tugas urgensi pengesahan undang
TRANSCRIPT
POLICY BRIEF
URGENSI PENGESAHAN UNDANG –UNDANG KESEHATAN JIWA DI INDONESIA
RINGKASAN
Kesehatan jiwa telah dipandang dengan penuh stigma sejak lama.
Kehadirannya dianggap tidak lebih penting dibandingkan dengan kondisi
kesehatan fisik. Padahal, dalam definisi kesehatan jiwa menurut Badan Kesehatan
Dunia (WHO), kesehatan individu tidak hanya bergantung pada tiadanya penyakit
tetapi juga keseimbangan psikologis dan fungsi sosialnya juga (Health is a state of
complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of
disease or infirmity, WHO).
WHO (1990) melaporkan dari 10 masalah kesehatan utama yang
menyebabkan disabilitas, 5 diantaranya adalah masalah kesehatan jiwa yaitu;
depresi (1), alkoholisme (4), ganguan bipolar (6), skizofrenia (9) dan obsesif
kompulsif (10). Selain itu WHO memprediksikan pada tahun 2020 mendatang
depresi akan menjadi penyakit urutan kedua dalam menimbulkan beban
kesehatan. Besarnya masalah kesehatan mental di Indonesia mencapai 13.8% dari
seluruh beban penyakit di Indonesia.
Rasio jumlah individu yang mengalami gangguan jiwa sangat besar.
Diperkirakan 30% penduduk mengalami berbagai bentuk masalah gangguan jiwa
semasa kehidupannya, 10% diantaranya mengalami gangguan jiwa berat. Dengan
populasi yang mencapai angka 238 juta jiwa, maka terdapat 66 juta penduduk
Indonesia pernah mengalami gangguan jiwa. Jumlah orang yang terkena dampak
meningkat sangat bermakna bila menghitung minimal 8 orang anggota keluarga
dari penderita ikut terkena dampak dari gangguannya. Jelas gangguan jiwa di
Indonesia berdampak pada lebih dari separuh penduduk. Dan keadaan seperti ini
tidak dapat dibiarkan terus menerus.
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia kurang menjadi perhatian para
pemangku kebijakan. Dilihat dari sedikitnya peran pemerintah dalam optimalisasi
pelayanan kesehatan bagi ODMK. Contoh nyatanya, di sebagian besar Puskesmas
di Indonesia, tidak menjalankan program pelayanan kesehatan jiwa dengan
alasan bahwa kesehatan jiwa tidak termasuk kedalam program pengembangan.
Selain itu juga banyak Dinas Kesehatan yang tidak memiliki program kesehatan
jiwa bagi warganya.Itu apabila dilihat dari segi program,dan apabila dilihat dari
segi dana, alokasi dana pemerintah untuk program kesehatan jiwa ini sangat kecil
dan tidak sebanding dengan beban yang ditimbulkannya.
CONTEXT AND IMPORTANCE PROBLEMS
Majalah TIME edisi 10 November 2003 melaporkan bahwa Indonesia
adalah negara yang memiliki peringkat terendah dalam penyediaan pelayanan
kesehatan mental di Asia. Hal ini diindikasikan oleh rendahnya rasio psikiater
dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia, sebesar 1: 500.000 dan jumlah
sarana perawatan psikiatrik 1 : 30.000. Indikator lain adalah rendahnya jumlah
pekerja kesehatan mental dan terbatasnya anggaran untuk kesehatan mental (1%
dari seluruh total anggaran kesehatan).
Kondisi ini, jika dibiarkan berlanjut, akan semakin memarginalisasikan
layanan kesehatan mental dan akhirnya akan membawa banyak masalah
psikososial di komunitas seperti yang ditunjukkan dengan meningkatnya indeks
bunuh diri, adiksi zat psikoaktif, kekerasan dan banyaknya penderita psikotik
kronik yang menggelandang.
Diperlukan suatu usaha untuk mengadvokasi pentingnya layanan
kesehatan fisik, sementara hak-hak bagi para penderita tidak seluruhnya
diakomodasi oleh hukum. Oleh karenannya perbaikan aspek legal diharapkan
akan membawa perbaikan pada masalah klinis dan persepsi tentang kesehatan
jiwa dalam komunitas.
Beberapa fakta menyebutkan masalah yang terjadi dalam lingkup
kesehatan jiwa diantara kurangnya penyediaan layanan kesehatan mental di
Indonesia; penderita gangguan jiwa seringkali menjadi korban ketidakadilan dan
perlakuan yang semena-mena oleh amsyarakat (kekerasan fisik, emosi, stigma,
eksploitasi oleh media, diskriminasi kebijakan publik seperti asuransi dan layanan
kesehatan umum, kedudukan dalam hukum, pekerjaan dan pendidikan).
