tugas hukum sumber daya alam

8
Nama : Rebecca Patarida N NPM : 2011200184 Tugas 2 Hukum SDA 1. Dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Izin pinjam pakai diberikan oleh Menteri, dan atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Bahwa dalam rangka peningkatan tata kelola, pengendalian penggunaan kawasan hutan, serta percepatan pelayanan pinjam pakai kawasan hutan perlu menetapkan kembali Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Menteri yang dimaksud yaitu Menteri Kehutanan. Maka itu, Menteri Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.16/Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Pasal 1 angka 8, yang dimaksud dengan Izin pinjam pakai kawasan hutan adalah izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan.

Upload: rebecca-patarida-narianta

Post on 21-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Kaitannya dengan UU Kehutanan, kegiatan pertambangan di kawasan hutan.

TRANSCRIPT

Nama : Rebecca Patarida N NPM : 2011200184

Tugas 2 Hukum SDA1. Dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Izin pinjam pakai diberikan oleh Menteri, dan atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Bahwa dalam rangka peningkatan tata kelola, pengendalian penggunaan kawasan hutan, serta percepatan pelayanan pinjam pakai kawasan hutan perlu menetapkan kembali Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Menteri yang dimaksud yaitu Menteri Kehutanan. Maka itu, Menteri Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.16/Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Pasal 1 angka 8, yang dimaksud dengan Izin pinjam pakai kawasan hutan adalah izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan.

Yang dimaksud dengan kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan yaitu,

a. religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani;

b. pertambangan meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral,

batubara dan panas bumi termasuk sarana dan prasarana;

c. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi

baru dan terbarukan; Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan ditentukan bahwa setiap orang dilarang melakukan eksplorasi terhadap hutan sebelum mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang yaitu Menteri kehutanan. Jadi, sebelum izin tersebut diterbitkan seharusnya kegiatan pertambangan belum boleh dilakukan. Bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan Izin pinjam pakai, seperti yang dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g;melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;

Maka bagi pelaku usaha atau perusahaan tersebut akan dikenakan sanksi pidana beserta denda sesuai Pasal 78 ayat (6);

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).Selain sanksi pidana, pelaku usaha yang melanggar juga dapat dikenakan ganti rugi dan sanksi administratif yang ditegaskan dalam Pasal 80 UU Nomor 41 Tahun 1999.2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak mengatur bagaimana perizinan penggunaan kawasan hutan yang telah berjalan atau telah dilakukan sebelum UU ini. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perusahaan pertambangan yang telah melakukan perjanjian dan memperoleh izin dari Pemerintah untuk melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan konservasi dengan pola pertambangan terbuka sebelum terbentuknya UU Kehutanan.

Solusi yang dibuat Pemerintah yaitu dengan mengeluarkan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, yang menyatakan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Selanjutnya melalui Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan, Pemerintah menetapkan 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya UU Kehutanan, untuk melanjutkan kegiatannya di kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.3. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.

UU No. 5/1967 membagi hutan berdasarkan pemiliknya (Hutan Negara dan Hutan Milik) dan hutan berdasarkan fungsinya (Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Hutan Suaka Alam). Dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 5/1967 disebutkan ;

Hutan Lindung ialah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukan guna mengatur tata air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah.

UU No. 5/1967 tidak menyebutkan larangan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, termasuk di dalam kawasan hutan lindung. Aturan peralihan UU No. 41/1999 tidak mengatur bagaimana aturan transisi perusahaan -perusahaan pertambangan tersebut. Sehingga tidak ada kepastian status kegiatan pertambangan yang sedang mengeksploitasi sumberdaya hutan Indonesia. Tahun 2004 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 (Perpu No. 1/2004) yang menambahkan aturan peralihan dari UU No. 41/1999. Isi dari Perpu itu adalah menambahkan Pasal 83 A untuk memberikan jaminan kepastian hukum pada perusahaan pertambangan yang sedang mengeksploitasi hutan Indonesia. Pasal 83A tersebut berbunyi:

Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.Maka pelaku usaha yang melakukan kegiatan penambangan dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, adalah diperbolehkan atau dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian terhadap kegiatan pertambangan tersebut. 4. Dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan ditegaskan :Pelaku Usaha perkebunan dapat diberi hak atas tanah untuk Usaha perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang_undangan.

Dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) :

Hak atas tanah yang diperlukan untuk Usaha perkebunan dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Hak-hak atas tanah menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 :

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.Hak-hak atas tanah yang dimaksud Pasal 4 adalah :

a. hak milik, b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut-hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.Hak guna bangunan tidak mengenai tanah pertanian (Penjelasan Pasal 35 UU Nomor 5/1960).Sehingga isi Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 2014 tidak bersesuaian dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Karena dalam UUPA tidak diatur atau tidak dikenal hak guna bangunan untuk usaha perkebunan.