kesetimbangan adsorpsi ion logam Cu dan Pb
sebagai adsorbat dalam larutan (air limbah) dengan menggunakan adsorben arang
sabut kelapa. Kesetimbangan Adsorpsi fase padat-cair pada umumnya menganut
-
50
tipe isoterm Freundlich dan Langmuir (Atkins, 1999). Ikatan yang terjadi antara
molekul adsorbat dengan permukaan adsorben dapat terjadi secara fisisorpsi dan
kimisorpsi. Perhitungan tipe adsorpsi ion logam Cu disajikan pada Tabel 14 dan
16 (Lampiran 2 dan 3). Dari kedua tabel tersebut dapat digambarkan kurva kedua
jenis tipe isoterm pada Gambar17.
(a) (b)
Gambar 17. Kurva (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich Adsorpsi Ion
Logam Tembaga (Cu) Oleh Arang Sabut Kelapa.
Pada adsorpsi ion logam Cu (Gambar 17), tipe isoterm Freundlich
menunjukkan linieritas yang lebih tinggi, yaitu 97,3% dibandingkan dengan
isoterm Langmuir yaitu 87%. Adsorpsi ion logam Cu cenderung lebih dominan
mengikuti tipe isoterm Freundlich. Jika adsorpsi cenderung mengikuti tipe isoterm
Freundlich maka adorpsi berlangsung secara fisisorpsi multilayer.
Mekanisme fisisorpsi memungkinkan terjadinya ikatan antar ion logam
yang terdapat dalam larutan maupun limbah, selain ikatannya dengan adsorben.
Kedua ikatan tersebut hanya terikat oleh gaya van der Waals sehingga ikatan
antara adsorbat dengan adsorben bersifat lemah. Hal ini memungkinkan adsorbat
bergerak bebas hingga akhirnya berlangsung proses adsorpsi banyak lapisan.
y