toleransi dalam qs. al-kafirun ayat 1-6 dalam perspektif
TRANSCRIPT
Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6
dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
Ahmad Munandar
NIM. 1113011000059
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UINIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
ABSTRAK
Ahmad Munandar (1113011000059). Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn
Ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab.
Dalam agama Islam, Rasulullah s.a.w merupakan teladan yang paling utama
dalam kehidupan beragama, beliau memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap
orang orang yang berseberangan dan berbeda secara keyakinan. Rasulullah tidak
pernah memaksakan kehendaknya agar orang lain mengikuti ajarannya. Ketika
beliau mendakwahi pamannya Abū Ṭālib, beliau tidak menggunakan bujuk rayu
dan kekerasan. Terhadap kafir żimmi (yang berada dilindungan negara) beliau
tetap menghargainya dan melindungi hak haknya.
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif
yang mana penelitian ini berbasis kajian dari berbagai studi dan kumpulan dari
jenis materi empiris keperpustakaan atau Library Research. Penelitian ini
menggunakan metode penafsiran tokoh dengan pendekatan analisis konten.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam penafsiran Muhammad
Quraish Shihab tidak ditemukan diksi toleransi secara langsung. Namun penulis
menemukan pemaknaan toleransi merujuk kepada sebuah pengertian dari toleransi
itu sendiri, maka makna toleran yang dimaksud dalam penafsiran Muhammad
Quraish Shihab adalah pada kata kompromi yang muncul 6 kali dalam tafsir surah
al-Kāfirūn di kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ. Ada 2 hal yang ditemukan dalam diksi
toleransi dalam kata kompromi beliau yakni: Bahwa tidak ada kompromi (titik
temu) dalam hal peribadatan. Jadi dalam hubungannya dalam wilayah ibadah
(penyembahan), tidak ada dan tidak bisa dikompromikan (tidak bisa
dipertukarkan) atas dasar tema yang kedua yakni relasi hubungan antar pemeluk
agama. Kemudian menghormati keyakinan ketika seseorang sudah memeluk
agama. Berdakwah atau mengajak untuk memeluk maupun mengenali Islam
diperbolehkan, namun pada prinsipnya ketika respon orang tersebut tetap dalam
kondisi keyakinannya ia tidak berpindah dan kemudian ia pun tidak menerima
Islam, maka hal itu merupakan bukan tanggung jawab kita selaku pemeluk agama
Islam untuk menjadikan ia masuk menjadi pemeluk agama Islam juga. Sebagai
seorang muslim haruslah menghormati orang tersebut untuk tetap dalam
keyakinannya agamanya.
Kata Kunci: Islam, Toleransi, Berkompromi.
ii
ABSTRACT
Ahmad Munandar (1113011000059). Tolerance within the QS. al-
Kāfirūn verse 1-6 based on the perspective of Prof. Muhammad Quraish
Shihab
In Islamic religion, Rasulullah s.a.w is the utmost role model in living a
religious life, he possesses a high level of tolerance upon people with counterpart
and different believes other than himself. Rasulullah has never imposed his will to
obligate others in following his teaching. Whence, he preached upon his uncle
Abū Ṭālib, he did not use any kind of manipulation and violence. Upon kafir
żimmi (which reside and protected by the nation) he respect and protects their
rights.
In the research of this dissertation, one employs a qualitative research type
in which the research is based on the several studies and composition of library
empirical materials that is study based or Library research. This research is
employing interpretation of figure method with content analyze approach.
The result of the research is that within the interpretation of Muhammad
Quraish Shihab has not been found explicit tolerance diction. However, one found
the meaning of tolerance that refer to a definition of tolerance itself, therefore the
meaning of tolerance within the interpretation of Muhammad Quraish Shihab is
that upon the word compromise which appeared 6 times within the interpretation
of surah al-Kāfirūn in the book of the interpretation of al-Miṣbāḥ. There are 2
matters that are found within the tolerance diction within the word compromise
that he believes in: There are no compromise (meeting point) within liturgy. Thus,
the relation of liturgy (worship), there are not any and can not be compromised
(unexchangeable) based on the foundation of the second theme which is the
relation between religions followers. Then, respecting others faith once they
decided to be the follower of such faith. Preaching or persuading others to
understand Islam is allowed, however if the respond of the person is strong within
his faith that they will not convert and he did not accept Islam, therefore that is
not the responsibility of us as the followers of Islam to make others become a
follower as well. As a muslim, we ought to respect the individual to stay strong
within his faith.
Keywords: Islam, Tolerance, Compromise.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirraḥmānirraḥīm
Puji syukur kehadirat Allah s.w.t serta shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad s.a.w atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis telah
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn ayat 1-6
dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab”.
Skripsi ini merupakan pemenuhan tugas akhir mahasiswa di Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul terkait diangkat
oleh penulis dilatarbelakangi maraknya tindakan intoleran yang
mengatasnamakan agama dan dinamikanya dalam bermasyarakat. Sehingga
penulis mengangkat tema toleransi dalam kaitannya dengan al-Qur‟an agar
menampik tindakan intoleran tersebut dan menumbuhkan bagian Islam yang
raḥmatan lil ‘ālamīn.
Dalam penyelesaian skripsi penulis menyadari bahwa pencapaian ini tidak
dapat diraih tanpa dukungan banyak pihak maka dari itu penulis mengucapkan
terimaksih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Hj. Sururin, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.
4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.
5. Drs. Abdul Haris, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.
6. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.
7. Dr. Dimyati, M.Ag. Dosen Pembimbing Akademik yang selalu sabar dan
istiqomah dalam membimbing penulis di kampus dari awal hingga akhir
perkuliahan.
iv
8. Dr. Muhammad Sholeh Hasan, Lc., M.A. Dosen pembimbing yang
memberikan bimbingan, arahan serta motivasi kepada penulis selama
menyusun skripsi ini.
9. Bapak H. Munajat, SE. dan Ibu Hj. Sukarmi selaku orang tua yang selalu
mendoakan, memberikan kasih sayang dan dukungannya hingga sampai detik
ini dengan tulus ikhlas.
10. KH. Rahmat Hidayat, guru pembimbing yang terus mendukung, mendidik
dan selalu mendoakan penulis agar terus hidup bergerak menjalani hidup
dengan ikhlas, sabar dan benar sebagai modal dalam menyikapi hidup.
11. Dr. Eva Nugraha, M.Ag. Kajur Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Periode 2019-2023.
Yang telah bersedia berbagi pengetahuan, pengalaman dalam dunia tafsir
pada proses penyusunan skripsi ini.
12. Isna Ramadani Bsc., yang sampai saat ini menjadi support system, teman
berpikir, teman emosional, teman spiritual, yang juga telah bersedia
menemani penulis secara virtual untuk terus berjuang dalam proses menuju
cita-cita dan harapan untuk hidup bersama.
13. Teman-teman Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Faris, Fadel, Kastubi,
Yazid, Hamim, Kholik. Teman-teman UKM Resimen Mahasiswa angkatan
Nusantara 2013, Althaf, Fuad, Tomy, Fathur, Khaidir, Arief, Asmamia,
Faika, Fany, Nicken, Nita, Yuniar, dan Iqlima dan teman-teman Jurusan
Pendidikan Agama Islam angkatan 2013 yang sudah membantu dan berjuang
selama ini.
Kepada berbagai pihak yang terlibat dan berandil besar dalam penyelesaian
skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis
menerima kritik dan saran yang membangun untuk mengembangkan skripsi ini.
Semoga Allah memberikan balasan dan menjadikannya sebagai amal saleh. Āmīn
yā rābbal „ālamīn.
Tangerang Selatan, 10 Juli 2020
Penulis
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987
1. Padana Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ṡ es dengan titik atas ث
j Je ج
ḥ ha dengan titik bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
ż zet dengan titik atas ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
ḍ de dengan titik bawah ض
ṭ te dengan titik bawah ط
ẓ zet dengan titik bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
vi
gh ge dan ha غ
f Ef ؼ
q Qi ؽ
k Ka ؾ
l El ؿ
m Em ػم
n En ن
w We و
h Ha ه
Apostrof ` ء
y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ـــ
I Kasrah ـــ
U Dammah ـــ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ـــ ي
Au a dan u ـــ و
vii
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ᾱ a dengan topi di atas ىا
Ī i dengan topi di atas ىي
Ū u dengan topi di atas ىو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-dīwān.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (ـــ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ورةلضرا ) tidak ditulis ad-
darūrah melainkan al-darūrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbūṭah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūṭah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūṭah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbūṭah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
viii
No Kata Arab Alih Aksara
قةیرط 1 Ṭarīqah
ةیلإسلاما لجامعةا 2 al-jāmī’ah al-islāmiyyah
دلوجوة احدو 3 wahdat al-wujūd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abū Ḥāmid al-Ghazālī bukan Abū Ḥāmid Al-Ghazālī, al-
Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al- Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-
Rānīrī.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (Fi‘il), kata benda (Isim), maupun huruf (Ḥarfu)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas
ix
Kata Arab Alih Aksara
لقرءان ٱأنزل فيه Unzila fīhil-qur`ānu
لدى ٱت م ن ن ب ي Bayyinātim minal-hudā
لعسر ٱيريد بكم Yurīdu bikumul-'usra
ة ٱ لتكملوا لعد Litukmilul-'iddata
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.
Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis Majīd; Mohamad Roem, bukan
Muhammad Rūm; Fazlur Rahman, bukan Fazl al-Rahmān.
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 10
C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 10
D. Rumusan Masalah ................................................................................. 10
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 10
1. Tujuan Penelitian .............................................................................. 10
2. Manfaat Penelitian ............................................................................ 11
KAJIAN TEORI ............................................................................................. 12
A. Pengertian Toleransi.............................................................................. 12
B. Macam-macam Toleransi ...................................................................... 15
1. Toleransi Antar Sesama Agama ....................................................... 15
2. Toleransi Antar Umat Agama .......................................................... 16
C. Wilayah Toleransi ................................................................................. 18
1. Akidah .............................................................................................. 18
2. Syariah .............................................................................................. 20
3. Akhlak .............................................................................................. 20
D. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................. 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 25
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 25
B. Metode Penelitian.................................................................................. 25
1. Jenis Penelitian ................................................................................ 25
2. Sumber Data Penelitian ................................................................... 26
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 26
1. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 26
2. Teknik Pengolahan Data ................................................................... 26
xi
D. Analisis Data ......................................................................................... 27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 28
A. Surah al-Kafirun .................................................................................... 31
1. Ayat dan Terjemahannya ................................................................ 31
2. Munasabah Surah ............................................................................ 31
B. Pembahasan ........................................................................................... 32
1. Negasi Berkompromi dalam Ibadah.................................................. 32
1.1 Argumen yang Digunakan .............................................................. 32
a. Asbab Nuzul ................................................................................ 32
b. Penafsiran Ayat dengan Ayat lainnya .......................................... 34
1.2 Relasi Kekafiran atas Ketauhidan ................................................... 35
a. Pengingkaran atas Allah .............................................................. 36
b. Pengingkaran atas Rasul Allah .................................................... 37
c. Pengingkaran atas Pemberian Allah (Nikmat) ............................. 39
d. Pengingkaran atas Jalan/ Aturan Allah ........................................ 41
2. Penghormatan Atas Keyakinan Beragama ........................................ 42
2.1 Argumen Makna Dīn ....................................................................... 42
a. Secara Kebahasaan ...................................................................... 42
b. Tafsir Ayat, QS. Saba´ (34): 25 ................................................... 45
2.2 Tafsiran Lafaz Dīn .......................................................................... 48
3. Relasi Hubungan Antar Pemeluk Agama ....................................... 48
4. Pertanggung Jawaban atas Perilaku Peribadatan ............................ 49
5. Eksistensi Agama dan Keyakinan Beragama .................................. 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 56
A. Kesimpulan ........................................................................................... 56
B. Implikasi ................................................................................................ 58
C. Saran ...................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’ān merupakan kitab suci umat Islam yang memuat ajaran-ajaran dan
petunjuk agar manusia dapat selamat dalam kehidupan, baik kehidupannya di
dunia maupun di akhirat. Melaksanakan petunjuk yang ada dalam al-Qur’ān, ini
berarti bahwa ia dapat menyikapi ajaran Islam, namun kembali lagi kepada
manusia itu sendiri, antara memilih menjalankan atau memanfaatkan nilai-nilai
yang terkandung dari ajaran Islam maupun meninggalkannya. Ketika manusia itu
memilih untuk kembali kepada al-Qur’ān dan menjalankan petunjuk yang ada di
dalamnya berarti manusia tersebut memilih untuk mengharapkan/mendapatkan
ketenangan lahir maupun batin. Sebaliknya, ketika manusia itu memilih untuk
meninggalkan ajaran yang ada dalam al-Qur’ān berarti ia telah memilih untuk
menerima datangnya waktu kehancuran untuk dirinya. Meski pada realitanya
orang-orang di luar Islam yang lebih giat menggali dan mengkaji tentang alam
semesta raya, sehingga mereka menjadi lebih unggul dari bangsa lainnya,
walaupun umat Islam lah yang seharusnya semangat dan tetap berpegang teguh
kepada al-Qur’ān.1
Al-Qur’ān juga termasuk kitab yang menegakkan toleransi, karena toleransi
merupakan salah satu cara untuk mempersatukan perbedaan terlebih lagi dalam
sebuah perbedaan keyakinan. Wujud dalam toleransi Islam adalah diwujudkan
dengan cara nabi Muḥammad s.a.w menghormati agama-agama diluar agama
Islam seperti agama Nasrani dan Yahudi. Bentuk penghormatan ini dibuktikan
dengan nabi Muḥammad s.a.w yang tidak pernah menghancurkan tempat ibadah
orang-orang diluar Islam.
Dalam QS. al-Ḥajj ayat 40 secara tegas berisikan tentang larangan untuk
merusak tempat ibadah, yang berbunyi “Dan sekiranya Allah tiada menolak
1 Muḥammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’ān, cet. 4, (Bandung: Mizan, 1999), h.
21.
2
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid-masjid.” Imam al-Qurṭubī berpendapat, ayat ini menjelaskan dan
menegaskan secara syariat bahwa Allah s.w.t memberlakukannya di bumi ini, atas
dasar syariat yang diberlakukannya itu Allah s.w.t telah memberikan perlindungan
terhadap tempat ibadah dari kekuasaan/tangan-tangan yang tidak
bertanggungjawab maupun tangan-tangan yang berbuat aniaya. Secara
proporsional dan adil, Nabi Muḥammad s.a.w tak henti-hentinya memberikan
perhatiannya kepada pemeluk agama Nasrani, Yahudi maupun pemeluk agama
lainnya di luar agama Islam agar terpenuhi hak-haknya. Hal ini terbukti ketika
Nabi Muḥammad s.a.w memberikan kesempatan maupun kebebasan untuk
melakukan ibadah kepada para pendeta dari Bani al-Hariṡ dan Najrān. Nabi
Muḥammad s.a.w memberikan jaminan berupa hak beribadah kepada Nasrani dan
menjamin utuk tidak membumihanguskan tempat ibadah mereka, sewaktu Umar
bin Khattab merebut Yerussalem. Semua adalah gambaran kecil yang menjadi
bukti, bahwa agama Islam secara tegas menolak adanya bentuk terror maupun
bentuk perusakan terhadap tempat ibadah non-muslim.2 Sikap toleran tinggi
Rasulullah s.a.w. juga merupakan bentuk dakwah terhadap perjuangan Islam
tanpa adanya jalur paksaan, sehingga dalam sejarah masyarakat Arab berbondong-
bondong untuk masuk dalam agama Islam yang hanif.
Rasulullah s.a.w adalah teladan paling utama pada kehidupan beragama
dalam agama Islam. Beliau memiliki sikap toleransi yang sangat tinggi, terutama
terhadap pihak yang berseberangan dalam hal perbedaan keyakinan. Beliaupun
tidak pernah memaksakan ajaran Islam yang disampaikannya kepada umat
manusia untuk diikuti dengan jalan paksaan. Dakwah yang beliau sampaikan
kepada orang terdekatnya pun tidak menggunakan kekerasan ataupun dengan
bujuk rayu pada saat mendakwahi pamannya sendiri, yakni Abū Ṭālib. Bahkan
tehadap orang kafir yang lemah sekalipun, Nabi Muḥammad tetap melindungi dan
menjaga hak-haknya. Pada saat utusan dari Habsyah (Ethiopia) datang menemui
2 Nashih Nashrullah dan Chairul Akhmad, “Hukum Merusak Tempat Ibadah (3-habis)”,
2012, (www.republika.co.id). Diakses pada tanggal 12 Mei 2020.
3
Rasulullah s.a.w, beliaupun tetap menghormatinya walaupun utusan tersebut
pemeluk agama Nasrani. Rasulullah s.a.w ingin menghormati mereka
sebagaimana mereka telah dihormati oleh orang-orang yang berada dalam
lingkungannya. Pada saat Rasulullah s.a.w hijrah ke kota Madinah, beliau justeru
tidak mengusir orang-orang Yahudi yang sudah menetap disana. Bahkan sikap
interaksi yang baik ditunjukkan oleh Rasul dengan terciptanya sebuah perjanjian.
