to love him

19
To Love Him By : Ray Ryo “Saya sangat menyesal tuan Hargian. Istri anda meninggal setengah jam yang lalu, beberapa menit setelah melahirkan putri anda.” Rion setengah ternganga menatap dokter Javier dengan raut datar. Keheningan seketika menyelemuti cakrawalanya, tak ada satu suara pun yang dapat terngiang dalam mindanya. Beriring hatinya yang kian terasa perih dan sesak, kalimat dokter Javier tadi perlahan memenuhi pendengarannya. Selanjutnya, dokter Javier dan beberapa perawat lainnya disitu harus berusaha keras menangani Rion yang mengamuk tak terkendali. Meraung histeris meneriakan nama istrinya berulang- ulang. Rion mengamuk sampai kedua lututnya tak mampu menahan bobot tubuhnya untuk melangkah memasuki ruang bersalin, tempat jasad mendiang sang istri masih di baringkan. Butuh puluhan menit untuknya bangkit melangkah memasuki ruangan itu. Javier, dokter yang juga sahabat lamanya itu masih di samping Rion menemaninya menengok sang istri. Langkah gemetar Rion, terhenti di depan jasad sang istri. Di atas meja besi dingin itu, telah terbujur kaku dengan mata terpejam yang takkan mungkin terbuka lagi. Dilapisi selembar selimut kain. Beberapa perawat menyambut kedatangan Rion dengan raut muram. Mereka gagal menyelematkan ibu bayi yang baru saja lahir itu. “Luna… Luna, sayang ini aku. Aku datang. Luna, aku mohon bangun. Jangan lakukan ini padaku Luna, jangan… aku tak bisa hidup tanpa kamu. Luna!!! Aku mohon bangun! Luna!!!” Lelaki itu pingsan tak lama setelah raungan terakhirnya sembari memeluk jasad sang istri. * Kemalangan belum berakhir menghujam kehidupan Rion. Sang putra yang lahir terlampau premature hanya mampu bertahan tak lebih dari tiga bulan di dalam incubator, jantungnya masih terlalu lemah untuk bertahan hidup. Hari ini, Rion kembali harus ber-tuxedo hitam menghadiri pemakaman putranya. Janus Kafka Hargian, di makamkan tepat di samping makam sang bunda. Dalam

Upload: renly-yohanis-r

Post on 12-Nov-2015

214 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

loveloeee

TRANSCRIPT

To Love HimBy : Ray Ryo

Saya sangat menyesal tuan Hargian. Istri anda meninggal setengah jam yang lalu, beberapa menit setelah melahirkan putri anda.

Rion setengah ternganga menatap dokter Javier dengan raut datar. Keheningan seketika menyelemuti cakrawalanya, tak ada satu suara pun yang dapat terngiang dalam mindanya. Beriring hatinya yang kian terasa perih dan sesak, kalimat dokter Javier tadi perlahan memenuhi pendengarannya.

Selanjutnya, dokter Javier dan beberapa perawat lainnya disitu harus berusaha keras menangani Rion yang mengamuk tak terkendali. Meraung histeris meneriakan nama istrinya berulang-ulang. Rion mengamuk sampai kedua lututnya tak mampu menahan bobot tubuhnya untuk melangkah memasuki ruang bersalin, tempat jasad mendiang sang istri masih di baringkan. Butuh puluhan menit untuknya bangkit melangkah memasuki ruangan itu.

Javier, dokter yang juga sahabat lamanya itu masih di samping Rion menemaninya menengok sang istri.

Langkah gemetar Rion, terhenti di depan jasad sang istri. Di atas meja besi dingin itu, telah terbujur kaku dengan mata terpejam yang takkan mungkin terbuka lagi. Dilapisi selembar selimut kain. Beberapa perawat menyambut kedatangan Rion dengan raut muram. Mereka gagal menyelematkan ibu bayi yang baru saja lahir itu.

