tonny, konstruksi teknologi layar dan teknologi global (skripsi s1)
DESCRIPTION
Tulisan ini merupakan skripsi S1 Psikologi Sosial yang membahas mengenai bagaimana wacana budaya populer dan teknologi berperan dalam pembentukandunia global. Lahirnya generasi budaya populer pada awal era 1960-an, sekaligus merupakan periode awal teknologi informasi berbasis massa muncul sebagai konsumsi publik. Hal ini menimbulkan suatu ciri massal yang secara kontradiktif digambarkan oleh Kobo Abé (1967) sebagai “keseragaman dalam ketidakseragaman” dan dirasakan oleh Gong (1993) dalam “kebersamaan” di depan layar. Dengan menggunakan istilah teknologi layar dan teknologi global, penulis mengkaji fenomena tersebut dengan analisis diskursus melalui pendekatan fenomenologis. Unit analisis dalam tulisan ini adalah “pusat-pusat lokal” dan “skema transformasi” yang dikaji dengan empat kadiah metode yang disesuaikan dari Foucault (1997), antara lain; Kaidah imanensi, Kaidah perubahan berkelanjutan, Kaidah pengkondisian ganda dan Kaidah taktik polivalensi dalam berbagai diskursus. Sedangkan dalam menerapkan tiga strategi analisis umum, yaitu; strategi pertama: analisis teks; analisis digital; dan analisis institusi. Dalam hal ini, fenomenologi merupakan cara penjabaran bagi keseluruhan alur. Sedangkan kaidah metode maupun strategi analisis merupakan kecenderungan utama dalam tulisan ini. Secara keseluruhan, tulisan ini menyajikan cara kerja teknologi layar. Keseluruhan hasil analisis ini dapat diikuti secara holistik pada bagian tubuh teks, catatan kaki, Apendiks maupun catatan akhir. Keseluruhan bagian ini muncul sebagai keadaan sejajar yang meliputi kajian diskursus-diskursus yang sejajar pula secara sinkronis. Dalam hal ini teknologi layar muncul sebagai fokus perhatian di mana terjadi sinkronisasi antara “subyek” dan “obyek” dan juga sebagai arus penyusutan kesadaran. Sedangkan teknologi global hadir secara bersamaan dalam pola-pola ini sebagai pemrograman terhadap ketidaksadaran serta perlebaran arus kesadaran akan bersamaan sebagai “warga dunia”. Dalam dua modus tersebut, teknologi direpoduksi dalam jalinan di mana “subyek” automaton semakin mendekati ciri otomatisme, sedangkan “obyek” otomat semakin berevolusi menuju ciri automaton. Ciri meka[orga]nik ini merupakan model diduga penulis merupakan dasar bagi terwujudnya massa “warga dunia” yang dalam banyak hal memiliki kesamaan sekaligus perbedaan yang menjurang dengan crowd yang ditulis Gustave Le Bon.TRANSCRIPT
KON STR UKS I MOD ELMEK ANI SME KER JA TEK NOL OGILAY AR DAN TEK NOL OGI GLO BAL
Analisis Diskursus Teknologi dan Warga DuniaDengan Pendekatan Fenomenologi
SK RI PS IPROGRAM GELAR JENJANG SARJANA STRATA 1
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
OLEH :
TO NN YNRP : 5970128
NIRM : 97.7.004.17000.13583
FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS SURABAYA
2003
iv
“Dewasa ini orang-orang bahkan tidak menyadaribahwa suatu gejala eksternal yang sama mengandung
dua sikap internal yang benar-benar bertentangan.
Ada dua jenis gelak-tawa,dan kita kekurangan kata-kata untuk membedakan keduanya.”
Milan Kundera, Kitab Lupa dan Gelak Tawa (2000)
Untuk Genma Tua dan Shoryu
Yang telah mengajak saya melihat secara langsungperubahan teknologi dari masa ke masa.
v
KATA PE NGANTAR
Pada sekitar tahun 2001, saya pernah menulis sebuah artikel singkat berjudul
Teletubbies: Antara Kekuasaan Teknologi dan Teknologi Kekuasaan. Titik berat
analisis pada artikel tersebut berkisar sekitar persoalan munculnya diskursus
kekuasaan yang muncul dalam acara TV populer anak-anak seperti Teletubbies,
yang notabene dianggap “polos” dan “aman”. Dari artikel ringkas tersebut, saya
memulai mengumpulkan literatur untuk memperdalam persoalan. Motivasi itu
muncul sebagian karena banyaknya persoalan menarik yang secara tidak langsung
berkaitan dengan Teletubbies, dan sebagian lagi karena ketidakpuasan pribadi atas
analisis yang terlalu “dangkal” dan “penuh kutukan” pada artikel kecil tersebut.
Butuh sekitar beberapa bulan sebelum saya menyadari bahwa
perkembangan analisis tentang Teletubbies telah berkembang sedemikian luasnya,
hingga meliputi persoalan yang lebih luas dan global. Sedangkan, Teletubbies
sendiri semakin tenggelam di antara berbagai diskursus-diskursus baru yang pada
awalnya ditemukan hanya sebagai pelengkap. Namun “pelengkap” itu akhirnya
semakin lama semakin luas pembahasannya, sehingga muncul sebagai topik-topik
yang sejajar dan tidak kalah pentingnya dengan yang tolak mulanya. Dari sini,
penulis menemukan sebuah topik yang diputuskan sebagai penulisan skripsi ini.
Adapun skripsi ini merupakan syarat kelulusan jenjang S1 dan memperoleh gelar
Sarjana Psikologi.
Adapun selama penulisan ini, banyak pihak yang telah membantu dan
memberikan kontribusi kepada terwujudnya analisis ini dalam sebuah format yang
lebih teratur dan sistematis. Untuk alasan ini, saya terutama mengucapkan
terimakasih antara lain kepada Dr. Edy Suhardono yang memberikan masukan dan
sumbangan dari beberapa ide vital di dalam tulisan ini, gaya bahasa, susunan
sistematika teks, hingga masukan mengenai metode analisis; Sony Karsono, yang
menawarkan beberapa tulisan sebagai contoh untuk melengkapi kekurangan format
penulisan, melakukan editing pada beberapa bagian awal dan memberikan
vi
dukungan metodis terhadap tulisan ini. Dan untuk keduanya, tidak terlupakan juga
oleh penulis kesediannya untuk menjadi Dosen Pembimbing skripsi bagi penulisan
secara sistematis analisis ini.
Dan, saya juga patut bersyukur kepada Dede Oetomo, Evi Lina Sutrisno dan
Ananta Yudiarso yang bersedia hadir menguji skripsi ini. Berkat mereka, skripsi ini
mendapatkan banyak masukan dan feedback yang sangat berarti.
Sedangkan untuk Billy dan Mike, saya juga harus berterimakasih atas
kesediaannya meminjamkan komputer dan printernya selama persiapan ujian
maupun masa revisi, sehingga akhirnya tulisan ini dapat tercetak sebagaimana
dipersyaratkan dalam sebuah skripsi. Juga berkat dukungan moril dari teman-
teman Laboratorium Psikologi Sosial, antara lain: Yuli, Yudin, Aries, Neli, Dias,
Cicil, Wiwik, Arfan, Mukti, Sugeng, Audifax dan masih banyak lagi yang tidak
sempat disebutkan di sini namun telah memberikan inspirasi bagi saya selama
masa-masa penulisan ini.
Rekan-rekan Tata Usaha Fakultas Psikologi, juga merupakan pihak yang
secara tidak langsung ikut menyumbangkan tenaganya untuk membantu skripsi ini
terurus secara administratif. Begitu juga, dosen-dosen dan mahasiswa-mahasiswa
Fakultas Psikologi yang selama masa kuliah memberikan masukan pengetahuan
bagi saya. Terutama secara khusus di sini, penulis mengucapkan rasa
terimakasihnya kepada Christopher Brown yang mengenalkan kepada penulis
metode analisis diskursus dan semiologi, di mana banyak mempengaruhi analisis
dalam tulisan ini.
Dan terakhir, penulis tidak lupa untuk berterimakasih pada segenap jajaran
Rektorat Universitas Ubaya, Dekan, PD I, PD II dan PD III Fakultas Psikologi yang
memberikan kesempatan kepada saya untuk menjalankan studi di Kampus ini. Juga
kepada keluarga penulis yang memberikan sponsorship dalam bentuk dana,
semangat maupun doa, sehingga akhirnya tulisan ini dapat diselesaikan, yang
dalam beberapa arti juga menandai berakhirnya masa studi penulis di jenjang S1
Psikologi. Dan terakhir, saya sadar bahwa ucapan terimakasih saja tidak cukup
membalas jasa-jasa mereka di atas.
vii
DAFTAR IS I
HALAMAN JUDUL iHALAMAN PERSETUJUAN iiHALAMAN PENGESAHAN iiiHALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ivKATA PENGANTAR vDAFTAR ISI viiDAFTAR TABEL DAN GRAFIK xDAFTAR BAGAN DAN GAMBAR xiABSTRAK xiii
BAB I PENDAHULUAN 1A. LATAR BELAKANG 1
1. Layar dan budaya pop 12. Ideologi budaya layar 113. Universalisasi layar 28
B. RUMUSAN PERMASALAHAN 35C. TUJUAN 38D. MANFAAT 40E. SISTEMATIKA TEKS 41
BAB II PARADIGMA DAN METODE 48A. PARADIGMA DAN KERANGKA ANALISIS 48
1. Antara “fiksi” dan “non-fisksi” 482. “Realitas” sebagai diskursus 503. Fenomenologi “realitas”: lahirnya “subyek” dan “obyek” 54
B. PROPOSISI-PROPOSISI 59C. KONSTRUKSI METODE ANALISIS 66
1. Kaidah-kaidah metode 672. Artifak dan strategi analisis 70
BAB III KAJIAN TEORI 74A. KESADARAN DAN KETIDAKSADARAN GLOBAL 77B. ARKEOLOGI BUMI: LAHIRNYA “WARGA DUNIA” 94C. TEKNOLOGI LAYAR DAN PENGAMATAN VIRTUAL 113
viii
BAB IV PEMBAHASAN 133A. TELETUBBIES: BAYI TEKNOLOGI 133
1. Teletubbies sebagai budaya populer: pergulatan antara idealisme danbisnis 133
2. Sinkronisasi antara “dunia anak-anak” dan “dunia layar” 1393. Teletubbies di mata publik Indonesia: tarik ulur antara orang dewasa
dan anak-anak 142B. “LAYAR” DALAM “LAYAR” 146
1. Antara “jarak”, “subyek” dan “obyek” 1462. Cara “obyek” eksis: penyesuaian struktur “inti” dari meraban menuju
“bahasa moderator” 1523. Reproduksi kembali dunia penglihatan dalam layar 1634. Teknologi bunyi-bunyi 173
C. SEMESTA SIMBOL-SIMBOL 1771. Tubbytronic Superdome sebagai Rahim Teknologi 1832. Meka[orga]nik 1973. Ikatan fokus dalam emosi wajah 2004. “Tuhan” dalam tubbyland 2045. Tubuh, psikis dan tingkah laku tubbies 209
D. ELABORASI TEMUAN-TEMUAN 216
BAB V REFLEKSI 220A. LAYAR-LAYAR MILIK NEGARA 220
1. Pemimpin “di dalam” layar dan “di belakang” layar 2202. Diskursus [berbeda] tentang teknologi antara dua periode 2243. Diskursus tentang teknologi dalam Akselerasi Modernisasi
Pembangunan 25 Tahun. 229B. ANTARA GLOBALISASI DAN IDENTITAS NASIONAL 236
1. Mimpi-mimpi yang terus berlanjut 2362. Bahaya di bawah selimut dan “jimat” Wawasan Nusantara 2413. Kesejajaran bersama “warga dunia” 247
C. TEKNOLOGI SEBAGAI KEKUATAN “OBYEKTIF” PERADABAN 249D. PEMBAURAN ANTARA DISKURSUS “TEKNOLOGI” DAN DISKURSUS
“ALAM” 257E. WARGA DUNIA DALAM MEKANISME KERJA TEKNOLOGI LAYAR DAN
TEKNOLOGI GLOBAL 2631. Institusi-institusi regulasi fokus massal 2632. “Warga dunia” dan crowd 2723. Teknologi layar dan teknologi global sebagai regulasi ledakan populasi 281
BAB VI PENUTUP 294A. KESIMPULAN 294B. SARAN-SARAN 305
ix
DAFTAR PUSTAKA 309CATATAN AKHIR 317
APENDIKS A 321APENDIKS B 327APENDIKS C 331
x
DAFTAR TABE L DAN GRAF IK
A. TA BE L
TABEL 1.1 Proporsi kegiatan interaksi seorang anak dengan teknologiinformasi dalam sehari 15
TABEL 3.1 Analogi antara tujuh pilar sistem pemrosesan informasidengan kerja manusia. 121
TABEL 4.1 Matriks karakteristik perbedaan penampakan wujud fisik,kepribadian, kebiasaan dan pergaulan antara para tubbies 212
TABEL 5.1 Arus fluktuasi pertumbuhan populasi dengan pembagianmenurut kohor/periodisasi di Amerika sebagai contohkecenderungan pertumbuhan populasi 282
TABEL 5.2 Pertumbuhan penduduk dunia antara tahun 1960-2000 284TABEL 5.3 Kecenderungan jumlah populasi dengan perbandingan angka
kelahiran dan angka kematian antara 1950-1990 di berbagaiwilayah 285
B. GR AF IK
GRAFIK 1. 1 Sumber informasi primer dan sumber informasi lain yangdigunakan di AS setelah serangan teroris 11 dan 12September 2001. N= 4.610. 30
GRAFIK 5. 1 Perbandingan antara indeks biaya penggunaan satelitIntelsat dengan indeks biaya hidup di Amerika Serikat,1965-1985 287
GRAFIK 5. 2 Transformasi pemusatan tenaga kerja di Amerika antara1800-2000. 292
xi
DAFTAR BAGA N DAN GA MB AR
A. BA GA N
BAGA N 1. 1 Perbandingan sistematika isi dengan fungsi tekstualdilengkapi dengan keterangan urutan formal di tabelkanan. 43
BAGA N 1. 2 Formasi antara diskursus-diskursus dalam kesejajarandengan “teknologi layar” dan “teknologi global” sebagaipola yang dibentuk. 46
BAGA N 3. 1 “Sinkronisasi” dan “Pemrograman ulang atasketidaksadaran” dalam arus interaksi antara “realitas fisik”dengan “realitas virtual” 125
BAGA N 5. 1 Konstruksi model sistem kerja teknologi layar dan teknologiglobal sebagai penerapan politik internasional. 267
BAGA N 6. 1 Trikotomi domain sosial dalam pembagian: jurnalisme-publik-masyarakat menurut Luhmann. 298
B. GA MB AR
GAMBAR 4.1 Anak-anak dan Teletubbies, identifikasi melalui kostum 143GAMBAR 4.2 Tinky Winky (kiri bawah), Dipsy (kiri atas), Laa-laa (ka-
nan atas), Po (ka- nan bawah). Dalam tubbyland, sertakomposisi warna yang muncul di dalamnya. 164
GAMBAR 4.3 Percampuran tiga warna dasar 165GAMBAR 4.4 Kombinasi warna dalam Teletubbies dibandingkan dengan
spektrum warna penglihatan 169GAMBAR 4.5 Tubbytronic superdome (tampak luar) 185GAMBAR 4.6 Bagian dalam kubah tubbytronic superdome 186GAMBAR 4.7 Pola di dinding tubbytronic 188GAMBAR 4.8 Pola kerangka kubah tubbytronic superdome dalam grafis
datar. 189GAMBAR 4.9 Kerangka bangunan tubbytronic superdome dalam grafis
tiga dimensi 193GAMBAR 4.10 Para tubbies berada dalam tempat tidur di dalam
tubbytronic superdome yang berbentuk kapsul terbuka. 196
GAMBAR 4.11 Noo-Noo: konseptualisasi dari meka[orga]nik dalam
xii
sebuah “subyek” mandiri 198GAMBAR 4.12 Matahari tubbyland 201GAMBAR 4.13 Terompet dalam tubbyland 204
xiii
Tonny (5970128). Konstruksi Model Mekanisme Kerja Teknologi Layar dan TeknologiGlobal. Analisis Diskursus Teknologi dan Warga Dunia Dengan PendekatanFenomenologi. Skripsi gelar janjang S1 Surabaya: Fakultas Psikologi UniversitasSurabaya.
ABS TRAK
Lahirnya generasi budaya populer pada awal era 1960-an, sekaligus merupakanperiode awa teknologi informasi berbasis massa muncul sebagai konsumsi publik.Halmana menimbulkan suatu ciri massal yang secara kontradiktif digambarkan olehKobo Abé (1967) sebagai “keseragaman dalam ketidakseragaman” dan dirasakanoleh Gong (1993) dalam “kebersamaan” di depan layar. Dengan menggunakanistilah teknologi layar dan teknologi global, penulis mengkaji fenomena tersebutdengan analisis diskursus melalui pendekatan fenomenologis.
Unit analisis dalam tulisan ini adalah “pusat-pusat lokal” dan “skematransformasi” yang dikaji dengan empat kadiah metode yang disesuaikan dariFoucault (1997), antara lain; Kaidah imanensi, Kaidah perubahan berkelanjutan,Kaidah pengkondisian ganda dan Kaidah taktik polivalensi dalam berbagaidiskursus. Sedangkan dalam menerapkan tiga strategi analisis umum, yaitu;strategi pertama: analisis teks; analisis digital; dan analisis institusi. Dalam hal ini,fenomenologi merupakan cara penjabaran bagi keseluruhan alur. Sedangkan kaidahmetode maupun strategi analisis merupakan kecenderungan utama dalam tulisanini.
Secara keseluruhan, tulisan ini menyajikan cara kerja teknologi layar.Keseluruhan hasil analisis ini dapat diikuti secara holistik pada bagian tubuh teks,catatan kaki, Apendiks maupun catatan akhir. Keseluruhan bagian ini munculsebagai keadaan sejajar yang meliputi kajian diskursus-diskursus yang sejajar pulasecara sinkronis. Dalam hal ini teknologi layar muncul sebagai fokus perhatian dimana terjadi sinkronisasi antara “subyek” dan “obyek” dan juga sebagai aruspenyusutan kesadaran. Sedangkan teknologi global hadir secara bersamaan dalampola-pola ini sebagai pemrograman terhadap ketidaksadaran serta perlebaran aruskesadaran akan bersamaan sebagai “warga dunia”. Dalam dua modus tersebut,teknologi direpoduksi dalam jalinan di mana “subyek” automaton semakinmendekati ciri otomatisme, sedangkan “obyek” otomat semakin berevolusi menujuciri automaton. Ciri meka[orga]nik ini merupakan model diduga penulis merupakandasar bagi terwujudnya massa “warga dunia” yang dalam banyak hal memilikikesamaan sekaligus perbedaan yang menjurang dengan crowd yang ditulis GustaveLe Bon.
Kata kunci: teknologi layar, teknologi global, “warga dunia”, budaya massa.
1
BA B I
PENDAHULUAN
A. LA TA R BE LA KA NG
1. Lay ar dan budaya pop
Di dalam gedung bioskop, saat lampu padam perhat ian penonton
teralihkan. Semuanya terkurung dalam ruangan gelap ber -AC, terpisah
dar i ruangan lainnya, cukup disamari cahaya minim. Kegelapan menelan
sis i-sis i lain dar i ruangan, termasuk kontak antar ind ividu.
Kemudian, muncul cahaya dar i proyektor menyorot dar i belakang
menuju layar sebaga i fokus. Ada keadaan kontras antara cahaya
proyektor yang ditangkap dan dipantulkan layar dengan ruang sekitarnya
yang gelap. Layar itu “otomatis” menjad i pusat perhat ian, sedangkan
proyektor berputar jauh di belakang dan tertutup dar i penglihatan,
lepas dar i perhat ian penonton yang menunggu film muncul di “da lam”
layar.
Lalu semuanya dimula i, dar i iklan sponsor, cuplik ekstra hingga
film utama usa i berputar di depan mata, kemudian mereka pulang
dengan puas atau bahkan tidak puas dengan film yang mereka tonton.
Selama film berputar, penonton dihantar ke “dunia” yang jauh dar i
kesehariannya. Berbagai dis torsi penglihatan dan pendengaran yang bisa
mengacau pengalaman sesaat itu diabaikan. Selama leb ih dar i satu jam
2
di tengah kegelapan penonton melupakan sejenak dun ia sek itarnya,
bahkan termasuk dir inya sendir i. Keadaan ini din ikmati oleh penonton,
walaupun satu saa t mereka tidak puas dengan film yang mereka tonton,
mereka akan kembal i lag i pada saat lain sambil berharap menemukan
yang lebih baik. Sebaliknya yang merasakan kepuasan dar i layar tidak
per lu merasakan keh ilangan, selalu tersed ia media lain untuk mengobat i
ker induannya.
Pengalaman ini dalam bentuk ekstrim dicatat oleh Gola Gong1
dalam sebuah buku ber judul Perjalanan Asia melalu i penggambaran di
sebuah bioskop Ind ia:
“Suasana di gedung bioskop inilah yang membuatku selalu ingin nontonfilm India. Merasakan kegelisahan, kegembiraan, dan kejengkelanpenonton seiring dengan setiap babak film di layar. Sekali waktu akupernah geleng-geleng kepala, ketika hampir sebagian penonton keluargedung sebelum film bubar, karena sang jagoan —Tokoh si baik— matidi ujung peluru.”2
Penggambaran ini dilengkap i dengan bandingannya, yai tu sebuah bioskop
di Indonesia:
“Suasana seperti ini tak pernah aku rasakan di Indonesia, apalagi 21.Jangankan bersorak atau mengomentari film, ketawa ngakak sendirianpun kadang diusili penonton sebelah.”3
1 Gola Gong adalah nama dari seorang penulis novel remaja di Indonesia. Bukunya PerjalananAsia adalah catatan perjalanannya mengelilingi delapan negara, yaitu; Malaysia, Thailand,Laos, India, Banglades, Myanmar, Nepal dan Pakistan, pada tahun 1991-1992. Sepanjangperjalanan ini Gong selalu menyempatkan diri menonton film di bioskop–bioskop negarapemberhentiannya. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Pembangunan Puspa Swara, Jakarta,tahun 1993. Sebelumnya, pernah diterbitkan secara berkala antara 1991-1992 oleh MajalahAnita Cemerlang.
2Ibid., op. cit., h. 178-179
3 Ibid., h. 178
3
Dar i Pembandingan di atas, kita bisa mel ihat pembedaan yang
dibuat oleh Gong atas dua suasana yang kontras di dalam dua gedung
bioskop berbeda. Antara Ind ia yang penontonnya “bersorak jika sang
jagoan menang dan penontonnya ikut bernyany i bersama mengikuti
adegan film”, dengan suasana medita tif massal di bioskop 21 Indonesia.4
Uniknya, meski suasana bioskop di Ind ia terasa berbeda dengan yang
dirasakan di Indonesia , keadaan ini tidak menghalanginya untuk ikut
“merasakan” sepert i yang dirasakan oleh penonton lainnya. Dia
“merasakan”: “.. . kegeli sahan, kegembiraan, dan kejengkelan penonton
seiring dengan set iap babak film di layar” . Di depan layar bioskop, batas
budaya yang biasanya menjurang sesaat menjadi tidak berart i.5
Dalam kasus ini , “merasakan” yang dia lami oleh Gong berbeda
dengan “merasakan” bersifat simpat ik atau empati k dua orang yang
berhadap-hadapan secara fis ik. “Merasakan” di sin i sifatnya tidak
mel ibatkan tahapan-tahapan komunikas i tatap muka yang dikenal secara
umum. Sebali knya, pengalaman “merasakan” jus tru ter jad i saat fokus
perhat ian di arahkan pada layar yang berdir i “di luar” relasi itu . Dengan
kata lain, relasi terbangun justru saat kontak “langsung” dengan orang-
orang lain di sekita r teralihkan selama film ber langsung. Namun,
4Ibid.
5 Pada buku yang sama, Gong memberikan komentar mengenai Holy Festival di kota Varnasiyang dirayakan secara nasional di India: “’Ini pesta homoseksual!’ kata sang supir jeep... Akusering melihat orang yang mengeluarkan alat kemaluannya. Malah tidak malu-malubertelanjang. Orang-orang pun sambil mabuk berdansa. Aku bergidik juga melihat caradansa mereka. Lebih porno dari Salsa dan Dirty Dancing. Semua lelaki berdansa seperti itu,tua-muda atau anak kecil sekali pun... Tapi, di sudut lain yang berkelahi pun meramaikansuasana. Ada yang terjungkalnya dari motornya dan menabrak orang-orang. Polisi cumamenonton saja. Semua orang menjaga dirinya sendiri dari ancaman bahaya yang setiap saatdatang.” Bandingkan sikap Gong terhadap tarian pada perayaan tradisional ini dengansikapnya terhadap kebiasaan menari orang India di bioskop. (Ibid., hal. 131-132).
4
penonton sama sekali tidak terhalang untuk “merasakan” sepert i apa
yang dirasakan penonton-penonton lainnya. Kin i, pusat dar i kontak itu
bukan lag i pada mas ing -masing ind ividu, di antaranya ada layar yang
menjembatani .6
Layar menjadi fokus perhat ian massal , sekaligus batas dan
jembatan antarindividu. Film sebaga i komodi tas yang ditampilkan
melalu i cahaya menuju layar, akan sepenuhnya ditangkap layar dan
dipantulkan kembal i pada penonton yang hadir. Diimbangi dengan
peralatan sound sys tem , maka set iap det ik kehadiran gambar itu
menjadi bermakna bag i set iap penonton. Makna itu tentu akan ditangkap
secara berbeda oleh tiap ind ividu penonton sesuai dengan seleranya
masing -mas ing, karena itu hal ini bukan penentu bag i bangki tnya
kesadaran massal . Set iap orang memili ki selera yang berbeda, namun
layar yang merangkul semuanya dalam satu wujud penampilan dan
mengikat semua perhat ian dalam satu alur kesadaran “merasakan”
kolekt if.
6 Seperti halnya sebuah televisi yang menjadi fokus dalam sebuah ruangan rumah (lihatcatatan kaki no. 60), menurut Akhudiat, bioskop adalah bangunan dan tempat hiburan yangpaling menonjol dari sebuah kota. Dalam kacamatanya, bioskop adalah: “...tempat hiburandengan menonton negeri asing di belahan bumi timur atau barat” (Kompas, 4/4/03, h. J).Dalam sebuah kota, tempat sebuah bioskop berada juga merupakan pusat konsentrasi massal.Kata “bioskop” sendiri berasal dari bahasa Belanda yang dapat diterjemahkan ke dalambahasa Indonesia sebagai “gambar hidup” (gambar idoep). Pertunjukkan film untuk massa dimana menarik tarif pertama kali muncul di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris,Perancis, pada 28 Desember 1895. Awalnya tempat duduk sebuah bioskop dibagi menjadibeberapa klasifikasi menurut harga tiket. Di Indonesia, bioskop yang pertama kali dibangunpada masa Belanda (1901) menkhususkan sebuah kelas tempat duduk bagi “pribumi” yangbiasanya disebut kelas “kambing”. Namun pada pembukaan dekade pertengahan 1900-anpembagian kelas ekonomi bioskop tidak lagi berdasar tempat duduk, melainkan lebihdibedakan pada pengklasifikasian bioskop-bioskop yang ada dalam beberapa kelas sesuaidengan kecanggihan teknologi, fasilitas, pelayanan atau kenyamanan gedung dan jenis filmyang diputar. Baca: Victor C. Mambor, Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia. Bagian I:1900-1970 dan Bagian II: 1970-2000 (Solo: KUNCI Cultural Studies Center, 1999, 2000).
5
Antara selera Gong dan orang Ind ia tentang film belum tentu
sama, tap i Gong “merasakan” kebersamaan dengan penonton lainnya.
Padaha l, dengan menonton film India di negara asalnya tidak ada teks
yang menjelaskan isi cer ita untuk penonton asing sepert i Gong.
Walaupun begitu, Gong yang tidak memahami bahasa Ind ia dan hanya
mereka -reka jalannya cer ita memahami perasaan penonton lain yang
menguasai bahasa India dengan baik. Dalam hal ini unsur yang
member ikan peran utama adalah layar yang member ikan fokus utama
pada Gong dan penonton Ind ia itu, dan penampakan dalam layar lebih
berperan sebagai batas -batas kuncinya. Saat itu juga, muncul sebuah
“kesadaran” lain yang mengganti kan dan mengikat semua kesadaran
individu tanpa dihalangi budaya maupun keunikan individu.
Layar bekerja sebaga i teknologi yang mengikat kesadaran-
kesadaran mereka dalam arus “merasakan” bersama. Melupakan “diri”
dan tenggelam dalam satu arus kesadaran bersama merupakan cara
kerja dar i teknologi layar . Karena itu teknologi layar beroperas i secara
khusus sebaga i jar ingan arus psikis massal . Jika layar memili ki sifat
kolektif , apakah layar hanya merupakan pengalaman yang ter ika t pada
tempat sepert i halnya dalam gedung bioskop?
Pada contoh di atas, pola kesadaran “bersama” ber langsung
dalam gedung ter tutup di mana merupakan tempat massa berkumpul
secara fis ik, adakah mekani sme yang berfungsi sama dalam lingkup lebih
luas? Terdapat “layar” lain dengan bentuk berbeda di luar bioskop yang
memenuhi kebutuhan itu. Ada berbagai jen is layar bekerja di luar
6
bioskop. “Layar” disaks ikan dan dirasakan bersama-sama pada satu
tempat maupun wilayah yang terpisah jaraknya ribuan, bahkan jutaan
mil jauhnya. Televi si merupakan contoh paling sesuai. Apapun yang di
dalam layar bisa diputar kembal i dalam jangka waktu yang tak terbatas
dalam media auto-focus . Ket imbang lokal dan parsia l, saat ini layar
adalah fenomena universa l dengan ika tan waktu dan tempat yang
renggang.
Segi ke-universal-an layar member inya sebuah cir i dan fungsi
tersendir i. Penekanannya pada fokus massa ke layar, melahi rkan sifat
memassal pada masyarakat di mana layar hadir. Ka rena sifatnya itu,
layar membangun kecenderungan corak dan pola budaya baru yang lebih
meluas baik dalam rentang “ruang” maupun “waktu” dibandingkan
dengan budaya sebelumnya. Dan, berkembang terus menerus dengan
pertambahan layar dar i masa ke masa, dalam h al luasnya jangkauan
penyebaran jumlah dan kesesuaian budaya, maupun teknik yang
digunakan. Layar mulai membentuk sebuah arus baru yang ber lahan -
lahan dianggap terpisah dar i budaya yang sifatnya lokal, terutama
dikarenakan model budaya layar7 yang menonjolkan sifat universal dan
populer.
Pola-pola budaya layar atau popular lebih sul it diamat i di
kehidupan sehari -har i jika diband ingkan dengan fenomena dalam gedung
bioskop. Ket ika keluar dar i ruangan dengan fokus kongkret, unsur
7Lebih umum dikenal sebagai “budaya populer” (disingkat “budaya pop”) atau “budayamassa”. Walaupun sebagian orang membedakan budaya pop dari budaya massa, dalam alasantersendiri yang akan dijelaskan di bawah, penulis menganggap keduanya berada dalamtataran mekanisme yang sama dalam teknologi layar.
7
keteramatan “layar” menjad i sirna dan hanya meninggalkan pola
per ilaku yang samar namun mas ih terobservasi . Kobo Abé (1966),
seorang noveli s Jepang, mencatat fenomena ini :
“Furthermore, although the people walking along the streets werestrangers to each other, they formed a tight chain, like some organiccomposition, and I could not squeeze in. Could sharing ordinary, normalfaces forge such a strong bond among them? Moreover, even the thingsthey wore matched. The mass-produced pattern of today calledfashion.”8
The mass-produced pattern atau pola yang diproduks i secara massal ,
sebuah jar ingan tip is keadaan di mana set iap orang ter lihat “as ing”
secara jarak antara satu sama lain, namun bergerak melalu i satu
kecenderungan massal layaknya sebuah kompos isi “organ ik” dan
menjar ing mereka dalam “ikatan” kasat mata.
Kobo Abé mengamati pola ini muncul dalam dunia fashion, di
mana merupakan salah satu jantung gerakan arus budaya popular. Pola
kesadaran massal yang mana mir ip dengan pengalaman Gong di bioskop
ditemukan oleh Abé melalu i hi ruk pikuk dunia fashion. Namun berbeda
dengan Gong, pengalaman Abé leb ih kabur dan sul it didefinis ikan dengan
tepat: “Is that a negation of uniform, for heaven’s sake, or simply a
new kind of uni form?”9 Abé terjebak dalam sebuah kontradiksi yang
membingungkan karena per tanyaannya sendir i. Keruwetan ini berakar
pada dua lisme yang ber laku dalam fashion. Pada sudut ter tentu, fashion
8 Kobo Abé, The Face of Another, diterjemahkan dari Bahasa Jepang oleh E. Dale Saunders,(Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1967), hal. 66.
9 Ibid., op. cit.
8
memili ki karakter “tidak seragam”: set iap orang bisa berpenampilan
sesuai model atau rancangan yang dip ilihnya. Tidak ada ketent uan yang
menetapkan pil ihan sama untuk semua ind ividu. Semua keleluasaan ini
diimbangi dengan model-model yang ragamnya luas dan selalu berubah
dar i waktu ke waktu secara berkes inambungan. Secara kontradiktif ,
semua gerak perubahan dan perkembangan dalam dunia fashion memili ki
kecenderungan kolekt if. Dalam dunia fashion muncul arus
kecenderungan massal di mana set iap mode yang muncul dijadikan
panutan secara luas oleh massa. Sifat ini member ikan fashion sebuah
sentuhan yang “seragam” di bal ik semua plural itas yang ditawarkannya.
: “From the standpoint of countinuous change, it probably is the
negation of the uniform, I suppose; but considering that thi s negation is
brought about col lectively, it may indeed be considered very much a
uniform.” 10
Bagi Abé, walaupun member ikan banyak pil ihan, fashion tetap
memili ki karakteri sti k yang “mengarahkan” dan “menuntun” massa
dalam suatu pola “se ragam”. Pola kesadaran massal ini tidak berhenti
hingga satu “keseragaman” belaka, melainkan, “Perhaps it”s spi rit of
today,” tul isnya, “And because I am against thi s spirit , I am a heretic.
Although my researches bol stered the part of thi s fashion made with
synthetic fibers, not even that would permit me to associate with the
crowd.” 11 Kepada pembacanya, Abé memper ingatkan: walaupun tidak
memili ki karakter jelas, pola massal ter sebut memili ki mekani sme
10Ibid.
11 Ibid.
9
mapan yang dapat merasuk dalam kesadaran publik , serta memili ki efek
yang “ri il”. Seseorang yang tidak mengikuti kecenderungan kolekt if
tersebut akan mengalami keterasingan, tanpa perkecual ian. Tidak ada
peran aktor pelaku dibaliknya yang berdir i “di luar”, semuanya dalam
satu arus kesadaran ber sama.
Hal sama akan di alami Gong dalam bioskop 21 di Indonesia . Jika
dia tidak bersikap “diam” sepert i penonton lainnya, kemungkinan
terbesar, penonton di sebelah akan menegur agar dia segera diam,
namun tidak akan memaksanya untuk memfokuskan perhat iannya pada
layar bioskop. Beg itu juga jika hal itu terjad i di bioskop Ind ia, apabila
Gong menang is kecewa saat semua penonton menari gembira atau
sebaliknya. Singkatnya, Gong tidak dipaksa untuk memfokuskan
perhat iannya pada layar. Fokus pada layar, sifatnya selalu “sukarela”,
menolaknya hanya berart i “melepaskan” dir i dar i kecenderungan massal
tersebut, sepert i halnya pengas ingan “si janggal” dal am dunia fashion. 12
Lebih jauh kecenderungan massal dalam fashion dan layar per lu
dibedakan dengan “keseragaman” dalam art i yang dikena l selama ini ,
sepert i yang ser ing dipertunjukkan sebuah gerak jalan, parade pasukan
atau upacara sekolah. Dalam model keseragaman konvensional tuntutan
untuk memenuhi suatu per intah sebaga i fokus perhat ian sangat
ditekankan. Semua per intah harus ditafs irkan seragam dan dipahami
12Karena itu fashion dan layar di bioskop memiliki suatu cara kerja yang sama. Kata “layar”untuk selanjutnya dipakai untuk pengertian yang lebih luas dari sekedar “layar” yang sifatnyamaterial dan teramati, tapi lebih merupakan teknologi massal dalam jalinan fokus sebagaifenomen-fenomen. Untuk penjelasan lebih jauh, lihat juga Apendiks A dan pembahasan diBab III.
10
dalam makna sama, unsur kontro l fis ik maupun psikis sangat dominan. 13
Kesadaran ber sama sepert i yang ditunjukkan Gong dan Abé justru
muncul dalam situas i bertentangan, yai tu keadaan tanpa kontro l
memaksa. Tidak harus ada kesesuaian antara “ps iki s” dan “fi sik”. Semua
orang member ikan perhat iannya pada fokus layar tanpa paksaan, dan
terutama lebih dirasa kan sebaga i “hiburan” 14. Yang pal ing unik,
walaupun tidak ada penafs iran seragam atas fokus perhat ian, hal ini
tidak mengurang i kecenderungan massa untuk bergerak “searah”.
Kesearahan massal yang dirasakan Gong, dan diamat i Abé ,
memili ki cir i khas sebaga i suatu kecenderungan pola-pola yang
terbentuk oleh fokus bersama dalam layar15. Kita tidak akan menemukan
cir i ini pada massa yang berkumpul di acara resmi, sepert i pidato pol itik
atau upacara wisuda. Dan sepert i yang telah ditunjukkan Abé,
13 “Aba-aba” atau “instruksi” dan penjabarannya dalam pengertian yang dipahami secara“benar” oleh massa memegang peranan dalam menciptakan keseragaman jenis ini.Keserasian antara “roh” dan “materi” merupakan wujud terbuktinya rasionalitas dalamrealitas fisik.
14Pendapat yang sama datang dari Tetsuo Kogawa dalam artikelnya berjudul Toward a Realityof Reference: The Image and the Era of Virtual Reality. Kogawa menulis: “As a result,television has become a kind of counter-reality (which is to say, it blurs the real gravity ofan event) and has come to be manipulated as an indeterminate cultural apparatus. When amedium so constituted becomes part of everyone's environment and seems natural to thepoint that it is no longer apparent as an instrument of control and indoctrination, to attackit with such cliched expressions as ‘colonization of the unconscious’ or ‘deprivation of thebody’ is not much of an indictment at all.” (Documentary BOX, no.8, October 3, 1995,Published by the Yamagata International documentary Film Festival, Tokyo Office).
15Antara pengalaman Gong yang terikat dalam satu ruangan dengan fokus terpatri melaluidiskriminasi terang-gelap dengan fokus tersamar dalam dunia fashion yang diceritakan Abé,terdapat juga contoh di mana kedua model pengalaman tersebut dikombinasikan seperti yangdiceritakan oleh M.T. Zen: “Gambaran secara efisien, otomatis dan efektif dapat diperolehdari suasana pelabuha-pelabuhan udara kota-kota besar di dunia seperti New York, Chicago,Dallas, Tokyo, London, Paris, Frankfurt dan lain-lain, Manusia berbondong-bondong digiringdi atas ban berjalan melalui lorong-lorong tertentu menuju kamar tunggu; menunggu sambilmelihat layar short circuit yang memberitahukan jadwal-jadwal penerbangan. Antara yangbepergian tidak ada yang bicara. Masing-masing baca koran, majalah, atau buku. Tidak adayang mengumumkan sesuatu. Semua dapat dilihat pada layar TV. Jika ada barang yanghilang, yang berkepentingan disodori formulir tuntutan untuk diisi. Tunggu saja satu duaminggu lagi. Nanti diberi tahu oleh...Tuan Computer.” Sains, Teknologi dan Hari DepanManusia, ditulis oleh M.T. Zen (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1981), hal. 29.
11
kecenderungan tersebut justru berada pada wilayah yang ter lihat kurang
“sakra l”, sepert i budaya pop.16
Karena itu, ada kesesuaian yang unik antara kecenderungan
massal dalam ruang bioskop dengan ikon budaya pop lainnya, walaupun
untuk sementara ini mas ih sul it member ikan definis i yang tepat bag inya.
Cara kerja dar i teknologi layar mas ih sul it dipahami. Untuk memahami
pola yang ditemukan Gong dan Abé, per lu didalami berbagai masalah
yang bersangkutan dengan layar dan budaya pop pada dimens i berbeda.
Di bawah akan ditelaah akar ideologisnya.
2. Ide ologi budaya layar
Sepert i halnya Gong dan Abé, Kurt Vonnegut juga pernah mengalami
“kebersamaan” dar i layar:
“Pada masa-masa awal televisi, ketika paling banter hanya adasetengah lusin saluran, sandiwara yang ditulis dengan baik di layartelevisi masih dapat membuat kita merasa seperti anggota khalayakyang penuh perhatian, sekalipun kita sendirian di rumah” 17
Lebih lanjut lag i dia berkata,
16Budaya pop seringkali dikenal karena karakternya yang meluas dan meliputi hampir semuakalangan. Sakralitas kerap menjadi humor satir untuk mengkritik lembaga-lembaga resmiyang disebutkan di atas. Budaya pop tidak menampilkan kedisiplinan fisik, sebaliknya darisegi penampilan, dia memberontak terhadap segala wujud yang kaku, frigid dan serius.Dalam gedung bioskop misalnya, sikap yang santai merupakan cara menikmati, daripadaduduk dalam posisi yang benar dan teratur, walaupun tetap diatur untuk tidak mengganggubatas kesenangan orang lain. Oleh karena itu, dalam budaya pop sebenarnya berlaku regulasiterhadap kesenangan dan hiburan, sambil berusaha memproduksi kenikmatan baru.
17Kurt Vonnegut, Gempa Waktu, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia [KPG], 2001), hal.26.
12
“Pada masa itu hanya dengan beberapa tayangan yang dipilih, temandan tetangga menonton pertunjukkan yang sedang kita tonton...Kitabahkan dapat menelepon teman malam itu juga, dan mengajukanpertanyaan yang jawabannya sudah kita ketahui: “Apakah engkaumelihatnya? Wow!””18
Namun sekarang, bag inya semua hanya tinggal kenangan: “Kini tidak
demikian lag i.”
Vonnegut tidak hanya sekadar menyangkal pengalaman masa lalu
yang mengga irahkan dengan televi si. Melalu i tokoh Kilgore Trout, dia
mengimajinas ikan planet “kembaran” bumi yang bernama Booboo .19
Planet itu memili ki penghuni dengan kemampuan “beradaptasi”: “Ini
berkat otak mereka yang besar dan hebat, yang dapat diprogram untuk
melakukan atau tidak melakukan, merasa atau tidak merasa, hampir
segala hal . Tinggal anda sebut saja.” 20 Sebuah versi sat ir dar i model
pendid ikan konservat if juga muncul pada kisah ini : “Pemrograman tidak
dilakukan melalu i pembedahan atau pengal iran lis tri k, atau dengan
segala campur tangan neurologis.” Namun, gaya “pemrograman” ini
terjad i secara sos ial , “hanya dengan bicara, bicara dan bicara.” 21
Lengkapnya, proses “pemrograman” ini dilukiskan sebaga i ber ikut:
“Orang dewasa berbicara kepada anak-anak Booboo secara manistentang berbagai perasaan dan perbuatan yang dianggap pantas dandikehendaki. Otak anak-anak itu otomatis akan merespons dengan jalan
18 Ibid., op. cit.19 Menurut Vonnengut, keduanya masih berada dalam satu galaksi yang sama. Sebenarnya
Booboo tidak lain adalah gambar sinis dari imej tentang bumi sendiri.20
Ibid 17., op. cit., hal. 18.21 Ibid., op. cit.
13
menumbuhkan sirkuit-sirkuit yang menciptakan berbagai kesenangandan perilaku yang beradab.”22
Planet Booboo mulai berubah, ket ika seorang gad is bernama Nim-
nim (digambarkan berwatak “jahat”) berhas il membuat kamera,
pemancar dan pesawat televi si. Sebelumnya, anak-anak Booboo hanya
per lu stimulus kec il untuk membangki tkan imajinasi mereka. Tap i ket ika
televi si menggantikan pos isi orang tua: “Anak-anak muda Booboo tak
lag i mel iha t faedahnya mengembangkan imajinasi , sebab yang mereka
lakukan hanyalah menghidupkan saklar dan melihat segala macam
sampah yang mencolok mata.” 23 Generasi Booboo kemudian tumbuh
tanpa imajinasi , semua selera hiburannya tergantung pada apa yang
diberikan oleh Nim-nim: “Mereka akan menatap selembar halaman yang
dicetak atau sebuah luk isan sambil ber tanya-tanya bagaimana mungkin
orang bergetar memandang benda-benda yang beg itu sederhana dan tak
bernyawa itu.”24 Jarak antara generasi tua dan muda Booboo semakin
menjurang.
Penggambaran pes imisti s tentang Booboo, menandai perubahan
sikap Vonengut: dar i bagian publik penikmat televi si menjadi seorang
yang menolak televi si bisa member ikan manfaat. Sikap yang sama
dengan Kobo Abé ket ika mengas ingkan dir i dar i fashion. Kurt menolak
untuk menyamakan dir i dengan generasi muda Booboo, sambil tetap
22Ibid., op. cit. Dalam penggambaran ini, “otomatisme” dan “sirkuit-sirkuit” adalah suatuprogram yang sudah ada secara “alami” sebagai bagian dari kemampuan generasi Booboo.Ketimbang “biologis”, penggambaran ini lebih mencerminkan karakter “teknologis”. Watak“teknik-teknik” sudah ada dan menjadi bagian dari watak pendidikan konservatif.
23 Ibid., op. cit., hal. 20-21.24
Ibid., hal. 21
14
mengenang indahnya masa-masa awal ket ika televi si muncul sebaga i
keajaiban mata. Sebuah penolakan yang ragu-ragu sekaligus kabur,
ketakutan akan keh ilangan pemahaman pada “budaya lama”, namun
takut terasing juga dar i generasi muda. Ketakutan ini bukan sekadar
angan-agan, melainkan muncul dalam berbagai pub likasi yang
dijust ifikas i jajak pendapat dar i pub lik .
Sebuah survey di Amerika pada akh ir tahun 1999 menunjukkan
anak-anak (us ia 7-10 tahun) adalah kelompok yang antusias dan nyaman
terhadap komputer dibanding orang dewasa .25 Dilaporkan juga, bahwa
85% anak-anak mengikuti terus perkembangan komputer, dan hanya 14%
yang merasa tertingga l. Kontrasnya, 49% orang dewasa merasa mengikuti
dan 49% mengatakan bahwa mereka ket inggalan pengetahuan.
Diband ingkan dengan orang dewasa (38%), anak-anak (56%) lebih
mempercayai informasi dar i internet. Survey ini menggambarkan anak-
anak ialah kelompok yang pal ing dekat dengan teknologi baru ket imbang
orang dewasa, karena orang dewasa lebih banyak dipenuhi rasa was -was
akan pengaruh negati f dari teknologi .26 Melengkapi data ini , diperk irakan
25 Marcus D. Rosenbaum (National Public Radio), Drew Altman (Kaiser Family Foundation) sertakoleganya dari Harvard’s Kennedy School of Government dalam press released hasil surveyyang berjudul Survey Shows Widespread Enthusiasm for High Technology (29 February 2000).Pengambilan data pada survey ini dilakukan dua tahap; melalui wawancara via teleponselama bulan November dan Desember 1999 di seluruh negara bagian Amerika Serikat.Populasi pada survey pertama adalah orang dewasa berusia di bawah 60 tahun sebanyak1.506 orang (sampling error +/-3%). Sedangkan pada survey kedua tercatat 625 anak-anak(10-17 tahun) diwawancarai (sampling error +/-5%).
26 Menurut Hofsteede (1994: hal 72-80), pada desa di Indonesia masuknya televisi sejak tahun1975 membawa pengaruh yang besar bagi anak-anak maupun orang dewasa. Dari laporannya,anak-anak mengalami perubahan kultural mendasar akibat televisi: “Akibat lain daripadamasuknya televisi di pedesaan adalah banyaknya anak-anak yang meninggalkan pelajaranmengaji [...] sebagian anak-anak juga mengikuti acara-acara pertunjukkan televisi sampailarut malam yang menyebabkan mereka tidak lagi mempunyai waktu untuk belajar ataumengerjalan pekerjaan rumah.” Sedangkan pada orang dewasa, perubahan tidak terlalumendasar. Walaupun masuknya televisi ke desa menambah sumber informasi baru, namun
15
3,8 juta anak-anak di Amerika mendapatkan akses ke web. 27 Keadaan ini
menyebabkan teknologi menjad i bag ian yang tak terpisahkan dar i
keseharian anak-anak, kalau tidak mau dikatakan menguasai secara
sepenuhnya. Sekaligus member i kesan kesenjangan dengan orang dewasa
yang dikatakan kurang mengadops i teknologi informasi sebaga i bagian
kesehariannya. Sebaga i contoh, dalam peneli tian lain yang mel ibatkan
3.000 anak usia 2-18 tahun sebaga i subyek, mengungkapkan 64% anak-
anak menghabiskan waktunya leb ih dar i satu jam untuk menonton
televi si. 28 Untuk perbandingan lebih det il, lihat tabel di bawah.
TABEL 1.1 Proporsi kegiatan interaksi seorang anak dengan teknologiinformasi dalam sehari
Menonton TV 64%Membaca untuk hiburan 20%Mendengar CD atau tape 19%Mendengar radio 17%
Menggunakan komputer untuk hiburan 9%Bermain video game 8%Internet (Online) 3%Bermain game komputer 2%
sumber informasi secara langsung face to face masih menduduki peringkat teratas (59, 46%),sedangkan media massa menduduki posisi di bawahnya (40, 5 %).
27 Kathryn Montgomery, Children in the Digital Age, dalam sebuah artikel tak bertahun, Onlinedocument: http://www.prospect.org/print/V7/27/montgomery-k.html). Bagi Montgomery,anak-anak adalah figur yang akan segera berkembang menjadi dewasa pada masa mendatangdan mempengaruhi keadaan masa depan dibandingkan dengan orang dewasa yang akansegera mendekati usia senja.
28Donalds F. Roberts, Ph.D., Ulla G. Foehr, Victoria J. Rideout, Mollyann Brodie, Ph.D., Kids&Media, @ the new millenium (A Kaiser Family Foundation Report, November 1999), hal. 9.
16
Sementara sebanyak 36% anak-anak menghabiskan waktunya satu jam
atau kurang dalam sehari untuk menonton televi si. Sedangkan yang
menonton televi si sel ama satu hingga tiga jam dalam sehari tercatat
sejumlah 31%, tiga hingga lima jam sehari sebanyak 16%, dan 17% untuk
menonton televi si leb ih dar i lima jam dalam sehari ! 29
Detail data di ata s tidak sekadar berbicara tentang dominasi
televi si dalam jadwal har ian dan kedekatan ber leb ihan anak-anak
terhadap teknologi , tetapi juga menyinggung persoalan leb ih mendalam,
yai tu; kri sis identi tas, kri sis pengalaman bat in, kri sis budaya yang juga
menjadi ancaman eks istens i sebuah kebudayaan sepert i yang dirasakan
Kurt Vonnegut. 30 Diduga kemudian keadaan in i memanc ing lahirnya suatu
bentuk “budaya baru”: “Maka bukan tidak mungkin, anak-anak kita akan
semakin terperangkap pada bentuk kemajuan peradaban yang salah
diinterpretasikan” 31. “Peradaban salah tafsir” tersebut diidentif ikasikan
oleh Mursito B.M. sebagai “budaya pop”.
Bagi Mursito B.M., 32 budaya pop tidak lain sama dengan hiburan
yang tidak memili ki nilai ser ius . Dia menetapkan bahwa baik hiburan,
ataupun budaya pop, notabene merupakan “ideologi” utama bagi
indust ri televi si. Alih-alih, Mursito menganggap budaya pop sebaga i
model kebudayaan yang sifatnya ringan, sesaat, gampang diterima oleh
29 Ibid., loc. cit.30
Preli Oktosari, Menyoal Film Kekerasan Di Televisi, Harian Suara Karya, Sabtu, 18 April 1998,hal. v, kol. 3-8. Menurut Preli, hasil penelitian PMB LIPI pada Oktober 1996 menyebutkanbahwa rata-rata anak-anak/remaja mampu menghabiskan waktu sekitar 23 jam per minggudi depan televisi.
31 Ibid., loc. cit.32
Mursito B.M., Budaya Televisi dan Determinisme Simbolik (Universitas Sebelas Maret, onlinedocument: http://psi.ut.ac.id/Jurnal/81mursito.htm).
17
masyarakat dan tidak dibutuhkan sebuah kemampuan kognis i dengan
dis ipl in tertentu untuk menyerap pesan-pesan yang dibawakan.33 Alias,
dalam kacamata ini , budaya pop adalah pola-pola tingkahlaku yang
sifatnya memassal dan tidak memili ki kecerdasan ind ividual:34
“Dibandingkan dengan “kebudayaan tinggi” yang telah mapan,kebudayaan pop lebih menekankan pada kemampuannya untukmengkomunikasikan produk-produk dan segala aktivitasnyadibandingkan penilaian dan penghargaan kualitas. Ia lebih menyukaipenghargaan pasar ketimbang penghargaan dari kritisi seni. Lebihmenyukai memilih estetika persepsi daripada estetika kreasi. Katalainnya, ia lahir atas pesanan pasar.”35
Dengan meletakkan budaya pop sebaga i oposis i dar i sebuah
“kebudayaan tinggi”, secara implis it, budaya pop dianggap sebaga i
“kebudayaan rendah”, sebagai oposis i dar i “budaya kualit as”, yaitu
“budaya kuanti tas”. Budaya yang leb ih mement ingkan jumlah dar ipada
isi : “jejadian” kapita lisme. “Kebudayaan tinggi” juga hadir pada tul isan
Herbert Marcuse 36 dalam ist ilah higher culture, di seberangnya diduduki
budaya “la in”, yang lahir dar i kemajuan ras ionali tas teknologi .
Keduanya oleh Marcuse digambarkan sebaga i “integras i yang sama dalam
33Hal ini didukung oleh fakta sebuah survei yang dilakukan oleh Harian Kompas terhadap 900responden orang dewasa yang memiliki anak berusia 6-12 tahun dan 900 anak pada kelompoktersebut selama bulan Juli 1997 di lima kota Indonesia; Jakarta, Yogyakarta, Ujungpandang,Bukittinggi dan Madiun. Dalam survei tersebut menunjukkan bahwa acara televisi menjadibahan obrolan sebanyak 77% anak bersama temannya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 86, 9%lebih suka membicarakan kelucuan atau serunya acara yang ditayangkan televisi daripadatopik-topik lainnya (Kompas, 26 Agustus 1997, hal. 1&5, kol. 6-9 & 1-9).
34 Bandingkan kritik ini dengan serangan dari Neil Postman kepada budaya populer dalambukunya, Menghibur Diri Sampai Mati. Mewaspadai media televisi (Jakarta: Pustaka SinarHarapan, 1995). Postman berpandangan bahwa tiap media yang berbeda akan mengakibatkanperubahan struktur budaya. Postman yakin bahwa dibandingkan budaya cetak-tulis, budayagambar yang dibawa televisi merupakan dekadensi dalam intelijensi masyarakatnya (Ibid.,op. cit., hal. 28-41)
35 Ibid 31., loc. cit.36
Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimensi, Penerjemah Silverster G. Sukur dan YusupPriyasudiarja (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Desember 2000).
18
bidang budaya”, adopsi higher culture ke dalam satu struktur ber sama
yang dirangkum oleh kemampuan ras ional teknologi .
Beda dengan Mursito yang membuat gar is tegas, Marcuse
menganggap budaya pop tidak benar -benar beroposis i terhadap higher
culture. Antagonisme antara dua dimens i yang kel iha tannya
bertentangan antara higher culture dan “budaya teknologi s” dicairkan
melalu i penggabungan dalam satu tatanan nilai mapan. Has ilnya adalah
budaya layak jua l: “Jika komunikas i mas sa bergabung menjad i satu
secara serasi , dan ser ing secara tak kentara, seni, pol itik, agama dan
fil safat dengan iklan, mereka membawa bidang -bidang budaya ini
kepada denominator mereka yang sama—bentuk komodi tas .”37 Marcuse,
walaupun secara samar-samar menganut dikotomi antara budaya
teknologi s dan budaya eksklusif , mengakui adanya kekuatan yang
mengikat sis i berbeda itu dalam satu “ikatan”. Formulasi ini kemudian
dikena l sebaga i budaya massal , sebuah usaha merangkul semua wujud
kultural dalam format baru:
“Ketika kata-kata besar kebebasan dan pemenuhan dengan lantangdipekikkan oleh para pemimpin dan politisi yang sedang berkampanye,pada layar kaca dan radio-radio dan panggung-panggung, merekaberubah menjadi suara-suara yang tanpa makna yang mendapat maknahanya dalam konteks propaganda, bisnis, disiplin, dan relaksasi.Asimilasi dari yang ideal ini dengan realitas menegaskan tingkat sejauhmana yang ideal telah dilampaui. Ia telah diturunkan dari alam jiwaatau roh atau manusia batin yang mahaluhur, dan diterjemahkan kedalam istilah-istilah yang operasional. Di sinilah terdapat elemen-elemen progresif dari budaya massa.”38
37Ibid., op. cit., hal. 86
38 Ibid., op. cit., hal. 86-87.
19
Sintes is ini ditemukan dalam “layar kaca”, “radio -rad io” dan “panggung-
panggung”, di mana antagonisme antara “budaya” dan “reali tas sos ial”
didamaikan melalui kesadaran baru yang digenapkan secara teknologi s
melalu i reunif ikasi dalam dimensi baru .39
Baik Marcuse, Mursito maupun Kurt Vonnegut mas ing-mas ing
menemui satu tit ik yang sama. Melalu i kisah planet Booboo, Vonnegut
mengkhawatirkan lenyapnya kemampuan ber imajinasi generasi muda dan
ket impangan pemahaman antara dua generasi yang disebabkan oleh
televi si. Sedangkan Mursito lebih mel ihat budaya pop sebaga i kontradiksi
dar i sebuah budaya lain yang leb ih luhur, merupakan “agen” dar i
teknologi sepert i televi si. Dan agak berbeda dengan lain, Marcuse
menemukan sintesa perbedaan antara “higher cul ture” dengan “budaya
massa” ket ika keduanya bersenyawa dalam teknologi layar.
Dar i beragam pendapat ini , kedudukan layar dalam budaya pop
menjadi tulang punggung utama dar i kecenderungan massal yang disebut
budaya pop. Bag i Mur sito, budaya pop lah ir tidak lain karena adanya
bas is teknologi televi si, untuk Marcuse, “budaya massa” tidak lain
adalah bentuk baru dar i pengontro lan sos ial melalu i teknologi , dan Nim-
nim di planet Booboo membuat televi si dan peralatan elektroni s lainnya
yang merusak kemampuan ber imajinasi kaum muda. Pada umumnya,
pendapat-pendapat ini sesuai dengan paham bahwa teknologi adalah
bas is material bagi perubahan kul tural, yang mengacu pada anggapan
bahwa set iap per iode kultural berbeda memili ki var ian teknologi
39 Ibid., hal. 85.
20
berbeda pula. Salah satu contohnya adalah empat tahap evolus i
perkembangan teknologi media komunikas i massa ber iku t ini .40 Tahap
pertama dimula i pada pertengahan 1600-an, yai tu ket ika teks atau
tulisan dikena l dan disebarkan secara luas, hal ini merubah bentuk sos ial
dar i “kegelapan” tul isan menuju komuni tas fil osofis ala Boy le. Tahap
kedua, ada lah ket ika lis trik dimanfaatkan sebaga i sarana komunikas i,
bersamaan dengan itu media muncul dalam format hiburan, yaitu dar i
pertengahan Abad 19 hingga awal Abad 20. Gelombang ket iga mulai dar i
munculnya teknologi informasi pada sekitar tahun 1960-an 41. Gelombang
empat yang dimula i pada dekade 1980-an hingga kin i mas ih meraba-raba
ke mana arah virtua l reality dan cyberspace akan merubah bentuk sos ial
kita.42
Dekade 1960-an yang diangkat sebaga i tit ik tolak perkembangan
teknologi informasi 43 berjalan sei ring dengan gerakan budaya tandingan
40Allucquère Rosanne Stone, Will the Real Body Please Stand Up?, pertama kali dipublikasikandalam sebuah antologi yang berjudul Cyberspace; First Steps, ed. Michael Benedikt,(Cambridge: MIT Press, 1991, hal. 81-118).
41Menurut Roger Fidler (2003: hal.166), 77 juta anak di Amerika yang dilahirkan antara tahun1946 dan 1964 merupakan “generasi televisi yang pertama”: “Bagi mereka yang dijuluki babyboomer, pesawat TV segera menjadi penghibur, pengasuh, guru dan kawan mereka. Kalauradio menyampaikan suara-suara dunia dengan seketika kepada telinga dan imajinasigenerasi sebelumnya, maka TV membawa gambar-gambar homogen yang mendefinisikan rasarealitas dan jati diri generasi ini.” Dengan demikian garis embarkasi lahirnya suatu generasi,walaupun sangat kabur secara batasnya, bisa ditandai melalui perbedaan tipe teknologi danmodel komunikasi yang muncul dan berpengaruh pada masanya. Kendati demikian, klasifikasisemacam ini tidak bermasalah, namun secara garis besar dapat digunakan untuk menyelidikisejauh mana pola kultural berbeda juga muncul dari perubahan tersebut.
42Ibid 40., loc. cit.
43 Sejak tahun 1948, teknologi televisi mulai dijadikan konsumsi publik luas, terutama diAmerika. Tahun 1953, TV berwarna standar diperkenalkan kepada publik Amerika Serikat.Bersamaan dengan itu di tahun 1951, Mauchly dan Eckert berhasil membuat UNIVAC,komputer komersial yang pertama (TIME 100, 29/3, 1999). Dari data ini, kita mengetahuibahwa sejak berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 terjadi suatu ledakan barupenggunaan teknologi informasi oleh masyarakat luas (walaupun untuk komputer masihterbatas pada pengusaha, pemerintah dan militer saja). Bersamaan dengan itu, di Amerikadan negara Eropa lainnya (tempat ledakan teknologi massa terjadi) muncul suatu gerakankultural baru. Gerakan itu semakin memuncak di pertengahan tahun 1960. T. Wolfe dalamThe Me Decade and The Third Great Awakening menggambarkan gerakan kultural baru itu
21
(counter-culture) terhadap masyarakat budaya “lama” yang dianggap
lebih “mapan”. Model gerakan budaya mulai bersemi dan disaks ikan oleh
Herbert Marcuse pada 1968. Namun, Marcuse lebih sibuk
mempermasalahan teknologi dan ekses eti snya, seh ingga lupa pada
wujud-wujud pal ing konkret. Alasan ini menegaskan pentingnya mel ihat
bagaimana wujud kul tural “baru” muncul tidak sekedar melalu i
penafs iran sepintas dan banyak dipengaruhi bias perbedaan generasi .
Per lu untuk mel ihat gerakan kul tural melalu i pemahaman yang dibangun
oleh “agen-agen perubahan” itu sendir i. 44 Kita kembal i pada pembahasan
sekitar tahun 1960-an, masa restorasi pasca Perang dun ia II, yaitu saat
di mana “publik dun ia” mulai mengental dalam usaha -usaha “menjaga
perdamaian dun ia.”
Kita mulai dengan per jalanan Soe Hok Gie 45 dalam lawatannya di
sejumlah universitas Amerika Ser ika t pada tahun 1968. Saat itu isu
perang vietnam dan ancaman perang nuk lir melanda Amerika. Di sela-
sela acara yang padat, Soe sempat berjalan -jalan di Salem, ket ika
sebagai: “We are now in the Me Decade--seeing the upward roll (and not yet the crest, byany-means) of the third great religious wave in American history, one that historians willvery likely term the Third Great Awakening. Like the others it has begun in a flood ofecstasy, achieved through LSD and other psychedelics, orgy, dancing (the New Sufi and theHare Krisha), meditation, and psychic frenzy (the marathon encounter).” (online documenthttp://www.warwick.ac.uk/fac/arts/History/teaching/sem17/medec.html, tahun tidaktercantum). Amerika era 60-an adalah periode di mana munculnya budaya campu aduk.
44Dalam banyak segi, dalam sebuah “perubahan”, yang disebut sebagai “agen” tidak lebih darihanya pihak yang berdiri di suatu sudut dan merasa dirinya ikut dalam sebuah gelombangperubahan massal. Perasaan bahwa “ikut dalam perubahan” tidak lain hanya sebuahkeikutsertaan dalam sebuah skenarion raksasa yang tidak jelas asal maupun arahnya.
45Mahasiswa Universitas Indonesia Angkatan 66, anggota KAMI (Kesatuan Aksi MahasiswaIndonesia) dan tokoh pergerakan perubahan politik di Indonesia selama 1965-1966. Catatanyang dikutip berasal dari catatan hariannya yang dibukukan dengan judul Catatan SeorangDemonstran (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1983), hal. 227-272.
22
melewati toko mil ik Hippies46 dekat Universitas Wil lamate, dia berhenti
untuk mencatat isi sebuah poster sepert i di bawah ini ;
Reward,
For information to the apphrenhension of
Jesus Christ
Wanted for seduction, criminal, anarchy, vagrancy, andconspiring to overthrow the established government. Dressed poorly,said to be a carpenter by trade, ill nourished, has visionary idea,associated with bums, allien, believed to be a Jew, Prince of Peace,Son of Man, light of the world. Professional agitator, red beard, marksof wound, and felt the result of injuries inflicted by an angry mob ofrespectable citizen and legal authorities.47
Tidak diketahui apa yang menarik bag i Soe, namun isi poster itu
membuatnya berhenti dan membacanya. Barangkal i karena menyangkut
sosok yang sangat berpengaruh dalam “Barat”, Yesus Kri stus. Atau juga,
sosok lain yang secara samar berdir i di bal ik semuanya, yai tu kaum
Hippies —“pencipta” poster ini . Terutama, kedua sosok dalam poster ini
hadir “sejajar” melalu i deskripsi ter selubung.
Yang pertama, sosok Yesus dikarakterkan mir ip dengan kaum
Hippies. Yesus berpakaian “buruk” dan “aneh” menyerupa i seorang
46 Hippies adalah gaya hidup yang banyak mendominasi generasi muda Amerika dan Eropa padadasawarsa 1960 dan 1970. Muncul sebagai protes terhadap Perang Dingin yang terjadi sesaatsetelah PD II berakhir. Masyarakat Eropa saat itu dihantui oleh kemungkinan terjadinyaPerang Dunia yang lain. Menurut T Wolf, “Meanwhile, ordinary people in America werebreaking off from conventional society, from family, neighborhood, and community, andcreating worlds of their own. This had no parallel in history, certainly considering the scaleof it. The hippies were merely the most flamboyant example. The New Left students of thelate 1960's were another.” (Ibid 43., loc .cit.).
47Ibid 45., op. cit., hal. 241-242. Poster ini juga dikutip dalam sebuah artikel Soe Hok Gie,Agama dalam Tantangan, dalam kumpulan artikel berjudul Zaman Peralihan, (Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya, cet keempat, 1999), hal. 203-204. Artikel serupa juga pernahdimuat dalam harian Sinar Harapan, 2 Februari 1969.
23
Hippies48. Deskripsi Yesus ini berbal ikan dengan imaji resmi rel ijius;
digambarkan berjubah dan berjenggot rapi, bersih, serta terawat; atau
sebaga i raja dengan mahkota; dan, walaupun dalam pos isi di sal ib selalu
tampak agung. Dengan menurunkan derajatnya dar i “surga” hingga
sejajar dengan pos isi kaum Hippies, Yesus menjadi tampak tidak lebih
dar i seorang manusi a. Karena itu Yesus, layaknya Hippies, dibenc i
karena semerawutan dar i penampilannya. Baik Yesus maupun Hippie dari
kacamata ini , hanya dikenal sebaga i pihak yang subversif atau
berseberangan dengan kekuasaan kedaulatan sip il dan pemerintah.
Pada penggambaran kedua, respectab le cit izen dan legal
authorities sebaga i pihak yang juga ber seberangan dengan kaum Hippies
menjadi marah dan mengeroyok “Sang Juru Selamat” hingga ter luka.
Yesus sebaga i pusat agama Kri sten justru menjad i “buronan” bag i
respectab le cit izen dan legal author ities, dalam kasus ini yang dimaksud
bukan hanya orang Romawi dan kaum Far isi . Karena, kaum Hippies yang
membuat poster ini sekali lag i meletakkan posisinya sejajar dengan
Yesus, yai tu sebaga i kontra dar i respectab le cit izen dan legal
authorities. Ini merupakan penegasan keseja jaran antara dua tokoh ini .
Keduanya bukan hanya memili ki karakter tampang fis ik yang sama, tapi
48 Soe Hok Gie, dalam artikelnya Hippies, Peace & Love, menggambarkan penampilan Hippiesdalam narasi sebagai berikut: “Mereka mencoba menemukan dirinya dengan menolak nilai-nilai masyarakat yang menjerat manusia. Mereka tak peduli dengan norma-norma masyarakattentang pakaian. Mereka berpakaian seperti yang mereka sukai. Kadang-kadang tambalan,kadang-kadang jorok, kadang-kadang artistik sekali dengan warna-warna yang kontrasmenyolok.” (Ibid 47, op. cit., hal. 219).
24
berada dalam satu pihak sebagai kaum tersingkir dar i respectab le
cit izen dan legal authorities 49.
Jika dulu Yesus berhadapan dengan orang Yahudi kolot dan
Romawi, kaum Hippies beroposis i pada warga masyarakat fanatik dan
pemerintahan yang gila perang. Dengan demikian poster ini bukan lag i
perombakkan simbol -simbol agama yang dipuja oleh publik ,
pengumuman ini terang -terangan menantang kekuasaan pemerintahan
dan legitimasi publik yang mendukungnya. Dengan menegaskan
respectab le cit izen dan legal author ities sebaga i pihak yang
bertentangan dengan Yesus (=H ippies ), poster ini menjelma menjadi
sebuah provokasi untuk meyakinkan pihak luas pos isi kaum Hippies
sebaga i lawan dar i tatanan masyarakat yang berdir i sebelumnya50.
Konsekuensinya, ket ika Yesus sejajar dengan Hippies, Hippies
menempatkan dir inya pada posisi setara dengan Kri stus sebagai “juru
selamat”. Yesus (=H ipp ies) baru yang berpenampilan kumal dan jorok,
49Bandingkan metafora ini dengan pembahasan Robert N. Bellah tetang civil religion diAmerika. Di mana George Washington disamakan dengan Moses dan Abraham Lincolndisejajarkan dengan Yesus Kristus, sedangkan Perayaan Thanksgiving Day dan IndependenceDay menjadi hari suci bagi warga Amerika . Analisa lengkap bisa diikuti di Robert N Bellah,Agama Sipil di Amerika, diterjemahkan dalam buku Menggugat Pendidikan; Fundamentalis,Konservatif, Liberal, Anarkis, disunting dan diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
50 Model kritikan kepada budaya mapan seperti ini sebenarnya bukan hanya dominasi dari kaumHippies. Dr. Timothy Leary, seorang psychedelics yang disebut Presiden Nixon sebagai TheMost Dangerous Man in America, membuat pernyataan yang jauh lebih sarkastik diberi judulThe Declaration of Evolution. Dalam tulisan ini dia menyebut: “These old, white rulers havemaintained a continuous war against other species of life, enslaving and destroying at whimfowl, fish, animals and spreading a lethal carpet of concrete and metal over the soft body ofearth. They have maintained as well a continual state of war among themselves and againstthe colored races, the freedom-loving, the gentle, the young. Genocide is their habit ...“Sedangkan untuk menggambarkan sifat-sifat dari ‘budaya mapan’ ini, Leary mengatakan:“They are bores. They hate beauty. They hate sex. They hate life.” Atau dengan kata lain,Leary memproklamirkan sebuah budaya baru yang lebih mencintai kehidupan, penuh gairahdan lebih bebas untuk mencari kebahagiaan.
25
sekaligus “Pangeran Perdamaian” (Prince of Peace), “Anak Manusia”
(Son of Man ) dan “Cahaya bag i Dun ia” ( light of the world). Pada
pemahaman ini , Hippies menjalankan peran yang sesuai dengan
penggambaran; sebaga i pec inta perdamaian, kebersamaan dan kesatuan
dunia. Nada serupa dapat ditemukan dalam salah satu lagu ciptaan John
Lennon51 berjudul Imagine. Pada salah satu bai t lagu hymne waj ib kaum
Hippies sedunia ini , terdapat cita-cita kaum Hippies yang digambarkan
sebaga i ber ikut;
//Imagine no possessions/ I wonder if you can/ No need for greed orhunger/A brotherhood of man/Imagine all the people/Sharing all theworld y-huh //You may say I’m a dreamer/but I”m not the only one/Ihope someday you will join us/ and the word will live as one///52
Sepert i Yesus, John Lennon dan Hippie s menjadi “pangeran” yang
memihak perdamaian dengan menyerukan “persaudaraan umat
manusia”. Sebaga imana Yesus mengajak manusia menjauhi jiwa serakah,
mereka juga mengajak seluruh umat manusia menuju dun ia baru yang
51 Salah seorang kelompok musik asal Inggris yaitu The Beatles. The Beatles adalah pelopormusik era tahun 1960-an yang dikenal memiliki ideologi sosial dan politik anti kemapanan.Dengan menggunakan musik rock, The Beatles menuntut kehidupan muda yang lebih bebas,yang membolehkan mereka bereksperimen dengan narkoba, dan seks bebas, yang tercakupdalam ideologi Summer of Love tahun 1967 (pandangan yang sangat berpengaruh pada kaumHippies dan sejumlah grup musik rock lainnya seperti The Rolling Stone, Pink Floyd dll.).Lennon juga adalah pemusik pertama yang memasukkan isu pelestarian lingkungan hidupdan kesetaraan gender melalui lagunya yang berjudul Across The Universe dan Woman is TheNigger Of The World. John Lennon pernah mengatakan bahwa Yesus Kristus kalah populerdibanding dengan The Beatles. Dalam sebuah artikel berjudul F&N Strawberry Soda Pop(Harian Kompas, Senin, 29/4/2002), hal. 37.
52Lagu ini pertama kali dikenal publik ketika dirilis pertama kali pada tahun 1971 dalam albumsingel John Lennon. Versi teks lagu ini berasal dari J. S. Arkenberg, Dept. of History, Cal.State Fullerton. Teks ini telah mengalami editing oleh Arkenberg. Data ini ada pada websiteInternet Modern History Sourcebook <http://www.fordham.edu/halsall/mod/modsbook.html>
26
bebas dar i pender itaan. Dan Akh irnya, sebagai “terang dun ia” kaum
Hippies menubuatkan “dunia yang satu” dan bebas dar i pender itaan.
Pos isi kaum Hippies sebaga i “buron” masyarakat mapan sekaligus
sebaga i “terang dun ia” yang menyatukan dunia, sal ing berkontradiksi.
Sebaga i “buron”, Hippies ada lah kontra dar i tatanan masyarakat yang
ada. Sebaliknya, hippies yang “terang dunia” bukan penentang
masyarakat mapan, namun adalah “marti r” yang menyatukan dun ia.
Sehingga Hippies berperan paradoksa l, sebaga i “musuh” publik sekaligus
sebaga i Mes iah yang merangkul massa pub lik sebagai satu kesatuan 53.
Lebih menarik lag i, peran paradoks ini tidak membatalkan keadaan satu
dengan lainnya. Sebaliknya dua peran yang ber lawanan ini ber jalan
seiring sepert i jalur baja pada rel kereta api 54.
Peranan Hippies mulai surut pada akhir 70 -an, ket ika Hippies
bukan lag i suatu kel ompok dengan tujuan eksklusif , namun kelompok
dengan impian dan tujuan “mulia” yang diperjualbel ikan sebaga i
komoditas. Kaum bisnis mengincar keuntungan melalui berbagai pernik -
53 Pendapat ini didasarkan pada pendapat Soe Hok Gie dalam Agama dalam Tantangan (Ibid47., op. cit., hal. 203-208) yang menyebutkan bahwa bukan hanya Hippies, sebagai pelopor,yang menyatakan kekecewaannya pada suatu bentuk agama konservatif. Pergolakan jugaterjadi dalam tubuh-tubuh agama itu sendiri. Gereja Katholik dibanjir oleh gelombang protesyang menentang keputusan Paus yang melarang aborsi dan penggunaan alat kontrasepsi.Pastor-pastor ikut demostrasi sambil duduk di lobi hotel, bermain gitar dan bernyanyi. Halyang sama juga menerpa kelompok Kristen, di mana terpaksa mengadopsi dan menyesuaikanpola-pola budaya populer baru dalam misa-misanya agar dapat bertahan. Hippiesmembutuhkan simbol-simbol relijius untuk mendekati warga pada umumnya, begitu jugawarga umum memanfaatkan ideologi Hippies untuk melepaskan diri dari kekangan yangterlalu ketat dari agama dan tuntutan pekerjaan berat. Masyarakat populer mulai terbentukdalam dikotomi permiabel antara kehidupan yang saklar dan serius di kantor dan tembatibadah, dengan suasana hiburan di depan layar TV, bioskop, internet, dengan ditemani olehmariyuana dan LSD.
54Untuk persoalan ini, pendapat Herbert Marcuse di atas sangat sesuai untuk menjelaskankeadaan peran paradoksal dari kaum Hippies.
27
pernik aksesoris berbau Hippies55. Hippies menjadi bag ian dar i pangsa
pasar, tidak berbeda dengan rumah tangga, pengusaha, pegawai
kantoran dan sebaga inya56. Namun, cita-cita Hippies telah meletakkan
pondas i untuk bag i bentuk kul tural baru, sebaga i bagian dar i
kecenderungan budaya pop. Di sin i, budaya pop bukan sekedar wadah
bisnis , namun juga memili ki nilai -nilai yang diunggulkan sebaga i
“kemanusiaan baru”; yang lebih “bebas”, “menyatukan” dan
member ikan “kebahagiaan” sepert i yang pernah dic ita-citakan oleh
Hippies. Cita-cita, ini diawetkan melalu i serangkaian modifikas i-
modifi kas i bar u member inya nilai produktif secara erkonomis sekaligus
tetap mengandalkan ideali sme free love-nya generasi 1960 -an sebaga i
kekuatan ideologis sekaligus alat pemasaran yang efekti f. Sis i
kontradiktif ini lah, di mana nilai -nilai pemberontakan dilandasi simb ol-
simbol kebebasan, kebahagiaan dan kebersamaan bersenyawa dengan
nilai -nilai ekonomis sebaga i komoditas, yang kemudian dikena li oleh
55 Ibid 43., op. cit., hal. 229: “Tapi setelah lama begitu lama kita sadar bahwa kita tidakberbahagia. Lalu generasi mudanya berontak, antara lain dengan Hippies. Mereka tak tahuapa yang mereka mau, tapi mereka tahu ada yang tidak baik. Tapi pemberontakan mereka(ribuan middle class younger generation) ini juga dikomersialkan dan dijadikan obyekpropaganda, tourisme. Direktur filem-filem membuat filem dan lain-lainnya. Bahkan cita-citakemerdekaan sekarang dikomersialkan dengan peace symbol yang dibuat di pabrik-pabrik.”
56 Dalam artikel Hippies, Peace & Love (Ibid 45, op. cit., hal. 221-222), Soe Hok Gie menulisdengan nada tak kurang sarkastiknya: “Betapa lucunya lencana perdamaian dan cintadiproduksi berjuta-juta buah. Mereka yang berontak dari masyrakat akhirnya menjadi obyekmasyrakat mencari uang.” Kesimpulan ini muncul ketika dia berkunjung ke Sausalito diFrancisco: “Keluar masuk ke toko-toko yang menjual barang-barang Hippies bersama orang-orang lain yang juga berpiknik. Dalam hati saya berpikir ‘Mereka adalah orang-orang yangberontak terhadap masyarakat yang terlalu dikomersialkan. Tetapi akhirnya jadi korbankomersialisasi...Biro-biro tourist mensponsori trip ke tempat-tempat Hippies, sebagai‘binatang’ aneh yang patut dilihat...Mereka bicara tentang perdamaian dan cinta (peace andlove) dan sekarang telah menjadi mode. Akhirnya timbul pabrik lencana dan posterperdamaian dan cinta.” Dan tentu gaya pakaian Hippies yang compang camping tidak lagimenjadi begitu aneh, namun menjadi bagian dari mode dunia fashion, seperti halnya celanajeans yang pada awalnya adalah simbol pemberontak mahasiswa Amerika terhadap perangVietnam juga menjadi mode baru yang menentukan trend dunia.
28
Vonnegut, Mur sito, sedangkan Marcuse menyebutnya sebaga i “budaya
massa teknologis”.
Jika mengikuti cita-cita awal yang melandas inya, tidak dapat
dibenarkan anggapan bahwa budaya massa teknologi s itu budaya yang
sempit , kuanti tat if, tidak memili ki kua lit as sen i dan sifatnya bisnis
melulu. Sebaliknya, sesuai dengan ideali sme generasi -generasi
pemberontak di era 1960-an, budaya pop memili ki nilai -nilai yang khas;
“kebersamaan”, “kebebasan” dan “kebahagiaan”. Namun, tidak berart i
pandangan pihak yang beranggapan budaya massa teknologi s merupakan
proyek bisnis kap ita lisme, guna menjad ikan kemanusiaan sebaga i
komodi tas keuntungan dan alat kontro l sos ial ikut menjad i kel iru. Dalam
budaya massa teknologi s, kedua nilai tersebut mendapatkan tempatnya
masing -mas ing, berfungsi bersama-sama dalam satu pola massal .
Dit ilik dar i sin i, budaya pop tidak dil ihat lag i sebagai budaya yang
berdir i sendir i dan terpi lah secara eksak dengan “budaya bukan pop”.
Pada saat ini , hampir semua budaya yang ada telah dimoderni sas ikan
dan direkontruks i, kemudian disatukan ke dalam budaya pop. Dikotomi
“budaya pop” dan “budaya lokal” dalam hal ini tidak ber laku lag i.
3. Univers al isas i lay ar
Menurut John Nai sbi tt (1990) , budaya yang beraka l pada Nas ionali sme
lokal tidak berdaya membendung suatu arus dominasi global isasi budaya
29
yang banyak dimotori oleh teknologi informasi dan kap ita lisme global .57
“Entertainment through the medium of language and image, crosses
over the line of superfic ial exchange and enter the domain of values,” 58
atau bag i Naisbi tt, pengaruh itu telah meresap dalam nilai-nilai publik .
Oleh karena itu, pembauran semacam ini membuat kita sul it untuk
membedakan antara “budaya pop” dengan “budaya lokal”.59
Melalu i pembauran ini pula, budaya massa teknologis mengalami
proses universal isasi, budaya pop had ir di mana-mana dan dapat diserap
oleh berbagai lap isan dan pola masyarakat yang ada pada berbagai
belahan dunia. Keberhasi lan ini tidak lepas dar i peranan layar yang
hadir di set iap kota dan pemukiman rumah pribadi untuk menghangatkan
kekeluargaan.60 Tidak hanya anak-anak, sepert i telah dis inggung di atas,
yang merasakan kenikmatan layar dalam berbagai perwujudannya. Orang
dewasa, yang biasanya mengeluhkan “ak ibat buruk” terhipnot isnya anak-
57John Naisbitt & Patricia Aburdene, Ten New Directions For the 1990’s. Megatrends 2000(New York: Milliam Morrow and Company, Inc., 1990), Chapter 4, hal. 119-153.
58 Ibid., op. cit., hal. 13959 Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa pada saat ini banyak “budaya lokal” yang mengalami
kemasan ulang dalam bentuk “budaya pop” (Seperti Yoga, Meditasi, rokok dan lain-lain).Sebaliknya, “budaya pop” yang diterima sebagai budaya lokal juga cukup banyak. Sebagaicontoh, banyak orang yang mengkritik pengaruh negatif “budaya pop”, tapi ternyata lebihsuka memakai T-shirt, menonton acara sains ala Discovery Channel dan sekali-kali ikutmenikmati musik pop.
60 Tidak seperti sebuah bioskop yang menjadi bangunan sentral dalam sebuah kota (lihatcatatan kaki no. 6), televisi lebih cenderung sebagai medium domestik dengan audiensnyayang tersusun sebagai keluarga (Wilson, 1993: 19 & 22; Miller, 1995: 283; Dalam KrisBudiman, Di depan Kotak Ajaib: Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi (Yogyakarta:Galang Press, 2002), hal. 29. Dalam kesempatan lain, televisi bukan lagi sekedar medium,seperti kata Garin Nugroho: “Televisi bagai anak pertama dalam keluarga, serba menjadipusat perhatian” (Ibid., op. cit., hal. 35.). Namun, tidak berarti keluarga bisa dianggapsebagai “satuan” analisis. Kehadiran televisi dalam jalinan relasi dalam rumah, menunjukkankeberadaan “alami” bersama-sama sebagai bagian dari kesadaran individu di dalamnya.Dengan menonton televisi, individu dapat mempererat atau merenggangkan jalinankomunikasi antar individu dalam sebuah rumah (Ibid., hal. 130). Di luarnya, kehadirantelevisi sebagai sebuah obyek netral dalam sebuah ruangan rumah merupakan titik fokus dimana semua penghuni rumah dapat berkumpul bersama (Ibid., hal 41-48). Karena itu,seringkali bukan keluarga secara keseluruhan yang mengaktifkan kerja layar, melainkan layaryang mengolah perhatian individu-individu dalam satu jalinan pola bersama.
30
anak oleh layar, tidak lain ada lah pihak yang ikut ter libat memproduksi,
menikmati dan memanfaatkannya, walaupun dalam konteks yang lebih
“serius” dan alasan -alasan “rasional” lainnya.61
Survey yang dilakukan e-Marketer mengungkap sumber-sumber
informasi yang digunakan orang-orang dewasa di AS untuk memperoleh
ber ita pasca per ist iwa 11 September 2001 memper lihatkan tabel sebaga i
ber ikut62:
GRAFIK 1.1 Sumber informasi primer dan sumber informasi lain yangdigunakan di AS setelah serangan teroris 11 dan 12 September 2001. N= 4.610.
0 20 40 60 80 100 120
Other
Surat Kabar
Bicara dengan orang lain
Internet
Radio
Televisi
SumberPrimer
SemuaSumber
Dar i tabel di atas, televi si tercatat sebaga i sumber informasi primer
maupun sekunder tertinggi (78% dan 97%); sedangkan sumber informasi
yang menduduki per ingkat kedua ada lah rad io, kemudian diikut i oleh
internet dan bicara langsung dengan orang lain menempati pos isi
61Terlibatnya anak-anak secara intens dengan televisi tidak terlepas dari keyakinan orang tuayang positif terhadap televisi. 37,8% orang tua mengaku membebaskan anak-anaknyamenonton televisi, 27,4% hanya sewaktu-waktu membatasi anak-anak menonton televisi, dansekitar 34,8% mengatur anak-anaknya dalam menonton televisi. (Ibid 31., loc cit., hal. 4, kol.3-7.) Dan yang paling penting, hingga saat ini para ahli media hampir-hampir luputmempermasalahkan kecanduan orang dewasa pada televisi dan media-media lainnya.
62Hans-Juergen Bucher, Crisis Comummunication dan internet. Risiko dan kepercayaan dalamsuatu media global, dalam Lukas S Ispandriarno, Thomas Hanitzsch & Martin Loeffelholz(eds.) Media-Militer-Politik. Crisis Communication: Perspektif Indonesia dan Internasional,(Jogjakarta: Galang Press, 2002, hal. 313-314).
31
selanjutnya. Yang menarik ada lah fakta berupa “surat kabar” berada
dalam pos isi yang pal ing akhir dar i daftar informasi di ata s. Hal ini ,
menunjukkan bahwa ver si populer dar i ber ita yang ditawarkan televisi,
rad io, internet dan gos ip dar i mulut ke mulut jauh leb ih diminati dar i
pember itaan yang banyak didominas i tul isan dan analisa ilmiah. Jika
melengkapi data ini dengan data sebelumnya, orang dewasa walaupun
lebih berhat i-hat i menghadap i teknologi baru diband ing anak-anak,
namun mudah menjad i lengah ket ika menghadap i teknologi yang sudah
dijamin mapan dan menjadi tergantung terhadapnya. 63
Selain fakta bahwa teknologi dan budaya pop diterima tanpa
perbedaan batas bai k oleh anak-anak maupun dewasa, dalam wujud
tertentu juga menjad ikan batas-batas yang ada selama ini menjadi
kabur. Konsep Virtual Reality (VR) adalah contoh konsep budaya populer
pal ing signif ikan. Vir tua l Rea lity muncul dalam konteks yang beragam
dan sangat luas: indust ri komputer, mil iter, NASA, penuli s fiksi ilmiah
maupun dalam budaya populer sebaga i pemberontak (counterculture). 64
Berkembang dar i diskursus mar jinal dan spekulati f yang banyak
didominas i fik si ilmiah di sek itar tahun 198465 hingga 1992 (atau bahkan
63 Hal ini memberikan alasan mengapa orang tua begitu mudah membiarkan anak-anakmenonton televisi. Adapun alasan-alannya adalah sebagai berikut: televisi menghibur anak(40%), agar anak-anak betah di rumah (29%), televisi tidak berdampak buruk pada anak-anak(18,3%) dan anak-anak tidak bisa diawasi (10,9%). Dari data itu hampir tidak ada orang tuayang membiarkan anak-anak menonton televisi karena kepercayaannya pada anaknya,pertimbangan membiarkan anak-anak menonton televisi lebih dikarenakan mereka yakintelevisi tidak berbahaya. (Ibid 31 dan 55.)
64Chris Chesher, Colonizing Virtual Reality. Construction of the Discourse of Virtual Reality,1984-1992, online document: http://eserver.org/cultronix/chesher/
65Tahun ini diambil berdasarkan novel William Gibson (1984) yang berjudul Neuromancer, dimana istilah cyberspace pertama kali muncul. Namun Chesher sendiri meragukan pernyataanini, disebabkan bahwa pada 1950 ide serupa telah muncul pada karya Ray Bradbury yangberjudul The Veldt dan The happiness machine. Sebelum VR muncul, banyak tema-tema yang
32
hingga kin i) berubah menjadi diskur sus yang dipaka i oleh mil iter,
pemerintah maupun ilmuwan dalam berbagai dis ipl in kaj ian.
Bagi simpat isan budaya populer, membangun realit as baru di
dalam sebuah layar adalah sebuah bentuk baru dar i cita-cita masa depan
berbas is teknologi .66 Ket ika mengalami kesuli tan merubah rea litas sos ial
jauh dar i opt imis, maka alternati f baru dengan mengkreas i rea lit as baru
tandingan diluncurkan. Para penggagas ini kemudian berharap teknologi
akan menjad i semakin berdaya dan kemudian memaksa para konservat if
merubah persepsi mereka tentang rea litas. 67 Dalam diskursus sepert i
Virtual Rea lity, budaya pop menemukan aksele ras i melalu i teknologi
dalam memperjuangkan kesatuan bumi yang damai.
Hanya saja, “kaum pembelot” gagal mendominasi teknologi
tersebut untuk semata-mata untuk persepsi pribadinya. Ironisnya lag i,
para konservat if yang hendak “di rombak” pik irannya juga menganggap
VR sebagai teknologi yang dapat membantu mil iter untuk tampil leb ih
gagah. Pada 1982, AU Amerika memperkenalkan, Visual ly Coupled
Airborne Systems Simulator (VCASS), fase kedua proyek “kopki t dimana
memili ki resolusi sangat tinggi dan layar vir tua l yang canggih68.
Sedangkan NASA meluncurkan proyek VIVED (Virtua l Environment
mendahuluinya seperti; virtual sex, virtual death, virtual education dan sebagainya. (Ibid.,op. cit.)
66Ibid. Chesher mengangkat kelompok seperti Cyberpunk yang muncul pada era 80-an sebagaicontoh. Sedangkan di tangan Timothy Leary dan teman-teman, VR bersama-sama dengan LSDmenjadi senjata utamakelanjutan pemberontakan kultural yang sudah eksis sejak tahu 60-an.
67Bagian ini akan dibahas lebih lengkap pada Bab II di tulisan ini.
68 Ibid 55.
33
Display) pada tahun 1985.69 Pada perkembangan terakhir, mil iter
Amerika bahkan mengkampanyekan perang di Irak pada tahun 2003
sebaga i tranformasi menuju era perang baru yang leb ih vir tua l dan
elektronis dar i sebelumnya. Sedangkan pemerintah-pemerintah pada
permulaan Abad 21 galak menciptakan jar ingan Super Highways
Information yang berbas is VR.
