tugas kelompok-rita

9
1 I. PENDAHULUAN Penyakit HIV AIDS merupakan isu etik manajemen informasi kesehatan yang sensitif. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalahvirusyang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian dapat menimbulkan AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kondisi medis berupa kumpulan tanda dan gejala yang diakibatkan oleh men atau hilangnya kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV, sering berwujud inf yang bersifat ikutan (oportunistik) dan belum ditemukan vaksin serta obat penyembuhannnya. Salah satu dari delapanstrategi pembangunan milenium semesta (Millennium Development Goals;MDGs) mengisyaratkan semua negaradi dunia untuk memerangi penularan HIV-AIDS. Pada tahun 2008 di seluru duniajumlahorang yang hidup dengan HIV-AIDS terus meningkatdan diperkirakan telah mencapai angka 33,4 jutajiwa. Jumlah ini lebih banyak 20% dibandingkan data pada tahun 2000 dan angka prevalensinya telah meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1990. Di Indonesia, HIV-AIDS yang merupakan new emergingdiseases, telah merupakan pandemi di semua kawasan (Depkes, 2001). Pada tahun 2005 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 2639 Kasus,tahun 2006 berjumlah 2873 kasus, Tahun 2007 berjumlah 2947 kasus, tahun 2008 berjumlah 4969 kasus, tahun 2009 berjumlah 3863 kasus , tahun 2010 berjum 4158 kasus, dan sampai dengan juni tahun 2011 secara kumilatif jumlah kas AIDS yang dilaporkan berjumlah 26.483kasuspada 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota yang melapor. Epidemi HIV/ AIDS akan menimbulkan dampak buruk terhadap Pembangunan Nasional secara keseluruhan, karena selain berpengaruh terhad kesehatan juga terhadap sosio-ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Pengalaman menunjukkan hanya dengan kepemimpinan dan respon yang saat ini akan bisa menghindari terjadinya bencana nasional untuk anak dan kita di masa yang akan datang. AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrom merupakan kumpulan gejala penyakit yang pertama kali dilaporkan pada tahun Amerika Serikat. Virus yang disebut HIV (Human Immuno Deficiency yang diidentifikasi pada tahun 1983. sebagai penyebabnya. HIV ada RNA, merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV te dari 2 sub-type, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Virus ini menyerang sel limfosit- (salah satu sel darah putih). Epidemi HIV/AIDS di Indonesia sangat mengan oleh karenakaitannya dengan faktor risiko, terutama perilaku seksual dan penggunaan NAPZA suntik yang semakin meningkat dalam tiga tahun terakhir ini. Meskipun telah banyak dilaksanakan kegiatan penanggulangan HIV. AIDS oleh sektor – sektor terkait namun di Indonesia belum berhasil

Upload: achriani-anhi-m

Post on 21-Jul-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

I.

PENDAHULUAN Penyakit HIV AIDS merupakan isu etik manajemen informasi kesehatan yang sensitif. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian dapat menimbulkan AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kondisi medis berupa kumpulan tanda dan gejala yang diakibatkan oleh menurunnya atau hilangnya kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV, sering berwujud infeksi yang bersifat ikutan (oportunistik) dan belum ditemukan vaksin serta obat penyembuhannnya. Salah satu dari delapan strategi pembangunan milenium semesta (Millennium Development Goals; MDGs) mengisyaratkan semua negara di dunia untuk memerangi penularan HIV-AIDS. Pada tahun 2008 di seluruh dunia jumlah orang yang hidup dengan HIV-AIDS terus meningkat dan diperkirakan telah mencapai angka 33,4 juta jiwa. Jumlah ini lebih banyak 20% dibandingkan data pada tahun 2000 dan angka prevalensinya telah meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1990. Di Indonesia, HIV-AIDS yang merupakan new emerging diseases, telah merupakan pandemi di semua kawasan (Depkes, 2001). Pada tahun 2005 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 2639 Kasus, tahun 2006 berjumlah 2873 kasus, Tahun 2007 berjumlah 2947 kasus, tahun 2008 berjumlah 4969 kasus, tahun 2009 berjumlah 3863 kasus , tahun 2010 berjumlah 4158 kasus, dan sampai dengan juni tahun 2011 secara kumilatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 26.483 kasus pada 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota yang melapor. Epidemi HIV/ AIDS akan menimbulkan dampak buruk terhadap Pembangunan Nasional secara keseluruhan, karena selain berpengaruh terhadap kesehatan juga terhadap sosio-ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Pengalaman menunjukkan hanya dengan kepemimpinan dan respon yang kuat saat ini akan bisa menghindari terjadinya bencana nasional untuk anak dan cucu kita di masa yang akan datang. AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrom merupakan kumpulan gejala penyakit yang pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 di Amerika Serikat. Virus yang disebut HIV (Human Immuno Deficiency virus), yang diidentifikasi pada tahun 1983. sebagai penyebabnya. HIV adalah virus RNA, merupakan retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV terdiri dari 2 sub-type, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Virus ini menyerang sel limfosit-CD4 (salah satu sel darah putih). Epidemi HIV/AIDS di Indonesia sangat mengancam oleh karena kaitannya dengan faktor risiko, terutama perilaku seksual dan penggunaan NAPZA suntik yang semakin meningkat dalam tiga tahun terakhir ini. Meskipun telah banyak dilaksanakan kegiatan penanggulangan HIV. AIDS oleh sektor sektor terkait namun di Indonesia belum berhasil1

