transformasi identitas gerakan · 2020. 12. 3. · barito utara, pt imk menggusur tambang rakyat...

36
167 ENAM TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN DARI “PENAMBANG” MENJADI MASYARAKAT ADAT Pengantar Konflik yang dialami masyarakat adat Dayak Siang Murung, paling tidak membawa pemahaman bahwa aksi-aksi perlawanan dikarenakan berbagai dampak negatif baik pada aspek lingkungan hidup, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi terkait dengan hadirnya PT IMK mengacu pada pemikiran Sachs (2015). Dampak-dampak ini kemudian menjadi daya gerak utama aksi-aksi perlawanan atau yang juga disebut dengan gerakan sosial menentang masuknya kapitalisme (Fauji, 2005). Dimulai dengan melakukan mobilisasi sumberdaya (the resource mobilization) hingga membingkai (framing) berorientasi pada identitas (the social identity) dengan memanfaatkan peluang-peluang atau kesempatan politik (political oppurtunity) yang sedang terjadi khususnya di Indonesia, seperti yang diungkapkan Sukmana (2016), McAdam, McCarthy dan Zald (2004) dan Singh (2007). Awalnya melakukan gerakan reformasi (reformative movement) yang dilakukan para penambang rakyat untuk mengubah masyarakat namun dengan ruang lingkup terbatas kemudian berkembang menjadi gerakan transformasi (transformative movement) dengan mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh, seperti menegaskan kembali

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 167

    ENAM

    TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN

    DARI “PENAMBANG” MENJADI

    MASYARAKAT ADAT

    Pengantar

    Konflik yang dialami masyarakat adat Dayak Siang Murung,

    paling tidak membawa pemahaman bahwa aksi-aksi perlawanan

    dikarenakan berbagai dampak negatif baik pada aspek lingkungan

    hidup, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi terkait dengan hadirnya

    PT IMK mengacu pada pemikiran Sachs (2015). Dampak-dampak ini

    kemudian menjadi daya gerak utama aksi-aksi perlawanan atau yang

    juga disebut dengan gerakan sosial menentang masuknya kapitalisme

    (Fauji, 2005).

    Dimulai dengan melakukan mobilisasi sumberdaya (the resource mobilization) hingga membingkai (framing) berorientasi pada identitas (the social identity) dengan memanfaatkan peluang-peluang atau kesempatan politik (political oppurtunity) yang sedang terjadi khususnya di Indonesia, seperti yang diungkapkan Sukmana (2016),

    McAdam, McCarthy dan Zald (2004) dan Singh (2007). Awalnya

    melakukan gerakan reformasi (reformative movement) yang dilakukan para penambang rakyat untuk mengubah masyarakat namun dengan

    ruang lingkup terbatas kemudian berkembang menjadi gerakan

    transformasi (transformative movement) dengan mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh, seperti menegaskan kembali

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    168

    identitasnya dengan mentransformasikan identitas gerakan penambang

    menjadi gerakan masyarakat adat ketika berhadapan dengan PT IMK.

    Transformasi identitas gerakan dimungkinkan karena munculnya

    kesadaran dari para aktor yang berjuang secara sosial dengan

    membangun identitas gerakan agar mampu menciptakan ruang

    demokratis bagi aksi sosial otonomnya (Manan, 2005). Bagaimana

    proses untuk membangun identitas (baru) tersebut akan dijelaskan

    dengan mendeskripsikan kondisi, faktor dan kekuatan pendukung yang

    digunakan para aktor untuk menciptakan identitas, solidaritas dan

    mempertahankannya. Hal lain adalah mendeskripsikan keterkaitan

    antara PT IMK dengan isu-isu dalam konflik, serta mendeskripsikan

    latar sosial dan budaya aksi kolektif sebagaimana kondisi dan kekuatan

    pendukung ini membentuk dan mencetak perenungan dan kesadaran

    para aktor dalam situasi konkrit aksi kolektif dan gerakan sosial.

    Membangun Ideologi Gerakan

    Melemahnya otoritas tradisional yang diharapkan mampu

    menjembatani persoalan struktural yang dihadapi penambang

    memaksa mereka melakukan transformasi identitas perjuangan dari

    penambang menjadi masyarakat adat, seperti yang diungkapkan salah

    seorang tokoh tambang rakyat.43 Secara umum tujuan utama

    penambang ikut dalam sebuah gerakan sosial lebih bersifat pragmatif

    dan berorientasi material, yakni hanya terpaku pada motif ekonomi

    yaitu penguasaan kembali lobang-lobang tambang emas yang selama

    ini sudah diusahakan mereka sendiri. Tindakannya cenderung pada

    upaya secara paksa agar dapat mengambil-alih kembali lobang tambang

    tersebut sebagaimana yang juga dilakukan oleh para penguasa (negara)

    dan pengusaha terhadap mereka. Wujud nyata aksinya dilakukan

    melalui unjuk rasa, maupun aksi-aksi protes lainnya baik secara damai

    maupun dengan cara kekerasan agar dapat mengambil alih kembali

    (reklaming) lobang tambang tersebut. Lihat gambar 6.1. di bawah ini.

    43 Wawancara dilakukan dengan Bapak Murin dan Bapak Arsad pada tanggal 10 Juli 2016 di Desa Oreng Kambang.

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    169

    Dalam kasus PT IMK, faktor utama penyebab terjadinya aksi-aksi

    perlawanan para penambang dan masyarakat pada umumnya terhadap

    PT IMK dikarenakan multiinterpretasi dan ketiadaan pegangan

    bersama dari berbagai pihak tentang siapa yang berhak menguasai

    tambang, siapa yang berhak memanfaatkan, dan siapa pula yang berhak

    dalam pengambilan keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan

    tambang. Akibat dari ketidakjelasan tersebut, maka masing-masing

    pihak (pemerintah, perusahaan, dan masyarakat) saling mengklaim

    bahwa merekalah yang lebih berhak dari pihak lainnya. Misalnya

    ketika PT IMK memperoleh Kontrak Karya dari Presiden langsung

    melakukan “penggusuran” terhadap seluruh aktifitas tambang rakyat.

    Didukung oleh aparat Satuan Tugas dari Pemerintah Daerah Tingkat II

    Barito Utara, PT IMK menggusur tambang rakyat kerikil I, Kerikil II,

    dan Kerikil III di wilayah Kecamatan Siang. Bahkan penambang yang

    digusur tidak memperoleh ganti rugi dengan jalan apapun sesuai

    dengan perintah Bupati, dengan alasan mereka “menggusur” karena

    harus menertibkan Tambang Rakyat Tanpa Ijin (PETI). Dipihak lain,

    para penambang merasa bahwa mereka pemilik yang “sah” karena

    usaha pertambangan awalnya dilakukan oleh mereka.

    Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013

    Gambar 6.1.

    Lobang Tambang Emas Yang Diperebutkan

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    170

    Berbagai perlawanan terhadap PT IMK baru dimulai pada tahun

    1993 melalui aksi demonstrasi baik di lingkungan Kecamatan Siang

    Selatan, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, hingga

    ke Jakarta dan sampai di kantor pusat PT Indo Muro Kencana di

    Australia. Para penambang menuntut ganti rugi lahan karena tanah

    dan usaha tambangnya diambil alih dan dikelola oleh PT IMK. Namun

    usaha ini tidak memperoleh hasil karena PT IMK sudah mengantongi

    ijin dari pemerintah seperti yang dijelaskan mantan pegawai PT IMK. 44

    Ketidakjelasan peroleh ganti rugi, seolah-olah dapat memberikan

    penjelasan secara aktual perlunya melakukan transformasi struktur dan

    bentuk gerakan sosial yang lebih humanis dan emansipatoris.

    Berbagai simbol perjuangan kemudian diproduksi berbasis pada

    rasa ketidakadilan, sebagai bentuk reaksi terhadap stigma-stigma

    politik, tekanan fisik dan sosial-psikologis yang dialami oleh para

    penambang dan keluarganya serta berbagai bentuk praktek-praktek

    yang merugikan mereka. Puncaknya terjadi pada tahun 1999 ketika

    para penambang mengusir sejumlah karyawan PT IMK dari areal

    tambang Batu Tambang (Betmen), Lungkuh Jua dan Bakit Kaya dengan

    mengusung mandau. Lihat gambar 6.1. di bawah ini.

    Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013

    Gambar 6.2.

    Aksi Pengusiran Staf Pengemboran di Lapangan

    44 Wawancara dilakukan dengan Mantan Pegawai PT IMK Bapak Ayin pada tanggal 11 Juli 2016 di Desa Oreng Kambang.

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    171

    Mereka juga melakukan aksi pengambil-alihan atau reklaiming

    wilayah Halubai, Permata, Elpi dan Batu Badinding yang sedang

    ditambang dan berproduksi. Tindakan ini dilakukan karena PT IMK

    menguasai, memanfaatkan, dan mendistribusi hasil-hasil tambang yang

    menjadi pendukung kehidupan mereka termasuk melakukan ekspansi

    batas wilayah kehidupan mereka. Namun aksi pengambil-alihan

    tambang tidak bertahan lama, karena pihak PT IMK kemudian

    menimbun tambang dan mengisi air sehingga masyarakat tidak bisa

    memperoleh apapun dari hasil tambangnya, seperti pada gambar 6.3. di

    bawah ini.

    Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)

    Gambar 6.3.

    Lokasi Tambang Sebelum dan Sesudah Dialiri Air

    Di pihak lain komitmen dan solidaritas para penambang untuk

    terus memperjuangan hak-hak mereka ternodai karena ada anggota

    aksi “membelot dan membela” PT IMK. Dengan kata lain, para

    penambang tidak pernah mampu membangun identitas secara kolektif

    guna membangun solidaritas dan komitmen ketika berhadapan dengan

    PT IMK. Akibatnya aksi-aksi yang mereka lakukan selalu “gagal”.