Isi yang sudah disepakati dalam perjajian tersebut diantaranya adalah bahwa, baik
orang-orang Yahudi maupun orang-orang Islam memiliki kebebasan dan hak-hak
yang sama dalam bentuk pelaksanaan ajaran agama masing-masing untuk
dilaksanakan. Rasulullah s.a.w pun pernah memberikan penghormatan kepada
orang Yahudi yang meninggal dunia. Rasulullah s.a.w amatlah bijaksana dalam
kehidupan bermasyarakat. Bahkan kepada tetangganya, sekalipun beliau tidak
melihat apa agamanya. Beliau juga menjauhi permusuhan dan tidak pernah
melukai/menyakiti hati tetangganya karena sebuah perbedaan, apalagi dalam hal
perbedaan keyakinan. Sikap yang Rasulullah s.a.w lakukan tersebut harusnya
menjadi teladan yang agung bagi kita semua, selaku umat Islam dalam kehidupan
kita sehari-hari. Bagaimana sikap toleransi Rasulullah terhadap tetangganya, dapat
kita terapkan pada interaksi kita kepada tetangga yang berbeda keyakinan. Sikap
toleransi Rasulullah mencermikan ajaran agama Islam yang penuh dengan
kedamaian. Meski negara Indonesia bukanlah negara Islam, sepatutnya kita tetap
menghormati perbedaan, menjunjung tinggi kebersamaan dan persatuan. Sehingga
tetap tercipta kedamaian serta jauh dari bentuk ekstrimisme yang timbul karena
tidak adanya sikap toleransi dalam hubungan terhadap sesama manusia.3
Toleransi memiliki tempat dan peran yang penting dalam terjaganya
persatuan bangsa dan keutuhan negara, khususnya dalam toleransi keberagamaan.
Kelompok agama yang tidak memiliki sikap yang toleran dapat membahayakan
keutuhan negara Indonesia, karena dapat menimbulkan berbagai konflik bagi
pemeluk agama manapun. Sikap intoleransi di Indonesia tetap ada, walau dalam
skala yang kacil. Tindakan radikal yang mengatasnamakan agama nyaris tak
3 Abdurrahman Siregar, “Meneladani Sikap Toleransi Rasulullah s.a.w”, 2019,
(www.kompasiana.com). Diakses pada tanggal 9 Juni 2020.
4
terlihat. Meskipun ada dan terlihat, dinamika kecil keberagamaan dan keagamaan
dapat diselesaikan serta didamaikan. Agama menjadi sumber kekuatan untuk
membangun kebersamaan maupun sikap berkasih sayang terhadap sesama
sejatinya. Ini berarti bahwa agama itu bukanlah hanya sebagai sumber inspirasi
maupun sumber motivasi dalam hidup.4
Kehadiran toleransi ini sangat membantu mendamaikan atau mengurai
benang kusut perselisihan diantara umat manusia. Namun akhir-akhir ini banyak
terjadi perselisihan karena persoalan keyakinan (agama). Misalkan larangan
memilih pemimpin non-muslim yang terjadi pada munculnya ijtima ulama
diberbagai pihak pada sebuah kontestasi pemilihan umum yang menimbulkan
gesekan khususnya pada kalangan masyarakat Indonesia.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak risau dalam menghadapi isu
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang memanas jelang Pilkada DKI
2017. Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, Rumadi
Ahmad, mengatakan bahwa PBNU sudah pernah mengeluarkan fatwa pada 1999
tentang memilih pemimpin non-Muslim. "Fatwa kepemimpinan kalau MUI,
Muḥammadiyah, sudah jelas memilih pemimpin kafir tidak boleh, titik. Namun,
NU punya fatwa-nya yang membolehkan, kata ulama pada tahun 1999," kata
Rumadi di Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2016). Dalam fatwa itu dijelaskan bahwa
boleh memilih pemimpin non-Muslim jika pertama memang tidak ada orang
Islam yang mampu memimpin. Kedua, ada calon beragama Islam, tetapi karena
dikhawatirkan berkhianat, boleh memilih alternatifnya yang non-Muslim. “Ketiga,
memilih pemimpin non-Muslim selama tokoh itu dianggap tidak jadi ancaman
bagi umat Islam, boleh saja,” kata Rumadi. Rumadi menjelaskan bahwa
kepemimpinan dan pemilu selalu jadi masalah bagi pemilih beragama Islam sebab
ada teks yang mengaturnya. Teks itu pula yang menjadi rujukan atau senjata
untuk keuntungan politik. Menurut Rumadi, konteks di balik teks ini adalah
peperangan pada masa lampau. “Bagi orang NU tidak ada lagi peperangan. Jadi,
4 Enjang Muhaemin dan Irfan Sanusi, “Intoleransi Keagamaan dalam Framing Surat Kabar
Kompas”, Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi. UIN Sunan Gunung Djati Bandung Vol. 3.
Nomor 1. 2019, h. 18.
5
sekarang masa perdamaian. Kalau perdamaian me-refer ke ayat yang tadi itu
(haram memilih pemimpin kafir) ya itu tidak relevan” kata dia.5
Puluhan ribu massa yang tergabung dalam Aliansi Peduli Umat dan Bangsa
menggelar aksi unjuk rasa di Pintu Monas Barat Daya, Gambir, Jakarta, Ahad
(4/8). Mereka mengajak warga Ibu Kota untuk tidak memilih gubernur
nonmuslim pada Pilgub DKI 2017 mendatang. Aliansi itu terdiri dari para anggota
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Forum RT RW,
Laskar Luar Batang, Amju, dan sejumlah organisasi lain. Aksi yang diikuti anak-
anak, remaja, hingga dewasa itu digelar mulai pukul 09.00 WIB dan rampung
sekitar pukul 12.00 WIB. Dalam aksinya, peserta membentangkan spanduk
bernadakan penolakan terhadap pemimpin nonmuslim. Mereka juga membawa
bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta ormas lainnya. “Kita tegas menolak
pemimpin kafir. Hal ini sudah termuat dalam al-Qur’ān,” kata Jubir HTI,
Muḥammad Ismail Yusanto. Ismail mengatakan, kepemimpinan adalah perkara
yang sangat penting. Dalam pandangan Islam, kata dia, kemaslahatan bersama
atau rahmatan lil alamin seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan dan
ketenteraman serta kesucian dan sebagainya, hanya akan benar-benar terwujud
bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syariat Islam dan menegakkan amar
ma’ruf nahi mungkar. “Tanpa syariah Islam yang diterapkan secara kaffah, yang
terjadi bukan kemaslahatan atau kerahmatan, tetapi mafsadat atau kerusakan
seperti yang terlihat saat ini,” ucap dia. Maka, syarat utama pemimpin haruslah
seorang Muslim. “Bila bukan Muslim, bagaimana mungkin ia bisa diharap
menerapkan syariah dan menegakkan amar makruf, sedangkan ia tidak beriman
pada syariah dan tidak memahami kewajiban amar makruf nahi mungkar?”. “Oleh
karena itu, dalam pandangan Islam, sebagaimana disebut dalam al-Qur’ān surah
An Nisa ayat 41, haram mengangkat nonmuslim atau orang kafir menjadi
pemimpin bagi kaum Muslimin.”6
5 Nibras Nada Nailufar, “PBNU Merujuk ke Fatwa 1999 tentang Pemimpin Non-Muslim”,
2016, (www.kompas.com). Diakses pada tanggal 10 Juni 2020 6 Karta Raharja Ucu, “Puluhan Ribu Massa Dukung Pemimpin Muslim”,
(www.republika.co.id), 2016, Diakses pada tanggal 12 Juni 2020.
6
Isu-isu kontra toleransi bagai api dalam sekam di Indonesia, yang lambat
laun akan terus “membakar” atau menciderai persatuan umat, seakan terus-
menerus terjadi pengulangan pada momen-momen tertentu dalam kehidupan
beragama. Klaim kafir di Indonesia terhadap perbedaan pendapat sudah menjadi
fenomena yang biasa pada wilayah sosial seperti dalam pemilihan umum baik
pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden dan juga pada ranah lain seperti
ucapan selamat pada acara keagamaan bagi peringatan hari besar umat beragama
lain.
Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta melarang
umat Islam merayakan Hari Natal 2019 dan Tahun Baru 2020. Hal itu dituangkan
dalam Maklumat FPI DKI Jakarta Tentang Hari Natal dan Malam Tahun Baru
Masehi yang dirilis Sabtu (21/12). Dalam maklumat tersebut, FPI DKI meminta
umat Islam untuk tak turun ke jalan. Mereka beralasan Natal dan Tahun Baru
bukan ajaran agama Islam. “Tidak turut meramaikan dan tidak pasang
petasan/kembang api serta tidak turun ke jalan pada Hari Natal dan malam Tahun
Baru Masehi 2020 Masehi, karena ini bukan ajaran dari agama Islam,” tulis
maklumat yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (23/12). Maklumat itu
ditandatangani Ketua Tanfidzi DPD FPI DKI Jakarta Abdul Majid, Sekretaris
Tanfidzi DPD FPI DKI Jakarta Sahid bin Yahya, dan Imam DPP FPI DKI Jakarta
Muchsin bin Zaid Al-Attas. FPI DKI juga mengimbau umat Islam untuk mengisi
dua hari itu dengan berzikir, berselawat, dan bermunajat kepada Allah untuk
kepentingan agama, bangsa, dan negara. Umat Islam juga diminta merayakan
tahun baru Islam. “Meramaikan malam tahun baru Islam setiap 1 Muharram,”
tuturnya. FPI DKI juga menginginkan umat Islam untuk memperkokoh persatuan
dan kesatuan masyarakat. Salah satunya dengan cara meningkatkan kepedulian
terhadap semua golongan. “Meningkatkan kepedulian sosial dan kemanusiaan
antarsesama manusia dengan seadil-adilnya tanpa memandang suku, agama, ras,
antargolongan, dan lainnya sesuai dengan ajaran agama dan amanat konstitusi
NKRI,” tulis FPI DKI dalam maklumat tersebut. Polemik perayaan ataupun
pengucapan selamat Hari Natal kembali muncul ke permukaan. Sebelumnya,
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur melarang umat Islam, kecuali Wakil
7
Presiden RI Ma'ruf Amin, mengucapkan selamat natal. Sementara MUI tak
melarang ucapan tersebut. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid mengatakan
pihaknya tidak melarang dan tidak pula menganjurkan ucapan selamat natal.
Sebab MUI belum pernah membuat fatwa khusus untuk hal tersebut. “MUI Pusat
sendiri belum pernah mengeluarkan ketetapan fatwa tentang hukumnya
memberikan tahniah atau ucapan selamat natal kepada umat Kristiani yang
merayakannya. Sehingga MUI mengembalikan masalah ini kepada umat Islam
untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada sesuai dengan keyakinannya,”
tutur Zainut lewat keterangan tertulis, Senin (23/12).7
Klaim kebenaran oleh sebagian kelompok disini adalah menjadi problem
kehadiran Islam yang dapat diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu
muncul beberapa kelompok yang meng-counter pemikiran-pemikiran intoleransi
tersebut, salah satunya yang akan dibahas pada penelitian atau skripsi kali ini
adalah tentang pemikiran Muhammad Quraish Shihab.
Muhammad Quraish Shihab adalah ilmuwan tafsir yang menginginkan
kemudahan bagi masyarakat Islam pada umumnya sebagai motivasi besar agar
giat dalam memahami, mempelajari dan mengkaji al-Qur’ān secara objektif akan
pesan, kesan dan kandungan didalamnya. Beliau juga mengajak masyarakat
muslim Indonesia untuk mengagumi dan mencintai al-Qur’ān untuk memandang
al-Qur’ān secara objektif dengan baik dan benar dikarenakan fenomena yang
berkembang di masyarakat muslim sebagian besar kita yang hanya terpesona akan
keindahan merdunya lantunan bacaan al-Qur’ān, sedangkan kitab suci al-Qur’ān
diturunkan bukan hanya untuk dibaca saja, namun al-Qur’ān haruslah di hayati
atau di tadabburi dengan mendayagunakan potensi akal manusia yang telah
diberikan oleh Allah s.w.t. Sehingga pengahayatan manusia itu tercermin dari
sikap yang diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk rasa
syukur dan keimanan terhadap Allah s.w.t.
Muhammad Quraish Shihab merupakan salah satu ilmuan yang berasal dari
Indonesia yang dalam kehidupannya pernah menghabiskan masa studi dipesantren
7 Tri Wahyuni, “FPI DKI imbau umat Islam tak Turun ke jalan saat tahun baru”, 2019,
(www.cnnindonesia.com). Diakses pada tanggal 11 Juni 2020.
8
dan di perguruan tinggi al-Azhar, di Mesir. Al-Azhar sebagai latarbelakangnya
merupakan salah satu perguruan tinggi Islam yang menjunjung tinggi moderasi
(wasaṭṭiyyah). Wujud atau implementasi dari moderasi ditengah perguruan tinggi
al-Azhar ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran para guru atau dosen yang
mengajar disana, sebut saja al-Maraghī, Yusūf al-Qarḍāwī dan lain-lain, yang
merupakan salah satu dari sekian cendekiawan muslim yang menghadirkan
gagasan-gagasan yang “mempertemukan” atau yang disebut dengan moderasi.
Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu dari alumnus atau lulusan al-
Azhar tentunya beliau akan mewarisi sikap-sikap moderasi disini.
Moderasi Islam Muhammad Quraish Shihab itu dapat juga dilihat dari
gagasan-gagasan beliau yang dihadirkan dalam berbagai media, baik dalam media
cetak maupun digital. Media cetak yang memuat gagasan-gagasan Muhammad
Quraish Shihab sungguh sangat tidak sedikit, misalkan dari buku-buku beliau
yang sudah diterbitkan di penerbit Mizan atau ditempat penerbitannya sendiri
yakni di Lentera Hati. Buku yang menarik yang masih sangat relevan pada sampai
saat ini yang banyak dikaji oleh para peneliti adalah karya tafsir, karya
monumental beliau atau masterpiece yaitu Tafsīr al-Miṣbāḥ. Dalam Tafsīr al-
Miṣbāḥ berisi landasan-landasan yang toleran, seperti dalam masalah perdamaian
QS. al-Ḥajj (22) ayat 40:
“(yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang
benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah
tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang
Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah
pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah
Mahakuat, Mahaperkasa”.
Pandangan Quraish Shihab terhadap ayat QS. al-Ḥajj (22) ayat 40 dipahami
bahwa Allah s.w.t. tidak menghendaki kehancuran rumah-rumah ibadah, sehingga
9
sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk senantiasa menjaganya. Oleh sebab
itu, umat Islam bukan saja memeli hara masjid, tetapi juga rumah-rumah ibadah
umat agama lainnya. Selain itu, pakar-pakar tafsir dan hukum Islam juga
melarang merobohkan gereja-gereja aẓ-Ẓimmah, atau menjualnya kepada yang
lain, demikian juga berlaku bagi rumah peribadatan umat yang lain.8 Kemudian
banyak sekali pandangan yang toleran yang bisa dijumpai dari Muhammad
Quraish Shihab khususnya pada wilayah toleransi dalam praktek sosial
keagamaan seperti membenarkan atau mendukung pengucapan ucapan selamat
natal pada momen peringatan hari besar umat nasrani, karena menurut beliau
ucapan selamat natal itu bukan untuk mengimani atau meyakini keimanan mereka
tetapi untuk mengapresiasi atau menghormati keyakinan mereka.
Hal yang lebih spesifik tentang masalah toleransi dalam al-Qur’ān adalah
kandungan QS. al-Kāfirūn. Pada QS. al-Kāfirūn Muhammad Quraish Shihab
mengomentari bahwa seorang muslim dengan seorang nonmuslim memang
memiliki keyakinan yang berbeda kendatipun demikian mereka tidak boleh saling
mencemooh, menghardik atau menyalahkan keyakinan mereka karena itu akan
menyalahkan pemikiran mereka, bukan mempersatukan mereka tetapi akan
memperkeruh tali persaudaraan dan hal itu nanti akan berdampak pada munculnya
benih-benih permusuhan. Pada QS. al-Kāfirūn ini Muhammad Quraish Shihab
memimpikan tentang moderasi (wasaṭṭiyyah), karena moderasi itu merupakan
solusi untuk mempertemukan perbedaan yang seringkali kita selisihkan di
sebagian orang ataupun kelompok. Dan moderasi merupakan sikap atau mental
dari toleransi, namun peneliti tidak membahas tentang moderasi. Dalam surah al-
Kāfirūn ada beberapa kata yang menjadi fokus dalam menyikapi hidup yang
sangat kental dan berkaitan erat dengan toleransi, bagaimana Muhammad Quraish
Shihab memaknai toleransi yang tercermin dalam kandungan dan uraiannya
dalam surah al-Kāfirūn. Memaknai kata kafir maupun agama dalam surah
tersebut. Maka dari itu berdasarkan dari uraian tentang pentingnya manusia untuk
memiliki sikap yang toleran dan juga gagasan Muhammad Quraish Shihab akan
8 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan,
Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 78-79.
10
hal itu dalam karyanya, penulis tertarik untuk mengangkat tema pada penulisan
penelitian/skripsi ini dengan judul “Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn ayat 1-6
dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab”.
B. Identifikasi Masalah
1. Masyarakat di Indonesia belum memahami toleransi dan pentingnya
toleransi dalam kehidupan beragama.
2. Pendidikan toleransi adalah cita-cita untuk semua agama agar
mempertemukan perbedaan.
3. QS. al-Kāfirūn menyatakan Lakum dīnukum waliyadīn, redaksi ayat ini
menunjukkan kebebasan kita untuk memeluk keyakinan. Akan tetapi di Indonesia
ada sebagian kelompok yang menyebutkan kebenaran hanya pada agama Islam.
4. Apakah Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu ulama tafsir
yang memahami tentang toleransi beragama?
C. Pembatasan Masalah
Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn dalam perspektif Muhammad Quraish
Shihab.
D. Rumusan Masalah
Bagaimana pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang Toleransi dalam
QS. al-Kāfirūn?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui toleransi dalam QS. al-Kāfirūn pada pemikiran
Muhammad Quraish Shihab.
b. Untuk menganalisis toleransi yang terkandung dalam QS. al-Kāfirūn
dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ.
11
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan menjadi sumber penelitian lanjutan
mengenai toleransi dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab dikemudian
hari oleh peneliti selanjutnya dan dapat digunakan dalam pengembangan
keilmuan tafsir al-Qur’ān khususnya dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ surah al-Kāfirūn.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan
secara ilmiah dan memberikan wawasan kepada masyarakat luas. Kemudian
nantinya hasil dari penelitian ini dapat dilaksanakan dalam praktik bertoleransi
kehidupan sehari-hari.
