uji mikronuklei dengan pengeblokan … lusiyanti dkk 2011.pdf · dosis dan sifat biologik yaitu...

15
Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII Jakarta, 6-7 Juli 2011 PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 57 UJI MIKRONUKLEI DENGAN PENGEBLOKAN SITOKENESIS PADA LIMFOSIT DAN APLIKASINYA SEBAGAI BIODOSIMETRI RADIASI Yanti Lusiyanti dan Zubaidah Alatas Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi - BATAN ABSTRAK UJI MIKRONUKLEI DENGAN PENGEBLOKAN SITOKENESIS PADA LIMFOSIT DAN APLIKASINYA SEBAGAI BIODOSIMETRI RADIASI. Mikronuklei adalah salah satu indikasi kerusakan struktur pada kromosom akibat radiasi, yang dapat diamati dari sel dengan dua inti (binukleat), dengan cara memblok proses pembelahan pada tahap sitokinesis menggunakan sitokalasin B yang dikenal dengan Cytokinesis Block (CB). Bila metoda uji mikronuklei akan dijadikan sebagai biodosimetri radiasi, maka perlu diketahui kurva respon dosis pada kisaran luas dari berbagai kualitas radiasi. Kurva respon mikronuklei yang diinduksi oleh radiasi LET rendah, antara lain sinar-X, sinar γ dan partikel β diperlihatkan dengan model persamaan linier quadratik, sedangkan radiasi LET tinggi hanya menghasilkan persamaan linier. Variasi antar individu dalam pembentukkan mikronukleus sampai kini masih dipertanyakan, karena data yang diperoleh dari beberapa penelitian belum menunjukkan hasil yang konstan terutama untuk frekuensi mikronukleus latar. Untuk menerapkan uji mikronukleus sebagai biodosimetri radiasi, diperlukan kalibrasi kurva mikronukleus pada individu pra pajanan terutama untuk dosis rendah. Kata kunci : mikronuklei, pengeblokan sitokinensis, radiasi, biodosimetri ABSTRACT MICRONUCLEI ASSAY USING CYTOKINESIS BLOCK IN LYMPHOCYTES AND ITS APPLICATION AS RADIATION BIODOSIMETRY.Micronuclei is one of structural damage indicators caused by ionizing radiation that observed on cells with binucleate by blocking cell proliferation at cytokinesis stage using cytochalasin B, known as cytokinesis Block (CB). If micronuclei assay is used as a biological dosimeter, it is essensial to have dose-respon curve on a wide range of radiation qualities. The dose respons curve of micronuclei for low LET radiation i,e X-rays, γ rays and β particle represented in the linear quadratiq model and for high LET i.e neutron and ά particle represented in linear model. Individual variation in micronuclei is unclear because the uncertainties are predominately for the base line miccronucleus. One of the mayor limitation in measuring exposure to low doses may be the interindividual variation in radiosensitivity, and the practical implementation of the micronucleus assay for radiation biodosimetry may be limited by a need to perform individual pre-exposure calibrations. Keywords : micronuclei, cytokinetic blocking, radiation, biodosimetry

Upload: hoangquynh

Post on 04-May-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 57

UJI MIKRONUKLEI DENGAN PENGEBLOKAN SITOKENESIS

PADA LIMFOSIT DAN APLIKASINYA SEBAGAI

BIODOSIMETRI RADIASI

Yanti Lusiyanti dan Zubaidah Alatas

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi - BATAN

ABSTRAK

UJI MIKRONUKLEI DENGAN PENGEBLOKAN SITOKENESIS PADA LIMFOSIT DAN

APLIKASINYA SEBAGAI BIODOSIMETRI RADIASI. Mikronuklei adalah salah satu indikasi

kerusakan struktur pada kromosom akibat radiasi, yang dapat diamati dari sel dengan dua inti (binukleat),

dengan cara memblok proses pembelahan pada tahap sitokinesis menggunakan sitokalasin B yang dikenal

dengan Cytokinesis Block (CB). Bila metoda uji mikronuklei akan dijadikan sebagai biodosimetri radiasi,

maka perlu diketahui kurva respon dosis pada kisaran luas dari berbagai kualitas radiasi. Kurva respon

mikronuklei yang diinduksi oleh radiasi LET rendah, antara lain sinar-X, sinar γ dan partikel β

diperlihatkan dengan model persamaan linier quadratik, sedangkan radiasi LET tinggi hanya menghasilkan

persamaan linier. Variasi antar individu dalam pembentukkan mikronukleus sampai kini masih

dipertanyakan, karena data yang diperoleh dari beberapa penelitian belum menunjukkan hasil yang konstan

terutama untuk frekuensi mikronukleus latar. Untuk menerapkan uji mikronukleus sebagai biodosimetri

radiasi, diperlukan kalibrasi kurva mikronukleus pada individu pra pajanan terutama untuk dosis rendah. Kata kunci : mikronuklei, pengeblokan sitokinensis, radiasi, biodosimetri

ABSTRACT

MICRONUCLEI ASSAY USING CYTOKINESIS BLOCK IN LYMPHOCYTES AND ITS

APPLICATION AS RADIATION BIODOSIMETRY.Micronuclei is one of structural damage indicators

caused by ionizing radiation that observed on cells with binucleate by blocking cell proliferation at

cytokinesis stage using cytochalasin B, known as cytokinesis Block (CB). If micronuclei assay is used as a

biological dosimeter, it is essensial to have dose-respon curve on a wide range of radiation qualities. The

dose respons curve of micronuclei for low LET radiation i,e X-rays, γ rays and β particle represented in the

linear quadratiq model and for high LET i.e neutron and ά particle represented in linear model. Individual

variation in micronuclei is unclear because the uncertainties are predominately for the base line

miccronucleus. One of the mayor limitation in measuring exposure to low doses may be the interindividual

variation in radiosensitivity, and the practical implementation of the micronucleus assay for radiation

biodosimetry may be limited by a need to perform individual pre-exposure calibrations.

