transportasi publik, nasibmu kini

4
Nasib Transportasi Publik Akhir-akhir ini, sedang kencang-kencangnya pemberitaan mengenai mobil murah ramah lingkungan, atau dalam bahasa kerennya disebut LCGC (Low Cost Green Car). Mobil ini disebut sebagai solusi untuk golongan kelas menengah yang menjadi 61 persen atau 150 juta orang agar mereka dapat merasakan dan memiliki mobil dengan harga terjangkau, sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negeri kita ini seperti yang menjadi kehendak menteri perindustrian. Pertanyaan besarnya: bagaimana nasib transportasi publik, khususnya yang ada di kota Solo ini jika mobil murah ini masuk Solo? Saat ini, s ebanyak 197 bus kota dari total 281 unit yang beroperasi di Solo, atau sekitar 70% , berada dalam kondisi usang dan berusia lebih dari 10 tahun , dengan harga suku cadang yang semakin melambung tinggi . Catatan yang ada di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Solo menunjukkan setidaknya empat perusahaan otobus (PO) tidak mengurus izin operasional meski telah kedaluwarsa. Pengusaha enggan meremajakan armadanya karena minat masyarakat terhadap moda transportasi publik ini sangat minim. Itu baru bus kota, belum menilik keadaan angkot. Hingga saat ini, tercatat sekitar 290 angkot yang ada di kota Solo. Sedangkan dari jumlah di atas, hanya sekitar 40% saja yang benar-benar dioperasikan. Dan sisanya sebagian besar berusia lebih dari 10 tahun juga! Dengan kata lain, masyarakat Solo lebih banyak menggunakan transportasi pribadi. Dan hampir tidak ada perkembangan signifikan terhadap nasib transportasi publik di Solo ini. Bandingkan saja jumlah kendaraan pribadi dengan kendaraan umum. Di Solo sendiri jumlah kendaraan saat ini menembus angka 496.000 unit. Itu baru kendaraan Solo, belum termasuk kendaraan dari luar sekitar yang masuk Solo untuk keperluan sekolah, kuliah, kerja, maupun melancong. Sebelumnya, masalah yang dihadapi pihak transportasi masal hanya sebatas keusangan dan kurang kelaikannya armada, minimnya moda masyarakat yang menggunakannya, dan pemotongan subsidi BBM yang mengakibatkan melonjaknya biaya operasi. Hal terakhir juga yang mengakibatkan daya jangkau kendaraan publik menjadi berkurang, dari 10 trayek menjadi 8 trayek.

Upload: danurlambang

Post on 29-Nov-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

opini mengenai transportasi publik, khususnya daerah surakarta

TRANSCRIPT

Page 1: Transportasi Publik, Nasibmu Kini

Nasib Transportasi Publik

Akhir-akhir ini, sedang kencang-kencangnya pemberitaan mengenai mobil murah ramah lingkungan, atau dalam bahasa kerennya disebut LCGC (Low Cost Green Car). Mobil ini disebut sebagai solusi untuk golongan kelas menengah yang menjadi 61 persen atau 150 juta orang agar mereka dapat merasakan dan memiliki mobil dengan harga terjangkau, sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negeri kita ini seperti yang menjadi kehendak menteri perindustrian.

Pertanyaan besarnya: bagaimana nasib transportasi publik, khususnya yang ada di kota Solo ini jika mobil murah ini masuk Solo? Saat ini, sebanyak 197 bus kota dari total 281 unit yang beroperasi di Solo, atau sekitar 70%, berada dalam kondisi usang dan berusia lebih dari 10 tahun, dengan harga suku cadang yang semakin melambung tinggi.

Catatan yang ada di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Solo menunjukkan setidaknya empat perusahaan otobus (PO) tidak mengurus izin operasional meski telah kedaluwarsa. Pengusaha enggan meremajakan armadanya karena minat masyarakat terhadap moda transportasi publik ini sangat minim.

Itu baru bus kota, belum menilik keadaan angkot. Hingga saat ini, tercatat sekitar 290 angkot yang ada di kota Solo. Sedangkan dari jumlah di atas, hanya sekitar 40% saja yang benar-benar dioperasikan. Dan sisanya sebagian besar berusia lebih dari 10 tahun juga! Dengan kata lain, masyarakat Solo lebih banyak menggunakan transportasi pribadi. Dan hampir tidak ada perkembangan signifikan terhadap nasib transportasi publik di Solo ini.

