tuberculosis paru
DESCRIPTION
penjelasan tuberkulosis paruTRANSCRIPT
1. Tuberculosis Paru
a. DEFINISI
Tuberculosis adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini bisanya mengenai paru, tetapi mungkin menyerang
semua organ atau jaringan di tubuh.
b. EPIDEMIOLOGI
Indonesia adalah Negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan
India. (Zulkifli, 2009: hal 2231). Di tahun 1998 kasus TB di Indonesia diperkirakan sebanyak
591.000 kasus dengan perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah
266.000 kasus. TB ini menempati peringkat ke 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di
Indonesia menurut survey kesehatan rumah tangga 1985 dan survey kesehatan nasional 2001.
Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%.
Menurut studi prevalensi TBC Surkesnas 2004 (Badan Litbangkes, 2005), menunjukkan
prevalensi di Indonesia sebesar 119 per 100.000 penduduk. Prevalensi TBC di kawasan luar
Jawa Bali dua kali lipat lebih tinggi daripada di daerah Jawa dan Bali yaitu 198 per 100.000
penduduk di luar Jawa Bali dan 67 per 100.000 penduduk di Jawa Bali. Dibandingkan dengan
Negara lain, prevalensi TBC di Indonesia masih cukup tinggi yang berarti bahwa TBC
merupakan masalah yang serius di Negara ini. Berikut ini grafik data jumlah penduduk Indonesia
yang menderita TBC :
c. KLASIFIKASI
Menurut Sudoyo, dkk (2009 : hal 2233),klasifikasi tuberculosis Paru, yaitu :
a. Pembagian secara patologis:
1) Tuberculosis primer (childhood tuberculosis).
2) Tuberculosis post-primer ( adult tuberculosis)
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik:
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman tuberkulosis
positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:
1. Tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk
berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.
2. Tuberkulosis ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
1) Tuberkulosis ekstra paru ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar limfe, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2) Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tuberkulosis tulang belakang,
tuberkulosis usus, tuberkulosis saluran kemih dan alat kelamin.
Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).
WHO berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yaitu:
a. Kategori I, ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan
bentuk TB berat.
b. Kategori II, ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan sputum BTA
positif.
c. Kategori III ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan yang tidak luas dan
kasus TB ekstra paru selain yang disebutkan dalam kategori I
d. Kategori IV ditujikan kepada : TB kronik.
a. ETIOLOGI
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosis dan
Mycobacterium Bovis. Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5 – 4 mikron x 0,3 – 0,6 mikron
dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai
selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat).
Bakteri ini mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan
asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan terhadap zat
kimia dan fisik. Kuman tuberculosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat
dorman dan anaerob. Bakteri tuberculosis ini mati pada pemanasan 100 0C selama 5 – 10 menit
atau pada pemanasan 60 oC selama 30 menit, dan dengan 70 – 95 % selama 15- 30 detik. Bakteri
ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-
bulan), dapaat hidup bertahun-tahun di dalam lemari es, hal ini terjadi karena kuman berada
dalam sifat dorman. Dari sifat dorman ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan
tuberculosis aktif lagi, namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara. Data pada tahun 1993
melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90 % udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan
40 kali partukaran udara.
Di dalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni di dalam sitoplasma
makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak
mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
bagian apical paru – paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan
tempat predileksi penyakit tuberculosis. (Widoyono, 2008: hal 15)
.
b. PATOGENESIS
Patogenesis tuberkulosis pada individu imunonkomepeten yang belum pernah terpajan
berpusat pada pembentukan imunitas selular yang menimbulkan resistensi terhadap organisme
dan menyebabkan terjadinya hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tuberkular. Gambaran
patologik tuberkulosis seperti granuloma perkijuan dan kavitasi, terjadi akibat hipersensitivitas
jaringan yang destruktif yang merupakan bagian penting dari respon imun pejamu. Karena sel
efektor untuk kedua proses sama, gambaran hipersensitivitas jaringan juga menandakan akuisisi
imunitas terhadap organisme. Berikut rangkaian kejadian dari patogenesisnya secara umum.
Setelah strain virulen mikrobakteri masuk ke dalam endosom makrofag (suatu proses yang
diperantarai oleh reseptor manosa makrofag yang mengenali glikolipid berselubung manosa di
dinding tuberkular), organisme mampu menghambat respons mikrobisida normal dengan
memanipulasi pH endosom dan menghentikan pematangan endosom. Hasil akhir “manipulasi
endosom” ini adalah gangguan pembentukan fagolisosom efektif sehingga bakteri berproliferasi
tanpa terhambat.
