tugas makalah ebby
TRANSCRIPT
KENDALA PENERAPAN UU NO. 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DI KOTA
TANJUNGPINANG
1. Pendahuluan
Era reformasi telah membawa banyak perubahan terhadap kehidupan bernegara bangsa
Indonesia, dimana pemerintah pusat dengan UU No. 32 tahun 2004 telah memberikan
kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan daerahnya
dengan asas yang dinamakan asas desentralisasi. Konsep desentralisasi ini diwujudkan dalam
sistem perencanaan pembangunan nasional dengan dengan terbitnya UU No. 25 tahun 2004
tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang telah membawa perubahan terhadap
struktur perencanaan pembangunan nasional di Indonesia.
Tanjungpinang sebagai salah satu daerah otonomi yang mendapat mandat untuk melaksanakan
konsep desentralisasi tersebut berusaha untuk melaksanakan sistem perencanaan pembangunan
nasional sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU No. 25 tahun 2004.
Sebagai daerah yang secara geografi dikelilingi oleh laut maka konsep perencanaan
pembangunan yang berusaha diusung adalah yang mampu mengakomodir sumber daya kelautan
tersebut dan menjadikan laut sebagai salah satu faktor pendukung kemajuan pembangunan
nasional alih alih sebagai penghalang kemajuan.
Tentunya konsep tersebut harus benar – benar meneliti segala potensi yang ada sebagai daerah
maritim dan tidak serta merta meniru habis konsep pembangunan daerah lain, misalnya derah di
Jawa yang nota bene merupakan daerah agraris. Untuk itu diperlukan sinergi dengan semua
pihak yang terkait dalam perencanaan pembangunan Tanjungpinang dengan didukung oleh
sumber daya perencana yang berkualitas
Tulisan ini akan mencoba membahas implementasi dari sistem perencanaan pembangunan
nasional sesuai dengan UU No. 25 tahun 2004 di Kota Tanjungpinang serta hambatan dan
tantangan yang menyertainya.
2. Gambaran umum kota Tanjungpinang
Kota Tanjungpinang merupakan Ibukota Propinsi Kepulauan Riau yang terletak di pulau Bintan.
Secara geografis wilayah kota Tanjungpinang berada pada posisi 00 50’ 54,62” lintang utara dan
1040 20’ 23,4” sampai 1040 32’ 49,9” bujur timur (sumber data RDTRK kota Tanjungpinang
2004 – 2014) dan pulau – pulau yang mengelilinginya.
Sementara itu jika dilihat dari pembagian daerah administrasi, kota Tanjungpinang dibagi
menjadi 4 (empat) kecamatan dan 18 kelurahan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk
seperti tertera pada tabel
Kecamatan Luas (km2) Penduduk Kepadatan/km2
(1) (2) (3) (4)
1. Bukit Bestari
2. Tg. Pinang Timur
3. Tg. Pinang Kota
4. Tg. Pinang Barat
69,0
83,5
52,5
34,5
56,847
47,054
20,160
53,903
823
564
384
1562
Sumber : RPJMD kota Tanjungpinang tahun 2008 – 2013
Dilihat dari sisi pendidikan maka dapat diuraikan sebagai berikut :
Pendidikan tertinggi yang ditamatkan persentase
1. Tidak/belum pernah sekolah
2. SD/MI Sederajat
3. SLTP/MTS/Sederajat
4. SMU/MA/SMK/Sederajat
5. Diploma I/II/III
6. DIV/S1
7. S2/S3
19,4 %
21,2%
21,7%
29,16%
3,9%
4,2%
0,3%
Jumlah 100%
Sumber : RPJMD kota Tanjungpinang tahun 2008 – 2013
Berdasarkan kedua tabel diatas ada dua hal yang cukup menarik dan menjadi karakteristik dasar
kota Tanjungpinang yaitu jumlah kepadatan penduduk yang diatas rata – rata nasional
(kepadatan penduduk Indonesia 99/km2; sumber BPS 2010) dan tingkat pendidikan SLTA
kebawah yang mendominasi hampir 90 persen lebih struktur pendidikan penduduknya. Kedua
hal ini menarik untuk dicermati karena akan menjadi faktor penghambat untuk penerapan sistem
perencanaan pembangunan nasional berdasarkan UU No. 25 tahun 2010 yang akan dibahas lebih
lanjut.
