ungkapan masalah-2
DESCRIPTION
penelitianTRANSCRIPT
1.1 LATAR BELAKANG
Guru yang baik selalu berusaha menciptakan pembelajaran yang
efektif. Setiap guru berusaha untuk mengondisikan siswa sedemikian rupa
sehingga siswa dapat mencapai kemajuan secara maksimal sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya. Kenyataannya tidak semua siswa dapat
mencapai kemajuan secara maksimal dalam proses belajarnya. Kegagalan
siswa dalam pencapaian prestasi akademik yang tidak sesuai dengan
kapasitas yang diharapkan menjadi tanda adanya kesulitan belajar yang
dialami oleh siswa (Suwarto, 2013).
Fisika merupakan salah satu cabang ilmu alam yang dipandang
penting untuk diajarkan karena Fisika dimaksudkan sebagai wahana untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir yang berguna untuk memecahkan
masalah di dalam kehidupan sehari-hari dan membekali peserta didik berupa
pengetahuan, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan
untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta
mengembangkan ilmu dan teknologi. Siswa dituntut dapat menguasai
konsep dan prinsip Fisika serta mempunyai keterampilan mengembangkan
pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006).
Guru Fisika kelas X di SMA Negeri 1 Demak memberikan informasi
jika siswa umumnya mengalami kesulitan belajar pada pembelajaran Fisika.
Empat guru Fisika dari sekolah lain juga memberikan informasi yang sama.
Rumini dalam Suwarto (2011) menyatakan bahwa siswa dapat mengalami
kesulitan belajar siswa secara kompleks dan banyak faktor yang
menyebabkan hal itu terjadi. Salah satu bentuk kesulitan belajar siswa
adalah miskonsepsi.
Wahyuningsih, et al. (2013) menemukan bahwa dalam pembelajaran
Fisika, siswa tidak dapat terlepas dari miskonsepsi sehingga penelitian
tentang miskonsepsi perlu dikembangkan untuk mengetahui keberhasilan
pembelajaran konsep yang telah dilakukan guru. Penelitian tentang
pengukuran miskonsepsi pada pembelajaran Fisika pernah dilakukan
sebelumnya. Penelitian Djanette, et al. (2013) menemukan bahwa
mahasiswa Fisika mengalami miskonsepsi perambatan cahaya dalam ruang
hampa. Isliyanti dan Rizal (2011) menemukan siswa Sekolah Menengah
Atas (SMA) mengalami miskonsepsi sebesar 78,38% pada materi Gerak
Lurus Beraturan dan Gerak Lurus Berubah Beraturan. Penelitian Pujianto,
et al. (2013) menemukan sebesar 50% siswa SMA mengalami miskonsepsi
materi Kinematika Gerak Lurus. Penelitian Komalasari dan Eko (2012)
menemukan sebesar 63,7% siswa SMA mengalami miskonsepsi materi
Suhu dan Kalor. Penelitian Iriyanti, et al. (2012) menemukan miskonsepsi
siswa SMP materi Kalor sebesar 51,2%.
Rusilowati (2006) menyatakan bahwa untuk menyelidiki kesulitan
belajar yang dialami siswa dapat dilakukan dengan melakukan observasi,
interview, tes diagnostik, dan memanfaatkan dokumentasi. Salah satu cara
mengungkap miskonsepsi yang dialami siswa dengan melakukan uji
miskonsepsi melalui pertanyaan-pertanyaan atau tes diagnostik. Bruecker
dan Melby dalam Suwarto (2010) menyatakan bahwa tes diagnostik dapat
digunakan untuk menentukan elemen-elemen dalam suatu mata pelajaran
yang mempunyai kelemahan-kelemahan khusus dan memberikan petunjuk
untuk menemukan penyebab kekurangan tersebut. Tes untuk keperluan
diagnostik adalah tes yang harus berdasarkan pada analisa secara rinci yang
menempatkan secara tepat kelemahan dimana ada kesukaran, atau tahap
secara umum dimana ada kekurangan.
Lima guru SMA Fisika kelas X yang diwawancarai menyatakan
bahwa mereka tidak pernah melakukan pengukuran miskonsepsi siswa
selama pembelajaran Fisika melalui tes diagnostik. Biasanya, guru hanya
menggunakan tes ulangan harian untuk mengetahui siswa kesulitan di
bagian apa pada materi Fisika kemudian diberikan tindak lanjut berupa
penjelasan ulang dan remidi, sehingga tidak diperoleh informasi secara rinci
dan jelas tentang miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Lima guru Fisika
yang diwawancarai memiliki pengetahuan tentang pengertian miskonsepsi
dan tes diagnostik, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara membuat tes
diagnostik untuk pembelajaran Fisika.