menghambat laju penularan HIV/ AIDS, banyak Faktor yang mempercepat epidemi HIV/ AIDS di Indonesia seperti meningkatnya perilaku berisiko tinggi, meningkatnya industri yang berkaitan dengan seks; mobilitas penduduk yang tinggi, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran, prevalensi IMS yang tinggi pada kelompok risti, meningkatnya pengguna NAPZA suntik, penggunaan kondom yang rendah serta dampak pengungsian. Tingginya penyakit kelamin atau IMS dikalangan berperilaku risiko tinggi antara lain disebabkan oleh karena telah terabaikannya upaya pencegahan dan penanggulangan IMS (Infeksi Menular Seksual) sejak pertengahan dasawarsa 1980-an disebabkan dana penanggulangan yang tidak memadai, dipihak lain penderita IMS sebagian besar adalah masyarakat miskin yang tidak mempunyai kemampuan untuk membeli obat IMS, bahkan untuk membeli kondom. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia sangat mengancam oleh karena kaitannya dengan faktor risiko, terutama perilaku seksual dan penggunaan NAPZA suntik yang semakin meningkat dalam tiga tahun terakhir ini. Dampak Sosial dan ekonomi Dampak sosial dan ekonomi akibat HIV/AIDS mungkin lebih berat daripada penyakit lain yang ada di dunia. Hal ini bukan hanya jumlah orang yang terinfeksi HIV yang tinggi tetapi juga karena orang yang terinfeksi kebanyakan antara umur 15-49 tahun yang merupakan usia produktif. Dalam umur ini termasuk ibu dan bapak yang bertanggung jawab dalam kesejahteraan untuk keluarganya, yaitu anak dan orang tuanya. Dampak ini akan terjadi tidak hanya pada saat orang tersebut terkena infeksi HIV berupa kehilangan pekerjaan, perlu biaya perawatan dan pengobatan yang cukup besar tetapi juga untuk masa yang akan datang terhadap generasi mendatang. Sehingga akan terjadi kemiskinan yang lebih berat baik bagi keluarga maupun bagi negara. Dampak terhadap anak, yaitu anak bisa kehilangan pendidikan, menjadi yatim piatu karena orang tua meninggal karena AIDS. Karena HIV/AIDS merupakan penyakit yang menular melalui hubungan seksual juga maka kemungkinan besar anak akan kehilangan kedua orang tuanya. Kematian karena AIDS ini akan menyebabkan kita kembali seperti 30 sampai 40 tahun yang lalu dimana umur harapan hidup menjadi lebih pendek. Selain dampak terhadap kesehatan, juga akan memberikan dampak yang lebih berat lagi bagi yang bersangkutan maupun keluarganya. Dengan adanya diskriminasi, stigmatisasi terhadap pengidap infeksi HIV maupun keluarganya, akan menyebabkan kesulitan dalam pekerjaan, perawatan dan pengobatan kadang-kadang anak dikeluarkan dari sekolahnya. Diskriminasi ini bisa dikurangi dengan mengambil contoh dari peran pemimpin politik termasuk pemuka agama dan pemuka masyarakat. Kalau mereka bisa menerima dan terbuka terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS maupun keluarganya, dengan sendirinya masyarakat akan mengikutinya. Musuh yang besar dalam HIV/AIDS adalah ketakutan terhadap pengidap HIV/AIDS.2

