universitas indonesia hubungan dosis dan retensi...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN DOSIS DAN RETENSI PADA TERAPI RUMATAN METADON MULTIEPISODE
DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA DAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
(Analisis Data Rekam Medik Tahun 2006– 2009)
TESIS
Helsy Pahlemy NPM.0806422076
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK JULI 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
i
HUBUNGAN DOSIS DAN RETENSI
PADA TERAPI RUMATAN METADON MULTIEPISODE DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA
DAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI (Analisis Data Rekam Medik Tahun 2006– 2009)
TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
Helsy Pahlemy NPM.0806422076
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN DEPARTEMEN FARMASI FMIPA
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK
JULI 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Helsy Pahlemy
NPM : 0806422076
Tanda Tangan :
Tanggal : 16 Juli 2010
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah swt, karena hanya atas rahman dan
rahim-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
diselenggarakan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai
gelar Magister Ilmu Kefarmasian pada Departemen Farmasi Univerersitas
Indonesia. Saya menyadari tanpa bantuan serta bimbingan semua pihak, sejak
masa perkuliahan hingga penyusunan tesis ini, tidak lah bisa saya menyelesaikan
penulisan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dra. Retno MSc, Phd dan dr. P. Sandy Noveria, MKK selaku dosen
pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam
rangka penyusunan tesisi ini;
2. Dra. Azizahwati MS.Apt dan Dr. Asliati Asril SpKJ selaku penguji yang
telah memberikan kontribusi terhadap perbaikan tesis ini;
3. Pihak Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit
Fatmawati khususnya instalasi rawat jalan metadon yang telah
memberikan kesempatan untuk memperoleh data yang saya perlukan;
4. Kementrian Kesehatan khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan serta yang memberikan izin serta dukungan sejak
awal hingga akhir masa perkuliahan
5. Suamiku tercinta, anak-anakku tersayang Miskawaih dan Adley yang terus
memberikan doa, semangat dan pengertian yang besar;
6. Mama dan Papa yang doa, kasih sayang, semangat serta cintanya
memberikan inspirasi bagi semua anak-anaknya;
7. Uda serta adik-adik yang memberikan doa, dukungan,dan bantuan yang
memperlancar penyelesaian tesis ini;
8. Semua sahabat : Siti Mariam, Siti Fauziyah, Maya, Ilan yang telah banyak
membantu memberikan kontribusi, dukungan serta semangat sejak awal
hingga akhir perkuliahan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
v
9. Semua sahabat di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
atas dukungan dan doanya;
10. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu;
Akhir kata, saya berharap semoga Allah swt berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu . Smeoga tesis ini memberikan
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, 16 Juli 2010
Penulis
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
vii
ABSTRAK
Program Studi : Ilmu Kefarmasian Judul : Hubungan antara Dosis dan Retensi pada Terapi Rumatan
Metadon Faktor yang mempengaruhi retensi terapi rumatan metadon telah diketahui, namun demikian penelitian yang ada masih terbatas pada dosis rumatan dan dosis terbesar serta pada satu episode perawatan. Untuk itu diperlukan penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara retensi dengan berbagai pengukuran dosis dan perawatan berulang (multiepisode) terapi rumatan metadon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara waktu berada dalam terapi dan dosis yang diberikan pada terapi rumatan metadon. Penelitian dilakukan secara retrospektif cross sectional terhadap data sekunder berupa data rekam medik pasien ketergantungan opioid yang mendapat terapi rumatan metadon antara tahun 2006-2009 pada Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Penelitian ini melibatkan 231 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan dosis awal rata-rata Dosis awal rata-rata = 24,61 mg (kisaran 20-40 mg); dosis 2 minggu terapi rata-rata = 47,26 mg (kisaran 15-80 mg), dosis rumatan terkecil rata-rata= 57,82 mg (kisaran 15-115 mg), dosis rumatan terbesar rata-rata = 78,45 mg (kisaran 25-210 mg), dosis rumatan rata-rata= 68,38 mg (kisaran 22,5-165 mg). Nilai retensi 46,8%. Dosis rumatan terbesar menujukkan hubungan bermakna (P= 0,000). Dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan rata-rata menunjukkan hasil tidak bermakna dengan nilai P berturut-turut adalah (P = 0,221; P= 0,774; P = 0,895; P= 0,103). Usia, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, dan interaksi obat tidak mempengaruhi retensi. Hubungan dosis dan retensi pada pasien yang mengalami multiepisode: tidak terdapat hubungan antara dosis dan rumatan baik pada episode pertama maupun pada episode kedua. Penelitian ini menyimpulkan semakin besar dosis metadon semakin besar retensi pada terapi rumatan metadon. Kata kunci: metadon, dosis, retensi, multiepisode, terapi rumatan metadon XIII+p.125
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
viii
ABSTRACT
Program : Pharmacy Title : Relationship between Dose and Retention on Methadone Maintenance
Therapy Multiepisode on Ketergantungan Obat Hospital, Jakarta and Fatmawati Central General Hospital, Jakarta (Medical Record Data Analysis in 2006-2009)
Factors affecting the retention of methadone maintenance therapy has been known, however, there is still limited research on the maintenance dose and the highest doses and in one episode of treatment. For that needed research that explores the relationship between the retention of the various dose measurement and treatment of recurrent (multiepisode) methadone maintenance therapy. This study aimed to determine the relationship between retention and the measurement doses given on methadone maintenance therapy. This study was a retrospective cross sectional on opioid dependence’s patient medical records who received methadone maintenance therapy between the years 2006-2009. This study involved 231 patients in Ketergantungan Obat Hospital and Fatmawati Hospital Jakarta who entered the inclusion criteria. Results showed that patients got methadone dose: average initial dose = 24.61 mg (range 20-40 mg); two weeks dose mean = 47.26 mg (range 15-80 mg); lowest maintenance dose mean = 57.82 mg (range15-115 mg); highest maintenance dose mean = 78.45 mg (range 25-210 mg), the average maintenance dose = 68.38 mg (range 22.5-165 mg). The retention rate = 46.8%. The highest maintenance dose showed a significant correlation with retention (P = 0.000). Initial dose, 2 weeks dose, the lowest maintenance dose, the average maintenance dose showed no significant results with retention. Age, history of therapy, history of missed doses, and drug interactions did not affect retention. Relation dose and retention in patients undergoing multiepisode: there was no correlation between dose and retention in the first episode and the second episode. This study concluded that there is a positive significant relation between the highest maintenance dose of methadone and retention on methadone maintenance therapy. Key words: methadone, dosage, retention multiepisode therapy, methadone maintenanceXIII+p.125
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
ix
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN ……………………………………………… 1.1 Latar Belakang ……………………………………….
1.2 Perumusan Masalah ………………………………..
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………….
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………
2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 2.1 Terapi Ketergantungan Opioid …………………………..
2.2 Neurobiologi Penyalahgunaan Obat ……………………….
2.3 Terapi Rumatan Metadon …………………………………
2.4 Metadon …………………………………………………..
2.5 Retensi ………………………………………………………
3. METODE PENELITIAN . …………………………………….. 3.1 Rancangan Penelitian ………………………………………
3.2 Tempat dan Jadwal Penelitian ……………………………..
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ……………………………
3.4 Landasan Teori ……………………………………………..
3.5 Kerangka Konsep dan Hipotesis ……………………………..
3.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……………….
3.7 Analisis Data …………………………………………………
4. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………. 4.1. Karekteristik Pasien ………………………………………….
4.2 Deskripsi Reaksi Obat TIdak Diinginkan ……………………
4.3 Deskripsi Dosis Metadon …………………………………...
4.4 Retensi ………………………………………………………
4.5 Hubungan antara Dosis Awal, Dosis 2 Minggu, Dosis Rumatan Terkecil, Dosis Rumatan Terbesar dan Dosis Rumatan Rata-Rata dengan Retensi………….………………
4.6 Hubungan antara Umur, Riwayat Terapi, Riwayat Dosis Terlewat dan Interaksi Obat dengan Retensi………………….
4.7 Hubungan antara Dosis dan Retensi Pada Multi Episode……
4.8 Keterbatasan Penelitian ……………………………………….
1
1
4
4
5
6
6
9
14
20
26
29
29
29
29
30
31
32
35
37
37
42
46
48
51
57
59
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
x
5. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………
DAFTAR REFERENSI ………………………………………………
61
63
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Kerja Reseptor Opioid .................................................
Karakteristik sampel ……………………………….
Persentase Pasien Yang Mengalami Keluhan ..........
Deskripsi Keluhan Putus Obat dan Efek Samping ......
Deskriptif dosis metadon ………………………….
Analisis Korelasi Berbagai Pengukuran Dosis dan
Retensi ...................................………………………
Analisa Korelasi Umur, Riwayat Terapi, Riwayat
Dosis Terlewat dan Interaksi Obat dengan Retensi
……………………………………………….......
Karakteristika terapi ………………………………
Analisa Hubungan Dosis Awal, Dosis 2 Minggu,
Dosis Rumatan Terkecil, Dosis Rumatan Terbesar
dan Dosis Rumatan Rata-Rata dan Retensi Terapi
Multiepisode..... ........................................................
24
38
39
40
42
49
51
52
58
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 4.1
Kondisi awal: Produksi normal nordrenalin ..............
Penghambatan akut enzim: Produksi NA rendah......
Penghambatan opioid kronik menyebabkan
peningkatan ektifitas enzim: kadar NA normal
Penghentian heroin menyebabkan peningkatan
cAMP akibat hilangnya penghambatan: NA sangat
meningkat..............................................................
Kadar plasma selama 3 hari pemberian ……………
Grafik fungsi survival pasien terapi metadon …....
12
12
13
13
20
47
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11
Alur Penelitian ………………………………….
Lembar Pengumpul Data .....................................
Rekapitulasi Data Pasien Rumatan Metadon ..............
Frekuensi Distribusi Dosis Awal Metadon ...........
Frekuensi Distribusi Dosis Metadon 2 minggu......
Frekuensi Interaksi Obat ..........................................
Interaksi Obat Pada Terapi Rumatan Metadon ......
Profil Metadon ………………………………........
Analisa Statistik ......................................……......
Data Hasil Penelitian Pasien Rumatan Metadon ….
Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
69
70
71
72
73
74
75
76
79
107
124
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah besar yang menjadi persoalan global dan meningkat secara
cepat dan signifikan lonjakannya di Asia, termasuk Indonesia adalah
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(NAPZA) dan penularan HIV/AIDS. Jumlah pengguna NAPZA di Indonesia
terus meningkat hingga pada tahun 2008 sudah mencapai 3.6 juta orang
(Badan Narkotika Nasional, 2009). Data Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menyebutkan penularan HIV tertinggi
terjadi pada pengguna NAPZA suntik/penasun yaitu 52.18% (Departemen
Kesehatan, 2009).
Heroin merupakan psikoaktif yang paling banyak digunakan dengan
cara injeksi di Asia, meskipun penggunaan amfetamin juga meningkat
beberapa tahun ini (WHO,2008). Penyalahgunaan opiat merupakan persoalan
utama dunia dalam terapi penyalahgunaan, diestimasi terdapat 15 – 21 juta
orang berusia 15-64 tahun diseluruh dunia yang menggunakan opiat dan
sekitar 2.8-5 juta adalah penduduk Asia timur dan Tenggara. Di Indonesia,
prevalensi pengguna heroin berusia 15-64 tahun adalah 0.16 %
(UNDOC,2009) atau lebih dari 300.000 orang.
Tingkat mortalitas pengguna heroin dalam kisaran 1-2% per tahun
akibat overdosis, penyakit akibat penggunaan obat dan kematian akibat
kekerasan (ASEAN-USAIN, 2007). Kematian prematur karena masalah
kriminal untuk mendukung kebiasaan menggunakan heroin; ketidak jelasan
pada dosis, kemurnian, dan bahkan identitas heroin yang digunakan; dan
infeksi serius akibat obat yang tidak steril dan penggunaan jarum suntik
bersamaan. Penggunan heroin umumnya mengalami infeksi bakteri yang
menyebabkan abses kulit; endokarditis, infeksi paru khususnya tuberkulosis
dan infeksi virus yang menyebabkan hepatitis C dan sindrom penurunan
sistem kekebalan tubuh (Acquired Immune Dediciency Syndrome) (O’Brien,
2006).
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
2
Terapi ketergantungan opioid terdiri atas intervensi farmakologi dan
psikosoial yang bertujuan mengurangi atau menghentikan penggunaan opioid,
mencegah bahaya penggunaan opioid dan meningkatkan kualitas kesehatan
dan fungsi sosial pasien (WHO, 2009). Terapi rumatan metadon diketahui
paling bermanfaat dan cost effective untuk menangani ketergantungan opioid
serta mengurangi bahaya akibat penggunaannya (WHO, 2008).
Terapi Rumatan Metadon mengurangi mortalitas, tingkat reinkarserasi
(Kate A Dole, 2005) , biaya sosial akibat tingkat kriminalitas (Marsch et al,
1988) dan penyebaran penyakit seperti infeksi HIV (Novick et al, 1990).
Mengingat penularan HIV/AIDS terbesar adalah melalui penularan
jarum suntik, maka pelayanan program terapi rumatan metadon di Indonesia
dilakukan sebagai salah satu kegiatan Harm Reduction untuk menanggulangi
penyebaran HIV/AIDS. (Depkes, 2007).
Tujuan pemberian metadon diawal masa induksi adalah mengurangi
tanda dan gejala putus obat pada pasien dan memastikan keamanannya
dengan meterkecilkan risiko yang timbul (Edwards-S.H., et al, 2003).
Penelitian ini bermaksud juga mempelajari prevalensi dan profil keluhan yang
timbul pada masa induksi terapi rumatan metadon.
Konsensus NIH (National Institutes of Health) mengenai terapi yang
efektif untuk ketergantunganan opiat menyatakan dosis metadon 60 mg setiap
hari dapat mencapai tujuan terapi yaitu abstinen dari opiat (NIH, 1997).
Toleransi silang terhadap heroin meningkat sebagai fungsi dari peningkatan
dosis metadon dan menyebabkan penghambatan efek eforia. Dosis metadon
harian 60 mg atau lebih memadai untuk mendapatkan tingkat toleransi
terhadap efek heroin pada mayoritas individu (Edwards-Sue Henry, 2003).
Hubungan antara dosis metadon dan retensi diteliti oleh Liu et. al
(2009) yang menemukan dosis metadon yang lebih tinggi dapat mencapai
retensi yang lebih lama dan terdapat hubungan positif antara dosis metadon
dan retensi pasien. Prosentase retensi pasien pada beberapa kisaran dosis
dipelajari oleh D’Ippoliti et.al (1998) yang meneliti 1503 pasien dan
menemukan bahwa pasien yang menerima dosis ≥ 60mg/hari dan 30-59 gram
berada dalam terapi berturut-turut sebanyak 70% dan 50%. Dickinson et al,
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
3
(2006) meneliti hubungan antara dosis dengan metadon dan menemukan
bahwa dosis metadon yang lebih tinggi terkait dengan peningkatan retensi
pasien pada terapi rumatan metadon. Dosis maksimum metadon yang
diberikan berhubungan secara bermakna dengan retensi pasien, yaitu sebesar
14%.
Sebagian besar penelitian metadon berfokus pada satu episode terapi,
seringkali terapi tersebut berdurasi pendek dan pada beberapa kasus hal itu
menggambarkan hanya sebagian kecil perjalanan terapi. James Bell, Tracy
Burrell, Devon Indig, Stuart Gilmour (2005) menemukan tingginya turn over
pasien pada terapi rumatan metadon. Hampir dua pertiga pasien
meninggalkan terapi dalam 1 tahun dan dua per tiga dari yang meninggalkan
terapi mengalami multipel episode. Strike C.J. et al (2005) menemukan
episode terapi berulang memiliki durasi terapi lebih singkat dibandingkan
episode awal, karenanya usaha untuk mempertahankan pasien dalam terapi
perlu dilakukan pada terapi pertama.
Penelitian di RSKO Jakarta mengenai prediktor retensi selama 1 tahun
atau lebih pada bermacam variabel yaitu usia, dosis metadon, jenis kelamin,
pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan dan status pernikahan. Hasilnya
menunjukkan dosis dan usia adalah prediktor retensi 1 tahun atau lebih pada
terapi rumatan metadon (Nuryalis, 2008). Melanjutkan penelitian tersebut,
penelitian ini bermaksud menelaah hubungan antara dosis dan retensi tidak
hanya pada episode perawatan pertama, tetapi juga pada episode selanjutnya.
Selain itu, hubungan antara usia, riwayat terapi, faktor kepatuhan dalam
hal ini diamati melalui kejadian dosis terlewat, serta interaksi obat yang
digunakan secara bersamaan yang ingin diketahui dalam penelitian ini.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian mengenai hubungan berbagai pengukuran dosis metadon
dan retensi pada pasien yang mengalami perawatan berulang (multiepisode)
belum dilakukan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dan Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) Jakarta. Informasi mengenai
hubungan antara retensi dan dosis metadon diperlukan untuk mengetahui
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
4
seberapa besar dosis yang diberikan pada pasien mempengaruhi besarnya
retensi dan apakah pemberian dosis metadon yang lebih besar akan
mendapatkan retensi yang lebih lama.
Berikut adalah permasalah secara rinci:
a. Berapa dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis
rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata metadon yang diterima
pasien pada terapi rumatan metadon?
b. Berapa retensi yang dicapai pasien pada terapi rumatan metadon?
c. Bagaimana hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan
terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan
retensi?
d. Bagaimana hubungan antara umur, dosis terlewat dan riwayat terapi dan
interaksi obat dengan retensi pada terapi rumatan metadon?
e. Bagaimana hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan
terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan
retensi pada pasien yang mengalami perawatan multiepisode?
1.3 Tujuan Penelitian:
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan
terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi
pada terapi rumatan metadon.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis
rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata yang diterima pasien pada
terapi rumatan metadon .
b. Mengetahui retensi yang dicapai pasien terapi rumatan metadon.
c. Mengetahui hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan
terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan
retensi.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
5
d. Mengetahui hubungan umur, dosis terlewat dan riwayat terapi dan
interaksi obat terhadap retensi .
e. Mengetahui hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan
terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan
retensi pada pasien yang mengalami multiepisode
1.4 Manfaat Penelitian
a. Informasi mengenai dosis metadon dan retensi dapat menjadi dasar
evaluasi kesuaian dosis untuk meningkatkan efektifitas terapi. Data
mengenai keluhan pasien pada periode waktu tertentu merupakan
pertimbangan bagi petugas untuk melakukan titrasi dosis.
b. Besaran retensi dapat menjadi informasi capaian efektifitas terapi
rumatan metadon.
c. Informasi mengenai hubungan berbagai pengukuran dosis dengan
retensi menjadi pertimbangan bagi penetapan dosis yang paling
mempengaruhi efektifitas terapi
d. Pengetahuan faktor lain yang mempengaruhi retensi menjadi perhatian
untuk meningkatkan efektifitas terapi rumatan metadon
e. Gambaran kejadian multipel episode dan hubungannya dengan retensi
dapat menjadi dasar bagi pendekatan yang tepat terutama terhadap
keberlanjutan terapi rumatan metadon.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terapi Ketergantungan Opioid
Terapi ketergantungan opioid merupakan serangkaian intervensi
farmakologi dan psikososial yang bertujuan mengurangi atau menghentikan
bahaya akibat penggunaan opioid, mencegah bahaya akibat penggunaan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
6
opiod dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan pasien (WHO,
2009).
