tugas kelompok 5 pki
TRANSCRIPT
BAB I
Pendahuluan
Perekonomian dunia saat ini memasuki era sejarah baru dimana ekonomi dan budaya
nasional serta batas-batas geografis kenegaraan sudah kehilangan makna oleh sebuah proses
globalisasi yang berjalan cepat. Globalisasi memberikan dampak berupa perubahan pada
pasar internasional, salah satunya adalah liberalisasi perdagangan, yang dipandang sebagai
suatu upaya untuk meningkatkan daya saing ekonomi.
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu
negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang
dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan
pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di
banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk
meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun,
dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad
belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong industrialisasi, kemajuan
transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.
Secara umum, perdagangan dunia didasarkan pada pemikiran bahwa setiap negara
memiliki keunggulan komparatif (absolut dan relatif) dan daya saing yang berbeda. Negara
melakukan ekspor terhadap barang yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi
dan mengimpor barang yang lebih rendah keunggulan komparatifnya daripada negara lain.
Dengan demikian, efisiensi penggunaan sumberdaya (yang langka) meningkat untuk
mencapai tingkat kesejahteraan dunia yang lebih baik. Banyak negara berkembang memiliki
pasar domestik yang lebih kecil dan produksi bahan-bahan pokok dengan teknologi
sederhana. Perdagangan internasional memungkinkan terjadinya pertukaran antara produk-
produk negara berkembang ini dengan negara maju yang memproduksi mesin-mesin dan
produk jadi; transfer teknologi dan pengetahuan; serta bantuan modal asing.
Adapun perdagangan dan keuangan internasional didukung oleh bentuk kelembagaan
atau institusi yang mengatur harmonisasi antara peraturan perundangan-undangan negara
yang melakukan aktivitas tersebut sesuai dengan hasil kesepakatan institusi. Dalam hal ini
suatu negara harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar rambu-
rambu ketentuan organisasi perdagangan internasional, dalam hal ini terutama WTO dan
1
IMF.1 Kesepakatan institusi ini bertujuan untuk menjamin lancarnya kegiatan perdagangan
dan keuangan internasional serta menghindari kemungkinan konflik yang dapat terjadi yang
dalam proses globalisasi hubungan antar negara.
BAB II1 Muhammad Sood, Pengantar Hukum Perdagangan Internasional, (Mataram: Mataram UniversityPress) 1995, hal. 18
2
Organisasi Perdagangan & Keuangan Internasional
dan MNC
2.1. World Trade Organization (WTO)
Dalam pembahasan mengenai WTO ini, penulis mengambil kesimpulan dari tulisan
Samuel Barkin dari bukunya yang berjudul International Organization: Theory and
Institutional. Adapun Barkin menjelaskan bahwa WTO terbentuk pada tahun 1995 setelah
sebelumnya bernama General Agreement Tarif and Trades (GATT) yang terbentuk pada
tahun 1947. GATT ini merupakan bagian dari Internasional Trade Organization (ITO). ITO
merupakan hasil dari negoisasi multilateral mengenai peraturan dasar dari sistem
perdagangan internasional pasca Perang Dunia II, termasuk di dalamnya mengatur
perdagangan barang-barang manufaktur yang menjadi fokus GATT dan juga menjadi abritase
permasalahan perdagangan. Dalam pembentukannya ITO mengalami kendala yang ditentang
oleh sebagian orang di dalam Kongres Amerika karena adanya penolakan terhadap tujuan
dari ITO sendiri, seperti badan abritase yang dianggap sebagai ancaman bagi kedaulatan
negara dan yang kedua adalah adanya penolakan terhadap liberalisasi terhadap produk
agrikultur yang dianggap membahayakan sistem agrikultur Amerika.
WTO dihasilkan dari perundingan perdagangan internasional yang diadakan di
Uruguay pada tahun 1986 sampai 1993. Dari hasil perundingan tersebut dicetuskanlah
sejumlah perjanjian diantaranya, cara menyelesaikan sengketa secara formal dengan
menggabungkan GATT dan Dispute Settlement Mechanism (DSM) serta perjanjian umum
tentang perdagangan jasa (GATS). Dasar dari aturan WTO adalah non-diskriminasi, dimana
setiap anggota WTO harus memperlakukan anggota lainnya secara adil. Aturan WTO ini
terdapat pengecualian untuk negara berkembang, negara industri yang mengalami kesulitan,
dan organisasi perdagangan regional.
Tugas pokok dari WTO adalah untuk meningkatkan dan mengawasi negoisasi yang
bertujuan untuk menurunkan tarif, membawa jenis barang dan jasa yang baru ke dalam
sistem, dan menghasilkan kesepakatan yang mengatur bagaimana suatu negara ingin masuk
ke dalam sistem. Oleh karena itu WTO dapat juga dipandang sebagai forum dimana setiap
negara dapat berdebat tentang perdagangan di dalam WTO untuk menetapkan peraturan di
dalam perdagangan. Barkin mengatakan bahwa WTO dapat dipandang sebagai institusi, hal
ini dikarenakan WTO lebih cenderung berfungsi sebagai legislatif, selain itu juga dilihat dari
aturan yang dibuatnya dan aparatur pembuat aturannya. Fungsi judikasinya sangat sentral dan
3
peran dari eksekutif dari organisasi ini sangat minim karena sistem dibuat untuk menjadi
aturan dasar dan kebijakan bagi mereka.
Secara organisasi, WTO mempunyai dua sentral komponen yaitu struktur pengambil
keputusan dan sekretariat. Dalam mengambil keputusan tentang peraturan WTO diambil oleh
negara-negara anggota diambil secara berstruktur, dibagian atas dari struktur pengambil
keputusan adalah pertemuan tingkat menteri yang diadakan secara berkala setiap tahun. Di
bawah pertemuan tingkat menteri terdapat Dewan Umum, yaitu sebuah lembaga yang
berpusat di Jenewa yang anggotanya terdiri dari perwakilan dari negara anggota di WTO.
DSM secara struktur berada di bawah Dewan Umum ini.