Keywords : micronuclei, cytokinetic blocking, radiation, biodosimetry

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 58

I. PENDAHULUAN

Pengukuran biodosimetri berkaitan

dengan besarnya dosis serap radiasi yang

diterima dan berkontribusi serta terhadap

risiko kesehatan yang diakibatkan oleh

paparan radiasi. Prinsip biodosimetri adalah

menentukan dosis serap radiasi dengan

mengukur perubahan yang terjadi pada

materi biologi akibat paparan radiasi pada

tubuh manusia. Salah satu yang paling utama

dari biodosimetri adalah dalam kasus

kecelakaan radiasi yang terjadi pada individu

yang tidak menggunakan dosimeter fisik.

Kadangkala metode dosimetri fisik harus

dilengkapi atau didukung oleh uji biologik,

sebagai contoh terjadinya pajanan sebagian

tubuh (parsial) dengan dosimetri fisik diluar

area radiasi.

Cek silang dosis yang diukur secara

fisik diperlukan pada kondisi tertentu. Akan

tetapi, jika dosis ditentukan secara biologik,

variabilitas biologik akan mempengaruhinya,

karena diyakini untuk individu yang

radiosensitif akan memiliki efek yang lebih

besar pada materi biologiknya daripada

ukuran rata-rata. Biodosimetri didasarkan

pada marker biologi atau biomarker yang

diinduksi oleh paparan radiasi dan dapat

diterapkan untuk mengestimasi dosis ketika

dosimetri fisik tidak tersedia, atau untuk

melengkapi dosimetri fisik. Biomarker

radiasi yang telah secara luas dikenal dan

diaplikasikan sebagai dosimetri biologi atau

biodosimetri radiasi adalah aberasi

kromosom menggunakan metode sitogenetik

untuk mengetahui frekuensi kromosom

bentuk disentrik, asentrik fragmen dan cincin

(ring). Analisis aberasi kromosom disentrik

telah dibuktikan sebagai gold standar (baku

standar) yang sensitif untuk mengetahui

kerusakan sel akibat radiasi dan telah

dijadikan sebagai biodosimetri radiasi [1].

Metode biodosimetri yang cepat sangat

diperlukan untuk mengkaji efek radiasi tunda

(jangka panjang). Selain teknik analisis

aberasi kromosom pada limfosit, teknik uji

lain yang juga dapat digunakan dalam

biodosimetri adalah uji mikronukleus (MN).

Pengujian MN dari limfosit perifer pertama

kali diperkenalkan oleh Countryman and

Heddle [2]. Pada metode awal hanya

dilakukan pada sel yang telah selesai

membelah secara in-vitro. Suatu pendekatan

telah dikembangkan dengan menggunakan

inhibitor cytokenesis yaitu cytochalasin-B.

Feneh dan Morley [3] telah menerapkan

Cytocalasin–B yang mampu memperlihatkan

bahwa sel yang telah membelah dapat

diakumulasi dan dikenali sebagai sel

binukleat (dua inti) dan MN dapat secara

spesifik dan efisien terlihat di dekat sel

binucleat sementara sel mononuclear yang

tidak membelah tidak mampu mengekspresi-

kan adanya MN secara in vitro.

MN telah digunakan sejak tahun 1937

sebagai indikator pajanan genotoksik

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 59

berdasarkan pada studi radiasi oleh Brenneke

dan Mather. Sejak saat itu banyak studi lain

dilakukan pada sel tumbuhan, hewan dan

manusia, baik secara in vitro maupun in vivo.

Penelitian frekuensi MN juga mendukung

asumsi bahwa MN ini merupakan produk

awal proses karsinogenik pada manusia

Bila induksi MN akan digunakan

untuk biodosimetri radiasi, maka sangat perlu

membuat suatu kurva data respon-dosis,

untuk kisaran yang luas dari berbagai kualitas

radiasi, terutama yang banyak digunakan

dalam penelitian lingkungan, dan sangat

sesuai untuk proteksi radiasi. Di samping itu

sangat penting untuk memperoleh konsistensi

terutama antara laboratorium acuan dengan

laboratorium lainnya. Faktor yang berperan

terhadap pembentukkan MN antara lain

adalah faktor fisik seperti LET, dosis dan laju

dosis dan sifat biologik yaitu variasi antar

individu, yang dipengaruhi oleh umur, jenis

kelamin dan kinetika sel. Dalam makalah ini

dibahas mengenai uji MN dengan metode

cytokinesis block (CB) dan kemungkinan

implementasinya bila digunakan sebagai

biodosimetri radiasi.

