ulasan buku terrorisme fundamentalis kristen islam yahudi - am hendropriyono
DESCRIPTION
Ulasan Buku Terorisme Fundamentalisme Kristen Islam Yahudi - AM HedropriyonoTRANSCRIPT
Ulasan Buku Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam AM Hendropriyono, Penerbit Kompas Oktober 2009
Oleh M.Nugroho
Buku yang ditulis oleh AM Hendropriyono (mantan Kepala BIN 2001 – 2004) ini
merupakan desertasi ujian doktoralnya di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
15 Juli 2009. Penulis mencoba menggambarkan penyebab dan faktor faktor yang
bisa mendorong tumbuh suburnya terorisme dengan cara melakukan kajian analitis
bahasa terhadap ungkapan ungkapan pelaku teror .
Pada Bab Pendahuluannya dengan judul Arah Baru Terorisme, AMH
menyampaikan bahwa terorisme adalah perbuatan yang tergantung pada sistem
nilai dan cara pandang dunia sehingga untuk memahaminya diperlukan suatu
kerangka dan metodologi pemikiran yang digunakan pada filsafat. Terorisme pada
masa kini telah berkembang lingkupnya menjadi global dengan disponsori oleh
negara ataupun oleh organisasi transnasional seperti AlQaeda. Terorisme yang
terjadi di Indonesia dilakukan oleh lulusan perang Afghanistan (Amrozi cs) dan
masih terkait erat dengan alQaeda khususnya dalam kesamaannya sebagai pengikut
Wahabi garis keras. Di sisi lain, meningkatnya jumlah terorisme juga diikuti dengan
meningkatnya jumlah dan kualitas kerjasama internasional untuk memberantas terorisme. Berbagai studi mutakhir
mencoba mengkaitkan antara terorisme dengan pemikiran keras Wahabi. Dalam konteks keIndonesiaan, terorisme
yang dilakukan anak bangsa mengganggu elemen bangsa lainnya yang tidak bisa memahami bagaimana mungkin
terorisme muncul disebuah negara pluralis yang damai berdasar Pancasila dan bersemboyan Bhineka Tunggal Ika.
Disini AMH mencoba menjawab kegelisahan tersebut dengan melakukan studi terorisme melalui pendekatan filsafat
analitis bahasa terhadap pelaku teroris dengan mengambil dua sample yang representatif yaitu Osama bin Laden
(OBL) dan George Walker Bush (GWB)
Di Bab Pertama (Terorisme, Pengertian dan Sejarahnya), AMH menyampaikan bahwa terorisme sebenarnya telah
terjadi sejak awal sejarah manusia itu sendiri. AMH mengambil berbagai contoh terorisme pada semua era baik pada
masa Yunani - Romawi, Kesultanan di Baghdad, India, Inggris, perang kemerdekaan Amerika, demikian juga berbagai
aksi terorisme yang terjadi dari awal Perang Dunia I hingga akhir dari Perang Dunia II termasuk terorisme Yahudi di
tanah Palestina. Hanya saja untuk terorisme Islam, AMH memberikan bonus bagi pembaca dengan menguraian
panjang lebar sejarah dan perkembangan terorisme AlQaeda yang juga disebut AMH sebagai Wahabi Kontemporer
yang bercirikan penafsiran literal yang kaku terhadap text agama dan menolak dialog. Masih di bab yang sama, AMH
menjelaskan perbedaan antara perang dengan terorisme meskipun dalam keduanya terdapat kemiripan keluarga
(family resemblance) antara bahasa yang dipergunakan dalam perang maunpun dalam terorisme. AMH juga
menyatakan universalisme Protestanisme sekuler yang mengusung kapitalisme bertemu dengan universalisme Islam
OBL yang mengusung kekhilafahan berdiri pada posisi saling ingin meniadakan satu sama lainnya sehingga keduanya
lebih mengutamakan terorisme daripada dialektika untuk menghasilkan perdamaian.