3. Karakteristik UU No. 25 tahun 2004
Seperti kita ketahui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional menyatakan adanya pendekatan partisipatif selain proses teknokratik,
politik, serta bawah ke atas dan atas ke bawah dalam perencanaan pembangunan di Indonesia.
Pendekatan perencanaan partisipatif ini salah satunya direalisasikan melalui musyarawah
perencanaan pembangunan (Musrenbang) mulai dari tingkat terkecil di desa/kelurahan hingga
tingkat nasional.
Dalam pendekatan partisipatif ini, semangat partisipatif-lah sebenarnya yang ingin dibangun
dalam masyarakat berkaitan dengan cita-cita pembangunan yang diinisiasi dan dikembangkan
oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini merujuk kepada pemahaman bahwa masyarakat harus
memiliki kapasitas yang baik dalam berpartisipasi dalam pembangunan dengan mengenal baik
kebutuhannya sehingga dapat mengakomodasinya dalam perencanaan, impelementasi dan
monitoring. Pernyataan ini juga sejalan dengan konsep pembangunan dari bawah (development
from below) juga menjadi pendekatan dan konsep yang terkait karena pembangunan yang
dilaksanakan harus memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Partisipasi masyarakat ini seringkali
suatu fondasi yang sulit dibangun karena berbagai kendala sehingga pada akhirnya perencanaan
partisipatif menjadi konsep yang “indah” dan tidak operasional. Sementara itu, benturan
kepentingan antara berbagai stakeholders ujung-ujungnya menjadi lebih rumit dan hasil dari
partisipasi masyarakat pun tidak menjadi berarti.
Beberapa kelemahan dalam UU ini dapat didaftarkan sebagai berikut :
1. Panjangnya proses pengusulan membuat aspirasi masyarakat sudah melewati masa
kebutuhan program
2. Visi dan misi merupakan wacana, sehingga usulan program sering tidak mengacu pada visi
dan misi tersebut.
3. Penetapan skala prioritas lebih kepada keinginan pihak – pihak tertentu dibandingkan asas
kebutuhan
4. Usulan kegiatan di Musrenbang sering tidak mencerminkan 100% kehendak masyarakat.
Selain hal diatas ada hal positif lainnya yang berusaha dicapai dalam UU ini yaitu :
1. Adanya koordinasi antar pelaku pembangunan secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan
perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan kewenangannya.
2. Rencana pembangunan dibuat lebih sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap
terhadap perubahan.
3. Pengendalian pengambilan keputusan dengan penentuan prioritas, kegiatan disusun dengan
mengacu pada sasaran program dan informasi atas hasil evaluasi dan monitoring.
4. Penerapan UU No 25 tahun 2004 Tentang sistem perencanaan pembangunan nasional
di Kota Tanjungpinang
Seperti telah dijelaskan diatas karakteristik utama penduduk kota Tanjungpinang adalah tingkat
pendidikan lebih dari 90 % adalah hanya tamatan SLTA kebawah sehingga hal ini juga
mempengaruhi pola pikir dari masyarakatnya.
Berdasarkan pengamatan penulis sewaktu ditugaskan mengikuti musrenbang maka ada beberapa
hal yang menjadi kendala pelaksanaan UU No. 25 tahun 2004 sebagai berikut :
1. Belum efektifnya forum musrenbang; memang ada beberapa keluhan terhadap hasil
musrenbang yang telah dilakukan selama ini, yakni bahwa hasil musrenbang tidak dapat
diakomodir seluruhnya dalam dokumen perencanaan daerah. Hal ini terkait dengan berbagai
hal, salah satunya adalah keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah daerah. Ke depan,
efektivitas musrenbang ini perlu lebih ditingkatkan, dengan memperhatikan ketersediaan
anggarannya sehingga tidak menjadi bahan komplain masyarakat
2. UU No. 25 tahun 2004 menuntut partisipasi aktif masyarakatnya sejak tahap usulan program
di tingkat RT/RW yang selanjutnya akan dibawa ke forum musrenbang sesuai dengan
jenjangnya. Usulan program yang optimal akan dapat dicapai jika pemahaman masyarakat
tentang arah yang ingin dicapai dalam pembangunan itu telah sama – sama dimengerti. Pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah cenderung mereka lebih apatis dan pasif dan
menyerahkan urusan ini kepada orang – orang yang mereka anggap mau mengurusnya,
sehingga yang terjadi adalah usulan yang masuk bukan merupakan gambaran menyeluruh
dari kebutuhan suatu desa/kelurahan/kecamatan, namun lebih banyak pada agenda
perseorangan/kelompok.