Prototipe opiat, yaitu morfin dan kodein berasal dari getah buah
Papaver somniferum. Obat semi sintetik yang dihasilkan dari morfin adalah
hidromofron, diasetilmorfin (heroin) dan oksikodon. Opioid sintetik
termasuk meperidin, propoksifen, difenoksilat , fentanil, buprenorfin,
tramadol, metadon dan pantazosin (Kasper et al, 2005). Istilah opioid
meliputi keseluruhan senyawa yang memiliki hubungan dengan opium, suatu
produk alami yang dihasilkan dari poppy (Brunton L dan Keith L Parker,
2006).
Secara umum, terdapat dua pendekatan farmakologikal terapi
ketergantungan opioid yaitu berdasarkan detoksifikasi dan terapi putus obat
serta terapi rumatan agonis (WHO, 2009).
2.1.1 Detoksifikasi dan penanganan medik putus obat
Detoksifikasi meliputi proses pembersihan tubuh dari obat yang sering
disertai putus obat (NIDA, 2009). Tujuan detoksifikasi adalah menyediakan
terapi yang mengurangi gejala putus obat dengan aman dan nyaman dari
perubahan mood akibat penggunaan NAPZA (Wodak Alex, 2001).
Detoksifikasi umumnya dianggap sebagai tahap awal terapi karena
didesain untuk menangani efek psikologis yang akut dan berbahaya akibat
penghentian penggunaan obat (NIDA, 2009). Putus obat opioid terjadi
puncaknya pada 2-3 hari setelah penghentian penggunaan. Simptom fisik
umumnya hilang dalam 5-10 hari, walaupun simptom psikologikal dapat
berlangsung hingga beberapa minggu atau beberapa bulan.
Berikut adalah kriteria Diagnostik Putus Opioid berdasarkan International
Classification Disease X (ICD X)
a. Salah satu dari yang tersebut di bawah ini :
1) berhenti atau mengurangi penggunaan opioida yang berat dan
lama (beberapa minggu atau lebih).
2) pemberian suatu antagonis opioida sesudah periode penggunaan
opioid.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
7
b. Tiga atau lebih dari yang tersebut di bawah ini, terjadi dalam hitungan
menit sampai beberapa hari sesudah kriteria a :
1) perasaan disforik
2) mual atau muntah
3) nyeri otot
4) lakrimasi atau rinore
5) pupil melebar, piloereksi, atau berkeringat
6) diare
7) menguap berkali-kali
8) demam
9) insomnia
c. Gejala-gejala pada kriteria b secara klinis menyebabkan tekanan batin
yang jelas atau hendaya (disfungsi) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
d. Gejala-gejala tersebut tidak disebabkan karena kondisi medik umum
dan tidak disebabkan karena gangguan jiwa lain.
Relaps setelah detoksifikasi adalah hal yang umum. Pada kejadian
relaps sebaiknya diberikan pengulangan detoksifikasi atau ditinjau pilihan
terapi yang lain (Wodak, Alex, 2001). Walaupun terdapat manfaat pada
kesehatan pasien setelah detoksifikasi, belum ada bukti bahwa detoksifikasi
menyebabkan abstinen yang lama atau secara bermakna meningkatkan
kesehatan dan fungsi dalam jangka panjang pada mayoritas pengguna opioid
(NSW MMT Clinical Practice Guideline, 1999).
2.1.2 Terapi Rumatan
Terapi rumatan memiliki pendekatan jangka panjang yang memberikan
kesempatan pada pasien jarak bagi diri mereka sendiri dengan gaya hidup
menggunakan obat serta kembali memasuki kehidupan sosial yang normal.
Melalui pengontrolan craving dan penggunaan opioid, terapi ini
memungkinkan terjadi pemulihan kondisi medik secara perlahan (ASEAN-
USAID, 2007).
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
8
Terapi substitusi Opioid merupakan bentuk intervensi yang efektif,
evidence-based, sangat direkomendasikan oleh WHO dan Badan Persatuan
Bangsa – Bangsa (PBB) untuk mencegah penyebaran HIV dan menangani
ketergantungan opioid. Intervensi yang diberikan meliputi pemberian opioid
dengan durasi kerja panjang pada pasien ketergantungan opioid, biasanya
melalui rute pemberian non-parenteral, untuk tujuan terapetik mencegah atau
secara substansial mengurangi injeksi opioid terlarang seperti heroin. (WHO,
2008).
Terapi rumatan substitusi lebih efektif dibandingkan terapi putus obat
atau terapi antagonis dalam menurunkan penggunaan NAPZA dan
mempertahankan pasien dalam terapi karena menurunkan penggunaan opioid
terlarang lebih besar dan retensi yang lebih lama (WHO, 2008). Obat yang
digunakan pada terapi rumatan opioid:
• Metadon
Metadon, suatu agonis opioid sintetik yang memiliki durasi kerja
panjang, biasanya diberikan secara oral sebagai larutan dapat diberikan satu
kali sehari dan menggantikan kebutuhan heroin yang multipel pemberian
seharinya. Metadon menstabilkan gaya hidup pecandu, mengurangi perilaku
kriminal dan juga mengurangi penggunaan jarum secara bersamaan dan
perilaku yang menyebabkan transmisi HIV dan penyakit lain. Terapi rumatan
metadon diketahui menyebabkan efek samping yang rendah dan secara
substansial meningkatkan kesehatan.
• Buprenorfin
Buprenorfin merupakan agonis parsial opioid µ yang aktifitasnya
lebih rendah dibandingkan metadon. Buprenorfin tidak diserap dengan baik
melalui oral, karenanya rute pemberiannya adalah sublingual. Dengan
peningkatan dosis buprenorfin, efek yang diberikan plateau. Karena bersifat
parsial agonis, dapat muncul “efek ceiling” dimana pada dosis yang lebih
tinggi buprenorfin tidak memberikan efek tambahan, sehingga memiliki
margin keamanan yang lebih luas.
Buprenorphine dikombinasi dengan nalokson dengan rasio 4:1
(Subxone) untuk menghilangkan kekhawatiran tablet sublingual dilarutkan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
9
dan disuntikkan oleh para pecandu. Nalokson adalah antagonis opioid yang
sedikit diserap melalui sublingual dan oral tetapi diserap dengan baik secara
intravena. Akibatnya, pecandu opioid yang menginjeksi buprenorfin/nalokson
akan mengalami sidnrom putus obat karena terokupasinya reseptor opioid µ
oleh nalokson.
Efektifitas Buprenorfin serupa dengan metadon pada dosis yang
adekuat dalam mengurangi penggunaan opioid dan meningkatakan fungsi
psikososial, akan tetapi buprenorfin yang lebih mahal dibandingkan metadon
dan dikhawatirkan mempengaruhi capaian retensi. Jika digunakan sebagai
terapi substitusi pada wanita hamil memberikan insiden sindrom putus lebih
rendah pada neonatal.
2.2 Neurobiologi penyalahgunaan Obat
2.2.1 Definisi Ketergantungan dan Adiksi
Ketergantungan fisik merupakan kondisi adaptasi yang
dimanifestasikan sebagai sindrom putus obat yang spesifik kelompok obat,
yang terjadi melalui penghentian obat secara tiba-tiba, penurunan dosis secara
dengan cepat, penurunan kadar obat dalam darah dan atau pemberian suatu
antagonis. Adiksi merupakan penyakit primer, kronik, neurobiologi yang
dipengaruhi perkembangan dan manifestasinya oleh faktor genetik,
psikososial dan lingkungan.
Pada paparan berulang, obat adiktif menginduksi perubahan adaptif
seperti toleransi (misalnya peningkatan dosis untuk mempertahankan efek).
Ketika NAPZA tidak lagi tersedia, maka gejala putus obat muncul. Ketika
terjadi sindrom putus obat, maka ketika itu ditetapkan terjadi ketergantungan.
Adiksi terjadi ketika ditemukan penggunaan obat yang kompulsif, berulang,
relaps meskipun terdapat konsekuensi negatif, dipicu oleh craving yang
terjadi sebagai respon pemicu (Luscher C., 2007).
2.2.2 Ketergantungan: Toleransi dan Putus Obat
Setelah paparan kronik oleh zat adiktif, otak menunjukkan tanda
adaptasi. Sehingga diperlukan peningkatan dosis secara progresif untuk
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
10
menjaga efek tetap muncul. Fenomena ini dikenal sebagai toleransi, hal ini
dapat menjadi masalah serius karena meningkatnya efek samping, misalnya
depresi pernafasan dan dapat menyebabkan kefatalan akibat overdosis.
Toleransi terhadap opioid dapat terjadi akibat berkurangnya
konsentrasi obat atau durasi kerja yang singkat pada sistem target (toleransi
farmakokinetik). Dapat juga terjadi akibat berubahnya fungsi reseptor opioid
(toleransi farmakodinamik). Fosforilasi reseptor dapat menyebabkan
internalisasi reseptor sehingga menginduksi terjadinya toleransi. (Luscher C.,
2007).
2.2.3 Fenomena Farmakologi
Toleransi; walaupun penyalahgunaan obat dan adiksi merupakan
kondisi kompleks yang terkait dengan banyak variabel, terdapat sejumlah
fenomena farmakologi. Pertama, adalah perubahan pada cara tubuh
merespon obat pada pemberian berulang. Toleransi merupakan respon paling
umum terhadap pemberian berulang, dapat dinyatakan sebagai berkurangnya
respon terhadap obat setelah pemberian berulang. Pada kurva hubungan efek
dengan dosis ketika pemberian suatu obat, pada pemberian berulang, kurva
bergeser kearah kanan (toleransi). Akibatnya diperlukan dosis yang lebih
tinggi untuk menghasilkan efek yang sama dengan efek yang muncul ketika
pemberian obat pertama kali (Brunton LL., and Keith Parker, 2006).
Sensitisasi; pada obat stimulan seperti kokain atau amfetamin, terjadi
kebalikan toleran, yang disebut sensitisasi. Terjadi peningkatan respon
setelah pemberian berulang suatu obat . Pada sensitisasi, kurva dosis- efek
bergeser kearah kiri. Untuk mengatasi sensitisasi diperlukan interval
pemberian dosis yang lebih lama. Toleransi silang terjadi pada pemberian
berulang suatu obat yang menyebabkan toleransi tidak hanya obat tersebut
tapi juga pada obat lain yang sama struktur dan mekanisme kerjanya
(Brunton LL., and Keith Parker, 2006).
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
11
2.2.4 Neurobiologi Ketergantungan Opioid
Toleransi, ketergantungan dan adiksi opioid merupakan manifestasi
perubahan otak yang timbul akibat penyalahgunaan opioid kronik. Pengguna
opioid dalam proses pemulihan bekerja mengatasi efek perubahan otak
tersebut. Pengobatan seperti metadon, buprenorfin bekerja pada struktur otak
yang sama dan memiliki efek protektif atau perbaikan. Meskipun obat
tersebut efektif, untuk hasil optimal perlu diberikan bersamaan dengan terapi
psikososial yang sesuai (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Lokus sereleus (LS) adalah area otak yang terlibat pada terjadinya
ketergantungan opioid dan putus obat. Gambar dibawah ini menunjukkan
bagaimana opioid mempengaruhi proses pada LS yang mengontrol pelepasan
noradrenalin (NA), suatu bahan kimia yang menstimulasi kesadaran, tonus
otot dan pernafasan selain fungsi lainnya.
Pada kondisi normal (Gambar 2.1), bahan opioid alami yang
dihasilkan tubuh berikatan dengan reseptor opioid pada permukaan syaraf.
Ikatan tersebut mengaktifasi enzim yang mengubah adenosin triposfat (ATP)
menjadi siklik adenosin monoposfat (cAMP), yang selanjutnya memicu
pelepasan NA. Sebelum dimulai penyalahgunaan opioid, neuron
menghasilkan cukup NA untuk memelihara tingkat normal kesadaran, tonus
otot dan respirasi.
Universitas Indonesia
Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Gambar 2.1 Kondisi awal: Produksi normal Noradrenalin
Ketika heroin atau opioid lain berikatan dengan reseptor opioid µ, terjadi
penghambatan enzim yang mengubah ATP menjadi cAMP. Akibatnya
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
12
semakin sedikit cAMP yang dihasilkan, semakin sedikit NA yang dilepaskan.
Kesadaran, tonus otot, dan pernafasan menjadi tertekan, sehingga muncul
efek opioid akut seperti nafas dalam.
Universitas Indonesia
Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Gambar 2.2 Penghambatan akut enzim; produksi NA rendah abnormal
Pada penggunaan heroin berulang, syaraf meningkatkan suplai enzim
dan molekul ATP. Dengan bahan baku yang bertambah, syaraf dapat
menghasilkan cAMP yang cukup untuk mengatasi efek penghambatan obat
dan melepaskan NA dalam jumlah normal meskipun menggunakan heroin.
Pada tahap ini, individu tidak lagi mengalami intensitas efek opioid yang
sama dengan efek ketika pertama kali menggunakan.
Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Gambar 2.3 Penghambatan opioid kronik menyebabkan peningkatan aktifitas enzim: kadar NA normal
Ketika heroin dihentikan setelah penyalahgunaan yang kronik,
pengaruh penghambatan obat menjadi hilang. Suplai enzim dan ATP tinggi,
sehingga syaraf menghasilkan kadar cAMP yang tinggi dan menyebabkan
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
13
pelepasan NA dalam jumlah banyak. Pasien merasakan gejala putus obat –
cemas, kramp otot, menggigil dan lainnya. Syaraf akan kembali pada kondisi
dasar (gambar 2.1) dalam beberapa hari atau beberapa minggu (Kosten T.R
and Tonu P. George, 2002).
Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Gambar 2.4 Penghentian heroin menyebabkan peningkatan cAMP akibat hilangnya penghambatan; NA sangat meningkat
Bagian otak lain selain LS yang berkontribusi terhadap timbulnya
gejala putus obat adalah system reward mesolimbik. Sistem ini menghasilkan
tanda pada bagian otak yang disebut ventral tegmental area (VTA) yang
menyebabkan pelepasan dopamin (DA) pada nucleus akumben (NAc).
Pelepasan dopamain ini ke NAc menyebabkan perasaan senang. Toleransi
opioid mengurangi pelepasan dopamin VTA ke NAc dapat mencegah pasien
merasakan kesenangan dari kegiatan reward yang normal seperti makan,
perubahan ini pada VTA dan system reward DA merupakan system otak yang
penting yang mendasari craving dan penggunaan obat yang kompulsif.
Bagian otak lain yang mengatur ingatan atau memori yang
mengubungkan perasaan senang dengan kondisi lingkungan. Memori ini,
disebut hubungan terkondisi, sering menyebabkan craving ketika pasien
kembali berhubungan dengan orang, tempat, atau sesuatu dan hal itu akan
mendorong pasien menggunakan NAPZA meskipun banyak halangan.
Pada awal masa ketergantungan, stimulasi opioid pada system reward otak
merupakan alasan utama menggunakan opioid berulang, penggunaan opioid
secara kompulsif dilakukan oleh dorongan mendapatkan rasa senang. Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
14
Peningkatan kompulsi ini terkait dengan toleransi dan ketergantungan
(Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
2.3 Terapi Rumatan Metadon
2.3.1 Prinsip Terapi Rumatan Metadon
Metadon menghilangkan persoalan terkait ketergantungan opioid
karena karakteristik farmakologikanya memungkinkan pasien berfungsi
secara normal. Pemberian yang teratur metadon dengan dosis yang konsisten
memberikan kondisi stabil dan hubungan terapetik antara pasien membantu
reintegrasi sosial dan akses terhadap pelayanan kesehatan (NSW, 1999).
Metadon memiliki karakteristik farmakologi yang menguntungkan, yaitu
(NSW. MMT Clinical Practice Guideline, 1999):
• Absorbsi yang baik secara oral tanpa menimbulkan intoksikasi cepat
• Bersifat toleransi silang dengan heroin, menghilangkan putus heroin
dan mengurangi penggunaan heroin
• Memiliki waktu paruh yang panjang, sehingga pemberian dosis tunggal
mampu memelihara kadar dalam darah
Tujuan terapi rumatan adalah (WHO, 2009)
• Mengurangi atau menghentikan penggunaan opioid
• Mengurangi atau menghentikan injeksi dan risiko transmisi bloodborne
virus
• Mengurangi risiko over dosis
• Mengurangi aktifitas kriminal
• Meningkatkan kesehatan psikologis dan fisik
2.3.2 Optimalisasi Manfaat Terapi Rumatan Metadon
Manfaat terapi rumatan metadon akan optimal jika program mudah diakses,
memasuki terapi yang tepat dan lamanya retensi terapi. Faktor yang
meterbesarkan partisipasi program metadon adalah (NSW MMT Clinical
Practice Guideline, 1999):
a. Waktu dalam terapi ; Semakin lama terapi , semakin besar
kecenderungan peningkatan outcome terapi. Orang yang drop out dari Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
15
terapi, khususnya pada tahun pertama, cenderung memiliki laju relaps
yang tinggi.
b. Dosis metadon; Dosis metadon yang lebih tinggi (60 mg atau lebih)
terkait dengan rendahnya penggunaan opioid dan retensi yang lebih
lama
c. Kualitas Hubungan terapetik; Program yang lebih efektif ditemukan
pada pasien yang memiliki hubungan yang baik dengan petugas
kesehatan yang terkait, selain itu staf yang berorientasi terapi rumatan
dibandingkan abstinen terkait dengan outcome terapi yang lebih baik.
d. Pelayanan medis dan konseling; Beberapa penelitian menunjukkan
penyediaan perawatan kesehatan yang adekuat dan pelayanan konseling
pada pasien menyebabkan retensi dan outcome yang lebih baik.
2.3.3. Kriteria Terapi Rumatan Metadon
Karakteristik pengguna NAPZA adalah terdapat pola maladaptif
penggunaan obat yang diindikasikan melalui timbulnya konsekuensi buruk
akibat penggunaan NAPZA yang berulang. Misalnya gagal memenuhi
kewajiban di tempat kerja, sekolah, atau rumah tangga; penggunaan berulang
pada situasi yang membahayakan fisik, misalnya berkendaraan dalam
pengaruh obat, persoalan hukum, persoalan sosial dan interpersonal
disebabkan oleh penggunaan opioid berlebihan seperti adu argumentasi dan
perkelahian (Dypiro, 2003).
Untuk memenuhi kategori dalam diagnosis ketergantungan obat, paling
tidak tiga dari kriteria berikut harus ada selama periode 12 bulan, sesuai
Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder 4th ed. Text Revision
(DSM-IV-TR):
a. Toleransi
b. Putus obat, diindikasikan sebagai munculnya tanda gejala putus obat
atau penggunaan obat yang sama atau serupa untuk menghilangkan atau
menghindari gejala putus obat
c. Obat digunakan dalam jumlah besar atau periode yang lebih lama dari
yang diindikasikan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
16
d. Keinginan yang persisten atau usaha yang gagal untuk menghentikan
atau mengontrol penggunaan obat
e. Menghabiskan waktu untuk kegiatan mendapatkan, menggunakan, atau
pulih dari efek nya
f. Kegiatan sosial, pekerjaan atau rekreasional terhenti atau berkurang
akibat penggunaan obat
g. Obat digunakan kontinyu meskipun mengetahui terdapat persoalan
persisten atau berulang pada fisik, atau psikologi disebabkan atau
diperberat oleh obat yang digunakan.