Respon Pemerintah Perhatian pemerintah terhadap masalah HIV/AIDS dimulai dari Sektor Kesehatan pada tahun 1986 dengan dibentuknya Kelompok Kerja AIDS di lingkungan Badan Litbangkes, Departemen Kesehatan. Selanjutnya pada tahun 1988 penanggulangan HIV/AIDS dalam sector kesehatan diintegrasikan pada Program Pemberantasan Penyakit Menular Seksual (PMS). Pada tahun 1989 dibentuk Komite Nasional AIDS di lingkungan Ditjen PPM & PL, Departemen Kesehatan. Sehubungan dengan makin meluasnya pandemi AIDS di dunia dan makin disadarinya bahwa masalah AIDS dapat berdampak pada kelangsungan pengembangan kualitas sumber daya manusia di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan dibentuklah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). KPA adalah suatu komisi lintas sektor yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 36 tahun 1994. Berdasarkan Kepmenko Kesra No. 9/Menko/Kesra/VI/1994 digariskan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS dan rumusan tentang Program Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Pelita VI dimuat dalam Kepmenko Kesra No. 5/Kep/Menko/Kesra/II/1995. Di tingkat internasional dan regional, Indonesia juga berpartisipasi dalam beberapa pertemuan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS. Salah satu kebijakan strategis dalam menangkal ancaman epidemi HIV/ AIDS adalah Mendukung penyelenggaraan Gerakan Nasional Stop HIV/AIDS melalui penetapan Peraturan perundangan, Peraturan Pemerintah, Perubahan Peraturan perundangan yang ada, Penetapan kebijakan lainnya yang diperlukan untuk pencegahan, perawatan, pendampingan, pengobatan termasuk jaminan kemudahan (ketersediaan) keterjangkauan (murahnya) harga obat anti RetroViral yang hal ini akan menyangkut kebijakan tentang hak paten, perdagangan dan sebagainya. Demikian pula untuk pengurangan kerentanan terhadap HIV/AIDS, melindungi hak-hak azasi dan kewajiban penduduk yang terinfeksi atau menderita HIV/AIDS, promosi reproduksi sehat termasuk penggunaan kondom pada kelompok berperilaku risiko tinggi, penggunaan jarum suntik yang steril dan upaya lain pengurangan dampak buruk akibat penggunaan Napza suntik, pengamanan darah donor/ transplantasi organ dan jaringan tubuh, melindungi kerahasiaan, upaya menghilangkan perlakuan diskriminasi/perlakuan ketidak adilan terhadap ODHA. Salah satu penyebab utama meningkatnya penularan kasus HIV-AIDS akibat hubungan heteroseksual di Bali adalah meluasnya kegiatan prostitusi oleh pekerja seks perempuan (PSP) yang sulit dipantau dan dikendalikan (Muliawan, 2003). Hasil serosurvei yang dilakukan Dinkes Bali pada tahun 2003, 2006 dan 2009 menunjukkan peningkatan infeksi HIV-AIDS pada PSP dari 3% meningkat menjadi 14% dan terakhir menjadi 20%. Sementara prevalensi pria pelanggan PSP yang tertular juga mengalami peningkatan dari 1% pada tahun 2003 menjadi 2% pada tahun 2009. Kemajuan sektor pariwisata, terbukanya lapangan kerja baru, dan tingginya arus pendatang, ditambah dengan belum optimalnya berbagai upaya intervensi untuk mengurangi perilaku3

berisiko pada PSP dan pelanggannya menjadi faktor pemicu yang menambah berat permasalahan. Gelombang penularan infeksi HIV dengan episentrum PSP ini sangat mengkhawatirkan, karena risiko penularan tidak hanya terjadi antara PSP dan pelanggan. Pelanggan tersebut dapat menularkan infeksi yang diperolehnya kepada pasangan seksualnya yang lain termasuk istri mereka dirumah. Sayangnya, apabila istri mereka sedang hamil maka infeksi tersebut dapat menular kepada bayi yang dilahirkan (Muliawan, 2003).

