tumor sinus maksila
DESCRIPTION
Tumor Sinus MaksilaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Rongga hidung dikelilingi oleh sinus paranasal yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan
posterior, frontal dan sphenoid. Kedelapan sinus ini bermuara ke meatus rongga hidung. Oleh
sebab itu pembicaraan tentang mengenai tumor hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor sinus
paranasal karena keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam
keadaan dini(1).
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak
maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar
1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher(2).
Berdasarkan penelitian dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa
frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari keganasan THT dan berada pada
peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama
Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma
hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus. Kebanyakan melibatkan sinus maksila
diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun (2,3).
1
BAB II
TNJAUAN PUSTAKA
1. SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit di deskripsikan
karena bentuknya sangat variasi pada setiap individu. Ada 4 pasang sinus paranasal, mulai dari
yang terbesar yaitu, 2 buah sinus maksila, 2 buah sinus frontal, 2 buah sinus ethmoid dan 2 buah
sinus sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung(4).
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
berkembang dimulai fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila
dan sinus etmoid telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus
etmoid anterior pada anak berusia kurang lebih 8 tahun(4).
a. Anatomi Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila beberbentuk piramid. Dinding anterior sinus
ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid(4).
2
Gambar 1. Sinus Maksila
b. Fisiologi Sinus Paranasal
Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal, ada
yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka(4).
Beberapa teori yang di kemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:
a. Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi
b. Sebagai penahan suhu
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
d. Membantu resonansi suara
Sinus berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara.
3
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya waktu
bersin dan membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingakn dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk
dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategis(4).
2. TUMOR SINUS MAKSILA
a. Etiologi
1. Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa zat
kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit,
formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat
kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap rokok, makanan
yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya
buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan(2).
2. Pajanan terhadap radio aktif Thorotrast dalam waktu yang lama meningkatkan resiko
tumor sinus maksila
3. Sinusitis kronis meningkatkan resiko terbentuknya tumor
4. Konsumsi tembakau meningkatkan resiko terhadap terbentuknya tumor sinus maksila
(squamous cell carcinoma), meskipun mekanisme serta pengaruh tembakau terhadap
peningkatan resiko ini belum diketahui secara pasti(5).
b. Epidemiologi
Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000
penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina dan India. Di
Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari
seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding
wanita sebesar 2:1(2).
4
Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India dengan perbandingan antara
pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%. Insiden pada tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000
penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan
sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun(1).
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Enam puluh
persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris, 20-30% di dalam rongga nasal,
10-15% di dalam sinus etmoidalis, dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila
hanya melibatkan sinus-sinus paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul di dalam sinus
maksilaris, 22% di dalam sinus etmoidalis dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis(6).
c. Jenis Histopatologi
1. Tumor jinak epithelial : adenoma dan papiloma
2. Tumor jinak non epithelial : fibroma, angiofibroma, hemangioma, neuilemomma,
osteoma, displasia fibrosa dan lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya
ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang dan lain-lain.
3. Tumor ganas epithelial : karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma,
karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain.
4. Tumor ganas non epithelial : hemangiperisitoma, bermacam-macam sarcoma termasuk
rabdomiosarkoma dan osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti
limfoma malignum, plasmasitoma ataupun polimorfik retikulosis sering juga ditemuka di
daerah.
5. Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas
karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia fibrosa
atau pun ameloblastoma(2).
d. Jenis Tumor
1. Tumor jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa, secara makroskopis mirip polip, tetapi
lebih vascular, pada dan tidak mengkilat. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau
fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted yang bersifat sangat invasive
dan dapat merusak jaringan disekitarnya. Tumor ini cenderung residif dan dan dapat berubah
5
menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada laki-lakiusia tua. Terapi untu tumor ini ialah
bedah radikal, misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi medial(2).
2. Tumor ganas
Tipe histologi utama yang sering ditemukan pada tumor ganas regio nasal dan sinonasal
terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau karsinoma epidermoid (46%), limfoma maligna
(14%), adenokarsinoma (13%) terutama berasal dari kelenjar salivari minor atau disebut juga
Schneiderian carcinoma dan melanoma maligna (9%)(5).
e. Manifestasi Klinis
Gejala tergantung dari asal tumor primer serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam
sinus maxilla biasanya tanpa gejala, tetapi biasanya didapatkan darah oada secret hidung dan
adanya gejala obstruksi nasal. Gejala lainnya timbul setelah tumor besar, dapat mendorong atau
menembus dinding tulang dan meluas ke rongga hidung atau mulut, pipi, atau orbita(7).
Tergantung dari perluasan tumor,gejala dapat di kategorikan sebagai berikut:
1. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rhinorea. Sekretnya sering bercampur
darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga
terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung
jaringan nekrotik.