12
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Toleransi
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, toleransi memiliki pengertian sebagai sifat
toleran atau sikap menenggang rasa dalam artian lain membolehkan, menghargai,
membiarkan pendirian ataupun pandangan, pendapat, kebiasaan, kepercayaan,
kelakuan yang kontra atau berbeda dengan pendirian pribadi. Selain itu, toleransi
bermakna sebagai sifat atau sikap toleran dengan limitasi skala pengurangan atau
penambahan yang diperbolehkan untuk diterapkan terhadap suatu hal. 1
Kata toleransi berasal dari bahasa Latin tolerantia yang selanjutnya
berkembang dalam bahasa Inggris menjadi tolerance. Sedangkan, dalam bahasa
Arab istilah toleransi merujuk kepada kata tasāmuḥ atau tasahul yaitu yang berarti
to be indulgent, to tolerate, to overlook, forbearing, excuse, tolerant, lenient dan
merciful. Selanjutnya, kata tasāmuḥ merujuk kepada makna hilm dan tasahul yang
diartikan sebagai toleration, forbearance, mercy, indulgence, leniency, tolerance,
lenitt, clemency dan kindness. 2
Disamping kata toleransi, dalam percakapan sehari-hari digunakan pula kata
“tolerere” yang merupakan bahasa Belanda. Kata ini memiliki arti yaitu
membolehkan dan/atau membiarkan dengan pengertian lebih lanjut yaitu
membolehkan dan/atau membiarkan yang pada prinsipnya sesuatu yang tidak
perlu terjadi. Maka, dapat ditarik pemahaman bahwa toleransi mengandung suatu
konsesi. Dimana, konsesi merupakan pemberian yang didasari hanya pada
kebaikan hati nurani dan kemurahan, serta bukan didasari kepada semata hak yang
harus dipenuhi daripada pihak terkait. Sehingga, suatu hal yang jelas bahwa
toleransi itu ada dikarenakan adanya perbedaan dalam aspek prinsip, tanpa
meninggalkan prinsip pribadi dengan menghormati serta menghargai prinsip
1 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, h. 1538 2 R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya, (Bandung: Pustaka, 1993),
ix.
13
orang lain. Ini berarti toleransi tetap melihat pada batas-batas penerimaan sebuah
perbedaan tanpa mengabaikan atau meninggalkan pandangan diri sendiri.3
Istilah tasāmuḥ dalam Islam pada dasarnya tidak semata-mata selaras
maknanya dengan kata tolerance saja, namun tasāmuḥ juga mempunyai arti lain
yaitu memberi serta mengambil. Lebih lanjut, dapat ditarik pemahaman bahwa
Tasāmuḥ juga mengandung suatu harapan terhadap satu pihak untuk memberi dan
mengambil pada saat yang bersamaan. Selain itu, Tasāmuḥ terdiri dari tindakan
tindakan berupa penerimaan serta tuntutan dalam batasan tertentu. Dalam Islam,
subjek atau pelaku yang melakukan tasāmuḥ tersebut dinamakan sebagai
mutasamihin, yang mempunyai arti yaitu pemaaf, menawarkan, penerima dan
pemurah sebagai tuan rumah kepada tamunya. Dalam melakukan tasāmuḥ, orang
yang melakukan tindakan ini tidak sepantasnya menerima begitu saja tanpa
memikirkan dan mencerna akan suatu hal perihal atau keadaan yang
menyebabkan adanya penekanan atas batasan hak serta kewajiban orang tersebut
secara pribadi. Dengan kata lain, perilaku tasāmuḥ memiliki pengertian untuk
tidak saling melanggar batasan dalam beragama, terutama yang berkaitan erat
dengan batas-batas aqidah keimanan. Walaupun demikian, dalam banyak konteks
kata tasāmuḥ seringkali dikaitkan dan berhubungan dengan kata “toleransi”.
Sebenarnya, dalam ayat-ayat yang tertulis pada al-Qur‟ān kata tasāmuḥ ataupun
toleransi tidak ditemukan secara tersurat. Namun, al-Qur‟ān memberikan
gambaran terhadap toleransi secara konseptual dan eksplisit dengan segala
batasan-batasannya. Maka dari itu, bentuk dari implementasi sebagai rujukan
dalam menjalani kehidupan dapat diambil berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang
merupakan penjelasan tentang konsep toleransi.4 Sehingga, toleransi dalam
konteks ini memberikan ruang yang luas untuk berpikir akan pandangan-
pandangan baru terhadap pengertian toleransi yang dalam keselarasan dengan
kehidupan pada konsep kebutuhan yang didasari oleh al-Qur‟ān dan
interpretasinya sebagai sumber yang merupakan referensi dalam menjalani hidup.
3 Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: PT. Ciputat Press,
2005), h. 13. 4 Adeng Muchtar Ghazali. “Toleransi Beragama dan Kerukunan dalam Perspektif Islam”.
Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol. 1 No. 1, 2016, h. 28.
14
Secara awam, toleransi seringkali distereotipkan atas sikap mengalah,
menahan diri, membolehkan, membiarkan ataupun sikap atas kesabaran, lapang
dada atas kelakuan, pandangan, keyakinan serta kebiasaan orang lain yang
bertentangan dan berbeda dengan personal diri pelaku toleransi itu sendiri.
Selanjutnya, toleransi yang utuh bukanlah sikap seseorang yang tidak perduli,
cenderung acuh, apatis dan cuek terhadap pandangan, perilaku dan sikap pihak
lain. Selain itu, toleransi juga bukanlah sikap mengalah akan prinsip pribadi
dalam rangka berkompromi atas permasalahan pokok yang melibatkan lain pihak.
Kemudian, ia bukan juga sikap yang merupakan pembenaran atas pandangan serta
tindakan pihak lain. Sejatinya toleransi adalah sikap menghormati dan menghargai
kesetaraan harkat dan martabat manusia, penerimaan dan pengakuan atas
perbedaan yang disebabkan oleh luasnya cara berpikir dan adanya kebebasan
berpikir serta penerimaan adanya hati nurani masing-masing-masing secara
alamiah dengan keberagamannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor terkait.
Kesempurnaan perilaku atau tindakan dan sikap toleran adalah dengan hidup
didasari dengan kasih terhadap Tuhan, sesama dan lingkungan hidup serta alam.5
Toleransi terhadap semua aspek kehidupan tanpa pengecualian secara holistik di
dunia yang beranekaramnya dan saling terkait satu dengan yang lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah segala bentuk yang pada
akhirnya membentuk sikap-sikap positif berupa tenggang rasa, penghormatan,
perbedaan pandangan dalam kehidupan yang beragam, pemahaman, penghargaan
dan penghormatan dengan tidak langsung menyetujui atau melakukan pembiaran
terhadap suatu tingkah laku dikarenakan proses interaksi sistem dan lingkungan
terhadap diri pribadi ataupun sebaliknya dari diri ke sistemnya dengan tidak
meninggalkan batasan kewajiban, hak dan prinsip-prinsip personal.
5 J. Drost, Mgr. J. Sunarka, J. Riberu, Dkk, Toleransi dalam Kehidupan Keluarga dan
Masyarakat, (Jakarta: Sekretariat Komisi SPE/APP Bekerjasama dengan LDD- KAJ, Komisi PSE-
KWI, 2003), h. 41.
15
B. Macam-macam Toleransi
1. Toleransi Antar Sesama Agama
Dalam praktiknya agama berkaitan erat dengan toleransi, sehingga muncul
toleransi beragama yang memiliki arti sebagai toleransi dengan cakupan pada
permasalahan keyakinan diri pribadi manusia yang berkaitan dengan akidah atau
pula yang berkaitan dengan ke-Tuhanan yang ia yakini. Seorang individu harus
mendapatkan haknya untuk diberikan kebebasan dalam memeluk suatu agama
(memiliki akidah) serta menyakini masing-masing keyakinan ataupun agama yang
dipilihnya dengan menghormati pelaksanaan serta penganutan ajaran-ajaran yang
diyakininya tersebut. Maksud toleransi yang terkandung di dalamnya adalah agar
dibolehkan berkembangnya suatu sistem yang dapat menjamin personal, harta dan
benda serta aspek minoritas yang ditemukan dalam interaksi sosial budaya
bermasyarakat dengan tentunya adanya penghormatan terhadap moralitas lokal
yang terkait, agama secara general dan birokrasi terkait. Kandungan yang lain
juga adalah sebagai bentuk penghargaan pendapat lain dengan perbedaan Socio-
culture tanpa perselisihan yang didasari oleh perbedaan agama dan/atau keyakinan
itu. Selanjutnya, toleransi beragama berarti menyikapi segala sesuatu dengan
lapang dada sebagai bentuk penghormatan dan pembiaran pemeluk agama
masing-masing untuk beribadah menurut ajaran dan aturan agama yang mereka
anut serta yang mereka imani tanpa mengganggu serta memaksakan dari pihak
manapun termasuk keluarganya sendiri.6
Diketahui ada dua pola yang mendasari dari hubungan dalam beragama
yaitu adanya hubungan secara vertikal (ke atas) dan hubungan horizontal (ke
samping). Yang dimaksud dengan hubungan vertikal tersebut adalah hubungan
seorang hamba dengan Penciptanya secara langsung dan personal yang dilakukan
melalui tata cara ibadah yang dilakukan berdasarkan ketentuan agama masing-
masing. Secara keseluruhan hubungan ini dilakukan secara personal. Meskipun
6 Masykuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 13. Lihat M. Nahdi Fahmi “Toleransi antar umat beragama
dalam al-Qur‟ān (Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6),” Skripsi pada IAIN Sunan Ampel
2013, h. 17-18.
16
demikian, ada beberapa bagian dan tata cara yang diutamakan untuk bersama-
sama atau berjamaah yaitu shalat fardu di dalam agama Islam. Dalam hubungan
ini berlakulah toleransi beragama yang batasannya hanya pada lingkungan internal
suatu agama terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan horizontal
adalah hubungan seorang manusia dengan sesamanya. Dalam hubungan ini tidak
ada hanya dibatasi pada internal suatu agama saja namun juga mencakup pihak
agama lain dalam bentuk kompromi dan kerjasama dalam penyelesaian
permasalahan umum dilingkungan sosial untuk kemaslahatan masyarakat luas.
Dalam hubungan horizontal ini lah diberlakukan toleransi didalam pergaulan
kehidupan antar umat yang beragama.7
2. Toleransi Antar Umat Beragama
Pengahayatan tentang ajaran-ajaran setiap umat yang beragama merupakan
sumber bagi toleransi didalam pergaulan kehidupan antar umat tersebut. Said Agil
Al Munawar berpendapat bahwa toleransi itu dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu toleransi yang dinamis dan toleransi yang statis. Toleransi yang dinamis
diartikan Sebastian toleransi yang pro-aktif dalam upaya mewujudkan tujuan
kolektif antar umat beragama dan bukan yang bersumber literasi teoritis,
melainkan sebagai hasil introspeksi didasari persamaan umat dalam satu
kebangsaan. Sedangkan, toleransi yang statis memiliki sifat yang kaku dan
terkesan hanya sebagai rujukan dikarenakan bentukanya yang teoritis serta tidak
menimbulkan adanya dampak kerjasama antar umat.8
Berdasarkan pendapat Harun Nasution, ada lima hal yang diliputi oleh
toleransi yaitu 9 Upaya menganalisa terhadap kebenaran yang terdapat dalam lain
agama. Dalam artian bahwa kebenaran yang merupakan keyakinan ataupun iman
terdapat pula dalam agama lain. Ini akan mengarahkan umat beragama yang
beragam ini pada kebenaran yang relatif serta menunjukkan adanya pluralisme
agama-agama. Hal ini menunjukkan adanya suatu kepercayaan bahwa bila
7 Said Agil al-Munawar, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.
14. 8 Ibid., h. 16. Lihat M. Nahdi Fahmi “Toleransi antar umat beragama dalam al-Qur‟ān
(Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6),” Skripsi pada IAIN Sunan Ampel 2013, h. 18. 9 M.T Dyayadi, Kamus Lengkap Islamologi (Yogyakarta: Qiyas, 2009), h. 614.
17
kebenaran ada di agama-agama lain maka adanya membuat Tuhan yang mutlak
menjadi relatif. Sedangkan, pernyataan ini selaras dengan pernyataan John Hick
yang telah lama ia nyatakan melalui buku miliknya yang berjudul A Christian
Theology of Religions: The Rainbow of Faiths.10 Poin kedua, meminimalisir
adanya perbedaan-perbedaan pada agama yang beragam. Selanjutnya, pada poin
ketiga mengutamakan persamaan yang terdapat dalam agama yang beragam ini.
Walaupun demikian, yang terpenting bukanlah persamaan antar setiap agama
tersebut melainkan perbedaannya.
Pada poin keempat, menumbuhkan persaudaraan dengan konsep ketuhanan
yang esa. Selanjutnya poin kelima, menghindari agresi terhadap praktik beragama
masing-masing. Dari sini bisa diambil pemahaman bahwa Harun menelaah masa
kelam sekte di dalam agama Kristen pada zamannya. Dikarenakan secara historis
agama Islam tidak pernah melakukan penyerangan terlebih dahulu terhadap
agama-agama lainnya melainkan agama islam memberikan perlindungan untuk
agama Kristen dan Yahudi dengan toleransi yang berbatas tertentu. Kemudian, ini
dapat ditelusuri secara historis dalam masa kepemimpinan Rasulullah Nabi
Muhammad s.a.w serta Khulafā’ ar-Rasyidin.
Zuhairi Misrawi menyetujui pendapat Harun Nasution dalam pernyataannya
yang termaktub dalam bukunya yang berjudul al-Qur’ān Kitab Toleransi dimana
dia menyatakan bahwa dalam ruang lingkup antar-agama dan Intra-agama,
toleransi menjadi bagian yang terpenting.11
Selanjutnya, dia berpendapat bahwa
toleransi juga berarti sebagai usaha dalam pemahaman atas agama-agama lainnya
karena tidak dapat dipungkiri bahwa agama tersebut mempunyai ajaran yang
selaras dengan cinta-kasih, kedamaian dan toleransi.12
Selain daripada itu, dia
menyimpulkan bahwa pada dasarnya toleransi itu bersifat absolut dipraktikkan
oleh siapapun yang mempunyai akal pikiran, hati nurani serta keimanan.
Kemudian, gambaran akan toleransi haruslah direalisasikan dengan menggandeng
10
John Hick, A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths (America: SCM,
1995), h. 23. 11
Zuhairi Misrawi, al-Qur’ān Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2007), h. 159. 12
Ibid.
18
tokoh agama ataupun ulama dengan keutamaaan pembangunan toleransi antar
beragama tersebut.
Berdasarkan ulasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan
dunia Barat terhadap toleransi yang memiliki arti sebagai sikap dan perilaku
membendung perasaan tanpa perlawanan sedikitpun, dalam keadaaan benar
maupun salah dengan cakupan yang tak terbatas serta termasuk di dalamnya
toleransi beragama. Hal ini menggambarkan bahwa pluralisme dalam beragama
mempengaruhi istilah toleransi di dalam pemahaman dunia Barat. Dimana
pemahaman ini menjadikan adanya peleburan antar keyakinan antar umat yang
beragama. Dualisme salah dan benar pun menjadi kabur sehingga nyaris tiada.
Pada akhirnya, setiap umat yang beragama pun meyakini dengan tegas atas
kebenaran yang relatif dalam agama-agama yang lain daripada kebenaran yang
absolut. Maka dapat diibaratkan beragama itu seakan-akan seperti menggunakan
pakaian yang dapat diganti sewaktu-waktu.
Maka dapat diambil pemahaman bahwa toleransi antar umat yang beragama
adalah sikap ataupun perilaku seorang individu sebagai umat beragama yang
memiliki keimanan ataupun keyakinan untuk menghargai serta menghormati
individu yang beragama lainnya. Hal ini berkaitan juga dengan sila pertama dalam
Pancasila yang bersifat tegas dan cenderung absolut mengenai ketakwaan
terhadap Tuhan menurut kepercayaan dan agama sendiri. Pada dasarnya, setiap
agama menghormati dan menghargai setiap manusia maka dari itu umat yang
beragama pun harus juga untuk menghargai sesama umat beragama. Maka dari itu
kerukunan dalam kehidupan pun dapat terjalin antar umat yang beragama tersebut.
C. Wilayah Toleransi
1. Akidah
Akidah jika dipandang dari sudut pandang arti bahasa yang sebenarnya
memiliki akidah memiliki arti dari sebuah akar kata ‘aqada-ya’qidu-’aqan-
‘aqidatan kemudian dengan akar kata itu timbullah pemaknaan yang berarti
simpul, ikatan, perjanjuan dan kokoh. Lalu selanjutnya akar kata dari ‘aqada-
ya’qidu-’aqan-‘aqidatan berbentuk menjadi kata ‘aqidah maka dalam hal ini
19
bermakna keyakinan. Hubungan ataupun kaitannya dalam padanan kata tersebut
yakni dalam kata „aqdan dan dalam kata „aqdan adalah bermakna keyakinan yang
tersimpul dalam hati yang kokoh. Kemudian beberapa definisi dari makna akidah
itu sendiri dalam arti dari sudut pandang istilah yang dikutip oleh Yunahar Ilyas
adalah sebagai berikut:13
1) Menurut pandangan dari Hassan al-Banna
‘Aqa’id14
(bentuk jamak dalam kata aqidah) memiliki arti segala perkara
yang mendatangkan ketentraman dalam jiwa dan kebenarannya berada dalam hati
yang tidak dapat tercampur dengan sesuatu yang samar tanpa adanya keraguan
sedikitpun yang timbul serta wajib diyakini kebenarannya.
2) Menurut pandangan dari Abud Bakar Jabir al-Jazairy
Aqidah merupakan beberapa kebenaran yang bisa diterima dengan atas
dasar pijakan akal (rasio), wahyu maupun fitrah manusia. Sehingga hal tersebut
melekat erat dalam hati manusia baik dari segi kebenaran secara keberadaannya
(pasti) tanpa ada kontradiksi dengan kebenarannya itu dan diyakini dengan
sebenar-benarnya.