Suatu gen yang disebut NRAMP1 ( atau Natural Resistance-Associated Macrophage Protein
1) diperkirakan berperan dalam aktivitas mikrobisida awal, dan gen ini mungkin berperan dalam
perkembanan tuberkulosis manusia. Polimorfisme tertentu pada alel NRAMP1 telah dibuktikann
berkaitan dengan peningkatan insiden tuberkulosis (terutama di antara orang Amerika Afrika),
dan dipostulasikan bahwa variasi genotipe NRAMP1 ini mungkin menyebabkan penurunan
fungsi mikrobisida
Oleh karena itu, fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum
tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag alveolus dan
rongga udara, sehingga terjadi bakteremia dan penyemaian di banyak tempat.
Meskipun terjadi baktermia, sebagian besar pasien pada tahap ini asimtomatik atau
mengalami gejala mirip flu. Timbulnya imunitas selular terjadi sekitar 3 minggu setelah pajanan.
Antigen mikrobakterium yang telah diproses mencapai kelenjar getah bening regional dan
disajikan dalam konteks histokompabilitas mayor kelas II oleh makrofag ke sel TH0 CD4+
uncomitted yang memiliki reseptor sel Tαβ. Dibawah pengaruh IL-12 yang dikeluarkan oleh
makrofag, sel TH0 ini mengalami “pematangan” menjadi sel T CD4+ subtipe TH1 yang mampu
mengeluarkan IFN-γ
IFN-γ yang dikeluarkan oleh sel T CD4+ sangat penting untuk mengaktifkan makrofag.
Makrofag yang telah aktif mengeluarkan berbagai mediator dengan efek penting di hilir:
1. TNF berperan merekrut monosit yang pada gilirannya mengalami pengaktifan dan diferensisasi
menjadi “histiosit epitheloid” yang menandai respons granulomatosa.
2. IFN-γ bersama dengan TNF menghasilkan gen inducible nitric oxide synthase
(iNOS), yang menyebabkan meningkatnya kadar nitrat oksida di tempat infeksi. Nitrat oksida
adalah oksidator kuat dan menyebabkan terbentuknya zat antara nitrogen reaktif dan radikal
bebas lain yang mampu menimbulkan kerusakan oksidatif pada beberapa konstituen
mikobakteri, dari dinding sel hingga DNA
Selain mengaktifkan makrofag, sel CD4+ juga mempermudah terbentuknya sel T sitotoksik
CD8+ yang dapat mematikan makrofag yang terinfeksi oleh tuberkulosis. Sementara sebagian
besar respons imun yang diperantarai oleh sel T dilakukan oleh sel yang memiliki reseptor sel T
αβ, tetapi penelitian terakhir berfokus pada peran komplementer sel T gama-delta (γδ) dalam
resistensi pejamu terhadap patogen intrasel seperti mikrobakteri. Sel T γδ tidak saja dapat
mengeluarkan IFN-γ (sehinngga mengaktifkan makrofag) tetapi juga dapat berfungsi sebagai sel
efektor sitotoksik yang menyebabkan kerusakan makrofag yang terinfeksi oleh tuberkulosis.
Defek di setiap langkah pada respons TH1 (termasuk pembentukan IL-12, IFN-γ, atau nitrat
oksida) menyebabkan granuloma tidak terbentuk sempurna, tidak adanya resistensi, dan
perkembangan penyakit.
Secara singkat, imunitas terhadap infeksi tuberkulosis diperantarai terutama oleh sel T dan
ditandai dengan pembentukan dua cabang hipersensitivitas dan munculnya resitensi terhadap
organisme. Hipersensitivitas disertai respons jaringan destruktif, sedemikian sehingga reaktivasi
atau pajanan ulang ke basil pada pejamu yang telah tersensitisasi menyebabkan mobilisasi cepat
reaksi pertahanan tetapi terjadi peningkatan nekrosis jaringan.
Berikut ini merupakan pathogenesis dari masing-masing jenis tuberculosis :
a. Tuberkulosis primer
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara
bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Dalam suasana yang lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari - hari sampai
berbulan – bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada
saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofi, kemudian baru oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama dengan gerakan silia bersama sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini
ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan
berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau
sarang (focus) ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka akan terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfedenopati regional kemudian
bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal,
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluaruh bagian paru menjadi
TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (ranke). Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya menjadi:
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, klasifikasi di
hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pnemunia yang luasnya > 5 mm dan ± 10 %
diantaranya dapat terjadi reaktivitas lagi karena kuman yang dormant.
