topeng dan pesta roh

8
Topeng dan Pesta Roh Topeng merupakan media atau alat utama yang digunakan oleh orang-orang Suku Asmat di Papua dalam upacara yang disebut Pesta Roh atau Pesta Topeng. Dalam istilah orang Asmat, pesta ini disebut dengan mamar atau bunmar pokbui. Pesta Roh ini bertujuan untuk memperingati roh keluarga dekat yang telah meninggal dunia. Menurut cerita, upacara mamar bermula dari sebuah peristiwa yang dialami oleh seorang anak yatim piatu. Peristiwa apakah yang dialami oleh anak itu sehingga upacara Pesta Roh menjadi tradisi dalam Suku Asmat? Ikuti kisahnya dalam cerita Topeng dan Pesta Roh berikut ini. * * * Alkisah, di sebuah kampung di hulu Sungai Sirets di pedalaman Merauke, Papua, hiduplah seorang anak yatim piatu atau yang biasa panggil si Yatim. Anak itu menjadi sebatang kara karena dusunnya diserang oleh kampung lain sehingga menyebabkan seluruh keluarganya meninggal dunia. Kini, si Yatim hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah hampir roboh. Hidupnya sungguh memprihatinkan. Setiap hari ia selalu menyendiri karena tidak disenangi oleh warga tanpa alasan yang jelas. Walaupun penduduk di kampung itu hidup makmur, namun tak seorang pun dari mereka yang mau membantu si Yatim. Nasib si Yatim semakin parah ketika suatu hari ia dituduh mencuri makanan dan barang- barang milik penduduk kampung tanpa disertai dengan bukti. Saat ia mengelak, warga justru hendak menghukumnya. Karena merasa tidak bersalah, si Yatim pun melarikan diri meninggalkan kampungnya. Melihat si Yatim melarikan diri, seorang warga langsung berteriak. “Ayo, kejar anak itu!” Orang-orang segera mengejar si Yatim beramai-ramai untuk menangkapnya. Sedangkan si Yatim terus berlari ketakutan masuk ke dalam hutan. Saat tiba di tengah hutan, ia beristirahat sejenak di bawah sebuah beringin yang rindang. Di situlah ia berpikir bahwa kalau ia terus berlari maka dirinya pasti akan tertangkap. Akhirnya, si Yatim memutuskan untuk bersembunyi di atas pohon beringin tersebut. Heven Yolanda Fetyantha

Upload: heven-yolanda-fetyantha

Post on 30-Jan-2016

28 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

cerita rakyat

TRANSCRIPT

Page 1: Topeng Dan Pesta Roh

Topeng dan Pesta Roh

Topeng merupakan media atau alat utama yang digunakan oleh orang-orang Suku Asmat di Papua

dalam upacara yang disebut Pesta Roh atau Pesta Topeng. Dalam istilah orang Asmat, pesta ini

disebut dengan mamar atau bunmar pokbui. Pesta Roh ini bertujuan untuk memperingati roh keluarga

dekat yang telah meninggal dunia. Menurut cerita, upacara mamar bermula dari sebuah peristiwa

yang dialami oleh seorang anak yatim piatu. Peristiwa apakah yang dialami oleh anak itu sehingga

upacara Pesta Roh menjadi tradisi dalam Suku Asmat? Ikuti kisahnya dalam cerita Topeng dan Pesta

Roh berikut ini.

* * *

Alkisah, di sebuah kampung di hulu Sungai Sirets di pedalaman Merauke, Papua, hiduplah seorang

anak yatim piatu atau yang biasa panggil si Yatim. Anak itu menjadi sebatang kara karena dusunnya

diserang oleh kampung lain sehingga menyebabkan seluruh keluarganya meninggal dunia. Kini, si

Yatim hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah hampir roboh. Hidupnya sungguh memprihatinkan.

Setiap hari ia selalu menyendiri karena tidak disenangi oleh warga tanpa alasan yang jelas. Walaupun

penduduk di kampung itu hidup makmur, namun tak seorang pun dari mereka yang mau membantu si

Yatim.

Nasib si Yatim semakin parah ketika suatu hari ia dituduh mencuri makanan dan barang-barang milik

penduduk kampung tanpa disertai dengan bukti. Saat ia mengelak, warga justru hendak

menghukumnya. Karena merasa tidak bersalah, si Yatim pun melarikan diri meninggalkan

kampungnya. Melihat si Yatim melarikan diri, seorang warga langsung berteriak.