Merujuk permasalahan di atas, perlu adanya undang-undang yang lebih
melindungi. Kebutuhan akan perundang-undangan ini memiliki landasan filosofis,
landasan sosiologis, dan landasan yuridis.
FOKUS PERMASALAHANNYA
ODMK (orang dengan maslaah kesehatan jiwa) selama ini mendapat
perlakuan diskriminasi dari pihak sekitrnya, tidak hanya itu, perhatian pemerintah
terhadap mereka pun terkesan minim. Padahal, dengan cara ini, pemerintah secara
tidak langsung melanggar HAM mereka. HAM dari ODMK jelaslah harus
dihargai dan dipenuhi. Akan tetapi, guna terwujudnya kepastian hukum dan
keseimbangan dalam kehidupan ,masyarakat, perlu diupayakan bagi orang-orang
dengan gangguan jiwa untuk melaksanakan kewajiban asasi mereka.
Oleh karena itu, perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan
bagaimana pelaksanaan HAM dari ODMK yang disesuaikan dengan kondisi
keadaaan mereka dan dijustifikasikan dengan kesejahteraan masyarakat; serta
penting untuk diatur tentang kewajiban asasi dari ODMK.
Merujuk pada persoalan diatas, diperlukan kebijakan umum kesehatan
dalam bentuk undang-undang yang baru yang mengakomodasi perbaikan sistem
perundang-undangan yang mengatur hak dan kewajiban hukum bagi ODMK.
Untuk mengurangi perlakuakan salah kepada ODMK, diharapkan dapat
dirumuskan aturan yang lebih lanjut dari ketentuan UU No.23 tahun 1992 tentang
Kesehatan berkenaan dengan edukasi atau pemberian informasi kepada
masyarakat tentang kesehatan jiwa.
Dengan melihat besaran masalah yang telah diuraikan diatas, jelas sangatlah perlu
untuk membentuk UU Kesehatan Jiwa yang materinya mencakup :
Pencegahan perlakuan salah dan diskriminasi pada penderita gangguan jiwa
Perlindungan hak-hak penderita gangguan jiwa terhadap perlakuan salah dan diskriminasi
Meningkatkan upaya layanan kesehatan jiwa masyarakat.
Gambaran singkat penyebab terjadinya permasalahan.
Kemiskinan dan himpitan ekonomi menjadi penyebab tingginya jumlah
orang yang mengkhiri hidup. Faktor penyebab orang nekat bunuh diri karena
kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta
penggusuran. Semua itu berpotensi meningkatkan depresi akibat bertambahnya
beban hidup. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health
Organization yang dihimpun tahun 2005-2007 sedikitnya 50 ribu orang Indonesia
bunuh diri. Jumlah kematian itu belum termasuk kematian akibat overdosis obat
terlarang yang mencapai 50 ribu orang setiap tahun. Dan dari jumlah tersebut,
41% bunuh diri dilakukan dengan cara gantung diri dan 23% dengan cara
meminum racun serangga. (www.vhrmedia.com)
Data Departemen Kesehatan menyebutkan, beberapa daerah memiliki
tingkat bunuh diri tinggi, antara lain Provinsi Bali mencapai 115 kasus selama
Januari – September 2005 dan 121 kasus selama tahun 2004. Pada 2004 di
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, tercatat 20 kasus bunuh diri dengan korban
rata-rata berusia 51-75 tahun. Kasus bunuh diri di Jakarta sepanjang 1995-2004
mencapai 5,8% per 100 ribu penduduk, kebanyakan lelaki. Dari 1.119 orang
bunuh diri di ibu kota negara, 41% dengan cara gantung diri, 23% menenggak
racun. Selain itu, 256 orang menemui ajal akibat overdosis obat. Tingginya angka
bunuh diri di Indonesia mendekati negara pemegang rekor dunia seperti Jepang
mencapai lebih dari 30 ribu orang per tahun dan China yang mencapai 250 ribu
orang per tahun. (www.vhrmedia.com)
Semua tragedi diatas hanya merupakan ujung gunung es dari
permasalahan kesehatan jiwa yang dihadapi oleh seluruh penduduk Indonesia.