II. MIKRONUKLEI

Paparan radiasi dapat menginduksi

terjadinya pembentukan fragmen kromosom

Asentrik (kromosom tanpa centromer dan

malsegregasi kromosom utuh (whlole

kromosom). Fragmen kromosom asentrik dan

whole kromosom yang tidak mampu

berinteraksi dengan benang spindel lag

behind anaphase., sehingga akhirnya fragmen

tersebut tidak ikut ke dalam nuklei anak

utama. Potongan fragmen kromosom atau

kromosom tersebut membentuk nuckleus

kecil yang terpisah dan dinamakan

mikronuklei, dengan demikian mikronuklei

merupakan materi nukleus (DNA)) terlihat

sebagai lingkaran kecil dalam sitoplasma di

luar nukleus, dengan struktur dan intensitas

warna serupa dengan nukleus Gambar 1.

Mikronuklei terbentuk dari fragmen asentrik

yang gagal bergabung dengan sel anak

selama proses pembelahan sel. Dapat juga

terbentuk dari sebuah kromosom yang

tertinggal, atau tidak terbawa dalam proses

mitosis, atau terjadi akibat konfigurasi

kromosom yang kompleks, pada waktu

proses anafase. Namun demikian terdapat

bukti kuat yang menunjukkan bahwa radiasi

dapat menginduksi pembentukkan

mikronukleus adalah terutama berasal dari

fragmen asentrik [1,2].

Gambar 1. Sel binukleat yang

memiliki 1 mikronuklei [1]

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 60

Kriteria mikronuklei antara lain ;

diameter kurang dari seperlima diameter

nukleus (10µm), terletak dalam sitoplasma

dan di luar nukleus, tidak ada kontak dengan

nukleus [1]. Keterangan lain menyatakan

bahwa ukuran mikronukleus yang diinduksi

radiasi cenderung berukuran antara 6-12 µm.

Kira-kira 80% mikronukleus yang diinduksi

oleh sinar gamma mengandung DNA sekitar

6% atau kurang dari nukleus interfase,

menandakan asal mikronukleus berasal dari

fragmen asentrik. Pada individu normal atau

frekuensi mikronuklei untuk 1000 sel

binukleate adalah 3- 30 [1,4].

Beberapa keunggulan dari uji MN

adalah sbb. :

1. Dapat dikombinasi dengan deteksi mutasi

kromosom dan genom sekaligus.

2. Dapat membedakan antara klastogen dan

aneugen.

3. Ada kemungkinan mendeteksi apoptosis

atau nekrosis secara bersamaan.

4. Dapat digunakan untuk banyak jenis sel,

cepat, murah, dan sederhana.

5. Ada kemungkinan otomatisasi dan unggul

secara statistik.

6. Dapat membedakan antara sel yang

sedang membelah dan tidak membelah.

7. Mampu mendeteksi jembatan disentrik

(dicentric bridges) sebagai jembatan

nukleoplasmik dan pengkajian proliferasi

sel (persentase sel binukleat).

III. TEKNIK PENGEBLOKAN

SITOKINESIS

Mikronuklei terbentuk akibat

kerusakan struktur dari kromosom yang

terjadi pada fase G0-G1 dari siklus sel,

sehingga mikronukleus muncul setelah sel

mengalami pembelahan inti.

Pengujian teknik scoring mikronuklei dalam

sebuah sel, yang telah diblok pada limfosit

tepi, digunakan sebagai metoda alternatif

realistis untuk mengetahui secara kuantitatif

adanya kerusakan kromosom akibat radiasi,

selain penghitungan kromosom disentrik

[4,5]. Metoda CB yaitu menggunakan

penambahan zat Sitokalasin-B terhadap

kultur limfosit, berfungsi untuk memblok

proses sitokinesis sehingga sel berada pada

tingkat pembelahan sel binukleat (sel dengan

dua inti), dan mikronklei yang terbentuk akan

teramati pada sel binukleat tersebut [3,6].

Teknik pengeblokan yang

dimaksudkan untuk memperoleh mikronuklei

ini telah diperkenalkan lebih dari 30 tahun

lalu, tepatnya tahun 1975. Proses atau

mekanisme pembentukan mikronuklei

dijelaskan dalam Gambar 2.

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 61

Gambar 2. Proses pembentukan MN yang diinduksi dengan sitochalasin-B [1].

Pengujian mikronuklei telah digunakan

sejak tahun 1937 sebagai indikator pajanan

genotoksik berdasarkan pada studi radiasi

oleh Brenneke dan Mather. Sejak saat itu

banyak studi lain dilakukan pada sel

tumbuhan, hewan dan manusia, baik secara

in vitro maupun in vivo. Penelitian frekuensi

MN juga mendukung asumsi bahwa MN ini

merupakan produk awal proses karsinogenik

pada manusia.

Penggunaan teknik mikronukleus

dalam penghitungan lebih mudah cepat dan

sel yang dapat diamati dalam jumlah banyak,

terutama apabila menggunakan sistem image

komputer otomatis. Sehingga teknik

mikronukleus memungkinkan digunakan

sebagai sebagai prosedur rutin, dan dapat

diamati pada dosis rendah antara 0,05-1 Gy,

yang merupakan rentang batas dosis terendah

untuk mendeteksi adanya aberasi kromosom

[5,7,8]. Keunggulan lain dari uji ini adalah

waktu prosesnya dimana mikronuklei dapat

dihitung dengan cepat dan sangat sesuai

untuk deteksi awal pada sejumlah besar

korban kecelakaan radiasi. Pengujian MN

dengan Metode CB ini juga telah dilakukan

terhadap Para pekerja radiasi di BATAN,

dengan hasil yang ditemukan frekuensi MN

masih berada dalam kisaran frekuensi latar

untuk mikronuklei [9].