Lima guru Fisika yang diwawancarai tidak memiliki pengetahuan
bagaimana mengembangkan tes diagnostik, tetapi menyadari bahwa tes
diagnostik sesungguhnya diperlukan untuk menemukan miskonsepsi siswa
sehingga dapat dilakukan tindak lanjut untuk memaksimalkan hasil belajar
siswa. Jika hasil belajar maksimal maka dapat dikatakan siswa menguasai
semua konsep Fisika dan sesuai dengan konsep Fisika yang sebenarnya.
Lima guru Fisika yang diwawancarai menyebutkan waktu dan kesibukan
sebagai kendala utama yang menyebabkan guru tidak pernah membuat dan
menerapkan tes diagnostik selama pembelajaran Fisika berlangsung. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak adanya tes diagnostik yang tersedia untuk
mengungkap miskonsepsi yang dialami oleh siswa, khususnya di SMA
Negeri 1 Demak.
Ketidaktersediaan tes diagnostik dalam pembelajaran Fisika di SMA
Negeri 1 Demak untuk mengukur miskonsepsi siswa, memungkinkan jika
dulu siswa mengalami miskonsepsi pada materi tertentu dalam
pembelajaran Fisika maka miskonsepsi tersebut masih dimiliki oleh siswa
hingga sekarang. Untuk mengetahui ada tidaknya kesalahan konsep yang
dialami siswa, maka guru perlu mengembangkan tes diagnostik. Seorang
dokter harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu kepada pasiennya
sebelum memberikan obat untuk menyembuhkan penyakit pasien tersebut.
Hal ini juga berlaku dalam pembelajaran Fisika, guru Fisika memerlukan tes
diagnostik untuk menemukan apakah siswa mengalami miskonsepsi atau
tidak dalam belajar Fisika.
Berikut ini penelitian tentang pengembangan tes diagnostik untuk
mengukur miskonsepsi siswa SMA bidang kajian Fisika yang pernah
dilakukan di Indonesia, yaitu (1) Komalasari dan Eko (2012) menggunakan
tes diagnostik satu tingkat berupa pretes uji miskonsepsi berisi soal konsep
dan perhitungan materi Suhu dan Kalor, (2) Pujianto, et al. (2013)
menggunakan tes diagnostik dua tingkat berupa soal pilihan ganda disertai
tingkat keyakinan untuk mengukur miskonsepsi siswa SMA materi
Kinematika Gerak Lurus, (3) Wahyuningsih, et al. (2013) menggunakan tes
diagnostik dua tingkat yaitu tes pilihan ganda dengan alasan terbuka untuk
mengukur miskonsepsi siswa SMA materi Fluida dan Teori Kinetik Gas, (4)
Isliyanti dan Rizal (2011) menggunakan tes diagnostik satu tingkat berupa
pilihan ganda untuk mengukur miskonsepsi materi Mekanika, (5) Nugraeni,
et al. (2013) menyusun tes diagnostik dua tingkat berupa tes pilihan ganda
dengan alasan terbuka untuk mengukur miskonsepsi siswa SMA materi
Listrik Dinamis.
Terdapat berbagai bentuk tes diagnostik, yaitu tes diagnostik satu
tingkat, dua tingkat dan tiga tingkat yang dapat digunakan untuk mengukur
miskonsepsi siswa. Pesman (2005) menyebutkan bahwa tes diagnostik tiga
tingkat lebih valid dalam menemukan konsepsi dan miskonsepsi siswa
dibandingkan tes satu atau dua tingkat dan menyarankan untuk
menggunakan tes diagnostik tiga tingkat dalam penelitian selanjutnya. Tes
diagnostik tiga tingkat yang akan dikembangkan adalah tes diagnostik
pilihan ganda tiga tingkat yang terdiri dari soal, alasan, dan tingkat
keyakinan siswa. Soal tes berupa pilihan ganda dipilih karena dapat
mencakup materi yang lebih luas dibandingkan tes esai seperti yang
dikemukakan oleh Arikunto (2007). Tes diagnostik pilihan ganda dapat
mengukur tingkat belajar yang berbeda, lebih objektif dalam penskoran
sehingga lebih dapat diandalkan, dan cara menilainya lebih cepat dan mudah
(Pesman, 2005).
