tugu digulis

5
Tugu Digulis Monumen Sebelas Digulis Kalimantan Barat , disebut juga sebagai Tugu Digulis atau Tugu Bambu Runcing atau Tugu Bundaran Untan oleh warga setempat, merupakan sebuah monumen yang terletak di Bundaran Universitas Tanjungpura, Jalan Jend. Ahmad Yani, Kelurahan Bansir Laut, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kota Pontianak . Sejarah Monumen yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat H. Soedjiman pada 10 November 1987 ini pada awalnya berbentuk sebelas tonggak menyerupai bambu runcing yang berwarna kuning polos. Pada tahun 1995, monumen ini dicat ulang dengan warna merah-putih. Penggunaan warna merah-putih ini menjadikan sebagian warga menganggap monumen ini lebih mirip lipstik daripada bambu runcing. Kemudian, pada tahun 2006 dilakukan renovasi pada monumen ini sehingga berbentuk lebih mirip bambu runcing seperti penampakan saat ini. Monumen ini didirikan sebagai peringatan atas perjuangan sebelas tokoh Sarekat Islam di Kalimantan Barat, yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Barat karena khawatir pergerakan mereka akan memicu pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan. Tiga dari sebelas tokoh tersebut meninggal pada saat pembuangan di Boven Digoel dan lima di antaranya wafat dalam Peristiwa Mandor. Nama-nama kesebelas tokoh tersebut kini diabadikan juga sebagai nama jalan di Kota Pontianak. Kesebelas pejuang itu antara lain: Achmad Marzuki, asal Pontianak, meninggal karena sakit dan dimakamkan di makam keluarga; Achmad Su'ud bin Bilal Achmad, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor; Gusti Djohan Idrus, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel; Gusti Hamzah, asal Ketapang, wafat dalam Peristiwa Mandor; Gusti Moehammad Situt Machmud, asal gabang, wafat dalam Peristiwa Mandor; Gusti Soeloeng Lelanang, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor; Jeranding Sari Sawang Amasundin alias Jeranding Abdurrahman, asal Melapi, Kapuas Hulu, meninggal karena sakit di Putussibau. Haji Rais bin H. Abdurahman, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor; Moehammad Hambal alias Bung Tambal, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel; Moehammad Sohor, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel; dan Ya' Moehammad Sabran, asal Ngabang, meninggal karena sakit.

Upload: wisda-epri-javas

Post on 12-Aug-2015

219 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Tugu Digulist

TRANSCRIPT

Page 1: Tugu Digulis

Tugu Digulis

Monumen Sebelas Digulis Kalimantan Barat, disebut juga sebagai Tugu Digulis atau Tugu Bambu Runcing atau Tugu Bundaran Untan oleh warga setempat, merupakan sebuah monumen yang terletak di Bundaran Universitas Tanjungpura, Jalan Jend. Ahmad Yani, Kelurahan Bansir Laut, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kota Pontianak.

Sejarah

Monumen yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Barat H. Soedjiman pada 10 November 1987

ini pada awalnya berbentuk sebelas tonggak menyerupai bambu runcing yang berwarna kuning

polos. Pada tahun 1995, monumen ini dicat ulang dengan warna merah-putih. Penggunaan warna

merah-putih ini menjadikan sebagian warga menganggap monumen ini lebih mirip lipstik daripada

bambu runcing. Kemudian, pada tahun 2006 dilakukan renovasi pada monumen ini sehingga

berbentuk lebih mirip bambu runcing seperti penampakan saat ini.

Monumen ini didirikan sebagai peringatan atas perjuangan sebelas tokoh Sarekat Islam di Kalimantan

Barat, yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Barat karena khawatir pergerakan mereka akan memicu

pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan. Tiga dari sebelas tokoh tersebut

meninggal pada saat pembuangan di Boven Digoel dan lima di antaranya wafat dalam Peristiwa

Mandor. Nama-nama kesebelas tokoh tersebut kini diabadikan juga sebagai nama jalan di Kota

Pontianak. Kesebelas pejuang itu antara lain:

Achmad Marzuki, asal Pontianak, meninggal karena sakit dan dimakamkan di makam keluarga;

Achmad Su'ud bin Bilal Achmad, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor;

Gusti Djohan Idrus, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel;

Gusti Hamzah, asal Ketapang, wafat dalam Peristiwa Mandor;

Gusti Moehammad Situt Machmud, asal gabang, wafat dalam Peristiwa Mandor;

Gusti Soeloeng Lelanang, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor;

Jeranding Sari Sawang Amasundin alias Jeranding Abdurrahman, asal Melapi, Kapuas Hulu,

meninggal karena sakit di Putussibau.