Selanjutnya, untuk mengikuti PTRM, pasien harus memenuhi kriteria berikut:
a. Kriteria Inklusi; Memenuhi kriteria ICD-X untuk ketergantungan
opioid.
1. Usia yang direkomendasikan: 18 tahun atau lebih. Klien yang berusia
kurang dari 18 tahun harus mendapat second opinion dari profesional
medis lain.
2. Ketergantungan opioida (dalam jangka waktu 12 bulan terakhir).
3. Sudah pernah mencoba berhenti menggunakan opioid terkecil satu kali.
b. Kriteria Eksklusi
1. Pasien dengan penyakit fisik berat. Hal ini perlu pertimbangan khusus
yakni meminta pendapat banding profesi medik terkait.
2. Psikosis yang jelas, perlu pertimbangan psikiater untuk menentukan
langkah terapi.
3. Retardasi Mental yang jelas, perlu pertimbangan psikiater untuk
menentukan langkah terapi.
Program Terapi Metadon tidak diberikan pada pasien dalam keadaan
overdosis atau intoksikasi opiat. Penilaian terhadap pasien tersebut dapat
dilakukan sesudah pasien tidak dalam keadaan overdosis atau intoksikasi.
2.3.4 Pemberian Dosis Awal Metadon
Dosis awal yang dianjurkan adalah 15-30 mg untuk tiga hari pertama.
Kematian sering terjadi bila menggunakan dosis awal yang melebihi 40 mg.
Pasien harus diobservasi 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
17
memantau tanda-tanda toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat
intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis akan dimodifikasi sesuai
dengan keadaan (Depkes. 2006).
Diperlukan keseimbangan antara menghilangkan simptom putus obat
dan menghindari terjadinya toksisitas dan kematian selama fase induksi .
Tujuannya adalah meterkecilkan simptom dan tanda putus oabt dan
meterkecilkan risiko sedasi dan toksisitas (Edwards- S.H. et al, 2003).
Metadon berbentuk cair digunakan di Indonesia, kemudian diencerkan
sampai menjadi 100cc. Pasien harus hadir setiap hari di klinik. Metadon akan
diberikan oleh asisten apoteker atau perawat yang diberi wewenang oleh
dokter. Pasien harus segera menelan metadon tersebut di hadapan petugas
PTRM. Petugas PTRM akan memberikan segelas air minum. Setelah
diminum, petugas akan meminta pasien menyebutkan namanya atau
mengatakan sesuatu yang lain untuk memastikan bahwa metadon telah ditelan.
Pasien harus menandatangani buku yang tersedia, sebagai bukti bahwa ia
telah menerima dosis metadon hari itu (Depkes 2006).
2.3.5 Fase Stabilisasi Terapi Rumatan Metadon
Fase stabilisasi bertujuan untuk menaikkan perlahan-lahan dosis dari
dosis awal sehingga memasuki fase rumatan. Pada fase ini risiko intoksikasi
dan overdosis cukup tinggi pada 10-14 hari pertama.
Peningkatan dosis harus dilakukan secara gradual, mengingat
dibutuhkan waktu 5-7 hari untuk mencapai kadar serum steady state setelah
setiap penambahan dosis. Dosis yang direkomendasikan digunakan dalam
fase stabilisasi adalah dosis awal dinaikkan 5-10 mg tiap 3-5 hari. Hal ini
bertujuan untuk melihat efek dari dosis yang sedang diberikan. Total
kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg. Apabila pasien masih
menggunakan heroin maka dosis metadon perlu ditingkatkan. (Depkes,
2006). `
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
18
2.3.6 Fase Rumatan Terapi Rumatan Metadon
Dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan harus
dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan
pasien. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil,
baik dalam bidang pekerjaan, emosi dan kehidupan sosial (Depkes, 2006).
Pada fase ini, sebagian besar pasien telah secara substansial mengurangi
penggunaan heroinm sudah memiliki toleransi terhadap metadon dan
sebagian besar tidak lagi mengalami putus zat sepanjang hari. Mungkin
pasien meminta peningkatan dosis akibat mengalami putus zat episodik,
craving, atau relaps menggunakan heroin.
2.3.7 Kriteria Penambahan Dosis
Beberapa kriteria penambahan dosis adalah sebagai berikut:
a. adanya tanda dan gejala putus opiat (obyektif dan subyektif);
b. jumlah dan/atau frekuensi penggunaan opiat tidak berkurang/ masih
menggunakan heroin;
c. craving tetap masih ada.
Prinsip terapi pada PTRM adalah start low go slow aim high, artinya memulai
dosis yang rendah adalah aman, peningkatan dosis perlahan adalah aman, dan
dosis rumatan yang tinggi adalah lebih efektif (Depkes, 2006).
2.3.7 Pedoman Penyesuaian Dosis
Dari berbagai laporan diketahui bahwa umumnya overdosis metadon terjadi
akibat pemberian dosis yang terlalu agresif selama dua minggu pertama terapi.
Penyebab utama adalah kombinasi antara overestimasi toleransi dan
underestimasi akumulasi obat. Setelah fase stabilisasi, overdosis terjadi
umumnya akibat interkasi obat khususnya dengan hipdotik dan atau sedatif.
a. Fase stabilisasi awal (0-2 minggu)
Metadon memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang bermakna selama
fase stabilisasi awal. Karena waktu paruhnya yang panjang, kadar plasma
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
19
meningkat hingga lima hari pada dosis yang sama. Karenanya, dosis yang
adekuat pada hari pertama dapat bersifat toksik pada hari ketiga atau kelima.
Edukasi pasien: dijelaskan faktor risiko dan tanda overdosis pada pasien dan
keluarganya dan dinasehati untuk mencari pertolongan medis segera jika
pasien menunjukkan tanda toksisitas.
b. Fase stabilisasi akhir (2-6 minggu)
Selama fase stabilisasi akhir, pasien hanya mengalami putus obat parsial.
Penyesuaian dosis sebaiknya dilakukan tidak lebih dari setiap tiga atau empat
hari. Penyesuaian dosis biasanya antara 5-10 mg, tergantung keparahan,
onset dan durasi simptom putus obat.
c. Fase rumatan (lebih dari 6 minggu)
Pada periode ini, sebagian besar pasien telah mengurangi penggunaan opioid,
memiliki toleransi yang lebih besar pada metadon, tidak lagi mengalami putus
obat. Mereka terkadang menginginkan kenaikan dosis karena simptom putus
obat subyektif, craving opioid atau relaps. (The College Physicians and
Surgeon Ontario , 2005).
2.4 Metadon
2.4.1 Fisikokimia
Metadon merupakan basa yang larut dalam lemak dengan pKa 9.0,
karenanya terionisasi lengkap pada pH 7,4 (>90%). Diberikan dalam bentuk
garam klorida yang larut baik dalam air (DJ. Birkett, 1989).
Metadon dipasarkan dihampir seluruh dunia dalam campuran rasemik
yaitu campuran 50:50 dua enansiomer yang disebut (R) – atau levo atau l-
metadon dan (S) atau dextro atau d-metadon. Secara in vitro, diketahui
bahwa konsentrasi (R)- metadon yang diperlukan untuk menghambat ikatan
nalokson pada otak tikus 10 kali lebih kecil dibandingkan (S) metadon. Pada
manusia, (R) MET memiliki potensi analgesik sekitar 50 kali dibandingkan
bentuk (S) (Eap CB, Jean-Jacques Deglon, Pierre Baumann, 1999).
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
20
2.4.2 Farmakokinetika
Secara umum kadar dalam darah meningkat sekitar 1 – 7,5 jam setelah
pemberian metadon secara oral dan selanjutnya mulai turun. Onset efek
terjadi sekitar 30 menit – 1 jam setelah pemberian. Waktu paruh pemberian
dosis tunggal metadon adalah 12 -18 jam dengan nilai tengah 15 jam. Pada
dosis berulang, waktu paruh metadon melebar menjadi 13 hingga 47 jam
dengan nilai tengah 24 jam. Memanjangnya waktu paruh berkontribusi pada
kadar metadon dalam darah terus yang naik selama minggu pertama
pemberian dan menurun relatif lambat diantara waktu pemberian.
Sumber: (Edwards-Sue Henry, 2003).
Gambar 2.1 Kadar metadon plasma selama 3 hari pemberian
Metadon mencapai kondisi steady state didalam tubuh (ketika laju
eliminasi obat sebanding dengan laju pemberian) setelah 4-5 kali waktu paruh
atau sekitar 3-10 hari. Ketika stabilisasi tercapai, variasi konsentrasi dalam
darah relatif kecil dan tercapai penekanan gejala putus obat dengan baik.
Adanya fluktuasi konsentrasi metadon memunculkan putus obat diantara
waktu pemberian metadon.
2.4.3 Absorpsi
Metadon diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna dan rute lainnya dan
mengalami hanya sedikit metabolisme lintas pertama hati. Setelah pemberian
oral (pada terapi ketergantungan heroin) absorbsi metadon rasemik terjadi
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
21
secara cepat dan bioavailabilitas oral antara 36-100% (Lacy, Charles.F et al,
2008).
Laju absorbsi metadon dipengaruhi oleh P-glikoprotein intestinal (P-gp).
P-gp berperan dalam fenomena resistensi terhadap obat ; yang dikeluarkan
dari sel oleh unit membrane P-gp. Fungsi fisiologi P-gp meliputi mencegah
absorbsi bahan toksik melalui permukaan internal dan eksternal, dan
membantu eliminasinya. Pada kasus metadon, P-gp mentransfernya keluar
epitel intestinal, masuk ke usus besar. Pada individu yang memiliki P-gp
tinggi, jumlah obat yang diabsorbsi menurun. (Vendramin A, Anella M.
Sciacchitano, 2009).
Penghalang terhadap akses ke sirkulas sistemik meliputi absorpsi dari
lumen gastrointestinal melewati mukosa intestinal, metabolisme oleh isoform
di mukosa gastrointestinal (khususnya CYP3A4) dan metabolisme lintas
pertama oleh hati (DJ . Birkett, 1999). Bersihan intrinsik metadon oleh
enzim CYP3A4 di saluran gastrointestinal cukup rendah sehingga ekstraksi
obat yang melampaui mukosa intestinal dan melewati liver sangat rendah.
Secara keseluruhan, tidak terlihat kecenderungan perubahan sistematik yang
bermakna dalam jumlah absorbsi metadon dari saluran gastrointersinal.
a. Distribusi
Metadon memiliki laju distribusi ke jaringan yang tinggi, tersebar ke
darah dan jaringan otak dalam jumlah kecil, dan terdapat dalam konsentrasi
besar di ginjal, limfa, liver dan paru. Selama kehamilan, metadon tersebar ke
plasenta, sehingga konsentrasi pada cairan amniotik serupa dengan plasma
ibu.
Volume distribusi pada kondisi steady state 1–8 L/kg. Ikatan protein
plasma asam α-1 glikoprotein sedang (0,9; fraksi tidak terikat 0,1) dan variasi
nilai tersebut terkait dengan jumlah dan konsentrasi α-1 glikoprotein serta
adanya obat kompetitif. Akan tetapi, konsentrasi obat bebas pada steady state
tidak akan dipengaruhi oleh derajat ikatan protein. Derajat ikatan protein
mempengaruhi volume distribusi dan selanjutnya waktu paruh eliminasi
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
22
dengan perubahan laju akumulasi pada steady state dan derajat fluktuasi
konsentrasi obat (DJ Birkett, 1999).
2.4.4 Metabolisme
Metadon dimetabolisme diliver melalui N-demetilasi menjadi produk
metabolit yang tidak stabil yang mengalami siklisasi menjadi 2-etil 5-metil-
3,3,difenilpirolidin (EMDP) dan 2-etil-1,5-dimetil-3,3 difenilpirolidin
(EDDP). Metabolit tersebut dan obat utuh mengalami parahidroksilasi dan
selanjutnya berkonjugasi dengan asam glukuronat. Ketiganya diekskresi
diempedu dan merupakan produk ekskresi utama. Produk metabolit lainnya
metadol dan normetadon memiliki aktifitas farmakologi yang serupa dengan
metadon tetapi terdapat pada konsentrasi kecil. (Jenkis, Edward. J.C, 1998).
Sumber: Jenkis, Edward. J.C, 1998
Metabolisme metadon melibatkan sistem sitokrom P450 (CYP450)
sebagian besar melalui isoform CYP3A4, yang terutama terdapat di usus
besar dan liver. Isoform lainnya yaitu CYP2B6 dan CYP2C19 berperan juga
dalam proses tersebut menjadi bentuk tidak aktif (Lacy, Charles F. et al,
2008).
2.4.5 Eliminasi
Bersihan Metadon sebagian melalui ginjal dan sebagian lagi hepatik.
Sebesar kurang dari 10% diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin.
Karena sifatnya yang lipofilik dan basa, perubahan pH berpengaruh pada laju
ekskresi metadon; pada pH lebih dari 6, ekskresi melalui ginjal menurun
hingga 4% dari jumlah total. Ketika pH kurang dari 6, laju ekskresi Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
23
meningkat hingga lebih besar 30%, pada kondisi pH tetap, variasi antar
individu pada bersihan ginjal sebesar 27% (Vendramin A, Anella M.
Sciacchitano, 2009).
Jalur metabolik utama yaitu demetilasi menjadi EEDP merupakan 40-
60% bersihan total. Ini berarti, faktor yang mengubah jumlah atau aktifitas
CYP3A4, khususnya di liver, memiliki pengaruh yang bermakna terhadap
bersihan metadon dan karenanya konsentrasi pada steady state.
Penghambatan lengkap terhadap CYP3A4 dapat menyebabkan berkurangnya
setengah bersihan metadon, dan meningkatan aktifitas CYP3A4 akan
meningkatkan sekitar 50% bersihan metadon (DJ Birkitt, 1989).
2.4.6 Farmakodinamik
Metadon berikatan dengan reseptor Mu (μ), Kappa (κ), and Delta (δ)
yang berbeda afinitas dan efeknya (tabel 2.1). Reseptor opioid terdapat dalam
konsentrasi yang berbeda pada daerah yang berbeda di system syaraf.
Beberapa reseptor yang terlibat menginduksi analgesia terdapat pada
periaquductal gray, reseptor yang bertanggung jawab terhadap efek
penguatan terdapat pada ventral tegmental area (VTA) dan nukleus akumben.
Terdapat reseptor opiat pada lokus sereleus yang berperan penting pada
pengendalian aktifitas otonom; aktivasinya menyebabkan penghambatan
firing sereleus. Setelah putus obat terdapat peningkatan firing lokus sereleus
yang menyebabkan munculnya hiperaktifitas otonom pada putus opiat (Zevin
Shoshana and Benowitz Neal L, 1998).
Tabel 2.1 Kerja Reseptor Opioid
Reseptor Opioid
µ κ δ
Kerja Analgesia (supraspinal) Sedasi Depresi pernafasan Hipotermia Efek penguatan Eforia Miosis Penurunan motilitas sal cerna
Analgesia (spinal) Sedasi Disforia
Analgesia Depresi pernafasan Efek penguatan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
24
Mual dan muntah Retensi urin
Diuresis
Mual dan muntah
Ligan endogen
Endomorfin β- endorfin
dinorfin Enkefalin β- endorfin
Sumber: White, J.M. (1999)
Kemampuan opioid menginduksi analgesia dimediasi oleh aktivasi
reseptor μ pada supraspinal dan aktivasi reseptor κ pada spinal cord. Efek
opioid lain yang berhubungan dengan stimulasi reseptor μ adalah eforia,
miosis, depresi pernafasan dan penurunan motilitas saluran cerna. Reseptor μ
opioid juga meningkatkan kadar dopamin mesolimbik, mengganggu proses
pembelajaran dan memori, memfasilitasi potensiasi jangka panjang dan
menghambat motilitas kantung kemih dan dieresis. Sebaliknya stimulasi
reseptor κ sering dikaitkan dengan disforia (Ghodse, Hamid, 2002). Aktivasi
reseptor μ dan κ memiliki kerja seluler serupa sebagai berikut:
• Menghambat aktifitas adenilat siklase dan produksi cAMP melalui
mekanisme yang dimediasi protein G1
• Meningkatkan masuknya K+ yang menghipolarisasi syaraf
• Menekan masuknya Ca2+ yang menurunkan jumlah Ca2+ intrasel dan
menghambat pelepasan transmisi melalui reseptor opioid yang berlokasi
di ujung presinap (Carruthers et al, 2000).
Selain bekerja pada reseptor opioid, metadon juga berperan sebagai
antagonis reseptor NMDA (N-Metil-D-Aspartat) non kompetetif dan
menghambat ambilan kembali serotonin. Reseptor NMDA dan sistem
serotonergik berperan penting dalam mengatur pernafasan, dan terdapat
potensi perubahan fungsi pernafasan sebagai akibat modulasi oleh metadon.
Pada dosis normal, kerja metadon pada pernafasan diakibatkan oleh aktifitas
reseptor opioid (White, J.M, 2002).
2.4.7 Reaksi Tidak Diinginkan
Selama pemberian jangka panjang, efek yang tidak diinginkan berkurang
setelah beberapa minggu, walaupun demikian, konstipasi dan berkeringat
mungkin akan menetap. Reaksi yang tidak diinginkan akibat penggunaan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
25
metadon meliputi: perpanjangan interval QT, torsade de pointes, hipotensi
(efek kardiovaskular), eforia, disforia, halusinasi, sakit kepala, insomsia,
agitasi, disorientasi, mengantuk, pusing, sedasi, bingung dan kejang ( efek
sistem syaraf pusat). Efek pada dermatologi adalah kulit merah dan gatal,
efek pada endokrin dan metabolik terjadi penurunan libido, hipokalemia,
hipomagnesia, antidiuretik dan amenorea. Efek pada saluran gastrointestinal
adalah mual, muntah, konstipasi, anoreksia, spasme saluran empedu, sakit
perut, penambahan berat badan. Efek pada genitourinari adalah retensi urin
dan impotensi, sedangkan pada otot syaraf dan rangka adalah terjadi lemas,
efek samping pada mata miosis dan gangguan penglihatan, pada pernafasan
adalah depresi pernafasan , hambatan nafas dan udem paru. Efek samping
lain meliputi keterhantungan fisik dan psikologikis dan kematian (Lacy,
CF.et al, 2008).
Seluruh opioid termasuk metadon mengurangi produksi saliva,
sementara itu pengguna opioid sering kali memiliki nutrisi dan higiene gigi
dan mulut yang tidak baik. Akibatnya persoalan gigi umum dialami pasien
rumatan metadon. Pasien didukung untuk meningkatkan kebersihan gigi dan
mulut (Edwards, SH et al, 2009).