Bab Kedua (Terorisme Global, Regional, Nasional). Akar dari terorisme adalah ideologi universal. Kapitalisme yang
dibawa oleh demokrasi, di wilayah praksis kini berhadapan dengan kemiskinan penganguran dan ketidakalilan.
Berbagai krisis yang mendera ekonomi dunia akhir akhir ini membuat beberapa negara kembali ke nasionalismenya
dan menutup keran globalisasi. Hal ini membuat AS mulai memainkan hardpower-nya dibanding soft power ataupun
smart powernya yang justru semakin memancing tumbuh suburnya ide fundamentalis universal yang melibatkan
doktrin dan praktik politik keagamaan. Di sub bab terorisme AlQaeda AMH menguraikan nodes dan links didalam
jaringan AlQaeda dan menyampaikan bahwa berbagai terorisme dilakukan oleh sekelompok teroris yang masih saling
berhubungan keluarga atau bersahabat dekat. AMH juga menyatakan bahwa terorisme sangat memerlukan
dukungan media massa, smentara media sendiri tidak menyadari bahwasanya mereka ikut membantu keberhasilan
operasi terorisme tersebut. Bab ini diakhiri oleh sub bab Terorisme Regional dan Nasional yang menggambarkan
sejarah dan perkembangan AJAI (JI) dan linknya dengan camp camp pelatihan di Filipina serta tidak lupa pula
mengaitkan kesamaan antar pola pikir Imam Samudra dengan OBL terhadap dunia Islam - Barat.
AMH memulai Bab Ketiga (Bahasa Terorisme) dengan menjelaskan kegunaan Filsafat Analisa Bahasa untuk uji
ungkapan terorisme oleh pelakunya dengan menyingkirkan makna makna yang tidak diperlukan. AMH mengutarakan
dalam kajian ontologis terdapat kemiripan keluarga (family resemblance) pada ungkapan yang digunakan keduanya
yang melibatkan Tuhan yaitu sebagaimana penggunaan ungkapan InsyaAllah / dengan Ridho Allah oleh OBL ataupun
ungkapan GodBless America oleh GWB. Sedangkan kajian epistemology menunjukkan bahwa terorisme OBL
bersumber pada paham jihad yang menurut Amh pengertian tersebut disalahtafsirkan, sedangkan terorisme GWB
didasarkan pada dasar epistemology demokrasi. Analisa terhadap languange games OBL dan GWB menunjukkan
bahwa ungkapan ungkapan keduanya sebenarnya tidak memiliki kandungan faktual apapun, yang terjadi justru
terorisme internasional mulai mengancan dan membahayakan ketahanan nasional masing masing. Terakhir, untuk
menjelaskan pokok masalah mengap OBL merasa benar untuk membunuh penduduk sipil Amerika dan mengapa
GWB menginvansi sebuah negara yang dianggap basis terorisme, maka teori Ryle bisa digunakan untuk menjelaskan
kegalatan berfikir mereka: kekeliruan pokok yang sering terjadi adalah melukiskan fakta yang termasuk kategori
sesuatu, dengan menggunakan ciri ciri logis kategori lain.