Haji Rais bin H. Abdurahman, asal Ngabang, wafat dalam Peristiwa Mandor;

Moehammad Hambal alias Bung Tambal, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven

Digoel;

Moehammad Sohor, asal Ngabang, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel; dan

Ya' Moehammad Sabran, asal Ngabang, meninggal karena sakit.

 Monumen Digulis, yang terdapat di bundaran Universitas Tanjungpura di Jalan Ahmad Yani Pontianak, diresmikan pada 10 November 1987 oleh Gubernur Soedjiman. Monumen yang berbentuk sebelas tonggak bambu runcing tersebut didirikan untuk memperingati sebelas pejuang daerah Kalimantan Barat sebagai pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia.  Mereka adalah:

1. Gusti Soeloeng Lelanang, asal eks Kewedanaan Ngabang, meninggal dibunuh tentara Jepang di Mandor tahun 1942.

Page 2: Tugu Digulis

2. Moehammad Sohor, asal eks Kewedanaan Ngabang, meninggal dalam pembuangan di Boven Digul.

3. Gusti Djohan Idrus, asal eks Kewedanaan Ngabang, meninggal dalam pembuagan di Boven Digul.

4. Gusti Moehammad Situt Machmud, asal eks Kewedanaan Ngabang, meninggal akibat agresi Jepang di Mandor.

5. Achmad Marzuki, asal Pontianak, meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di makam keluarga.

6. Haji Rais bin H. Abdurahman, asal eks Kewedanaan Ngabang, meninggal akibat agresi Jepang di Mandor.

7. Gusti Hamzah, asal Kabupaten Ketapang, meninggal akibat agresi Jepang di Mandor.

8. Achmad Su'ud bin Bilal Achmad, asal eks Kewedanaan Ngabang, meninggal akibat agresi Jepang di Mandor.

9. Moehammad Hambal alias Bung Tambal, asal eks Kewedanaan Ngabang, meninggal dalam pembuangan di Boven Digul.

10.Ya' Moehammad Sabran, asal eks Kewedanaan Ngabang, meninggal dunia karena sakit.

11.Jeranding Sari Sawang Amasundin alias Jeranding Abdurrahman, asal Kampung Melapi, Kapuas Hulu, meninggal dunia tanggal 7 September 1987 di Putussibau.

Kesebelas putra daerah ini, bersama 3 pejuang kemerdekaan yang berasal dari luar Kalimantan Barat, melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia, dikukuhkan sebagai perintis pejuang kemerdekaan. Nama-nama mereka juga diabadikan sebagai nama-nama jalan di wilayah Kotamdya Pontianak. 

Sejarah Tugu Digulis Bundaran UntanMungkin tak banyak orang yang tahu kalau Tugu Digulis di Bundaran Untan merupakan

monumen bersejarah bagi kebangkitan perjuangan pemuda di Kalimantan Barat.

Sepuluh pejuang Kalimantan Barat diabadikan dalam kokohnya bangunan bambu

runcing yang menjulang ke angkasa. Siapa saja kesepuluh pejuang Kalimantan Barat

tersebut?

PRINGGO, Pontianak

PENELUSURAN jejak sepuluh pejuang Kalimantan Barat dalam mengobarkan

semangat anti kolonial Belanda tidaklah mudah. Butuh kecermatan serta ketelitian untuk

menggali informasi. Beruntung Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT)

Pontianak memiliki catatan yang cukup lengkap yang mengisahkan semangat heroik

Page 3: Tugu Digulis

dari kesepuluh pejuang Kalimantan Barat tersebut.

Seperti di ungkapkan kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Lisyawati

Nurcahyani, pergerakan pemuda di Kalimantan Barat ini dimulai dari terbentuknya

Sarikat Islam (SI) di Ngabang pada tahun 1914. Pada masanya, organisasi berbasis

keagamaan ini berhasil menuai simpati dari masyarakat.