Beberapa kriteria dari sel BNC yang

layak untuk dihitung frekuensi

mikronukleinya harus memenuhi ketentuan

sebagai berikut.

- Sel harus dalam bentuk binukleat (terdiri

dari dua nukleus).

- Kedua inti dalam binukleat sel harus

dalam kondisi bersentuhan dengan

membran inti dan berada dalam satu

lingkaran sitoplasma yang sama.

- Kedua inti dalam sel binukleat harus

memiliki ukuran, penyerapan warna dan

intensitas pewarnaan yang sama.

SITOCHALASIN B

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 62

- Kedua inti dalam sel binukleat mungkin

tidak dihubungkan atau mungkin

menempel satu atau lebih oleh jembatan

nukleoplasma dan ukurannya tidak kurang

lebih 1/4 diameter dari inti.

- Kedua inti utama dalam sel binukleat

mungkin bersentuhan satu sama lain

namun idealnya harus tidak overlap satu

sama lain. Sel dengan kondisis nuklei

yang overlaping dapat dihitung hanya

apabila lingkaran inti dari inti yang lain

dapat dibedakan.

- Lingkaran sitoplasma atau membran

dari selbinukleat harus berinteraksi dan

secara jelas dapat dibedakan dari

lingkaran sitoplasmic dari sel sekitarnya.

Akan tetapi uji ini memiliki

keterbatasan terutama oleh adanya frekuensi

background yang lebih besar dan lebih

bervariasi dibandingkan dengan disentrik. Uji

MN juga tidak mampu mendeteksi semua

aberasi kromosom struktural (hanya

asentrik), membutuhkan pembelahan sel

untuk ekspresi MN, ada kemungkinan

interferensi oleh sitochalasin-B seperti

spindle poison, ada kemungkinan interferensi

dengan penghambat lain dari sitokinesis, dan

sitotoksisitas sitochalasin-B itu sendiri

bervariasi antar-jenis sel atau bahkan antar-

sub jenis dari jenis sel yang sama [1].

IV. INDUKSI MIKRONUKLEI OLEH

RADIASI

Teknik pengujian MN dengan

metode CB menggunakan sitochalasin-B

untuk menginduksi mikronuklei juga menjadi

andalan banyak peneliti dalam menentukan

dosis radiasi. Mikronuklei dalam sel dua inti

terbentuk selama transisi metafase-anafase

ketika seluruh kromosom hilang (kejadian

aneugenik) atau fragment kromosom asentrik

setelah terjadi patahan kromosom (kejadian

clastogenik) yang tidak bergabung ke dalam

inti sel anak. Karena lebih sederhana, lebih

cepat, tidak mahal serta bentuk mikronuklei

yang sederhana, mudah dikenali dan ada

potensi untuk otomatisasi dengan sitometri

maka teknik pengeblokan sitokinesis ini juga

diandalkan oleh para peneliti]. Meninjau

awal mula MN muncul, telah diketahui

dengan baik bahwa sebagian besar MN

akibat radiasi terutama berasal dari fragmen

kromosom asentrik yang merupakan hasil

patahan kromosom. Sejumlah kecil MN

akibat radiasi dapat berasal dari kromosom

utuh yang gagal (lag) setelah anaphase

disebabkan karena beberapa kelainan pada

tingkat spindle atau protein kinetochore.

Gambaran mikronuklei yang diinduksi oleh

radiasi gamma 1 Gy terlihat pada Gambar 3.

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 63

Gambar 3. Contoh hasil uji mikronuklei yang diinduksi oleh radiasi sinar gamma dosis

1 Gy. Satu (kiri) dan tiga (kanan) mikronuklei yang berada di samping BNC di dalam

sitoplasma [10].

Untuk mengetahui apakah MN yang

diinduksi adalah akibat paparan iradiasi atau

senyawa kimia, para peneliti

mengembangkan teknik deteksi MN

menggunakan teknik flourescence in situ

hybridization (FISH) menggunakan pan

centromeric probe dan hasilnya diperlihatkan

dalam Gambar 4. Pengaruh radiasi dalam

menginduksi pembentukan mikronukleus

dipengaruhi oleh Linier Energi Transfer

(LET), laju dosis dan besarnya dosis radiasi.

Nilai LET adalah jumlah energi yang

terdeposit sepanjang jejak lintasan radiasi

yang dilaluinya, maka nilai LET

berhubungan erat dengan efektifitas suatu

jenis radiasi pengion, yang menyebabkan

kerusakan pada materi biologi yang

dilintasinya. Semakin besar LET, semakin

besar daya rusak radiasi tersebut pada materi

biologis yang dikenal dengan istilah Relatif

Biological Effectiveness (RBE) [9,10].

Gambar 4. Teknik deteksi MN menggunakan flourescence in situ hybridization (FISH)

menggunakan pan centromeric probe. MN hasil induksi kimia (kiri) dan radiasi

(kanan).