Sekretariat terdiri dari Direktur Jenderal, dipilih secara konsensus oleh para anggota,
staf Sekretariat ini terdiri dari 550 orang. Sekretariat ini berfungsi sebagai pemberi dukungan
teknis dan logistik dengan struktur pengambil keputusan. Sekretariat juga berfungsi dalam
penyediaan bantuan teknis dan pelatihan dalam penegakkan kebijakan perdagangan ke
negara-negara yang membutuhkan. Peran Direktur Jenderal dalam struktur WTO ini bisa
dikatan sangat minim karena seharusnya aturan dalam perdagangan, yang merupakan inti dari
WTO, dipantau dan ditegakkan oleh negara anggota, bukan oleh WTO.
Dari perspektif realis, Barkin menjelaskan bahwa WTO termasuk rezim internasional
karena tugas utama organisasi ini adalah transparansi dan dengan analisis rasional organisasi
ini efektif dalam meningkatkan efesiensi kerja sama internasional. Dari perspektif efesiensi,
WTO mempunyai fungsi untuk meningkatkan hak milik dalam isu perdagangan internasional
dengan peraturan yang mereka buat dan DSM dirancang untuk mengadili persengketaan
dalam perdagangan.
WTO lebih kuat dari GATT, khususnya di bidang penyelesaian sengketa dan hal ini
telah menjadikan WTO sebagai instrumen hukum internasional yang utama di bidang
perdagangan. Dalam beberapa hal, WTO tampaknya menjadi lebih demokratis daripada IMF
atau Bank Dunia. Adapun WTO merupakan target utama dari protes anti-globalisasi atau
anti-kapitalis sehingga ia disebut sebagai organisasi yang kontroversial. Perdebatan ideologi
utama mengenai manfaat atau sebaliknya dari WTO berpusta pada filosofi yang mendasari
perdagangan bebas yang berpendapat bahwa perdagangan bebas membawa kemakmuran bagi
semua dan memperkecil kemungkinan terjadinya perang. Namun perdagangan yang tidak
adil menyebabkan suatu ketimpangan struktural.
Menurut Barkin kritikan terhadap WTO lebih cenderung karena sistem ekonomi yang
diterapkan oleh organisasi ini. Barkin mengambil contoh protes yang diterjadi pada
4
November 1999 pada saat pertemuan rutin WTO di Seatle. Pada saat itu terjadi pertemuan
rutin yang dilakukan oleh tiga institusi ekonomi internasional. Terdapat dua dorongan yang
menjadi dasar para protestor, pertama adalah kebijakan dari ketiga institusional tersebut lebih
mendukung untuk terbentuknya kapitalisme. Kritikan terhadap kebijakan WTO yang hanya
terfokus kepada isu ekonomi saja dan mengecualikan tujuan lainnya seperti, lingkungan, hak
perempuan, dan hak buruh. Dalam protes tersebut, Barkin menjelaskan bahwa terdapat aliansi
buruh yang menuntut adanya perlindungan terhadap status qou mereka. Sedangkan aktivis
dari lingkungan menyatakan keberatannya terhadap sistem kapitalis dan perdagangan
internasional.
Kritik kedua adalah menganggap WTO merupakan organisasi yang tidak demokratis.
Asumsinya WTO membuat peraturan perdagangan untuk ditaati oleh semua negara
anggotanya tanpa memandang kepentingan nasional negara anggotanya. Namun, hal ini
dibantah oleh WTO dengan mengatakan bahwa pada proses pembuatan aturan tersebut
dilakukan secara demokratis. Dari argumen yang dinyatakan oleh WTO tersebut terdapat
kelemahan yaitu, demokratis yang dianggap oleh WTO tersebut hanya sebatas pada negara
tetapi tidak pada rakyat dari negara yang membuat peraturan tersebut.
Kritik tersebut berlanjut kepada DSM yang juga dinilai tidak demokratis. Para
pengkritik menganggap bahwa DSM lebih cenderung merupakan suatu badan politik dari
pada dikatakan sebagai badan pengadilan jadi DSM bisa dibilang tidak mewakili hak
anggota. Hal ini dikarenakan adanya diskriminasi dalam pemecahan suatu masalah di dalam
DSM. DSM hanya mendengarkan suara negara-negara pihak yang bersengketa yang
memiliki hak untuk suara, sedangkan individu, dan LSM yang mewakili kepentingan sosial,
tenaga kerja, kelompok lingkungan, atau pribumi, dikecualikan.
2.2. MNC
2.2.1. Definisi MNC
MNC (Multinational Corporation) mengandung pengertian suatu perusahaan yang
bergerak atau beroperasi di luar negerinya sendiri dengan saham yang terdiri dari beberapa
negara (Lebih dari satu negara). MNC menjadi fenomena yang dominan dalam hubungan
internasional saat ini terkait dengan adanya globalisassi perdagangan dan perkembangan
perekonomian dunia. Dalam hal perkembangan perekonomian domestik suatu negara, MNC
memiliki pengaruh yang signifikan sebab keberadaan MNC pada suatu negara menjadi salah
satu penyumbang pajak tertinggi bagi pendapatan suatu negara sekaligus bagi perkembangan
5
ekonominya. MNC adalah bentuk korporasi baru yang tidak dapat di hindari sebagai sebuah
konsekuensi logis dari adanya globalisasi itu sendiri. MNC merupakan wujud dari
perdagangan modern dimana profit merupakan orientasi utama dari keberadaan setiap MNC
di suatu negara.
MNC itu sendiri sangat erat kaitannya dengan FDI atau Foreign Direct Invesment
sebab MNC merupakan konkritisasi dari FDI. Dalam prakteknya aliran investasi langsung
yang berasal dari luar negeri selalu tertuju pada negara yang memiliki kelebihan yaitu dalam
segi politik negara tujuan FDI memiliki hukum atau kebijakan pemerintah yang mendukung
adanya FDI dan jaminan bahwa FDI yang mereka tanamkan akan menghasilkan profit yang
tinggi bagi mereka (home country). Sedangkan dalam segi ekonomi, negara home country
yang akan menanamkan investasinya ke negara-negara host country memiliki pertimbangan
utama pada tersedianya bahan baku yang lebih murah bagi proses produksinya (orientasi
profit) selain itu sumber daya manusia yang melimpah dengan upah yang relatif lebih murah
sebagai patner bisnis yang sangat strategis.