Bab Keempat sebagaimana judulnya yaitu Terorisme sebagai Ancaman Ketahanan Nasional dan Kemanusiaan,
maka isinya pun tidak lain mencerminkan judul bab tersebut yaitu penjelasan ancaman terorisme terhadap ketahanan
bidang ideologi, terhadap ketahanan politik, terhadap pertahanan dan keamanan, serta terhadap kemanusiaan. Yang
menarik bagi saya di bab ini adalah sub bab Ancaman Terorisme terhadap Kemanusiaan dimana setelah menjelaskan
hubungan “Wahabi Kontemporer dengan AlQaeda” dan setelah menjelaskan “Doktrin Bom Syahid”, AMH menuturkan
bahwa ideologi yang merupakan akar kuat terorisme itu hanya akan tumbuh kuat pada aliran keras transnasionalisme
yang tidak lagi bertumpu pada nation state, melainkan pada konsepsi Ummah yang didominasi oleh corak pemikiran
ekstrem, fundamentalis atau radikal. Aliran keras transnasionalisme tersebut kemudian dipaparkan oleh AMH yaitu :
(1) Ikhwanul Muslimin Tarbiyah (2) Gerakan Jihadi (Ikhwani dan Salafi) (3) Hizbut Tahrir (4) Salafy Dakwah (5) Gerakan
Syiah dan (6) Jamaah Tabligh. Pemaparan tersebut disertai dengan penjelasan singkat plus mapping konstelasi satu
sama lain plus dengan NU dan Muhammadiyah. Entah mengapa AMH meletakkan “alarm tanda bahaya” tersebut
pada sub bab ancaman terorisme pada kemanusiaan.
Bab Penutup menurut saya menjadi aneh ketika diberi judul Terorisme dan Kepribadian yang Terbelah, sebab hal
tersebut tidak menonjol pada hanya 5 halaman bab penutup tersebut yang isinya sekedar kesimpulan yang tidak
merangkum detail uraian empat bab sebelumnya kecuali pengertian terorisme dan inkonsistensi istilah terorisme,
ditambah empat saran yang ringkasnya adalah (1) tanggungjawab PBB dan negara negara maju untuk demokrasi
yang etis (2) perlunya pembersihan fundamentalis ala khawarij yang mengaku penganut wahabi (3) revitalisasi
Pancasila (4) masing masing agama perlu merevisi tujuan kemanusiaan dengan menafsir dan merekontruksi kembali
ajaran agama bagi aksi kemanusiaan global tanpa memandang latar belakang pemeluk agama.
Buku ini diawali oleh pengantar dari penulis dan juga pengantar dari Zuhairi Misrawi, Intelektual Muda NU sekaligus
Ketua Moderate Muslim Society. Entah memang kebetulan atau justru mencerminkan maksud dari penulisan buku ini
oleh AMH, Zuhairi menjelaskan panjang lebar tentang sejarah dan tindakan ekstrem pengikut Wahabi serta
memetakan kelompok Islam menjadi kelompok wahabisme total, kelompok wahabi cenderung moderatdan
kelompok anti Wahabisme. Zuhairi mengakhiri pengantarnya dengan mendorong NU dan Muhamaddiyah mencegah
pengaruh wahabisme yang berpotensi melahirkan terorisme.
Kritik
1. Pembahasan tidak sesuai dengan judul bukunya (Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam) karena pada
kenyataannya pembahasan terorisme OBL dan GWB sebagaimana yang diakui oleh AMH lebih dikarenakan oleh
perbedaan epistemologis islam – demokrasi daripada perbedaan ontologisnya, karenanya buku tersebut lebih tepat
bila diberi judul Terorisme Fundamentalis Islam dan Demokrasi
2. Demkian juga judul buku tidak membahas alasan metafisika dari terorisme Kristen dan Yahudi dari teks
keagamaan mereka namun memberi porsi yang sangat banyak dalam pembahasan metafisis dari teks keagamaan
AlQuran untuk menjelaskan kesalahpahaman metafisis teroris Wahabi Kontemporer. Ini tentu bertolak belakang
dengan klaim bahwa buku ini mencoba sekedar memahami terorisme dari filsafat analisa bahasa saja yang
seharusnya tidak mencampuri persoalan metafisis.