    Belajar dari kegagalan aksi, ada sejumlah aktor yang terlibat dalam

    aksi membangun jaringan dan mengembangkan partisipasi aktor

    lainnya di luar wilayah tambang. Aktor yang dimaksud adalah

    sejumlah Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau yang biasa disebut

    Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti; JATAM, WALHI,

    Tambang sebelum dialiri air Tambang sesudah dialiri air

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    172

    ALPERUDI, ELSAM, YLBHI, Tapal dan Kantor Hukum Ahmad Yani.

    Selain itu, tujuan mengembangkan jaringan adalah agar mereka dapat

    mengembangkan sumberdaya serta meningkatkan mobilisasi kekuatan

    aksi perlawanan. Pada akhirnya dengan memperluas jaringan dan

    partisipasi aktor, para penambang dapat memperluas medan atau area

    perlawanan ke tingkat nasional maupun internasional serta

    memberikan peluang dan kapasitas para penambang untuk terus

    meningkatkan aksi-aksi perlawanan terhadap PT IMK.

    Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru, sebenarnya para

    penambang memiliki peluang untuk memperoleh ijin penambangan

    secara legal melalui pendirian koperasi. Karenanya pada tahun 2004,

    para penambang khususnya di Desa Marindu bersepakat mendirikan

    Koperasi diberi nama dengan Koperasi “Harapan Bersama” dengan ijin

    No. 412.32/BH/178/2004 tanggal 5 Januari 2004. Dengan berdirinya

    koperasi, harapan para penambang memperoleh legitimasi atau ijin dari

    negara. Namun kenyataannya semangat masyarakat mendirikan

    koperasi ini tidak dibarengi dengan komitmen dan keseriusan para

    pengurusnya untuk mengelolanya. Koperasi kemudian tidak berjalan

    lagi dan Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD) dengan

    sendirinya dicabut oleh pemerintah.

    Perasaan pengabaian yang dilakukan PT IMK kepada para

    penambang yang juga sebagian besar adalah masyarakat adat Dayak

    Siang Murung kembali muncul karena institusi adat dan nilai-nilai

    budaya mereka (Dayak) mulai dihancurkan. Hal ini terjadi karena PT

    IMK terus memperluas wilayah eksploitasinya sampai ke puncak

    Gunung Puruk Kambang yang bagi orang Dayak adalah wilayah

    keramat. Selama ini wilayah kramat puncak Gunung Puruk

    keberadaannya dipelihara dan dijaga, karena bagi mereka sebagai

    tempat turunnya nenek moyang suku Dayak Siang Murung. Karenanya

    wilayah ini tidak saja bernilai ekonomis semata melainkan juga

    mempunyai nilai sosial dan spiritual, seperti pada gambar 6.4. di bawah

    ini.

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    173

    Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)

    Gambar 6.4.

    Lokasi Bukit Puruk Kambang Yang Sebagian Sudah Dieksploitasi

    Terbuka struktur peluang politik baik di tingkat nasional maupun

    di tingkat lokal, sebenarnya memberi ruang bagi munculnya

    perubahan identitas gerakan “penambang” menjadi gerakan masyarakat

    adat dengan menegaskan kembali keberadaan lembaga adat yang

    sampai saat ini keberadaannya masih diakui oleh masyarakat, dalam

    hal ini keberadaan Damang Kepala Adat atau Kepala Adat. Selain

    adanya kelembagaan adat, kehadiran organisasi masyarakat adat

    lainnya, seperti; Perhimpunan Masyarakat Pulou Basan yang terdiri

    dari para Damang Ketua Adat, Kelompok-kelompok Masyarakat Adat

    di masing-masing Wilayah Desa Oreng Kambang, turut memperkuat

    perubahan identitas pergerakan tersebut. Terlebih keberadaan

    Kelembagaan Adat diakui keberadaanya melalui Peraturan Daerah

    (Perda) No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di

    Kalimantan Tengah juga dapat mengukuhkan perubahan identitas

    gerakan tersebut. Perda No. 16 Tahun 2008 pasal 9, ayat (1) fungsi

    Damang Kepala Adat adalah mengurus, melestarikan, memberdayakan

    dan mengembangkan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, hukum adat

    dan lembaga kedamangan yang dipimpinnya; menegakkan hukum adat

    dengan menangani kasus dan atau sengketa berdasarkan hukum adat

    dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir, dan sebagai penengah

    dan pendamai atas sengketa yang timbul dalam masyarakat

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    174

    berdasarkan hukum adat. Selanjutnya dalam pasal (2) selain fungsi

    sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) Damang Kepala Adat juga

    mempunyai fungsi selaku inisiator untuk membawa penyelesaian

    terakhir sengketa antara para Damang terkait tugas dan fungsinya

    kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota.

    Munculnya gerakan reformasi juga merupakan pintu pembuka

    berkembangnya gerakan sosio-politik dari para penambang menjadi

    gerakan sosial-politik masyarakat adat. Negara juga dihadapkan pada

    posisi kontrol politik yang lemah terhadap setiap aksi, terlebih ketika

    aksi kekerasan menjadi salah satu bentuk bagian. Peluang politik ini

    dengan cepat direspon para penambang, karena mereka sudah

    memiliki rasa kepekaan konfliktual sekaligus berperan sebagai oposisi

    untuk melawan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh negara.

    Seiring bergulirnya reformasi hingga pemberlakuan otonomi

    daerah pada tahun 1999 sebagai era perubahan sosial-politik penuh

    keterbukaan dari masa sebelumnya yang bercorak otoriter ke

    demokrasi, ternyata tidak membawa dampak berarti bagi gerakan para

    penambang untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Baik

    para elit politik, elit agama, kalangan intelektual dan berbagai

    organisasi rakyat ternyata cenderung membiarkan para penambang

    bergerak dengan semangatnya sendiri dalam menuntut hak yang

    selama ini diabaikan. Meskipun demikian ada banyak organisasi non

    pemerintah (ornop) yang peduli untuk memberikan advokasi dan

    pendampingan bagi para penambang dalam melakukan perjuangan.

    Penelitian menemukan bahwa ketika sistem politik yang ada tidak

    terbuka terhadap tuntutan-tuntutan rakyat, maka aktivitas gerakan

    sosial mungkin agak kecil skalanya. Hal ini terlihat dari kronologis aksi

    demonstasi yang mereka lakukan seringkali juga menggunakan

    kekerasan menghancurkan fasilitas milik perusahaan serta melakukan

    pembakaran. Ketika struktur politik membuka peluang bagi gerakan

    sosial mereka, aktivitas gerakan cenderung menjadi semakin radikal.

    Meskipun masa pemeritahan Orde Baru terkenal represif dengan

    melakukan tekanan secara politik sangat kuat sehingga penambang

    yang berani melawan adalah mereka yang benar-benar militan.

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    175

    Perilaku militansi penambang dan kontrol politik negara masih ada

    hingga saat ini terutama yang dilakukan pihak pasukan keamaman

    (Brimob) membuat reaksi penambang justru cenderung terbuka dan

    lebih berani dibanding pada waktu-waktu sebelumnya. Hal ini

    mungkin berbeda dengan komunitas penambang di berbagai wilayah

    konflik lainnya yang beragam dalam merespon peluang-peluang politik

    yang ada termasuk situasi yang ada, kemungkinan resiko yang akan

    mereka tanggung dan kemungkinan hasil yang akan mereka capai.

    Melalui proses pendampingan dan penyadaran bersama dengan

    lembaga-lembaga non pemerintah di atas, kesadaran politik

    penambang dapat dibangun. Kerja bersama ini merupakan proses

    dimana para penambang dapat melakukan penilaian kembali atas

    dirinya sendiri, pengalaman subyektif, peluang-peluang, dan

    kepentingan bersama di antara mereka. Kesadaran politik penambang

    tidak hanya memahami posisi marginal mereka secara sosial maupun

    politik sehingga memberi peluang untuk mencari alternatif strategi

    gerakan lain guna mencapai tujuan mereka. Termasuk dengan

    mengubah identitas gerakan itu sendiri dari penambang menjadi

    masyarakat adat.

    Agenda gerakan reformasi pasca jatuhnya presiden Soeharto

    merupakan momentum bagi mereka juga untuk mendorong agenda

    reformasi melalui penguatan kesadaran sosial-konfliktual ke dalam

    kesadaran politik, karena pelaku ini yang paling berpengaruh terhadap

    kemungkinan dilakukan mobilisasi tindakan. Setelah presiden Soeharto

    lengser dan rezim Orde Baru dapat dijatuhkan, kemudian para aktivis

    gerakan masyarakat mulai beralih pada pentingnya membantu

    masyarakat adat melalui gerakan-gerakan sosial masyarakat adat.

    Seperti yang dilakukan oleh LMMDD-KT yang sejak awal tahun

    2005 sudah melakukan pendampingan masyarakat adat yang tersingkir

    akibat masuknya investor di Kalimantan Tengah melalui berbagai aksi,

    seperti melakukan pendampingan dan penyadaran secara langsung

    turun ke tengah-tengah kehidupan para penambang rakyat. Hasil

    pendampingan dan penyadaran kemudian direspon dan ditindaklanjuti

    dengan merancang berbagai aksi demontrasi yang lebih luas.

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    176

    Beragam upaya dilakukan oleh LMMDD-KT, baik pada konstruksi

    gerakan dari bawah maupun dari atas, di wilayah komunitas para

    penambang rakyat dilakukan diskusi identifikasi dan analisis kasus,

    perumusan tuntutan, penyadaran sosial-politik melalui kegiatan

    pendampingan bagi para penambang yang menjadi korban dengan

    hadirnya PT IMK. Selain itu juga dilakukan aktivitas “diskusi

    kampung” pada beberapa desa lainnya untuk mengidentifikasi dan

    merumuskan strategi bersama (dokumen LMMDDKT, 2013).

    Di sini para penambang yang juga sebagian besar adalah warga

    masyarakat adat Siang Murung, mendiskusikan berbagai hal yang

    mengakibatkan penderitaan mereka dan tidak terselesaikannya konflik

    yang dialami terutama keberadaan pertambangan rakyat yang diambil

    alih oleh PT IMK. Kemudian mereka melakukan artikulasi pemecahan

    masalah hasil identifikasi, paling tidak berupa rencana dan strategi

    tindakan kolektif yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan

    konflik yang tentunya dapat menguntungkan para penambang rakyat.