Dewasa ini, aktor-aktor dalam hubungan internasional semakin kompleks dan
beragam, pemerintah atau negara tidak lagi menjadi aktor tunggal. Sebaliknya aktor-aktor
transnasionalisme terlihat semakin mendominasi hubungan internasional saat ini. Aktor
transnasionalisme ini semakin masuk tidak hanya dalam ranah politik tetapi juga dalam ranah
ekonomi. Aktor transnasionalisme ekonomi seperti MNC semakin gencar dalam melakukan
ekspansi pasar global dengan memasukkan MNC-MNCnya ke negara-negara yang memiliki
nilai ekonomis tinggi.
Dr. Sumantoro memandang MNC dari berbagai aspek. Dari segi politik, yaitu sebagai
subjek dalam hubungan internasional, terkait dengan kekuatan politiknya di tingkat nasional
dan internasional, serta pola manajemennya yang terpusat sehingga membawa pengaruh pada
penguasaan informasi sebagai kekuatan politik, pun kekuatan ekonomi bagi perusahaan
tersebut terhadap pihak yang dihadapinya. Dari segi hukum, fokus sentralnya terletak pada
MNC sebagai badan hukum yang dapat merupakan cabang, usaha patungan atau perusahaan
yang dimiliki umum (public company). Juga struktur pemilikan usaha, anggaran dasar
perusahaan, bentuk hukum pengelolaannya serta penyelesaiannya jika ada sengketa hukum.
Dari segi ekonomi, fokus sentralnya pada aspek-aspek faktor produksi, modal keahlian
manajemen dan keahlian teknologi, serta praktek-praktek usaha yang terkait dengan
persaingan, besarnya pasar, monopoli, dan sebagainya.
6
Uraian ringkas mengenai perkembangan transnasional proses pertumbuhan MNC
mulai tampak sejak lahirnya revolusi industri di Inggris dan kemudian berkembang melalui
proses pentahapan lebih lanjut daripada kapitalisme modern yang mempengaruhi jalannya
revolusi industri itu sendiri. Kegiatan perdagangan internasional yang memunculkan
korporasi-korporasi bisnis yang melewati batas-batas negara, berusaha memakslimalkan
aktifitas mereka dalam rangka mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya dimanapun
adanya pergerakan modal berlangsung tanpa banyak menghiraukan dampak buruk bagi
negara dimana mereka menanamkan modalnya. Contoh klasik yang pernah dialami di
Indonesia berlangsung sejak zaman kolonial ketika VOC mulai mengeksploitasi nusantara
dankemudian dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda sampai menjelang Perang Dunia
II. Pada masa sebelum Perang Dunia II (terutama dalam tahun 1930-an), aktifitas MNC
khususnya di negara-negara jajahan mulai menurun karena situasi internal yang berlangsung
di negara-negara pusat MNC yang kebanyakan berada di Eropa Barat dan Amerika Serikat,
terjadi krisis ekonomi yang hebat. Beberapa indikator lain menunjukan adanya peningkatan
perbedaan keinginan konsumen, standar industri yang diciptakan pemerintahdalam
perdagangan internasional karena keadaan daripada perekonomian dunia yang sedang
mengalami depresi. Ciri-cirinya antara lain:
1. Terdapat sistem dominasi nasional.
2. Sistem dasarnya adalah desentralisasi.
3. Pendirian MNC sedikit (bahkan tidak) diarhkan/dikontrol lagi oleh negara induk
korporasinya.
4. Model persetujuan-persetujuan ialah berbentuk mother and daughter.
Pasca Perang Dunia II, negara masih merupakan aktor yang dominan dalam hubungan
internasional karena adanya atribut kedaulatan, apalagi banyaknya berdiri negara-negara baru
merdeka yang sangat nasionalistik, paradigma yang sering tampak adalah state centric yang
dikembangkan oleh mahzab realisme. Asumsi dasar yang diajukan oleh para penganut
mahzab ini menerangkan bahwa negara yang dalam bentuk modernnya dipandang sebagai
unit politik yang paling fundamental dalam sistem dunia (World System). Oleh sebab itu,
adalah memungkinkan untuk menganalisis secara luas politik dunia (World Politics) dalam
pengertian hubungan antar-negara (inter-state relations).
2.2.2. Ciri-Ciri MNC
7
Perusahaan multinasional (MNC) adalah sebuah perusahaan internasional atau
transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di berbagai negara
maju dan berkembang. PBB dalam laporan tahunan 1973 mendefinisikan Multinasional
Corporation sebagai suatu perusahaan yang kegiatan pokoknya meliputi usaha-usaha
pengolahan atau pemberian jasa dalam sedikitnya dua negara. Perusahaan multinasional
(MNC) merupakan sumber dari penanaman modal asing langsung dan jumlahnya merupakan
ukuran kegiatan perusahaan itu. Sebagian besar dari penanaman modal asing dinegara-negara
sedang berkembang diusahakan dibidang sumber daya alam, sisanya dibidang pengolahan,
perdagangan, prasarana, transport, perbankan, turisme dan jasa-jasa lainnya.
2.2.3. Contoh MNC beserta Dampak Positif dan Negatifnya
Dewasa ini pertumbuhan Perusahaan Multinasional berkembang pesat. Sejak awal
kehadirannya, hingga pertengahan tahun 1980an MNC sudah tumbuh berkali-kali lipat lebih
cepat dibandingkan pertumbuhan perdagangan dunia. MNC mempunyai jenis-jenis yang
beragam, mulai dari perusahaan eksplorasi tambang migas dan mineral, perusahaan-
perusahaan manufaktur, hingga kebidang pendidikan serta gerai-gerai pangan seperti kafe.