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 64

Perbedaan utama antara partikel alfa

sebagai radiasi LET tinggi, dengan radiasi

gamma/sinar-X sebagai radiasi LET rendah,

yaitu dalam hal distribusi energi pada

populasi sel atau jaringan yang terpajan.

Ionisasi akan terjadi pada setiap interval 100

nm atau lebih sepanjang lintasan radiasi

gamma/-X akan menembus suatu jaringan

sedalam beberapa cm, sebelum melepaskan

semua energinya. Sehingga terjadi distribusi

energi yang merata dalam jaringan, dengan

demikian dosis radiasi yang diterima oleh sel

dalam jaringan adalah sama dengan tingkatan

pajanan yang sangat rendah. Sedangkan

radiasi alfa, terjadi ionisasi setiap 0,2-0,5

nm, sehingga deposisi energi yang besar

terjadi pada satu lokasi tertentu. Umumnya

partikel alfa melintas hanya sejauh 50 μm

sebelum semua energinya habis dilepaskan

[1,11].

Pada radiasi dengan LET tinggi,

induksi mikronukleus tampak jelas, sesuai

dengan yang digambarkan yaitu untuk

partikel α dan neutron, jauh lebih efektif

dalam menginduksi pembentukan

mikronukleus dibanding sinar-X, sinar

gamma maupun partikel β. Hal tersebut

terlihat pada penelitian yang dilaporkan

bahwa induksi mikronukleus oleh neutron

pada energi 5,5 MeV dengan nilai LET 20

keV μm-1

, nilai ini hampir mendekati untuk

partikel α yaitu 20-23 keV μm-1

. Keduanya

memperlihatkan persamaan linier 0,374 ±

0,012 untuk neutron dan 0,336 ± 0,039 untuk

partikel alfa serta tidak berbeda secara

bermakna [12,8].

Sinar-X dan sinar gamma merupakan

radiasi dengan LET rendah, mempunyai

kemampuan menginduksi dengan kerusakan

yang tidak sama. Pada saat radiasi

gelombang elektromagnetik (X dan γ)

berinteraksi dengan sebuah atom, maka

keduanya akan melepaskan elektron

sekunder. Radiasi gamma dari Co-60 dengan

energi 1,1 MV mempunyai nilai LET lebih

rendah yaitu 0,2 kev/ μm dari Sinar-X 250

kV yaitu 2 kev/ μm, dengan demikian

efektifitas sinar gamma untuk merusak

materi biologi menjadi lebih rendah, sekitar

10% . Hal yang sama terjadi pada sinar-X

dengan energi 25 MV mempunyai nilai LET

0,2 kev/ μm [8,13].

Induksi mikronukleus pada LET

rendah diketahui bahwa Sinar-X cenderung

sedikit lebih efektif, dibanding sinar gamma

walaupun antara kedua kurva tampak tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil

penelitian lain yang dilakukan pada beberapa

kualitas radiasi berbeda, diketahui bahwa

pada dosis yang tinggi yaitu 10 Gy untuk

sinar-X dan 1 Gy untuk neutron, dapat

mempengaruhi kapasitas proliferasi pada sel

limposit yang telah distimulasi. Telah

diketahui bahwa partikel α dan neutron jauh

lebih efektif dalam menginduksi

pembentukan mikronukleus dibanding sinar-

X, sinar gamma maupun partikel β [8].

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 65

Pengaruh respon pembentukan

mikronukleus terhadap dosis, pada berbagai

variasi laju dosis menunjukkan perbedaan

yang nyata. Hubungan kurva respon

mikronukleus terhadap dosis untuk LET

rendah, umumnya di gambarkan dengan

persamaan model linier quadratik y = c + α

D + βD2 atau Y = α D + βD

2 , sedangkan

untuk LET tinggi dengan model persamaan

linier yaitu y = c + α D. Nilai c adalah

kontrol, (α D) adalah komponen dosis linier

menggambarkan luka yang diakibatkan oleh

satu jejak lintas radiasi, (βD2) adalah

komponen dosis kudrat, menggambarkan

mekanisme aksi kerusakan yang diproduksi

oleh dua jejak lintasan radiasi [5].

Hubungan kurva respon

mikronukleus terhadap dosis pada LET

rendah, dibuktikan dengan penelitian kurva

respon mikronukleus pada kisaran energi

radiasi yang berbeda untuk sinar-X dengan

kisaran LET bervariasi dibandingkan dengan

sinar gamma (Gambar 3) . Adanya perbedaan

nilai LET terlihat proporsional, dengan

persamaan linier quadratik, terlihat bahwa

koefisien α untuk sinar-X yang lebih besar

dibanding dengan sinar γ dan partikel β serta

menunjukkan adanya kenaikkan nilai α,

sejalan dengan naiknya nilai LET walaupun

tidak menunjukkan perbedaan nyata.

Sedangkan untuk koefisien β nilainya relatif

sama (Tabel 1).

D o s i s ( G y )

Gambar 5. Kurva respon mikronukleus vs dosis (●) 14 kVp, (○)50 kVp, dan (▲) 350 kVp serta

(Δ) sinar gamma Co-60 yang diiradiasi 1-4 Gy [15].