    Disinilah kemudian muncul penguatan dan bahkan perubahan

    rumusan tuntutan-tuntutan penambang rakyat atas persoalan

    penguasaan terhadap lobang-lobang tambang yang dihadapi dan cara-

    cara yang tepat untuk memperjuangkan tuntutan tersebut yaitu dengan

    merubah identitas gerakan dari “penambang rakyat” menjadi

    “masyarakat adat”.

    Oleh karena itu, peran aktor dalam meningkatkan kesadaran

    politik dan mobilisasi sumberdaya penambang menjadi sangat

    menentukan. Ketika identitas kolektif penambang tersebut sudah

    masuk pada ranah gerakan sosio-politik dan mengalami perubahan

    identitas gerakan dari “penambang” menjadi “masyarakat adat” maka

    akan menjadi politik identitas yang memungkinkan para penambang

    untuk masuk dalam aktivitas sosial-politik. Akibatnya kesadaran

    politik penambang dapat berkembang dalam kerangka identitas

    kolektif, karena dikonstruksi dan dipelihara melalui interaksi dalam

    komunitas para penambang itu sendiri yang juga masyarakat adat

    Dayak kemudian berubah sesuai peluang politik dan kemampuan

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    177

    mobilisasi sumber daya yang tersedia dan peluang bagi perubahan

    identitas sebuah gerakan sosial.

    Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan penambang

    rakyat dengan strategi utama melakukan pendudukan kembali lobang-

    lobang tambang dikuasakan kepada PT IMK oleh negara dilakukan

    pada tahun 1993 telah menunjukkan keberhasilan untuk membangun

    kekuatan sebuah gerakan sosial baru yang sekaligus memperlihatkan

    kekuatan politik tertentu. Hal ini mendorong untuk mengembangkan

    strategi berikutnya yang mereka sebut dengan merubah strategi dan isu

    gerakan dari penambang menjadi masyarakat adat, yakni strategi untuk

    memobilisasi opini publik karena mereka mayoritas masyarakat adat.

    Untuk tahap pertama, kelompok gerakan ini mengajak Kepala

    Adat Dayak Oreng Kambang untuk terlibat dan menjadi bagian dari

    gerakan guna menegaskan identitas dengan menempatkan kembali

    peran lembaga adat yang sudah ada di masyarakat. Selain itu juga

    dilakukan pemetaan geokultural untuk menegaskan adat wilayah

    trasidional.45 Dengan strategi ini tentunya dapat menarik simpati

    khalayak dalam memperjuangkan isu hak-hak atas potensi tambang

    sebagai bentuk lain dari tuntutan ganti rugi atas lobang tambang rakyat

    yang telah diambil alih PT IMK. Perubahan strategi perjuangan dari

    penambang menjadi masyarakat adat ditargetkan dapat memberikan

    perubahan arah gerakan, dan lebih jauh lagi dalam rangka

    mempertahankan kembali identitas ke-dayak-an.

    Diasumsikan bahwa pemimpin informal, seperti Kepala Adat

    Dayak dapat memberikan arahan atau dianggap lebih memiliki

    kapasitas dalam memobilisasi opini publik terkait dengan nilai dari

    perjuangan mereka. Dipihak lain bahwa dengan keterlibatan Kepala

    Adat perjuangan mereka tidak semata-mata hanya untuk

    memperjuangkan tuntutan ganti rugi melainkan upaya

    memperjuangkan nilai kultural dan spritual dari tanah tersebut yang

    dikuasai mereka selama ini. Ini sama halnya dengan orang Papua yang

    45 Wilayah adat atau wilayah tradisional dimaknai sebagai wilayah total meliputi; tanah, teritori, dan sumber daya alam sampai ranah kebudayaan (Usop, 1996).

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    178

    menyebut tanah mereka seperti susu ibu yang memiliki kedalaman dan

    hubungan batiniah (Fauzi, 2006).

    Sebagai simbol perlawanan masyarakat adat Dayak, mereka

    kemudian melakukan upacara adat memasang Hinting Pali atau Maniring Hinting. Hal ini dilakukan karena orang Dayak mempunyai hubungan yang sangat erat dan dekat dengan lingkungan hidupnya.

    Mereka sering dipengaruhi oleh alam pikiran religio magis. Kenyataan

    ini tidak mudah untuk dipahami dan dimengerti atau dipercayai oleh

    orang lain. Sebaliknya, masyarakat Dayak menganggap pengetahuan

    akan simbol-simbol tertentu adalah hal yang wajar, walaupun

    sebenarnya tidak setiap orang memiliki kepandaian untuk memahami

    dan menginterpretasi simbol-simbol tersebut.

    Seperti yang dijelaskan sebelumnya, nilai-nilai budaya orang

    Dayak, bersumber dari kepercayaan Kaharingan (berasal dari kata

    “Haring” yang artinya kehidupan ada dengan sendirinya). Pada intinya kepercayaan Kaharingan ini percaya pada segala benda dan makhluk

    yang memiliki Gana (Roh), dan hanya ada satu Tuhan, yaitu Ranying Hatala Langit yang menciptakan segala isi alam semesta seperti tercantum dalam tutur Balian : Inyaho hai mamparuguh tungkupah, kilat panjang mampa rinjet ruang (Guntur/suara agung membuka kuasanya, kilat panjang menggerakkan ruang/membelah-belah

    angkasa).

    Asal usul penciptaan manusia dan alam semesta ini digambarkan

    dengan simbol Batang Garing/Haring (Pohon Kehidupan) yang di dalamnya terdapat burung Tingang (Enggang) sebagai simbol penguasa dunia atas dan Tambun (Naga) sebagai simbol penguasa dunia bawah. Dalam konteks gerakan perlawanan, simbol Batang Garing dipahami oleh masyarakat Dayak sebagai keseimbangan hubungan manusia

    dengan alam dan keseimbangan hubungan antar manusia yang

    seharusnya didukung oleh negara dalam rangka mengimplementasikan

    prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan atau oleh Usop, Sidik

    (2012) dikonsepkan dengan pembangunan berbasis pada masyarakat

    adat dimana secara ekonomis menguntungkan, secara ekologis lestari

    dan secara budaya tidak merusak.

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    179

    Dalam kehidupan sehari-hari, umat Kaharingan percaya kepada

    mahluk-mahluk Ilahi yang berkuasa dan bertugas membantu

    keselamatan manusia, memberi rezeki dan menyebarkan penyakit, dan

    lain-lain yang tersebar di air (sungai, danau, dan laut), gunung, hutan,

    tanaman, dan tempat-tempat tertentu. Bagi pemeluk Kaharingan,

    makhluk-makhluk Ilahi itu sangat berpengaruh dalam menentukan

    kehidupan manusia. Keberuntungan dan kemalangan hidup, bencana

    alam, kecelakaan terjadi karena tindakan mereka, walaupun penyebab

    munculnya tindakan itu akibat perbuatan manusia itu sendiri. Oleh

    karena itu, wujud tertinggi dalam praktek kepercayaan Kaharingan

    adalah mematuhi adat, yaitu tidak melanggar Pali (pantangan) dan melaksanakan upacara ritual yang meliputi gawi belom (upacara kehidupan) seperti mamapas lewu, manyanggar, pakanan batu dan manajah antang dan gawi matei (upacara kematian) seperti upacara tiwah.

    Orang Dayak pada masa keemasan sebelum membuka lahan baik

    untuk pertanian dan berladang terlebih dahulu membuat tanda supaya

    orang lain tidak merampas atau menyerobot serta menggarap ladang di

    tempat yang diberi tanda (simbol adat berupa Tarinting atau Hinting) atau memberi patok pada kayu dari setiap sudut rintisan areal dari

    tanah kosong yang akan digarapnya (Salilah, 1977:1).

    Hinting atau Tarinting dapat diartikan sebagai suatu tanda larangan atau simbol lokal masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah

    untuk menandai suatu areal pertanian/ladang dan areal ritual

    keagamaan dalam Kaharingan. Tanda atau simbol maniring hinting tersebut jika berada di ladang atau tanah garapan seseorang berarti

    menandakan kepemilikan dan hak bagi si pemilik atas lahan/areal. Jika maniring hinting didapati dalam upacara atau di depan rumah orang yang sedang melaksanakan Balian. Balian adalah nyanyian disertai tetabuhan musik tradisional Dayak dalam upacara Tiwah. Tiwah

    adalah upacara ritual penting kematian kedua (second burial) dalam agama Kaharingan yang bertujuan untuk menghantarkan roh ke langit

    ke tujuh atau surga. Dalam upacara keagamaan Kaharingan artinya

    dilarang melakukan tindakan atau perbuatan tidak senonoh di dalam

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    180

    garis batas/portal adat seperti berkelahi, berjudi dan perbuatan yang

    tidak senonoh apabila sampai ada yang meninggal dan berdarah dapat

    dikenakan singer atau membayar denda adat sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah itu.

    Tradisi maniring hinting dalam konteks perlawanan dan perjuangan hak-hak atas penguasaan sumberdaya alam oleh masyarakat

    adat Dayak dari para pengusaha atau investor, dalam praktiknya

    melakukan hal yang melanggar adat tidak mentaati adat atau

    melanggar kesepakatan atau pali. Orang yang melanggar pali disebut orang yang belom dia bahadat (hidup tidak beradat). Karena itu, maniring hinting menjadi salah satu cara penanaman nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi memelihara tertib sosial dalam

    kehidupan masyarakat adat Dayak.