Oleh karena itu, budaya pop dengan diskursus-diskur sus yang
muncul bukan hanya diadopsi oleh sekelompok generasi pemuda,
melainkan juga berbagai kalangan lain tanpa perbedaan golongan. Bil l
Clinton bermain saksofon di MTV, Tony Bla ir menyebut nama “REM” atau
penyanyi Ann ie Lennox dan “Seal” sebagai favori tnya70, sedangkan Ratu
Elizabeth II membag i perayaan pesta ulang tahunnya di Istana
Buckingham dalam dua perayaan resmi: “Klasik” dan “Populer”. Dalam
kasus lain, mil iter ikut mengambil and il dominan dalam menyebarkan
budaya pop ke wilayah tertentu. Selama okupasi terhadap Jepang 1945-
1952 oleh pasukan Amerika, budaya populer diedarkan ke kha layak
Jepang melalu i rad io mil ik Angkatan Laut Amerika, yai tu Far East
Network (FEN). 71 FEN secara tidak langsung ikut membantu dalam
melahi rkan generasi baru di Jepang, yang dikenal sebagai “J -Pop”
(Japanese Pop Art ).72 Di sin ilah, pantas diragukan pendapat bahwa
69 Ibid.70
Daya Tarik dan Empati Budaya Pop, Kompas [Minggu], 16 Maret 2001, halaman 11.71
Steve McClure, Nippon Pop (Tokyo: Tuttle publishing, 1998).72
Dalam sebuah film yang berjudul Good Morning Vietnam (1987), seorang deejay radio AFRSmilik Angkatan Udara AS di Saigon pada era tahun 1965 bernama Adrian Cronauer membawasusana baru di barak-barak militer AS dengan memyiarkan lagu-lagu populer seperti; rockn’roll, jazz, R&B dan sebagainya. Film tersebut merupakan ejekan sarkastik terhadapperang, namun sekaligus menggambarkan sisi manusiawi tentara Amerika melalui lagu-lagu
34
budaya pop dan teknologi informasi semata merupakan cir i khas dar i
sebuah generasi yang eksklusif . “Fakta -fakta” di atas menunu jukkan
budaya populer merupakan tren yang sudah menjadi mainstream dan
cenderung massal . Budaya populer tidak ha nya kecenderungan yang
diterima satu pihak belaka atau konstruks i yang terbatas pada satu
pendir ian, melainkan mengatasinya semua itu. Budaya populer
merupakan karya dar i era di mana bersamaan dengannya bangkit juga
konstruks i -konstruks i khas teknologi lay ar.
Dar i tit ik sin ilah terbuka bag i untuk mengkaji lebih jauh dengan
mempertanyakan pola -pola yang ber laku antara diskursus -diskursus yang
satu dengan lainnya dan (untuk sementara ini leb ih) dikena l sebaga i
budaya populer dengan mekanisme kerja layar. Sif at massal kolekt if dan
universal antara teknologi layar dan budaya populer adalah sebuah
pertemuan kedua diskursus tersebut, selain “fakta” bahwa layar dalam
berbagai wujud tampaknya merupakan agen progresif dan “alat” promosi
dalam membaptiskan budaya pop uler pada ruang -ruang konsentrasi
perhat ian massa secara imanen. Baik sebaga i diskursus maupun dalam
wujud yang diakui leb ih “fisik” dar ipadanya, menjadi tidak relevan lag i
membahas teknologi layar dar i seg i ekses -ekses pos iti f maupun negati f
dit imbulkan. Sebaga i budaya dengan karakter yang menglobal, tanpa
wujud pasti, memiliki pola adaptasi dan diadopsi oleh populasi yang
kontradiktif , dikotomi tentang pro -kontra berada dalam satu jal inan
metode kerja diskursus.
pop. Budaya pop di sini berperan sebagai kritik sekaligus memberikan wajah manusiawi padamiliter.
35
B. RU MU SA N PE RM AS AL AH AN
Oleh karena itu, bukan per tanyaan bagaimana pengaruh teknologi
informasi dalam masa tertentu terhadap perkembangan budaya populer
yang akan dia jukan penuli s. Bukan juga pertanyaan, apakah wujud-
wujud atau isi budaya populer macam apakah yang muncul pada era
teknologi informasi ; atau fak tor-faktor apa yang ikut menyumbangkan
pengaruhnya dalam membentuk budaya massa berbas is teknologi .
Penuli s juga tidak akan mengamati teknologi maupun budaya populer
sebaga i fenomena kul tural, sos ial dan psikologi s dalam pengertian
sebaga i satuan-satuan konstruks i yang terpilah-pilah secara eksak namun
sal ing ber interaksi . Dengan demikian, penuli s menghindari diri dar i
pos isi ter jebak pada penggo longan semena -mena antara faktor-faktor
khusus dan sampingan, atau antara suatu faktor -faktor dominan dan
faktor -faktor marjinal.
Dengan memperhat ikan karakter diskursus universal yang muncul
pada layar dan budaya pop, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak
relevan. Sebaliknya baik budaya populer maupun layar, keduanya ada lah
diskur sus tanpa kejelasan batasan konseptual namun memili ki ekses
yang dapat diobservasi melalu i pola-pola massal yang bekerja di alam
tak-sadar yang muncul dalam diskursus -diskur sus, program layar maupun
kebijakan ins titusiona l. Dalam hal ini tidak ada cir i tampak lain yang
dapat diamati dan dideskrip sikan dalam satu klasif ikasi wujud-wujud
yang pas ti dan tetap, melainkan dihadapan hanya ada suatu pola-pola
yang secara spesif ik dalam situas i yang lokal sifatnya. Budaya populer
36
maupun layar memlik i karakteri stik akt if, berubah-rubah, tidak menetap
dan selalu muncul dengan inovas i baru yang tak terduga.73 Pada tahap
ini , mengharapkan sebuah kategori dan def ini si yang eksak dapat
menjebak analisa pada inferensi kabur dan mengada-ada tentang sebuah
art ifak berhala yang diberi nama “teknolog i layar” 74.
Dengan demikian, dalam menyikapi keadaan ini per lu dirumuskan
pertanyaan-pertanyaan yang leb ih koheren. Secara umum, muncul
pertanyaan; Bagaimana metode ker ja teknolog i layar memproduksi
kesadaran -kesadaran subyek dalam satu arus global dan massal?
Sedangkan sebaga i suatu pola-pola ket idaksadaran kolekt if, bagaimana
kerja teknologi layar muncul di permukaan sebaga i sebuah arus massal
yang secara samar-samar dapat diamat i, namun tidak memiliki
karakteri sti k fis ik yang “nyata” dan “eksak”?
Lebih spesifi k, pertanyaan yang diajukan antara lain; pola -pola
apa yang menjad i sentral dalam diskursus -diskursus yang muncul ?
Bagaimana peran diskursus tersebut muncul dalam tit ik -tit ik lokal itas
73 Karena itu metode penulisan diskursif dipilih sebagai cara yang sesuai untuk mengejarperubahan-perubahan aktif tersebut.
74“Teknologi layar” tidak mengacu pada sebuah obyek fisik yang tetap dan terikat secara padahanya sebuah keberadaan waktu lokal dan ruang lokal yang spesifik. “Teknologi layar” adalahsebuah metonim (Inggris. Metonymy, berasal dari bahasa Yunani. Meta, “menyeberangi” danonoma, “nama”) bagi konstruksi teknologi massal yang bekerja dengan memproduksi fokustanpa memberikan sebuah fisik yang seragam pada massa. Karena itu sifatnya globalsekaligus hadir dalam berbagai lokalitas yang plural. Kata “teknologi” dan “layar” sendiriadalah sebuah petanda dari sebuah penanda, yaitu mekanisme kerjanya yang diharapkanakan dideskrpsikan melalui kajian ini. Dia merupakan istilah yang diduga memiliki mekanismesama sekaligus juga merupakan “pusat lokal” dari mekanisme yang bekerja sebagai kesatuanglobal. Ketimbang obyek riil, “teknologi layar” merupakan sebuah diskursus dan istilah yangdigunakan penulis untuk menamai model yang akan dibangun oleh penulis. Sifat dari istilah“teknologi layar” tidak merupakan deskripsi belaka dari sederetan definisi tunggal ataupunjamak, melainkan merupakan istilah teknis yang analitis fungsional sifatnya. Halmanaketerangan serupa juga diberikan untuk istilah seperti “teknologi global” yang digunakanterus secara berpasangan sepanjang kajian berikut ini. Penjelasan lebih jauh, baca Bab II danlihat juga subjudul “Teknologi Layar dan Pengamatan Visual” pada Bab III.
37
yang jamak dan beragam ser ta membentuk cir i psikologi s masyarakat
kontemporer? Termasuk dalam pertanyaan ini adalah, bagaimana teknik-
teknik layar mulai diterima sebagai strategi yang relevan untuk
memfungsikan mekani sme sejajar lainnya, yaitu teknologi global ?
Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menarik suatu gar is ruang dan
waktu pasti, namun leb ih berkonsentrasi pada penelusuran antara even
lokali tas yang satu dengan even lokali tas lainnya dalam per iod isasi yang
berperan melahi rkan modifi kas i diskur sus di sek itar ideologi
“kebahagiaan”, “keber samaan” dan “perdamaian” di mana muncul
dalam tema-tema budaya layar atau pop. Selanjutnya, per lu
dipertanyakan juga bagaimana teknologi layar dan global hadir sebaga i
mekani sme yang dia lami sebaga i satu kesatuan dalam wujud semesta di
dalam layar dan dalam keseharian sebaga i kehadiran sejajar dengan
teknologi global?
Dan pada akh ir tul isan, akan dijawab juga bagaimana relevansi
tul isan ini bag i keadaan sos iopoli tik di Indonesia dan keb ijakan
Internasiona l, terutama pertanyaan yang akan dijawab adalah dengan
ragam strategi apa saja mekani sme teknologi layar dan teknologi global
diterapkan melalu i diskursus kekuasaan yang dikaji melalu i ana lis is
terhadap tar ik ulur antard iskursus seh ingga melahi rkan ins titusi ?
38
C. TU JU AN
Dengan demikian, peneli tian ini bertujuan mengkonst ruksi sebuah model
yang mendeskripsikan strategi dan cara kerja teknologi layar serta
teknologi global dalam memproduksi diskur sus, relasi , ins titusi
pendukung maupun perilaku-per ilaku yang berperan sebaga i seperangkat
mekani sme. Model ter sebut tidak akan menjadi “pedoman yang benar”
tentang suatu “si tuasi kin i”, karena model yang dibangun tidak akan
dipaka i sebaga i alat interpretati f bagi seluruh fenomena-fenomena yang
berkai tan dengan teknologi layar dan global sebaga i pengalaman
keseharian. Oleh karena itu bukan lah tugas dar i model yang dikonstruksi
untuk mencar i “kebenaran”, atau mengungkapkan relasi antara dua dan
lebih var iabel, atau menyingkap “fakta -fakta” tersembunyi, maupun
mendeskripsikan sebuah “kebenaran” terselubung di tengah “kesesatan”
rimba var iabel -var iabel.
Tujuan dar i model adalah menyiapkan konstruks i yang
member ikan gambaran bagaimana teknologi layar berfungsi secara
strategis dalam membangun formas i dis kursus sebaga i teknik yang
searah dengan teknologi global. Dengan demikian, model akan berguna
member ikan kerangka paradigmatik bagi penyel idikan mengenai pola-
pola masyarakat kontemporer sebaga i jal inan mekani sme sejalur antara
teknologi layar dan teknologi global.
Selain itu, dengan mengkontruks i model masyarakat teknologi s
yang muncul kita bisa mendeteks i pola-pola serupa yang had ir pada
“artifak-art ifak” budaya kontemporer lain yang muncul , tanpa harus
39
melakukan genera lis ir. Pendeteks ian, tidak mencerminan sifat “ri il” dar i
model, sebaliknya merupakan kesempatan untuk menguj i seberapa jauh
model bisa difungsikan secara strategis dan teknis . Di sin i model
tersebut sekaligus ada lah hipotesis yang memili ki karakter tes tability
dan fal sib ili ty . Dengan demikian konstruks i model yang berhas il
dih impun di tul isan ini bukan kes impulan akhir dan tuntas dar i per soalan
yang dikaji . Model akan terus berkembang dan berubah dar i
perkembangan waktu ke waktu. Apa yang dijadikan sebagai “Bab
tentang Kes impulan” dalam tul isan ini tidak memili ki art i kes impulan
dalam penger tian penarikan kongklusi yang terangkum secara jelas dan
menetap dalam satu atau beberapa rumusan eksak, melainkan sifatnya
temporal dan hanya member ikan masukan tahapan terhadap keseluruhan
kaj ian. Deskripsi tentang model yang menjelaskan cara bekerja
teknologi layar dan teknologi global tidak dapat hanya dipero leh dalam
kesimpulan, melainkan berada secara integral dan global dalam
keseluruhan narasi . Kes impulan untuk suatu “rangkuman” atas semua
diskus i yang dapat berdir i secara mandir i, melainkan hanya merupakan
bagian dar i jal inan integral termaksud.
Dengan demikian, model yang akan dikonstruksi juga bertujuan
sebaga i riset awal bagi riset-riset ber iku tnya yang semakin ter lokal isi r.
Set iap pengkajian lanjutan yang akan dilakukan atas dasar konstruks i
tersebut, bisa jadi semakin “membenarkan” ataupun “menolak” model,
terutama model yang dikonstruksi sifatnya temporal dan tergantung
sekali pada perubahan situas i dan keadaan.
40
D. MA NF AA T
Sebuah kontruksi model, maupun dekontruksi atas sebuah diskursus yang
dilempar ke publik dalam bentuk teks maupun lisan set idaknya dapat
mempengaruhi kesadaran publik atas “reali tas”. Mas ih dalam kerangka
pandangan penuli s, “reali tas” ada lah kontruksi diskur sus yang ada,
bukan sebaga i jawaban akh ir dar i tiap solusi . 75 Sebaga i rai son d’être,
sebuah diskursus tidak bisa dib iarkan terkil ir sepert i halnya
permasalahan modernisme tentang “reali tas”.
Karena itu, dalam menggali kerja sebuah diskursus pun per lu
diperhatikan bahwa yang dilakukan bukan sekedar menciptakan
alternatif baru dalam berpik ir. Namun leb ih dar i itu, pengga lian atas
metode kerja sebuah diskursus juga berart i penyusunan “reali tas” dalam
sebuah konstruks i. Tidak berart i konstruks i baru itu selalu ber lawanan
atau membongkar dengan ideologi, mitos maupun diskursus sebelumnya.
Dengan demikian persoa lan mengenai mekanisme kerja diskursus
teknologi layar dalam melahi rkan massa global bisa didekati dengan
sebuah cara berpik ir yang membuka lebih banyak kemungkinan dar i
sebelumnya. Diharapkan dengan mengungkap masalah ini , pendekatan
terhadap masyarakat populer global di mana ter tutup atau bersifat
pemisahan secara esensi dar i persoa lan leb ih “serius” lainnya dapat
dih indarkan pada masa yang akan datang.
75 Mengenai paradigma tentang realitas, lihat pada pembahasan soal paradigma di Bab II.
41
Selain itu, untuk Mahasi swa calon Ilmuan Psikologi , Ilmuan
Psikologi dan Psikolog Indonesia , terutama Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya, pengangkatan top ik dan metode yang dipaka i dalam tul isan ini
masih tergolong sesuatu yang baru. Selain kelak tentunya bermanfaat
sebaga i referansi maupun litera tur bandingan dar i metode sebelumnya,
walaupun tidak bisa dijadikan sebaga i con toh skr ips i yang sempurna,
tul isan ini menawarkan alternatif baru dalam kaj ian psikologi terutama
dalam perspektif lin tas dis ipl in dan lintas kultural dengan pendekatan
gabungan (fenomenolog i dan analis is diskursus). Dan ter leb ih la gi, bag i
mereka yang merasa terbatasi ide dan kreatifitasnya oleh sejumlah
aturan ortodoks dalam riset, metode dalam tul isan ini disarankan.
Sedangkan, untuk penuli s sendir i, tul isan ini merupakan
penumpahan ide dan konseptualnya tentang metode yang selam a ini
belum sempat dituangkan secara tertul is. Dan apa yang dituli s di sin i
adalah hanya merupakan studi awal bag i serangkaian riset -riset ber ikut
nya tentang mekani sme teknologi layar dan global yang telah
direncanakan penuli s.
E. SI ST EM AT IK A TE KS
Tul isan ini dibagi menjadi enam bag ian dengan tema sentra lnya
membahas tentang bagaimana fokus diorganis ir oleh teknologi layar dan
global . Bag ian pertama tul isan ini , sepert i yang telah diikut i di atas
menyorot pada pola-pola khas yang tampak pada permukaan secara
42
kultural. Pada bag ian ini , kehadiran teknologi layar dan global teramati
sebaga i sebuah gejala massal yang tidak memili ki ikatan fis ik, namun
hadir sebaga i sekumpulan pola-pola yang teknik -teknik konstruks inya
masih menjad i tanda tanya. Sementara , sebelum meneruskan kaj ian
hingga pokok per soalan, pada bagian dua, akan dis inggung seperlunya
permasalahan paradigma dan metode yang digunakan pada penuli san ini
untuk menggali informasi-informasi yang berserakan. Dalam hal ini ,
penuli s akan merekomendas ikan suatu metode ana lisa yang sebenarnya
sudah dikena l cukup lama, namun mas ih kurang akrab untuk penuli san
skr ips i ilmiah.
Sedangkan pada bag ian ket iga dikaji juga teori -teori yang muncul
sebaga i produsen diskur sus dalam suatu rentang waktu tertentu. Bagian
ini juga akan menjelaskan pergeseran diskursus teknologi layar dan
global yang terjad i dar i abad revolusi indust ri hingga era cyberculture
yang diwarnai sejumlah teorikus populer. Selanjutnya, sebagai kaj ian
mikro, disamping ana lis is diskur sus makro yang telah mendahulu inya,
pada bagian keempat penuli s menggunakan Teletubbies 76 sebaga i
konsentrasi ana lis is. Pada bag ian ini , teknologi layar tidak sekedar hadir
dalam kaj ian diskur sus yang menggloba l, tetapi hadir sebaga i
pengalaman empirik dalam tradis i populer, sepert i sebuah acara
televi si. Kes impulan pada bab ini semakin menjelaskan formasi
diskur sus -diskursus yang telah dikaji sebelumnya, selain member ikan
pijakan konseptual untuk bag ian selanjutnya. 77
76 Ulasan ringkas pendahuluan tentang Teletubbies dan karakternya sebagai budaya populerbisa diikuti oleh pembaca pada bagian awal dari Bab IV.
77 Untuk kejelasan lihat bagan 1.1 di atas.
43
BAGAN 1.1 Perbandingan sistematika isi dengan fungsi tekstual dilengkapidengan keterangan urutan formal di tabel kanan.
Pada bag ian “Refleksi ” (Bab V), teknologi layar dan global bukan
lag i sekedar struktura l sifatnya, melainkan hadir dalam wujud regulasi
dan normal isasi yang dijalankan oleh ins titusi-ins titusi yang
memberdayakan dan membudidaya sebuah sistem emansipas i massal .
Teknologi layar dan teknologi global berada dalam sela-sela jal inan
institusi dan member ikan peran-peran pada mas ing -mas ing satuan -
satuan interaksi di antaranya. Dan, sebaga i pijakan ke bab penutup
bagian ini menjelaskan teknik layar dan global menyatukan kontradiksi-
kontradiksi yang ada ke dalam suatu gaya hidup ber sama yang natura l.
Sedangkan untuk Bab VI yang merupakan “Penutup”, fungsi dar i
kes impulan tidak berdir i secara mandi ri dan lengkap member ikan
44
deskripsi lengkap tentang model yang dikonstruksi sepert i yang laz im
dipahami pada pola penuli san skr ips i umumnya. Sebaliknya model yang
sepert i dimaksud pada bagian “Tujuan” di atas, hanya dapat diikut i
secara penuh melalu i keseluruhan dar i teks yang ada. Dengan demikian
kes impulan tidak terjebak pada gerali sas i konsep yang meniadakan sifat
lokali tas dar i diskur sus -diskur sus yang dikaji .
Oleh karena itu, tul isan ini tidak hanya berfokus pada
pembahasan satu diskur sus secara spesif ik sebaga i uni t yang tungga l dan
berdir i sendir i, melainkan terdir i dar i ura ian beberapa diskur sus yang
dibahas bersamaan dalam tatanan arus permasalahan. Dar ipada narasi
yang teratur ura ian antara diskursus yang satu dengan lainnya bersifat
diskur sif .78 Diskursus-diskursus ini merupakan konstruks i penanda sejajar
yang dianal isa untuk memperoleh gambaran mekani sme kerja yang
ber laku pada teknologi layar dan global . Aturan yang sama juga ber laku
untuk hubungan antara Bab yang satu dengan Bab lainnya. Tidak ada
satupun bab dar i tul isan ini merupakan suatu narasi yang mandir i. Relasi
antara teks yang satu dengan lainnya terjal in dalam satu arus diskursif .
Beg itu juga konsep ini ber laku juga untuk catatan kak i dan badan teks
secara umum. catatan kaki bukan sekadar “pe lengkap” bagi badan teks,
namun badan teks juga ser ingkal i menjalani fungsi “pe lengkap” bagi
catatan kak i. Baik badan teks maupun catatan kak i ada lah “saling
melengkap i” dan “di lengkapi”. Dengan demikian catatan kak i bukan lag i
suatu bag ian yang marj inal atau sebaliknya. Pentingnya catatan kak i
78Dalam Kamus Webster (lihat catatan kaki no. 88), diskursif atau discursive (Inggris)didefinisikan sebagai: “[1] wandering from one topic to another, skimming over manyapparently unconnected subjects; rambling; desultory, digressive. [2] based on the concioususe of reasoning rather than intuition.”
45
dalam tul isan ini sama berpengaruhnya dengan badan teks terhadap
gambaran yang akan dikonstruksi sepanjang kaj ian.
Karena alasan di atas, walaupun menggunakan sis tematika urutan
judul bag ian klasikal seperti; “Pendahuluan”, “Kajian Teori”,
“Pembahasan”, “Penutup” dan sebaga inya, tul isan ini memiliki
sistematika yang cenderung sinkronis di mana antara satu Bab dengan
lainnya sal ing mendef ini sikan, ket imbang diakronis di mana
menggambarkan Bab yang satu dengan lainnya sebaga i bag ian yang
terpisah secara mandir i dalam urutan prosedura l metodi s. Dengan
pendekatan sinkronis , antara Bab satu dengan lainnya tidak ber langsung
dalam alur waktu yang runtut dan berjalan kontinu dan sebab-akibat ,
melainkan merupakan lap isan-lap isan dis kursus sejajar yang sal ing
menguatkan dan mendef inisikan satu sama lainnya. Dalam hal ini , Michel
Foucault pernah menuli s:
“Jadi, harus membicarakan peningkatan wacana itu bukan hanyadalam aspek perluasan; lebih baik melihat di dalamnya suatupemencaran dari bidang-bidang yang menghasilkan wacana-wacana itu,suatu diversifikasi bentuk bidang berikut pertumbuhan jaringan rumityang mengaitkan bidang-bidang itu.”79
Dalam hal ini , kaj ian tentang Teletubbies walaupun diletakkan di
bawah sub-judul “Pembahasan” bukan satu-satunya top ik sentra l yang
dikaji secara eksklusif . Beg itu juga “budaya pop”, “teknolog i layar” dan
“teknolog i global” bukan var iabel-var iabel diskri t dan terpilah sebaga i
obyek-obyek dalam sebuah korelasional . Hal ini ber laku juga untuk
79 Michel Foucault, Seks & Kekuasaan. Sejarah Seksualitas (Jakarta: Penerbit PT GramediaPustaka Utama, 1997), hal. 39.
46
diskur sus -diskursus lain, sepert i; world bra in , global brain,
“globalisasi”, dan vir tual rea lity. Tul isan ini tidak ber tujuan membahas
diskur sus -diskursus tersebut sebaga i satuan unit yang mandir i dengan
segala kekhususannya. Sebaliknya, diskursus-diskursus tersebut sal ing
berelasi secara uni latera l sebaga i formasi yang menggerakkan
mekani sme kerja mes in layar. Selanjutnya, teknologi global 80 merupakan
sebuah totali tas “kesadaran sekunder” yang merangkul semua formasi
tersebut sebaga i uni tas , sekaligus juga ada lah bag ian dar i relasi dalam
formasi tersebut (lihat bagan 1.2).
BAGAN 1.2 Formasi antara diskursus-diskursus dalam kesejajaran dengan“teknologi layar” dan “teknologi global” sebagai pola yang dibentuk.
Melalu i bagan ini , pembahasan pada bag ian Pendahuluan ditutup
dengan melanjutkan kaj ian pada bag ian ber ikutnya. Ter lebih dahulu
80 Untuk penggunaan istilah ‘teknologi global’ baca catatan kaki no. 69 dan Bab III.
47
akan dikaji kerangka filosofis paradigmatik dan metodik yang
bermanfaat sebaga i pengetahuan untuk memahami pembahasan-
pembahasan selanjutnya. Sebaga i kerangka utama, bag ian ini akan dii si
dengan perdebatan tentang “reali tas” fik si dan nonfik si yang akan
banyak mewarnai diskus i pada bag ian leb ih lanjut tul isan ini .
48
BAB II
PARADIGM A DAN METO DE
A. PA RA DI GM A DA N KE RA NG KA AN AL IS IS
1. Antara “fiks i” dan “non-f iks i”
Wenshi bufen [sastra dan sejarah tidak terpisahkan] ada lah sebuah
idiom tua dalam masyarakat Cina81. Maksudnya, dalam dunia
kesusasteraan Cina terdapat kesepadanan antara fik si dan his tor iograf i.
Karena itu tidak heran banyak penyai r Cina juga memili ki kesadaran
sejarah. Kejayaan dan keruntuhan dinast i-dinast i di Cina ser ing
disadurkan dalam karakteri stik fenomena alam82. Kontradiksinya, pada
pemahaman sastra “barat” kontemporer, fik si dan his tor iograf i adalah
dua bentuk diskur sus berbeda, mal ahan ber lawanan.
Histor iograf i ser ingkal i dikaitkan dengan sejumlah fak ta di mana
masalah sepert i val idi tas dan rel iab ili tas menjadi syarat mutlak untuk
dipenuhi. Pengandaian adanya sebuah dun ia obyekt if yang rii l dan
81 Iwan Fridolin, Cendekiawan & Sejarah Tradisi Kesusastraan Cina (Depok: Fakultas SastraUniversitas Indonesia, 1998), hal. 70.
82 Untuk jelasnya ikuti kutipan dari Shichi (The Record of Historian) karya Ssuma Ch’ien tentangawal berdirinya Dinasti Han [207 SM - 9 M] berikut ini; “Ketika Chang Ts’ang menjadi menteriperhitungan ia mulai menyusun kerja dan meralat kelender serta kunci nada yang sampaisaat itu telah diabaikan. Sejak kan-Tsu pertama kali mencapai Pa-Shang dalam bulan ke-10,ia melanjutkan praktek Ch’in kuno untuk memulai tahun baru di bulan ke-10 dan tidakmembuat perubahan. Menghitung putaran Lima Elemen [Wu Hsing], Chang Ts’angmemutuskan bahwa Han berhubungan dengan periode yang didominasi oleh elemen Air dankarenanya mendapat kehormatan warna hitam, warna air.” ( Dikutip oleh Andrey Ming dalamT’ung Shu. Almanak Cina Kuno (Jakarta: Abdi Tanur, 2000).
49
teramati sebaga i pemicu awal dar i dis iplin ini . Sedangkan, dun ia sastra
fiksi diasos ias ikan dengan subyektiv itas yang imajinati f. Yang per tama,
disebut sebaga i “nonfiksi” dengan penekanan pada kekuatan “reali tas”.
Sedangkan yang terakh ir ada lah “fiksi”, di mana ser ing dikaitkan dengan
cir i denotatum, yai tu “rekaan”.
Aart van Zoest, seorang ahl i semiot ika Belanda, mengakui sul it
membedakan antara fiksi dan nonfik si. 83 Walaupun demikian, tetap
menganggap pembauran di antaranya sebaiknya tidak terjad i. Bil a fik si
dianggap nonfik si, dapat mengak ibatkan manipulas i atas kesadaran
terhadap sebuah rea litas. Zoest menganggap bahwa mitologi dan
ideologi tidak dapat digunakan sebaga i sebaga i unsur struktur dar i suatu
kenyataan. Singkatnya bagi Zoest, “Dunia bukan teks, dan teks bukan
dunia.”84
Pendapat Zoest ber seberangan dengan sejumlah semiolog 85
lainnya yang menganggap bahwa realitas dun ia didominas i oleh teks dan
diskur sus. Namun Zoest tidak sendir i, sebab umumnya sejumlah
penganut sains pos iti vis dan semiot ika ---yang dipengaruhi Charles
83Aart van Zoest, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotika (Jakarta: Intermasa, cet. 2, 1991,hal.1).
84Ibid., hal. 67
85“Semiologi” berasal dari bahasa Yunani semeîonn, “tanda”, yang berarti “ilmu tentang
tanda-tanda”. Begitu juga berlaku untuk “semiotika”. Antara semiologi dan semiotika tidakada perbedaan etimologi yang penting. Namun, perbedaan digunakan untuk merujuk padadua aliran teori yang sangat bertolak belakang. Semiologi merujuk pada “ilmu tentangtanda” milik Ferdinand de Saussure. Sedangkan, semiotika biasanya berlaku untuk teori yangdipelopori Charles Sander Pierces. Hal ini dijelaskan oleh Panuti Sudirman dan Aart van Zoestdalam Serba-Serbi Semiotika (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1996).
50
Sanders Peirce [1839-1914] --- tetap menarik gar is yang keras antara
“fiksi” dan “nonfiksi” atau “tidak nyata” dan “nyata”86.
Masalahnya, sejauh mana kadar fiksi dan nonfiksi suatu
pengalaman bisa dibedakan dengan jernih tanpa dis torsi? Sebaga i contoh
di atas kita telah memberikan contoh dalam dunia kesusasteraan Cina
yang bebas dar i pembedaan fiksi dan nonfiksi. Apakah hal semacam ini
hanya ber laku di dunia sas tra Cina saja? Bagaimana dengan sastra
[posit ivi s] “barat” yang diklaim bebas dar i manipu las i pembauran fiksi
dan nonfiksi? Lantas, adakah fiksi dan nonfiksi yang berdir i sendir i -
sendir i sebaga i sebuah entitas yang mandir i?
2. “Re alitas” seb aga i diskursus
Perdebatan tentang fiksi dan nonfik si tidak bisa lepas dar i permasalahan
lain yang mendasarinya, sepert i soal “rea litas”. Ist ilah kata “reali tas”
diadopsi dar i bahasa Inggri s: reality, yang kata dasarnya ada lah real.
Dalam kamus Oxford 87, real didefinis ikan sebagai “exi sting in fact; not
imagined or supposed; not made up or art ifi cial”. Webster”s New World
Dictionary88 memaknainya sebaga i “exi sting or happening as or in fact;
actual ; true; object ive ly so etc .” Sedangkan ist ilah fact yang dipaka i
86 Dalam Kasus ini, Pierce (Berger, 2000) membedakan antara Ikon, Indeks dan Simbol.Pembedaan itu didasarkan pada pandangan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan obyek-obyek yang menyerupainya (Ikon), hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda (Indeks) ataukarena ikatan konvensional (simbol). Klasifikasi tanda-tanda Pierce hanya bisa dibangunapabila peran “subyek” yang terpisah dari “obyek” diperhitungkan.
87A.S. Hornby, E. V. Gatenby and H. Wakefield, The advanced Learner’s Dictionary of CurrentEnglish (London: Oxford University Press, Second Edition, 1963).
88Victoria Neufeldt and David B. Guralink, Webster’s New World Dictionary (New York:Prentice Hall, Third College Edition, 1991).
51
untuk mendef ins ikan real, dimaknai oleh kamus Oxford sebaga i “[1] that
has happened or been done. [2] known to be true or accepted as true.
[3] reality; what is true; what exists .” 89 Bersamaan dengan itu, ist ilah
true yang digunakan def inisi ini dia rti kan sebaga i “ in accordance or
agreement with fact”90.
Presentas i singkat melalui serangkaian def ini si kata real di atas 91
berusaha menjelaskan bahwa kata ter sebut tidak lepas dar i kerancuan.
Melalu i penelusuran ini , kita menemukan dua kata lainnya yang muncul
kemudian sebaga i “subti tus i”, yai tu fact dan true. Padaha l fact sendir i
bahkan didefinis ikan ulang sebaga i reality atau dengan demikian terjad i
def ini si timbal bal ik. Hal yang sama dengan kata true dipaka i untuk
mendef ini sikan fact, sementara juga didefinikan oleh fact. Antara real,
fact dan true ber sifat sal ing mendef ini sikan. Atau kita bisa mengatakan
bahwa, untuk mendef inisikan kata real ternyata digunakan ist ilah lain
yang ternyata sejajar dengan kata sebelumnya serta didefinis ikan oleh
kata yang mendef ini sikan.
Padaha l, fungsi def ini si ada lah membatasi [def ini re.Latin ] sebuah
konsep. Def ini si adalah manifestasi log is makna suatu kata atau ide 92.
Dalam def ini si ditegaskan pembagian dan penggolongan harus benar -
benar memisahkan satu konsep dar i konsep lainnya. Dengan kata lain,
89 Ibid 87., op. cit.90
Ibid.91
Telaah ini pernah disampaikan oleh DR. Edy Suhardono dalam sebuah kelas kuliah PsikologiPolitik Universitas Surabaya di depan penulis. Namun, penjelasan pada kajian ini banyakdipersingkatdari yang pernah dikaji oleh Edy Suhardono tanpa mengulangi isi yang ingindisampaikan.
92FR. Manuel T Pinon, O.P., Ph.D., Fundamental Logic (Manila: Faculty of Phylosophy,University of Santo Thomas, 1973), hal. 65.
52
bagian satu tak boleh memuat bagian yang lain. 93 Syarat ini tidak
terpenuhi oleh def ini si kata real. Ditambah dengan penjelasan di atas,
kita bisa menyimpulkan bahwa belum pernah ada def ini si yang memadai
untuk menjelaskan konsep real.94 Sedangkan def ini si yang ditawarkan
hanya bersifat tautologis semata. Kalau hanya untuk mendef inisikan
“reali tas” saja tidak ada konsep yang memadai, mungkinkah antara fik si
dan nonfik si dapat dibedakan secara tegas? Bahkan, dalam masalah ini
juga dipertanyakan, sebatas apakah eks istens i “reali tas”? Jika,
“reali tas” sendir i ada lah sebuah ide yang didapat dibatasi dengan
maksimal, lalu adakah lag i sebuah “reali tas” yang par excellence?95
Sedangkan dar i sudut etymologi , kata real berasa l dar i res
(Latin.), yang secara harafiah sama dengan thing. Def ini si kata thing
sendir i dalam kamus Webster tidak kalah rumitnya dengan real. Mel iputi
kategori yang luas, antara lain:
93Irving M. Copi, Introduction to Logic (New York: Collier MacMillan International Editions, fifthedition, 1978), hal. 154-158.
94 Hal mana berlaku juga untuk konsep seperti virtual reality, tandingan bagi konsep realitaskonservatif. Dalam virtual reality, realitas diproduksi dan dialami oleh subyek sebagaipengalaman setara dengan realitas keseharian. Karena itu seringkali, virtual reality dianggapsebagai realitas yang paradoksal. Walaupun demikian, virtual reality juga membukakesempatan untuk mempertanyakan realitas transenden yang diakui ada, apakah dalammemproduksi realitas obyektif subyek ikut memberikan nuansa bagi suatu pengakuan sesuatu“di luar” dirinya?
95 Mengenai definisi tentang real yang lebih pragmatis bisa kita ikuti pada deskripsi yang dibuatseorang penulis berikut ini: “Dalam kehidupan nyata, alat penhisap debu membunuh labah-labah. Kalau menyeberang di lalu lintas ramai tanpa memperhatikan jalan, kau akan ditabrakmobil. Kalau kau jatuh dari pohon, beberapa tulangmu akan patah.” Sedangkan dalam bukucerita yang “tidak nyata”: “...para pahlawannya bisa melakukan kesalahan sebanyak yangmereka inginkan. Tidak masalah apa yang mereka lakukan, karena di akhir cerita semua akanberes.” Lihat: Darren Shan, Cirque du Freak. Mimpi buruk jadi kenyataan... (Jakarta:Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 9-10. Pembedaan ini hanya berdasarkanpada “resiko” yang ditanggung oleh tokoh, dan menutup kemungkinan dari kisah fiktif yangdalam perancangannya se-“riil” mungkin dengan menyertakan resiko-resiko yang dianggaphanya ada pada karya nonfiktif. Sulit membedakan antara fiksi dan nonfiksi, tanpa suatupernyataan eksplisit dari penulis sendiri. Kekaburan fiksi dan nonfiksi juga bisa terjadi padasuatu karya yang sengaja direkayasa untuk tujuan tertentu seperti layaknya yang terjadidalam politik dan penyusunan sejarah untuk kepentingan sebuah rezim.
53
“[1] any matter, circumstance, affair, or concern [2] that which isdone, has been done, or is to be done; happening, act, deed, incident,event, etc. [3] that which constitutes and end to be achieved, a step ina process, etc. [4] anything conceived of to be reffered to as existingas and individual, distinguishable entity [...] [5] a) personal belongings;also, clothes or clothing b) dress, garment, etc. [6] articles, devices,etc. use for some purporse [7] a person: used in expression ofaffection, pity, contempt, etc. [8] a being, object, or concept theexact term for which is not known or recalled or is avoided, as fromdisdain [9] a point of contention; issue [...]”96
Pada def ini si per tama dan kedua, thing sejajar dengan def ini si
real, yai tu sebaga i “segala sesuatu yang benar-benar terjad i”, dalam
wujud per ist iwa, aks i, kejadian dan sebaga inya. Pada def ini si ket iga,
ditekankan karakter dar i thing sebaga i ent itas yang mandir i. Melengkap i
penjelasan tersebut, pada def ini si ke empat thing merupakan sebuah
ent itas yang dip ilah-pilah sebaga i satuan-satuan tungga l sebaga i
“obyek -obyek” yang “tidak bergerak”(lihat juga catatan kak i no. 96) .
Kontradiksinya, sebaga i “obyek -obyek” terpilah satu sama lain, thing
mengandaikan kehadi ran subyek di dalamnya: “the object or concept
referred to or represent by aword, a symbol , or sign; referent”. Di sin i,
thing dapat berart i sebaga i sebuah “obyek” sekaligus “konsep”.
Pembauran ini diperkuat kembal i pada def inisi keenam, ketujuh dan
kedelapan di mana kehadiran sifat “subyek” had ir juga dalam thing.
Pada def ini si kesembilan, thing bahkan hanya diarti kan sebagai sebuah
“isu” atau “is i” dar i sebuah pembicaraan. Dan pada def ini si kedelapan,
96Ibid 88., op. cit. Lihat item thing. Untuk spesifikasi definisi [4] antara lain diartikan sebagaiberikut: “a) any single entity distinguished from all others. b) a tangible object, asdistinghuised from a concept, quality, etc. c) an inanimate object. d) an item, detail, etc.e) the object or concept referred to or represent by aword, a symbol, or sign; referent. f)an object of thougth; idea.”
54
thing tidak lain merupakan sejajar dengan pengert ian “defin isi”, yai tu
berfungsi melakukan pembatasan dengan asumsi bahwa apapun yang
dibatasi tidak akan sal ing tumpah tindih satu sama lain. Jika demikian,
maka “pembatasan” yang awalnya untuk menciptakan suatu ketetapan
antara “konsep” dan “obyek”, juga merupakan fungsi dar i “konsep” dan
obyek” itu sendir i. Dalam hal ini , penulis tidak menemukan adanya
suatu ketetapan transenden yang berdir i memisahkan “keberadaan”
sebaga i sesuatu yang berada di luar “subyek”. Lantas adakah di sin i
suatu “obyek” atau “subyek” yang terpisah secara eksak?
3. Fenomenologi “re alitas”: la hirnya “subye k” dan “obye k”
Salah satu ist ilah yang sempat mencuat di atas namun belum sempat
dibahas adalah: object ively atau object ive 97. Disamping rea l, konsep ini
juga penting dalam membahas permasalahan fik si dan nonfik si.
Obyekt ivi tas ser ing menjadi ukuran untuk membedakan antara fik si dan
nonfik si. Semakin tinggi nilai obyekt ivi tas suatu karya dianggap semakin
rendah pula kadar fik si di dalamnya.
Untuk diskus i leb ih jauh, ada baiknya kita menengok kembal i
kamus Webster, def ini si yang diajukan untuk object ive ada lah,
“[1] of or having to do with a known or perceived object asdistinguished from something existing only in the mind of the subject,or person thinking. [2] being or regarded as being, independent of themind; real; actual. [3] determined by and emphasizing the features and
97 Lihat halaman 50, baris kalimat paling bawah.
55
characteristics of the object, or thing dealt with, rather than thoughtsand feelings of the artist, writer, or speaker [..]” 98
Dar i def inisi di ata s, ditari k kes impulan bahwa obyekt ivi tas hanya
mungkin muncul apabila ada pemisahan tegas antara “subyek” sebaga i
kehadiran -dalam-pik iran (mind) dan “obyek” sebagai kehadiran -di -luar-
pik iran (li hat def ini si pertama). Kedua, obyekt ivi tas mengandaikan
adanya obyek yang berdir i sendir i dan mendeterminasi keberadaan
subyek serta dibedakan dengan subyek yang menjadi determinasi obyek
(defin isi ket iga). Namun, obyekt ivi tas mengandaikan kehadiran subyek
perseptif yang netral untuk menerima keberadaannya (defin isi kedua).
Pada def ini si kedua, kehadi ran obyekt ivi tas membutuhkan keyakinan
adanya subyek yang bebas kontaminasi dar i kecenderungan dalam
dir inya sendir i. Obyektiv itas tergantung pada kehadi ran subyek.
Dar i serangkaian def ini si ini , kehadiran pengalaman obyekt ivi tas
muncul dar i interaksi yang intens antara “subyek” dan “obyek”.
Walaupun, subyek dan obyek sal ing mendeterminasi, pendef inisian
masing -mas ing tidak pernah terpisah secara absolut. Sejalan dengan
teori persepsi psikologi yang diperkena lkan pakar Gestal t, menyebutkan
informasi tiba pada subyek dalam rangkaian proses penafs iran,
pengorgan isasian dan interpretasi 99. Sedangkan informasi “apa adanya”
98Ibid 88., hal. 86.
99Hal ini dibuktikan dalam phi phenomenon, yaitu ilusi gerakan yang diciptakan melaluipenampilan stimuli visual secara cepat, oleh Max Wertheimer [1880-1943]. Uraian ini dirujukberdasarkan kajian sederhana dan jelas dalam buku klasik pengantar Ilmu Psikologi karyaWayne Weiten, Psychology Themes & Variations, Third Edition (USA: Brook/Cole PublishingCompany,1989), hal 141.
56
berwujud sensas i tidak banyak menyumbangkan pemahaman “reali tas”.
“Reali tas” jus tru lah ir dar i pemahaman interpretati f subyek.
Selain argumen Gestal t, diskur sus tentang subyek dan obyek juga
digeluti oleh Edmund Hussre l [1859-1938] melalu i konsep intensional ita s
kesadaran, di mana hubungan keduanya ber sifat arbrit ras i: Tidak ada
subyek tanpa obyek, dan obyek hanya eksis sebatas kesadaran subyek.
Pemahamn leb ih lanjut dapat dis imak melalu i kut ipan di bawah:
“Immediate ‘seeing’ [Sehen], not merely the sensory seeing ofexperience, but seeing in general as primodial dator conciousness [alsariginär gebendes Bewusstsein] af any kind whatsoever, is the ultimatesource of justification for all statements”100
Penekanan pada penyatuan “kesadaran” dan pengalaman inderawi
(Sehen ) menjad i cir i khas dalam konsep “fenomenon” (phainomenon,
atau “segala sesuatu yang tampak”), selain intens ionali tas kesadaran.
Baginya, “fenomenon” menampakkan dir inya sendir i, atau fenomen
adalah realitas sendir i yang tampak. Art inya, realitas tidak terselubung
dar i “di ri”, melainkan merupakan keadaan yang menyatu dengan
keberadaan subyek. Bersamaan de ngan itu pula subyek merupakan
“kesadaran yang bersifat intens ional”. Kesadaran selalu berart i
100 Ideas, General introduction to pure phenomenology, diterjemahkan oleh W.R. Boyce Gibson,(London: 1976, hal. 84), seperti dikutip oleh K. Bertens dalam Filsafat barat Abad XX Inggris-Jerman (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1983), hal. 99.
57
kesadaran akan... sesuatu101. Kehadiran “subyek” selalu menyer takan
“obyek”. 102
Kedua pemahaman ini merupakan “dua sis i dar i uang logam yang
sama”. Maka, antara “subyek” dan “obyek” tidak mungkin berpisah
secara independen. Menggenap inya, Hussre l mengenalkan konsep yang
ket iga, yai tu: “konst itusi” (Inggr is: consti tut ion ), yai tu proses
tampaknya fenomen-fenomen pada kesadaran. Konsti tus i adalah
akt ivi tas kesadaran yang memungkinkan tampaknya “reali tas”. Dar i sin i
Hussre l membuat kes impulan: dunia “real” dikonstitusi oleh kesadaran .
Karena itu tidak ada kebenaran an sich, terpisah dar i kesadaran 103. Dunia
tidak lag i terpisah dar i subyek. Kesadaran subyek dan pengalaman
inderawi menyatu dalam proses konsti tus i. Karena itu, “reali tas” dalam
pandangan fenomenologi Hussre lian tidak lain hanya merupakan
“penilaian” kesadaran atas pengalaman inderawi, bukan dun ia obyek-
obyek yang ter iso las i.104
Jika ide Hussre l dijabarkan, maka “subyek” hanya bisa
didefinis ikan melalu i segala sesuatu yang “non-obyek”, sebaliknya
101 Artinya, tidak ada yang dapat dipikiran atau diperbuat tanpa adanya “sesuatu” yangdipikirkan atau diperbuat. Berpikir (atau berbuat) selalu diikuti oleh sebuah obyek.Contohnya, “aku berpikir tentang...” Tidak mungkin terjadi bahwa “aku bepikir” tanpaadanya “sesuatu” yang dipikirkan. Kehadiran “aku” selalu diikuti oleh suatu konteks lainsebagai bagian yang menyatu.
102Ibid 101., op. cit, hal. 101
103Ibid., hal. 102-103
104Konsep ini berbeda dari pandangan Immanuel Kant di mana realitas tidak pernah dapatdikenal secara langsung, atau “realitas” yang dikenal bukanlah realitas itu sendiri [das Dingan sich]. Subyek dalam pandangan Kant terisolasi dari obyek. Sebaliknya “realitas” yangdimaksud Hussrel tidak lain adalah konstitusi dari kesadaran itu sendiri atau tidak ada lagi“realitas” di luar kesadaran (Ibid., hal. 100).
58
“obyek” eks is jika dinegasikan dengan “subyek” 105. Mir ip dengan
grammar bahasa yang utuh membutuhkan “subyek”, “predikat” dan
“obyek”. Singkatnya, relasi “subyek-obyek” merupakan dua konsep yang
sal ing tergantung satu sama lain, ket imbang dua realitas yang berdir i
sendir i-sendir i. Tidak mungkin membicarakan obyek tanpa kehadiran
subyek, begitu juga sebal iknya.
Pandangan Hussre l memahami bagaimana sebuah pengalaman
yang dibangun oleh diskur sus ter tentu, ber laku juga sebaga i rea litas
bagi “di ri” . Jika “fenomenon” ada lah realitas yang had ir sekaligus
dikonstitusikan kesadaran, maka “subyek” adalah bukan lag i sebuah
batasan dengan keberadaan dunia dan tidak pernah menjad i utuh dalam
dir inya sendir i sebaga i sistem yang tertutup. Karena itu yang dikena l
sebaga i “di ri” bukan sesuatu yang terdef ini sikan sebaga i satu kesatuan
dan terpisah secara sempurna dar i sesuatu yang “bukan -dir i”. Kesadaran
bukan bersifat “rohan iah” atau “mater ial ”, namun bergerak di antara
keduanya. Dalam keadaan ini diskursus yang ada dalam suatu masyarakat
berperan dominan menentukan batas-batas bagi kesadaran sekal igus
“reali tas”.106 Dalam satu kesempatan, diskursus -diskursus tersebut
105 Penjabaran ini berasal dari logika dialektis Hegelian yang menyatakan bahwa relasi duniabukan hanya bisa dirumuskan sebagai X = X atau obyek adalah “obyek”. Tapi dalamdialektika X = ( -X) atau obyek adalah juga “bukan obyek” (subyek). Lihat penjelasan lebihrinci pada M.A.W. Brouwer, Alam Manusia dalam Cahaya Fenomenologi (Jakarta: Penerbit PTGramedia Pustaka Utama, 1988).
106Diskursus atau discourse (Inggris) berasal dari bahasa Latin, discursus. Penterjemahan lazimdalam Bahasa Indonesia-nya adalah “wacana”. Namun istilah “wacana” terlalu terbatasuntuk menggantikan kata discursus maupun discourse, karena itu digunakan kata “diskursus”yang merupakan metamorfosis langsung dari bentuk Latinnya. Dalam Webster, discoursedidefinisikan sebagai: “[1] communication of ideas, information, etc. [2] a long and formaltreatment of a subject, in speech or writing; lecture; treatise; dissertation [3] ability toreason; rationality.” (Ibid 88., op. cit.) Penulis tidak akan hanya menggunakan salah satudefinisi, melainkan mengasimilasikan ketiga pengertian di atas dalam pengertian integral.Sedangkan untuk mengaktifkan diskursus sebagai sebuah unit analisis, pengertian di atas
59
disebut mitos atau di lain waktu disebut sebaga i ideologi, atau bahkan
ser ing juga didapuk sebagai fakta.
B. PR OP OS IS I -PR OP OS IS I
Kesadaran merupakan “fiksi” sekaligus “nonfiksi”, dia meng[ada]kan
semua “obyek”, sekali gus mengandaikan adanya “obyek” yang berdir i di
luar kuasanya. Apakah kesadaran bergerak terus menerus di antara
kedua “dunia” ini , sebagai suatu kelangsungan gerak yang tiada henti,
atau leb ih merupakan potens ial itas yang pada suatu saat dua litas ini
dapat didamaikan? Pada pil ihan pertama, kita menuju suatu re-kreasi
pengalaman dalam suatu bentuk per luasan ulang dan terus menerus
sebuah semesta “baru”. Lalu untuk pil ihan kedua, kita menyeberang
masuk pada paham nihil isme di mana kesadaran menjadi “konsep” yang
tidak dapat disadari lag i. Hanya pada pil ihan pertama pengalaman
diakui “ada” dan bekerja sebaga i kesatuan dengan aks i. Kendat i
demikian keadaan ini tidak adanya pemisahan subyek dan obyek yang
radika l. Sebaliknya, subyek dan obyek adalah dua kategori yang sal ing
mengadakan satu sama lainnya sebuah pola reproduks i keber [ada]an.
Sebaga i gerak reproduks i pengalaman, kesadaran bekerja secara
teknologi s. Kesadaran bersemayam dalam kerja itu sendir i, rangkaian
ditransformasikan lebih jauh sebagai “pusat lokal”, yaitu diskursus yang muncul dan bekerjadalam suatu lingkup modifikasi khas dari sebuah tema kontinum. Selain itu dari katadiscursus, juga diturunkan satu istilah baru lagi yaitu discursive (Inggris) yang diterjemahkandalam bahasa Indonesia sebagai “diskursif” (lihat catatan kaki no. 78.) Pertimbangan inididasarkan semata-mata untuk membedakan pengertiannya sebagai strategi analisis daridiskursus yang berfungsi sebagai unit analisis.
60
potongan dar i “seni” , “ilmu pengetahuan” maupun “pertukangan”.
Dengan demikian, pembedaan “diri” dar i segala ses uatu yang tidak
menyer takan kehadi rannya dianda ikan berdir i dan bekerja mandir i;
sebaga i hal “di luar” pengetahuan dan pekerjaannya, sebaga i “obyek”
transenden di luar “diri” yang imanen, sebaga i sesuatu yang
alam(iah)107. Teknologi member i kesempatan pada subyek untuk
dilahi rkan kembal i sebagai oposis ional arbriter yang dimungkinkan ada
karena keberadaan “obyek-obyek” yang (dialami) terpisah “di luar
dir inya”.
Dengan demikian semua “obyek-obyek” alamiah disajikan di
depan “subyek” sebaga i sesuatu yang terpisah dan teramati. Sebaga i
fungsi teknologi , “subyek” menjalankan konsti tus i dengan memilah,
mengelompokkan, memisahkan, menggolongkan semua pengalamannya
yang akan dikuatkan dan disend iri kan dalam satuan-satuan “obyek’
padat. Satuan -satuan itu kemudian diacak, diurai dan dicerna untuk
kembal i dibangun, disusun, ditata, diberi label sis temati ka baru sebaga i
seni, ilmu pengetahuan maupun keterampi lan baru. Begini lah kerja
107 “Alam sebagai ruang ialah segala hal yang dekat yang dapat didatangi langsung. Intimitasdari kamar kerja, isi saku, lemari, rumah. Juga kampung, kota, dan bagian dari tanah air.Bukan ruang yang diukur dengan meter atau derajat melainkan ruang dari kanan kiri, atasbawah dan muka belakang. Inti dari ruang alam ialah lokasi ‘di sini’. Alam muka berbedadengan alam belakang. Muka ialah hal yang didatangi, yang menuju ke arah saya, hal yangakan datang, yang baru. Belakang ialah hal yang sudah, yang tidak bisa mengherankan, yangmenjadi lantai.” Seperti yang diutarakan oleh M.A.W. Brouwer, Psikologi Fenomenologi(Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1984), hal. 13. Dalam tulisan ini “alam”akan sering juga disebut sebagai “dunia” atau “semesta.” “Alam” dalam tulisan ini dapatdijelaskan sebagai dua hal, yaitu sebagai cara obyek-meng[ada]-dalam-subyek (konstitusi)dan cara subyek-meng[ada]-dalam-obyek (intensionalitas kesadaran). Yang pertama akansering juga disebut sebagai “obyektivikasi”, sedangkan yang kedua disebut juga“subyektivikasi”. Karena itu “alam” tidak merujuk pada suatu eksistensi yang terlepas daripeng[alam]an. Selain itu, juga perlu dijelaskan bahwa ada perbedaan istilah “alam” yangakan digunakan pada Bab V, di mana dalam bagian tersebut, “alam” dikaji sebagaipembentukan diskursus yang didiskritkan dari keber[ada]an manusia dan teknologi. Jadi adapenggunaan istilan “alam” secara berbeda pada tulisan ini.
61
“subyek” secara teknologi s, mes in yang terus menerus mengurai satuan-
satuan “nonfiksi” menjadi rangka ian “fiksi”, rangka ian “fiksi” yang
sudah kadaluarsa atau tidak lag i sepaham akan dilebur dalam satuan-
satuan “non-fik si” untuk didaur ulang sebaga i “fi ksi” baru, dan
seterusnya.
Dar i konteks pemahaman ini , member ikan kesempatan mengkaji
teknolog i itu sendir i tidak dalam wujudnya sebagai “obyek” teknis
melulu, terutama dalam pemahaman yang lebih umum atau tautologi s
sebaga i “penampakan empirik”. Untuk itu teknologi didefinis ikan antara
lain sebaga i; “[1] the science or study of the practi cal or industrial
arts, applied science, etc. [2] the term used in a science, etc; technical
terminology. [3] applied science. [4] a method, process, etc . For
handling a specif ic thenical problem. [5] the system by which a soc iety
provides its member with those things needed or des ired.” 108
Mulai def ini si pertama hingga keempat, teknologi menghadirkan
aks i “subyek” baik dalam pik iran (science), perasaan (arts), maupun aks i
fis ik (ski ll), suatu pendef ini sian “subyek” dalam satuan -satuan baru,
sekaligus per luasan teknologi sebaga i mesin “fiksi” hingga pada
“subyek” itu sendir i. Dan ket ika “subyek” masuk dalam jal inan “fiksi”
yang dibangunnya sendir i, teknologi menjelma menjad i “obyek” yang
terpisah dar i “subyek”. Mes in “fiksi” kin i menyatu sebaga i alam semesta
108Ibid 81., op. cit.
62
baru yang “obyektif” dan dia lami sebaga i (sesuatu) yang (di yakini )
berdir i di luar “subyek” 109.
Pada tahap ini teknologi menggambarkan bagaimana “fiksi”
(subyektivikasi ) dan “nonfiksi” (obyektiv ikasi) dihadi rkan dalam wujud
metafi sika aks i-reaksi . Fiksi yang did apuk sebagai yang obyekt if
ser ingkal i dilawankan dengan nonfiksi yang bersifat subyektif , padahal
“subyek” maupun “obyek” tidak pernah dapat dipilah secara absolut
maupun disatukan secara absolut. Di satu sis i, sebaga i seni, ilmu
pengetahuan sekaligus kete rampilan, teknologi adalah pemimikan yang
pal ing mendekati “subyek” sendir i. Dia ada “di dalam subyek”, bekerja
sebaga imana “subyek” bekerja dan berfungsi sebaga i bag ian dar i
ketidaksadaran dir i “subyek” itu sendir i. Kontrasnya, sebaga i dunia
“obyek”, teknologi adalah pengulangan bentuk “alam transenden” yang
imajiner dalam bentuk yang leb ih “nyata” dan “obyektif”. Dalam hal ini ,
“subyek” dip ilah-pilah dan digolongkan kembal i dalam satuan psikologi s.
Sehingga relasi antara “subyek” dan “obyek” di tata ulang secara
teknologi s, diperluas dalam bentukan semesta baru yang leb ih nyaman
baik di “dalam” dir i “subyek” maupun “di luarnya”.
Dalam def ini si kel ima, teknologi muncul sebaga i sis tem yang
berdir i “di luar subyek”, sekaligus sebagai sistem yang menjad i bagia n
dar i kebutuhan dan impuls masyarakat. Sebaga i perwujudan sistem
109“Yang disebut ‘dunia’ ialah keseluruhan dari pengarahan dari alat-alat yang berdasarkansuatu ‘pengetahuan’ prasadar bisa menampakkan diri sebagai alat. Pengarahan ialah suatukompleks seperti palu, paku lemari, dan seterusnya. Arah utama terdapat dalam hal yangdisebut ‘tanda-tanda’. Zuhandenheit hanya mungkin karena ada dunia, yang cocok dengantangan menampakkan dirinya, karena ada ‘hal-mengada-dalam-dunia’... Bagaimana duniamemungkinkan pertemuan tangan dan alat? Itu berdasarkan pengarahan yaitu gejala bahwabahan dapat dipakai dan alat mengabdikan diri pada tangan.” (Ibid 105., op. cit., hal. 117).
63
“obyek -obyek”, teknologi juga merupakan sis tem impuls dan kebutuhan
naluriah (needed or desired). Sehingga, teknologi dalam pengertian
pal ing akt if tidak didapatkan dar i kehadi ran tampak, melainkan hadir
sebaga i bag ian dar i ket idaksadaran. Karena itu, keberadaan teknologi
yang pal ing prinsipil tidak ter letak pada ragam bentuk, bahan dan model
sepert i dalam penampakan sadar. Sebaliknya, dia ter ikat dalam dir i
“subyek”, dirasakan sebaga i bagian dorongan impuls ket idaksadaran110.
Dar i gambaran ringkas di atas, akan dirumuskan prepos isi -
propos isi yang terus untuk dipertanyakan dalam menyusun tul isan ini ;
Propos isi pertama : cara kerja “subyek” dan “obyek” adalah sal ing
mengadakan dalam gerak produksi membag i, memisahkan, mengurai
seluruh “semesta” dan kemudian menyusun dan mengkontruks i kembal i
satuan-satuan “obyek” dan “subyek” dalam sebuah “alam semesta
baru”. Seluruh proses ini dapat kita sebut sebaga i “teknolog is” baik
sebaga i pola-pola, mekani sme, proses kerja, maupun fungsi .
Propos isi kedua : teknologi ada lah sebuah “fiksi” maupun
“nonfiksi”, “mitos” sekaligus “fakta”. Dia memili ki karakteri sti k
“sejarah” maupun “arkeolog i”. Teknologi membangun suatu masyarakat
sebaga i peradaban, sekal igus digunakan sebagai sebuah fakta arkeologi s
110Dalam bahasa Yunani dikenal istilah pragmaton, yaitu segala sesuatu yang digunakan untuksegi fungional yang dikenal sebagai “perkakas” atau “alat”, dan dalam tulisan ini kita kenalsebagai “teknologi”. Bagi. Brouwer, alat tidak merupakan proyek yang terpisah darikehadiran “subyek”: “Bagaimana sifat dari alat dapat diterangkan? Peralatan tidak terjadisecara sadar. Memakai alat dan menciptakan benda tidak berdasarkan pengetahuan-pengetahuan, tetapi justru suatu derivat dari situasi ini. Alat-alat dipakai dalam suatukompleks dari alat-alat lain di mana setiap unsur ‘menunjukkan’ unsur lagi. Paku-pakualmari, piring, makan. Dan lain-lain. Dengan tak sadar Dasein mengabdikan diri padapengarahan dalam kompleks ini” (Ibid., op. cit.)
64
tentang struktur, tatanan, dan pola kecerdasan maupun fis ik bio log is
pada suatu masyarakat dalam suatu per iodisasi. Dengan demikian,
teknologi memili ki nilai pembeda dalam dir inya sendir i. Di sin i teknologi
juga memili ki karakter normal isasi maupun regulasi.
Propos isi ket iga : teknologi memili ki karakteri sti k global dalam
dir inya sendir i, dia membangun suatu metafi sika aks i yang mengadakan
“subyek” dan “obyek” dalam “alam” -nya. Dalam hal ini , pemilahan tidak
lain ada lah jalan menuju suatu unifikasi semesta.
Propos isi keempat: keberadaan yang pal ing bermakna dar i
teknologi bukan pada wujud pengalamannya sebaga i satuan wujud yang
berdir i sendir i, tap i merupakan bag ian dar i ket idaksadaran yang
memproduksi pengalaman bag i “subyek”. Teknologi bersifat tidaksadar
maupun pra-sadar dalam relasinya dengan kesadaran, maupun ber sifat
sadar sebaga i sebuah imajinasi tentang “obyek -obyek di luar dir i”.
Propos isi kel ima : ket idaksadaran berada dan berubah ber sama
pola-pola dar i “obyek -obyek”, dia bukan sistem yang tertutup dan
sekadar bio log is. Jika dibanding dengan kesadaran, sifatnya lebih
menetap tap i tidak untuk selamanya. Karena itu kesadaran, dalam
pemahaman ini , dil ihat sebaga i gerak akt if fokus yang selalu berubah
dan tidak memiliki ketetapan pada dir inya, namun dia juga merupakan
tempat “obyek” mengada ber sama dengan kehadiran sebuah “subyek” di
dalamnya.
65
Melalu i propos isi -propos isi ini kita melangkah pada pembahasan
yang komprehensif dalam bab-bab selanjutnya. Namun kita akan terlebih
dulu menjawab pernyataan ahl i semiot ika --- sepert i Aart Van Zoest---
yang mengganggap bahwa fiksi [non-real] terpisah dar i nonfik si [real].
Sejalan dengan pemahaman di atas tentang cara “subyek” dan “obyek”
berelasi melalu i ikatan struktural tekno log is, kita menarik sebuah
pernyataan inferensial: bahwa “reali tas” dan “obyektiv itas” tidak lepas
dar i eks istens inya sebagai sebuah diskursus yang sebenarnya adalah
produk sos ial dar i struktur pemahaman tertentu, bukan takdir mutlak
atas keberadaan. Seperti teori psikologi ges tal t maupun fenomenologi ,
kontruksi keberadaan “obyek -obyek” lah ir dar i konsti tus i dan
intens ionali tas kesadaran yang juga menyebabkan keberadaan “subyek”.
Dengan demikian, “reali tas” tidak dapat dipaka i sebagai patokan
dalam rangka membedakan antara fik si dan nonfik si, sepert i teknolog i,
kedua kategori ini ada pada kerja reproduks i. Tidak ada lag i pembedaan
mutlak dan menetap antara “fiksi” dan “nonfiksi”, keduanya “sejajar”
dalam gerak fokus pengalaman yang terus bergerak. Sekarang, tibalah
untuk memutuskan bahwa dikotomi semacam subyektif-obyekt if, fiksi-
nonfik si atau rii l-tidak rii l bukanlah keberadaan yang transenden.
“Reali tas” sebaga i sebuah diskur sus di mana terstruktur dalam pola
metafi sika aks i bisa menggantikan pola dikotomi ini . Walaupun tentu
saja hal ini ditentang oleh mereka yang mas ih mensakralkan
“obyektiv itas”, bukan berart i pendekatan ini tidak bisa diterapkan.
Namun, tidak dapat ditolak lag i bahwa “obyektiv itas” ada lah kaidah
yang mandul dalam mel ihat pos isi teknologi hanya sebaga i dunia
66
determinasi obyek-obyek, dan melupakan bagaimana cara “obyek-
obyek” itu had ir sebagai bag ian dalam dir i “subyek”, dan member i
“subyek” keberadaan yang unik. 111
Dengan menggunakan analis is diskursus kita dapat melampaui
keterbatasan dikotomi -dikotomi --- bas is materi il-spi ritual , sebab-akibat
serta fik si-nonfiksi--- untuk membangun kerangka ana lis is yang lebih
peka terhadap pengalaman teknologi s yang jamak, beragam dan teracak
dalam berbagai area kesadaran. Di bawah, kebutuhan akan membangun
konstruks i metode tidak lain merupakan penjabaran yang merupakan
konsekuensi lanjutan dar i kepekaan ini .
C. KO NT RU KS I ME TO DE AN AL IS IS
Kebutuhan akan ura ian tentang metode adalah tak terelakan dalam
suatu penuli san ber landaskan analis is diskur sus. Da lam hal ini berguna
untuk member i peluang kepada pembaca dalam member ikan
pertimbangan metodi s, selain member ikan kepekaan kepada penuli s
sendir i akan konsep yang dibangun pada pik irannya.
111 Dengan demikian, kita tidak terperangkap pada anggapan yang naif bahwa teknologi semata-mata hanya berdimensi materialistik dan berdiri di luar diri “subyek” sebagai “obyek”mandiri. Teknologi tidak lagi sekedar permasalahan bentuk, ragam, inovasi dan arsitekturfungsional yang hanya dapat ditelaah melalui penjelasan-penjelasan teknis tentang sistemdan kerja otonom. Melainkan teknologi juga bisa dikaji sebagai sebagai regulasi denganaksinya (bersama-sama) dengan “subyek”, sebagai bagian strategi diskursus dengan carasaling menguatkan strategi satu sama lain. Teknologi menjadi dalih dasar yang paling mutlakuntuk mentransformasi evolusi manusia dari “biologis” menuju “teknis”. Teknologi diberikeberadaan yang “obyektif” dan membantu “subyek” menyembunyikan dirinya dalamkeberadaan yang “non-materiil”.
67
Ter lepas dar i semua kebutuhan tersebut, konstruks i atas metode
anali sa tidak bisa dip isahkan dar i sis tematika teks dan kerangka
paradigma yang dijadikan acuan. Leb ih penting lag i adalah, dis kursus-
diskur sus yang dikaji itu sendir i juga menentukan corak cara analis is
yang akan digunakan. Spontanitas relasi yang terkonstruks i antara
formasi diskur sus -dis kursus tersebut member ikan pola pada metode
analisa, bukan sebali knya. Karena itu tugas penjabaran metode bukan
bagian terpisah dar i bagian yang telah kita bahas di atas maupun bab
sebelumnya. Hingga sin i, sebagian tugas in i telah diambi l alih pada
penjabaran sebelumnya.
1. Ka idah- kaidah me tode
Namun, untuk member ikan suatu gambaran umum penjabaran yang lebih
ekspli sit dar i sebelumnya per lu dilakukan. Untuk itu, penuli s akan
mengacu pada sejumlah kaidah-kaidah metode ana li sis yang dapat
memperjelas metode yang digunakan. Kaidah -kaidah tersebut antara
lain; 112
112 Keempat kaidah metode dibawah merupakan penerapan dari karya Michel Foucault tentangseks dan kekuasaan (Ibid 79, op. cit., hal. 120-127). Sub-judul yang tertera di bawah dikutipsama dengan versi terjemahan bahasa Indonesia (kecuali: kata “wacana” yang diadaptasimenjadi “diskursus”), hanya dalam penjelasannya mengalami gradasi makna, walaupunbeberapa istilah tetap digunakan karena tidak ada kata pengganti yang tepat. Hal inidibutuhkan untuk menyesuaikannya dengan konteks kajian yang berbeda. Selain itu jugaperlu diingatkan, baik dari Foucault maupun penulis, kaidah-kaidah ini bukan merupakankeharusan metode. Untuk itu bisa disebut sebagai, “resep sikap hati-hati.”
68
a. Kaidah Imanensi.
Antara diskur sus-diskur sus dengan mekani sme teknologi global, “obyek”
yang satu tidak berada di luar lainnya. Diskur sus -diskur sus ter sebut
bukan sekedar pembenaran atas mekanisme yang ada atau mekanisme
yang ber langsung bukan bas is dasar bagi munculnya diskur sus -dis kursus.
Walaupun mas ing-mas ing sifatnya bisa dibedakan dalam hal peran dan
sal ing terkai t, keduanya ada dalam pengalaman yang tunggal.
Pengalaman -pengalaman itu muncul sebagai “pusat lokal” , yaitu
konsentrasi per temuan diskursus dengan teknik -teknik dalam sebuah
konteks ruang dan klasif ikasi pengetahuan spesif ik. 113
b. Kaidah Perubahan Berkelanjutan.
Kaj ian ini tidak akan memula i ana lisa dengan di stings i-dis tingsi di mana
mengandaikan adanya suatu peran aktor yang tetap dalam membangun
kecenderungan massal teknologi s. Peran aktor-aktor, sepert i yang
dibahas di depan ter serak pada berbagai kalangan dan golongan yang
berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lain. Karenanya peran
aktor yang terstrati fikasi secara pasti dan menetap tidak dapat
ditemukan, dikarenakan bahwa dalam set iap “pusat lokal” peran aktor
berubah mengikuti modifikas i dar i sejumlah tema sentra l. 114
113 “pusat lokal” adalah istilah yang digunakan Foucault. Dalam “pusat lokal” terjadi pertemuanantara struktur teknis yang khas dengan pengalaman “subyek” dalam ikatannya denganstruktur tersebut. Sifatnya insidental sekaligus struktural, dialami sekaligus dikonstruksi.Dalam kajian ini “pusat lokal” bisa dianggap sebagai unit analisis. Dalam beberapa bagianhanya disebut dengan “diskursus-diskursus”, namun mekanisme teknis telah diandaikan adabersama dengannya.
114 “Tema sentral” merupakan slogan-slogan yang muncul pada berbagai periodisasi dan terusdimodifikasi dalam wujud dan aktor berbeda-beda. Sebagai misal: tema liberty, egality danfraternity yang diusung oleh kaum libertin di Perancis pada abad pertengahan muncul
69
c. Kaidah Pengkondisian Ganda.
“Pusat lokal” tidak merupakan lingkup mikro dar i “skema
transformasi”115 sebaga i lingkup makro. Antara keduanya juga tidak
homogen, art inya “pusat lokal” bukan hanya sekedar proyeksi diperkeci l
dar i “skema transformasi”, dan sebaliknya, “skema transformasi” tidak
merupakan proyeksi yang diperluas dar i “Pusat lokal.” Keduanya dil ihat
sebaga i “pengkondisian ganda”, yai tu satu sebaga i strategi dan teknik-
teknik yang muncul , dan lainnya sebagai landasan bag i manuver-
manuver taktik dan strategi agar berhas il mencapai tujuannya.
d. Kaidah Taktik Pol iva len dalam berbagai Diskursus.
Dalam hal ini per lu diperhat ikan tul isan Michel Foucau lt di bawah:
“..., jangan membayangkan satu model wacana yang terbagi di antarawacana yang diterima dan ditolak atau di antara wacana yangmendominasi dan wacana yang didominasi; tetapi bayangkan wacanasebagai unsur-unsur nalar, yang dapat bermain dalam aneka ragamstrategi.”116
Dalam sebuah diskursus , hubungan pro-kontra tidak merupakan sebuah
relasi sal ing meniadakan. Keduanya bisa jad i merupakan satu bag ian dar i
mekani sme yang ber laku. Di sin i diskursus tidak pas if, melainkan akt if
kembali dalam slogan kebersamaan, kebebasan dan kebahagian dalam budaya counter-culture populer dan juga dimodifikasi sebagai demokrasi oleh pemerintah. Namun, antarabentuk modifikasi satu dengan lainnya tidak lagi memiliki esensi yang sama. Di sini peran“pusat lokal” jauh lebih bermanfaat daripada tema sentral. Sedangkan sama pentingnyauntuk di analisis bersamaan dengan “pusat-pusat lokal” adalah bentuk-bentuk modifikasitersebut (Foucault menyebutnya sebagai “skema transformasi”, selain “mode kolektif” yanghadir sebagai struktur di dalamnya.
115 Penjelasan tentang “skema transformasi” dapat diperoleh pada catatan kaki di atas.116 Ibid 79, hal. 124.
70
sebaga i suatu mekani sme yang mengolah berbagai ragam pemikiran yang
muncul . Diskursus menjadi alat sekaligus dampak, hambatan sekaligus
sandungan, tit ik per lawanan dan tit ik awal dar i strategi yang
ber lawanan. 117
2. Artifak dan strate gi anal is is
Tul isan menerapkan strategi mul ti -ana lis is yang plural untuk mengantar
pembaca mengalami secara vir tual mekani sme teknologi layar dan global
sebaga i bag ian keseha rian. Secara umum, ada tiga strategi ana lis is yang
akan diterapkan untuk menjalankan metode tersebut:
Strategi pertama : melakukan analis is diskur sus melalu i teks-teks
yang muncul dalam rangkaian beberapa per iodisasi yang berkaitan
dengan “pusat lokal” dan “skema transformasi” di mana teknologi layar
dan teknologi global had ir sebaga i mekani sme gejala-gejala massal
sepert i yang telah diuraikan dalam Bab I. Termasuk dalam pendekatan
ini adalah kaj ian etymologi , yang ditaruh dalam catatan kak i, di mana
menyaj ikan dasar log is dar i suatu diskursus ter tentu. Penting untuk
diperhati kan, kaj ian etymologi yang dilakukan tidak untuk mengungkap
asal mula suatu ist ilah atau metamorfosis bunyi atau tul isan dar i satu
kata satu ke kata lain, melainkan leb ih berguna dalam member ikan
deskripsi relasi hubungan antara makna suatu ist ilah dengan ist ilah lain
117 Ibid, hal. 125.
71
yang mas ih dalam satu tatanan sis tem langue 118. Selain itu juga untuk
member ikan penjelasan penerjemahan satu ist ilah dar i langue bahasa
satu ke langue bahasa lain.
Strategi kedua : melakukan analis is diskursus melalu i art ifak
dig ita l di mana merupakan sumber -sumber informasi mengenai
bagaimana pengalaman virtua l diolah 119. Di sin i, ana lis is dig ita l
merupakan model ana lis is yang menggunakan gambar dan suara sebaga i
art ifak yang relevan, dar ipada sekadar mengandalkan teks ter tul is.
Namun, relasi antara teks dan gambar tidak berada dalam pola figure
and ground . Gambar tidak merupakan figur utama dengan teks sebaga i
118Dalam Bahasa Perancis istilah “bahasa” tidak hanya merupakan istilah yang tunggal sepertidalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (language). Untuk pengertian yang sama dengan“bahasa” dan language, dalam Bahasa Perancis dikenal istilah langage, yaitu bahasa dalampengertian secara lengkap dan menyeluruh. Sedangkan langage dibedakan lagi menjadi duawujud sebagai langue dan parole. Langue merupakan wujud sosial dari bahasa yang tidaktergantung pada individu, sebaliknya parole bersifat individual (psikis-fisik). Languedibedakan lagi dalam kajian lingusitik sebagai sinkroni dan diakroni. Lihat skema ini dalamFerdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress, Cet. 3, Oktober 1996), hal. 185. Walaupun demikian, langue dan parole bukanlah duaobyek yang benar-benar terpisah, melainkan saling terkait dan menunjang satu sama lainnya(Ibid., op. cit., hal. 86). Walaupun bersifat sosial, langue adalah tatanan yang ada dalamsetuap individu. Kehadiran langue dalam individu diungkapkan dengan rumus:
1 + 1 + 1 + 1 ... = I (Mode kolektif)
Jadi, langue dapat diartikan juga sebagai “mode kolektif” (Ibid., hal. 87). Sedangkan dalamkajian ini, rumus ini diadaptasi menjadi:
“pusat lokal” + “pusat lokal” + “pusat lokal” + “pusat lokal” ... = Model Konstruksi
Simbolik “+” dalam rumus ini tidak bisa ditafsirkan sebagai akumulasi matematik. “+” dalamkajian ini, berarti peralihan kajian secara diskursif dari satu “pusat lokal” menuju “pusatlokal” berikutnya. Dengan demikian, “I” bukanlah kumulatif similar (“=”) dari “1 + 1 + 1 +1”. Melainkan “I” merupakan struktur yang hadir dalam setiap “1” atau “pusat lokal”.Sebagai “mode kolektif”, langue: “...hadir secara utuh dalam bentuk guratan yang tersimpandi dalam setiap otak, kira-kira seperti sebuah kamus yang semua eksemplarnya identik, yangakan terbagi di kalangan individu” (Ibid., hal 86-87).
119Untuk kajian tentang “obyek digital”, baca juga tulisan Alex Galloway, What is Digitalstudies? (online document: http://rhizome.org/ds/pages/galloway.html). Tulisan ini tidakakan digunakan sebagai referensi dalam tulisan ini, namun pembaca yang beminta bisamenjadikannya sebagai perbandingan metode. Dalam beberapa hal, Digital Studies yangditawarkan Galloway banyak kemiripan dengan analisis audiovisual yang akan dilakukanpenulis, namun pada beberapa terjadi perbedaan pendapat pada beberapa pendirian.
72
pelengkapnya, atau teks juga tidak merupakan figur yang mempos isikan
gambar sebaga i dekorasi belaka. Gambar tidak untuk menjelaskan atau
dijelaskan oleh teks. Keduanya merupakan sebuah kerangka konstrukt if
yang sejajar dan dialami bersama secara arb itrasi sebaga i pola-pola
hejala dalam intens ionali tas ke[ tidak]sadaran subyek.
Strategi ket iga , Ura ian elaborati f untuk mengejawantahkan kedua
strategi di atas dalam sebuah narasi yang menggambarkan mekanisme
teknologi layar dan global dalam suatu tatanan ins titusi yang ber laku.
Pada pendekatan ket iga, yang dilakukan adalah mensintes is kedua
strategi per tama dalam rangka membangun sebuah konstruks i model
hipotesis tentang kerja teknologi layar dan global .
Di samping ket iga strategi umum di atas, juga akan digunakan
beberapa pendekatan spesif ik untuk menutupi kekurangan-kekurangan
yang ada. Dalam hal ini , psikoanal isi s Freudian dan psikoanal isa Jung
member ikan kontribusi dalam member ikan masukan pada karakter
ket idaksadaran dalam teknologi . Melalu i strategi ini , simbol -simbol yang
muncul sebaga i formasi dar i ins ting tak sadar bisa did iagnos is sebaga i
gejala yang muncul dan member ikan dun ia vir tua l ikatan langsung
dengan tubuh. Dengan demikian, teknologi dianal isi s melalu i simptom-
simptom simbol ik yang merupakan dorongan langsung dar i
ket idaksadaran.
Sebaga i lanjutan, pada bag ian selanjutnya akan dimula i
membahas sebuah diskursus di mana muncul bersamaan dengan lah irnya
budaya populer dan had ir bersama-sama dengan citarasa yang mewaki li
73
pengalaman pribad inya, sebelum akhirnya akan kembal i lag i pada
pengkajian lebih mendalam. Untuk tujuan itu, setting awal tahun 1960-
an di “Barat” tetap sebagai per iode yang akan membuka diskus i kita.
74
BAB II I
KAJIAN TEOR I
Erich Fromm hidup di tengah-tengah perubahan teknologi tahun 1960-an
merasakan secara samar manusia ser ta hab ita tnya mengalami
perekonst ruksian ulang. “Ditengah-tengah kita ada hantu,” tul isnya,
“Bukan hantu kuno sepert i Komuni sme atau Fac isme, melainkan hantu
baru: masyarakat yang dimesinkan secara total, dicurahkan untuk
meningkatkan produksi dan konsumsi material, dan diarahkan oleh
komputer-komputer.”120 Sebuah transi si dar i “hantu” yang satu ke
“hantu” lainnya, demikianlah kin i manusia terancam menurut nubuat
Fromm.
“Hantu” dalam diskur sus Fromm layaknya “hantu” Kar l Marx121,
memiliki karakter subversif . Namun, “hantu ” Fromm tidak sekadar
melancarkan aksi serangan dan penjajahan ke satu kelas sos ial belaka,
tapi hak ikat “kemanusiaan” secara utuh. Hal yang membangki tkan
kenangan Fromm pada Perang Dunia II. 122 Kecemasan ini melahi rkan
analog i klasik di mana Fromm merasakannya samar-samar kenger ian
120Erich Fromm, Revolusi Harapan, diterjemahkan oleh Kamdani (Yogyakarta: Penerbit PustakaPelajar, 1996), hal. 1.
121 Baca juga: Manifesto Partai Komunis, Karl Marx dan F. Engels.122
Fromm yang keturunan Yahudi Jerman dan pernah melarikan diri dari bangkitnya kekuatanFasisme Nazi kini menemukan sebuah bentuk Fasisme baru di dunianya yang “aman” danbarusan “bebas” dari sebuah perang besar. Namun ada ketakutan baru yang muncul padamasa itu; perang nuklir atau diktatorisme baru.
75
“hantu” dengan menekankan sebuah wujud tanpa kepast ian bentuk,
sesuatu yang kabur namun terasa nyata. Dualitas dalam penglihatan. 123
Ketakutan yang pal ing menghantu i Fromm adalah sul itnya
memilah antara “hantu” dan manusia, kacaunya identi fikasi . Maka
menurut Fromm, “Revolusi tahap kedua ditandai: bukan hanya energi
hidup saja yang digant ikannya, melainkan pik iran manusia juga
digant ikan oleh mes in-mesin.” 124 Dengan kata lain, sang “hantu”
menggantikan manusia tidak sekadar fis ik saja, namun “meniru” seluruh
bentuk dan cara berpik ir manusia hingga benar-benar menyerupa inya.
Juga karena manusi a menyatu dengan “hantu” dan tidak dapat
dibedakan antara keduanya, maka pik iran manusia dikendalikan oleh si
“hantu”, seh ingga manusia memasuki dunia revolusioner tanpa mampu
berpik ir untuk menolak maupun mengkaji yang ada dalam pik irannya.
Menerima apa pun begitu saja, menjad i satuan mes in yang tidak
mempunyai rasa dan emosi.
Timbal bal ik pen iruan ini berpengaruh pada manusia sebagai
satuan kesadaran uni ter sebaga i subyek. Ancaman dar i mes in-mesin
terdapat “di ri” itu sendir i, bukan sekadar penjajahan atas fis ik dan
alienasi roh sepert i pada era kap ita lisme abad 18. “Diri” bukan lag i
satuan lepas mandir i tap i, “perasaan -perasaan dalam hubungannya
123Pada kenyataannya bukan Erich Fromm satu-satunya orang yang merasakan kegelisahanserupa. walaupun dalam hal ini sangat mungkin muncul hanya sekedar sebagai trendpendapat intelektual masa itu. Tercatat sejumlah tokoh satu era dengan Fromm sepertiLewis Mumfort, George Orwell, Aldous Huxley, Zhigniew Brzezinski, Herman Kahn, JacquesEllul serta Herbert Marcuse yang melihat bangkitnya sebuah budaya teknologis baru. Danseperti Fromm, tokoh-tokoh tersebut mengkhawatirkan perubahan baru itu menuju padaarah munculnya satu kekuasaan baru yang diktator di mana manusia atau publik tidakmempunyai kontrol atasnya. Fromm merangkum komentar-komentar itu dalam satu bukunyaberjudul Revolusi Harapan yang ditulis pada tahun 1968.
124 Ibid 120., op. cit., hal. 28.
76
dengan orang lain dia tur oleh alat -alat yang mengkondisikan psikologi s
dan obat-obat bius, penipuan -pen ipuan lain yang dianggap member i
bentuk pengalaman instropektif baru.” Seh ingga antara manusia dan
mesin timbul relasi baru, di mana pos isi manusia sebaga i: “bagian dar i
mesin, diberi makan dan hiburan yang cukup tetapi pas if.” 125 Dar ipada
sekedar pen iruan, keserupaan yang identik, sang “hantu” bangki t
berevolus i menjad i sesuatu yang mut lak bentuknya dan meraksasa
ket imbang keberadaan manusia sendir i, yai tu “mega-mes in”126.
Kekhawati ran Fromm beralih sekarang, dar i kecanggungan karena dit iru
esensinya menjad i kenger ian akan penjajahan dar i yang lebih superior.
Fromm kemudian meramalkan manusia pada tahun 2000 akan
menjadi makhluk hambar dan tak berperasaan karena “mega-mesin”
mengambil alih semua tugas dan peranan manusia bahkan hingga pada
tahap kemandiriannya. Sepert i prediksi lainnya, kita menguj i sejauh
mana yang diramalkan Fromm akan menjad i kenyataan. Tul isan Fromm
dibuat pada tahun 1968 berdasarkan proyek si kecemasan atas kekuasaan
teknologi atas manusia masa itu. Sekarang, kita telah lewat dua tahun
dar i masa yang diramalkan Fromm. Kin i saatnya kita menguj i sejauh
mana teknologi tel ah muncul sebaga i “hantu” yang mengancam
kemanusiaan? Sementara semakin banyak ide yang menghubungkan
teknologi dan manusia bermunculan dar i masa itu hingga saat kin i, salah
satu yang penting ada lah paham “kesadaran global”.
125 Ibid.126
Diadaptasi dari istilah megamachine yang dikutip oleh Fromm dari buku karya Lewis Mumfortyang berjudul The Myth of The Machine, ditulis pada tahun 1966. (Ibid., hal. 3-5)
77
A. KE SA DA RA N DA N KE TI DA KS AD AR AN GL OB AL
Menurut sebuah teks tentang susunan syaraf otak, 127 sekitar 100 mil lia r
lebih neuron dalam otak manusia sal ing berkontak membangun
kesadaran manusia. Sedangkan jumlah populasi planet Bumi sementara
ini mencapai angka 6.231.415.889 jiwa, dengan pertumbuhan 1.25%
set iap tahun128, mereka sal ing kontak melalu i berbagai jar ingan
informasi yang diperantarai lis trik dan teknologi , keserupaan ini
memungkinan bumi dapat dipandang sebaga i “otak raksasa”. Walaupun
jumlah populasi manusia belum seband ing dengan jumlah neuron pada
otak, melalu i teknologi , kin i keduanya memili ki fungsi serupa.
Kemudian, keserupaan ini melahirkan interpretasi dan spekulasi tentang
evolus i manusia menuju tingkat totali tas kesadaran massal yang tunggal.
Sedangkan bas isnya ada pada jar ingan elektomagnet is teknologi s bumi
yang menyerupa i sis tem neural dar i sebuah otak massal .
Menurut Armahedi Mahzar ,129 totali tas kesadaran tunggal manusia
ini ada lah perwujudan dar i terminal spi ritual itas pal ing akh ir sepert i
yang diramalkan di tahun 1930-an oleh paleontolog, yang juga seorang
pastor Ordo Jesuit Pranci s, bernama Tei lha rd de Chardin sebaga i: “ti tik
Omega”, yai tu tit ik akhir proses evolus i semesta. Alih-alih, dengan
127Robert L. Solso, Cognitive Psychology (Boston: Allyn and Bacon, Third Edition, 1991), hal. 40.
128Data berasal dari The World Factbook 2001, CIA, seperti dikutip oleh Geohive(ttp://www.geohive.com/charts/pop_now.php). Data berlaku untuk tanggal 17-Jun-2002,dengan sehari sebelumnya jumlah populasi manusia di Bumi mencapai angka 6.231.205.019orang, pertumbuhan perhari sebanyak 210.870 orang.
129Armahedi Mahzar, Mencari Kesadaran Semesta di Alam Mayantara (Bandung: Onlinedocument: http//www.mizan.com/bukudewasa/cyberspirit.htm, 28 Mei 1999).
78
lahirnya konsep cyberspace130 ter jad i sua tu perkembangan pemiki ran
bahwa “ti tik Omega” Chardin bisa diwujudkan bukannya dalam diskursus
teolog i klasik , mela inkan ditemukan lah ir kembal i dalam perwujudan
teknologi s.
Pewartaan ide ini dalam bentuk diskursus yang leb ih intens if dan
provokati f datang dari Peter Russel l, penuli s The Global Bra in pada
tahun 1982. Menurut Russel l, “We have already noted that there are,
very approx imately, the same number of nerve cel ls in a human bra in as
there are human minds on the planet.” 131 Namun Russel l tidak sekedar
berhenti pada penyamaan tautologi s. Berdasarkan asumsi ini , Russel l
membangun argumen bahwa ada kesamaan antara cara per tumbuhan
otak manusia dengan jalan manusia berevo lus i. Russel l berusaha untuk
tidak hanya menarik kesamaan kuanti tat if, yang notabene sifatnya
statis . Karenanya dia mencoba menemukan sebuah “hukum” bag i evolus i
masyarakat manusia dengan merujuk basi s persamaan gar is sejarah
antara kesatuan jar ingan neuron dalam otak manusia dengan kesatuan
jar ingan kesadaran antar manusia dalam satu planet .
Menurut Russel l, otak manusia masa embrio mengalami dua fase
perkembangan penting. 132 Pada tahap awal ter jad i ledakan massif pada
jumlah sel otak yang ber langsung selama masa delapan minggu setelah
konsepsi. Setelah lima minggu, proses ini menurun hingga fetus memili ki
130“Di antara dua orang yang bercakap-cakap tentunya ada ruang. Ketika kita bercakap-cakapsecara lisan, ruang itu tak lain adalah ruang fisik yang tiga dimensi itu. Jika kita bercakap-cakap lewat telepon, tentunya ada sejenis ruang juga yang mengantarai kita,” kata Mahzar(Ibid., loc. cit.). “Ruang” itu yang kemudian disebut sebagai Cyberspace.
131 Peter Russell, The Global Brain, Bab 8, Towards a Global Brain (online document:http://www.peterussell.com/GB/globalbrain.html, tahun tidak tercantum).
132 Ibid., op. cit.
79
sel syaraf yang cukup bagi kelangsungan hidup. Manandai dimula inya
tahap dua, mil iaran sel baru terbentuk, yang sebelumnya ter iso las i satu
sama lain, mulai sal ing terkoneks i. Antara bag ian otak yang satu dengan
lainnya terbangun jar ingan yang mengikat sel -sel itu menjadi satu. 133
Kesadaran memula i keberadaannya.
Russel l mengamati hal serupa pada evolus i masyarakat manusia:
“For the last few centuries the number of ‘cells’ in the embryonicglobal brain has been proliferating. But today population growth isslowing, and at the same time we are moving into the next phase–thelinking of the billions of human minds into a single integratednetwork.”134
Pada tit ik ini , global bra in disadari leb ih dar i sekedar kesadaran
terkendal i. Selayaknya sel otak, jumlah manusia yang cukup untuk
menutupi sebagian permukaan bumi menjadi terkoneks i, sebuah
kesadaran baru dengan tugas utama untuk bersos ial isasi. 135 Maksudnya,
bumi sebaga i sebuah planet telah bangki t sebaga i organi sme baru yang
seband ing dengan sis tem syaraf pada otak, di mana semua masyarakat
seluruh dun ia dapat ber -“sosia lisasi” dengan bebas tanpa hambatan dan
dengan kecepatan mengagumkan layaknya ker ja jar ingan syaraf .
Hukum evo lus i masyarakat kin i mengikuti hukum per tumbuhan
biolog is. Russel l membangun suatu pondas i bagi pemiki r-pemiki r
selanjutnya untuk menemukan suatu kepastian sejarah. Dan, penopang
133Ibid.
