universitas klabat · jiwa yang sehat who (1959) •individu mampu menyesuaikan diri secara...
TRANSCRIPT
Prepared by Ns. I Gede Purnawinadi, S.Kep., M.Kes.
UNIVERSITAS KLABAT Airmadidi, Manado 95371 - SULUT - INDONESIA
☏ (62) 85256923813 - ✉ [email protected]
http://igemiracle.weebly.com
Indonesia Raya Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya Merdeka MerdekaTanahku negriku yang kucinta Indonesia Raya Merdeka MerdekaHiduplah Indonesia Raya Indonesia Raya Merdeka MerdekaTanahku negriku yang kucinta Indonesia Raya Merdeka MerdekaHiduplah Indonesia Raya
GANGGUAN JIWA • Gangguan jiwa menurut PPDGJ III
adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maslim, 2002; Maramis, 2010).
Somatogenik
Psikogenik
Sosial Budaya
formula P = f (H.E.T)
P = perilaku
f = fungsi
H = hereditas
E = environment
T = time
• Perilaku atau kepribadian seseorang (individu) merupakan fungsi dari hereditas (keturunan), environment (lingkungan), dan time (kematangan)
Konsep Dasar
Jiwa yang
SEHAT
Organobiologik
Psiko-edukatif
Sosial-Budaya
Spiritual
Ketidak seimbangan zat kimia dalam otak yang disebut neurotransmiter. Biasanya dikarenakan kurangnya suplai oksigen ketika bayi lahir atau saat persalinan atau adanya faktor genetik.
Faktor psikologis dan pembelajaran yang berpengaruh terhadap kepribadian seseorang baik menyenangkan, menentramkan, memanjakan, maupun mengancam, menakutkan dan menyedihkan.
Merupakan hal-hal yang berasal dari lingkungan sosial dan budaya setempat yang hidup dan berkembang di sekitarnya.
Berhubungan dengan kondisi religi seseorang. Seseorang yang lebih religius cenderung lebih menghargai kehidupan. Sebaliknya, orang yang kurang religius rentan terhadap depresi.
Jiwa yang
SEHAT
WHO (1959) • Individu mampu menyesuaikan diri secara konstruktif
pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya. • Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya. • Merasa lebih puas memberi dari pada menerima. • Secara relatif bebas dari rasa tegang (stress), cemas
dan depresi. • Mampu berhubungan dengan orang lain secara tolong
menolong dan saling memuaskan. • Mampu menerima kekecewaan sebagai pelajaran yang
akan datang • Mempunyai rasa kasih sayang.
Klasifikasi Gangguan Jiwa
Kriteria diagnosis DSM menggunakan sistem multiaksis, yang menggambarkan berbagai gejala yang harus ada agar diagnosis dapat ditegakkan (Katona, 2012).
Aksis 1 : sindroma klinis dan kondisi lain yang mungkin menjadi fokus perhatian klinis.
Aksis 2 : gangguan kepribadian dan retardasi mental.
Aksis 3 : kondisi medis secara umum.
Aksis 4 : masalah lingkungan dan psikososial.
Aksis 5 : penilaian fungsi secara global.
• Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) pada awalnya disusun berdasarkan berbagai klasifikasi pada DSM, tetapi pada PPDGJ III disusun berdasarkan ICD X. Secara singkat, klasifikasi PPDGJ III :
F00 – F09 : gangguan mental organik (termasuk gangguan mental simtomatik).
F10 – F19 : gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.
F20 – F29 : skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham.
F30 – F39 : gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
F40 – F48 : gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stres.
F50 – F59 : sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
F60 – F69 : gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa.
F70 – F79 : retardasi mental.
F80 – F89 : gangguan perkembangan psikologis.
F90 – F98 : gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada anak dan remaja.
• Klasifikasi diagnosis
keperawatan pada pasien gangguan jiwa dapat ditegakkan berdasarkan kriteria NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) ataupun NIC (Nursing Intervention Classification) NOC (Nursing Outcame Criteria). Untuk di Indonesia menggunakan hasil penelitian terhadap berbagai masalah keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa. Pada penelitian tahun 2000, didapatkan tujuh masalah keperawatan utama yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa di Indonesia, yaitu:
Perilaku Kekerasan (PK)
Halusinasi
Menarik Diri (ISOS)
Waham
Resiko Bunuh Diri
Defisit Perawatan Diri
Harga Diri Rendah (HDR)
• Hasil penelitian terakhir, yaitu tahun 2005, didapatkan sepuluh diagnosis keperawatan terbanyak yang paling sering ditemukan di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah sebagai berikut.
Perilaku Kekerasan
Risiko Perilaku Kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, verbal)
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi (pendengaran, pengelihatan, pengecap, peraba, penciuman
Gangguan Proses Pikir
Kerusakan Komunikasi Verbal
Risiko Bunuh Diri
Isolasi Sosial
Kerusakan Interaksi Sosial
Defisit Perawatan Diri (mandi, berhias, makan, eliminasi)
Harga Diri Rendah Kronis
standar rencana tindakan yang dapat digunakan acuan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan kesehatan jiwa.
Strategi Pelaksanaan
(SP) Tindakan
Keperawatan
KEPERAWATAN JIWA Proses Interpersonal
Meningkatkan dan Mempertahankan
Perilaku
Fungsi Terintegrasi
Trust
Helper
Terapeutik
1. Apakah saya dapat dipandang sebagai orang yang dapat dipercaya, serta dapat dijadikan pegangan atau konsisten
dalam arti yang mendalam? 2. Apakah saya cukup ekspresif? 3. Apakah saya bersikap positif, hangat, perhatian, menyukai, menaruh perhatian, dan respek? 4. Apakah saya cukup stabil untuk berpisah dengan seseorang? 5. Apakah saya dapat membiarkan diri sepenuhnya “masuk ke dunia” orang lain (perasaan, makna diri) dan menerima
pihak lain apa adanya? 6. Apakah perilaku saya tidak dianggap sebagai ancaman pihak lain? 7. Apakah saya membebaskan pasien dari perasaan terancam oleh kritik/kecaman/penilaian eksternal? 8. Apakah saya menerima pasien sebagai “on becoming individu” ataukah terikat oleh kesan yang lalu?