Saat sedang jaya-jayanya, tiba-tiba saja pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan

perintah untuk membekukan seluruh kegiatan SI. Kebijakan ini diambil sebagai tindak

lanjut dari maraknya pemberontakan anggota SI di Jawa Barat dan Sumatera. “Karana

ruang geraknya terbatasi, sepulangnya dari Batavia, Gusti Sulung Lelanang langsung

membentuk Partai Sarikat Islam (PSI) pada tahun 1923,” ujarnya.

Kehadiran PSI di tanah Borneo ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat.

Banyak dari pengurus SI yang tertarik untuk meleburkan diri ke PSI. Beberapa tokoh SI

tersebut adalah Muhammad Hambal, Achmad Marzuki, Muhammad Noor, Muhammad

Sood, Gusti Situt Mahmud, Gusti Hamzah, H Rais bin H Abdurrahman, Jeranding

Abdurrahman, dan Gusti Johan Idrus.

Bersama Gusti Sulung Lelanang, kesembilan tokoh SI Kalimantan Barat itu berjuang

mengobarkan semangat kemerdekaan. Alhasil, dalam waktu yang tidak terlalu lama,

jumlah pendukung setia PSI di Kalimantan Barat bertambah banyak. Sayang, semangat

mereka yang menggelora itu ternyata tidak didukung oleh visi dan misi PSI yang kala itu

berhaluan kiri. “Khawatir akan terjadinya pemberontakan, penguasa tanah Borneo lantas

menginformasikan sepak terjang PSI ke Gubernur Jenderal Belanda, di Batavia,” papar

Lisyawati.

Atas saran serta masukan yang diterima, akhirnya Gubernur Jenderal Belanda, di

Batavia memerintahkan pemerintah Hindia Belanda yang ada di tanah Borneo untuk

membubarkan PSI. Tidak hanya itu, dengan kuasa yang dimiliki, pemerintah Hindia

Belanda kemudian mengasingkan sepuluh tokoh pergerakan Kalimantan Barat tersebut

ke ‘Tanah Merah’ di Boven Digoel, Irian Barat atau Papua saat ini.

Pada masa penjajahan Belanda, Boven Digul dahulunya dikenal sebagai tempat

pembuangan pejuang kemerdekaan. Boven Digul terbagi atas beberapa bagian, yakni

Digul Atas, Tanah Merah, Gunung Arang (tempat penyimpanan batu bara), zone militer

yang juga menjadi tempat petugas pemerintah), dan Tanah Tinggi.

Digul Atas, terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah Papua bagian selatan. Dalam

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4, disebutkan Boven Digoel dipersiapkan dengan

tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung tawanan

‘Pemberontakan November 1926.’ Boven Digul kemudian digunakan pula sebagai

tempat pembuangan pemimpin-pemimpin pergerakan nasional. Jumlah tawanannya

tercatat 1.308 orang.

Beberapa tokoh pergerakan nasional yang pernah dibuang ke sana antara lain Sayuti

Melik (1927-1938), Mohammad Hatta (1935-1936), Muchtar Lutffi, Ilyas Yacub (tokoh

Permi dan PSII Minangkabau). Luas Boven Digul sekitar 10 ribu hektar. Daerah itu

berawa-rawa, berhutan lebat, dan sama sekali terasing. Hubungan ke daerah lain sulit,

kecuali melalui laut. Berbagai suku Irian (Papua) yang masih primitif berdiam di

Page 4: Tugu Digulis

sepanjang tepian sungai. Karena belum tersedia sarana kesehatan, penyakit menular

sering berjangkit. “Di sana, kesepuluh tokoh perjuangan Kalimantan Barat bertemu

dengan sejumlah tokoh perjuangan dari daerah lain. Dari mereka, akhirnya para tokoh

perjuangan Kalimantan Barat menyadari bahwa PSI memang tidak sejalan dengan arah

perjuangan bangsa,” paparnya.

Untuk mengenang perjuangan kesepuluh pejuang Kalimantan Barat yang diasingkan di

Boven Digul, pemerintah Kalimantan Barat membuat monumen perjuangan. Bangunan

berbentuk bambu runcing itu terletak persis di tengah Jalan A Yani Pontianak.

Kebanyakan orang mengenalnya dengan sebutan Bundaran Untan. (*)