“Ayo, kejar anak itu!”

Orang-orang segera mengejar si Yatim beramai-ramai untuk menangkapnya. Sedangkan si Yatim terus

berlari ketakutan masuk ke dalam hutan. Saat tiba di tengah hutan, ia beristirahat sejenak di bawah

sebuah beringin yang rindang. Di situlah ia berpikir bahwa kalau ia terus berlari maka dirinya pasti

akan tertangkap. Akhirnya, si Yatim memutuskan untuk bersembunyi di atas pohon beringin tersebut.

“Ah, sebaiknya aku bersembunyi di atas pohon ini. Aku yakin, mereka tidak akan melihatku,”

gumamnya seraya memanjat pohon beringin itu.

Setelah berada di atas pohon, si Yatim kemudian bersembunyi di balik rerimbunan daun dan jumbaian

akar-akar beringin. Tak lama kemudian, orang-orang yang mengejarnya tiba dan berhenti sejenak di

bawah pohon beringin itu karena kehilangan jejak.

Heven Yolanda Fetyantha

X-6

Page 2: Topeng Dan Pesta Roh

“Hai, lari ke mana anak itu?” celetuk salah seorang dari mereka, kebingungan.

Penduduk yang lain pun sama bingungnya. Sementara itu, si Yatim yang bersembunyi di atas pohon

beringin merasa ketakutan kalau-kalau keberadaannya diketahui oleh orang-orang yang mengejarnya.

Untung para penduduk segera meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan pengejaran sampai ke

dalam hutan. Setelah aman, si Yatim pun keluar dari persembunyiannya dengan perasaan lega. Ia

kemudian duduk di salah satu cabang pohon beringin itu untuk melepaskan lelah.

Hari sudah gelap. Anak sebatang kara itu masih saja duduk melamun di atas pohon. Tampaknya si

Yatim sedang bingung memikirkan bagaimana cara membuat penduduk kampung tidak lagi

mengejarnya. Akhirnya, si Yatim menemukan sebuah ide, yaitu ia ingin menakut-nakuti para penduduk

dengan mengenakan topeng yang menyeramkan. Ketika hendak turun dari pohon itu untuk mencari

akar-akar kayu yang akan dibuat topeng, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok makhluk menyeramkan

yang berdiri di cabang pohon beringin yang lain. Rupanya, makhluk itu adalah roh penunggu pohon

beringin itu.

“Hai, anak manusia! Kamu siapa dan kenapa kamu berada di atas pohon ini?” tanya makhluk itu.

“Sa... saya si Yatim,” jawab si Yatim piatu dengan gugup karena ketakutan.

Bocah itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di atas pohon

beringin itu. Makhluk penunggu pohon beringin itu pun merasa iba terhadap nasib yang dialami si

Yaitm. Meskipun wajahnya tampak menakutkan, makhluk itu ternyata baik hati. Ia kemudian

memberikan makanan dan minuman kepada si Yatim. Akhirnya, mereka pun bersahabat.

Setelah itu, si Yatim turun dari atas pohon untuk mencari akar-akar pohon yang akan dianyam menjadi

sebuah topeng yang menyerupai roh penunggu pohon beringin itu. Membuat topeng seperti itu

tidaklah mudah bagi si Yatim. Ia membutuhkan waktu sekitar lima hari baru bisa menyelesaikannya.

Setelah selesai, topeng itu ia pakai dan kemudian bercermin di air. Betapa senangnya hati si Yatim

karena topeng hasil buatannya benar-benar menyerupai wajah roh penunggu pohon beringin itu.

“Aku yakin, para penduduk pasti akan ketakutan melihatku,” gumamnya.

Ketika hari mulai gelap, si Yatim pergi ke perkampungan dengan mengenakan topeng dan menyelinap

masuk ke salah satu rumah penduduk. Penghuni rumah itu pun langsung lari terbirit-birit karena

ketakutan.

“Tolong...! Tolong...! Ada setaaaan...!” teriak penduduk yang ketakutan itu.

 Mendengar teriakan tersebut, penduduk kampung lainnya segera berhamburan keluar rumah dan

mengerumuni warga yang berteriak itu.

“Hai, apa yang terjadi denganmu?” tanya kepala kampung.