Salah satu perusahaan multinasional yang bergerak dibidang kafe adalah Dunkin’
Donuts, atau yang lebih akrab disebut DD. Dunkin’ Donuts sendiri mulai masuk ke Indonesia
pada tahun 1985, dengan gerai pertamanya di jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Dunkin’
Donuts dinilai paling berhasil dalam meluaskan jaringan pasarnya diantara perusahaan
multinasional yang sejenis dengannya di Indonesia bahkan di dunia.Dunki/ Donuts telah telah
berhasil membukalebih dari 8.800 gerai donatnya dilebih dari 35 negara diberbagai benua. Di
Indonesia sendiri perusahaan ini telah memiliki 200 gerai yang tersebar diseluruh kota besar
di Indonesia.Dunkin’ Donuts telah berhasil menjadi model dalam hal pelayanan serta konsep
gerai yang dimilikinya. Bahkan Dunkin’ Donuts terkadang dianggap sebagai bayang-bayang
bagi perusahaan donut lainnya. Kembali kepada isu mengenai MNC yang mengundang
banyak polemikdari berbagai kalangan, terutama mengenai kehadirannya dinegara-negara
dunia ketiga. Perusahaan-perusahaan Multinasional dianggap sebagai ancaman beagi usaha-
usaha lokal di negara tempat ia berada. Namun, meskipun demikian, pemerintah negara-
negara tersebut tetap saja saling berlomba-lomba untuk menarik investor agar mau
menanamkan modalnya dinegara mereka dalam bentuk Foreign Direct Investment. Kehadiran
MNC seperti Dunkin Donuts memang terkadang membawa keuntungan dan juga kerugian.
Hal inilah yang menjadi perdebatan antara pihak-pihak yang pro dan kontra atas kehadiran
8
Perusahaan Multinasional di negara mereka. Pihak yang kontra berpendapat bahwa
Perusahaan Multinasional dalam praktiknya lebih banyak membawa kerugian daripada
keuntungan. Salah satu isu yang paling kontroversial mengenai kehadiran MNC terutama
dinegara-negara berkembang adalah isu mengenai outsourcing. Selain itu terkadang
kedaulatan nasional juga tergadaikan dengan adanya upaya MNC untuk masuk kedalam
negara tersebut. Upaya alih teknologi yang pada mulanya diisukan sebagai keunggulan dari
masuknya perusahaan multinasional di negara berkembang ternyata tidak terbukti. Disamping
itu, masih banyak lagireaksi-reaksi negatif lainnya yang bermunculan akibat masuknya
perusahaan multinasional dinegara-negara dunia ketiga.
Namun terkadang orang menjadi lupa bahwa kehadiran perusahaan Multinasional
tidak hanya membawa kerugian namun juga membawa keuntungan. Selain membawa modal
asing dan pemasukan berupa pajak, MNC sebenarnya juga membawa dampak positif lainnya.
Kehadiran MNC juga sebenarnya bisa menjadi stimulus bagi berkembangnya usaha-usaha
lokal sejenis yang ada bagi para negara penerima. Salah satu contoh di Indonesia dengan
kehadiran Dunkin’ Donuts memacu berbagai usaha donut lokal seperti J.CO, I-Crave, Java
Donut dan lain sebagainya. Contoh lain dari MNC selain Dunkin Donut yaitu General
Motors, Coca-Cola, Firestone, Philips, Volkswagen, British Petroleum, Exxon, dan ITT yang
terdapat diberbagai penjuru dunia.
2.3. Perdagangan Bebas (Free Trade)
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mana dalam melaksanakan
kegiatan penjualan produk antar negara tidak dikenai pajak ekspor-impor atau hambatan
perdagangan, atau dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan
yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-
perusahaan yang berada di negara yang berbeda. Perdagangan internasional sering dibatasi
oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan
juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semuha hambatan-hambatan inilah
yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian
perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya
menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut
sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.
2.3.1. Sejarah Perdagangan Bebas
9
Sejarah dari perdagangan bebas internasional adalah sejarah perdagangan
internasional memfokuskan dalam pengembangan dari pasar terbuka. Diketahui bahwa
bermacam kebudayaan yang makmur sepanjang sejarah yang bertransaksi dalam
perdagangan. Berdasarkan hal ini, secara teoritis rasionalisasi sebagai kebijakan dari
perdagangan bebas akan menjadi menguntungkan ke negara berkembang sepanjang waktu.
Teori ini berkembang dalam rasa moderennya dari kebudayaan komersil di Inggris, dan lebih
luas lagi Eropa, sepanjang lima abad yang lalu. Sebelum kemunculan perdagangan bebas, dan
keberlanjutan hal tersebut hari ini, kebijakan dari merkantilisme telah berkembang di Eropa
di tahun 1500. Ekonom awal yang menolak merkantilisme adalah David Ricardo dan Adam
Smith.
Ekonom yang menganjurkan perdagangan bebas percaya kalau itu merupakan alasan
kenapa beberapa kebudayaan secara ekonomis makmur.2 Adam Smith, contohnya,
menunjukkan kepada peningkatan perdagangan sebagai alasan berkembangnya kultur tidak
hanya di Mediterania seperti Mesir, Yunani, dan Roma, tapi juga Bengal dan Tiongkok.
Kemakmuran besar dari Belanda setelah menjatuhkan kekaisaran Spanyol, dan
mendeklarasikan perdagangan bebas dan kebebasan berpikir, membuat pertentangan
merkantilis/perdagangan bebas menjadi pertanyaan paling penting dalam ekonomi untuk
beberapa abad. Kebijakan perdagangan bebas telah berjibaku dengan Merkantilisme,
proteksionisme, isolasionisme, komunisme dan kebijakan lainnya sepanjang abad.
2.3.2. Fungsi dan Peran Organisasi Perdagangan dunia dalam Era Perdagangan Bebas
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan
satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar
negara. WTO dibentuk tanggal 15 April 1994 di Marakesh, Maroko setelah perundingan
panjang mengenai perdagangan dunia yang disebut Putaran Uruguay dan kemudian berlaku
efektif sejak 1 Januari 1995. Tujuan pembentukan WTO adalah :
• Mendorong arus perdagangan antara negara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai
hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa
• Memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih permanen.
• Untuk penyelesaian sengketa, mengingat hubungan dagang sering menimbulkan konflik-
konflik kepentingan.