Ju

mla

h M

ikro

nu

kle

us

per

1000 s

el C

B

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 66

Tabel 1. Koefisien kurva respon mikronukleus Vs dosis secara invitro, pada berbagai kualitas

radiasi untuk LET rendah [14]

P

ada penelitian tersebut diperlihatkan bahwa

persamaan linier kuadratik untuk

mikronukleus dengan komponen α dan β

tidak hanya berhubungan langsung dengan

satu atau dua jejak saja, karena ekspresi

mikronuklei juga dipengaruhi oleh fenomena

sekunder antara lain adanya agregasi

kumpulan dari beberapa fragmen asentrik,

menjadi satu mikronukleus (Savage 1988)

pada dosis tinggi [13].

Kurva respon mikronukleus terhadap

dosis untuk LET tinggi, digambarkan

dengan persamaan y = c + αD, yang

membuktikan bahwa pada radiasi LET tinggi

untuk partikel α dan neutron keboleh jadian

adanya jejak tunggal sangat dominan (Tabel

2)

komponen α terbentuk dari induksi

mikronukleus diakibatkan hanya oleh jejak

tunggal saja [5]. Pada penelitian lain kurva

respon mikronukleus yang diirradiasi

campuran beam nuetron dihasilkan koefisien

α = 0,595 ± 0,28 dan koefisien β = - 0,059 ±

0,0133, penelitian ini membuktikan bahwa

model kurva respon dosis pada LET tinggi

tidak menunjukkan model linier kuadratik.

Nilai negatif pada β menandakan adanya

efek kejenuhan, sejalan kenaikkan dosis. Jadi

pada radiasi campuran neutron dan sinar

gamma diperlihatkan dengan jelas, adanya

perbedaan kualitas radiasi yang sangat

efektif, untuk menginduksi pembentukkan

mikronukleus (Gambar 4) [15].

Tabel 2. Koefisien kurva respon mikronukleus Vs dosis secara in vitro, pada berbagai

kualitas radiasi untuk LET tinggi [8]

Jenis Radiasi Komponen α (Gy) Komponen β (Gy)

Neutron beam campuran 220 kV 0,595 ± 0,028 - 0,059 ± 0,0133

Partikel α 20-23 keV 0,336 ± 0,039 -

Neutron 5,5 MeV 0,374 ± 0,012 -

Jenis Radiasi Komponen α (Gy) Komponen β (Gy)

Sinar-X 14 kVp 0,103 ± 0,003 0,057 ± 0,007

Sinar-X 50 kVp 0,087 ± 0,024 0,045 ± 0,024

Sinar-X 350 kVp 0,064 ± 0,018 0,045 ± 0,008

Sinar γ C0-60 0,049 ± 0,008 0,038 ± 0,006

Partikel β 2,27 MeV [4] 0,0248 ± 0,0134 0,0381 ± 0,0106

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 67

Dosis (Gy)

Ju

mla

h M

N p

er 1

00

0 s

el C

B

Gambar 6. Perbandingan kurva respon Mikronukleus Vs

Dosis yang diinduksi sinar gamma Co-60 dan

Fast Neutron dosis 1-4 Gy [7]

Selain LET induksi mikronukleus

oleh radiasi, juga dipengaruhi oleh laju dosis.

Pada penelitian sampel donor yang

diirradiasi sinar gamma dosis 4 Gy dengan

kisaran laju dosis 0,15 cGy/menit. 0,29

cGy/menit dan 70 cGy/menit menunjukkan

terjadi penurunan nyata pada pembentukan

mikronukleus yaitu 48,0 ± 2,1% untuk laju

dosis 70 cGy/menit, turun hingga 34,8 ±

2,1% pada laju dosis 0,29cGy. Gambar 5

memperlihatkan pembentukkan mikro-

nukleus yang menurun 1,4 kali lipat saat laju

dosis 0,29 cGy/menit sedangkan pada laju

dosis 0,15 c Gy/menit menurun hingga 2,4

kali lipat [16].

Gambar 7. Frekuensi Mikronukleus yang diirradiasi Co-60 (A). laju dosis 70 cGy/menit dan 0,15

cGy/menit, (B). laju dosis 70 cGy/menit dan 0,15cGy/menit [16]

Sel

Bin

uk

leat

den

gan

Mik

ron

uk

leu

s (%

)

Rerata SE

Sel

se B

inu

kle

at d

eng

an

mM

ikro

nuk

leu

s (%

)

Rerata SE

B

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 68

Induksi mikronukleus dipengaruhi

oleh laju dosis pada penelitian lain

dilaporkan bahwa pembentukkan mikro-

nukleus yang diirradiasi dengan laju dosis 0,7

cGy/menit sampai 2,6 cGy/menit, responnya

kurang efektif dibanding dengan laju dosis 40

Gy/jam. Demikian pula pada penelitian

Boreham diperlihatkan pola yang sama yaitu

pada laju dosis 0,29 cGy/menit dan 0,15

cGy/menit menunjukkan efek yang lebih

rendah, dibanding dengan laju dosis tinggi

yaitu 70 cGy/menit [16,17].

Penurunan laju dosis dari

0,29cGy/menit hingga 0,15 cGy/menit

mungkin telah mampu menginduksi

penundaan siklus sel sedangkan pada laju

dosis tinggi tidak dipengaruhi. Kemungkinan

penundaan siklus sel yamg diinduksi pada

laju dosis 0,15 cGy/menit tidak diperlukan

untuk pembentukkan mikronukleus pada laju

dosis 0,29 cGy/menit diperlihatkan

penundaan siklus sel tidak merupakan bagian

utama untuk kemampuan menaikkan proses

perbaikan patahan kromosom pada waktu

terjadi penurunan laju dosis. Diduga

penundaan siklus sel mungkin hanya sebagai

efek samping pada laju dosis yang sangat

rendah [16,17].