Dari pengertian kedua ahli tersebut mengenai akidah maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa akidah atau keimanan merupakan keyakinan yang timbul dari
hati yang terdalam dan keyakinan itu terhubung pada Allah SWT. yang bersumber
dari wahyu serta akal pikir (rasio manusia) sehingga dengan keyakinan itu
mengukuhkan kebenaran yang ada dalam diri seseorang dan menolak segala
sesuatu yang bertentangan.
13
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2013), h. 1. Lihat Abqori Hisan
“Nilai-nilai Pendidikan Akidah Akhlak Yang Terkandung Dalam QS. al-Ankabut Ayat 8-11”
Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. h. 15. 14
‘aqa’id, suatu keyakinan atau kepercayaan yang menetapkan bahwa Allah s.w.t itu Esa,
Pencipta dan Pengatur alam semesta dengan segala isinya, dan Dia yang wajib disembah, tempat
meminta pertolongan. Lawan Tauhid adalah syirik (mempersekutukan Tuhan) atau Mulhid (tidak
mengakui adanya Tuhan). yang membahas tentang akidah umat Islam, berhubungan dengan:
masalah ketuhanan, kenabian dan hal-hal yang gaib, seperti Qadha dan Qadar, Hari Kiamat,
Surga, Neraka dsb. dan membahasnya secara dalil-dalil naqliyah (dinukil dari al-Qur‟ān atau
Hadis) dan aqliyah (sesuai dengan jalan pikiran manusia). Shodiq Shalahuddin Chaery, Kamus
Istilah Agama, (Jakarta: CV Sientarama, 1983), Cet. I. h. 35
20
2. Syariah
Menurut Moh. Ali Aziz Syari'ah meliputi dua aspek pesan dakwah yaitu
ibadah dan muamalah.
1) Ibadah
Pelaksanaan kewajiban azasi manusia sebagai hamba Allah terhadap Allah
atau semua bentuk perbuatan penghambaan diri manusia kepada Allah. Jadi
ibadah tersebut menyangkut ibadah meliputi tata cara shalat, zakat, puasa, haji dan
ibadah-ibadah lainnya.
2) Muamalah
Muhammad Yusuf berpendapat bahwa muamalah adalah segala peraturan
yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
hidup dan kehidupan.15
Jadi muamalah merupakan susunan aturan yang tersusun secara rinci dari
Allah s.w.t yang berkaitan dengan urusan dunia dalam hubungannya secara sosial.
Maka syari‟ah dapat disimpulkan sebagai tatacara untuk seorang hamba
berinteraksi dengan Allah s.w.t sebagai pencipta, serta tatacara untuk berinteraksi
dengan sesama hamba.
3. Akhlak
Masalah akhlak adalah etika dalam mengatur masalah keimanan dan
kelslaman seorang Muslim. Akhlak atau moral merupakan pendidikan jiwa agar
jiwa seseorang dapat bersih dari sifat-sifat yang tercela dan dihiasi dengan sifat-
sifat terpuji, seperti rasa persaudaraan dan saling tolong menolong antar sesama
manusia, sabar, tabah, belas kasih, pemurah, dan sifat-sifat terpuji lainnya.16
“Aspek akhlak dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan etika, moral, budi
pekerti dan lain-lain. Namun demikian, sesungguhnya konsep akhlak memiliki
dimensi yang lebih luas daripada konsep etika, moral, atau budi pekerti. Sebab
15
H. Hendi Suhendi, Fiqh Muama/ah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h 2. Lihat
Sukriah “Analisis Isi Pesan Dakwah M. Quraish Shihab Dalam Buku Menabur Pesan Ilahi”
Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.18. 16
Mansyur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1999),
Cet. Ke-1, h. 11-13. Lihat Sukriah “Analisis Isi Pesan Dakwah M. Quraish Shihab Dalam Buku
Menabur Pesan Ilahi” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.19.
21
konsepsi akhlak tidak hanya rnencakup hubungan manusia dengan flora dan
fauna, serta hubungan rnanusia dengan alarn lingkungannya. Sedangkan
hubungan manusia dengan al-Khalik sering disebut ihsan.”17
Menurut Abudin Nata, “Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim
mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, yang berarti al-
sajiyah (perangai), aṭ-ṭab’ah (kelakuan, tabi‟at, watak dasar), al-adat (kebiasaan,
kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan ad-dīn (agama).”18
Sedangkan, pengertian akhlak menurut Abuddin Nata secara istilah dapat
disimpulkan sebagai sifat yang melekat pada diri seseorang dan menjadi
identitasnya. Selain itu akhlak dapat pula diartikan sebagai sifat yang telah
dibiasakan, ditabiatkan, didarahdagingkan, sehingga menjadi kebiasaan dan
mudah dilaksanakan, dapat dilihat indikatornya, dan dapat dirasakan
manfaatnya.19
Menurut istilah etimologi perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu,
akhlāqun yang bentuk jamaknya adalah khāliqun ini mengandung arti “budi
pekerti, tingkah laku, perangai dan tabiat”. Kata akhlak ini berakar dari kata
khāliqun, yang artinya menciptakan. Kata akhlak merupakan satu akar kata
dengan khāliqun (pencipta), makhlūqun (yang diciptakan) dan khāliqun
(penciptaan). Di sini memberi makna bahwa antara kehendak Allah sebagai
khāliqun dan perlakuan seorang makhlūqun perlu adanya sebuah keterpaduan.
Manusia harus menjalani kehidupan ini sebagaimana diinginkan oleh Allah
(khaliq), segala perilaku, tindak tanduk, budi pekerti, tabiat manusia harus sesuai
dengan apa yang disukai Allah. Jika tidak sesuai dengan perintah Allah itu berarti
manusia menunjukkan kecongkakan, kesombongan, dan melawan kehendak
Pencipta. Kita manusia adalah makhluk yang dhaif sekali di hadapan Yang Maha
Kuasa, oleh karena itu eloklah kita menjadi manusia yang taat dan patuh kepada
segala ketentuan-Nya termasuklah dalam menjalankan akhlak sehari-hari dalam
17
Irfan Hielmy, Dakwah Bil Hikmah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), h. 90. 18
Abudi Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2015), h. 1. Lihat Hermawati Rosidi “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab al-Akhlak Lil Banin Jilid
I”, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019, h. 21. 19
Ibid., h. 208.
22
kehidupan ini. Dalam Lisan al-Arab, makna akhlak adalah perilaku seseorang
yang sudah menjadi kebiasaannya, dan kebiasaan atau tabiat tersebut selalu
terjelma dalam perbuatannya secara lahir. Pada umumnya sifat atau perbuatan
yang lahir tersebut akan mempengaruhi batin seseorang. Akhlak juga dapat
dipahami sebagai prinsip dan landasan atau metode yang ditentukan oleh wahyu
untuk mengatur seluruh perilaku atau hubungan antara seseorang dengan orang
lain sehingga tujuan kewujudannya di dunia dapat dicapai dengan sempurna.20
Dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perilaku yang berlandaskan konsep
daripada interaksi habluminannas dan habluminallah untuk menyeimbangkan
kehendak Allah s.w.t dan kehendak hamba-Nya agar tercapai kesempurnaan
dalam menyikapi kehidupan.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Kajian penelitian mengenai tentang toleransi bukan suatu hal yang baru,
sehingga penulis belum menemukan secara komperhensif dan detail tentang
toleransi dalam QS. al-Kāfirūn menutut perspektif atau pemikiran dari
Muhammad Quraish Shihab, terlebih lagi dari berbagai sumber beliau secara
verbal maupun non-verbal. Pada penelitian yang diteliti oleh peneliti lain didapati
beberapa poin yang dapat dilihat dengan jelas, dimulai dengan penglihatan secara
langsung pada judul terkait, mengenai wilayah maupun konsep toleransi
antarumat beragama yang kajiannya tentu dalam ayat-ayat toleransi al-Qur‟ān di
kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ. Kemudian penelitian lain juga mengkomparasikan
pemikiran Muhammad Quraish Shihab yang berkaitan dengan tafsir al-Kāfirūn
dengan pemikiran atau pandangan dari mufassir Indonesia yang lain dan lain
sebagainya. Tetapi dalam penelitian ini kalimat beragama atau komparasi
terhadap para mufassir lain, baik di dalam negeri maupun dinusantara penulis
tiadakan, mengingat toleransi yang akan dibahas dalam penelitian ini dalam
20
Muhammad Abdurrahman, Akhlak: Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2016), h. 6. Lihat Gustin Ambarsih “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Untuk Peserta
Didik Menurut M. Quraish Shihab Dalam Buku Yang Hilang Dari Kita: Akhlak”, Skripsi pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019, h. 18.
23
bahasan toleransi secara murni dalam QS. al-Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ. Untuk
itu perlu penulis paparkan beberapa penelitian yang relevan agar tidak ada
pengulangan judul maupun pembahasan yang sama berdasarkan kajian penelitian
yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini. Berikut ini adalah penelitian yang
relevan dari peneliti sebelumnya mengenai ruanglingkup toleransi maupun QS. al-
Kāfirūn:
1. Skripsi dengan judul “Toleransi Beragama dalam al-Qur‟ān (Telaah Atas
Tafsir Surah al-Kāfirūn Ayat 1-6)” karya dari Muḥammad Ahmadi. Skripsi atau
penelitian ini membahas tentang bagaimana Toleransi beragama dalam surah al-
Kāfirūn dengan menggunakan metode penelitian deskriptif komparatif yang hasil
dari penelitian tersebut bahwa toleransi antarumat beragama adalah sebuah
keniscayaan, sehingga semua umat manusia khususnya umat Islam yang
mengikuti al-Qur‟ān dan Sunnah menjadi tuntunan dalam menyikapi kehidupan
sesuai 2 pokok ajaran Islam itu sendiri. Tafsir al-Kāfirūn menjadi salah satu tafsir
atau surah dalam al-Qur‟ān yang menjelaskan mengenai larangan terhadap
interaksi maupun kerjasama dalam hal ibadah dan muamalah dengan agama lain.
Sehingga berkompromi dalam hal bentuk ritual kegamaan pun dalam hasil
penelitian tersebut tidak diperbolehkan, namun terciptanya kerukunan dalam
hubungan antarumat beragama harus terjaga dengan sikap toleran yang harmonis.
2. Skripsi dengan judul “Toleransi antar umat beragama dalam al-Qur‟ān
(Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6)” karya M. Nahdi Fahmi. Skripsi ini
membahas tentang bagaimana konsep toleransi antar umat beragama dalam
ruanglingkup kajian telaah pendidikan dan interaksi sosial lainnya. Hasil dari
penelitian M. Nahdi Fahmi ini bahwa toleransi beragama terdapat batasan-batasan
dalam menyikapi perbedaan. Islam memberi ruang untuk tegas dalam menyikapi
perbedaan dengan sikap toleransi berupa sikap baraa‟/penolakan secara
menyeluruh terhadap semua bentuk kesyirikan di wilayah akidah dan ritual
ibadah/hukum. Antar umat beragama tidak dibenarkan ikut mencapuri urusan-
urusan khusus agama lain dalam surah al-Kāfirūn berdasarkan pijakan tafsiran
para mufassir.
24
3. Skripsi dengan judul “Pendidikan Toleransi Beragama dalam al-Qur‟ān”
karya Yasin Hakim. Skripsi ini membahas tentang konsep pendidikan toleransi
beragama dalam al-Qur‟ān dengan menggunakan metode penelitian analisis tafsir
taḥlīly berdasarkan hasil dari analisa penilitian ini berupa tafsir al-Qur‟ān 4 surah,
yakni QS. al-Baqarah (2): 256, QS. al-An‟ām (6): 108, QS. Mumtahanah (60): 8,
dan QS. al-Kāfirūn (109): 6. Hasil dari penelitian Yasin Hakim ini bahwa konsep
pada pendidikan toleransi beragama yang termuat dalam al-Qur‟ān yakni QS. al-
Baqarah (2): 256, QS. al-An‟ām (6): 108, QS. Mumtahanah (60): 8, dan QS. al-
Kāfirūn (109): 6 adalah menghormati kebebasan dalam beragama dalam
perbedaan keyakinan yang diimplementasikan pada sikap pembiasaan di
lingkungan sekolah dengan memberikan izin dalam hal berdoa sesuai dengan
ajaran agamanya masing-masing, saling mengingatkan dalam bentuk peribadatan
sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing, ikut serta dalam hal empati yakni
baik ikut bahagia maupun dalam keadaan duka dan saling memberikan hadiah.
Kemudian pendidikan toleransi dari segi sikap keadilan meliputi: memberikan hak
kepada orang yang harusnya menerimanya, memberikan hak sesuai dengan
hukum, dan kewajiban memberi hasil yang sudah menjadi bagian dst.
Dari ketiga penelitian yang penulis dapatkan diatas merupakan hasil
penelitian yang relevan sebagai acuan dari pada penelitian yang penulis kerjakan
memiliki persamaan dalam ruanglingkup toleransi, terutama dalam keseluruhan
surah/ayat al-Kāfirūn. Perbedaannya dalam penelitian ini adalah dari segi metode
penelitian dan objek penelitian. Penelitian yang penulis teliti pada kesempatan ini
menggunakan metode penafsiran tokoh dan hanya terpusat pada sudut pandang
atau perspektif Muhammad Quraish Shihab dan pengkajiaanya pada penafsiran
beliau pada surah Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ. Sehingga objek pada penelitian ini
hanya pada toleransi dalam QS. al-Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ secara murni dan
diperkuat dengan sumber dari karya beliau yang relevan.
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai Toleransi dalam
QS. al-Kāfirūn ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab.
Dalam penelitian ini, penulis meneliti tentang tafsiran Muhammad Quraish Shihab
pada surah al-Kāfirūn sudah tentu di dalam kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ, kemudian apa
saja tema utama di dalam tafsir surah tersebut hingga peneliti mendapatkan
deskripsi dari hasil analisis. Adapun mengenai waktu penelitian yang dilakukan
oleh penulis dalam skripsi ini selama 6 bulan, terhitung dari bulan Januari 2020
sampai dengan bulan Juli 2020 bertempat diberbagai perpustakaan, baik di
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun di Pusat Studi Qur’ān
Lentera Hati Ciputat.
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu data yang diperoleh
(berupa kata-kata, gambar dan perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan
atau angka melainkan dalam bentuk kualitatif, sifatnya menganalisa dan memberi
pemaparan mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk naratif.1
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kualtitatif
yang mana penelitian ini berbasis kajian dari berbagai studi dan kumpulan dari
jenis materi empiris keperpustakaan atau Library Research. Penelitian ini
menggunakan metode penafsiran tokoh yakni Muhammad Quraish Shihab dengan
pendekatan analisis konten.
1 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 39.
26
2. Sumber Data Penelitian
Penelitian skripsi ini menggunakan data primer berupa kitab Tafsīr al-
Miṣbāḥ tentang surah al-Kāfirūn. Kemudian pada data sekundernya menggunakan
buku-buku yang relevan, buku karya Muḥammad Quraish yang lainnya, lalu pada
redaksi pandangan ulama lainnya mengenai tafsir surah al-Kāfirūn dan juga
menggunakan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan toleransi.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka
peneliti menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan
data, fakta dan informasi berupa literatur-literatur dengan bantuan bermacam-
macam materi yang terdapat di ruangan perpustakaan.2
Dalam teknik pengumpulan data ini, penulis telah melakukan pengkajian
literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti dengan
mengumpulkan bahan-bahan bacaan baik pada buku primer maupun sekunder.
2. Teknik Pengolahan Data
Setelah peneliti mendapatkan data-data yang sudah dikumpulkan, peneliti
menelaah, membaca dan meneliti data-data yang relevan yang menunjang dan
mendukung pembahasan dalam penelitian ini yang kemudian pada tahap
selanjutnya peneliti memberikan kesimpulan pada pembahasan dengan deskripsi
yang utuh.
2 Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h.
60-61.
27
D. Analisis Data
Cresswel3 mengatakan bahwa prosedur penelitian kualitatif memiliki ciri-
ciri induktif dalam menganalisis datanya. Pengalaman peneliti sangat berpengaruh
pada dalam cara mengumpulkan dan menganalisis data tersebut. Oleh sebab itu,
logika yang harus terus diikuti oleh peneliti adalah induktif.
Ada beberapa tahapan dalam analisis data pada skripsi ini: 1. Pengumpulan
data terkait yang sesuai dengan judul. 2. Pemilahan data untuk memudahkan
analisis data, dalam skripsi ini berdasarkan 2 tema, tema kafir dan agama (dīn). 3.
Membaca data secara keseluruhan agar bisa diambil tema dan topik besar sebagai
alat koding. 4. Pemberian kode pada data yang telah dibaca. Secara besaran kode,
penulis membaginya menjadi dua, tentang kafir dan dīn dalam surah al-Kāfirūn.
Kemudian dirinci lagi yang kemudian interrelasi hasil koding untuk mendapatkan
deskripsi.
3 Dalam buku Komodifikasi dan preservasi Kitab Suci; Dalan Usaha Penerbitan Mushaf al-
Qur’ān di Indonesia. (Eva Nugraha mengutip pernyataan dari Jhon W. Creswl, Research Design:
Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.) Ciputat: Himpunan Peminat Ilmu-ilmu
Ushuluddim (hipius), 2019. h. 33.