Bandingkan saja jumlah kendaraan pribadi dengan kendaraan umum. Di Solo sendiri jumlah kendaraan saat ini menembus angka 496.000 unit. Itu baru kendaraan Solo, belum termasuk kendaraan dari luar sekitar yang masuk Solo untuk keperluan sekolah, kuliah, kerja, maupun melancong.

Sebelumnya, masalah yang dihadapi pihak transportasi masal hanya sebatas keusangan dan kurang kelaikannya armada, minimnya moda masyarakat yang menggunakannya, dan pemotongan subsidi BBM yang mengakibatkan melonjaknya biaya operasi. Hal terakhir juga yang mengakibatkan daya jangkau kendaraan publik menjadi berkurang, dari 10 trayek menjadi 8 trayek.

Dengan kondisi kendaraan umum yang begitu memprihantinkan, belum lagi keluwesan dan efisiensi daya jangkau, dan lamanya waktu tunggu, akan semakin mempersuram masa depan transportasi publik daripada eksistensi transportasi pribadi. Ditambah lagi, semakin meningkatnya daya beli dan kebutuhan atau lebih tepatnya nafsu-hasrat masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi akan menambah masalah ketersingkiran bagi pihak transportasi publik.

Sedangkan, dengan semakin minimnya fasilitas kendaraan umum, dan semakin banyaknya fasilitas yang ditawarkan kendaraan pribadi, akan semakin memerosotkan jumlah pengguna transportasi publik. Transportasi publik selalu kalah nyaman, kalah cepat, kalah fleksibel, dan banyak kalah lainnya dibandingkan dengan transporasti pribadi. Ini adalah akibat kebijkan pemerintah yang tak pernah benar-benar memajukan dan menyamankan transportasi publik. Jelas praktisnya, masyarakat lebih memilih kenyamanan, efektivitas, dan efisiensi. Sehingga mereka cenderung lebih mengandalkan kendaraan pribadi.

Page 2: Transportasi Publik, Nasibmu Kini

Dan berbicara mengenai transportasi massal di Kota Solo, belum lengkap rasanya jika kita kurang menyebutkan salah satu jenis transportasi massal, yang digadang-gadang pihak Pemkot untuk mengatasi kemacetan. Yakni: Batik Solo Trans (BST). Dengan hanya 15 armadanya yang beroperasi, sekaligus kondisi shelter yang makin hari makin tak terurus, dan makin lamanya waktu tunggu untuk setiap bus yang datang, alih-alih menambah kemantapan masa depan transportasi massal, BST justru tertatih-tatih mendapatkan pengguna-penumpang setianya. Dalam pengalaman saya, tidak ada teman-teman, tetangga, atau kenalan dari luar kota yang akan dengan enteng, antusias, atau menggungah akan bercerita tentang Batik Solo Trans. Saya juga kurang bisa merekomendasikan Batik Solo Trans kepada teman saya jika mau mengelilingi Solo.

Di tengah mendominasinya transportasi pribadi, dan demi memasyarakatkan transportasi public, perlukah pembatasan pembelian kendaraan? Hal ini jelas tak mungkin. Bagaimana bisa membatasi pembelian kendaraan, wong memilah pembelian BBM non-subsidi dan subsidi untuk mobil dan sepeda motor saja belum berhasil. Lagi pula, prestisius kendaraan pribadi jauh lebih unggul, dan transportasi massal masih sangat minimal pelayanannya.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, malasnya masyarakat kita untuk berjalan kaki. Hal ini diakibatkan karena kita sudah terlalu dimanjakan oleh sepeda motor yang terbukti sangat efektif dalam berbagai medan. Kebanyakan masyarakat enggan menggunakan transportasi publik karena perbedaan asal-tempat dan jauhnya tempat tujuan dengan halte pemberhentian.

Keberpihakan

Boleh saja pemerintah mendatangkan mobil murah ramah lingkungan, tetapi hal ini harus dengan menaikkan pajak kendaraan khususnya pajak progresif. Dengan ini, mungkin masyarakat berfikir seribu kali untuk membelinya: mobilnya memang murah, pajaknya mahal. Hal ini berlaku juga untuk mobil-mobil pribadi sebelumnya. Tapi, hal ini juga tampaknya akan dilakukan pemerintah, mengingat sejak awal mobil murah itu memang sengaja dibuat murah, termasuk banyak sekali pemotongan atau keringanan banyak pajak.