Format alasan yang akan dibuat berupa tiga alasan yang ditentukan
dan satu alasan terbuka. Tujuan pemilihan alasan yang ditentukan adalah
untuk menghindari siswa yang tidak menuliskan alasan di tingkat kedua
dalam tes diagnostik tiga tingkat yang akan dikembangkan. Satu alasan
terbuka dipilih karena tes diagnostik dengan alasan terbuka dapat
mendeteksi miskonsepsi yang lebih banyak (Voska dan Heikkinen, 2000).
Adanya tingkat keyakinan dalam tes diagnostik dapat menunjukkan
seberapa kuat siswa memegang konsep yang dimilikinya.
Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada 50 siswa SMA
Negeri 1 Demak yang terdiri dari 25 siswa kelas XI IPA 2 dan 25 siswa
kelas XII IPA 6, diperoleh gambaran pendapat siswa tentang pembelajaran
Fisika. Informasi lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.1 dan Tabel 1.2.
Tabel 1.1 Pendapat Siswa Tentang Mata Pelajaran Fisika
Kategori
Ya/*Selalu/
**Sulit semua(%)
Tidak/*Tidak selalu/**Tidak semua
(%)
Ragu-ragu/*Kadang-kadang/**Mudah semua
(%)Kelas
XIKelas XII
Kelas XI
Kelas XII
Kelas XI
Kelas XII
Siswa merasa senang belajar Fisika
44 40 4 24 52 36
Siswa merasa kesulitan belajar Fisika*
12 32 0 0 88 68
Siwa berpendapat Fisika adalah pelajaran sulit
40 68 12 16 48 16
Siswa merasa pernah mengalami salah konsep
72 76 12 0 16 24
Siswa merasa semua materi Fisika sulit**
0 4 96 96 4 0
Sebanyak 88% siswa kelas XI dan 68% siswa kelas XII masih merasa
kesulitan belajar Fisika. Sebanyak 72% siswa kelas XI dan 76% siswa kelas
XII menyatakan pernah mengalami salah konsep selama mereka belajar
Fisika. Meskipun siswa menyatakan mengalami kesulitan dan mengaku
pernah mengalami salah konsep, tetapi 96% siswa baik kelas XI dan XII
menyatakan tidak semua materi Fisika sulit, yang berarti bahwa kesulitan
belajar siswa terjadi pada materi tertentu.
Tabel 1.2 Pendapat Siswa Tentang Materi Fisika Kelas X Semester 2
Kategori
Suhu & kalor (%)
Optik(%)
Listrik dinamis(%)
Fluida statis(%)
Kelas XI
Kelas XII
Kelas XI
Kelas XII
Kelas XI
Kelas XII
Kelas XI
Kelas XII
Materi Fisika yang sulit
16 8 76 44 40 40 52 60
Materi Fisika paling sulit
0 4 56 52 20 28 24 16
Tabel 1.2 memperlihatkan hasil bahwa materi Optik, Fluida Statis, dan
Listrik Dinamis sebagai materi Fisika kelas X semester 2 yang tergolong
lebih sulit bagi siswa kelas XI dan XII dibandingkan materi Suhu dan Kalor.
Dari keempat materi Fisika tersebut, sebanyak 56% siswa kelas XI dan 52%
siswa kelas XII menyebutkan bahwa materi Optik sebagai materi Fisika
kelas X semester 2 yang paling sulit untuk dipahami. Hal ini menjadi
landasan penelitian ini untuk mengetahui apakah kesulitan siswa dalam
memahami materi Optik dimungkinkan karena adanya miskonsepsi yang
dialami siswa sehingga dibutuhkan tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat
sebagai salah satu cara untuk mendeteksi miskonsepsi tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini berjudul
“PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA TIGA
TINGKAT UNTUK MENENTUKAN PROFIL MISKONSEPSI SISWA
SMA MATERI OPTIK”.
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi:
1) Hasil belajar Fisika siswa SMA masih belum maksimal berdasarkan hasil
wawancara dengan guru.
2) Siswa mengaku mengalami kesulitan dalam belajar Fisika berdasarkan
hasil angket yang dipertegas oleh pernyataan guru.
3) Siswa mengaku materi Fisika kelas X semester 2 yang paling sulit
dipahami adalah materi Optik.
4) Tes ulangan yang biasa digunakan oleh guru tidak dapat mengidentifikasi
kesulitan belajar siswa SMA khususnya miskonsepsi siswa.
5) Ketidaktersediaan tes diagnostik yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kesulitan belajar siswa khususnya miskonsepsi yang
dialami oleh siswa.