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA. Lahir pada tanggal 16 Februari
1944, di daerah Rappang Sulawesi Selatan. Ia adalah keturunan bangsa Arab yang
terpelajar. Bapaknya bernama Abdurrahman Shihab (1905 M-1986) berprofesi
sebagai ulama tafsir dan merupakan seorang guru besar di IAIN Alauddin di kota
ujung Pandang dalam bidang tafsir. Pekerjaan sampingan beliau pada usia muda
adalah wirawisatawan. Selain itu, beliau juga aktif berdakwah dan mengajar di
masa mudanya tersebut. Namun demikian, kebiasaan beliau untuk membaca al-
Qur‟ān serta kitab-kitab tafsir pada pagi dan petang selalu dilakukannya.1
Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya (SD) di kota Ujung
Pandang. Kemudian, dia melanjutkan sekolah menengah pertamanya (SMP) di
Kota Malang, Jawa Timur sembari memperdalam agama di Pesantren bernama
Dar al-Hadits al-Fiqhiyyah. Ketika dia berumur 14 tahun tepatnya pada tahun
1958, Quraish Shihab berangkat ke kota Kairo, di Mesir. Dimana, dia melanjutkan
pendidikannya di al-Azhar didalam Tsanawiyah, saat kelas II. Selanjutnya, ia
bersekolah pada fakultas Ushuluddin diterima dalam jurusan tafsir dan hadits di
Universitas al-Azhar, Mesir. Dia lantas menyelesaikan studinya pada tahun 1967
hingga LC dan melanjutkan perkuliahan pada jurusan yang sama. Kemudian,
beliau menyelesaikan tesisnya pada tahun 1969 yang berjudul al-I’jaz al-Tasyri’iy
li al- Qurānul-Karim dan meraih gelar M.A.2
Bapaknya yang pada saat itu menjabat sebagai rektor di UIN Alauddin
Makassar, meminta bantuan kepada Quraish Shihab untuk mengelola sektor
pendidikan di universitas itu, di tahun 1973. Ia pun menjabat sebagai wakil rektor
dalam bidang kemahasiswaan dan akademis sampai pada tahun 1980. Selama
durasi dia menjabat sebagai wakil rektor tersebut, ia sering diminta untuk
menggantikan ayahnya dalam pertemuan-pertemuan dan tugas utama tertentu
1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 1994), h. 14. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), h. 6.
29
dikarenakan faktor usia. Selanjutnya, ia menjabat sebagai koordinator Perguruan
Tinggi Swasta pada koordinator Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia Timur
yang melingkupi bidang pembinaan mental serta jabatan lainnya yang di luar dari
kampus itu. Dengan semua kesibukan tersebut beliau telah dapat menyelesaikan
tugas-tugas penelitiannya yaitu Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978) serta
Penerapan kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975).3
Kemudian, di tahun 1980 Quraish Shihab melanjutkan studinya kembali ke
Kairo di Universitas al-Azhar dan pada tahun 1982 beliau meraih gelar Doktor
Falsafah dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟ān serta dapat meraih Summa cum
Laude (nilai paling tinggi) dan Mumtaz ma’a martabat al-ataraf al-ula
(penghargaan atas peringkat pertama) melalui tesis beliau yang dengan judul
“Nazham al-Durar li al-Baqa’i:’Tahqiq wa Dirasah”. Atas pencapaian-
pencapaiannya ini, Ia pun dinobatkan sebagai orang Asia Tenggara pertama yang
bergelar Doktor Falsafah didalam ilmu-ilmu al-Qur‟ān dari Universitas al-Azhar,
di negara Mesir.4
Quraish Shihab dipindah tugaskan dari IAIN yang berada di Ujung Pandang
ke IAIN yang berada di Jakarta pada fakultas yang sama yaitu Fakultas
Ushuluddin pada tahun 1984. Pada masa karier inilah dia aktif mengajar dalam
program S1 sampai dengan S3 sampai dengan tabun 1998 dalam bidang Ulumul
Quran dan Tafsir. Selain tugas utama sebagai dosen, ia juga menjabat sebagai
rektor dari IAIN Jakarta dalam dua periode (1992-1996 dan 1997-1998).
Kemudian, pada awal tahun 1998 dalam dua bulan pertama ia menjabat sebagai
Menteri Agama. Pada akhirnya dia diberi pangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa
serta Berkuasa Utuh Republik Indonesia yang diperuntukkan untuk Negara Mesir
dan merangkap juga Republik Djibauti yang juga berkedudukan di ibukota Kairo.5
Masyarakat menyambut hangat dan kehadiran Quraish Shihab di Jakarta
dengan suasana baru yang ia bawa. Ini ditunjukkan melalui karyanya yang
3 Amirullah Kandu, Ensiklopedia Dunia Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 669.
4 Afrizal Nur, “M.Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, (Jurnal Ushuluddin, Vol.
XVIII No. 1, Januari 2012), h. 23. 5 Jaka Perdana, “Pemikiran Pendidikan Quraish Shihab dalam buku Membumikan al-
Qur‟ān,” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2015, h. 38.
30
diterapkan di masyarakat luas. Selain mengajar sebagai dosen, ia juga telah
menapaki karier dan memiliki jabatan sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) semenjak tahun 1984 di daerah pusat, ia juga seorang anggota dari Lajnah
Pentashih al-Qur‟ān di Departemen Agama dari tahun 1989. Keterlibatannya
dalam organisasi keprofesionalan seperti Ikatan cendikiawan Muslim se-Indonesia
(ICMI) pada awal pembentukannya serta menjadi Asisten Ketua Umumnya
menambah daftar aktivitas karier Quraish Shihab. Ia juga merupakan pengurus
dalam Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari‟ah, serta dalam Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan memiliki jabatan sebagai pengurus konsorsium dari
Ilmu-Ilmu agama.6 Ia juga selaku Dewan Redaksi Studi Islamika: Indonesian
Journal for Islamic Studies Ulumul Qur’ān, Mimbar Ulama dan Refleksi Jurnal
dalam Kajian Filsafat dan Agama dengan semua penerbitan daftar aktivitasnya ini
berada di ibukota Jakarta.7
Di samping kegiatan tersebut, M. Quraish Shihab juga dikenal sebagai
peneliti dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan
yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal, serta ditopang oleh
kemampuannya dalam menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang
sederhana, lugas, rasional8 dan kecendrungan pemikiran yang moderat, ia tampil
sebagai penceramah dan peneliti yang bisa diterima oleh semua lapisan
masyarakat.9
6 Haward M. Federspiel, Kajian al-Qur’ān di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga
Quraish Shihab, cet. I, (Mizan: Bandung, 1996), h. 295-299. 7 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), h.7. 8 Abuddin Nata, Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 364. 9 Muhalli Fikri, “Konsep Toleransi Beragama Dalam al-Qur‟ān Surat Al-Kafirun (Studi
Komparatif Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al- Mishbah),” Skripsi pada UIN Mataram, Mataram
2019, h. 51.
31
A. Surah al-Kafirun
1. Ayat dan Terjemahannya
(1) Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!”
(2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,
(3) dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,
(4) dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
(5) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.
(6) “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
2. Munasabah Surah
Surah al-Kāfirūn menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w tidak akan
mengikuti agama orang-orang kafir, sedang dalam an-Naṣr diterangkan bahwa
agama yang dibawa Nabi Muḥammad s.a.w akan berkembang dan menang10
.
10
Al-Qur‟ān dan Terjemahannya. Wakaf dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Abdullah bin
Abdul Aziz Ali Sau‟ud 1990. h. 1110.
32
Kemudian pada hubungan dengan surah sebelumnya adalah “dalam surah al-
Kauṡar Allah memerintahkan agar penghambaan diri kepada Allah, sedang dalam
surah al-Kāfirūn perintah tersebut ditandaskan lagi”11
B. Pembahasan
1. Negasi Berkompromi dalam Ibadah.
1.1 Argumen yang digunakan:
a. Asbab Nuzul
Al-Biqāi‟ mempunyai pandangan tentang surah al-Kāfirūn ini, menurutnya
dalam surah ini Nabi Muḥammad s.a.w sudah sewajarnya memiliki sikap
bersyukur atas nikmat yang beliau terima dan oleh karena itu pula lah Nabi
Muḥammad s.a.w mengarahkan pandangannya hanya kepada Allah s.w.t terhadap
apa yang beliau terima itu. Di akhir surah lalu, yakni surah al-Kauṡar menegaskan
bahwa siapa saja yang membenci Nabi Muḥammad s.a.w baik orang-orang kafir
ataupun kaum musyrikin tidak akan berarti sama sekali kepada Nabi perlakuannya
tersebut. Sehingga pada awal surah al-Kāfirūn Allah s.w.t mengajarkan Nabi
untuk mengucapkan atas dasar perlakuan para pembencinya itu dengan ucapan:
Katakanlah wahai Nabi Muḥammad s.a.w kepada para pembesar kaum musyrikin
yang kekufuran mereka telah mendarah daging dalam jiwanya bahwa: Hai orang-
orang kafir yang menolak keesaan Allah dan yang ingkar terhadap kerasulanku.
Aku sekarang dan pada masa yang akan datang tidak akan menyembah apa yang
sedang kamu sembah.12
Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas kepada Imam aṭ-Ṭabrani dan Ibnu Abī
Hatīm bahwa orang-orang kafir Quraisy melakukan negoisasi atau tawaran kepada
Nabi Muḥammad s.a.w, mengiming-imingi beliau dengan memberikan berbagai
macam harta yang berlimpah, yang nantinya dengan harta yang berlimpah itu
akan menjadikan Nabi Muḥammad s.a.w sebagai orang terkaya di Mekah. Tak
11
Ibid., 1112. 12
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol XV, Cet. I. h. 575.
33
hanya itu saja, bahkan Nabi Muḥammad s.a.w akan diberikan wanita sebagai
tawaran supaya Nabi berhenti untuk tidak menghina tuhan-tuhannya orang-orang
Quraisy dan tidak lagi bertutur kata yang buruk terhadap mereka. Kemudian
tawaran orang-orang Quraisy tersebut masuk kepada wilayah penyembahan.
Mereka orang-orang Quraisy menawarkan tawaran terhadap Nabi Muḥammad
s.a.w untuk menyembah tuhan-tuhan mereka dalam waktu selama satu tahun.
Rasululullah s.a.w pun menjawab tawaran itu dengan mengucapkan “Saya akan
menunggu hingga Allah memberikan jawabannya.” Kemudian turunlah ayat dari
Allah s.w.t. sebagai berikut, “Katakanlah (Muḥammad), 'Wahai orang-orang
kafir!”, dan juga menurunkan ayat,
“Katakanlah (Muḥammad), Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain
Allah, wahai orang-orang yang bodoh?” (QS. az-Zumar (39): 64).
Orang-orang Quraisy bertuturkata kepada Nabi Muḥammad s.a.w dengan
perkataan, “Sediakah engkau mengikuti agama kami dalam waktu setahun dan
kami pun akan mengikuti pula agamamu dalam waktu setahun?” kemudian Allah
s.w.t menurunkan secara keseluruhan ayat-ayat dalam surah ini. Berdasarkan atas
riwayat yang diterima Wahhāb dari Abdurrazaq dan Ibnu Juraij meriwayatkan hal
yang sama dari Ibnul Munżir.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Walīd bin al-Mughīrah, al-„Ᾱṣi
bin Wa´il, al-Aswad bin al-Muṭalib dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan
Rasulullah saw. dan berkata: “Hai Muḥammad! Mari kita bersama menyembah
apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan
kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah yang memimpin kami”. Maka
Allah menurunkan ayat ini. (QS. al-Kāfirūn (109): 1-6). Diriwayat kan oleh Ibnu
Abī Hatīm yang bersumber dari Sa'id bin Mina.13
13
Qamaruddin Shaleh, HAA. Dahlan dan M.D Dahlan, Asbabun Nuzul latar belakang
historis turunnya ayat-ayat al-Qur’ān, (Bandung: CV. Diponegoro,1995). Cetakan XVII. h. 620.
34
b. Penafsiran Ayat dengan Ayat lainnya
Pada kata ( فرون لك ٱ ) al-Kāfirūn berasal dari kata yang pada dasarnya diambil
dari kata (كفر) kafara dan kata (كفر) kafara memiliki arti menutup. Kata (كفر)
kafara itu digunakan dalam al-Qur‟ān memiliki arti makna yang beragam sesuai
dengan keadaan atau konteks sesuai kalimat sehingga dapat dipahami masing-
masing secara utuh. Kata ini dapat memiliki arti sebagai berikut: Pertama, yang
memiliki arti makna pengingkaran terhadap keesaan Allah s.w.t dan pengingkaran
terhadap kerasulan Nabi Muḥammad s.a.w. seperti yang berada dalam QS. Saba´
(34): 3. Kedua, yang memiliki arti makna tidak bersyukur atas nikmat Allah s.w.t
seperti yang berada dalam QS. Ibrāhīm (14):7. Ketiga, yang memiliki arti makna
tidak menjalankan tuntunan Allah s.w.t meskipun mempercayainya, seperti yang
berada dalam QS. al-Baqarah (2): 85. Kata kufur masih memiliki arti lain dan
dapat pula diberikan sebuah kesimpulan umum bahwa dalam kata kufur tersebut
menujukkan kepada sikap yang bertolakbelakang pada hal-hal yang sesuai dengan
ajaran agama, baik dari segi tuntunan maupun tujuan dari kehadiran agama.
Sementara di awal surah al-Kāfirūn pada ayat yang pertama dalam surah ini yang
Kafir
Pengingkaran: QS. Saba' (34): 3
Keesaan
Kerasulan
Tidak bersyukur: QS. Ibrāhīm (14):
7 Nikmat
Tidak Beribadah: QS. al-Baqarah
(2): 85
Agama sebagai Permainan
Bagan 4.1: Penjelasan Makna Kafir dan al-Miṣbāḥ
Khusus dalam Surah al-Kāfirūn.
35
dimaksud dengan orang-orang kafir adalah para tokoh kaum kafir atau musyrik
yang memiliki sikap pengingkaran kepada Allah s.w.t, tidak mempercayai kepada
keesaan Allah s.w.t serta menolak akan kerasulan Nabi Muḥammad s.a.w.
Kemudian kata kufur dalam ayat-ayat yang turun sebelum Nabi Muḥammad s.a.w
hijrah ke kota Madinah, keseluruhannya memiliki arti makna bahwa orang-orang
musyrikin dan sikap-sikap orang-orang musyrikin tersebut menolak atau
keengganan mereka untuk mengakui kerasulan Nabi Muḥammad s.a.w ataupun
mereka meninggalkan pokok-pokok ajaran Islam yang Rasulullah bawa. Kesemua
ini adalah menurut rumusan dari ulama terhadap semua kata kufur dalam surah al-
Kāfirūn.14
1.2 Relasi Kekafiran atas Ketauhidan
Pada kata kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ tidak serta merta dapat disamakan
dalam pemaknaan sebagai non muslim saja atau bukan orang yang beriman dalam
Islam, sebab dalam berbagai ayat-ayat di al-Qur‟ān ada banyak istilah lain yang
menujukkan kata kafir dalam pengungkapannya yang bermacam-macam. Sebagai
bukti ketika kata kafir dimaknai sebagai kelalaian orang terhadap bentuk rasa
syukurnya terhadap apa yang ia telah terima dari Allah s.w.t, maka kata kafir
disini dimaknai sebagai kufur terhadap objek kelalaiannya itu sendiri yakni kafir
terhadap nikmat atau dengan kata lain kikir dan disebut kufur nikmat. Kemudian,
kafir terhadap bentuk keharusan atau kewajiban bagi pelaksanaan ibadah
dimaknai sebagai seorang yang membangkang atau durhaka terhadap Allah s.w.t.
Kafir juga dimaknai sebagai pengingkaran terhadap agama Islam sebagai agama
yang benar, dan juga terhadap pengingkaran atas kebenaran risalah yang para
Nabi bawa sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia. Terdapat 4 makna kafir
yang penulis ambil memiliki arti tidak mengakui keesaan Allah s.w.t, kafir
bermakna tidak percaya Nabi Muḥammad s.a.w., ingkar kepada nikmat Allah
14
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol. XV, Cet. 1. h. 577.
36
s.w.t, meninggalkan tuntunan agama dan menjadikan agama sebagai sebuah
permainan, adalah sebagai berikut:15
a. Pengingkaran atas Allah
Bagaian awal dalam wilayah pengingkaran pada eksistensi Allah s.w.t,
sebab mereka menganggap alam raya ini terjadi dengan sendirinya. Dalam firman
Allah s.w.t di kitab suci al-Qur‟ān berdasarkan surat al-Kahfī (18) ayat 29:
“Dan katakanlah (Muḥammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa
menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”16
Kafir dalam ayat diatas menurut Muhammad Quraish Shihab diambil dari
akar kata yang memiliki arti menutup. Bukti yang jelas dari mulai diri manusia itu
sendiri maupun dalam bentuk yang lebih luas lagi yakni alam semesta, merupakan
tanda-tanda terhadap keesaan Allah s.w.t. Eksistensi dari kehadiran Allah s.w.t
amatlah nyata. Manusia sudah diberikan potensi akal untuk berfikir dan memiliki
daya untuk merenungi bahwa Allah s.w.t Zat yang Maha Tinggi itu ada dan ada
saja sebagian dari manusia itu sendiri yang tidak mau untuk menggunakan
potensinya tersebut. Padahal tanda-tanda Allah s.w.t menghampar di seluruh alam
semesta ini tanpa terkecuali dirinya sendiri. Perilaku yang demikian yakni
keengganan manusia untuk berfikir dan melihat kenyataan itu sama dengan arti
menutup. Maka dengan demikian bagi orang-orang yang tidak percaya akan
eksistensi Allah s.w.t dalam konteks ini disebut kafir.17
15
Lihat penelitian atau skripsi Arief Kamaludin, “Konsep Kafir menurut M. Quraish
Shihab (Analisis term Kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ),” mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
2019 dan juga hasil skripsi atau penelitian Nabiel Akbar, tentang “Makna Kafir dalam Tafsīr al-
Miṣbāḥ Karya M. Quraish Shihab “skripsi pada Universitas Muhammadiyah Surakarta 2018
terdapat 4 makna kafir yang penulis ambil. 16
www.qur‟an.kemenag.go.id QS. al-Kahfī (110): 29. 17
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol III, Cet. I. h 151. Lihat Arief Kamaludin, “Konsep Kafir menurut M.
