tugas etika dan tanggung jawab profesi

Download TUGAS ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI

If you can't read please download the document

Upload: arwan-black

Post on 01-Jul-2015

591 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

TUGAS ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI

Tinjauan Hukum Penerbitan Berita Dalam Profesi Wartawan

OLEH :

ARWAN ARSYAD BIII O7 264

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr.Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat-Nya dan karunia-Nya jualah yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.Penulis juga sadari bahwa dengan petunjukNya sehingga kesulitan dan hambatan dapat diatasi dengan baik. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari

kesempurnaan, walaupun sebagai penulis telah mengupayakan semaksimal mungkin sesuai ndengan kemampuan yang kami miliki. Lebih jauh dari itu, penulis sangat mengharapkan kritik ataupun saran-saran dari dosen maupun rekan-rekan guna kesempurnaan makalah ini. Sehingga pada masa yang akan datang menjadi petunjuk serta penuntun bagi penulis bila dihadapkan pada tugas-tugas lain yang akan datang. Demikian kata pengantar dari penulis, semoga bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan terlebih-lebih bagi penulis sendiri di masa yang akan datang.

Makassar, 27 Maret 2010

Penulis

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lahirnya reformasi membuat kebebasan pers menjadi semakin terbuka, setelah pada masa orde baru yang dengan menggunakan sistem politik otoriter telah memasung kebebasan pers selama 32 tahun, oleh karena itu diperlukan paradigma baru bagi sistem pers yang dibawa oleh perubahan besar itu adalah kebebasan yang seluas-luasnya, tentu saja pengertian tersebut cenderung kepada paham liberalisme sebagai alternatif dari paham otoriterisme padahal masyarakat kita belum mengenal betul dan memahami cara pelaksanaan sistem pers liberal sebagaimana mestinya, yakni harus didukung oleh tanggung jawab hukum dan kode etik sehingga insan pers kebablasan dalam mengemukakan berita yang seharusnya melalui suatu proses penyuntingan tepat. Situasi pers Indonesia tersebut juga memiliki relevansi dengan perkembangan tipologi pers, yakni jumlah pers yang bermutu (class press, quality press), akibat masa transisi yang dibawa oleh gerakan reformasi keberadaan undang-undang pers tidak lebih dari sebuah undang-undang yang bersifat peralihan pula dan seakan-akan tidak memiliki otoritas, undang-undang pers seakan-akan dipersepsikan sebagai undangundang tentang pembebasan pers dari semua macam larangan atau pembatasan. Persepsi masyarakat tersebut sangat fenomenal, gejala anti-nomia senada dengan dari teori-teori jurnalistik yang berakibat kerusakan rambu-rambu kode etik hal ini mudah di lihat dalam pelaksanaan rumus berita 5W + 1H yang sering tidak benar. Cara memilih

kata-kata atau istilah-istilah, memilih kejadian yang diberitakan dan agenda setting yang dipilih sedemikian rupa sehingga muncul sensasi yang besar dan berita-berita yang menakutkan boleh dikatakan sebagian penerbitan pers tidak sanggup berperan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui tentang apa yang diperlukannya. Dalam hal masyarakat dan pihak-pihak yang merasa dirugikan menggunakan jalur pidana atau perdata untuk menyelesaikan perkara delik pers maka harus diketahui jalur-jalur hukum apa yang mesti ditempuh dan kepada siapa ditujukan atau dengan kata lain siapakah yang bertanggung jawab terhadap delik pers yang berlaku, hal ini harus diperjelas mengingat di dalam suatu penerbitan melibatkan banyak pihak. Dalam hal jalur hukum perdata kemungkinan pertanggungjawabannya tidak jelas karena banyaknya pihak yang terlibat dalam penerbitan pers. Merosotnya wibawa hukum dan atau lemahnya law enforcement juga menjadi salah satu penyebab lain terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan dan pencemaran nama baik yang terjadi akhir-akhir ini, tetapi penyebab yang lebih utama dari terjadinya kasus tersebut adalah masyarakat dan komunikator massa yang belum siap secara mental dan kultural untuk menerima kebebasan pers yang bernuansa liberalisme atau teori pers liberal. Meluasnya istilah kebablasan pers (abuse of prees freedom),pelintiran kata-kata dalam berita (spinning of words), yang berakibat terjadinya delik pers.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan keluhan di atas dipandang perlu untuk dilakukan penelitian. Mengenai Tinjauan Hukum penerbitan berita dalam profesi wartawan. Untuk itu penulis menguraikan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 dan KUHP dalam melindungi nama baik ? 2. Bagaimana penerapan Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 dan KUHP dalam melindungi kebebasan Pers Nasional ?