2 Fakih, Mansour. 2003.”Bebas dari Neoliberalisme”.Insist Pers. Yogyakarta
10
Mengenai fungsi atau tujuan WTO sendiri tercantum pada Article III WTO, yaitu:
(1) mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah
dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut,
(2) sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian
yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang
ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri,
(3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan;
(4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan
(5) menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama dengan Dana
Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang
berafiliasi.3
BAB III
Studi Kasus: Liberalisasi dan Agreement on Agriculture Indonesia
3 Riyanto, Astim. World Trade Organization. Cetakan Pertama. Bandung: YAPEMBO, 2003.11
(AoA-WTO)
3.1. Perjanjian Pertanian (AoA)
Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi, sehingga ketersediaan
pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu
berusaha mencukupi kebutuhannya dengan berbagai cara. Dalam perkembangan peradaban
masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tenteram,
serta sejahtera lahir dan batin, semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup, berkualitas,
dan merata. Oleh karena itu, kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat
strategis.
Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, beberapa
komoditas pangan telah menjadi komoditas yang semakin strategis, karena ketidakpastian
dan ketidakstabilan produksi pangan nasional, tidak selalu dapat secara otomatis
mengandalkan kepada ketersediaan pangan di pasar dunia. Oleh karena itu, sebagian besar
negara-negara menetapkan sistem ketahanan pangan untuk kepentingan dalam negerinya.
Namun, mengingat kejadian Great Depresion tahun 1930 kemudian WTO membuat
Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture atau AOA) dalam Putaran Uruguay mengatur
perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri. Secara idealis aturan ini sangat
dibutuhkan untuk terciptanya kerja sama antar negara dengan suatu institusi sebagai
hegemoninya yang berfungsi sebagai pengawas kerja sama, terutama dalam hal perdagangan
di sektor pertanian. Pada kenyataanya aturan-aturan ini memacu lajunya konsentrasi
pertanian ke agribisnis dan melemahkan kemampuan negara-negara miskin untuk mencukupi
kebutuhan swadaya pangan dengan cara bertani subsistens (bahan pokok penyambung
hidup).
Tujuan dari AoA ini pada dasarnya adalah untuk memperluas liberalisasi perdagangan
di bidang pertanian dan secara bertahap mengurangi distorsi perdagangan sesuai dengan
aturan di dalam GATT. Aturan yang dimaksud adalah bahwa jenis proteksi yang bersifat
kuantitatif tidak diperbolehkan dan proteksi tersebut harus diterapkan secara nondiskriminasi
sesuai asas most favored nations.4 Pada dasarnya AoA ini menginginkan adanya akses pasar
yang luas dengan menghilangkan segala tarif penghambat dan mengurangi subsidi
4 Lidya Christin Sinaga, Isu pertanian dan Respon Masyarakat Sipil di Indonesia, http://jurnal.dikti.go.id/jurnal/detil/id/24:60016/q/pengarang:CHRISTIN%20/offset/0/limit/15 diunduh pada tanggal 20 Agustus 2012.
12
pemerintah di bidang terif ekspor dan kebutuhan domestik yang dianggap dapat
menimbulkan distorsi perdagangan.
Aspek positif dari AoA adalah dengan masuknya pertanian dalam peraturan
perdagangan multilateral, maka negara maju yang selama ini mensubsidi produksi dan ekspor
pertanian harus tunduk pada peraturan menghapuskan segala distorsi perdagangan,
diantaranya adalah dengan mengurangi subsidi tersebut.5 Negara maju sebagai penghasil dan
eksportir besar hasil pertanian, selama ini memberlakukan proteksi ketat, memberikan subsidi
besar kepada para petani mereka, dan menyediakan subsidi ekspor. Hal ini merugikan negara
pengekspor hasil pertanian lainnya, terutama negara-negara miskin dan berkembang yang
memiliki kemampuan sumber daya terbatas. Kepentingan negara berkembang berbeda dari
negara maju. Keunggulan banding Dunia Ketiga umumnya adalah ekspor hasil pertanian
dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku untuk diolah lebih lanjut. Ekspor komoditas
semacam ini sering menjadi satu-satunya sumber devisa bagi negara tertentu, tetapi harganya
di pasar internasional sering berfluktuatif tanpa dapat dikendalikan.
Sekilas AoA tampak seperti akan menghapus penyimpangan (distorsi) perdagangan
produk pertanian, dan negara-negara berkembang diuntungkan dengan adanya akses pasar.
Tetapi ketika perundingan pengurangan subsidi, Amerika Serikat dan Uni Eropa mengadakan
perundingan terpisah yang menghasilkan Blue Box yaitu subsidi berupa pembayaran langsung
ke petani, tetapi berkaitan dengan rencana membatasi produksi. Inilah salah satu ketimpangan
yang terjadi dalam Agreement on Agriculture. Secara keseluruhan, Agreement on Agriculture
menyajikan peraturan yang timpang dan juga tidak dipatuhi oleh negara-negara maju.
Beberapa unsur ketimpangan dan ketidakpatuhan tersebut adalah:6
1. Kewajiban tidak adil
AOA mensyaratkan bahwa subsidi dan pembatasan impor harus dikurangi, sebanyak
36% dari nilai subsidi per produk para petani dan 21% dari volume pasar untuk negara maju.
Padahal, tingkat subsidi dan tarif impor negara berkembang adalah sepertiga dari ketentuan
tersebut. Artinya negara berkembang tidak dapat menggunakan tarif tinggi dan subsidi lebih
besar di masa mendatang, bahkan harus menurunkan. Sebaliknya negara maju
memberlakukan subsidi dan tarif tinggi dan kalaupun harus menurunkan, tidak terlalu berarti.
Negara maju selama ini memberlakukan tarif ekspor hingga 300-400% atas produk pertanian.
5 Mochamad Slamet Hidayat. Sekilas WTO (World Trade Organization) Edisi Keempat. Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri. Jakarta.6 Mochamad Slamet Hidayat. Ibid.
13
Selain itu mereka bahkan melanggar tarif impor, dimana Amerika Serikat misalnya
meningkatkan pajak hingga 350% untuk impor tembakau. Padahal petani di negara maju
sudah terlalu lama dilindungi, pertama dengan subsidi, kedua dengan kontrol atas impor, lalu
dengan tarif impor yang tinggi.