2. Gejala orbital. perluasan tumor ke orbita menimbulkan diplopia, proptosis, atau
penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral. Perluasan tumor kerongga mulut dapat menyebabkan penonjolan atau ulkus
palatum atau prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi geligi goyah. Seringkali pasien
datang ke dokter gigi karena nyeri gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi telah dicabut.
4. Gejala fasial. Perluasan tumor kedepan akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai
nyeri, anestesi atau parastesia muka jika mengenai nervus trigeminus.
5. Gejala Intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuororea, yaitu cairan otak yang
6
keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka nervus otak
lainnya akan terkena. Jika tumor meluas kebelakang, terjadi trismus akibat terkenanya
muskulus pterigoideus disetai anestesi dan parastesi daerah yang di persarafi nervus
maxillaries dan mandibularis.
6. Penyebaran ke sistem limfatik submandibula dan deep cervical nodes (pada keadaan
tumor yang telah bermetastasis)
Saat pasien berobat biasanya tumor sudah dalam fase lanjut. Hal ini yang juga
menyebabkan diagnosis terlambat adalah karena gejala dininya mirip dengan rinitis atau
sinusitis kronik sehingga sering diabaikan pasien maupun dokter(2).
f. Pemeriksaan Fisik
1. Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada asimetri atau
distorsi. Temuan lain yaitu adanya proptosis yang mendorong mata ke atas.
2. Pemeriksaan dinding lateral cavun nasi, jika terdorong ke arah medial menunjukan tumor
berada di sinus maksila.
3. Palapasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi
goyah.
4. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi.
5. Pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasi ke
kelenjar leher(2).
g. Pemeriksaan Penunjang
1. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Biopsi tumor sinus
maksila, daapat dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc yang inisisinya melalui sulcus
ginggivo-bukal
2. Foto polos sinus paranasal, untuk melihat adanya erosi tulang dan perselubungan padat
unilateral.
7
3. CT Scan, sarana terbaik untuk melihat perluasan tumor dan destruksi tulangtulang
4. MRI (Magnetic resonance imaging), baik untuk melihat perluasan tumor ke jaringan
padat dan untuk membedakan jaringan tumor dari jaringan norma tetapi kurang begitu
baik dalam memperlihatkan dsetruksi tulang(2).
8
h. Stadium Tumor Sinus Maksilaris
Cara penentuan stadium tumor sinus maksilaris yang terbaru adalah menurut American
Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu (8):
Tumor Primer (T)
TX Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang
T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan
fossa pterigoid
T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan
subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidalis
T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa
infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus
trigeminal V2, nasofaring atau klivus(8).
9
T1 Terbatas pada mukosa sinus maksilaris
10
T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus
maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan
medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis.
T2 menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga
palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan
dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid
11
Pandangan koronal T4b menunjukkan tumor
menginvasi apeks orbita dan atau dura, otak atau fossa
kranial medial
A.T4a menunjukkan invasi tumor pada anterior orbita. B. T4a menunjukkan
invasi tumor pada sinus sfenoidalis dan fossa kribriformis
Kelenjar getah bening regional (N)
NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0 Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm
N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar ipsilateral <6
cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm
N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm
N2c Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm(8).
12
Metastasis Jauh (M)
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh(8).
Stadium Tumor
Sinus Maksila (8)
T N M
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IVA T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
13
Gambar 8. Klasifikasi kelenjar getah bening regional (N) untuk seluruh
keganasan kepala dan leher kecuali karsinoma nasofaring dan tiroid
IVB T4b Semua N M0
Semua T N3 M0
IVC Semua T Semua N M1
i. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya seperti radiasi
dan kemoterapi sebagai ajuvan sampai saat ini masih merupakan pengobatan utama untuk
keganasan dihidung dan sinus paranasal. Pembedahan dikontraindikasikan pada kasus-kasus
yang telah bermetastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau tumor sudah
mengenai kedua orbita. Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila
perlu dilakukan cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving.
Untuk tumor ganas dilakukan tindakan radikal seperti maksilektomi, dapat berupa
maksilektomi media, total dan radikal. Maksilektomi radikal biasanya di lakukan misalnya
pada tumor yang sudah infiltrasi ke orbita, terdiri dari pengangkatan maksila secara endblok
disertai eksterasi orbita, jika tumor meluas ke rongga intrakranial dilakukan reseksi
kraniofasial atau kraniotomi, tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedah saraf (2).
2. Kemoterapi
Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastase atau yang residif atau jenis
yang sangat baik dengan kemoterapi, misalnya limfoma malignum. Peran kemoterapi untuk
pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk
mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif.
Penggunaan cisplatin intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan
radiasi pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun
sebesar 53%. Pasien yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak
14
untuk dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan
kemoterapi (2,9).