134Ibid.
135Menurut Russell, kesadaran ini hanya bisa diamati sebagai sebuah realitas hanya melaluijarak yang cukup jauh:“This awakening is not only apparent to us, it can even be detectedmillions of miles out in space. Before 1900, any being curious enough to take a "planetaryEEG" (i.e., to measure the electromagnetic activity of the planet) would have observed onlyrandom, naturally occurring activity, such as that produced by lightning.” (Ibid., op. cit.)
80
dar i sejarah baru umat manusia itu tidak ter letak pada dir inya sendir i,
tapi sentra lnya berada pada teknologi cyberspace, sebuah ken iscayaan
dalam membawa manusia pada keterkoneksiaan secara utuh: “The more
complex our global telecommunication capabili tie s become the more
human soc iety is beg inn ing to look like a planetary nervous system .” 136
Adalah Douglas Rushkoff yang mendukung pernyataan ini . Di
kemudian har i, Rushkoff membawa ide ini dalam bukunya yang ber judul
Cyberia (1994). Berbeda dengan Russel l yang meni tik beratkan ide
tentang global bra in pada kesadaran yang menyatu, Rushkoff
mengungkap ket idaksadaran manusia ket ika terkoneks i sebaga i sebuah
organi sme global: “Each human being is an individual neuron, but
unaware of his connection to the global organism as a whole.” 137 Sifat
dar i ket idaksadaran global bra in adalah paradoks dar i tugasnya sebaga i
model “kesadaran tunggal bersama”.
Jika global bra in dianggap sebaga i suatu tingkat “kesadaran” baru
yang mel ibatkan manusia secara global, sebaliknya, global brain —
sepert i kata Rushkoff — justru bukanlah suatu hubungan yang
keberadaannya disadari subyek ( unaware)138 sebaga i satu kesatuan
organi s. Jika subyek (sebagai neuron ) tidak menyadari bahwa dir inya
terkoneks i dalam satu arus kesadaran tunggal, lalu apakah dengan
136Ibid., op.cit.
137 Douglas Rushkoff, Cyberia, (Online document: www.rushkoff.com, 1994).138 Hal yang sama sebenarnya juga dianut oleh Russell, walaupun dia berkali-kali menyebut-
nyebut global brain sebagai tingkat kesadaran yang lebih tinggi dari yang dimiliki manusiapada saat ini. Russel meyakini bahwa kesadaran global hanya bisa diamati dari jutaan mil diangkasa luar (baca kutipan tulisan Russell di catatan kaki no. 135). Atau dengan kata lain,bagi orang yang hidup di planet tersebut, kesadaran global tidak bisa benar-benar disadarisecara penuh keberadaannya.
81
demikian global bra in masih bisa dianggap sebaga i kelanjutan dar i
evo lusi kesadaran manusia?
Menjawab pertanyaan ini , Rushkoff berkomentar: “As more people
become connected, more feedback and iterat ion can occur, and the
Gaian 139 mind can become more fully conscious.” 140 Semakin manusia
membentuk atau menjadi jar ingan, maka interaksi membawa manusia
pada tahapan dimana global brain merupakan dimens i baru yang semakin
“disadari” dan “menyatukan”. Seh ingga terbangun sis tim baru yang
massal dan teratur, layaknya koordinas i jar ingan otak dalam
menjalankan tugasnya. Koneks i menjadi kata kunci yang menjembatani
dua dun ia; sadar dan tidak sadar. Koneks i diyakini membangkitkan
ket idaksadaran menjad i sesuatu yang nyata, sadar dan disepakat i:
“Evolut ion, then, depends on humanity”s abi lity to link up to one
another and become a global consciousness.” 141 Dar i sin i, sifat
ket idaksadaran global brain di transformasi menjadi satu cita-cita sadar
sepert i yang digambarkan oleh Russel l. Dar i sebuah ket idaksadaran
massal , global brain menjadi cita-cita yang diperjuangkan secara sadar.
Leb ih jauh lag i, global bra in dijabarkan dalam ideologi totali sas i
kesadaran;
“The people you are about to meet interpret the development of thedatasphere as the hardwiring of a global brain. This is to be the finalstage in the development of ‘Gaia,’ the living being that is the Earth,for which humans serve as the neurons. As computer programmers and
139 Gaia, adalah istilah untuk “bumi” dalam bahasa Latin. Adalah perwujudan dari sosok yangdiyakini sebagai “Dewi Bumi” Yunani. Istilah ini dirujuk oleh Rushkoff dari Gaia hypothesisdari James Lovelock, dimana mendukung keyakinan Russell bahwa planet Bumi sendiri adalahsebuah raksasa organik yang hidup secara biologik.
140Ibid 137., op.cit.
141 Ibid.
82
psychedelic warriors together realize that ‘all is one,’ a common beliefemerges that the evolution of humanity has been a willful progressiontoward the construction of the next dimensional home forconsciousness”142
“All is one ,” demikian cita-cita Rushkoff di atas, yai tu kesatuan tungga l
yang menjad i tujuan akh ir evolus i kemanusiaan baru. Kesatuan yang
dimaksud tidak sekedar terdapat pada kesadaran saja, namun juga
ket idaksadarannya, seh ingga faham ini membangun dunia “sadar” hingga
pada akar mentalnya. Sedangkan Rus sel l mengungkapkan cita-cita serupa
dalam bahasa yang leb ih ekspli sit : “.. .a sense of oneness and uni ty is
exactly what is ref lected ini thi s picture of the planet ... It symbol ises
the growing awareness that we are One Humanity, liv ing on One Planet ,
and with One Common Destiny.”143
Di mana letak kesadaran ind ividu di tengah-tengah bangki tnya
kesadaran global ? Menurut ide global bra in, kesadaran ind ividu bukannya
lenyap, tap i terakumulasi dalam satu kesadaran tungga l yang menyatu
dengan pijakan yang sama: “There are also parallels between the
evolut ion of the global bra in and the evolut ion of mental functions .” 144
Atau dengan bahasa lain Rus sel l mengatakan kesadaran dan
ket idaksadaran ind ividu mengalami evo lus i dengan bangki tnya global
brain. Jad i bukan akumulasi dar i kesadaran -kesadaran ataupun
penanaman ben ih kesatuan pada ket idaksadaran, tapi juga
persenyawaan merata yang ber imbas pada perubahan mental dan
142Ibid.
143Kutipan ini berasal dari transkip video sountrack yang berjudul The Global Brain. Untukmendapatkan transkrip ini bisa mengunjungi website pribadi milik Peter Russell yangberalamat di: http://www.peterussell.com/GB/Gbtext.html
144 Ibid., loc. cit.
83
kesadaran ind ividu yang ter libat. Sedangkan, sebuah kesadaran global
yang awalnya terjad i tanpa kesadaran ind ividu, per lahan-lahan bangki t
mengatasi kesadaran-kesadaran lainnya dan menjad i satu kesadaran
utuh.
Leb ih penting lag i, global bra in sejalan dengan perwujudan cita-
cita humani sme baru dalam bentuk “kebersamaan” absolut yang secara
kontras mengandalkan teknologi sebaga i sarana utama (padahal bag i
Fromm misalnya, teknologi menjad i anti tes is bag i humani sme). Sadar
atau tidak, Russel l mengamini hal ini :
“New technologies, new communication protocols, new software andother developments will make the net of ten years time as hard toimagine today as laptop computers talking to each other across theglobe were twenty years ago.” 145
Antara evolus i yang dilandaskan pada teknologi , dan evolus i kesadaran
manusia (kemanusiaan) tidak bisa dibedakan lag i. Dalam global brain ,
teknologi dan kesadaran (ataupun ket idaksadaran) adalah satu kesatuan
dalam sebuah cita-cita utopis humanisme universal versi kontemporer.
Ini menunjukkan perbedaan pandangan, di mana Erich Fromm dan
rekan-rekannya menganggap teknologi sebaga i ancaman potens ial
terhadap kemanusiaan, sementara Russel l dan Rushkoff menganggap
teknologi justru merupakan unsur utama untuk mencapai kemanusiaan
ideal. Sebenarnya apa yang membuat kedua generasi pemiki ran ini
membuat jurang lebar dalam sikapnya kepada teknologi? Kenyataan
bahwa saat Erich Fromm menuli s tentang kekuasaan mega -mesin
145 Ibid 131., op. cit.
84
komputer yang disebut -sebut sebagai sumber kontro l utama, teknologi
komputer mas ih merupakan “makhluk” asing bag i publik , mungkin
termasuk Fromm sendir i. 146 Walaupun revolusi komputer generasi
pertama hingga generasi ket iga dengan IC (Integrated Circuit) ter jadi
pada tahun-tahun awal akh ir PD II hingga pertengahan tahun 1960-an,
komputer terutama hanya banyak dikenal di kalangan mil iter, akademisi
dan sediki t dikena l kalangan bisnis melalu i IBM (International Bussiness
Machine). Pada masa ini cer ita -cer ita tentang komputer leb ih banyak
merupakan fantas i ket imbang pengenalan “sesungguhnya” tentang fungsi
dan cara kerja komputer. Fromm dan teman-temannya mengamati
perkembangan pesat itu dengan disertai rumor-rumor seram, sedangkan
di kantor-kantor perusahaan, komputer leb ih dikenal dar i nilai pretise-
nya ket imbang teknologi fungsiona l. 147
Kontras dengan generasi Fromm, Russel l dan Rushkoff yang mas ih
satu generasi di bawah, bukan hanya mengenal komputer dar i sebuah
jarak lenggang. Jauh dar i itu , revolusi mikro -elektron ik pada era
selanjutnya berhas il merubah komputer menjadi tidak beda dar i
teknologi pendukung kehidupan sehari -hari lainnya, sepert i; televisi,
kulkas , sendok dan lain-lain. Terutama disebabkan juga membanjirnya
PC (Personal Computer) pada pasaran dun ia yang telah dimula i sejak
146Roger Fidler, menggambarkan betapa pada awal komputer-komputer raksasa berukuran saturuangan penuh dipublikasikan ke publik menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagaikelompok masyarakat. Dengan imajinasi yang berkembang tentang kompleksitas dankekuatannya, komputer telah menjadi “kuil-kuil baja” hanya karena ukurannya yang raksasadan terbuat dari baja. Sebagai “kuil”, simbolisme relijius dari komputer diperkuat olehpenampilan operatornya yang bermuka serius dengan jubah putih layak disebut sebagaipendeta teknologi digital. (Baca catatan kaki no. 3, Bagian Pertama dari Mediamorfosis.Memahami Media Baru (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal. 46.
147 Robert Sobel, IBM: Raksasa dalam Masa Peralihan, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia olehRossi Sanusi dan disunting oleh Nin Bakdi Sumanto (Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 1986). Baca Bagian IV, hal. 303-364.
85
pembukaan tahun 1970, dan munculnya revolusi WWW (World Wide Web )
menjelang mil len ium ket iga. Perkembangan arah dan arus teknologi
komputer dar i era Fromm yang banyak didominas i mes in -mes in raksasa
rumit dan eks lus if menuju mikro -komputer yang sederhana dan “ramah”
pada era pertengahan 1970-an, member ikan jurang cukup luas bag i
pandangan kedua generasi mengenai peran teknologi dan relasinya
dengan kemanusiaan. Namun, sejauh mana perubahan wujud dar i
teknologi ini mempengaruhi panda ngan tentang perannya sebaga i
ancaman atau sebaga i alat bantu utama kemanusiaan, hal ini masih
sangat diragukan. Terutama sekali , ide sepaham dengan global bra in, di
mana teknologi dil iha t sebaga i alat rea lisasi kemanusiaan, justru telah
ada jauh sebelum komputer maupun teknologi informasi lainnya
mewabah di seluruh dunia.
Seorang penuli s fiksi ilmiah terkemuka, yai tu H.G. Wel ls 148, pada
tahun 1937 membayangkan adanya suatu sis tem kontro l jar ingan
informasi yang disebu tnya sebaga i world bra in149. Dalam bayangan Wel ls,
world bra in terdir i dari sebuah pusat informasi yang menyimpan seluruh
pengetahuan manusia dalam satu sentra l memori raksasa dan kemudian
148Herbert George Wells (1866-1946), penulis berkebangsaan Inggris. Lulus dari LondonUniversity dengan gelar bidang Biologi pada tahun 1890. Keberhasilannya yang paling utamaadalah menggabungkan pengetahuan ilmiahnya dengan visi fantastis melalui sejumlah karyafiksi ilmiah, di antaranya yang paling terkenal adalah; The Time Machine (1895) dan The Warof Worlds (1898). Banyak ide-ide Wells yang sampai saat ini masih diulang untuk diperdalamdan berpengaruh terhadap perkembangan sains maupun sosial. Salah satu paham yangdianutnya adalah tentang negara yang dipimpin oleh sejumlah ilmuwan (teknokrasi).
149 Nama ini, mau tidak mau, mengingatkan kita pada nama global brain yang diberikan PeterRussell pada idenya. Namun ada sedikit perbedaan antara keduanya yang akan segeradibahas.
86
menghubungkan set iap orang yang mengaksesnya.150 “Pusat Informasi”
ini terdir i dar i uni t tugas sekumpulan ilmuwan pakar informasi yang
ter lat ih dan dengan memanfaatkan semua teknologi informasi yang ada
pada eranya, kemudian mengambil peran sebaga i pusat perencanaan
pengetahuan bag i dun ia:
“In a universal organisation and clarification of knowledge and ideas, ina closer synthesis of university and educational activities, in theevocation, that is, of what I have here called a World Brain, operatingby an enhanced educational system through the whole body ofmankind.” 151
Mereka ada lah pihak yang mengetahu i segala sesuatu yang terjad i,
melakukan pemilahan , kemudian menentukan apa yang layak dan tidak
untuk did ist ribusikan kepada masyarakat sebaga i satu-satunya sumber
informasi dan pengetahuan yang val id:
“a World Brain which will replace our multitude of uncoordinatedganglia, our powerless miscellany of universities, research institutions,literatures with a purpose, national education systems and the like; inthat and in that alone, it is maintained, is there any clear hope of areally Competent Receiver for world affairs, any hope of an adequatedirective control of the present destructive drift of world affairs.”152
Singkat kata, pusat informasi world bra in adalah sebuah usaha
dalam ska la massal untuk memilah dan merombak seluruh saluran
informasi yang pada awalnya semerawut dan tak tidak terkontro l, untuk
ditata, disusun, dan diatur kembal i sesuai dengan kaidah keteraturan
150Donald Michie, The Social Aspects of Artificial Intelligence, sebuah artikel yang dikumpulkandalam sebuah buku yang berjudul Micro-electronics and Society, disusun dan diedit olehTrevor Jones (London: The Open University Press, Milton Keynes, 1980), hal. 128-129.
151Wells, H.G., World Brain, 1938, hal. xvi, seperti dikutip oleh W. Boyd Rayward dalam H.G.Wells Idea of a World Brain: a critical Reassessment (Journal of The American Society forInformation Science 50, Mei 1999), hal. 557-579.
152 Ibid., loc.cit.
87
tertentu agar terhindar dar i meledaknya jar ingan informasi
“menyimpang” dan “merug ikan” bag i masyarakat. Ide Wel ls ini didorong
oleh pada ang gapan terjad inya inefis iensi pada sis tem informasi dan
pendid ikan di masa itu, sehingga diperlukan: “preliminary ideas for a
federal world contro l of such things as communications, health, money,
economic adjustments, and the suppression of crime." 153 Jadi ada
informasi yang mengganggu, mengacaukan, dan merupakan kejahatan,
sehingga diperlukan sebuah langkah penert iban untuk menatanya
kembal i pada jalur yang leb ih efi sien. Bersama-sama dengan teknologi
informasi , sekelompok orang dengan kewenangan dominan aka n
melaksanakan tujuan ini , mereka kemudian menjelma menjad i dalam
wujud yang meta-teknobio log is, yai tu: world bra in. Teknologi yang
diperkena lkan oleh H.G. Wel ls ini dapat dib ilang “ramah” karena
dar ipada sekadar memesinkan manus ia, mes inpun berupaya
dimanusiakan, dan letak penyampuran kemanusiaan dan mes in ini
ditekankan pada kontro l dan dis ipl ini sas i informasi .
Hal ini menjadikan ide H.G. Wel ls menarik diperhatikan, bukan
hanya karena paham ini muncul pada masa yang kurang sesuai, namun
lebih disebabkan sifa t meta-teknob iologis ide itu. Karena itu, jika ide
ini diband ingkan dengan konsep meta-teknob iologis lainnya sepert i
global bra in Rus sel l dan rekan -rekannya, maka dimungkinkan melakukan
kaj ian yang diharapkan member ikan gambaran modifikas i diskursus yang
ber langsung dar i satu per iode menuju per iode ber ikut dalam sebuah
“skema transformasi”.
153Ibid.
88
Sepert i yang diduga sejak awal, walaupun memili ki kesamaan
dalam nama, terdapat perbedaan mencolok pada keduanya yang tidak
bisa diabaikan. Baik Russel l, maupun Rushkof f beranggapan global brain
merupakan sarana menuju pembebasan manusia dar i keterasingan satu
sama lain.154 Bertolak belakang dengan ide pembebasan, melalu i wor ld
brain, Wel ls leb ih menekankan akan mis i kontro l. Karena itu, Wel ls
sendir i sangat menyadari bahwa wor ld brain memili ki nuansa pol iti s:
“bring all of the scattered and ineffect ive mental wea lth of our world
into something like common understanding, and into effect ive reaction
upon our vulgar everyday pol iti cal , soc ial and economic life.” Beda dar i
Wel ls, Rus sel l dan Rushkoff berusaha menunjukkan bahwa global bra in
merupakan sarana pembebasan spi ritual , cita-cita perdamaian dan
kesatuan mistis dengan “ibu bumi”, ket imbang kekhawati ran akan
inefisens i informasi dan upaya regulasi terhadapnya.
Namun, perbedaan ini merupakan pemisahan diskri t untuk
keduanya atau jus tru hanya permulaan? Sebagai sebuah ideali sas i evolus i
masyarakat, keduanya dimula i dar i rancangan sama: yai tu terkoneks inya
semua manusia oleh teknologi dalam satu jar ingan. Walaupun sep intas,
yang satu menganut sis tem koneks i terpusat dan yang lain menawarkan
sistem koneks i menyebar tanpa pusat. Tetapi , ket ika manusia terkoneks i
satu sama lain, baik dalam global bra in maupun world brain,
kebangkitan sebuah “kesadaran” baru yang bersifat melam pui kesadaran
154 Dalam hal ini Rushkoff pernah berkata, “...values of the original Internet community: thereis no boss, anyone can participate, and the more contributions from around the world, thebetter. The object of a rave dance is to join a large group together, at least temporarily,into a single, joyful, coordinated being.” Simak di : Douglas Rushkoff, Electronica. The TrueCyberculture, (online document: http://www.rushkoff.com/cgi-bin/columns/display.cgi/e -lectronica, May 1999).
89
manusia dianggap sebagai hal tak terelakan. 155 Kesadaran integral itu
dijabarkan dengan sangat baik pada konsep global bra in maupun world
brain. Dalam cita-cita utopia yang tidak berbeda dengan All is one yang
dikumandangkan Rushkoff maupun unity of mind -nya Russell, Wel ls
menggambarkan cita -cita yang melandasi lah irnya world bra in:
“These innovators, who may be dreamers today, but who hope tobecome very active organizers tomorrow, project a unified, if not acentralized, world organ to “pull the mind of the world together”,which will be not so much a rival to the universities, as a supplementaryand co-ordinating addition to their educational activities- on aplanetary scale”156
Dar i pernyataan ini , tersingkap bahwa kecenderungan sentra lisasi dar i
world bra in sebenarnya tidak luput dar i perhat ian Wel ls. Wel ls
menyadari benar keterbatasan akan idenya ini .157 Namun Wel ls menaruh
keyakinan bahwa wor ld brain pada perkembangan selanjutnya akan lebih
member i kebebasan dengan menemukan bentuk yang lebih mudah
diterima oleh massa: “I hope, forecasting here, in such a permanent
organi sat ion of knowledge, systemati cal ly assembled, continual ly
extended and renewed and made freely and easily access ible to
everyone.” Bersama harapan tersebut, Wel ls tetap pada pendir iannya
155Rayward (Ibid 151), contohnya, menganggap tidak ada perbedaan yang berarti pada keduaide tersebut. (Ibid 139., op. cit.)
156 H.G. Wells, World Brain: The Idea of a Permanent World Encyclopaedia, (EncyclopédiaFrançaise, Agustus, 1937) dapat dibaca di online document: http://sherlock.berkeley.edu/wells/world_brain.html)
157Ada yang berpendapat bahwa Wells tidak menyadari bahaya dari pandangannya yangmenjurus menuju ke arah fasisme dikarenakan pada saat Wells menulis idenya, Nazi sebagaikekuatan utama Fasisme dunia belum benar-benar muncul sebagai ancaman (Ibid 151., loc.cit). Namun penulis kurang setuju dengan pendapat ini, menurut penulis cita-cita suatumasyarakat yang menyatu secara utuh dan terkontrol secara otomatis bukan semata-matapandangan yang dianut oleh Fasisme Nazi, tapi juga oleh kaum Liberal maupun Sosialis.Lagipula, ancaman tentang kekejaman Nazi pada awalnya bukan didasarkan pada doktrintotalianisme pada Nazi, tapi lebih tergantung pada cerita-cerita kekejaman Nazi terhadapkaum Yahudi dan invasinya terhadap seluruh Eropa dan Afrika.
90
bahwa world bra in akan membawa manusia pada satu “keteraturan
bersama”, hanya saja penerimaan yang diberikan sifatnya “sukarela”:
“like a nervous network, a system of mental control about the globe,knitting all of the intellectual workers of the world through a commoninterest and common medium of expression into a more and moreconscious co-operating unity and a growing sense of their own dignity,informing without pressure or propaganda, directing withouttyranny”158
Jika diband ingkan dengan pendapat Rushkoff tentang transformasi
global bra in dar i keterkoneksian tidaksadar menuju koneks i sadar, ide
Wel ls di atas menemukan jalan keluarnya. Kontro l atas informasi terjad i
tidak dengan paksaan, melainkan sebaliknya, berdasarkan transformasi
meningkatnya kesadaran untuk bekerjasama dalam kesatuan dengan
world bra in 159. Sehingga untuk mencapai kontrol melalu i world brain ,
tidak ada yang merasa dikekang oleh sebuah kekuasaan diktator.
Maksudnya, dengan teknologi world bra in, “subyek” atau “indiv idu”
dalam jumlah besar dapat diarahkan menuju suatu keteraturan massal
tanpa per lu merasa adanya pemaksaan dar i luar. Mereka diawas i melalu i
suatu mekani sme, tanpa merasa kehadi ran satu “kesadaran” raksasa di
bal ik kesadaran mereka. Semua informasi yang mereka ter ima adalah
jalur yang “benar” dan “efekt if”, tidak pernah ada informasi yang
“tidak baik” dan “erosi” mental. Dengan demikian, semua manusi a hidup
dalam sebuah uni-rea litas dan uni-humani tas tak terbantahkan.
Lin ier dengan keadaan ini , global bra in menawarkan kebebasan
spiritual , bukan pengontrolan atas dir i. Walaupun, kebebasan spi ritual
158 Ibid 139., op. cit.159
Sedangkan dalam global brain, semakin sadar individu akan terkoneksi dirinya dengan oranglain, semakin kuat kebersamaan yang muncul.
91
yang ditawarkan ter ikat oleh kerangka ter tentu. Walaupun mil liaran
manusia terkoneks i atas kemauannya sendir i, namun mereka tidak
pernah menyadari bangki tnya satu kesadaran raksasa, hingga kemudian
disadarkan hanya untuk semakin mengencangkan ikatan koneks i
tersebut. Peralihan keadaan koneks i tidaksadar menuju koneks i yang
sadar tidak mengandung kemungkinan lain kecual i hanya semakin
kuatnya kebutuhan akan koneks i dan “kebersamaan” yang terjal in
bersama dengannya. Segala kemungkinan yang tidak sesuai atau mungkin
bertentangan diabaikan. Hal ini bisa ter laksana jika semua orang
merasakan keterkoneksian secara global dengan perasaaan “bebas”,
“bahag ia” dan “keber samaan”. Seh ingga, segala sesuatu yang menunjuk
pada ind ikasi ber lainan arah dengan top ik ini akan disubl imasi secara
sadar maupun tak sadar oleh massa.
Sebaga i contoh, Rushkoff pernah menggambarkan kebangkitan
global bra in sebaga i perubahan pola evolusi manus ia yang sebelumnya
acak atau tak teratur dar i serangkaian seleks i alam menjadi pola yang
lebih “pasti” dan “je las”.160 Dalam pandangan ini , keinginan untuk
melakukan kontro l atas jalannya sejarah menuju sesuatu yang lebih
terkendal i sangat kentara. Hal ini membuat global bra in tidak jauh
berbeda dalam cita-cita untuk membentuk arah sejarah yang pasti,
sepert i halnya world brain, walaupun sama-sama mengandaikan adanya
“kebebasan” dalam keterl ibatan. Baik dalam world bra in maupun global
brain, tidak ada usaha untuk melakukan keseragaman fis ik atau psikis ,
yang ada hanya upaya member ikan kepada massa sebuah fokus yang
160Rushkoff dalam hal ini berkata, “Evolution is seen more as a groping toward than a randomseries of natural selections. Gaia is becoming conscious.” ( Ibid 137., op. cit.)
92
jelas, pasti dan terarah tanpa perasaan terkekang atau terpaksa secara
mental maupun fis ik. Dengan demikian, baik global bra in maupun world
brain menawarkan suatu dunia baru, arus dan arah informasi yang tidak
lagi sekedar menawarkan “kebebasan”, namun telah menjad i “takdi r”
yang tidak per lu disembunyikan di alam bawah sadar. Kesatuan bersama
membawa kesadaran pada pengalaman sejarah yang pasti.
Dalam wor ld bra in, regulasi atas informasi dan pengetahuan
terjad i tetapi tidak ada “hukuman” jelas bagi yang tidak sepaham
dengan arah yang ditentukan. Bisa jadi, hal ini dikarenakan Wel ls yak in
bahwa ket idaksepahaman tidak bakal terjad i jika seluruh sup lai atas
informasi telah berhas il dimonopol i. Sedangkan, pada global bra in tidak
ditemukannya adanya suatu dis ipl in yang transparan, namun secara tak
sadar dan ber lahan-lahan massa global dituntun pada sebuah kebenaran
pra -sadar yang kemudian disadari untuk dikut i arah geraknya. Tidak
digenapinya “takdir” terwujudnya global brain berart i merupakan
stagnasi dan dekadensi bag i seluruh manusia, macetnya evo lus i dan
vakumnya sejarah (atau inefis iensi peradaban manusia menurut world
brain). Karena itu, global bra in Russel l dan Rushkoff bukan lain adalah
kelanjutan dar i perkembangan ide Wel ls tentang world bra in hingga
dalam format yang tampak lebih bersahabat dan mut lak secara
eks istens i dar ipada sebelumnya.161
161Walaupun tentunya bagi Russell dan Rushkoff yang yakin bahwa idenya adalah awal daripembebasan umat manusia tidak akan setuju dengan penyandingan ini. Beberapa keadaantetap menunjukkan bahwa “sentral regulasi informasi” pada world brain yang digambarkanmemiliki keberadaan fisik muncul kembali dalam global brain menjadi sosok yang lebihmistis dan spiritual sebagai cyberspace. Ada kontras, sekaligus ada kemiripan. Perpindahansosok sentral material menjadi virtual bisa dianggap sebagai modifikasi paling maju dariworld brain menuju global brain. Penerjemahan cita-cita Wells dalam wujud yang lebih
93
Ringkasnya, dalam menyorot kebangkitan global bra in atau world
brain162 tidak bisa disorot semata-mata sebaga i sebuah fenomena yang
hanya berada jauh pada masa mendatang, atau dianggap belum eks is.
Dominasi ket idaksadaran atas keterkoneksian dan “kesadaran yang
tertuntun” member ikan sifat ideologis dan mitologis padanya, yang
berart i juga bahwa dia dibentuk dar i satu kemungkinan dar i ideologi-
ideologi lainnya di sua tu masa dan diberi sifat kek inian. Walaupun aspek
“mater ial” sepert i teknologi informasi mengambil and il yang tidak
sediki t di dalamnya, namun nubuat tentang bangki tnya “kesadaran
raksasa” massal itu leb ih banyak mel ibatkan proyeksi ke masa depan,
selain pengalaman masa lalu, tanpa mel iba tkan suatu pengalaman “saat
ini”. Dia [ada] sebaga i bangunan kontruksi dalam ket idaksadaran sebaga i
ideologi tetapi diaku i memili ki cir i-cir i pengalaman “empir is”.
Ket idaksadaran pada subyek atas “mega-kesadaran” (sang meta-
teknob iologi ) ini menjadi gejala second personality bagi subyek , yaitu
“kesadaran” yang diakarkan pada suatu imaji tentang totali tas bumi
tempat mereka berpijak. Suatu pembauran “fakta” dengan “mitos”,
sehingga bumi yang bulat bukan lag i sekadar bermakna sederhana
sebaga i “tempat berpijak umum untuk yang plural”, tap i juga menjad i
ramah dan bisa diterima, seperti halnya transformasi komputer raksasa dalam satu ruanganyang menetap dan terbatas menuju mini komputer yang jamak, plural dan portable.
162 Secara etymologi global dan world memiliki konsekuensi pemahaman yang berbeda. globalberasal dari kata globe yang memiliki arti “bentuk bulat”, dan biasanya mengacu pada idetentang bentuk bumi yang bulat. Sedangkan kata world atau “dunia”, memliki dasar maknayang sifatnya bisa meluas, hingga bersifat filosofis metafisik ketimbang material kongkret.Namun kalau kita menyelidiki akar kata globe, hal ini juga mengarah sapa pada pemahamanbahwa bentuk bulat adalah bentuk dengan sifat tak terukur secara eksak (diwakili olehsimbol π). Seringkali globe ataupun global digunakan juga untuk menggambarkan sesuatuyang mutlak, menyeluruh atau tak terbatas: universum (Orang Yunani misalnya,menggambarkan alam semesta atau universe dalam bentuk globe). Jadi globe atau globalsendiri memiliki sifat pengertian metafisik, seperti istilah world juga sering digunakan untukmerujuk pada makna bumi secara fisik. Untuk kajian perbedaan diskursus antara keduanyasimak di Apendiks B.
94
mekani sme teknologi penggalangan kesadaran baru yang leb ih massal
dan sukare la. Keterlepasan dar i keterasingan adalah juga menerima
kesadaran permukaan bumi yang menyeluruh, tanpa batas, dan sal ing
ter ikat satu sama lain, dalam satu kebulatan yang searah dan sefokus
sebaga i kemungkinan bagi cara subyek yang parsia l untuk eks is. Second
personali ty bukan hanya merupakan ist ilah untuk menyebutkan adanya
satu kepribadian yang eks is dalam kepribadian lainnya, melainkan suatu
interupsi atas pengalaman realitas pribad i itu sendir i melalu i mekanisme
yang terpola “di dalam” dir inya sebagai “warga dunia”, sang global
brain dalam wujud massalnya.
Pada akh irnya, “kesatuan kesadaran manusia” se -dun ia
tergantung pada pola-pola kerja teknologi s yang sedang ber laku. Dan
teknologi yang akan menghantarkan pada penggenapan kaj ian hipotesis
mekani sme regulasi “warga dun ia” ada lah teknologi layar yang berbas is
pada kesadaran gobal .
B. AR KE OL OG I BU MI : LA HI RN YA “W AR GA DU NI A”
“Bumi itu bulat,” demikian bunyi keyakinan tentang tanah yang kita
pijak saa t ini : sebuah planet raksasa dengan bentuk bulat. 163 Sejak
Ari stoteles, Orang Yunani telah mengenalnya, namun “ide” (atau
“fakta”) ini menjadi lebih penting sejak dimula inya Abad 15 dengan
pelayarannya dan Abad 19 dengan revolusi indust ri. Dan, ket ika mis i
163Dalam hal ini sekolah, selain lembaga meteorogi dan geofsika, adalah lembaga utama yangpaling berperan menanamkan ide ini dalam kesadaran publik. Selain itu, dalam model lain,global brain atau world brain menjadi “pusat lokal” lain yang bekerja dalam “sisinonformal.”
95
Appolo 11 ke bulan pada tahun 1969 mengir im gambar -gambar foto
“as li” bumi dar i jarak jutaan mil , imaji “bumi yang bulat” semakin
tertanam kokoh dalam sanubari pub lik . Sebuah kesadaran yang
sebelumnya telah terbentuk semakin kokoh ter tanam sebaga i
pengalaman empiri s. Kesan “global” dar i bumi semakin utuh ter tangkap
oleh indera dan eks is dalam pengalaman sehar i-har i. Ferdinand Magellan
memang berhas il membuktikan bumi itu bulat, ket ika dia ber layar dar i
timur melewati Atlant ik, Pas ifik dan kembal i dar i barat melalu i Tanjung
Harapan. Namun tidak ada yang lebih penting bag i Magellan dan orang-
orang Spanyo l diband ing dengan penemuan daerah koloni baru. Dalam
hal menyadari art i pentingnya bumi yang bulat adalah Phi leas Fogg164,
salah satu tokoh dar i dar i masanya (Abad 19) yang boleh dianggap
mewartakan “mukjizat” ini .
Phi leas Fogg memula i kisah mengel iling dunia dalam jangka waktu
delapanpuluh har i tidak mengawalinya dengan memohon atau meminta
restu dar i Ratu Inggri s atau sebuah spekulasi yang kabur tentang
makhluk-makhluk buas diseberang lautan, melainkan membu at sebuah
rancangan perkiraan eksak sebaga i ber ikut; 165
Dari London ke Suez via Mont Cenis dan Brindisi, dengan keretadan kapal uap ............................................................Dari Suez ke Bombay, dengan kapal api uap.........................Dari Bombay ke Calcutta, dengan kereta api........................
7 hari13 "
3 "
164Tokoh dalam novel karya Jules Verne yang berjudul “Around The World in Eighty Days.”Ditulis pada tahun 1873. Menurut Verne, Phileas Fogg tokoh utama cerita ini hidup disekitartahun 1872. Dia seorang bujangan aristokrat kaya Inggris yang hidup hanya ditemanipelayannya.
165Jules Verne, Around The World in Eighty Days (Guentenberg Project e-text, etext #103,January 1994). Kutipan di bawah diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia olehpenulis.
96
Dari Calcutta ke Hong Kong, dengan kapal api uap ................Dari Hong Kong ke Yokohama (Jepang), dengan kapal api uap ...Dari Yokohama ke San Francisco, dengan kapal api uap ..........Dari San Francisco ke New York, dengan kereta api ...............Dari New York ke London, kapal api dan kereta api ...............----Total .......................................................................
13 "6 "
22 "7 "9 "
80 hari
Daftar ini merupakan perencanaan per jalanan mengel ilingi dunia yang di
mulai dar i arah timur London, dan kembal i ke tempat yang sama dar i
arah sebaliknya. Sebagaimana mes in-mes in pabrik pada Abad 19 yang
bekerja teratur dan tepat dengan hitungan waktu dan satuan yang
cermat, Fogg meyakini dan melakukan serupa untuk rencana
perjalanannya. Bagi Fogg, mengel ili ng dunia tidak membutuhkan
pengetahuan atas wilayah dan budaya setempat, tapi cukup dengan
memperkirakan teknologi yang hendak dipakai dan menentukan tit ik
koordinat daerahnya, sehingga waktu bisa ditepatkan hingga per -har i,
kemudian dijumlahkan keseluruhannya. Dun ia, menurut kacamata Fogg
adalah satuan jumlah har i, sedangkan wilayah yang akan dilalu i
direduksi sebaga i tit ik-tit ik geografis yang matematis .
Fogg (bersama Passepartout, pelayannya) memula i perjalanan
untuk membuktikan keyakinannya, berawal dar i London har i Rabu, 2
Oktober, pukul sembilan malam, ditetapkan akan kembal i ke tempat
yang sama di ruang per temuan Klub Reform pada Sabtu, 21 Desember,
pukul sembilan malam juga atau tepat delapan puluh har i kemudian.
Fogg harus membayar dua puluh ribu pounds pada teman -temannya jika
ia gagal mencapai waktu yang ditetapkan olehnya sendir i, namun jik a
hal sebaliknya terjad i, Fogg memenangkan uang dalam jumlah yang
sama. Perjalanan Fogg tidak mengandung mis i lain dan tujuannya
97
direduksi dalam hal remeh sepert i taruhan. Leb ih menarik lag i, Fogg
ter libat dalam permainan ini bukan karena kehendaknya sendiri
melainkan dip icu oleh perbuatan pelayannya. Sebaga i seorang pria
Inggri s, Fogg hanya menjaga kehormatannya. Walaupun teman-temannya
selalu member ikan kesempatan membatalkan taruhan sambil
menyatakan ket idakpercayaannya, Fogg hanya menjawab: “Quite
possible, on the contrary.” Ket ika keyakinan ini kembal i disanggah, Fogg
semakin menegaskan bagaimana segala sesuatu dapat diperk irakan
dengan efi sien, ringkas secara matematis dan semua res iko kekeli ruan
bisa dicegah seminim mungkin: “A wel l-used min imum suffices for
everything,” lalu Fogg kembal i menambah, “I wil l jump—
mathemati cal ly”166 Layaknya keyakinan Revolusi Indust ri dengan
teknologi yang sedang ber langsung pada Abad itu 167, begitu lah yang
diyakini Fogg pada perhitungan waktu perjalanannya dalam skala
kemampuan mesin. Teknologi , sepert i keyakinan masa itu, telah berhas il
membuka jalur transportasi mengel ili ngi gar is tengah bola bumi,
sedangkan dalam informasi telah dipasang kabel telegram pada
sepanjang laut Atlant ik yang menghubungkan Amerika dengan Eropa.
Dengan cara ini Fogg menguj i keyakinannya akan kepast ian waktu yang
ditetapkan teknologi , dia menjengka li permukaan bumi, bukan hanya
dengan membuat perkiraan eksak sambil duduk di London saja.
166Ibid., op.cit.
167Sejak tahun 1850, di Eropa, terutama Inggris, berlangsung suatu perubahan besar-besarandalam kehidupan yang kelak disebut sebagai Revolusi Industri. Mesin yang cepat dan telitidalam bekerja mulai muncul sehingga produksi massal dapat terjadi. Hal ini banyak dibantuoleh berkat teori-teori murni dalam ilmu pengetahuan mulai dikembangkan dandimungkinkan penerapan dalam teknologi, termasuk dalam hal ini seperti Fisika, Kimia danMatematika. Ditulis oleh S. C. Burchell dan Pustaka Life Time, ed., Abad Kemajuan: AbadBesar Manusia-Sejarah Kebudayaan Dunia (Jakarta: P.T. Tiara Pustaka, 1986).
98
Petualangan demi memperoleh pengalaman “empir is” akan mengel il ing i
permukaan bumi, ser ta memperkuat keyakinan akan kemampuan
teknologi .
Kenyataannya bukan hanya teknologi yang membantu Fogg
memenangkan taruhan tersebut. Walaupun banyak kejadian dan keadaan
yang tidak sesuai dengan perencanaan (Fogg sempat menggunakan
kereta kuda, kapal layar, kapal dagang, kereta sal ju, bahkan gajah,
selain kapal api uap dan kereta api yang direncanakan sebelumnya),
namun dia berhas il memenangkan taruhan sebesar dua puluh ribu pound.
Uniknya, dia tidak mengel ili ngi bumi selama delapa n puluh har i, tap i
dalam delapan puluh satu har i! Fogg ter lambat 24 jam, namun ada
faktor khusus yang tidak disadarinya. Diam-diam “fakta obyekt if” sangat
membantunya, yai tu: bumi itu bulat.
Jules Verne 168, penuli s buku ini sebagai Phi leas Fogg yang
“sebenarnya”, menggambarkan bagaimana hal ini bisa terwujud dalam
kutipan di bawah ini ;
“In journeying eastward he had gone towards the sun, and the daystherefore diminished for him as many times four minutes as he crosseddegrees in this direction. There are three hundred and sixty degrees onthe circumference of the earth; and these three hundred and sixtydegrees, multiplied by four minutes, gives precisely twenty-four hours--that is, the day unconsciously gained. In other words, while PhileasFogg, going eastward, saw the sun pass the meridian eighty times, hisfriends in London only saw it pass the meridian seventy-nine times.”169
168Jules Gabriel Verne atau Jules Verne lahir pada tahun 1828, di Nates, Perancis. Meninggalpada tahun 1905 di Amines. Studi resminya adalah dalam bidang hukum, tapi setelah itu diaputus sekolah karena alasan keuangan. Selanjutnya Verne banyak mempelajari geologi,teknik dan astronomi secara otodidak melalui buku-buku di perpustakaan Paris. Sejak ituVerne banyak menulis buku dengan tema fiksi ilmiah. Karyanya selain Around the World inthe Eighty Days antara lain terdiri dari; Five Weeks in the Balloon (1863), From the Earth tothe Moon” (1866) dan 20,000 Leagues Under the Sea (1870).
169 Ibid 165., op. cit.
99
Dalam konteks ini , bantuan teknologi didukung oleh derajat kemiringan
bumi yang membentuk bumi bulat serta arah berputarnya telah
menyelamatkan Phi leas Fogg dar i kegagalan. Karena itu “bumi yang
bulat” bukan lag i sekedar perdebatan filosofis a la Ari sto teles, namun
telah menjad i penerapan teknis . Meski unsur ketakterdugaan akan
praktek lapangan mas ih kuat di sin i, tap i konsep “bumi yang bulat”
merupakan bag ian dar i teknologi yang memiliki tujuan tertentu. Bumi
kehilangan unsur transendennya sebaga i batas dar i penglihatan dan
pencerapan manusia. Sebaliknya bumi di alami sebaga i obyek utuh dan
berdir i sendir i, lepas dar i kesadaran manusia, dapat di amati vis-a-vis
sebaga i pengalaman empirik. Tidak berbeda dengan obyek -obyek
lainnya, bumi juga bisa dipecah, dibagi dan dikelompokkan kembal i
dalam satuan-satuan, dibangun kembal i dalam kerangka fungsiona l
tertentu170.
Maka “bumi yang bulat” semakin mendesak untuk tetap diingat,
dikena l, dipelajar i, dikuasai , dibenarkan dan kemudian difungsionalkan.
Bulat bukan sekedar merasakan melalu i tiang -tiang kapal di batas gar is
hor isonta l laut, bukan sekedar matahari yang hilang di barat dan muncul
dar i timur, juga bukan hanya sebaga i kebenaran filosofis tentang alam
semesta, tap i bulat yang benar-benar “bulat” sepert i yang dia lami oleh
Phi leas Fogg. Bumi menjadi imanen dalam kebulatannya sendir i. Kin i
bumi didefinis ikan secara teknologi s, bukan hanya alam trasenden .
Perwujudannya yang kasat mata bisa ditanggapi sebagai sebuah
teknologi , di mana “tiruan” dar i “bentuk asl i” bumi dapat kita
170Di sini “bumi” menjadi thing, dikenali, dipetakan dan dipilah-pilah secara geografis, bukanlagi wilayah saklar yang tak dikenal dan banyak menyimpan rahasia . Baca juga Bab II.
100
“saksikan”. Bumi yang padat, utuh dan tunggal, tidak lag i dirasakan
sepotong-potong dalam jangkauan penglihatan yang terbatas, dia muncul
dalam model min iatur yang dapat dijangkau oleh pengalaman utuh
melalu i bangunan kongkret sebaga i globe atau bola peta dunia.
Sebaga i globe, representasi dar i pengalaman “obyek” yang tak
bisa dia lami secara utuh dimunculkan dalam garis lin tang dan bujur
kemudian dikontruksi kembal i dalam bentuk yang leb ih teramati.
Walaupun hanya sebaga i “ti ruan”, globe member ikan sensas i
pengalaman dar i “bentuk yang sebenarnya” dar i bumi transenden. Dalam
art ike l singkat di bawah, kita mengkaji bagaimana “bumi yang
sebenarnya” di alami melalu i bumi “ti ruan” yang dikontruksi;
Kelereng besar berwarna bi ru171
Bagi antariksawan-antariksawati yang sedang terbang diantariksa, bumi tampak bagaikan kelereng besar berwarna biru. Bentukbumi yang bulat dapat mereka lihat karena mereka berada di tempatyang jauh sekali. Namun dapatkah engkau melihat bentuk bumi selagiberdiri di atasnya?
Lihatlah bola peta dunia. Bola ini adalah model bumi. Di situdiperlihatkan gunung, samudra, danau, sungai, gurun, padang rumputdan hutan. Kebanyakan bola peta dunia bahkan dimiringkan tepatseperti keadaan bumi sebenarnya.
Bola peta dunia memperlihatkan bumi sebagaimana adanya —bulat. Dan bola peta dunia memperlihatkan bagaimana bentuk benuayang sebenarnya. Namun bola peta dunia hanya dapat digunakan untukmelihat satu bagian bumi saja. Untuk melihat tempat-tempat yangterletak pada sisi sebaliknya, engkau harus memutarnya.
Jika ingin melihat seluruh bumi sekaligus, engkau harus melihatpeta. Namun peta tidak akan memperlihatkan bumi sebagaimanaadanya. Pemeta merapatkan serta merentangkan bagian-bagian bumiini apabila menggambar pada peta datar. Dengan demikian bola petadunia merupakan sarana paling baik untuk melihat bentuk bumi, kecualikalau engkau mempunyai kapal antariksa.
171Anonim, Di Mana Letaknya di Bumi?, Bumi dan Antariksa, hastakarya anak-anak, PustakaBagaimana dan Mengapa (Jakarta: PT Tiara Pustaka, 1984).
101
Tul isan ini bercer ita mengenai “bo la peta dunia”, yang oleh
penuli snya diyakini sebaga i miniatur dar i bumi: “Bo la peta dun ia
memper lihatkan bumi sebaga imana adanya...” Tidak hanya dalam
kal imat ini , “kesaksian” sejeni s ditegaskan oleh penuli s, melainkan kata
sepert i “sebenarnya” dan “sebagaimana adanya” menegaskan “bola peta
dunia” merupakan koeksistensi dar i penampakan visual yang “obyektif”
bagi bumi. Bahkan, pada alinea kedua “kebenaran” ini digambarkan
dengan yak in melalu i sebuah kal imat: “Di situ diperl ihatkan gunung,
samudra, danau, sungai , gurun, padang rumput dan hutan.” Si penuli s
“melihat” gunung, samudra, bahkan padang rumput ber [ada] di
permukaan bola peta dunia, walaupun “gunung” atau “padang rumput”
tidak pernah melekat pada bola peta dun ia. Namun, dia tetap yakin
mel ihat “danau”, “padang rumput” dan “bentuk benua” yang
“sebenarnya”, sebaga imana dia yak in mel ihat “bumi” yang “apa adanya”
pada model “peta bola dunia”. Dalam hal ini , “bo la peta dunia” adalah
representasi yang benar -benar sempurna terhadap “bumi yang
sebenarnya”.
Pada alenia terakhir sang penuli s menyebutkan bahwa peta
(dalam bentuk datar) lebih berguna untuk mel ihat bumi “secara
menyeluruh”. Berart i bola peta dun ia tidak mampu memper lihatkan
bumi sebaga i satuan utuh. Penuli s art ike l hendak mengatakan bahwa
“bola peta dun ia” leb ih terbatas dalam penglihatan diband ing dengan
peta datar, namun keterbatasan penglihatan ini bukanlah sebuah
“kelemahan” dalam pengamatan. Sebaliknya, member ikannya karakter
102
sebaga i bentuk yang lebih menyerupa i “bumi yang sebenarnya”
diband ingkan dengan peta datar. Secara fis ik, dia tidak dirapatkan atau
direntangkan, sebaliknya, dia disaji kan dalam wujud “apa adanya”
sekalipun dia ada lah “ti ruan”.
Dengan mel ihat “bo la peta dun ia” di depannya, penuli s dapat
membayangkan dir inya sepert i ast ronut yang mengamati bumi dar i jarak
jauh. Bumi, bag i ast ronut di antari ksa, sepert i “ke lereng besar berwarna
biru,” sambil berpik ir demikian, penuli s melontarkan pertanyaan kepada
pembaca, “Namun dapatkah engkau mel ihat bentuk bumi selagi berdir i
di atasnya?” Pertanyaan ini mengingatkan pos isi antara kita dengan
bumi, di mana kita berada di atasnya, namun tidak selalu menyadari
bentuk dan keberadaannya, beda dengan astronut yang mel iha t bumi
secara langsung sepert i kelereng di depan mata. Dalam kesadaran ini ,
bumi di alami oleh manusia di atasnya tidak sebaga i kelereng yang biru,
tapi sebaga i sebuah alam yang di luar kemampuan pengamatan langsung.
Bumi tidak bisa dil ihat sebaga i sebuah satuan ket ika kita menempel
“tanpa jarak” di atas permukaannya yang luas. Sedangkan bag i ast ronut
di luar angkasa, yang berdir i pada suatu jarak tertentu dar i bumi, bukan
hanya dapat mel ihat permukaan bumi (wa lau tidak secara keseluruhan),
tapi “bangunan” bumi tampak sebaga i satu esensi layaknya sebuah
kelereng. Sebaliknya, pengalaman serupa dapat direpl ikasi melalu i “bola
peta dun ia”, di mana pengalaman “empiris” dan “obyektif” tentang
kesatuan esensi bumi di bawa pada pengalaman art ifi sia l melalu i sebuah
medium. Pengalaman kesatuan esensi bumi diproduks i kembal i dalam
“bola peta dunia”, sehingga pengamat mengalami bumi yang
103
“sebenarnya” sebaga i obyek yang sejajar dengan “ke lereng biru besar”,
sebaga imana ast ronout. Sepert i sebuah “ke lereng”, “bo la peta dunia”
menampilkan bumi dalam bentuk yang “sebenarnya”, yai tu satuan obyek
yang tungga l, padat, material, mas if dan absolut sekaligus dapat
terjamah oleh tangan kosong. Ber samaan dengan itu , juga member ikan
fantas i tentang bumi raksasa yang “tidak teramati” .
Karena itu “bo la peta dunia” bukan lag i “peniruan” bumi
“sebenarnya” dalam hal bentuk, tapi dengan mereproduksi pengalaman
jarak antara “subyek” dengan bumi “sebenarnya”, bola peta dunia
member ikan peragaan bagaimana bumi seharusnya ber[ada]. Bumi
menjadi relati f ukurannya seperti ditunjukkan oleh “bola peta dunia”,
disusutkan sebaga i obyek di depan atau dilebarkan sebaga i kesadaran
transenden tentang bumi sebenarnya172 dalam pengamatan.
Secara fis ik sebaga i fokus pengalaman, dia bisa diproduks i dalam
berbagai ukuran yang berbeda. “Bo la peta dun ia” untuk kantor, berbeda
dengan dengan yang dikhususkan untuk keperluan ilmiah, sekolah,
kantor pemerintah atau sekedar hiburan dan penghias ruangan. Seh ingga
pengalaman tentang bumi yang “bu lat” dan “sebenarnya” terus
direpl ikasi dalam situasi yang berbeda dan berbagai macam ruang serta
kesempatan yang beragam. 173 Melalu i rep likasi dan duplikasi ,
172Bukan dirapatkan dan dilebarkan secara jarak fisik seperti dalam peta datar, penyusutan danpelebaran bola bumi adalah bagaimana fokus di arahkan pada satu obyek di luarnyakemudian merasakannya sebagai sebuah kesadaran transenden yang global. Dia adalah pola-pola “obyek” yang bekerja dalam diri “subyek” sebagai ketidaksadaran. Lihat juga catatankaki 107, pada hal. 60 tulisan ini.
173 Bola peta dunia atau globe tertua dibuat oleh Martin Behaim di Nürnberg pada tahun 1492.Fungsinya tidak lebih dari sekedar memperlihatkan posisi sebuah tempat. Dan untukselanjutnya pada Abad tujuhbelas hingga delapan belasan, fungsi globe tidak pernah
104
pengalaman tentang “bumi yang sebenarnya” diperluas menjadi
pengalaman populer dan massal : sebagai permainan maupun
pemanfaatan leb ih “serius”. Bola peta dun ia diterima sebaga i bagian
dar i pengamatan “obyektif” tanpa disangkal lag i, dia dapat digunakan
sebaga i bagian navigasi penerbangan maupun peluncuran missil atau
jalannya sateli t. Termasuk dalam hal ini , “bumi” sebagai obyek yang
terobservasi , terukur, dipelajar i bahkan digerakan sesuai dengan
perencanaan fungsiona l. Kekuasaan sang pengamat yang berdir i “di luar”
bumi sebaga i obyek leb ih leluasa, bumi menjadi bag ian dar i teknologi
kekuasaan sekaligus dia lami sebaga i bumi yang “obyektif”. Sang
pengamat berada dalam arus “menyusut” atau “melebarnya” bola bumi
dalam kontruksi pengalaman “bola peta dunia”.
Car l Sagan (1997) member ikan perenungan tentang bagaimana
pengalaman “bumi yang sebenarnya” ber laku dalam kehidupan sehari -
har i. Dalam novelnya yang berjudul Contact, Ell ie Arroway, tokoh utama
novel tersebut berada pada situas i kontemplatif yang mengad irkan
pengalaman keberadaan “bola bumi” dalam kesadarannya;
“Ia (Ellie –pen.)menyentuh tanah di bawahnya; kokoh, membuathatinya tenang. Dengan hati-hati ia duduk, memandang ke kiri dan kekanan, sepanjang pantai danau. Ia bisa melihat kedua sisi air. Bumitampaknya saja, datar, pikirnya. Sebetulnya bulat. Sebuah bolaraksasa... berputar di angkasa... satu putaran sehari. Ia mencoba
berkembang dari sebuah peta dalam model yang unik. Sedangkan pada masa pemerintahanRaja Perancis Louis XIV, globe dibuat dengan ukuran diameter hingga 15 kaki sebagai simbolkejayaan Kerajaan. Hingga pada Abad sembilanbelas, globe yang lebih “serius” fungsinyamuncul menandai perbedaan dengan globe-globe lainnya yang pernah dibuat. Globe yangbaru tersebut dilengkapi dengan cincin vertikal dan horisontal sebagai alat ukur yangmengindikasikan kesinambungan waktu di seluruh dunia. Mc Graw-Hill Encyclopedia ofScience and Technology. an International Reference Work, volume 6 GAB-HYS (USA: McGraw-Hill, 1960), hal. 213-215.
105
membayangkan putaran bumi, dengan jutaan manusia melekat dipermukaannya, bicara dalam bahasa yang berbeda-beda, mengenakanpakaian aneh-aneh, semua menempel di permukaan bola yang sama”174
Demikianlah, “ke lereng besar berwarna biru” itu tidak ter lihat sebaga i
“bulat” bag i El lie pada awalnya. Dia hanya merasakan sesuatu yang
kokoh sepert i tanah di bawahnya, hal ini member ikan rasa aman175.
Ket ika dia mel ihat gar is datar membatasi danau di kedua sis inya, ada
yang memberontak dar i dir i Ell ie. Dia merasa dit ipu oleh matanya,
“tampa knya saja, datar,” benaknya memberontak. Ell ie menekankan
lebih tegas, “sebetulnya bulat.” Peralihan dar i datar yang “tampaknya”
menuju bulat yang “sebetulnya” dalam bat in Ell ie adalah perbenturan
perjuangan antara “ilusi” dan “kenyataan”. Dalam ilusi “tam paknya”,
Ell ie adalah pihak yang “di tipu” oleh penglihatannya, walau apa yang
disebutnya sebaga i “tipuan” adalah pengamatan langsung Ell ie sendir i
pada gar is pembatas di danau. Sedangkan pada situas i “sebetulnya”
justru Ell ie adalah pihak yang akt if menola k penglihatannya sendir i.
Dengan kata lain, saat Ell ie merasa lepas dar i “ilusi” penglihatan,
dia menerima “fakta” yang muncul dari pengetahuannya sebaga i
“obyektiv itas”, serta yang terobservasi oleh mata telanjangnya sebaga i
“subyektivitas”. Kedudukan a ntara pengalaman “obyektif” dan
“subyekti f” tidak lag i tergantung pada keberadaan satu “obyek” yang
ada di luar atau di dalam “subyek”, tap i merupakan jarak antara fokus
174 Carl Sagan, Contact (Kontak), alih bahasa: Andang H. Sutopo (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 1997), hal. 17.
175 Sebuah rasa transenden akan penerimaan permukaan tanah sebagai tempat yang kokoh dantidak memiliki jarak dengan “diri”. Jika kita membayangkan Ellie Arroway sebagai seorangbayi, tanah tempat berpijaknya memberinya kenyamanan rahim seorang ibu.
106
kesadaran dengan pola-pola dar i “dalam” dir inya sebaga i
ket idaksadaran. Ell ie menanggalkan satu kontruksi rea litas di mana
mel ibatkan pengamatan langsung menuju kontruksi rea litas lai n yang
berasal dar i “kesadaran lain” di dalam dir inya, menuju pengalaman
sebelumnya tentang “bola raksasa yang berputar sehari sekali”, di mana
dirasakan memiliki sifat kek inian sebaga i bag ian dar i observas i
obyekt if. 176
Pada satu kesempatan, Ell ie dan jutaan manusia melekat di ata s
sebuah bola raksasa. Walaupun manusia memiliki bahasa, keb iasaan dan
cara berpik ir berbeda, namun: “semua menempel di permukaan bola
yang sama.” 177 Dalam “reali tas” ini , manusia tidak dip isahkan oleh
batas-batas sepert i gar is lurus di ujung danau, tapi “menga lami” sebuah
permukaan bumi yang sama. Sebaga imana jika seseorang melakukan
perjalanan mengel ilingi bumi akan kembal i pada tit ik semula, dan orang
lain akan mengalaminya juga. Maka, baik bag i Ell ie maupun orang lain
tidak ada lag i batas fis ik yang benar -benar bisa memisahkan mereka dar i
satu sama lain. Semuanya berkumpul pada permukaan bola yang sama,
kejadian satu tempat berpengaruh ke wilayah lain. Ada efek timbal bal ik
yang membuat seseorang tidak bisa menghindar sama sekali dar i
pengaruh itu.
176Antara konstruksi realitas yang satu dengan lainnya tidak mengandaikan suatu hubungan yangmandiri dan terpisah sebagai pecahan realitas-realitas. Namun, kedua kontruksi berdiribersama-sama dalam suatu hubungan oposisional yang saling tergantung keberadaannyaantara satu dengan lainnya. Mereka didefinisikan masing-masing oleh pasangan arbitrasinyadalam hubungan interaksi. Karena itu ketetapan apakah yang satu adalah “realitas material”sedangkan lainnya adalah “realitas virtual” tidak didasarkan pada satu ketetapan universaldan abadi. Ketetapan itu sifatnya relatif, tergantung pada definisi kategorial masing-masinglawannya. Karena itu keduanya tidak dialami sebagai dua pengalaman terpisah, tapibersamaan sebagai kesatuan pengalaman oleh “subyek”. Lengkapi penjelasan ini denganmenengok kembali pada kajian di Bab II.
177 Ibid 174., op. cit.
107
Implikasinya, sul it melepaskan dir i dar i “fakta”: kita hidup di
satu bola bumi yang sama. Diskur sus global mulai dikonstruksi , diraki t
dan diproduks i dalam skala luas ser ta versi yang semakin lama semakin
meluas. Pada permukaan tungga l, bumi memil iki penghuni “sah” dengan
bermacam julukan sepert i; “warga dun ia”, “warga bumi”, “orang bumi”,
“manus ia bumi”, global vil lage dan lain-lain. “Spesies” baru yang
menegaskan bahwa manusia bukan satu kelas spesies yang terpilah
secara bio log is, namun spesies yang ter ikat satu sama lain dalam satu
planet (dan satu tataran “hukum alam”), dan “jarak” yang menyusut. 178
Kita mengalami bersama-sama pengulangan bola dun ia, reproduks i
kesadaran ini muncul terus dar i ket idaksadaran dalam wujud
“keseragaman” pengalaman. Sebuah “keseragaman” pengalaman, di
mana diskur sus yang ada di alami dalam bentuk pembelaan maupun
pertentangan. Baik dalam pertentangan, maupun pembelaan, dibutuhkan
pemahaman bumi global sebaga i fakta “obyektif” tak terbantahkan.
Dengan demikian, bumi global memili ki sifat “mendamaikan” dan
“universa l” dalam dir inya.
Karena itu, menolak jad i “warga bumi” bukan berart i meniadakan
“keberadaan” -nya, tetapi menolak memili ki pengalaman yang sama,
berart i pula mengabaikan “diri” sebaga i bag ian dar i “penduduk” bola
bumi. Maka orang yang menolak dianggap mengas ingkan dir i dan
memisahkan dir i dar i “warga bumi” yang lain. Hal ini berbeda dengan
seseorang yang menolak dir i sebaga i warga sebuah negara, suku, agama
178“jarak” di sini bukan merujuk pada suatu jarak yang terukur dalam satuan-satuan pengkuran,tapi lebih merupakan “jarak observasi”, atau jarak antara “subyek” dengan “obyek” sebagaikesatuan fenomen-fenomen. Lihat kembali catatan kaki no. 107, 172 dan keseluruhanpembahasan pada Bab II.
108
atau penganut sua tu ideologi ter tentu, dia bisa menyeberang ke satu
pihak yang lain, tapi tidak demikian dengan menolak dir i sebaga i “warga
bumi”. Tidak ada “pihak lain” yang bisa digunakan untuk menyeberang
keluar dar i tatanan ini , kecual i “menutup mata”, yang berart i kembal i
ke abad-abad perpecahan feodal di mana “kesatuan bumi” belum
terwujud. Pihak yang sepenuhnya berdir i sebaga i seberang dar i “warga
bumi” hanya makhluk asing dar i luar angkasa yan g berperan sebaga i
“orang lain” imajiner 179.
Tatanan ini menyebabkan “dunia budaya” yang sebelumnya
terbelah dan eks is dalam dunia “terpi lah -pilah” memasuki takdir baru
yang tak terelakkan 180. Takdir itu dibangun dar i “reali tas” yang
dilegi timasi melalu i pembenaran ilmiah maupun fakta observasi sehari -
har i. Dun ia yang sebelumnya dia lami sebaga i keterp isahan pengalaman,
disatukan dalam kebersamaan mut lak yang bukan lag i didasarkan
penyeragaman fis ik sepert i tujuan, atr ibut maupun simbol. Sebaliknya
179 Hal ini bukan penolakan terhadap spekulasi dan teori-teori yang ada tentang makhluk asingcerdas dari planet dan galaksi lain. Yang disorot di sini ialah bagaimana kedudukan konseptersebut menjadi oposisi biner yang semakin memperkuat kesan menyatu pada “wargadunia” sebagai “makhluk bumi”: baik melalui kisah ancaman invasi, pendudukan atas bumimaupun kunjungan bersahabat dari kedua pihak. Istilah Extra-Terrestrial-Inteligence (ETI)menunjukkan peran “figuran” dari “makhluk-makhluk” asing. Terrestrial merujuk pada“segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi.” Sedangkan Extra memiliki makna yangberagam dari “sampingan”, “di luar” atau “figuran”. Karena itu ETI merupakan wujud figuryang perannya bersifat sebagai “pelengkap” dari “masyarakat bumi”. Dia berada “di luar”tapi dekat dengan “masyarakat bumi”, “mirip” tapi “berbeda”. Cocok dengan penggambarandalam dalam film fiksi ilmiah di mana peran utama selalu dipegang oleh “makhluk bumi”,dan peran sampingan dan figuran diduduki oleh makhluk asing ETI. Perlu dicatat pula, betapaaktifnya setengah Abad terakhir ini, “manusia bumi” memproduksi model-model ETI dalamwujud yang sangat jamak dan beragam, walaupun “fakta” keberadaan ETI masih menjadiperdebatan seru yang melibatkan NASA, militer, CIA, FBI, KGB, para saksi kontak langsung,ilmuwan, kaum agamawan, penulis fiksi ilmiah, dunia hiburan hingga kelompok eksklusifseperti pecinta ETI dan sekte-sekte (Masyarakat Dunia Ketiga berkali menjadi partisipansampingan). Untuk pertanyaan-pertanyaan tentang ETI dan spekulasi-spekulasi jawabannyabaca Contact, karya Carl Sagan (Ibid 174, op. cit.). Sedangkan tentang keyakinan dan saksi-saksi mengenai pertemuan dengan ETI dan UFO ikuti karya Nigel Blundell & Roger Boar,Terbesar di Dunia. Misteri UFO (Jakarta: PT Pradnya Paramita, cetakan kedua, 1991).
180Global brain atau world brain adalah salah satu diskursus yang sangat percaya dirimengumumkan “kemenangan” ini.
109
keseragaman bukan lag i kebutuhan mut lak, semua perbedaan dan
keragaman itu ditampung oleh wadah yang disebut “peradaban dun ia”.
Wadah itu tidak memiliki fis ik nyata namun merupakan sekumpulan
kecenderungan yang merangkum semua sehingga menghindari
ket idaksetujuan maupun perbantahan. Sehingga jika menolak
kecenderungan itu, maka orang tersebut “memenjarakan”181 dir i dalam
suatu pandangan chauvinisme yang “sempit”. Hal ini bukan berart i
“peradaban universal” warga global menolak dir i atau beroposis i dengan
“budaya lokal” (walaupun pada awal-awalnya tampak demikian) .
Sebaliknya “budaya lokal” diterima sebaga i tambahan wawasan,
pengembangan wadah, namun tidak memiliki kemandirian rea litas
sepert i “peradaban universal” yang memili ki rea litas ilmiah dan indera
(sebagaimana Ell ie menyangka l batas danau sebaga i “tidak rii l” dan
menerima “bumi bulat” sebagai “sebetulnya”). Tidak ada alasan bagi
“peradaban lokal” menolak “peradaban bumi” sebaga i rea lit as, karena
itu yang selalu ditekankan ada lah menjaga eks istens i “budaya lokal” di
tengah -tengah “peradaban bumi”. “Peradaban bumi” melestarikan
“budaya lokal” tetap “eksis”, agar tidak terjatuh pada keseragaman
yang benar-benar mut lak. Karena itu secara per lahan “budaya lokal”
terus diadopsi oleh “peradaban bumi” sebaga i bag ian dar inya.
Perbedaan -perbedaan tetap dipertahankan, tapi tidak untuk memisahkan
warga bumi dalam batas-batas par sia l, melainkan menguatkan
181Pada dasarnya menjadi “warga bumi” juga berarti memenjara diri dalam satu tatanantunggal. Kendati mengikat diri dalam satu budaya lokal dianggap juga adalah sebuah“pemenjaraan” dan “pengasingan diri”, yang “melepaskan” diri darinya berarti sebuahpencerahan baru menuju “kebebasan” dari aturan moral tradisional. Bersamaan denganmenjadi “warga bumi” yang bebas seseorang menyerahkan dirinya secara sukarela padaaturan tataran baru yang yang dianggap lebih “bebas”, “riil” dan “ilmiah”.
110
“kebersamaan” itu sendir i. Sebaga i akibatnya kita merasa berdir i di
“satu dun ia”, sekaligus merasa tidak pernah terkekang oleh satu aturan
tungga l. Kesadaran akan had irnya bumi obyekt if, bulat, penuh, dan
mutlak menjad i takdir akh ir yang “di setuju i”182 bersama sebagai rea litas
yang menyatukan kesadaran semua manusia.
Tatanan kebersamaan ini dibangun dalam berbagai diskur sus
ilmiah, pol itik, ekonomi, sos ial maupun budaya.183 Fakta (sekal igus
mitos) ini menjad i tren yang menentukan beberapa dekade akh ir ini . Ide
tentang global isasi pal ing mencolok mewarnai diskur sus dan diskus i yang
muncul . Bersamaan dengan itu, secara taksadar dunia dalam ideologi
memili ki satu tempat berpijak, satu aturan, satu ukuran, bahkan satu
kesadaran mulai terbentuk dalam kehidupan sehari -har i subyek.
Dan, hal ini bukan sesuatu yang sepenuhnya baru. Pola-pola
tersebut sudah had ir sejak revolusi kebudayaan muncul di era akh ir PD
182 Seperti pernyataan H.G. Wells di atas, world brain sifatnya tidak memaksa tapi diikuti secarasadar. Jadi bukan sebuah dominasi secara memaksa, tapi sifatnya halus dan hegemonis.Walaupun istilah hegemonis sebenarnya kurang tepat untuk menggambarkan keadaan ini,karena dalam hegemoni Gramsci peran kelas penguasa sebagai aktor pelaku dan proletarsebagai “korban” yang “ditipu” sangat penting. Kehadiran “aktor” pelaku hanya menambahrancu pemahaman. Sebab hal ini lebih mirip sebuah “disiplin moral”, di mana tidak adaperan aktor yang “berkuasa” dan “dikuasai”. Hanya kuasa itu yang bekerja sendiri. Walaupuntidak tertutup kemungkinan ada yang diuntungkan dan dirugikan dalam persoalan ini, tapi inipermasalahan yang berdiri sendiri sebagai satu diskursus lain.
183United Nation (UN) adalah salah satu pihak yang ikut perperan dalam menguatkan. Dalamsebuah brosurnya (2001), UN mengenalkan pendekatan pada pandangan peradaban yangmenekankan pentingnya pendekatan diversity di mana menganut paham: “perbedaan dalamuniversalitas”. Dalam hal ini mereka mendefinisikan diversity sebagai: “...an inherent partof universality, which is an integral feature of the philosophy behind the worldorganization” (Dikutip dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Tonny, Dialogue AmongCivilization or Counciousness Discernment?, Sebuah esai yang ditulis untuk merayakan tahunDialog antar Peradaban yang dicanangkan oleh UN pada Tahun 2001). Dalam ekonomi, isuglobalisasi ekonomi semakin merebak dan meributkan pemimpin di sejumlah negaraberkembang dikuatkan melalui WTO (World Trade Organization), IMF (InternationalMonetary Fund) dan World Bank. Tidak seperti pendapat umum yang menganggap globalisasiekonomi adalah pusat dari globalisasi dunia, dalam kajian ini globalisasi ekonomi merupakanpemanfaatan alternatif yang kreatif atas teknologi layar dan global untuk memindahkansumber daya dan modal dari wilayah-wilayah Dunia Ketiga untuk kepentingan “lebih krusial”dari “pemerintahan global bersama”, yaitu transformasi dari bentuk sebelumnya: “koalisikepentingan antara negara-negara untuk perdamaian”.
111
II184 dan masa peralihan era 60-an menuju 70 -an, namun cita-cita dan
pola-pola aturan logisnya dimula i sejak Abad Pencerahan dan dikuatkan
oleh masa Revolusi Industri . 185
Kita kembal i kepada analog i perjalanan Phi leas Fogg mengitari
bumi, namun dengan cer ita yang berbeda. Bayangkan Phi leas Fogg
adalah seorang pengunjung Taman Safari . Selama berkel ili ng Taman
Safari dia mengunjungi area har imau, area singa, area kijang dan area
hewan-hewan lainnya. Setelah melewati semua area, Phi leas Fogg
memili ki bayangan Taman Safari sebaga i sebuah kesatuan (sejak awalpun
Fogg mel ihat taman itu sebaga i satu bangunan utuh dan berdir i sendir i,
kesadaran ini diperteguh dengan pengalamannya). Namun singa,
har imau, kijang dan hewan-hewan lainnya tidak mengetahui esensi dar i
tanah berpijaknya sebagai sebuah kesatuan utuh. Karena itu hanya Fogg
dan pengunjung lainnya yang tahu art i dan kegunaan pengetahuan itu.
Jika Fogg merasa semua hewan per lu tahu fakta ini , dia mulai mengajak
184 Selain istilah “Perang Dunia” yang mengingatkan kita pada novel H.G. Wells yang lain (TheWar of The World, 1904) dan mengesankan kita pada sifatnya yang menglobal (ketikamanusia mendapatkan musuh dari planet lain), Perang Dunia II adalah awal antara satunegara dengan negara lainnya mulai saling secara terang-terangan melanggar batas yangmereka setujui sebelumnya. Perang Dunia II, tidak seperti Perang Dunia I yang hanyamelibatkan sejumlah negara Eropa saja, benar-benar melibatkan hampir semua negara-negara di dunia. Tidak hanya seperti tentara Jerman yang hanya berkutat di Eropa, Afrikadan Atlantik, serta tentara Jepang yang banyak berkeliaran di Asia-pasifik, tentara sekutuAmerika dan Inggris benar-benar mengepung seluruh dunia. Segera pada saat itu bumi telahmenyatu dalam arus satu komando dari tentara sekutu yang muncul sebagai pemenangperang.
185 Ungkapan Liberty, Egality, dan Fraternity yang berasal dari masa-masa awal RevolusiPerancis sebenarnya masih memiliki gaung hingga kini baik dalam bentuk “Hak AsasiManusia” maupun tatanan politik modern. Pada saat ini juga, manusia mulai menjadi satuan-satuan yang sederajat atau dengan demikian dia tidak berada dipusat lagi seperti yangdiyakini Abad Pertengahan. Seiring dengan itu, segala sesuatu mulai dicari satuan-satuannya.Dan untuk menjembatani satuan yang satu dengan satuan lainnya, munculnya apa yangdisebut sebagai Rasio (perbandingan atas nilai-nilai dalam satu tatanan atau order yangseragam). Dengan cara ini, segala sesuatu (termasuk “bumi” dan “alam”) bisa dileburkandalam rasio. Sesuatu yang sangat menguntungkan pada saat dimulainya Revolusi Indunstri,yaitu saat di mana ukuran-ukuran yang seragam sangat dibutuhkan untuk membantupembuatan mesin yang cermat dan cepat. Hal ini juga adalah salah satu faktor yangmembantu Phileas Fogg dalam mengelilingi dunia.
112
hewan-hewan lainnya mengel ili ngi Taman Safari dan mel ihat hewan-
hewan lainnya pada areal yang berbeda.
Hewan-hewan yang dia jak oleh Fogg berkel iling mulai menyadari
esensi dar i tempatnya sebaga i Taman Safari , menyadari batas-batas yang
mengurung dan menyatakan dir inya bukan hanya “warga areal har imau”
atau “warga areal unta”, tapi “warga Taman Safari”. Dengan begitu,
har imau tetap har imau dan tingga l di kandang har imau, begitu juga
warga lainnya, namun mereka memili ki ikatan yang “obyektif”.
Fogg, sebaga i penuntun juga menjad i penentu dan pencegah agar
hewan-hewan tidak lepas dar i Taman Safari . Karena itu Fogg juga per lu
meyakinkan hewan-hewan kalau di luar Taman Safari tidak ada lag i
tempat lain, kecual i ruang angkasa gelap dan “taman-taman” lain yang
terdir i dar i gas dan asap beracu n. Dengan cara ini Fogg membawa hewan
itu dalam rencananya dan menetapkan batas-batas kesadaran hewan-
hewan tersebut.
Cara serupa bisa ditemukan pada mes in atau teknologi kekuasaan
yang berbas is pada “kesadaran global”. Berbeda dengan realitas
metafora Taman Safari Fogg, dalam “reali tas global kita” (atau “hewan-
hewan” dalam rea litas “Taman Safari”) tidak per lu mengel ili ngi dunia
secara fis ik untuk mengunjungi “area-area” lainnya, sebab bumi dalam
realitas teknologi layar akan “menyusut” dan “melebar” layaknya “bola
peta dun ia”, dan memungkinkan kita “mengitar i” dun ia dalam hitungan
menit atau jam. Tapi persoalan ini tidak sesederhana pengungkapannya,
sebab “penyusutan” bumi bukanlah jarak satuan pengukuran dan “fi sik
tampak” secara badaniah.
113
C. TE KN OL OG I LA YA R DA N PE NG AM AT AN VI RT UA L
Dalam bahasa maupun pengalaman sehari-har i, dikena l berbagai jen is
dan penger tian layar (screen ) yang berbeda, sepert i; layar proyektor,
layar panggung layar elektronik dan sebagainya.186 Layar elektroni k
dip isah lag i menjadi layar analog dan dig ita l. Berbagai jen is layar ini
menawarkan pengalaman dan sensas i berbeda bag i subyek, dalam hal ini
layar menjadi medium bagi “subyek” menuju suatu sis tem. “The medium
is the message,” 187 demikian gagasan Marsha ll McLuhan menjelaskan
jen is medium yang digunakan untuk menyampaikan pesan merupakan
pesan itu sendir i. Jika dijabarkan, maka jen is medium yang berbeda
membuat pesan yang isinya sebenarnya “sama” menjad i “berbeda”
ket ika ditangkap penerima pesan. Ditengah-tengah jarak antara
pengir im pesan dan penerima pesan ter jad i distor si pada medium.
Distor si ini sebenarnya merupakan “ruang” pemisah antara pengir im dan
penerima, sekaligus penghubung keduanya.
Layar sebagai medium juga memili ki sifat kontradiktif ini . Maka,
pembahasan tentang layar dilakukan dengan tidak membedakan jen is
layar tersebut, karena ada “kesamaan” yang mengikat semua penger tian
186Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia tidak ada pemilahan kata “layar” ke dalambeberapa istilah yang berbeda. Sedangkan untuk Bahasa Inggris, “layar” dibedakan dalambeberapa pengertian seperti: screen, curtain dan monitor. Namun, dalam pemakaian bahasasehari-hari ketiga istilah ini sering tumpah tindih dalam pemakaiannya. Jadi pemakaianistilah “layar” dalam penulisan ini bisa sekaligus mengacu pada pengertian ketiga-tiganya,tanpa harus menggunakan istilah berbeda-beda. Untuk kajian lengkap mengenai ketiga istilahini, simak pada bagian terpisah di Apendiks A. Sedangkan untuk pemanfaatan lebih lanjutdalam istilah “teknologi layar”, baca catatan kaki no. 74 dan untuk istilah “teknologi” bacabagian Proposisi-Proposisi pada Bab II.
187Dikutip oleh Neil Postman dalam Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai media televisi”(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 20.
114
layar. Dalam penger tian ini , layar merupakan konstruks i diskursus yang
bekerja dalam mekani sme psikis dan spiritual ket imbang material. Layar
menjadi batas pengalaman sensas i indera, sekaligus mengkoneksi indera-
indera pada realitas lain. Layar bekerja sebagai bag ian dar i kesadaran.
Sebaliknya, menurut pandangan Timothy Leary, ada perbedaan
sifat antara layar televi si yang otoriter dengan layar dun ia Internet yang
demokrati s sifatnya. 188 Pemahaman sederhana dan ini bisa dipahami,
sebab televi si membutuhkan “pusat penyiaran” di mana hal yang tampil
di layar sifatnya ter jadwal dan terprogram sehingga membutuhkan
adanya satu pusat yang menetap secara permanen. Termasuk dalam hal
ini ada lah masalah sensor dan undang-undang penyiaran yang ikut
menentukan isi layar. Sedangkan, internet memungkinkan orang secara
luas ikut akt if ter libat menentukan isi layar. Sifat dar i internet tidak
terpusat, melainkan memberikan kesan jamak dan plural . Jadi
pandangan Leary ini menegaskan ada layar yang sifatnya mengekang
kesadaran tetapi ada yang sifatnya ber lawanan, yaitu membebaskan
kesadaran melayang-layang dalam dunia cyberspace.
Namun sejauh mana dikotomi layar ini bisa diterima? Adakah layar
yang member ikan “kebebasan” kepada subyek sepert i diyakini oleh
Leary? Jawaban untuk pertanyaan-per tanyaan ini akan dijawab di bawah
nanti. Supaya pembahasan tentang kekuasaan layar tidak rancu dan
membingungkan, maka kita memu lai dar i satu jen is layar (layar yang
188 Anda bisa mengikuti pandangan Leary ini pada tulisannya yang berjudul Chaos &CyberCulture (United Stated: Ronin Publication, 1994) atau sebagian dari bab pertama didomain resmi milik Timothy Leary di; http://www.leary.com/archives/text/index.html.
115
membebaskan a la Leary sebaga i pembuka diskus i) dan kemudian
per lahan-lahan akan ditari k pada penger tian layar yang lebih luas.
Bagi Timothy Leary, layar memili ki karakter mutlak dan univer sal
yang diwujudkan dalam “bahasa” sinyal komputer “0/1”. Menurut Leary
informasi yang biasanya diterima oleh otak juga bisa diwujudkan dalam
dunia teknologi layar dig ita l: “Everyting-animal , vegetable, mineral,
tangible, inv isible, electr ic-is converted to dig ita l food for info-starved
brain. And now, using the new digita l app liances, everything that the
brain-mind can conceive can be realized in electronic patterns.”
Pandangan Leray megamini bahwa melalu i teknologi layar seluruh
keber[ada]an dunia material dapat diterjemahkan sebaga i sekumpulan
kode informasi yang sifatnya psikologi s. Layar member ikan suatu jalan
bagi kreasi dun ia baru yang terutama lebih memenuhi kebutuhan
informasi otak dar ipada materi . Dan pengkreas ian “ruang baru” tersebut
tidak hanya memiliki implikasi teknologi s belaka, melainkan merupakan
kelanjutan jalannya evo lus i spesies manusia.
Bagi Leary proses, fenomena layar bukan tranformasi kemajuan
teknologi belaka sepert i yang dik ira oleh umum. Namun jauh itu,
teknologi layar membuka babak evolus i baru bag i manusia dar i dunia
“terrarium” 189 menuju apa yang disebutnya sebaga i ScreenLand atau
“cyber ia”,190 yang sebelumnya didahu lui evo lus i dar i dun ia “aquar ium”191
189 Terrarium berasal dari Bahasa Latin terra yang artinya “tanah” (bisa juga diartikan “bumi”)dan ium atau ia yang berarti “ruang”. Jadi Terrarium yang dimaksud Leary adalah ruang fisikyang disebut sebagai daratan, atau kesadaran riil obyektif.
190Cyberia (Berasal dari kata kybernan, bahasa Yunani yang kalau diterjemahkan bisa berarti“mengatur” atau “menuntun”; dan ia yaitu “ruang” dalam Bahasa Latin) pada pengertiantertentu tidak berbeda dengan istilah cyberspace. Namun istilah cyberia memiliki pengertianyang lebih lentur dan mudah diplesetkan. Cyberia bisa juga bisa diplesetkan sebagai Cyber-
116
menuju “terrarium”. Dan ini merupakan jawaban evo lus ioner atas
filosofis klasik , di mana per tanyaan tentang dualisme “tubuh” dan
“pikiran” didamaikan dalam diskursus yang mel ibatkan otak dig ita l
(digita l bra in ), tubuh material (body matter) dan layar dig ita l (digita l
screen ) sebaga i satu kesatuan format yang disebut tri -bra in :192 “We tri -
brain amphib ians are learning how use cyberwear (computer suits) to
navigate around our ScreenLands the way we use the hardware of our
bodies to navigate around the material -mechanica l world, and the way
we use spaceships and space suits to navigate around the outer
space .” 193 Dalam trikotomi tri -bra in, manusia menjadi organik amphib ian
(berasal dar i bahasa Yunani, amphi [ganda] dan bios[hidup]), yaitu
makhluk yang berkelana secara bebas menjelajahi antara “dunia materi”
dengan cyberspace. Cyberware atau perangkat komputer memili ki peran
yang setara dengan tubuh bio log is dalam menuntun “subyek” sesuai
dengan area jelajahnya masing-mas ing layaknya pesawat luar angkasa
[man]ia, yang lebih merujuk kepada pengertian “komunitas virtual”, ketimbang sebagai“ruang yang mengantarai”. Sedangkan ScreenLand, jelas-jelas memiliki konotasi sebagaisebuah “tempat berpijak” (land). Antara “tempat berpijak” dan “komunitas” adalah dua halyang kerap merupakan eksistensi saling melengkapi, Kehadiran sebuah “komunitas” memilikiasosiasi adanya suatu “tempat berpijak” di mana komunitas itu bertemu. Begitu juga adanyasuatu “tempat berpijak” mengandaikan secara tidak langsung pada “siapa yang berada diatasnya”. Asumsi ini tampaknya tetap terbawa dalam memberikan istilah, walaupun cyberiadan ScreenLand sama sekali tidak memiliki lagi suatu ruang spesifik sebagai “tempatberpijak”.
191 Leary merujuk pada keyakinan biologi modern dimana semua makhluk hidup di bumi padaawalnya berasal dari tubuh organis purba bernama “protobion” yang hidup di dalam air.Genesis modern, yakin bahwa makhluk hidup pertama, termasuk nenek moyang manusia,terbentuk dari lautan. Dan bumi pada awal terbentuknya seluruhnya adalah lautan, tanpapermukaan daratan. Aquarium artinya adalah “dunia air”.
192Komposisi ini tidak harus terdiri dari komponen yang selalu sama. Pada televisi contohnya,tribrain Leary dapat ditafsirkan dalam bentuk lain, yaitu; tubuh material-broadcasting-layardigital.
193 Ibid 188., loc.cit.
117
membawa astronaut menuju luar angkasa. 194
Ket ika cyberware setara dengan tubuh biologis , manusia bebas
bermanuver dalam dunia baru dan kembal i lag i ke tubuh bio log isnya.
“Roh” tidak lag i hanya ter ikat oleh satu tubuh, melainkan menemukan
wadah setand ing. Dengan kehadi ran ScreenLand, “subyek” semakin
berkuasa kembal i ata s “dirinya”, demikianlah menurut Leary. Kepada
pembacanya Leary mengajukan per tanyaan provokati f: “Can we engineer
our souls? Can we pilot our souls?” Kemudian pertanyaan ter sebut
dijawab oleh dir inya sendir i:
“The closest you are probably ever going to get to navigating your soulis when you are piloting your mind through your brain or its externalsimulation on cybernetic screens. Think of the screen as the cloudchamber on which you can track the vapor trail of your platonic,immaterial movements. If your digital footprints and spiritualfingerprints look less than soulful on the screen, well, just changethem. Learning how to operate a soul figures to take time.”195
“Roh” akan mampu member ikan arahan pada dir inya secara
“mandi ri” beg itu memasuki “jendela” layar. Seo lah-olah, dalam
cyberspace tidak ada sesuatu yang menuntunnya dan seiring dengan itu
semakin digerakan secara tak sadar pada jalur -jalur yang sudah ada
sebelumnya. Layar dianalogikan oleh Leary sebaga i cloud chamber, yaitu
“ruang” yang sifatnya kabur, terawang, tidak membatasi sehingga
menciptakan keleluasaan yang besar pada “roh”. Di sin ilah, pengalaman
di depan layar tidak dirasakan sebagai perjalanan yang menjemukan dan
194Karena itu tidak jarang juga penjelajah cyberspace disebut sebagai cybernaut. Seperti halnyaastronaut bergerak tanpa berat tubuh dalam ruang hampa udara, para cybernaut melayang-layang bebas “tanpa tubuh” di cyberspace.
195 Ibid.
118
mudah membuat kecewa, melainkan penuh gai rah dan melegakan,
sepert i yang dia lami Jef f Zalesk i di bawah dalam pengalaman
perdananya menjela jah internet. Zalesk i membandingkan pengalaman
ini dengan pengalaman meditasinya:
“Pertama kali saya masuk ke web, saya menjelajah tak puas-puasnya.Dengan gembira saya mengklik dari satu situs ke situs berikutnya. Sayaberputar-putar di sepanjang tebing dunia digital. Saya biarkan pikirandan jari saya membawa diri saya ke mana saja. Ketika melihat jam,saya ternyata telah menggunakan Internet selama dua jam. Menjelajahiweb telah menyedot perhatian saya sepenuhnya. Namun, ketika selesai,saya tidak merasa segar dan menghadapi dunia seperti setelahmelakukan meditasi. Saya telah menjelajahi web berkali-kali selamadua tahun, dan peng-alamannya masih sama.” 196
Melengkapi pengalamannya Zalesk i membuat pengakuan, “Dalam
berbagai cara, layar menangkap dan memeras perhat ian saya.” Secara
fenomenologi s, yang di alami Zalesk i per tama ket ika dia duduk di depan
layar ada lah menajamkan kesadaran pada indera -inderanya secara penuh
dan terpusat pada layar. Hingga kesadaran terfokus hanya pada bagian
tubuhnya yang akti f terkoneks i pada layar, seh ingga bag ian tubuh
lainnya secara otomat is kurang akt if. “Saya biarkan pik iran dan jar i saya
membawa dir i saya ke mana saja,” ujar Zalesk i.197 Dengan demikian
“diri” tersentra l pada indera -indera spesif ik saja, dan dir i bergerak
bukan atas kemauannya sendir i, tap i mengikuti ke mana arah impuls
inderawi membawanya pergi.
196Jeff Zalesky, Spiritual Cyberspace. Bagaimana Teknologi Komputer MempengaruhiKehidupan Keberagaman Manusia, Bab 10, Cyberspace Yang Suci. (Online document:http://www.mizan.com/bukudewasa/cyberspirit.htm)
197 Ibid., loc. cit.
119
Setelah beberapa menit ter jad i sebuah proses yang secara
per lahan membawa subyek menjauh dar i tubuh fis iknya. Mir ip yang
dikatakan John Perry Bar low, “Tiba-tiba saya tidak memili ki tubuh
lag i.”198 Namun bukan itu yang terjad i. Subyek tetap duduk di depan
komputer dan indera tertentu mas ih bergerak atau mengalami ber sama
subyek dalam dunia layar, hanya dalam keadaan ini sebagian besar
fungsi tubuh kurang akt if atau tidak disadari keberadaannya. Stimulasi
ini meningkatan fungsi indera-indera akt if sebaga i akibat penajamkan
perhat ian dan kesadaran. Fungsi kesadaran menjad i terpusat dan tidak
seimbang sebaga imana biasanya kita dalam kondis i sadar sehari -har i.
Pada saat itu “di ri” had ir bukan dengan tubuh, tap i pada fokus indera
tertentu. Hanya saja faktor ini bukan yang pal ing menentukan
“hi langnya” tubuh subyek. Ada faktor penting lainnya yai tu proses
sinkronisasi antara “layar” dan “otak dig ita l” dengan “di ri” subyek.
Sinkronisasi terjad i dalam dua tahap per ist iwa. Yang per tama
adalah serupa dengan gambaran di atas, ket ika konsentrasi subyek
terpusat pada indera-indera spesif ik yang berkontak dengan teknologi
layar, secara tidak sadar terjad i keadaan di mana teknologi layar
menjadi bag ian subyek yang sama rii lnya dengan indera -indera tubuh
yang lain. Dibarengi hilangnya kontak subyek dengan indera tubuh
kurang akt if, layar menjadi “indera” yang diterima oleh otak biolog is
subyek sebaga i rangsangan setara dengan indera biologis lainnya, dan
subyek merasakannya sebaga i bag ian dar i dir inya. Layar menggantikan
fungsi tubuh fis ik pada keh idupan sehari-har i, sehingga subyek tidak bisa
198 Ibid.
120
membedakan antara “kerja fis ik” dengan “kerja teknologi layar”.
Ket ika, “diri” hanya eks is melalui indera-indera di mana fokus kesadaran
ber lebihan (di mana kontak indera terjad i dengan teknologi layar) ,
“diri” kembal i eks is dalam medium lain, yai tu layar. Keadaan ini
membawa subyek pada sinkronisasi selanjutnya.
Selanjutnya tingkat sinkronisasi mendalam terjadi ket ika “di ri”
mengada di dalam layar. Dir i berada di antara samudera signal -signal
informasi yang terolah dan terprogram oleh otak dig ita l. Ket ika dalam
“perja lanannya” subyek merasa had irnya sesuatu yang mir ip dir inya. Dia
bertemu “di ri” lain dalam dunia layar dig ita l. “Di ri” lain yang secara
sinkron bekerja sesuai keinginan dan kemauan subyek, seh ingga subyek
tidak merasakan terancam. Lambat laun dir i subyek dan “diri” lain
mengalami sinkronisasi di mana fungsi dan program teknologi tidak
dibedakan dengan kesadaran subyek. Semua kerja dan aks i yang “diri”
lakukan ber sama “di ri” teknologi s, dirasakan sebaga i has il dar i
perwujudan kemauannya sendir i. Tidak ada lag i pemisahan antara
“subyek” dan “obyek”.
Sinkronisasi dan kehadi ran “diri” lain yang mir ip dengan subyek
bersifat log ik. Karena program dan fungsi kecerdasan art ifi sia l dunia
layar semakin kompleks, dan ser ing diasasosiasikan dengan kemampuan
dan kecerdasan manusia. 199 Analog i antara cara kerja layar dan manusia
199Tetsuo Kogawa: “The technology of virtual reality, conceived as an extension of modernism,attempts to reconstruct the body which had been formatted by existing electronictechnology. This reconstruction happens through a method of deception. Heretofore,artificial reconstruction of the body had been an attempt to construct an equivalent of thehuman body: robots, cyborgs, and androids. Virtual reality, however, tries to attainequivalence on the level of the consciousness of existence instead of on the level of physicalexistence itself.” (Ibid 14, loc. cit.)