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Guna menjawab apa yang menjadi permasalahan pada Bab sebelumnya, maka penulis mempelajari dan membaca beberapa bahan kepustakaan yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas. Pers berasal dari perkataan Belanda pers yang artinya menekan atau mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata press dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan atau mengepres. Jadi, secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Tetapi, sekarang kata pers atau press ini digunakan untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun wartawan media cetak. Berdasarkan uraian di atas, ada dua pengertian mengenai pers, yaitu pers dalam arti kata sempit dan pers dalam arti kata luas. Pers dalam arti kata sempit yaitu yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantara barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti kata luas adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun dengan media elektronik seperti radio, televisi maupun internet. Memang ada perbedaan prinsip antara pengertian libel dan delik pers. Perbedaan ini terletak pada perbedaan tujuannya. Hukum yang menyangkut libel yang berasal dari Barat yang sistem politiknya bersifat liberal itu tujuannya terutama untuk melindungi individu-individu warga negaranya. Sedangkan hukum yang menyangkut

delik pers yang dibentuk semasa pemerintahan Kolonia Belanda bertujuan selain untuk melindungi warga Negara tetapi juga untuk melindungi kepentingan penguasa waktu itu. Hal ini mengingat para pejuang kemerdekaan Indonesia sering mengutarakan pendapat atau mengkritisi pemerintah Kolonia melalui tulisan-tulisan di surat kabar. Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang pers adalah lembaga sosial wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menghimpun, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dalam grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia. Menurut Oemar Seno Adji (1997 : 12) mengatakan bahwa pers adalah pers yang isinya tidak memuat penghinaan, penghasutan pernyataan memusuhi agama, pornografi penyiaran kabar bohong termasuk di dalamnya tak mengganggu keamanan nasional dan ketertiban umum dan tak menghambat jalannya peradilan Di dalam pers juga terdapat rumusan tentang pers bebas, sehat dan bertanggung jawab. Pers sehat adalah pers yang mempunyai komitmen terhadap kepentingan nasional tidak berhadap-hadapan dengan pemerintah, melainkan

bekerjasama dalam ikatan interaksi yang positif dengan pemerintah masyarakat. ( Soekarno 1968 : 31 ). Kebebasan pers dalam arti kebebasan pers yang bertanggung jawab hakikatnya memuat berita, jika memang terdapat alasan yang tepat untuk itu.( M. L. Gandhi 1985 : 69 ).

Pers mempunyai berbagai macam tanggung jawab, dan salah satunya adalah tanggung jawab hukum. Ruang lingkup tanggung jawab hukum sendiri masih sangat luas, karena mencakup banyak bidang hukum. Tetapi yang cukup penting buat pers adalah tanggung jawab hukum pidana dan tanggung jawab Hukum Tata Negara. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur kejahatan atau tindak pidana tentang pencemaran nama baik seseorang baik dilakukan oleh seseorang ataupun korporasi khususnya diatur dalam Pasal 61 KUHP yang tertulis : (1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penerbitnya selaku demikian tidak dapat dituntut apabila dalam barang cetakan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya dikenal atau setelah dimulai penuntutan pada waktu ditegur pertama kali lalu diberi tahu oleh penerbit. (2) Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada saat barang cetakan terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia. Ketentuan ini sebenarnya lebih menitikberatkan pada perusahaan percetakan yang bertanggung jawab penuh dalam suatu pemberitaan, tetapi harus diingat bahwa ketentuan ini juga terdapat pengecualian, lebih lanjut ditambahkan dalam Pasal 62 bahwa : (1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak dapat dituntut apabila dalam barang cetakan di sebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan orang yang menyuruh mencetak dikenal atau setelah dimulai penuntutan pada waktu ditegur pertama kali lalu diberi tahu oleh pencetak.