V. MIKRONUKLEI SEBAGAI

DOSIMETRI BIOLOGI

Beberapa karakteristik yang menjadi

syarat sebagai dosimetri biologi, antara lain

adalah adanya variasi mikronukleus antar

individu. Penelitian oleh Lee TK dkk

mengisyaratkan bahwa mikronuklei dalam

limfosit darah perifer dapat dijadikan sebagai

biodosimeter untuk pajanan akut dan

mungkin juga kronik setelah radiasi in

vivo[18]. Pembedaan antara paparan radiasi

pengion dengan non radiasi juga dapat

diketahui dengan uji mikronuklei

menggunakan pelabelan kromosom. Namun

terdapat variasi yang cukup besar antar-

laboratorium atau antar-individu, terutama

untuk dosis dengan LET rendah, sehingga

masing- masing laboratorium harus

merekontruksi kurva dosis-respon sendiri.

Jumlahnya yang menurun dengan waktu dan

sensitivitasnya rendah menyebabkan uji ini

perlu dipertimbangkan sebagai dosimetri

biologi. Dengan kejadian mikronuklei

spontan antara 3-30 per 1000 BNC, uji ini

juga menjadi kurang diminati, selain dapat

meninggi dengan bertambahnya umur untuk

kejadian MN spontan [1,18]. Peneliti lain

beranggapan bahwa variasi individu tersebut

dipertimbangkan /dianggap sangat kecil dan

dianggap sebagai refleksi dosis fisik yang

diterima setiap individu.

Variasi individu dalam pembentukan

mikronukleus yang di induksi oleh radiasi,

tidak menunjukkan perbedaan yang

bermakna diantara donor karena

kemungkinan pada penelitian tersebut ada

koinsidensi pada seleksi donor dan hasil

penelitian lain dilaporkan bahwa ada variasi

individu yang positif dalam pembentukan

mikronukleus yang dihubungkan dengan

umur yang dipengaruhi oleh jenis kelamin.

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 69

[3,17]. Data yang diperoleh dari hasil

penelitian terhadap ke 8 variasi donor,

dengan kisaran umur 23 sampai 55 tahun,

secara jelas terdapat keterkaitan antara

frekuensi latar mikronukleus dengan dosis.

Radiasi yang menginduksi frekuensi

mikronukleus menunjukkan tidak ada

keterkaitan umur yang bermakna dengan

frekuensi mikronukleus yang terbentuk,

namun demikian variasi yang besar terjadi

antar individu [8].

Dibanding dengan metoda sitogenetik

klasik kajian dosis dengan metoda CB untuk

mikronukleus dalam limfosit tepi ,relatif

lebih sederhana. Dapat dihitung lebih cepat

dan variasi antar scorer kurang berpengaruh.

Salah satu kekurangannya adalah dalam hal

data dasar /latar dari frekuensi mikronukleus,

baik dari segi jumlah, maupun variasi

individu. dibanding dengan aberasi

kromosom. Dengan menghitung 4000-5000

sel pada dosis terendah 0,05 Gy sudah dapat

mendeteksi adanya pembentukkan

mikronukleus. Studi lain telah dilaporkan

menggunakan sistem scoring otomatis

melalui komputer, dengan menghitung sel

binukleat dalam 103, semua keraguan

/ketidakpastian dalam pengkajian dosis

individual adalah 0,25 Gy, sementara dosis

kurang dari 0,3 Gy tidak dapat dideteksi

dengan jelas. Keraguan tersebut terutama

karena variasi mikronukleus antar individu.

Pengembangan untuk kisaran dosis rendah

diperlukan pengetahuan data dasar frekuensi

mikronukleus individu, sebelum irradiasi,

yaitu dengan cara mengukur respon dosis

untuk setiap individu [6].

VI. PENUTUP

Dari hasil kajian diatas, studi

mengenai pembentukan mikronukleui akibat

radiasi dengan menggunakan tehnik CB,

pada limfosit tepi merupakan metoda

radiobiologi yang relevan, bila digunakan

sebagai bidosimetri radiasi. Hubungan respon

mikronukleus dengan dosis untuk LET

rendah digambarkan dengan persamaan

linier qudratik, sedangkan untuk LET tingi

hanya persamannya linier. Induksi

mikronulei juga dipengaruhi oleh laju dosis,

pada laju dosis rendah frekuensinya semakin

turun. Salah satu kekurangannya adalah

dalam hal data dasar /latar dari frekuensi

mikronukleus, baik dari segi jumlah, maupun

variasi individu. Sehingga untuk menerapkan

uji mikronukleus sebagai dosimetri biologi,

diperlukan kalibrasi kurva mikronukleus

pada individu pra pajanan terutama untuk

dosis rendah.

DAFTAR PUSTAKA

1. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY

AGENCY, Biological Dosimetry

Chromosomal Aberration Analysis for

Dose Assessments. Technical Reports

Series No. 260, IAEA, Viena, 25-31,

2001.