2.5 Retensi
Dalam menangani penyakit kronik dan mencegah relaps , terapi jangka
panjang merupakan strategi yang paling efektif dan diperlukan untuk
mengatasi ketergantungan obat (UNDOC, 2008). Menurut Ward et al (1988),
terdapat dua outcome yang memiliki relevansi terhadap efektifitas terapi
rumatan metadon, yaitu retensi dan penurunan penggunaan heroin. Retensi
merupakan suatu indikator berfungsinya suatu program rumatan.
Hasil penelitian yang dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan peningkatan yang bermakna pada outcome terapi pada pasien
yang tetap dalam terapi rumatan metadon selama paling tidak satu tahun
(yaitu penurunan injeksi dan pengugunaan heroin) (NHS, 2004). Terapi
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
26
metadon jangka panjang menunjukkan hasil yang lebih efektif dibandingkan
terapi jangka pendek (Sees et al, 2000).
Menurut Ward et al (1998) terapi rumatan metadon yang memiliki
pendekatan jangka pendek hanya akan sesuai bagi minoritas pasien
ketergantungan opiod. Terutama pasien yang memiliki riwayat
ketergantungan opiod jangka pendek dan memiliki akses terhadap sumber
daya sosial dan psikologikal yang bermakna.
Rekomendasi yang diberikan untuk meningkatkan retensi pasien
adalah: membantu pasien untuk tetap dalam terapi; membangun hubungan
antara pasien dan petugas kesehatan yang baik; respon terhadap pelayanan
yang diperlukan pasien; memberikan dosis yang tepat (NTA, 2005).
Berbagai penelitian menunjukkan semakin lama pasien berada dalam
terapi rumatan metadon semakin besar terjadi perubahan perilaku dan gaya
hidup dan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk tidak kembali
menggunakan opioid. Jika terapi dihentikan, penelitian menujukkan sebagian
besar pasien akan mengalami relaps dalam satu tahun pertama setelah
meninggalkan terapi (Ward et.al., 1998).
Ward et.al (1998) membagi dua jenis prediktor retensi yaitu
karakteristik pasien dan karakteristik terapi. Berikut adalah karakteristik
pasien yang mempengaruhi retensi:
1. Usia; berbagai penelitian mengkonfirmasi hubungan antara usia yang
lebih tua dan waktu retensi yang lebih lama.
2. Jenis Kelamin; masih terdapat perbedaan antara berbagai hasil
penelitian mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap retensi, sebagian
menyebutkan jenis kelamin bukanlah prediktor retensi, sedangkan
sebagian menyebutkan laki-lakui cenderung meninggalkan terapi lebih
cepat dibandingkan perempuan.
3. Riwayat kriminal; pasien yang memiliki riwayat kriminal ekstensif
memiliki persoalan untuk tetap dalam terapi.
4. Riwayat penggunaan opioid; pasien yang memiliki riwayat penggunaan
opioid yang lama dan intensitas terkait dengan peningkatan
kemungkinan relaps setelah meninggalkan terapi.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
27
5. Penyesuaian psikologikal; terdapat hubungan antara gejala
psikopatologi yang parah dengan retensi
6. Pekerjaan; riwayat pekerjaan terkait dengan retensi yang lebih besar
dan outcome yang lebih baik setelah meninggalkan terapi
7. Tinggal dengan keluarga/partner; terdapat kecenderungan bahwa pasien
yang menyelesaikan terapi adalah pasien yang tinggal dengan keluarga.
8. Penggunaan alkohol; penggunaan alkohol yang tinggi berhubungan
negatif dengan retensi.
9. Penggunaan banyak obat-obat lain (multidrug); pasien yang hanya
menggunakan opioid cenderung bertahan dalam terapi rumatan
metadon.
10. Motivasi dan ekspektasi terhadap terapi; motivasi untuk berubah adalah
variabel penting untuk memprediksi outcome terapi.
Sedangkan karakteristik terapi yang mempengaruhi retensi pasien sebagai
berikut (Ward et. al . 1998):
1. Dosis metadon; dosis metadon merupakan prediktor penting terhadap
retensi.
2. Filosofi terapi; program rumatan jangka pendek cenderung kurang
sukses dalam penyelesaian terapi, lebih banyak gagal mempertahankan
pasien dalam terapi dan berkurang kapasitasnya mengubah perilaku
pasien.
3. Pelayanan tambahan; pelayanan medik, psikologis dan keuangan pad
apasien selama terapi terkait dengan peningkatan retensi
4. Aksesibilitas klinik; kemudahan mencapai lokasi terapi dan waktu
layanan yang tersedia cenderung mempengaruhi retensi
5. Biaya terapi; pasien pada terapi gratis memiliki retensi lebih kecil
dibandingkan pasien yang harus membayar
6. Dosis bawa pulang; ketentuan dosis bawa pulang yang lebih banyak
terkait dengan peningkatan retensi.
7. Penilaian cepat; terdapat kecnederungan pasien yang mendapatkan
penilaian cepat akan lebih besar retensinya
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
28
Menurut Ward et al (1998) durasi optimum rumatan metadon adalah
sepanjang pasien merasakan manfaat dari konsumsi metadon setiap hari, dan
mengingat ketergantungan heroin adalah kondisi yang kronik, cenderung
relaps sukar dipercaya terapi berlangsung dalam waktu pendek sementara
heroin relatif bebas tersedia dimasyarakat.
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Pengambilan data dilakukan secara retrospektif cross sectional
terhadap data sekunder berupa rekam medik pasien rumatan metadon di
Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta (RSKO) dan Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati (RSUPF) Jakarta. Data yang didapat lalu dikumpulkan
sebagai satu populasi mengingat fokus pada penelitian ini adalah dosis dan
retensi yang diberikan pada pasien ketergantungan opioid yang menerima
terapi rumatan metadon, sehingga tempat pelaksanaan penelitian tidak
merupakan faktor yang dibandingkan. Hubungan antara berbagai dosis (dosis
awal, dosis 2 minggu terapi, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar
dan dosis rumatan rata-rata) dengan retensi terapi rumatan metadon
selanjutnya diinvestigasi.
3.2 Tempat dan Jadwal Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rawat Jalan Metadon Rumah Sakit
Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Jakarta sejak Januari hingga Juni 2010.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan yang
menjalani Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di RSKO Jakarta dan
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) Jakarta.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
29
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien program terapi
rumatan metadon yang pertama kali mendapatkan terapi pada tahun 2006 –
2008 yang memenuhi kriteria inklusi dan diamati sejak awal terapi hingga 31
Desember 2009. Metode pengambilan sampel dilakukan secara total
sampling.
Kriteria Inklusi:
a. Pasien pecandu opiat yang menjalani PTRM
b. Pasien pecandu opiat yang menerima terapi rumatan metadon untuk
pertama kalinya di RSKO Jakarta dan RSUPF pada tahun 2006 – 2008
c. Pasien berada dalam terapi lebih dari 6 minggu (42 hari).
Kriteria Eksklusi:
a. Pasien program terapi metadon yang mendapatkan terapi anti retroviral
b. Pasien program terapi metadon yang mendapatkan terapi anti
tuberkulosa
c. Pasien program terapi metadon yang memiliki data pengobatan tidak
lengkap/ pasien pindahan/pasien transit.
3.4 Landasan Teori
Pemilihan terapi pada pasien ketergantungan heroin dilakukan
berdasarkan penilaian pasien, pemeriksaan pilihan terapi yang ada serta
negosiasi dengan pasien sekitar terapi yang sesuai.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
30
Manajemen Putus Obat
Abstinen
Terapi Rumatan (agonis) • Metadon (Agonis penuh) • Buprenorfin (Agonis parsial)
Pencegahan Relaps
Harm Reduction • Pendidikan over dosis • Info penurunan risiko
HIV/AIDS
Relaps
Kriteria Inklusi
Fase Stabilisasi
Pengguna Heroin
Pengehentian
Fase Rumatan
Fase Induksi
Dosis : Rumatan terbesar Rumatan rata-rata Rumatan terkecil Setelah 2 minggu Awal
Retensi
Ketergantungan
Diadaptasi dari: : Ali Gowing, L., Ali, R. & White, J. 2000
Terapi rumatan diberikan pada pengguna heroin yang tidak sesuai
dengan program rehabilitasi tetapi ingin berhenti atau secara permanen
mengurangi penggunaan heroin serta semua kerusakan yang disebabkan oleh
penggunaan heroin. Intervensi terapi rumatan secara substansi merupakan
terapi jangka panjang, yang secara konsisten menunjukkan pengaruh positif
terhadap outcome terapi. Kemampuan intervensi terapi untuk terus
mempertahankan pasien merupakan ukuran efikasinya. Semakin lama durasi
terapi, semakin besar kecenderungan efikasi terapi (ASEAN-USAID,2007).
3.5 Kerangka Konsep dan Hipotesis Penelitian
3.5.1 Kerangka Konsep
Variabel terikat pada penelitian ini adalah retensi, yang merupakan
salah satu outcome terapi rumatan metadon yang efektif (Ward et al, 1988).
Retensi merupakan suatu indikator berfungsinya program rumatan terapi
metadon. Penetapan dosis yang memadai merupakan faktor kritikal dalam
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
31
meningkatkan outcome terapi rumatan metadon (National Treatment Agency
for Substance Abuse, 2001). Peles E, Shaul Schreiber, Miriam Adelson
(2006) menyatakan penggunaan dosis yang lebih tinggi merupakan prediktor
retensi lebih lama.
Dosis awal metadon
• Umur • Riwayat dosis terlewat (missed dose) • Riwayat terapi sebelumnya • Interaksi obat
Retensi Terapi Dosis 2 minggu terapi
Dosis rumatan terkecil
Dosis rumatan rata-rata
Dosis rumatan terbesar
3.5.2 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan
terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan wata- rata metadon dan
retensi pada program rumatan metadon baik pada episode pertama
maupun episode kedua terapi.
3.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.6 .1 Variabel Penelitian
3.6.1.1 Variabel Independen
• Dosis Awal : dosis metadon yang diterima pasien pada hari pertama
terapi. Skala: ordinal
1. < 30 mg
2. ≥ 30 mg
• Dosis Rumatan Terkecil: dosis metadon terkecil yang diterima pasien
pada fase rumatan. Skala:ordinal Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
32
1. < 60 mg
2. ≥ 60 mg
• Dosis Terbesar: Dosis rumatan metadon terbesar yang diterima pasien
pada fase rumatan. Skala: ordinal
1. < 100 mg
2. ≥ 100 mg
• Dosis Rata-Rata Rumatan : dosis metadon rata-rata yang diterima
pasien setelah minggu ke enam (hari ke42) . Skala: ordinal
1. < 60 mg
2. ≥ 60 mg
• Dosis 2 minggu adalah dosis yang diterima pasien pada hari ke 14 terapi.
Skala: ordinal
1. Dosis < 40 mg
2. Dosis 41-59 mg
3. Dosis ≥60 mg
3.6.1.2 Variabel Dependen
• Retensi
Lamanya peserta dalam terapi dihitung dari hari pertama pasien mendapat
metadon hingga keluar terapi atau hingga akhir batas pengambilan data.
Skala: ordinal.
1. < 365 hari
2. ≥ 365 hari
3.7.1.3 Variabel Perancu
• Usia adalah umur pasien saat masuk terapi rumatan dihitung dari tahun
dilakukan pencatatan dikurangi tahun kelahiran. Skala: ordinal
1. 18 – 24 tahun
2. 25 – 35 tahun
3. > 35 tahun
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
33
• Riwayat terapi ketergantungan opioid adalah keterangan mengenai
riwayat terapi terkait obat sebelum mengikuti terapi rumatan metadon.
Skala : nominal
1. Tanpa riwayat terapi
2. Ada riwayat terapi
• Riwayat dosis terlewat adalah catatan ketidak hadiran pasien di PTRM
setiap harinya tanpa alasan. Skala : nominal
1. Tidak terdapat riwayat dosis terlewat
2. Dosis terlewat 1-2 hari berurutan
3. Dosis terlewat 3-4 hari berurutan
• Interaksi Obat adalah pengaruh metadon dengan obat lain atau sebaliknya
akibat penggunaan secara bersamaan. Skala: nominal
1. Tidak ada interaksi obat
2. Ada interaksi obat
3.6.2 Definisi Operasional
a. Terapi rumatan metadon adalah terapi jangka panjang menggunakan
metadon, obat yang memiliki kerja yang sama atau serupa dengan zat
yang menyebabkan ketergantungan (heroin).
b. Retensi adalah lamanya pasien didalam terapi rumatan metadon
setelah mendapatkan terapi lebih dari 6 minggu (42 hari)
c. Opioid adalah istilah umum bagi alkaloid buah opium (Papaver
somniferum), analog sintetiknya dan senyawa yang disintesis didalam
tubuh, berinteraksi dengan reseptor yang sama, memiliki kapasitas
menghilangkan rasa sakit, menyebabkan rasa senang (eforia).
d. Fase stabilisasi awal: periode pada terapi rumatan metadon dari hari
pertama hingga minggu ke-2 (hari ke-14)
e. Fase stabilsasi akhir: periode pada terapi rumatan sejak minggu ke-3
hingga minggu ke 6
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
34
f. Fase rumatan adalah periode pada terapi rumatan metadon setelah
minggu ke-6 ( atau setelah hari ke- 42)
g. Dosis awal adalah dosis yang diterima pasien saat pertama kali
mengikuti program rumatan metadon atau ketika pasien drop out yang
masuk kembali.
h. Dosis 2 minggu terapi adalah dosis yang diterima pasien pada hari ke
14 terapi rumatan metadon
i. Dosis rumatan terkecil adalah dosis metadon terkecil yang diterima
pasien pada fase rumatan dalam program terapi rumatan metadon.
j. Dosis rumatan terbesar adalah dosis metadon terbesar yang diterima
pasien pada fase rumatan dalam program terapi rumatan metadon.
k. Dosis rumatan adalah dosis metadon rata-rata yang diterima pasien
pada fase rumatan dalam terapi rumatan metadon
l. Drop out (DO) adalah berhenti dari program rumatan metadon atau
tidak mengambil atau minum metadon 5 hari berturut-turut atau lebih .
m. Status Terapi adalah posisi pasien dalam terapi ketika
dilakukan pengambilan data. Meliputi : berhenti berencana, pindah
terapi, ditahan polisi, pindah PTRM lain, DO tanpa alasan, DO
dengan alasan, aktif dalam terapi
n. Putus metadon adalah sekumpulan gejala yang berbeda dan tingkat
keparahan yang bervariasi yang terjadi pada penghentian atau
pengurangan penggunaan metadon, meliputi mual atau muntah, nyeri
otot, lakrimasi atau rinore, berkeringat, diare, menguap berkali-kali,
demam dan insomnia.
o. Keluhan adalah apa yang dirasakan pasien selama dalam terapi yang
tercatat pada rekam medis.
p. Riwayat terapi adalah semua jenis terapi terkait penggunaan opioid
termasuk detoksifikasi, rehabilitasi dan terapi lainnya sebelum
memasuki terapi rumatan metadon.
q. Riwayat dosis terlewat ditentukan berdasarkan catatan ketidak hadiran
pasien di PTRM setiap harinya tanpa alasan.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
35
r. Interaksi obat adalah pengaruh antara metadon dengan obat lainnya
atau sebaliknya yang digunakan bersamaan sesuai dengan catatan
pada rekam medik
s. NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) adalah zat
yang bila masuk kedalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama
susunan syaraf puasat/otak sehingga menyebabkan gangguan fisik,
psikiksi dan fungsi sosial
3.7 Analisis Data
3.7.1 Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan berasal dari rekam medik meliputi seluruh
variabel yang diteliti. Data tersebut dikumpulkan pada lembar pengumpulan
data yang meliputi antara lain karakteristika pasien yaitu: usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan. Data karakteristik terapi meliputi
dosis metadon yang meliputi dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan
terkecil, dosis rumatan terbesar, dosis rumatan rata-rata serta dosis akhir.
Selanjutnya dikumpulkan data mengenai keluhan yang dialami pasien serta
kehadiran pasien dalam terapi.
3.7.2 Pengolahan Data
Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah kedalam tabel
rekapitulasi sesuai dengan variabel yang sudah ditentukan sebelumnya.
Proses pengolahan data meliputi:
a. Edit Data ; Data mentah yang sudah didapatkan diperiksa kembali
kelengkapan dan ketepatannya. Kemudian untuk data yang tidak lengkap
dilakukan pengecekan data melalui komputer petugas PTRM.
b. Pengkodean ; Data mentah yang sudah lengkap dan jelas yang semula
berbentuk huruf diubah menjadi berupa angka atau bilangan. Pengkodean
dilakukan untuk mempermudah pada saat analisa dan mempercepat saat
memasukkan data.
c. Pemrosesan ; Pada tahap ini data yang telah mengalami pengkodean
diproses secara statistika .
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
36
d. Pembersihan (Cleaning); Dilakukan pemeriksaan ulang data yang sudah
di-entry.
3.7.3 Analisis Data
Data hasil penelitian selanjutnya dianalisis secara statistik dengan analisis
deskriptif dan analisis korelasi. Hubungan antara variabel dianalisis
menggunalan analisis tabulasi silang. Selanjutnya dilakukan analisis regresi
logistik biner .Uji dilakukan dua arah dengan P < 0.05 dianggap bermakna.
3.7.4 Analisis Interaksi Obat
Interaksi obat yang terjadi dianalisa menggunakan:
- Software The Medical Letter’s Adverse Drugs Interactions Programs
- Stockley’s Drug Interactions
- Drug Interactions: Analysis and Management.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
37
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHANSAN
Penelitian dilakukan terhadap pasien ketergantungan opioid yang
mengalami perawatan di unit rawat jalan Metadon di dua rumah sakit yaitu
Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta. Secara keseluruhan, sebesar 231 pasien (38,25%) dari populasi
termasuk dalam kategori inklusi. Sedangkan sisanya termasuk dalam
kategori eksklusi, yaitu 85 pasien pindahan / rujukan (14%), 75 pasien yang
mendapatkan ARV (12,41%) dan 213 pasien yang tidak sampai rumatan di
episode perawatan pertama (35,26%). Rincian data populasi terdapat pada
lampiran 2.
4.1. Karakteristika Pasien
Sampel penelitian terdiri atas 200 laki-laki (86,6%) dan rata-rata usia
28 tahun, dengan kisaran usia 18 hingga 48 tahun dan sebagian besar
(68,4%) berusia 25-35 tahun. Sebesar 163 orang (70,6%) berpendidikan
SMA atau sederajat, 164 orang telah memiliki pekerjaan (71%), 97 orang
belum menikah (42%) dan sebanyak 86 orang berdomisili di Jakarta Selatan
(37,2%).
Sebanyak 158 orang (68,4%) memiliki riwayat masalah hukum
terkait penggunaan NAPZA dan mayoritas (56,7%) telah menggunakan
selama opiat 5-10 tahun.