Krisis ekonomi yang belum mereda telah menimbulkan dampak terjadinya
pengangguran dan persaingan yang makin ketat dalam berbagai bidang, baik
dalam pekerjaan maupun sekolah. Masyarakat dituntut untuk lebih cepat
beradaptasi, namun tidak semua individu dalam masyarakat mempunyai
kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Pada
kota-kota besar faktor pemicu penyakit jiwa ditambah lagi dengan carut marutnya
lalu lintas dan kerawanan sosial yang tinggi membuat stres dan meningkatnya
perilaku agresif penduduk kota. Khusus untuk masyrakat Papua perubabahan
socio-politik dan factor ekonomi akan merupakan stressor pemicu kelainan jiwa
pada penduduk.
Kondisi demikian sangat rentan terhadap terjadinya stress, anxietas,
konflik, depresi, ketergantungan terhadap NAPZA, perilaku seksual menyimpang,
serta masalah-masalah psikososial lainnya. Lebih lanjut, Persatuan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa memperkirakan 1 dari 4 penduduk Indonesia mengidap
penyakit jiwa. Artinya, diperkirakan sekitar 25% penduduk Inonesia diperkirakan
mengidap penyakit jiwa dari tingkat paling ringan sampai berat.
Perbandingan kepekaan pemerintah terhadap masalah kesehatan jiwa, yang
terjadi di negara-negara lain.
Berbagai negara telah memberlakukan Undang-undang Kesehatan Jiwa,
diantaranya UU Kesehatan Jiwa Korea, UU Publik Italia (1978), UU Kesehatan
Mental di Inggris dan Wales (1983), UU Perawatan Psikiatri Federasi Rusia
(1992), UU Kesehatan Jiwa Belarusia (1999), UU Kesehatan Jiwa Jepang (1950),
UU Kesehatan Jiwa Austria, UU Kesehatan Jiwa Argentina (1991), UU
Kesehatan Jiwa Pakistan (2001), UU Kesehatan Jiwa Tunisia (1992), RUU
Kesehatan Jiwa Cina (berlangsung lebih dari 16 tahun). Juga Sri Lanka yang
membuat The Mental Health Policy of Sri Lanka (2005-2015) sebagai respon dari
pasca tsunami 2004 (padahal dampak tsunami 2004 lebih berat dirasakan di
Indonesia). Bahkan Ghana juga sedang berproses memformulasikan UU
Kesehatan Jiwa untuk menanggulangi stigma sebagai penghambat utama
pelayanan Kesehatan Jiwa.
Sebenarnya Republik Indonesia juga pernah mempunyai UU Kesehatan
Jiwa Nomor 3 Tahun 1966. Disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 11
Juni 1966 oleh Presiden Republik Indonesia, Sukarno, dan Sekretaris Negara,
Mohd. Ichsan. Namun “terlipatnya” masalah Kesehatan Jiwa yang sesungguhnya
begitu universal (tidak mempan dan tidak cukup hanya dengan pendekatan medis)
dan meminta pertanggungjawaban lintas kementerian dan lembaga, ke dalam
Undang-undang Kesehatan, merupakan sebuah deteriorasi atau kemunduran.
TAHAPAN PEMBUATAN KEBIJAKAN
Dilakukan FGD dengan banyak pihat yang terkait terhadap keswa ini,
baik yang terkait secara langsung, maupun yang tidak langsung. Lalu Hasil dari
pelaksanaan Focus Group Discussion ini nantinya akan diserahkan ke Badan
Legislasi pada bulan November. Sebagai catatan bahwa Indonesia semakin
tertinggal dari bangsa-bangsa lain, setelah Ghana mulai menyusun RUU
Kesehatan Jiwa.
Ada 3 alternatif untuk meloloskan RUU Kesehatan Jiwa menjadi sebuah
undang-undang yang berdiri sendiri:
1. Amandemen amanat PP Kesehatan Jiwa dalam UU No. 36 tahun 2009
2. Pengayaan Bab Kesehatan Jiwa dengan tetap di bawah paying UU No. 36
tahun 2009
3. Membuat UU Kesehatan Jiwa dengan penjelasan bahwa Bab Kesehatan
Jiwa dan pasal-pasal terkait Kesehatan Jiwa dalam UU No. 36 tahun 2009
TIDAK LAGI BERLAKU karena digantikan oleh UU Kesehatan Jiwa.
Namun perlu diperhatikan, content dari RUU Kesehatan Jiwa ini jangan
sampai saling tumpang tindih dengan undang-undang yang lain, misalkan UU
Kesehatan, Disabilitas, dsb. Sedangkan aspek mengenai tenaga kesehatan yang
bekerja di RSJ, pembahasannya masuk dalam RUU Keperawatan yang sampai
hari ini masih dibahas di Komisi IX DPR.