    Maniring artinya membentangkan/mengencang tali, hinting artinya larangan dalam bahasa Dayak menjadi maniring hinting membentangkan tali larangan bertujuan untuk mempertahankan hak-

    hak seseorang atau kelompok dengan cara membuat tanda atau simbol

    dengan membentangkan tali larangan dari rotan atau tali dari akar

    kayu dan digantung pada tali rotan tersebut daun lenjuang atau sawang disertai cacah pada permukaan depan daun dengan kapur sirih

    berwarna putih yang dalam konteks ini menandakan bahwa areal

    tanah yang ditandai dengan maniring hinting. Simbol tali rotan dalam maniring hinting berarti masih dimungkinkan adanya negosiasi dalam musyawarah atau kesepakatan dalam menyelesaikan masalah sengketa

    tanah. Sesuai dengan tujuan maniring hinting yang memanggil gana atau roh-roh tanah dan tanaman yang sengaja dilakukan guna menjadi

    saksi sumpah mereka atau seperti peradilan roh bahwa yang

    bersangkutan melaksanakan upacara/tradisi maniring hinting adalah menyatakan benar-benar sang pemilik lahan atau areal tanah tersebut.

    Jikalau ada yang berbohong maka salah satu dari pihak yang

    bersengketa akan mengalami kematian dan malapetaka yang akan

    dilakukan oleh roh-roh (spiritual violence) tersebut kepada pihak yang

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    181

    memang sengaja melanggar, memutus, membongkar, melanggar serta

    menyerobot tanah tersebut. 46

    Dalam konteks seperti ini, masyarakat adat Dayak mempunyai

    kekuasaan dan kekayaan sendiri. Wujud kekuasaan dan kekayaan

    menurut Liqua (2016) lain berbentuk “hak atas wilayahnya”:

    1. Apabila melebihi kehidupan keseharian harus dengan

    ijin/kesepakatan masyarakat (usaha yang umum dilakukan

    masyarakat dalam satu wilayah tertentu) secara spontanitas.

    Contoh: menangkap ikan di luhak (sungai kecil) atau ayap pada musim kemarau hendaklah secukupnya/tidak berkelebihan.

    2. Warga masyarakat bertanggung jawab atas segala hal yang

    terjadi di wilayahnya.

    3. Orang luar yang akan memanfaatkanya harus dengan ijin dan

    membayar uang pengakuan (mesi recognitie retribusi) kepada masyarakat adat; kontribusi ini untuk pembangunan daerah

    tersebut. (tidak boleh diatur oleh Peraturan Pemeritah seperti

    ketentuan pokok kewajiban investor dalam membayar

    pajak/kontribusi kepada daerah dan pusat, tapi harus berpijak

    pada kesepakatan dengan daerah penghasil atauotonomi khusus

    desa).

    4. Hak ulayat meliputi pula tanah yang sudah digarap (secara

    perorangan) oleh warga.

    5. Hak ulayat tidak boleh dijualbelikan kepada pihak asing (pihak

    asing walau dalam arti pemeliharaan atau dalam bentuk

    apapun).

    Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan orang Dayak

    sudah memiliki ideologi yang kuat dan berakar yang biasanya

    dikonsepkan dengan religi orang Dayak. 47 Ideologi atau religi ini pula

    46 Kasus meninggalnya salah satu Damang Kepala Adat dikarenakan membuka tali atau patok agar perusahaan dapat masuk dan melakukan aktifitas (Hasil wawancara dengan Kepala Adat Oreng Kambang, 11 Juli 2016 di Oreng Kambang). 47 Radam (1987:17) dan Miden (1999:65) menyatakan religi orang Dayak dipahami sebagai konsepsi manusia tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi dan

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    182

    yang kemudian menjadi pendukung utama terjadinya transformasi

    identitas gerakan dari penambang menjadi gerakan masyarakat adat. 48

    Dengan ideologi atau religi ini, orang Dayak mampu merespon

    hadirnya dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk ke

    hampir semua relung kehidupan orang Dayak, yaitu negara (state) dan pasar (the market). Tindakan yang mereka lakukan adalah melaksanakan ritual-ritual sebagai sistem simbol yang teratur dalam

    suasana hati (sentimen) tertentu dan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan jaga rayanya agar dapat menjembatani berbagai

    kebutuhan yang saling bertentangan sebagai pernyataan diri dengan

    penguasaan diri. Di dalam ritual-ritual tersebut juga terkandung segala

    aturan, norma dan etika untuk mengatur hubungan manusia dengan

    manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature).

    Isu Penting Melandasi Munculnya Gerakan Masyarakat Adat

    Munculnya tindakan kolektif yang dilakukan masyarakat adat

    Oreng Kambang merupakan tindakan yang diorientasikan pada

    seperangkat kepercayaan, nilai-nilai, dan makna-makna kultural yang

    mendukung berkembangnya kesadaran politik, dan yang mengilhami

    sekaligus meligitimasi gerakan perlawanan yang dilakukan. Dalam

    kerangka ini pula, maka isu terkait hak-hak adat atas penguasaan

    sumberdaya alam menjadi sprit perjuangan orang Dayak melawan PT

    IMK.

    Orang Dayak percaya bahwa tanah dan alam sekitar mempunyai

    pola hubungan religius sehingga dalam memanfaatkan, dan

    menentukan sistem pemilikan, dan melakukan ekstraksi sumber daya

    eskatologis serta aktifitas-aktifitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengenal ikatan sosial. 48 Religi bagi orang Dayak dapat dipahami sebagai konsepsi manusia tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi, dan eskatologi serta aktivitas-aktivitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengenalkan ikatan sosial. Karena religi atau satu unsur yang membentuk religi juga dapat dikatakan sebagai keyakinan (belief) dari sistem ideologi yang menjadi inti dari kebudayaan orang Dayak.

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    183

    alam harus diatur (King, 1978; dan Ukur, 1992). Karenanya bagi orang

    Dayak, tanah dan alam sekitar menghubungkan generasi masa lalu,

    sekarang dan yang akan datang (Djuweng, 1992). Salah satunya terkait

    dengan keberadaan Gunung Puruk Kambang yang kemudian dijadikan

    sebagai wilayah suci dan sakral bagi orang Dayak dan oleh pemerintah

    dijadikan sebagai Situs Budaya untuk dilestarikan.

    Selanjutnya mengacu pada Odop dan Lakon (2009:23-25) alamnya

    orang Dayak memiliki 3 (tiga) unsur penting membentuk jati diri atau

    identitas orang Dayak, yaitu: hutan, tanah, dan air. Ekosistem hutan

    dan orang Dayak tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu

    kesatuan utuh kehidupan orang Dayak sejak awal keberadaannya di

    muka bumi hingga kematiannya. Hal ini terlihat jelas dalam wujud

    persekutuan hidup dan kemandirian orang Dayak sebagai suatu

    “masyarakat kecil” hutan yang berkelanjutan. Hutan bagi orang Dayak merupakan dunia, sumber kehidupan, darah dan jiwa (Pilin dan

    Petebang, 1999). Mereka percaya bahwa hutan, tanah, dan sungai itu

    dihuni oleh roh-roh dan makluk-makluk halus yang dibedakannya dari

    roh yang ada di dalam diri manusia. Roh di dalam diri manusia

    hidupnya berkreasi karena terkait dengan roh di luar manusia. Roh di

    luar diri manusia ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat tidak

    baik. Mereka percaya, roh penghuni alam sekitar yang bersifat baik

    selalu akan melindungi manusia, sedangkan roh yang bersifat tidak

    baik selalu akan mengganggu hidup manusia. Kepercayaan ini

    kemudian mereka ungkapkan melalui berbagai ritual sewaktu memulai

    aktivitas perladangan.

    Orang Dayak sebelum membuka hutan untuk aktivitas

    perladangannya dilakukan sesuai aturan adat dan ritual-tirual yang

    harus dijalaninya sebagai mekanisme mengatur hubungan antara

    manusia, tanah dan hutan (Ukur, 1985). Institut Dayakologi menolak

    anggapan bahwa aktivitas ladang berpindah sama dengan kegiatan

    merusak hutan. Pasalnya orang Dayak sudah mempunyai sistem

    pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system) (Pilin dan Petebang, 1999:13) dimana tanah, sungai dan hutan adalah tiga

    elemen terpenting yang memungkinkan seseorang hidup sebagai orang

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    184

    Dayak sejati. Untuk mempertahankan eksistensi dan cara hidup

    mereka yang khas orang Dayak menerapkan tujuh prinsip dalam

    menejemen pemanfaatan sumber daya alam, yaitu : (1)

    kesinambungan; (2) kolektivitas; (3) keanekaragaman; (4) subsistensi;

    (5) organik; (6) ritualitas; dan (7) hukum adat.

    Hasil analisis di lapangan menunjukkan telah terjadi pergeseran

    pola usaha yang berpengaruh pada cara masyarakat memanfaatkan

    lahan dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an,

    masyarakat Dayak masih banyak yang mencari kayu ulin, kayu gaharu,

    pantung, berburu hewan liar, dan mendulang emas secara tradisional.

    Pada tahun 1990-an, usaha-usaha tersebut mulai sulit dilakukan karena

    kelangkaan sumberdaya, akibat semakin intensifnya eksploitasi

    terhadap sumberdaya hutan. Pada tahun 2000-an pola usaha dan

    pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat Dayak masih menunjukkan

    ketergantungan yang tinggi usaha penambangan emas, karet dan padi

    ladang dengan sistem berpindah-pindah.

    Selain ritual, orang Dayak juga memiliki mitos-mitos sebagai

    sistem simbol menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan

    kata-kata lisan secara langsung tetapi lebih sebagai teguran

    seperti“pandehen utus” (pengokoh ketahanan suku dan bangsa). Mitos ini dikembangkan untuk mengisi ruang yang diperlukan dalam

    pemikiran orang Dayak. Karena mitos bagi orang Dayak adalah juga

    sebuah religi yang juga berfungsi sebagai perisai yang melindungi atau

    menghalangi seseorang dari kecenderungannya berlebihan untuk

    memberlakukan alam. Selain itu, mitos bagi orang Dayak berfungsi

    sosial guna mengatur, mempertahankan, dan memindahkan sentimen-

    sentimen sebagai landasan kelangsungan dan ketergantungan sekalian

    orang dalam masyarakat yang bersangkutan, dari satu generasi ke

    generasi berikutnya. Mitos bagi orang Dayak kemudian dapat dipahami

    sebagai rasionalisasi dari berbagai pengalaman-pengalaman dan

    pengetahuan-pengetahuan yang baru sebagai penunjang guna

    memelihara eksistensi atau identitas ke Dayak-annya.