Sebagian besar sampel yaitu 149 orang (64,5%) memiliki riwayat
merokok, sebesar 107 orang (46,8%) mengkonsumsi alkohol, sebesar 60
orang (26%) memiliki riwayat penggunaan benzodiazepin dan riwayat
amfetamin sebesar 82 orang (35,5%). Rincian karateristik sampel dapat
dilihat pada Tabel 4.1
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
38
Tabel 4.1 Karakteristik sampel
Karakteristik Pasien Jumlah (Persen)
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
200(86,6) 31(13,4)
Usia 18-24
25-35 >35
55(23,8) 158(68,4) 18(7, 8)
Pendidikan < SMP SMA Perguruan Tinggi
Status Pernikahan Menikah Tidak Menikah Riwayat Hukum Ada riwayat masalah hukum Tidak ada riwayat masalah hukum
15(6,5) 163(70,6) 53(22,9)
97(42,0) 134(58,0)
158(68,4) 73(31,6)
Riwayat Penggunaan Zat Aditif Nikotin Alkohol Opiat Benzodiazepin Amfetamin
149(64,5) 107(46,3) 231(100) 60(26)
82(35,5) Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja
164(71) 67(29)
Domisili Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Depok Bekasi Tangerang
86(37,2) 14(6,1) 43(18,6) 13(3,6) 5(2,2) 21(9,1) 10(4,3) 39(16,9)
Outcome Terapi Pindah Terapi Tertangkap Polisi Pindah PTRM lain DO tanpa alasan DO dengan alasan Pasien aktif Pasien yang mengalami 2 episode perawatan Pasien dengan 3 episode perawatan
3(1,3) 6(2,6)
27(11,7) 108(46,8)
4(1,7) 83(35,9) 43(18,61)
4(1,7)
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
39
4.2 Deskripsi Reaksi Obat Tidak Diinginkan
Hasil pengamatan terhadap reaksi obat tidak diinginkan berupa
keluhan putus obat menunjukkan pada minggu pertama 220 orang (95,2%)
mengeluhkan putus obat, pada minggu kedua sebesar 174 orang (75,3%) dan
minggu ketiga dan keempat masing-masing 68,8% dan 54,5%. Terlihat
adanya kecenderungan penurunan keluhan yang dilaporkan pada minggu
berikutnya. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Persentase Pasien Yang Mengalami Keluhan
Waktu Jumlah (persen)
Hari 1-7 220(95,2)
Hari 8-14 174(75,3)
Hari 15-21 159(68,8)
Hari 22-28 126(54,5)
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif sehingga tidak
menelaah kualitas atau derajat keluhan putus obat, sehingga nilai ini belum
secara utuh menggambarkan bagaimana keluhan yang dialami pada pada
periode waktu tersebut.
Keluhan putus obat yang dirasakan sangat bervariasi dan keluhan
yang dirasakan mayoritas pasien (88,5%) adalah kesulitan tidur (insomnia),
nyeri otot (50,6%), serta mual muntah (11.3%) konstipasi (13%). Rincian
lengkap keluhan putus obat terdapat pada tabel 4.3.
Keluhan putus obat yang paling banyak ditemukan adalah gangguan
tidur (88,5%). Gangguan tidur berkorelasi positif terhadap peningkatan
potensi relaps penyalahgunaan heroin pada terapi rumatan metadon.
Penyebabnya adalah penurunan kadar opioid endogen (dinorfin) yang
berpartisipasi dalam regulasi tidur. Heroin berikatan pada situs yang sama
dengan opioid endogen dan menekan produksi opioid endogen. Ketika heroin
dihentikan penggunaannya atau berkurang kadarnya, fungsi opioid endogen
dibawah kondisi sebelumnya sehingga terjadi hiperaktifitas syaraf lokus
sereleus dan gangguan homeostatis tidur (Yi Jung Li, 2009).
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
40
Sebesar 50,5% pasien mengeluhkan nyeri otot, Goldsmith (1984)
menemukan keluhan putus obat terkait dengan masa stabilisasi serta dosis,
pasien dengan dosis lebih rendah mengeluhkan sakit otot lebih sering
dibandingkan pasien yang mendapatkan dosis sedang atau tinggi. Diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi hal ini.
Tabel 4.3 Deskripsi keluhan putus obat dan efek samping
Jenis keluhan Jumlah (persen)
Keluhan putus obat Mual atau muntah
t
)
26(11,3)Nyeri oto 117(50,6)Lakrimasi atau rinorePupil melebar, piloereksi / berkeringat
15(6, 5)16(6.9)
Diare 23(10)Menguap 25(10,8)Demam 6(2,6)Insomnia (gangguan tidur 204(88,5)Tidak Mood 8 (3,4)
Keluhan efek sampingKonstipasi 30(13)Disfungsi seksual 3(1,3)Gatal 12(5,2)Nafsu makan menurun 24(10,4)Bangun tidur lemas 8(3,4)
Sedangkan keluhan efek samping yang diamati meliputi konstipasi
(13%), nafsu makan menurun (10,4%) dan gatal (5,2%). Rincian lengkap
keluhan efek samping terdapat pada tabel 4.3.
Ditemukan seorang pasien yang mengeluhkan dada berdebar setelah
mengkonsumsi metadon, selanjutnya pasien dirujuk ke bagian Kardiologi.
Pasien tersebut menerima dosis 55 mg, dan merasakan keluhan pada hari ke
25 terapi. Pemeriksaan ECG sebaiknya dilakukan pada pasien yang
mendapatkan dosis metadon sangat tinggi (Eap C.B. et al 2002), dinyatakan
bahwa perpanjangan interval QT dan torsade de pointes terkait dengan dosis
metadon ≥ 200 mg tetapi juga telah diamati terjadi pada dosis yang lebih
rendah (Lacy, C.F., et al, 2007) .
Jumlah pasien yang mengalami keluhan sejak minggu pertama terapi
(95.2%) menurun hingga minggu keempat (54.5% ). Hal ini menunjukkan
tercapainya tujuan masa induksi yaitu penyesuaian dosis dengan cara aman
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
41
hingga dapat mencegah putus obat (Payte, 2003. Karena penelitian ini
retrospektif sifatnya, tidak dapat ditelaah intensitas keluhan dari minggu I
hingga selanjutntya. Selain itu, pengamatan dilakukan dalam jangka waktu 7
hari, sehingga pada minggu IV pasien yang mengeluhkan putus obat bisa saja
terkait dengan proses titrasi yang masih berlangsung dan dosis terapetik yang
belum tercapai.
Pada penelitian ini ditemukan 30 pasien (13 %) mengeluh konstipasi,
usia pasien tersebut bervariasi antara 22- 40 tahun, mendapat dosis antara 20
mg – 100 mg dan berada dalam terapi hari pertama hingga 1.5 tahun. Satu
orang berusia diatas 40 tahun sedangkan sisanya dibawah 40 tahun, untuk
mengatasi keluhan tersebut diberikan laksatif. Tidak terlihat kecenderungan
keluhan konstipasi terjadi pada usia diatas 40 tahun. Goldsmith et al (1984)
menemukan kecenderungan terjadinya konstipasi pada dosis kurang dari 19
mg atau antara 60-79 mg dan 57% terjadi pada pasien diatas 40 tahun.
Efek konstipasi kemungkinan tidak terdapat pada pasien
ketergantungan heroin karena terdapat variasi kadar opioid akibat injeksi
narkotik kerja pendek. Sebaliknya, kadar opioid pada pasien terapi rumatan
metadon terjaga selama 24 jam, sehingga memunculkan efek narkotik yang
lebih persisten pada usus halus (Goldsmith et al , 1984). Konstipasi terjadi
akibat ikatan opioid dengan reseptor opioid di perifer saluran gastrointestinal
sehingga terjadi penurunan peristalsis, berkurangnya sekresi empedu,
pankreas dan intestinal serta meningkatkan tonus ileocaecal dan sfingter.
Waktu transit feses meningkat kadar air feses berkurang (Colliet B.J., 1998).
Toleransi efek konstipasi terjadi sangat lambat, sehingga efek konstipasi
merupakan efek samping yang cenderung menetap (Vendramin and Annella
M Sciacchitano, 2009).
Mual muntah dikeluhkan oleh 26 pasien (11.3 %) untuk mengatasi
keluhan tersebut, pasien diberikan anti emetik. Collet (1998) menemukan
hingga 40% terjadi mual dan hingga 15% kejadian muntah pada pasien yang
diterapi dengan opioid.
Sebanyak 3 pasien mengeluhkan masalah disfungsi seksual,
mendapatkan dosis metadon yang bervariasi yaitu 30 mg, 50 mg dan 100 mg
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
42
dan berada dalam terapi antara 45 hari hingga 1,5 tahun. Dan kisaran usia
dibawah 40 tahun, yaitu berturut turut adalah 26 tahun, 37 tahun dan 32 tahun.
Pasien yang mengalami masalah seksual tersebut tidak mengkonsumsi secara
bersamaan obat lain yang dapat menyebabkan penekanan dorongan seksual
termasuk antihipertensi dan psikotropik (R.T. Brown and Megan Zueldorff,
2007).
Goldsmith et al (1984) menemukan terdapat hubungan dosis dan usia
dengan disfungsi seksual dimana pasien yang menerima metadon dibawah 20
mg atau diatas 80 mg paling sering mengeluhkan masalah seksual, sebesar
43% pasien yang mengeluhkan masalah disfungsi seksual berusia diatas 40
tahun sedangkan 18% diantaranya berusia dibawah 40 tahun.
Kerja opioid menyebabkan gangguan produksi hormon hipotalamik
dan pituitari (LH, FSH dan GnRH), peningkatan kadar prolaktin serum,
menekan produksi testosteron. Terapi penggantian pada kadar testorsteron
yang rendah mungkin efektif mengatasi disfungsi libido atau erektil, dan
potensi orgasme lambat atau anorasmia. Terapi penggantian kadar androgen
yang rendah pada wanita juga meningkatkan libido dan mood . Perlu
dilakukan evaluasi pada kesehatan mental dan emosional selain pemeriksaan
hormonal mengingat penderita ketergantungan obat banyak yang mengalami
komorbiditas psikiatrik. (R.T. Brown and Megan Zueldorff, 2007).
4.3 Deskripsi Dosis Metadon
Dosis awal yang diterima oleh 227 pasien (98,1%) berkisar antara 20-
30 mg dengan nilai dosis awal rat-rata adalah 24,61 mg, sedangkan nilai rata-
rata berbagai kisaran dosis terdapat pada tabel 4. 4.
Tabel 4. 4 Deskriptif Dosis Metadon
Dosis awal
Dosis 2 minggu
Dosis rumatan terkecil
Dosis rumatan terbesar
Dosis rumatan rata-rata
Nilai terkecil 20 15 15 25 22.5
Nilai terbesar 40 80 115 210 165
Range 20 65 115 185 142.5
Rata-rata 24,61 47,26 57,82 78,45 68,38
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
43
4.3.1 Dosis awal
Mayoritas pasien (98%) mendapatkan dosis awal 20 mg hingga 30 mg,
kisaran tersebut sesuai pedoman terapi rumatan metadon. Secara umum,
dosis awal metadon dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu
ketergantungan opioid dengan neuroadaptasi sedang-tinggi--biasanya mulai
dengan 25-30 mg, meskipun dinilai memiliki toleransi opioid yang tinggi
dosis awal tidak boleh melebihi 40 mg. Ketergantungan opioid yang dinilai
tidak atau kemungkinan belum terbentuk neuroadaptasi dapat diberikan dosis
awal 20 mg atau kurang (NSW Health Department, 1999).
Pemberian dosis awal memperhatikan prinsip keamanan mengingat
mortalitas tertinggi pada terapi rumatan metadon terjadi pada hari-hari
pertama terapi (J Martin, 2010). Hal itu terkait dengan lebih lambatnya
metabolisme metadon pada pasien yang baru menerima terapi dibandingkan
pasien yang telah mencapai kadar steady-state. Selain itu, toleransi silang
yang tidak lengkap antara metadon dan opioid lain menyebabkan pasien yang
baru mengikuti terapi rumatan metadon memiliki toleransi yang lebih rendah
terhadap metadon dibandingkan seharusnya, dan karenanya dosis awal dapat
dianggap menjadi terlalu tinggi. Perbedaan ini menjelaskan kecenderungan
terjadi toksisitas fatal bagi pasien diawal terapi dan tidak pada pasien yang
telah mencapai steady state (J.M. Corkery et. al , 2004).
Ditemukan 2 pasien yang mendapat dosis awal masing-masing 35 mg
dan 40, dant tidak ada pasien yang mendapat lebih dari 40 mg. Dosis awal
dalam kisaran tersebut hanya diberikan jika secara pasti diketahui pasien
mengalami ketergantungan opioid sebelumnya, atau nampak keparahan gejala
putus obat. Pemberian dosis awal 40 mg dilakukan ketika pemberian dosis 30
mg tidak terjadi penurunan keluhan putus obat yang memadai dalam waktu 2-
4 jam setelah pemberian (J. Martin, 2010). Pemberian dosis awal metadon
tidak boleh melebihi 40 mg dan terdapat peningkatan risiko over dosis pada
dosis awal diatas 30 mg (NSW Health Department, 1999). Prinsip keamanan
masa induksi didasarkan atas peningkatan dosis hingga diamati kondisi pasien
pada kadar puncak metadon, atau sekitas 3 – 8 jam setelah pemberian (Payte,
2003).
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
44
4.3.2 Dosis 2 minggu terapi
Sebagian besar pasien (50.3%) mendapatkan dosis metadon pada 2
minggu pertama terapi sebesar 41-59 mg dan hanya 10 % pasien mendapat
dosis ≥ 60 mg. Dari hasil perhitungan statistika dapat dilihat kecenderungan
retensi yang dicapai oleh pasien yang mendapat dosis 2 minggu dalam kisaran
tersebut.
Pada penelitian sebelumnya, outcome terapi lebih baik pada pasien yang
mendapat dosis lebih tinggi. Pada pasien yang tetap mengkonsumsi heroin
atau opioid lain, meningkatkan dosis metadon merupakan pendekatan yang
efektif untuk mengurangi penggunaan heroin. Agar peningkatan dosis setelah
minggu pertama berjalan aman, sebaiknya dilakukan secara gradual,
mengingat memerlukan hingga tujuh hari mencapai steady state baru setelah
peningkatan dosis. Peningkatan dosis sebaiknya dilakukan setiap 3–5 hari
(NSW MMT, 1999).
Ditemukan pasien yang merasa nyaman dengan dosis rendah dan tidak
perlu didorong untuk menaikkan dosisnya. Pada penelitian ini 3 pasien
menerima dosis metadon 2 minggu berturut-turut sebesar 15 mg, 20 mg dan
22.5 mg. Pasien tersebut mendapatkan dosis tersebut setelah melalui proses
titrasi dosis hingga dicapai dosis yang optimal. Ketiga pasien tersebut merasa
nyaman dengan dosis 15-22.5 mg dan tidak merasakan keluhan putus obat.
Selain itu, terapi 2 minggu pertama tidak dimaksudkan untuk mencapai dosis
optimum dan penyesuaian dosis lebih lanjut dapat dilakukan setelah pasien
mencapai stabilisasi awal (Henry-Edwards, Sue et al., 2009).
4.3.3 Dosis rumatan terkecil
Dosis rumatan metadon terkecil rata-rata pada penelitian ini adalah
57,82 mg dengan kisaran 15– 115 mg. Pasien yang mendapatkan dosis 15
mg pada fase rumatan dimungkinkan karena pasien tersebut mengalami dosis
terlewat selama 3 hari berturut-turut sehingga dosisnya harus dikurangi
hingga separuhnya untuk mencegah terjadinya over dosis terkait dengan
kekhawatiran berkurangnya toleransi terhadap metadon. Pasien tersebut
akan dinaikkan dosisnya secara bertahap hingga mencapai dosis optimal.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
45
Ditemukan 9 pasien pada fase rumatan awal (lebih dari 6 minggu)
mendapatkan dosis metadon lebih dari 100 mg, pasien tersebut mengeluh
putus obat dan sesuai pedoman terapi dosis dinaikkan 5-10 mg setiap 3–5 hari
hingga mencapai dosis optimal. Preston et al (2000) menemukan
peningkatan dosis metadon pada pasien yang masih menggunakan heroin
dianggap efektif sebagai cara menghentikan penggunaan heroin. Trafton et al
(2005) menemukan beberapa pasien memerlukan dosis lebih tinggi dibanding
yang lain agar mampu menghentikan penggunan heroin.
4.3.4 Dosis rumatan terbesar
Dosis rumatan terbesar rata-rata adalah 78,45 mg, dengan kisaran 25 –
210 mg. Pasien yang mendapatkan dosis terbesar 25 mg adalah pasien yang
sejak awal fase rumatan hingga akhir batas penelitian merasa nyaman dan
tidak mengalami keluhan putus zat dengan dosis tersebut. Pasien tersebut
pada awalnya mengeluh muntah dan tidak bersedia dinaikkan dosisnya.
Terdapat beberapa kemungkinan yang terjadi pada pasien tersebut yang
terkait dengan farmakokinetika metadon. Bioavailabilitas metadon berkisar
80% sedangkan variasi antar subyek 36-100% (Eap et. al 2002), sehingga
pasien yang memiliki bioavailabilitas tinggi, pada dosis yang relatif kecil
dapat mencapai efek terapetik.
4.3.5 Dosis rumatan rata-rata
Nilai rata-rata dosis rumatan dalam penelitian ini adalah 68,38 mg.
Nilai dosis rumatan tersebut sudah termasuk dalam kisaran dosis rumatan
efektif dalam terapi rumatan metadon, yaitu dalam kisaran 60-100 mg per
hari (SH Edwards, 2003). Dosis rumatan yang tinggi (> 60 mg per hari) pada
dasarnya diberikan bertujuan untuk: mencegah gejala putus obat,
menginduksi toleransi silang yang memadai terhadap heroin untuk mencegah
intoksikasi dan mencegah craving terhadap heroin (Ward, J., Wayne Hall,
and Richard P. Mattick, 2009).
Donny E.C et al (2005) menemukan diperlukan dosis metadon yang
relatif lebih besar untuk mencapai kisaran efek terapetik. Dosis metadon
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
46
yang relatif lebih kecil (30 – 60 mg) efektif menekan gejala putus obat; akan
tetapi diperlukan dosis yang lebih besar untuk mendapatkan efek toleransi
silang terhadap efek heroin. Pasien yang mendapat dosis relatif lebih rendah
(< 80 mg) akan mendapatkan efek toleransi silang yang tidak lengkap
terhadap eforia dan efek penguatan heroin. Donny et al (2002) menemukan
pemberian metadon sebesar 120 mg/hari memberikan efek blokade terhadap
efek heroin 20 mg/70 mg dinilai menggunakan skala analog visual tetapi
efek tersebut tidak muncul pada dosis 30 mg dan 60 mg.
Kisaran dosis metadon rumatan rata-rata pada penelitian ini adalah
antara 22.5 -165 mg. Perbedaan dosis metadon yang dibutuhkan oleh pasien
salah satunya dapat dijelaskan oleh perbedaan sifat farmakokinetika dan
farmakodinamika metadon. Hanna Julia et al, (2005) menemukan variasi
nilai bersihan oral metadon, variasi parameter farmakokinetik serta variasi
pengukuran farmakodinamika
4.4 Retensi
Waktu retensi rata-rata adalah 393,0 hari (kisaran 43 – 1601) hari dan
sebesar 46,8 % dari total 231 pasien bertahan dalam terapi selama 1 tahun
atau lebih. Sampel penelitian yang aktif dalam terapi rumatan metadon
berjumlah 83 orang (38.96%), sisanya yaitu 147 (69%) adalah pasien yang
mengalami drop out, 53 (36%) diantaranya masuk kedalam terapi rumatan
metadon episode kedua dan 43 (29.25%) diantaranya hingga fase rumatan.