Adapun beberapa masukan dari Rahmat Hidayat selaku legal drafter,
bahwa tugas dari DPR diantaranya wajib menyerahkan draft RUU Kesehatan Jiwa
ini kepada pemerintah melalui Badan Legislasi. Mengenai RUU Kesehatan Jiwa
ini merupakan keputusan politik dari DPR dan diserahkan kepada pemerintah,
apakah pemerintah menyetujuinya atau tidak.
Ada 3 kemungkinan RUU Kesehatan Jiwa ini setelah dimasukkan ke Badan
Legislasi, diantaranya:
1. Diterima, berarti RUU inisiatif DPR ini diserahkan kepada pemerintah
untuk dijadikan undang-undang
2. Ditolak, ini berarti perjalanan RUU Kesehatan Jiwa berhenti dan bisa
diusulkan kembali pasca pemilu 2014
3. Dikembalikan untuk diperbaiki, berarti masih ada kesempatan untuk
diperbaiki kembali dalam beberapa kali masa sidang.
Target penyerahan draft RUU Keswa kepada Badan Legislasi DPR
selambat-lambatnya pada bulan November untuk kemudian dibahas pada sidang
paripurna. Empat sampai dengan lima kali pertemuan tim perumus dan pokja
RUU Keswa, diharapkan sudah dapat melahirkan Naskah Akademik baru beserta
draft RUU Kesehatan Jiwa, demikian disampaikan Rahmat Hidayat.
Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat menanyakan
positioning dari komisi VIII dan kementerian sosial dalam pembahasan RUU
Keswa ini. Yeni mengatakan, bahwa pihaknya ketika ada di lapangan seringkali
harus berurusan dengan Kementerian Sosial terkait advokasinya kepada
penyandang gangguan kejiwaan (ODMK) dan lain-lain.
Pada bulan Maret yang lalu pihaknya melakukan RDPU dengan Komisi
VIII untuk menyampaikan beberapa hal terkait keberadaan panti-panti yang ada
hubungannya dengan Kementerian Sosial. Dalam hal ini terkait dengan unit-unit
usaha, kesempatan kerja, dll.Isu-isu strategis tersebut menjadi penting dan wajib
untuk dimasukkan dalam Draft Ruu Kesehatan Jiwa. Harus ada keterlibatan lintas
komisi dan lintas kementerian dalam pembahasan RUU ini, terang Yeni.
CRITIQUE OF POLICY OPTIONS
Keberlakuan undang-undang yang khusus mengatur tentang kesehatan
jiwa seyogyanya dapat merumuskan peraturan yang jelas mengenai kriteria dan
batasan “cakap” dari para penderita tangguan jiwa, yang dikaitkan dengan
gangguan jiwa yang dideritanya. Baik di bidang hukum perdata maupun hukum
pidana.
Beberapa perbuatan di bidang hukum perdata yang perlu diatur antara
lain adalah : perkawinan, adopsi anak, wali atas anak serta mengadakan perikatan.
Pengaturan kriteria “cakap” untuk mengadakan perikatan dimaksudkan untuk
memberikan batasan yang jelas mengenai perikatan yang dapat diadakan sendiri
oleh si penderita gangguan jiwa.
Dengan demikian, hednaknya diatur dengan lebih komperhensif siapakah
yang berwenang menentukan keadaan atau kondisi seorang penderita gangguan
jiwa, termasuk kualifikasi dan batasan kewenangannya. Menginat penilaiannya
memiliki dampak hukum kepada penderita gangguan jiwa, tentu perlu diatur
dengan jelas jangka waktu keberlakuan penilaian tersebut; dalam hal ini kalau
perlu dapat diminta evaluasi berkala.
Bagi para penderita gangguan jiwa dengan kondisi tertentu dapat
dikenakan kewajiban mengikuti pelatihan khusus sebelum dapat melakukan
perbuatan hukum tertentu, khususnya bagi para penderita gangguan jiwa yang
tingkat keparahan gangguan jiwa yang diderita sempat membuat penderita
dikategorikan “tidak cakap” untuk kurun waktu tertentu. Oleh sebab itu,
hendaknya dirumuskan badan atau lembaga yang berwenang melakukan pelatihan
khusus bagi para penderita gangguan jiwa tersebut.
Lebih lanjut, perlu diatur mengenai kriteria seorang terdakwa yang tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban berkenaan dengan kejahatan dan atau
pelanggaran yang dilakukannya akibat gangguan jiwa yang dideritanya. Untuk
itulah, perlu dirumuskan persyaratan dan kualifikasi badan yang memiliki
wewenang untuk mengadakan pemeriksaan dan memberikan penilaiain dan atau
mengambil keputusan tentang dapat atau tidaknya seorang penderita gangguan
jiwa dimintakan pertanggungjawabannya atas kejahatan atau pelanggaran yang
dilakukannya, serta kekuatan mengikat dari penilaian tersebut.