2. Subsidi yang timpang
Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa mencakup 90% dari semua subsidi domestik
di bidang pertanian di dunia. Kalaupun mereka menurunkan atau menghapus subsidi dalam
amber box yaitu subsidi yang secara langsung dianggap mengacaukan perdagangan, tetapi
boleh diberikan untuk sementara dengan syarat akan dihapuskan secara bertahap. Subsidi
dalam green box yaitu subsidi yang tidak secara langsung mendukung produksi pertanian,
yaitu dana untuk penelitian, penanganan penyakit tanaman, program lingkungan, dan
penyimpanan pasokan pangan untuk menjamin ketahanan pangan dalam negeri. Dengan
ketentuan subsidi blue box meningkat yaitu subsidi berupa pembayaran langsung ke petani,
tetapi berkaitan dengan rencana membatasi produksi. Pembayaran langsung, misalnya
mencakup 23% dari subsidi di Amerika Serikat dan Uni Eropa, yaitu bahkan lebih tinggi dari
pada tingkat subsidi di 1986 sebelum Agreement on Agriculure ditetapkan. Amerika Serikat
dan Uni Eropa memberikan subsidi 15,7 milyar dolar Amerika Serikat pada 1995 hanya
untuk gandum dan jagung. Sementara setengah juta petani jagung di Mindanao, Filipina yang
pendapatannya kurang dari US$100 harus bersaing dengan jagung yang diimpor dari
Amerika Serikat, dan ditanam oleh petani yang disubsidi. Pada tahun 2000, subsidi yang
diperbolehkan mencapai 16 juta dolar, dua kali lipat dari tingkat 1995.
3. Produksi pangan domestik dan pertanian non-komersial
AOA didasarkan pada pemikiran tentang perdagangan internasional yang terbuka
dibidang pertanian, dimana supremasi harga merupakan keuntungan komparatif. Artinya,
suatu negara harus mengimpor produk pertanian dari negara yang dapat memproduksinya
dengan harga lebih murah. Secara teori perdagangan hal ini memang benar, tetapi bagaimana
dengan ketahanan pangan di negara sedang berkembang. Negara kaya yang mempunyai
cadangan devisa cukup memaang bisa menggantungkan pangan pada impor, tetapi negara
berkembang hampir selalu kekurangan devisa. Bagaimanapun juga, produksi pangan
domestik tetap harus diadakan.
4. Pemaksaan lewat persyaratan IMF/Bank Dunia
Program penyesuaian struktural dari Bank Dunia dan IMF biasanya memberlakukan
persyaratan liberalisasi di bidang pertanian yang sama dengan persyaratan WTO di atas.
14
Apabila di WTO, pemenuhan syarat di atas bisa dirundingkan dengan mengajukan alasan
ketahanan pangan, atau kepentingan nasional dan rakyat. Tetapi persyaratan pinjaman dari
Bank Dunia dan IMF tidak dapat ditawar, walaupun bisa dihilangkan begitu sebuah negara
tidak lagi berhutang. Perjanjian hutang pertama antara Indonesia dengan IMF (pada Januari
1998) adalah awal dari penurunan tarif impor untuk gandum, beras, gula, bawang putih.
Untuk menciptakan perdagangan yang adil (fair trade) sebagaimana tercantum dalam
pembukaan AoA “is to establish a fair and market-oriented agricultural trading system…”,
AoA mencantumkan prinsip SDT (Special and Differential Treatment) dan non-trade
concerns bagi Negara berkembang yang sejatinya dimaksudkan untuk menciptakan level of
playing field yang sama antara Negara maju dan Negara berkembang. Non-trade concerns
yang dimaksud itu meliputi perlindungan terhadap lingkungan, pengurangan kemiskinan,
keamanan pangan, pembangunan pedesaan, dan lain-lain. Sedangkan SDT diwujudkan dalam
dua bentuk penurunan tingkat proteksi yang lebih rendah dari Negara maju dan jangka waktu
implementasi yang lebih panjang.7
3.2. Pertahanan Pangan di Indonesia
Indonesia telah menjadi contracting parties dalam GATT sejak 24 Februari 1950.
Ketika GATT bermetamorfosis menjadi WTO tanggal 1 januari 1995, secara otomatis
Indonesia menjadi founding fathers dalam WTO dan secara resmi mengadopsinya dalam
Undang-undang nasional, yaitu Undang-undang Nomor 7 tahun 1994. Konsep legally-
binding yang dianut WTO kemudian mewajibkan Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan
dalam negerinya dengan peraturan WTO, termasuk kebijakan di bidang pertanian yang harus
menyesuaikan dengan ketentuan AoA.8
Konsekuensi dari ratifikasi tersebut mewajibkan Indonesia untuk meliberalisasi
pasarnya secara bertahap. Persetujuan WTO di bidang Pertanian (Agreement on Agriculture)
disadari atau tidak ikut mempengaruhi ketahanan pangan di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena dengan diratifikasinya Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Internasional (Agreement Establishing the World Trade Organization) ke dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1994 berarti Indonesia telah mengikatkan diri pada hasil-hasil
7 Legal Text Uruguay Round Agreement: Agreement on Agriculturehttp://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/14-ag_01_e.htm diunduh pada tanggal 11 November 2012.8 Dian Eko Prasetyo. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Beras Di Indonesia. Skripsi FE UPN “Veteran” Surabaya.
15
perundingan persetujuan tersebut. Artinya kebijakan ketahanan pangan Indonesia harus
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Agreement on Agriculture.
Agreement on Agriculture didasarkan pada pemikiran tentang perdagangan
internasional yang terbuka di dibidang pertanian, dimana supremasi harga merupakan
keuntungan komparatif. Artinya, suatu negara harus mengimpor produk pertanian dari negara
yang dapat memproduksinya dengan harga lebih murah. Secara teori perdagangan hal ini
memang benar, tetapi tidak dalam hal ketahanan pangan di negara sedang berkembang seperti
Indonesia. Negara kaya yang mempunyai cadangan devisa cukup memang bisa
menggantungkan pangan pada impor, tetapi negara berkembang hampir selalu kekurangan
devisa.