37
b. Pengingkaran atas Rasul Allah
Pada waktu Nabi menjalankan risalah ketuhanan kepada umat manusia
tentunya banyak mendapatkan kendala, baik dari pengusiran kepada Nabi
terhadap ajaran yang dibawa serta puncaknya pada ancaman pembunuhan yang
dalami oleh Nabi. Sehingga oleh karena itu ada beberapa hal yang menyebabkan
hati-hati mereka tertutup untuk menerima kebenaran akan wahyu yang Nabi bawa,
sifat angkuh, sombong, iri, dan dengki yang menyelimuti hati mereka yang
sebenarnya merekapun mengetahui kebenaran ajaran Nabi. Berdasarkan ali-Imrān
(3): 70-71:
“Wahai Ahli Kitab! Mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu
mengetahui (kebenarannya)? Wahai Ahli Kitab! Mengapa kamu
mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dan kamu menyembunyikan
kebenaran, padahal kamu mengetahui?”.18
Dalam ayat diatas secara ekspilisit menjelaskan bahwa para Ahli Kitab
mereka mengetahui akan kebenaran ayat-ayat Allah s.w.t, namun secara tegas
pula ayat ini menegaskan bahwa mereka itu menutup-nutupi kebenaran secara
berkelanjutan dapat dilihat pada kata (تكفرون) takfurūn, kata ini menggunakan
bentuk dari kata kerja fi’il muḍāri’, dengan demikian ini bermakna kata kerja
sekarang dan yang akan datang, maka para Ahli Kitab menutup-nutupi kebenaran
sekarang dan yang akan datang.
Kemudian pada ayat selanjutnya yakni ayat 71, Allah s.w.t mengecam para
Ahli Kitab disebabkan mereka itu telah menyesatkan orang lain. Padahal pada
ayat sebelumnya yakni ayat 70 kecaman Allah s.w.t itu ditujukan pada mereka
disebabkan karena kesesatan mereka sendiri. Mereka itu yakni para Ahli Kitab
sebenarnya memiliki dua cara untuk menyesatkan, pada cara mereka yang
Quraish Shihab (Analisis term Kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ),” Skripsi pada UIN Sunan Ampel
Surabaya 2019, h. 55. 18
www.qur‟an.kemenag.go.id QS. ali-Imrān (200): 70-71.
38
pertama adalah mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Bentuk
dari kalimat lain yang seringkali kita pahami dari kalimat mencampuradukkan dua
hal yang berbeda yakni yang hak dan yang batil biasanya dikenal dengan kata
propaganda. Nah propaganda juga tidak semuanya berisi tentang kebohongan,
namun bisa saja sebagian besar isi dari propaganda benar atau memang berisi
banyak kebenaran. Namun dalam kebenaran terdapat celah, lalu dengan demikian
pada celah kebenaran itupula dicampakkanlah kebohongan-kebohongan dalam
bentuk yang lebih samar. Sesuatu yang nampak samar akan tidak mudah terlihat
jika tidak benar-benar jeli dan teliti untuk fokus merasakannya. Dengan demikian
inilah yang dimaksud mencampuradukkan yang hak dengan yang batil.19
Pada cara mereka yang kedua adalah mereka menyembunyikan kebenaran
dengan mengingkari kebenaran atau mereka tidak menyampaikan kebenaran yang
harusnya mereka sampaikan pada saat kebenaran itu dibutuhkan. Maka salah satu
bentuk dari menyembunyikan suatu kebenaran adalah diamnya seseorang yang
padahal saat itu orang tersebut mengetahui tentang persoalan yang sangat
dibutuhkan mengenai penjelasannya. Maka inilah yang dimaksud dengan orang
yang mengingkari kebenaran.20
Mereka yang menutup pandangan, pendengaran
dan hati untuk menerima terhadap kebenaran yang Nabi bawa dihukumi sebagai
kafir.21
Kebenaran yang sudah nampak jelas dari apa yang telah nabi bawa dan
sampaikan, dinafikkan oleh mereka begitu saja, padahal kelebihan-kelebihan nabi
yang berasal Allah s.w.t yang telah mereka lihat dengan matakepalanya sendiri.
Pada sub bab ini selaras dengan pendapat dari ar-Razi dalam tafsirannya
Mafātih al-Ghaīb mengatakan bahwa, “Kafir berarti menolak untuk membenarkan
Rasul dan apa-apa yang dibawanya”22
19
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000) Vol II, Cet. I. h. 113-114. 20
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol III, Cet. I. h. 121-122. 21
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol I, Cet. I. h. 574. 22
Abdurrahman Hasan Habanakah al-Maidani, al-Aqidah al-Islamiyah wa Ususuha, terj.
Pokok-pokok Akidah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Cet. I. h. 603.
39
c. Pengingkaran atas Pemberian Allah (Nikmat)
Dalam realita hidup, Allah s.w.t. memberikan banyak nikmat yang
terhampar kepada seluruh makhluk, tanpa terkecuali manusia. Sejatinya manusia
itu tidak akan sanggup untuk menghitung seberapa banyak nikmat yang telah
Allah s.w.t berikan dalam setiap sendi-sendi kehidupannya. Namun kenyataannya,
hal ini bukanlah mengindikasikan semua manusia memiliki rasa syukur terhadap
apa yang telah ia terima. Seperti yang Allah s.w.t firmankan di dalam al-Qur‟ān
pada QS. al-Anbiyā‟ (21) ayat 94 yang berbunyi:
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, dan dia beriman, maka usahanya tidak
akan diingkari (disia-siakan), dan sungguh, Kamilah yang mencatat untuknya.”23
Pada kata (كفران) kufrān yang ditemukan dalam QS. al-Anbiyā‟ (21): 94,
Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa kata tersebut berasal dari kata
kafara yang memiliki arti makna dari segi bahasa “menutup”. Kata tersebut (كفر)
juga dapat diartikan tidak mengakui sebuah kebaikan yakni kata itu bermakna
tidak bersyukur. Al-Qur‟ān menggunakan kata ini sebagai lawan kata atau negasi
dari kata (شكر) syukur, karena itu ia biasa dipertemukan dengan kata syukur.24
Quraish Shihab berpendapat bahwa syukur berarti membuka dan
menampakkan dan negasi dari syukur adalah kufur, yang berarti menutup dan
juga berarti menyembunyikan.25
Menampakkan nikmat dengan menggunakan
nikmat sesuai pada tempatnya, menyebut-menyebut kepada pemberinya dengan
baik dan sesuai dengan apa yang pemberi kehendaki antara lain adalah esensi dari
syukur. Hal ini memberikan arti bahwa tiap-tiap anugerah yang diberikan kepada
manusia oleh Allah s.w.t berupa nikmat yang diterima, memberikan tuntutan
23
www.qur‟an.kemenag.go.id QS. al-Anbiyā‟ (112): 94. 24
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol IX, Cet. I. h. 507. 25
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol VII, Cet. I. h. 22.
40
untuk direnungi dan menggunakan nikmat yang diterima itu sesuai tujuan
penganugerahannya.26
Allah s.w.t menganugerahkan kebaikan kepada seluruh manusia tanpa
terkecuali dalam berbagai kenikmatan, namun kelalaian bersyukur manusia itu
juga dapat ditemui di hidup ini dan terejawantah menjadi sebuah perilaku
pengingkaran terhadap nikmat Allah s.w.t yang telah diberikan kepada manusia.
Dalam hal ini Quraish Shihab menuturkan bahwa Allah s.w.t memberikan
nikmat dan anugerahnya kepada siapa saja, akan tetapi ada manusia yang enggan
bersyukur atas nikmat dan anugerah yang telah Allah s.w.t limpahkan.27
Beberapa
kasus dalam al-Qur‟ān menggunakan kata syukur sebagai lawan dari kata kufur,
karena secara makna kedua kosa kata tersebut bertentangan. Jika secara bahasa
kafir memiliki makna menutup, maka syukur bisa dimaknai membuka atau
menampakkan. Apabila ada orang yang bersyukur dengan kata lain orang tersebut
ingin menampakkan nikmat yang telah didapatkan, menyanjung pemberian
kepadanya dengan hal baik, atau menggunakan nikmat yang diberikan sesuai pada
fungsinya. Dengan begini Allah s.w.t ingin manusia merenungkan apasaja nikmat
yang telah diberikan dan menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak-
Nya.28
Maka sejatinya, apabila ada seorang hamba yang enggan bersyukur atas
nikmat yang diberikan termasuk kategori durhaka, karena ia telah menutupi dan
tidak mengakui atas nikmat tersebut.29
26
Ibid., h. 23 27
Lihat Tafsīr al-Miṣbāḥ QS. al-Baqarah (2): 90, 152, 264, 286; ali-Imrān (3): 90, 131; an-
Nisa´ (4): 37; al-Maidāh (5): 115; al-An‟ām (6): 1, 89; Hūd (11): 9; Yusūf (12): 87; Ibrāhīm (14):
7, 28, 34; an-Naḥl (16): 55, 72, 112; al-Isra´ (17): 67, 69, 89; al-Ḥajj (22): 38, 66; al-Furqān (25):
50; an-Naml (27): 40; al-Qaṣaṣ (28): 82; al-„Ankabūt (29): 66, 67; ar-Rūm (30): 34, 51; Luqmān
(31): 12, 32; as-Sajdah (32): 10; Saba´ (34): 17, 162; Faṭir (35): 39; Yasin (36): 47; az-Zumar (39):
7; asy-Syūra (42): 48; Qaf (50): 24 al-Hadīd (57): 19; at-Taghābun (64): 2; al-Insān (76): 3. Lihat
Skripsi Muḥammad Nabiel Akbar, “Makna Kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ Karya M. Quraish
Shihab,” Skripsi pada Universitas Muhammadiyah Surakarta 2018, h. 9. 28
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol IX, Cet. I. h. 507. 29
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol VII, Cet. I. h. 22.
41
d. Pengingkaran atas Jalan/ Aturan Allah
Orang kafir yaitu orang-orang yang menjadikan agama yang seharusnya
dianut dan diagungkan, tetapi mereka menjadikan agama sebagai permainan.
Mereka (orang-orang kafir) melakukan aneka macam kegiatan yang sia-sia dan
tanpa tujuan.30
Berikut adalah firman Allah s.w.t dalam QS. al-A‟rāf (7): 50-51.
“Dan penghuni-penghuni neraka itu menyeru penghuni-penghuni surga;
“curahkanlah kepada kami sedikit air dari apa yang telah direzekikan Allah
kepada kamu”. Mereka menjawab; “sesungguhnya Allah telah mengharamkan
keduanya atas orang-orang kafir (yaitu) orang-orang yang menjadikan agama
mereka sebagai permainan, oleh karena kelengahan mereka itu kehidupan dunia
telah menipu mereka. Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana
mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka
selalu mengingkari ayat-ayat Kami.”31
Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa mereka orang-orang kafir
membuang-buang waktunya dan mereka lengah terhadap apa yang mereka
lakukan itu tak lain kegiatan mereka hanya untuk menyenangkan hati mereka.
Padahal kegiatan tersebut hanya akan menjadikan mereka tertipu dalam kehidupan
didunia ini. Semua itu berawal atas dasar sikap mereka yang menjadikan agama
hanya sebagai sebuah permainan. Sehingga seluruh kegiatannya sudah tentu
melengahkan mereka daripada melakukan hal-hal yang lebih penting dan
bermanfaat untuk dirinya sendiri.32
30
(Lihat Tafsīr al-Miṣbāḥ QS. al-A‟rāf (7): 50-51; al-Ghāfir (40): 74) 31
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Vol. V Cet. I. h. 106. 32
Ibid., Lihat Skripsi Muḥammad Nabiel Akbar, “Makna Kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ
Karya M. Quraish Shihab,” Skripsi pada Universitas Muhammadiyah Surakarta 2018, h. 14.
42
2. Penghormatan Atas Keyakinan Beragama
2.1 Argumen Makna Dīn:
a. Secara Kebahasaan
Secara etimologis pada kitab suci umat Islam yakni al-Qur‟ān, di dalamnya
agama dikenal dengan tiga huruf inti. Ketiga huruf ini adalah akar kata dalam
bahasa Arab yaitu kata دين (dīn). Dalam kata tersebut mengandung tiga huruf dan
memiliki banyak arti dari masing-masing huruf dīn. Ketiga huruf itu yang pertama
adalah د (dal), dan huruf yang terakhir adalah ,(’ya)ي Arti dari ketiga .(nun)ن
huruf tersebut adalah, taat, ibadah, pembalasan, pembenaran, pengakuan atas
jasa, dan yang terakhir adalah utang. Uraian tentang ketiga makna kata dīn, yang
kemudian dijelaskan menjadi tiga huruf dalam bahasa Arab memiliki makna yang
terhimpun oleh adanya sebuah keterikatan ataupun sebuah hubungan antara dua
belah pihak. Kedudukan disini adalah sebuah kedudukan yang memiliki posisi
yang berbeda, kedudukan yang satu lebih tinggi dari kedudukan yang lain.
Kemungkinan hal itu dapat terjadi dikarenakan jasa pihak yang kedudukannya
tinggi memiliki kekuasaan ataupun memiliki kehebatan dan keagungan yang
melatarbelakanginya, oleh sebab itu timbullah rasa takut maupun ada rasa kagum
43
kepadanya. Kata dīn memiliki keterikatan satu sama lain, dikarenakan makna
yang sudah dijelaskan di awal. Hal ini sudah menjadi gambaran atas hubungan
yang terwujud. Maka dari itu dinamai dengan agama (dīn), yang didalamnya
sudah termasuk dalam sebuah arti kumpulan-kumpulan ajaran yang berisi penjelas
terhadap kehidupan setelah kematian, yang diyakini bagi para penganutnya untuk
kebahagiaan semasa hidup di dunia maupun di akhirat kelak, setelah jasad dan
ruhnya berpisah.33
Jika ingin mendeskripsikan pengertian dari agama secara lebih mudah,
maka agama merupakan ikatan pertalian antara ruh manusia dengan kekuatan
gaib, yang dipercayai akan kegunaannya ditentukan oleh daya/kekuatan tersebut.
Hingga ia terdorong untuk memiliki ikatan pertalian dan menyelaraskan dirinya
terhadap apa yang diinginkan dari daya/kekuatan itu sendiri. Para pakar muslim
menjelaskan esensi agama sebagai al-dīnal-Muamalah (agama adalah interaksi),
itu merupakan rumusan yang dijelaskan secara singkat dan padat oleh mereka.
Interaksi dalam penjelasan ini memiliki hubungan erat dengan Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya, seperti manusia, tumbuhan, hewan, abiotik dan sampai pada diri
sendiri. Setiap agama-agama mengajarkan kebaikan, untuk itulah para pembawa
risalah ketuhanan baik rasul ataupun penganjur-penganjur dalam istilah lain di
masing-masing agama itu menyerukan kepada kebaikan. Untuk itulah, jika
hubungan baik seseorang secara menyeluruh terhadap interaksi yang sudah
dijelaskan sebelumnya, maka baik pula lah keberagamaannya. Cerminan baik itu
ada pada akhlak maupun perbuatan seseorang terhadap mitranya. Maka dari itu
hubungan timbal balik antara pencipta dengan ciptaann-Nya tidak boleh terputus.
Jika interaksi yang baik itu terputus, maka putus pula lah dalam hal ini antara
agama dengan manusia itu.34
Keterhubungan antara hati yang bersih dan akal yang jernih akan tercapai
jika kedua hal itu berjalan dengan baik, bersatupadu dalam keadaan yang baik
pula. Sesuatu yang nampak dipandangan mata, yangmana dapat dilihat dengan
perilaku kesalehan seseorang dalam berbagai bentuk ritual keagamaannya, bukan
33
M. Quraish Shihab, Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran Islam, (Ciputat: PT.
Lentera Hati, 2019) Cet. IV. h. 35-36. 34
Ibid., h. 36.
44
berarti dapat disimpulkan bahwa hal itu sesuai dengan gambaran yang tampak
pada permukaannya saja. Hal yang dengan sangat mudah terlihat dari pandangan,
bukan berarti merepesentrasikan apa yang sesungguhnya terlihat baik juga dalam
hati. Namun ketika hati dan pikirannya kotor ataupun keruh, maka hal itu tidaklah
wajar bila hal tersebut menjadi indikator wujud dari seseorang beragama yang
baik. Selayaknya sebuah rumah, apakah wajar bila ada sebuah rumah bisa
dikatakan baik jika hanya terlihat dari luarnya saja yang terlihat baik, tentu saja
tidak. Hal itu menjadi sangat kompleks. Bangunan rumah itu bisa dikatakan
bangunan yang baik, jika memang fondasi bangunan tersebut kokoh dan kuat
menopang segala apapun yang harus ditopangnya. Segala komponen yang
menunjang tegak berdiri dan indahnya rumah yang dilihat dari luar permukaan
yang baik haruslah juga disertai dengan tembok yang kokoh. Kemudian, dinding
yang kokoh pula serta kebersihan dari setiap kamar yang juga terjaga dengan baik.
Begitupula dengan keberagamaan, seseorang layak dinilai baik apa bila hubungan
ia dengan Allah s.w.t dan hubungannya dengan makhluk hidup yang lainnya juga
berjalan dengan baik, seperti hubungan baik antara manusia lainnya, hubungan
baik antara ia dengan tumbuh-tumbuhan, hubungan baiknya antara ia dengan
hewan dan alam raya. Semua hubungan yang dilaksanakan tadi ketika dijalani
dengan holistik atau menyeluruh dengan akal dan pikiran yang jernih maka
seseorang tersebut dapat dinilai baik dalam keberagamaannya. Dalam
pemeliharaan hubungan secara menyeluruh baik hubungan manusia secara
vertikal maupun hubungannya secara horisontal akan terpelihara bersihnya hati
dan tercerahkannya pikiran menghidarkan manusia dari segala bentuk noda dalam
hatinya, yangmana jika tidak bersih noda tersebut maka akan menghadirkan
kekeruhan dan menjauhkan ia dari tuntunan agama. Untuk itulah agama datang
membawa beragam macam aneka tuntunan.35
Menurut para pakar yang membicarakan tentang agama setidaknya
tercermin dari 3 hal pokok: yakni kepercayaan tentang keberadaanya wujud
Kekuatan yang mengendalikan dan mengatur alam raya ini, 2) kepercayaan atas
adanya balasan tehadap apa yang orang lakukan, 3) hubungan interaksi
35
Ibid., h. 36.-37.