Luna Luna, sayang ini aku. Aku datang. Luna, aku mohon bangun. Jangan lakukan ini padaku Luna, jangan aku tak bisa hidup tanpa kamu. Luna!!! Aku mohon bangun! Luna!!!

Lelaki itu pingsan tak lama setelah raungan terakhirnya sembari memeluk jasad sang istri.*Kemalangan belum berakhir menghujam kehidupan Rion. Sang putra yang lahir terlampau premature hanya mampu bertahan tak lebih dari tiga bulan di dalam incubator, jantungnya masih terlalu lemah untuk bertahan hidup. Hari ini, Rion kembali harus ber-tuxedo hitam menghadiri pemakaman putranya. Janus Kafka Hargian, di makamkan tepat di samping makam sang bunda. Dalam waktu yang sangat singkat, Rion kehilangan dua orang terpenting dalam hidupnya.

Hingga sore menjelang, Rion masih berdiri mematung di depan dua buah nisan. Milik istri dan anaknya. Tak adalagi pelayat yang menemaninya. Ia enggan beranjak dari sana. Meski saat ini hujan mengguyur ladang pemakaman itu dengan begitu deras. Tatapannya kosong, seperti tak punya asa lagi untuk melanjutkan hidupnya.

Lebih setahun lalu, Rion Hargian sepertinya mencapai satu titik tertinggi dalam pencapaian hidupnya. Sukses luar biasa dalam karirnya sebagai musisi, lalu akhirnya menikah dengan seorang istri yang begitu cantik menawan pujaan hatinya. Hari-hari hidup pemuda itu terus membuatnya merasa sebagai lelaki paling beruntung di dunia. Tak ada yang kurang dalam hidupnya, sampai suatu ketika

Satu tahun yang laluBulan ke dua kehamilan Luna

Dinihari itu Rion dengan semangat mengendarai mobil mengebut pulang dari luar kota. Mobil itu melaju kencang menyusuri jalanan yang belum di isi kepadatan kendaraan yang berarti. Penat dan lelah di mindanya kalau kuat dengan rindu berkelebat dalam hati setelah hampir seminggu tak bertemu Luna, sang istri.

Im coming home, Luna, Janus, tunggu ayah gumamnya, sembari mengangkat sebuah kantung plastic berisi beberapa kilogram apel, apel pesanan sang istri.

Tak berapa lama kemudian, tiba juga Rion di rumahnya. Bergegas ia memarkir mobil lalu berlarian menuju pintu depan. Matahari bahkan baru mulai bergegas keluar dari ufuk timur saat ia tiba.

Sweetheart! Aku pulang sayang, Luna? Tolong bukain pintunya? Serunya tak sabar.

Luna? Sayang? Tolong buka pintunya, aku udah pulang nih Apa belum bangun yah, ah ya aku lupa punya benda ini

Rion teringat kunci duplikat yang selalu mereka simpan di bawah pot bonsai disamping pintu. Dengan gerakan cepat, ia masuklah sudah kedalam rumah. Lalu mendapati hawa yang mulai asing dalam benaknya. Tak biasanya Luna tidur tanpa memadamkan semua lampu yang menyala dalam ruangan selain kamar tidurnya.

Luna? Sayang? sesegera mungkin ia menuju kamar, namun tak ditemuinya sang istri di sana.

Perlahan perasaan cemas mulai menggelayuti pikirannya. Pandangannya langsung tertuju pada pintu kamar mandi kamar mereka yang tak terkunci dan lampu di dalamnya yang masih menyala.

Luna!!!

Rion terbelalak mendapati istrinya terbaring tak sadarkan diri di lantai kamar mandinya yang basah.

*Ehm, Rion seriously, sebelumnya Luna nggak pernah ada keluhan apapun tentang jantungnya sama kamu? Terlebih sampai kalian memutuskan kehamilan pertama Luna ini? Javier membetulkan letak kacamatanya, lalu bertanya dengan tatapan serius pada Rion.