1.3 PEMBATASAN MASALAH
Pembatasan masalah pada penelitian ini meliputi:
1) Pengembangan instrumen tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat untuk
menentukan miskonsepsi siswa SMA, berupa tujuan pembelajaran,
indikator pembelajaran, kisi-kisi soal, petunjuk pengerjaan, soal-soal tes
diagnostik, lembar jawab, kunci jawaban, pedoman penskoran, dan
pedoman interpretasi hasil.
2) Soal-soal pada tes diagnostik pilhan ganda tiga tingkat yang akan
dikembangkan hanya mencakup materi Optik.
3) Tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat yang akan dikembangkan, akan
digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik butir soal tes diagnostik.
4) Tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat yang akan dikembangkan, akan
digunakan mendeskripsikan profil miskonsepsi yang dialami oleh siswa
SMA pada materi Optik.
1.4 RUMUSAN MASALAH
Rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah:
1) Bagaimana hasil pengembangan tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat
untuk menentukan miskonsepsi siswa SMA pada materi Optik?
2) Bagaimana validitas tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat yang
dikembangkan untuk menentukan miskonsepsi siswa SMA pada materi
Optik?
3) Bagaimana reliabilitas tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat yang
dikembangkan untuk menentukan miskonsepsi siswa SMA pada materi
Optik?
4) Bagaimana karakteristik butir soal tes diagnostik pilihan ganda tiga
tingkat yang dikembangkan untuk menentukan miskonsepsi siswa SMA
pada materi Optik?
5) Miskonsepsi apa saja yang dialami oleh siswa SMA pada materi Optik?
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2007. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Aydin, S. 2012. Remediation of Misconceptions About Geometric Optics Using Conceptual Change Texts. Journal of Education Research and Behavioral Sciences, 1 (1), 1-12.
Caleon, I.S. dan R. Subramaniam. 2010. Do Students Know What They Know and What They Don’t Know? Using a Four-Tier Diagnostic Test to Assess the Nature of Students’ Alternative Conceptions. Res Sci Educ, 40, 313–337.
Chandrasegaran, A.L., David, F.T., dan Mauro, M. 2007. The Development of A Two-Tier Multiple-Choice Diagnostic Instrument for Evaluating Secondary School Students’ Ability To Describe and Explain Chemical Reactions Using Multiple Levels of Representation. Chemistry Education Research and Practice, 8 (3), 293-307.
Dahar, R. W. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Erlangga
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Tes Diagnostik. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Djanette, B., Chafiqi, F., dan Kendil, D. 2009. Students Misconceptions about Light in Algeria. Education and Training in Optics and Photonics. Conference Paper. St. Asaph, North Wales United Kingdom, 5-7 Juni.
Djanette, B., Chafiqi, F., dan Kendil, D. 2013. What Thinks The University's Students About Propagation of Light in The Vacuum?. European Scientific Journal, 9 (24), 197-213.
Gurel, D. K. dan Ali, E. 2013. A Content Analysis of Physics Textbooks as a Probable Source of Misconceptions in Geometric Optics. Hacettepe University Journal of Education, 28 (2), 234-245.
Iriyanti, N. P., Sri, M., dan Sri, R. D. A. 2012. Identifikasi Miskonsepsi Pada Materi Pokok Wujud Zat Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Bawang Tahun Ajaran 2009/2010. Jurnal Pendidikan Kimia, 1 (1), 8-13.
Isliyanti, A. dan Rizal, K. 2011. Pembuatan Kumpulan Pembahasan Miskonsepsi pada Beberapa Topik Materi Mekanika. Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2011. Bandung, 22-23 Juni 2011. Hal 144-147.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. 2013. http://kbbi.web.id/kembang [diakses 10-12-2013].
Komalasari, A.dan Eko S. K. 2012. Miskonsepsi Tentang Suhu dan Kalor Pada Siswa Kelas 1 di SMA Muhammadiyah Purworejo, Jawa Tengah. Berkala Fisika Indonesia, 4 (1&2), 46-49.
Kose, S. 2008. Diagnosing Student Misconceptions: Using Drawings as a Research Method. World Applied Sciences Journal, 3 (2), 283-293.
Kutluay, Y. 2005. Diagnosis Of Eleventh Grade Students’ Misconceptions About Geometric Optic by A Three-Tier Test. Tesis. Ankara: Middle East Technical University.
Marithawati. Y. D. 2011. “Pengembangan Perangkat Penilaian Berbasis Aktivitas (Activity-Based Assessment) Sebagai Asesmen Keterampilan Proses IPA Siswa SMP pada Materi Keaneka Ragaman Makhluk Hidup”. Tesis. Semarang: Program Pascasarjana Unnes.