Dari pasien yang mengalami episode kedua, 8 orang (18.6%) diantaranya
drop out dan kembali memasuki terapi episode ketiga dan 2 pasien memasuki
terapi hingga episode perawatan keempat. Rincian status pasien dalam terapi
terdapat pada tabel 4.1 .
Hubungan antara berbagai pengukuran dosis dengan retensi pada
pasien yang mengalami episode kedua baik episode pertama dan episode
kedua tidak bermakna. Hasil ini dapat terjadi kemungkinan karena jumlah
data yang terbatas sehingga tidak dapat menjelaskan hubungan tersebut.
Analisis Kaplan Meier dilakukan untuk mengetahui proporsi pasien
yang masih dalam terapi rumatan metadon. Hasil analisis menunjukkan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
47
median waktu survival adalah 622 hari, artinya 50% pasien bertahan selama
sampai hari ke-622.
Gambar 4.1 Grafik fungsi survival pasien terapi metadon
Retensi terapi dianalisis menggunakan analisis kurva regresi survival,
suatu tipe regresi log-linier. Hasil analisis survival menunjukkan median
waktu survival adalah 622 hari dan 46.8% pasien berada dalam terapi setelah
1 tahun dalam terapi rumatan metadon. Temuan ini lebih besar dibandingkan
yang ditemukan di Italia dengan kisaran 40% (D.D’Ilppoliti et al, 1998). Hal
ini kemungkinan terkait dengan dosis terbesar rata-rata pada penelitian
tersebut lebih kecil (44 mg) dibandingkan dosis terbesar rata-rata pada
penelitian ini (78.17 mg). Peles et al (2005) menemukan retensi terapi
setelah 1 tahun sebesar 74.4% dan tingginya penghentian penggunaan opioid
sebesar 65.8%.
Berbagai penelitian menunjukkan terjadi peningkatan outcome pasien
tersebut pada waktu retensi selama 1 tahun atau lebih. Retensi didalam terapi
memiliki hubungan dengan peningkatan produktifitas sosial, berkurangnya
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
48
tingkat kriminal, dan tingkat mortalitas. Prosentase pasien yang bekerja,
melanjutkan sekolah, atau bekerja dirumah tangga meningkat (Ward, J, et al,
2009).
Pasien yang mengikuti terapi rumatan metadon akan terjadi okupasi
reseptor opioid mu secara kontinyu yang merupakan faktor penstabil sehingga
memungkinkan pasien rumatan metadon memiliki perilaku yang normal dan
menghentikan penggunaan heroin. Dalam hal ini metadon
bukanlah ”pengganti” heroin karena metadon memiliki sifat farmakokinetika
yang sangat berbeda dengan efek yang berbeda pula. Okupasi reseptor opioid
mu oleh metadon terjadi stabil dan menetap sangat berbeda dengan
kondisi ”puncak” yang berlebihan dan berulang diikuti dengan
kondisi ”lembah” yang berlebihan akibat heroin (Goldstein, Avram, 1998).
Dari hasil analisis logistik biner terhadap variabel dosis rumatan rata-rata
dan dosis rumatan terbesar, dosis rumatan terbesar menunjukkan nilai yang
bermakna terhadap retensi ≥ 1 tahun (P=0,000). Persamaan regresi logistik
biner memberikan nilai OR 3,485; ini berarti pasien dengan dosis rumatan
terbesar ≥ 100 mg memiliki kesempatan 3,845 kali lebih besar untuk bertahan
didalam terapi ≥ 1 tahun dibandingkan pasien dengan dosis rumatan terbesar
< 100 mg.
Hasil analisis logistic biner mengkonfirmasi hasil uji bivariat, yaitu dosis
rumatan terbesar mempengaruhi retensi secara bermakna. Pasien dengan
dosis rumatan terbesar ≥ 100 mg memiliki kemungkikan bertahan didalam
terapi ≥ 1 tahun 3,5 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan dosis
terbesar < 100 mg. Ini berarti menaikkan dosis menguntungkan bagi pasien
karena dapat meningkatkan retensi terapi.
4.5 Hubungan antara retensi dengan dosis awal, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar, dosis rumatan rata-rata dan dosis setelah 2 minggu Hasil Uji Fisher menunjukkan dosis retensi terbesar berhubungan
secara bermakna dengan retensi (P = 0,000). Hubungan antara dosis awal,
dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan rata-rata menunjukkan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
49
hasil tidak bermakna dengan kemaknaan berturut-turut adalah (P = 0,221; P=
0,774; P = 0,895; P= 0,103).
Tabel 4.5 Tabulasi silang perbagai pengukuran dosis dan retensi
Retensi juml(persen) Signifikansi Jenis Dosis
< 365 >365
Dosis awal < 30 mg 60(52,6) 54(47,4)
Dosis awal ≥ 30 mg 63(53,8) 54(46,2)
P = 0.895
Dosis 2 minggu < 30 mg 23(51,1) 22(48,9)
Dosis 2 minggu 31-59 mg 81(52,6) 73(47,7)
Dosis 2 minggu > 60 mg 19(59,4) 108(40,6)
Dosis rumatan terkecil < 60 mg 60(52,6) 54(47,4)
Dosis rumatan terkecil ≥ 60 mg 63(53,8) 54(46,2)
P = 0.360
P = 0.895
Dosis rumatan terbesar < 100 mg 107(60.1) 71(39,9)
Dosis rumatan terbesar ≥ 100
mg
16(30,2) 37(69,8)
Dosis rumatan rata-rata < 60 mg 52(60,5) 34(39,5)
Dosis rumatan rata-rata ≥ 60 mg 71((49,0) 74(51)
P = 0.000
P = 0,103
Hubungan antara dosis rumatan terbesar dengan retensi (P = 0,000)
menggambarkan semakin besar dosis rumatan terbesar maka retensi akan
semakin besar. Hasil ini sejalan dengan temuan G.I. Dickinson et al., (2006)
yang menemukan hubungan paling erat adalah antara dosis rumatan terbesar
dengan retensi. Strain et al, (1993) menemukan dosis yang lebih besar
memberikan outcome terapi lebih baik berupa retensi dan penggunaan heroin
dibandingkan dosis lebih rendah. Toleransi silang terhadap heroin meningkat
dengan meningkatkannya dosis dan menghambat efek eforia . Dosis metadon
60 mg atau lebih memadai untuk mencapai tingkat toleransi pada mayoritas
individu, diperlukan dosis lebih dari 100 mg per hari untuk pasien yang
memiliki metabolisme cepat. Hubungan antara dosis rumatan terbesar
dengan retensi menunjukkan hubungan yang paling besar kemaknaannya
dibandingkan berbagai pengukuran dosis lainnya. Hasil ini sejalan dengan Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
50
temuan G.I. Dickinson et al., (2006) yang menemukan hubungan paling erat
adalah antara dosis rumatan rata-rata dan dosis rumatan terbesar dengan
retensi. Caplehorn dan Bell (1995) menemukan pasien yang mendapatkan
dosis ≥ 80 mg/hari memiliki kecenderungan dua kali lebih besar untuk
bertahan dalam terapi, dan pasien yang mendapatkan dosis ≤ 40mg/hari
memiliki kecenderungan dua kali lebih besar menggunakan heroin
dibandingkan pasien yang menerima dosis 80 mg/hari.
Walaupun tidak bermakna, hubungan antara dosis rumatan rata-rata
dan retensi menujukkan pasien dengan dosis rumatan rata-rata ≥ 60 mg
memiliki proporsi lebih besar (51%) berada dalam terapi ≥ 1 tahun
dibandingkan pasien yang menerima dosis rumatan < 60 mg (39,5%).
Dickinson et al, (2006) menemukan dosis rumatan rata-rata berhubungan
bermakna dengan retensi. Konsensus para ahli di NIH (National Institues of
Health) menyatakan dosis 60 mg dapat mencapai tujuan terapi (NIH, 1997).
Penggunaan dosis rumatan yang tinggi (>60 mg per hari) dimaksudkan untuk
mencapai tiga hal: mencegah gejala putus obat, menginduksi toleransi silang
yang memadai dan mencegah intoksikasi serta mencegah caving heroin.
Pada dosis 2 minggu terapi, walaupun tidak menunjukkan hubungan
yang bermakna, pasien dosis 2 minggu < 40 mg dan 41-59 mg berada
didalam terapi ≥ 1 tahun sebesar 48,9% dan 47,4%, jumlah ini lebih besar
dibandingkan pasien dengan dosis > 60 mg (40,6%). Hasil penelitian ini
sejalan dengan temuan Brady (2005) yang menyatakan retensi tidak memiliki
hubungan yang konsisten dengan dosis setelah 2 minggu; pasien dengan dosis
lebih dari 80 mg memiliki retensi yang paling rendah. Sesuai pedoman
pemberian dosis metadon pada awal terapi, yaitu start low, go slow, aim high,
maka pemberian dosis pada awal terapi yang sesuai pedoman, yaitu
peningkatan dosis 5-10 mg setiap 3-5 hari maka keamanan yang menjadi
suatu hal yang utama pada terapi tercapai begitu pun dengan retensi.
Magura et al. (1998) menyatakan pentingnya variabel pada-terapi (in-
treatment) dan dosis merupakan salah satu variabel tersebut. Dosis
berpengaruh terhadap outcome retensi. Hasil suatu meta analisis 13 uji klinik
random, double blind oleh M. Farret et al (2002) menemukan pemberian
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
51
dosis metadon ≥ 50 mg pada 890 pasien meningkatkan retensi (25% lebih
kecil kegagalan retansi, OR. 1.25) dan mengurangi penggunaan heroin
sebesar 72% (OR.1.72%) dibandingkan pasien yang mendapat dosis lebih
rendah <50 mg (392 pasien).
4.6 Hubungan antara umur, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, dan
interaksi obat dengan retensi
Analisis hubungan Ki kuadrat menunjukkan retensi tidak berhubungan
secara bermakna dengan usia, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, interaksi
obat (P =0,753; 0,752; 0,845; 0,052).
Tabel. 4.6 Tabulasi silang hubungan umur, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat dan interaksi obat dengan retensi
Retensi Signifikansi Deskripsi
< 365 ≥ 365
Usia < 25 28(50,9) 27(49,1)
Usia 25-34 84(53,2) 74(46,8)
Usia ≥ 35 11(61,1) 7(38,9)
P = 0,753
Tanpa riwayat terapi 33(55) 27(45)
Dengan riwayat terapi 90(52,6) 81(47,4) P = 0,766
Tanpa Riwayat dosis terlewat 5(45,5) 6(54,5)
Riwayat dosis terlewat 1-2 hari 77(54,2) 65(45,8)
Riwayat dosis terlewat 3-4 hari 41(52,6) 37(47,4)
P = 0,845
Tanpa interaksi obat 100(56,8) 76(43,2)
Ada interaksi obat 23(41,8) 32(58,2) P = 0.052
4.6.1 Hubungan usia dan retensi
Universitas Indonesia
Hasil analisis hubungan antara usia dan retensi menujukkan hubungan
negatif dan tidak ada bermakna. Pada penelitian ini ditemukan proporsi
pasien terbesar yang berada dalam terapi > 1 tahun adalahpasien yang lebih
muda (< 25 tahun ; 49,1%). Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan
Miguel del Rio (1997) dan temuan TOPS yang menyatakan akumulasi
penggunaan NAPZA oleh pasien terkait mempengaruhi kemungkinan
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
52
keberhasilan terapi obat. Miguel del Rio (1997) menyatakan penggunaan
heroin dalam jangka panjang yang disertai dengan kegiatan prekontemplasi
berkelanjutan lebih berhubungan dengan penghentian penggunaan obat
dibandingkan penggunaan jangka pendek. Saxon et al. (1996) menemukan
pada orang yang lebih tua terdapat kemungkinan peningkatan ketidak puasan
terhadap gaya hidup ketergantungan obat sejalan dengan meningkatnya usia.
4.6.2 Hubungan riwayat terapi dan retensi
Sejumlah 60 pasien (74%) merupakan pasien yang telah menjalani
terapi ketergantungan opioid sebelumnya sedangkan 11 (74%) belum
mendapat riwayat terapi ketergantungan opioid . Rincian data riwayat terapi
terdapat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Karakteristik terapi
Karakteristik Jumlah (persen)
Riwayat Terapi Tidak ada Riwayat Terapi Ada Riwayat Terapi
60(26,0) 171(74,0)
Riwayat dosis terlewat Tanpa dosis terlewat Dosis terlewat 1-2 hari berturut-turut Dosis terlewat 3-4 hari berturut-turut
11(4,8) 142(61,5) 78(33,3)
Lamanya penggunaan opiat < 5 tahun
5- 10 tahun > 10 tahun
40(17,3) 131(56,7) 60(26,0)
Analisis hubungan riwayat terapi dan retensi terdapat hubungan yang
postitif tetapi tidak terlihat kemaknaannya. Sebesar 47,4% pasien dengan
riwayat terapi berada dalam tetapi > 1 tahun, nilai ini lebih besar
dibandingkan pasien tanpa riwayat terapi (45%). Dilihat dari karakteristika
usia, proporsi pasien tanpa riwayat terapi yang berusia < 25 tahun (20%)
relatif sama dengan pasien yang memiliki riwayat terapi (25%). Hal ini
sejalan dengan temuan Cacciola et al (2005), bahwa terdapat lebih besar
proporsi outcome yang baik (tetapi tidak bermakna) pada pasien yang
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
53
memiliki riwayat terapi dibandingkan pasien yang tidak memiliki riwayat
terapi sebelumnya. Menurut mereka, pasien yang belum memiliki riwayat
terapi memiliki risiko kegagalan outcome terapi lebih besar dibandingkan
pasien yang memiliki riwayat terapi. Hal ini terkait dengan karakteristik
pasien yang baru mengalami terapi ketergantungan adalah pasien dengan usia
lebih muda, kemungkinan tinggal dekat dengan lingkungan pengguna
NAPZA dan menganggap penggunaan NAPZA bukanlah hal yang serius.
E. Liu et al (2009) menemukan hal yang berbeda, menurut mereka
pasien yang tidak memiliki riwayat terapi prediktor retensi. Pasien tanpa
riwayat terapi kemungkinan memiliki keinginan yang lebih besar dan
kepercayaan yang lebih tinggi terhadap efektifitas terapi rumatan metadon,
berbeda dengan pasien yang memiliki riwayat terapi yang merupakan pasien
yang telah mengalami kegagalan untuk mencoba berhenti menggunakan
opioid.
4.6.3 Hubungan dosis terlewat dan retensi
Sebesar 142 pasien (61%) mengalami dosis terlewat satu hingga dua
hari berturut-turut, hanya 11 orang (4,8%) yang tidak pernah mengalami dosis
terlewat, sedangkan pasien yang mengalami dosis terlewat 3 hingga 4 hari
sebesar 78 orang (33,3%). Data rinci mengenai riwayat dosis terlewat
terdapat pada tabel 4.7.
Terdapat berbagai alasan pasien yang mengalami dosis terlewat dan
hal tersebut tidak ditelaah dalam penelitian ini. Dengan mendalami alas an
pasien mengalami dosis terlewat maka pemahaman terhadap pengaruh dosis
terlewat terhadap retensi akan lebih utuh. Selain itu, factor motivasi juga
perlu dipertimbangkan, pasien yang mengalami dosis terlewat tetapi dengan
motivasi tinggi untuk tetap bertahan didalam terapi tentu berbeda dengan
pasien yang mengalami dosis terlewat tetapi kurnag memiliki motivasi
didalam terapi.
Hubungan antara dosis terlewat dengan retensi tidak menunjukkan
hubungan bermakna. Pasien yang mengalami dosis terlewat 1-2 hari
cenderung lebih banyak berada dalam terapi 1 tahun atau lebih (54,5%)
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
54
dibandingkan yang mengalami dosis terlewat 3-4 hari berturut–turut (47,4%).
Pasien dengan dosis terlewat 3 hari atau lebih akan mendapatkan dosis
metadon separuh dari dosis sebelum terjadi dosis terlewat, secara bertahap
dosis dinaikkan hingga mencapai dosis optimal.
Pasien yang mengalami dosis terlewat lebih dari 3-4 hari tetapi
bertahan didalam terapi dimungkinkan karena proses penaikan dosis terjadi
memadai sehingga dosis optimal dengan waktu yang realtif cepat dicapai
sehingga tidak menmbulkan putus zat yang terkait dengan relaps penggunan
heroin. Selain itu, alasan dosis terlewat juga serta motivasi pasien didalam
mempertahankan terapi perlu dieksplorasi lebih lanjut.
4.6.4 Hubungan interaksi obat dengan retensi
Pengamatan interaksi obat yang digunakan secara bersamaan
menemukan siprofloksasin (13), alprazolam (11) alkohol (10) dan tramadol
(7) paling banyak ditemukan digunakan bersamaan dan berinteraksi dengan
metadon. Rincian obat yang berinteraksi dengan metadon terdapat pada
Lampiran 6.
Hasil analisis hubungan antara interaksi obat dengan retensi tidak
memberikan hasil yang bermakna. Pasien yang tidak mengalami interaksi
obat cenderung lebih sedikit (43,2%) yang berada pada terapi 1 tahun atau
lebih dibandingkan pasien yang mengalami interaksi obat (58,2%).
Kemaknaan klinik interaksi obat pada metadon dapat berupa peningkatan atau
penurunan efek metadon yang tidak diharapkan pada pasien rumatan metadon.
Laju kegagalan baik mortalitas maupun morbiditas program rumatan metadon
akibat interaksi obat, belum diketahui (Day. R., 1999).
Ditemukan 13 pasien yang mendapatkan siprofloksasin bersamaan
dengan metadon. Interaksi keduanya terjadi melalui penghambatan aktifitas
CYP1A2 dan CYP3A4 oleh siprofloksasin. Akibat penghambatan
metabolisme metadon dapat terjadi bingung dan sedasi (Baxter, 2008).
Perhatian perlu diberikan pada pasien yang menggunakan siprofloksasin dan
metadon bersamaan, khususnya jika terdapat faktor lain seperti merokok atau
penggunaan obat yang merupakan inhibitor enzim. Waspadai perlunya
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
55
perubahan dosis metadon. Pada penelitian ini, tidak terlihat adanya efek
sedasi pada pasien akibat penggunaan siprofloksasin dan metadon.
Penggunaan alprazolam (golongan benzodiazepin) bersamaan dengan
metadon ditemukan pada 11 pasien, estazolam (4 pasien) dan bromazepam (1
orang). Penggunaan bersamaan benzodiazepin dosis rendah hingga sedang
masih dimungkinkan tetapi perlu diwaspasai peningkatan rasa kantuk dan
berkurangnya kinerja psikomotor . Penggunaan bersamaan benzodiazepin
dosis tinggi merupakan faktor risiko terhadap kematian mendadak pada
pasien yang mendapatkan terapi metadon (Baxter, K., 2008). Tercatat
seorang pasien yang menerima metadon dosis 50 mg di PTRM lalu membeli
metadon 50 mg secara illegal dan mengkonsumsi alprazolam 2 tablet, pasien
ditemukan tidak sadarkan diri. Pengunaan bersamaan benzodiazepin dan
metadon dapat meningkatkan efek sedasi dan depresi pernafasan dan
kemungkinan meningkatkan efek opioid (Baxter K., 2008).