3. Sinkronisasi yang kurang antara usulan musrenbang dengan implementasi di tingkat SKPD
yang disebabkan campur tangan berbagai pihak. Hal ini juga disebabkan kelemahan UU No.
25 tahun 2004 itu sendiri yang tidak mengatur secara tegas tentang sanksi yang dikenakan
jika implementasi usulan di musrenbang pada tingkat program di masing – masing SKPD
tidak dilaksanakan. Dampak negatif yang timbul adalah ketidakpercayaan masyarakat
terhadap forum musrenbang itu sendiri.
4. Terlalu banyak produk perencanaan; menurut UU No 25 Tahun 2004, pemerintahan daerah
diwajibkan menyusun RKPD, RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD. Jika
dibandingkan pada waktu sebelumnya, jumlah dokumen rencana yang harus disusun oleh
daerah sudah jauh berkurang, karena dahulu masih ada tambahan Propeda (Program
Pembangunan Daerah) dan Poldas (Pola Dasar). Saat ini, baik Propeda maupun Poldas
sudah tidak ada lagi. Namur demikian, masih terlalu banyak dokumen yang harus disusun,
sehingga cukup memberatkan. Hal ini dikaitkan dengan SDM perencana di pemerintah
daerah kota Tanjungpinang yang secara umum masih kurang dan belum menguasai tata cara
pembuatan dokumen diatas.
5. Ketidakselarasan substansi antara satu produk perencanaan dengan yang lainnya; seringkali
masalah yang dihadapi adalah “tidak nyambung” antara dokumen yang satu dengan lainnya.
Hal tersebut disebabkan tidak adanya koordinasi antara tim satu dengan lainnya.
6. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN mengandaikan porsi yang berimbang, saling
melengkapi, dan harmonis antara pendekatan teknokratik, administratif (top-down dan
bottom-up), politik, dan partisipatif. Namun demikian, ada berbagai kerangka regulasi
lainnya pada tingkat Undang-undang , PP, Perda, bahkan setingkat Peraturan Menteri, yang
bertentangan dengan asumsi dari SPPN, karena justru lebih memperkuat pendekatan
administratif (top-down dan bottom-up) dalam proses perencanaan. Akibatnya adalah
menimbulkan kebingungan dari pihak pemerintah daerah tentang penerapan UU itu sendiri.
5. Penutup
Dari uraian mengenai kendala yang dihadapi dalam penerapan UU No. 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan pembangunan Nasional di kota Tanjungpinang dapat diambil kesimpulan
berbagai masalah tersebut berakar dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
berkaitan dengan kelemahan yang ada pada UU itu sendiri sehingga begitu dibawa ke ranah
aplikasi menimbulkan kesulitan pada pihak yang melaksanakannya.
Sementara faktor eksternal berkaiatan dengan kelemahan yang dimiliki oleh pihak yang
melaksanakan UU itu sendiri, baik ditingkat masyarakat maupun di tingkat aparatur
pemerintahnya. Belum ditambah adanya regulasi – regulasi lain seperti setingkat UU, PP, Perda
yang justru bertentangan dengan Asumsi UU No. 25 tahun 2004, sehingga menambah kompleks
permasalahan.
Untuk tingkat kota Tanjungpinang hal yang paling penting untuk dibenahi agar UU ini dapat
dilaksanakan secara optimal adalah berusaha dengan sungguh – sungguh agar hasil musrenbang
benar – benar tercermin dalam program setiap SKPD dengan menghilangkan usulan – usulan
sepihak yang hanya mencerminkan kepentingan kelompok/golongan. Perlu juga dilakukan
pembenahan internal di tingkat pemerintah daerah dengan menambah SDM perencana di setiap
dinas. Selama ini terkesan pemerintah daerah kota Tanjungpinang belum memneri perhatian
besar terhadap jabatan fungsional perencana.
6. Daftar Pustaka
1. Undang - Undang No. 25 tahun 2004 “tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional”
2. Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 “tentang Pemerintahan daerah”
3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kota Tanjungpinang tahun 2008 – 2013
4. Biro Pusat Statistik kota Tanjungpinang tahun 2010
5. Solihin, Dadang “Pelatihan Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Pembangunan
Daerah