II. Beberapa hasil studi kuantitatif yang berhubungan dengan HIV AIDS dan kelemahannya Berikut ini terdapat beberapa kajian penelitian tentang HIV AIDS dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, beserta kelemahan dari masing-masing kajian: Penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2009) tentang Faktor Risiko Kejadian Penyakit Menular Seksual (PMS) Pada Komunitas Gay Mitra Strategis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat berisiko terjadinya penyakit menular seksual diantaranya AIDS. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan oobservasi terhadap sejumlah sampel yang menderita maupun yang tidak menderita PMS dan selanjutnya dilakukan dengan penelusuran keterpaparan faktor-faktor yang diduga menjadi faktor risiko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur (p=0,270; OR=0,389; 95% CI=0,088-1,722), pendidikan (p=0,067; OR=5,4; 95% CI=0,941-30,980), pekerjaan (p=0,719; OR=0,686; 95% CI=0,155-3,036), pengetahuan kesehatan reproduksi (p=0,709; OR=1,524; 95 CI=0,312-7,442), perilaku pemeliharaan organ reproduksi (p=0,270; OR=2,571; 95% CI=0,58111,384) dan ada hubungan antara lama menjadi gay (p=0,052; OR=5,95; 95% CI=1,223-28,951), perilaku seksual berisiko (p=0,009; OR=9,06; 95% CI=1,724-47,675) terhadap kejadian PMS pada gay mitra strategis PKBI Yogyakarta. Kelemahan pada penelitian ini yaitu penelitian ini hanya dapat membuktikan secara statistik hubungan antara kejadian HIV/AIDS dengan beberapa faktor yang sebelumnya telah diduga (rumusan hipotesis) sebagai faktor risiko. Dalam kajian ini, tidak dapat menjelaskan tentang sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kejadian HIV/AIDS. Ataupun tidak dapat menunjukkan secara spesifik kontribusi dari setiap variabel tersebut, misalnya pada variabel perilaku, tidak jelas,perilaku seperti apa yang secara signifikan betul-betul dapat menyebabkan terjadinya HIV/AIDS.

4

Kajian selanjutnya dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu: penelitian tentang Stigma Terhadap Status HIV/AIDS di Makassar. Penelitian ini dilakukan oleh Ria Afriyana, dkk (2006). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai stigma terhadap status HIV/AIDS di Makassar pada tiga tempat yaitu pelayanan kesehatan, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 31 ODHA yang diketahui statusnya ditempat pelayanan kesehatan 11 orang diantranya (35,5%) yang mengalami stigma ditempat pelayanan kesehatan. dari 27 ODHA yang diketahui statusnya oleh keluarga, 5 orang diantaranya (18,5%) yang mengalami stigma lingkungan keluarga, dan dari 7 ODHA yang diketahui statusnya oleh masyarakat, 5 orang diantaranya (71,4%) yang mengalami stigma di lingkungan masyarakat. Kelemahan dalam penelitian ini yaitu jika tidak didampingi dengan metode indepth interview, maka tidak akan dapat mengkaji secara mendalam karakteristik yang bersifat sangat pribadi dari ODHA tersebut misalnya apakah mereka juga penganut homoseks, heteroseks atau IDU. Selain itu, tanpa indepth interview, peneliti tidak akan mendapatkan informasi mendalam tentang faktor determinan dari kejadian AIDS pada orang-orang yang berstatus HIV positif ini, baik yang terkait dengan penderita itu sendiri,misalnya adanya faktor pergaulan bebas (budaya), faktor psikologis, status sosial ekonomi, adanya pengaruh rendahnya pengetahuan, maupun yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan, misalnya pengaruh pengetahuan dan keterampilan petugas tentang bahaya dan penanggulangan HIV AIDS maupun yang terkait dengan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan. Karakteristik paradigma deduktif yaitu: Paradigma tradisional, positivis, eksperimental, empiris. Menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik. Realitas bersifat obyektif dan berdimensi tunggal Peneliti independen terhadap fakta yang diteliti Bebas nilai dan tidak bias Pendekatan deduktif Pengujian teori dan analisis kuantitatif. Cara kerja metode kuantitatif yang bersifat deduksi tujuan utamanya hanya memverifikasi teori yang sudah ada melalui pengujian hipotesa. . Metode pendekatan kuantitatif dimana dilakukan pembuktian dugaan sementara (hipotesis) akan memperkecil ruang gerak kajian suatu penelitian sehingga suatu

5

penelitian hanya akan menganalisis terbatas pada variabel sesuai dengan hipotesis yang dibuat. Metode pendekatan ini tidak tepat digunakan dalam kajian-kajian masalah realitas subyektif seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem nilai, agama atau masalah kebudayaan.