Nugraeni, D., Jamzuri, dan Sarwanto. 2013. Penyusunan Tes Diagnostik Fisika Materi Listrik Dinamis. Jurnal Pendidikan Fisika, 1 (2), 12-16.
Ouattara, F. dan Barthelemie, B. 2012. Teaching and Learning in Geometrical Optics in Burkina Faso Third Form Classes: Presentation and Analysis of Class Observations Data and Students' Performance. British Journal of Science, 5 (1), 83-103.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 2006. Jakarta.
Pesman, H. 2005. Development of A Three-Tier Test To Assess Ninth Grade Students’ Misconceptions About Simple Electric Circuits. Tesis. Ankara: Middle East Technical University.
Pujianto, A., Nurjannah, dan I, W. D. 2013. Analisis Konsepsi Siswa Pada Konsep Kinematika Gerak Lurus. Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako, 1 (1), 16-21.
Rusilowati, A. 2006. Profil Kesulitan Belajar Fisika Pokok Bahasan Kelistrikan Siswa SMA di Kota Semarang. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 4 (2), 100-106.
Salirawati, D. 2011. Pengembangan Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kesetimbangan Kimia Pada Peserta Didik SMA. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 15 (2), 232-249.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Suniati, N.M.S., Wayan, S., dan Anggan, S. 2013. Pengaruh Implementasi Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Multimedia Interaktif Tehadap Penurunan Miskonsepsi (Studi Kuasi Eksperimen dalam Pembelajaran Cahaya dan Alat Optik di SMP Negeri 2 Amlapura). e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 4.
Suparno, P. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Dalam Pendidikan Fisika. Jakarta: PT Grasindo.
Suwarna, I. P. 2014. Analisis Miskonsepsi Siswa SMA Kelas X Pada Mata Pelajaran Fisika Melalui CRI (Certain Respon Index) Termodifikasi. Jurnal Laporan Penelitian. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Suwarto. 2010. Pengembangan The Two-Tier Diagnostic Tests Pada Bidang Biologi Secara Terkomputerisasi. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 14 (2), 206-224.
Suwarto. 2013. Pengembangan Tes Diagnostik Dalam Pembelajaran (Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwarto dan Afif, A. 2011. Pengembangan Tes Diagnostik dalam Program Komputer. Proceeding Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Tahun 2011. Sukoharjo, 7 Desember 2011. Hal 146-155.
Tan, K. C. D., Keith, S. T., Ngoh, K. G., dan Lian, S. C. 2005. The Ionisation Energy Diagnostic Instrument: A Two-Tier Multiple-Choice Instrument To Determine High School Students’ Understanding of Ionisation Energy. Chemistry Education Research and Practice, 6 (4), 180-197.
Tekkaya, C. 2002. Misconceptions As Barrier To Understanding Biology. Hacettepe Universitesi Egitim Fakultesi Dergisi, 23, 259-266.
Tekos, G. dan Christina, S. 2009. Constructivist Learning and Teaching of Optics Concepts Using ICT Tools in Greek Primary School: A Pilot Study. J Sci Educ Technol, 18, 415-428.
Treagust, D. F. 2007. Diagnostic Assessment in Science as a Means To Improving Teaching, Learning and Retention. UniServe Science Assessment Symposium Proceedings. Hal 1-9.
Varidi, S. 2010. Pembelajaran Fisika: Asumsi Tersembunyi, Miskonsepsi, Cara Belajar Analogi, Peraga-Eksperimen Sederhana, dan Muatan Lokal. Pelatihan Kompetensi Tenaga Pendidik Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. 24-25 September 2010.
Vichitvejpaisal, P., Vorakran, J., Tippawan, P., Pinda, V., Parichad A., Suthisa, C., Kanitha, K., Phetcharee, C. 2011. Developing a Two-Tier Diagnostic Test to Assess Arterial Blood Gases Learning by Students With Different Background Knowledge in Anesthesiology. South East Asian Journal of Medical Education, 5 (2), 27-33.
Voska, K. W. dan Heikkinen, H. W. 2000. Identification and Analysis of Student Conceptions Used To Solve Chemical Equilibrium Problems. Journal of Research in Science Teaching, 37 (2), 160-176.
Wahyuningsih, T., Trustho, R., dan Dyah, F. M. 2013. Pembuatan Instrumen Tes Diagnostik Fisika SMA Kelas XI. Jurnal Pendidikan Fisika, 1 (1), 111-117.
Wang, J. R. 2004. Development and Validation of A Two-tier Instrument To Examine Understanding of Internal Transport in Plants and The Human Circulatory System. International Journal of Science and Mathematics Education, 2, 131–157.