121
digari skan oleh Malcolm Peltu200 dengan mengacu pada tujuh pilar sis tem
pemrosesan informasi :
TABEL 3.1 Analogi antara tujuh pilar sistem pemrosesan informasi dengan kerjamanusia.
Functions Examples of computer methods Human analogy
Data collection Visual Displays Units (VDUs),cassettes, punched cards and papertape, Optical Character Reading,sensors
Eyes, ears, mouth,nose, touch
Processing Central Processing Unit Brain
Processing rules Software programs DNA code, experience,learning
Short-termstorage
Main memory (core, semicon-ductors) Brain Memory
Bulk storage Magnetic discs and tapes, microfilm,“floppy” discettes
Books, microfilm,computer databases
Datatransmissionn
Telecommunications, cables Nervous system
Output Printers, VDUs, microfilm, voice,graph plotters, process control
Writing, graphics, voice
Serupa dengan manusia, layar memili ki ciri-cir i kemampuan “mirip”
dengan manusia, hanya dalam beberapa hal tidak bisa menyerupai
manusia. Namun, analogi ini tidak searah, sebaliknya, fungsi kerja
manusia disamakan dengan kerja teknologi . Studi psikologi kognit if
akhir-akh ir ini bertumpu pada kesesuaian pola-pola kerja kognis i
200 Peltu, Malcolm, Information Technology, ibid 150., op. cit., hal. 33.
122
manusia dengan kecerdasan art ifi sia l.201 Sul it menolak kemiripan ini , dan
memisahkannya hanya dalam beberapa gar is fungsi .
Karena itu, lingkaran kesadaran terfokus pada indera, layar dan
kecerdasan art ifi sia l ter jal in dalam satu pola kesatuan “di ri” dalam
dunia vir tua l:
“Munculnya ‘monitor’ - layar bioskop, layar kaca televisi ataupunmonitor computer, melenyapkan perbedaan antara diri sebagai subjekdan dunia sebagai objek. ‘Monitor’ bukan sekadar objek di luar diri kitayang kita sedang lihat. Yang terjadi dalam monitor bukan sesuatukejadian di luar sana dan diri kita di sini. ‘Monitor’ membawa kita kedunia luar sama seperti dunia luar masuk ke dalam diri kita. Yangterjadi dalam televisi merupakan manifestasi diri kita, yang terjadidalam diri kita adalah penjelmaan televisi. Televisi telah menjadisebuah wujud nyata dari jiwa kita.”202
Namun apakah benar subyek bebas dar i tubuh fis iknya ketika dia berada
di dalam “tubuh dig ita l”-nya. Jawaban atas pertanyaan ini akan leb ih di
dasarkan pada pendapat Leary di mana manusia hidup bukan pada satu
“dunia” tap i secara bersamaan eks is di “dunia” lainnya (Baca kutipan
tul isan Leary di atas tentang manus ia amphibian).
Dalam metaforanya mungkin digambarkan subyek beralih secara
bebas dar i satu “dunia” menuju “dunia” lainnya, sepert i berpindah dar i
ruangan satu ke ruangan lain. Tapi secara teknis maupun psikis , tidak
201Herbert Simon, seorang pemenang Hadiah Nobel, menyatakan: “...within ten years mosttheories in psychology will take the form of computer programs'. Thus equipped with thelaws of human behaviour, telling it which stimulus will produce a desired response, acomputer-directed robot should certainly be able to toss off a striking tapestry or two. Or amillion...” (Dikutip oleh Alan Roberts dalam Artifice and Inteligence ( Arena Magazine, No.3,February-March 1993). Dapat diakses juga melalui online document:http://eserver.org/cyber/art_intl.txt)
202Stanley J. Grenz, Etos Posmodern (online document : http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed/edisi/index.php?isi=edisi&reformed_id=13).
123
sesederhana itu. Sebab, yang ber langsung dalam proses tersebut adalah
transmisi pik iran dan kesadaran, bukan fis ik secara keseluruhan.
Kembal i pada pengalaman Zalesk i, di mana fokus perhat ian
tersedot sepenuhnya pada layar dan timbul perasaan tanpa beban hingga
dua jam ter lewati tanpa sadar. Sementara , Zalesk i mengungkapkan
pengalaman per tamanya melakukan meditasi : “Dua puluh tahun yang
silam, ket ika saya untuk per tama kal inya mencoba bermeditasi, saya
meletakkan bantal di atas lantai , lalu duduk bersila di atasnya, dan
menutup mata.”203 Apa yang dia lami kemudian, dapat diband ingkan
dengan pengalaman per tamanya menjelajahi dunia vir tua l:
“Saya ternyata tidak betah, berusaha untuk tetap duduk, takmelakukan apa-apa kecuali memperhatikan pikiran saya sendiri. Tubuhsaya memberontak dan begitu juga kepala saya. Belum sampai satumenit berlalu, saya meloncat seolah-olah disengat oleh lebah. Sayameninggalkan ruangan, menyalakan TV, mematikannya, melangkah lagi.Saya merasa diri saya bagaikan bertebaran seperti halnya bola biliarsetelah disodok.” 204
Selanjutnya, hal sama dialami Zalesk i ket ika memula i lag i meditasinya.
Setelah sebulan mencoba, Zalesk i berhas il duduk diam selama lima
menit. Yang dilakukan Zalesk i selama meditasi ada lah menyadari
gerakan dan ker ja tubuhnya secara keseluruhan. Ber tentangan dengan
itu, ket ika dia “me layang -layang” di dunia dig ita l, ter jad i proses
berkebalikan, gerakan dan kerja tubuh menjadi samar-samar.
Bagi Zalesk i, ket ika menumpukan kesadaran pada badannya
203Ibid 184.
204 Ibid
124
sendir i, dia merasakan sesuatu yang belum pernah dia laminya di
kehidupan sehari -har i: “Hampir set iap har i kita berangkat, dar i pagi
hingga malam, tanpa member i pik iran ket iga kepada napas kita, atau
lebih dar i per -hatian sesaat. Bahkan ket ika berusaha, sul it sekali untuk
tetap waspada pada napas selama leb ih dar i satu menit. Pik iran, pera-
saan, sensas i fis ik menggelincirkan perhat ian.”205
Implis itnya, “tubuh” memili ki kemandirian dan “kesadarannya”
sendir i. Dalam keseharian, fokus atau kontro l pada “tubuh” menguat dan
merata secara tak mencolok. Gerakan tubuh bekerja “otomatis” dan
sifatnya tidak sadar. Meditasi mampu meluaskan wilayah “kesadaran”
terhadap areal yang sebelumnya merupakan cakupan “ketidaksadaran”,
maka ter jad i “pemberontakan” oleh tubuh. Sebaliknya, selama
penjelajahan di alam vir tua l fokus ke seluruh tubuh tidak ditekankan,
sehingga ket idaksadaran bangki t mendominasi kesadaran kita 206.
Dualitas fokus perhat ian berupa “kesadaran” dan impuls -impuls
“ketidaksadaran” mewarnai perpindahan kesadaran antara layar
(cyberspace) dan dun ia “fi sik” (terrar ium). Saat fokus perhat ian
menumpuk pada indera-indera yang ikut mengalami sinkronisasi (“d iri”
terperangkap dalam indera dan layar) , kontro l terhadap ket idaksadaran
205 Ibid.206
Perhatikan kembali apa yang Zaleski lakukan ketika “tubuhnya” memberontak dari fokusperhatiannya yang menguat. Dia meninggalkan ruangan dan menonton televisi. Denganberdiri dari posisi duduknya dan berjalan meninggalkan ruangan, fokus atas tubuh dibawakembali pada titik stabil perhatian pada tubuh di mana ‘ketidaksadaran’ kembali lepas dariikatan “kesadaran”. Hal ini tidak cukup karena fokus perhatian terlanjur menguat, Zaleskibutuh melarikan diri lebih jauh darinya, dan dia menemukannya pada layar televisi. Denganmemfokuskan diri pada layar televisi, proses di mana peristiwa sinkronisasi antara kesadarandengan layar terjadi, tubuh terlepas sepenuhnya dari fokus perhatian dan“ketidakseimbangan” antara kesadaran dan ketidaksadaran menjadi tuntas. Apa yang terjadipada proses ini mirip sebuah pendulum yang jika bergerak terlalu jauh ke satu sisidiseimbangkan dengan menggerakkannya ke sisi lain dengan sengaja.
125
tubuh melemah serta dorongan yang ada menguat. Sebaliknya, fokus
atau kontro l ket idaksadaran yang berfungsi kuat ket ika meditasi serta
bekerja pada batas “normal” di kehidupan sehari -har i, melemah.
Sehingga, terjad i pembal ikan pos isi antara fokus kontro l pada “reali tas
fis ik” dengan “reali tas vir tual” sepert i format diagram di bawah:
BAGAN 3.1 “Sinkronisasi” dan “Pemrograman ulang atas ketidaksadaran”dalam arus interaksi antara “realitas fisik” dengan “realitas virtual”.
Diagram di atas menggambarkan, saat “subyek” menjelajahi
“dunia vir tua l” tidak ada pemisahan secara tegas antara
“ketidaksadaran” pada tubuh dan “kesadaran” pada fokus perhat ian,
yang terjad i hanya pergantian dominasi antara keduanya. Pada “reali tas
layar”, bangki tnya “ketidaksadaran” menyebabkan “subyek” merasa
tidak berbeban, bahagia, bebas dan tidak ada batas dengan “obyek”
(li hat panah bawah menunjukkan di mana sinkronisasi ter jad i).
126
Kemawasan melemah atau menurun. Pada tahap ini fokus dan perhat ian
sadar menjadi lengah dan memungkinkan ter jad inya “pemrogaman ulang
kesadaran”, yai tu proses ket ika “kesadaran” dikembalikan dar i “rea litas
vir tual” ke “reali tas fis ik” , bentuk program dan konstruks i teknologi
layar terbawa dan ter tanam di wilayah ket idaksadaran dalam keh idupan
sehari-har i. Proses ini melelahkan fis ik dan mental sepert i yang
dirasakan oleh Zalesk i. Kelelahan terjad i karena konstruks i kesadaran
pra -sinkronisasi berusaha menyesuaikan “di ri” dengan “bangunan” dunia
di layar. Layar membatasi kesadaran, dan fokus perhat ian mengikuti ke
mana layar mengarahkannya. Akibatnya, mental bergerak terus
mel ibatkan ker ja sejumlah indera, proses ini menguras energi fis ik
maupun mental.
Proses-proses di atas ber langsung tidak sekedar dengan internet
saja, juga ter jad i ket ika menonton televi si, menonton film di gedung
bioskop, mendengar rad io, bahkan saat membaca sebuah novel dengan
serius. Hanya saja mas ing-mas ing memili ki batas pola dan tit ik awal
sinkronisasi yang berbeda. Pemaka ian teknologi yang sifat fokus
kesadarannya ter letak pada gerak fis ik (seper ti mengendarai mob il atau
sepeda motor 207), sinkronisasi ter jad i dengan cara mempengaruhi
kesadaran, kemampuan dan fungsi fis ik dengan cara yang berbeda.
Pengendara mobil akan canggung dan membutuhkan sinkronisasi ket ika
dia mengendarai sepeda motor, beg itu juga sebaliknya. Sama juga
207 Pada saat mengendari mobil atau sepeda motor, sebenarnya indera-indera yang biasanyaberfokus pada “layar” seperti pada cyberspace juga terfokus pada “layar” dalam tipe yangberbeda, bukan karena kesenangan tapi lebih karena kewajiban, seperti halnya rambu-rambulalu lintas dan struktur jalan. Hanya saja pada contoh di atas bagian ini agak diabaikanuntuk memberikan contoh bagaimana sinkronisasi manusia dan teknologi yang terjadi padatahap fisik saja.
127
dengan medium-medium teknologi yang berbeda-beda memberikan
model sinkronisasi yang berbeda pula208. Hal ini mempengaruhi tahap
selanjutnya, yai tu bagaimana model program dan konstruk dibangun
dalam ket idaksadaran subyek.
Pola pemrograman ulang atas ket idaksadaran, model dan psikis
teknologi yang berbeda akan member ikan penyesuaian yang berbeda
pula pada ket idaksadaran baru. Hal ini tidak sama dengan kontro l
kesadaran melalu i penanaman chip dalam otak yang sifatnya fis ik dan
organi s, namun merupakan “penanaman” pola-pola baru dalam
ketidaksadaran manusia yang bers ifa t “ps iki s”. Melalu i ket idaksadaran
teknologi s yang terbentuk dar i “reali tas vir tua l” layar, “teknolog i
global” bekerja dengan cara-cara yang belum pernah diraih sebelumnya.
Ket ika Zalesk i ter sinkronisasi dengan arus layar, bersamaan itu
pula banyak orang dar i “belahan bumi berbeda” melakukan hal serupa,
dan mereka memasuki program yang bekerja mir ip “bo la peta dunia”
dalam membangun imaji bumi “tunggal” yang univer sal , meski dalam
bentuk yang lebih “susut” di mana set iap orang sal ing terkoneks i.
“Penyusutan” ini bukan “jarak” material, namun suatu pembangunan
kontruksi “ruang” baru yang tampak terpisah dar i “dunia materi”.
“Ruang” baru itu tidak pernah dianggap sebagai “dunia” yang terpisah,
karena imaji dunia materi tetap menyer tai “ruang” atau “dunia” baru.
Dunia baru semakin eks is jika bergabung dengan sifat struktur dun ia
material. Sebaliknya, “ruang” baru juga memiliki struktur bangunan dan
208 Namun sinkronisasi ini tidak hanya dijalani oleh subyek saja, tapi teknologi juga melakukanpenyesuaian wujud sehingga mempelancar proses tersebut, baca tentang “diri” lain dalamrealitas virtual pada penjelasan di atas.
128
program tersendir i yang berbeda.
Dalam “reali tas vir tua l” identi tas menjad i anonim dan tidak
konsis ten dengan “reali tas fis ik”,209 tetapi kesadaran batas “reali tas
fis ik” tidak hilang beg itu saja. Batas-batas itu muncul dalam format dan
tujuan yang berbeda. Identi tas vir tual, domain negara, jen is kelamin,
bahasa yang berbeda tetap “ada”, walaupun sifatnya tidak paralel
dengan kenyataan fis ik dan leb ih mir ip imajinasi yang diakui sebaga i
“batas-batas nyata”. Set iap orang mengkreas i identi tasnya sendir i
berdasarkan batas-batas yang mengikat dia sehari -har i. Seh ingga
keterbatasan subyek karena identi tas relati f tidak terasa, sebaliknya,
batas-batas tersebut memperjelas universal itas rea lit as vir tua l dengan
berperan sebaga i pembanding bag i batas-batas “dunia material”.
Bayangkan seseorang tingga l wilayah geografis ter tentu dan
menonton televi si. Pada layar, dia menyaksikan kehidupan dan
kebiasaan suku terasing di Afr ika, yang letaknya ribuan mil dar inya
secara fis ik. Saat itu , dia merasakan sensas i berbeda secara bersamaan.
Di layar televi si dapat dil ihat per ist iwa yang tidak bisa dia amati secara
mata telanjang, seh ingga dia merasakan adanya “kedekatan ruang”.
Namun “kedekatan ruang” juga tidak muncul jika “reali tas fis ik” yang
mewaki li keterp isahan jarak tidak disadari.
209Sejak 1996, Negara Bagian Georgia di Amerika Serikat melalui H.B. 1630, sebuahamandemen pada the state’s Computer Systems Protection Act (Hukum PerlindunganTerhadap Sistem Komputer), dapat dimungkinkan bagi seseorang untuk: “knowingly totransmit any data through a computer network [using] any individual name . . . to falselyidentify the person . . . transmitting such data.” Wallace sendiri memberikan penegasanatas amandemen ini, menurutnya, “Anonymity and pseudonymity are built into thearchitecture of the Net.” Lihat: Jonathan D. Wallace, Nameless in Cyberspace Anonymity onthe Internet (CATO Institute Briefing Papers, No. 54, 8 Desember 1999), hal 3-4.
129
Sepert i Ell ie dengan kontemplasinya, di satu sis i dia sadar adanya
“batas lurus”, namun kesadaran ini dikontraskan dengan kesadaran lain
yai tu bumi bulat “yang sebetu lnya”. Maka ket ika “Afrika” di televi si
terasa dekat dengan subyek apabila subyek menyimpan ingatan bahwa
Afr ika “yang sebetu lnya” letaknya jauh dar i tempatnya berdir i. Namun
“kedekatan” tersebut terasa leb ih rii l dan terobservasi oleh indera-
indera subyek dar ipada jarak Afr ika yang jauh, kedekatan “obyektif”
dan “universa l” ini leb ih diterima dar ipada fakta kedua. Hal ini menjadi
proses ket idaksadaran diingat terus walaupun “Afrika” dalam layar tidak
muncul dalam “reali tas empiri s”. Memori ini akan muncul kembal i set iap
subyek mengingat Afr ika. Sepert i Ell ie yang menolak kenyataan batas
rata pada hor ison danau yang dia amati dengan memorinya tentang bumi
bulat yang leb ih “ri il” .
Cara seperti menonton Afr ika di layar terus terjad i ket ika kontak
dengan layar ber langsung dalam waktu kontinu dan terus menerus.
Semakin kontak dengan layar ser ing terjad i, ket idaksadaran teknologis
terbentuk semakin kuat dan terasa rii l. Ket ika “kedekatan vir tual”
terasa nyata dan koneks i yang terelabolasi dalam realit as semakin
banyak, subyek yang ter libat merasakan kehadiran subyek lain menguat:
“On the skin-tis sue plane, our left brains are limited to mechanica l-
material forms. But in ScreenLand our right brains are free to
imagineer dig ita l dreams, vis ions, fictions, concoctions, hal luc inatory
130
adventures. All these screen scenes are as real as a kick-in-the-pants as
far as our bra ins are concerned .” 210
Pik iran set iap orang berpengaruh pada pik iran subyek lain (dan
tentu saja terdapat program teknologi s yang membentuk semua pik iran
yang ter libat) . Selanjutnya terjad i proses sepert i ditunjukkan oleh
budaya massa, semua orang bergerak mengikuti pola sama, walapun
tidak seragam secara fis ik. Subyek sal ing “mengawas i” satu sama lain
walaupun tidak mel ihat wujud kongkret mas ing -masing.
Dalam layar, ragam impuls -impuls ket idaksadaran dun ia fis ik
digabungkan dalam satu lingkaran. Karena itu, dalam layar per temuan
satu “subyek” dengan “subyek/obyek” lain adalah bertemunya impuls-
impuls di cyberspace. Di “dalam”, subyek menemukan kesesuaian arah
dan pola antara impuls –impuls “subyek” lain dengan impuls dir inya.
Karena pola ini sifatnya tidak memaksa dan merupakan pelepasan
(pembebasan) dar i kontro l sos ial yang ber langsung, maka tidak dirasakan
sebaga i morali tas masyarakat yang terwujud pada superego. Karena itu
regulasi yang ber langsung dalam proses ini tidak berbentuk hukuman
atau ancaman, tap i leb ih berupa pengas ingan dengan “kehendak dir i”
atau penolakan terhadap “reali tas ”. Yang dituntut pada kebersamaan
bukan ketaatan, tap i penyesuaian dir i pada satu pola arah yang
“obyektif”.
Demikianlah teknologi global bekerja melalu i layar, dan
menghasilkan pola yang cenderung menuju satu arah, namun subyek
merasakan tidak ada paksaan dan kecenderungan yang ditentukan.
210 Ibid 188., op.cit.
131
Dalam proses ini yang terjad i ada lah sinkronisasi 211 (ba ik dengan
teknologi maupun impuls -impuls lainnya), bukan ancaman kekuasaan
pengontrolan manusia oleh teknologi di mana keduanya adalah rea litas
terpisah dan berhadapa n sepert i yang ditakuti oleh Fromm dan teman-
temannya pada era 60-an. Sebagian art i “hantu” yang disadari Fromm
memang menjad i kenyataan dalam pola kekuasaan tanpa badan
cyberspace, tap i “hantu” itu hadir terutama pada regulasi
ket idaksadaran manusia.
Ketika Fromm bicara tentang humani sas i atas masyarakat
teknologi s, dia menuli s: “Komputer harus menjad i menjad i bagian
fungsional dalam orientasi -hidup sis tem sosial , dan bukan menjadi
“kanker” yang menimbulkan bencana dan akh irnya membunuh sis tem.” 212
Selanjutnya, juga ditetapkan relasi manusia-teknologi yang layak
menurutnya: “Manus ia dan komputer harus menjad i sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan yang ditentukan oleh ras io dan kehendak
manusia.” 213 Singkatnya, relasi manusia sebagai “tuan” dan teknologi
sebaga i “budak” harus ditegaskan kembal i agar pos isi ini tidak berubah.
Ket ika cyberspace lah ir sebaga i impuls -impuls dasar baru, tujuan
Fromm meng-humani sas i-kan teknologi boleh dikatakan “terwujud”.
Tapi bersamaan dengan itu, manusia tanpa sadar dibawa ber lahan pada
satu arah baru, layaknya seorang “tuan” yang mulai terpengaruh oleh
“budak” kesayangannya tanpa merasa dikuasai. Tidak ada peran
“subyek”, atau “obyek” mut lak pada relasi ini , manusia dan teknologi
211global atau world brain hanya salah satu dari contoh yang diberikan di atas.
212Ibid 120., op. cit., hal. 94
213 Ibid
132
sal ing menyesuaikan dir i dan mengarahkan mereka bersama-sama pada
terciptanya komuni tas utopia baru didasarkan pada “kebersamaan”,
“kebebasan” dan “kebahagiaan”.
133
BAB IV
PEMBAH AS AN
A. TE LE TU BB IE S: BA YI TE KN OL OG IS
1. Teletub bies seb agai budaya populer: pergulatan antara
ideal isme dan bisn is
Teletubbies dibuat atas pesanan dar i sta siun televi si BBC sebaga i salah
satu acara favori t untuk anak kec il berusia 2-5 tahun, di mana
akt ivi tasnya leb ih banyak di dalam rumah karena belum sekolah. Anne
Wood214 dan Andrew Davenport215 dar i Ragdol l Company Ltd, 216 sebagai
pihak yang menerima tender dan mengkonstruksi rancangan membuat
Teletubbies menjad i program pendid ikan bahasa bagi anak usia pra
sekolah.
Sejak debut pertama diumumkan oleh BBC 217 pada Maret 1997,
hingga kin i, Teletubbies telah mencapai 365 episode 218 dengan pan jang
214 Anne Wood adalah pendiri dan Creative Director dari Ragdoll Company Ltd. Lahir diSpennymoor, Co. Durham, pada tahun 1937. Pernah menjadi guru sastra dan bahasa Inggrisuntuk anak-anak usia 12-18 tahun. Anne Wood meyakini televisi memiliki peran yang pentingsebagai sumber yang membangun imajinasi anak-anak. Selain Teleubbies, Wood juga terlibatdalam serial televisi anak-anak lainnya seperti: Rosie and Jim, Tots TV dan Brum.
215Asisten produser dan penulis naskah bagi 365 episode Teletubbies.
216 Ragdoll Company Ltd. didirikan oleh Anne Wood pada tahun 1984 di Birmingham, Inggris.Merupakan badan usaha “independen” yang Bergerak di bidang produksi acara anak-anak.
217British Broadcasting Corporation atau BBC. Bersama dengan CBS (Columbia BroadcastingSystem), NBC (National Broadcasting Company), ABC (American Broadcasting Company) danCBC (Canadian Broadcasting Corporation), BBC termasuk lima raksasa dalam bidangpenyiaran radio dan televisi di dunia (Naisbitt & Aburdene: Ibid 57., op. cit., hal. 140).Semuanya adalah perusahaan yang berperan penting bagi kepentingan penyebaran budayapopuler kepada kalangan publik dunia dalam bahasa Inggris maupun bahasa lainnya melalui“industri acara televisi”.
134
24 menit untuk tiap epi sode. 102 stasiun telah membel i program ini , dan
menerjemahkannya dalam 41 bahasa. Bahkan dengan bantuan teknologi
sateli t, Teletubbies dapat dis iarkan leb ih dar i 120 negara atau lima
benua di seluruh dunia. 219 Menggenapi prestasi ini , sederetan
penghargaan diterima oleh Teletubbies dar i publik negara sepert i Jepang
(1997), Jerman (1998) , Amerika (1999) dan berbagai penghargaan dar i
lembaga pemerintah maupun swasta di Inggr is (1997 -2001). Sederatan
prestasi ini mencerminkan sifat universal Teletubbies sebaga i budaya
pop anak-anak yang diterima dengan tangan terbuka di banyak negara
ber latar belakang budaya berbeda. Karakter ini bukan hanya semata -
mata disebabkan oleh sikap pos iti f dan terbuka dar i “warga dunia”
terhadap segala produk populer sepert i Teletubbies. Kesuksesan ini
ternyata tidak ter lepas dar i usaha kreatornya mengkreas i acara yang
dapat menarik simpat i anak-anak seluruh dunia.
Menurut Andrew Davenport, keragaman bahasa yang digunakan
Teletubbies di berba gai negara tidak akan mengubah isi dan pesan yang
akan dibawakan oleh Teletubbies 220. Di Estonia misalnya, Teletubbies
dikena l dengan bahasa setempat sebaga i Teletupsuds. Sedangkan di
Fin landia , keempat tokoh utama dalam Teletubbies diberi nama yang
berbeda dar i asl inya. “Tinky Winky” diubah menjadi “Ti ivi Taavi” ,
“Dipsy” menjadi “Hipsu”, “Po” menjad i “Pai”, dan hanya “Laa-Laa”
218Hal ini menunjukkan bahwa Teletubbies disiapkan untuk ditayangkan setiap hari secarapenuh dalam setahun kalender Masehi, yaitu 365 hari. Jadi seperti penggambaran dalamTeletubbies di mana acara dimulai saat matahari terbit dan selesai pada saat mataharitenggelam, satu episode dalam Teletubbies adalah “satu hari” dalam Tubbyland.
219 Online document: http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/progr_teletubbiescoverage.html.Untuk data lengkap bisa dilihat pada Lampiran C.
220 Online document: http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/progr_teletubbies192.html
135
yang tetap dipertahankan namanya sepert i asa lnya. Anne Wood
member ikan contoh ekstrim lain rekonstruksi ulang Teletubbies oleh
berbagai negara berbeda.221 Amerika tidak segan-segan mengganti suara
narator yang sebelumnya ber logat Inggri s Bri tish, dengan warna suara
yang ber logat Inggri s Amerika. Di Por tugal, isi cer ita Teletubbies
dipotong-potong dan diraki t ulang menjad i cer ita baru. Walaupun
demikian, hal ini tidak menjad i masalah bag i Wood maupun Davenport.
Sebaliknya Anne Wood malah menantang negara-negara lain untuk
melakukan hal sama: “We hope to encourage other countr ies to make
their own inserts and then we can show some of them in the
Teletubbies programmes broadcast by the BBC and other stations ,”
Demikian ajakannya 222. Bisa jad i sikap fleksibel dan terbuka untuk
adaptasi dalam bentuk pal ing ekstrim sekalipun ini ada lah salah satu
kunci sukses diterimanya Teletubbies di publik antarnegara. Namun,
sikap ini bisa juga ditafs irkan secara lain. Dengan toleransi ber lebihan
sepert i ini bisa bermakna bahwa bag i Ragdol l maupun BBC mengha lalkan
segala cara dengan tujuan sekadar memper luas dan memper lancar
ekspansi pasar hingga taraf internasional. Kedua kemungkinan di atas
semuanya sama mungkinnya.
Oleh karena itu, ada dua perspekti f untuk menyorot akar
keberhasi lan Teletubbies; Pertama, sejalan dengan pendapat Wood dan
Davenport, di mana Teletubbies ada lah jen is produk yang
menggabungkan pendidikan dan entertainment yang sengaja di
221Ibid., loc. cit.
222 Ibid.
136
konstruks i dalam suasana culture free, seh ingga perombakan isi dar i
Teletubbies tidak akan mempengaruhi tujuan yang ing in dicapa i oleh
Teletubbies. Sementara pada tataran argumen kedua, Teletubbies
dil ihat dar i kepent ingan bisnis belaka yang penjua lan hak lisens i
tayangan dan merchandise-nya mengalahkan segala -galanya, termasuk
isi dan tujuan yang ing in disampaikan oleh Teletubbies. Baik dar i
perspekti f per tama maupun kedua, Teletubbies mencerminkan dualisme
kontradikt if dar i budaya populer yang did iskusikan pada Bab I. Dalam
konteks yang leb ih spesif ik kedua perspekti f tersebut akan dibahas pada
kaj ian di bawah.
Sebaga i mes in bisnis BBC, kesuksesan Teletubbies tidak diragukan
lagi. Di Indonesia sendir i, produk -produk mainan, pakaian dan aksesori
dengan tema keempat boneka tubbies menjamur, dar i toko mainan besar
sepert i Kidz Station maupun versi bajakan yang dijual di kak ilima. BBC
pernah membuat pengumuman resmi untuk mengancam pembajak
Teletubbies di Indonesia den gan tuntutan hukum, walaupun sampai saat
ini belum ada satupun kasus yang diajukan. Dalam kasusu ini , BBC
kurang ser ius mengeluarkan ancaman. Hal ini tidak mengherankan,
sebab dar i pendapatan merkandis , penjua lan hak siar, video dan buku
cer ita saja, angka pendapatan Teletubbies sudah tergolong besar.
Misalnya, untuk sebuah boneka mainan dengan lisens i resmi dar i BBC
Teletubbies yang dijual di Singapura harganya mencapai 15.000, - Dol lar
Singapura perbuah. Buku cer itanya sebanyak 10 judul, diterb itkan PT
Gramedia Pustaka Utama dengan hak penerbitan dar i BBC Wor ld Wide
Inggri s, harga pasarannya mencapai Rp. 7.000, - perbuku. Sedangkan VCD
137
asl i dijual dengan harga Rp. 29.000,- perkep ing 223. Leb ih menarik lag i,
ternyata his ter ia pada Teletubbies tidak didominas i kaum anak-anak,
tapi juga orang dewasa. Selain itu, di mana-mana acara yang
menampilkan teletubbies mendapatkan sambutan hangat. 224 Semua ini
adalah aset dan keuntungan ekonomi bag i BBC.
Namun, baik BBC maupun Ragdol l sama-sama memili ki alasan
sendir i untuk menolak bahwa keuntungan pendapat besar -besaran
tersebut merupakan tujuan utamanya. Bag i Wood, tanpa menyebut
angka pasti, sebagian besar pendapatan dar i penjua lan merchandi se
digunakan untuk menutupi angka biaya pembuatan Teletubbies yang
cukup besar. 225 Jawaban ini , sementara dapat diterima, mengingat
hingga kin i baik BBC maupun Ragdol l tetap merahasiakan besar biaya
yang dihabi skan untuk memproduksi Teletubbies. Namun, jika jawaban
resmi ini tidak juga dapat menarik simpat i publik , Wood dan Davenport
telah menyusun jawaban lain. Terutama, yang ditekankan di sin i adalah
bahwa Teletubbies memang dibuat sebagai produk culture free:
“Through the magic of Tubbytronic technology the Teletubbies can
make the programme to suit many different cultures around the world.
This means that chi ldren in any country feel really comfortab le with
the Teletubbies because they speak in the ir language and show aspect s
223“Oh...Oh...Dunia “Teletubbies”!”, Harian Kompas, Minggu, 6 Mei 2001, hal. 14.
224Harian Jawa Pos, Senin Legi, 30 April 2001, hal 13. Tulisnya: “GANDRUNG: BonekaTeletubbies yang disiarkan Indosiar benar-benar jadi idola anak-anak.[...] Acara yang digelarKacang Dua Kelinci bekerjasama dengan Sri Ratu dan JPNN ini mampu membuat anak-anakhisteris.”
225Online document: http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/progr_teletubbies191.html. Untukdata lengkap bisa dilihat pada Apendiks C.
138
of local life in the inserts.” 226 Mereka sepaham bahwa Teletubbies
memili ki daya adaptasi terhadap perbedaan kultural dan aspek lokal, dia
mampu mengikat semua perbedaan kul tural dalam satu arus program.
Walaupun, fak ta kepent ingan bisnis yang cukup menggiurkan
merupakan alasan yang kuat. Beg itu juga dengan “tujuan ideal” yang di
atas ada lah fak tor yang tidak dapat diabaikan beg itu saja. Mengingat ,
bahwa sambutan publik yang antusias mengisyaratkan bahwa Teletubbies
memili ki pengaruh lintas budaya. Dalam berbagai kesempatan bisa
dikatakan kedua tujuan tersebut: bisnis dan ideali sas i berjalan ber sama-
sama sal ing menunjang antara satu sama lain. Dengan memiliki karakter
lintas budaya, Teletubbies menjad i lebih mudah dijual . Sedangkan
dengan tujuan mengeruk keuntungan sebesa r-besarnya Teletubbies harus
di buat mudah diterima oleh berbagai bentuk pasar yang bervar ias i227.
Sebagai budaya populer, kedua unsur yang sepintas ter lihat kontradiktif
tersebut bekerja secara rapi dalam satu jal inan. Di sin i lah, dua unsur
kekuatan yang mendukung Teletubbies, selain fak tor ket iga yang akan
kita bahas lebih lanjut .
226 Online document: http://www.bbc.co.uk/education/information/faq/abroad.shtml. Untukdata lengkap tentang tanya jawab dengan Anne Wood dan andrew Davenport bisa dilihatpada Apendiks C.
227Menurut Kenichi Ohmae, menghasilkan produk yang universal sekaligus dapat diadaptasidengan mudah oleh lokal adalah salah satu strategi pemasaran yang berlandaskan perspektifglobal: “In high school phycics, I remember learning about a phenomenon called diminishingprimaries. If you mix together the primary colors of red, blue, and yellow, what you get isblack. If Europe says its consumers want a product in green, let them have it. If Japan saysred, let them have red. No one wants the average, No one wants the colors all mixedtogether. Of Course it make sense to take advantage of, say, any technologicalcommonalities in creating the paint. But local managers close to local costumers have to beable yo pick the color.” Baca tulisannya berjudul Managing in a Borderless World, dalambuku berjudul The Evolving Global Economy. Making Sense of the New World Order (Boston:A Harvard Business Review Book, 1995), hal. 274.
139
2. Sinkronisasi anta ra “dunia anak -ana k” dan “dunia laya r”.
Press release yang diadakan BBC tanggal 31 Maret 1997 untuk
memperkenalkan Teletubbies pada publik Inggri s, Anne Wood228
menekankan bagaimana dun ia teletubbies dibangun secara uni versal :
“The Teletubbies live in the land where televi sion comes from, in the
land of chi ldhood, in the land of nursery rhymes.” 229 Mengacu pada
pernyataan ini , sangat ditekankan hubungan Teletubbies dengan televi si
dan anak-anak dalam kacamata Wood. Dun ia Teletubbies ada lah dunia
televi si, sekaligus juga dunia anak-anak yang nyaman 230. Dengan kata
228 Tinky Winky, Dipsy, Laa-Laa and Po are the Teletubbies, press release dari BBC. Dapat ditemukan di website resmi milik BBC, http://www.bbc.co.uk/education/teletubbies/
229 Online document: http://www.bbc.co.uk/education/information/faq. Untuk data lengkaptentang tanya jawab dengan Anne Wood dan andrew Davenport bisa dilihat pada Apendiks C.
230 Kata “Teletubbies” sendiri terdengar dekat dengan istilah “televisi”. “televisi” berasal daribahasa Inggris television, yang berasal dari kata tele (Bahasa Yunani untuk menyebut “jauhdari” atau “jarak”) dan vision (Bahasa Inggris yang biasanya diartikan sebagai “melihat”).Dengan kata lain, televisi bisa diartikan sebagai “melihat dalam suatu jarak tertentu (jauh)”.Sedangkan “Teletubbies” memiliki makna yang lebih rumit daripada yang dikira. Sepertihalnya kata “televisi”, bagian awal dari kata “Teletubbies” juga berasal dari Bahasa Yunani,yaitu tele. Sedangkan kata keduanya adalah tubbies. Tubbies bisa berasal dari kaya jamakuntuk keempat tokoh utamanya yang diberi nama tubby. Jika pengertian “Teletubbies”semata-mata merujuk pada keempat tokoh, istilah ini bisa berarti: “Para tubby (atautubbies) yang berada pada suatu jarak atau suatu tempat yang jauh”. Kata tubby, dalamdefinisi kamus Webster memiliki dua makna yaitu: “1. shaped like a tub; 2. fat and short”.Jika mengikuti definisi ini, berarti kata tubby bisa berasal dari kata tub yang bisa berartibeberapa makna antara lain: “1. a round, broad, open, wooden container, usually formed ofstave and hoops fastened around a flat bottom; 2. a bucket or tram for carrying coal, ore,etc, in a mine; 3. short for BATHTUB (bak mandi); 4. a slow-moving, clumsy ship or boat.Pada dataran pemahaman ini, “Teletubbies” juga bisa berarti “sebuah daerah yang luas,lebar dan memiliki sifat menampung di mana berada di suatu tempat dengan jarak tertentu(atau jauh).” Atau juga berarti para tubbies adalah makhluk dengan bentuk tubuh “gemukdan pendek.” Baik definisi satu, dua dan tiga, semuanya sesuai untuk menggambarkanbagaimana keadaan dalam Teletubbies. Pada definisi pertama memberikan pengenal secarasepintas apa itu Teletubbies. Pada definisi kedua, menyinggung karakter dari tubbyland yaitu“tanah lapang yang luas dan berisi banyak hal”. Sedangkan pengertian ketigamenggambarkan karakter umum fisik para keempat tokoh utama.
Lebih lanjut lagi penulis menemukan dugaan lain, yaitu bahwa kata tubby atau tubbiesbukan sekadar merupakan deviasi dari istilah tub, melainkan juga merujuk pada kata tubeyang dekat secara fonem maupun makna. Tube berasal dari istilah tubus (Latin) atau “pipa”.Kata tube dalam Bahasa Inggris bisa berarti sebagai “saluran” maupun “tabung” (kedua kataini sering digunakan untuk menyebut tabung atau saluran televisi, sedangkan kata “saluran”sering digantikan dengan kata channel, yang menggambarkan perbedaan gelombang transmisiantar stasiun pemancar yang berbeda. Jadi kata “saluran” di sini berbeda dengan katachannel. Lebih tepatnya, “saluran” yang dimaksud di sini adalah medium yangmenghubungkan televisi dengan stasiun transmisi). Dan perkembangan istilahnya di Amerika,
140
lain, Teletubbies menggambarkan bagaimana jika “dunia televi si” (atau
teknologi layar) bersenyawa dengan “dunia anak” yang permeabel , dan
has ilnya ada lah keempat tubbies; Tinky Winky, Dipsy, Laa -Laa dan Po:
“We did this by tak ing a televi sion - the most magica l piece of
technology for a chi ld - and it put on the tummy of a soft toy.” We
developed the characters from that, creating technologica l babies - the
Teletubbies .” 231
Bagi Anne Wood para tubbies ada lah, “They are babies ,
technolog ica l bab ies ... , Like chi ldren, they also imitate what they hear,
so they wil l attempt to speak lke the Narrator and sometimes like the
Voice Trumpets.”232 Jelas bag i kita bagaimana dun ia teknologi dalam
Teletubbies tidak terpengaruh oleh modifi kas i budaya yang dil akukan
terhadapnya. Karena teknologi diperkena lkan bersifat uni versal ,
sedangkan anak-anak usia 2-5 tahun ada lah subyek yang kurang
dipengaruhi nilai-nilai kul tural. Dalam Teletubbies kedua dunia
disatukan oleh teknologi layar: “The voice trumpets represent the many
technolog ica l dev ices that are a natura l part of a chi ld’s life.” 233
Teknologi ada lah bag ian “alami” dar i anak-anak yang ada di luar ikatan
budaya.
the tube adalah slang word yang digunakan untuk menyebut “televisi”. Jika kata tubby atautubbies berasal dari kata tube, maka pengertian “Teletubbies” semakin luas. Selain sebagaisalah satu acara televisi, istilah “Teletubbies” juga bisa berarti: 1. “saluran” atau “tabung”yang menghubungkan antara dua tempat atau lebih dari suatu jarak; 2. sinonim dari kata“televisi”; 3. “saluran” atau “tabung” dalam “televisi”.
231 Ibid ., loc .cit.232 Ibid.233
Online document: http://www.bbc.co.uk/education/information/faq/teletubbyland.shtmlUntuk data lengkap tentang tanya jawab dengan Anne Wood dan Andrew Davenport bisadilihat pada Apendiks C.
141
Namun, banyak kalangan tidak sependapat, terutama yang
mengangga p teknologi tidak selalu netral sifatnya, tap i mempromosikan
nilai -nilai tertentu: “In the context of the new educat ion outcomes,
that means opening young minds to global bel ief s and values. The
Teletubby world is the ir best attempt to touch pre-schoolers with the
seeds of the new ideology .”234 Para pemimpin sekuler diduga
berkomplo t dibelakangnya dengan agenda tersembunyi: “Our polit ica l,
educat ion, and media leaders want to introduce these inf luences ear ly -
- before chi ldren become ‘indoctrinated’ with Biblica l truths .” 235
Argumen ini diwarnai ide tentang persaingan ideologi, dan mengamati
Teletubbies sebaga i alat pol iti s untuk kepent ingan pihak ter tentu.
Pendapat ini ber tolak belakang dengan keyakinan publik .
Kebanyakan kalangan publik , terutama Indonesia, menerima Teletubbies
semata-mata hanya sebagai tontonan anak-anak yang ringan 236. Anggapan
ini memang tidak sepenuhnya kel iru, karena format Teletubbies sendir i
menunjukkan cir i-cir i bahwa acara ini ditujukan semata-mata pada
bal ita237. Namun persoa lannya jad i lain, sebab Teletubbies membawa
serta nubuat tentang bagaimana relasi antara manusia dan teknologi
234 Kjos, Berit, "Edutainment" How Teletubbies Teach Toddlers, (Online document:http://www.crossroad.to/index.html, tahun tidak tercantum).
235Ibid., loc.cit. Sebagai data pembanding tentang pandangan-pandangan yang mengkritikTeletubbies, kunjungi juga website yang terdaftar pada berikut ini: [1]http://moose.spesh.com/teletubbies/index.html [2] http://www.geocities.com/Enchanted-Forest/Dell/7306/ [3] http://www.tangh.demon.co.uk/tubbytoast/index.html [4] http://members.tripod.com/~tubbies
236 Harian Kompas, Minggu, 6 Mei 2001, Hal. 13 dan 14237
Anne Wood sendiri berkata, “...from children. All our ideas come from children. 'Ragdollworks for children' is our mission statement because, for everything we do, we watch andobserve children: how they play; how they talk; and how they react to the programmes wemake.” Lihat Lampiran C.
142
ter ikat dalam jal inan “obyektif” dan “natural”. Dan karenanya , jelas
ideologi ter tentu eks is di bal iknya.
3. Teletubbies di mata publik Indonesia: tarik ulu r antara
orang dewasa dan an ak -anak.
Di Indonesia, kehadiran Teletubbies sejak penayangan per tamanya di
Indosiar pada tahun 2000, menunjukkan sejumlah gejala . Jawa Pos238,
dalam salah satu kolomnya, memuat sebuah Karnaval di Taman Surya,
Surabaya. TK Nurul Ulum Gresikan, salah satu dar i peserta yang hadir,
dir ias layaknya para tubbies. Kejadian ini menjadi menarik, sebab tidak
semua tokoh anak-anak dalam televi si dianggap sesuai untuk anak-anak,
apalag i diterima oleh lembaga sekolah.239
Permasalahan ini tidak bisa dil ihat hanya sebagai favour ism
kostum karnaval belaka, tetapi mencerminkan adanya pembauran batas
identi tas para siswa ter sebut dengan tubbies. Pos isi siswa-siswa parale l
atau terjad i sinkronisasi identi tas dengan para tubbies. Paradigma guru
tentang siswa dimediasi oleh kehadiran sosok Teletubbies dalam bentuk
kostum. Seh ingga Teletubbies di mata publik Indonesia mas ih merupakan
sosok yang aman bag i anak-anak. Sekaligus tercermin dar i sin i,
keikutser taan orang dewasa mengamini kehadiran Teletubbies sebagai
bagian dar i anak-anak. Orang dewasa mengalami kenikmatan ter sendir i
238Ada Teletubbies dan Polisi Cengeng, Metropolis (Harian Jawa Pos, 29/9/01), hal. 25.
239 Ambil sejumlah kasus seperti Crayon Shincan, Pokemon, dll. yang muncul di televisi padawaktu yang hampir bersamaan dengan Teletubbies. Tidak seperti Teletubbies, tokoh-tokohtersebut banyak dikecam oleh media maupun masyarakat sebagai perusak moral anak-anak.
143
mel ihat anak-anak diberi ria san seo lah-olah bag ian dar i Teletubbies
yang muncul di keh idupan “nyata”.
Anak-anak dan dewasa menikmati Teletubbies dengan caranya
masing -mas ing: “Chi ldr en enjoy the ant ics of the Teletubbies - they see
their own world ref lected in the stories. Adults seem to enjoy the
innocent fun.” 240 Anak-anak mel ihat “dunia”-nya atau “diri” -nya berada
dalam Teletubbies (mungk in sebaga i bag ian dar i salah satu tubbies),
sebaliknya orang dewasa menerima Teletubbies sebaga i kesenangan yang
polos, dan membayangkannya sebaga i bag ian dar i sifat anak-anak yang
wajar dan mas ih dapat ditolerir . Kendat i demikian, dalam persoa lan ini ,
Teletubbies mas ih bisa dianggap tidak ter lalu istimewa dibanding tokoh-
tokoh televi si lainnya yang juga banyak digandrungi, dan memili ki fans
yang mas ing -mas ing. Sebaga i ikon budaya populer, “wajar” saja
Teletubbu ies diidolakan.
GAMBAR 4.1
Anak-anak dan Teletubbies, identifikasi melaluikostum
Menurut Montgomery, pola semacam ini telah terbentuk sejak
stasiun-stasiun televi si mulai mel iri k anak-anak sebaga i pangsa pasar
yang potens ial :
240 Online document: http://www.bbc.co.uk/education/information/faq/teletubbyland.shtm
144
“In the last decade, these trends triggered a proliferation of new TVnetworks aimed at capturing a segment of the hot children”s market,including the controversial classroom news service Channel One, thehighly profitable Nickelodeon cable channel, CNN”s Cartoon Channel,and the Fox Children’s Network.” 241
Namun ideologi dan mitos tertentu yang membuat Teletubbies
menarik untuk dikaji sebaga i sebuah diskur sus teknologi layar,
Teletubbies mengungkapkan kerangka mengenai “panggung” masyarakat
kontemporer dalam relasinya dengan teknologi layar. Teletubbies adalah
acara berbau fik si ilmiah dengan nuansa teknologi yang kentala serta
disebarkan melalu i teknologi s pula kepada pemirsanya dengan tujuan
mengenalkan teknologi kepada anak-anak pada masa yang din i: “Any
chi ld growing up in the modern world has to be famili ar with new forms
of technology - TV and video games are now joined by the Internet and
computer games.”242 Bagi Teletubbies: ”The technology is not harmful
in its own right .”243 Sebaliknya, tanggungjawab morali tas berada di
tangan individu: “common sense tel ls us to check what message an
individual game or website is giv ing .” 244
Teletubbies menjad i konstruks i gaya populer yang dapat
membantu mengungkap lebih lanjut bagaimana mekani sme kerja
teknologi layar berfungsi sebaga i sebuah program tayangan. Karena itu
pemahaman atas relasi yang ber laku dalam diskursus di dalamnya akan
member ikan deskripsi pola-pola yang ber laku, dalam hal ini akan lebih
241Ibid 27., loc. cit.
242Ibid 233., loc. cit.
243Ibid
244 Ibid
145
banyak menerapkan ana lis is terhadap gambar (imaji visual ), aud io dan
simbol -simbol yang muncul , dengan diimbangi ana lis is teks. Hal ini
cocok sekali dengan sifat Teletubbies sebaga i diskursus yang hadir
melalu i kotak televi si sebaga i layar serta medium, di mana imaji visual
dan suara ada lah dua ranah indera sebaga i medium komunikas i yang
dia lami secara empiri k dan interakti f oleh penonton 245.
Sampai di sin i, penuli s ter ingat pada betapa pentingnya peran
layar televi si yang terpasang pada perut para tubbies memainkan
peranannya di tengah -tengah acara. Dalam suatu kesempatan, layar
tersebut disebarkan secara luas melalu i layar lain, yai tu pesawat
televi si penonton mas ing-mas ing. Dalam Teletubbies, layar sebaga i
medium hadir dengan dua cara: sebaga i “subyek” sekaligus “obyek” dar i
penonton. Dar i fenomena “layar ganda” tersebut, kaj ian mengenai
diskursus -diskursus dalam Teletubbies akan di mulai.
245Perlu disorot di sini pula, Teletubbies adalah generasi baru dari program InteractiveTelevision (ITV) di mana merupakan program TV yang dirancang untuk melibatkan anak-anakdalam dunia televisi secara lebih aktif. Anak-anak tidak hanya duduk diam dan menonton.Adalah Pritchett dan Wyckoff yang mempelopori program ini dalam acaranya berjudul WinkyDink and You, sebuah acara TV anak-anak yang mengajak anak-anak untuk dekat ke layaruntuk ikut terlibat dalam jalan cerita. Winky Dink and You pertama kali diputar hari Sabtupagi, pukul 10 dari 10 Oktober 1953 hingga 27 April 1957, di CBS. Pembawa acaranya yangpertama adalah Jack Berry. Antara tahun 1969 hingga 1973, acara ini muncul kembali denganformat berwarna. Lihat: Eileen Rivera, The Wink that Started Interactive TV. How a 1950sShow got to Interact with the TV (TechTV. Inc., 2002). Untuk online document:http://abcnews.go.com/sections/scitech/TechTV/techtv_winkTV020823.html).
Menurut dugaan penulis, sangat mungkin sekali, Teletubbies dipengaruhi oleh acara iniyang dalam banyak segi mendahuluinya. Nama “Tinky Winky”, salah satu tubbies, dirasakandekat dengan nama “Winky Dinky” (Sebutan umum untuk Winky Dink). Untuk berbagaiinformasi lain tentang Winky Dink and You kunjungi website berikut ini: Winky Dink and You!(http://www.winkydinkandyou.com/); TVParty (http://www.tvparty.com/requested2.html);Yesterday Land (http://www.yesterdayland.com/popopedia/shows/saturday/sa1355.php);Domain Toon Tracker (http://www.toontracker.com/winky/winky.htm); atau Toonopedia(http://www.toonopedia.com/winkydnk.htm).
146
B. “L AY AR ” DA LA M “L AY AR ”
1. Antara “j arak”, “subye k” dan “obye k”.
“Di atas buk it nan jauh, Teletubbies bermain-main,” demikian bunyi
kal imat pembuka yang diu lang terus menerus oleh narator pada tiap
episode. Sebaga i kal imat pembuka acara dan perkenalan dir i,
pernyataan ini merupakan sebuah cara membawa penonton pada dun ia
layar dalam Teletubbies. Terutama, sepert i dalam cer ita -cer ita lainnya,
kal imat pembuka menentukan bagaimana suatu cer ita di mulai dan
menunjukkan bagaimana cara penuli s menyaj ikan konstruks i dunianya ke
hadapan perhat ian pub lik.
Teletubbies memula i cer ita dengan memposisikan dir inya “di
atas” dan “jauh” dari penonton. Dia membuat jarak yang renggang
antara tubbyland (dunia dalam Teletubbies) dengan penonton yang
menyaksikannya lewat layar televi si. Pada jarak “tingg i” dan “jauh”,
penonton dia jak mel ihat tubbyland sebaga i “obyek penglihatan”.246
Penonton mel ihat tubbyland jika ada jarak yang “jauh” dan “tingg i”,
bukan ket ika pada jarak “rendah” dan “dekat”.
Teletubbies mengarahkan penonton merubah ide umum yang
mengatakan semakin “rendah” dan “dekat”, obyek akan semakin jelas.
246Tubbyland adalah perwujudan unitas dari keseluruhan formasi “obyek-obyek” yang adadalam Teletubbies. Lihat catatan kaki no. 230. Dalam hal ini, tubbyland dapat bermaknajuga sebagai “suatu tempat luas yang berada ditempat yang berjarak jauh” atau “tempatatau daerah yang berada dalam tabung atau saluran televisi”. Untuk perbandingan denganScreenLand lihat juga catatan kaki no. 190. Dalam kesempatan ini, tubbyland memilikimakna yang mendekati definisi ScreenLand, sekaligus memiliki arti yang mandiri sebagaisebuah formasi simbol-simbol yang muncul dalam acara Teletubbies.
147
Tapi ini bukan penolakan atas “fakta” ter sebut, melainkan Teletubbies
membal iknya dengan pengalaman baru yang berbeda dar i biasanya,
penonton mel ihat tubbyland jus tru dalam pos isi fis ik yang “tingg i” dan
“jauh” dar i Teletubbies ber[ada].
Keber[ada]an tersebut ditekankan oleh narator, “In ilah
Teletubbies, Ini lah Teletubbies.” Bersamaan dengan itu, penonton
dikena lkan dan ditunjukkan pada keber[ada]an yang lengkap dalam
satuan. Mula i dar i Tinky Winky yang berwarna ungu dan ter tinggi
kemudian ber lanjut pada tubbies lainnya sesuai dengan warna dan tinggi
badan mas ing-mas ing; Dipsy dengan warna hijau, Laa-laa yang kuning
dan terakh ir ada lah Po yang berwarna merah. Keber[ada]an tubbyland
ditekankan dengan “obyek -obyek” di dalamnya. Keber[ada]an satuan
“obyek” memperkuat pemunculan tubbyland yang “sebenarnya” berada
di sebuah dun ia yang “jauh”.
Tiap pertengahan epi sode Teletubbies selalu ada bag ian waj ib, di
mana “kinci r ang in” 247 tubbyland akan berbunyi dan berputar kencang,
menyebarkan pecahan-pecahan gelombang sinar ke seluruh tubbyland.
Ket ika itu antena di kepala tubbies dan layar -layar kelabu pada perut
mereka menyala bergil iran. Akan ada salah satu dar i layar di perut
tubby menampilkan acara “la in” yang “jauh” dar i tubbyland, suatu
247Lebih lengkap tentang “kincir angin ajaib” (the magic windmail), baca pada pembahasan dibawah. Dalam beberapa hal “kincir angin ajaib” adalah suatu model simetris sirkular dengansebuah pusat dan cabang-cabangnya yang dapat saling menggantikan satu sama lainnya jikaberputar. Cabang-cabang mengikuti pusat yang berputar sebagai fokus. Mirip dengan keadaanini hubungan antara tubbies yang satu dengan lainnya saling sejajar dan dapat digantikanyang satu oleh lainnya tanpa ada perbedaan berarti. Mereka secara acak dan bergiliranditentukan oleg gelombang yang dipancarkan. Layar siapapun yang menyala bukan masalahpenting. Di sini antara tubbies yang satu dengan lainnya bersifat simetris sirkular terhadap“kincir angin ajaib”.
148
“dunia nyata” yang mir ip dengan dun ia penonton Teletubbies. 248 Isinya
mengki sahkan sekelompok atau seorang anak dar i beragam etn is yang
menikmati permainan atau kesenangan ber sama orang tua mereka. Di
sin i, Teletubbies bukan lag i acara di mana memunculkan sebuah dunia
jauh yang berdir i sendir i, tap i sekaligus juga perantara penonton dengan
dunia lain di permukaan bumi yang berbeda. Dan hal ini dilakukan
melalu i layar di perut tubbies.
Ket ika acara di layar perut para tubbies tiba-tiba melebar dan
menutupi seluruh layar televi si, penglihatan yang satu digant i dengan
penglihatan lainnya. Saat itu, tubbyland dan para tubbies sekonyong-
konyong lenyap dar i pandangan penonton. Sebenarnya para tubbie s tidak
hilang atau lenyap, karena acara Teletubbies dan tubbyland serta isinya
akan muncul kembal i ke pandangan penonton setelah televi si perut usa i
diputar. Leb ih tepatnya yang terjad i ada lah para tubbies mengikuti pola
per ilaku penonton lai nnya yai tu menonton pada layar di perut teman
mereka, begitu juga tubby yang perutnya dijadikan medium bag i acara
tersebut, iku t memperhat ikan layar di perutnya sendir i. Dapat
dikatakan, penonton dan para tubbies menonton ber sama. Dunia
Teletubbies dibuat seo lah-olah muncul di sek itar dun ia penonton.
“Bersama” penonton lainnya, mereka memfokuskan perhat iannya pada
layar. Kehadirannya yang awalnya sebaga i “obyek” kin i juga menjadi
sama “subyek” nya dengan penontonnya. Sehingga para tubbie s tidak
248 Bagian ini disebut dengan istilah insert. Insert dibuat terpisah dari program Teletubbies itusendiri. Para kreator Teletubbies memanfaat sejumlah tenaga specialist insert director yangtersebar di banyak tempat untuk menyuting kebiasaan-kebiasaan anak-anak yang unik danmenarik. Insert diputar ditengah-tengah acara sebagai bagian program (online document:http://www.bbc.co.uk/education/teletubbies/information/faq/).
149
disaks ikan lag i oleh “subyek” lainnya (pe nonton), tap i dia “hadir”
bersama-sama di antara “subyek”. Keber[ada]nya tidak lag i disadari
oleh “subyek” sebaga i “obyek” sepert i yang ditonjolkan di awal
pembukaan acara.
Pada awal acara jarak “jauh” antara tubbyland dan penonton
sangat ditekankan, karena itu keber[ada]an tubbyland sebaga i “obyek”
ter lihat dan terus diperkuat. Pada keber[ada]annya yang kedua, jarak
antara penonton dan tubbyland di-“ti ada”-kan. Pada keber[ada]an
terakh ir, pos isi para tubbies menjad i sama sebaga i penonton atau
“subyek”, bukan lag i “obyek” pada keber[ada]annya yang per tama.
Dengan demikian tubbyland bukan hanya tontonan tapi juga penonton.
“Obyek” sekaligus “subyek”, “jauh” sekaligus “dekat”, “di sadari” pada
satu saat, namun pada saat berbeda “tidak disadari” keber[ada]annya.
Dia menjad i isi acara tapi mengantarai penonton pada acara lainnya
melalu i layar pada perutnya. Selanjutnya timbul pertanyaan, bagaimana
mendeskripsikan pola interakti f yang rumit dalam Teletubbies ter sebut,
sebaga i tontonan halmana adalah “obyek” perhatian penonton atau
justru merupakan program pendampingan yang berdir i sejajar dengan
penonton?
Kenyataan kontradiktif dalam tubbyland member ikan pemahaman
bagaimana medium bekerja. Di sin i, tubbyland bisa dianggap sebaga i
medium yang mengantarai “pengl ihatan” dengan “obyek”-nya,
selayaknya cara kerja sebuah layar televi si. Namun, tubbyland memili ki
peran yang berbeda dengan medium biasa. Pada medium umumnya,
150
ket ika kontak “subyek” dan “obyek” ber langsung, selalu kurang disadari
atau tidak pernah muncul sebagai “obyek” tersendir i bagi “subyek”.
Antara apa yang disaji kan di “da lam” layar, berbeda dengan medium itu
sendir i. Sebuah medium tanpa sesuatu yang disampaikan tidak akan
menarik perhat ian. Tidak ada orang yang rela menatap sebuah layar
televi si atau komputer selama berjam-jam tanpa ada “sesuatu” yang
bisa diberi perhat ian. Dalam keseharian, bahasa adalah medium yang
tidak disadari. Ket ika sesorang menyinggung tentang seekor sap i, bukan
bunyi kata “sapi” (sebagai sebuah fonem dalam Bahasa Indonesia ) itu
sendir i yang menjad i menjadi fokus perhat ian melainkan, sebuah konsep
dalam batasan pik irannya yang ber interaksi dengan has il pencerapan
plus persepsinya yang dituju. Sedangkan bunyi kata “sapi” tidak
memili ki kai tan langsung dengan sap i itu sendir i sebagai sebuah wujud
penglihatan atau short-term memory .
Bahasa sebagai medium berada di antara fokus tersebut, tidak
menjadi sebuah “obyek” mandir i dan disadari, melainkan merupakan
“dunia antara”. Demikianlah pula hal yang ber laku bag i medium lainnya
sepert i halnya layar. Namun melalu i serangkaian “subyektivikasi” dan
“obyektiv ikasi” tubbyland dapat dihadirkan sebaga i “medium kedua”
setelah layar televi si atau “medium pertama”, di mana merupakan
pemunculan medium dar i ket idaksadaran menuju sebuah medium baru
yang disadari namun tetap berfungsi sepert i “medium pertama”. Sebaga i
“medium kedua”, Teletubbies muncul sebagai “obyek” yang terkesan
ter lepas dar i “medium pertama” dan ter lepas tetapi tetap merupakan
kelanjutan fungsi dar inya. Singkatnya, tubbyland adala h “obyek” untuk
151
“medium pertama”, dan sebaliknya merupakan “subyek” sekaligus
“medium kedua” untuk dunia lainnya yang diperantarai oleh tubbyland.
Tubbyland bukan sekadar berfungsi sebaga i panggung pertunjukkan,
namun juga menjalankan tugas sebaga i alat komunikasi. Dalam hal ini ,
tubbyland member ikan kesan kepada penontonnya suatu hubungan
reakti f dan timbal bal ik tanpa adanya two way communication langsung
maupun tidak langsung.
Sebaga i “medium kedua”, tubbyland menggabungkan pencerapan
dan fokus dar i “subyek” penonton dengan “obyek -obyek” di dalamnya
pada satu medium bersama. Para tubbies had ir bersama penonton
sebaga i “subyek”, sedangkan penonton “hadir” di dalam tubbyland
melalu i fokus kesadaran pada indera-inderanya yang ter sinkronisasi
dengan “medium pertama”, untuk kemudian diberi penguatan lag i
melalu i kontak “medium kedua” dengan dunia seberang (insert ).
Teletubbies member ikan peran setara antara “indera -indera” dengan
“tubbyland” melalu i proses “muncul” sebagai kesadaran dan “hi lang”
dalam ket idaksadaran pada arus “medium kedua”. Karena itu tubbyland
adalah “dunia antara”, bilamana indera terjadi sinkronisasi dengan
layar.
Pada Teletubbies yang dis iarkan melalu i layar televi si, terdapat
dua indera yang diarahkan untuk terfokus atau akt if bekerja m enerima
sinyal -sinyal dar i televisi dan Teletubbies, pertama adalah indera
penglihatan, dan kedua adalah indera pendengaran. Pembahasan
dilanjutkan dengan mengkaji Teletubbies sebaga i bag ian dar i indera
152
penglihatan dan indera pendengaran. Sebelumnya per lu dibahas juga
topik bagaimana “obyek -obyek” dalam Teletubbies muncul dan
dikuatkan sebaga i sebuah fokus meng[ada] . Antara “dunia materi”
dengan Teletubbies sebaga i “dunia vir tua l”, indera -indera meng[ada]
bersama dengan dun ia “obyek”. Relasi antara “subyek” dan “obyek”
diproduks i kembal i dengan cara-cara pal ing primit if, yai tu ket ika bay i
yang baru lah ir mulai berhadapan dengan ibunya terdiskri t di luar
kesatuannya dengan kandungan sehingga terpaksa mencar i interaksi baru
dalam pola relasi “subyek” dan “obyek” 249.
2. Cara “ob yek” eksis: penye suaia n struktur “int i” dari
meraban menuju “b ah asa narator”
Saat bay i lahir, apa yang pal ing dinant ikan oleh orang tua, bidan
ataupun dokter ada lah tangisan si bay i yang menandakan fungsi paru-
paru telah bekerja, art inya bay i itu akan hidup. Tap i bag i si bay i
tangisan mewaki li perasaan tidak nyaman akibat “kehilangan” karena
berpisah dengan rahim Ibu.
249 Erich Fromm dalam bukunya Masyarakat yang Sehat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995,hal. 28) pernah menulis: “Nyatalah bahwa kelahiran manusia pada dasarnya adalah suatutindakan negatif, bahwa ia terlempar dari kesatuan aslinya dengan alam, bahwa ia tidakdapat kembali pada asalnya, mengimplikasikan bahwa proses kelahiran umat manusia samasekali bukan perkara gampang. Setiap langkah eksistensinya yang baru sungguh menakutkan,karena selalu harus mengorbankan keadaan rasa aman yang relatif sedang dihayati, di manadunia eksistensinya belum dikuasai... Seorang ibu yang penuh cinta melindungi kita darikepanikan awal ini...Kita takkan pernah lepas dari dua kecenderungan yang salingberlawanan: pertama, kecenderungan keluar dari rahim, dari bentuk eksistensi hewani kedalam eksistensi yang lebih manusiawi, dari perhambaan menuju kebebasan; kedua,kecenderungan kembali ke rahim, ke alam, kepada kepastian dan rasa aman.” Walaupununtuk sementara ini dikotomi “individu” dengan “alam” tidak kita gunakan, namun denganpenjabaran berbeda dikotomi serupa hadir di tulisan ini sebagai “subyek” dan “obyek” dalampengertian tanpa batas yang tetap dan tegas.
153
Berbeda dengan tangisan yang merupakan wujud perasaan tidak
nyaman, meraban atau mengoceh merupakan letupan rasa senang dan
kepuasan dar i bay i kurang lebih tiga bulan setelah kelahirannya, setelah
melewati satu fase di mana dipenuhi reaksi tangisan atau diam. Konsep
meraban sepert i dimaksudkan ada lah fase pra -bahasa yang tidak
mengenal struktur bahasa jelas atau morfologi yang lengkap.
Kesemenaan bunyi tidak dalam batas-batas aturan tata bahasa, tetapi
lebih bekerja sesuai tatanan impuls -impuls ket idaksadaran.
Antara “subyek” atau bay i dengan orang lain sebagai “obyek”
yang bag inya terasa samar, belum terjad i penjembatan sa tu tataran
batas-batas “umum” yang dipahami bersama dan dapat digunakan untuk
berkomunikas i. Jad i, antara “orang dewasa” dengan “bayi” terjad i
perbedaan dalam pembahasaan. Dikotomi ini lah diadopsi oleh
Teletubbies ke dalam sebuah metode pembelajaran bahasa yang
ber landaskan pada kontruksi mul til ingual . “Adults speak like adults ,
chi ldren speak like chi ldren and Teletubbies speak like Teletubbies,” 250
ujar Davenport. Antara anak-anak, orang dewasa dan Teletubbies
memili ki cara bicaranya sendir i. Walaupun seolah-olah terpisah secara
multil ingual, pembedaan ini tidak mengandaikan pemisahan hingga
terputusnya komunikasi sama sekali antara anak-anak dan orang dewasa.
Karena menurut Davenport, “chi ldren understand a lot more about
language that we credit them for.” 251 Hal ini disebabkan oleh karena
kemampuan mandir i dar i anak-anak: “chi ldren learn different voices
from different sources.” Melalu i berbagai sumber yang berbeda, anak-
250Online document: http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/progr_teletubbies16.html
251 Ibid., loc. cit.
154
anak memper luas gudang kosakatanya sendir i tanpa ketergantungan
pada satu sumber. Anak-anak yang “aktif” untuk memfokuskan
perhat ian, memahami, meniru dan memasukkan kata-kata sebaga i
bagian dar i struktur bahasanya sendir i. Dikotomi struktur bahasa bukan
suatu pemisahan mut lak, melainkan perbedaan yang dapat diatas i
dengan proses penyesuaian struktur antara bahasa anak-anak dengan
struktur lain diseki tarnya.
Penyesuaian struktura l ini ter jad i karena anak-anak akt if
menirukan kembal i ucapan-ucapan yang didengar dar i “orang lain”.
Peniruan yang mengandaikan tidak ada pengaruh perbedaan struktur
bahasa terhadap kemampuan akt if belajar bahasa. Sehingga, di antara
struktur bahasa berbeda, dibangun anggapan anak-anak memili ki
kemampuan bawaan mandir i, suatu struktur bahasa universal organi s.
Pada struktur “permukaan” terdapat gar is persamaan universa l yang
memungkinkan anak-anak belaja r cara bicara orang dewasa di “dunia
nyata”, maupun Teletubbies di “dunia vir tual”. Ket iganya bukan lag i
kelompok bahasa yang terpisah, tap i dii kat transformasi “inti” bahasa
satu menuju “inti” lainnya melalu i proses pen iruan. 252
Menurut Kar l Büh ler ada dua cara anak-anak menirukan bahasa
orang dewasa; per tama, melalu i peniruan spontan bahasa orang lain,
kedua, pen iruan yang dilakukan anak sesudah did ikte. 253 Dalam
Teletubbies, perbedaan kedua metode menjad i ambigu. Tidak ada upaya
252 Klasifikasi model bahasa dalam dua struktur; “inti” dan “permukaan”, banyak dianut olehpaham Linguistik Nativis yang meyakini adanya sebuah tata bahasa universal yang berlakusecara neural dalam pikiran manusia.
253F.J. Mönks, A.M.P. Knoers, Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: pengantar dalamberbagai bagiannya, cet. 10 (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996., hal. 162).
155
memunculkan pen iruan kata-kata, tap i anak-anak dia lihkan fokusnya
untuk merespon secara sukare la. Representas i keberadaan pen iru dar i
dalam layar diwaki li oleh para tubbies. Para tubbies memili ki kosakata
yang terbatas sepert i anak-anak, kemiripan ini ada lah jembatan pada
pembandingan: “Chi ldren enjoy the ant ics of the Teletubbies - they see
their own world ref lected in the stories.” Anak-anak merasakan dunia
pengalamannya direproduksi dalam Teletubbies berupa “kemir ipan”
(resemblance)254. Kemiripan ini mempermudah proses pendekatan yang
lebih pribad i kepada/oleh anak-anak terhadap dunia yang dikontruksi
dalam Teletubbies. Selanjutnya, sepert i anak-anak masa awal belajar
bahasa, para tubbies akan berbicara dengan meniru segala sesuatu yang
didengar dar i sek itarnya.
Berbeda dengan proses penyesuaian struktur bahasa di “dunia
fis ik” , Teletubbies menawarkan kepada anak-anak bentuk “as imi las i”
yang leb ih ramah. Dalam Teletubbies, semua hal yang “mirip” dengan
kehidupan sehari-har i dikontruksi ulang dalam suatu tatanan yang
berbeda. Tidak ada tangisan tidak nyaman dalam Teletubbies, hanya ada
suara meraban, tawa dan suara yang stabil dar i bahasa seorang dewasa
sebaga i narator. Maka jad ilah sarana bantu anak-anak yang
mengas imi las ikan suatu pembentukan “is i” bahasa secara halus dan
lebih bersahabat: “Chi ldren learn language in the real world. Thus as
an audience they want to listen , to pay attent ion, but what they are
254 Kemiripan sebagai peniruan pada suatu model. Jadi dalam Teletubbies, peniruan bukanhanya dilakukan oleh anak-anak terhadap suatu model. Tapi model sendiri adalah suatupendekatan pada kemiripan yang ditiru dari anak-anak. Hal ini disebabkan Teletubbies dibuatberdasarkan pengamatan pada perilaku anak-anak. Dikotomi anak sebagai peniru dan modelyang berperan sebagai pihak yang ditiru seperti yang ditunjukkan oleh teori belajar sosial(social learning theory) dari Albert Bandura tidak berlaku di dalam Teletubbies.
156
lacking, away from Teletubbies, is information laid out in a form they
can ass imi late.” 255
Berbeda dengan anak-anak yang mengikuti percakapan orang
dewasa disertai kehadi ran fis ik, para tubbies meniru pembicaraan dar i
“subyek” kasat mata sepert i narator atau suara dar i corong. “Suara”
yang dit iru tampil dalam bentuk tanpa kehadi ran “subyek” secara
lengkap. Tidak ada ajakan untuk para tubbies dan penonton mengulang
pesan dar inya. Namun, ada suara meraban dan tawa gembira dar i
tubbies mengikuti set iap narasi . Sifatnya ramah dan sukare la, serta
member ikan kenyamanan dar ipada ancaman. Dar i karakteri stik ini,
sebuah keakraban ditawarkan.
Walaupun peniruan anak-anak terhadap yang diucapkan para
tubbies dan narator sep intas terjad i pada struktur bahasa “permukaan”
saja, namun proses yang terjad i tidak hanya itu. Pen iruan bukan sekedar
pada fonem, melainkan da lam ikatan struktur morfeem, dimana
menyer takan kehadiran struktur int i. Di bawah, kasus ini akan
diperjelas.
Contohnya, ket ika narator berkata, “Suatu har i di taman tubby
muncul lah sesuatu.” Mengikuti perkataan ter sebut, akan ada “sesuatu”
yang memang muncul di tubbyland. Kemudian, seorang tubby, yai tu Po 256
lewat di tempat itu dengan sepedanya. Segera dia berhenti, dan
mengamati “sesuatu” tersebut dengan heran dan ber tanya-tanya, “A-Oh,
apa itu?” Ujarnya seo lah -olah ber tanya pada seseorang yang tak ter lih at,
255Ibid., loc. cit.
256 Tentang “Po”, baca lebih lanjut di tabel 4.1
157
tatapannya di arahkan ke depan layar, tempat para penonton ber[ada].
“Itu bendera,” jawab narator.
“Oh... , bendera! Bendera!” Seru Po riang mengel ili ng benda yang
baru dikena lnya. Po tidak mengenal benda yang baru diterimanya, hanya
dar i narator dia mendengarnya bernama “bendera”. Bersamaan dengan
mengenali nama tersebut, Po mendadak “mengenal” benda yang
ditunjukkan oleh narator. Sepert i benda yang mendadak muncul di
tubbyland oleh per intah narator, konsep tentang benda itu tiba-tiba
berada dalam pik iran Po. Karena itu, saa t narator bertanya kepada Po,
“Siapa yang harus kibarkan bendera?” Po segera mencabut bendera itu.
Kemudian narator meneruskan arahannya , “Bagaimana mengibarkan
bendera itu?” Po secara otomat is mengangkat bendera di depannya dan
membawanya di tangan lalu menggoyang-goyangkannya. Ber jalan sambil
menyanyikan lagu yang hanya berbunyi kal imat, “Kibar-kibar bendera!”
secara berulang-ulang.257 Antara narator dengan Po seo lah ada jembatan
penghubung. Dar i pengucapan narator, Po belajar menamai benda yang
ditemuinya. Tapi, yang membantu Po memahami konsep tentang
“bendera” tidak pada bahasa yang digunakan narator, melainkan pada
“obyek” yang muncul dan hadir secara empirik bag inya. Kehadiran
“obyek” sepert i “bendera” juga berart i pemusatan seluru h makna dan
fungsi bendera ke dalam sis tem pengetahuan. Kata kerja sepert i “kibar”
ikut menjadi pengetahuan Po saat narator memunculkan “bendera”
dalam tubbyland dan member inya nama, dan Po tahu cara mengibarkan
257 Kasus ini bisa ditemukan pada episode pertama Teletubbies.
158
“bendera”” dalam waktu sesaat. Tidak dibutuhkan meniru pengucapan
fonem secara tepat untuk memahami ide tentang “bendera”. Sebab,
“obyek -obyek” tidak eks is dalam fonem, melainkan, dalam Teletubbies
dipahami sebaga i rangkaian struktur empiri s yang diturunkan tanpa
mel ibatkan kejelasan fonem. “Obyek” dan bunyi bahasa menjadi satuan
yang terpisah satu sama lain.
Po saat itu juga mengenali “bendera” dalam struktur bahasanya .
Dia akan menjawab, “Oh, bendera, bendera,” ket ika tubby lainnya
bertanya padanya, “Apa itu?” Mereka mendapat jawaban pengulangan
kata narator oleh Po, serentak mereka mengikuti kata-kata ter sebut,
“Oh, bendera. Bendera.” Secara kilat “bendera” menjadi bagian dar i
struktur bahasa para tubbies, dan seluruh pengetahuan yang berkaitan
dengan “bendera” segera dipahami tanpa melewati proses leb ih lanjut,
namun saat itu juga hadir dalam penger tian mereka. Mereka pun
kemudian tahu bagaimana “mengibarkan: bendera di tempat yang
“wajar”, sepert i di tempat tinggi dan bisa disaks ikan bersama-sama,
pengetahuan tersebut dipero leh secara otomat is begitu mereka
mengenal ist ilah “bendera”.
Kasus serupa terjad i juga pada epi sode lain di Teletubbies. Ket ika
narator berkata, “Suatu har i di dun ia tubby, Teletubbies mel iha t awan
bergerak,” maka ada awan yang bergerak sebaga i koeksi stensi dar i
ucapan sang narator. Awan sebaga i “obyek” pada awalnya bukan suatu
wujud mandir i, tetapi merupakan keber[ada]an yang mengikuti kata-
kata narator dalam bentuk yang dapat diobservasi. “Obyek -obyek”
159
penerjemahan ulang dar i struktur bahasa narator tidak ter ikat pada
“struktur permukaan”, tap i merupakan “struktur int i” dar i bahasa
narator. Seluruh “benda”, “peris tiwa”, “waktu” dan “aksi” muncul
mengikuti kata-kata narator yang mendahulu inya. Pada awalnya,
“obyek -obyek” dalam Teletubbies muncul sebaga i materiali sas i ide -ide
narator menuju suatu bentuk kongkret yang dapat diamat i secara
langsung.
Keber[ada]an obyek-obyek mengalami perubahan, ket ika tubbies
meniru ucapan sang narator: “Eih, awan bergerak.” Kin i, “awan
bergerak” bukan hanya sebaga i keber[ada]an sampingan. Dia mendapat
penegasan keber[ada]annya dar i para tubbies melalu i pen iruan ucapan
narator. Sebaga i “obyek” yang mendahulu i ucapan tubbies, kehadiran
“awan” ada lah keber[ada]an yang leb ih mut lak dar ipada pengulangan
ucapan itu sendir i. Dar i suatu “obyek” imanen, “aw an bergerak”
bertransformasi menjad i “obyek” transenden yang mendahulu i ide dan
bahasa para tubbies. Karena itu letak ide “awan bergerak” bukan lag i
pada struktur permukaan bahasa narator maupun para tubbies, tetapi
sekarang merupakan “obyek” empiri s. Dengan kata lain, kin i “obyek”
dalam Teletubbies menjadi mandir i mengatasi bentuk struktura l bahasa.
Sehingga, tranformasi struktur bahasa dar i narator ke para tubbies
bukan pada suara atau permukaan luar bahasa itu, tetapi leb ih ter fokus
pada “struktur int i” bahasa sebaga i “kebenaran empiri s” dan
“universa l” yang dia lami oleh indera penglihatan.
160
Keber[ada]an obyekt if “obyek-obyek” dalam Teletubbies bukanlah
keadaan yang menetap, tapi ber langsung dalam kes inambungan antara
narator sebaga i kreator “obyek -obyek” dengan para tubbies sebaga i
penguat keber[ada]an “obyek -obyek”. Jika narator melanjutkan
narasinya dengan menyebut, “Awan kec il tapi tebal bergerak.” Maka
kedudukan “obyek-obyek” sekali lag i mengalami pendef inisian ulang
sebaga i ide “subyekti f” yang merupakan arahan skenar io narator, untuk
kemudian diikut i oleh para tubbies: “Awan kec il tap i tebal,” yang sekali
lag i menegaskan keber[ada]an “obyek”. Proses serupa akan berulang
kembal i dan dijawab dengan cara yang sama oleh para tubby, “obyek-
obyek” yang sebelumnya dikuatkan keber[ada]annya akan kembal i
din isb ikan oleh narato r, dan kembal i dikuatkan secara empiri s oleh para
tubbies untuk kemudian disubyekt ifi kas i narator lag i dan seterusnya.
Antara narator dan para tubbies keduanya memiliki kedudukan
berbeda dalam pos isinya terhadap kehadiran “obyek”, walaupun
keduanya ada lah “subyek” dalam hubungan oposis i terhadapnya. Jika
narator melakukan subyektif ikasi terhadap “obyek”, maka para tubbies
melakukan obyekt ifi kas i terhadapnya. Baik subyektif ika si dan
obyekt ifikasi, keduanya tidak merupakan esensi yang berdir i sendir i-
sendir i. Dalam melakukan subyektif ikasi terhadap obyek, narator
member ikan batasan bunyi bahasa yang jelas untuk mendef inisikan
keber[ada]an obyek, hal mana tidak dilakukan oleh para tubbies. Para
tubbies tidak mengucapkan dengan tepat kata-kata narato r, tapi
mengulangnya dengan kata-kata yang mir ip tapi terdengar agak berbeda
dalam pengucapan. Devias i ini muncul sebaga i bentuk dar i per iode
161
meraban yang merupakan identi fikasi para tubbies dengan bayi. Ket ika
narator berkata, “Ucapkan Halo!” diverbali sas i ulang oleh para tubbies
bukan sebaga i “Ha lo”, tapi “Ah-Oh”. Begitu juga ket ika dengan
pengucapan kata “bendera”, yang muncul dalam mulut para tubbies
adalah: “bende lya”258.
Sedangkan untuk “obyek” itu sendiri, fokus perhat ian
transformasi struktura l tidak hanya sampai pada keber[ada]an
penampakan saja. Namun, melewati suatu jangka, “obyek” akan
menghi lang dar i permukaan perhat ian penonton, para tubbies maupun
narator. Jika saat itu sang narator berkata , “Lalu bendera itu
menghi lang” diikut i oleh para tubbies yang meniru, “Ah, menghi lang.”
Bendera itu secara fis ik akan lenyap dar i pandangan. Kin i “obyek” tidak
memiliki kehadiran fis ik lagi, tap i dia hadir sebaga i sebuah rangka i
pengetahuan di dalam pikir an. “Bendera” sebaga i sebuah morfeem dan
seluruh ide yang berkai tan dengannya tidak memili ki bentuk fis ik lag i,
namun meninggalkan jejak dalam memori penonton. Di sin ilah
“as imi las i” bahasa ter jad i bukan hanya dalam penyesuaian pola fonem,
tapi leb ih kepada penyesuaian morfeem, atau ide dengan ter lebih
dahulu memperoleh penguatan keber[ada]an melalu i obyekt ifi kas i dan
subyektif ikasi.
Kenyataan ini yang menyebabkan kenapa para kreator Teletubbies
tidak pernah keberatan acara ini di-dubbing dengan bahasa yan g
258 Di sini Teletubbies sebagai program belajar bahasa banyak mendapatkan kritikan dikarenakantidak memberi contoh ucapan bunyi kata yang tepat, namun cenderung kabur dan pelatdalam pengucapannya.
162
beragam di set iap negara yang berbeda pula. Semua ide dan fokus dalam
Teletubbies tidak ter ikat pada struktur permukaan bahasa yang
termanifestasi dalam perbedaan bunyi vokal. Teletubbies sendir i
member ikan jawaban atas permasalahan ini : “Teletubbies is for all
chi ldren, many of whom grow up speaking more than one language.” 259
Sebaga i misal, Po bisa berbicara dalam bahasa Kanton dan
mengucapkannya dengan baik layaknya bahasa ibunya. Dia menyanyikan
lagu dalam kata: "Fi-dit , fi-dit , fi -dit !" (bahasa Kanton untuk “cepat”)
dan "Mar, mar, man !" (ar tinya: “lambat”). Uniknya lag i, Po ser ingkal i
juga berhitung dalam Bahasa Kanton: "Ya, yi, sam, sae, mmm ,"
(1,2,3,4,5).
Sehingga akhirnya, Teletubbies mengikat sejumlah struktur
bahasa dengan pola -pola beragam dalam sebuah jal inan yang leb ih
universal . Belajar bahasa di dalam Teletubbies bukan berart i hanya
mengikuti dan meniru bunyi -bunyi bahasa yang berbeda, namun juga
berart i, sinkronisasi ide -ide yang ada dalam Teletubbies kepada
penonton. Bahasa tidak lag i mempun yai tubuh pada dir inya sendir i,
melainkan semuanya ber[ada] dalam penampakan maupun pendengaran:
“Teletubbies is aimed for chi ldren at critical stages of language
development, so the programme concentrates on mus ic, rhythms,
temporal and spatia l relations, as wel l as real chi ldren talking in their
own words about their own experiences. This is what we found chi ldren
enjoyed watching” Karena itu, sepert i sebuah pencip taan lag i atas
259Online document: http://www.bbc.co.uk/education/teletubbies/information/faq/po.shtml
163
sebuah dun ia baru, ide -ide dalam Teletubbies diterjemahkan ke dalam
satuan-satuan warna dan bunyi yang dicerap dan dia lami ber sama-sama
sebaga i “reali tas” empirik.
3. Rep roduksi kemb ali dunia penglih at an dalam dunia lay ar
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum
berbentuk dan kosong: gelap gul ita menutupi samud era raya, dan Roh
Allah melayang-layang di atas permukaan air ,” demikian isi alenia
pertama pada kitab Kejadian yang bercer ita tentang penciptaan alam
semesta. “Jadilah terang,” Allah berkata kemudian. “Al lah mel ihat
bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan -Nya lah terang itu dar i gelap. Dan
Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang
dan jadilah pag i, itu lah har i pertama.” 260
Sepert i kisah dalam kitab Kejadian, demikian pula Teletubbies
memula i cer itanya, yai tu ket ika “terang” muncul . Teletubbies hadir
sebaga i “obyek” penglihatan ket ika matahari berwajah bay i261 terbit dan
memancarkan sinarnya di tubbyland, dan acara ditutup dengan
menghi langnya matahari di bal ik buk it-buk it. Sepert i sebuah kata di
kitab Kejadian, “terang itu baik,” para tubb ies hanya muncul di mana
“terang” berada. Dalam “dunia terang” penglihatan memperoleh
kekuatannya. Penglihatan mendapatkan cahaya, “dunia” di depannya
260Dikutip dari Alkitab Terjemaahan Baru LAI atas izin Lembaga Alkitab Indonesia (Jakarta:1999).
261Tentang “matahari berwajah bayi” baca pada bagian khusus di Bab ini yang membahaspersoalan ini lebih mendalam.
164
muncul dengan warna-warna, dan dalam Teletubb ies, sebuah dun ia baru
warna-warni muncul bersama cahaya layaknya penciptaan dalam kitab
Kejadian.
Tubbyland adalah dun ia yang hanya hadir bagi penglihatan
penonton saat cahaya muncul . Bangunan dalam tubbyland adalah
kontruksi warna-warna yang dirancang untuk member ikan penglihatan
suasana tip ika l. Dalam tanya jawab yang disusun Anne Wood dan Andy
GAMBAR 4.2
Tinky Winky (kiribawah), Dipsy (kiriatas), Laa-laa (ka-nan atas), Po (ka-
nan bawah). Dalamtubbyland, sertakomposisi warna
yang muncul didalamnya.
Davenport, muncul per tanyaan sepert i: “Why are
the Teletubbies purple, green, yel low and red ?”
Wood dan Davenport menjawab: “ We chose bright
modern colours to go with the technologica l world
of the Teletubbies . The evidence is that young
chi ldren prefer bright color - and everything in
Teletubbyland is bri ght, happy and energetic .”
Jawaban ini terdengar samar, dan kurang jelas
maksudnya. Dan juga apa yang dimaksud oleh
mereka sebaga i bri ght modern colour s, tidak
bisa menjelaskan mengapa warna yang menurut
mereka cocok dengan dunia teknologi bisa menjadi warna yang sesuai
juga untuk anak-anak. Dalam hal ini per lu diajukan sebuah pendekatan
yang leb ih tepat untuk menjelaskan kompos isi warna -warna yang muncul
dalam Teletubbies.
165
Sepert i kita ketahui di atas, ada empat warna (ungu, hijau,
kuning dan merah) yang muncul sebagai tit ik perhat ian dan
direpresenta sikan oleh keempat tubbies secara berturut, yai tu; Tinky
Winky, Dipsy, Laa-Laa dan Po (li hat Gambar 4.2 dan Tabel 4.1.).
Keempat warna itu muncul berdasarkan sejumlah per timbangan teorit is
tentang warna, di antaranya ada lah tentang teori trichromatic , yai tu
teori yang beranggapan semua warna yang ada dalam penglihatan terdir i
dar i tiga warna dasar.
Pada teori tri chromatic yang diajukan oleh Thomas Young dan
Hermann von Helmholtz (1852) 262, pengl ihatan mata manusia mempunyai
tiga tipe reseptor dengan tingkat berbeda untuk panjang gelombang
cahaya spesif ik. Spesif ikasi warna ditemukan dalam struktur biolog is
yang material.
Selanjutnya Helmholtz menyebutkan,
manusia mempunyai tiga reseptor yang s ecara
spesif ik sensit if pada tiga panjang gelombang,
yang terdir i dar i; warna merah, hijau dan biru.
Pada teori ini , mata dapat mel ihat warna yang
memiliki ragam luas dikarenakan secara
mandir i mata melakukan percampuran terha -
GAMBAR 4.3
Percampuran tigawarna dasar
dap warna tersebut. Dar i teori ini muncul anggapan bahwa ada tiga
warna dasar dalam spektrum cahaya yang dibentuk proses penglihatan
warna-warna lain sepert i kun ing, ungu, biru hijau dan lain-lain melalu i
262 Dalam Weiten (1995: hal. 136).
166
mekani sme biologi yang ber langsung di mata (Lihat gambar 4.3). Teori
ini semakin populer pada tahun 1960-an, ket ika George Wald
mendemonstrasikan kepada publik bahwa ada tiga tipe cones 263 pada
mata.
Kontruksi warna dun ia Teletubbies adalah rekonstruksi konsep ini
kembal i ke dalam penjabaran berupa tubbyland. Untuk jelasnya
bandingkan antara warna-warna yang ada pada gambar 4.2 dengan
gambar 4.3. Selain tiga warna dasar, Pola percampuran warna primer
yang muncul pada gambar 4.3 termasuk dominan muncul di Teletubbies.
Dalam gambar 4.2, ket iga warna dasar sepert i yang terkonsep pada
gambar 4.3 tersebar secara merata dalam set iap obyek. Dunia
penglihatan warna dengan determinasi bio log is had ir kembal i dalam
dunia cyberspace dengan determinasi teknik . Bio log i dan teknik memiliki
peran yang sama dalam menghasil kan dun ia penglihatan warna-warni.
Karena itu, teori tri chromatic untuk kompos isi warna tidak hanya
merupakan dominasi diskursus bio log i, melainkan juga merupakan bagian
dar i kerangka teknis televi si. Gambar-gambar yang diambi l melalu i
kamera, dipecah menjadi tiga warna dasar merah, hijau dan biru.
Kemudian, dimasukkan ke dalam tiga tabung kamera terpisah dan
diproses menjadi tiga sinyal berbeda. Sepert i halnya semua cahaya yang
diterima oleh mata dibagi ke dalam tiga warna sesuai teori tri kotomi
cones . Sinyal-sinyal dar i kamera dipancarkan melalu i satu gelombang
pengantar yang diterima oleh pesawat penerima, kemudian dip isahkan
263Saraf reseptor pada mata yang berperan dalam penglihatan berwarna. Di samping conesadalah rod, reseptor mata untuk penglihatan tanpa cahaya (Ibid., op. cit., hal. 130-131)
167
dan ditembakkan pada layar. Seband ing dengan proses ini , lap isan ret ina
pada mata menerima sinyal dar i reseptor kemudian memula i proses
analis is sebelum akhirnya diteruskan pada otak. Layar televi si yang dar i
jauh ter lihat keabu-abuan ada lah kumpulan bintik fos for yang terdir i
dar i; sepert iganya memancarkan cahaya merah, sepert iganya biru,
sedangkan sepert iganya lag i hijau. Ket iganya menerima panjang
gelombang sesuai dengan warna mas ing -mas ing.264 Antara proses sensas i
penglihatan organi s mata dengan bintik-bintik fos for layar memili ki
metode klasif ikasi yang sesuai 265.
Proses serupa terjad i pada lay ar keabu -abuan di perut para
tubbies, semua warna primer yang ada di Teletubbies menyatu di dalam
layar. Pada gambar 4.3, tit ik temu di mana warna primer berbaur
muncul warna put ih keabu -abuan. Dengan demikian, baik layar televi si
maupun layar di perut tub bies memiliki kesamaan kemampuan
menciptakan seluruh warna yang dikena l dengan jalan
mengkombinas ikan warna -warna dasar. Sepert i halnya bola mata
mengolah semua warna menjad i pengalaman penglihatan “fisik”,
kemudian member ikan kehadiran dunia penampakan, l ayar juga
melakukan hal sama ket ika menghadirkan tubbyland di depan mata
penonton.