“Ada setan di dalam rumahku. Sungguh, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Wajahnya

sangat menyeramkan” jelas warga itu.

Page 3: Topeng Dan Pesta Roh

Mendengar keterangan tersebut, kepala kampung segera memerintahkan seluruh warganya agar

mengumpulkan sagu untuk dipersembahkan kepada makhluk itu dengan harapan makhluk itu

meninggalkan kampung mereka. Para warga pun segera pulang ke rumah mereka masing-masing

untuk mengambil sagu. Namun, setelah mereka kembali menemui kepala kampung, tak seorang pun

yang membawa sagu. Ternyata, persediaan sagu di desa tersebut telah habis.

“Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kalian pergi ke hutan untuk memangkur sagu,” ujar kepala

kampung.

Pada keesokan harinya, semua orang di kampung itu beramai-ramai berangkat ke hutan. Sementara

itu, si Yatim pun segera menyusun siasat. Ia akan menakut-nakuti orang-orang yang memangkur sagu

di dekat pohon beringin tempat ia bersembunyi. Ketika hari mulai gelap, si Yatim menutupi jalan

setapak di dekat pohon beringin itu dengan dahan-dahan pohon. Jalan itu nantinya akan dilewati oleh

para pemangkur sagu saat hendak pulang ke perkampungan. Selesai menutupi jalan, si Yatim segera

memakai topengnya lalu bersembunyi di balik semak belukar yang ada di bawah pohon beringin.

Tak lama kemudian, tampak serombongan wanita yang membawa sagu hendak melintasi jalan

setapak itu. Melihat jalan terhalang oleh dahan-dahan pohon beringin, rombongan wanita itu terpaksa

berhenti dan meletakkan sagu mereka di tanah. Pada saat mereka sibuk membersihkan dahan-dahan

yang menghalangi jalan, si Yatim membuat suara menakutkan lalu muncul dari semak belukar dengan

memakai topeng. Tak ayal, rombongan wanita pembawa sagu itu langsung berteriak ketakutan.

“Ada setaaan...! Ada setaaan...!” teriak rombongan wanita itu saat melihat topeng yang amat

menyeramkan.

Rombongan wanita itu pun lari terbirit-birit dan meninggalkan sagu-sagu mereka. Melihat rombongan

wanita itu telah pergi, si Yatim segera membuka topengnya lalu mengambil sagu-sagu tersebut untuk

dibawa ke tempat persembunyiannya. Ia kemudian membakar sagu itu dan memakannya sampai

kenyang.

Sejak itu, si Yatim selalu menakut-nakuti setiap warga yang melintasi jalan itu dan mengambil sagu-

sagu mereka. Hal itu ia lakukan untuk membuat orang-orang kampung yang dulu menganiaya dirinya

semakin jera. Sementara itu, penduduk kampung menjadi resah dengan kejadian-kejadian

menyeramkan yang sering mereka alami.

“Sebenarnya makhluk apa yang suka menakut-nakuti kita itu?” tanya seorang warga.

Tak seorang pun warga mengetahuinya. Karena penasaran, mereka bersepakat untuk menjebak

makhluk itu. Suatu hari, serombongan wanita diperintahkan untuk pergi memangkur sagu ke dalam

hutan. Sementara itu, sejumlah kaum laki-laki yang kuat dan pemberani diperintahkan untuk

mengintai makhluk itu saat melakukan aksinya. Ketika para wanita pulang dan menemukan dahan-

dahan yang menghalangi jalan, makhluk yang tidak lain adalah si Yatim bertopeng itu segera

menakut-nakuti mereka. Setelah rombongan pemangkur itu lari meninggalkan sagu mereka, anak

yatim piatu itu segera membuka topengnya. Ia tak sadar jika ada sejumlah orang yang mengintainya.

“Hai, lihat!” seru seorang warga saat melihat wajah di balik topeng itu, “Oh, rupanya makhluk itu

ternyata si anak yatim piatu yang selama ini kita kejar.”

Page 4: Topeng Dan Pesta Roh

Ketika si Yatim hendak mengambil sagu-sagu yang tergeletak di tanah, penduduk kampung keluar dari

tempat persembunyian mereka dan segera mengepung bocah itu.

“Mau lari ke mana kamu, hai anak yatim?!” hardik seorang warga.