45
antarpemeluk agama dengan wujud dari kekuatan yang ia yakini. Pada poin 1 dan
2 adalah kepercayaan yang hanya orang tersebut ketahui, karena kepecayaan itu
tidak sertamerta dapat terlihat dari permukaan ataupun dari luar saja, tetapi
kepercayaan itu merupakan kepercayaan yang hanya ada dalam benak maupun
dalam hati. Sementara pada poin nomor 3 bisa terlihat dalam bentu praktek ibadah
ritualnya dan segala bentuk kegiatan positif yang dapat dikerjakannya. Namun
pada poin nomor 3 juga dapat timbul karena dorongan butir poin nomor 1 dan
nomor 2, hal ini dikarenakan terdapat dorongan dari dalam diri yang
menyebabkan ia tergerak untuk melakukan aktifitas keagamaannya, baik karena
takut, merasa kagum terhadap sifat-sifat ataupun karena ingin mendapatkan
ganjaran dan berharap kebaikan dari Tuhannya ketika ia melaksanakan tuntunan
dari agama.36
b. Tafsir Ayat, QS. Saba´ (34): 25.
“Kamu tidak diminta mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami, kami pun tidak
diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kalian” (QS. Saba´ (34):
25).
Inti dari deskripsi ayat-ayat diatas merupakan bagaimana interaksi umat
Islam dalam menyikapi sebuah perbedaan kepercayaan dengan penganut agama
lainnya. Pada dasarnya penganut agama Islam sendiri maupun penganut agama
lainnya memiliki keyakinan akan kebenaran dari apa yang dianutnya, tanpa
terkecuali meyakini pula bahwa yang bertentangan dengan kebenaran yang
diyakininya adalah sebuah kesalahan. Tetapi hal itu tidak serta merta dapat
ditampakkan keluar maupun digaung-gaungkan ditengah kehidupan masyarakat
yang beragam. Model dari ayat yang telah dipaparkan di awal tersebut dinamai
dengan gaya bahasa istilah Uslūb al-Inshāf oleh para ulama. Gaya bahasa dari ayat
tersebut memberi arti bahwa pembicara tidak secara tegas mempermasalahkan
kepada lawan bicaranya, dalam hal ini cenderung memberi kesan kepada mereka
boleh jadi ada kebenarannya. Baik dalam kebenaran dan dalam kesalahan
36
Ibid., h. 37.
46
terhadap ajaran Islam maupun terhadap pandangan lawan bicaranya tidak serta
merta dinyatakan secara absolut oleh ayat tersebut di atas. Dalam redaksinya
dapat kita perhatikan secara seksama bahwa redaksi ayat tersebut menyatakan
“Kami atau kamu sesungguhnya pasti berada dalam kebenaran ataupun berada
dalam kesesatan yang nyata”, keyakinan yang bertolak belakang antara kita
merupakan suatu kepastian akan adanya 2 hal yang berbeda pula dalam
kenyataannya, yakni adanya benar atau salah. Mungkin, kami benar dan mungkin
kami lah yang salah begitupula mungkin juga lawan bicara demikian sebaliknya.
Cara diksusi yang diajarkan oleh al-Qur‟ān merupakan cara diskusi yang
lebih baik dari apa yang diucapkan oleh ilmuan yang sementara mengucapkan
bahwa: “Pandangan kami benar, namun kemungkinan mengandung kesalahan,
dan kemudian pandangan Anda salah namun mungkin mengandung kebenaran”,
pada ayat ini menuntun kita kearah yang lebih baik, karena adanya sikap yang
memberikan kesan sebelum mengetahui kejelasan akan suatu hal, untuk tetap
netral dalam berdiskusi, guna mendapatkan kebenaran yang diisyaratkan pada
ucapan terakhir ini terhadap kebenaran dari pihak sendiri maupun kesalahan dari
pihak yang lain.
Hal ini pun juga senada dengan pandangan Hamka dalam penafsirannya
bahwa “Selama kamu masih tetap menganut paham yang salah, masih
mempersekutukan Allah dengan berhala yang kamu sembah itu, tidaklah ada
hubungan kita sama sekali, walaupun kita satu bangsa, satu kaum, satu keluarga.
Sehingga misalnya ada perbuatan kami yang salah pada pandangan kamu, maka
tempat kami bertanggung jawab hanya Allah semata-mata. Demikian juga segala
perbuatan kamu, tingkah laku kamu, untung rugi kamu, tidaklah ada hubungannya
dengan kami. Kami sudah nyata tidak akan menganut paham kamu yang sesat itu.
Tetapi jika kamu turuti kami, kamu terima seruan kami, tegasnya kamu nyatakan
diri memeluk agama yang kami peluk, menjadi satulah kita. Sama hak sama
kewajiban, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Mendapat sama berlaba,
kececeran sama merugi. Sebab kita telah menjadi umat yang satu.”37
37
Hamka, Tafsīr al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani, 2015) Jilid 7, Cet.1. h. 312.
47
Pada redaksi ayat di atas jika dilakukan pengamatan, maka adanya sikap
toleransi terhadap pandangan lawan bicara. Dalam hal ini apa yang dilakukan oleh
Nabi Muḥammad s.a.w sebagai pembicara dan para pengikut beliau dideskripsikan
dengan kata (أجرمنا) ajramnā/dosa yang telah kami lakukan/ perbuat. Maksud dari
kata dosa tersebut dalam bentuk kata kerja masa lampau sehingga memiliki
makna telah terjadi dari apa yang dinamai dengan dosa tadi. Namun ketika
menggambarkan lawan bicara, lawan bicara dalam hal ini adalah mereka yang
berbeda keyakinan dengan muslimin tidak digambarkan dengan kata dosa,
melainkan dengan kata (عماتعملن) „ammā ta‟malūn/mengenai dari apa yang kamu
sedang dan akan lakukan/perbuat, dengan kata yang netral, baik pada bentuk kata
kerja sekarang dan yang akan datang, hal ini berdasarkan perhatian kita pada
firman Allah s.w.t, “Kamu tidak diminta mempertanggungjawabkan dosa-dosa
kami, kami pun tidak diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan
kalian”.38
Orang lain boleh berpendapat bahwa dosa-dosa yang dimaksud pada ayat
diatas merupakan pelanggaran-pelanggaran yang sebenarnya tidak ada satu
orangpun yang dapat terhidar darinya, namun maksud dari apa yang kamu perbuat
ialah dosa-dosa yang mereka kerjakan. Sedangkan jika orang lain menafsirkan hal
yang demikian tidaklah patut pandangan ini diketahui dan terdengar oleh lawan
bicara karena hal tersebut nantinya orang banyak akan mengetahui maupun
mendengarnya juga.
Menurut Quraish Shihab, Ada juga sementara ulama yang memahami firman-
Nya: “Sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam
kesesatan yang nyata” dalam arti kami berada dalam kebenaran dan kamu dalam
kesesatan. Ayat ini, menurut mereka, berbicara tentang dua pihak dan dua
keadaan. Pihak pertama adalah kami (kaum muslimin) dan pihak kedua adalah
kaum musyrikin. Sedang, dua keadaan adalah yang pertama di atas kebenaran dan
yang kedua dalam kesesatan yang nyata. Keadaan pihak pertama ditunjuk oleh
38
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2010) Vol X, Cet. 3. h. 611.
48
keadaan pertama yang disebut, dan keadaan pihak kedua adalah keadaan kedua
yang disebut sehingga maknanya-menurut mereka-adalah seperti yang penulis
kemukakan itu.
Pendapat ini kurang tepat karena ayat di atas tidak menyatakan
Sesungguhnya kami dan kamu tetapi atau kamu. Di sisi lain, makna yang mereka
kemukakan itu tidak sejalan dengan ayat berikut yang menegaskan bahwa
keputusan akan berada di tangan Allah pada hari Kemudian karena, dengan
pendapat mereka itu, keputusan telah diambil sendiri oleh yang bersangkutan.39
2. 2 Tafsiran Lafaz Dīn
Arti dari kata (دين) dīn adalah agama/balasan/kepatuhan. Ulama memahami
arti dari kata dīn pada konteks ini dengan arti balasan. Hal yang demikian
disebabkan bahwa kaum musyrikin di kota Mekah tidaklah beragama. Ulama
dalam redaksi ayat دين ل كمدينكمو ل memahami bahwa pada tiap-tiap kelompok
akan mendapatkan balasan yang sepadan dengan apa yang dilakukannya.
Demikian pula bagi Nabi maupun orang-orang musyrikin ada balasannya juga.
Balasan baik ataupun balasan yang buruk dikembalikan kepada Tuhan. Tuhanlah
yang menentukannya.40
Segala sesuatu akan kembali kepada diri sendiri, pada pembahasan ini dīn
dimaknai sebagai agama, balasan, kepatuhan bahwa apa yang manusia lakukan
akan mendapatkan balasan terhadap apa yang manusia kerjakan dihadapan Tuhan.
3. Relasi Hubungan Antar Pemeluk Agama
ل كمدينكمو ل دين“Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku.”
Keyakinan dalam ajaran Islam dan kepercayaan Nabi Muḥammad s.a.w
secara tegas tidak akan bertemu dengan kepercayaan kaum musyrikin yang
bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri, karena mereka kaum musyrikin
39
Ibid. 40
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol XV Cet. I. h. 581.
49
adalah kaum yang mempersekutukan Allah s.w.t, ayat di atas memberikan
ketetapan bagaimana cara mempertemukannya atau menyikapinya di kehidupan
sosial kemasyarakatan sebagai berikut: Bagi kamu berlaku khusus agama kamu.
Kamu bebas mengamalkan sesuai dengan kepercayaanmu dari ajaran agamamu
dan itu tidak menyentuhku walaupun sedikit. Begitupun sebaliknya, bagiku pula
berlaku khusus agamaku, baik secara pelaksanaan ataupun pengalaman dalam
ajaran agamaku tidak menyentuh/dapat disentuh walaupun hanya sendikit oleh
mereka karena kita pun memiliki kebebasan yang sama.41
Dalam interaksinya, antara kita sebagai kaum muslimin berdasar atas ajaran
yang dibawa oleh nabi Muḥammad s.a.w dengan mereka yang memiliki
kepercayaan di luar kepercayaan Islam, ternyata kita tetap dapat
berinteraksi/bertemu di wilayah sosial kemasyarakatan. Dengan sikap
mengedepankan penghormatan terhadap apa yang mereka anut, memberikan
ruang untuk berbeda dan tidak sedikitpun juga mereka ikut campur dalam prinsip-
prinsip aturan ajaran agama kita, begitupun sebaliknya.
4. Pertanggung Jawaban atas Perilaku Peribadatan
Didahulukannya kata (لكم) lakum dan (ل) liya berfungsi menggambarkan
kekhususan, karena itu pula masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan
tidak perlu dicampurbaurkan. Tidak perlu mengajak kami untuk menyembah
sembahan kalian setahun agar kalian menyembah pula Allah. Kalau (دين) dīn
diartikan agama, maka ayat ini tidak berarti bahwa Nabi diperintahkan mengakui
kebenaran anutan mereka. Ayat ini hanya mempersilahkan mereka menganut apa
yang mereka yakini. Apabila mereka telah mengetahui tentang ajaran agama yang
benar dan mereka menolaknya serta bersikeras menganut ajaran mereka, silahkan,
karena memang seperti firman Allah swt:
41
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) Vol XV Cet. I. h. 581.
50
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama, sesunggubnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang sesat” (QS. al-Baqarah (2): 256).
Kelak di hari kemudian masing-masing mempertanggungjawabkan
pilihannya.42
Bahwa dalam beragama kita tidak boleh memaksakan kebenaran
yang kita yakini kepada pemeluk agama lain. Sisi toleransinya adalah kita harus
menghargai bahwa secara rinci masing-masing agama memiliki tuntunan yang
dilaksanakan oleh pemeluk-pemeluknya.
5. Eksistensi Agama dan Keyakinan Beragama ل كمدينكمو ل دين
Ayat 6 di atas, merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik, bagi
kamu agama kamu dan bagiku agamaku. Sehingga dengan demikian masing-
masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa
memutlakkan pendapat kepada orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan
masing-masing.
Demikian terlihat bahwa absolusitas ajaran agama adalah sikap jiwa ke
dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak
meyakininya.43
Soal aqidah, di antara tauhid mengesakan Allah, sekali-kali
tidaklah dapat dikompromi-kan atau dicampuradukkan dengan syirik. Tauhid
kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.44
Ketika kaum musyrikin bersikeras menolak ajaran Islam, maka demi
kemaslahatan bersama, Tuhan memerintahkan Nabi Muḥammad s.a.w.
menyampaikan bahwa:
42
Ibid. 43
Ibid. 582. 44
Hamka, Tafsīr al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani, 2015), Jilid 9, Cet.1. h. 680.
51
“Sesungguhnya kami atau kamu yang berada dalam kebenaran, atau dalam
kesesatan yang nyata. Katakanlah: Kamu tidak akan diminta
mempertanggungjawabkan pelanggaran-pelanggaran kami dan kami pun tidak
akan diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kamu. Katakanlah:
“Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan di
antara kita dengan benar, sesungguhnya Dia Maha Pemberi keputusan lagi Maha
Mengetahui” (QS. Saba´ (34): 24-26).
Pada ayat di atas terlihat bahwa ketika absolusitas diantar keluar, ke dunia
nyata Nabi saw. tidak diperintahkan menyatakan apa yang di dalam keyakinan
tentang kemutlakan kebenaran ajaran Islam, tetapi justru sebaliknya, kandungan
ayat tersebut bagaikan menyatakan: Mungkin kami yang benar, mungkin pula
kamu; mungkin kami yang salah, mungkin pula kamu. Kita serahkan saja kepada
Tuhan untuk memutuskannya. Bahkan diamati dari redaksi ayat di atas, bahwa
apa yang dilakukan oleh Nabi dan pengikut-pengikut beliau diistilahkan dengan
pelanggaran (sesuai dengan anggapan mitra bicara), sedang apa yang mereka
lakukan dilukiskan dengan kata perbuatan, yakni tidak menyatakan bahwa amal
mereka adalah dosa dan pelanggaran.
Awal surah ini menanggapi usul kaum musyrikin untuk berkompromi dalam
akidah dan kepercayaan tentang Tuhan. Usul tersebut ditolak dan akhirnya ayat
terakhir surah ini menawarkan bagaimana sebaiknya perbedaan tersebut disikapi.
Demikian bertemu akhir ayat surah ini dengan awalnya. Maha Benar Allah dan
segala firman-Nya, dan sungguh serasi ayat-ayatnya. Demikian Wa Allah A’lam.45
Allah s.w.t memberikan anugerah kepada manusia berupa kecenderungan,
pikiran, dan hawa nafsu. Hawa nafsu yang dimiliki oleh manusia mengakibatkan
pertentangan dan aneka perbedaan yang jika manusia tidak mengelolanya dengan
baik maka dapat mengakibatkan bencana dalam hidupnya. Allah s.w.t
menegaskan dalam QS. Hūd (11): 117-118, bahwa manusia akan selalu berbeda
45
Ibid., h. 582.
52
dan berselisih, kecuali mereka yang dirahmati Allah s.w.t, yang mampu
mengelola perbedaan tersebut dengan sikap yang toleran pada pandangan dan
sikap pihak lain, terutama dalam hal kebergamaan ataupun selainnya. Tanpa
toleransi, hidup manusia akan terganggu. Toleransi diartikan juga sebagai sikap
menenggang, membiarkan maupun menghormati pandangan/sikap orang lain
meskipun membiarkannya tidak sama dengan pendapatnya sendiri. Oleh sebab itu
toleransi sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan, karena keragaman akan sebuah
perbedaan adalah sebuah keniscayaan.46
Sebenarnya dari paparan Muhammad Quraish Shihab tidak ada satupun
kata-kata toleransi di dalam penafsiran surah al-Kāfirūn. Jika toleransi memiliki
pengertian sebagaimana pengertian toleransi dalam KBBI bahwa “sifat toleran
atau sikap menenggang rasa dalam artian lain membolehkan, menghargai,
membiarkan pendirian ataupun pandangan, pendapat, kebiasaan, kepercayaan,
kelakuan yang kontra atau berbeda dengan pendirian pribadi. Selain itu, toleransi
bermakna sebagai sifat atau sikap toleran dengan limitasi skala pengurangan atau
penambahan yang diperbolehkan untuk diterapkan terhadap suatu hal.47
Maka
makna toleran disini adalah tidak ada kompromi/atau menerima bahwa terdapat
perbedaan yang mengakibatkan tidak adanya titik temu antara orang Islam dengan
pemeluk agama lain pada hubunganya dengan Tuhan, karena bahasa ataupun kata
kompromi selalu muncul 6 kali dalam penafsiran Muhammad Quraish Shihab
dalam surah al-Kāfirūn. Karena ketika diksi itu yang digunakan, maka itulah diksi
toleransi yang dapat kita temui dan yang dengannya pulalah diksi yang digunakan
oleh Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirannya. Bila pun ingin jika kita
mengatakan sisi bagaimana seseorang bisa menjadikan konsep toleran yang ada
dalam surah al-Kāfirūn itu tergambar:
1. Bahwa tidak ada kompromi (titik temu) dalam hal peribadatan. Jadi
dalam hubungannya pada wilayah ibadah (penyembahan), tidak ada dan tidak bisa
46
M. Quraish Shihab, Yang Hilang dari Kita: Akhlak, (Tangerang: PT. Lentera Hati, 2019),
Cet III. h. 181. 47
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, h. 1538.
53
dikompromikan (tidak bisa dipertukarkan) atas dasar tema yang kedua yakni relasi
hubungan antar pemeluk agama.