3. Berkomplikasi dan menyebar secara: perkontinuitatum, yakini menyebar ke sekitarnya.
Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya, kuman dapat
juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus. Secara
limfogen ke organ tubuh lain- lainya. Secara hematogen ke organ tubuh lainnya. Semua
kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberculosis primer.
b. Tuberculosis pasca primer (sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan mucul bertahun – tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%.
Tuberculosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit
maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini
yang berlokasi di region atas paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini
mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi
tuberkel yakini suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia-langerhans (sel
besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB
pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua
tergantung dari jumlah kuman, virulensi nya dan imunitas pasie, sarang dini ini dapat menjadi :
a. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
b. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjdai keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini
yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan
bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila
jaringan keju dibatukan keluar maka akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula
berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam
jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas
adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh
makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF nya. Bentuk perkijuan lain yang
jarang adalah cryptic dissesminaate TB yang terjadi pada immunodifisiensi dan usia lanjut.
c. Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak kavitas dapat meluas kembali
dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk ke dalam peredaran
darah arteri, maka akan teradi TB Milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan
masuk ke lambung dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti
perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB
endotrakeal atau empiema bila rupture ke pleura .
d. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma ini dapat mengapur dan
menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik
kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma .
e. Bersih dan menyembuh disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh dengan
membungkus diri menjadi kecil. kadang-kadang berkahir sebagai kavitas yang terbungkus,
menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped.
c. MANIFESTASI KLINIS
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza tetapi panas badan kadang-kadang dapat
mencapai 40-41 oC. serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat
timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influsnza ini, sehingga pasien
merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.
b. Batuk atau batuk darah
Gejala ini banyak di temukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
diperlukan untuk membuang produk-prosuk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus di setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah batuk berkembang dalam jaringan paru
yakini setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai
dari batuk kering (non Produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat
pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas,
tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian
paru-paru.
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan, nyeri dada tibul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik
atau melepaskan napasnya.
e. Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat randang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan
berupa aneroksia, tidak ada nafsu maka, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat
dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
d. FAKTOR RESIKO
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa orang lebih rentan terhadap infeksi TB
atau tuberculosis, yaitu :
1. Faktor Umur.
Beberapa factor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur, jenis kelamin,
ras, asal Negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York
pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat
infeksi tuberculosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi
tuberculosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75%
penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
2. Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak tuberculosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah
penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada
wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita
TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada
wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB paru.
3. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan
kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.
Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun
1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relative lebih rendah
dengan 430 batang/ orang/ tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760
batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua
Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok
kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi
TB Paru.
4. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang
optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati
bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat
yang gelap dan lembab.
5. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali
untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih.
Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan
respon immunologik terhadap penyakit.
6. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan
akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya
kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap
status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun
sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.
7. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang
kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap
dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang
disekelilingnya.
8. Kepadatan penduduk yang tinggi
Penularannya sangat mudah.
9. Immuno deficiency
Orang-orang yang daya tahan imunnya rendah lebih mudah tertular TB.
e. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada klien dengan tuberculosis Paru, yaitu :
a. Pemeriksaan radiologis (Photo Thorax)
Lokasi lesi tuberculin umumnya di daerah apex paru (segmen apical lobus atas atau segmen
apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah
hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberculosis endobronkial). Pada awal penyakit saat
lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak
seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal dengan tuberkuloma .
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. lama-lama dinding
menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis.
Pada klasifikasi bayangannya tambak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada
atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian
atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberculosis millier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar
merata pada seluruh lapang paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberculosis
paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan dibagian bawah paru (efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radioulsen di pinggir paru/pleura (pnemothorax) Pada satu
foto dada sering di dapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada tuberculosis yang
sudah lanjut) seperti infiltrate, garis-garis fibrotik, klasivikasi kavitas (non sklerotik/sklerotik)
maupun atelektasis dan emfisema.
b. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak dipakai di rumah
sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT-Scan). Pemeriksaan ini lebih
superior dibandingkan dengan radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas
dan sayatan dapat dibuat transversal.
c. Magnetic Resonsnce Imaging ( MRI )
Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT-Scan, tetapi dapat mengevalusai proses-proses dekat
apek paru, tulang belakang, perbatasan dada perut. Sayatan dapat dibuat transversal, segital dan
koronal.
d. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang meragukan,
hasilnya tidak sensitive dan tidak spesifik. Pada saat tuberculosis baru mulai aktif akan
didapatkan jumlah leukosit sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah
limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh
jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi, laju endap darah mulai turun
kearah normal lagi.
e. Sputum (BTA)
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum.
f. Tes tuberculin/ tes mantoux
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakan diagnosis tuberculosis
terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes mantoux yakini dengan menyuntikan 0,1
cc tuberculin P.P.D (purified protein derivative). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U
dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U ( first strength). kadang-kadang bila dengan 5 T.U masih
memberikan hasil negative, berarti tuberculosis dapat disingkirkan , umumnya tes mantoux
dengan 5 T.U. Sudah cukup berarti. Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seorang individu
sedang atau pernah terserang Mycobacterium tuberculosis, mycobacterium bovis.