Ditemukan 9 pasien yang mengkonsumsi alkohol, hal ini diperkuat
dengan data riwayat penggunaan alkohol pasien relatif besar yaitu 46%.
Metadon dan alkohol merupakan depresan Sususan Syaraf Pusat, dan
kemungkinan terjadi peningkatan supresi pada pusat pengendalian pernafasan.
Alkohol memiliki “dual“ efek, pada penggunaan akut akan meningkatkan
efek metadon akibat penghambatan metabolisme obat, sedangkan pada
penggunaan kronik dapat mengurangi AUC (Area Under Curve) dan waktu
paruh metadon karena menginduksi sitokrom P450 (Baxter,K., 2008).
Kefatalan terkait peningkatan sedasi menekankan pentingnya peringatan
kepada pasien mengenai bahaya akibat penggunaan secara bersamaan alkohol
dan metadon. Pada penelitian ini, ditemukan pasien yang mengeluh tidak
enak badan, tidur terbangunm dan mengaku sering menggunakan alkohol,
kemungkinan alkohol yang digunakan secara kronik mengurangi AUC
metadon dan menginduksi metabolism metadon sehingga kadarnya didalam
tubuh menurun, sehingga terjadi reaksi putus zat.
Ditemukan 4 pasien yang mendapatkan flukonazol dan 2 pasien
mendapat ketokonazol (golongan azol) yang diketahui berinteraksi dengan
metadon yang dimediasi penghambatan aktifitas sitokrom P450 isoenzim
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
56
CYP3A4, sehingga bersihan metadon berkurang (Baxter, K.,2008).
Direkomendasikan untuk pemantauan ketat terhadap peningkatan efek
metadon. Tidak ditemukan efek sedasi akibat penggunaan flukonazol dan
ketokonazol pasien yang menggunakan metadon.
Ditemukan seorang pasien yang menggunakan metadon bersamaan
dengan simetidin dan enam orang yang menggunakan bersamaan dengan
ranitidin. Simetidin dan ranitidin menghambat aktifitas enzim hati yang
terkait dengan N demetilasi metadon, mengurangi metabolisme metadon,
sehingga terakumulasi, akibatnya dapat terjadi efek depresan pernafasan
yang berlebihan, selain itu dilaporkan terjadi penurunan fungsi liver terutama
pada pasien berusia lanjut. (Baxter, K., 2008). Tidak ditemukan efek
depresan pernafasan yang fatal akibat penggunaan ranitidin atau simetidin
dan metadon.
Ditemukan seorang pasien yang mendapatkan eritromisin bersamaan
dengan metadon. Interaksi antara kedua obat tersebut terjadi melalui
penghambatan sitokrom P450 isoenzim CYP3A4 (Baxter, K., 2008).
Ditemukan pasien yang mendapatkan eritromisin namun tidak terdapat
keluhan hingga 15 hari. .
Terdapat 1 pasien yang menggunakan rifampisin bersamaan dengan
metadon, diketahui bahwa rifampisin merupakan inducer poten sehingga
meningkatkan aktifitas enzim sehingga terjadi penurunan kadar metadon
dalam tubuh (Baxter, 2008). Penggunaan bersamaan tidak disarankan, akan
tetapi efeknya dipantau dan diberikan penigkatan dosis yang memadai
(sebesar dua hingga tiga kali lipat) jika diperlukan. Pada penelitian ini, tidak
terlihat adanya penyesuaian dosis pada pasien yang menerima rifampisin dan
tidak terjadi keluhan putus obat.
Penelitian ini tidak menemukan efek klinik akibat interaksi obat
dengan metadon karena tidak terdapat catatan tersebut pada rekam medik.
Setidaknya terdapat informasi interaksi obat yang terjadi berdasarkan literatur
serta jenis dan frekuensi penggunaan obat yang berinteraksi dengan metadon.
Kemungkinan terjadi interaksi yang bermakna secara klinik pada
penggunaan metadon dengan obat lain merupakan suatu hal yang substansial.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
57
Walaupun sebagian besar interaksi farmakokinetika tidak mengancam jiwa,
tetap saja memberikan konsekuensi yang penting, yaitu timbulnya gejala
putus obat, terjadi relaps (kembali menggunakan heroin) dan meninggalkan
terapi rumatan metadon (Ferrari et al 2004).
4.7 Hubungan Antara Dosis dengan Retensi Pada Pasien yang
Mengalami Multiepisode
Pasien yang mengalami episode kedua sebesar 43 orang, 34 orang
mengalami retensi selama 1 tahun atau lebih pada episode pertama (tingkat
retensi 79,1%) sedangkan pada episode kedua 14 orang pasien mengalami
perawatan lebih dari 1 tahun (32,6%). Sebesar 19 orang (44,2 %)
mendapatkan dosis akhir episode perawatan I ≥ 60 mg, sedangkan 16 orang
(37,2%) mendapatkan dosis 30-59 mg. Mayoritas pasien ( 37 orang) yang
mengalami episode kedua berhenti dari terapi episode pertama tanpa alasan
(86%).
Analisis uji tabulasi silang antara berbagai pengukuran dosis dengan
retensi pada pasien yang mengalami multi episode (2 episode) pada episode
pertama tidak menunjukkan hubungan bermakna pada episode pertama
maupun episode kedua.
Pada penelitian ini, pasien yang memasuki terapi berulang
(multiepisode) hingga fase rumatan dalam jumlah yang memadai untuk
dianalisis adalah hingga episode perawatan kedua, sedangkan pasien yang
memasuki terapi hingga episode ketiga jumlahnya tidak memadai untuk
diolah secara statistika. Prosentase pasien yang mengalami retensi 1 tahun
atau lebih pada episode pertama lebih besar (79,1%) dibandingkan dengan
episode kedua (32,5%). Temuan ini sejalan dengan C.J. Strike et al (2005)
yang menyatakan episode perawatan berulang kemungkinan tidak
menyebabkan peningkatan outcome, data yang ada menunjukkan episode
perawatan berulang memiliki durasi terapi yang lebih rendah dibandingkan
episode awal. Karena itu, usaha untuk mempertahankan pasien tetap dalam
terapi pada episode pertama diperlukan agar pasien mendapatkan manfaat
besar dari terapi rumatan metadon.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
58
Rincian hasil tabulasi silang terdapat pada tabel 4.8.
Tabel. 4.8 Tabulasi silang hubungan dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata
dengan retensi
Retensi Signifikansi Deskripsi episode 1
< 365 ≥365
Dosis awal < 30 mg 7(26,9) 19(73)
Dosis awal > 30 mg 211,76) 15(88,23)P = 0.281
Dosis 2 minggu < 40 mg 2(25) 6(75)
Dosis 2 minggu 41 – 59 mg 620,68) 23(79,3)
Dosis 2 minggu > 60 mg 1(16,67) (583,3)
P = 0.446
Dosis rumatan terkecil < 60 mg 4(17,39) 19(82,60)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg 5(25) 15(75) P = 0.711
Dosis rumatan terbesar > 60 mg 1(9) 10(91)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg 8(25) 24(75) P =0.407
Dosis rumatan rata-rata < 60 mg 2 14
Dosis rumatan rata-rata > 60 mg 7 20 P = 0.260
Retensi Signifikansi Deskripsi episode 2
< 365 ≥365
Dosis awal < 30 mg 11(78,57) 3(21,42)
Dosis awal > 30 mg 18(62,06) 11(37,93)P = 0.324
Dosis 2 minggu < 40 mg 0 0
Dosis 2 minggu 41 – 59 mg 27(67,5) 13(32,5)
Dosis 2 minggu > 60 mg 2(66,67) 1(33,33)
P = 1,000
Dosis rumatan terkecil < 60 mg 21(70) 9(30)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg 8(61,53) 5(38,46) P = 0.726
Dosis rumatan terbesar > 60 mg 10(76,92) 3(23,07)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg 19(63,33) 11(36,67)P = 0.491
Dosis rumatan rata-rata < 60 mg 17(68) 8(32)
Dosis rumatan rata-rata > 60 mg 12(66,67) 6(33,33) P = 1,000
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
59
Hendaknya pasien didukung untuk terus berada dalam terapi dan tidak
keluar dari terapi hingga rehabilitasi sosial telah tercapai dengan memuaskan
dan pasien tidak lagi menggunakan heroin selama paling kurang 1 tahun.
Dan, jika pasien keluar dari terapi dan mengalami relaps, sebaiknya mereka
diterima untuk segera mungkin kembali mengikuti terapi rumatan metadon
dan memasuki fase induksi kembali dengan dukungan penuh staf terapi.
Sebaliknya B. Nosyk et al (2009) menemukan pasien yang mengalami
terapi multiepisode cenderung untuk bertahan pada terapi dalam jangka waktu
yang lebih lama dibandingkan periode sebelumnya. Dengan demikian perlu
diberikan dukungan terhadap pasien drop out yang bermaksud kembali
mengikuti terapi untuk mendapatkan outcome yang lebih baik dari terapi
sebelumnya.
4.8 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian retrospektif, sehingga terdapat
beberapa keterbatasan sebagai berikut:
a. Dalam meneliti efek dosis terhadap retensi, tidak dicermati pengaruh
tingkat keparahan ketergantungan dan pelayanan psikososial terhadap
retensi . Analisis dilakukan pada data keluhan gejala putus obat atau
efek samping pasien yang terbatas pada jenis keluhan tanpa dilengkapi
dengan tingkat keparahan sehingga tidak terukur kecenderungan
perbaikan atau perburukan kondisi pasien. Selain itu, keluhan yang
terkait dengan masalah psikis sering kali tidak tercatat atau ditemukan.
b. Analisis data interaksi obat terbatas hanya pada obat yang tercatat pada
rekam medis, belum terdapat data terintegrasi dan kemungkinan terjadi
penggunaan obat lain yang tidak terdata.
c. Data hasil pemeriksaan fungsi hati pasien terapi rumatan metadon tidak
terkumpul dan tidak dilakukan secara periodik, sehingga tidak dapat
dilakukan analisis terhadap pengaruh pemberian berbagai kisaran dosis
metadon terhadap fungsi hati.
d. Data yang terkumpul pada pasen yang mengalami multiepisode masih
sangat terbatas, perlu dilakukan penelitian yang melibatkan lebih banyak
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
60
pasien serta mengeksplorasi kaitan antara motivasi serta kepuasan pasien
terhadap retensi terapi.
Walaupun demikian, penelitian mengenai hubungan dosis metadon
dan retensi belum dilakukan di RS Ketergantungan Obat dan RS Fatmawati,
sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pelaksanan
terapi dimasa depan serta perkembangan ilmu dan pengetahuan.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
61
BAB 5 KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
a. Dosis awal rata-rata = 24,61 mg (kisaran 20-40 mg); dosis 2 minggu
terapi rata-rata = 47,26 mg (kisaran 15-80 mg), dosis rumatan terkecil
rata-rata= 57,82 mg (kisaran 15-115 mg), dosis rumatan terbesar rata-
rata = 78,45 mg (kisaran 25-210 mg), dosis rumatan rata-rata= 68,38
mg (kisaran 22,5-165 mg).
b. Nilai retensi 1 tahun atau lebih = 46,8% .
c. Dosis rumatan terbesar menujukkan hubungan bermakna (P= 0,000).
Dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan rata-
rata menunjukkan hasil tidak bermakna, (P = 0,221; P= 0,774; P =
0,895; P= 0,103).
d. Usia, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, dan interaksi obat tidak
mempengaruhi retensi
e. Hubungan dosis dan retensi pada pasien yang mengalami multiepisode:
tidak terdapat hubungan antara dosis dan retensi baik pada episode
pertama maupun pada episode kedua
5.2 Saran
Berikut adalah beberapa saran untuk penelitian terkait dosis metadon dan
terapi rumatan metadon dimasa yang akan datang:
a. Penelitian prospektif mengenai hubungan dosis metadon dan retensi
dengan mempertimbangkan tingkat keparahan gejala putus obat
menggunakan skala putus opiat dan intensitas craving dan pelayanan
psikososial.
b. Penelitian prospektif mengenai dosis metadon yang diberikan dikaitkan
dengan efek interaksi obat terhadap efektifitas terapi dan kejadian efek
samping.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
62
c. Penelitian prospektif yang mengamati pengaruh pemberian bermacam
kisaran dosis metadon jangka panjang termasuk efek tehadap fungsi hati.
d. Penelitian mengenai terapi rumatan metadon yang mengalami
multiepisode yang melibatkan lebih banyak pasien serta mengeksplorasi
kaitan antara motivasi serta kepuasan pasien terhadap retensi terapi.
e. Penelitian terhadap hubungan dosis dengan keluhan yang menggunakan
skala yang terukur sehingga dapat diketahui kecukupan besaran dosis
yang diberikan untuk mengurangi keluhan pada berbagai periode waktu.
f. Farmasis lebih berperan dalam pemberian konsultasi kepada pasien
maupun petugas kesehatan lain terkait untuk mencegah timbulnya
persoalan terkait pengunaan metadon.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
63
DAFTAR PUSTAKA
Ali Gowing, L., Ali, R. & White, J. 2000, ‘The Management of Opioid
Withdrawal’, Drug and Alcohol Review, vol. 19, pp. 309–318. In
Treatnet Modul C: Modul 2- Leaders Guide .
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)- USAID, 2007, Managing
Opioid Dependence: Treatment and Care for HIV Positive Injecting
Drug Users, Jakarta: ASEAN Secretariat.
Baxter, K., ed., Stockley’s Drug Interactions, Eight Edition, London:
Pharmaceutical Press, 2008.
B.J. Collett, Opioid tolerance: the Clinical Perspective, British Journal of
Anaesthesia 1998; 81:58-68. Badan Narkotika Nasional (31 Januari 2010) 3,6 Juta Warga Indonesia
Gunakan Narkoba,. (7 Desember 2009). Http://www.BNN.go.id./
Barnett PG, Hui The cost-effectiveness of methadone maintenance, Mt.
Sinai J Med, 2000- Oct Nov;67,5-6, 365-74)
Bell, James, Tracy Burell, Devan Indig, Stuart Gilmour, Cycling In and Out
Treatment; Participation Methadone Treatmentin NSW, 1990-2002.
Drug and Alcohol Dependence, 81 (2006) 55-61.
Birkitt, DJ, Discussion Paper : Drug Interactions with Methadone:
Pharmacokinetics, Proceedings of expert workshop on the induction
and stabilization of Patients on methadone.
www.australiansplantauthorithy.gov.au.
Booth RE. Karen F Corsi, Susan K. M , Factors Associated with Methadone
Meintenance Treatment Retention among Street-Recruited Injection
Drug Users, Drug and Alcohol Dependence 74 (2004) 177-185.
Brady et al., Methadone Maintenance Dose and Rate of Induction. Abstract. J.
Addiction Disease, 24(3) 2005.
Brown R.T. and Megan Zueldorff, Opioid Substitution with Metadone and
Buprenorphine: Sexsual Disfunction as a Side Effect of Therapy,
Heroin Addict Relat Clin Probl 2007; 9(1):35-44.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
64
Cacciola, J.S et al, Treatment outcomes: First time versus treatment –
experienced clients, Journal of Substance Abuse Treatment 28 (2005)
S13-S22.
Caplehorn J, Bell J, Methadone Maintenance Treatment, Britain has been
overcommitted to pshychological theories of drug dependence, British
Medical Journal, 310, 463, 1995.
Collet B.J., Opiod tolerance: the clinical perspective, British Journal of
Anaesthesia 1998; 81:58-68.
Corkerey, J.M. et al, The effects of methadone and its role in fatalities,(2004)
Hum. Psycopharmacol Clin Exp 2004; 19;565-576.
Crettol, Severine., Chin, B. Eap., 2007, Pharmacokinetic and
Pharmacogenetic Factors Influencing Methadone Plasma Levels,
Heroin Addict Rela, Clin Probl 2007;9(2):39-46.
Dickinson, G.L., et. al. (2006). A six-year evaluation of methadone
prescribing practices at a substance misuse treatment centre in the UK,
Journal of Clinical Pharmacy and Theraupetics (2006) 31, 477 – 484.
D’Ippoliti Daniela, Marina Davoli, Carlo A Ferucci, Fulvia Pasqualini, Anna
Maria Bargagli, Retention in Treatment of Heroin Users in Italy; the
Role of Treatment type and of methadone maintenance dosage, Drug
and Alcohol Dependence 52 (1998) 167-171.
Day. R., 1999, Drug Interactions-Definitions and Clinical Perspective,
Proceedings of expert workshop on the induction and stabilization of
Patients on methadone. www.australiansplantauthorithy.gov.au.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007). Modul dan Kurikulum
Pelatihan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Jakarta.
Departemen Kesehatan. (2006). Pedoman Program Terapi Rumatan Metadon,
Lampiran Kepmenkes No. 499/Menkes/SK/VII/ 2006 tanggal 17 Juli
2006.
Departemen Kesehatan. (4 januari 2010). Jumlah Kumulatif AIDS di
Indonesia 18.442 Kasus (14 Desember 2009). Http://www.
Depkes,go.id/.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
65
Dolan, Kate A et al, Four-year follow-up of imprisoned male heroin users and
methadone treatment: mortality, re-incarceration and hepatitis C
infection, Addiction, volume 100 Issue 6, pages 820-828, 2005.
Donny E.C., Walsh, S.L., Bigelow,G.E. & Eissenberg T & Stitzer (2002),
High Dose Methadone Produse Superior opioid blockade and
comparable withdrawal suppression to lower doses ini opioid dependent
humans,Abstract. Psichopharmacology (Berl), 161. 201 – 212.
Donny, E.C., et al, Methadone doses of 100 mg or greater are more effective
than lower doses at suppressing heroin self administration in opioid-
dependent volunteers, Addiciton, 100 1496 – 1509, 2005
Eap, Chin.B., Thierry Buclin, Pierrre Baumann, Interindividual Variability of
the Clinical Pharmacokinetics of Methadone, Clin. Pharmacokinet. 41
(14), 1153-1195, 2002.
E. Lin et al., Correlates of Methadone Client Retention: A Prospective Cohort
Study in Guazhou Province China, International Journal of Drug
Policy 20 (2009) 304-308.
Edwards, SH. et al. Clinical Guidelines and Procedures for the use of
Methadone in the Maintenance Treatment of Opioid Dependence,
Australian Government Department of Health and Ageing. Canberra:
2003.
Ferrari A., Ciro Pio Rosario, Alfio Bertolini, Emilio Sternieri, 2004,
Methadone – metabolism, pharmacokinetics and interactions,
Pharmacological Research 50 (2004) 551-559.
Giacomuzzi S.M., A. Khreis, Y. Riemer, K. Garber and M.Ertl,
Buphrenorphine and Methadone Maintenance Treatment – Sexual
Behaviour and Dysfunction Prevalence, 2009, Letters in Drug Design
& Discovery, 2009, 6, 13
Goldsimth, D.S., et al, Methadone Folkware: Beliefs about Side Effects and
Their Impact on Treatment, Human organization, Vol. 43, No. 4, 1984.