Pada tahun1997 pada era krisis moneter, telah terjadi perubahan status Bulog menjadi
perum atas desakan IMF dan WTO. Sejak perubahan status baru Bulog inilah, negara dibatasi
dalam campur tangan urusan tata niaga. Bulog sebagai satu-satunya lembaga yang mengelola
kekayaan bangsa Indonesia, harus tunduk pada swasta. Sebagai negara penganut sistem
ekonomi terbuka (open economic), situasi pasar domestik Indonesia akan selalu terpengaruh
dengan kondisi pasar Internasional yang semakin liberal. Indonesia telah ikut meratifikasi
berbagai kesepakatan kerjasama ekonomi dan perdagangan yang menginginkan penurunan
hambatan tarif dan non-tarif, karena hal ini Indonesia telah ikut berpartisipasi dalam proses
liberalisasi pasar dalam negeri. Tekanan liberalisasi tersebut melalui berbagai aturan
kesepakatan kerjasama, bukan tidak mungkin dapat berbenturan dengan kebijakan internal
dan mengancam kepentingan nasional.
Menjamurnya liberalisasi pangan dan pertanian di Indonesia, mengakibatkan
anjloknya harga pangan nasional. Swasembada pangan dalam perspektif ketahanan pangan
nasional, pada praktiknya hanya meningkatkan kecenderungan harga pangan dari pasar
impor. Hal ini lebih tepatnya membuat kondisi ekonomi Indonesia semakin memburuk,
karena bertentangan dengan kepentingan nasional.
Kesepakatan antara IMF dan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah krisis
terjadi pada tanggal 31 Oktober 1997, dan Indonesia sepakat untuk melakukan penyesuaian
(adjustment) makro ekonomi secara menyeluruh seperti yang dimandatkan IMF, Bank Dunia
dan donor lainnya. Sebagai kompensasi dari paket bail-out sebesar US$ 43 miliar, pemerintah
Indonesia harus mengupayakan kembali neraca pembayaran dan mengimplementasikan
reformasi atau pembaruan kebijakan kritis yang terarah pada aspek-aspek yang sangat krusial,
yakni pengeluaran di sektor publik, termasuk pemotongan subsidi, privatisasi BUMN dan
16
ekspansi partisipasi sektor swasta. Setelah Latter of Intent (LOI) disetujui, maka pemerintah
harus mengeluarkan keputusan menteri, peraturan pemerintah atau keputusan lain, sehingga
kuat dasar hukumnya. Inti dari LOI itu adalah liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN,
penghapusan subsidi, dan pendisiplinan defisit APBN. Harapannya, dengan meliberalisasi
sektor pangan, maka Indonesia yang notabene merupakan penghasil produk pertanian, dapat
menikmati keuntungan ekonomi (meningkatnya ekspor dan menurunnya impor pangan).
Masalahnya adalah LOI secara tidak langsung akan berdampak pada masalah
ketahanan pangan. Melalui Persetujuan ini, pangan tidak lagi dilihat sebagai hak warga
negara, namun sebagai komoditas perdagangan. Hal seperti ini justru kontradiktif dengan
upaya pemenuhan hak atas pangan. Karena pangan hanya menjadi barang pasar, tetapi tidak
pernah terpikirkan mengenai persoalan akses dan kepemilikan.
Dengan masuknya Indonesia ke dalam Perjanjian Pertanian (AoA) WTO di tahun
1995, dan tunduk kepada Letter of Intent (LoI) di tahun 1997, maka terjadi proses liberalisasi
pertanian yang radikal. Liberalisasi pertanian ini adalah menyerahkan sistem pertanian dan
nasib petani Indonesia kepada mekanisme pasar bebas, yaitu “free-fight liberalism”
(liberalism pertarungan bebas). Dengan liberalisasi pertanian ini, maka total impor komoditas
pangan utama Indonesia (beras, jagung, bungkil kedele, kacang tanah, gandum) pada tahun
2001 sudah mencapai angka Rp 11,8 triliun. Ini berarti pertanian impor semakin menguasai
pertanian Indonesia, dan menguntungkan para importer atas dasar mekanisme pasar,
sementara banyak petani dirugikan.9
Program penyesuaian struktural dari Bank Dunia dan IMF biasanya memberlakukan
persyaratan liberalisasi di bidang pertanian yang sama dengan persyaratan WTO. Apabila di
WTO, pemenuhan syarat bias dirundingkan dengan mengajukan alasan ketahanan pangan,
atau kepentingan nasional dan rakyat. Tapi persyaratan pinjaman dari Bank Dunia dan IMF
tidak dapat ditawar, walaupun dapat dihilangkan ketika sebuah negara tidak lagi berhutang.
Perjanjian hutang pertama antara Indonesia dengan IMF adalah awal dari penurunan tarif
impor untuk gandum, beras, gula, bawang putih, dan kedelai serta menghilangkan monopoli
dan kontrol harga komoditas pertanian. Perjanjian berikutnya menuntut Indonesia melakukan
transparansi keuangan di semua BUMN seperti, Bulog, PLN, dan Pertamina serta
memberlakukan bea masuk dan bea impor atas beras sebesar nol persen.
Liberalisasi tidak sepenuhnya membawa kejelekan dalam perekonomian bagi negara
berkembang, seperti Indonesia. Di sisi lain dari perjanjian yang ditandatangani oleh
9 Dian Eko Prasetyo. 2011. Ibid.17
pemerintah Indonesia dan IMF adalah menuntut transparansi keuangan perusahan strategis
negara. Hal ini merupakan salah satu nilai positif dari liberalisasi. Di sisi lainnya dibutuhkan
kesiapan Indonesia untuk dapat terjun dalam persaingan pasar bebas. Dapat dikatakan bahwa
keputusan Indonesia untuk terjun dalam pasar bebas memang tidak disertai dengan persiapan
matang, terutama dalam sektor pertanian. Petani Indonesia yang masih sangat tradisional dan
sangat bergantung pada subsidi dilepas begitu saja. Tentunya hal ini sangat membahayakan
keberadaan petani tersebut. Namun, hal ini dapat diatasi, misalnya dengan tetap
memperdayakan Bolug untuk mengatur perdagangan disektor pertanian dengan mendaftarkan
Bulog sebagai State Trading Enterprise (STE) di dalam WTO. Hal ini membuat peran
pemerintah akan tetap ada dalam melindungi produksi pertanian dalam negerinya, tetapi
dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
BAB IV
Penutup
18
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu
negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Secara umum,
perdagangan dunia didasarkan pada pemikiran bahwa setiap negara memiliki keunggulan
komparatif (absolut dan relatif) dan daya saing yang berbeda. Negara melakukan ekspor
terhadap barang yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dan mengimpor
barang yang lebih rendah keunggulan komparatifnya daripada negara lain. Perdagangan
internasional memungkinkan terjadinya pertukaran antara produk-produk negara berkembang
ini dengan negara maju yang memproduksi mesin-mesin dan produk jadi; transfer teknologi
dan pengetahuan; serta bantuan modal asing.