Tes mantoux ini dapat dibagi kedalam beberapa kategori yaitu :
1. Indurasi 0-5 mm (diameternya ) mantoux negative = golongan non sensitivity.
2. Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Disini peran antibody
normal masih menonjol.
3. Indurasi 10-15 mm: mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity disini peran antibody
selular paling menonjol.
f. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan yang dapat diberikan pada klien dengan tuberculosis Paru, yaitu
2.
g. KOMPLIKASI
1. Pleuritis tuberkulosa
Terjadi melalui fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening, sebab lain dapat
juga dari robeknya perkijuan ke arah saluran getah bening yang menuju ronggal pleura, iga atau
columna vertebralis.
2. Efusi pleura
Keluarnya cairan dari peembuluh darah atau pembuluh limfe ke dalam jaringan selaput paru,
yang disebabkan oleh adanya penjelasan material masuk ke rongga pleura. Material mengandung
bakteri dengan cepat mengakibatkan reaksi inflamasi dan exudat pleura yang kaya akan protein.
3. Empiema
Penumpukann cairan terinfeksi atau pus (nanah) pada cavitas pleura, rongga pleura yang di
sebabkan oleh terinfeksinya pleura oleh bakteri mycobacterium tuberculosis (pleuritis
tuberculosis).
4. Laryngitis
Infeksi mycobacterium pada laring yang kemudian menyebabkan laryngitis tuberculosis.
5. TBC Milier (tulang, usus, otak, limfe)
Bakteri mycobacterium tuberculosis bila masuk dan berkumpul di dalam saluran pernapasan
akan berkembang biak terutama pada orang yang daya tahan tubuhnya lemah, dan dapat
menyebat melalaui pembuluh darah atau kelenjar getah bening, oleh karena itu infeksi
mycobacterium tuberculosis dapat menginfeksi seluruh organ tubuh seperti paru, otak, ginjal,
dan saluran pencernaan.
6. Keruskan parennkim paru berat
Mycobacterium tuberculosis dapat menyerang atau menginfeksi parenkim paru, sehingga jika
tidak ditangani akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada parenkim yang terinfeksi.
7. Sindrom gagal napas (ARDS)
Disebabkan oleh kerusakan jaringan dan organ paru yang meluas, menyebabkan gagal napas atau
ketidakmampuan paru-paru untuk mensuplay oksigen ke seluruh jaringan tubuh.
h. PROGNOSIS
Tuberculosis paru dapat disembuhkan secara total dengan pemberian obat antituberculosis
(OAT) yang di konsumsi selama ± 6 bulan secara rutin. (Sylvia, 1995 : hal 759) Resiko
reaktivasi meningkat sebagai akibat imunosupresi, seperti misalnya disebabkan oleh infeksi HIV.
Pada orang yang juga terinfeksi oleh “M. tuberculosis” dan HIV, resiko adanya reaktivasi
meningkat hingga 10% per tahun. Studi yang menggunakan sidik DNA dari galur “M.
tuberculosis”menunjukkan bahwa infeksi kembali menyebabkan kambuhnya TB lebih sering
dari yang diperkirakan. Infeksi kembali dapat dihitung lebih dari 50% kasus dimana TB biasa
ditemukan. Peluang terjadinya kematian karena tuberkulosis adalah kurang lebih 4% pada tahun
2008, turun dari 8% pada tahun 1995.
i. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi mycobacterium
tuberkulosis adalah sebagai berikut :
1. Oleh penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk, dan membuang dahak
tidak di sembarang tempat (di dalam larutan disinfektan).
2. Dengan memberikan vaksin BCG pada bayi
3. Disinfeksi, cuci tangan, dan tata rumah tangga dan kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus
terhadap muntahan dan ludah, memperbaiki ventilasi, sirkulasi udara, dan penyinaran matahari di
rumah.
4. Menghindari faktor predisposisi seperti merokok, udara yang lembab dan kotor (polusi).
5. Mencegah kontak langsung dengan penderita tuberculosis paru.