    Proses munculnya pemilikan tanah secara tradisional didahului

    oleh adanya hubungan antara tanah dengan orang atau orang-orang

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    185

    yang menggarapnya. Tahap berikutnya muncul hak (yakni sesuatu

    yang merupakan pilihan bagi si penyandang hak). Namun bagi

    masyarakat adat Dayak “hak” tersebut tepatnya berupa “kewajiban”

    karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan misalnya

    pemeliharan sempat terhenti dalam satuan waktu tertentu, maka

    aksesnya terhadap tanah menjadi hilang, meski seringkali bersifat

    sementara. Sebaliknya, di dunia modern yang muncul lebih dahulu

    adalah “hak” (misalnya diberi hak untuk mengelola HPH selama 25

    tahun), baru kemudian muncul hubungan dengan tanahnya.

    Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti telah disebutkan,

    lebih berupa “kewajiban”, namun pada dunia modern justru

    dibelokkan menjadi “hak” (Atmajaya, 1998).

    Cara pemindah-tanganan hak atas tanah di dalam masyarakat

    Dayak adalah melalui : (1) jual-beli (hajual hapili), (2) perwarisan, (3) pemberian (panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri ramu), (5) gadai (sanda, hasanda) dan (6) perkawinan (petak palaku). Pemindahan hak atas tanah terjadi bilamana seorang keluarga tertentu sangat

    membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti biaya

    sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara

    Tiwah, dan lain-lain.

    Menurut UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No. 5 Tahun

    1960, pemanfaatan lahan yang tidak permanen, seperti pola ladang

    berpindah (shifting cultivation) yang dilakukan warga desa di sebagian wilayah Kalimantan Tengah, relatif sulit untuk mendapat pengakuan

    formal. Hal ini menyebabkan jaminan hukum bagi masyarakat lokal

    cenderung lemah dibandingkan perusahaan atau pihak swasta. Tanpa

    kejelasan status hak, masyarakat adat tidak mempunyai kekuatan

    untuk mempertahankan tanah yang telah mereka manfaatkan secara

    turun temurun. Pada kasus pengambilalihan lahan untuk proyek-

    proyek swasta yang didukung oleh kebijakan pemerintah, ganti rugi

    untuk lahan yang diambil alih kemungkinan tidak dibayar.

    Perusahaan-perusahaan pertambangan menguasai dan memanfaatkan

    lahan dan hutan dengan membawa ijin formal dari pemerintah

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    186

    mempunyai kekuatan secara hukum, termasuk di daerah-daerah yang

    secara de facto telah dimanfaatkan dan dikuasai oleh masyarakat adat.

    Hak atas tanah yang disebut beschikkingsrecht oleh van Vollenhoven, “hak pertuan” oleh Soepomo, “hak pertuan” oleh

    Mahadi, “hak wilayah” oleh M. Tauuchid dan “hak ulayat” oleh

    Soekanto Ridwan (1982) dalam (Florus, Paulus, 1994: 55). Konsep yang

    paling banyak digunakan kemudian adalah “hak ulayat”.

    Tanah adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

    kehidupan dan kebudayaan orang Dayak. Tanah adat sangat penting

    untuk Masyarakat Adat Dayak, karena tanah adat merupakan

    penunjang keberlangsungan hidup dan sarana untuk meningkatkan

    kesejahteraan, baik yang bersifat sosial maupun ekonomis. Karena itu

    tanah adat sebagai bagian dari hak-hak adat masyarakat adat baik

    kolektif (ulayat) maupun perorangan di Kalimantan Tengah perlu

    diakui, dihormati, dan dihargai keberadaannya. Kebijakan Pemerintah

    Provinsi dengan menetapkan Perda Provinsi Kalimantan Tengah No.

    16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan

    Tengah dan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13/2009 Jo

    Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah No. 4/2012 tentang

    Tanah Adat dan Hak-hak Adat di atas Tanah di Provinsi Kalimantan

    Tengah harusnya menjadi kekuatan mendukung gerakan perlawanan

    masyarakat adat. Tanah adat yang diolah dan dikuasai masyarakat adat

    selama ini, secara yuridis sudah diharmoniskan sehingga memiliki

    sandaran hukum tertulis atau hukum positif.

    Terkait isu penguasahaan sumberdaya alam (tanah) yang

    menyangkut kontrol hukum positif atas tanah lokal oleh negara

    tampaknya menjadi isu yang paling dibenci oleh masyarakat adat

    dikarenakan pengambilan hak-hak lokal secara tidak sah. Perwakilan

    masyarakat adat menolak sepenuhnya penyataan tanah adat sebagai

    tanah negara ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

    masyarakat adat.

    Selanjutnya kaitan antara hukum adat dan tanah adat Dayak dapat

    dilihat dalam berbagai dimensi, diantaranya :

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    187

    1. Hukum adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam

    kesadaran hati nurani masyarakat dan tercermin dalam pola-

    pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-

    pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan

    kepentingan nasional.

    2. Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah

    ke Damangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun

    bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik

    perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui

    oleh Damang Kepala Adat.

    3. Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun

    temurun yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh

    para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat

    disejajarkan maknanya dengan hak ulayat.

    4. Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang

    diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah,

    warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam

    tumbuhnya maupun tanah kosong belaka.

    5. Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak

    perorangan untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan

    sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di

    atas tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat.

    6. Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat (semacam majelis) yang selanjutnya disebut Kerapatan Mantir/Let adalah forum gabungan para Mantir/Let adat baik yang berada di kecamatan maupun di desa/kelurahan.

    7. Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang berwenang menegakkan hukum adat Dayak dalam suatu

    wilayah adat yang pengangkatannya berdasarkan hasil

    pemilihan oleh para kepala desa/kelurahan, para ketua Badan

    Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan,

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    188

    para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua Kerapatan Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah

    kedamangan tersebut; Damang Kepala Adat diangkat oleh Bupati/Walikota.

    8. Kedamangan adalah suatu lembaga adat Dayak yang memiliki wilayah adat, kesatuan masyarakat adat dan hukum adat dalam

    wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari

    himpunan beberapa desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten dan

    tidak dapat dipisah-pisahkan.

    9. Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah perangkat adat pembantu Damang atau gelar bagi anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat di tingkat Kecamatan dan anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan, berfungsi sebagai peradilan adat yang

    berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam menegakkan hukum adat dayak di wilayahnya; Mantir/Let kecamatan berjumlah 3 orang; Mantir/Let tiap desa/kelurahan berjumlah 3 orang; Mantir/Let diangkat dan diberhentikan oleh keputusan Bupati/Walikota.

    10. Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat-

    istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat dayak itu

    tumbuh, berkembang dan berlaku sehingga menjadi penyangga

    untuk memperkokoh keberadaan masyarakat adat Dayak

    bersangkutan.

    11. Identifikasi dan inventarisasi adalah pendataan dan pencatatan

    pemilik tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah, serta

    penentuan areal tanah adat yang akan didaftarkan untuk

    mendapat Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak

    Adat di atas Tanah (Buku Panduan Pembuatan Surat

    Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas

    Tanah.

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    189

    Mengacu Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah

    No.16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan

    Tengah, Bab XIV Pasal 36 ayat 1, 2, dan 3 menyatakan bahwa :

    (1) Hak-hak adat Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah

    adalah tanah adat, hak-hak adat di atas tanah, kesenian,

    kesusasteraan, obat-obatan tradisional, desain/karya cipta,

    bahasa, pendidikan, sejarah lokal, peri boga tradisional, tata

    ruang, dan ekosistem.

    (2) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah mengakui,

    menghormati dan menghargai keberadaan hak-hak

    masyarakat adat Dayak sebagaimana dimaksud ayat (1)

    sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang

    undangan yang berlaku.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak adat Dayak

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan

    Peraturan Gubernur.

    Atas dasar berbagai isu di atas, maka dapat dikatakan bahwa

    bentuk penegasan kembali hukum adat dan tanah adat menjadi isu

    utama untuk melakukan transformasi identitas gerakan penambang

    menjadi gerakan masyarakat adat. Gerakan yang awalnya adalah

    perjuangan para penambang yang terbatas berkembang ke gerakan

    trasformasi sosial dan politik yang lebih luas melalui gerakan

    mempertahankan hak-hak adat.

    Menuju Gerakan Mempertahankan Hak-hak Adat

    Sebutan suku Dayak sebagai satu kesatuan dari sub-sub suku

    Dayak yang ada di Kalimantan, mulai dikenal pada saat dilakukan rapat

    damai yang dihadiri kepala-kepala suku adat Dayak se Kalimantan di

    Tumbang Anoi dari tanggal 22 Mei -24 Juli 1894. (Ilon, 1987a; Usop,

    1994:v-vii dan Kurniawan, 2007). Rapat ini merupakan peristiwa yang

    sangat bersejarah pada abad ke-19 untuk merintis persatuan dan

    kesatuan dengan mengokohkan sistem adat-istiadat dan tata krama

    maupun sikap moral (Ilona, 1987:7) melalui berbagai penyelesaian

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    190

    konflik antar suku Dayak terkait dengan kegiatan ritual adat seperti

    saling bunuh (habunu), saling potong kepala (hakayau), dan saling memperbudak (hajipen) diantara suku-suku Dayak yang kemudian dikenal dengan rapat damai Tumbang Anoi pada tahun 1894. Semangat

    ini yang kemudian disebut dengan “semangat Anoi” mendorong

    kesadaran orang Dayak salah satunya adalah pentingnya

    mempertahankan hak-hak adat Dayak.