(2) Aturan ini berlaku jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetak terbit, tidak dapat dituntut sudah menetap di luar Indonesia. Menurut Pasal 61 KUHP, agar seseorang penerbit tidak dapat dihukum sesuai dengan sistem penyertaan paling tidak harus memenuhi empat syarat : 1. Pada barang cetakan itu harus di cantumkan nama dan tempat tinggal penerbit, identitas itu sudah diperlukan untuk menunjukkan siapa yang menjadi penerbitnya. 2. Pembuatan barang cetak itu ( penulis, pemotret atau pelukisnya ) sudah diketahui. Setidak-tidaknya sesudah sidang dimulai dan jaksa menegur untuk pertama kali penerbit memberi tahu siapa pembuatnya. 3. Terhadap pembuat harus dapat dituntut. Maksudnya pembuat tadi adalah orang yang sudah identitasnya jelas dan diketahui kediamannya. Maksud Pasal 61 KUHP juga tidak terlalu jauh berbeda dengan Pasal 62 KUHP khusus untuk ditujukan untuk percetakannya. Syarat-syaratnya pun serupa tetapi buat pencetak tidak menyebut siapa yang telah membuat barang itu. Cukup asal pencetak itu memberi tahu siapa yang menyuruh mencetaknya. Jika penerbit dan pencetak memenuhi syarat yang telah ditetapkan itu, walaupun terlibat dalam tindak pidana barang cetakan mereka tidak bisa dituntut berdasarkan sistem penyertaan. Sebaliknya kalau mereka tidak memenuhi syarat itu mereka tetap di hukum hanya saja bukan berdasarkan kepada keterlibatannya sesuai dengan Pasal 483 KUHP yang tertulis : Barang siapa menerbitkan suatu tulisan atau suatu gambar yang karena sifatnya dapat diancam dengan pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling bantak empat ribu lima ratus, jika :

1. Si pelaku tidak diketahui namanya dan juga tidak diberi tahu namanya oleh penerbit padahal peringatan pertama sesudah penuntutan berjalan padanya. 2. Penerbit sudah mengetahui atau patut menduga bahwa pada waktu gambar atau tulisan itu diterbitkan, si pelaku tidak dapat dituntut lagi atau sudah tidak menetap di Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 484 KUHAP disebutkan : Barang siapa mencetak tulisan atau gambar yang merupakan perbuatan pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika : 1. Orang yang menyuruh mencetak barang tidak diketahui, dan setelah ditentukan penuntutan, pada teguran pertama tidak di beritahukan olehnya. 2. Pencetak mengetahui atau seterusnya menduga bahwa orang yang menyuruh mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar Indonesia. Selain ketentuan yang telah disebutkan di atas, maka tindakan pencemaran nama baik melalui pers juga dapat kita lihat dalam Pasal 310 ayat (2) di mana ketentuan tersebut mengatur bahwa : Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Setelah

mengetahui

pasal-pasal

yang

berhubungan

dengan

pertanggungjawaban pidana dalam KUHP, bagaimana menerapkannya dalam pers, jika pers melakukan suatu tindak pidana, siapa yang harus bertanggung jawab. Untuk jenis berita straight news tidak terlampau sulit menentukan siapa yang bersalah paling besar dan dalam kedudukan sebagai apa. Pada straight news seluruhnya hanya berisi fakta dan data saja dan biasanya seorang wartawan bisa mengerjakan sendiri tugas itu, redaktur/editor hanya mengubah sedikit saja kata-katanya agar menjadi lebih baik dan enak dibaca, lalu redaktur pelaksana dalam kasus biasa tinggal menyetujui berita itu naik cetak. Kalau ternyata terbukti reporter menyelundupkan fakta atau data yang tidak benar, salah mengutip atau salah merumuskan pengertian, menurut teknis jurnalistik, kesalahan terbesar terletak pada reporter yang bersangkutan. Dinyatakan bersalahnya seorang wartawan sebagai pelaku utama pada paham yang kita anut yaitu dalam pengertian dalam arti luas atau dalam arti sempit. Menurut pandangan pertanggungjawaban dalam arti luas, penentu terakhirlah yang menjadi pelaku utama, karena dialah yang mempunyai tanggung jawab paling besar. Dalam kasus seperti ini berita dari reporter atau wartawan bisa ditolak oleh redaktur/editor, begitu juga redaktur pelaksana mempunyai hak untuk tidak menurunkan berita tersebut, meski sudah diloloskan oleh redaktur atau editor. Dalam jenjang redaksional tanggung jawab tertinggi terletak di pimpinan redaksi. Jadi reporter seolaholah Cuma bertindak sebagai alat saja yang tidak mempunyai banyak wewenang atau hak menentukan sendiri. Sedangkan menurut pandangan pertanggungjawaban dalam arti sempit, tanggung jawab seseorang diukur seimbang dengan perbuatan nyata orang