3. Radiasi
Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau sebagai
terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak menyebabkan
kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir
tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka post operasi
lebih dapat diperkirakan(9).
j. Rekonstruksi Dan Rehabilitasi
Sesudah maksilektomi, harus dipasang prostesis maksila sebagai tindakan-tindakan
rekonstruksi dan rehabilitasi, supaya pasien dapat menelan dan berbicara dengan baik, disamping
perbaikan kosmetik melalui operasi bedah plastik. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat
dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot temporalis dengan atau
tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap.
Dengan tindakan ini pasien dapat bersosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat (2,9).
k. Prognosis
Pada umumnya prognosisnya kurang baik, beberapa hal yang mempengaruhi prognosis
antara lain:
a. Diagnosis terlambat dan tumor sudah meluas sehingga sulit mengangkat tumor.
b. Sulit evaluasi paska terapi karena tumor berada dalam rongga
c. Sifat tumor yang agresif dan mudah kambuh
d. Tumor ganas memiliki prognosis yang buruk, hanya 30% dari pasien yang dapat bertahan
dalam 5 tahun. Pada pasien dengan stadium T yang lanjut serta telah terjadi metastasi
regional, dapat bertahan selama 28 bulan meskipun telah mendapatkan terapi berupa
kemoterapi, pembedahan dan radioterapi(10).
15
BAB III
KESIMPULAN
1. Dari kasus tumor sinonasal kebanyakan melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus
etmoid, frontal dan sfenoid.
2. Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa zat
kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit,
formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Selain itu, Alkohol, asap rokok,
makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi
keganasan, pajanan terhadap radio aktif Thorotrast dalam waktu yang lama
meningkatkan resiko tumor sinus maksila.
3. Tumor di dalam sinus maxilla biasanya tanpa gejala, tetapi biasanya didapatkan darah
pada secret hidung dan adanya gejala obstruksi nasal. Gejala lainnya timbul setelah tumor
besar, dapat mendorong atau menembus dinding tulang dan meluas ke rongga hidung
atau mulut, pipi, atau orbita.
4. Penatalaksanaan mencangkup pembedahan, kemoterapi, dan radiasi.
5. Prognosis dari tumor maksila ini buruk yaitu hanya 30% dari pasien yang dapat bertahan
dalam 5 tahun.
16
BAB IV
DAFTAR REFERENSI
1. Dhingra PL. Neoplasms of Nasal Cavity. In : Dhingra PL, Diseases of Ear, Nose and Throat.
3rd Elsevier, New Delhi 2007 ; p. 192-198
2. Roezin, A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. Dalam Soepardi, EA et al., (Eds) Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6 Balai Penerbit
FKUI, Jakarta 2009; p.178-181
3. Tjahdewi, S, Wiratno. Tumor Ganas Hidung Dan Sinus Paranasal Analisa Klinik Pada 55
Penderita. Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Kongress XII. Balai Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang 1999; p. 984-992
4. Soetjipto, D, Mangunkusumo, E. Sinus Paranasal. Dalam Soepardi, Efiaty Arsyad, et al.,
(Eds) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. ed 6 Balai
Penerbit FKUI, Jakarta 2009; p.145-149
5. Cancer Institute Stanford Medicine. Diagnosis and Treatment of Cancer in the Maxillary
Sinuses. Stanford Cancer Institute, California 2010. Available at :
http://cancer.stanford.edu/headneck/sinus/sinus_max.html (Accessed : April 5th 2012).
6. Barnes, L et al., Head and Neck Tumours. In : Barnes, L et al., (Eds) Tumours of the Nasal
Cavity and Paranasal Sinuses. World Health Organization Classification of Tumours.
Pathology and Genetics. Lyon, IARC Press 2005; pp. 12-25
7. Bull, PD. Carcinoma Of The Maxillary Antrum. In : Bull, PD. Diseases of the Ear, Nose and
Throat. 9th Ed Blackwell Publishing Company, UK 2002; p.95-96
17
8. Greene, FL et al., Nasal Cavity and Paranasal Sinuses. In: Greene, FL et al., (Eds) AJJ
Cancer Staging Atlas. American Joint Committee on Cancer, Springer. America 2006; pp.
53-60
9. Bailey JB. Neoplasms of the Nose and Paranasal Sinuses. In : Bailey Jb (Ed) Head and Neck
Surgery – Otolaryngology. 4th Ed, Volume Two, Lippincott Williams and Wilkins,
Philadephia 2006 pp: 1481-1488
10. Jham, BC et al., A case of maxillary sinus carcinoma. Department of Oral Pathology, School
of Dentistry, Universidade Federal de Minas Gerais. Elsevier, Brazil 2005; p. 159. Available
at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1741940905001044 (Accessed : April
5th 2012)
18