    Walaupun umurnya lebih dari seratus tahun lalu terpedam dalam

    sejarah, namun “semangat Anoi” masih tetap diakui oleh orang Dayak

    sebagai peristiwa bersejarah yang terbesar dan unik karena mampu

    menghadirkan tokoh-tokoh adat (informal leader) +1.000 orang mewakili 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan. Rapat

    akbar ini merupakan persidangan pengadilan adat terbesar untuk

    menyelesaikan hampir 300 perkara berkaitan dengan konflik antar

    suku Dayak selama dua bulan (60 hari) untuk menghasilkan sejumlah

    peraturan adat. Disepakati 96 pasal Hukum Adat untuk menjadi

    pedoman bagi para Damang Kepala Adat di seluruh Kalimantan yang

    kebanyakan bertugas mengatur tentang sanksi-sanksi adat di dalam

    interaksi sesama orang Dayak maupun dalam kehidupan perladangan.

    Misalnya tradisi saling potong kepala (hakayau) sudah tidak terjadi lagi dimana kepala manusia simbol diganti dengan buah kelapa. 49

    Rapat damai ini juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan

    tertinggi yaitu; persaudaraan, perdamaian, dan kesadaran tertib hukum

    yang diwujudkan dalam perilaku, sebagai terbitnya cahaya peradaban

    untuk menyinari hutan belantara Kalimantan. Manarik dalam rapat

    ini, pihak Belanda (Kontrolir Tanah Dayak A.C. da Hee dan Kontrolir

    Melawi J.P.J. Barth) yang menginisiasi rapat ini menampilkan diri

    lebih sebagai saudara sesama manusia daripada sebagai penguasa. Sikap

    ini disambut dengan semangat yang sama dengan bahasa yang berbeda:

    Belanda, Melayu, dan Dayak yang kemudian melahirkan Pakat Dayak.

    Pakat Dayak berisikan; (1) perang antara Belanda dan pasukan

    Barandar dilakukan tanpa penuntutan ganti kerugian masing-masing;

    (2) mengakui kewenangan pemerintah untuk memajukan dan

    49 Wawancara dengan tokoh Dayak di Palangkaraya pada tangga 13 Nopermber 2011.

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    191

    membangun daerah Dayak yang diimbangi dengan pengakuan pada

    kedaulatan dan status lembaga adat (Kedamangan); (3) semua pihak

    sepakat menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku); (4) dihentikannya kegiatan bunu habunu (saling bunuh) yang seringkali dilakukan dengan latar belakang dendam; (5) menghentikan kegiatan

    kayau mengayau (kebiasaan memburu manusia, memotong kepala untuk koleksi pribadi dan bukti kepahlawanan); (6) menghentikan

    kebiasaan jipen manjipen dan hajual hapili jipen (perbudakan dan jual beli budak); (7) menyempurnakan warisan turun temurun yang

    dipangku para Damang disamping ketentuan-ketentuan yang

    dijalankan pemerintah; dan (8) memberi kesempatan untuk berbagai

    pihak mengemukakan masalah yang dihadapi masing-masing dan

    dicarikan penyelesaiannya.

    Pakat Dayak juga merupakan bentuk kesepakatan, kerukunan,

    persatuan dan kesatuan langkah dan pandangan pada suatu kurun

    waktu. Karenanya Pakat Dayak dapat dikatakan sebagai institusi atau

    sebagai sekumpulan norma dan perilaku yang tetap sepanjang waktu

    dengan cara memberi tujuan yang bernilai kolektif (Uphoof, 1986:1-

    19) yang selanjutnya dapat berfungsi sebagai kerangka interaksi dan

    integrasi dimana jati diri orang Dayak akan terus berkembang dari

    waktu ke waktu dalam mengisi ruang pembangunan atau dalam ruang

    membentuk peradapan. Selain itu, Pakat Dayak juga digunakan sebagai

    alat perjuangan, karena pengertian pakat mengandung suatu kebulatan

    pikiran, pandangan dan langkah ke suatu tujuan atau suatu pencerahan

    pikiran atau kebangkitan atau kebangkitan kembali kebudayaan

    (cultural revival) (Usop, 1994:v-vii).

    Walaupun rapat damai di Tumbang Anoi (1894) merupakan

    sejarah besar bagi orang Dayak, tetapi sebagian orang Dayak

    menganggap pertemuan tersebut merupakan kekalahan dan

    mengembangkan mentalitas budak di kalangan orang Dayak sebagai

    politik desivilasi “ragi usang” (Kusni, 2010). Orang Dayak kemudian

    memiliki rasa rendah diri sampai-sampai ada yang tidak mengakui

    dirinya orang Dayak dan mau berbahasa Dayak. Kesalahan rapat damai

    di Tumbang Anoi, dikoreksi setelah 25 tahun kemudian, tepatnya pada

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    192

    tanggal 18 Juli 1919 dengan didirikannya organisasi oleh beberapa

    tokoh Dayak yang diberi nama dengan Pakat Dayak atau Serikat

    Dayak. Berdirinya organisasi ini bersamaan dengan berdirinya Boedi

    Oetomo (20 Mei 1908) dan organisasi-organisasi nasionalis lainnya di

    berbagai pulau di Indonesia, terutama di Jawa. Apakah berdirinya

    organisasi Pakat Dayak tidak terpisahkan dari Gerakan Kebangkitan

    Nasional untuk kemerdekaan Indonesia masih perlu dikaji lebih jauh.

    Namun demikian, dengan berdirinya organisasi ini diharapkan dapat

    melahirkan kesadaran “baru” tentang pentingnya gerakan membela

    harkat dan martabat orang Dayak, baik secara politik, ekonomi, budaya

    maupun sosial.

    Meskipun Pakat Dayak sudah dibentuk, tetapi masih banyak

    orang Dayak yang belum sadar pentingnya membangun integritas ke-

    Dayak-an karena mereka tetap merasa dirinya sebagai Dayak Oot

    Danum, Dayak Ngaju, Dayak Siang, Dayak Bakumpai dan Dayak

    Maanyan, yang berasal dari daerah utus itu dan utus ini. Hal ini terlihat dari upaya membentuk Komite Kesadaran Bangsa Dayak tahun

    1938 agar orang Dayak memiliki wakil di Parlemen Belanda

    (Volksraad) di Betawi. Komite ini kemudian menyebarkan selebaran (yang dikenal sebagai Suara Dayak) untuk disampaikan ke berbagai

    pelosok sungai atau DAS, walaupun pada akhirnya tidak berhasil

    membawa wakil orang Dayak duduk di Parlemen Belanda (Van

    Klinken, 2004:18).

    Perjuangan selanjutnya terjadi dari tahun 1953-1957 setelah

    Indonesia memperoleh kemerdekaan. Dengan melibatkan banyak

    aktor dan organisasi kemasyarakatan, seperti: pasukan khusus (Pasus);

    Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS); Serikat Keharingan

    Dayak Indonesia (SKDI); Ikatan Keluarga Dayak (IKAD) dll berjuang

    untuk membentuk Daerah Otonom (Provinsi Kalimantan Tengah),

    lepas dari wilayah administrasi Kalimantan Selatan. Untuk

    mempersiapkan segala sesuatu membentuk Daerah Otonom, maka

    pada tahun 1956 beberapa tokoh Dayak dan organisasi kemasyarakatan

    di bawahnya menyelenggarakan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah

    (KRKT) di Banjarmasin. Latar belakang dilaksanakan kongres ini salah

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    193

    satunya menyiapkan proposal pembentukan provinsi Kalimantan

    Tengah. Dasar pembentukan adalah secara geografis luas Kalimantan

    Tengah 1,5 kali dari luas pulau Jawa, memiliki sumber daya manusia

    kurang lebih 450.000 jiwa pada tahun 1957, serta memiliki sumber

    daya alam yang sangat besar untuk menunjang pemerintahan.

    Pertimbangan lain bahwa faktor etnologis, sosiologis dan psykologi

    lebih didominasi oleh masyarakat dari suku Dayak (Jidan, 1994 dan

    Usop, 1978). Gerakan ini membuahkan hasil dengan dikeluarkannya

    UU Darurat No. 10 Tahun 1957 yang dicatat dalam Lembaran Negara

    No. 53 Tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Otonom

    Kalimantan Tengah. Oleh karenanya KRKT yang diselenggarakan di

    Banjarmasin dijadikan sebagai tonggak penyelenggarakan KRKT

    berikutnya dan kemudian disebut sebagai KRKT I.

    Pada masa Orde Baru, tepatnya memperingati 100 tahun Rapat

    Tumbang Anoi (tahun 1994), beberapa tokoh adat Dayak dari berbagai

    latar belakang berkumpul dan menyepakati perlunya membentuk

    Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah

    yang disingkat LMMDD-KT. Lembaga selanjutnya dijadikan sebagai

    wadah atau ranah (field) untuk membangun jaringan hubungan-hubungan antar orang Dayak, seperti yang dikembangkan oleh

    Bourdieu (Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J, 2008:525).

    Pembentukan lembaga ini terinspirasi dari gerakan Pakat Dayak yang

    telah berjuang pada masa kolonial. Karenanya LMMDD-KT dibentuk

    bukan sebagai gerakan instan tetapi gerakan untuk terus menginstitu-

    sionalisasikan Pakat Dayak dalam kehidupan orang Dayak. 50

    Sejak dibentuk, LMMDD-KT melakukan berbagai tindakan

    kolektif melalui aksi-aksi massa untuk memperjuangkan kepentingan

    orang Dayak. Salah satu aksi massa yang pernah dilakukan adalah

    menolak calon Gubernur Kalimantan Tengah “dropping” pusat (Karna

    Suwanda adalah calon Gubernur ketiga yang ditolak) dengan

    melakukan demo besar-besaran oleh masyarakat menuntut dipilihnya

    “putera daerah” pada tahun 1996. Namun akhirnya calon gubernur

    50 Wawancara dilakukan dengan tokoh adat Dayak pada tanggal 05 Maret 2010 di Palangkaraya.

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    194

    dropping pusat yang dipilih adalah Warsito Rasman (masa bakti 17 Juli 1994 hingga Juli 1999). Untuk menegaskan sikap ini, LMMDD-KT

    kembali menyelenggarakan KRKT II pada tahun 1995 di Palangkaraya.

    Butir-butir kesepakatan hasil KRKT II adalah; (1) tetap

    memperjuangkan Gubernur berasal putra daerah; (2) memperjuangkan

    untuk memperoleh otonomi daerah; dan (3) memperjuangkan hak-hak

    adat orang Dayak.