2. Menghormati keyakinan ketika seseorang sudah memeluk agama.
Berdakwah atau mengajak untuk memeluk maupun mengenali Islam
diperbolehkan, namun pada prinsipnya ketika respon orang tersebut tetap dalam
kondisi keyakinannya ia tidak berpindah dan kemudian ia pun tidak menerima
Islam, maka hal itu merupakan bukan tanggung jawab kita selaku orang Islam
untuk menjadikan ia masuk menjadi pemeluk agama Islam. Sebagai orang Islam
harus menghormati orang tersebut untuk tetap dalam keyakinannya agamanya.
Menurut Quraish Shihab bahwa sekali lagi agama beraneka ragam, biarlah
masing-masing dengan pilihan masing-masing untuk memercayai dan
melaksanakan apa yang baik dan benar. Biarlah manusia yang berbeda-beda itu
berlomba dalam kebajikan. Kalau kebajikan itu disepakati maka mari
bergandengan tangan untuk mewujudkannya. Kalau tidak disepakati, jangan cari
siapa yang salah dan siapa yang benar. Masing-masing mestinya telah
mempelajari agamanya dan menemukan yang sehingga tidak mungkin dibenarkan
dua benar, agama berbeda dalam saat yang sama.48
Pada dasarnya toleransi dalam hubungannya antarumat beragama terdapat
batasan tertentu dan dalam beragama sebaiknya tidak ada unsur pemaksaan
sehingga dalam menyikapnya Muhammad Quraish Shihab menggunakan redaksi
ayat al-Baqarah (2): 256.49
Hal ini serupa dengan pandangan Salman Harun
bahwa “Pemkasaan kebenaran benar-benar dilarang, apalagi dengan kekerasan”50
Hubungan antara umat Islam dengan pemeluk lain haruslah tetap harmonis
tanpa ada pemaksaan, maka hal itu juga merupakan sunnahtullah. Oleh karena itu,
umat sebagai umat muslim tidak sertamerta dapat memaksakan kebenaran yang
ada dalam diri sebagai pemeluk agama yang meyakini kebenaran Islam terhadap
keyakinan yang dianut, sebab kita selaku umat muslim sebenarnya tidak akan
48
M. Quraish Shihab, Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran Islam, (Ciputat: PT.
Lentera Hati, 2019), Cet. IV. h. 49. 49
Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ān,
Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. I, Cet. 1. h. 581 50
Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Mengerti Jalan-jalan yang
Membahagiakan di Dunia dan Akhirat), (Tangerang: PT. Lentera Hati, 2018), Cet. I. h. 356.
54
mempertanggungjawabkan setiap amalan yang pemeluk agama lain kerjakan.
Dalam wilayah keimanan yang ada di dalam diri tiap-tiap pemeluk agama Islam
sepatutnya kita tidak memperlihatkan kebenaran mutlak yang ada dalam diri
keluar, bentuk toleransinya dengan tidak memaksakan sesuatu yang sudah mutlak
kebenaran yang kita peroleh keluar, kita tidak mengabaikan keimanan mereka
pemeluk agama lain. Sehingga Quraish Shihab selalu mengomentari perbedaan
dengan kaitannya surah ini dengan surah QS. Saba´ (34): 25 dengan kalimat
“mungkin kami yang benar, mungkin kami yang salah dan mungkin juga anda”
bahwa kita benar-benar tidak bertanggungjawab dengan keimanan yang orang lain
yakini.
Menurut Quraish Shihab ayat-ayat di atas menggambarkan bagaimana
seharusnya seorang muslim berinteraksi dengan penganut agama dan kepercayaan
yang berbeda dengannya. Tidak dapat disangkal bahwa setiap penganut agama-
termasuk Islam-harus meyakini sepenuhnya tentang kebenaran anutan/ agamanya
serta kesalahan anutan selainnya-bila anutan itu bertentangan dengan keyakinan
masing-masing. Namun demikian, hal tersebut tidak harus ditonjolkan keluar
apalagi dikumandangkan di tengah masyarakat yang majemuk. Ayat-ayat di atas
tidak menyatakan kemutlakan ajaran Islam dan kemutlakan kesalahan pandangan
mitra bicara.
Dalam sejarahnya Allah pernah menegur Nabi Muḥammad s.a.w terkait
dakwah beliau kepada orang kafir, bahwa Nabi Muḥammad s.a.w memiliki tugas
pada orang yang belum berislam hanya pada menyampaikan kebenaran yang
beliau bawa, sedangkan wilayah penerimaan terhadap apa yang Nabi sampaikan
bukan ranah Nabi s.a.w.
Di dalam tafsiran surah al-Kāfirūn, Quraish Shihab menjelaskan bahwa
memang kita mengakui adanya perbedaan dalam segi akidah keimanan dan segala
bentuk peribadatan yang kita yakini dengan pemeluk agama lain, namun tetap
menghargai dan memberikan ruang untuk pemeluk agama lain untuk beribadah
55
sesuai apa kebenaran apa yang mereka yakini.51
Tetapi untuk diluar wilayah itu
beliau memberikan pandangan bahwa bekerjasama dalam kehidupan itu boleh.
Allah pun melarang bagi kita selaku umat Islam untuk bersikap tidak toleran
terhadap pemeluk agama lain, seperti memaki sesembahan mereka karena hal itu
dapat menyinggung rasa keagamaan pemeluk agama lain. Sebab sejatinya segala
bentuk tindak tanduk kita akan kembali kepada diri kita sendiri. Terlebih pada hal
memaki sesembahan mereka, karena nantinya mereka juga akan memaki Tuhan
yang kita sembah dengan melampaui batas, hal ini bisa kita lihat dalam QS. al-
An‟ām (6): 108 “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap
baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia
akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
51
Membentak, Menuduh Kafir= Dakwah Melampaui Batas - Prof. Quraish Shihab diakses
pada 8 Juli 2020 https://www.youtube.com/watch?v=eqgtyh6Pufs&t=82s
56
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Bahwa toleransi merupakan sebuah keniscayaan. Di dalam ajaran Islam
mengajarkan kita untuk menerapkan toleransi dalam setiap sendi-sendi kehidupan.
Toleransi merupakan sikap yang harus ada bagi setiap diri seorang muslim tanpa
terkecuali, karena sikap toleransi menjadikan manusia itu utuh dalam pelaksanaan
ibadah kepada Allah s.w.t dan hubunganya secara horisontal kepada manusia
maupun kehidupan secara holistik, menjadikan kehidupan manusia seimbang
antara duniawi dan ukhrawi dengan segala aspek kehidupan.
Pada surah al-Kāfirūn ini adalah surah yang sangat tegas dan kental prinsip
toleransinya terhadap penolakan usul kaum kafir Quraisy dari segi penawaran
mereka dengan usul mencampur adukkan/menyangkut wilayah pelaksanaan
tuntunan agama/keyakinan yakni wilayah penyembahan. Sehingga kita
mengetahui bahwa ternyata batasan toleransi tersebut tidak boleh mengorbankan
prinsip agama demi toleransi. Toleransi diartikan sebagai sikap menerima,
tenggang rasa dan menghormati pandangan dari pihak lain, walaupun sikap atau
pandangan tersebut berseberangan dengan pandangan kita. Namun pada
penafsiran surah al-Kāfirūn ini Quraish Shihab tidak diketemukan diksi atau kata
toleran/toleransi. Jika pemaknaan toleransi merujuk kepada sebuah pengertian dari
toleransi itu sendiri, maka makna toleran yang dimaksud dalam penafsiran
Muhammad Quraish Shihab adalah pada kata kompromi yang muncul 6 kali
dalam tafsir surah al-Kāfirūn di kitab Tafsir al-Mishbah. Ada 2 hal yang
ditemukan dalam diksi toleransi dalam kata kompromi beliau yakni:
1. Bahwa tidak ada kompromi (titik temu) dalam hal peribadatan. Jadi
dalam hubungannya pada wilayah ibadah (penyembahan), tidak ada dan tidak bisa
dikompromikan (tidak bisa dipertukarkan) atas dasar tema yang kedua yakni relasi
hubungan antar pemeluk agama.
57
2. Menghormati keyakinan ketika seseorang sudah memeluk agama.
Berdakwah atau mengajak untuk memeluk maupun mengenali Islam
diperbolehkan, namun pada prinsipnya ketika respon orang tersebut tetap dalam
kondisi keyakinannya ia tidak berpindah dan kemudian ia pun tidak menerima
Islam, maka hal itu merupakan bukan tanggung jawab kita selaku pemeluk agama
Islam untuk menjadikan ia masuk menjadi pemeluk agama Islam juga. Sebagai
seorang muslim haruslah menghormati orang tersebut untuk tetap dalam
keyakinannya agamanya.
Quraish Shihab berpendapat bahwa tidak ada toleransi dalam hal ini tidak
ada kompromi dalam wilayah ibadah (penyembahan), karena jika hal yang
demikian terjadi maka terdapat kerancuan dalam beragama. Masing-masing
agama memiiiki perbedaan secara ajaran pokok yang memiliki aturan rinci
masing-masing yang dijalani oleh pemeluk agama. Jadi tidak mungkin ada
kompromi dalam hal ibadah, dikarenakan pada konteks surah ini usul kaum kafir
Quraisy tidak dapat dibenarkan, keyakinan mereka terhadap pemahaman Tuhan
beserta tatacara penyembahannya berbeda dengan ajaran Islam.
Dalam penelitian skripsi ini penulis mengemukakan beberapa tema di surah
al-Kāfirūn. Tema yang pertama mengenai negasi berkompromi dalam ibadah dan
tema penghormatan atas keyakinan beragama.
Muhammad Quraish Shihab memberikan pandangannya bahwa umat Islam
memang memiliki perbedaaan dengan umat beragama lain dalam hal akidah dan
bentuk ibadah lainnya, tetapi bukan berarti perbedaan itu menjadikan kita selaku
umat Islam tidak bisa bekerjasama dalam hal diluar itu. Quraish Shihab
mengaitkan dalam tafisrannya dalam surah ini bahwa dalam beragama itu tidak
ada unsur paksaan dalam beragama yang berdasarkan QS. al-Baqarah (2): 256 dan
sikap tawadhu beliau terhadap menyikapi hubungan antarumat beragama ketika
ada sebuah perbedaan yakni pada QS. Saba´ (34): 25. Kemudian dalam
pelaksanaannya, demi menciptakan kerukunan umat beragama beliau menyikapi
dengan bentuk toleransinya juga mengaitkan dengan QS. al-An’ām (6): 108.
Nabi Muhammad s.a.w mengajarkan kita untuk bertoleransi dalam
kehidupan, selama tidak melanggar prinsip-prinsip keagamaan. Lakum dīnukum
58
waliyadīn, bagiku dan seluruh balasan terhadap apapun yang aku kerjakan adalah
tanggung jawab untuk ku, dan bagimu adalah agamamu, begitupun sebaliknya
bahwa segala tindak tanduk apappun yang umat lain lakukan akan mendapat
ganjarannya masing-masing, sesuai dengan ajaran maupun keyakinan yang
dianutnya.
B. Impilkasi
Hasil penelitian ini menjadikan gambaran kepada masyarakat bahwa
toleransi terhadap pemeluk agama lain itu sangat mungkin terwujud, yang
terpenting adalah pemahaman masyarakat kepada batasan toleransi, yakni tidak
boleh atas dalih demi toleransi namun mengabaikan prinsip agama. Hubungan
yang baik akan terus tercipta ketika batasan-batasan dalam toleransi dalam surah
al-Kāfirūn ini diketahui dan diamalkan.
Muhammad Quraish Shihab adalah mufassir yang dalam setiap karyanya
memuat gagasan toleransi. Sehingga dari beliau kita mempunyai pandangan dan
pemahaman yang dapat kita amalkan tentang bagaimana menyikapi hidup setelah
kita mengetahui toleransi dalam surah al-Kāfirūn ini. Pengamalan toleransi
beragama bukan hanya dalam hati dan benak saja, namun dari segi
pelaksanaannya toleransi dapat diterapkan dalam kehidupan beragama yang damai
dan harmonis.
C. Saran
Dalam penyusunan penelitian skripsi ini penulis menyadari bahwa tidak ada
yang sempurna kecuali Allah s.w.t. Maka dari itu penulis menerima/ membuka
lebar kritik dan saran yang membangun dikemudian hari agar dapat menjadikan
pembelajaran bagi diri pribadi dan peneliti selanjutnya.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Masykuri. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2001.
Abdurrahman, Muhammad. Akhlak: Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia.
Jakarta: Rajawali Pers. 2016.
Amin, Mansyur. Dakwah Islam dan Pesan Moral. Yogyakarta: al-Amin Press.
Cet. Ke-1. 1999.
Amirudin, “Pengaruh Pemikiran H. M Quraish Shihab Bagi Perkembangan
Intelektual dan Kehidupan Umat Islam Indonesia”, Jurnal Fakultas Agama
Islam Uniska Karawang. Sigma-Mu Vol. 9. No. 1. 2017.
Chaery, Shodiq Shalahuddin. Kamus Istilah Agama. Jakarta: CV Sientarama, Cet.
I. 1983.
Dyayadi, M.T. Kamus Lengkap Islamologi. Yogyakarta: Qiyas, 2009.
Enjang Muhaemin dan Irfan Sanusi. “Intoleransi Keagamaan dalam Framing
Surat Kabar Kompas”, Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi. UIN Sunan
Gunung Djati Bandung Vol. 3. Nomor 1. 2019.
Federspiel, Haward M. Kajian al-Qur’ān di Indonesia: Dari Mahmud Yunus
hingga Quraish Shihab. Mizan: Bandung. Cet. I, 1996.
Fikri, Muhalli. “Konsep Toleransi Beragama Dalam al-Qur’ān Surat al-Kafirun
(Studi Komparatif Tafsīr al-Azhar dan Tafsīr al-Miṣbāḥ),” Mataram: UIN
Mataram. 2019
Garaudy, R. Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya, Bandung:
Pustaka, 1993.
Ghazali, Adeng Muchtar. “Toleransi Beragama dan Kerukunan dalam Perspektif
Islam”. Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol. 1 No. 1, 2016.
Al-Ghazali, Muhammad. Berdialog dengan al-Qur’ān. Bandung: Mizan. Cet. 4,
1999.
Hamka. Tafsīr al-Azhar. Jakarta: Gema Insani. Jilid 7, Cet.1, 2015.
60
Harun, Salman. Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Mengerti Jalan-jalan yang
Membahagiakan di Dunia dan Akhirat). Tangerang: PT. Lentera Hati. Cet.
I, 2018.
Hick, John. A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths (America:
SCM.1995.
Hielmy, Irfan. Dakwah Bil Hikmah. Yogjakarta: Mitra Pustaka. 2002.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI, 2013.
J. Drost, Mgr. J. Sunarka, J. Riberu, Dkk. Toleransi dalam Kehidupan Keluarga
dan Masyarakat. Jakarta: Sekretariat Komisi SPE/APP Bekerjasama dengan
LDD- KAJ, Komisi PSE-KWI, 2003.
Kandu, Amirullah. Ensiklopedia Dunia Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2010.
Membentak, Menuduh Kafir= Dakwah Melampaui Batas - Prof. Quraish Shihab
diakses pada 8 Juli 2020
https://www.youtube.com/watch?v=eqgtyh6Pufs&t=82s
Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’ān Kitab Toleransi. Jakarta: Pustaka Oasis. 2007.
Al-Maidani, Abdurrahman Hasan Habanakah. al-Aqidah al-Islamiyah wa
Ususuha, terj. Pokok-pokok Akidah Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Cet.
I. 1998.
Al-Munawar. Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: PT.
Ciputat Press. 2005.
. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: PT.
Ciputat Press.2003
Nata, Abuddin. Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2005.
Nata Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2005.
Nailufar, Nibras Nada. “PBNU Merujuk ke Fatwa 1999 tentang Pemimpin Non-
Muslim”. www.kompas.com, 10 Juni 2020
Nashih Nashrullah dan Chairul Akhmad, “Hukum Merusak Tempat Ibadah (3-
habis)”. www.republika.co.id, 12 Mei 2020.
61
Nugraha, Eva. Komodifikasi dan preservasi Kitab Suci; Dalan Usaha Penerbitan
Mushaf al-Qur’ān di Indonesia. Ciputat: Himpunan Peminat Ilmu-ilmu
Ushuluddin (hipius). 2019.
Nur, Afrizal. “M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, (Jurnal Ushuluddin,
Vol. XVIII No. 1. Januari 2012.
Perdana, Jaka. “Pemikiran Pendidikan Quraish Shihab dalam buku Membumikan
al-Qur’ān,” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2015.
Qamaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-
ayat al-Qur’ān. Bandung: CV. Diponegoro, Cetakan XVII, 1995.
Shihab, M. Quraish. Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran Islam. Ciputat:
PT. Lentera Hati. Cet. IV, 2019.
Shihab, M. Quraish. Yang Hilang dari Kita: Akhlak. Tangerang: PT. Lentera Hati.
Cet III, 2019.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1997.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’ān: Memfungsikan Wahyu dalam
Kehidupan. Jakarta: Lentera Hati. Jilid 2, 2011.
Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati. Vol II, Cet. I. 2000.
Shihab, M. Quraish, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati. Vol. I, Cet. 1. 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati.Vol. III, Cet. 1. 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati.Vol. V, Cet. 1. 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati.Vol. VII, Cet. 1. 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati.Vol. IX, Cet. 1. 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati.Vol. XV, Cet. 1. 2002.
62
Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.
Jakarta: Lentera Hati. Vol X, Cet. 3. 2010.
Siregar, Abdurrahman. “Meneladani Sikap Toleransi Rasulullah SAW”.
www.kompasiana.com, 9 Juni 2020.
Suhendi, H. Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008.
Ucu, Karta Raharja. “Puluhan Ribu Massa Dukung Pemimpin Muslim”.
www.republika.co.id, 12 Juni 2020.
Wahyuni, Tri. “FPI DKI Imbau Umat Islam tak turun ke jalan saat tahun baru”.
www.cnnindonesia.com, 11 Juni 2020.