264Tentang proses pengolahan visual pada tabung televisi baca tulisan David Carey, Cara KerjaTelevisi (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1979, 1981).
265 Bandingkan analisis ini dengan tabel 3.1 pada Bab III, di mana sistem pengumpulan informasidalam teknologi informasi berupa layar dan sebagainya bisa dianalogikan dengan fungsiindera-indera yang biologis sifatnya. Hanya saja, penulis tidak melihat perbandingan inisebagai analogi semata. Karena itu bukan kerja layar televisi yang dibuat meniru proses kerjaindera mata, juga tidak berlaku untuk sebaliknya, yaitu terjadi teknologisasi atas konseptentang proses biologis. Namun kesimpulan yang penting untuk ditarik dari analisis ini adalahbahwa konsep “biologis” dan “mekanik” bukanlah sesuatu yang saling beroposisi, melainkanmemiliki pola-pola yang saling menjelaskan satu sama lainnya.
168
Tubbyland adalah perwujudan sinkronisasi fungsi maupun isi
antara teori pengli hatan bio log is dengan penglihatan teknologi s.
Ditambahkan dengan sis i gelap terang warna achromatic, dunia material
dic iptakan kembal i “da lam” layar. Hanya saja, percampuran warna
primer opt ik bio log is sekaligus teknologi s dalam Teletubbies tidak
pernah hingga membaur sepenuhnya. Tiap-tiap warna selalu tampak
berdir i sendir i dan masih dikena li sebagai satuan-satuan. Permainan
gradas i leb ih terjad i pada intens itas gelap-terang achromati c.
Perwujudan warna tri chromatic dalam wujud kesatuan terpisah-
pisah bisa ditemukan dalam kompos isi warna pada tubuh para tubbies
sendir i. Warna-warna dasar dan persilangannya, sepert i dalam gambar
4.3, diwujudkan dalam satuan-satuan konstruks i yang dapat teramati.
Set iap tubbies memili ki warna khas yang membedakan satu sama lain
dan tinggi tubuh yang berbeda-beda pula. Secara keseluruhan hanya ada
empat tubbies di dalam tubbyland. Warna dan tinggi badan yang ada
terdis tribus i secara teratur dalam suatu pola susunan. Pola-pola
pasangan tersebut sek ila s terkesan acak dalam aso ias inya. Tetapi
ternyata terdapat suatu korelasi teratur, yang mungkin disengaja dan
mungkin juga tidak disengaja, antara “tingg i tubuh” para tubbies
dengan “warna” yang menjadi cir ikhas mereka mas ing -masing. Untuk
jelasnya, kai tan dalam pola ini bisa diamat i pada gra fis dan
penjelasannya di bawah ini :
169
GAMBAR 4.4
Kombinasi warna dalam Teletubbies dibandingkan dengan spektrum warnapenglihatan
Spektrum warna pada gambar di atas, yang direntangkan dalam
sebuah gar is lurus, ada lah urutan panjang gelombang elektromagnetis
yang dapat ditangkap oleh mata bio log is. Di luar batas spektrum
tersebut, ter dapat gelombang-gelombang yang tak ter tangkap oleh
penglihatan “normal”. Urutan spektrum itu memili ki urutan sebaga i
ber ikut: ungu dengan gelombang cahaya terpendek (350 nanometer),
kemudian hijau (500 nanometer), kuning (600 nanometer) dan yang
terpanjang ada lah merah (700 nanometer).266 Antara 350-700 nanometer ,
angka ini menunjukkan batas warna-warna yang dapat dil ihat oleh mata.
266Wayne Weiten, Psychology, Themes and Variations, (USA: Brook/Cole PublishingCompany, 1989).
170
Urutan panjang gelombang warna ini yang digunakan oleh
Teletubbies untuk membentuk komposisi urutan para tubbies. Tinky
Winky dengan “panjang” tubuh tertinggi memili ki warna ungu yang
merupakan gelombang cahaya terpendek, begitu juga tubbies lainnya
berturut-turut memili ki warna yang berkebalikan antara urutan “panjang
gelombang” dengan urutan “tingg i tubuhnya” (lihat gambar 4.4). Urutan
kebalikan ini bisa dijelaskan dengan fak ta bahwa tingkat sensitiv itas
reseptor pada mata untuk gelombang warna ungu leb ih tinggi dibanding
dengan panjang gelombang lainnya.267 Dan urutan tersebut kembal i
sesuai dengan urutan “tingg i tubuh” para tubbies, yai tu; dar i hijau,
kuning dan merah sebagai warna dengan tingkat sensiv itas terendah
reseptor mata. Dengan kata lain, warna-warna para tubbies adalah
kompos isi percampuran warna tri chromatic dasar ditambah dengan
pengurutan berdasarkan batas penglihatan manusia berdasarkan
gelombang cahaya dan tingkat sensiv ita s mata menerima cahaya ungu
(atau biru), hijau, kun ing dan merah.
Dengan demikian, kita mengetahu i dasar pember ian warna pada
Teletubbies. Sebaga i perwujudan dar i seluruh dasar -dasar penglihatan
optik, Teletubbies mempu membangun sebuah “dunia baru”. Dalam
“dunia baru” itu, semua rentang warna penglihatan muncul dalam wujud
yang terpilah-pilah sesuai percampuran dasar tiga warna tri chromatic.
Ini member ikan unsur yang “menyeluruh” dan “universa l ” pada
cyberspace Teletubbies. Dar i sis i budaya, unsur pemunculan timpang
hanya pada sebuah warna bisa mengak ibat penafs iran parsia l atau
267 Ibid.
171
kultural. Melalu i warna-warna percampuran primer dan memenuhi
semua rentang warna yang ada, hal ini bisa dih indari . Dari warna,
Teletubbies hendak member ikan pengalaman “bebas-kul tural” , sekaligus
merangsang penglihatan penonton dengan formasi warna layar yang
universal .
Walaupun bersamaan dengan itu, warna-warna tersebut juga
menjadi pembeda antara tubby yang satu dengan lainnya. Kemandirian
masing -mas ing warna tetap dipertahankan dan kompos isinya selalu
dijaga agar tidak menghi langkan unsur keuniversalan dar i warna-warna
tersebut. Perpaduan warna menjad i persoa lan yang penting di sin i.
Namun, Per lu dijaga pula agar kemandir ian warna-warna dalam
Teletubbies tidak merusak sifat universal yang telah dibangun.
Adalah teori proses opponent tentang warna yang selanjutnya
mempengaruhi kompos isi warna Teletubbies. Ewald Her ing (1878) 268
menyebutkan bahwa persepsi pada warna tergantung pada reseptor-
reseptor yang membuat respon dalam tiga kelompok warna-warna yang
sal ing antagonis tik . Tiga kelompok warna antagonis itu secara berhadap-
hadapan terdir i dar i; merah versus hijau, kun ing versus biru dan hitam
versus put ih.
Kembal i gambar 4.2 , kita bisa mel ihat bagaimana teori opponent
Her ing diterapkan pada Teletubbies. Tubbie s disusun dengan pola warna
yang tidak sal ing antagonis tik . Dipsy berwarna hijau dipasangkan
dengan Laa-Laa yang berwarna kun ing, sebaliknya Tinky Winky yang
268 Ibid., hal. 137-138
172
berwarna ungu disand ingkan dengan Po yang berwarna merah.
Kecenderungan ini tidak sekedar dalam satu contoh, dalam Teletubbies,
pola yang sama terjad i terus jika keempat tubbies dip isah dalam dua
kelompok269. Model komposis i warna yang menghindari penempatan
warna antagonis tidak ber laku untuk keempat tubbies saja, tetapi semua
warna obyek dikontruksi dengan memperhat ikan agar tidak ada warna
antagonis tik muncul dalam jarak dekat. Dengan demikian kedekatan
persepsi satu warna dengan warna yang lain bisa dipertahankan
walaupun tetap tampak berdir i sendir i sebaga i warna percampuran
primer.
Puncaknya, ket ika para tubbies sal ing berpelukan270, keempatnya
mel ingkar menjadi satu, layar diperut mereka menyatu di tengah-
tengah. Pos isi ini membentuk pola mir ip lingkaran percampuran primer
pada warna trichromatik , yai tu warna-warna sekeli lingnya menyatu di
tengah dalam persinggungan warna put ih keabu-abuan. Warna-warna
tubuh para tubbies yang berpelukan disusun dengan pola merah-ungu
dan hijau-kun ing.
Melalu i penyusunan kompos isi warna yang tel iti , unsur
keuniversalan dibangun dalam pola warna -warna dasar yang tampak
mandir i dan plural . Pola-pola warna dalam tubbyland disusun sesuai pola
penglihatan opt ik yang dianggap universal , dengan demikian
269 Untuk keterangan pembanding, lihat tabel 4.1 di bawah. Dalam tabel dijelaskan bahwasahabat dekat dari tinky Winky adalah Po dan teman gandeng dari Laa-Laa adalah Dipsy.Pembagian ini, kelihatannya tidak terlalu absolut, sebab selalu ditekankan bahwa relasiantara keempat tubbies adalah saling menyayangi satu sama lain dengan selalu berpelukanbersama-sama.
270Kebiasaan yang paling sering dilakukan dan disukai oleh semua tubbies tanpa perkecualian.Penjelasan lebih lanjut, lihat pembahasan berikut.
173
mempermudah sinkronisasi antara penglihatan penonton dengan gambar
di layar. Keber[ada]an Teletubbies juga menjadi cara-cara penglihatan
membangun sebuah dun ia bag i dir inya ser ta “ramah” dan “hangat” bag i
penonton. Dar i strategi dan teknik konstruks i warna ini lah, Teletubbies
“memodern isasi” penglihatan penontonnya dan memula i sebuah program
keakraban antara manusia (anak-anak maupun dewasa) dengan teknologi
layar dalam sebuah per temuan di dalam cyberspace.271
4. Teknologi bunyi-bunyi
Bunyi, dalam Teletubbies, bukan sebuah esensi yang ter cerabut dar i
keseluruhan konstruks i. Bunyi ada lah bagian yang sepenuhnya
bersenyawa dengan penglihatan, bukan sekedar pelengkap. Walaupun
Teletubbies merupakan program dengan dominasi gambar: “.. .the
programme is so visual that it can be enjoyed with the sound down.
Chi ldren with impaired hearing particularly enjoy Teletubbies.” 272
271Hingga pemaparan terakhir tentang warna, masih ada sebuah “teka-teki” yang belum sempatterjawab. Jika pemilihan warna yang mendasari para tubbies berdasarkan teori trichotomiwarna, mengapa jumlah keseluruhan tubbies bukan tiga, sesuai dengan tiga primaritas warna(biru, hijau dan merah), melainkan justru empat (ditambah warna kuning). Salah satu alasanbisa dijawab dengan teori opponent, untuk melengkapi relasi antara warna antagonis. Namunjika demikian, seharusnya ada enam orang tubbies (ditambah warna hitam dan putih), karenadalam teori Hering ada enam primaritas warna. Jawaban atas polemik ini ditemukan olehpenulis ada pada teori ketiga tentang primaritas warna, yaitu yang dikemukakan oleh Ladd-Franklin. Menurut J.P. Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: PT RajaGrafindoPerkasa, 1997, hal. 96), pada teori Ladd-Franklin terdapat empat primaritas warna yangterdiri dari merah, hijau, kuning dan biru. Dalam teori ini, mata primitif adalah bersifat butawarna (mata yang tanpa cones). Pada selanjutnya terjadi evolusi dari rod menghasilkan conebiru dan kuning. Dari cones tersebut terjadi evolusi berikut, menghasilkan cone merah danhijau. Tampaknya teori empat primaritas ini yang menjadi alasan munculnya pilihan empattubbies. Kemungkinan lain adalah bahwa pemilihan jumlah sebanyak empat warna inidilakukan dengan mengeliminir warna hitam dan putih yang memiliki kesan “muram”,“angker”, “serius” dan “saklar” dan menetapkan warna-warna yang ceria dan tampakberagam.
272 Andrew Davenport, FAQ (online document: http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/progr_
174
Namun suara tidak pernah terpisah penuh dar i keseluruhan program,
suara ada lah bag ian utuh dar i penampilan Teletubbies: “As a wri ter, I
write in the sound as a part of the programme.” 273 Dalam Teletubbies,
pendengaran bunyi dia lami sebaga i bag ian dar i pengalaman kontaknya —
selain terpusat pada penglihatan— dengan tubbyland.
Selayaknya kontruksi warna-warna dalam Teletubbies, bunyi-
bunyi memili ki fungsi yang sal ing bekerjasama mewujudkan dunia
teknologi layar. Bunyi bukan latar pas if atau sekedar melengkap i
kehadi ran “obyek -obyek” dalam tubbyland, bunyi memili ki karakteri stik
kerja yang akt if: “Sound is used in an act ive manner. Space is left for
chi ldren to respond. One important use of sound is so that chi ldren can
ant icipate what’s coming next.” 274 Lebih dar i sekedar pelengkap, suara-
suara secara akt if menuntun fokus perhat ian penonton layaknya lampu
sorot panggung menetapkan perhat ian pada pertunjukkan. Kehadiran
lampu sorot di tengah kegelapan member ikan kontras pada penglihatan,
begitu juga bunyi-bunyian yang kontras antara keber[ada]an bunyi
tertentu dengan keber[ada]an bunyi lainnya, sekaligus penanda bag i
kehadi ran “obyek”.
Karena bunyi bukan kategori yang berdir i sendir i, kehadi rannya
menjadi bag ian eks istens ial dar i “obyek -obyek” dalam tubbyland . Bunyi
dalam Teletubbies merupakan ant isipas i bag i keber[ada]an yang muncul
setelahnya: “It is to do with making predictions from clues in the sound
teletubbies18.html).273
Ibid., loc. cit.274 Ibid.
175
as wel l as from what a chi ld can see on the screen.” 275 Dalam hal ini dia
juga alat untuk member ikan rasa nyaman melalu i “se la”, seh ingga
semua narasi dalam tubbyland menjad i mudah dikena l, akrab, dan leb ih
terkendal i: “When a chi ld can ant icipate accurately they get
confidence, and so by the end of a programme, a chi ld is fee ling more
confident because they”ve worked out for themselves what”s going to
happen.” 276 Penonton, bersama “obyek-obyek” lainnya dalam
Teletubbies, ikut terelaborasi ber sama dalam jal inan bunyi dan
penglihatan.
Bunyi bukan faktor yang disadari, sepert i lampu sorot panggung
yang bukan menjad i fokus perhat ian itu sendir i. Sebaliknya, “obyek-
obyek” yang muncul ada lah fokus perhat ian utamanya. Sedangkan bunyi,
walau muncul lebih awal, tidak memili ki makna sama sekali hingga
munculnya “obyek”. Terkecual i sepert i dalam Classi cal Condit ining,
yai tu ket ika ikatan antara bunyi dan “obyek” terkondis i secara
permanen, kehadi ran bunyi saja sudah mengandaikan kehadiran
“obyek”. Namun, ter ikat maupun tidak, bunyi merupakan wujud materi
pengalaman yang tidak disadari sebagai fokus. Diterima sebaga i fungsi
pendengaran yang tidak memiliki makna pada dir inya sendir i.
Bunyi di tubbyland dibedakan dengan suara moderator yang
memiliki ika tan struktural dengan konstruks i yang ada. Tidak sepert i
suara moderator yang memiliki narasi dalam dir inya, bunyi muncul
dalam wilayah yang tidak mengenal struktur makna bahasa. Secara
275Ibid.
276 Ibid.
176
“alami”, bunyi leb ih mir ip dengan komunikas i meraban pada bay i, lebih
mendekati ket idaksadaran dalam suatu rangkaian tersendir i. Karena itu
bunyi ada lah ika tan yang pal ing efekti f antara “dunia fis ik” dengan
“dunia vir tual” untuk menarik fokus sekaligus merupakan pengalaman
yang langsung menggema di ruangan tempat penonton ber[ada].
Ter lebih lag i, karakter tanpa struktur jelasnya leb ih membantu dalam
menuntun ekspresi emosi dar i anak-anak pra-sekolah maupun orang
dewasa, ket imbang yang dilakukan oleh gambar maupun bahasa. Asosiasi
penonton bebas member ikan interpretasi pada bunyi, meskipun usaha
mengkonst ruksi bunyi yang ramah bag i penonton mempengaruhi juga
imaji yang dibangun.
Sebaliknya, bunyi -bunyi yang muncul dalam Teletubbies bukanlah
suatu ket idakteraturan. Bunyi-bunyi dalam Teletubbies terbatas pada
fungsinya sebagai sound effect . Walaupun diberi kesan “alamiah”
dengan tambahan suara burung, namun bunyi yang muncul tidak
merupakan suatu ket idaksengajaan dar i lua r rancangan. Di luar bunyi-
bunyi yang telah dia tur, tidak ada bunyi lain yang menginterups i ke
dalam tubbyland selain dar ipada yang telah diatur. Selain musik, suara
tertawa para tubbies serta “matahari bay i”, sound effect dan sediki t
tambahan suara burung, tidak ada bunyi lain. Dilengkap i dengan
lapangan padang rumput yang luas dan renggang dengan kontras langit
di atasnya, tubbyland adalah dun ia yang sak lar dan ter iso la si sebaga i
satu ent itas yang berdir i sendir i. Walaupun, usaha member ikan kesan
kehadi ran yang rii l bag i penontonnya tetap dilakukan pada beberapa
bagiannya, namun hal ini tidak dapat menutup kesan bahwa Teletubbies
177
adalah wilayah yang benar-benar dikonstruksi secara mandir i sebaga i
sistem simbol-simbol yang terprogram secara khusus . Sepert i halnya
warna-warna dan bunyi-bunyi dalam Teletubbies yang sangat terpilah
guna mengkonst ruksi suatu semesta baru, keseluruhan konstruks i simbol -
simbol yang ada dalam Teletubb ies ber laku sama. Konstruks i simbol -
simbol tersebut tidak bisa dil ihat dar i kacamata rii l maupun tidak rii l,
melainkan dibangun secara tel iti dengan menggabungkan sensas i indera
mengenai kedua pen ila ian tersebut277.
C. SE ME ST A SI MB OL -SI MB OL
Dunia Teletubbies ada lah dun ia sureal is, di mana “obyek-obyek” muncul
dan menghi lang secara sesuka hat i dan mister ius bag i ras io. Namun
Wood mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut Wood, “‘The
Teletubbies’ dome is real (and we can film ins ide when rain prevents us
from working outside). The hil ls are rea l, the rabbits are real, the
windmi ll is rea l, some of the grass and flowers are rea l and some are
art ificia l. And the Teletubbies are real, in the sense that they run and
play in Teletubbyland just as you see the m on screen.” 278 Apa yang ada
di dalam Teletubbies bisa juga disaks ikan secara “fi sik”. Kesan ini juga
diperkuat oleh Davenport yang berpendapat sama: “For us,
277Lihat kembali catatan kaki no. 96. Dalam hal ini simbol-simbol sama dengan thing . Dan dalambeberapa hal, simbol adalah suatu representasi sejajar dengan suatu sistem lain. Di manasimbol-simbol terkonstruksi bersama sejumlah penafsiran atasnya.
278 Online document: http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/progr_teletubbies19.html
178
Teletubbyland has to be real; we bel ieve in it absolutely.” 279 Walaupun
diband ing Wood, pernyataan Davenport banyak dibumbui oleh kesan
yang melemahkan anggapannya sendir i280, kedua pendapat ini tidak
kel iru sepenuhnya.
Secara geogra fis proyek “tubby land” berada di sebidang tanah
luas terbuka yang ter letak di pinggi ran desa Warwicksh ire, Inggri s.
Sepert i kata Wood, semua obyek dalam Teletubbies benar -benar
dibangun sesuai ukuran “sebenarnya” dengan tujuan penyut ingan film.
Untuk penggemar Teletubbies ada layanan yang member ikan kesempatan
berbicara dengan “para tubbies” melalu i telepon atau surat. Sedangkan
di Stratford, sebuah toko mil ik Ragdol l menyed iakan min iatur lengkap
tempat tingga l para tubbies lengkap dengan kontro l panel dan Noo-Noo.
Dalam hal ini keber[ada]an Teletubbies sebagai obyek yang disaks ikan
dengan mata dan dirasakan indera -indera lainny a pada tubuh seo lah-
olah muncul melawan sifatnya yang “fikti f” ber[ada] dalam layar.
Namun mendiskus ikan apakah Teletubbies itu “fikti f” atau
“bukan” stidak akan member ikan kontribus i pemahaman baru. “Nyata”
atau “tidak”-nya dun ia Teletubbies mungkin men entukan reaksi yang
berbeda pada tiap penonton. Ter leb ih lag i, berkonsentrasi pada
polemik ini tidak sesuai dengan tujuan tul isan ini , yai tu membangun
suatu model yang menjelaskan mekani sme ker ja teknologi layar. Karena,
279 Ibid., loc. cit.280 Davenport memulai deskripsinya dengan kata “for us...” dan pada menjelang akhir kalimat
menggunakan kata “believe...” Kedua kata ini mengisyaratkan sifat subyektif daripernyataannya sendiri. Pada kata pembuka, Davenport segera membela diri danmengingatkan pada publik bahwa sifat rill dalam Teletubbies hanya merupakan keyakinanmereka (us) secara pribadi. Dan kemudian meskipun diberi penekanan keterangan“...absolutely” dibelakangnya, kata believe sendiri merupakan istilah yang memperkuat katapembukanya; yaitu segala omongannya hanya pantas dilihat dalam konteks keyakinan, bukansesuatu yang empirik secara “fakta”.
179
jawaban salah satu dar i alternati f tidak pernah akan memuaskan. Jika
Teletubbies ada lah “fiksi”, kita menemukan tubbyland sebaga i
konstruks i bangunan yang kita temukan secara geografis maupun fis ik.
Walaupun demikian, “reali tas” Teletubbies di layar tidak kita temukan
di dunia “fi sik”. Jadi Teletubbies lebih merupakan campuran dar i “fiksi”
dan “nonfiksi” sekaligus . Di sis i lain, bangunan yang dikatakan sebaga i
“nyata” tidak merupakan penggambaran naif yang memaparkan apa
adanya sepert i yang digambarkan baik di film maupun “kenyataan”.
Konstruksi di tubbyland ada lah kumpulan penerjemahan serangkaian ide
dalam bentuk fis ik yang “nyata” maupun “tidak nyata” 281.
“Bukit” atau “lembah” dalam Teletubbies bukan sekedar “bukit”
atau “lembah” selayaknya yang tertangkap mata. Secara fis ik, tubbyland
terdiri dar i kumpulan gundukan -gundukan permukaan tanah yang disebut
perbukitan. Hanya saja gundukan bukit ter sebut disusun dalam ukuran
yang hampir sama satu sama lain dan menimbulkan kesan teratur.
Sehingga kalau kita perhat ikan permukaannya menyerupa i ge lombang
amplitudo. Dalam pengertian tentang gelombang, ist ilah “bukit” dan
“lembah” muncul secara animas i sebaga i gar is yang ber lekuk cembung
dan cekung. Dunia Teletubbies sebaga i kumpulan gelombang adalah cir i
dar i teknologi layar di mana penglihatan, pen dengaran dan gelombang
pemancar berada dalam satu konsep yang sama dan dapat
281Selanjutnya, analisis ini tidak akan berfokus pada Teletubbies sebagai sebuah “fakta” waktu,tempat, kejadian ataupun deskripsi, penjelasan dan pencarian hubungan sebab akibat antarasatu variabel dengan variabel lainnya yang berlangsung di dalamnya. Teletubbies bukanmerupakan sampel yang merupakan bagian dari satu populasi lebih luas. Tidak akan adausaha melakukan generalisasi hasil temuan, melainkan yang ada hanyalah mengkonstruksi.Apapun yang akan dibangun dalam kajian ini tidak lebih dari sebuah model yang terdiri pola-pola di mana membantu memberikan deskripsi metode kerja yang dilakukan oleh teknologilayar untuk mengorganisir kesadaran dalam satu arus melalui jaringan alam taksadar.
180
dipertukarkan. Ini adalah cir i universal dari gelombang, secara sejajar
dia member i penglihatan dan pendengaran, juga sebaga i pembangunan
satu dunia lain. Konsep tentang gelombang mereduksi semua warna dan
bunyi dalam bentuk fluktuasi yang memil iki kestab ilan bentuk dan
dikena li sebaga i sebuah “obyek”.
Kenyataan bahwa gelombang tidak mempunyai bentuk mandir i
menjadikannya memiliki pemunculan dalam “obyek” lainnya
menyebabkan dia dapat diterjemahkan dalam bentuk apa pun. Dalam
Teletubbies gelombang muncul sebagai per [bukit ]an hijau yang permu -
kaannya bergelombang. Bentuk lain dar i gelombang ditemui pada kincir
angin yang berputar memancarkan gelombang dan partikel cahaya.
Karena itu gelombang ada lah konsep yang menyatukan perbedaan-
perbedaan dalam satu ukuran yang dapat diband ingkan satu sama
lainnya. Penglihatan dan pendengaran menjadi seragam, begitu juga
teknologi dan alam disatukan dalam konsep gelombang.
Namun ini bukan batas terakh ir ide yang berdir i di bal ik konsep
per[bukit ]an Teletubbies. Berbeda dengan buk it dalam penger tian
umum, “bukit” di dalam Teletubbies sifatnya tidak acak melainkan
tertata rap i. Rumput-rumput yang tumbuh rapi dan semak-semak
berbunga juga tertata sangat teratur dan seragam. Di sela-sela
perbukitan ada jalan setapak yang berkelok -kelok namun sepert i
lainnya, sifanya ter tata tanpa ada unsur alamiah. Tidak ada
kesemerawutan atau anarki sme di dalamnya.
Bertentangan dengan semua penggambaran di atas adalah
representasi dar i “al am” di dun ia Teletubbies. “Alam” yang dalam
181
pengertian sehari -har i adalah eks istens i yang berdir i sendir i tanpa
campur tangan manusia, tampil di Teletubbies bukan lag i sebaga i
“kelia ran” dan “ketidakterdugaan”. Sebaliknya “alam” tam pak ramah
dan tak berbahaya. Buk it-buk it di Teletubbies mencerminkan sifat itu .
Selain para tubbies selalu bermain di “alam” tanpa merasa bahaya,
bentuk per [bukit ]an di Teletubbies mencer itakan pola yang sama juga.
Berbeda dengan buk it yang kita kenal, di Teletubbies buk it tidak
memili ki sifat-sifat tak terduga sepert i sebuah lekukan tajam, jurang
atau tanah yang ter lalu mir ing permukaannya. Semua buk it di tubbyland
memili ki ukuran yang hampir seragam dan lekukan antara buk it yang
satu dengan yang lain sangat mulus tanpa ada sudut mengganggu.
Kumpulan dar i kurva atau kubah yang permukaannya halus tanpa sudut
tajam. Secara psikologi s, tidak ada kekerasan dalam pola ini . Semuanya
member i rasa aman dan ant isipas i yang menjamin para tubbies maupun
siapa saja yang berdir i di atasnya.
Namun, para tubbies tidak pernah menjelajah di dalam “alam”
tersebut secara menyeluruh. Tidak satupun sumber dar i “alam” yang
menghidupi para tubbies, sebab semua kebutuhan mereka dipenuhi oleh
“obyek” lain yang berdir i di [luar] “alam”, yai tu tubbytron ic superdome.
Sedangkan fungsi “alam” bagi para tubbies sebaga i arena bermain yang
nyaman dan tak berbahaya. Sebaga i arena bermain, “alam” adalah latar
yang kurang diperhatikan para tubbies. Tetapi , hal ini tidak ber laku
sama untuk semua kasus. Sebab dalam Teletubbies, narator menentukan
“obyek” yang menjad i fokus para tubbies dan penonton. Sehingga pada
keadaan ter tentu “alam” juga menjad i fokus perhat ian. “Alam” dalam
182
Teletubbies sebaga i latar ket imbang figur utama, fungsi alam yang
“merawat” dan menyed iakan sumber daya mandul dan digant ikan oleh
“obyek” lain. Sebali knya, “alam” sendir i ditert ibkan oleh sebuah
kekuatan tak tampak. Direduksi dalam keteraturan gelombang yang
teknologi s sekaligus “alamiah”.
Pos isi “alam” dalam Teletubbies merupakan tempat di mana
semua bermula. “Di atas buk it nan jauh, Teletubbies bermain-main.”
Keber[ada]annya bag i dunia penglihatan dan pendengaran mendahulu i
keber[ada]an “obyek -obyek” lainnya di Teletubbies. Kontradiksinya, dia
hanya latar raksasa bagi “obyek-obyek” yang muncul di [da lam]
keberadaannya. Keber[ada]annya mut lak dan tungga l sebaga i dataran
luas tanpa batas fis ik, tapi “batas” psikologi s dar i para tubbies membuat
alam hanya bag ian dar i tubbytronic superdome . Karena itu, dia patuh
dan tunduk pada satu tataran bersama dengan “obyek -obyek”
penglihatan lainnya dan bekerja di bawah satu konsep terangkai .
Semua keber[ada]an di Teletubbies bukan keber[ada]an yang
muncul sebagai “obyek” yang dapat dit ili k secara penuh sebaga i
pengamatan tungga l, walaupun sep intas ter lihat demikian. Keber[ada]an
merupakan rangka ian dar i berbagai diskur sus yang direduksi dalam satu
dunia penampakan indera-indera. Tumpukan-tumpukan dsikursus dalam
Teletubbies melahi rkan alur cer ita. Keber[ada]an memiliki sifat
menyeluruh dan par sia l dalam diskur sus. Secara lebih lengkap tentang
dunia tubby akan kita bahas di bawah.
183
1. Tu bb yt ro ni c Su pe rd om e se ba ga i Ra hi m Te kn ol og i
Dar i semua obyek di Teletubbies, ada lah pusat terpenting di tubbyland.
Tubbytronic superdome 282 adalah satu-satunya tempat para tubbies
menggantungkan hidupnya, rumah sekali gus perawat para tubbies.
Tubbytron ic superdome menjaga keberlangsungan dir inya secara
mandir i, tanpa campur tangan para tubbies. Di luar tubbytron ic
superdome, para tubbies tidak mendapatkan perawat yang bekerja
untuk mereka sepert i yang dilakukan mesin-mesin di dalamnya. Meski
282Istilah “tubbytronic superdome” merupakan dua pasang kata yang masing-masing diterdiridari gabungan dua istilah. Untuk memkajinya, kita perlu memisahkannya terlebih dahulubaru kemudian menggabungkannya kembali dalam satu pemaknaan yang lebih global. Kata“tubbytronic” berasal dari dua istilah, yaitu tubby dan tronic. Untuk etymologi istilah tubbydan varian pemaknaannya bisa diikuti pada kajian di atas. Sedangkan istilah tronic, menurutdugaan penulis berasal dari istilah electronic (yaitu istilah untuk menggambarkan segalaperalatan yang mekanisme kerjanya didasarkan pada karakter dan aksi electron, yaitu salahsatu unit partikel atom yang digambarkan fisika mengeliling inti atom). Kata electron (ataunegatron) pertama kali dipakai oleh G.J. Stoney pada tahun 1891, dan merupakan model“arus negatif” yang beroposisi terhadap positron (atau proton) sebagai unit partikel positif.Sebagai gabungan penggunaan istilah dengan tube (salah satu bentuk dasar istilah tubby),dalam kamus Webster dikenal istilah electron tube: “a sealed or metal tube completelyevacuated or filled with gas at low pressure and having two or more electrodes that controlthe flow of electrones.” Electron tube juga merupakan salah satu komponen yang ada dalamtelevisi untuk memisahkan dan kemudian mentransfer electron yang dipancarkan ke sebuahpenampilan di layar (New Encyclopedia of Science, volume 14: space-termite [London: OrbisPublishing Limited, 1980], hal. 2005-20012). Dengan kata lain, istilah tubbytronic tidak lainmerujuk pada mekanisme kerja komponen dalam televisi, atau juga bisa dianggap sebandingdengan pengertian televisi sebagai teknik kerja elektronis. Sedangkan istilah superdome,merupakan gabungan dari kata super dan dome. Kata dome merupakan perkembangan dariBahasa Latin: domus (artinya “rumah”); dan Bahasa Yunani: dõma (dapat diterjemahkansecara harafiah sebagai “rumah”, “atap rumah” atau “kuil”). Pada pengertian sekarangbentuk konstruksi geometri atap berbentuk simetris sirkuler dalam wujud kubah: “roundedroof with a circular base.” Atap kubah merupakan model bangunan yang banyak digunakanoleh gereja-gereja Abad Bizantium. Bentuk atap kubah dalam gereja-gereja pada AbadPertengahan Eropa pada perkembangan selanjutnya banyak diadopsi oleh mesjid-mesjid atauatap stadiun olahraga. Sedangkan istilah super, berasal dari istilah Latin yang bunyinya samayang berati “di atas” di mana merupakan perkembangan dari istilah Yunani: hyper. Superdalam pengertian kontemporer tidak jauh berbeda dengan pengertian awalnya. Dalam halini, super menggambar sesuatu keadaan yang ekstrim di atas atau mengatasi semua keadaanrata-rata. Karena itu, istilah superdome selain menggambarkan bentuk bangunan kubah, jugamemiliki konotasi sebagai “suatu sistem yang berdiri di atas segalanya”. Sifat dari superdomeadalah “berdiri di atas” dan “saklar seperti sebuah kuil atau gereja”, namun juga berfungsisebagai sebuah “rumah”. Dibandingkan dengan istilah tubbytronic yang “partikuler” sebagaimekanisme menggorganisir unit partikel electron, sifat dari istilah superdome adalah“universal di atas semua sistem di bawahnya”. Karena itu tubbytronic superdome merupakangabungan dua karakteristik modus yang saling berkontradiksi namun tergabung sebagaisebuah sistem uniter dalam satu wujud karakteristik konstruksi.
184
“alam” di dun ia tubbyland digambarkan sangat luas, para tubbies tidak
pernah melangkah jauh dar i tubbytronic superdome. Sejak awa l acara
para tubbies keluar dar i tubbytronic superdome dan kembal i masuk ke
dalamnya jika acara usa i.
Di dalam Tubbytronic superdome terdapat mesin-mesin penting
bagi kelangsungan hidup para tubbies, yaitu tubbytoast dan
tubbycustard . Keduanya dibuat untuk menghasil kan kue penting bag i
penyambung hidup para tubbies. Sedangkan, untuk pembersih rumah
mereka memili ki Noo-Noo, mesin penyedot debu yang hidup. Semua
“obyek” dalam kubah bergerak secara otomat is, termasuk dalam hal ini
adalah tubbytron ic superdome itu sendir i. Beberapa benda bekerja
setelah tubbies menekan tombol , namun lainnya menunjukkan sebuah
kemandirian penuh, bahkan memili ki kua lif ikasi sebaga i “makhluk
hidup” sepert i Noo -Noo.
Tubbytron ic superdome, memiliki interior berbentuk kubah dan di
dalamnya penuh peralatan elektronik. Dar i luar, warna permukaannya
hijau dan ber lumut sepert i rumput di alam tubbyland. Bangunan ini
memili ki dua pintu dan dua jendela berbentuk setengah lingkaran.
Sedangkan bag ian atasnya ada lubang yang dapat digunakan untuk
meluncur ke bagian dalam bangunan. Ciri-cir i ini berbeda dengan semua
rumah modern yang pernah kita jumpai . Tubbytron ic superdome
dirancang dan dibangun secara khusus untuk para tubbies, tidak ada
kemungkinan lain di mana dijadikan ars itektur yang diterapkan secara
nyaman pada keh idupan sehari -har i. Rancangannya leb ih bernuansa
art ist ik dan fan tastik ket imbang teknis . Kubah itu menjadi perwujudan
185
teknologi yang tampak “nyata” dalam wujud fis ik Teletubbies dibanding
lainnya. Sifatnya tungga l, tidak ada bangunan serupa lag i di tubbyland
sepert i juga para tubbies yang empat orang saja di tubbyland. Dar i
keadaan ini , dia muncul sebaga i satu-satunya bangunan yang berada di
tubbyland, dan tempat tubbies tergantung secara psikis dan bio logis .
GAMBAR 4.5
Tubbytronic superdome (tampak luar)
Pada bag ian interior, filosofis kontruksi bangunan ini ter lihat
lebih jelas. Atap dan dinding kubah terdir i dar i ruas-ruas yang
menyempit ke atas menuju tit ik pusat di atapnya. Selanjutnya dari tit ik
tersebut menyambungkan mas ing-masing ruas ke sebuah pilar yang di
tengah, membentuk sebuah pola yang rad ial . Semakin jauh dar i tit ik
temu di pilar, ruas tersebut makin melebar membentuk dinding dan
akhirnya menyatu ke dasar kubah. Antara atap dan dinding tidak ada
pemisahan, beg itu juga antara dinding dan pondas i. Pemisahan , justru
bersifat vertikal sebaga i satuan-satuan ruas dinding. Terbentuklah di
dalam kubah sebuah ruangan yang menyatu, dengan sebuah pilar sebaga i
sentra l dar i atap, dinding sekaligus pondas i. Pilar tersebut merupakan
bagian terumit di dalam tubbytron ic superdome di mana banyak lampu,
alat petunjuk ukuran dan Tombol -tombol dan tungka i pengendal i. Pilar
tersebut merupakan pusat dar i seluruh kubah.
186
Di sek itar pilar hanya ada
sebuah ruangan terbuka secara
penuh dan mengelilingi pilar letak
kontro l panel tanpa sekat pemisah
yang membatasi atau membag i
menjadi ruang -ruang terpisah.GAMBAR 4.6
Bagian dalam kubah tubbytronicsuperdome
Warna permukaan dalam kubah berbeda dengan warna hijau lumut
permukaan luarnya yang serupa “bukit” di antara perbuk itan tubbyland
(bandingkan gambar 4.5 dengan gambar 4.6 ). Leb ih banyak dominasi
warna abu -abu terang metalik yang berbaur dengan warna -warna
percampuran dasar sepert i merah, biru, kuning, jingga dan hij au.
Perbedaan mencolok antara luar dan dalam ini menciptakan pemisahan
nuansa dan situas i antara tubbytron ic pada satu sis i bag ian yang
menyatu dengan “alam” sedangkan pada sis i yang lain kontras dar i
lingkungannya.
Pada sis i dalam tubbytronic superdome, unsur teknologi s tampak
dalam wujud fis ik yang berbeda secara kontras dengan karakteri stik
“alam” di luar. Sebaliknya, bentuk luarnya yang ter tanam kokoh
dipermukaan tanah di member inya kesan sebagai bag ian tak terpisahkan
dar i “alam” tubbyland. Bahkan tubbytron ic seolah-olah muncul dar i
dalam tanah tubbyland. Namun dalam berbagai hal tubbytron ic sebaga i
keber[ada]an yang berdir i sendir i dan unik tidak ber ikatan dengan
“alam”. Bukan “alam” yang memfungsikan tubbytronic, tap i bergerak
oleh dir inya sendir i.
187
Sebaga i sui generi s, tubbytron ic superdome terangkai sebaga i
kesatuan pola-pola struktura l yang sama ber laku juga untuk semua
“obyek” di Teletubbies. Tidak ada ruang yang teralienasi dar i ruang
lainnya, sifatnya “utuh” dan “menyatu” tersentra l oleh sebuah pilar
sebaga i “pusat”. Karena itu tubbytron ic superdome lebih mir ip sebuah
Mandala yang dipaka i dalam upacara Buddhi sme Tibet dar ipada sebaga i
tempat tingga l dalam konsep “keseharian”. “Dibangun” layaknya situs
per ingatan yang menggambarkan keyakinan, sekaligus sebaga i tempat
tingga l dan memiliki kemampuan kontrol mandir i padanya dir inya.
Tubbytron ic memili ki karater rel iji us, dom[inan], mel indung i, merawat
sekaligus teknis 283. Sifatnya sureal is dan mister ius sepert i halnya seluruh
“obyek” yang ada di tubbyland, tidak ada proses yang menggambarkan
kemunculannya, ataupun ikatan his tor is yang menjelaskan
keber[ada]annya. Mewaki li sifat teknologi s, dia adalah omnipresent.
Karena itu membongkar keber[ada]annya tidak mungkin mengandalkan
deskripti f “fakta -fakta” umum, melainkan hanya mungkin dilakukan
dengan mengobservas i konstruks i pola -pola yang sedang terwujud secara
empirik, lalu membeberkannya sebagai sebuah bag ian strategi metode
kerja.
Perhat ikan kembal i gambar 4.6, untuk mengkaji konstruks i
simbol ik yang be rdiri di bal ik keber[ada]an tubbytronic, pertama -tama
yang dibutuhkan adalah menengok ke dalam konstruks i interior
tubbytron ic. Pola awal yang akan dikaji adalah sebuah motif yang
283 Baca juga catatan kaki di atas yang membahas etymologi dri sitilah tubbytronic superdome.Bandingkan juga karter tubbytronic superdome dengan karakter “merangkum”, “melindungi”dan “mengawasi” pada screen, curtain dan monitor, seperti yang dikaji dalam Apendiks A.
188
berada di dinding tubbytronic. Perhat ikan lingkaran-lingkaran kec il
sepert i rel ief yang mengel ili ngi di sek itar sebelah bawah tembok dalam
tubbytron ic pada gambar 4.6. Pada gambar tersebut, ter lihat sebaga i
sebuah lingkaran kec il menyala di dalam lingkaran gelap yang lebih
besar ukurannya. Sedangkan di antara keduanya terdapat lingkaran-
lingkaran kec il yang berkel ili ng dalam “ja lur” mel ingkar yang dibentuk
oleh keduanya.
GAMBAR 4.7
Pola di dindingtubbytronic
Untuk skema yang lebih besar dapat dilihat
pada gambar 4.7. Pada gambar ini, masing-masing
lingkaran tampak memutari sebuah lingkaran lebih
besar yang berada di tengah. Antara lingkaran
kecil satu dengan lingkaran lain tidak ada ikatan
yang menyatukan secara langsung. Bahkan lingkar-
an itu ter lihat berdir i sendir i sebaga i satuan yang utuh. Hanya saja,
semua ter fokus mengel ili ngi lingkaran ditengahnya. Mereka semua
memusat tanpa adanya pengikat yang langsung. Pemusatan sifatnya
tidak mangas imi las i dan membaurkan satu sama lain hingga ke bentuk
yang tungga l, namun sifatnya ada lah integral sekaligus berdiri sebaga i
individu berhadap-hadapan dengan lainnya. Mas ing -mas ing mas ih berdir i
sebaga i sebuah lingkaran dan mengel ilingi lingkaran lainnya.
Kebersamaan yang terbangun itu dirangkum dalam “ruang” yang
berdir i di luar lingka ran-lingkaran tersebut dan mer ingkup i semuanya.
Lingkaran makro member ikan kesan semua lingkaran di”dalam”nya
189
menjadi satu kesatuan utuh dalam satu obyek tungga l. Bersama-sama
dengan lingkaran yang berada di pusat, dia menghasil kan ruang baru
untuk menyatukan semua lingkaran kec il tersebut tanpa ikatan fis ik
dalam satu bangunan utuh dan tungga l.
Pola serupa juga had ir
dalam dalam keseluruhan
konstruks i formas i interior
tubbytron ic superdome. Jika
seluruh atap ser ta dinding
tubbytron ic superdome
dibuka, akan ditemukan pola
grafis berbentuk radial
sepert i pada gambar 4.8.
Jika kemudian diband ingkan
antara gambar 4.7 dengan
GAMBAR 4.8
Pola kerangka kubah tubbytronic superdomedalam grafis datar.
gambar 4.8, keduanya mem-
per lihatkan sebuah kesamaan formas i konstruks i grafis . Pembandingan
ini tidak bermaksud menjadikan pola yang satu sebaga i peniruan dar i
pola lainnya, namun kesamaan antara kedua pola bersifat deskripti f.
Pada pola atap kubah, pada lingkaran a di mana juga merupakan
lubang atap tubbytron ic sebaga i jal an masuk para tubbies, menjadi
pusat fokus sepert i halnya lingkaran pusat di dalam gambar 4.7 Semua
gar is-gar is pemisah antar ruas semakin menyempit bertemu dil ingkaran a
pada langit -langit kubah. Sedangkan di tiap ruas terdapat lampu-lampu
bulat kec il (co cokan dengan gambar 4.6) yang dalam gambar 4.8 diwaki li
190
oleh lingkaran e. Lingkaran e sepert i halnya lingkaran kec il yang
mengel iling pusat pada gambar 4.7, juga mengel ilingi lingkaran lebih
besar yai tu di tit ik a. Antara tit ik e yang satu dengan lainnya dipisahkan
gar is antar ruas-ruas yang semuanya dibatasi oleh lingkaran besar yai tu
bentuk lingkaran makro dar i tubbytron ic superdome yang
memisahkannya dengan “alam” diluar yang diwaki li tit ik d.
Jika semua pola pada gambar 4.7 dan 4.8 kita satukan, has ilny a
adalah bangunan yang meluki skan elemen -elemen mandir i dalam bentuk
satuan lingkaran yang semakin terfokus pada lingkaran pusat dan
kemudian dil ingkupi lag i oleh lingkaran yang lebih besar dar i semuanya.
Pola ini akan terulang lagi dalam skala yang lebih besar dan luas dar i
sebelumnya. Kesatuan -kesatuan yang leb ih kec il mengel ilingi kesatuan -
kesatuan yang leb ih besar membentuk satu pola raksasa yang terus
melakukan “reproduksi” dengan cara yang sama. Dan uniknya, antara
satuan-satuan yang satu dengan lainn ya tidak ada yang memiliki ikatan
langsung, mereka hanya difokuskan pada satu tit ik. Antara fokus dan
satuan-satuan yang mengel ilinginya tidak ada ikatan, namun satuan -
satuan itu sepert i “melayang” dan “bebas” tapi tidak memisahkan dir i
dar i pusatnya. Dar ipada “di ikat”, satuan -satuan tersebut lebih mir ip
“mengikatkan” dir i pada fokus hingga menjadi lingkaran transenden
yang mengatasi semuanya.
Namun pola-pola ini bukan ber langsung di dalam tubbytron ic saja,
tetapi meluas hingga ke seluruh tubbyland. Sebaga i tit ik pusat dar i
tubbyland, tubbytron ic menyatukan seluruh “lingkaran” bukit -buk it di
sekitarnya dalam satu fokus. Kemudian, membentuk “lingkaran” kasat
191
mata yang mengikat seluruh tubbyland sebagai alam semesta. Semesta
tubbyland bergerak dengan “menyusut” pada satu fokus, dan “melebar”
kemudian dalam kesatuan, dan mengalami penyusutan kembal i, lalu
dilanjutkan proses serupa. Terus menerus arus “penyusutan” dan
“pelebaran” terjad i dalam pola yang sama, kemudian merambat
layaknya gelombang menyebar ke segala arah.
Hingga pada tahap ini , kita mengenal bagaimana tubbyland
disusun dan diluaskan oleh sebuah pola seragam yang bergerak dalam
arus “susut” dan “lebar”. Tapi alasan mengapa “lingkaran” sebaga i pola
yang terus menerus muncul belum memperoleh jawaban yang
memuaskan. Dalam semesta tubbyland, secara keseluruhan lingkaran
muncul sebaga i “sa tuan” elementer, sekaligus esensi wujud keluasan.
Sebaga i simbol “kesatuan”, lingkaran dalam semesta tubbyland
merupakan ent itas yang berdir i sendir i tanpa ter ikat. Paradoks lingkaran
ini , sama dengan sifat kontradiktif dar i cir i “obyek” dan “subyek” dar i
Teletubbies sebaga i “medium kedua”. Juga seimbang dengan pesan
“universa litas yang mandir i secara par tikular” sepert i kontruksi warna
dalam Teletubbies. Namun, kesamaan ini tidak menjelaskan bagaimana
kontruksi ideologi ini ber laku dalam keadaan yang leb ih khusus .
Lingkaran memili ki cir i unik dibanding dengan bangunan-bangunan
lainnya dalam geometri. Dia menggambarkan “kontinui tas” terus
menerus tanpa perubahan. Lingkaran juga bidang yang tidak memili ki
siku-siku dan mel ingkup i semua yang di dalamnya seo lah -olah memili ki
sifat “utuh” dan “melindungi”. Dalam kai tan dengan sifat-sifat dasar
192
dar i sebuah lingkaran kita bisa membandingkannya dengan peran
seorang “Ibu” (matter).
Menurut Car l Gustav Jung, archetype tentang ibu memili ki cir i-cir i
sebaga i ber ikut:
“...is often associated with things and place standing for fertility andfruitfulness: the cornucopia, a cave, a tree, a spring, a deep well, orto various vessels such as the baptismal font, or to vessel-shapedflowers like the rose or the lotus. Because of the protection it implies,the magic circle or mandala can be form of mother archetype.” 284
Sekila s dar i pandangan Jung, cir i ideologi lingkaran muncul juga dalam
watak archetype ibu. Terutama, dalam model vessel (lorong) dan circle
(lingkaran) muncul juga sebagai bag ian dar i wujud yang diinterpretasi
Jung sebaga i archetype ibu. Kedua bangunan ini , lorong dan lingkaran,
menggambarkan “ke lah iran” dalam wujud “rahim” dan “lorong rahim”
yang sangat dekat dengan identi fikasi ibu sebagai sebuah simbol.
Dar i tit ik tolak teori archetype Jung tul isan ini berusaha
memahami tubbytron ic superdome. Namun tidak seluruh teori archetype
Jung ini dapat digeneral isi r untuk memahami tubbyland. Sebaliknya,
archetype ibu tidak sepenuhnya had ir dalam tubbyland, namun
direpresenta sikan dalam hadirnya konstruk “rahim” atau “lingkaran”
sebaga i wujud relasi antara “bayi” dan “ibu” selama masa-masa
prenatal.
284Carl Gustav Jung, Four Archetypes: Mother, Rebirth, Spirit, trickster (Great Britain, Thames:Routledge Regan Paul Ltd., 1972).
193
Sepert i yang ditunjukkan dalam set iap epi sodenya, para tubbies
selalu muncul dan hilang melalu i sebuah “lubang gelap” di atap
tubbytron ic. Pada gambar 4.8 dan 4.9 , pos isi lubang gelap ditunjuk-
GAMBAR 4.9
Kerangka bangunan tubbytronicsuperdome dalam grafis tiga dimensi
kan tit ik a. Dar i tit ik a, terdapat
saluran yang meluncur dan ke luar
dar i dekat kontro l panel di dalam
tubbytron ic. Bersama-sama tit ik b
(pintu) dan tit ik c (jendela), tit ik a
merupakan celah penghubung
antara bagian dalam tubbytronic
superdome dengan “alam” di luarnya (di tunjuk oleh tit ik d). “Lubang
gelap” bisa berart i jalan menuju tubbyt ronic superdome bag i para
tubbies, sepert i halnya pintu berbentuk lorong di dinding bawah. Baik
lorong a, b, maupun c, ket iganya merupakan sis tem tubbytroni c agar
tidak ter iso las i dar i sis tem luar. Namun juga tidak menyatukan
sepenuhnya, mas ing-masing tetap berdir i sendir i. Tubbytron ic
superdome tetap ber fungsi sebaga i kesatuan sis tem yang memenuhi
kebutuhan dan merawat para tubbies secara mandir i. Bangunan yang
berdir i sendir i, tap i tidak ter iso lir dar i “dunia luar”.
Cara kerja dar i tubbytron ic superdome memili ki cir i dan fungsi
layaknya rahim ibu. Sebaga i rah im, tubbytron ic menghi langkan trauma
kehilangan rah im yang dia lami set iap ind ividu saa t dil ahirkan, dengan
memenuhi kebutuhan secara menetap. Sebal iknya dia tidak memili ki
wujud “organ is” dalam pengertian klasik , tubbytron ic mengkonstruksi
kembal i fungsi dan ciri dar i rah im melalui wujud teknologi s. Dalam
194
rahim teknologis, keterbatasan dar i rah im ibu bio log is yang sifatnya
temporal diatas i dengan ketakterikatan waktu dan kebebasan akses tak
terbatas.
Melalu i “lubang gelap”, tubbies “muncul” dan “mengh ilang”
dalam rah im teknologi s tubbytron ic set iap saat mulai dan berakh irnya
episode Teletubbies. Pada dimens i ini , “lubang gelap” bekerja layaknya
vagina ibu atau jalan keluar bay i dar i rah im, sekaligus juga
mengimpli sit kan sebaga i jalan atau lorong kembal i menuju rahim.
Ke[satu]an dengan rahim kin i bukan lag i yang harus dicera ikan sebaga i
syarat lah irnya “subyek”, tap i “subyek” bisa menikmati masa-masa
ke[satu]annya dengan rahim secara tak terbatas akibat koneks inya
dengan teknologi dalam tubbytron ic superdome. Kin i bay i tubbies adalah
makhluk amphib ian, yang berpindah-pindah dar i satu keadaan menuju
keadaan lain. Dia “bebas” berpindah, tap i kehadi ran rah im baru berart i
“keterfokusan” pada ken ikmatan baru melalu i koneks i dengannya.
Koneks i itu ter ikat antara para tubby dengan tubbytron ic
superdome melalu i sentuhan fis iknya dengan tombol-tombol kontro l
panel di pusat. “Menyambung” dan “memutuskan” koneks i melalu i
gerakan sederhana sepert i “menekan” tombol member ikan ken ikmatan
akan kuasa terhadap “tubuh” sendir i dan sesuatu yang berada “di luar”.
Cir i seksua litas285 bukan hanya muncul dalam kecenderungan
285Seksualitas tidak dipahami secara genital, melainkan merupakan suatu dorongan akankenikmatan yang dirasakan secara subyektif dengan perantara sebuah obyek yang berada “diluar” dirinya. Hasrat untuk menguasai, menjadi superior, menyatukan dan bertahan hidupmerupakan gelombang pasang surut yang dinikmati bersama dengan ketakutan akankehilangan, ketidakberdayaan, perpisahan parsial dan hasrat menghancurkan diri.Kenikmatan dan hasrat libidinal tidak terikat pada salah satu belaka, melainkan terwujuddalam kondisi naik turun yang bekerja bergantian menghasilkan refleks “menahan” dan“melepaskan” koneksi.
195
“mendekat i”, “mendorong” dan “menahan” koneks i, tetapi juga dengan
“menjauhi”, “menar ik dir i” dan “pe lepasan sementara” atasnya. Sepert i
halnya pos isi bay i dengan put ing buah dada ibunya, penguasaan dada ibu
oleh bay i bukan hanya ter letak pada penguasaan sepenuhnya, tap i juga
ket ika dia mengalami keterp isahan dar inya. Keterp isahan menimbulkan
perasaan adanya ker induan akan sebuah “obyek” dalam kedudukannya
sebaga i “subyek”: kesetaraan dengan dirinya. Pemenuhan atasnya
member ikan ken ikmatan tersambungnya kembal i koneks i dengan
“obyek” di luarnya yang diinginkan. Dalam hal ini , put ing dada ibu
menjadi fokus dorongan kenikmatan dan member ikan bay i perasaan
“terarah” serta kuasa atas tubuhnya sendir i di samping dengan
ke[satu]an dengan sosok ibu sebaga i semesta. Walaupun sebenarnya
“tubuh” ket ika itu justru menjadi sis tem yang ter ikat secara fis ik
dengan dun ia di luarnya, dan sekaligus tidak lag i berada dalam kontrol
psikis .
Apabila kompleks ini ter jad i dalam rah im maka tombol -tombol di
kontro l panel berfungsi sama dengan “ar i-ari”, yai tu pusat interaks i
“bayi teknologi” Teletubbies dengan rah im “Ibu teknologis” (mother of
technology) dalam memenuhi kebutuhan para tubbies secara otomatis .
Melalu i koneks i ini , semua kebutuhan hidup sepert i tidur dan makan
dipenuhi melalu i interaksi para tubbies dengan tubbytron ic superdome.
Ket ika tubbies mengambil jarak “memisahkan” dir i dar i tubbytron ic
superdome dan berdiri sebaga i “subyek” tidak menyebabkan ter lepas
sepenuhnya dar i ari-ari teknologi s yang ada sepert i halnya ter jadi pada
kelahi ran organik. Melainkan “pemisahan” mengisyaratkan pada
196
ker induan akan ken ikmatan penyatuannya di kemudian har i dengan
“obyek” sebaga i sebuah semesta.
Karena itu antara para tubbies dengan
tubbytron ic superdome terdapat suatu
ikatan emosional yang membuat mereka
tidak pernah memisahkan dir i sepenuhnya
dar i fokus tersebut. Sifat dar i tubbytronic
superdome tidak menguasai , tap i jus tru
para tubbies yang membutuhkan ikatan itu.
Tubbytron ic sifatnya adalah merawat dan
GAMBAR 4.10
Para tubbies berada dalamtempat tidur di dalamtubbytronic superdomeyang berbentuk kapsulterbuka.
member ikan “cinta”-nya pada para tubbies. Hubungan antara keduanya
lebih tepat digambarkan sebaga i proses sinkronisasi, di mana saling
beradaptasi mencip takan eku ilibrium homeostas is. Para “bayi teknologi”
teletubbies hidup dalam rengkuhan “ibu teknologi”, dan tubbytron ic
hanya memperoleh konteks makna fungsiona l apabila keberadaan para
tubbies ber[ada] di sek itarnya.
Sebaga i “ibu tekno logi”, tubbytron ic superdome memili ki
karakteri sti k yang sangat disesuaikan dengan bentuk badan para tubbies.
Di dalam, semuanya di atur sesuai dengan jumlah dan ukuran para
tubbies. Baik perabotan sederhana, sepert i meja, kursi, tempat tidur
dis inkronkan bentuknya sesuai dengan bentuk fis ik mas ing-masing
“pr ibadi” para tubbies (lihat gambar 4.10). tubbytron ic superdome
menjalani peran sepert i rah im seorang ibu yang memahami seluruh
kebutuhan lib idinal bay inya dengan sempurna, kenyamanan dan
197
pengertian yang tidak akan ditemukan para tubbies di luar tubbytronic
superdome.
Bila kemudian dikait kan dengan pola alam semesta tubbyland
yang “menyusut” dalam suatu fokus dan “melebar” sebaga i hubungan
global , sinkronisasi dalam ikatan “cinta” antara tubbies dan tubbytronic
superdome merupakan ikatan bag i ter jad inya suatu fokus yang has ilnya
adalah sebuah “keber samaan” semu yang terbentuk antara para tubbies
sendir i. Pos isi antara tubbies ada lah setara bagi tubbytron ic superdome,
dan semuanya dilayani secara adi l. Karena itu, tubbytron ic superdome,
berperan sebaga i “fokus” atau “pusat” bag i tubbies, sedangkan secara
keseluruhan “tubby land” mengikat mereka dalam satu semesta. Semesta
tubbyland muncul sebagai “bagian” mandir i namun tak terpisahkan dar i
tuybbytronic superdome. Begitu juga pos isi sebaliknya ber laku sama
untuk “obyek” yang ada. Kerangka ini lah kita akan membantu
memahami bagaimana kedudukan dan ideologi yang mendasari dan
direpresenta si oleh simbol -simbol lain dalam Teletubbies.
2. Meka[orga]nik
Sebagai rah im, semua teknologi di dalam tubbytron ic superdome
merupakan ke[satu]an dengan induknya. Perwujudan obyek muncul
sebaga i tubbytoast, tubbycuster dan yang pal ing penting ada lah Noo-
Noo. Tubbytoast dan tubbycuster ada lah mes in penghasil pasta dan kue
yang merupakan konsumsi utama para Tubbies. Bentuknya cenderung
persegi dan sudutnya tumpul . Kontak para tubbies dengan dua peralatan
198
ini melalu i tombol. Berbeda dengan kedua alat ini , Noo-Noo memili ki
karakteri sti k berbeda dalam bekerja ataupun fungsinya sebagai alat. Dia
tidak menunggu para tubbies menekan tombol untuk menjalankannya,
sebaliknya dia akt if bekerja sebaga i satuan tubbytron ic yang mandir i.
Bagi Noo-Noo, antara kerja mesin penyedot debu dan sifat dan
karakter organi sme membaur dalam wujud fis ik nyata. Dia memili ki dua
mata yang berputar-putar, belala i panjang untuk menghi sap kotoran
dan debu, ser ta tubuh berbentuk tabung untuk menampung kotoran dan
debu yang dih isapnya, dilengkapi pula”roda” otomat is yang membantu -
GAMBAR 4.11
Noo-Noo:konseptualisasi
dari meka[orga]nikdalam sebuah
“subyek’ mandiri
nya berpindah -pindah tempat tanpa per lu dibantu
oleh pihak lain di luar dir inya. Secara keseluruhan,
Noo -Noo merupakan rancangan yang sangat sinkron
antara sebuah organisme dengan sebuah mes in
penyedot debu otomatis. Dalam fis ik Noo -Noo,
dualisme antara mekanik dan organik didamaikan
dalam konsep otomat isme.
Sebaga i perwujudan otomat isme, Noo-Noo mengisyaratkan adanya
“diri” yang muncul , bergerak, beroperas i, berpikir dan bekerja dengan
sistem kontrol yang berada di dalamnya. Dalam hal ini pos isinya tidak
jauh berbeda dengan para tubbies sebaga i organi sme. Dan sepert i para
tubbies pula, walaupun dia memili ki kemandirian sebaga i elemen yang
berdir i sendir i, Noo-Noo tidak pernah memisahkan dir inya dar i
tubbytron ic superdome. Bedanya, para tubbies bisa meninggalkan
tubbytron ic sementara untuk bermain di luar sedangkan Noo-Noo tidak
199
pernah meninggalkan kubah. Para tubbies selalu bermain, sedangkan
Noo-Noo selalu sebaga i “pekerja”. Relasi antara tubbies dengan Noo-Noo
mencerminkan hubungan yang mir ip ika tan “tuan” dan “budak”.
Dalam menjalankan fungsi sebaga i “peker ja”, Noo-Noo adalah
alat steril isasi segala kotoran dan sumber penyak it yang mungkin muncul
di dalam tubbytronic superdome. Dia penjamin konsep tentang
“kesehatan” dan “keamanan” untuk para tubbies. Stabil isasi fungsinya
adalah dalam menjaga agar keadaan dalam tubbytronic superdome tetap
menjadi tempat aman bag i para tubbies. Karena itu sebaga i “budak”,
Noo-Noo tidak pernah di bawah pemerintahan para tubbies, melainkan
tugasnya merawat dan mempertahankan ken ikmatan para tubbies dalam
tubbytron ic superdome dengan menangkal gangguan dar i “luar”.
Selain itu, dalam pos isi “budak”, Noo-Noo tidak berbeda dengan
para tubbies yang ber laku sebaga i “tuan”. Keduanya berada dalam
ikatan kesatuan dengan rahim ibu teknolog is. Pemisahan antara
keduanya dalam dua kategori diskri t bukan antara konsep yang satu
sebaga i “mesin”, sedangkan lainnya ada lah “organ isme”. Kedua konsep
tersebut berada dalam Noo-Noo maupun para tubbies. Para tubbies
bukan lag i sekedar organi sme belaka, tap i juga memili ki cir i-cir i
mekanik di dalam dir inya (automaton) sedangkan Noo -Noo ada lah mesin
yang memili ki kemandirian layaknya seorang individu (otomat isme).286
286 Humberto Maturana dan Francisco Varela dalam bukunya berjudul Autopoiesis and Cognition:The Realization of the Living, mendefinisikan ulang tubuh organik sebagai autopoiesis, yaituself-referential, sistem otonom yang memiliki karakter deterministik dan relativistik. Dalamhal ini, tubuh mengikuti suatu kerangka acuan yang disebut sebagai common frame ofreference, di mana imaji visual berfungsi layaknya “bahasa” tidak sekedar menyampaikaninformasi, namun berperan sebagai wilayah interaksi antara “subyek” dengan sebuah
200
Hubungan oposis i antara “mesin” dan “organ isme” dalam hal ini menjadi
hanya sebuah keadaan timbal bal ik yang masih berada dalam sebuah
areal global , bukan lag i konsep yang mandir i, apalag i berhadap-hadapan
sepert i yang ditakutkan oleh Erich Fromm287.
3. Ikatan fokus dala m emos i waj ah
“Obyek” yang pal ing awal muncul set iap epi sode Teletubbies sepanjang
24 menit ada lah sebuah “matahari”. Sepert i yang sudah dikaji di atas,
matahari muncul sebaga i “terang” yang member ikan penglihatan sadar
akan kehadi ran warna-warna yang berada dalam layar. Dia muncul
sebaga i bag ian dar i penglihatan, kontradiksinya dia ada lah “obyek”
penglihatan sekaligus juga hadir di dalam “subyek” sebaga i kerja
penglihatan itu sendir i.
konstruksi acuan bersama (Ibid 13., loc. cit). Bandingkan pandangan ini dengan ide Kobo Abétentang The mass-produced pattern pada Bab I, hal. 7.
287Dari berbagai segi, Noo-Noo adalah “hantu” yang paling ditakuti oleh Fromm, wujudpemimikan (mimicry) mesin yang menanding peran fisik maupun psikis seorang manusia.Ironisnya, ketakutan Fromm tidak pernah mendapatkan tanggapan yang sesuai, sebab dalamTeletubbies Noo-Noo tidak memberikan kesan “mengerikan” atau “angker” (Untukkejelasannya, ikut bagian awal dari Bab III pada tulisan ini). Sebaliknya sosok Noo-Noocenderung ramah dan humoris. Sebagai “budak”-pun Noo-Noo samasekali tidak menunjukkansikap gampang kecewa. Tidak ada hantu proletariat dalam dirinya, Noo-Noo memiliki sikapjinak namun kreatif dalam dirinya. Kyoko-Date, “gadis imaji” dalam wujud rancangan digitalyang dibuat pada tahun 1996 sebagai pembawa acara (VJ) televisi, adalah sosok yang palingsesuai untuk dibandingkan dengan Noo-Noo. Kaz Hori, wakil presiden HoriPro Inc. (agenKyoko Date), membandingkan keunggulan Date dengan pembawa acara “manusia” lainnya:“She doesn’t complain about anything, and she doesn’t sick.” Dalam berbagai kesempatan,peran Date menyamai pembawa acara umumnya. Date yang dibayangkan masih berumurenam belas tahun, menjadi salah satu pujaan bagi publik Jepang. Hebatnya lagi, Kyoko Datehanya program awal, sebab untuk ke depan HoriPro berencana mengkreasi seorang manajervirtual untuk Kyoko Date. (Ibid 66., op. cit, hal. 21).
201
Dalam pos isi sebaga i “obyek” tampak,
“matahari” di dalam tubbyland memili ki bentuk
bulat dengan warna kuning keputihan dilengkap i
dengan pancaran cahaya ke seluruh arah.
Namun, ket imbang mir ip matahari sehari -har i
GAMBAR 4.12
Matahari tubbyland
yang kita lihat, “matahar i” tubbyland memili ki wajah seorang bay i yang
menyebabkannya leb ih ekspresif emosional , dar ipada sekadar
member ikan pencahayaan. Di dalam tubbyland, wajah bay i ter sebut
adalah satu-satunya wujud yang memili ki ekspresi emosional tidak
dibuat-buat di banding “subyek/obyek” lain yang ada dalam tubbyland.
Dalam kaca mata penglihatan empiri s, wajah manusia yang had ir dalam
dunia sureal is Teletubbies satu-satunya hanya berada dalam matahari
tersebut. Karena itu dia ada lah keberadaan tunggal dalam semesta
Teletubbies dimana tidak ada bandingannya, dan mendapat sorotan
cukup intens dalam banyak slo t.
Sebaga i wujud wajah bayi, matahari tersebut mengamati dar i ata s
segala sesuatu yang ter jad i di dalam tubbyland. Dia bukan hanya bagian
dar i tontonan, tap i juga penonton. Dalam wajahnya yang “manus iawi”
dia member ikan fokus identi fikasi antara penonton dengan dir inya.
Karena dia melakukan sepert i yang dilakukan para penonton
Teletubbies: member ikan reaksi emosional terhadap apapun yang terjad i
di dalam Teletubbies. Dia “memil ih” untuk meraban, ter tawa senang,
bingung atau sekedar diam saja sebaga i reaksinya terhadap apa yang
202
terjad i di bawahnya. Tidak ada reaksi murung, sedih, tangisan, atau
kesaki tan dalam kategori reaksi emosional yang dimunculkannya. Art inya
dia memilah secara ketat reaksi emosional yang layak atau tidak layak
untuk dimunculkan. Dia menguatkan dan menjadikan emosi yang lain
menjadi semakin “nyata” dengan tampilan wajah bay i yang lembut,
bersahabat, cer ia, sedangkan emosi lain yang “menyimpang” dar i ciri -
cir i tersebut dit iadakan dar i penampakan penonton.
Di sis i lain, reaksi emosional yang tampil melalu i medium
“matahari” merupakan penguatan suasana emosional terhadap
organi sme automaton Teletubbies yang fri gid. Tetapi pos isinya bukan
sekedar pelengkap dari kekurangan, leb ih jauh lag i, dia ada lah acuan
penonton Teletubbies untuk member ikan reaksi emosional yang ter fokus
dan terseleks i. Dia seolah -olah membawa keber[ada]an penonton
bersama-sama dalam kehadiran emosional di dalam layar. Penonton
merasakan adanya satu “obyek” lain yang memili ki suara, ekspresi,
wajah yang sama manusiawi dengan dir inya: “Chi ldren’ s voices are used
in the inserts: as soon as chi ldren saw the early experimental inserts
with chi ldren’ s voices in them, they locked on to them. Children find it
easier to lis ten to other chi ldren and see baby shaped things .”288 Dan
mereka, menjad i leb ih mudah terkunci secara fokus pada pemunculan
tersebut. Ada “penonton” lain dalam layar yang menuntun para
penonton pada suatu kondis i yang sesuai denga n tubbyland.
288Andrew Davenport, FAQ, Online document: http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/progr_teletubbies17.html
203
Namun hal ini tidak member ikan penonton penguatan
keber[ada]an dir inya sebaga i “subyek”, melainkan “subyek” dih ilangkan
keber[ada]annya. Sebagai gantinya, keber[ada]an penonton digant ikan
pos isinya oleh sebuah medium lain yang memili ki “kemir ipan” dengan
dir inya di dalam teknologi layar. Dia tidak menunggu reaksi dar i
penonton, tap i mengawali dan menentukan reaksi emosional yang layak
baginya sendir i. Seh ingga semua kejadian dalam Teletubbies bebas dar i
determini sme emosional penonton yang berada di luar, seh ingga semua
ekspresi emosi yang ada dio lah dan dikontruksi oleh obyek yang ada
dalam dir inya sendir i. Penonton dalam hal ini berperan menyesuaikan
emosi dengan reaksi-reaksi emosional yang muncul dalam obyek
sentra lis tik tersebut. Walaupun tidak ada paksaan untuk melakukan hal
ini , juga tidak ada tuntutan untuk meniru semua ekspresi yang muncul .
Tapi “pengertian”, “empat i” dan “pemahaman” penonton terhadap
emosi-emosi “universa l” yang muncul dar i ekspresi bahagia matahari
bayi mengalami sinkron isasi, seh ingga penonton memahami teletubbies
sebaga i hal yang menyenangkan saja. Selanjutnya, ekspresi-ekspresi
yang muncul dalam layar diterima oleh penonton sebaga i bagian dar i
reaksi emosi dir inya terhadap Teletubbies: “The baby sun offers
reassurance as it is always happy and watches the Teletubbies with the
same enjoyment that chi ldren do .” 289
Dengan mengambil alih kontro l subyek atas reaksi emosi
pribadinya, dia member ikan “kesadaran” baru pada cir i-cir i personali tas
289 Anne Wood dan Andrew Davenport, Why does Teletubbyland look like it does?, Onlinedocument: http://www.bbc.co.uk/education/teletubbies/information/faq/teletubbyland.shtml
204
subyek yang dip ilah, dikuatkan, dihadirkan dan dipahami sebaga i
dir inya. Sepert i Noo-Noo, dia member ikan alam pembauran teknologi s
Teletubbies sebuah “kemanusiaan” dan kesadaran baru yang teknologis
pada penonton Teletubbies.
4. “Tuh an” dalam tu bbyland
Berkebalikan dengan peran wajah “manusiawi” yang diberikan oleh
matahari bay i, terompet suara dalam Teletubbies memili ki peran yang
berbeda. Karena itu dar i pada berwujud wajah seorang manusia atau
bayi, terompet memili ki wujud penampakan yang teknologis. Walaupun
demikian, sebaga i teknologi dia dianggap bukan hal yang asing: “The
voice trumpets represent the many technolog ica l dev ices that are a
natura l part of a chi ld”s life.” 290
GAMBAR 4.13
Terompetdalam
tubbyland
Sebaga i bag ian teknologi yang “alami” dari
kehidupan anak-anak, terompet suara memili ki bentuk
yang unik. Gabungan dar i bentuk yang memanjang
dengan membulat di ujungnya, menyerupa i shower
mandi, sekaligus mir ip corong telepon, atau
menyerupa i earphone .291 Dengan kata lain, wujud dar i
terompet tubby land ada lah kumpulan bentuk berbagai
290 Ibid., loc.cit.
291 Namun, dari Anne Wood dan Andrew Davenport, dia lebih sering disebut sebagai ‘terompet’
205
macam teknologi yang biasanya dijumpai dalam kehidupan rumah
tangga. Berbeda dengan tubbytron ic superdome yang futuri stik dan tidak
laz im, terompet suara justru karakteri stik yang “natural”, walaupun
jumlahnya tidak dapat dipast ikan, tap i “benda” sejenis ini dengan
bentuk yang seragam dapat berada di dalam maupun di luar tubbytron ic
superdome, yang berart i juga bahwa dia ter sebar di seluruh tubbyland.
Di luar tubbytron ic, terompet suara muncul dar i dalam tanah ke
permukaan buk it, dan tidak ada batas eksak di mana dia muncul ,
art inya di tubbyland terompet ini bisa muncul begitu saja. Sedangkan di
dalam tubbytronic superdome, ditemukan terompet ter letak ditengah-
tengah tempat tidur para tubbies (li hat gambar 4.10, terompet berada
di tengah -tengah, antara tempat tidur Dipsy dan Laa -Laa).
Kemunculannya yang acak di semua tempat, ditambah dengan
bentuk tidak mencolok layaknya perkakas har ian, terompet tubbyland
bukan fokus bag i penonton. Keberadaannya disadari tap i kur ang menarik
diperhati kan. Dia muncul sebaga i “obyek” yang berdir i sendir i dalam
tubbyland, sekaligus mister ius. Berkebalikan dengan cir i-cir i yang
dimili kinya, terompet tubbyland memili ki peran yang hampir sama
dengan narator. Ter lebih-leb ih lag i, sepert i narator, terompet
merupakan sosok dengan penekanan kehadi ran “suara” yang sifatnya
menuntun. Bedanya dengan narator yang tidak memili ki fis ik tampak
sama sekali , dia tetap memili k kehadiran fis ik, walau sifatnya terbatas.
Karena itu diband ing dengan narator yang munculnya sebaga i “subyek”
yang mengambil jarak dar i dun ia tubbyland, terompet mengambil pos isi
sebaga i bagian wujud fis ik dar i kontruksi tubbyland. Layaknya “obyek-
206
obyek” lainnya dalam Teletubbies, dia berperan sebaga i tontonan bag i
penonton Teletubb ies , ter lihat sebaga i “obyek” penglihatan yang
imanen. Keistimewaan ini tidak dimili ki “obyek -obyek” lainnya di
Teletubbies.
Sebaga i sebuah “subyek” sepert i narator, keber[ada]annya
sebaga i bag ian tatanan dalam tubbyland ter letak pada cara bagaimana
dia menuntun keadaan dalam rangka ian urutan per ist iwa. Dia memula i
acara dengan seruan: “Saatnya Teletubbies! Saatnya Teletubbies!
Saatnya Teletubbies!” Atau pada akh ir acara dia memper ingatkan
penonton maupun para tubbies: “Saatnya berpisah! Saatnya berpisah!”
Keber[ada]annya ada lah penekanan sekat -sekat waktu, berbeda dengan
sifat kebersamaan (unity) yang muncul dalam Teletubbies, dia
menekankan pemisahan “saat” dalam tubbyland dengan “saat umum”
lainnya, “ruang vir tual” dengan “ruang material”. Pada sis i in i dia
member ikan kekhususan ruang bag i tubbyland, sekaligus menekankan
posisi yang sama pentingnya dengan “saat-saat” lainnya. Tubbyland
menjadi “jadwal” yang eksak ada dalam pengalaman sehari-har i.
Di sin i muncul paradoks, ket ika tubbyland muncul sebaga i ruang
dan waktu yang “khusus”, bersamaan dengan itu dia had ir sebaga i
bagian dar i rentetan ruang dan waktu yang sama dengan penonton. Dia
tidak dibedakan lag i dar i “saatnya tidur”, “saatnya makan”, “saatnya
bekerja”, “saatnya nonton TV” dan “saat-saat” la innya. Sebaga i
rangka ian “saat” dalam satu har i penuh, tubbyland mengikat fokus
perhat ian penontonnya dalam kebiasaan, pola, dan program yang
207
terjadwal di dun ia tubbyland. Tubbyland, muncul dalam kesadaran
penonton sebaga i kesatuan ruang dan waktu yang khu sus dan mandir i,
sekaligus menyatu dalam pengalaman. Sama “obyektifnya” dengan
satuan-satuan waktu jam mekanik dan “subyekti f” sepert i halnya jadwal
dan keb iasaan sehari -har i yang disusun seseorang.
Sedangkan terompet suara dan narator tersebut, pada seg i ini ,
perannya sama transendennya dengan konsep tuhan yang disusun orang
Yahudi dalam Alk itab. Bukan hanya karena keber[ada]annya yang
abstrak, namun perannya dalam member ikan spesif ikasi ruang dan waktu
sama sepert i Tuhan Yahudi yang menetapkan har i Sabtu atau Minggu
sebaga i “Saatnya har i Tuhan”. Sepert i Tuhan, terompet maupun narator
tidak hanya berdir i di “atas” member ikan pembatasan-pembatasan
satuan ruang dan waktu, namun juga “berbicara” dengan penonton dan
para tubbies.
Pengalaman imanen akan keberadaan terompet dan narato r
sebaga i “subyek” yang had ir di luar “di ri” para tubbies dan penonton,
member ikan peran kontradiktif pada sifat transenden dalam kasus
sebelumnya. Sekarang dia had ir sebaga i “saat”, sebaga i bagian
tubbyland. Secara “fi sik” dia tetap tidak terpisah dar i penonton,
melalu i “suara” dia had ir bersama dalam “ruangan materi”. Ber sama-
sama dengan tubbyland kin i tidak lag i dia lami secara “subyekti f” dalam
narasi , melainkan narasi sebaga i bag ian dar i tubbyland. Tidak sepert i
sebelumnya, “obyektiv itas” tubbyland bukan diadakan melalu i satuan
“saat-saat” belaka, melainkan sekarang dia memili ki sifat transenden
208
sepert i “ruang materi”. Penonton sebaga i “subyek” menjad i bag ian dar i
keber[ada]an “obyektif” tersebut. Pengalaman imanen ini menuntun
penonton-penonton Teletubbies menuju tubbyland, mengalami dunia
“tubby land” sebaga i pengalaman sejajar dengan “dunia materi”.
Kedua cara kerja narator dan terompet tersebut, bukan
perbedaan yang terpisah. Keduanya merupakan sis tem teknologi yang
memproduksi melalu i serangkai “fokus” dan “obyektiv ikasi” untuk
menghadirkan pengalaman, ruang, “saat” atau waktu dalam jumlah tak
terbatas dan dapat dil ipat gandakan terus menerus. Bagi penonton
maupun para tubbie s, waktu dan ruang Teletubbies sifatnya tidak
mutlak walaupun dirasakan “ri il”. Para tubbies bisa mengulang kembal i
set iap adegan yang disuka i dan diinginkan untuk diu lang. Jika mereka
mengatakan, “Lagi! Lagi! Lag i!” Maka adegan atau atraks i yang muncul
diu lang kembal i sama persis sepert i sebelumnya. Cir i ini sekal igus
menjadi cara Teletubbies menunjukkan ker ja teknologi layar sebaga i
bagian dar i penonton mengalami dun ianya: “We have some evidence of
how chi ldren respond to seeing things aga in and again. A very young
chi ld can use videos to repeat a section of a programme over and over
again. It’ s part of Teletubbies” function to encourage chi ldren to
become screen literate: it”s going to be a world of screens rather than
pages when they grow up.”292 Cir i pengulangan pengalaman vir tua l layar
bukanlah sesuatu yang berdir i sebaga i fungsi di luar cara penonton para
tubbies tap i ada lah bagian dar i cara dan kebutuhan penontonnya:
292Andrew Davenport, FAQ, online document: http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/teletubbies17.html
209
“Chi ldren need to look at things much more than adults . Our format
enables them to listen and watch; they need to see things over and over
again. It’ s one of the rules of produc ing the programme that the
Teletubbies appear to play spontaneousl y, in the way that chi ldren
do.” 293
Melalu i pengulangan, “obyek -obyek” muncul , hilang dan
kemudian muncul kembal i dalam sik lus yang ber tautan dengan
keber[ada] “subyek” penonton dan para tubbies. Sedangkan antara para
tubbies dengan penonton memperoleh jalur indent ifikas i di antara
keduanya. Sepert i para tubbies, para penonton ket ika memfokuskan
“diri” pada “ruang” dan “waktu” dalam Teletubbies mentautkan
keber[ada]annya dengan keber[ada]aan “obyek -obyek” dalam tubbyland.
Walaupun demikian, para tubbies tidak selalu muncul sebaga i “subyek”
yang sejajar dengan penonton, ada kalanya para tubbies muncul sebaga i
“obyek” tontonan. Sebaga i “obyek” tontonan, para tubbies adalah
kelompok sos ial bercir i teknologi s dalam wujud yang organi s.
5. Tubuh , psikis dan tingkah laku tubbies
Secara sos iob iologi s, para Tubbies ada lah satuan spesies spesif ik dalam
pola relasi dan bentuk tubuh sesuai dengan kontruksi semesta teknologi
yang meng[ada] dalam teletubbies. Wujudnya adalah penerapan model
amphib ian meka[orga]nik dalam fis ik yang tampak secara inderawi, atau
disebut juga sebaga i automaton.
293 Anne Wood, Ibid., loc.cit.
210
Sesuai dengan kata tubbies yang dalam bahasa Inggri snya berart i
“gemuk” dan pendek”294, para tubbies memili ki tubuh yang tambun dan
cenderung melebar dengan propos ional tubuh melebar di perut dan
pinggu l. Perbandingan antara kepala , dada, perut/pinggu l, paha dan
kaki berada pada ras io antara 3:2:4:3:2. Selain perut, kepala adalah
daerah pal ing menonjol. Bagian kepala merupakan tempat para tubbies
melakukan kontak sos ial di antara mereka sendir i, maupun kontak dalam
bentuk sinyal -sinyal elektronis yang dipancarkan “kinci r ang in aja ib”
(magic windmail ).
Bentuk kepala para tubbies, bulat, separuh terbungkus oleh
pakaian yang menyatu dengan tanpa ada pemisahan membungkus seluruh
badan. Wajah adalah bagian yang terbuka dan menampakkan mata yang
bulat, hidung, mulut dan tel inga. Dibanding dengan hidung dan mulut,
mata dan tel inga para tubbies menduduki proporsi yang leb ih luas. Mulut
tubbies walaupun cukup lebar, tidak memiliki gerak lentur, berbeda
dengan mata para tubbies yang memutar -mutar dengan bebas. Dan
hidung adalah indera yang pal ing minor dalam tubbies ber lawanan
dengan ukuran tel inga tubbies yang menyamai panjang kepalanya.
Kecenderungan dominasi mata dan tel inga dalam wajah para
tubbies, menggambarkan penonjolan indera tertentu dibanding indera -
indera lainnya. Indera taktil (sentuh) para tubbies jus tru terbungkus
seluruhnya oleh lap isan pakaian yang hanya terbuka pada wajah. Wajah,
dengan demikian, menduduki suatu porsi yang penting dalam
294 Lihat kembali catatan kaki no. 230. Dalam pengertian tertentu, “gemuk” dan “pendek”memiliki makna sebagai bentuk lanskap horisontal. Bentuk lanskap horisontal merupakanmodel bentuk yang biasanya digunakan dalam layar.
211
keseluruhan tubuh para tubbies, selain antena dan layar di perut. Wajah
adalah ala t sos ial isasi para tubbies, yang ber laku di kalangan mereka
sendir i dan ber laku juga dengan penonton. “Mata” dan “te linga”, secara
khas menunjukkan seleks i perhat ian dalam kontak sos ial antara
tubbyland dengan dun ia penonton melalu i teknologi layar. Tubbyland,
mengikuti penekanan seleks i perhat ian ada lah dun ia yang dikontruksi
secara spesif ik melalu i ranah “pengl iha tan” dan “pendengaran”.
Sebaga i fungsi teknologi layar, ditunjukkan secara luas pada
keseluruhan tubuh para tubbies. Dengan layar di perut dan antena di
kepala , para tubbies tidak berbeda dengan televi si yang bergerak dan
hidup. Sul it membedakan, apakah para tubbies ada lah organi sme yang
memili ki cir i teknologi s atau teknologi yang memili ki karakter biologis .
Antara automaton dan otomat isme, sekarang tidak lag i memili ki
pertentangan di dalam tubuh tubbies.
Karena itu tubuh para tubbies memili ki kemampuan menjal in
koneks i dengan teknologi-teknologi lainnya dalam tubbyland. Layar di
perut para tubbies, ber fungsi simetr is dengan ari-ari di perut bay i jika
berkontak dengan ibunya dalam kandungan, dalam hal ini tubbytronic
adalah ibu bio log is/teknologi snya. Tubbies menerima sinyal -sinyal dar i
pemancar melalu i antenanya, sepert i mes in menerima per intah jarak
jauh.
Sedangkan, pos isinya sebaga i ind ividu-ind ividu yang berdir i
sendir i, para tubbies justru menampilkan mereka memili ki karakteri stik
pribadi yang khas dan berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka
diberi pembeda dalam nama, warna, tinggi badan, kebiasaan hingga
212
sifat-sifat khusus. Dengan kata lain, mereka memiliki “kepribad ian”
dalam dir inya (lihat tabel 1.1). Para tubbies “unik” sebaga i “indiv idu”,
berbeda dengan pengambaran klasik tentang mesin yang selalu seragam,
tidak memili ki ind ividua litas, apa lag i kepribadian. Dalam hal ini , sejauh
mana perbedaan tubbies ber laku sebaga i “kepribadian” yang mandir i?
Sebaga i contoh, set iap melakukan keg iatannya para tubbies selalu
didahu lui suara narator adalah faktor “subyekti f” yang muncul di
bal iknya. Suara narator tidak hanya menjelaskan apa yang ter jad i,
melainkan juga menuntun seluruh aks i para tubbies dalam kerangka
narati f. Dalam sebuah epiodenya, Laa -Laa duduk di sebuah padang
rumput. Ket ika suara narator menyebut, “Laa-Laa membaca buku.”
Spontan Laa-Laa meniru, “Laa-Laa sedang membaca buku” sambil
mengambil buku dan ber lagak siap membacanya.
TABEL 4.1 Matriks karakteristik perbedaan penampakan wujud fisik, kepribadian,kebiasaan dan pergaulan antara para tubbies.295
Nama Tinky Winky Dipsy Laa-Laa PoWarna
pembedaungu hijau kuning merah
Urutan tinggibadan 1
(tertinggi)2 3 4
(terendah)Bentukantena
Segitiga terbalik Garisvertikal
GarisSpiral
Lingkaran
Barangkesukaan
Tas Jinjingmerah
Topi hitam-putih
Bola berwarnajingga
Scooter ber-warna merah
dan tambahanwarna biru
Lagu yangdinyanyikan
"Pinkle winkle,Tinky Winky,pinkle winkle,Tinky Winky"
"Bup-a-tum,bup-a-tum,bup-a-tum"
"Laa-laa-li-laa-laa-li-laa-
li-laa"
"Fi-dit, fi-dit,fi-dit, fi-dit."
dan"Mar, mar,
man"
295Data ini disusun dari berbagai sumber dari website internet ditambah dengan observasilangsung penulis dari film.
213
Gerakan yangdisukai
Berjalan,berbaris,menari,
berguling
Menari,berjalan
dengan gayasantai danflamboyan
Menari,memainkan
gerakan kaki,menyanyi
Menari danmenyanyi
Karakterkepribadian
Pendiam, selalubersikap
“dewasa”,gerakan
tubuhnya lebihterkontrol.
Selalumencobabersikap“dingin”(cool),
walaupuntidak menutupirasa sayangnya
pada paratubbieslainnya.
Penggembira,manja, selalumenanyakankeberadaan
tubbieslainnya jika
dia sendirian,suka memberi
komentar“bagus”,
namun kalausedang
berpikir akanmematung
diam.
Selalu tampakbersemangat,
gembira, penuhantusiasme,membikin
kejutan, penuhrasa ingin tahu,
sukamengamati
tombol-tombolpada kontrol
panel.
Teman akrab Po Laa-Laa Dipsy Tinky WinkyJenis kelamin Laki-laki Laki-laki perempuan Laki-lakiWarna kulit Putih Coklat Kuning Putih
Keeksi sannya sebaga i “Laa-Laa” tidak ditentukan kesadaran
“subyekti f”nya. Saat Laa -Laa berkata, “Laa-Laa sedang membaca buku”
sebenarnya “Laa-Laa” yang disebut ada lah “obyek” bag i dir inya sendir i.
Dengan demikian, “Laa-Laa” yang akt if merupakan kesadaran terpisah
dar i kesadaran “subyekt if” dir inya, namun diakui sebagai “di rinya”.
Bersamaan dengan itu, ada kesadaran lain yang diakuinya sebagai bagian
dar i kesadaran dir inya yang menentukan fokus perhat ian untuk Laa-Laa.
Karena itu, baik Laa-Laa dan para tubbies lainnya, walau memili ki
karakter khas dalam dir inya, tap i tetap ber jalan dalam kerangka narasi
yang mengikat keber[ada]an mereka dan “obyek” lain dalam satu
jal inan.
Para tubbies, dalam kasus ini , ter ikat pada cir i karakteri sti k yang
sama. Mereka semua gemar berpelukan, mereka juga suka menari .
214
Mereka semua selalu bahagia, tidak ada permusuhan antara mereka,
tidak ada pender itaan, kesedihan, dan wajah mereka meski ramah selalu
tampak datar-datar saja tanpa gejolak emosi: “Teletubbies are
extremely good role models . They’re very act ive. They’re very social ;
they love each other; they sup port each other; they approach
everything with enthus iasm and with cur ios ity; they are extremely
positive.” 296 Tidak ada sifat negati f, tidak menyenangkan atau
menyed ihkan dalam dir i mereka, karakter mereka ber sih tanpa cacat,
lugu tanpa kel ici kan. Tidak ada protes atau kecewa ket ika salah satu
dar i mereka dip ilih secara acak menjad i fokus, yang lain ikut
bergembira. Mereka menunggu dengan sabar gil iran mas ing -mas ing,
mengantri . Mereka “produk” sempurna dar i sistem yang bekerja
menyusun tubbyland sebaga i “dunia ideal”.
Semua pola karakter berbeda yang tersebar dalam dir i para
tubbies dikontruksi atas persamaan karakter ini , seh ingga perbedaan-
perbedaan tersebut tidak menyimpang dar i karakter sempurna yang
mengak ibatkan ket idakteraturan atau kecacatan. Dan yang lebih
penting, di seluruh tubbyland, hanya ada empat tubbies yang seluruh
kebutuhannya tercukupi dengan baik dalam tubbytron ic superdome.
Keempatnya memili ki keunikan yang semu, dan selalu dalam satu ikatan
dalam kebiasaan “berpelukan”. “Berpe lukan” ada lah keg iatan dengan
penekanan pada kesenangan, kehangatan dan jauh dar i sifat memaksa.
Member ikan kedekatan fis ik sekaligus afeksi , dan mencerminkan
296Andrew Davenport, FAQ, online document: http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/progr_teletubbies194.html
215
kehangatan. Terutama lagi, dia ada lah keterikatan dan keterangkaian
dalam satu jal inan yang sukare la dan menyenangkan. Saat keempat
tubbies pelukan beramai-ramai, mereka membentuk lingka ran di
tengahnya di mana mereka sal ing berhadap-hadapan. Antena di kepala
sal ing menyentuh satu sama lain, begitu juga layar di perut buncit
mereka. Merasakan kehadi ran satu sama lain, bukan “diri” yang
terpisah-pisah, melainkan satuan realitas yang sal ing mengikat.