    Terlepas dari kegagalan untuk mempengaruhi pemerintah agar

    memilih Gubernur Kalimantan Tengah dari orang Dayak, namun

    perjuangan ini memunculkan kembali politik etnis atau politik Dayak

    atau Pan Dayak. Hal ini terjadi karena sejak kemerdekaan, apalagi pada

    masa pemerintahan Orde Baru orang Dayak terus termajinalisasi.

    Dengan menggunakan stigma sosial yang negatif dan

    mengatasnamakan pembangunan, orang Dayak kemudian

    dikategorikan sebagai “suku terasing” atau sebagai yang others sehingga perlu dilakukan program relokasi seperti yang dilakukan pada masa

    kolonial Belanda (Mutia, 2006:14-15), dan juga dibeberapa negara di

    Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Filipina (Ghee dan Gomes, 1993).

    Di balik alasan memberadabkan dan memodernkan orang Dayak yang

    disodorkan untuk mendukung program relokasi, tetapi kerap kali

    terdapat kaitan langsung untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya.

    Mengiringi perjalanan euforia reformasi, di Kalimantan muncul

    konflik etnik antara Madura dan Dayak. Konflik ini mendapatkan

    perhatian secara khusus dari Human Right Watch karena memakan ratusan korban jiwa dan ribuan orang dari etnis Madura harus

    mengungsi di berbagai wilayah di Indonesia. Orang Madura

    meninggalkan harta bendanya yang jumlahnya tidak sedikit karena

    mereka telah hidup puluhan tahun di Kalimantan (data yang

    sebenarnya hingga saat ini belum diketahui). Awal mula konflik etnis

    ini di Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Ketapang pada tahun

    1999, kemudian menjalar ke Kalimantan Tengah tepatnya pada tahun

    2001 di Sampit. Dimulai perkelahian antar individu, tetapi mampu

    memancing menjadi konflik antar etnis, karena salah satu etnis (orang

    Dayak) merasa terhina dengan berbagai ucapan dan tindakan yang

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    195

    merendahkan harkat dan martabat mereka. 51 Penghinaan ini

    membangkitkan solidaritas dengan menggunakan berbagai antribut

    kebudayaan yang dipercaya memiliki kekuatan untuk melawan. Kode-

    kode budaya kemudian digunakan untuk menyatakan perang atau

    dalam bahasa Dayak Ngaju Asang yang hanya bisa dimengerti oleh orang Dayak. Dengan mengirim tombak yang diikat dengan rotan

    merah atau telah dijernang yang diartikan orang Dayak menyatakan perang dengan orang Madura. Orang Dayak yang tinggal terpencar di

    pedalaman kemudian turun ke kota untuk melakukan ritual perang

    adat yang disebut kayau atau mengayau.

    Ritual kayau atau mengayau bermakna sebagai kegiatan perburuan kepala tokoh-tokoh adat yang menjadi musuh, dimana

    kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam upacara Tiwah.

    Menurut Mukhlis (2008), kayau terbagi menjadi empat bagian: (1) Mengayau dalam arti yang sebenarnya yaitu memenggal kepala saat terjadi peperangan; (2) Mengayau Bajai (buaya) yaitu memenggal kepala buaya yang menyambar manusia. Menurut tradisi orang Dayak

    buaya yang menyambar manusia adalah buaya yang bersalah sehingga

    buaya tersebut harus dihukum; (3) Mengayau batang kayu yaitu memenggal pohon kayu yang dianggap bersalah karena ada orang

    Dayak yang ketimpa pohon kayu tersebut sehingga menimbulkan

    korban jiwa; dan (4) Mengayau danum (air) yaitu menebas air sungai jika ada orang Dayak yang tenggelam sehingga perlu dilakukan

    pembalasan. Empat bagian ini dilakukan melalui ritual dengan berbagai

    macam persembahan, bisa berupa hewan kurban, sesaji dan berbagai

    macam perlengkapannya dilakukan oleh basir atau dukun.

    Perdebatan apakah kayau digunakan pada saat terjadinya konflik masih dipertanyakan. Namun menurut seorang anggota Pasus Dayak

    menyatakan bahwa; “…sebelum mereka berperang melawan orang

    Madura mereka dimandikan terlebih dahulu oleh basir atau dukun sehingga mereka tidak sadarkan diri (semacam kesurupan) untuk

    kemudian berlomba memotong kepala musuh (orang Madura) dengan

    51 Hasil wawancara dengan seorang anggota Pasukan Khusus (Pasus) di Sampit, 10 September 2010.

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    196

    Mandau merupakan bentuk ksatria (Lingu, 2002:75). Kegiatan

    memandikan inilah yang oleh orang Dayak disebut sebagai ritual kayau untuk mengubah kekuatan spiritual (spiritual capital) mereka menghadapi musuh. Dengan menggunakan antribut kebudayaan dalam

    konflik dapat menjadi medium perang psikologis, pertahanan, dan

    reaksi terhadap sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas sekaligus

    sebagai upaya penegasan solidaritas diri oleh orang Dayak, yang dalam

    hal ini diarahkan terhadap para pendatang keturunan Madura.

    Tanasaldy dengan mengutip Davidson (2007:477) menyatakan bahwa

    konflik paling keras antara orang Dayak dan orang Madura dalam

    sejarah dapat dipandang sebagai penegasan diri orang Dayak setelah

    sekian lama tertekan dan terpinggirkan.

    Dengan semakin meningkatnya ekskalasi konflik, maka LMMDD-

    KT pada tahun 2001 menggelar KRKT III di Palangkara dengan acara

    khusus membicarakan konflik dengan etnis Madura. KRKT III dihadiri

    berbagai elemen masyarakat (elit politik, akademisi, LSM, tokoh adat

    dll) dari pusat hingga kabupaten/kota di seluruh Kalimantan Tengah.

    Seorang tokoh pemuda Dayak yang mengikuti KRKT III menyatakan

    bahwa solidaritas ke-Dayak-an yang muncul sangat kuat dan saling

    bahu membahu untuk menutupi seluruh biaya kongres. Tekad yang

    kemudian dibangun dalam KRKT III disebut dengan Tekad Damai

    Anak Bangsa di Bumi Kalimantan (TDAB-BK).

    Nam Centre (2001, dalam Usop, 2003) menyatakan paling tidak

    ada tujuh pokok masalah yang menjadi akar terjadi konflik etnis antara

    orang Dayak dengan orang Madura: (1) Kebijakan pembangunan yang

    salah dimasa lalu; (2) Pembinaan Sumber Daya Manusia yang kurang

    berhasil; (3) Benturan budaya; (4) Ketidakadilan; (5) Kemiskinan; (6)

    Keamanan; dan (7) Ketidakpastian penegakkan hukum. Namun yang

    menjadi fokus KRKT III lebih menyoroti pada persoalan kebijakan

    pembangunan yang dinilai salah pada masa lalu mengakibatkan

    terjadinya benturan budaya, tidak ada penegakkan hukum yang

    berpihak kepada orang Dayak, tidak terjaminnya keamanan, terjadinya

    ketidakadilan, kemiskinan semakin meningkat, dan kebijakan

    pembangunan yang sentralistik/otoriter sehingga aspirasi orang Dayak

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    197

    sebagai akar rumput tersumbat dan merasa terpinggir dan

    termarginalkan. Karenanya KRKT III memperjuangkan nilai secara

    damai, bahu membahu, melalui organisasi (nilai demokrasi), bila

    terpaksa atau terdesak sedia mengangkat senjata bila yakin akan misi

    perjuangan, menentang kelaliman dan eksploitasi, monopoli dan

    otoriterianisme atau sentralisasi, KKN, menentang kekerasan dan cara-

    cara kekerasan.

    Butir-butir kesepakatan yang kemudian dihasilkan KRKT III

    adalah : (1) menerima TDAB-BK; (2) menerima pusat sebagai mediator;

    (3) menolak cara-cara kekerasan; dan (4) menerima dengan bersyarat

    bahwa warga masyarakat pengungsi Madura menyatakan diri “siap

    damai dan minta maaf”. Agar butit-butir kesepakatan tersebut dapat

    dijalankan KRKT III juga meminta kepada pemerintah dan pemerintah

    daerah untuk: (1) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang

    Kependudukan; (2) terus menjalankan proses hukum; (3)

    menghentikan sejenak upaya untuk melakukan pemulangan pengungsi

    orang Madura setelah dilakukan pendinginan dinamik, rasa aman oleh

    kedua belah pihak; (4) Budaya Betang: dimana bumi dipijak, disitu

    langit dijunjung diutamakan; dan (5) melaksanakan pembangunan

    secara terpadu dari tingkat pemerintah provinsi maupun

    kabupaten/kota. Tindak lanjutnya adalah Pemerintah Provinsi

    Kalimatan Tengah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun

    2001 tentang Penduduk Dampak Konflik yang berisi lima bab: bab pertama (Ketentuan Umum) dengan pasal 1 beserta 19 ayat, antara lain tentang: penanganan penduduk dampak konflik adalah upaya

    normalisasi kehidupan penduduk daerah, rekonsialiasi, rehabilitasi, ada

    tentang nilai-nilai/norma-norma dan hukum, serta kelembagaan adat;

    bab kedua (Kebijakan Daerah) berkenaan dengan rekonsiliasi, rehabitasi, kewenangan dan peranan Damang Kepala Adat; bab ketiga (Penyelenggaraan Pengembalian Penduduk) berkenaan dengan

    pendataan dan pendaftaran penduduk; pengembalian penduduk;

    keamanan dan ketertiban masyarakat, pembinaan, pengawasan dan

    pengendalian; bab empat (Sangsi Hukum dan Hukum Adat); dan bab kelima (Penutup)