yang bersangkutan. Seandainya reporter mempunyai kesalahan besar, dengan memasukkan fakta atau data yang salah maka reporter itulah yang harus bertanggung jawab apalagi inisiatif untuk suatu berita berasal dari dirinya. Dalam undang-undang pokok pers terjadi beberapa kali perubahan dalam undang-undang pers tersebut,mulai dari undang-undang Nomor 11 tahun 1966 Tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, kemudian terjadi lagi perubahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1966 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 11 tahun 1966, kemudian berubah lagi undang-undang Nomor 40.tahun 1999 tentang Pers. Dengan berdalih demi kebebasan pers, pers tidak jarang telah melakukan trial by the press yang berakibat terjadinya delik pers. Di sinilah perlu dan pentingnya kesadaran pelaku pers (para jurnalis) untuk memikul tanggung jawab profesi dalam menjalankan tugas jurnalistik. Sekarang terminologi dan paradigma pers telah berubah. Jika dahulu (UU. No. 11/1966 yo, UU. No. 4/1967 dan UU. No. 21/1982) digunakan istilah pers bebas dan bertanggung jawab, kini telah berubah menjadi pers merdeka dan profesional. Rasio logisnya adalah bahwa pers harus merdeka dapat mendorong proses demokratis, transparansi dan akuntability. Tuntutan akan profesionalitas tersebut tiada lain dimaksudkan untuk alat penyeimbang (check and balance) semangat pers yang merdeka. Sebab pada dasarnya hanya mereka yang profesional yang memiliki rasa tanggung jawab profesi yang mampu melindungi kehormatan dan martabat profesinya.

BAB 3 PEMBAHASAN Kebebasan pers di Indonesia saat ini sudah sangat di luar batas-batas kewajaran, hal ini diakibatkan oleh tindakan pers yang tidak lagi memperhatikan objek pemberitaan sehingga bagi pers tidak ada aspek tidak dapat tersentuh. Dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ditegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah bentuk wujud kedaulatan rakyat dengan asas-asas demokrasi, keadilan dan supremasi hukum, dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pers diharapkan dapat memposisikan diri sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sehingga kepadanya diberikan kebebasan untuk melaksanakan amanat rakyat, bentuk

pelaksanaan ini adalah dengan pemberitaan pers yang lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat artinya pers tersebut harus menjadi lembaga kontrol terhadap pelaksanaan hak-hak masyarakat. Adanya kebebasan seperti itu menyebabkan pers menjadi sebuah lembaga yang dapat berbuat semaunya dengan alasan pembenar bahwa untuk memberikan pemberitaan kepada masyarakat dengan tujuan untuk memberitahukan khalayak ramai mengenai suatu peristiwa hanya saja kebebasan ini sering disalahartikan dan disalahgunakan oleh pers sehingga pemberitaan pers menimbulkan kerugian terhadap pihak tertentu, jika berpedoman pada undang-undang pers maka dapat ditemukan adanya 3 macam delik pers yang diatur di dalamnya, yaitu :

1. Delik

pelanggaran

norma

agama,

bagi pers

adanya larangan

memberitakan peristiwa dan opini yang tidak menghormati normanorma agama. 2. Delik Norma Susila, pers dilarang untuk memberitakan peristiwa dan opini yang tidak menghormati rasa kesusilaan masyarakat. 3. Delik terhadap asas praduga tak bersalah, bahwa pers dilarang untuk memberitakan peristiwa dan opini yang tidak menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Pers nasional dalam menjalankan tugasnya harus profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat, hal ini sejalan dengan diaturnya mengenai hak jawab, hak koreksi dan adanya kewajiban koreksi oleh pers dalam suatu pemberitaan yang menyebabkan kerugian pada seseorang atau badan hukum. Harus pula diingat bahwa tindak pidana pers dari sudut pandang KUHP adalah sebagai suatu tindak pidana yang sama dengan lainnya, hanya saja dalam KUHP, sebagian dari delik tersebut merupakan delik aduan artinya jika pihak yang mengadu mencabut aduannya maka pihak yang diadukan harus dilepaskan dari seluruh proses hukum demi menjaga hak-hak seseorang. Tetapi delik pers janganlah dipandang sebagai sesuatu yang istimewa karena walaupun undang-undang pers telah ada dan mempunyai kekuatan berlaku tetapi tidak menghapuskan delik-delik pers sebagaimana diatur dalam KUHP. Apabila dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan terhadap Undang-undang pers khususnya dalam menjaga nama baik seseorang, maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah :

1) Melakukan pengaduan kepada penyidik bahwa adanya tindak pidana pencemaran nama baik; 2) Memberikan atau melayangkan somasi terhadap pers yang telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik 3) Menggunakan hak jawab dan hak koreksi 4) Melakukan gugatan perdata terhadap pers tersebut. Sebenarnya dengan adanya beberapa ketentuan dalam undang-undang pers mengenai kewajiban pers untuk tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah menunjukkan bahwa seharusnya dan sedapat mungkin pemberitaan pers tidak menyebabkan terjadinya pencemaran terhadap nama baik seseorang. Apabila dikatakan undang-undang pers memberikan kebebasan yang sebesarbesarnya bukan berarti kebebasan itu berlebihan walaupun dalam undang-undang pers pada dasarnya memberikan perlindungan kepada insan pers dengan pertimbangan kemerdekaan pers harus dilindungi. Namun dalam kenyataan undang-undang pers, walaupun undang-undang pers tersebut memberikan perlindungan kepada insan pers, hal tersebut harus dilakukan sesuai aturan-aturan dalam KUHP juga mengatur masalah pelanggaran oleh pers. Oleh karena itu insan pers adalah bukan golongan yang istimewa dan kebal akan hukum. Tetapi menurut penulis jika kita melihat dari satu satu sudut pandang, maka pernyataan tersebut benar, akan tetapi jika kita melihat makna sebenarnya maka hal tersebut tidak benar, karena dalam undang-undang pers diatur bahwa semua tindakan pers dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan menghargai hak-hak asasi

seseorang, dan hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengatur tindakan pers, misalnya KUHP.

terdapat aturan lainyang

BAB 5 PENUTUP 1.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang penulis paparkan di atas, maka adapun kesimpulan yang dapat ditarik yaitu : 1. Bahwa dalam undang-undang pers dan KUHP terdapat ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap terjadinya tindak pidana pencemaran nama baik, dalam undang-undang pers khususnya dalam Pasal 5 diatur kewajiban pers dalam melakukan suatu pemberitaan harus memperhatikan hal-hal tertentu seperti norma-norma agama, norma kesusilaan serta menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah 2. Bahwa kebebasan pers dalam undang-undang pers dan KUHP adalah bagaimana pers dalam mencari informasi dan berita tidak melakukan tindakan yang justru melanggar atau membatasi kebebasan orang lain atau kelompok yang justru dapat menimbulkan kerugian pada orang lain dan juga insan pers itu sendiri. 1.2. Saran Dalam hal perbaikan ke depan utamanya mengenai pers, baik dari segi ketentuan yang mengaturnya sampai pada persoalan tingkah laku pers, maka saran yang dapat penulis berikan yaitu : 1. Diharapkan kepada seluruh insan pers dan juga masyarakat umum dalam membuat suatu pemberitaan agar memperhatikan beberapa faktor yaitu

norma agama, norma kesusilaan dan asas praduga tak bersalah, sehingga tindak pidana pencemaran nama baik tidak terjadi. 2. Harus ada pemahaman mendasar khususnya bagi pers mengenai kebebasan pers guna menghindari terjadinya kebablasan yang dilakukan oleh pers yang dapat merugikan orang lain dan insan pers itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali. 1992. Komunikasi, Media Massa dan Khalayak. Hasanuddin University Press. Ujung Pandang. Hamzah, Andi. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. PT. Rineka Cipta. Jakarta Soesilo, R. 1977. Pokok-pokok hukum Pidana, Peraturan Umum, Dan Khusus. Politea. BogorSudarto. 1997. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Undang-Undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers.1999. Asa Mandiri. Jakarta. SUMBER LAIN http://sigitfahruddin.co.cc.diakses pada hari jumat 26 Maret 2010, pukul 19.26 Wita. http;//mengajihukum.blogspot.com, diakses pada hari jumat 26 maret 2010 pukul 19.30 Wita.