Pengalaman pelukan mel ingkar yang dilakukan ber sama-sama
adalah kontruksi keikhlasan individu-ind ividu berbeda-beda untuk
menjal in koneks i yang sal ing mengikat satu sama lain. Dia tidak
memaksakan kebersamaan atau keseragaman pada individu, melainkan
individu-ind ividu dilahi rkan untuk mentautkan semua dalam satu jal inan
seolah-olah “tanpa kekuasaan”. Kebersamaan para tubbies dalam
simbol “berpelukan”, merupakan cir i penga laman yang menyebabkan
kehadi ran “kesadaran” lain diakui sebaga i kesadaran dir inya, tidak
dil ihat sebaga i pemaksaan. “Para tubbies seolah -olah bisa “menolak”
narasi yang dibuat narator. Pada set iap akh ir acara, Narator mengajak
para tubbies “berpamitan”. Dengan berhitung, “satu,” maka salah satu
tubby mengikutinya, “satu.” Setelah itu tubby itu meghilang di bal ik
semak-semak. Begitu juga untuk hitungan “dua”, “tiga” dan “empat”,
berurutan tubbies yang lain mengikuti hitungan itu dan mengikuti jejak
temanya.
Kejutan muncul , ket ika para tubbies tiba-tiba muncul kembal i
dar i bal ik semak-semak sambil tertawa-tawa. Sesaat, apa yang
dinarasikan oleh narator ditolak oleh para tubbies. Walaupun demikian
216
sang narator tidak melakukan suatu aks i kekerasan pada para tubbies
agar menuruti narasi yang dibuat. Sebaliknya, narator hanya berkata
dengan kecewa, “Oh, tidak...” Maksudnya, bukan itu yang diinginkan
narator. Narator hanya menunjukkan ket idaksetujuan, has ilnya para
tubbies secara serentak mengikuti kata narator, “Oh, tidak. ..” Setelah
itu, narator menghi tung kembal i dar i awal, dan proses serupa terulang
kembal i. Kal i ini para tubbies memahami keinginan narator leb ih baik,
dan acara pun ditutup dengan lancar .
“Pemberontakan” kec il dan nakal ditunjukkan oleh para tubb ies,
ing in menunjukkan mereka memili ki “kemandir ian” dar i moderator.
Mereka tidak menolak narator atau terpaksa mengikuti narasi dalam
Teletubbies, sebaliknya mereka menjalaninya dengan “bebas” sesuai
dengan keinginannya. Yang mereka khawat irkan ada lah “kekecewaan”
dar i narator, mereka adalah spesimen yang selalu bahagia tanpa ada
paham penolakan. Mereka hidup untuk “pener imaan” dan kebutuhan
akan “kehangatan”. Suatu karakteri stik yang mewarnai kebudayaan
massa berbas is teknologi layar dan menjadi cir i masyarakat
kontemporer.
D. EL AB OR AS I TE MUA N-TE MU AN
Semesta Teletubbies bergerak secara rotasionak dan spiral melalu i dua
modus; Pertama, modus ber langsung dengan mengikat perhat ian
“subyek” atas sebuah “obyek”, keduanya ter sinkronisasi sebaga i sebuah
fokus. Sedangkan fokus bukanlah obyek tunggal yang menetap, namun
217
teru direprodusir dalam beragam wujud. Dalam keadaan ter fokus,
hubungan antara “subyek” dan “obyek” mengalami penyusutan.
“Subyek” tetap merasa “obyek” sebaga i bagian yang berdir i sendir i,
tetapi juga merupakan bagian dar i dir inya. “Obyek” berada dibawah
pengawasan dan kekuasaan “subyek”, tap i seolah -olah bekerja secara
mandir i di luar kuasa “subyek”. Sebaliknya, “subyek” mengalami proses
penyesuaian, asimilasi dan sinkronisasi dengan keber[ada] an obyek,
begitu juga dengan “obyek” yang semakin har i ditarik ke dalam
konstruks i yang ramah untuk “subyek”.
Kedua , Ket ika relasi antara “obyek” dan “subyek” berada dalam
ikatan psikis , bersama dengan “subyek-subyek” lainnya, semuanya
meluas dan menyatu sebagai semesta tatanan “obyek -obyek” baru yang
lebih luas dan makro. Baik “subyek-subyek” maupun “obyek”, kin i
adalah sebuah kesatuan yang din ila i sebaga i “obyek” maupun “subyek”
massal yang mut lak dan menyeluruh. Sebaga i “obyek”/”subyek”,
kesatuan global tersebut kembal i ter ikat pada satuan lain di luarnya
yang menjad i “obyek” fokus, fungsinya sebagai “subyek” didefinis ikan
ulang dalam relasi arbritasi dengan satuan oposis ional lain di luar
dir inya. Proses yang terjad i pada modus pertama mulai terulang
kembal i, kemudian ber lanjut lag i pada modus kedua, dan terus menerus
mengalami “penyusutan” dan “pe lebaran” semesta fenomen.
Melalu i dua modus mekani sme gerak ini , dunia teknologi layar
dalam Teletubbies mengikat “dunia material” di luarnya yang
merupakan par tikel dar i sifat keber[ada]annya sebagai fokus. Karena
itu, walau “obyek-obyeknya” memili ki cir i art ifi sia l, dapat membawa
218
penontonnya pada suatu kontruksi kesadaran yang memiliki nil ai -nilai
rii l sepert i; kebahagiaan, kebersamaan (un iversa lit as) dan kebebasan.
Nilai-nilai ini memili ki karakter bangunan ter ikat dalam teknologi
kesadaran melalu i sinkronisasi , dirasakan “ada” dalam semesta relasi
“obyek” dan “subyek” tubbyland. Sehingga, sinkronisasi ada lah gerak
menuju “nihil ist ik” jarak antara “subyek” dan “obyek” fokus. Gerak
serupa dengan bay i dalam rahim Ibu.
Teknologi layar sekarang adalah rah im “ibu” baru, yang
menghi langkan kontak kita dengan rah im pra-sadar. Dar i ibu biolog is
kita beralih pada “ibu” teknologi dan tidak memili ki keterbatasan
sepert i sebelumnya. Dalam tahap ini sinkronisasi kembal i ter jad i, tidak
secara insedenti l sepert i pada konsepsi, tap i diinginkan dengan sengaja
dan didekati tanpa paksaan. Sekarang, teknologi juga memili ki karakter
organi s dan merupakan bag ian dar i pemenuhan impuls -impuls
ket idaksadaran. Dia berada dalam ket idaksadaran sebaga i bag ian dar i
“subyek”, dan menjad i pembatas bag i kesadaran. Baik apakah dalam
pembatasan “ruang” dan “waktu” melalu i produksi “saat”, maupun
dalam pembatasan ideologis sebaga i produsen dar i kenikmatan,
universal itas maupun kebebasan.
Dengan dasar kerangka ini , Teletubbies adalah program yang
mempersiapkan generasi untuk menjadi warga dar i “Dunia Baru”. Dunia
dalam kerangka acuan sepert i dun ia dalam tubbyland; pembauran antara
cir i mekanik dan organik dalam mekani sme otomatis dan automaton;
dengan pengas ingan aks i dar i tubuh dan jiwa ser ta jiwa dar i tubuh dan
aksi; dan lah irnya bay i-bay i teknologi yang haus akan sos ial isasi, nilai -
219
nilai universal ; bergembira dan bahagia dalam kebersamaan semu; dan
ter lebih-lebih ketakutan untuk ditolak dan diasingkan dar i pergaulan
masyarakat dun ia ada lah kekuatan yang menuntunnya untuk menerima
satu fokus ber sama. Namun bukan komunikas i intens secara langsung
antara mereka yang melahi rkan kebutuhan tersebut, melain kan melalu i
perhat ian atau fokus yang member ikannya imajinasi kebersamaan.
Seluruh kebersamaan, kebahagiaan dan kebebasan dalam tubbyland atau
screen land ter letak pada interaksi secara berbarengan antarindividu
ket ika fokus massal ter jad i: “sinkroni sas i kolektif”.
Dan, ket ika narator dalam Teletubbies yang pada set iap akh ir
acara selalu mengucapkan kata: “Matahari mulai tenggelam, Teletubbies
berpamitan,” fokus tersebut kin i lenyap dar i penampilan sebaga i
“obyek” terpisah dan mandir i. Teletubbies sebaga i salah “pusat lokal”
mekani sme kerja teknologi layar hadir sebaga i pola-pola dalam
ketidaksadaran dan menuntun mereka semua ke arah sebuah kontruksi
sejarah masa depan yang “obyektif”, “pasti” dan “narat if” dirasakan
sebaga i anomal i ruang dan waktu: Tommorow comes today297.
297 Istilah yang terdengar kontradiktif ini sebenarnya merupakan salah satu slogan yang munculdalam era cyberspace sebagai gambaran tentang anomali waktu yang terjadi akibat koneksiyang terjalin oleh fokus layar di mana “ruang” dan “waktu” bergerak dalam mekanismepenyusutan dan pelebaran kesadaran. Gorillaz, salah satu kelompok musik tekno yangmenggunakan tokoh animasi sebagai komposisi anggotanya, pernah menulis sebuah lagudengan judul Tommorow comes today. Sebagian bait lagu tersebut dikutip di bawah:
“Everybody's here with me(we) Got no camerad to seeDon't think tomorrow will in this worldThe camera won't let me goAnd the verdict doesn't love our soulThe digital won't let me goYeah yeah yeahI'll pay (yeah yeah yeah)When tomorrowTomorrow comes today” [...]
220
BAB V
REFLEKSI
A. LA YA R-LA YA R MI LI K NE GA RA
1. Pe mimpin “di dal am” layar dan “di belakang” layar
Kembal i pada kisah per jalanan Gola Gong mengel ili ng Asia. Sek ita r akh ir
1991, Gong memasuki Pat tan i, Tha iland, melalu i jalan darat dar i
Malaysia. Di Pat tan i Gong mencatat pengalamannya di dalam gedung
bioskop:
“Setelah pemutaran ekstra dan iklan, tiba-tiba semua penonton berdiri.Beberapa saat aku bingung juga. Pada ngapain, mereka? Aku pikir adawaktu istirahat seperti di bioskop-bioskop murah di Indonesia. Tapibegitu di layar ada raja mereka, King Rama IX, Bhumipol Abdulyadey,dan Lagu Raja, aku baru paham. Buru-buru aku berdiri, karenapenonton di kiri-kananku pada menoleh.”298
Kontras dengan saat-saat di mana “merasakan” dan keadaan larut dalam
hiruk pikuk penonton di Ind ia, kin i Gong mengalami situas i yang terasa
asing olehnya. Di Biokop Pat tan i, Gong tidak menikmati suasana sepert i
pada bioskop Ind ia, sebaliknya yang muncul adalah ke-“bingung”-an.
Dalam “kebingungan”-nya, Gong mendapat i penonton di sekitar menoleh
padanya dan mengawasi. Berbeda dengan penonton bioskop 21 di
298 Ibid 1. op. cit., hal. 30.
221
Indonesia atau Ind ia yang membiarkan Gong melakukan tindakan apa
saja asal tidak mengganggu perhat ian penonton lainnya, orang-orang
Pattan i tidak member ikan alternatif pil ihan lain selain mengikuti tata
cara ser imonia l baku tersebut. Tak terkecual i, yang mereka tuntut
dihormati ada lah “Raja mereka”, yang tidak termasuk “Raja” -nya Gong.
Di bioskop Ind ia, tidak ada tuntutan bagi Gong untuk menari dan
bernyanyi bersama mereka. Begitu juga, di bioskop 21, tidak ada yang
memaksa Gong untuk menyimak dan menikmati set iap adegan film.
Penonton lain, dalam hal ini , hanya diharapkan jangan mengganggu
konsentrasi penonton lainnya. Sebaliknya pada situas i berbeda, yang
dituntut oleh penonton bioskop di Pattan i ada lah sebuah “tindakan”
waj ib dan harus dii kut i oleh suatu aks i lan jutan. Yang per tama, “diri”
dan “tubuh” dibiarkan mengurung dir i dengan pil ihan-pil ihannya sebaga i
individu, dengan res iko ter iso las i dar i publik. Sedangkan, pada keadaan
yang kedua, “di ri” dan “tubuh” dipaksa mengikuti suatu atur[an] di
mana ada kekuasaan lain yang secara “tatap muka” member ikan
instruksi langsung.
Jadi, ada dua tipe regulasi massa yang berbeda, yai tu; pertama,
massa yang termedias i secara tidaksadar dan otomat is oleh sebuah fokus
berupa layar. Sedangkan pada tipe kedua, massa digerakkan oleh
sebuah kekuasaan lain dengan tuntutan akan keseragaman tindakan.
Walaupun sama-sama terjad i dalam gedung bioskop, kedua tipe
organi sas i massa tersebut berbeda karakter oleh karena had irnya suatu
intevensi , yai tu foto “Sang Raja” yang muncul di layar. Leb ih spesif ik
222
lag i, tuntutan untuk “seragam” ini dikaitkan dengan satu kekuasaan
otoritas yang memaksa.
Pemunculan sebuah sosok otoritas yang memili ki kekuasaan
memaksa dalam layar memang bukan sebuah hal yang baru. Untuk
Thailand, seremonial serupa ada lah tradis i nas ional. Bag i orang asing
sepert i Gong, seremonial tersebut dapat menimbulkan perasaan gagap,
gamang dan salah tingkah299. Leb ih luas lag i, pemunculan fenomena ini
bukan hanya di Tha iland. Di Indonesia “lagu-lagu waj ib nas ional” ,
sepert i Indonesia Raya , set iap har i dan rut in ditayangkan sebaga i
pembuka siaran sua tu saluran televi si dan pada penutup acara
dilengkap i oleh lagu lainnya300. Atau di Inggri s, penyanyi pop yang
manggung menutup acaranya dengan lagu “God Save the Queen” dan
pertunjukkan acara olahraga antarnegara selalu memulai atau menutup
acara dengan lagu kebangsaan pula. Fenomena munculnya kekuasaan
negara dan nas ionali sme dalam layar membe rikan gambaran betapa
pentingnya teknologi layar bagi kepent ingan suatu negara. Namun,
sejauh mana cara ini efekti f memanfaatkan teknologi layar sebaga i alat
kontrol mas ih merupakan pertanyaan besar. Kendat i demikian, cir i -cir i
ini member ikan dimens i kekuasaan negara dalam usahanya mengatur,
mengelola, dan mengarahkan massa untuk suatu kepent ingan nas ional,
299 Gong sendiri mendefinisikan perasaan tersebut sebagai: shock culture (Ibid., hal. 29).Berkebalikan dengan layar di bioskop India di mana “batas-batas” perbedaan kulturalmendadak terasa lenyap, kehadiran seremonial menghormati sosok Raja di Thailand justrumenyebabkan kuatnya kehadiran perbedaan kultural. Ada “Raja mereka” yang harus ikutdihormati oleh seseorang yang bukan rakyatnya.
300Beberapa televisi swasta berusaha meninggalkan tradisi ini, namun sebagian lainnya bersamadengan TVRI masih melakukan seremoni tersebut.
223
serta mencip takan intervens i kepent ingan yang sep intas di atas tampak
bertentangan dan berbeda dengan pola-pola dalam teknologi layar.
Bagi Sukarno, pre siden pertama Indonesia, di samping berguna
sebaga i alat propaganda negara, layar memlik i fungsi lain:
“Kadang-kadang aku duduk seorang diri, atau djuga kalau akuberhadapan dengan orang-orang jang aku tahu dasarnja munafik (akutjukup sering bertemu dengan orang-orang demikian) aku bertanyadalam hati: Apa jang membikin mereka membandel dan berkepalabatu?[...] Apakah mereka mengira bahwa bahwa apa-apa jang merekautjapkan didepan umum itu tidak sampai ketelingaku? Apakah merekamengira aku tidak membatja koran, tidak mengikuti siaran-siaran Radiodan Televisi? Apakah mereka mereka mengira bahwa apabila merekamain bisik-bisik dan pas-pis-pus dalam pertemuan-pertemuan jangkonspiratif, tidak ada diantara jang diajak konspirasi itu jang setiakepada Pemimpin Besar Revolusi, dan melaporkan segala sesuatu.” 301
Bagi Sang Pemimpin Besar Revolusi Indonesia , televi si, rad io dan koran
bersama-sama dengan laporan inteli jen merupakan strategi pengawasan
gerak-ger ik terhadap aks i-aks i “kontra-revolusi”, baik di ruang publik
maupun yang tidak ter sorot. Keduanya merupakan kesatuan strategi
pengawasan: media penyiaran untuk pengawasan penyiaran dan
percakapan di ruang terbuka, sedangkan laporan inteli jen memantau
gerakan-gerakan dalam ruang ter tutup.
Dalam konteks ini , media penyiaran alat bagian dar i strategi
kontro l sos ial oleh negara. Karenanya, media harus berpihak pada salah
satunya, menjadi bag ian dar i ideologi revolusioner “NASAKOM” 302 atau
301 Pidato Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Besar Revolusi PROF. Dr. Ir. H. Sukarno padatanggal 17 Agustus 1964, TAVIP: Tahun Ber-Vivere Pericoloso (Surabaja: Penerbit Fa. GRIP,1964), hal. 19.
302Disingkat dari “Nasionalis, Agama dan Komunis”, yaitu trilogi yang dipetakan oleh Soekarnomengenai garis pembeda antargolongan dalam masyarakat Indonesia. Namun, di tengah-
224
menjadi antek “imper ial is” dan “ko lon ial is” yang “kontra-revolusi.”
Media diukur hanya dari satu seg i, yai tu keberp ihakannya. Tidak dikena l
adanya media yang “netra l” dan “obyektif”, media selalu berada dalam
konteks kepent ingan kelas dan golongan ter tentu. Dalam kacamata ini
hanya ada “kawan” atau “lawan”.
2. Diskursus [b erb ed a] tentang teknologi antara dua perio de
Adalah ins iat if pemerintahan Sukarno pula, pada menjelang pembukaan
Asian Games IV tahun 1962, untuk mendis tribus ikan TV-set Hitam putih
sebanyak 10.000 uni t kepada warga Jakarta (terutama pejabat), dengan
tujuan mendiseminasi siaran dar i TVRI303. Sebelumnya, teknologi
informasi yang dikena l pub lik Indonesia , lebih banyak didominas i
suratkabar dan Rad io, yai tu RRI yang lah ir sejak tangga l 11 September
1945304. Dalam berbagai seg i, semua sarana media ini tidak lain ada lah
tengah hangatnya pertikaian ideologi di era 1959-1965, NASAKOM bersama dengan Manipol(Manifesto Politik) berubah menjadi garis haluan negara yang wajib didukung.
303 TVRI yang pertama kali dibentuk didorong oleh adanya persyaratan dari Komite Asian Gamesyang menyatakan bahwa tuan rumah Asian Games wajib memiliki stasiun televisi. Siaranpercobaan TVRI pertama kali terjadi pada tanggal 17 Agustus 1962, dengan topik utamanyaperingatan upacara kemerdekaan RI dari Istana Merdeka, dan tentu yang paling menarikperhatian adalah pidato tahunan rutin Pemimpin Besar Revolusi. Pemancar dibangun diSenayan dengan kapasitas 1 (satu) Kilowatt. Pemancar permanen yang juga dibangun disenayan dengan kapasitas lebih besar, 10 kilowatt, baru selesai pada tengah malammenjelang pembukaan Asian Games IV, 24 Agustus 1962. Hasil wawancara dengan Alex. L.Zulkanaen, Makna dan Fungsi RRI dan TVRI: Sebuah Penelusuran Historis, dimuat dalam bukuberjudul Memotret Telematika Indonesia: Menyongsong Masyarakat Informasi Nusantara,Editor: Sony Yuliar, et al. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hal. 89.
304Selain RRI, juga ada Radio Angkatan Udara yang dikelola oleh personil AURI. Dibandingkandengan RRI yang kebanyakan menyanyikan lagu pop Indonesia, Radio milik AURI justru lebihbanyak menyiarkan lagu pop dari Barat. Kebanyakan lagu yang diputar di Radi AngkatanUdara berasal dari piringan hitam milik anggotanya yang didapatkan ketika bertugas ke luarnegeri. Sedang RRI, sebagai radio tunggal milik pemerintah (tanpa adanya media tandingan)kebanyakan disiarkan secara live dari studio, dengan seleksi ketat terhadap artis-artis yangakan tampil. Hal ini disorot oleh A. Tjahjo Sasongko dan Nug Katjasungkana, Pasang Surut
225
alat revolusi yang menunjang per juangan negara yang baru bangun
tersebut, yai tu Republ ik Indonesia.
Dalam kacamata Sukarno, teknologi informasi tidak pernah
muncul sebaga i sebuah obyek tersendir i, apalag i dibuat kebijakan yang
menunjangnya secara khusus. Pad a Keppres No. 215/1963, TVRI
disebutkan sebaga i: “.. .alat hubungan masyarakat ( mass communication
media ) dalam membangun mental/sp iri tua l dan fis ik dar ipada Bangsa
dan Negara Indonesia serta pembentukan manusia sos ial is Indonesia
pada khususnya.”305 TVR I ber sama lembaga-lembaga lain di bawah
pemerintahan Sukarno tidak lain adalah “alat” (too ls) untuk mendukung
revolusi Indonesia 306. Beg itu juga yang dia lami oleh RRI : “Sebagaimana
sudah umum ketahui, RRI yang dilahirkan melalu i gagasan besar, baik di
Musik Rock di Indonesia, dimuat dalam Prisma No. 10 Tahun XX, Oktober 1991 (Jakarta:LP3ES, 1991), hal. 49.
305Ibid., op. cit., hal. 90.
306Dalam Manifesto Politik (Manipol), Sukarno menggunakan istilah retooling yang kabur artinyauntuk mendeskripsikan tugas negara. Retooling menurut Sukarno adalah: “...menggantisarana-sarana, mengganti alat-alat dan aparatur-aparatur jang tidak sesuai lagi denganpikiran demokrasi terpimpin, dengan sarana-sarana baru, dengan alat-alat dan aparatur-aparatur baru, jang lebih sesuai dengan outlook baru. Retooling berarti djuga menghematsegala sarana-sarana dan alat-alat jang masih dapat dipergunakan, asal alat-alat itu masihmungkin diperbaiki dan dipertadjam kembali.” Lihat dalam: Penetapan Bahan-bahanIndoktrinasi (Bandung: Dua-R, tahun tidak tercantum), hal. 61. Lebih lanjut lagi, H. RuslanAbdulgani, dalam Rangkaian pidato radio untuk menjelaskan isi Manipol dan Usdek,menjelaskan sebagai berikut: “Kata ‘retooling’ adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris,dan asal dari kata ‘tool’. ‘Tool’ adalah alat; dan re-tool berarti mengganti alat jang lamadengan alat jang baru sama sekali; atau menggunakan alat-alat jang lama untuk pekerdjaan-pekerdjaan jang sama sekali baru bagi alat-alat lama itu sendiri” (Ibid., op. cit., hal. 212).Perlu diketahui bahwa istilah retooling tidak ada sama sekali dalam kamus bahasa Inggris.Sangat mungkin sekali istilah ini dibuat sendiri oleh Sukarno.
Perubahan kata tool yang merupakan kata benda menjadi “retooling” yang merupakankata kerja aktif merupakan kecenderungan teknologi dalam kacamata Sukarno di mana tidakmerupakan sebuah benda atau “obyek” mandiri tanpa kelibatan suatu intervensi dari “kerjasubyek”. Dari kutipan-kutipan di atas, terungkap bahwa bagi Pemerintahan Sukarno tidak adaperbedaan posisi antara pejabat aparatur negara sebagai “subyek”, lembaga maupunteknologi yang sama-sama harus berperan secara “benar” dalam Revolusi Indonesia. Ketiga-tiganya dikategorikan sebagai tool atau “alat” (dalam pengertian “retooling”, yaitu bagiandari suatu kata kerja aktif, bukan “obyek” pasif).Teknologi, dan khususnya teknologiinformasi bukanlah sesuatu yang spesifik dan disebutkan secara eksplisit, melainkan secaraimplisit membaur dalam keseluruhan fungsi kerja negara.
226
era Orla maupun Orba telah diperlakukan hanya sebaga i terompet
pemerintah semata.” 307
Karena itu, dalam masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin ,
teknologi sama sekali bukan sesuatu yang pernah dianggap mandir i dan
diperhati kan secara terpisah dar i bidang lain. Seluruh sarana dan aparat
negara hanya dibagi menjadi dua hal , yang mendukung revolusi atau
kontra -revolusi. Untuk mengatasi semua penyelewengan terhadap tugas
ini , Sukarno menuli skan resep khususnya yang diberi nama retool ing 308:
“Inilah arti dan isi perkataanku mengenai ‘retooling for the future’,jang tempo haru saja utjapkan dimuka D.P.R. Retooling daripada semuaalat-alat perdjoangan ! Dan konsolidasi dari semua alat-alat-perdjoangan sesudah retooled ! Retooling badan eksekutif, yaituPemerintah, kepegawaian dan lain sebagainja, vertikal dan horizontal.Retooling badan legistatif, jaitu D.P.R. Retooling semua alat-alat-kekuasaan Negara, —Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,Polisi. Retooling alat-alat produksi dan alat-alat distribusi. Retoolingorganisasi-organisasi masjarakat, —partai-partai politik, badan-badansosial, badan-badan ekonomi. Ja, djaga-djagalah, —semuanja akandiretool, semuanja akan direordening dan diherodening, dan memangada jang sedang diretool.”
Dar i sin ilah, bermula penggalakan besar -besaran berupa nas ionali sas i
terhadap seluruh “alat” mil ik “imper ial is” dan “ko lonial is” , diikut i
kemudian dengan pencekalan besaran-besaran terhadap budaya asing
yang dapat mengancam revolusi309 (atau produk budaya negara-negara
307Ibid 303, op. cit., hal. 88.
308 Tentang arti kata retooling lihat kembali pada catatan kaki No. 306.309 Kampanye anti neo-kolonialisme-imperialisme sudah di mulai sejak tahun 1959, namun
terhadap musik populer Barat belum ada tindakan nyata untuk melakukan pelarangan. Barupada tahun 1963, musik-musik Barat mulai dikecam oleh pemerintah, dan dalam masyarakatsendiri dimotori oleh organisasi seperti LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Bahkan sejaktahun 1965, RRI menghentikan samasekali memutar lagu-lagu Barat berirama twist,rock’n’roll, musik The Beatles dan lagu-lagu Indonesia yang dipengaruhi ketiga musik Barattersebut. Sukarno sendiri dalam pidatonya selalu mengecam musik Barat sebagai “lagu-lagucengeng” dan “ngak-ngik-ngok” yang dianggap kontra-revolusioner yang merusak kepribadian
227
“musuh” Revolusi Indonesia). Semua keadaan ini baru berhenti beberapa
saat setelah ter jad inya pergantian rez im.
Melalu i serangkaian kudeta berdarah, Jenderal Suharto kemudian
muncul sebagai pemegang kuasa, setelah ter lebih dahulu semua unsur
pendukung Sukarno dan PKI dil ibas habis antara tahun 1965-1966.
Setahun kemudian, diskursus “Orde Baru” lahir dengan member ikan
nuansa “Orde Lama” terhadap rez im sebelumnya. Pemerintahan Orde
Baru leb ih memilih keb ijakan yang ter tutup dalam persoa lan pol itik:
tidak ada per tentangan antarideo log i, tidak ada pidato berapi-api , tidak
massa yang berkumpul . Dalam set iap pidatonya Suharto tampil dengan
membaca teks, tidak sepert i Sukarno yang berbicara secara spontan.
Kontras dengan Sukarno yang banyak dis ibukkan dengan aks i konfrontasi
pol iti k, Suharto cenderung menekan semua pergolakan pol itik dan
berusaha mencip takan “ketertiban”, “kestabilan” dan “keamanan”.
Perbedaan ini sengaja dic iptakan, diberi sifat diskri t “baru” vs “lama”,
seolah-olah memunculkan situas i yang lebih teratur dan leb ih mekanis
dar ipada sebelumnya yang penuh pergolakan310.
dan budaya nasional Indonesia. Puncaknya pada bulan Juli 1965, tiga personil KoesBersaudara dijebloskan ke penjara setelah lagu a la the Beatles di sebuah pesta Paskah yangdiadakan di Gereja Immanuel, Jakarta. Setelah 100 hari di penjara Glodok, merekadibebaskan pada bulan September 1965. Kejaksaan Tinggi Jakarta mengancam akanmemberikan sangsi tindak pidana subversif apabila lagu a la the Beatles kembali dinyanyikan(Ibid 304., loc. cit., hal. 49-50). Hal yang sama berlaku tidak hanya musik populer Barat saja,tapi film-film Barat juga mengalami nasib berbeda. LEKRA mengambil sikap bersitegangterhadap budayawan-budayawan Manifesto Kebudayaan (yang disebutnya dengan nadamengejek sebagai “Manikebu”) yang cenderung menganut paham “humanisme universal” dimana merupakan kecenderungan yang dianut dunia sastra Barat pada masanya.
310Untuk kajian tentang perbedaan karakter penggunaan bahasa antara “Orde Lama” dan “OrdeBaru”, baca tulisan Virginia Matheson Hooker, Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan diIndonesia: Sorotan terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru, dalam kumpulan tulisan berjudulBahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Yudi Latif dan Idi SubandyIbrahim, ed. (Mizan Pustaka, 1996), hal. 56-76.
228
Kemudian, lah irlah paket Kab inet Pembangunan Repeli ta
(Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang memusatkan perhat ian
pemerintah pada per soalan -persoa lan yang lebih beragam dan teknis
sifatnya, sambil berusaha menghapuskan kenangan tentang pol itik
ideologi yang mas ih lekat dalam ingatan publik masa pemerintahan
Sukarno. Muncul pula saat itu sekumpulan teknokrat : yai tu sekelompok
ilmuwan poros Univer sitas Indonesia. Kebanyak mereka ada lah alumni
universitas-univer sitas di Amerika atau Eropa Barat yang direkrut dalam
pemerintahan sebaga i pejabat. Konon, para teknokrat tidak diangkat
sebaga i perwakilan dar i partai tertentu, melainkan diangkat karena
keahlian dan kepakarannya dalam bidang yang dipegang. Berbeda
dengan menter i era Sukarno yang didominas i oleh perwakilan dar i
partai , teknokrat di masa awal Orde Baru dip ilih berdasarkan kecakapan
teknis dan menguasai ilmu yang diperlukan311.
Dengan pola kabinet Orde Baru tersebut, pemerintah member ikan
kesempatan munculnya suatu model pemiki ran yang lebih mekanisti s
dan teknis bag i keb ijakan pemerintah, dengan demikian nuansa hiruk
pikuk pol itik semakin tengge lam ditengah mekanisme tahunan dan lima
tahunan yang terus dijalankan tanpa ada gejolak berart i.
311Munculnya Menteri Riset dan Teknologi (disingkat Menristek) pada susunan Kabinet Pelitamasa Orde Baru, merupakan penambahan unsur dari Menteri Urusan Research Nasional padasusunan Kabinet Dwikora yang diangkat pada tahun 1964. Penekanannya pada istilah“teknologi” melengkapi suatu konsep yang alpa dalam naskah-naskah maupun strukturpemerintahan Sukarno.
229
3. Diskursus tentang teknologi dalam Akselera si Moder nisasi
Pembanguna n 25 Ta hun
Lebih dar i itu , ist ilah “teknolog i” mulai muncul dalam kesadaran publik
sebaga i sebuah “realitas” ter lepas dar i ideologi massal . Sebaliknya,
teknologi , dalam diskursus Orde Baru, ada lah bag ian dar i paket
modern isasi yang dicanangkan sebaga i tugas Pembangunan Nas ional:
“Modern isasi tidak dapat dip isahkan dar i teknologi , oleh karena pada
dasarnya teknologi ada lah has il karya pemikiran menuju harmonisasi
antara manusia dengan alam secara leb ih efi sien untuk semakin
member ikan has il yang lebih besar.” 312 “Alat” yang di masa Sukarno
merupakan esensi yang tak terpisahkan dar i tujuan ideologi revolusi,
sekarang secara ontologis muncul sebagai kesejajaran dengan
masyarakat yang mampu membantu mereka untuk semakin “harmonis”
dengan “alam” 313.
Muncul dua permasalahan besar tentang relasi teknologi dan
kedudukan manusia sebagai kesatuan negara -negara; pertama, teknologi
adalah bag ian dar i kemajuan sejarah manusia yang memiliki
312Ali Moertopo, Mayor Jenderal TNI/AD, Dasar-dasar Pemikiran Tentang Akselerasi ModernisasiPembangunan 25 Tahun (Jakarta: Yayasan Proklamasi dan Centre for Strategic andInternational Studies, cetakan 2, Maret 1973), hal. 56.
313 Menurut Isa Ridwan, dalam tulisannya berjudul Ideologi dan Teknologi (dimuat HarianKompas 7/7/89), hubungan antara ideologi dan teknologi bersifat diskrit. Ideologi secarahistoris-linear berada di masa lampau, sedangkan teknologi di masa kini. Ideologi cenderungmenyuburkan dimensi budaya afektif-mistik sedangkan teknologi secara kognisi kritis.Ideologi adalah ide abstrak, sedangkan teknologi adalah benda. Ketika Ridwanmenggambarkan “teknologi di masa kini” seakan-akan yang diacu adalah rezim Orde Baruyang teknis mekanis dan dipertentangkan dengan rezim “Orde Lama” yang dalam suasanafketif-mistiknya kental. Tidak seperti “Orde Baru” yang “modern”, “obyektif” dan“terkontrol” , “Orde Lama” merupakan peninggalan sejarah yang telah usang seperti revolusiyang hiruk pikuk, “subyektifitas” berapi-api dan penuh pidato liar membangkitkan geloramassa. Lihat Max Wilar, Ideologi dan Teknologi, dimuat dalam Majalah Basis XXXIX No 2,1990, hal. 61-63.
230
potens ial itas gerak yang selaras dengan derap maju mesin
“modernisasi”. Kedua, teknologi ada lah “hasil karya” manusia namun
justru menjad i alat bantu menjembatani manusia dengan alamnya. Pada
pandangan pertama, modern isasi yang menjadi tujuan hampir seluruh
pemerintahan negara -negara di dunia mengharuskan adanya peran
teknologi dalam mencapai tujuan tersebut. Walaupun tidak sebaga i satu
has il akh ir yang diinginkan dalam kerangka cita-cita negara, dia adalah
motor penggerak menuju vis i tersebut: “Teknologi bukan tujuan
melainkan akselerator dalam proses modern isasi .” 314 Menyoroti
persoalan ini , sebenarnya sudah menjadi kesepakatan tidak tertul is
internasional, teknologi dianggap sebaga i alat bantu pendukung yang
pal ing penting dar i cita-cita negara dan dunia. Sedangkan pada ide
kedua, manusia tera lienas i dar i alam, seraya mencar i medium yang
mengembal ikan “harmonisasi”. Manusia tercerabut dar i “alam”, dan
menggantinya dengan cita-cita baru sepert i modern isasi melalu i
teknologi untuk mengembal ikan kontaknya dengan “alam”. Melalu i
“harmonisasi” ini “alam” muncul kembal i dalam bentuk yang telah
dimoderni sas ikan, atau dengan kata lain diberi cir i teknologi s. Kendat i,
teknologi sendir i dip isahkan secara mandir i sebagai sebuah “obyek”
seraya tetap harus dikejar dan dikuasai sebagai bag ian dar i kepent ingan
“subyek” negara.
Dengan mengandaikan teknologi sebaga i “obyek” mandir i dar i
“subyek” seraya tetap merupakan alat yang harus diadopsi dalam sistem
314 Ibid., op. cit., hal. 57-58.
231
pemerintahannya, negara-negara kembal i memperoleh “gerak majunya”
dalam sejarah. Dualisme ini ber laku dal am kaidah yang menganggap
masyarakat manusia harus menguasai teknologi sebagai salah satu
sumber “obyektif” bagi kemakmuran, sebaliknya teknologi juga
menentukan struktur masyarakat: “Apabila teknologi dapat dianggap
universil dalam art i dapat digunakan oleh masyarakat manapun,
pengaturan dan cara penggunaannya ada lah fungsi kondis i suatu
masyarakat.”315 Teknologi , selayaknya sebaga i “obyek” berdir i sendir i,
tidak memili ki ideologi, dan dapat diterapkan dalam masyarakat tanpa
perkecual ian, dia “obyektif” dan tak berpihak. Hanya saja, tetap
tergantung pada kondis i masyarakat itu sendiri sebaga i “subyek” yang
menerapkannya.
Kemudian dengan ber landaskan pada pemahaman ini , Ali
Moertopo, salah satu konseptor pembangunan Orde Baru di Indonesia 316
315 Ibid., op. cit., hal. 56
316 Menurut Jenderal Soemitro, konsep dari Ali Moertopo seperti yang terangkum dalam bukunyaDasar-dasar Pemikiran Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, diterima olehSuharto, presiden kala itu, hanya sebagai “menampung angin”, artinya sekedar ditampungnamun tidak dianggap benar-benar dilaksanakan. Sedangkan tujuan lainnya, hanya untukmembuat Ali Moertopo senang. Seperti yang diutarakannya kepada Heru Cahyono,Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74 (Jakarta: Pustaka sinarHarapan, 1998), hal. 21. Sedangkan penjabaran konsep-konsep yang sebenarnya dilakukanoleh sekumpulan teknokrat yang dikoordinir oleh Widjojo Nitisastro (Ibid., op. cit., hal. 22).Walaupun demikian, pandangan ini pantas diragukan, karena banyak konsep yang munculdalam buku tersebut, seperti; keluarga berencana (KB), penggunaan teknologi padat karyadan lain-lain, ternyata muncul kembali pada masa-masa selanjutnya sebagai “programpemerintah” walaupun keikutsertaan Ali Moertopo tidak pernah muncul lagi. Buku tersebutdisusun dengan mengikutsertakan sejumlah tokoh CSIS (Centre for Strategic andInternational Studies), yaitu: Panglaykim, Daoed Joesoef, Soedjati, Harry Tjan Silalahi danHadi Soesastro (Ibid., hal. 30).
232
menawarkan empat cara mengadops i teknologi ke dalam suatu
masyarakat, 317 yang terdir i dar i:
1. Imitas i, teknologi terbaru diperkena lkan dan sekaligus menjad i
shock-therapy dalam merubah masyarakat.
2. Penyesuaian, dengan mempertahankan bentuk masyarakat yang
tradis ion il digunakan teknologi yang sederhana atau yang
disesuaikan dengan tingkat kemajuan.
3. Revolusioner, merubah masyarakat ter leb ih dahulu , setelah
berhas il baru diberi teknologi sederhana atau yang disesuaikan.
4. Integral, dengan memperkenalkan baik teknologi modern
maupun yang disesuaikan dengan harapan perubahan dapat
terjad i berangsur-angsur .318
Baik dalam strategi imi tas i, penyesuaian, revolusioner maupun integral,
menunjukkan pengal ihan teknologi memili ki konsekuensi yang bermuara
pada perubahan struktur masyarakat secara mendadak, ber lahan-lahan,
maupun gabungan dar i keduanya.
Teknologi tidak lag i sekedar sebuah “obyek” yang esensinya dan
wujudnya ditentukan kepent ingan “subyek” masyarakat, sebaliknya juga
317 Ibid 312., op. cit., hal. 57
318 Menurut Ali Moertopo, metode integral adalah cara yang paling cocok untuk situasi dankondisi masyarakat Indonesia, dia dijadikan sebagai bagian dari kebijakan pembangunanIndonesia untuk masa yang akan datang: “Dalam rangka akselerasi modernisasi ini polakebijaksanaan memilih sistem integral sebagai dasar dengan merencanakan danmemperhitungkan penahapan penggunaan teknologi dilihat dari segi kondisi masyarakatnya.”(Ibid., op. cit.). Dualitas pola integrasi tercermin dalam promosi h-tech melalui industripembuatan pesawat IPTN, satelit Palapa dan pola ‘penyesuaian’ teknologi berlahan-lahandalam wacana industri padat karya atau immediate technology.
233
menuntut penyesuaian kesadaran dar i penggunanya . Melalu i konsepsi
semacam ini lah teknologi sepert i televi si dib iakkan semasa Orde Baru.
Pada tahun 1969, jumlah televi si di Indonesia telah membengkak
menjadi 65.000 uni t. Maret 1972, uni t televi si memasuki angka 212.580,
melesat hingga 1.050.000 uni t pada tahun 1978 319. Dalam jangka waktu
dua tahun kemudian angka ini membengkak hingga 1.500.000 uni t dan
7.132.462 uni t pada tahun 1984320. Telebih lag i, perkembangan dun ia
televi si di masa Orde Baru tidak ber langsung dalam kuanti tas
kepemi likan televi si per/unit, melainkan melalu i rev isi SK Menpen
No.111/1990 tentang pengaturan sia ran televi si, stasiun televi si swasta
mulai bermunculan. Ada 5 stasiun TV swasta semasa Orde Baru, namun
kel ima -limanya dikena i ketentuan penyiaran yang mengatur bahwa TVRI
sah untuk menyis ipkan tayangannya ke set iap layar bila diperlukan, dan
stasiun televi si swasta harus rela member ikan waktu dan ruang siarnya.
Hal yang sama ber laku juga untuk teknologi -teknologi lainnya, Orde Baru
tetap melakukan “sensor” ketat terhadap penggunaannya. Ledakan
pemakaian teknologi sekaligus dii kut i menguatnya peran tersentra l dar i
319 Pada tahun 1975, televisi merambah pedesaan di Jawa bersama dengan paket program OrdeBaru “Listrik Masuk Desa”. Laporan Departemen Penerangan RI melalui sebuah proyekpenelitian pada tahun 1977-1978 menyebutkan bahwa pemilik televisi: “rata-rata berasaldari golongan sosial atas yang mempunyai horison pengetahuan lebih luas serta mempunyaikepentingan terhadap berbagai informasi,” yang umumnya terdiri dari pegawai pemerintah,pedagang, tokoh masyarakat/agama dan ABRI. Dibandingkan dengan perokataan, jumlahtelevisi di desa masih terbatas jumlah pemiliknya yang kemudian melainkan fungsi yang agakberbeda dari televisi, yaitu sebagai simbol status seseorang. Pemerintah ikut menggalakansosialisasi televisi melalui pnyebaran beberapa televisi yang diletakkan pada tempat-tempatyang dijangkau oleh publik umum. Oleh: W. Hofsteede, Perubahan Sosial dan Budaya SebagaiAkibat Masuknya Televisi di Pedesaan, dalam buku berjudul Pembangunan Masyarakat:Kumpulan Karangan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hal. 72-73.
320Data ini dapat diperoleh dalam Sikripsi S1, yang ditulis oleh Sonja, berjudul Hubungan PolaKonsumsi Tayangan Televisi Dengan Kecenderungan Berperilaku Agresif dan Prososial padaSiswa-siswa SMU I Dapena Surabaya (Surabaya: tidak diterbitkan, Fakultas PsikologiUniversitas Surabaya, 1997).
234
pemerintah menjad i sebuah cir i yang muncul dominan selama masa-masa
usaha pemerintah Orde Baru “memodern isasi” kehidupan warganya 321:
“Namun dengan berjalannya Orde Baru, proporsi penyebaran TV antarajakarta dan daerah-daerah lainnya berubah dramatis. Jika pada 1966tercatat 81%TV di Jakarta dan 19% di luar Jakarta, pada 1986 proporsiini berubah menjadi 19% di Jakarta dan 81% di luar Jakarta. Jumlahtotal TV yang terdaftar juga meningkat 150 kali pada kurun waktutersebut. Dengan pola perkembangannya yang demikian, kekuatan paraperancang programa acara di Jakarta untuk mempengaruhi wawasanmasyarakat pun meningkat secara luar biasa. Pada kurun waktu yangsama pula, tidak terlihat adanya pertumbuhan daerah-daerah dalammempengaruhi pusat. Dalam program pemancar radio misalnya, daerah-daerah diizinkan untuk mempromosikan programa mereka hanyapendengar lokal.”322
Karena itu, sang pengguna teknologi bukan hanya diharapkan
menyesuaikan dir i dengan komando pusat, namun pada kesempatan lain
bisa berubah menjadi potens i menghambat : “Menjad i kenyataan dalam
usaha memperkenalkan teknologi baru selalu terdapat berbagai
hambatan. Hambatan -hambatan ini dapat ter letak dalam sis tim sosial
321Bukan hanya televisi, pada tahun 1967 muncul radio sawasta pertama di Indonesia, PT RadioPrambors. Radio ini banyak dikelola oleh anak-anak muda yang sekedar menyalurkanhobbynya. Bersamaan dengan boom minyak pada tahun 1970-an, pemerintahan Orde Barumendapatkan keuntungan ekonomi yang besar dikarenakan Indonesia sebagai salah satunegara penghasil minyak terbesar di Dunia mendapatkan keuntungan dari lonjakan hargaminyak. Boom minyak memberikan keuntungan terbesar terutama untuk pejabat tingginegara, militer dan segelintir pengusaha. Dari kelompok yang mendapat keuntungan besartersebut kemudian lahirlah dan berkembang “kelas menengah kota” yang haus akan budayamaupun teknologi dari luar negeri dan mendapatkan akses terhadap “barang mewah”tersebut dibandingkan dengan pegawai rendahan dan buruh. Kelompok ini muncul sebagaisimbol modernisme di masa Orde Baru, generasi muda yang banyak menghabiskan waktunyadengan gaya hidup berhura-hura dan “non-politik”. Pada masa itu di perkotaan mulai tumbuhsubur night club, ditambah dengan konsumsi yang haus terhadap “barang-barang modern”seperti motor, stereo set, video dan alat-alat musik. Lengkapnya, gaya hidup Barat yangditekan habisa-habisan semasa penmerintah Sukarno, mulai diadopsi sebagai bagian gayahidup dan modernisme. Terjadi peralihan istilah “pemuda” yang sebelumnya berkonotasipolitik, menjadi “pemuda” yang gaya hura-hura, a-politik, meniru gaya hidup artis-artisBarat dan menggemari barang-barang “mewah” dan “modern” (Ibid 304., loc. cit., hal.52-56).
322 Joshua D. Baker dalam Re-Inveting the Wheel: Sebuah Tinjauan Antropologis terhadapPalapa, termuat bersama artikel lainnya dalam buku Memotret Telematika Indonesia:Menyongsong Masyarakat Informasi Nusantara (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hal. 282
235
yang ber laku, sikap manus ianya, pengetahuan dan keterampi lannya,
atau dalam peralatan produksi tradis ional yang dikena lkan hingga saat
ini ”323. Teknologi dip isahkan secara segari s dengan type masyarakat;
“tekno log i tradis ional” yang menghambat dan “teknolog i modern” yang
menjadi akselerator pembangunan. Transformasi teknologi berart i
perubahan masyarakat, dengan membag inya dalam kategori “modern”
dan “tradisional”, kemudian mengga lakan peralihan dar i “tradi sional”
menuju “modern”. Melalu i serangkaian usaha dar i terencana dar i pusat,
“tekno log i modern” diharapkan berhas il “dimasyarakatkan” dan
“disos ial isasikan”.
Masyarakat yang pada awalnya sebaga i “subyek” penentu bag i
teknologi , menjad i hanya salah satu faktor yang dianggap dapat
mendukung atau menghalangi penerapan akselerator moderni sas i.
Keuniversalan teknologi tidak lag i ditafs irkan sebagai sekadar peralatan
“obyektif” yang netral , namun merupakan gar is keb ijakan nas ional yang
seharusnya diikut i oleh masyarakat: “Suhar to menggunakan sateli t,
pesawat-pesawat terbang Garuda semua bermesin jet, jet ization. Dalam
dua hal ini digunakan teknologi yang amat canggih demi menjamin
secara fis ik Wawasan Nusantara. Ini suatu jasa Suharto yang besar,
tetapi ekssesnya ialah bahwa Suharto tidak boleh dikrit ik. Rakyat tidak
boleh berbuat macam-macam yang berbeda dengan pola pikir dan
323 Ibid., op. cit.
236
pandangan dia .”324 Masyarakat menjadi sama “obyeknya” dengan
teknologi , dan menjadi bagian dar i salah satu “modal dasar
pembangunan”. Ini ada lah cikal bakal bag i warna dan arah keb ijakan
pemerintah Orde Baru ke masa depan, gar is dan panutan untuk
pembangunan yang berhaluan pada “iptek” sebaga i diskursus setand ing
dengan “imtak”325: “‘Hal itu bagi saya merupakan pembunuhan terhadap
benih-ben ih spi ritual bangsanya sendir i. Suharto leb ih mementingkan
kekuatan fis ik dar ipada kekuatan spi ritual ’. Padaha l kekuatan spi ritual
itu jauh leb ih penting dar ipada kekuatan fis ik. Iptek itu jauh lebih
mement ingkan kekuatan fis ik, makanya kita memahami, mengapa
Habieb ie mendapat peranan yang beg itu penting dar i Suharto.” 326
B. AN TA RA GLO BA LI SA SI DA N ID EN TI TA S NA SI ON AL
1. Mimpi-mimp i yan g terus berlanjut
Dorongan pemenuhan hasrat akan teknologi terus menjad i lia r, walaupun
Orde Baru secara “resmi” dianggap berakh ir. “Bayangkan... ,” ujar Onno
324Soebadio Sastrosatomo, Era Baru – Pemimpin Baru (Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik“GUNTUR 49”, Januari 1997), hal. 20. Tentang Kelanjutan pemakaian Satelit dan Industripesawat terbang sebagai perwujudan doktrin Wawasan Nusantara, baca juga padapembahasan selanjutnya dalam bagian yang sama dalam Bab ini.
325 Sementara di kalangan intelektual semasa tahun 1989, perkembangan perdebatan tidakhanya berkutat sekitar permasalahan “iptek” dan “imtak”. Mereka (Isa Ridwan, Ignas kleden,Arief Budiman, L. Wilardjo, Farid Ruskanda, F. Budi Hardiman, Max Wilar dan lainnya)memperdebatkan juga permasalahan antara dikotomi “ideologi” dan “teknologi” (Ibid 307.,loc. cit., hal. 60). Lihat juga Budi Hardiman, Teknologi Sebagai Ideologi (Ibid., hal. 71-75).
326Dibandingkan dengan jabatan Menag (Menteri Agama) yang kurang populer, Habiebie yangmenmenduduki jabatan Menristek jauh lebih dikenal dan diingat oleh masyarakat Indonesia(Ibid., op. cit.). Baca juga tulisan Anom Surya Putra dan Edy Suhardono yang berjudul: E-Government: Transisi Teknologi dalam Rule of law/justice, Bagian Ke-tiga dari buku berjudulPemikiran Transitional atas Transitional Justice, (Surabaya: dipersiapkan untuk KomisiNasional Hak Asasi Manusia oleh Tim Institut Ilmu Sosial Alternatif [IISA], Edisi Revisi, Juni2001), hal 32-51.
237
W. Purbo dar i Ins titut Teknologi Bandung (ITB), ket ika B.J . Hab ibie,
mantan Menris tek di kab inet rez im Orde Baru diangkat sebaga i Presiden
sementara mengganti kan Suharto yang mengundurkan dir i pada tahun
1998:
“Alangkah mulianya pekerjaan seorang guru yang mengajar satu jutamurid dalam waktu yang bersamaan; betapa cepatnya ilmupengetahuan tersebar. Bayangkan jika kita dapat dengan mudahberbincang dengan Presiden B.J. Habibie & para menteri pembantuyang menurut kabar telah menggunakan E-mail; alangkah indahnyahidup ini jika aspirasi rakyat banyak dapat dengan cepat mencapai &bahkan berinteraksi langsung dengan pimpinan tertinggi negara tanpaperlu takut di sensor, di ciduk, di culik oleh aparat BKO. Menjadiseorang exportir ke seluruh penjuru dunia yang berpenghasilan US$menjadi demikian mudah. Bayangkan - batas antar negara hanyaberjarak antara ujung jari anda dengan keyboard!” 327
Saat “batas antar negara hanya berjarak antara ujung jar i anda dengan
dengan keyboard”, maka jarak antara Purbo dengan presiden yang
dipuja-puja olehnya, menjadi tidak berart i lag i. Serta, dar i “kabar”
yang dia dengar bahwa Sang Presiden dan jajaran pejabat telah
menggunakan e-mai l, semakin meruap-ruaplah mimpi erotiknya. Dar i
angan-angan sebuah teknologi massal yang membantu seorang guru
melayani “satu juta” siswa seka ligus, menjadi angan -agan tentang
pemerintah leb ih demokrati s dengan mengandalkan teknologi informasi .
Tidak jelasnya maksudnya, apakah dengan memili ki e-mai l maka seorang
327 “Bayangkan - batas antar negara hanya berjarak antara ujung jari anda dengan keyboard!”kata ini paling menggambarkan keyakinan optimistik pada kemampuan teknologi, menjadikanjarak antara tubuh, keyboard dan bayangan tentang ‘batas negara’ sebagai ketunggalanpengalaman akan kehadiran kesadaran global. (Onno W. Purbo, Pergeseran Paradigma di EraGlobalisasi, Institut Teknologi Bandung, sebuah artikel tanpa tahun di domain:http://www.bogor.net/idkf/idkf/aplikasi/pergeseran-paradigma-di-era-globalisasi-08-1998.rtf).
238
presiden dan bawahannya akan menjad i tidak diktator lag i atau ada
maksud lain.
Nyatanya, mimpi erotik semacam ini bukan hanya dominasi
perseorangan, sifatnya cenderung “massa l” dar ipada “personal”. Mimpi
itu berada dalam jal inan morfologi “bayangkan...”, sebuah fantas i
penuh godaan akan kenikmatan cita-cita “mulia” di masa “fiksi”:
“Dengan ter sebarnya knowledge & kekuasaan pada rakyat, maka secara
simultan uang, kekayaan & kekuatan ekonomi akan berada langsung
pada massa yang banyak tidak lag i terpusat pada segelinti r penguasa &
konglomerat yang menyimpan uangnya di Bank-Bank asing.” 328 Teknologi
informasi menjad i sumber bagi pengetahuan dan kekuasaan bag i rakyat,
terutama dengan tersebarnya teknologi itu secara merata dan tidak
terpusat hanya pada dominasi ter sentral.
Hal ini mensinyal ir, set idaknya untuk saat ini , bahwa dorongan
pemenuhan birahi teknologi s tidak terpusat lagi pada kebijakan
pemerintah negara semata. Seiring dengan meledaknya internet pada
akhir tahun 1990-an, bersamaan dengan menguatnya arus isu -isu global
dan tengge lamnya sebuah “pusat rii l” yang dominan pada masa Orde
Baru di antara kekalutan massa, Kehausan akan transfer teknologi dar i
“luar”, baik yang dilakukan oleh negara, lembaga pendid ikan, ekonomi
maupun konsumsi masyarakat luas, terus membengkak di luar kebijakan
resmi yang dirancang pemerintah. Menurut IDC (In f ormation Data
328 Ibid., loc. cit.
239
Corporation),329 dana yang sudah dibelanjakan untuk kepent ingan TI
(tekno log i informasi ) di Indonesia termasuk tinggi . Pada tahun 2000,
diperk irakan US$ 772,9 juta, naik dar i US$ 638,4 juta pada tahun
sebelumnya. 330 Dar i jumlah ini , sek itar 57,7% dar inya ada lah belanja
perangkat keras sepert i PC dan notebook, dan sekitar 14,4% untuk
perangkat lunak. Namun, proporsi ini din ila i mas ih terbal ik dar i
kedudukan seharusnya, sehubungan dengan perkiraan bahwa pembajakan
terhadap sof tware memili ki pangsa yang jauh leb ih besar (diduga
mencapai 90%) dar i data penjua lan resmi yang dijadikan rujukan.
Sedangkan dar i 17 sektor yang melakukan pengga lakan belanja
teknologi , sektor pal ing banyak mengeluarkan uang ada lah komunikas i &
media (19,3%), dii kut i oleh discreet manufacturing (16,9%), pemerintah
(12,4%), dan perbankan (11,8%).
Kondis i ini melahi rkan paham-paham baru yang merasa teknologi
dapat berperan sebaga i aksele ras i demokratisas i atas pemeri ntahan
suatu negara. Alat kontro l bag i kekuasaan negara. Melalui arus informasi
yang membanjir dar i luar, diharapkan pemerintahan sebuah negara tidak
dapat menutup-nutupi “reali tas” yang terjad i. Dan, bersamaan dengan
cita-cita “luhur” ter sebut, merebaklah pula suatu pola konsumsi
teknologi yang semakin bernafsu. Situasi ini tidak luput dar i pengamatan
pengambil keb ijakan negara pada pejabat pemerintahan pengganti rez im
Habieb ie yang singkat itu: “Dengan terbukanya sumber informasi
329 Menurut Tabloid Kontan On-line tanggal 9 Oktober, seperti dikutip oleh Yanuar Nugrohodalam tulisannya berjudul Globalisasi, Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial, sebuahtulisan dalam format e-text, dapat ditemukan di domain: http://www.unisosdem.org/article_full ver sion.php?aid=240&coid=2&caid=30&auid=4.
330 Sebuah angka yang fantastis untuk negara dengan krisis di bidang ekonomi.
240
modern, masyarakat Indonesia telah dapat mengikuti perkembangan
yang terjad i di luar negaranya. Sebaga i akibatnya tuntutan untuk dapat
menikmati barang dan jasa yang diproduksi dengan teknologi modern
ikut pula meningkat.” 331
Dar i mimpi yang satu, berbuah pada mimpi yang lain, dar i sebuah
cita-cita “luhur” beralih pada hasrat belanja yang besar teknologi .
Teknologi informasi menjadi jendela yang merangsang bangkitnya
kebutuhan dan harapan akan teknologi yang semakin lama semakin
canggih, memikat, dan me-”mabuk”-kan sepert i sajak Yudhis tira di
bawah ini :
MABUK332
Mabuk oleh jutaan plastikKepalaku jadi elastisPerut tembus pandangUsus dari selangMataku fiberglas
Bagai mainan bikinan JepangAku berjalan sempoyonganDi bawah cahaya gemerlapanBerbagai iklan metropolitan
Bagai mainan bikinan AmerikaAku merangkak gemeretakDi bawah perintah kontrak-kontrakBerbunyi tik, tak, kakerlak
Aku mabukAku mabuk jutaan elektronikKepalaku penuh kabel listrikPandangan mataku berbinar-binar
331 Keputusan Menteri Riset dan Teknologi No.2/M/Kp/II/2000, Kebijakan StrategisPembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional 2000-2004 (Jakarta: Kantor MenteriRiset dan Teknologi, Februari 2000), hal.10
332Dikutip oleh Rachmat Djoko Pradopo dalam tulisannya berjudul Puisi Indonesia ModernPeriode 1970-1990 ( Majalah Basis XL, No. 1, januari, 1991), hal. 29-30.
241
“E-nam-ju-ta-do-larE-nam-ju-ta-do-lar..”
1982
2. Ba haya di bawah selimut dan “j imat ” Wawasan Nusanta ra
Di luar semua mimpi -mimpi tersebut, di samping keyakinan bahwa
teknologi , layaknya modern isasi, ber jalan “maju” tanpa dapat
dihalangi ,333 ketakutan akan bahaya dan akibat negati f yang muncul dar i
transfer teknologi tanpa mel ibatkan kemampuan negara untuk menjadi
mediator, ada lah dis kursus yang lah ir ber samaan dengan kebeletnya
teknologi dianggap sebagai kebutuhan mut lak: “Sembarang pesan atau
produk komunikas i yang sampai pada penduduk negara kurang-
berkembang lewat radio, TV, film, video-cassete, buku, majalah
cenderung menimbulkan berbagai hal tak diinginkan.”334 Mimpi-mimpi
menjelma menjadi ancaman dalam bentuk fantas i tentang situas i
berbahaya: “.. .harapan-harapan dan selera konsumtif yang tak mungkin
dicapai, sikap serta gaya hidup yang sama sekali tak ada hubungannya
dengan situas i negara itu sendir i dan leb ih buruk lag i, juga mengancam
333Mimpi tentang teknologi yang lebih uzur usianya datang dari Tan Malaka dalam bukunyaberjudul Madilog (ditulis tahun 1947): “Perhatikan induk mesin itu! Alangkah keras kerjanya!Asap nafasnya berbual-bualan, keringatnya kurasa panasnya. Dengarkan peluit-peluitmemberi peringatan, Ke tepi, ke tepi, aku lari! Jangan lariku terganggu! Berapa ribu kilobarang kuangkut, berapa ratus jiwa di belakangku. Perempuan, lelaki, pemuda, pemudi,kanak-kanak dan bayi. Ke tepi, ke tepi, teriakku sekali lagi. Bahaya bagimu adalah noda bagidiriku. Keselamatan semua aku tanggung, jadi mesti kutepati. Satu menit terlambatmenghilangkan namaku. Abangku masinis langsung bertanggung jawab. James Watt namamoyangku! Cepat cakap dan aman sentosa inliah semboyanku! Kesempurnaan adalah haridepanku.” Kutipan ini berasal dari edisi yang telah diperbarui (Jakarta: Pusat Data Indikator,cetakan pertama, 1999), hal. 445.
334Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Pilihan Karangan (Jakarta: cet. LP3ES,Jakarta, cetakan keempat, 1995), hal. 76.
242
untuk menind ih dan mencek ik kreativit as kultural asl i.” 335 Sepert i hantu
Erich Fromm336, teknologi menjad i ancaman sekaligus kebutuhan, karena
itu diperlukan penjinakan dalam formula leb ih “membumi” agar negara-
negara tidak terancam dar i kecanduan: “Hantu kehampaan eks istens ial
yang nampaknya menatap mereka yang juga sepenuhnya terbenam dalam
apa yang dinamakan kebudayaan kosmopoli tan moderen, dengan begini
mungkin dapat dis ingkirkan oleh suatu proses pembuahan silang yang
diperbaharui dengan kebudayaan-kebudayaan serta agama-agama dunia
yang tradis ional.” 337
Kembal i pada keyakinan Orde Baru di atas, ancaman bahaya dar i
“iptek” itu dijawab melalu i “imtak.” Namun, teknologi dan dampak
negati fnya338 tidak bisa dinegasikan beg itu saja. Melainkan dibaurkan
melalu i suatu “acuan rel igio-kul tural” untuk member ikan: “motivasi
yang leb ih kuat dan awet bagi pola-pola pembangunan yang ber sifat
pribumi,” atau dalam bahasa lain: 339
“Karena ilmu pengetahuan dan teknologi akan mewarnai keseluruhancorak kehidupan mendatang, mau tidak mau segenap lapisanmasyarakat harus dipersiapkan untuk memahami makna dan implikasikesemuanya bagi kehidupan kita sehari-hari tanpa melupakan kapasitasdan kapabilitas masyarakat setempat (local geniuses) yang memilikikarakteristik tradisional (traditional knowledge).”
335Ibid., op. cit.
336Baca Bab III.
337Ibid 334., op. cit., hal. 76-77.
338 “Pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya sendiri, mengenai tujuan-tujuannya dan mengenaicara-cara pengembangannya tidak dapat dijawab lagi oleh ilmu dan teknologi tanpa referensikepada patokan-patokan mengenai moralitas dan makna serta tujuan hidup manusia,termasuk mengenai yang baik dan yang batil dalam kehidupan manusia moderen.” Dalam:Soedjatmoko, Etika Pembebasan. Pilihan Karangan tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarahdan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LP3ES dan Yayasan Obor, cet. kedua, 1985), hal 203.
339 Ibid., op. cit., hal. 76
243
Ancaman keh ilangan suatu jat i dir i dar i “teknolog i univer sal”
kembal i dijawab dengan teknologi yang diberi aspek “re lig io-kul tural”,
teknologi menjad i ancaman sekaligus solusi 340. Di sin ilah kemudian
program-program hi -tech bukannya dihapus walaupun dianggap
berpotens i mengancam keaslian identi tas bangsa, melainkan terus
didana i dan disaklarkan (fet ish ized)341 sebagai bag ian dar i kekuatan
bangsa menghadap i ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan dar i
luar maupun dalam negeri :
“Dengan Palapa, saklarisasi artifak-artifak ‘hi-tech’ digabungkan denganpengaruh militer pada ideologi nasional untuk menghasilkan efek yangmenarik: kepercayaan bahwa dengan memiliki satelit, Indonesia akansemakin bersatu dalam cara berpikirnya tentang apa bangsa Indonesiaitu. Kesatuan persepsi tentang bangsa ini diberi nama WawasanNusantara”
Dengan demikian, sateli t yang merupakan hi -tech tidak menjadi
“hal-hal yang tidak diingankan”, walaupun pada prakteknya sateli t tidak
sekadar memper lancar arus informasi antarwilayah dalam negeri ,
melainkan juga mempermudah akses informasi dar i luar. Terlebih lag i,
340 Dalam suatu pidato di depan civitas Akademika I.T.S. (Institut Teknologi Surabaya) dalamrangka peringatan Dies Natalis lembaga tersebut, Fuad Hasan (mantan teknokrat di OrdeBaru) menyebutkan: “Teknologi sebagai salah satu matra modernisasi makin cenderungditonjolkan sebagai tolokukur untuk menilai sejauhmana tingkat modernisasi yang telahdicapai oleh suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan kiranya kalau disimpulkan, bahwadewasa ini makin menguat kecenderungan glorifikasi terhadap teknologi. Dalamperkembangannya, teknologi secara instrumental telah membuktikan kesanggupannyasebagai perpanjangan manusia, baik untuk dimanfaatkan secara konstruktif maupundigunakan dengan tujuan destruktif” (judul dan angka tahun tidak tercantum).
341“Ketika kita megatakan bahwa ‘hi-tech’ disakralkan, kita bermaksud menyatakan bahwasepanjang Orde Baru, teknologi canggih dipandang dengan cara sama sebagaimana layaknyaorang melihat jimat. Mereka percaya bahwa jika mereka dapat memilik benda-benda hi-techmaka mereka akan memiliki kekuatan yang luar biasa.” Menurut Joshua D. Baker dalam Re-Inveting the Wheel: Sebuah Tinjauan Antropologis terhadap Palapa, melalui kepemilikanterhadap teknologi tinggi seperti IPTN (Industri Pesawat Terbang Nasional), Satelit Palapadan sebagainya, Orde Baru berharap Indonesia dapat segera meloncat dari fase pertanianmenuju fase hi-tech yang merupakan ciri pembeda dari negara-negara maju (Ibid 322., op.cit., hal. 275-284).
244
sateli t Palapa samasekal i bukan teknologi yang diproduks i secara
mandir i oleh Indonesia: “Bagaimanapun, dar i seg i teknologi sateli t
Palapa bukan merupakan inovas i Indonesia , tetapi inovas i Amerika.
Indonesia hanya membel i produk jad i —dengan uang yang sebagian besar
dip injam dar i bank-bank Amerika.” 342 Sesuatu yang seharusnya asing dan
berasal dar i “luar”, bukan hanya diterima dengan tangan terbuka,
malahan menjadi bag ian dar i persepsi dan cara pandang bangsa
Indonesia mel ihat dir inya sebagai sat u kesatuan wilayah, pol iti k,
ekonomi, sos ial , budaya, pertahanan dan keamanan yang terhimpun
dalam doktrin Wawasan Nusantara.
Di sin ilah alasan mengapa teknologi tradis ional yang pada satu sis i
menghambat pembangunan, pada keadaan lain menjad i “penye lesaian”
terhadap masalah yang dit imbulkan teknologi modern. Sebaliknya,
teknologi modern yang dipercaya membawa manusia Indonesi a pada
tahap pembangunan modern, ket ika dirasakan membawa permasalahan
baru343, diselesaikan melalu i solusi asimilasi antara identi tas kul tural
dengan teknologi344. Teknologi modern, mulai diadaptas i sebaga i bagian
342 Ibid., op. cit., hal. 275. Menurut Ir. Willy Moenandir M., gagasan tentang Satelit Palapabermula dari sebuah konferensi di Jenewa tahun 1971. Adalah Hughes, sebuah perusahaanraksasa pesawat terbang yang menarwakan ide ini kepada Suhardjono, wakil Indonesia,sebelum akhirnya diterima oleh Soeharto. Soeharto menyambutnya secara positif danmemberi nama Palapa sebagai calon satelit pertama Indonesia. Selain pertimbanganideologis, satelit Palapa diadakan dengan dasar pertimbangan keuntungan ekonomis yanglebih kentala daripada sekadar masalah keuntungan ideologis. Palapa diluncurkan pada bulanAgustus, 1976 di Cape Canaveral, Frolida. (Wawancara dengan Ir. Willy Moenandir M., Ibid.,hal. 107-110).
343“Kerawanan moral dan etis muncul karena kemaksiatan dan munkarat kini juga mengalamimassifikasi. Perjudian adalah salah satu contoh yang mengalami peningkatan kualitas dankuantitas berhubung dimungkinkannya massifikasi dengan bantuan ala-alat teknologiinformasi mutakhir.” D.R. Amien Rais, Dakwah Menghadapi Era Informasi, artikel dalam bukuberjudul Demi Kepentingan Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 17.
344 “...bagaimana dakwah harus menghadapi massifikasi maksiat dan munkarat? Kita mengenalungkapan populer yang mengatakan al baqqu bilaa nidhaamin yaghlibhuu al-bathilu binidhaamin. Kebenaran tanpa didukung organisasi yang rapi akan dikalahkan oleh kebatilan
245
dar i identi tas kul tural, sambil secara was -was berusaha mencegah
pengaruh negati f yang datang dar inya. Di sin ilah teknologi bukannya
semakin tengge lam, melainkan semakin dirasakan untuk dibutuhkan.
Tidak lag i bermasalah, apakah ekspansi teknologi dapat atau tidak dapat
menjadi ancaman identi tas kul tural.
Pemerintahan kabinet presiden Gus Dur, contohnya, pada akh ir
Januar i 2001 lalu mencanangkan program yang disebutnya: “Gerakan
Nas ional Telematika” dan “Nusantara 21”. Dalam program pertama,
antara lain diambi l langkah sebaga i ber ikut: “Memasukkan TI sebaga i
kur iku lum waj ib sejak Sekolah Dasar SD.” Langkah ini dii kut i “jaring
pengaman” kul tural melalu i keb ijakan sepert i Inpres No.2/2001, yai tu
membakukan ist ilah-ist ilah komputer dalam bahasa Indonesia ,
penyusunan apl ikasi komputer bahasa Indonesia dan akh irnya
menganjurkan kepada Menris tek dan Mendiknas untuk: “menggunakan
apl ikasi komputer berbahasa Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya yang dilakukan melalu i penggunaan komputer.” Keb ijakan ini ,
di satu sis i merupakan usaha menasiona lisasi teknologi informasi melaui
jalur birokrasi , namu di pihak lain semakin menunjukkan betapa TI telah
menjadi suatu kepent ingan yang merambah hingga berbagai kepentingan
dengan organisasi yang rapi. Dewasa ini manusia modern melakukan amar makruf nahimungkar telah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi modern. Mereka benar-benar memanfaatkan secara maksimal penggunaan jasa teknologi canggih.” (Ibid., op. cit.,hal. 17-18). Bagi kelompok Islam, teknologi informasi sendiri merupakan senjata yangdigunakan “lawan”, sehingga perlu digunakan senjata yang sama untuk melakukan seranganbalik. Bukan hanya pada hal-hal yang maksiat dan mungkar, melainkan persaingan antaragama merupakan alasan yang semakin mendesak pentinya mengadopsi teknologi informasisebagai bagian dari strategi dakwah: “Saudara-saudara kita kaum Nasrani jelas sudahmenyiapkan diri dengan baik untuk menyongsong era baru pertelevisian tsb. Bagaimanadengan MUI? Muhammadiyah? NU? ICMI? Dlsb? Inilah salah satu tugas penting dalam erainformasi yang harus kita laksanakan bila kita tidak ingin melihat dakwah Islamiyah diIndonesia mengalami keterbelakangan.” (Ibid., hal. 19-20). Dikotomi Iptek dan Imtak tidaklagi terlalu menjulang seperti yang dibayangkan, masyarakat kultural ramai-ramaimengadopsi teknologi informasi sebagai bagian dari strategi menghadapi globalisasi.
246
nas ional. Dengan memasukkan TI ke dalam kur iku lum waj ib sejak SD,
pemerintahan Gus Dur yang singkat telah membuat kebijakan yang
berpengaruh besar pada masa depan nas ional, di mana ketergantungan
dan kebutuhan akan TI sem akin ditanamkan dalam benak set iap ind ividu.
TI, tidak lag i di luar struktura l pemerintahan atau sekadar fungsi
pendukung, melainkan merupakan ken icayaan mut lak. Di luar dugaan,
Gus Dur dengan tradis i pesantren dan keagamaan yang kuat serta
sebelumnya dikenal sebaga i tokoh agama, tetap saja mengandalkan
teknologi sebaga i kesatuan strategi dalam mendid ik maupun membangun
birokrasi pemerintahannya walaupun Orde Baru telah dinyatakan
berakh ir. Lengkapnya, di bawah pemerintah Megawati yang
menggantikan Gus Dur , untuk pertama kal i pada sejarah ketatanegaraan
Indonesia terbit lah UU No. I8 Tahun 2002, tentang Sis tem Nas ional
Peneli tian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi 345. Dengan demikian, kuatnya hasrat akan penguasaan suatu
teknologi yang sesuai , berdir i di luar pola-pola kekuasaan atau
kebijakan pol iti s sebuah rez im belaka. Melainkan terus ber tahan secara
hampir “permanen” dar i satu rez im ke rez im ber ikutnya sebaga i
dorongan kebutuhan yang muncul terus dalam aneka simptom beserta
semua kon tradiksi dan konfli k-konfli knya.
345 Undang-undang (UU) ini tidak benyak memberikan suatu kebijakan baru mengenai teknologi.Dalam berbagai segi, UU tersebut hanya mengesahkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek) sebagai sebuah “kekuatan” dan “sumber kemakmuran” yang harus diadopsi olehnegara seperti yang telah dicanangkan pendahulunya: “Ilmu pengetahuan dan teknologi yangstrategis adalah berbagai cabang ilmu pengetahuam dan teknologi yang memiliki keterkaitanyang luas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara menyeluruh, atauberpotensi memberikan dukungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuanbangsa, keamanan dan ketahanan bagi perlindungan negara, pelestarian fungsi lingkunganhidup, pelestarian nilai budaya luhur bangsa, serta peningkatan kehidupan kemanusian.”Lihat Bab I: Ketentuan Umum, pasal 1, poin 3.
247
3. Ke se jaja ran bers ama “warga dunia”
Suasana dilematis muncul pada situas i di mana dorongan “obyektif” dar i
semakin massifnya kesadaran global akan teknologi , ber tubrukan dengan
ketakutan kehilangan kepribadian “natural” yang disusupi kepribadian
baru tanpa akar geogra fis dan budaya. Teknologi bekerja melalu i jar ing
transenden di luar ruang-ruang kekuasaan negara, dan penguasaan atas
teknologi dilandasi tujuan nas ional yang banyak dipengaruhi
kekhawati ran akan ketert inggalan dar i kemajuan global. Seh ingga
teknologi , walaupun dis inyali r dapat menjad i momok bagi kelangsungan
identi tas nas ional, dia tetap menjad i penentu pos isi nas ional di dunia
global . Karenanya teknolog i tetap merupakan kebutuhan mendesak:
“.. .perlunya bangsa Indonesia untuk mensejajarkan dir i dalam dunia
internasional dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi .” 346
Dalam paradigma “kesejajaran”, Indonesia akan diterima sebagai bagian
masyarakat Internasional atau “warga dun ia”, bukan negara yang
mengejar dominasi penuh terhadap bangsa-bangsa lain. Dia menjadi
bagian “warga dun ia” yang “cinta damai”, dan “kepribad ian bangsa”
kin i dihadi rkan dalam “kesejajaran”, “kesetaraan” dan “kemandir ian”:
“Dengan demikian ilmu pengetahuan dan teknologi akan menyediakan
dukungan bag i pembangunan nas ional yang ber langsung secara
berkelanjutan, sehingga secara nyata akan menumbuhkan pembentukan
346 Ibid 331., op. cit., hal. 1.
248
kemandirian, ketahanan dan keunggulan dalam kai tannya dengan
percaturan global .”347
“Tujuan nas ional” ditempatkan dalam konteks baru sebaga i
bagian penentuan pos isi dalam masyarakat global . Dalam penentuan
posisi , “kesejajaran” hanya memungkinkan tar ik ulur kepent ingan
melalu i persaingan di mana juga merupakan: “kemampuan bangsa dalam
berbagai tantangan dan persaingan global, meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan hidup rakyat secara nyata dan berkelanjutan dengan
tingkat pertumbuhan dan dis tribus i yang secara pol iti s dan kultural
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.” 348 Antara tujuan nas ional dan
persaingan dalam tatanan kesetaraan global diberi penafs iran baru
sebaga i kecenderungan yang berjalan lin ier dalam kemajuan teknologi :
“Menyed iakan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mengembangkan kemampuan pengelolaan segala sesuatu yang
merupakan kecenderungan atau keprihatinan global, ser ta meningkatkan
kompat ibi litas pembangunan nas ional dengan perkembangan global .” 349
Dalam acuan pembangunan ini , teknologi , mau tidak mau, menerima
atau menentang, ber sama-sama dengan era global isa i, ada lah suatu
takdir “obyektif” yang harus ditempuh untuk tetap dapat ber tahan
dalam persaingan global. Keberadaan teknologi dalam kehidupan lokal
bukan lag i hanya sebuah pil ihan, melainkan keharusan.
347Ibid., hal. 6.
348Ibid., hal. 5.
349 Ibid., hal. 57.
249
Claude Lév i-Strauss memperhat ikan kecenderungan serupa terjad i
pada negara -negara “berkembang” di seluruh dunia: “Apa yang
dikeluhkan negara-negara “berkembang” dalam pertemuan-per temuan
internasional bukanlah mereka merasa dibuat sepert i orang Barat,
namun jus tru mereka tidak diberi cara-cara yang cukup cepat untuk
menyerap kebudayaan Barat.” 350
C. TE KN OL OG I SE BA GA I KE KU AT AN “O BY EK TI F” PE RA DA BA N
“Tidakkah kita lihat ,” tanya Lév i-Strauss, “bahwa seluruh dunia secara
progresif telah meminjam teknik -teknik Barat, gaya hidupnya, hiburan -
hiburannya hingga pakaian -pakaiannya ?” 351 Diterimanya budaya “Barat”
oleh negara-negara “non-Barat” merupakan proses universal isasi sebuah
peradaban, walaupun pada awalnya, pemaksaan penerimaan budaya
“Barat” terjad i setelah budaya “lokal” diporak porandakan ter lebih
dahulu . Keadaan ini menghasil kan suatu ket impangan peradaban antara
model-model “Barat” yang diterima sebaga i superiori tas oleh
masyarakat budaya lainnya dengan budaya masyarakat itu sendir i. 352
Namun apakah pengakuan atas superiori tas “Barat” ini sifatnya
konsensus , atau justru adalah has il suatu penjajahan oleh “Barat”?
350 Claude Lévi-Strauss, Ras & Sejarah, diterjemahkan oleh Nasrullah Ompu Bana (Yogyakarta:LkiS, 2000), hal. 48.
351Ibid., op. cit., hal. 47.
352 Ibid., hal. 48.
250
Keduanya ditolak Lév i-Strauss: “Ket idakse imbangan ini tidak
muncul lag i dar i subjektiv itas kolekt if, ... Inilah fenomena objekt if yang
hanya penyebab-penyebab objekt ifl ah yang dapat menjelaskannya .” 353
Bagi Strauss, pengakuan atas peradaban “Barat” sebagai yang pal ing
superior telah menjad i fenomena rii l dan diterima secara penuh oleh
dunia: “Terbukti sejak setengah abad yang lalu, peradaban Barat secara
keseluruhan, maupun lewat beberapa elemen ter tentu cenderung
menjadi kunci, sepert i halnya industria li sas i, yang ter sebar luas di
seluruh dun ia.” 354
Revolusi indust ri yang terjad i pada Abad 18 hingga 19 menghantar
peradaban “Barat” pada suatu peran dan posisi yang unik dalam
hubungannya dengan “non-Barat”. Menurut Strauss, revolusi indust ri
merupakan alasan mengapa “Barat” secara “kebetulan” memili ki
keunggulan teknik diband ing peradaban-peradaban lainnya. Sepert i
revolusi Neolit ikum355 yang secara serentak terjad i di Yunani Kuno,
Mes ir, Timur Tengah, Lembah Hindustan dan Cina, revolusi indust ri
berangkat dar i Eropa Barat, Amerika Ser ikat, Jepang, Uni Sovyet dan
akhirnya menyebar hingga ke daerah-daerah yang kin i di sebut sebaga i
353 Ibid., hal. 51.354
Ibid., hal. 48.355
Revolusi Neolitikum atau biasanya disebut sebagai “zaman batu halus”, adalah suatuperiodisasi perkembangan kultural dalam Antropologi yang dideterminasi pada model-modelteknik pembuatan peralatan-peralatan didominasi batu-batuan yang lebih “halus” dibandingdengan zaman sebelumnya, Paleolitikum atau “zaman batu kasar”. Diduga merupakan zamandi mana lahirnya sejumlah teknik umum seperti; bertani, beternak, pembuatan gerabah,menenun dll. yang masih banyak dipakai hingga saat kini. Dan peradaban selanjutnya lebihmerupakan usaha penyempurnaan belaka dari teknik-teknik yang muncul pada masa itu.(Ibid., hal. 52.)
251
“Dunia Ket iga”. 356 Mewaki li sifat global dan menyeluruh, teknologi masa
revolusi indust ri merupakan penyempurnaan pal ing berhas il terhadap
model-model budaya revolusi Neoli tikum, melalu i sejumlah perangkat
sepert i: ari tmatika, geometri dan ilmu-ilmu pengetahuan yang tumbuh
subur di “Barat”. 357 Dalam konteks ini , Strauss menemukan fenomena
“obyektif” dan sebab -sebabnya berada dalam perab tek nologi , serta
peradabab “Barat” sebagai pengusung utamanya.
Bukan sekedar penundukan melalu i kekuasaan pol iti s, sos ial ,
budaya ataupun ekonomi yang membuat membuat “Barat” muncul
sebaga i pusat model “kemajuan”, melainkan melalu i teknologi , revolusi
alat-alat produksi yang secara “obyektif” diakui pula masyarakat-
masyarakat lainnya leb ih “maju” dan “berkembang” diband ing “alat-alat
tradis ional”, “Barat” merengkuh kedudukannya sekarang. Ber samaan,
teknologi revolusi industri dianggap sebaga i cara terbaik memproduksi
kemakmuran. Per lahan-lahan ket ika nas ion -nas ion di Asia, Afr ika dan
Amerika Lat in terbentuk, ser ta-merta teknologi segera pula menjadi
sarana bag i mencapai cita-cita nas ional mereka.
Karena itu, ket ika seorang etnograf dar i “Barat” berkunjung ke
suku-suku miskin di Brazi l Timur dan berusaha melakukan penyesuaian,
menemukan penduduk asl i menang isi nas ibnya yang jauh dar i tempat
tingga lnya di “Barat”. Bagi mereka, “Barat” merupakan tempat yang
lebih “indah” diband ingkan Brazi l yang miskin dan ter tinggal. 358 Atau
356Ibid., hal. 61.
357Ibid., hal. 59.
358 Ibid., hal. 50.
252
juga contoh lain yang lebih ekstrim. Seorang antropolog dar i Inggr is
mendatang i sebuah desa pelosok di Afr ika Tengah untuk melakukan studi
lapangan tentang masyarakat tradis ional. Ket ika dia diundang untuk
meyaks ikan hiburan malam sebaga i penyambutan atas kedatangannya,
dalam pik irannya, dia mengira akan disambut dengan per tunjukkan
tradis ional yang unik sebaga i kebudayaan lokal. Jauh dar i bayangannya,
ternyata dia hanya dia jak untuk nonton film dar i video berjudul: Basic
Instinct!359
Melalu i semua contoh ini , has rat akan teknologi dar i “Barat”
merupakan dorongan yang muncul dan tampak dar i per ilaku publik
secara luas, tanpa hanya tersentra l pada tingkah laku negara dan
aparatnya saja. Dia diterima sebahgai sesuatu yang universal membawa
“kemajuan” dan “kemakmuran.” Kepent ingan untuk segera
mengadaptasi dan menerapkan teknologi dalam format “lokal”,
merupakan hasrat tidak kunjung padam. Teknologi memiliki kadar
obyekt ivi tas , negara -negara “non-barat” berusaha member ikan sentuhan
lokal (subyekti f) dan berharap bisa membawa masuk fungsi “obyektif”
teknologi tanpa mel ibatkan karakteri sti k “subyekti f” budaya “Barat.”
Sebuah harapan yang tampaknya mungkin berhas il, jika anggapan bahwa
transfer teknologi tidak selalu berart i asimilas i budaya dapat dibuktikan
benar.
Har lan Cleveland menolak gagasan ini , sambil menunjukkan
bahwa teknologi memiliki konsekuensi kul tural tak terelakan bagi
359Anthony Giddens, Runaway World. Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 1.
253
peradaban yang mengadops inya sebagai bagian kehidupan sehari -
har inya: “Satu abad yang lalu kekaisaran Cina membedakan antara
‘Ajaran Cina demi hal -hal yang esensial’ dan ‘Ajaran Barat demi hal -hal
yang prakti s.’ Tetapi pada masa ini , bagaimana seorang pemimpin
membedakan yang prakti s dan esensial, terutama jika yang prakti s itu
begitu esensial? ”360 Cleveland mengingatkan: “Sejumlah besar budaya
yang berdasar ilmu muncul dan diimpor dalam kemasan ‘praktis ’.” 361
Sementara itu, esensi nilai-nilai “Barat” mengintai kesempatan untuk
muncul dan eks is mempengaruhi massa “pemakainya”.
Di sin i ter jad i dilema bag i negara -negara berkembang dalam
melakukan adopsi teknologi . Sebab, walaupun teknologi dianggap
“netra l” dan “obyektif”, secara prinsipil : “Yang meleka t pada teknologi
modern ada lah gagasan Barat tentang pembatasan pemerintahan,
tentang kebebasan untuk menemukan sesuatu dan bereksper imen serta
ber inovas i, tentang hak -hak pekerja, tentang manajer yang memimpin
tetapi tidak bersikap sebaga i boss.”362 Transfer atas teknologi dar i
“Barat”, mau tidak mau, merupakan penerimaan juga terhadap nilai-
nilai kul tural dar i Barat. Karena itu, penerimaan teknologi revolusi
indust ri “Barat”, juga bermakna menerima nilai-nilai superiori tas
“Barat”.
360Harlan Cleveland, Lahirnya Sebuah Dunia Baru. Momen Terbuka Untuk KepemimpinanInternasional, diterjemahkan oleh P. Soemitro (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, edisipertama, Mei 1995), hal 18-19.
361Ibid., op. cit. hal.19.
362 Ibid.
254
Poin ini bermuara pada dua pendapat berbeda. Di satu sis i,
teknologi dianggap sebagai universal , “obyektif” dalam dir inya. Dan, di
sis i lain, teknologi notabene tidak lain adalah alat propaganda ideologi
“Barat” dan cara mengukuhkan superiori tasnya. Pada satu kutub,
teknologi tidak memili ki nilai pol iti s, teknologi hanya berart i produksi,
dukungan ekonomi, kemakmuran dan cita-cita menuju masyarakat ideal.
Pada poros lain, teknologi tidak lain ada lah alat hegemoni dar i “Barat”,
dia “subyekti f” sebaga i bag ian dar i identi tas “Barat”, sebaga i agen yang
menyampaikan “keagungan”, “keunggulan” dan “kemajuan” peradaban
“Barat "
Jika argumen per tama diterima, pandangan teknologi hanya
sekumpulan benda-benda yang berdir i sendir i, tanpa kehadiran “ide” di
dalamnya juga harus rela diterima. Namun, dengan demikian, teknologi
dapat dipertukarkan secara bebas tanpa adanya perubahan sos ial
maupun kul tural. Sebaliknya, jika pandangan kedua yang diakui ,
teknologi menjadi cir i dan mil ik masyarakat tertentu. Semata-mata has il
karya dan rekayasa ideologis sua tu kelompok untuk kepent ingan
tertentu. Ada “subyek” mut lak yang memegang kendal i secara penuh
atas teknologi .
Kedua pandangan ter sebut sama-sama membawa permasalahan
dalam dir inya sendir i. Jika pandangan teknolog i itu “obyektif” dan
“bebas nilai” diterima, maka sepert i yang dibahas sebelumnya,
mengadaptasi teknologi , berart i juga mengadaptasi sikap, per ilaku dan
pengetahuan yang dipero leh melalu i serangkaian tindakan
255
“penyesua ian” dir i yang berart i juga bahwa teknologi memili ki
karateris tik subyektif di dalam dir inya 363. Terjad i perubahan masyarakat
bersamaan dengan munculnya sua tu teknologi baru. Walaupun lah irnya
teknologi modern berasal dar i “Barat” dan dianggap merupakan bagian
dar i identi tasnya, “Barat” sendir i mengalami perubahan kul tural, nilai
maupun pandangan ber samaan dengan hadirnya teknologi baru yang
mereka kreasikan. Antara “Barat” sebelum revolusi indust ri dan “Barat”
yang dikenal sesudahnya bukan lag i struktur masyarakat yang seragam
dan sama. Demikian pula, revolusi teknologi informasi pada per tengahan
1960-an, juga member ikan perubahan def ini si bag i “Barat” itu sendir i 364.
“Subyek” mengalami perubahan struktura l ole h karena kekuatan
“obyektif” teknologi , walaupun teknologi tetap merupakan suatu
strategi yang bisa berubah batas -batasnya oleh suatu aks i dar i “subyek”.
Dis ini lah muncul suatu usaha untuk member ikan teknologi
karakter dan kontruksi yang berdir i sendir i: “Dalam skala makro,
pengembangan energi nuk lir cenderung memperkuat sentra lisasi ,
sedangkan bentuk energi yang leb ih lembut lebih mendorong adanya
363 “Kebudayaan modern teknologi itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral.Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan[...] Akan tetapi sekaligus kebudayaan itu ampuh dalam mewujudkan sistem nilai dan normayang baru yang dapat amat sangat menentukan sikap hidup nyata seseorang, bahkansekelompok orang, sebuah masyarakat sebagai keseluruhan. Menghayati kebudayaanteknologis modern berarti mempunyai faham-faham, sikap-sikap, penilaian-penilaian,prioritas-prioritas dan cara-cara berfikir tertentu.” Simak bahsan ini pada Frans MagnisSuseno, Dampak Relativisme Kebudayaan, dimuat dalam Majalah Basis XXXIX-I, Januari 1990,hal. 20. Lihat juga komentar DR. J Verkuyl dalam Etika Kristen: “sungguhlah jika kitamanusia, di dalam perkembangan teknik itu merupakan hubungan antara alat dan tujuan,yakni bahwa alat itu akan menjadi tujuan, sehingga teknik itu menjadi suatu berhala, Suatu‘Moloch’, yang menuntut anak2 kita sebagai korban” (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1992),hal. 96-97. Alat yang netral sekaligus menjadi tujuan sebagai suatu visi. Pergulatan antaraalat dan tujuan menjadikan teknologi sebagai “keajaiban” sekaligus “hantu” yang“mengerikan”.
364 “Akan tetapi meskipun kebudayaan teknologi modern jelas sekali ikut menentukan wujudkebudayaan barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakinbanyak masukan non-Barat pula, misalnya dari Jepang” (Ibid., loc. cit., hal. 19).
256
pola pembangunan yang leb ih mendekati desentral isasi. ”365 Set iap model
teknologi memili ki karakter khas dalam dir inya sebaga i struktur mandir i.
Struktur sebuah teknologi member ikan wujud bag i struktur masyarakat.
Akan tetapi , suatu penerapan kekuasaan yang khas akan merubah
karakter ini :
“Teknologi dapat dipakai dalam pelbagai cara, dengan konsekuensiyang berbeda dari distribusi kekuasaan... Di dalam komunikasielektronik, radio dan televisi cenderung memperkuat sentralisasi,meskipun teknologi yang sama dengan kebijaksanaan yang tepatmengenai programming dan kontrol, digunakan untuk meningkatkanpartisipasi rakyat, inisiatif dan pengaruh lokal.” 366
Dalam hal ini , fungsi dan kedudukan teknologi berubah terus menerus
ter ikat pada situas i ter tentu, dan terutama, adalah teknologi sekedar
bagian dar i perencanaan pengembangan suatu daerah: “Kalau kita tak
menginginkan TV menjadi alat yang memperbesar gairah buat pindah ke
kota, ia harus dij inakkan guna memenuhi berbagai kebutuhan partis ipasi
kultural di desa.” 367 Karena itu diperlukan jar ingan dar i berbagai
kelompok untuk bekerjasama demi: “mengarahkan teknologi buat
tujuan-tujuan sos ial , dan peranan sentra l dar i organi sas i sos ial serta
pembangunan sos ial dalam model ini .”