Adapun perdagangan dan keuangan internasional didukung oleh bentuk kelembagaan
atau institusi yang mengatur harmonisasi antara peraturan perundangan-undangan negara
yang melakukan aktivitas tersebut sesuai dengan hasil kesepakatan institusi. Organisasi
Perdagangan Dunia dibentuk pada tahun 1995 sebagai pengganti dari GATT yang
didirikan pada tahun 1947 yang hanya muncul sebagai dasar tatanan perdagangan
internasional pasca perang sebagai akibat dari kegagalan untuk mendirikan Internasional
Trade Organization. GATT pada dasarnya merupakan kesepakatan antara negara-negara
anggota untuk menerapkan prinsip-prinsip multilateral non-diskriminasi dan timbal balik
untuk urusan perdagangan.
Pada awalnya, GATT hanyalah sebagai seperangkat norma dan aturan yang fokusnya
terbatas pada pengurangan tarif hambatan terhadap barang-barang manufaktur impor,
prosedur yang lemah dalam penyelesaian perselisihan dan sebagainya. Keterbatasan tersebut
pada akhirnya membawa GATT kepada usulan untuk membentuk WTO sebagai respon
terhadap keharusan mengubah sistem perdagangan internasional pada 1980-an, berkaitan
dengan kemenangan yang lebih luas dari neoliberalisme dan percepatan globalisasi. Hal
tersebut menciptakan tekanan kuat untuk memajukan penyebab perdagangan bebas melalui
organisasi perdagangan yang lebih kuat dengan tanggung jawab yang lebih luas.
WTO lebih kuat dari GATT, khususnya di bidang penyelesaian sengketa dan hal ini
telah menjadikan WTO sebagai instrumen hukum internasional yang utama di bidang
perdagangan. Dalam beberapa hal, WTO tampaknya menjadi lebih demokratis daripada IMF
atau Bank Dunia. Adapun WTO merupakan target utama dari protes anti-globalisasi atau
anti-kapitalis sehingga ia disebut sebagai organisasi yang kontroversial. Perdebatan ideologi
utama mengenai manfaat atau sebaliknya dari WTO berpusta pada filosofi yang mendasari
perdagangan bebas yang berpendapat bahwa perdagangan bebas membawa kemakmuran bagi
19
semua dan memperkecil kemungkinan terjadinya perang. Namun perdagangan yang tidak
adil menyebabkan suatu ketimpangan struktural.
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mana dalam melaksanakan
kegiatan penjualan produk antar negara tidak dikenai pajak ekspor-impor atau hambatan
perdagangan, atau dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan
yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-
perusahaan yang berada di negara yang berbeda. Melalui mekanisme Agreement on
Agriculture (AoA), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dokumen hukum WTO,
setidaknya terdapat tiga komitmen dalam AoA. Yakni perluasan akses pasar, pengurangan
subsidi domestik, dan pengurangan subsidi impor, ditambah satu klausula perlakukan khusus
dan berbeda bagi Negara Berkembang.
Indonesia telah menjadi contracting parties dalam GATT sejak 24 Februari 1950.
Ketika GATT bermetamorfosis menjadi WTO tanggal 1 januari 1995, secara otomatis
Indonesia menjadi founding fathers dalam WTO dan secara resmi mengadopsinya dalam
Undang-undang nasional, yaitu Undang-undang Nomor 7 tahun 1994. Konsep legally-
binding yang dianut WTO kemudian mewajibkan Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan
dalam negerinya dengan peraturan WTO, termasuk kebijakan di bidang pertanian yang harus
menyesuaikan dengan ketentuan AoA.
REFERENSI
20
1. Balaam, David and Michael Vesseth. 2001. Introduction to International Political
Economy. Second Edition. New Jersey: Prentice Hall.
2. Barkin, J. Samuel. 2006. International Organization: Theory and Institutional.
New York: Palgrave Macmillan.
3. Dian Eko Prasetyo. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor
Beras Di Indonesia. Skripsi FE UPN “Veteran” Surabaya.
4. Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral
Ekubang, Deplu. 2004. Persetujuan Bidang Pertanian, Terjemahan.
5. Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral
Ekubang, Deplu. 2003. Sekilas WTO. World Trade Organization.
6. Fakih, Mansour. 2003.Bebas dari Neoliberalisme. Insist Pers: Yogyakarta.
7. Mochamad Slamet Hidayat. Sekilas WTO (World Trade Organization) Edisi
Keempat. Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat
Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri. Jakarta.
8. Muhammad Sood. 1995. Pengantar Hukum Perdagangan Internasional. Mataram:
Mataram UniversityPress.
9. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005.Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional. Bandung: Rosda.
10. Riyanto, Astim. 2003. World Trade Organization. Cetakan Pertama. Bandung:
YAPEMBO.
11. WTO. 2002. The Legal Text, The Results of the Uruguay Round of Multilateral
Trade Negotiations eatment – S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk
juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian
bagi negara-negara tersebut.
12. WTO. 2003. Understanding the WTO. World Trade Organization
13. Legal Text Uruguay Round Agreement: Agreement on Agriculture
http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/14-ag_01_e.htm diunduh pada tanggal
11 November 2012.
21
14. Lidya Christin Sinaga, Isu pertanian dan Respon Masyarakat Sipil di Indonesia,
http://jurnal.dikti.go.id/jurnal/detil/id/24:60016/q/pengarang:CHRISTIN%20/
offset/0/limit/15 diunduh pada tanggal 20 Agustus 2012.
22