III. Pemikiran tentang pentingnya pendekatan kuantitatif. Berbagai penelitian telah mengkaji tentang kajadian AIDS baik skala nasional maupun internasional. Hasil kajian tersebut menitikberatkan sebagian besar pada faktor sosial budaya, dimana sebagian besar alasan yang melatarbelakangi infeksi HIV/AIDS adalah terkait dengan faktor perilaku. Sehingga untuk mengkaji permasalahan ini dan menghasilkan rekomendasi penanggulangan yang tepat adalah dengan melakukan kajian-kajian penelitian dengan menggunakan alur induktif (pendekatan kualitatif). Berfikir Induktif ditandai oleh sebuah pendekatan yang berusaha memberikan gambaran dan menganalisis perilaku manusia dari sudut pandang orang yang diteliti. Karakteristik dasar dari pendekatan indukti adalah komitmen tegas untuk memandang peristiwa, tindakan, dan nilai dari perspektif orang yang sedang diteliti. Pendekatan induktif memberikan penekanan pada pemahaman yang komprehensif atau holistik mengenai situasi sosial yang ditelaah. Artinya kehidupan sosial dipandang sebagai pelibatan serangkaian peristiwa yang saling berpautan, yang perlu digambarkan secara lengkap agar mencerminkan realitas kehidupan sehari -hari . Artinya pendekatan induktif memungkinkan penemuan topik yang tidak terduga pada seperangkat pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya seperti rancangan kuantitatif yang telah disiapkan secara ketat Karakteristik Paradigma Kualitatif yaitu: Pendekatan konstruktifis, naturalistis (interpretatif), atau perspektif postmodern Menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas. Realitas bersifat subyektif dan berdimensi banyak. Peneliti berinteraksi dengan fakta yang diteliti. Penyusunan teori dengan analisis kualitatif.

6

Berikut contoh sebuah kajian permasalahan HIV/AIDS dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian tentang Perilaku Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung dalam Pencegahan IMS, HIV dan AIDS di PUB & Karaoke, Caf dan Diskotek di Kota Semarang oleh Fitriyana yuliawati L JUrnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 5, No 1 Januari 2010 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mempelajari perilaku wanita pekerja seks dalam pencegahan PMS secara lengkap. Hasil penelitian memberikan informasi yaitu: Aktivitas seksual yang dilakukan WPS adalah seks vaginal, oral, anal, sado-masokis, ataupun hanya sekedar menemani pelanggan. Usaha yang dilakukan para WPS terhadap pencegahan IMS dan HIV AIDS adalah dengan penggunaan alat pelindung. (kondom). Pengetahuan WPS mengenai penyakit UMS dan HIV AIDS adalah cukup. Sebagian besar juga memiliki kesadaran yang tinggi untuk memeriksakan diri dan mengakui bahwa mereka adalah termasuk dalam kelompok berisiko tinggi. Namun mereka tidak terlalu menganggap penting hal itu, asalkan mereka dapat menjaga kesehatan dengan baik. Seluruh WPS mempunyai sikap mendukung dalam penggunaan kondom untuk mencegah terjadinya IMS dan HIV AIDS karena mereka merasa kondom bermanfaat untuk mencegah penyakit kelamin. Sebagian besar PWS mendapatkan informasi dari media elektronik seperti, TV, radio, dan ada pula yang mendapatkan informasi dari media cetak yaitu majalah dan Koran. Dukungan dari teman sebaya lemah dalam upaya pencegahan IMS dan HIV AIDS yang benar. Seluruh subjek memiliki niat yang baik dalam upaya pencegahan IMS dan HIV AIDS yaitu dengan menggunakan kondom. Pada penelitian ini triangulasi dilakukan dengan sumber, metode dan teori. Triangulasi dengan metode dilakukan dengan wawancara mendalam kepada manajemen tempat hiburan malam dan WPS serta observasi di lapangan ketika simulated client menanyakan beberapa hal berkaitan tentang transaksi seksual. Sedangkan triangulasi dengan menggunakan teori yaitu membandingkan antara hasil penelitian dengan hasil penelitian terdahulu dan teori perubahan perilaku yang digunakan dalam penelitian ini. Triangulasi merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data untuk mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.. Fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbedabeda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal.