Pandangan ini menolak anggapan Cleveland bahwa teknologi dan
nilai -nilai “Barat” ada lah relasi yang mut lak , sekaligus menerima bahwa
set iap teknologi memiliki karakteri sti k tersendir i. Pandangan ini
menerima kemungkinan adanya nilai-nilai tertentu yang dibawa oleh
365 Ibid 334., op.cit. hal. 181.366 Ibid., op.cit.367
Ibid., op.cit., hal. 137
257
teknologi , namun menolaknya sebaga i harga mati yang harus dipatuhi.
Melainkan dia menawarkan teknologi bisa diterapkan dengan struktur
tertentu yang sifatnya “lokal”. Pada tahap ini kecenderungan anggapan
bahwa teknologi itu bersifat universal (bi sa disesuaikan dan
diadaptas ikan dengan mudah pada nilai -nilai kul tural lain-lain) tetap
tidak bisa ditolak, walaupun juga pendapat Cleveland, teknol ogi
membawa tugas ideologi ter tentu juga merupakan argumen yang kuat.
Hanya saja kecenderungan Cleveland akan keberadaan suatu konsep
obyekt if “Barat” yang sebaga i bagian tak terpisahkan dar i teknologi
tetap bukanlah konsep yang dapat langsung diterima koleks i. Penuli s
mencoba menawarkan alternati f, di mana “teknolog i” dan “ideologi”
adalah suatu konstruks i yang dapat dengan mudah dipertukarkan dan
tidak mandir i secara kontradik tif satu sama lain. Sebaliknya baik
“teknolog i” maupun “ideologi” ada lah dis kursus yang terus diproduks i
sebaga i strategi sal ing menguatkan pos isi masing-mas ing.
D. PE MB AU RA N AN TA RA DI SK UR SU S “T EK NO LO GI ” DA N
DI SK UR SU S “A LA M”
Dsikur sus tentang teknologi memang lah ir dan berasa l dar i “Barat”, dia
merupakan bag ian dar i proyek revolusi industr i. Dalam def ini si awalnya,
dia merupakan terminologi yang menjelaskan segala sesuatu dalam nilai -
nilai fungsiona l. 368 Kelanjutannya, wacana teknologi dibawa ke daerah-
daerah koloni sebaga i paket dar i “kemajuan” dan “ta tanan” (order),
368 Howard Dowen-Jones, Teknologi dan Dunia Ketiga, dalam Alan B. Mountjoy, Dunia Ketiga danTinjauan Permasalahannya (Jakarta: Bumi Aksara, cet.1, February, 1984), disunting oleh Dr.Prijono Tjiptoherijanto, terjemahan D.H. Gulö.
258
sekaligus sebaga i bag ian dar i mes in raksasa kap ita lisme dalam bentuk
alienasi div isi -div isi buruh: “The iso lated group of labourers to whom
any particular detail function is ass igned, is made up of homogeneous
elements, and is one of the consti tuent parts of the total
mechanism.” 369 Dar i sini, diskursus teknologi menjad i dominan, dan
terus diproduks i, baik oleh hemisfer yang menganggap teknologi itu
netral , sepenuhnya pos iti f maupun yang menganggapnya merusak.370
Teknologi menjad i fokus pembicaraan, dianggap penting sekaligus
dijad ikan sesuatu yang ber langsung di luar dar i per ist iwa alam, sekaligus
dianggap terpisah sebagai “obyek” di luar “subyek”. Kompromi dar i
keadaan ini ada lah lah irnya tri kotomi: Manusia-Alam-Teknologi .
Pada akh irnya, perbedaan yang tegas antara “alam” dan teknologi
mulai diragukan. Anthony Giddens berkata, “Masyarakat kita hidup
setelah alam berakh ir .” Tetapi, bag i Giddens bukan secara “fi sik” alam
menemui kepunahan, melainkan:
“Hal ini mengacu pada fakta bahwa hanya sedikit aspek lingkunganmaterial di sekeliling kita yang belum dipengaruhi dengan cara tertentuoleh intervensi manusia. Banyak hal yang sebelumnya dipandang alamikini tidak lagi sepenuhnya alami, meskipun kita tidak selalu bisa yakin dimana yang satu berakhir dan yang lain mulai.” 371
369Karl Marx, Capital, di sari dari versi online marxist.org, 1999. Berdasarkan versi Inggris yangpertama kali dicetak oleh Progress Publisher, Moscow, 1887. Bagian Keempat, Division ofLabour and Manufacture.
370 Tentang teknologi sebagai perusak total: “Tidak mudah mengingkari, manakala seseorangtidak lagi peka terhadap norma-norma yang benar maka mesin-mesin akan cenderungmembuat manusia menjadi salah satu komponennya. Manusia menjadi sekrup dari mesinkehidupan. Mesin membuat manusia kasar, brutal, vugal, banyak dan bodoh seperti mesin itusendiri. Semua itulah yang mempengaruhi ‘kebudayaan’ modern.” Baca tulisan FrithjofSchuon, Transfigurasi Manusia. Refleksi Antrosophia Perennialis (Yogyakarta: PenerbitQalam, cet. 1, Juli 2002), hal. 45.
371Ibid 359., op. cit., hal.23
259
Antara yang dis inyali r sebaga i “sebab -musabab alamiah”, kin i, tidak
bisa dibedakan lag i dengan fenomena yang ditenggarai sebaga i “produk
teknologi s”. Dalam hal ini , kita mempertanyakan apakah gempa bumi
yang terjad i memang fenomena geogra fis pergerakan kerak bum i, atau
sebaliknya disebabkan percobaan nuk lir ter selubung? Sama halnya kita
memperdebatkan fenomena pemanasan global, apakah faktor rusaknya
ozon karena indust ria lisasi penyebab utamanya, atau argumen baru:
perubahan reaksi nuk lir dalam matahari yang menjadi sebab utama.
Begitu juga fenomena-fenomena lainnya.
Pada ska la lebih sederhana, Masanobu Fukuoka menyebutkan
bahwa manusia kontemporer ser ing tidak bisa membedakan antara
bahan makanan alamiah dan olahan teknologi pertan ian modern melalu i
rekayasa genetika, ataupun “rekayasa-rekayasa” yang leb ih sederhana
dar i itu .372 Bahan pangan has il pengolahan genetika di seluruh dun ia,
mel iputi kedela i, jagung, kapas dan kentang, mencapai lebih dar i 35
juta hektar , dengan kebanyakan menyebar di Amerika Utara dan Cina. 373
Bahan pangan diproduksi dan did ist ribusikan bersama dengan has il
teknologi lain yang lebih sederhana untuk did ist ribusikan sebaga i
konsumsi keseharian. 374
372Masanobu Fukuoka, Revolusi Sebatang Jerami. Sebuah Pengantar Menuju Pertanian Alami(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991).
373Ibid., op. cit., hal. 29
374Bagi Fukuoka, pengertian tentang “alam” sendiri merupakan kerancuan besar yang dibuatoleh apa yang disebutnya sebagai “pengetahuan diskriminatif”: “Alam sebagaimana yangdimengerti oleh pengetahuan ilmiah adalah alam yang telah dihancurkan; alam merupakanhantu yang memiliki kerangka, tetapi tidak berjiwa. Alam sebagaimana yang dimengerti olehpengetahuan filsafat merupakan suatu teori yang diciptakan dari spekulasi manusia, hantuyang berjiwa tetapi tidak berstruktur.” (Ibid., hal. 107-108.) Di sini, “alam” tidak lebih darisebuah konsep kabur dan tidak memiliki wujud jelas, namun secara oposisional terhadap
260
Batas pembeda “teknolog i” dan “alam” tidak selalu muncul
sepert i penggambaran indust ria lisasi di atas. Melainkan, sis i yang
kultural juga mengambil bag ian sepert i kisah dukun dalam novel Ayu
Utami di bawah ini :
“Juga keterangan bahwa nenek adalah pawang hujan yang amatampuh. Eyang adalah salah satu pawang yang paling sering dipakaiPresiden untuk acara kenegaraan, ujarnya dengan bangga yangkebanyakan (barangkali kesombongan itu yang membuatnya sedari tadimenjengkelkan). Karena itu desanya telah dialiri listrik sementaradesa-desa sekitarnya gelap gulita. Sayang dia menolak telepon.Katanya, terlalu banyak teknologi akan mengurangi ilmunya.”375
Pawang hujan, adalah orang yang mampu mengatur “alam” dan
dikarenakan jasanya pada pemerintah, desa asa lnya diberi had iah
lis tri k. Di sin i, teknologi ada lah benda berharga bag i pemerintah dan
warga desa, karena dijadikan “penghargaan” dan membuat desa itu
lebih “terang benderang” ket imbang desa lainnya. Namun bag i sang
pawang hujan, teknologi yang dominan (banyak) sepert i telepon, justru
ancaman kemampuannya mengatur hujan (ilmu). Dalam konteks ini ,
teknologi bukan sekedar “hadiah” atau “kemajuan” bagi desa yang
sekitarnya mas ih gelap gul ita , walaupun lis tri k ada lah had iah atas
kemampuan sang pawang, teknologi merupakan kekuatan sebanding
dengan “ilmu” dan bisa mempengaruhi keberadaan sang pawang sendir i.
“manusia” dan “teknologi” dia dianggap eksis. Walaupun “alam” dianggap sebagaikeberadaan pertama, manusia dan teknologi dianggap sebagai keberadaan lanjutan. Namun,“alam” merupakan konsepsi yang muncul bersamaan dengan keberadaan kedua (manusia)muncul, dan setidaknya semakin kuat oleh oposisi keberadaan ketiga (teknologi) diakui ada.
375Ayu Utami, Larung, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Jurnal KebudayaanKalam, 2001), hal. 30.
261
Jika “ilmu” bisa memawangi hujan, teknologi memunahkan
kesakt ian itu. Jika sang pawang “menguasa i” hujan, teknologi berdaya
membatalkan kemampuan sang pawang. Teknologi ada lah kekuatan
berasal dar i “luar” pawang, namun mampu menginterups i kemampuan
yang ada “dalam” dir inya. Tidak sepert i hujan yang dikuasai olehnya,
teknologi ada lah fenomena di “luar” dir inya yang mas ih “liar” ,
melampaui kemujaraban “ilmu”. Sepert i hujan, teknologi membutuhkan
“ilmu” lain untuk mengendal ikannya. Tidak sepert i hujan yang
dikendalikan teknik tradis ional sepert i asap rokok, 376 teknologi
membutuhkan teknik -teknik yang belum dikuasai olehnya.
Fenomena hujan yang dikena l alamiah, kin i sama dengan telepon
yang dikategor ikan sebaga i teknologi , atau juga mungkin asap rokok.
Sekaligus, teknologi yang diyakini pemerintah dan rakyat desa di atas,
merupakan “alat” pembantu. Teknologi sebaga i “obyek” yang
dib icarakan, did iskusikan, diproduks i, dii nginkan dan dipaka i, tapi
sekaligus menjadi kekuasaan baru yang berdir i “di luar”, tidak
dibedakan dengan “alam”. Sebaga i teknologi yang bekerja di luar
“subyek”, teknologi dianda ikan berdir i sendir i dan bergerak otomat is
sekaligus dapat mempengaruhi sis i “dalam” dar i subyek.
Kehadiran teknologi di sis i “da lam” subyek secara psikologi s juga
muncul dalam alat tes psikologi . Dalam tes psikologi yang dikena l
sebaga i House-Tree-Person Test (HTP), menggambar obyek rumah dan
pohon adalah bag ian sistem simbol ik yang diyakini member ikan
376Ibid., op.cit, hal. 31. Dalam cerita, sang pawang hujan mengendalikan hujan hanya
menggunakan asap rokok.
262
gambaran mengenai kedekatan seseorang dengan sosok orang tua
(parental ). “Rumah” merupakan reprsentasi dar i ide dan emosional
“subyek” (di representasi oleh gambar “manus ia”) terhadap sosok Ibu,
sedangkan “pohon” merepresentasi sosok bapak. “Rumah” di mana
merupakan konstruksi teknologi s kontras dengan “pohon” yang
dik las ifi kas i sebagai “obyek” alamiah, namun dalam HTP keduanya
sejajar sebaga i “ibu” atau “ayah” 377. Teknologi sepert i rumah, tidak
dikena li lag i sebaga i teknik konstruks i, walaupun subyek tes HTP diberi
arahan untuk menggambarkan rumah yang sesuai dalam bayangannya. 378
Namun “rumah” dalam HTP dianggap sebaga i “ibu” yang secara sosok
memili ki cir i “alami” dalam ingatan bawah sadar sebaga i rah im.
Konsekuensinya, teknologi sepert i “rumah” dianggap sejaja r juga
dengan wujud dar i sosok “ibu”, terutama dalam sifatnya sebaga i
“perawat”. Sebaga i “perawat”, teknologi rumah menjalani fungsi
layaknya “rahim” seorang Ibu.
Di sin ilah, teknologi mengambil peran dominan, tersamar, sakral ,
merawat dan tidak sadar dalam kerja yang merupakan bag ian dar i
psikis . Dia sangat “dekat” dengan “subyek”, kalau tidak mau dikatakan
dia mir ip dengan “subyek” itu sendir i. Bersamaan, juga dikena l
“subyek” sebaga i bag ian di luar dir inya.
377Pendiskritan ini banyak dipengaruh asumsi pembagian fungsi rumah tangga antara peran ayahdan ibu. Di mana sebagai laki-laki, ayah dikonotasikan dengan kerakter yang “berada di luarrumah”, sedangkan peran ibu rumah tangga yang selalu “berada di dalam rumah”. Dalam tesini, sosok “ibu” yang lebih sering ada “di dalam” rumah secara simbolik terikat dengankonstruksi “rumah”.
378 Menggambar sebuah rumah melibatkan aktivitas merancang, mengkrontuksi dan membangunsesuatu dalam ide dalam media yang tampak. Pada hakekatnya dia adalah teknologiarsitektur.
263
E. WARGA DUNIA DALAM MEKANI SME KERJA TEKNOLOG I LAYAR
DAN TEKNOLO GI GL OBAL
1. Ins titusi -institusi regulasi fokus mas sal
Teknolog i sebaga i obyek fokus sekaligus semesta setara dengan “alam”
dalam mempengaruhi kesadaran merupakan prinsip kerja teknologi layar
atau global merupakan sebuah struktur yang juga bisa diamat i dalam
institusi media komunikas i massa “warga dunia”. Tekno log i layar muncul
sebaga i sis tem yang meregulas i “muncul” atau “lenyap” -nya topik-topik
pembicaraan dar i kesadaran ind ividu -ind ividu 379.
Secara institusional, teknologi layar atau global muncul sebaga i
institusi yang mengkaitkan, memunculkan dan mengikat s emua
diskursus -diskursus sebaga i satuan isu yang mendesak bagi “warga
dunia”:
“Masyarakat dunia, sejauh masih dapat disebut masyarakat, harusdalam praktek kongkret menangani soal lingkungan berskala global yangkenyataannya memang bukan segala-galanya, tetapi tindakan yangtepat pada waktunya diperlukan oleh jutaan orang.”380
Isu -isu merupakan media bagi massa, yai tu umpan yang dilempar untuk
menjar ing fokus-fokus dar i uni t ind ividu yang ter sebar dalam batas-
batas (frontier) antar negara, bangsa, ideologi, agama, suku maupun
379 “Individu” bukanlah satuan riil material, melainkan suatu strategi untuk memisahkan antaratubuh, jiwa dan perbuatannya: “Satu-satunya bagian tingkah laku seseorang yang dapatdipertanggungjawabkannya kepada masyarakat adalah bagian tingkah laku yang menyangkutorang lain. Dalam bagian yang menyangkut diri sendiri, kebebasannya mutlak. Seorangindividu berdaulat atas dirinya sendiri, atas tubuh dan pikirannya sendiri.” Lihat di: JohnStuart Mill, On Liberty. Perihal Kebebasan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hal. 14.Dengan demikian “individu” adalah satuan “jiwa” dan “badan”, tanpa kehadiran“perbuatan” yang dapat berpengaruh pada sosial.
380 Ibid 360., op. cit., hal. 256-257
264
keluarga. Sebaga i organisas i fokus, isu -isu mengikat secara “langsung”
perhat ian uni t ind ividu, merembes melawati batas-batas tersebut dan
menjadikannya menjad i semu.
Karenanya, isu -isu mendesak untuk dikaj i, dibahas, dan
disebarkan. Vita l bukan hanya bag i masyarakat, namun ind ividu
dianda ikan berkuasa memilih dan menentukan. Jadi, isu -isu tidak dil iha t
sebaga i kuasa dar i luar yang memaksa ind ividu mematuhinya,
sebaliknya, menawarkan individu untuk menentang, menolak,
mengkr iti k, menerima atau jus tru menguatkan isu -isu yang dilempar
sebaga i satuan fokus. Ind ividu dibebaskan berfokus pada isu ter tentu,
dan kurang memperhat ikan lainnya, atau merangkul semua isu dalam
diskur sus tunggal, terutama pendekatan komprehensif ditawarkan
sebaga i jalan “bermutu”. Ada spesia lisasi isu-isu yang pengemasannya
bisa bervar ias i dan plural ; dar i yang tampak “serius” (seper ti yang
dimotori oleh tri log i Pemerintah - NGO [Non -Goverment Organi sat ion] -
Pers dalam ideologi perjuangan tertentu, produk perundangan -
undangan, konferens i, kongres -kongres, demonstrasi dan pernyataan
resmi) ataupun dalam kemasan “hiburan” (seperti talk show film, musik,
acara radio dan acara televisi) . Dan pembicaraanya bisa mel iputi ranah
bidang kaj ian yang luas dan beragam pula: ekonomi, sos ial , pol iti k,
geografi, kependudukan, budaya, agama maupun sains.
Penyempitan fokus indiv idu dalam produk var ian konsentrasi yang
meluas menggapai “segala” persoa lan, menentukan penjar ingan fokus
individu-ind ividu ke dalam ruang global tak terbatas . Sekaligus elaborasi
265
var ian dalam wujud “konsen bersama”. Per luasan var ian muncul dalam
topik-top ik: “ancaman perang nuk lir”, “demokrat isasi pemerintah”,
“kekerasan terhadap perempuan”, “Hak kebebasan anak”,
“penghematan energi”, “ketertingga lan Dunia Ket iga”, “kesel amatan
lingkungan hidup”, “globa lisasi ekonomi”, “globa lisasi budaya”381,
“AIDS”, “Teknolog i Informasi”, “kloning” dan setumpuk isu -isu lainnya,
merupakan “ruang -ruang” konsen yang dibatasi sebaga i satuan -satuan
konsentrasi fokus “bersama”. 382
Antara isu yang satu dengan lainnya tidak ada jurang pemisah,
namun sal ing menyeberang, secara formal maupun isi . Isu
“keter tinggalan Negara Ket iga” dengan mudah dikaitkan pada isu-isu
lain sepert i; demokrati sas i”, “Hak kebebasan anak”, “Hak perempuan”,
“Globali sas i ekonomi” dll . Jika membahas isu “keselamatan lingkungan
hidup”, terkai t juga isu ; “keter tingga lan Dunia Ket iga”; “globa lisasi”;
“demokrat isasi”; “ancaman nuklir”; dan “industriali sas i”. Jarak antara
isu yang satu dengan lain, walaupun diberi batas kategoria l, namun
dapat beralih dar i isu yang satu ke lainnya tanpa batas permanen. Dar i
isu-isu yang ada akan muncul var ias i -var ias i yang baru, dan leb ih baru
381 “Globalisasi” dalam hal ini adalah bagian isu-isu yang muncul secara parsial sebagai fokusperhatian. Istilah “globalisasi” baru muncul pada tahun 1980-an sebagai bahan pembicaraanyang sengit. Berbeda dengan “globalisasi”, “teknologi global” adalah rangkaian yang bekerjadi luar kesadaran subyek, dia bergerak secara otomatis. Jika “globalisasi” berada sebagaibagian dari fokus, “teknologi global” adalah pola-pola yang mengolah fokus-fokus menjadisatuan raksasa yang tunggal. Globalisasi erat kaitannya dengan “kesadaran” (fokus),sedangkan “teknologi global” terikat dalam jaringan ketidaksadaran dengan semestateknologis.
382 Di sini, isu-isu adalah satuan yang mengikat peristiwa, kejadian, waktu dan tempat dalamsebuah pengemasan memorial dalam ingatan massal. Keadaan spesifik pada sebuah kasusdiabaikan dan diikat dalam satuan yang lebih umum dan tidak terbatas pada tempat danwaktu yang khusus, sehingga dapat direproduksi dan diulang terus menerus kemunculannyaselama diinginkan. Dibedakan dari isu-isu spesifik yang tidak memiliki ikatan spesifikasi dandianggap semata-mata hanya gosip, subyektif, tidak jelas, dan gampang dilupakan, isu-isuglobal diberi ciri keberadaan yang obyektif, dapat dijadikan kajian, menuntut dibicarakanterus menerus, serta diingat secara global.
266
lag i. Sebaliknya, ada isu yang semakin tengge lam, namun muncul dalam
bentuk lain.
“Is i” dar i isu sendiri berubah-rubah dalam penafs iran dan
penetapan tingkat vitali tasnya sebagai fokus, namun semua isu ter sebut
dianggap “penting”, “berpengaruh” dan mendesak untuk diadopsi,
dibahas, dip iki rkan, diolah terus menerus secara “bersama -sama”.
Semakin dibahas , dijadikan konsentrasi fokus, diadopsi, die laborasi
dengan individu-ind ivi du, isu -isu muncul sebagai “obyektiv itas” massal .
Ter lebih-lebih lag i, sif at dar i isu global, sepert i yang disebutkan di atas,
tidak dipengaruhi oleh relasi pro dan kontra atasny a. Pro dan kontra
adalah relasi yang pal ing “alamiah” dar i isu, keduanya berada di
dalamnya, bukan merupakan relasi yang sal ing memisahkan. Karena itu,
baik pihak pro maupun kontra, merupakan bagian kesatuan jar ingan
dalam rangka menjadikan isu sebaga i fokus bersama. Isu justru
berkembang dalam ali ran diskursus pro dan kontra, dan karenanya isu
itu sendir i menjad i “obyektif”. Subyektiv ikasi atas isu-isu dalam
pembahasan yang semakin menggloba l, bertumpuk pada koleks i
diskur sus -diskursus pro-kontra, merupakan langkah ke obyekt ivikas i ata s
isu itu sendir i. Isu -isu menampung semua kaj ian, perhat ian, bahasan,
peneli tian, observasi maupun pen ila ian atas dir inya, dia mengikat semua
bentuk fokus perhat ian itu dalam tit ik temu di depan, layaknya layar
dalam gedung bioskop. Teknologi layar atau global bekerja dalam
jar ingan antara ind ividu-individu melalu i konstelasi isu -isu yang menjadi
fokus “bersama” 383.
383 Sebagai sebuah rangkaian skematis utuh dalam pola relasi ini, lihat gambar 5.1.
267
BAGAN 5.1 Konstruksi model sistem kerja teknologi layar dan teknologi global sebagaipenerapan politik internasional.
Fokus atas isu-isu ter jad i bukan karena adanya pemaksaan untuk
menerima isu sebaga i kebenaran tungga l yang absolut, tetapi
pemfokusan terjad i karena isu itu ditolak juga diterima, dib icarakan
terus menerus, dipela jar i, dibukt ikan ataupun disanggah kebenarannya,
berkembang melalu i jar ingan dia lektika wacana-wacana. Namun, tidak
berart i isu -isu selalu berhenti pada tahap pembicaraan saja, tap i diikut i
produksi perangkat -perangkat ins titusiona l yang menyertainya , baik
dalam bentuk sepert i; plakat, lembaga, hukum, petugas penert iban,
sosok pujaan ataupun kesepakatan diam-diam. Ada juga saatnya isu -isu
muncul sebagai parameter yang mengawasi sebaga i morali tas baru:
268
“Dramatisasi permasalahan, kekhawatiran dan kebutuhan manusiamelalui TV. Bila sejumlah hal yang dengan jelas ditonton oleh berjuta-juta orang, hal itu menjadi tidak dapat diabaikan —suatu peperangan,ketidakadilan, matinya burung-burung laut. TV menjadi...suatu mesinkesadaran moral, mesin simpati dan toleransi, melampaui batas-batassosial dan geografis.” 384
Sebaga i “mesin kesadaran moral” , alat bantu kemanusiaan, teknologi
layar menjad ikan isu-isu bag ian dar i kesadaran subyektif , lah ir sebaga i
bagian dar i dir i “subyek”385. Karena itu, dalam membicarakan isu -isu ,
berart i harus menyadari kesadaran lain yang hadir: “Maka siapa pun
yang berkomunikas i dalam suatu kri sis, yang memili ki relevansi
internasional harus sadar akan khalayak global.”386 Lah irnya “kesadaran
moral”, adalah kesadaran akan kehadiran “khalayak global” di mana isu-
isu dib icarakan dan diperdebatkan. Ada lah “tugas” teknologi layar
menghadirkan “khalayak global” melalu i fokus pada isu -isu.
Membincangkan isu-isu global , juga bermakna membawa kesadaran
global sebagai bagian [dalam] dir inya. Karena itu, tanpa melalu i negara,
masyarakat atau batas geografis yang semakin har i semakin semu, kin i,
individu menjad i fokus dar i regulasi teknologi moral global .
384 John Platt, seorang futuris, seperti dikutip oleh Harlan Cleveland (Ibid 360, op.cit., hal. 17-18).
385John McConnell dalam 77 Theses on the Care of the Earth menggambarkan bagaimana“kesadaran moral global” memiliki pengaruh yang lebih besar dari kekuasaan atau otoritassuatu negara: “That constraints and requirements for Earth care will then permeate societyand provide our global conscience with moral authority and influence greater than that ofnational governments” (online document: http://www.earthsite.org/)
386Hans-Juergen Bucher, Crisis communication dan internet. Risiko dan kepercayaan dalamsuatu media global, editor: Lukas S Ispandriarno, Thomas Hanitzsch dan Martin loeffelholz,dalam Media-Militer-Politik. Crisis communication: Perspektif Indonesia dan Internasional(Yogyakarta: Friederich Ebert Stiftung dan Galang Press, cet. 1, 2002).
269
Al Gore, ket ika menjad i senator dan memimpin delegasi kongres
Amerika Ser ikat di Rio pada tahun 1992, menyuarakan morali tas global
dalam pernyataannya:
“Setiap orang di Bumi adalah bagian dari penyebab, ini menyulitkanusaha untuk menyusun tanggapan yang efektif. Tetapi setiap orang diBumi juga harus siap menanggung akibat-akibatnya, ini menimbulkantanggapan yang efektif esensial dan harus bisa dipakai untukmendapatkan suatu tanggapan — pada saat pola global itu diakui secaraluas.”387
“Setiap orang di Bumi”, bag i Al Gore, menjadi “pe laku” sekal igus
“korban”. Set iap ind ividu ada lah “subyek” sekaligus “obyek”. Sekaligus
individu dibungkam dalam kesend iriannya, dan membicarakan isu -isu
global sama dengan membicarakan perbuatan dir i sendir i. Dengan kata
lain, “di ri” global mendatangi individu dan mengajaknya bicara tentang
dir inya sendir i. Hanya ind ividu dan “di rinya” sendir i dalam imajinasi
teknologi global . Kehadiran yang lain merupakan bag ian dar i kehadiran
dir inya, dalam bentuk kesadaran yang leb ih global sebaga i orang-orang
(warga ) Bumi.
Dalam set iap isu global , individu -ind ividu mel ihat jejak
pkirannya, perbuatannya, perasaannya, proporsi pribad inya dan
mengadops inya sebaga i bagian dir i. Sepert i komidi putar, sekelompok
orang bergerak sama dalam satu alunan merasakan kehadiran lainnya,
tapi tidak berkontak secara fis ik. Mas ing -mas ing ind ividu memutari pusat
dan kemudian kembal i ke tempat semula dia berada. Dan, dia mel ihat
yang lain sama sepert i dir inya.
387 Ibid 360., op.cit., hal. 268
270
Kasus yang berada dalam jarak jauh dar i ind ividu tidak
mempengaruhi besar kec ilnya fokus yang diberikan. Wilayah kesadaran
lokal digant ikan wilayah diskur sus-diskur sus dalam skala global . Yang
terjad i kemudian, ind ividu-individu semakin ter ikat dalam kesadaran
tungga l tanpa ikatan fis ik di antara mereka sendir i. Ind ividu menjadi
ter iso lir dar i ind ividu lainnya, ironisnya, dia merasa terbebas dar i ikatan
lokal dan memasuki sebuah “pergaulan” yang leb ih terbuka dengan
“warga bumi” lain.
Di mana-mana, sikap apatis , acuh tak acuh, diam, tidak peduli
terhadap kehadi ran “khalayak global” dicap sebaga i biang dekadensi ,
kesewenang-wenangan dan kemerosotan moral. Sikap ter tutup dan
menyendiri menjad i “akar” dar i penyak it mental asosia l. Keacuhan
adalah sumber penyimpangan, atau set idak-tidaknya membiarkan
penyimpangan terjad i tanpa adanya tindakan dar i dir i.388 Sebaliknya,
sikap peduli , empati k, terbuka, aserti f, akt if dikampanyekan sebaga i
solusi adekuat bag i “masalah bersama”: “Dialog terus menerus harus
dilakukan di tingkat mikro. Yang menjad i tujuan ialah organisas i rakyat
biasa di mana penduduk setempat leb ih banyak berperan dan bukan
sebaga i obyek tindakan yang diambi l.. .”389 Isu -isu kemudian melahi rkan
tuntutan bersikap akt if berdia log, tanggap, reakti f, supel dan mudah
388“Tantangan terbesar dalam proyek demokratisasi teknologi adalah sikap enggan (reluctance)dan apatis masyarakat terhadap pengembangan teknologi walaupun mereka sadar bahwateknologi berdampak besar bagi kehidupan mereka [...] Sikap ini mucul karena cara pandangmereka dalam melihat diri mereka tidak dalam kerangka sebagai anggota publik (publicperson) yang seharusnya aktif dan partisipatif, tetapi semata-mata sebagai komponen dalamteknologi, yakni konsumen atau pengguna yang berkonotasi pasif.” Sulfikar Amir, TeknologiSebagai Stimulasi Demokrasi (Jawa Pos: Selasa, 18/06/2002, online document:http://www.jawapos.com/print/index.php?cat=news&id=83681).
389J.P. Pronk, Sedunia Perbedaan. Sebuah Acuan dalam Kerjasama Pembangunan Tahun 1990-an (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal. 362.
271
“bergaul” , menjelma jadi kebutuhan sikap “terbuka”. Semuanya per lu
dib icarakan, dibongkar, dikuak, digerakkan dan dikeluarkan dar i tempat
tersembunyi dar i mata “khalayak global” dan diangkat sebaga i isu baru.
Ind ividu-ind ividu asy ik menikmati dir inya berada di mana-mana ikut
mengintip dan membongkar isu-isu yang ada , namun merasakan ind ividu
lain mengikuti jejaknya di belakang sepert i komidi putar. Semua adalah
“subyek” dan “obyek”, sal ing mengawasi dan merasa diawas i dalam
“mesin kesadaran moral”. Tidak pernah benar-benar ada peran “subyek”
dan “obyek” yang mut lak di dalamnya.
Dalam beberapa kesempatan, kesadaran sal ing merasakan
kehadi ran “khalayak global” menjad i zaman baru yang tak terelakan
sepert i diungkapkan Arthur C. Clarke di bawah ini ;
“Kita akan memasuki apa yang dengan tepat disebut Abad Keterbukaan(the Age of Tranparency). Sebagai sebagian besar orang, banyak bangsayang tidak suka hidup dalam rumah kaca. Sejauh ini mereka itumungkin belum sadar bahwa mereka sudah melakukan hal itu ... KetikaZaman Keterbukaan tiba, kebijaksanaan politik dan militer akanterletak pada kerja sama dengan hal-hal yang tidak mungkindihindari.”390
Clarke mengingatkan semua orang, ketidaksadaran adalah langkah
menuju per ingatan untuk menyadari keadaan “obyektif” yang sedang
ber langsung. Ket ika membuka ruang kesadaran baru, yang terjad i adalah
produksi isu -isu baru. Lahan untuk sal ing mengintip dalam
“keterbukaan” yang “bebas”. Set iap orang merasa melayang sepert i
sateli t mengel ili ng bumi, mel ihat bersama ke fokus. Ber lahan-lahan
390Ibid 360, op. cit., hal. 153.
272
mereka merasakan tidak lag i ter iso las i secara ind ividu, mereka lah ir
kembal i sebaga i sebuah kepribadian baru, di saat itu juga perasaan
sal ing mengintip antara satu sama lain semakin kuat. Di antara bil ik-
bil ik halus dan transparan antarindividu-ind ividu terbentuk kompleks
ketakutan “di int ip” dan kegemaran “mengintip”, kemudian aks i timbal
bal ik ini menjad i lingkaran pemersatu yang mengikat satu sama lain
dalam suasana global dan massal .
Dalam hal ini teknologi lah ir sebaga i perangkat isu itu sendir i,
perangkat kemajuan ataupun res iko ancaman. Namun dalam ska la yang
rohaniah dan privat , teknologi bekerja memproduksi lahan kesadaran
[dan ket idaksadaran] global melalui penggerakkan fokus-fokus. Sepert i
semesta Teletubbies, kesadaran metafi sika teknologi global dan layar
ada di rangka ian “penyusutan” fokus dalam isu -isu global dan
“pelebaran” sebaga i kha layak global .
2. “Warga dunia” da n crowd
Kemiripan cir i-cir i antara “warga dun ia” dan crowd , monster raksasa
pembunuh pada pembukaan abad 20, bukan sebuah kebetu lan belaka.
Sepert i halnya “warga dunia”, yang menggerakan kekuatan crowd pada
mulanya adalah sifatnya yang tidaksadar: “Crowds, doubtless , are
always unconscious, but thi s very unconsciousness is perhaps one of the
273
secret s of their strength.” 391 Dalam beberapa hal keduanya memiliki
sejumlah perbedaan. ber ikut ini di bawah akan dibahas karakter ist ik
yang menyatukan maupun memisahkan karakter crowd dar i “warga
dunia”.
Sebaga i halnya crowd, “warga dun ia” ada lah suatu kesadaran
massal yang terbentuk dar i leburnya individu ke suatu arus
ket idaksadaran kolekt if. Dan sepert i “warga dun ia” pula, crowd
merupakan sebuah kekuatan yang dapat merangkul berbagai perbedaan
dalam suatu momen yang sama: “In its ord inary sense the word ‘crowd’
means a gather ing of individuals of whatever nat ionality, profession, or
sex, and whatever be the chances that have brought them together.” 392
Baik Crowd maupun “warga dunia”, keduanya bersifat massal , plural
namun menyatu sebagai satu kesadaran . Oleh Gustave Le Bon,
menyatunya individu dalam crowd diseja jarkan dengan konstruks i tubuh
fis ik secara geneti s:
“The psychological crowd is a provisional being formed ofheterogeneous elements, which for a moment are combined, exactly asthe cells which constitute a living body form by their reunion a newbeing which displays characteristics very different from those possessedby each of the cells singly.”393
Karenanya, apa yang ber langsung dalam crowd ada lah merubah sama
sekali cir i yang ada dalam seorang ind ividu dan meleburnya ke dalam
391 Gustave Le Bon (1841-1931), The Crowd. A Study of The Popular Mind (Project Guetenberg:http://promo.net/pg).
392Ibid., op. cit.
393 Ibid.
274
karakter massa yang sifatnya baru sama sekali . Di mana perbedaan
karakter antara ind ividu dengan crowd sifatnya sal ing meniadakan satu
lainnya: “In the col lective mind the intel lectua l apt itudes of the
individuals, and in consequence the ir ind ividuality, are weakened.”
Dibandingkan dengan karakter ind ividu yang sadar, intelek,
bertanggungjawab dan terkontrol, crowd memili ki karakter pembeda
yang sifatnya tidaksadar, emosional, semena -mena dan tidak
terkontro l394. Dalam kesempatan lain, crowd bahkan muncul sebaga i
sebuah “organ isme” baru dengan kepribadian yang berbeda secara total
dengan ind ividu: “Massa bukanlah tjuma Rakjat dje lata jang berdjuta-
djuta sadja. Massa ada lah Rakjat dje lata jang sudah ter luluh mempunjai
semangat satu, kemauan satu, roh dan njawa satu. Massa ada lah berart i
d e e g, d j e l a r d r e n, l u l u h a n.” 395
Ind ividu kehilangan cir i khasnya bersama bangki tnya “roh” dan
njawa” yang “terlu luh” itu, dideterminas i dan disubvers i oleh sesuatu
“kesadaran raksasa” yang di luar kuasanya sebaga i ind ividu: “He is no
longer himself, but has become an automaton who has ceased to be
guided by his wil l.” 396 Selanjutnya, dalam crowd, ind ividu -ind ividu
melalu i serangkaian tahap tergerak secara kolekt if pada suatu aks i-aks i
brutal : “It is in thi s way, for instance, that a happy expression, an
image opportunely evoked, have occasionally deterred crowds from the
394Ibid. Bandingkan ciri pembeda yang dibuat Gustave Le Bon ini dengan kritik terhadap budayapopuler di depan (Bab I yang mebahas Ideologi budaya populer), di mana budaya populerdianggap tidak intelektual dibandingkan dengan higher culture yang sifatnya lebih rasionaldan inteletktual.
395 Soekarno, Mentjapai Indonesia Merdeka (Djakarta: Departemen Penerangan R.I., 1959), hal.57.
396 Ibid 391.
275
most bloodthir sty act s.” 397 Dalam hal ini , crowd menjadi raksasa yang
bergerak secara mandir i dan mengatasi semua cir i yang dianggap ada
pada ind ividu: “Massa-aks i buka ‘vergader ing -vergadering openbaar jang
berbarengam’. Massa-aks i tidak bisa ‘di per intahkan’ atau ‘dibik in’
orang, tidak bisa dipaberikkan oleh pemimpin.. .” 398 Karena itu
ket imbang sebuah perkumpulan yang benar-benar terorgani sir rap i dan
ter[atur] , crowd yang dimaksud adalah sekerumunan orang yang
bergerak secara otomat is, otoriter, liar namun mudah ter sugest i oleh
sebuah stimulus yang tepat untuk bergerak dalam aks i yang seragam.
Dalam kesempatan lain, sikap ini ditafs irkan sebaga i “semangat
radika l”: “Semangatnja massa, kemauannja massa, keberaniannja
massa, ‘ap inja’ massa, bukanlah sama dengan semangat atau
kemauannja Marhaen saut-per satu, bukanpun sama dengan djumlahnja
semangat atau kemauan Marhaen-marhaen itu semuanja[ ... ] ‘Api massa’
ini lah melahi rkan ‘perbuatan-perbuatan’ massa jang hebatnja bisa
menggojangkan sendi-sendi masjarakat, ja sampai mengugurkan
masjarakat dengan segala sendi -sendi dan alas-alasnja.” 399
Walaupun memili ki kesamaan cir i sebagai automaton dan
merupakan “kesadaran global” yang tampak mandir i, pada tit ik ini
terjadi jurang pemisah yang luas antara crowd dengan “warga dun ia”.
“Warga dunia” tidak memili ki “kesatuan aks i”, “kesat uan roh”,
“kesatuan jiwa” ataupun “ap i massa” yang menyala-nya la. Ter leb ih lag i,
“pertemuan” antara “warga dunia” tidak berkonsentrasi secara fis ik di
397Ibid.
398Ibid 395., op. cit., hal. 59.
399 Ibid., hal. 56-57.
276
jalan-jalan, lapangan atau gedung-gedung, melainkan ind ividu-ind ividu
duduk dengan tenang dan khidmat di depan layar. Dan walaupun tidak
ada layar yang tampak, dan terjad i suatu perkumpulan, pergerakan
“warga dunia” leb ih bersifat terkonsentrasi ke cir i-cir i yang ind ividua l
dan asing satu sama lainnya:
“Gambaran secara efisien, otomatis dan efektif dapat diperoleh darisuasana pelabuhan-pelabuhan udara kota-kota besar di dunia sepertiNew York, Chicago, Dallas, Tokyo, London, Paris, Frankfurt dan lain-lain, Manusia berbondong-bondong digiring di atas ban berjalan melaluilorong-lorong tertentu menuju kamar tunggu; menunggu sambil melihatlayar short circuit yang memberitahukan jadwal-jadwal penerbangan.Antara yang bepergian tidak ada yang bicara. Masing-masing bacakoran, majalah, atau buku. Tidak ada yang mengumumkan sesuatu.Semua dapat dilihat pada layar TV.”400
Walaupun tampak berbondong-bondong, ber jumlah besar, massa yang
menunggu di bandara masing-mas ing terpaku pada kegiatannya masing-
masing. Tidak ada keseragaman fis ik maupun mental sepert i yang terjad i
pada crowd di mana tampak uni ter dalam berbagai wujud
penampakkannya maupun kesadarannya . Massa “warga dunia”
teralienasi secara ind ividua l, namun sal ing terkoneks i dalam satu arus
yang diatur dibalik layar. Tidak ada keseragaman interpretasi antara
satu dengan lainnya, walaupun terjad i keragaman interpretasi ,
penyelesa ian melalu i aks i pertikaian fis ik “haus darah” dan “radikal”
bukan saluran yang sesuai dengan mekanisme kerja “warga dun ia”.
Pertentangan dan permusuhan antar individu-ind ividu diolah melalu i
sebuah mekanisme komunikatif . Kesamaan antara “warga dun ia” bukan
pada wujud subtansi fis ik maupun mental , melainkan hadir dalam pola-
pola struktura l sebaga i sebuah mekani sme yang menciptakan suatu
400 Ibid 15., op. cit.
277
kecenderungan-kecenderungan di mana mengarahkan massa secara
tersulubung. Sebaliknya, crowd atau massa-ak si tidak memili ki struktur
yang pasti dan menetap, namun memili ki perwujudan gerak fis ik dan
mental yang searah.
Berbeda dengan “warga dunia” yang (lebih ) banyak berbicara
tentang kedamaian dan (jauh) leb ih mawas dir i, crowd ada lah momok
“haus darah” bag i lawan-lawannya. “Warga dunia” sama sekali tidak
memili ki karakter aks i–aks i “radikal” ataupun “haus darah” dan tidak
memili ki tekanan yang kuat akan kepast ian suatu aks i fis ik dan mental
yang seragam dengan sasaran yang jelas. Tidak ada sasaran dan alasan
seragam yang menggerakkan “warga dunia”, ter leb ih lag i tidak ada
kewajiban untuk ber[gerak] atau ber[aksi] untuk mereka. “Warga dunia”
hidup bersama-sama dan bergerak memenuhi kecenderungan-
kecenderungannya dengan sasaran atau alasan yang plural dan berbeda,
dengan keyakinan ind ividu mas ing-mas ing . Walaupun bergerak dalam
pola-pola yang sama, “warga dunia” tidak memili ki konsentrasi yang
khusus pada ruang dan waktu yang lokal dan “mater ial”. Sifat dar i
“warga dun ia” ada lah massal , umum, mengambang dan glo bal , sekaligus
ter ikat dalam satuan -satuan yang tetap memisahkan mereka sebaga i
“indiv idu-ind ividu”. Mereka mandir i tetapi “saling tergantung dalam
pola aks i reaksi antara satu sama lain”, yang ser ingkal i dikena l dengan
ist ilah interdependensi.
Sebaliknya, crowd yang dikenal Gustave Le Bon memili ki tampang
ber ingas, otoriter dan memaksakan kehendaknya dengan ancaman
kekerasan fis ik. Seh ingga antara Abad 19 hingga awal abad 20, crowd
278
menjadi alat pol iti k yang pal ing digemari oleh kaum Jacobin Peranc is,
buruh-buruh komuni s-sos ial is, kaum anarki s, dan terutama kaum
Nas ionali s Asia untuk memperoleh dukungan pol iti s atau menjatuhkan
lawan-lawannya atau meraih kemenangan pol iti s.401 Tak elak lag i, crowd
yang diarahkan dan diprovokasi oleh suatu pihak ter tentu untuk
mencapai sasaran-sasaran yang dibenc i dan ing in dijatuhkan, segera
menjadi monster bag i musuh-musuhnya. Beberapa contoh keberingasan
crowd atau massa sepert i; pemancungan Raja dan Ratu Peranc is pada
era Revolusi Peranc is, pembantaian Bolshevik terhadap keluarga raja
Tsar di Rus ia hingga pembantaian pendukung Sukarno dan simpat isan PKI
pada peralihan ke Orde Baru di Indonesia ada lah contoh -contoh
legendari s bagaimana kebiadaban crowd atau massa terjad i. Crowd
dapat bergerak secara “otomatis” (atau digerakkan) untuk menjatuhkan
suatu kekuasaan dan menghancurkan rez im yang sudah sekarat, dengan
kata lain, crowd dapat menciptakan suatu pembaruan sos ial : “Massa-aks i
adalah aks inja Rakjat dje lata jang, karena kesengsaraan, telah ter luluh
mendjadi satu djiwa baru jang rad ika l, dan bermaksud ‘memaradj ikan’
ter lah irnja masjarakat baru!” 402 Dengan demikian, Crowd bisa menjad i
senjata pol itik yang dapat mematikan sua tu sis tem, tetapi sebaliknya,
401 Sukarno, pemimpin kaum Nasionalis Indonesia mengancam musuh-musuhnya dengan crowdyang bergerak dengan sugesti darinya: “Neen Meneer, kalian takut akan kebangkitannjamassa, kalian takut kepada Rakjat, Rakjat yang tentu sadja beraksi atas andjuran-andjuranku untuk ber-massa-aksi!” (Ibid 301, op. cit., hal. 20). Contoh lainnya adalah TanMalaka, salah satu pemimpin Komunis-Nasionalis yang mengandalkan senjata serupa denganSukarno: “Hanya ‘Satu Massa Aksi’, yakni satu massa aksi yang tersusun akan mendapatkankemenangan di satu negeri berindusteri seperti Indonesia!” Selanjutnya dia berkata: “Bilaburuh yang berjuta-juta meletakkan pekerjaannya dengan maksud tertentu, memaksameminta keuntungan ekonomi dan politik, niscaya kerugian dan kekalutan ekonomi yangditandai oleh aksi mereka dapat melemahkan kaum penjajah yang keras kepala itu.” TanMalaka memilih “pemogokan dan pemboikotan” sebagai alat massa aksi yang paling efektifuntuk melawan “kaum penjajah”. Lihat tulisan Tan Malaka yang berjudul Massa Aksi(Jakarta: Komunitas Bambu, 2000), hal. 82.
402 Ibid 395., hal. 57.
279
member ikan sumber kekuatan bag i pihak yang didukungnya 403. Dengan
kata lain, crowd dapat menghancurkan juga dapat melestarikan suatu
kekuasaan.
Sebaliknya, “warga dun ia” sebaga i salah satu tipe crowd , kalau
tidak bisa dianggap berbeda secara keseluruhan, tidak memili ki
pengelompokkan yang kentala dalam relasi diskri t antara pihak yang
mendukung atau menolak suatu gagasan. Tidak ada “kekerasan fis ik”
atau “radikal” dalam aksi interaksi dan komunikas i antarindividu sebaga i
“warga dun ia”. Terutama tidak ada aks i anarki s dar i “warga dun ia” yang
dapat menjatuhkan suatu otoritas kekuasaan. Hal ini banyak
dikarenakan oleh sua tu faktor yang tidak pada bentuk crowd klasik ,
yai tu suatu perkumpulan massa yang tidak mel ibatkan “fi sik” maupun
aks i langsung, melainkan terbentuknya “warga dunia” lebih banyak
ber langsung melalu i kesadaran antar ind ividu yang sal ing berkontak satu
sama lain, tanpa memerlukan suatu per temuan lokali tas . Impuls -impuls
dan dorongan primit if yang menjad i motor penggerak bag i crowd
disalurkan pada suatu ruang yang dirasakan “subyek” leb ih bebas
bergerak dan tidak berbahaya untuk orang lain. Dalam hal ini teknologi
layar menjad i katars is bagi dorongan primit if crowd, dan kemudian
menghasil kan suatu jen is massa yang leb ih terkontro l secara fis ik,
namun tetap akt if dan partis ipatif secara mental dalam diskus i dalam
set iap agenda isu-isu global yang terus bermunculan sebaga i fokus
bersama.
403Menurut Gustave Le Bon, Napoleon Bonaparte adalah salah satu pemimpin yang memehamikarakteristik dari crowd dan memanfaatkannya untuk memperkuat kekuasaannya ( Ibid. 363).Dalam berbagai contoh, crowd sengaja diciptakan untuk melakukan kampanye politik sepertidalam Pemilu (Pemilihan Umum) di Indonesia.
280
Ind ividu-ind ividu mendapatkan ruang baru tanpa merasa harus
ter iso lir secara psikologis, walaupun keberadaannya sebagai ind ividu
tetap ter iso lir secara lokal dalam imajinya sebagai uni t-uni t mandiri .
Sebaliknya, secara mental relasi antara mereka dirasakan tidak lag i
terpisah dan ter tutup dar i “dunia luar”. Keber[ada]an psikis dip isahkan
dar i kehadi ran tubuh dan aks i, sepert i aksi diasingkan dar i psi kis dan
tubuh. Ada psikis yang bergerak tanpa tubuh, dan ada aksi yang
teralienasi dar i kesadaran, serta tubuh yang berpik ir tanpa psikis 404.
Ket iganya menjad i satuan -satuan yang teralienasi satu sama lainnya.
Secara tidaksadar ind ividu-ind ividu dijalin oleh suatu program bersama
dengan teknologi layar sebagai fokus yang terasing dar i tubuh dan
aksinya sendir i. Jurang perbedaan antara ciri individu yang ras ional dan
bebas dengan cir i crowd yang irasional dan mengikat berhas il
diminimalkan dalam wujud massa yang baru sebaga i “warga dunia”.
Crowd, yang bergerak dengan meluluhkan perbedaan antara aks i, tubuh
dan psikis dalam per temuan yang lokal dan menetap di[ jinak]an
kemudian dengan melakukan pemisahan terhadap ket iganya, seraya
membatasi persenyawaan yang menyeluruh antara ket iganya dengan
menawarkan alternati f pertemuan leb ih global dan abstrak. Has ilnya
adalah suatu pola-pola massal yang unik dan belum pernah muncul
sebelumnya, di mana pada bag ian awal kita sebut sebagai:
404Dalam sinkronisasi, tubuh dan psikis dipisahkan dari kerjanya. Kerja teknologi mengambil ahlikerja tubuh dan pikiran. Aksi tidak lagi merupakan kelanjutan kontinum dari tubuh dan psikismelainkan di[antara]i oleh teknologi sebagai medium. Sedangkan tubuh kemudian bergeraksecara otomatis mengikuti suatu penyesuaiannya dengan teknologi sebagai mediumnya, danpsikis yang melayang-layang dengan bebas menikmati suatu perhelatan “tanpa keikutsertaantubuh”. Tubuh “ditinggalkan” kesadaran, bekerja secara mandiri sebagai sebuah “sumberenergi” yang bermanfaat untuk bekerja bersama sebagai bagian dari fungsi teknologi.
281
“keseragaman yang tidak seragam”405. Dalam hal ini mekani sme ker ja
teknologi layar dan teknologi global, di satu sis i merupakan strategi
melakukan kontro l secara langsung melalu i ket idaksadaran terhadap
crowd, juga merupakan suatu kreasi ruang dan waktu baru yang
member ikan kesempatan pada ind ividu untuk lahir kembal i dalam situas i
di mana impuls -impuls primit ifnya mendapat penyaluran bukan dalam
wujud lokal dan seragam melainkan terpisah-pisah secara plural dalam
arus yang global .
3. Teknologi layar dan teknologi global seb agai reg ulasi
ledakan pop ulasi406
Teknologi layar dan teknologi global merupakan mekani sme di mana
crowd atau massa merupakan salah satu sarana utama, selain fokus layar
dan “imajinas i” yang dibangun ind ividu tentang dir inya sebaga i bagian
sejajar dengan “warga dun ia”. Teknologi layar dan teknologi global
bekerja justru dal am populasi yang besar dan “ruang fis ik” terbatas
sepert i yang dia lami oleh banyak negara akh ir -akhir ini . Ledakan jumlah
kelahi ran yang besar dengan angka kematian rendah, ada lah ancaman
bagi “warga dun ia” sekaligus merupakan bag ian dar i tugas dan kekuatan
dar i teknologi layar dan teknologi global. Mengenai pola perkembangan
405Baca kembali kajian tentang pola-pola budaya massa di Bab I.
406 Bagian ini hanya merupakan sebuah penyajian bagaimana model teknologi layar danteknologi global berfungsi secara teknis sebagai alternatif strategi untuk mencapai beberapatujuan yang kongkret. Karena itu sifatnya tidak akan terlalu mendetail, dikarenakandibutuhkan literatur, data dan metode analisis yang lebih beragam untuk memperoleh kajianyang mendalam dan lengkap. Hal ini belum bisa dipenuhi oleh tulisan ini. Selain akanmembutuhkan kajian yang semakin lama semakin kompleks, untuk saat ini bagian inimembutuhkan waktu dan tenaga yang besar dan tak terbatas. Inilah alasan mengapa bagianini ikut dilampirkan pada bagian ini, yaitu sebagai pengingat bahwa tidak ada akhir yangabsolut dalam mengkaji fenomena seperti teknologi latayar. Waktu terus berjalan, dan apayang diamati oleh penulis saat ini mungkin tidak akan berlaku sama untuk masa mendatang.
282
kuanti tas penduduk, pasang surut pertumbuhan populasi dar i beberapa
runtutan per iode yang terjad i di bawah menjadi salah satu contoh :
TABEL 5.1 Arus fluktuasi pertumbuhan populasi denganpembagian menurut kohor/periodisasi di Amerika sebagai contohkecenderungan pertumbuhan populasi407.
Kohor(Periodisasi) Tahun kelahiran Usia di
2001
Jumlah rata-rata kelahiran
per/ tahunUkuran
Pra-PerangDunia I Sebelum 1914 88+ 201,000 Relatif
kecil
PerangDunia I 1914-1919 82-87 244,000 Relatif
kecil
1920-an 1920-1929 72-81 249,000 Relatifbesar
MasaDepresi 1930-1939 62-71 236,000 Relatif
kecil
PerangDunia II 1940-1945 56-61 280,000 Relatif
besar
Baby boom 1946-1965 36-55 426,000 SangatBesar
Baby bust 1966-1979 22-35 362,000 Relatifkecil
Anak-anakdarigenerasibaby boom
1980-1995 6-21 382,000 Relatifbesar
Anak-anakdarigenerasibaby bust
1996 on 0-5 344,000 Relatifkecil
Pada per iod isasi di atas, baby boom yang terjad i pada paska Perang
Dunia II merupakan sebuah fenomena yang dia lami oleh bukan hanya
407 Shifts in the population size of various age groups, (online document:http://www12.statcan.ca/english/census01/Products/Analytic/companion/age/population.cfm
283
Amerika, namun sejumlah negara lainnya dalam corak jumlah dan
propos isional yang berbeda atau beragam.
Berbeda dengan tabel 5.1, data pada tabel 5.2 menyaj ikan
penurunan tingkat pro sentase per tumbuhan yang menurun terus menerus
sejak tahun 1960-2000, terkecual i pada beberapa bag ian daerah.
Menurut perkiraan, pada tahun 1990 penduduk dun ia berjumlah 5,3
mil lia r. Dar i 80% jumlah ter sebut ada lah ber tempat tingga l di negara-
negara Asia dan Afr ika. Pertumbuhan penduduk per/tahun ter tinggi
tercatat terjad i di daerah Sub -Sahara Afr ika. Sayangnya data dalam
tabel 5.2 tidak member ikan gambaran laju pertumbuhan penduduk dun ia
sebelum tahun 1960. Antara tahun 1950-1955, tingkat pertumbuhan
populasi dun ia mencapai angka 1,79 juta. Meningkat pada antara tahun
1970-1975 menjad i 1,96 juta jiwa, dan jumlah ini baru menurun hingga
1,74 juta pada per iode 1985-1990408. Data di bawah disusun dengan
per iodisasi sedemikian rupa hingga hanya menunjukkan secara progres if
bahwa: “laju per tumbuhan penduduk di seluruh dun ia berkurang secara
berangsur -angsur” 409.
408Data ini diringkas dari tulisan K. Srinivasan, Critical Factors affecting Population Growth inDeveloping Countries, dalam buku berjudul Population – the Complex Reality. A report ofPopulation Summit of the World’s Scientific Academies (London: The Royal Society, 1994),diedit oleh Sir Francis Graham-Smith, F.R.S., hal. 183.
409 Ibid 389, hal. 18.
284
TABEL 5.2 Pertumbuhan penduduk dunia antara tahun 1960-2000410
Pertumbuhan penduduk rata-rata setahun (%)Kelompok Negara 1960-1970 1970-1980 1980-1990 1990-2000
(a)
DuniaNegara MajuEropa Timur (termasukUni Soviet)CinaNegara Berkembang lain
Afrika UtaraSub-Sahara AfrikaAsia Selatan dan Timur(b)Asia baratAmerika Latin
Negara SedangBerkembang
2,01,1
1,02,42,5
2,52,6
2,43,22,7
2,4
1,90,9
0,81,92,5
2,63,0
2,33,42,4
2,6
1,80,6
0,71,42,4
1,83,1
2,23,72,2
2,6
1,70,5
0,61,32,3
2,33,3
2,03,21,9
2,9
Catatan: (a) untuk tahun 1990-an atas dasar proyeksi (medium variant)(b) Tidak termasuk Cina
Walaupun ”penurunan” ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa
penduduk dun ia semakin berkurang, melainkan: “.. . penduduk dunia
tahun 1990 akan ber tambah dengan 90 juta”, bahkan sebelum tahun
2000, jumlah populasi dunia akan terus membengkak hingga 6,3 mil lia r
jiwa411, dan 8,1 mil lia r jiwa menjelang tahun 2020412. Art inya, laju
perkembangan jumlah keseluruhan kuantitas penduduk dun ia tidak
ter lalu terpengaruh oleh penurunan laju penduduk yang menurun tiap
dekade setelah 1960. Yang pasti setelah tahun 1960, setelah diawal i
baby boom, jumlah penduduk dun ia terus bertahan di atas jumlah 3
mil lia r. Hal ini dikarenakan oleh jumlah angka kelahiran yang tinggi ,
410Ibid., op. cit., hal. 17. Dikutip sesuai dengan format yanga ada pada literatur rujukan.
411 Ibid.412
Ibid 402, op. cit.
285
sedangkan jumlah angka kematian yang semakin menurun terus antara
1950-1990 (lihat Tabel 5.3).
TABEL 5.3 Kecenderungan jumlah populasi dengan perbandingan angka kelahiran danangka kematian antara 1950-1990 di berbagai wilayah413
Catatan: (a) Data ini didasarkan pada saat Uni Sovyet masih berdiri.
Tentunya, pertambahan jumlah penduduk ter sebut tidak mungkin
diikut i oleh per tambahan luas wilayah fis ik yang layak tingga l. Luas
wilayah layak tinggal fis ik selalu cenderung bersifat konstan dan
menetap. Di tambah lag i, bahwa seluruh permukaan dun ia diasumsikan
sudah ter jengka li dan terpetakan secara permanen atau menetap. Tidak
ada lag i “tanah kosong” yang dapat direbut, dikuasai, dieksploi tas i dan
dianeksas i untuk tujuan menampung jumlah penduduk dalam suatu
negara yang meruap. Gerakan penduduk antarnegara dibatasi dengan
peraturan-peraturan imigrasi yang ketat. Antara batas wilayah satu
dengan wilayah lain telah dipetakan dan dibatasi sebaga i wewenang
pemerintah suatu negara. Seluruh permukaan dun ia dipetak-petakan
413 Ibid. Tabel ini hanya merupakan bentuk ringkasan dari referensi.
jumlah populasi(dalam juta) tingkat kelahiran tingkat Kematian
regional
1950 1970 19851950
-1955
1970-
1975
1985-
1990
1950-
1955
1970-
1975
1985-
1990
Total Dunia 2516,4 3697,8 4851,4 37,5 31,5 27,1 19,7 12,1 9,8
Afrika 222,0 361,8 552,9 49,2 46,6 44,7 26,9 19,2 14,7Amerika Latin 165,9 285,7 404,3 42,5 35,4 28,7 15,4 9,7 7,4Amerika Utara 166,1 226,5 264,8 24,6 15,7 15,0 9,4 9,0 8,7Asia 1377,3 2101,9 2835,2 42,9 34,8 27,8 24,1 12,4 9,0Eropa 392,5 459,9 492,2 19,8 15,7 12,9 11,0 10,4 10,7Ocenia 12,6 19,3 24,6 27,6 23,9 19,4 12,4 9,8 8,1
USSR (a) 180,0 242,8 277,6 26,3 18,1 18,4 9,2 8,6 10,6
286
menurut gar is batas antarnegara. Dengan demikian penyelesa ian
masalah populasi tidak bisa dia tas i dengan perpindahan penduduk atau
pendudukan wilayah lain sebaga i koloni , disebabkan set iap negara
memili ki kedaulatan, wewenang penuh dan kepent ingan nas ional atas
daerahnya mas ing-mas ing.
Sebaga i alternati f, regulasi atas populasi leb ih diarahkan pada
usaha-usaha yang intens if dalam negara itu sendir i, yang biasanya
dilakukan melalu i alat kontrasepsi. Pada sis i lain teknologi layar,
mengambil peran yang agak berbeda dalam mengatasi masalah ini ,
terutama dengan mereduksi kemungkinan munculnya crowd yang
semakin besar karena pertumbuhan populasi atau semakin sempitnya
ruang fis ik. teknologi layar dan teknologi global mengkreas i suatu
“ruang baru” yang berdir i sejajar dengan ruang materi , di mana potens i
crowd berkumpul secara lokal dia lihkan pada pertemuan kesadaran yang
semu. Melaui ruang vir tual, crowd dikumpulkan secara spiritual tanpa
mel ibatkan keterl ibatan fis ik, yang dengan demikian member ikan
individu kesempatan untuk melepaskan dir i sejenak dar i kepadatan
antarjarak fis ik yang semakin lama semakin menyempit karena
pertumbuhan populasi penduduk. Ruang eks istens i “subyek” dil ipat
gandakan melalu i dua jen is ruang sejajar yang dapat dijela jah i secara
bergantian. Pada “dunia vir tua l”, “subyek” mendapat kesempatan
menumpahkan dorongan-dorongan dan energi naluriahnya dengan bebas
menjelajahi alternati f-alternati f fokus yang tersed ia, seh ingga ket ika
ber[ada] kembal i dalam “dunia material” , seluruh dorongan ter sebut
semakin berkurang kekuatannya sebagai penggerak aks i fis ik. Pemuas
287
akan kebutuhan yang fis ik organik, digant ikan oleh pemenuhan dorongan
yang dilakukan oleh layar. Kebutuhan akan makanan dan seksua litas
yang sebelumnya ber sifat pokok dapat digantikan sementara dengan
kepuasan yang diberi kan oleh layar. Dengan demikian “pe lebaran”
dalam “dunia vir tua l” tidak hanya berart i pel ipatgandaan ruang dalam
art i kuanti tas , tetapi juga dalam makna yang sejajar dalam makna peran
pemenuhan kebutuhan -kebutuhan populasi.
GRAFIK 5.1
Perbandingan antara indeks biayapenggunaan satelit Intelsat denganindeks biaya hidup di AmerikaSerikat, 1965-1985414
Dalam beberapa kesempatan, kedudukan antara dua “dunia” ini
tidak sejajar. Ser ingkali, keh idupan dalam “dunia vir tua l” mulai
dianggap jauh leb ih enteng, menghibur , menyenangkan dan damai
mengatasi keadaan “dunia material” yang serba penuh tuntutan kerja,
kurang memuaskan dan ter lalu ser ius . Hal ini juga didukung oleh biaya
414Morgan (1980), dikutip oleh Zulkarimein Nasution, Teknologi Informasi. Dalam PerspektifLatar Belakang & Perkembangannya (Indonesia: Lembaga Penerbit Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia, 1989), hal. 55.
288
penggunaan maupun pemili kan teknologi informasi dar i tahun ke tahun
menurun, sedangkan biaya hidup keseharian melonjak terus (li hat grafik
5.1). Kecenderungan ini terus ber langsung hingga saat ini . Sejak tahun
2003, pajak barang-barang elektronik di Indonesia dicabut, sedangkan
harga bahan pokok terus meningkat. Sherry Turkle dalam Life on the
Screen (1995)415, mencermati sejumlah kasus kecanduan internet yang
menghabiskan sebagian waktu har iannya secara on-line. Dalam hal ini
mulai muncul keyakinan bahwa keh idupan on-line leb ih bermakna
dar ipada keh idupan off -line. Di mana peran ini sebelumnya dipegang
oleh televi si yang berhas il membuai mil liaran manusia dalam program-
programnya yang konstan had ir set iap har i di dalam ruangan rumah dan
ruang publik. Peran ini juga dipegang oleh telepon, di mana sebagian
remaja menghabiskan sebagian besar waktunya di telepon untuk sal ing
mengobrol san tai dengan teman atau pacar mereka. Lingkungan sek itar,
tempat tubuhnya ber semayam, menjad i tidak menarik lag i untuk
diurus 416. Dalam beberapa kasus, dalam mengambi l keputusan keseharian
seseorang dipengaruhi oleh apa yang disaks ikannya dalam layar. Ist ilah
sepert i “as seen on TV” atau “as seen on movie” merupakan kata-kata
yang merangsang bag i masyarakat sekarang, sekaligus panduan untuk
menemukan segala sesuatu (dari produk rumah tangga, peralatan kerja,
pacar hingga orang tua ideal) di kehidupan kesehariannya sepert i yang
dia temui dalam “dunia vir tua l”. Dalam lahan semacam ini , di mana
dorongan untuk mengkonsumsi mengikuti suatu mode tertentu makin
415Lihat artikel berjudul Komunitas Virtual dan Permasalahan Kualitas Hidup, yang merupakansaduran dari tulisan Philip Brey, New Media and The Quality of Life dalam Jurnal Society forPhilosophy of Technology, vol. 3, no. 1, 1999 (Ibid 311., op. cit., hal. 247-253).
416 Ibid., hal 251.
289
menguat har i ke har i, dunia advert ising tumbuh subur. Hal ini sekaligus
merupakan terobosan pasar yang pal ing menguntungkan untuk sistem
perekonomian Kap ita lisme.
Beberapa dekade yang lalu, dun ia perdagangan dan indust ri
kapita lis dihantui terus oleh ramalan Kar l Marx yang menyatakan bahwa
suatu saat sis tem Kapita lisme akan runtuh oleh beberapa faktor
penyebab dar i karakternya sendir i, di mana kemampuan produksi massal
yang awalnya merupakan kekuatan indust ria lisasi yang mencetuskan
sistem kapita lisme menjadi salah satu penentu. Barang-barang di toko
akan ber limpahan, sedangkan daya bel i masyarakat semakin melemah.
Pertumbuhan penduduk yang semakin har i bertambah menyebabkan
ket impangan antara kelas borjui s dan proletar semakin melebar. Jumlah
orang yang tersingki r dar i kelas penguasa alat produksi semakin
bertambah, yang berart i daya bel i dar i masyarakat makin har i makin
menurun. Sedangkan kemajuan teknologi menyebabkan produksi barang-
barang komodi tas terus meledak, tanpa diimbangi daya bel i yang
memadai: “It is no longer a mere acc ident, that capita list and labourer
confront each other in the market as buyer and sel ler ”417.
Tetapi waktu menunjukkan bahwa ramalan dar i Marx tidak
terbukti, walaupun Depres i ekonomi ya ng menimpa Barat pada tahun
1930-an, yang diikut i oleh pemboikotan pembel ian produk Barat di Asia,
hingga awal Perang Dunia II seakan -akan ekonomi kapita lisme akan
menemui aja lnya. Sebaliknya, sejak berakhirnya Perang Dunia II, di
mana Amerika Ser ikat, Ker ajaan Inggr is dan Uni Sovyet muncul sebaga i
417 Ibid 369, op. cit., bagian 23.
290
pemenang perang, mendadak semua permasalahan ekonomi yang
sebelumnya dihadapi masyarakat kap ita lisme mendadak sirna. Salah satu
faktor yang mungkin dapat menjawab permasalahan ini , kecual i karena
Perang Dunia II 418, penetapan nilai mata uang yang timpang antara
negara-negara Barat dengan negara Asia-Afr ika, pengikatan relasi
dengan utang dan pembangunan berkala sis tem moneter dunia,
“masyarakat dun ia” yang berorientasi pada “dunia vir tua l” adalah faktor
yang sangat membantu. Karena itu: “Revolus i teknologi ter sebut
peningkatan penerapan peralatan elektronik, atau pen ingkatan
otomat isasi proses -proses produksi bisa mempertahankan ‘boom’
keuntungan karena bisa menghemat/memotong biaya-biaya produksi
barang-barang secara berart i, itu lah sebabnya mengapa barang -barang
tersebut bisa dijual dengan harga yang lebih murah dan, dengan
demikian, akan memperbesar pasar konsumen.”419
Permasalahan selama ini ada lah dilema antara kepent ingan sis tem
ekonomi kaptal isme akan jumlah populasi yang besar sebaga i sumber
tenaga ker ja murah sekaligus pasar bag i komodi tas dihasi lkan, dan
akibat semakin besar kemungkinan munculnya crowd dar i jumlah
populasi yang membengkak. Crowd yang besar dengan keterbelakangan
ekonomi yang meningkat, merupakan sasaran propaganda komunisme
yang pal ing efekti f selama masa perang dingin 420, sekaligus juga
418Doug Lorimer, Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya (Jurnal Kiritahun 1, No. 1, Juli 2000). Menurut Lorimer, perang merupakan alat Kapitalisme Amerikauntuk mengatasi masalah pengangguran yang muncul selama Depresi ekonomi.
419Ibid., loc. cit., hal. 122
420 “The greater the social wealth, the functioning capital, the extent and energy of its growth,and, therefore, also the absolute mass of the proletariat and the productiveness of itslabour, the greater is the industrial reserve army. The same causes which develop the
291
merupakan pasar yang potens ial untuk memasarkan komodi tas , dan
gudang untuk merekrut tenaga kerja yang murah 421. Dengan
terbentuknya suatu massa populasi yang besar dan mengambang, maka
kemungkinan buruk timbulnya ket idakpuasan dapat diredam seminimal
mungkin. Kim Moody mencatat bahwa pada pertengahan 1990-an terjad i
pemogokan buruh besar-besaran di negara “Dunia ket iga”, antara lain:
Nigeria (1994), Paraguay (1994), Indonesia (1994), Taiwan (1994), Brazil
(1996), Bol ivia(1995), Argent ina (i996) , Venezuela (1996), Colombia
(1997) dan Ecuador(1997). Di Amerika sendir i pemogokan buruh naik dar i
angka 195(1995) menjadi 237(1997) 422. Namun, dar i sek ian jumlah
pemogokan tersebut, tidak ada gerakan yang benar -benar berniat
merubah keseluruhan tatanan yang ada.
Di sin ilah, teknologi layar memainkan perannya yang pal ing
berart i. Selain sebagai sarana propaganda tentang kemakmuran
“obyektif” dun ia Barat yang modern, juga sekali gus melakukan program
pembiakan suatu jen is massa yang walaupun jumlahnya besar namun
antipati terhadap keadaan sek itarnya. Per tentangan antarkelas sos ial
didamaikan dalam layar. Buruh-buruh dan karyawan rendahan yang
menghabiskan separuh dar i kesehariannya di tempat kerja mendapatkan
expansive power of capital, develop also the labour-power at its disposal. The relative massof the industrial reserve army increases therefore with the potential energy of wealth. Butthe greater this reserve army in proportion to the active labour-army, the greater is themass of a consolidated surplus-population, whose misery is in inverse ratio to its torment oflabour. The more extensive, finally, the lazarus-layers of the working-class, and theindustrial reserve army, the greater is official pauperism. This is the absolute general lawof capitalist accumulation.” (Ibid 369, bagian 25).
421Menurut Anthony Brewer, Marx melupakan aspek penjualan produk pada Kapitalisme. Dimana untuk Kapitalis menaikan upah dengan tujuan agar produk yang dijual tetap memilikikonsumen untuk membeli. Simak: Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx (Jakarta: Teplok Press,1999), hal. 114.
422Hendri Kuok, Krisis Kapitalisme dan Krisis Kaum Buruh (Jurnal Kritik volume 2/Tahun 1,Agustus-September 2000), hal. 104-105.
292
sarana hiburan dan pelepas emosi dalam layar. Melalu i layar pula,
berbagai hiburan yang din ikmati oleh bor jui s, juga dirasakan oleh
proletar secara semu-semu. Dalam hal ini , massa mendapatkan ruang
yang leb ih menyenangkan dar i kesehariannya yang kurang
menguntungkan. Lah irl ah tubuh-tubuh yang dit inggalkan oleh jiwa dan
aks inya.
GRAFIK 5.2
Transformasi pemusatantenaga kerja di Amerikaantara 1800-2000423.
Jiwa yang akt if dalam dialog, namun pasif dalam tindakan; cinta
damai dan ant i kekerasan; dan terutama mencintai kebahagiaan hidup
yang disaks ikan set iap har inya dalam dunia layar. Teknologi layar dalam
fase ini memainkan fungsi dan peran jamak sekaligus global dalam
“warga dun ia”, yai tu sebagai alat propaganda kepent ingan pihak
tertentu sekaligus sumber pengetahuan publik; medium bagi
keber[ada]an pub lik , tempat yang “bebas” untuk interaksi publik
sekaligus regulasi populasi untuk mencegah dan mngurangi terjad inya
crowd; komodi tas sekaligus perangsang pasar yang agresi f serta pencipta
423 Dikutip dengan adaptasi dari Fidler (2003: hal. 125).
293
ranah-ranah kerja yang baru (li hat garafi k 5.2); dll . Ironisnya , bagi
individu-ind ividu yang berada di dalam arus tersebut tidak ada perasaan
lain selain merasa semakin har i dun ia semakin bebas, penuh
kebersamaan dan bahagia, tanpa ada alternati f wilayah baru terpisah di
luar “masyarakat dunia”.
294
BAB VI
PENUTUP
A. KE SI MP UL AN
Chuck Nolan, seorang superv isor kur ir jasa pengir iman FedEx (Federal
Express), selalu memicu bawahannya yang terdir i dar i latar lokali tas
beragam untuk selalu menepati waktu. Melesat dar i satu tit ik menuju
tit ik lain secara global dalam kalkulasi waktu det il hingga ke menit dan
det ik. Memanfaatkan semua teknologi terbaik untuk tujuan itu,
mengantar paket kir iman dengan tepat waktu. Dalam penggambaran ini ,
Chuck Nolan, tokoh dalam film Cast Away, dianalogikan dengan Phi leas
Fogg.
Berbeda dengan Fogg, perjalanan Nolan tidak berakh ir dengan
kegemi langan dan kejayaan. Nolan tidak memili ki ist ri yang berasa l dar i
has il per jalanannya atau memenangkan sebuah taruhan. Sebaliknya,
dalam kecelakaan pesawat terbang yang mengantarnya mengir im paket,
Nolan terdampar di pulau kosong selama empat tahun lebih, yang berart i
kealpaan dia dar i kha layak global . Dalam berbagai catatan resmi, Nolan
telah “mati”, dihapus dar i catatan kependudukan dan dijadikan
kenangan dar i masa lalu.
Dar i dun ia global yang ramai, Nolan ter lempar dalam dunia yang
hening, tidak ada hewan eksotik atau suku asing sepert i kisah Robinson
Crusoe, juga tidak ada manusia Lil iput sepert i Gul liver Travel . Nolan
295
mengapung-apung dalam kesendiri an yang terasing di tengah -tengah
lautan Pas ifi k luas, terkurung di antara ombak dan karang. Melengkap i
kesend iriannya, Nolan bertahan hidup dengan lingkungan yang dalam
berbagai seg i terperangkap secara lokal, waktu yang merayap tanpa
hitungan angka, tidak ada akumulasi waktu yang mut lak, spesif ik dalam
keadaan, ser ta leb ih penting lag i ada lah ket iadaan kontak dengan “yang
lain”.
Peralihan dar i dun ia yang selalu bergerak, berubah, mengejar,
global namun merasakan kehadiran “orang lain”, menuju dunia
cenderung diam, menetap, santai dan tiadanya “orang lain”, pada satu
sis i ada lah pengkrontrasan dia dunia yang berbeda. Di sis i lain, juga
bercer ita bagaimana dunia yang satu had ir dalam konteks dun ia lain
dalam wujud yang “di sesuaikan”. Nolan tidak hanya belajar membuat
api dar i kayu, menangkap ikan dengan tombak, memetik kelapa dar i
pohonnya dan membenturkannya ke batu untuk memperoleh isinya, atau
teknik-teknik yang dalam ukuran normal itas kontemporer dianggap
primit if. Di luar itu semua, Cast Away mencer itakan bagaimana Nolan
menggunakan barang yang ditemukannya terhanyut ber sama dir inya
untuk keperluan yang “menyimpang” dar i kegunaan konteks “umum”,
sepert i; berbicara dengan bola vol i yang diber i nama “Wi lson”,
menggunakan sepatu ice skating untuk mencabut gig i atau gaun malam
berenda dipaka i sebagai jar ing ikan. Dalam pulau terpencil , semua
teknologi berpindah dar i konteks yang layak pada keseharian memasuki
jal inan fungsiona l yang samasekal i baru.
296
Nama “Wilson”, dapat bermakna sebaga i merk dagang bola vol i
pada keseharian, tap i juga berart i nama seorang “teman” bicara terbaik
yang dimili ki Nolan selama masa pengas ingannya. Nolan member inya
wajah dar i jejak darah telapak tangannya menyerupa i wajah ter senyum.
Kemudian per lahan-lahan, Nolan mulai berbicara dengannya,
“mendengar” tanggapan dar i Wil son dan member i jawaban, hingga lama
kelamaan komunikas i ter jal in antara keduanya. Sebaga i bola vol i, Wilson
tidak berbicara atau mendengar kata-kata Nolan dalam penger tian
umum. Namun sebaga i relasi antara “subyek” dengan “obyek”, Wilson
adalah kehadi ran “indiv idu” lain yang diandaikan di luar dir i Nolan.
Kehadiran Wil son “obyektif” dalam pengamatan, tap i juga “subyekti f”
sebaga i proyeksi Nolan akan sos ok “orang lain”. “Dia” dirasakan Nolan
sehidup dir inya, seh ingga Nolan per lu meminta maaf jika “bersikap
kasar” terhadapnya, atau menang isi Wil son jika “meningga lkannya”.
Antara Nolan dan Wilson terjal in relasi baik secara kognis i, maupun
emosional . Hal yang tidak terjad i jika Nolan masih berada di lingkungan
sebelumnya: Nolan tidak akan pernah sempat berbicara dengan sebuah
bola vol i, apa lag i merangkul dan menyed ihkannya.
Bola vol i sebaga i benda, alat, perkakas yang dalam permainan
vol i ada lah “po in yang diperebutkan” beralih menjad i “teman set ia”.
Sebaga i benda terbuat dar i kul it yang dijahi t jad i satu bag ian utuh dan
dii si ang in di tengahnya, Wil son bukanlah fokus. Fokusnya di dalam
berbagai sis tem kebutuhan, sebagai “permainan”, “olahraga” ataupun
“teman set ia”. Dalam Cast Away, dia had ir sebagai bag ian dar i dir i
297
Nolan sekaligus teman di luar dir i yang empirik dan memili ki wujud
tampak.
Melalu i teknologi global dan layar, “keber samaan” antara Nolan
dan Wil son bisa ber langsung dalam ajang main yang jauh leb ih luas serta
mel ibatkan “obyektiv itas” massa dan medianya. Dengan menjad ikan
individu menetap pada “kesendir iannya”, teknologi global maupun layar
justru menawarkan program kesadaran massal baru yang dia lami sebaga i
kemanunggalan baru dalam dunia vir tual, mengelaboras ikan dan
merekonst ruksi “dunia lama” dalam tatanan “adi-material”. Fokus
perhat ian ind ividu diikat secara halus, dengan “kesadaran pribadi”,
sukare la dan kebahagiaan menuju sinkronisasi ber sama ke
kemanunggalan “rohan iah”, sedangkan tubuh dan aks inya dit inggal
bergerak dalam dunianya sendir i-sendir i..
Kemanunggalan “rohan i” ini dalam berbagai kesempatan kita
kenal sebaga i “publik”, “warga dun ia”, “khalayak global”, global vil lage
dan berbagai sebutan lainnya. Sifat dar i kemanunggalan ini adalah
“menye luruh” dan hampir tidak member ikan pelung samasekal i bag i
individu untuk memisahkan dir i dar i eks istens inya. Namun pada sis i lain,
bentuk kemanunggalan ini juga dapat dibedakan dar i “dunia luar”
dengan didasarkan pada kode biner,
“Sistem publik dibedakan dirinya dari lingkungannya denganmenggunakan kode biner (binary code) ‘menarik perhatian/tidakmenarik perhatian’. ‘Perhatian’ termasuk sistem publik, melainkan‘tidak menarik perhatian’ termasuk lingkungannya.”424
424Hanitzsch, Thomas, Misi Sosial atau “Mission Impossible”? Tentang otonomi proses produksiberita, dalam Lukas S Ispandriarno, Thomas Hanitzsch & Martin Loeffelholz (eds.) Media-Militer-Politik. Crisis Communication: Perspektif Indonesia dan Internasional (Jogjakarta:Galang, 2002), hal. 302.
298
Pada pemahaman ini , publik dan int itusi media ada lah gerakan “liar”
berdasarkan keputusan irasional menyeleks i informasi dengan kri ter ia
“perhatian”, karena itu tidak ada kekuasaan dar i luar yang
mengontrolnya. Bersamaan, pada model ini , dianda ikan adanya
masyarakat transenden berdiri di luarnya, sedangkan “publik” hanya
sebagian dar i keseluruhan tersebut. Masyarakat dalam model ini ,
dianda ikan sebaga i sesuatu yang “menyeluruh”, dibedakan dar i
kehadi ran publik yang “parsial” . Kecenderungan ini dideskripsikan pada
model grafis sepert i di bawah:
BAGAN 6.1 Trikotomi domain sosial dalam pembagian: jurnalisme-publik-masyarakatmenurut Luhmann (1999, dalam Hanitzsch, 2002, hal 302).
Kekurangan dar i pola ini , jus tru ada lah pengakuan bahwa adanya
“masyarakat” trasenden yang beb as dar i jus tif ikasi pub lik , dan
melupakan imajinasi tentang “masyarakat” justru dibangun melaui “sub-
sistem”. Ket ika berbicara tentang ruang vir tua l pub lik, paradigma
299
dikotomi antara “si stem-utama” dan “sub-sistem” harus dit inggalkan
untuk menghindari pendekatan yang mel ihat bangunan ins titusiona l
teknologi layar dan global secara “bi rokrat is” , dan kemudian berakibat
pada merubah ruang publik sebagai “obyek” ter lepas sama sekali dar i
relasi “mater iil ”. Cacat ideali sti k ini , jika tidak disadari, akan mengarah
pada pengurungan dir i otonomisasi yang masturbat if, dan pemisahan
ruang-ruang berjenjang dan berujung pada ras ionali sas i keberadaan
masyarakat, terutama kehadiran “khalayak global” yang dimajinas ikan
secara “obyektif”. 425 Pada trikotomi ini , sekaligus tercermin pemisahan
yang kentala pada massa menjadi tiga fungsi yang berdir i sendir i,
layaknya ker ja-jiwa-tubuh yang terpisah satu sama lain. Perhat ian
(publik) dapat dip isahkan dar i tubuhnya (masyarakat) , sedangkan aks i
(jurnalisme) menjadi alat ker ja yang berdi ri sendir i terorgani sir oleh
suatu lembaga.
Melalu i model mekani sme kerja teknologi layar dan teknologi
global (seperti yang dikaji pada analis is diskursus global bra in, budaya
populer, Teletubbies dan lain-lain), kehadiran imajinasi masyarakat
merupakan kelanjutan dar i pola-pola yang dibangun oleh teknologi layar
dalam ruang publik . Tidak ada pembag ian eksak antara masyarakat dan
ruang pub lik , keduanya berada dalam tatanan teknologis berbentuk
relasi “pemuaian” dan “penyusutan” semesta ket idaksadaran/teknolog i.
425Sebagai masyarakat global yang obyektif, masyarakat menjadi determinisme mencerminkanpenampakan ruang publik dan jurnalisme: “... masyarakat yang rukun memperolehjurnalisme yang damai, sedangkan masyarakat yang kejam akan mendapat jurnalisme yangkejam pula.” (ibid., op. cit., hal. 310). Kemudian, dari fokus perhatian kepada jurnalisme,dengan mudah dialihkan pada dorongan disiplin moralistis kepada “masyarakat”: “Untuk itumemang diperlukan “budaya perdamaian” (culture of peace) yang merupakan tugas bagiseluruh lapisan dan bagian masyarakat – tidak hanya jurnalisme.” (Ibid., op. cit.)
300
Proses yang berjalan melalu i reproduks i fokus isu -isu dan “perhatian
bersama” serta kehadi ran “kesadaran lain” (second personali ty ).
Relasi antara manusia dan teknologi layar menjadi ind ividua l,
int im, subyektif sekaligus mel ibatkan karakteri stik kontradiktif yang
massal , global, “obyektif” dan non -teknologi s secara penampakannya 426.
Tidak sepert i penggambaran klasik tentang teknologi, di mana dalam
posisi pil ihan mendominasi atau didominas i manusia, relasi itu bersifat
biolog is dalam dorongan naruli ah akan “rahim” yang leb ih abadi, tak
tergantikan dan leb ih memuaskan secara lib ido. Dar i poin ini , ruang
publik atau masyarakat sebagai sebuah sinkronisasi “subyek” dalam
sebuah rahim teknologis dan rahim teknologis sebaga i semesta yang
memenuhi dorongan akan “kebersamaan” melalu i produksi ruang-ruang
rohaniah tak terbatas bagi fokus.
Kelahiran kembal i “subyek” dalam ruang virtual, mengandaikan
adanya kebebasan dar i ruang material. Set iap “subyek” melayang -layang
tanpa tubuh di ruang publik , dan tubuh dir ancang kembal i dalam ruang
ars itektur mekanik. Sedangkan mekanik mengalami regeneras i dalam
karakteri sti k yang leb ih organik. Proses ini mentransfer “sang otomat”
menjadi automaton , sedangkan automaton diprogram terus-menerus
melalu i sinkronisasi sebagai jalan menuju “otomatisme”. Kedua
pembauran menampilkan sinkronisasi dalam fungsi teknologi lebih
otonom sebaga i rah im teknologi s yang transenden sekaligus imanen:
426 Di sini bentuk pengalaman kultural berbaur dengan keyakinan akan sebuah ruang dan waktu“obyektif”, dalam bentuk keyakinan akan “kemajuan” berupa seperangkat nilai-nilaiuniversal yang menjadi tolak ukur bagi semua budaya. Dalam ciri-ciri ini, budaya popularatau budaya massa menempati representasi yang menampilkan gejala tersebut (Baca kembaliBab. I untuk memperoleh penggambaran tentang cara kerja “budaya populer” dalammembentuk medan massa.
301
mother of techno logy.427 Dengan demikian, fungsi teknologi s menjad i
“alamiah” ket imbang “mekan is”; “merawat” dan “menuntun” daripada
“menguasa i”; memenuhi dan meregulas i ref leks-ref leks bio log is dar ipada
penaklukan dan repres i atasnya; ser ta, menciptakan keteraturan
terselubung melalu i fungsi-fungsinya didalam ketidaksadaran.
Keteraturan, dalam fungsi teknologi s, tidak memili ki sifat
memaksa, tetapi membebaskan “subyek” dalam menentukan
fperhatiannya, ikut ter libat memproduksi diskursus -diskursus , yang
kemudian berbal ik member ikan keterjalinan struktura l dalam fungsi di
luar kesadarannya. Penyempitan fokus dalam isu -isu ada lah sekaligus
cara diskur sus dibelah-belah, dip ilah kemudian ditata kembal i dalam
isu-isu baru serta memper luas ruang gerak kesadaran ind ividu-ind ividu
yang “melibatkan” dan “di libatkan” di dalamnya. Di sin i, isu-isu
mewaki li relasi bay i dan ibu dalam pola “menjauh” dan “mendekat”.
Dalam posisi “menjauh” isu -isu ada lah satuan obyek berada dalam jarak
pandang “subyek” yang terbuka untuk dibahas, dikaji , did iskusikan,
ditolak, didebatkan dan diteli ti dengan seksama. Dan ket ika semuanya
terjad i, per lahan-lahan isu -isu menjelma menjadi kekuatan “obyektif”
yang mengikat “subyek-subyek” dalam “ruang fokus ber sama”. Dalam
“ruang bersama” ini , isu-isu tidak lag i hanya fokus melainkan
menghadirkan kedekatan psikologi s dalam model “khalayak global”.
427Dalam sebuah komik karya Masahiko Kikuni, seluruh dunia diatur oleh sistem yang dijalankankomputer dan menjadikan pemerintah negara menjadi hanya boneka. Sang sistem,digambarkan sebagai komputer induk yang disebut sebagai, “Ibu negara pemimpin kami”atau mother, dalam bahasa Jepang disebut sebagai okan, atau panggilan ibu secara umum,dibedakan dengan okasan, ibu biologis. Dalam: “Sang Penakluk. Nippon Ichi No Otoko NoTamashi” (Surabaya: Lelaki Notamashi Comic, 2002) Namun, pembedaan ini tidak berlakuuntuk istilah di atas. Mother of technology memiliki fungsi sebagai “ibu publik” maupun “ibubiologis” dalam dirinya, terutama sebagai kontruksi ulang dari rahim alam ke dalam bentukyang lebih publik, biologis sekaligus teknologis.
302
Antara “khalayak global” dan “indiv idu” bukan relasi antara “obyek”
dengan “subyek”, melainkan isu-isu global dan semua kepent ingannya
eks is ber[ada] dalam individu sebagai dir inya sendir i. Di sin i, relasi
kedekatan antara “bayi teknologi s” dan “ibu teknologi s” ber langsung
dalam kesatuan sebaga i ruang rahim publik , dan per luasannya kembal i
melalu i reproduks i isu -isu ada lah gerak spi ral dalam jal inan timbal bal ik
“mendekat” dan “menjauh”, “menyusut” dan “memuai”, “sinkroni sas i”
dan “pemrograman”, “memilah” dan “menyusun”, “subyekti fikasi” dan
“obyektif ikasi” , serta “memfokus” dan “mengloba l”. Relasi ini
diproduks i kembal i, diperluas , hingga akh irnya terbentuk semesta yang
imanen dalam fokus kesadaran, dan transenden di luar kesadaran
(ketidaksadaran) sebagai satu kesatuan tungga l, hingga membentuk
ruang yang massif dan mengandaikan tidak ada ruang lain di luarnya.
Namun kesatuan ini tidak mengak ibat ber senyawanya antara ind ividu
satu dengan lainnya secara total, melainkan dalam berbagai kesempatan
individu tetap berada dalam suatu batas -batas partikular yang
mengisolasi satu sama lainnya. Rasa kebersamaan, kontrasnya, justru
dihasi lkan dengan par tikularisme yang hadir secara bersamaan dalam
suatu arus konstruks i baru. “Kebebasan” dalam hal ini , juga diproduksi
melalu i semakin relatifnya jarak antara sekat-sekat tersebut, di mana
“imajinas i global” dihadirkan juga.
Karenanya permasalahan teknologi global dan layar tidak
mengandaikan adanya negasi , diskursus -tandingan, penolakan, atau
revolusi di luarnya. Semuanya kedudukan “pro” dan “kontra” imanen
dalam mengobyektiv ikasi dan menjus tif ikasi kebutuhan mendesak akan
303
teknologi global dan layar. Pengas ingan sepert i yang di alami Chuck
Nolan pun, tidak akan membawa seseorang benar-benar ter lepas dar i
teknologi global dan layar, ter leb ih-leb ih hanya memenuhi mekanisme
“pengasingan dir i” yang memang tersed ia sebaga i bag ian mekanisme
pertahanan dir i yang dimili ki masyarakat global . Di sin i, masyarakat
global , menuntut adanya konformitas, penyesuaian dir i, gampang
bersosiali sas i, keterl ibatan, keakti fan, keterbukaan, “empat ik” dan
menentang sikap yang chauvinis , menutup dir i, apatis , pas if, terkuc il
dar i pergau lan dun ia, serta “sewenang-wenang”. Morali tas global
dengan demikian morali tas pergau lan dalam pos isi “setara”, bukan
didasarkan pada penampakan mencolok sosok otoritas yang benar -benar
tampil memukau dan kharismat ik. 428 Dalam hal ini , teknologi layar dan
teknologi global terbuka pada apl ikasi yang kreati f untuk menciptakan
suatu massa (crowd) yang leb ih terkendal i, rasa puasnya ter salurkan
melalu i layar lalu diarahkan pada tindakan konsumtif dan leb ih secara
naluri leb ih cin ta pada dialog-dia log intelektual dar ipada suatu aks i yang
ekstrim. Dar ipada mement ingkan gerakan-gerakan pol iti k yang penuh
kekerasan, masyarakat ini leb ih menyukai ekspresi -ekspresi yang
bernilai seni, menghibur , intelek dan pas ifi s.