2. COUNTRYMAN,P.I., HEDDLE,

J.A.,The production of Micronuclei from

Chromosome Aberration in Irradiated

Culture of Human Lymfocytes, Mutation

Research, 41, 321-331, 1979.

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 70

3. FENECH, M and MARLEY, A.A.

Measurement Of Micronuklei in

Limphocytes. Mutation Research, 147,

29-36 (1985).

4. HEDDLE., J.B and CARRANO, The

DNA Content of Micronuclei Induced in

Bone Marrow by Gamma Irradiation: in

Evident that micronuclei arise from

acentric Chromosomal Fragments.

Mutation Research 44, 63-70, 1977.

5. ALMASSY, Z., KREPINSKY. A.B.,

BIANCO. et. al. The Present State and

Perspectives of Micronucleus Essay in

Radiation Protection. In A Review. Appl

Radiat Isotop .38, 241-249, 1987.

6. KOKSAL, G., DALCI, D.O., and

PALA, F.S., Micronuclei in Human

Lymphocytes: The Co-60 Gamma Rays

Dose Response Mutation Research 161,

193-195, 1996.

7. VRAL, A., VERHAEGEN, H.

THIERENS, H., et.al. The InVitro

Cytokinesis-block Micronucleus Assay:

Detailed Description of an Improved

Slide Preparation Tehnique for The

Automated Detection of Micronuclei in

Human Lymphocytes. Mutagenesis 9,

439-443, 1994.

8. MILL, A.J., WELLS, J., HALL, S.C., et.

al, A. Micronucleus Induction in

Human Lymphocytes: Comparative

Effects of X Rays, Alpha Particles,

Beta Particles and Neutrons and

Implications for Biological Dosimetry,

Radiation Research, 145, 575-585, 1996.

9. PURNAMI, S., LUSIYANTI, Y.,

SYAIFUDIN, M., RHAMADANI, D.,

NURHAYATI, S., TETRIANA, D.,

Radiation Induced Micronuclei in

Lymphocyte Cell of Radiation Workers.

Prociding The International Conference

On Basic Science, Brawijaya University

Malang Indonesia, February 17-18, 2011.

10. SYAIFUDIN, M., dan KANG, C.,

Induksi Aberasi kromosom dan

mikronuklei dalam limfosit manusia

akibat radiasi gamma dan keandalannya

sebagai dosimeter biologi.Prosiding

Seminar Nasional Fisika Universitas

Andalas Padang, 5 September 2007,

ISBN 978-979-25-1951-B.

11. HALL, E.J. Radiobiology for

Radiologist, Fourth Edition. J.B.

Lippincot Company, Philadelphia,

Baltimore New York, London, 161-165,

1993.

12. LITTLE, J.B. What are the Risks of Low

Level Exposure to α Radiation from

Radon. Proc.Natl.Acad. Sci USA. 94,

5996-5997, 1997.

13. VRAL, A., FERHAGEN, F.,

THIERENS, H., et. al. Micronuclei

Induced by Fast Neutron Versus Co-60

Gamma Rays in Human peripheral Blood

Lymphocytes, Int.J. Radiat. Biol 65, no

3, 321-328, 1994.

14. VERHAEGEN. F and VRAL A.

Sensitivity of Micronucleus Induction in

Human Lymphovytes to Low LET

Radiation Qualities : in RBE and

Correlation of RBE and LET. Radiation

Research 139, 208-213, 1994.

15. HUBER, R., SCHRAUBE, H.,

NAHRSTEDT, U., et. al. Dose Response

Relationship of Micronuclei in Human

Lymphocytes Induced by Fission

Neutrons and by Low LET Radiations,

Mutation Research, 306, 135-141, 1994.

16. BOREHAM, D.R., DOLLING, J.A,

MAVES, S.R, et. al. Dose Rate Effect

for Apoptosis and Mikronucleus

Formation in Gamma Irradiated Human

Lymphocytes, Radiation Research 153,

579-586, 2000.

17. VRAL, A., THIERENS, H., BAEYENS,

A. et. al. Study of Dose Rate and Split

Dose Effects on The in vitro

Micronucleus yield in Human

Lymphocytes exposed to X-Rays. Int. J.

Radiat Biol 61. 777-784, 1992.

18. LEE, T-K., ALLISON, R. R.,O'BRIEN,

K. F., NAVES, J. L.KARLSSON, U. L.

and WILEY, A.L., Jr. Persistence of

micronuclei in lymphocytes of cancer

patients after radiotherapy. Radiation

Research,157, 678–684, 2002.

Seminar Nasional Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VII

Jakarta, 6-7 Juli 2011

PTKMR-BATAN, BAPETEN, KEMENKES-RI dan Pusarpedal-KLH 71

TANYA JAWAB

Penanya : Maria Lina

Pertanyaan :

- Dari ke empat uji yang telah dijelaskan,

uji manakah yang paling sensitif dan

spesifik untuk mengetahui kerusakan

kromosom ?

- Apa kelebihan Uji mikronukleus untuk

menganalisis kerusakan kromosom

akibat radiasi?

Jawaban

- Pengujian aberasi kromosom disentrik

adalah pengujian yang paling sensitive

untuk mengetahui kerusakan kromosom

akibat radiasi.

- Untuk uji mikronukleus dari segi

pengamatan lebih cepat dan mudah serta

tidak membutuhkan skill khusus.