7

Penelitian kualitatif seperti contoh di atas, memberikan kelebihan yang tidak diperoleh pada penelitian kuantitatif, antara lain: Pertama, dalam penelitian kualitatif lebih dimungkinkan lahirnya teori sosial baru. Dengan cara kerja yang lebih mementingkan konseptualisasi yang muncul dari data (induktif) yang diperoleh, dan melalui abstraksi konseptual dengan bantuan teori yang sudah ada, akan lebih besar kemungkinannya teori baru yang dilahirkan. dalam penelitian kualtitatif sejak dari pengumpulan data dan proses pembentukan teori itu sudah dimulai. Kedua, dengan penelitian kualitatif masalah realitas subyektif seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem nilai, agama atau masalah kebudayaan pada umumnya akan dapat diungkapkan. Dalam kenyataannya tidak semua fakta sosial dapat dikuantifikasir secara begitu saja. Dalam realitas sosial tertentu, penyeragaman analisa melalui statistik misalnya, justru hanya akan membawa pada pendangkalan IV. Kesimpulan Salah satu dari delapan strategi pembangunan milenium semesta (Millennium Development Goals; MDGs) mengisyaratkan semua negara di dunia untuk memerangi penularan HIV-AIDS cara kerja metode kuantitatif yang bersifat deduksi tujuan utamanya hanya memverifikasi teori yang sudah ada melalui pengujian hipotesa. . Metode pendekatan kuantitatif dimana dilakukan pembuktian dugaan sementara (hipotesis) akan memperkecil ruang gerak kajian suatu penelitian sehingga suatu penelitian hanya akan menganalisis terbatas pada variabel sesuai dengan hipotesis yang dibuat. Metode pendekatan ini tidak tepat digunakan dalam kajian-kajian masalah realitas subyektif seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem nilai, agama atau masalah kebudayaan Berbagai penelitian telah mengkaji tentang kajadian AIDS baik skala nasional maupun internasional. Hasil kajian tersebut menitikberatkan sebagian besar pada faktor sosial budaya, dimana sebagian besar alas an yang melatarbelakangi infeksi HIV/AIDS adalah terkait dengan faktor perilaku. Sehingga untuk mengkaji permasalahan ini dan menghasilkan rekomendasi penanggulangan yang tepat adalah dengan melakukan kajian-kajian penelitian dengan menggunakan alur induktif (pendekatan kualitatif) sehingga kajian permasalahan HIV/AIDS lebih bersifat holistic dan menyeluruh.

8

DAFTAR PUSTAKA

Afriyana, Ria, dkk. Stigma Terhadap Kasus HIV/AIDS di Makassar. MKMI Vol. 2 No. 4 2006 Bungin, Bungin. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada. Hartono, A. 2009. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Menular Seksual (PMS) Pada Komunitas Gay Mitra Strategis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Kemenkes RI. Laporan situasi perkembangan HIV/AIDS di Indonesia Sampai dengan Juni 2011. Menkes RI. Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia. Sidang Kabinet Sesi Khusus HIV/AIDS Maret 2001. Thaha, Ridwan. 2011. Peran Teori Dalam Pendekatan Induktif. Bahan Ajar. Tim. 2010. Pengembangan Pelayanan Kesehatan Komprehensif berbasis Primary Health Care (PHC) bagi Pekerja Seks Perempuan (PSP) di Bali; Penjajagan Pendekatan Struktur Sosial Masyarakat dalam Penanggulangan HIVAIDS. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Yuliawati, F. 2010. Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung dalam Pencegahan IMS, HIV dan AIDS di PUB & Karaoke, Caf dan Diskotek di Kota Semarang. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 5, No 1 Januari 2010.

9