428Kehadiran “sosok sentral” yang dominan dalam bentuk “negara superpower” atau “polisidunia” adalah sebuah paradoks dalam masyarakat global dan diumumkan secara malu-maludengan mengajak warga dunia untuk mengamininya. “Kesetaraan” seringkali adalah konsepyang kabur dan hanya menjadi idealisme yang dikejar-kejar oleh negara-negara“berkembang” untuk diterima sebagai bagian dari warga dunia. Dalam tataran ini, teknologiglobal dan layar adalah kecenderungan-kecenderungan yang diperkuat untuk memperolehmanfaat secara ekonomis, politis, militer maupun ideologis. Namun dia bukanlah “alat” darisebuah kekuasaan “di luarnya”, melainkan kekuasaan itu ada dalam teknologi itu sendiri danhanya menjadi “menguntungkan” dalam serangkaian permainan dalam kaidah-kaidah yangberlaku di dalamnya juga. “Sang sosok sentral” dalam hal ini adalah konspirasi yang lahirdan dimungkinkan dari adanya kecenderungan yang lahir dari teknologi-teknologi tersebut.
304
Hingga pada tahap ini , kita bisa mencoba mempertanyakan
bagaimana kekuasaan ber laku di dalam teknologi global dan teknologi
layar? Kekuasaan tidak berada di luarnya, melainkan berada dalam relasi
bersama-sama mereproduksi semesta dan regulasi terhadap fokus layar.
Karena itu, penguasaan dominan dan menyeluruh atas alat-alat
pendukung teknologi layar dan global tidak berart i akses langsung pada
kekuasaan atas “warga dun ia”. Namun, serangkaian kecenderungan-
kecenderungan teknologi global dan layar yang mengarahkan seluruh
perhat ian “warga dun ia” pada “takdi r” dan per tumbuhan “evolusi
bersama”. Kecenderungan-kecenderungan tersebut tidak mungkin
dikuasai secara menyeluruh dan mut lak oleh institusi sepert i apapun
juga, melainkan terakumulasi terus menerus melalu i serangkaian fokus-
fokus yang diproduks i. Karena itu, ser ingkal i isu -isu yang memungkinkan
adanya usaha untuk mengkreas i sebuah kesempatan menciptakan isu
baru, bukan usaha secara langsung dar i ind ividu yang menentukan
perubahan isu-isu.
Sebaliknya, solusi yang menganjurkan untuk kembal i ke sis tem
kehidupan “alamiah” juga sama sekali tidak dapat diterapkan.
Bagaimanapun juga pembatasan antara “alam” dan “teknologis” kin i
tidak mudah dikena li lag i. Lag ipula, revolusi besar-besaran yang
merombak sis tem yang terbangun tidak sama sekali bisa menjamin vis i
tentang “alam yang ideal” terbentuk. Malahan, hanya membuka
kesempatan untuk mengarah pada konstruks i kekuasaan teknologis
dalam versi yang lain terbuka lebar.
305
B. SA RA N-SA RA N
Karena itu, bukan maksud penuli s untuk membuat sebuah ramalan,
prediksi atau penyelesa ian “final” untuk permasalahan kul tural yang
muncul dar i kekuasaan teknologi layar dan global . Juga bukan
menawarkan model perubahan tandingan sebaga i per lawanan
(revolusioner maupun reaksioner) terhadapnya. Tidak ada solusi yang
tuntas dan menyeluruh untuk persoa lan ini , dan melakukan
pembongkaran “kr iti s” secara drasti s atasnya hanya akan memperkuat
kehadi rannya secara “obyektif”. Walaupun demikian, penuli s hendak
menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru guna mengungkap secara
lebih var iat if pola-pola global yang sedang ber langsung, tanpa harus
“mendukung” maupun “mengutuk”.
Model yang dikonstruksi tentang mekanisme kerja teknologi layar
dan teknologi global samasekal i bukan suatu paradigma yang tuntas dan
usai pada dir inya sendir i. Model tersebut juga bukan sebuah ala t kerja
yang telah selesa i dan tingga l dipraktekkan pada berbagai bidang kerja
dan pengetahuan. Ringkasnya, model tersebut dibangun sebaga i sebuah
konstruks i yang samar-samar dan mas ih membutuhkan studi dan kaj ian
lanjutan untuk menguji sekaligus melengkap i kekurangan yang dikandung
di dalamnya.
Adapun salah satu alasan kekurangannya adalah keterbatasan
litera tur yang dimili ki oleh penuli s dan keterbatasan metode yang
dip ilih untuk melakukan ana lis is ini . Dalam hal literatur , selain sul itnya
mendapatkan bahan-bahan yang diinginkan penuli s dan kelangkaan
306
sumber, juga ranah tipe tekstual yang digunakan untuk mengkaji masih
tergolong terbatas pada art ike l dan buku saja. Beberapa teks sepert i
iklan, spanduk, poster , coretan dinding dan berbagai sumber tidak
tersusun lainnya mas ih luput dar i incaran penuli s. Selain itu, beberapa
analis is yang dis iapkan oleh penuli s tidak mendapatkan ruang dalam
tul isan ini , terkai t dengan keterbatasan sumber biaya, waktu dan
tenaga.
Sedangkan keterbatasan dalam metode, analis is diskursus
walaupun cukup jitu dapat memasuki wilayah yang selama ini alpa dalam
pembicaraan tentang teknologi informasi dan interaksinya dengan
psikososial, membutuhkan waktu dan kesabaran yang panjang ser ta tidak
dimungkinkan untuk deadline penuli san yang singkat ini . Sedangkan
keunggulan metode ini dalam menyaj ikan transformasi akt if dar i masa
ke masa antara diskur sus -diskursus , justru menjadi bumerang bag i yang
mengharapkan suatu has il ajeg dan pasti akan suatu obyek kaj ian.
Output dar i metode ini bukan serangkaian kes impulan ter struktur dan
menetap, melainkan kaj ian panjang lebar yang sul it untuk ditari k
kes impulan secara indukt if, berubah-rubah dan sangat tergantung pada
perubahan situas i mendatang.
Hal ini tidak menunjukkan bahwa tul isan samasekal i mandul
dalam member ikan prediksi tentang masa depan. Prediksi muncul secara
imanen dan implis it dalam rangka ian kaj ian secara keseluruhan berupa
kecenderungan-kecenderungan potens ial yang akan had ir, namun bukan
sebuah ketetapan takdir akan masa depan yang teratur ser ta tak
307
terbantahkan. Sekali lag i, sepert i yang telah diperingatkan penuli s,
model yang dikons truksi tidak merupakan deskripsi rii l atas kondis i yang
yang “obyektif” tetapi merupakan rangka ian sejumlah pengalaman yang
dikaji dan dirangkum secara diskursif . Model dalam hal ini adalah
rangka ian fenomen-fenomen, bukan genera lis ir atas suatu peri stiwa atau
konsep.
Sebaga i akh ir, untuk pembaca yang kecewa karena output pada
tul isan ini tidak member ikan sebuah kes imupulan yang tuntas dan
gambaran ekspli sit tentang mekanisme kerja teknologi layar dan global ,
penuli s menawarkan bahwa rangka ian model yang ada bisa untuk
dilanjutkan di kemudian har i menjad i sebuah peneli tian yang lebih
spesif ik, teknis , operas ional, langsung dan lebih atrakt if dar ipada yang
ditawarkan dalam tulisan ini . Penuli s sendir i sedang merencanakan
serangkaian kaj ian yang leb ih luas dan terper inc i baik secara teorit is
maupun teknis operas ional, terutama dalam kaj ian yang lebih
dipusatkan pada mekani sme ker ja teknologi layar yang mel ibatkan
secara langsung menuntun “subyek” dalam dunia vir tual. Kemungkinan
keterl ibatan ket idaksadaran di dalamnya, member ikan bobot perhat ian
peneli ti leb ih lanjut pada top ik sublimina l perception, yai tu top ik yang
mel ibatkan kerja ter selubung layar dalam member ikan sugest i secara
tidaksadar yang dapat mengarah pada suatu tindakan-tindakan nyata.
Penul is tidak menyangsikan kedekatan antara sublimina l perception
dengan mekani sme kerja layar sepert i yang sempat dikaji pada tul isan
ini .
308
Singkat kata, penuli s belum mendapat penggambaran yang
memadai untuk mendeteks i mekani sme ker ja teknologi layar dalam
kaj ian-kaj ian yang leb ih menjanjikan untuk penerapan prakti s. Dan
sepert i yang telah diyakini oleh penuli s, kaj ian dalam tul isan ini tidak
akan mengungkap secara keseluruhan metode kerja teknologi kerja
layar, tanpa adanya kaj ian -kaj ian leb ih lanjut . Kaj ian ini hanyalah awal
dar i suatu kaj ian-kaj ian ber ikutnya yang leb ih panjang dan
membutuhkan banyak waktu dan tenaga.
309
DAFT AR PUST AKA
Abé, Kobo, The Face of Another, diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh E. DaleSaunders (Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1967)
Amir, Sulfikar, Teknologi Sebagai Stimulasi Demokrasi (Harian Jawa Pos: Selasa,18/06/2002. Online document: http://www.jawapos.com/print/index.php?cat=news&id=83681).
Anonim, Alkitab Terjemahan Baru (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1999).
Anonim, Hastakarya anak-anak. Pustaka Bagaimana dan Mengapa (Jakarta: PT TiaraPustaka, 1984).
Anonim, New Encyclopedia of Science (London: Orbis Publishing Limited, 1980).
Berger, Arthur Asa, Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, diterjemahkan olehM. Dwi dan Sunarto (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cetakan pertama, 2000).
Bertens, K., Filsafat barat Abad XX Inggris-Jerman (Jakarta: Penerbit PT Gramedia,1983)
Blundell, Nigel dan Roger Boar, Terbesar di Dunia. Misteri UFO (Jakarta: PT PradnyaParamita, cetakan kedua, 1991).
B.M., Mursito, Budaya Televisi dan Determinisme Simbolik, (Universitas Sebelas Maret:Online document: http://psi.ut.ac.id/Jurnal/81mursito.htm, tahun tidaktercantum}
Brewer, Anthony, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx (Jakarta: Teplok Press, 1999)
Brey, Philip, New Media and The Quality of Life (Jurnal Society for Philosophy ofTechnology, vol. 3, no. 1, 1999).
Brouwer, M.A.W., Psikologi Fenomenologi (Jakarta: Penerbit PT Gramedia PustakaUtama, 1984)
_______________, Alam Manusia dalam Cahaya Fenomenologi (Jakarta: Penerbit PTGramedia Pustaka Utama, 1988).
Budiman, Kris, Di depan Kotak Ajaib: Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi(Yogyakarta: Galang Press, 2002).
Burchel, S. C. dan Pustaka Life Time (eds.), Abad Kemajuan: Abad Besar Manusia-Sejarah Kebudayaan Dunia (Jakarta: P.T. Tiara Pustaka, 1986).
Cahyono, Heru dan Soemitro, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15Januari ’74 (Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 1998).
Carey, David, Cara Kerja Televisi (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1981).
Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Perkasa, 1997).
310
Chapman, Chris, Everything you see here is true. Teletubbies – The True Story (Onlinedocument: http://www.disinform.co.uk/, 1997)
Chesher, Chris, Colonizing Virtual Reality. Construction of the Discourse of VirtualReality, 1984-1992. (Online document: http://eserver.org/cultronix/chesher/,tahun tidak tercantum).
Cleveland, Harlan, Lahirnya Sebuah Dunia Baru. Momen Terbuka Untuk KepemimpinanInternasional, diterjemahkan oleh P. Soemitro(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,edisi pertama, Mei 1995).
Connors, Michael, The Race to the Intelligent State. Charting the Global InformationEconomy into the 21st Century (Oxford: Capstone, 1997).
Copi, Irving M., Introduction to Logic (New York: Collier MacMillan InternationalEditions, Fifth edition, 1978).
Fidler, Roger, Mediamorfosis. Memahami Media Baru (Yogyakarta: Bentang Budaya,2003).
Fukuoka, Masanobu, Revolusi Sebatang Jerami. Sebuah Pengantar Menuju PertanianAlami (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991).
Foucault, Michel, Power/Konowledge. Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 (NewYork: Pantheon Books, 1980).
______________, Dicipline and Punish. The Birth of the Prison (New York: VintageBooks, 1995).
______________, Seks & Kekuasaan. Sejarah Seksualitas (Jakarta: Penerbit PTGramedia Pustaka Utama, 1997).
Fridolin, Iwan, Cendekiawan & Sejarah Tradisi Kesusastraan Cina (Depok: FakultasSastra Universitas Indonesia, 1998).
Fromm, Erich, Masyarakat yang Sehat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995).
___________, Revolusi Harapan, diterjemahkan oleh Kamdani, (Yogyakarta: PenerbitPustaka Pelajar, cetakan pertama, 1996).
___________, Lari dari Kebebasan (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, cetakan pertama,1997).
Galloway, Alex, What is Digital studies? (Online document: http://rhizome.org/ds/pages/galloway.html, tahun tidak tercantum).
Giddens, Anthony, The Third Way. Jalan Ketiga. Pembaharuan Demokrasi Sosial(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999).
________________, Runaway World. Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).
Gong, Gola, Perjalanan Asia (Jakarta: Pustaka Pembangunan Puspa Swara, 1993).
311
Gorillaz, Tommorow comes today, (Online document: www.gorillaz.com).
Graham-Smith, Sir Francis, F.R.S, Population – the Complex Reality. A report ofPopulation Summit of the World’s Scientific Academies (London: The RoyalSociety, 1994).
Grenz, Stanley J., Etos Posmodern (Online document : http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed/edisi/index.php?isi=edisi&reformed_id=13,tahun tidak tercantum).
Hofsteede, W., Pembangunan Masyarakat: Kumpulan Karangan (Yogyakarta: GadjahMada University Press, 1991)
Hok Gie, Soe, Catatan Seorang Demonstran (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia,1983).
___________, Zaman Peralihan, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, cet keempat,1999).
Hornby, A.S., E. V. Gatenby dan H. Wakefield, The advanced Learner’s Dictionary ofCurrent English (London: Oxford University Press, Second Edition, 1963).
Ispandriarno, L. S., Hanitzsch , T. dan Loeffelholz, M. (eds.), Media-Militer-Politik.Crisis Communication: Perspektif Indonesia dan Internasional (Jogjakarta:Galang, 2002).
Jones, Trevor (ed.), Micro-electronics and Society (London: The Open University Press,Milton Keynes, 1980).
Jung, Carl Gustav, Four Archetypes: Mother, Rebirth, Spirit, trickster (Thames:Routledge Regan Paul Ltd., 1972).
_______________, Memperkenalkan Psikologi Analitis, diterjemahkan oleh G. Cremers(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1989).
Keputusan Menteri Riset dan Teknologi No. 2/M/Kp/II/2000, Kebijakan StrategisPembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional 2000-2004 (Jakarta:Kantor Menteri Riset dan Teknologi, Februari 2000).
Kidder, Tracy, The Soul of A New Machine (U.S.A: Penguin Book, 1982).
Kikuni, Masahiko, Sang Penakluk. Nippon Ichi No Otoko No Tamashi (Surabaya: LelakiNotamashi Comic, 2002).
Kjos, Berit, "Edutainment". How Teletubbies Teach Toddlers (Online document:http://www.crossroad.to/index.html).
Kuok, Hendri. Krisis Kapitalisme dan Krisis Kaum Buruh (Jurnal Kritik volume 2/Tahun1, Agustus-September 2000).
Kogawa, Tetsuo. Toward a Reality of Reference (Tokyo Office: Documentary BOX, no.8,Yamagata International documentary Film Festival, October 3, 1995).
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (eds.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana diPanggung Orde Baru, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996).
312
Leary, Timothy, Chaos & CyberCulture (United Stated: Ronin Publication,1994).
_____________, The Declaration of Evolution, (Online document: www.leary.com,tahun tidak tercantum).
Le Bon, Gustave, The Crowd. A Study of The Popular Mind (Online document:http://promo.net/pg).
______________, Psychology of Revolution (Ibid.)
Lenon, John, Imagine, lilik lagu diedit oleh J. S. Arkenberg, Dept. of History, Cal. StateFullerton (Online document: http://www.fordham.edu/halsall/mod/modsbook.html, 1971).
Lévi-Strauss, Claude, Ras & Sejarah, diterjemahkan oleh Nasrullah Ompu Bana(Yogyakarta: LkiS, 2000).
Lorimer, Doug, Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya (JurnalKiri tahun 1, No. 1, Juli 2000).
Mambor, Victor C., Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia. Bagian I: 1900-1970 danBagian II: 1970-2000 (Solo: KUNCI Cultural Studies Center, 1999 dan 2000).
Marcuse, Herbert, Manusia Satu-Dimensi, Penerjemah Silverster G. Sukur dan YusupPriyasudiarja (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Desember 2000).
Marx, Karl, Capital, (Online document: www.marxist.org, 1999).
_________, Capital II (Online document: www.marxist.org, 1999)
_________, dan F. Engels, Capital III, (Online document: www.marxist.org)
_________, dan F. Engels, Manifesto Partai Komunis (Online document: marxist.org)
Mc Graw-Hill Encyclopedia of Science and Technology . an International ReferenceWork, volume 6 GAB-HYS (USA: Mc Graw-Hill, 1960).
Mill, John Stuart, On Liberty. Perihal Kebebasan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1996).
McClure, Steve, Nippon Pop (Tokyo: Tuttle publishing, 1998).
McConnell, John, 77 Theses on the Care of the Earth, (Online document:http://www.earthsite.org/, tahun tidak tercantum).
Ming, Andrey, T’ung Shu. Almanak Cina Kuno (Jakarta: Abdi Tanur, 2000).
Moertopo, Ali, Mayor Jenderal TNI/AD, Dasar-dasar Pemikiran Tentang AkselerasiModernisasi Pembangunan 25 Tahun (Jakarta: Yayasan Proklamasi, Centre forStrategic and International Studies, cetakan kedua, Maret 1973).
Mönks, F.J., A.M.P. Knoers, Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan: pengantardalam berbagai bagiannya (Yogyakarta: Cet. 10, Gajahmada University Press,1996).
313
Montgomery, Kathryn, Children in the Digital Age, (Online document:http://www.prospect.org/print/V7/27/montgomery-k.html, tahun tidaktercantum).
Mountjoy, Alan B., Dunia Ketiga dan Tinjauan Permasalahannya, disunting oleh Dr.Prijono Tjiptoherijanto, terjemahan D.H. Gulö (Jakarta: Bumi Aksara, cetakanpertama, February, 1984).
Naisbitt, John dan Patricia Aburdene, Ten New Directions For the 1990’s. Megatrends2000 (New York: Milliam Morrow and Company, Inc., 1990).
Naomi, Omi Intan (ed.), Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal,Anarkis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
Nasution, Zulkarimein, Teknologi Informasi. Dalam Perspektif Latar Belakang &Perkembangannya (Indonesia: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia, 1989).
Neufeldt, Victoria dan David B. Guralink, Webster’s New World Dictionary. ThirdCollege Edition (New York: Prentice Hall, 1991).
Nugroho, Yanuar, Globalisasi, Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial, (Onlinedocument: http://www.unisosdem.org/article _full ver sion.php?aid=240&coid=2&caid=30&auid=4, tahun tidak tercantum).
Ohmae, Kenichi, The Evolving Global Economy. Making Sense of the New World Order(Boston: A Harvard Business Review Book, 1995).
Oktosari, Preli, Menyoal Film Kekerasan Di Televisi, (Harian Suara Karya, Sabtu, 18April 1998, hal. v, kol. 3-8.
Pinon, FR. Manuel T, O.P., Ph.D., Fundamental Logic (Manila: Faculty of Phylosophy,University of Santo Thomas, 1973).
Purbo, Onno W., Pergeseran Paradigma di Era Globalisasi (Online document:http://www.bogor.net/idkf/idkf/aplikasi/pergeseran-paradigma-di-era-globalisasi-08-1998.rtf., tahun tidak tercantum).
Pradopo, Rachmat Djoko dalam tulisannya, Puisi Indonesia Modern Periode 1970-1990(Majalah Basis XL, No. 1, januari, 1991).
Pronk, J.P., Sedunia Perbedaan. Sebuah Acuan dalam Kerjasama Pembangunan Tahun1990-an (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993).
Postman, Neil, Menghibur Diri Sampai Mati. Mewaspadai media televisi (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1995).
Putra, Anom Surya dan Edy Suhardono, E-Government: Transisi Teknologi dalam Rule oflaw/justice, Bagian Ke-tiga dari buku berjudul Pemikiran Transitional atasTransitional Justice, (Surabaya: dipersiapkan untuk Komisi Nasional Hak AsasiManusia oleh Tim Institut Ilmu Sosial Alternatif [IISA], edisi revisi, Juni 2001).
Rais, Amien, Demi Kepentingan Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
314
Rayward, W. Boyd, H.G. Wells Idea of a World Brain: a critical Reassessment (Journalof The American Society for Information Science 50, 1999).
Rivera, Eileen, The Wink that Started Interactive TV. How a 1950s Show got toInteract with the TV (TechTV. Inc., Online document:http://abcnews.go.com/sections/scitech/TechTV/techtv_winkTV020823.html., 2002).
Roberts, Alan, Artifice and Inteligence (Arena Magazine, No.3, online document:http://eserver.org/cyber/art_intl.txt, February-March 1993).
Roberts, Donalds F., Ph.D., Ulla G. Foehr, Victoria J. Rideout, Mollyann Brodie, Ph.D.,Kids& Media, @ the new millenium (A Kaiser Family Foundation Report,November 1999).
Rosenbaum, Marcus D., Drew Altman dan koleganya, Survey Shows WidespreadEnthusiasm for High Technology (Kaiser Family Foundation, 29 February 2000).
Rushkoff, Douglas, Cyberia, (Online document: www.rushkoff.com, 1994).
_______________, Electronica. The True Cyberculture, (Online document: http://www.rushkoff.com/cgi-bin/columns/display.cgi/electronica, 1999)
Russell, Peter, The Global Brain, (Online document: http://www.peterussell.com/GB/globalbrain.html, angka tahun tidak tercantum).
Sagan, Carl, Contact (Kontak), diterjemahkan oleh Andang H. Sutopo (Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama, 1997).
Said, Edward. Orientalism (New York: Vintage books, 1979).
Sasongko, A. Tjahjo dan Nug Katjasungkana. Pasang Surut Musik Rock di Indonesia(Jakarta: LP3ES, Prisma No. 10 Tahun XX Oktober 1991).
Sastrosatomo, Soebadio. Era Baru – Pemimpin Baru (Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik“GUNTUR 49”, Januari 1997).
Saussure, Ferdinand de, Pengantar Linguistik Umum (Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press, cetakan ketiga, Oktober 1996).
Schuon, Frithjof. Transfigurasi Manusia. Refleksi Antrosophia Perennialis (Yogyakarta:Penerbit Qalam, cetakan pertama, Juli 2002).
Shan, Darren, Cirque du Freak. Mimpi buruk jadi kenyataan..., (Jakarta: Penerbit PTGramedia Pustaka Utama, 2002).
Shifts in the population size of various age groups. (Online document:http://www12.statcan.ca/english/census01/Products/Analytic/companion/age/population.cfm
Sobel, Robert, IBM: Raksasa dalam Masa Peralihan, diterjemahkan ke Bahasa Indonesiaoleh Rossi Sanusi dan disunting oleh Nin Bakdi Sumanto (Yogyakarta: GadjahMada University Press, Yogyakarta, 1986).
315
Soedjatmoko, Etika Pembebasan. Pilihan Karangan tentang: Agama, Kebudayaan,Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LP3ES dan Yayasan Obor, cetakankedua, 1985).
___________, Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Pilihan Karangan (Jakarta: LP3ES,cet. Keempat, 1995).
Soekarno, Mentjapai Indonesia Merdeka (Djakarta: Departemen Penerangan R.I., 1959).
________, Manifesto Politik, Penetapan Bahan-bahan Indoktrinasi (Bandung: Dua-R,tahun tidak tercantum)
________, TAVIP: Tahun Ber-Vivere Pericoloso, Pidato Amanat Presiden/PanglimaTertinggi Besar Revolusi tanggal 17 Agustus 1964 (Surabaja: Penerbit Fa. GRIP,1964).
Solso, Robert L., Cognitive Psychology, (Boston: Allyn and Bacon, Third Edition, 1991).
Sonja, berjudul Hubungan Pola Konsumsi Tayangan Televisi Dengan KecenderunganBerperilaku Agresif dan Prososial pada Siswa-siswa SMU I Dapena Surabaya,Skripsi S1 (Surabaya: tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya,1997).
Stone, Allucquère Rosanne, Will the Real Body Please Stand Up?, pertama kalidipublikasikan dalam sebuah antologi yang berjudul Cyberspace; First Steps, ed.Michael Benedikt, (Cambridge: MIT Press, 1991).
Sudirman, Panuti dan Aart van Zoest, Serba-Serbi Semiotika (Jakarta: Penerbit PTGramedia Pustaka Utama, 1996).
Suseno, Frans Magnis, Dampak Relativisme Kebudayaan (Majalah Basis XXXIX-I, Januari1990).
Tan Malaka, Massa Aksi (Jakarta: Komunitas Bambu, 2000)
________, Madilog (Jakarta: Pusat Data Indikator, cetakan pertama, 1999).
Tonny, Dialogue Among Civilization or Counciousness Discernment?, (Surabaya: tidakditerbitkan, 2001).
_____, Teletubbies: Antara Kekuasaan Teknologi dan Teknologi Kekuasaan (Ibid.).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I8 Tahun 2002, Sistem Nasional Penelitian,Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi besertapenjelasannya (Bandung: Citra Umbara Bandung, 2002).
Utami, Ayu, Saman (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia [KPG] dan JurnalKebudayaan Kalam, 1998).
__________, Larung, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia [KPG] dan JurnalKebudayaan Kalam, 2001).
Verkuyl, J, DR., Etika Kristen. Kebudayaan (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1992).
316
Verne, Jules, Around The World in Eighty Days (Guentenberg Project e-text, etext#103, January 1994).
Vonnegut, Kurt, Gempa Waktu (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), cetakanpertama, 2001).
Wallace, Jonathan D., Nameless in Cyberspace Anonymity on the Internet (CATOInstitute Briefing Papers, No. 54, 8 Desember 1999)
Weiten, Wayne, Psychology Themes & Variations (USA: Brook/Cole Publishing Company,Third Edition, 1989).
Wells, H.G., World Brain: The Idea of a Permanent World Encyclopaedia,(Encyclopédia Française, Agustus, 1937). Versi digital bisa didapatkan dalamonline document: http://sherlock.berkeley.edu/wells/world_brain.html)
Wilar, Max, Ideologi dan Teknologi, dalam Majalah Basis XXXIX, No 2, 1990, hal. 60-70.Lihat juga F. Budi Hardiman, Teknologi Sebagai Ideologi, dalam edisi sama, hal.71-75.
Wolfe, T., The Me Decade and The Third Great Awakening (Onlinedocument:http://www.warwick.ac.uk/fac/arts/History/teaching/sem17/medec.html, tahun tidak tercantum).
Yuliar, Sonny, Joshua D. Baker, Leonie T. Wiyati dan Slamet Santoso (eds.), MemotretTelematika Indonesia: Menyongsong Masyarakat Informasi Nusantara (Bandung:Pustaka Hidayah, 2001).
Zalesky, Jeff, Spiritual Cyberspace: Bagaimana Teknologi Komputer MempengaruhiKehidupan Keberagaman Manusia. (Online document: http://www.mizan.com/bukudewasa/cyberspirit.htm.
Zen, M.T., Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia (Jakarta: Penerbit PT Gramedia,1981)
Zoest, Aart van, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotika (Jakarta: Intermasa, 1991).
317
CATATAN AKHI R
Bagian ini memuat informasi mengenai teks-teks yang digunakan untuk menyusun
tulisan ini. Tidak semua sumber yang mempengaruhi tulisan ikut di cantumkan dalam
Daftar Pustaka. Beberapa sumber yang dicantumkan di sini tidak dirujuk secara
langsung dalam tulisan. Alasan pencantuman, adalah supaya pembaca yang ingin
menelusuri jalan berpikir penulis lebih jauh mencapatkan informasi saluran yang
dibutuhkan.
Bab Sa tu : Pe n d a hu l u a n
Abé, Kobo, The Face of Another, Diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh E. DaleSaunders (Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1967). Penulis novel ini lahir pada tahun1924. Kobo Abé banyak dipengaruhi oleh karya Poe, Dostoevsky, Nietzsche, Heiddeger,Jaspers dan Kaffka. Karya pertamanya The Road Sign at the End of the Roaddipublikasikan tahun 1951. Sedangkan buku The Face of Another telah dibuat filmnyaoleh Teshigahara.
Selain itu, karya Robert N. Bellah, Agama Sipil di Amerika, diterjemahkandalam buku Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis,disunting dan diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),merupakan sumber yang berharga bagi penulis untuk memperoleh gambaran ringkassejarah kebudayaan Amerika pra-1960-an.
Untuk model penulisan, saya merujuk pada Clifford Greetz,, Negara Teater.Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas (Yogyakarta: Yayasan BentangBudaya, cetakan pertama, Maret 2000) dan Roland Barthes, Empire of Signs (New York:Hill and Wang, 1983). Kedua tulisan ini merupaka contoh kajian yang melakukan analisisdengan membangun sebuah konstruk model.
Sedangkan untuk lagu pembanding Imagine John Lenon, pembaca bisamengikuti perkembangan lagu pop dengan tema serupa dari We Are the World(Amerika for Africa, tahun 1980-an) dan Heal the World (Michael Jackson, 1990-an).
Untuk kajian yang lebih kompleks dan ringkup lebih luas tentang secara bioskopbaca tulisan D.N. Rodowick, A Short History of Cinema, bagian pertama dari bukuGilles Deleuze's Time-Machine (Online document: http://www.rochester.edu/College/FS/Publications/TimeMachine/ShortHistory/html).
Untuk informasi tentang Kurt Vonnegut, dia lahir di tahun 1922. Kilgore Trout,tokoh utama dalam Gempa Waktu (yang versi aslinya ditulis 1997) adalah proyeksi sosokdirinya sendiri dan hadir dalam hampir setiap karyanya. Kurt Vonnengut selalumengkritik keadaan masyarakatnya yang semakin “dekaden” melalui karya-karyasebagai berikut: Mother Night (1961), Cat’s Cradle (1963), Slaugtherhouse-Five (1969),Bluebeard (1987), Hocus Pocus (1990), dan Fates Worse Than Death (1991). Darirentang tahun ini, dapat dimengerti bahwa Kurt Vonnengut termasuk “generasi tua”yang ikut melihat muncul era baby boom dan berkembangnya teknologi informasi daritahun 1950-sekarang.
Selain teks-teks di atas, juga ada beberapa artikel dari koran dan majalah yangmenjadi acuan, antara lain: Harian Kompas: 4/4/03, h. J; Harian Kompas: 26/8/97, hal.
318
1&5, kol. 6-9 & 1-9; F&N Strawberry Soda Pop, Harian Kompas: Senin, 29/4/02, hal. 37;Daya Tarik dan Empati Budaya Pop, Harian Kompas: Minggu, 16 /3/01, hal. 11; danMajalah TIME edisi khusus 100: 29/3/99. Sedangkan bahan audiovisual, lihat: GoodMorning Vietnam (1987).
Bab Dua : Pa ra d i gm a d a n M eto d e
Selain Edmund Hussrel dan Michel Foucault, sebagian besar tulisan pada Bab inidipengaruhi oleh catatan kuliah murid Ferdinand de Saussure, Tullio de Mauro, yangdibukukan dalam Pengantar Linguistik Umum (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,cetakan ketiga, Oktober 1996). Buku tentang metode analisis lingustik yang menurutpenulisnya mungkin merupakan metode kajian yang akan masuk sebagai bagian daripsikologi sosial, atau psikologi secara umum (hal. 82).
Pada beberapa bagian dari tulisan ini yang membutuhkan konsep singkat tema-tema psikologi umum penulis menggunakan karya Wayne Weiten, Psychology Themes &Variations (USA: Brook/Cole Publishing Company, Third Edition, 1989), sebuah sumberklasik untuk Pengantar Psikologi. Selain itu, penulis juga menggunakan karya Chaplin,J.P., Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Perkasa, 1997).
Bab T iga : Ka j i a n T eo r i
Karya Roger Fidler, Mediamorfosis. Memahami Media Baru (Yogyakarta: BentangBudaya, 2003), merupakan referensi yang sangat bermanfaat untuk tulisan ini. Sarandari saya: pembaca dianjurkan untuk membaca keseluruhan buku ini. Kajian panjanglebar yang menelusuri evolusi media dari masa ke masa dengan berbagai variasimerupakan referensi yang memberikan informasi tentang ekses-ekses dari tiap jenismedia yang muncul baik secara sosial, ekonomi maupun politis. Untuk sejarahperkembangan komputer yang berkaitan dengan ekonomi, baca tulisan Robert Sobel,IBM: Raksasa dalam Masa Peralihan, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh RossiSanusi dan disunting oleh Nin Bakdi Sumanto (Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, Yogyakarta, 1986). Walaupun secara spesifik, buku ini hanya menyorotiperkembang IBM sebagai sebuah badan usaha, namun secara tidak langsungpertumbuhan teknologi informasi juga muncul sebagai kajian. Sedangkan untuk kajianlebih lengkap mengenai asal usul IC (Integrated Circuit) dan PC (Personal Computer),ikuti studi kasus yang ditulis oleh Tracy Kidder, The Soul of A New Machine (U.S.A:Penguin Book, 1982).
Lihat juga sebuah buku kumpulan artikel yang diedit oleh Trevor Jones, Micro-electronics and Society (London: The Open University Press, Milton Keynes, 1980).Sebuah buku berisi kumpulan artikel tentang pengaruh teknologi berbasis IC denganpengaruhnya terhadap sosial. Pada Bab ini direferensi antara lain artikel berikut:Donald Michie, The Social Aspects of Artificial Intelligence dan Malcolm Peltu,Information Technology.
Beberapa bagian dari tulisan ini juga dipengaruhi oleh tiga buah film animeJepang yang antara lain berjudul: Serial experiment Lain, Ghost in the Shell dan NeonGenesis Evangelion. Film yang pertama bertema tentang internet yang banyakdipengaruhi oleh Cyberia Rushkoff, Vannevar Vush dan John C. Lily. Eiri, salah seorang
319
dalam tokoh film tersebut pernah berucap: “Information inside humans is not onlywhat they got by themselves since they had their consciousness. Humans have beenconnected with their ancestors, and form a human race. And they have receivedinformation from their ancestors. But, they are just a data if they are not shared [...]Do you think what you actually are? Human's have been already connected. I justrestored them.”. Film kedua, menggambarkan bagaimana sebuah mesin yang dapathidup dan merasakan dirinya sebagai sebuah organisme. Sedangkan film ketiga,memiliki tema bio-enginering dengan gaya kuasi-relijius, di mana kesatuan antaraseorang manusia dengan mesin digambarkan secara spiritual.
Bab Empat : Pe m ba ha sa n
Bagian ini banyak dipengaruhi oleh artikel karya saya sendiri, yang ditulis lebih awal,berjudul Teletubbies: Antara Kekuasaan Teknologi dan Teknologi Kekuasaan (2001).Walaupun tidak secara mendasar pengaruhnya. Banyak ide dalam artikel ini tidak sesuailagi dengan temuan-temuan baru dari penulis, namun, beberapa hasil analisi dikemasulang dan dimasukan sebagai bagian dari Bab ini.
Untuk sumber referensi utama mengenai Teletubbies, dapat diakses melaluidua buah website, antara lain website resmi milik Ragdoll Production Ltd.(http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/) dan website resmi milik BBChttp://www.bbc.co.uk/education/information/faq). Data-data tersebut sebagian telahdilampirkan dalam Lampiran C. Sedangkan untuk website sampingan lihat juga websitemilik PBS. Sedangkan referensi audiovisual, penulis menggunakan 6 episode filmTeletubbies dan Kawan-kawan dalam bentuk vcd dan 7 episode lainnya diikuti penulislewat televisi. Kesemuanya merupakan versi dubbing ke dalam Bahasa Indonesia.Walaupun jumlah ini tidak dapat mewakili 365 episode dari Teletubbies, hal ini tidakberpengaruh pada analisis penulis yang tidak melibatkan isi cerita Teletubbies. Analisisterutama diarakah pada struktur simbolik waktu dan ruang yang ada pada Teletubbies.Lihat juga:
Berit Kjos, "Edutainment". How Teletubbies Teach Toddlers (Online document:http://www.crossroad.to/index.html). Website milik kalangan kristen ini tidak hanyamengecam Teletubbies saja, namun hampir semua kebudayaan budaya pop yangsekuler. Untuk Artikel yang berisi sindaran sarkastik pada Teletubbies yang sifatnyasekuler antara lain dari: Chris Chapman, Everything you see here is true. Teletubbies –The True Story (online document: http://www.disinform.co.uk/, 1997); Welcome tothe home of the Teletubbies conspiracy site (http://www.mtattersall.demon.co.uk/tubbies/home.html), website heboh yang sempat diancam tuntutan hukum oleh BBC!;Analisis dan sekaligus satir dari sosok misterius di website: http://moose.spesh.com/teletubbies/; Baca juga lirik lagu parodi berjudul (I Want To Live Like) The Teletubbies.to the tune of Common People yang ditulis oleh Jill Phythian pada Agustus tahun 1997.
Sedangkan Penggunaan Alkitab dalam bagian ini semata-mata untukmemperlihatkan sifat relijius yang muncul dalam Teletubbies.
Sumber media massa antara lain; Oh...Oh...Dunia “Teletubbies”!, HarianKompas: Minggu, 6/5/01, hal. 14; Harian Jawa Pos: Senin Legi, 30/4/01, hal 13; AdaTeletubbies dan Polisi Cengeng, Harian Jawa Pos: 29/9/01, hal. 25.
320
B a b L i ma : Re f l e k s i
Bagian ini meliputi berbagai brosur, artikel, buku yang beragam. Pertimbanganpemilihan sumber terutama dilihat dari periodisasi penulisan. Patut diperkecualikan disini adalah beberapa data yang digunakan, dicantumkan dengan pertimbangan praktis.
Bab Enam: Pe n ut u p
Satu-satunya komik dalam tulisan ini yang digunakan sebagai bahan analisisadalah karya Masahiko Kikuni, “Sang Penakluk. Nippon Ichi No Otoko No Tamashi”(Surabaya: Lelaki Notamashi Comic, 2002). Komik kategori “dewasa”, selain berisicerita-cerita vulgar juga banyak memberikan kritik sosial dalam bentuk humor yangsurealis. Dalam kasus ini, komik ini dijadikan referensi terutama pada bagianpenggambaran tentang sebuah komputer raksasa yang disebut sebagai “Ibu”. Untukcontoh penggunaan kata “Ibu” untuk komputer, lihat juga tetralogi film berjudul Alien.Dalam film tersebut, komputer yang mengatur segala sesuatu dalam kapal disebutdengan nama Mother. Namun pada sekuel akhir film tersebut Alien: Ressurection,komputer induk disebut dengan nama Father. Kontras ini justru memperkuat sifatsemesta dari komputer di mana bukan hanya sosok Ibu saja yang diambil alih perannya,namun sosok Ayah juga “ditiru”.
Sebagai sumber audiovisual lainnya, lihat: Cast Away (2000).
321
AP ENDIKS A:
KA JI AN ETY MOL OGI ANT AR A IS TI LA H SC RE EN , CU RT AIN ,
MO NI TO R DAN “L AY AR ”
Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia tidak ada pemilahan kata “layar” ke
dalam beberapa istilah yang berbeda. Sedangkan untuk Bahasa Inggris, “layar”
dibedakan dalam beberapa varian pengertian dan penggunaan seperti: screen,
curtain dan monitor. Istilah screen dalam Inggris Modern merupakan kelanjutan
bentuk dari istilah skrene pada Inggris Medieval, yang dipakai untuk makna
yang sama dengan “alat penyaring” (sieve) dan “tirai” (curtain). Sedangkan
istilah ini berasal dari Bahasa Jerman Kuno: screm (Jerman: shrim), yang
memiliki makna harafiah sebagai: [1] “melindungi” [2] “menjaga” [3]
“mengawasi”.
Dengan demikian, antara screen dan curtain memiliki kedekatan
pengertian, walaupun pada perkembangannya kedua istilah tersebut memiliki
konotasi yang agak berbeda. Curtain sendiri merupakan deviasi dari istilah Latin,
yaitu: cortina (secara harafiah dapat diartikan sebagai: [1] “ketel”; [2]
“membatasi panggung (circle) sebuah teater”; [3] “tirai”. Sedangkan dalam Bahasa
Inggris, curtain antara lain didefinisikan sebagai: “[1] a piece of cloth or other
material, sometimes arranged so that it can be drawn up or sideways, hung for
decoration, as at a window, or to cover, conceal, or shut off something [2]
anythong that covers, conceals, separate, or shut off something [3] that part of a
wall between two bastions, gate, etc. [4] an enclosing wall that does not support
a roof.” Sedangkan sebagai bagian penggunaan istilah dunia teater, didefinisikan
sebagai: “sheet or heavy material to draw or lower across the front of the stage
in a theater before and after each screne of a play” (Victoria Neufeldt and David
B. Guralink, Webster’s New World Dictionary, [New York: Prentice Hall, Third
322
College Edition, 1991]). Dari serangkaian daftar definisi tersebut, kata curtain
memiliki kecenderungan harafiah sebagai sebuah bidang yang memisahkan,
membuat jarak, menutupi sesuatu sekaligus juga dapat bersifat sebagai dekorasi,
melindungi, memilah, menyaring maupun mengawasi. Dalam sebuah teater, selain
memisahkan antara panggung dengan penonton, juga bekerja sebagai pembatas
antar babak teater, sekaligus menandakan dimulainya (awal) atau selesainya
(akhir) suatu lakon. Karakter dari curtain adalah menghasilkan diferensiasi ruang
untuk memberikan kesan adanya dua atau beberapa bidang yang berdiri sejajar
saling berhadapan. Untuk menjelaskan persoalan ini, bisa digunakan contoh fungsi
tirai pada sebuah jendela. Sebagai aksesoris dalam rumah, tirai (curtain) juga
menjadi bidang yang dapat ditutup maupun disibak. Ketika tirai direntangkan maka
hubungan antara bagian dalam rumah menjadi terpisah dari bagian luar. Ketika
disusutkan, tirai membuka pandangan dari dalam rumah ke luar rumah. Kapan tirai
dari ditutup atau dibuka, merupakan pemilahan yang sifatnya semena-mena.
Pemilik rumah dapat memutuskan kapan dia ingin melihat ke luar, dan saat dia
tidak menghendakinya tirai bisa ditutup. Seperti halnya tirai, dalam suatu teater,
curtain juga melakukan pemilahan untuk menjadikan babak yang satu menjadi
mandiri dibanding babak lainnya, atau memisahkan keseluruhan permainan dalam
teater dengan segala sesuatu di luarnya baik secara ruang (sebagai batas
panggung) maupun waktu (sebagai satuan jadwal pementasan yang mandiri dari
jadwal-jadwal lainnya). Pada sisi ini, fungsi pembatasan maupun penetapan yang
sifatnya “semena-mena” antara batas-batas tersebut merupakan usaha
menciptakan satuan-satuan mandiri. Dan batas-batas itu menjaga, mengawasi dan
melindungi antara satuan ruang serta waktu yang tercipta agar tetap dipahami
sebagai “dunia” yang berdiri sendiri-sendiri.
Karakter ini bisa ditemukan juga dalam istilah screen yang beberapa
definisinya di kamus Webster terdaftar sebagai berikut: “[1] a) a light, movable,
covered frame or series of frame hinged together, serving as portable partition to
separate, conceal, shelter, or protect. b) any partition or curtain serving such a
purpose [2] anything that functions to shield, protect, or conceal like a curtain (a
smoke screen) [3] a coarse mesh of wire, etc., used to sift out finer from coaser
323
parts, as of sand or coal; sieve [4] a system for screening or separating different
types of person, etc [5] a frame covered with a mesh, as of wire or plastic, used
to keep insects out, serve as a barrrier, etc. As on window [6] a) a flat, reflective
or translucent surface, as a matte white sheet or one of beaded vinyl, upon which
films, slides, etc. are projected. b) the film industry or art [7] the surface area
of a television set, radar receiver, etc. on which ligth pattern are formed [...]”
(Ibid.). Pada definisi No. 2, antara screen dan curtain direduksi sebagai segala
sesuatu yang sifatnya mengunci, melindungi dan menyembunyikan sesuatu. Pada
bagian ini, screen sebagaimana dengan curtain adalah sebuah sistem yang
melakukan pemisahan, pemilahan dan pembagian atas berbagai hal untuk
menciptakan keberagaman (lihat juga definisi No. 4).
Meskipun demikian, baik dalam definisi No. 1a maupun 1b, screen selain
memiliki karakter yang sama dengan curtain, juga memiliki fungsi lain yaitu
mengikat satuan-satuan tertentu dalam suatu fungsi yang mandiri. Pada definisi
1b, screen merupakan kesatuan kegunaan dari beberapa curtain atau bagian.
Curtain, dalam pengertian ini, menjadi bagian-bagian dari screen, walaupun
keduanya kadang-kadang memiliki karakter maupun pengertian yang sama. Jadi
screen memiliki karakter yang paradoksal dalam dirinya. Pada satu keadaan,
screen seperti halnya curtain memiliki fungsi membatasi, sekaligus menciptakan
jarak untuk menghasilkan keberagaman waktu dan ruang. Namun pada sisi lain,
karakter melindungi, menutupi dan menciptakan jarak dari screen memiliki
pengertian yang agak berbeda dengan curtain, di mana sebaliknya memiliki arti
mengikat semua pembatasan dalam satu ikatan. Pada pengertian ini,
“melindungi”, “menutupi” dan “menciptakan jarak” berarti juga merupakan
kamuflase dari pembatasan-pembatasan yang ada sehingga dialami sebagai satu
alur. Contoh yang paling tepat adalah potongan-potongan film, di mana ketika
digerakan dengan cepat menghasilkan suatu kesan hilangnya patahan-patahan yang
ada dan menciptakan suatu kesinambungan yang “utuh”. Baik screen maupun
curtain keduanya memiliki kecenderungan sama, yaitu membagi dan memisahkan
segala sesuatu dalam keberagaman untuk menciptakan satuan-satuan, dan
324
kemudian diikat lagi dalam satu kesatuan yang lebih luas untuk kemudian
dipisahkan lagi dari satuan baru lain “di luarnya” sebagai pembeda.
Kemampuan membagi dan menghasilkan satuan-satuan terpisah kemudian
merakitnya dalam alur kontinum merupakan fungsi screen dan curtain yang paling
bermanfaat dalam dunia industri film maupun televisi. Dalam hal ini screen hadir
sebagai sebuah bidang datar di mana berbagai berbagai gambar, cahaya, atau
sinyal-sinyal ditangkap dan diproyeksikan sebagai sebuah alur yang terlihat seolah-
olah bergerak dan “hidup”. Screen melakukan rekonstruksi dari serpihan-serpihan
yang ada sehingga tampak menyatu, sekaligus merupakan bidang yang membatasi
antara keber[ada]an di permukaannya dengan ruang di luarnya, di mana penonton
berada. Kontrasnya, screen juga merupakan bidang di mana indera penonton
melakukan kontak dengan penampakan yang muncul sebagai hasil rekonstruksi.
Sedangkan pada definisi ketiga, monitor memiliki sedikit kesamaan dengan
screen sebagai: “a receiver or speaker, as in the control room of broadcasting
studio, for checking the quality of the transmission” (Ibid.) atau “television
screen used in a studio to check or select transmission” (A.S. Hornby, E. V.
Gatenby and H. Wakefield, The advanced Learner’s Dictionary of Current English,
[London: Oxford University Press, Second Edition, 1963]). Monitor, memiliki sifat
yang sama dengan screen sebagai sebuah receiver. Walaupun dalam definisi,
monitor, berbeda dengan screen, lebih banyak menonjolkan karakter sebagai
pengawas dan kontrol saja, tanpa melibatkan fungsi lainnya yang ada dalam
definisi screen maupun curtain. Sedangkan bentuk asal istilah monitor dari bahasa
Latin, yaitu monere (artinya “memperingatkan”), memiliki kesinambungan
harafiah sebagai kontrol dengan pengertian screen dan curtain sebagai
“pembatas”, “pencipta jarak”, “pelindung” dan “pengawas”. Baik dalam
pengertian screen, curtain maupun monitor, layar muncul sebagai kegiatan aktif
yang mengontrol dan mengatur daripada hanya sekadar obyek pasif yang diatur.
Sebagai “obyek” pasif, screen dan curtain merupakan bagian dari pertunjukkan.
Sebagai aparatus yang aktif, screen, curtain dan monitor muncul sebagai alat
seleksi perhatian, pengawasan dan pembatas.
325
Dalam definisi lain, monitor juga dijabarkan sebagai: “schoolboy given
authority over his fellows” (Ibid.). Definisi ini menarik, walaupun agak jauh dari
pengertian monitor sebagai salah jenis screen atau layar. Namun dapat
menggambarkan bagaiaman model pengawasan yang berlangsung dalam monitor.
Monitor dalam beberapa hal juga merupakan bidang di mana signal-signal
direfleksikan seperti halnya screen. Bedanya, seperti seorang murid yang diberi
wewenang mengawasi teman-temannya sendiri, di mana dalam berbagai hal lain
tidak jauh dengan murid lainnya, monitor merupakan fungsi dari layar di mana
pengawasan adalah keseluruhan dari karakternya. Sebagai sebuah bidang yang
sekaligus diawasi, layaknya juga murid tersebut diawasi oleh gurunya, secara
penampilan maupun fungsi lainnya monitor memiliki karakteristik yang sama
dengan screen maupun curtain. Hal ini menjelaskan, mengapa walaupun screen,
curtain dan monitor merupakan suatu fungsi yang sejajar, namun dalam
penggunaannya akan menimbulkan konotasi yang berbeda.
Namun, dalam pemakaian bahasa sehari-hari ketiga istilah ini sering tumpah
tindih dalam pemakaiannya. Jadi pemakaian istilah “layar” dalam penulisan ini
bisa sekaligus mencakup fungsi dan karakteristik ketiga istilah di atas, tanpa harus
menggunakan variannya. Kata “Layar” sendiri dalam Bahasa Indonesia bisa
digunakan untuk menyebutkan “potongan kain lebar yang diikat pada tiang dan
digunakan perahu untuk memanfaatkan laju angin”, tetapi juga digunakan untuk
menterjemahkan ketiga istilah di atas ke dalam Bahasa Indonesia. Kedekatan
kedua pengertian ini, di dasarkan oleh karena “layar” pada bioskop sebagai model
yang pertama kali dikenal terbuat dari kain putih lebar, sama dengan layar perahu
yang biasanya terbuat dari kain. Pada perkembangan selanjutnya, istilah layar
semakin diadaptasi untuk melingkupi ketiga istilah di atas. Muncul kemudian istilah
seperti “layar kaca” untuk menyebut “layar” yang tidak terbuat dari kain
melainkan kaca seperti pada televisi. Pada klasifikasi lain, “layar” dibedakan juga
menjadi “layar emas” dan “layar perak” untuk membedakan antara film yang
dibuat khusus untuk ditayangkan di bioskop dengan film yang khusus untuk diputar
di televisi.
326
Untuk pemanfaatan lebih lanjut dalam istilah “teknologi layar” seperti yang
digunakan dalam skripsi ini, baca catatan kaki no. 69 dan untuk istilah “teknologi”
bisa diikuti pada Bab II, bagian yang membahas tentang “proposisi-proposisi”.
327
AP ENDIKS B:
SEKELUMIT PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA GLOBAL DAN
WORLD
Istilah global didefinisikan antara lain sebagai: “[1] round like a ball; globe-shaped
[2] of, relating to, or including the whole earth; worldwide [3] complete or
comprehensive. Dari tiga definisi ini, yang pertama mengambil deskripsi tentang
bentuk; kedua, berkaitan dengan pengertiannya sebagai benda spesifik, yaitu
planet bumi dan seluruh isinya; sedangkan pada definisi ketiga, menggambarkan
karakternya sebagai sebuah eksistensi keber[ada]an ontologis sebagai satu
kesatuan yang utuh.
Sedangkan kata dasar global, yaitu globe (berasal dari istilah Latin, globus
atau “bola”) didefinisikan antara lain sebagai berikut: “[1] any round, ball-shaped
thing; sphere; specif., a) the earth. b) a spherical model of the earth showing the
continent, seas, etc. c) a similar model of the heavens, showing the
constellations, etc. [2] anything shaped somewhat like a globe; a) a round glass
container, as for goldfish. b) a rounded glass cover for lamp. c) a small, golden
ball used as a symbol of authority.” Seperti istilah awalnya, kata globe selalu
mengacu pada bangun “bola”, yaitu konstruksi simetris tiga dimensi dari beberapa
bidang “lingkaran”, sebagai bentuk yang melatari semua pengertian yang muncul.
Namun, konsekuensi dari penggunaan istilah ini, seperti dalam bentuk deviannya:
global, lebih dari sekedar arti bentuk yang bulat belaka, walaupun karakter dari
bangun “bola” tetap merupakan dasar untuk perluasan maknanya. Bidang 360º dari
ketiga dimensi dari “bola” menghasilkan suatu konstruk yang tidak memiliki sudut
samasekali, dalam hal ini memberi kesan yang “utuh”, '”menyeluruh” dan “total”
pada karakternya. Seringkali “bola” menjadi simbol “keutuhan” dan “absolut”,
sehingga juga digunakan oleh raja-raja Eropa sebagai simbol kekuasaannya yang
tak terbatas (Lihat definisi 2c di atas).
328
Dalam penggunaan yang lebih luas pada saat ini, kamus Webster mencatat
variasi sebagai berikut: [1] globalism, didefinisikan sebagai: “a policy, outlook,
etc. that is worlwide in scope”. [2] globalize atau globalization, yaitu: “to make
global; esp., to organize or establish worldwide”. [3] global village, yang berarti:
“the world regarded as a single community, as a result of mass media, rapid
travel.” [4] globate: “round like a ball.” [5] globe trotter: “a person who travel
widely about the world, esp.,one who does so for pleasure or sight seeing”.
Bahkan digunakan hingga pada penamaan spesies tumbuhan (globe flower) dan
hewan (globe fish). Dua istilah terakhir ini, tampaknya digunakan dengan
pengertian globe sebagai bentuk “bulat”.
Sedangkan untuk kata world, walaupun tidak memiliki makna sebagai
bangun “bulat” seperti halnya global, banyak digunakan juga untuk pengertian
yang sama antara keduanya. World (berasal dari Bahasa Inggris Tua dalam istilah
werold, dapat diterjemahkan secara harafiah sebagai “dunia”, “kemanusiaan”,
atau “waktu yang panjang”) didefinisikan sebagai berikut: “[1] a) the planet
earth. b) whole universe. c) any heavenly body thougth of hypothetically as
inhabited [2] the earth and its inhabitants [3] a) the human race; mankind b)
people generaly; the public [4] a) some part of the earth b) some period of
history, its society, etc. c) any sphere or domain d) any sphere of human activity
e) any sphere or state of existence [5} Individual experience, outlook, etc. [6] a)
secular or social life and interest, as distinguished from the religious or spiritual
b) people primarily concerned with secular affairs or pursuits [7] a large amount;
great deal [8] a star or planet.” Jika kita membandingkan dengan definisi global
dan globe, pada definisi No. 1 dan 2 dari istilah world, terdapat kesesuaian makna
antara keduanya baik sebagai planet bumi maupun alam semesta. Namun pada
definisi ke 3 dan 4, istilah world memiliki konsekuensi perbedaan makna, di mana
daripada hanya bersifat “keseluruhan” dan “obyektif”, istilah ini juga memiliki
karakter “parsial”. Selain itu, daripada masalah bentuk “bulat”, world melingkupi
makna yang lebih tertuju pada keberadaan yang berkaitan dengan “subyek” dan
“kemanusiaan”. Begitu juga pada definisi berikutnya, istilah world semakin
menjurang perbedaannya dengan istilah global dan globe (kecuali pada definisi No.
329
8). Jadi agak berbeda dengan istilah global yang mendefiniskan keber[ada]an
semesta dengan cara meluas, menyebar dan merangkum, istilah world
mendefinisikan semesta dengan cara membatasi, membagi-bagi, memisahkan dan
partikular. Walaupun ada tumpang tindih pengertian pada beberapa bagian, dan
seringkali melingkupi sebuah makna spesifik yang sama. Baik global maupun world,
keduanya dipakai untuk menggambarkan bumi dan seluruh isinya, dengan
konsekuensi konotasi yang bisa diartikan secara berbeda.
Kata world dalam penggunaan kontemporer meliputi istilah berikut [1]
world class, digunakan dengan makna: “of the highest class, as in international
competition”. [2] worldling, yang berarti sebagai: “a worldly person” [3] Worldly:
“a) of or limited to this world; temporal or secural 2) devoted to or concerned
with the afairs, pleasure, etc. of this world.” [4] worldly wise: “wise in the ways
or affairs of the world; sophisticated”. [5] world power: “a nation or organization
large or powerful enough to have a worldwide influence”. [6] world’s fair: “any
various expositions at which the arts, crafts, industrial and agricultural products,
scientific advances, etc. of various countries of the world are on display. [7] world
shaking: “of great significance, effect, or influence; momentous” [8] world soul:
“a universal animating principle conceived of as analogous to the soul of a
person.” [9] world view: “a comprehensive, esp. Personal, philosophy or
conception of the world and of human life. [10] world weary: “weary the world;
bored with living” [11] world wide: “extending throughout the world”. Jika
membandingkan daftar variasi pemakaian istilah global dan world, maka akan
ditemukan tumpangtindih pemakaiannya. Kata worlwide misalnya, sangat dekat
sekali dengan istilah globalism, globalize dan globalization. Selain itu pola baru
juga menunjukkan bahwa ada kecenderungan baru untuk memberikan nama
sebuah lembaga dengan kata world, seperti: World Bank dan World Court yang
diikuti oleh kegemaran menggunakan simbol bola dunia sebagai logo. Pemakaian
lebih spesifik lagi misalnya pada istilah World War ! dan World War II. Juga
tercatat penggunaan istilah seperti World Wide Web (WWW) atau World Trade
Centre (WTC).
330
Oxford mencatat juga penggunaan istilah world dalam bentuk kata citizen
of the world (warga dunia), yang dapat diterjemahkan sebagai “a cosmopolitan
person.” Kata cosmopolitan, bisa diartikan sebagai “[1] common to or
representative of all or many parts of the world; not national or local [2] not
bound by local or national habits or prejudices; at home in all countries or places
[3] having a worldwide distribution, as some plants or animal.” Akar katanya
berasal dari istilah Yunani kosmos (“alam semesta” dan “keharmonisan”)dan polis
(kota). Sedangkan dalam bentuk Inggrisnya, cosmos, dapat pula berarti: “[1] the
universe considered as a harmonious and orderly system [2] harmony; order [3]
any complete and orderly system.” Dalam beberapa hal, menurut orang Yunani,
kosmos memang memiliki bentuk bulat atau globe. Sedangkan istilah cosmopolitan
memiliki kedekatan dengan kata world, terutama world’s fair, sebagai sebuah
keadaan yang melukiskan karakteristik multinasional.
Dalam hal ini, baik global, world maupun cosmopolitan, adalah istilah-
istilah yang menggambarkan suatu penyatuan dari beberapa bagian (negara,
budaya, peradaban dll.) yang terpecah-pecah dalam suatu pola pandangan yang
lebih meluas, menyeluruh, melebar, abstrak dibandingkan dengan bagian yang
disatukannya di mana bersifat lokal, terbagi-bagi, terbatas dan partikular.
Sedangkan istilah cosmos yang hadir secara implisit dalam pemakaian ketiga istilah
tersebut, berpengaruh pada pandangan kontemporer tentang suatu tatanan baru
dunia yang lebih aman, damai dan bebas.
331
AP ENDIKS C:
BE BE RA PA AR SI P TE NT AN G TEL ET UB BIE S
1. Per kenal an Resm i Tel et ubbies oleh BBC dan Rag doll
BBC Site for Teletubbies
Tinky Winky, Dipsy, Laa-Laa and Po are the Teletubbies
Tinky Winky, Dipsy, Laa-Laa and Po are the Teletubbies, stars of a major new dailypre-school television show for BBC2 starting on Monday March 31 1997.
A live action series, Teletubbies features four brightly coloured characterswho live in a fantasy world linked to reality. BBC Children's Programmes havecommissioned Ragdoll Productions (Tots TV, Rosie and Jim) to produceTeletubbies. For the first time BBC Children's Programmes is co-producing a serieswith BBC Education and BBC Worldwide.
Drawing on months of research with its target audience of 2-5 year olds,Teletubbies is a major pre-school initiative, which focuses on learning through thejoy of play, helping to prepare children for their forthcoming school life.Teletubbies is designed to make children feel confident, relaxed and ready tolearn.
Tinky Winky, Dipsy, Laa-Laa and Po live happily together in their own worldof childhood fantasy where a baby-faced smiling sun rises each morning, rabbitsrun over the rolling hills and voice trumpets, which connect them with the realworld, name things, count things and sing songs.
Hidden under the hills is the tubbytronic superdome where the Teletubbiessleep and play with the technology that supplies their food, tubby custard andtubby toast. A conscientious comic vacuum cleaner, the Noo-noo, shares theirliving quarters. A magic windmill brings them pictures of children from the realworld and two wooden animals, the Lion and the Bear (with voices by PenelopeKeith and Eric Sykes), are friendly faces.
Anna Home, Head of BBC Children Programmes, says: "From the early daysof Watch with Mother, through Bill and Ben to Play School, the BBC has always
332
served its very youngest viewers. Teletubbies is an innovative, high qualityentertainment programme for today's generation of pre-school children."
Anne Wood, Creative Director of Ragdoll Productions, comments: "We arevery proud of Teletubbies, our latest production inspired by the creative world ofvery young children."
Frank Flynn, Head of Commissioning for BBC Schools, said: "Children,parents and teachers will be able to tune in every week day to this unique BBCcollaboration that aims to make learning fun."
The Teletubbies Characters:
Tinky WinkyTinky Winky is purple and is the largest, gentlest Teletubby. When out walking helikes to sing his own Tinky Winky song.
Tinky Winky loves to dance and fall over on his back. He loves all theTeletubbies very much but he's best friends with Po.
DipsyThe second largest Teletubby. Dipsy is green and loves to wear his hat as he
thinks it gives him style, and style is very important to Dipsy.
He loves all the Teletubbies very much but sets himself apart a bit as hetries to be cool. His special song is "Bup-a-tum, bup-a-tum, bup-a-tum".
Laa-LaaThe happiest, silliest and second smallest of the Teletubbies, yellow Laa-
Laa loves to sing and dance. Her favourite word is 'nice' and Dipsy is her bestfriend.
She adores her ball and enjoys being outside running, jumping and chasing.She stands pigeon-toed when she is thinking and always needs to know where allthe other Teletubbies are and will round them up if one of them goes missing. Shehas her own special "Laa-laa-li-laa, laa-li-laa-li-laa" song.
PoPo is red and is the smallest Teletubby. She likes to jump up and down to
express her feelings of joy, enthusiasm and surprise.
333
Po whizzes around the hills on her scooter and likes to keep an eye on thepanel of switches and controls on the central column inside the Teletubbies' house.Po likes to sing her special song "Fi-dit, fi-dit, fi-dit!" and "Mar, mar, man!" whichtanslate from Cantonese as 'faster' and 'slower'.
The Noo-nooThe Noo-noo is a comic vacuum cleaner with a mind of her own who is
always found inside the Teletubbies' hill home. The Noo-noo tidies up after theTeletubbies, sucking up spilled custard and tubby toast crumbs with his long,wobbly hose.
Sometimes he is a little over-conscientious and tidies up the Teletubbiesbelongings as well. On these occasions a comedy chase occurs until the Noo-noo ispersuaded to give them back.
TeletubbylandTeletubbyland is full of surprises where elements of animation, pantomime
and nursery rhyme are used to magical effects. Magical computerised animationconjures up images of one tap dancing teddy bear, animals marching two by two,three ships, a house with four windows or a tree with five birds.
The large colourful wooden toys, the Lion and the Bear are a comic duowho, in pantomime style are perpetually engaged in a game of hide-and-seek, inand out of the rolling hills of Teletubbyland. The Lion and the Bear are voiced byPenelope Keith and Eric Sykes, and the Teletubbies love to pretend to befrightened of them.
Making Teletubbies - it's child's play
Months of research went into producing Teletubbies. Creator Anne Wood explainshow the series starts and ends with the child.
"Like a good book, good television needs to be chosen positively with theneeds of children in mind," says Anne Wood of Ragdoll Productions, the companythat produces Teletubbies for the BBC.
Teletubbies is a bold initiative in pre-school programming. Tinky Winky,Dipsy, Laa-Laa and Po live in a fantasy world of song and image, linked to the realworld by the televisions in their tummies. Anne Wood explains that this highlyoriginal idea came, "... from children. All our ideas come from children. 'Ragdollworks for children' is our mission statement because, for everything we do, wewatch and observe children: how they play; how they talk; and how they react tothe programmes we make."
334
Teletubbies is researched with focus groups
Ragdoll develops ideas by watching children in their specially designed shopin Stratford-upon-Avon and through seven focus groups involving nursery schoolchildren all over the country. Work on Teletubbies started over a year ago and theresearch is ongoing.
"Everything in Teletubbies has been done with love and a sense of fun,"explains Anne. "We go to a lot of trouble to show affection in our programmes.Children need to see their experiences reflected back to them as part ofdiscovering who they are. We hope that enjoying Teletubbies will help them workthrough their own experiences and grow a little."
No strings attached
Teletubbies is different. Carefully scripted, the series features four full-sizedcostume characters. Unlike other pre-school programmes it doesn't use puppets,but it includes computerised effects and makes extensive use of children.
Children have made Anne aware of the technological revolution we areliving through and the technological world in which we live.
"Children are surrounded by voices that speak to them from all the over theplace: from television, videos, radios, toys, CD players - all sorts ofannouncements - and, of course, other children and adults. But they still have adeep emotional need to be listened to in an environment that they recognise andin which they feel comfortable."
Toytime for Teletubbies
The Teletubby characters were inspired by the idea of a soft toy which a childclings to as emotional support and this was joined to the idea of technology. "Wedid this by taking a television - the most magical piece of technology for a child -and it put on the tummy of a soft toy. We developed the characters from that,creating technological babies - the Teletubbies."
Not all children can run around freely so Teletubbyland is deliberatelycreated as a large, green outdoor space. "The indoor shots are filmed inside theTeletubbies' home hill - they are not shot in a studio. The whole thing is real,"explains Anne who shivers at the memory of Siberian temperatures in the earlymonths of construction. "The Teletubbies live in the land where television comesfrom, in the land of childhood, in the land of nursery rhymes."
335
His first word was "Eh-oh!"
Andrew Davenport, the co-creator of Teletubbies, has worked closely withAnne developing the characters. Andrew studied Speech Sciences and over the lastfive years has worked closely with Ragdoll, particularly in his role aswriter/performer on Tots TV. "He's a particularly gifted writer for very youngchildren because of his acute ear for their speech," comments Anne.
Andrew and Anne compiled a list of the first words and phrases thatchildren make their own and this comprises Teletubbies' own vocabulary. Likechildren, the Teletubbies also imitate what they hear so they will attempt tospeak like the narrator and, sometimes, the voice trumpets. The programme isdesigned to be interactive, so a lot of space is left in the programme for thechildren to talk back to the screen.
Teletubbies is specifically designed to aid children's speech development."Children will find the Teletubbies' attempts to speak funny and so they will feelconfident about joining in," explains Anne. "Like children coming into the world,the Teletubbies know nothing. Children watching know this: they see theTeletubbies as beings who know less than they do."
Lifelong learning, "Again, again!" Lifelong learning
Teletubbies is designed to develop thinking skills so that children will beready for more formal learning.
"When they see children in the filmed inserts in the Teletubbies' tummieshaving experiences that reflect their own, they recognise their experience and theexperience of relating to even younger children. They will know what's going tohappen, so their joy when it does is part of helping to learn how to makepredictions - the critical part of learning."
For that reason the insert is shown twice during the episode, a simpletelevisual equivalent to the repetition of favourite songs and books that everyparent knows delights children.
Critically, it is learning through the joy of play. "I want children to smile. Ifthey are smiling they are relaxed. If they are relaxed, they will be confident. Ifthey are confident, they will dare to be curious. If they are curious they will growin confidence. Too often they are harangued to do things before they are ready."
Kids speak out
Teletubbies is resolutely child friendly. Working closely with BBC Education on thefilming of the real-life inserts, Anne chose children's voices over a traditional
336
narrator. "If a child in the film is aged three, then that child speaks thecommentary. Children watching have to relate to the characters in theprogramme. We found that when we tried adult narration on the children's filmsthat children watching didn't listen with the same attention as they did when achild was speaking."
Besides children, the series uses an orchestra of voices - performers withvarying accents such as the voice trumpets, the narrator and the Lion and the Bear(voiced by Penelope Keith and Eric Sykes) which encourage children to listen.
"I believe television and video are the most underestimated force ineducating our children in the technological age," comments Anne. "It is importantto develop children's thinking skills. A child has to be able to develop the capacityto watch and listen at the same time. That's why children go back to favouritetapes and books time and time again. Those who say, 'I never let my child watchTV,' are denying their children an opportunity to learn."
Through the window of television
We should remember that many little ones spend a great deal of timeindoors in small spaces. We may deplore the conditions in which some childrenlive, so we must always remember that television can be a window to otherpossibilities.
The children who have seen Teletubbies have nicknamed it, 'the sun baby'sprogramme' after the smiling, laughing baby-faced sun that rises each dayover Teletubbyland - a perfect example of the effect of Anne Wood's clevermix of love and research.
2. Tab el ta nya jaw ab dari Anne Wood dan AndrewDaven port
NO KETERANGAN ISI TANYA JAWAB
Pertanyaan: Do you think the Teletubbies help young children? Is it educational?Why?
1.
Jawaban: The Teletubbies have tremendous fun living their lives and they reflecta child's own experiences for their enjoyment. This increaseschildren's confidence, something that everybody needs for a happystart in life.
Pertanyaan: Do you watch children watching your programmes?2.Jawaban: Yes, we do watch children watching Teletubbies and their reactions
tell us a lot about the programme. We know it is working when thechildren watch carefully and respond eagerly. This tells us that theyunderstand the story and will take their own meaning from it. Ifchildren are not stimulated by something on screen they simply walkaway to play with something else!
337
Pertanyaan: How did you think of the idea for the Teletubbies?3.Jawaban: People often ask how we thought of the idea, but Teletubbies is the
result of a great many ideas and processes painstakingly worked outover two years. The shortest answer is that we look to our audiencefor all our ideas - the programme is build out of how children play, howthey develop language and what they are naturally interested in.Added to that, we include as much comedy as we can.
Pertanyaan: How do you select the children who are featured in the programmes?Do they know that they're going to be seen on Teletubbies? If so, dothey get excited?
4.
Jawaban: We call the parts of the programme where children appear on theTeletubbies' tummy screens the 'inserts'. We have a number ofspecialist insert directors working in different areas of the country wholook out for children with a special interest or passion, no matter howsimple, that they can demonstrate or 'tell' to the camera.
For instance, one director encountered a child who loved washing up.So she filmed the child washing up. The child's enthusiasm speaks foritself on camera. When we showed the insert to children they wereabsolutely riveted! Children do look forward to being on theprogramme. Filming can be hard work for very young children, so wedo our best to make it fun.
Pertanyaan: How old are the Teletubbies? Will they ever age?5.Jawaban: The Teletubbies are characters that behave like children aged about
one or two. They will never grow older any more than Peter Rabbit,Kermit the Frog, Mickey Mouse or James Bond will age.
Pertanyaan: I am interested in working in television production and would like someadvice.
6.
Anne Wood: It was more a case that television found me than I found television. Iwas involved in publishing a magazine about books for children andthat's where it started. Television companies are looking for peoplewith specific skills and experience so be absolutely certain aboutwhich area of television production you want to work in and what skillsand experience you have. Then approach the production companiesyou think are relevant. You can find lists of independent productioncompanies and information about their trade organisation ProducersAlliance of Cinema and Television (PACT) in The Media Guide 2000(a Guardian book published by Fourth Estate at £15.00, ISBN 184115 232-3), or look for a copy in your local reference library.
7. Pertanyaan: On what basis did you compile your list of phrases commonly said bychildren? I am a graduate student in speech and language pathology,and I am wondering if you consulted any language specialists,linguists or even educators? Also, have there been any objectivestudies done on the benefit to early language with regards to yourshow?
338
AndrewDavenport:
I am also a graduate of speech and language pathology, which I foundinvaluable when 'designing' the language of the Teletubbies based onfeatures of the emerging speech of a young child.
Teletubbies is aimed for children at critical stages of languagedevelopment, so the programme concentrates on music, rhythms,temporal and spatial relations, as well as real children talking in theirown words about their own experiences. This is what we foundchildren enjoyed watching. We did not consult any languagespecialists, but have met many since the programme aired.
I am not aware of any objective studies of the benefits of theprogramme with regard to speech and language development, thoughwe do hear very positive anecdotal reports from parents and carers,notably of children affected by autism.
Sheffield Hallam University conducted a study based on use of theTeletubbies in a classroom situation. The findings were published in1999.
Pertanyaan: What did you like doing when you were young? Did you watch TV? Iask because, as a mother, I have been very careful to keep mychildren away from 'unsuitable' programmes - I consider theTeletubbies very 'suitable'.
Anne Wood: I did not watch TV until I was 14 because nobody in our village couldafford a TV set. Not that we noticed the lack - we used to make up ourown games and, of course, went to Saturday morning cinema
8.
AndrewDavenport:
I was lucky enough to grow up with 'Andy Pandy', 'The Woodentops','Pogle's Wood', 'The Clangers', 'Blue Peter', 'The World About Us','Horizon' and 'Arena', as well as 'Morecambe and Wise' and 'MontyPython'. I had plenty of other interests but television has always beena rich source of information and inspiration.
Not all programmes are necessarily good, or 'suitable', especially foryoung children. Viewing for children always has to be a matter ofpersonal judgement and common sense on behalf of a parent.
Pertanyaan: What do you think of modern technology? Is it harmful or neutral?9.Jawaban: Any child growing up in the modern world has to be familiar with new
forms of technology - TV and video games are now joined by theInternet and computer games. The technology is not harmful in its ownright but common sense tells us to check what message an individualgame or website is giving.
Pertanyaan: Why are the Teletubbies purple, green, yellow and red?10.Jawaban: We chose bright modern colours to go with the technological world of
the Teletubbies. The evidence is that young children prefer brightcolours - and everything in Teletubbyland is bright, happy andenergetic. It is also very important to give each Teletubby charactertheir own colour so that they are easily recognised by a young childwho is trying to follow the story.
11. Pertanyaan: Why are the Teletubbies so appealing to people of all ages from 18months to about 60 years?
339
Jawaban: The Teletubbies are designed to behave like happy, energetictoddlers, so of course they are appealing! Children enjoy the antics ofthe Teletubbies - they see their own world reflected in the stories.Adults seem to enjoy the innocent fun. Of course, we all enjoy thecomedy and everybody loves a 'Big Hug'!
Pertanyaan: Why do the Teletubbies have such strange names?12.Jawaban: The Teletubbies live in a playful world, over the hills and far away.
Their names are playful and fun to say. In our experience, childrenoften give extraordinary names to their favourite toy characters. Thenames might seem 'strange' to some people, but to Teletubbies - orchildren - they feel just right.
Pertanyaan: Why do you teach little kids 'Eh-oh!' instead of proper English like'Hello'?
13.
Jawaban: This must be the most frequently asked question about theTeletubbies but is also one of the most important in explaining theprogramme. We never teach children to say 'Eh-oh!' - that's just theway the Teletubbies say it. All the children (and adults) in theprogramme say, 'Hello'. We do know that children sometimes say 'Eh-oh!' when they are mimicking the Teletubbies, but they know very wellit's only a game. Children love to play with language - hence nurseryrhymes and nonsense verse - and playing with something is by fa r thebest way to learn about it.
Pertanyaan: Why haven't the Teletubbies got a dog?14.Jawaban: We're not sure that a dog would feel very much 'at home' in the
technological world of the Teletubbies. A toy dog did appear one dayin Teletubbyland. Tinky Winky and Dipsy had a lot of fun makingfriends with it. The episode is called 'Our Dog Alice'.
Pertanyaan: Why does Po speak Cantonese?15.Jawaban: Teletubbies is for all children, many of whom grow up speaking more
than one language. Po can speak Cantonese and enjoys using thislanguage as well as English. Po sometimes sings this song when sherides her scooter: "Fi-dit, fi-dit, fi-dit!" (fast) and, "Mar, mar, man!"(slow). They are English transcriptions of Cantonese. Po sometimescounts in Cantonese: "Ya, yi, sam, sae, mmm," (1,2,3,4,5).
Pertanyaan: In Britain, at least, there's a recurring view that very young childrenought not to be watching television. Is there anything from the successof Teletubbies that may have helped to disprove that argument?
Anne Wood: I can only speak from experience - and we have a lot of parents writingto say how much their children have benefited from watchingTeletubbies. This programme, they say, has made a significantcontribution to their children's development.
All anyone can do is their best and in order to do best you've got to beable to relax. Television is a perfectly legitimate way for parents andchildren to relax together.
16.
AndrewDavenport:
Teletubbies are extremely good role models: they're active; they'resocial; they love each other; they support each other; they approacheverything with enthusiasm and with curiosity; and they are extremelypositive. What's more, all the evidence is that when children watchtelevision they are not vegetating: they are dancing with theTeletubbies; they are singing with the Teletubbies; they are answeringback and telling the Teletubbies what to do.
17. Pertanyaan: You were criticised at the time for choosing babyish voices for theTeletubbies. What was the reason for them?
340
Anne Wood: Because they are babies - they are technological babies - so, for adramatic reason, you couldn't get them to speak as adults.
Andy and I compiled a list of the words and phrases that children firstmake their own and this comprises the Teletubbies' own vocabulary.Like children, they also imitate what they hear, so they will attempt tospeak like the narrator and, sometimes, like the voice trumpets. Andyis a particularly gifted writer for very young children because of hisacute ear for how they speak, which, of course, reflects how theythink.
Andrewdavenport:
Children learn language in the real world. Thus as an audience theywant to listen and pay attention, but what they are lacking - away fromTeletubbies - is information laid out in a form they can assimilate. Weprovide a set of voices that children respond to.
Adults speak like adults, children speak like children and Teletubbiesspeak like Teletubbies. Children understand a lot more aboutlanguage than we credit them for.
Children learn different voices from different sources and you cannever stop children learning language. You can only inform theirimagination.
Pertanyaan: Why does Teletubbyland look like it does?18.Jawaban: The Teletubbies live in their own world and the rabbits, the baby sun,
the windmill and the voice trumpet are just part of the landscape forthem. The Teletubbies love the rabbits and enjoy the flowers whosometimes speak. The voice trumpets represent the manytechnological devices that are a natural part of a child's life.
The baby sun offers reassurance as it is always happy and watchesthe Teletubbies with the same enjoyment that children do.
Pertanyaan: My friend has seen Teletubbies abroad and it's different...Why?19.Jawaban: Through the magic of Tubbytronic technology the Teletubbies can
make the programme to suit many different cultures around the world.This means that children in any country feel really comfortable with theTeletubbies because they speak in their language and show aspectsof local life in the inserts.
Pertanyaan: How could you have been so confident that children would love theTeletubbies? What form did your research take?
Anne Wood: Our ideas develop through watching children in our specially designedRagdoll shop in Stratford-upon-Avon and through our focus groups,which include individual families across the British Isles. We employfull-time testers, who copy tapes and provide equipment, and ourresearch is non-stop. We film children watching our programmes sothat we can learn from their body language and what they talk about.You can tell when their interest has been caught. We positively createopportunities for responses - we are constantly on the receiving end ofreactions and they constantly influence what we do.
20.
AndrewDavenport:
Informal response gathering helped to provide us with the wholestructural basis of Teletubbies. It's the way we keep in touch with ouraudience. There are ways of researching adult responses toprogrammes. Our way is to study the responses of children and wehave to be ingenious with the techniques.
341
Pertanyaan: What is the thinking behind the filmed inserts and why are theyrepeated?
Anne Wood: Children need to look at things much more than adults. Our formatenables them to listen and watch; they need to see things over andover again. It's one of the rules of producing the programme that theTeletubbies appear to play spontaneously, in the way that children do.It's a game that we are playing; children know that it is not real.Children live in the same world as the rest of us, but they perceive itdifferently.
21.
AndrewDavenport:
We have some evidence of how children respond to seeing thingsagain and again. A very young child can use videos to repeat asection of a programme over and over again. It's part of Teletubbies'function to encourage children to become screen literate: it's going tobe a world of screens rather than pages when they grow up.
Children's voices are used in the inserts: as soon as children saw theearly experimental inserts with children's voices in them, they lockedon to them. Children find it easier to listen to other children and seebaby shaped things.
We use television as a constructive thing, we can speed things up andwe can slow things down. We're just being silly with television, childrenknow that.
Pertanyaan: How did you research the programme?Anne Wood: Our ideas develop through watching children in our specially designed
Ragdoll shop in Stratford upon Avon, and through our focus groups,which include individual families across the British Isles. We employfull time testers, copying tapes and providing equipment, and ourresearch goes on all the time. We film children watching theprogrammes so that we can learn from their body language and whatthey talk about. You can tell when their interest has been caught.
22.
AndrewDavenport:
The informal response gathering helped to provide us with the wholestructural basis of Teletubbies. It's the way we keep in touch with ouraudience. There are ways of researching adults' response toprogrammes. Our way is to study the responses of children and wehave to be ingenious with the techniques
Pertanyaan: How important is the sound in Teletubbies?Anne Wood: It is very important. The way the sound is placed becomes space for a
child to predict. It is all to do with anticipating action. The music isspecially composed by Andrew McCrorie-Shand to be listened to bychildren. He has an intuitive understanding of how children hearmusic. The music is designed to get children to say, 'What's that?’.
23.
AndrewDavenport:
Sound is used in an active manner. Space is left for children torespond. One important use of sound is so that children can anticipatewhat's coming next, but the programme is so visual that it can beenjoyed with the sound down. Children with impaired hearingparticularly enjoy Teletubbies.
It is to do with making predictions from clues in the sound as well asfrom what a child can see on the screen. When a child can anticipateaccurately they get confidence, and so by the end of a programme, achild is feeling more confident because they've worked out forthemselves what's going to happen. As a writer, I write in the sound asa part of the programme.
342
Pertanyaan: What was the reaction outside Ragdoll to your early ideas?Anne Wood: The first presentations I ever made on the idea were greeted with a
kind of stunned silence. Someone in the BBC asked, 'Are these realrabbits?' In the US they thought it looked like a post-nuclear landscapecaught in sunshine!
24.
AndrewDavenport:
Everyone seeing it for the first time was aware they were seeingsomething completely new. They were all intrigued, but we were verymuch aware that if it had not come from the company with thereputation of making Tots TV, Rosie and Jim, and Brum, it wouldnever have got as far as it did. Very young children have no problemin identifying with what we have created. To them, it's all perfectlylogical.
Pertanyaan: What was your inspiration?Anne Wood: It came from a challenge. The BBC already had successful Pre-School
programmes, but these were for a higher age group than Teletubbies.The BBC wanted a programme for children younger than anyone hadever dared make before.
25.
AndrewDavenport:
We perceived the possibility for a different approach. Much had notbeen addressed before because of the reservations many peoplehave about television for very little children. That was the inspirationand the challenge.
Pertanyaan: Where did the idea for something so innovative come from?Anne Wood: Our ideas always come from children. If you make something for
children, the first question you must ask yourself is 'What does theworld look like for children?' They perceive the world very differentlyfrom grown-ups. We spend a lot of time watching very young children,how they play, how they react to the world around them, what they say
26.
AndrewDavenport:
Teletubbies is a worldwide success because children are the same theworld over. They grow, they learn language, and they learn to talk, tothink the same, wherever they grow up.
Pertanyaan: How much did the views you were getting differ from those reported bythe press from some parents and carers?
Anne Wood: Totally. Our confidence in the programme came from childrenwatching. We also had a very positive reaction from children to thefirst showing. What was disconcerting was criticism from those withineducation about our well-researched educational input. There is a lackof awareness still in Britain about how early learning starts.
27.
AndrewDavenport:
We had been receiving responses to the programme for longer than ithad been on air from children who had been shown the programme.So we had a picture of how it was being perceived that was different towhat the papers were reporting.We have structured Teletubbies from a very young child's point ofview. When certain things are seen or happen in the programme, suchas the windmill turning, children can predict what is going to happen.Likewise, with the voice trumpets: they make sound 'concrete.'The programme directs children to listen: so much of the environmentin which children grow up now precludes them learning from listening.Teletubbies actively functions to direct their listening.
28. Pertanyaan: Where is Teletubbies filmed?
343
Anne Wood: Teletubbies is filmed in the open air on a site in the Warwickshirecountryside. The Teletubbies' dome is real (and we can film insidewhen rain prevents us from working outside). The hills are real, therabbits are real, the windmill is real, some of the grass and flowers arereal and some are artificial. And the Teletubbies are real, in the sensethat they run and play in Teletubbyland just as you see them onscreen.We use computer generated images for a lot of the special effectssuch as the animals walking across the hills, water, boats and so on.Filming takes place for six months of the year: it's exhausting hardwork. It looks easy, but it's incredibly difficult. In addition to the peopleon site we have people working on post-production at facilities housesand at Pinewood Studios.It can take up to six months to make one half hour programme:scripting, directing, producing and editing. It is a highly craftedprogramme. Our performers who work with the Teletubbies have doneso well: it's very demanding work.
AndrewDavenport:
If you are making a fantasy for a child you must work very hard to takeit seriously: the colours, sets, voices, which character does what. Somany people are involved in making Teletubbies and they carepassionately about it. You can't expect a child to take a fantasyseriously if you have any cynical thinking. For us, Teletubbyland has tobe real; we believe in it absolutely.
Pertanyaan: How would you answer those people who say merchandising exploitsyour children?
Anne Wood: Far from exploiting children, we are creating a fantasy for them to playwith. Research indicates that children under seven can play veryimaginatively and even more imaginatively as a result of television.You can't ban merchandising. The merchandising industry is part ofour age. It's a fact of life that requires us to finance our work from thatsource. A broadcaster will not provide all of the funds to anindependent producer such as Ragdoll to make programmes. Thebalance has to come from merchandising.
29.
AndrewDavenport:
We are constantly asked this. Teletubbies enjoys success because itis good. If it were exploitative, it would have died by now.
Pertanyaan: Does Teletubbies differ from one country to another?Anne Wood: The voice will change in some cases. The American programmes are
longer, with an American voice for the narrator. In some countries,such as Portugal, the inserts are re-made to show local children. Wehope to encourage other countries to make their own inserts and thenwe can show some of them in the Teletubbies programmes broadcastby the BBC and other stations.
30.
AndrewDavenport:
The programme has to take note of speech patterns around the world.So in Estonia children know it as 'Teletupsuds.' And in theneighbouring country, Finland, whose language is similar, Tinky Winkyis Tiivi Taavi, Dipsy is Hipsu, Po is Pai - and Laa Laa stays the same.The essence always stays the same - it's funny in any language.
Pertanyaan: Are your other programmes influenced by the success of Teletubbies?31.Anne Wood: Each concept for a good programme is complete unto itself.
Teletubbies won't affect Rosie and Jim. If these concepts have a truthabout them, they are so self-evident that they can't be destroyed. Eachproject really has sufficient strength, a resilience, which prevents itfrom being influenced or diluted. One thing I have learned: the fewerwords the better.
344
AndrewDavenport:
The other programmes have always been very strong. WhatTeletubbies has done is raise their profile and drawn attention toRagdoll's work.
Pertanyaan: Can we visit Teletubbyland?32.Jawaban: Teletubbyland is located at a secret spot in the heart of the
Warwickshire countryside and as a film set is not open to the public.However the Ragdoll shop in Stratford upon Avon has many Teletubbyattractions for young children including a Teletubbies theme roomcomplete with Teletubby control panel, Teletubby slide and Noo-nooride-on. Children can also talk to the Teletubbies on the phone andwrite and post them a letter or drawing in their own Teletubby postbox.
Pertanyaan: What next?Anne Wood: If you are working for children, there is always something new to
discover. We are both moving forward to bring something new to ourwork.
33.
AndrewDavenport: One possibility is a feature film - but not of the Teletubbies
Catatan tambahan: Tabel di atas disusun kembali dengan perbaikan berdasarkannaskah yang dipublikasikan melalui domain internet milik BBC Corporation dan RagdollProduction.Online Document: http://www.bbc.co.uk/education/teletubbies/information/faq/ danhttp://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/
3. Tel etu bbies Covera ge
Teletubbies has been sold to 102 broadcasters in 78 territories and can be seen in
111 countries and is translated into 41 languages.
In fact these programmes can be picked up by other territories via satellite
increasing the total number of countries which can receive Teletubbies to over
120.
Algeria, Antigua & Barbuba, Argentina, Australia, Austria, Bahamas, Bahrain,
Barbados, Belgium, Belize, Bolivia, Bosnia, Brazil, Bulgaria, Cayman Islands,
Canada, Chad, Chile, China, Colombia, Costa Rica, Croatia, Cuba, Czech Republic,
Denmark, Dominican Republic, Djibouti, Dubai, Ecuador, Egypt, Eire, El Salvador,
Estonia, Finland, France, Germany, Greece, Grenada, Guadeloupe, Guatemala,
Honduras, Hong Kong, Hungary, Iceland, India, Indonesia, Iran, Iraq, Israel, Italy,
Jamaica, Japan, Jordan, Kenya, Kuwait, Latvia, Lebanon, Libya, Lithuania,
345
Malaysia, Malta, Martinique, Mauritania, Mexico, Montenegro, Montserrat,
Morocco, Myanmar, Netherlands, New Zealand, Nicaragua, Norway, Oman,
Panama, Paraguay, Peru, Philippines, Poland, Portugal, Puerto Rico, Qatar, Russia,
Saudi Arabia, Serbia, Singapore, Slovakia, Slovenia, Somalia, South Africa, South
Korea, Spain, St Kitts - Nevis, St Lucia, St Vincent & the Grenadines, Sudan,
Sweden, Switzerland, Syria, Taiwan, Thailand, Trinidad & Tobego, Tunisia, Turkey,
United Arab Emirates, United Kingdom, United States, Ukraine, Uruguay,
Venezuela, Virgin Islands, Yemen.
Online document:
http://www.ragdoll.co.uk/teletubbies/progr_teletubbiescoverage.html
4. Tel etu bbies Award ed
2001 Best Pre-school Education AwardThe Royal Television Society
2000 The IndiesBBC AUDIO CALLEighth Annual AwardsIndependent TV Productions
1999 LIMA Awards (Licensing Industry Mercahandising Awards/USA),5 categories.
346
1999 The IndiesNICKLEODEON UK CHILDREN'S AWARDSeventh Annual Awards forIndependent Television Productions
1998 CHILDREN'S BAFTABest Pre-School Programme
1998 Marketing Society AwardsNew Product of the Year
1998 THE Nats CHILDREN'S AWARDSixth Annual Awardsfor Independent Television Productions
1998 VENDOR OF THE YEARRavensburger
1997 PROGRAMMES AWARDAwards of Excellence (Video Rome Entertainment)'Dance with the Teletubbies''Here Come The Teletubbies'
1997 British Association of Toy RetailersToy of the Year (Golden Bear)
1997 AWARD FOR CHILDREN'S ENTERTAINMENTRoyal Television Society
347
1997 CITY OF BIRMINGHAM AWARDBest Midlands ProducedChildren's Television Production of 1997(Celebrating a unique contribution tothe media industry in the region)
1997 GRANDPRIZE WINNERPRE-SCROOL EDUCATION CATEGORY24th Japan Prize International Contest, Tokyo'Teletubbies - Playing in the Rain'