Si Yatim akhirnya tertangkap basah oleh penduduk dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia pun digiring ke

perkampungan untuk diadili secara adat. Namun, sebelum memasuki perkampungan, si Yatim tiba-

tiba hilang secara gaib. Orang-orang kampung yang menggiringnya hanya terperangah menyaksikan

peristiwa itu.

Sejak si Yatim menghilang, para penduduk merasa sudah aman karena tak ada lagi orang yang

menakut-nakuti mereka. Namun, setiap kali melintas di dekat pohon beringin itu mereka masih saja

sering diganggu oleh roh si Yatim. Untuk menghalau roh itu, mereka pun membuat topeng yang

menyerupai topeng si Yatim. Sejak itu, topeng seperti itu digunakan dalam sebuah ritual yang dikenal

dengan Pesta roh atau Pesta Topeng yang oleh masyarakat setempat disebut dengan mamar atau

bunmar pokbui.

Kini, ritual Pesta Roh sudah menjadi tradisi masyarakat Suku Asmat untuk memperingati roh keluarga

dekat mereka yang telah meninggal dunia. Jenis topeng yang mereka gunakan pun bervariasi. Tidak

saja terbuat dari akar-akar kayu, tetapi juga dari belahan-belahan rotan atau kulit kayu fum (genemo

hutan). Jenis topeng yang terbuat dari rotan disebut manimar, sedangkan topeng yang terbuat dari

kulit kayu fum disebut ndat jamu.

* * *

Demikian cerita Topeng dan Pesta Roh dari daerah Papua. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita

di atas adalah orang yang menganiaya anak yatim piatu seperti halnya penduduk kampung dalam

cerita di atas akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Oleh karena telah

mengganggu si Yatim, para penduduk kampung selalu mendapat gangguan dari roh si Yatim.

Batu Berdaun

Alkisah, di daerah pesisir Maluku, hiduplah seorang nenek dengan dua orang cucunya yang masih

kecil. Cucu yang pertama berumur 11 tahun, sedangkan yang bungsu masih berumur 5 tahun. Kedua

anak itu yatim piatu karena orangtua mereka telah meninggal dunia ketika mencari ikan di laut. Kini,

kedua anak itu berada dalam asuhan sang nenek.

Page 5: Topeng Dan Pesta Roh

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, nenek bekerja mengumpulkan hasil hutan dan mencari ikan di

pantai. Hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka makan. Untunglah para tetangga sering berbaik

hati memberikan makanan kepada sang nenek untuk dimakan bersama kedua cucunya.

Suatu hari, air laut terlihat surut, ombaknya pun tampak tenang. Kondisi seperti ini biasanya menjadi

pertanda bahwa banyak kepiting yang terdampar di sekitar pantai. Si nenek pun mengajak kedua

cucunya ke pantai untuk menangkap kepiting.

“Cucuku, mari kita ke pantai mencari kepiting,” ajak si nenek.

Alangkah senangnya hati kedua anak itu, terutama si bungsu. Ia berlari-lari dan melompat kegirangan.

“Horeee... horeee... !” riang si bungsu.

Setiba di pantai, mereka pun mulai memasang beberapa bubu (alat untuk menangkap kepiting) di

sejumlah tempat. Selang beberapa lama kemudian, sebuah bubu yang dipasang nenek memperoleh

seekor kepiting besar yang terperangkap di dalamnya. Si nenek pun menyuruh kedua cucunya untuk

pulang terlebih dahulu.

“Cucuku, kalian pulanglah dulu. Bawa dan rebuslah kepiting besar itu untuk makan siang kita nanti,”

ujar si nenek, “Capitannya sisakan untuk nenek.”

“Baik, Nek,” jawab cucu yang pertama.

Kedua anak itu pun kembali ke rumah dengan perasaan gembira. Hari itu, mereka akan menikmati

makanan lezat. Setiba di rumah, kepiting besar hasil tangkapan mereka tadi segera direbus. Setelah

masak, kepiting itu mereka makan bersama ubi rebus. Mereka makan dengan lahap sekali. Sesuai

perintah sang nenek, kedua anak itu menyisakan capit kepiting.

Usai makan, kedua anak itu pergi bermain hingga hari menjelang siang. Saat mereka pulang ke

rumah, nenek mereka ternyata belum juga kembali dari pantai. Sementara itu, si bungsu yang baru

sampai di rumah tiba-tiba merasa lapar lagi.