Apa perlu penggratisan BBM untuk kendaraan umum, atau minimal mereka hanya perlu membayar 50% dari total pembelian BBM mereka? Jika hal ini dilakukan, tentu akan menurunkan tarif kendaraan umum dan masyarakat akan akan berbondong-bondong menggunakannya karena dirasa cukup murah. Mungkin. Masih mungkin, tapi sepertinya pemerintah enggal mengambil pilihan ini, apalagi demi transportasi massal yang layak dan nyaman.

Selain itu, dengan adanya mobil murah yang tampaknya tidak akan bisa dibendung, meski Wali Kota FX Hadi Rudyatmo sudah menolak, kita khususnya steakholder otomotif Solo akan dihadapkan pada masalah mobil nasional. Pertanyaanya: kita, khususnya pemerintah, sebenarnya berpihak pada mobil nasional atau pada mobil murah? Kita tahu Solo pernah membuat heboh dengan mobil Esemka. Dengan kondisi yang memprihatinkan dan kian mahalnya suku cadang, calon mobil yang digadang-gadang jadi Mobil Nasional kita, yaitu Esemka, dirasa perlu untuk membuat kendaraan umum semacam Carry atau bus mini. Gagasannya sederhana: Agar pengusaha otobus dan angkot mau meremajakan kendaraan umum mereka dengan harga yang terjangkau.

Tetapi, PR untuk Mobnas, yaitu menjaga kontinuitas produksi suku cadangnya. Apakah hal ini mampu dipenuhi? Selain dapat membantu transportasi massal, Mobnas pasti juga akan merasa tercambuk untuk mengevaluasi dan melakukan riset, agar Esemka kedepannya semakin handal dalam bidang teknologi. Dengan berbagai hal di atas, akan menggairahkan produksinya, sehingga terbukalah lapangan pekerjaan yang banyak. Mungkin hal ini terjadi?

Page 3: Transportasi Publik, Nasibmu Kini

Sebenarnya, kita juga tak perlu menolak untuk membeli kendaraan pribadi (misal LCGC). Kita juga tak perlu menggalakkan untuk naik kendaraan umum dengan iklan dan semacamnya. Dengan meningkatkan fasilitas transportasi massal umum akan meminilisir pengguna kendaraan pribadi khususnya untuk jarak dekat. Dan akhirnya akan terjadi peralihan budaya transportasi masyarakat Indonesia dari pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna kendaraan umum. Inilah tantangan yang selalu saja gagal dilaksanakan pemerintah!

Tapi, dengan hadirnya LCGC, akan semakin menambah mimpi buruk bagi transportasi massal dalam menghadapi nasib masa depannya. Mungkinkah dengan semakin menjamurnya mobil murah maka otobus, angkot, dan bus akan mati, khususnya untuk jarak dekat dalam kota

Terakhir, ada sedikit hal menggelitik saat melewati perempatan bangjo dekat Gramedia di Jalan Slamet Riyadi. Di sana ada sebuah baliho yang menolak mobil murah. Dalam bayanganku, ah tak perlu sampai radikal seperti itu, toh nyatanya jika kita punya uang sebesar 150 juta rupiah, tentu kita akan membeli mobil murah itu juga kan? Atau perlukah diadakan program atau dicanangkan aksi massa ironis misalnya: Mari Naik Transportasi Umum Seminggu Sekali, Agar Bumi Kita Lestari; dengan slogannya “Sudahkah anda naik transportasi umum hari ini?” Padahal bensin yang akan dihabiskan untuk jutaan mobil murah jauh lebih destruktif bagi bumi. Tentu, saya rasa juga tak perlu sampai seperti itu. Bukankah sudah semakin acara penyambutan LCGC yang meriah di iklan-iklan?

Danur Lambang PristiandaruMahasiswa UNS FKIP Teknik Mesin

Biodata Penulis:

Nama : Danur Lambang PristiandaruUniversitas : Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) SurakartaJurusan : Pendidikan Teknik MesinAktivitas : Staff Humas LPM Kentingan UNSEmail : [email protected] No.Telp : 085647677138No.rek : Alamat : Rejosari RT3/5, Gayamdompo, Karanganyar