3. Dalam buku ini sendiri justru banyak dijumpai pernyataan pernyataan yang harus diteliti menurut analitika
bahasa sebab banyak pernyataan perlokusi yang tidak sesuai dengan keadaan faktual semisal pernyataan “mereka
tega membunuh anak bangsa sendiri” atau bahkan penisbatan split personality pada pelaku teror OBL dan GWB juga
adalah hal yang mesti diuji kebenaran faktualnya bukan sekedar penyusunan kesimpulan dari logika ontologi saja
4. Dengan memborong daftar kelompok transnasional (asing) semisal Tarbiyah, Salafi , HT, Syiah dan JT tidak
bisa dielakkan bila muncul kesan AMH mencoba memasukkan keempat organisasi tersebut sebagai organisasi
organisasi yang harus diwaspadai karena berpotensi melakukan terorisme. Ini adalah kesengajaan logical fallacy yang
dilakukan AMH dalam menginduksi persoalan dan dalam melakukan kategorisasi object. Contoh simplenya adalah
bagaimana mungkin memasukkan JT sebagai gerakan berideologi keras padahal public tahu betul bahwa JT hanya
melakukan dakwah ritual non ideologis
5. Buku ini kurang seimbang dalam menguraikan akar terorisme antara OBL dan GWB dimana OBL
mendapatkan porsi paling banyak. Namun hal tersebut bisa jadi justru menunjukkan bahwa OBL memiliki alasan lebih
banyak daripada GWB dalam melakukan aksi terorisme dibandingkan GWB yang hanya karena nafsu
memperjuangkan demokrasi demi nafsu imperialisme kapitalismenya saja.
6. AMH mencoba fair dalam menyebutkan setiap kata terorisme bagi semua pihak meski kadang sering
dijumpai itu serasa dinisbatkan pada terorisme Islam. Contoh penggunaan : "perkembangan terorisme global yang
dilandasi oleh ideologi keagamaan sebagai reaksi terhadap kapitalisme neoliberal dengan kekuatan kerasnya (hard
power), merupakan ancaman terhadap ketahanan ideologi bangsa Indonesia”
7. Walaupun buku ini membahas ancaman terorisme Islam dan terorisme Kapitalis, namun saran yang diberikan
AMH lebih berfokus pada bagaimana untuk menetralisir terorisme fisik yang dilakukan oleh mereka yang mengaku
pengikut Wahabi dengan partisipasi aktif kalangan Islam tradisonalis dan Islam moderat. Saran ini tiada lain sangat
persis dengan strategi dari RAND Corporation untuk melakukan politik belah bambu di intern umat Islam untuk
mencegah berkembangnya Islam Ideologis yang bertujuan mewujudkan syariah dan khilafah.
Kesimpulan
Saran pada buku ini akhirnya menempatkan bahwa terrorisme yang harus dimusuhi adalah terrorisme fisik khususnya
yang dilakukan oleh AlQaeda dan kelompok Wahabi kontemporer lainnya sebab aktivitas fisik mereka mulai
merambah dan membahayakan ketahanan nasional dari aspek ideologi hankam dan kemanusiaan. Adapun terrorisme
fisik yang dilakukan oleh Amerika masa kini terhadap Iraq Afghanistan dan belahan bumi lainnya tidak perlu disikapi.
Untuk mencegah terorisme fisik nasional tersebut tiada lain adalah dengan mencegah berkembangnya paham
wahabi ekstrim dan gerakan gerakan transnasional (asing). Sengaja kata (asing) dituliskan sebab pada hakekatnya
organisasi keagamaan lokal seperti NU dan Muhammadiyah sebenarnya telah menjadi organisasi transnasional yang
memiliki cabang di berbagai negara.
Pada akhirnya buku ini menunjukkan bahwa AMH telah terperangkap dan terkalahkan oleh program War on
Terrorism (WoT) yang dicetuskan GWB dimana kata Terrorism yang dimaksud adalah terorisme Islam (AlQaeda dkk).
Kekalahan tersebut berimplikasi pada strategi politik Indonesia yang harusnya bebas aktif menjadi tidak bebas dan
pasif dalam partisipasi membebaskan kedaulatan Negara dari terorisme (baca: penjajahan) Amerika baik yang
dilakukan melaui hard power maupun soft powernya.
Wassalam, M. Nugroho
Sebagai pembanding, berikut resume oleh AMH sendiri :
http://www.hendropriyono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29&Itemid=42