Apabila seorang penderita gangguan jiwa diputuskan tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya atas kejahatan dan atau pelanggaran yang
dilakukannya, hednaknya dirumuskan pengobatan atau perawatan yang wajib
diikutinya sebagai pengganti hukuman, sehingga, asas keadilan dalam hukum
pidana dapat tetap dijunjung.
Diharapkan dengan keberadaan undang-undang yang khusus mengatur
tentang kesehatan jiwa, dapat tercipta kepastian hukum dan perlindungan hukum,
baik dalam bidang hukum pidan dan hukum perdata, bagi para penderita
gangguan jiwa, masyarakat dan aparat penegak hukum.
Kenapa pendekatan ini selalu gagal ?
RUU Kesehatan Jiwa yang disepakati Komisi IX DPR RI sebagai salah
satu dari 4 RUU Prioritas 2012, tidak lolos sebagai RUU Prioritas karena menurut
Badan Legislasi setiap komisi hanya mendapatkan 2 jatah RUU untuk dibahas
pada tahun 2012. Komisi IX DPR RI mendapatkan 3 jatah RUU Prioritas: revisi
UU 39/2004, RUU Keperawatan, dan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT). RUU
PRT sudah tiga tahun menjadi prioritas dan masih belum membuahkan hasil.
HARAPAN PENULIS
Policy Brief ini diharapkan dapat merubah pandangan pembaca tentang
pentingnya pengesahan UU Kesehatan Jiwa di Indonesia dan memperoleh
banyaknya opini positif dan dukungan masyarakat luas tentang percepatan waktu
pengesahannya, karena dapat membantu meningkatkan status aturannya dan
menyempurnakan atau memperbaiki materi Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri Kesehatan yang bersangkutan, sehingga merupakan aturan yang
menghadirkan kepastian hukum dan keadilan yang merupakan tujuan hukum kita,
sehingga meningkatkan pula perlindungan kepada profesi medis, memajukan ilmu
kedokteran demi pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi pembagunan kesehatan
seluruh rakyat atau warga negara Indonesia. Keluaran yang diharapkan adalah
adanya kebijakan umum kesehatan dalam bentuk undang-undang baru yang
mengakomodasi perbaikan sistem perundang-undangan yang mengatur hak dan
kewajiban hukum bagi penderita gangguan jiwa.
Kebijakan yang baru tersebut diharapkan mampu mencakup materi mengenai
pencegahan perlakuan salah dan diskriminasi pad apenderita gangguan
jiwa,perlindungan hak-hak penderita gangguan jiwa terhadap perlakuan salah dan
diskriminasi, serta upaya peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa masyarakat
yang kesemuanya diharapkan dapat mengoptimalkan kualitas hidup penderita
gangguan jiwa.
Beberapa materi pokok yang penting tercantum dalam undang-undang kesehatan
jiwa meliputi :
a. Definisi atau batasan yang jelas mengenai kesehatan jiwa, gangguna jiwa
dan berbagai macam jenisnya, upaya kesehatan jiwa, tenaga kesehatan
jiwa, serta kemampuan bertanggung jawab.
b. Penetapan Status. Perlu adanya Komisi Perlindungan dan Badan
Penetapan Status penderita gangguan jiwa yang bertugas untuk melakukan
advokasi terhadap penderita gangguan jiwa yang beresiko mengalami
perlakuan salah.
c. Akses terhadap layanan kesehatan jiwa.
d. Penyedia layanan kesehatan jiwa lain. Perlu mekanisme pengaturan dan
pengawasan kegiatan di fasilitas-fasilitas tersebut, misalnya seperti
wewenang yang dapat dilakukan dan kontrol terhadap kualitas layanan
yang diberikan.
e. Kerahasiaan informasi kesehatan jiwa. Kerahasiaan dokumen medis dan
informasi mengenai kondisi kesehatan pasien gangguan kesehatan jiwa
perlu diatur secara khusus dalam undang-undang. Hal tersebut untuk
melindungi pasien gangguna jiwa dari diskriminasi maupun perlakuan
pelanggaran hak asasi manusia terhadap pasien.
f. Pengembangan layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Perlunya suatu
perangkat perundang-undangan yang mengatur kewajiban pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah untuk menumbuhkembangkan upaya
kesehatan jiwa berbasis masyarakat.
g. Perlindungan terhadap kelompok resiko tinggi.
h. Pembiayaan. Perlunya pengaturan sumber pendanaan layanan kesehatan
jiwa dari keluarga, negara, atau sistem pendanaan seperti asuransi.