Goldstein A and James Herera, Heroin addicts and methadone treatment in
Albuquerque: a 22-year follow up, Drug and Alcohol Dependence, Vol.
40, Issue 2, December 1995, 139-150.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
66
Goldstein, Avram, (20 Februari 2010), Neurobiology of Heroin Addiction and
of Methadone Tratment, (10/23/2000). http://www.aatod.org/1998-
3.html
Hanna J. et al, Within – and between- subject variability in methadone
pharmacokinetics and pharmacodynamics in methadone maintenance
subjects, Br.J.Clin. Pharmacol. 60:4, 404-413. 2005.
Hansten, Philip D., John T. Horn, Drug Interactions: Analysis and
Management, Fact and Comparisons, 2000.
Henry-Edwards, Sue., et al., Clinical Guidelines and Procedures for the Use
of Methadone in the Maintenance Treatment of Opioid Dependence,
in Pharmacotherapies for The Treatment of Opioid Dependence,
Mattick, Richard P., ed., New York: Informa Healrhcara, 2009.
International Centre for Advancement of Adriction Treatment. 2009.
Methadone Treatment: Pharmacological Rationale, Use in
Detoxification, and Methadone Maintenance,
www.opiateaddictionrx.info/
J.A. Trafton, Jared Minkel, Keith Humphreys, Determining Effective
Methadone Doses for Individual Opioid-Dependent Patients, Plos
Medicine, March 2006, Vol 3, Issue.
Jeff Ward et al Methadone Maintenance Treatment and Other Opioid
Replacement Therapies. Amsterdam, Harwood Academic Publishers,
1998, p.214.
Jenkins, AJ and Edward J. Cone, (1998). Pharmacokinetics: Drug
Absorbstion, Distribution, and Elimination. Karch, S.B and William
Meil, ed. .In Drug Abused Hand Book, Florida: CRC Press LLC.
Joseph, Herman, Sharon Stancliff, John Langford. (2000). Methadone
Maintenance Treatment (MMT): A Review of Historitical dan Clinical
Issues. The Mount Sinai Journal of Medicine Vol 67 Nos. 5 & 6
October/November 2000.
Kasper, Dennis L., et. al., Harrison’s Manual of Medicine, 16th ed., New
York, McGraw-Hill, 2005.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
67
Katzung, Betram G., Basic & Clinical Pharmacology, 10th Ed. New York,
McGraw-Hill Medical, 2007.
Kosten, Thomas R. and P. George, The Neurobiology of Opiod Dependence :
Implication for Treatment, Research Reviews -The Neurobiology of
Opioid Dependence, 2002.
Liu, Enwu., et al, 2009, Correlates of methadone client retention : A
prospective cohort study in Guizhou province, China., International
Journal of Drug Policy 20 (2009) 304 – 308.
Luscher, Christian, 2007, Drug of Abuse. In Basic & Clinical Pharmacology,
10th ed., Katzung BG. Ed., New York: McGraw-Hill Company, 2007.
Magura S, Nwakeze PC., Demsky SY., Pre-and in-treatment predictors of
retention in methadone treatment , Addiction Vol 93 No. 1 51-60.,
1998
Marsch LA, The Efficacy of methadone maintenance interventions in
reducing illicit opiate use, HIV risk behaviors and criminality; a meta
analysis, Addiction, 1988 Apr;93(4):512-32.
Methadone Maintenance Guidelines, 2005.
Miguel del rio, Annie Mino, Thomas V Perneger, 1997, Predictors of patient
retention in a new established methadone maintenance treatment
programme, Addiction (1997) 92 (10), 1353-1360.
National Treatment Agency for Substance Misuse (2005). Methadone Dose
and Methadone Maintenance treatment.
National Treatment Agency for Substance Misuse, (2005). Retaining Clients
in Drug treatment. London.
Nosyk B., et. al. 1999, Proportional Hazards Frailty Models for Recruitment
Methadone Maintenance Treatment, Abstract. American Jour of Epid
2009 170(6):783-792
Novick et al, 1990, Absence of antibody to human immunodeficiency virus in
long-term, socially rehabilitated methadone maintenance patients, Arch
Intern Med. 1990 Jan;150(1):97-9
NSW Health Department, 1999. NSW Methadone Maintenance Treatment
Clinical Practice Guidelines.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
68
O’Brien Charles, P, 2006 , Drug Addiction and Drug Abuse, In Goodman and
Gilman’s The Pharmacological Basic of Therapeutic , 11th , 2006
Ottomanelli G., Methadone Patients and Alcohol Abuse, J of Substance
Abuse Treatment, Vol 16, Issue 2, 113-121
Oviedo-Jokes, Eugenia, et al., Deacetylmorphine versus Methadone for the
Treatment of Opioid Addiction, N Eng J Med 361:8, 2009
Payte, Thomas J., Methadone Treatment. Safe Induction Techniques. Heroin
Add & Rel Clin Probl 2003; 6 (1): 35-42.
Peles E, Shaul Schreiber, Miriam Abelson, Factors Predicting Retention in
Treatment: 10-year experience of a methadone maintenance rtreatment
(MMT) clinic in Israel, Drug and Alcohol Dependence 82 (2006) 211-
217.
Preston KL, Umbricht A, Epstein DH. Methadone Dose increase and
abstinence reinforcement for treatment heroin use during methadone
maintenance, Arch Gen Psychiat 2000; 57:395-404.
Saxon et al., Pre-treatment characteristic program philosophy and level of
ancillary services as predictors of methadone maintenance treatment
outcome. Abstract. Addiction 91,1197 – 1209.
Stephen J, Heishman, ed., 1998. Pharmacodynamics, In . In Drug Abused
Hand Book, Florida: CRC Press LLC.
Strike C.J., William Gnam, Karen Urbanoski, Benedikt Fischer, David C.
Marsch, Margaret Millson. Factors Predicting 2-year Retention in
Methadone Maintenance Treatment for Opioid Dependence. Addictive
Behaviors 30 (2005) 1025 – 1028.
The College of Phycisians and Surgeon of Ontaria, (2005). Methadone
Maintenance Guidelines, Ontario.
Toombs, JD, (March 12 2008). Oral Methadone Dosing for Chronic Pain,
htpp:/pain-topics.org/pdf/.(17 Feb 2010).
Trafton, Jodie A., Jared Minkel, Keith Humphreys, 2006, Determining
Effective Methadone Doses for individual Opioid-Dependent Patients,
Plos Medicine, Vol.3 Issue 3.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
69
United Nations Office on Drugs and Crime. (2008). Principles of Drug
Dependence Treatment.
United Nations Office on Drugs and Crime. (2009). World Drug Report,
Viena, DC: Author
Vendramin, Andrea., Anella M. Sciacchitano, Pharmacology and
Neurochemistry of Methadone, Heroin Addict Relat Clin Probl 2009,
11(3) : 11-28.
Villafranca S.W., John D. McKellar, Jodie A. Trafton, Keith Humphreys.
Predictors of Retention in Methadone Programs: A Signal Detection
Analysis. Drug and Alcohol Dependence 83 (2006) 218 -224.
White, Jason M, (1999). Drug Interactions with Methadone:
Pharmacodynamics. In Proceedings of Expert Workshop on the
Induction and Srabilisation of Patients onto Methadone.
http://www.australianplanauthorithy.gov/au/. 10 Januari 2010.
Wodak, Alex, (2001). Drug Treatment for Opioid Dependence, Australian
Prescriber, Vo. 24 No.1 2002.
World Health Organization. (2004). WHO/UNODC/UNAIDS position
paper : Substitution maintenance therapy in the management of opioid
dependence and HIV/AIDS prevention.
World Health Organization. (2009). Guidelines for Psychosocially Assisted
Pharmacological Treatment of Opioid Dependence. Geneva: DC:
Author
World Health Organozation (2008), Operational Guideline for the
Management of Opioid Dependence in South East Asia Region. New
Delhi, DC: Author.
Yi-jung Li et al, Electroacupuncture Treatment Normalized Sleep
Disturbanced on Morphin withdrawal Rats (6 Juli 2010), Oxford
University Press. http://ecam.oxfordjournals.org./cgi/content/full
Zevin Shoshana and Benowitz Neal L (1998), In Drug Abused Hand Book,
Florida: CRC Press LLC.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
Universitas Indonesia
Lampiran 1
Pengolahan Data
Penyusunan Hasil Penelitian
Pencatatan nomer rekam medis dan nama pasien ketergantungan opioid yang mendapat terapi rumatan metadon di RS.
Ketergantungan Obat dan RS. Fatmawati Jakarta pada bulan Januari hingga Maret 2010 dan memenuhi kriteria inklusi
Pengumpulan rekam medis di Instalasi Rawat Jalan Metadon
Pencatatan data sampel pada lembar pengumpul data
Validasi data
Alur Penelitian
70
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
71
Universitas Indonesia
Lampiran 2
LEMBAR PENGUMPUL DATA Nama Pasien
No. RM
Entry date
Sex Usia Pendidikan Pekerjaan Alamat Status pernikahan
Riwayat Penyalahgunaan Obat Riwayat Hukum
N A C O B A K H I Riwayat Terapi
Status terapi
Obat bersamaan
Retensi Dosis awal
Dosis 2 minggu
Dosis rumatan terkecil
Dosis rumatan terbesar
Dosis rumatan terbesar
Keluhan
NO NAME Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agustus Sept Okt Nov DesRM tgl/ dosis tgl/ dosis tgl/ dosis tgl/ dosis tgl/ dosis tgl/ dosis tgl/ dosis tgl/ dosis tgl/dosis tgl/dosis tgl/ dosis tgl/ dosis
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
72
Lampiran 3
Rekapitulasi Data Pasien Rumatan Metadon
RSKO Jakarta
(2007-2008)
RS. Fatmawati (2006-2008)
Total
Total jumlah pasien 197 (100) 407 (100) 604 (100)
Pindahan /Rujukan 23 62 85 (14)
ARV 34 41 75 (12.4)
Episode 1tidak sampai rumatan 87 126 213 (35.26)
Inklusi 53 178 231 (38.25)
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
73
Lampiran 4
Frekuensi Distribusi Dosis Awal Metadon
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
20.00 80 34.6 34.6 34.6
25.00 95 41.1 41.1 75.8
30.00 52 22.5 22.5 98.3
35.00 2 .9 .9 99.1
40.00 2 .9 .9 100.0
Valid
Total 231 100.0 100.0
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
74
Lampiran 5
Frekuensi Distribusi Dosis Metadon 2 Minggu Terapi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
15.00 1 .4 .4 .4
20.00 1 .4 .4 .9
22.50 1 .4 .4 1.3
25.00 7 3.0 3.0 4.3
27.50 1 .4 .4 4.8
30.00 13 5.6 5.6 10.4
35.00 23 10.0 10.0 20.3
40.00 36 15.6 15.6 35.9
45.00 34 14.7 14.7 50.6
47.50 2 .9 .9 51.5
50.00 47 20.3 20.3 71.9
55.00 18 7.8 7.8 79.7
57.50 1 .4 .4 80.1
60.00 19 8.2 8.2 88.3
65.00 16 6.9 6.9 95.2
70.00 5 2.2 2.2 97.4
75.00 2 .9 .9 98.3
80.00 4 1.7 1.7 100.0
Valid
Total 231 100.0 100.0
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
75
Universitas Indonesia
Lampiran 6
Frekuensi Interaksi Obat
No
Nama Obat Frekeuensi kejadian
1 Siprofloksasin 13
2 Flukonazol 4
3 Deksametason 3
4 Nitrazepam 1
5 Subutex 3
6 Dektromethrofan 1
7 Tramadol 7
8 Ketokonazol 2
9 Alprazolam 11
10 Alcohol 9
11 Clozapin 4
12 Codein 2
13 Bromazepam 1
14 Fluoksetin 1
15 Eritromisin 1
16 Salbutamol 2
17 Estazolam 4
18 Rifampisin 6
19 Simetidin 1
20 Klaritin 1
21 Klobazam 2
22 Cannabis 3
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
76
Lampiran 7
Interaksi Obat Pada Terapi Rumatan Metadonab
Obat yang
berinteraksi Efek yang timbul Mekanisme Rekomendasi
Ketokonazol Konsentrasi metadon meningkat Penghambatan kuat CYP3A4 Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan).
Flukonazol Bioavailabilitas metadon meningkat (AUC + 35%; bersihan berkurang 24%).
. Flukonazol bekerja menghambat isoenzim CYP3A4 dan CYP2C9 sehingga bersihan metadon berkurang c
Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan). Obat anti jamur yang tidak menghambat CYP3A4 (misalnya terbinafin) sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang menerima metadon.
Eritromisin Konsentrasi metadon meningkat Perpanjangan interval QT dapat menyebabkan aritmia
Penghambatan CYP3A4 Efek aditif perpanjangan interval QT metadon dan klozapin
Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan).
Deksametason Konsentrasi metadon menurun
Menginduksi CYP3A4
Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan).
Diazepam Konsentrasi metadon meningkat Substrat CYP3A4 Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan).
Klozapin Konsentrasi metadon meningkat Perpanjangan interval QT dapat menyebabkan aritmia
Substrat CYP3A4 dan CYP2D2 Efek aditif perpanjangan interval QT metadon dan klozapin
Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan).
Tramadol Konsentrasi metadon meningkat Substrat CYP3A4 dan CYP2D7 Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan).
Alprazolam (benzodiazepine)
Toksisitas alprazolam meningkat Interaksi potensial, menekan SSP , menurunkan metabolisme alprazolam
Hindari penggunaan bersamaan
Siprofloksasin Konsentrasi metadon meningkat Penghambatan CYP3A4 dan CYP1A2 Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan).
Tramadol Konsentrasi metadon menurun Dapat menggeser metadon pada reseptor µ- opioid sehingga dapat terjadi putus obat
Hindari penggunaan bersamaan
Alkohol Konsentrasi metadon menurun Menginduksi aktifitas CYP3A4, Menurunkan Dilakukan pengamatan pasien secara
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
77
fraksi bebas metadon seksama, dan jika diperlukan penyesuaian dosis metadon dialkukan berdasarkan tanda klinik
Fluoksamin Konsentrasi metadon meningkat (+20 - 40%)
Fluoksamin menghambat CYP1A2, CYP2C19 dan CYP3A4; metadon dapat dimetabolisme oleh lebih dari 1 enzim tersebut.
Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan).
Domperidon Perpanjangan interval QT Diberikan secara hati-hati, khususnya untuk pasien risiko tinggi
Ranitidin Simetidin
Timbul toksisitas narkotik Penurunan metabolisme Hindari penggunaan secara bersamaan pada pasien dialysis dan gunakan hari-hati pada kondisi lain.
Dekstromethrophan Toksisitas dekstramethropan oleh metadon; dektramethropamenginduksi delirium
n Metadon menghambat CYP2D6 Hindari penggunaan bersamaan
Bromazepam Menimbulkan toksisitas bromazepam Metadon menghambat metabolisme Hindari penggunaan bersamaan
Sumber: Ferrari et al/ Pharmacological Research 50 (2004) 551-559, catt: telah diolah kembali Berdasarkan literatur: a Ferrari, Anna, Coccia CPR., Bertolini, A., Sternieri, E., Methadone- metabolism, pharmacokinetics and interaction, Pharmacological Research 50 (2004) 551-559 b Philip D. Hansten and John T. Horn. Drug Inteactions : Analysis and Management, 2000 c Vendramin A, Anellla M. Sciacchitano, Pharmacology and Neurochemistry of Methadone, Heroin Addict Relat Clin Probl 2009;11(3): 11-28
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
78
Lampiran 8 Profil Metadon
MEKANISME KERJA /
PENGGUNAAN
FARMAKOKINETIKA/ FARMAKODINAMIK
ADR/MONITORING INTERAKSI
• Berikatan dengan reseptor opiate di SSP, menyebabkan hambatan pada penghantaran rasa sakit, mengubah persepsi dan respon rasa sakit; menyebabkan depresi SSP d.
• Manajemen ketergantungan opioid .
• Digunakan juga untuk mengatasi rasa sakit sedang hingga paraha.
• Mulai kerja: Oral analgesic : 0,5 – 1 jam, efek puncak: penggunaan oral kontinyu 3- 5 hari.
• Durasi kerja: 4-8 jam, meningkar 22-48 jam pada pemberian ulang
• Distribusi: V dis 1-8 L/kg • Ikatan protein 85% - 90% • Metabolisme: hepatik ; N demetilasi
terutama melalui CYP3A4, CYP2B6, dan CYP2C19 menjadi metabolit tidak aktif.
• Bioavailabilitas: 36%-100% • Waktu paruh eliminasi: 8-59 jam; dapat
lebih lama padapH alkalin, menurun selama kehamilan
• Waktu mencapai kadar puncak 1-7,5 jam • Ekskresi: urin (< 10% dalam bentuk tidak
berubah); meningkat pada pH > 6 • Pada ClCr < 10 ml/menit: berikan 50%
hingga 75% dari dosis normal • Pada kerusakan hepatic: hindari
penggunaan pada penyakit liver yang parahd
• Memiliki efek lebih lama dibandingkan morfin dan cepat terakumulasi pada pemberian berulang.
• Memiliki efek depresan pernafasan yang lebih besar dibandingkan morfin, walaupun efek sedatif lebih rendah, pada pemberian berulang dapat menyebabakan tanda sedasi.
• Perpanjangan QT dan torsade de pointes dilaporkan jarang terjadi, khususnya pada dosis diatas 100 mg,
• Udem paru pada overdosis bisanyanya menyebabkan kefatalana.
• Dapat menyebabkan konstipasi, pusing, mengantuk perut kembung, mual, dan flush pada beberapa hari pertama. Kesulitan bernafas,nafas pendek, irama jantung tak beraturan, ansietas atau tremorb
• Tanda /gejala over dosis: miosis, depresi pernafasan, kulit dingin, sirkulasi kolaps, kejang, hambatan kardiopulmonari, apnea,hipotensi, koma, kematianc.
• Parameter yang dimonitor: status pernafasan dan mental , tekanan darahd
• Metadon dimetabolisme diliver terutama melalui sitokrom P450 isoenzim CYP3A4; sitokrom CYP2D6, CYP2C9, CYP2C19 dan CYP1A2 juga dianggap berperan minor . konsekuensinya, penggunaan bersama obat yang menginduksi atau menghambat insoenzim tersebut menyebabkan perubahan konsentrasi metadon plasma
• Risiko terjadinya gangguan jantung pada pasien yang mendapatkan metadon yang juga menggunakan obat yang mempengaruhi konduksi jantung atau keseimbangan elektrolita.
• Anestetik barbiturate: efek aditif. Simetidin, protease inhibitor: monitor peningkatan efek depresan pernafasan dan SSP. Depresan SSP: (tranquilizer, sedative, alcohol): efek aditif depresan SSP. Fluoksamin: awasi peningkatan efek depresan perrnafasan, monitor tanda dan gejala putus zat jika fluoksamin dihentikan. Hidantoin, barbiturate, rifampin: menurunkam efektifitas metadon. Pengasam urin : meningkatkan bersihan metadonc.
a Martindale: The Complete Drug Reference; bMedical Drug Reference2.0; cAtoZDrug Facts; d Lacy , C.F., et al, Drug Information Handbook, 2007
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010