“Kak, aku lapar. Aku mau makan lagi,” rengek si bungsu kepada kakaknya.

“Bukankah tadi kamu sudah makan? Kenapa minta makan lagi?” tanya kakaknya.

“Aku lapar lagi. Aku mau makan capit kepiting,” si bungsu kembali merengek.

“Jangan, capit kepiting itu untuk nenek,” cegah si kakak.

Meskipun sang kakak sudah berkali-kali menasehatinya, si bungsu tetap saja merengek. Karena iba,

sang kakak terpaksa mengambil sepotong capit kepiting itu. Si bungsu akhirnya berhenti merengek.

Namun, setelah makan, ia kembali meminta capit kepiting yang satunya. Si kakak pun

memberikannya.

Page 6: Topeng Dan Pesta Roh

Tak berapa lama kemudian, nenek mereka kembali dari pantai. Wajah si nenek yang sudah keriput itu

tampak pucat. Kelihatannya ia sangat lapar. Cepat-cepatlah ia masuk ke dapur ingin menyantap capit

kepiting bersama ubi rebus. Betapa terkejutnya ia saat melihat lemari makannya kosong.

“Cucuku., cucuku...!” teriaknya dengan suara serak.

“Iya, Nek,” jawab si sulung seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?”

“Mana capit kepiting yang nenek pesan tadi?” tanya si nenek.

“Ma... maaf..., Nek!” jawab si sulung dengan gugup, “Capit kepitingnya dihabiskan si Bungsu. Aku

sudah berusaha menasehatinya, tapi dia terus menangis meminta capit kepiting itu.”

Betapa kecewanya hati sang nenek mendengar jawaban itu. Ia benar-benar marah karena kedua

cucunya tidak menghiraukan pesannya. Tanpa berkata-kata apapun, si nenek pergi meninggalkan

rumah. Dengan perasaan sedih, ia berjalan menuju ke sebuah bukit. Sesampai di puncak bukit itu, ia

lalu mendekati sebuah batu besar yang bentuknya seperti daun. Orang-orang menyebutnya batu

berdaun. Di hadapan batu itu, si nenek duduk bersimpuh sambil meneteskan air mata.

“Wahai, batu. Telanlah aku!” seru nenek itu, “Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Kedua

cucuku tidak mau mendengar nasehatku lagi.”

Batu berdaun itu tidak bergerak sedikit pun. Ketika nenek mengucapkan permintaannya untuk ketiga

kalinya, barulah batu itu membuka mulutnya.

Dengan sekali sedot, si nenek langsung tertarik masuk ke dalam perut batu itu. Setelah si nenek

tertelan, mulut batu itu mengatup kembali. Sejak itulah, si nenek tinggal di dalam perut batu itu dan

tidak pernah keluar lagi.

Sementara itu, kedua cucunya dengan gelisah mencari nenek mereka. Saat tiba di puncak bukit itu,

mereka hanya mendapati kain milik nenek mereka terurai sedikit di antara batu berdaun itu.

“Nenek, jangan tinggalkan kami!” tangis si sulung.

“Maafkan aku, Nek. Aku berjanji tidak akan mengecewakan nenek lagi,” ucap si bungsu dengan sangat

menyesal.

Si sulung kemudian meminta kepada batu berdaun itu agar menelan mereka.

“Wahai, batu berdaun. Telanlah kami!” seru si sulung.

Meskipun kedua anak tersebut berkali-kali memohon, batu berdaun itu tetap tidak mau membuka

mulutnya, sampai akhirnya kedua anak itu tertidur di dekatnya. Keesokan harinya, keduanya

terbangun dan kembali meratapi kepergian sang nenek. Pada saat itu, kebetulan ada seorang

tetangga mereka yang melintas di tempat itu.

“Hai, kenapa kalian ada di sini?” tanyanya saat melihat kedua anak itu.

Page 7: Topeng Dan Pesta Roh

Si sulung pun menceritakan semua yang telah terjadi pada neneknya. Oleh karena nenek itu tidak

akan kembali lagi, si tetangga pun mengajak kedua anak tersebut pulang ke rumahnya dan kemudian

merawat mereka. Kedua anak itu merasa sangat menyesal atas perlakuannya terhadap nenek mereka.

Namun, hal itu mereka jadikan sebagai pelajaran berharga sehingga kedua anak itu pun tumbuh

menjadi manusia yang berbudi luhur.