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    198

    Setelah KRKT III, LMMDD-KT menindak-lanjuti upaya

    penyelesaian konflik dengan menyelenggarkan pertemuan Tekat

    Mufakat Masyarakat Kalimantan (TMMK) di Batu Malang, Jawa Timur

    pada tahun 2002. TMMK diselenggarakan untuk menyatukan seluruh

    kepentingan orang Dayak di Bumi Kalimantan (empat provinsi). Ada

    sembilan butir kesepakatan yang dihasilkan di Batu Malang bahwa

    Masyarakat Kalimantan; (1) siap melaksanakan TDAB-BK; (2) bersama

    pemerintah secepatnya meningkatkan kurukunan masyarakat yang

    multi etnis; (3) berupaya sekuat tenaga mewujudkan normalisasi

    melalui penciptaan keadaan aman, damai, dan rasa aman; (4) bertekad

    berupaya menghormati budaya masing-masing dengan prinsip “dimana

    bumi dipijak, disitu langit dijunjung” untuk berdampingan secara

    rukun dan damai; (5) sepakat mengakhiri penderitaan para korban

    pertikaian dan keluarga anak bangsa dari keturunan etnis manapun; (6)

    keturunan Madura korban kerusuhan diproses pengembaliannya secara

    bertahap yang didukung oleh iklim kondusif sesuai dengan kebijakan

    Pemeritah dan kebijakan Pemerintah Daerah; (7) mendukung

    Pemerintah menegakkan supermasi huku; (8) siap melakukan langkah-

    langkah proaktif untuk kehidupan rukun, damai, dan harmonis; dan

    (9) implementasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk: (a)

    pemulihan sosial kembali ke tempat semula sesuai dengan kondisi

    masing-maing daerah; (b) Pemda Kabupaten/Kota se Kalimantan segera

    membentuk Perda Kependudukan; (c) langkah-langkah nyata

    pemberdayaan masyarakat Kalimantan; (d) bersama seluruh komponen

    bangsa mewaspadai dan memerangi provokator; (e) Pemerintah dan

    Pemerintah Daerah berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam

    pemulangan kembali, pemberdayaan dan relokasi sesuai dengan

    kebijakan nasional; (f) dibentuk Polisi sektor di tempat relokasi dan

    Pam Swakarsa; (g) untuk melaksanakan (a-f) supaya dibentuk

    Kelompok Kerja (Pokja) lintas tokoh dan sektor.

    Setelah melaksanakan TMMK, LMMDD-KT kembali

    menyelenggarakan Musyawarah Besar I Damang Kepala Adat se

    Kalimantan Tengah (Mubes I DKA-KT) di Palangkaraya pada tahun

    yang sama (2002). Ide dasar diselenggarakan musyawarah ini adalah

    meletakkan kembali filosofi sebagai landasan untuk terus

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    199

    memperjuangkan nasib adat orang Dayak sekaligus memberdayakan

    masyarakat (community development) agar orang Dayak memahami dan mengerti hak-haknya atas dasar adatnya. Karenanya peran aktif

    Damang sebagai Kepala Adat menjadi penting terutama dengan

    memberikan kewenangan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya;

    melakukan pemberdayaan masyarakat atau ekonomi rakyat dan

    melakukan pemberdayaan atau pelestarian Sumber Daya Alam

    (lingkungan hidup/ekologi). Damang Kepala Adat se Kalimantan

    Tengah kemudian mendeklarasikan Provinsi Kalimantan Tengah

    sebagai Daerah Ekologis atau Daerah Lingkungan Hidup dengan

    mengacu pada Program Nasional tahun 1999-2004; UU No. 22 Tahun

    1999 tentang Pemerintah Daerah; UU No. 23 Tahun 1997 tentang

    Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 5 Tahun 1990 tentang

    Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No. 41

    Tahun 1999 tentang Kehutanan; dan Perda No. 9 Tahun 2001 tentang

    Penduduk Dampak Konflik yang memberikan peranan dan fungsi

    kepada lembaga adat yang masih hidup di Kalimantan Tengah.

    Dalam perkembangannya hasil-hasil KRKT III belum

    diimplementasian sepenuhnya yang kemudian mendorong LMMDD-

    KT kembali akan menyelenggarakan KRKT IV. Pada saat wacana akan

    diselenggarakan KRKT IV, dinamika politik di antara orang Dayak

    telah berubah. LMMDD-KT yang dulunya menjadi aktor untuk

    memperjuangkan eksistensi, hak-hak dan identitas orang Dayak (1994-

    2001) mulai kehilangan pengaruh. Posisi-posisi kunci yang diduduki

    oleh elit politik maupun intelektual orang Dayak mulai meninggalkan

    LMMDD-KT menjadi anggota pengurus Majelis Adat Dayak

    Kalimantan Tengah (MAD-KT) yang dibentuk pada tahun 2006 (Lingu,

    2002). Masuknya elit politik dan intelektual orang Dayak ke dalam

    tumbuh MAD-KT yang didukung sepenuh oleh elit yang berkuasa

    dalam konteks hubungan patron-klien untuk memanfaatkan peluang

    sebagai free-rider karena kekuasaan politik dan ekonomi melalui lobi-lobi baik dengan pihak penguasa maupun pengusaha. Sebagai free-rider peran yang kemudian dimainkan adalah menjadi wakil dari penguasa

    melakukan negosiator agar dapat mempengaruhi dan membujuk orang-

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    200

    orang Dayak menyerahkan hak-hak historisnya kepada pengusa dan

    pengusaha.

    Meskipun mulai kehilangan pengaruh, KRKT IV tetap

    diselenggarakan pada tahun 2009 guna menjawab berbagai keluhan

    dari masyakat (orang Dayak) karena semakin tidak terkendalinya

    eksploitasi kekayaan sumber daya alam yang dilakukan para pengusaha

    dengan dukungan dari penguasa. Dengan tema: “Tingkatkan

    Tanggungjawab Sosial Pemerintah Daerah dan Perusahaan Besar

    Swasta Kunci Pengentasan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat

    Demi Harkat dan Martabat Masyarakat Kalimantan Tengah”, melalui

    LMMDD-KT, orang Dayak ingin menyuarakan penolakan terhadap

    berkembangnya kapitalisme sehingga menempatkan orang Dayak

    dipinggiran dan hanya terpusat pada sektor modern yang sifatnya

    artifisial. Kondisi ini memperburuk kemiskinan di mana struktur-

    struktur sosial-ekonomi terputus dari sumber daya yang bisa diakses

    orang Dayak hingga di pedalaman Kalimantan. 52

    Kelangsungan hidup orang Dayak sekarang sangat bergantung

    mencari kerja, baik di sektor perekonomian formal maupun informal.

    Tidak cuma itu, kapitaslime juga dapat menghapuskan inti kebudayaan

    orang Dayak yang menjadi simbol identitasnya (the end of the nation state). Kalimantan yang dulu dikenal sebagai bagian dari Indonesia kini menjadi bagian dari suatu aktivitas global. Dengan perlawanan ini,

    orang Dayak hanya ingin mempertahankan simbol identitasnya sambil

    mengingat bahwa mereka masih digolongkan miskin meskipun

    memiliki sumber daya yang besar. Dalam konteks Kalimantan

    walaupun memiliki sumber daya yang besar tetapi masyarakatnya

    masih tergolong miskin (pernyataan Gubernur Kalimantan Timur

    dihadapan Presiden RI pada acara peresmian Proyek-proyek di

    Provinsi Kaltim, di Samarinda 15 Juli 2009, Kompas 16 Juli 2009,

    dengan judul pemberitaannya Dominasi Tangan Kuat Tidak Membawa

    Keadilan).

    52 Hasil wawancara dengan tokoh adat Dayak, Palangkaraya, 03 September 2010).

  • Transformasi Identitas Gerakan dari “Penambang” Menjadi Masyarakat Adat

    201

    Untuk itu, LMMDD-KT kembali menyelenggarakan Kongres

    Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) ke V pada tanggal 28-29 Juni 2014

    di Gedung Tambun Bungai Palangkaraya. Karena penyelenggaraan

    KRKT ini berdekatan dengan pesta politik, Pemilihah Presiden

    (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maka melalui KRKT

    diharapkan dapat memberikan masukan dan menjaga kebersamaan

    sesuai dengan prinsip rumah panjang atau diberi nama dengan Huma Betang. Prinsip yang dimaksud adalah semangat kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness in diversity). Tema utama yang diangkat adalah menghadapi Era Ekonomi Pekerja Iptek dan Reformasi serta

    membahas masalah-masalah marginalisasi, hutan adat, sengketa lahan,

    korupsi, harmonisasi hukum positif dan adat serta desentralisasi

    keuangan daerah. Kongres tersebut dihadiri para tokoh adat Dayak

    serta mantan pejabat daerah di Kalimantan Tengah. Menurut tokoh

    adat Dayak, tema ini sengaja diangkat berdasarkan kondisi yang

    dihadapi orang Dayak saat ini dan masa mendatang khususnya di

    Kalimantan Tengah.

    Satu keputusan penting dari KRKT V yang berhubungan langsung

    dengan gerakan perlawanan masyarakat adat Oreng Kambang adalah

    membentuk Asosiasi Pertambangan Rakyat Kalimantan (Aspera).

    Tugas penting dari asosiasi ini adalah memberikan pendampingan

    kepada para penambang rakyat di Kalimantan dan khususnya di

    Kalimantan Tengah yang umumnya adalah masyarakat adat Dayak.

    Berbagai kegiatan yang dilakukan asosiasi ini, diantaranya

    menyelenggarakan seminar dan lokakarya baik pada aras lokal,

    nasional maupun internasional. Asosial ini juga mengembangkan

    jaringan kerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi maupun

    lembaga yang bergerak dalam pendampingan pertambangan rakyat,

    salah satunya mengembangkan teknologi penambangan untuk

    kepentingan para penambang yang berwawasan lingkungan. Apa dan

    bagaimana Asosiasi Pertambangan Rakyat Kalimantan (Aspera) dapat

    dilihat pada gambar 6.5 di bawah ini.

  • ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

    202

    Sumber : http://www.tambang.id/blog/pelayanan-untuk-anggota-asosiasi-

    pertambangan-rakyat-kalimantan

    Gambar 6.5.

    Website Asosiasi Pertambangan Kalimantan