Maksud kamu? Aku nggak ngerti Jav, nggak ada kok, kami nyaman-nyaman saja dengan rencana kehamilan Luna ini. dia nggak pernah ada keluhan apapun.

Ehm, begini kawan. Simplenya, Luna punya kelainan bawaan pada jantungnya. Jantungnya lemah. Dan

Dan apa, Jav? Rion mulai pucat, mendengar penjelasan Javier. Dokter, sekaligus sahabatnya itu.

Kalau kalian memeriksakan kesehatan Luna padaku lebih dini. Aku akan dengan tegas menyarankan Luna untuk program kehamilan bayi tabung saja, kehamilan normal seperti ini, jantungnya takkan sanggup. Ini terlalu berbahaya.

Rion terdiam kini dan setelahnya, Javier menjelaskan lebih rinci hasil pengamatan dan pemeriksaannya pada istri sahabatnya itu. Dalam diam, airmata Rion menetes perlahan.

Itu jalan satu-satunya, Ri! Nyawa Luna akan jadi taruhannya, kalau ini diteruskan.

Luna Jav, dia sangat menginginkan anak ini. Dia takkan mau menggugurkannya.Sergah Rion berurai airmata.

Cobalah yakinkan dia. Aku juga akan coba bantu, kita usaha dulu Ri.

*Seperti yang di duga sebelumnya, Luna menentang keras ide menggugurkan kandungan itu.

Kalian berdua gila! Nggak, nggak bisa! Aku kuat kok, sebelumnya juga nggak ada masalah dengan kehamilanku. Kemarin Cuma karena aku kecapean saja, waktu itu orderan bunga sedang banyak sekali. Aku kerja sampai lupa makan. Javier, ayolah, pasti ada solusi lebih bijaksana dari ini kan?

This is the wisest act I can advice to you, Luna. Aku tau ini berat, tapi ini untuk kebaikan kamu juga Sahut Javier putus asa.

Ketenangan di restoran tempat pertemuannya dengan Luna dan Rion terusik oleh nada bicara Luna yang meninggi.

No, nggak mungkin. Aku nggak bisa. Aku akan tetap pertahankan anak ini.

***

Seperti itu Luna menemui akhirnya. Jantung Luna tak mampu menahan gejolak yang muncul saat proses persalinan. Javier yang sedianya memang memantau progress kehamilan Luna sejak awal dibuat terkejut dengan pecahnya air ketuban Luna sebulan lebih awal sebelum waktu yang seharusnya. Bayinya lahir prematur. Rion sedang dinas diluar kota saat hari itu, laju mobilnya yang melesat sangat cepat tetap tak cukup untuk memberinya kesempatan melihat sang istri di saat terakhir.

Dan kini, sepertinya satu alasan terakhir untuknya bertahan hidup pun kini di ambil darinya. Putranya meninggal menyusul sang bunda. Adakah kemalangan yang melebihi apa yang menimpa Rion saat ini?

Hampir gelap saat Rion beranjak dari ladang pemakaman itu. Hujan menghujam dengan begitu deras.

Rion melangkahkan kakinya dengan gontai. Tatapannya datar, tak sanggup lagi meneteskan airmata. Rasanya semua sudah habis terkuras dari dirinya. Atas kemalangan yang menimpanya bulan-bulan terakhir ini. Hujan begitu deras menghujam ribut dari segala arah, tapi Rion seperti terkurung dalam keheningan begitu dalam. Terkurung dalam hening yang sepi dan menyiksa.

Rion terus melangkahkan kakinya tanpa arah, hingga ia tak tau lagi sudah berapa jauh kaki itu membawanya.

Entah setelah berapa lama, langkah kakinya terhenti. Di hadapannya, sebuah jembatan baja di atas ketinggian. Dibawahnya membentang sebuah sungai, arusnya sedang sangat deras akibat hujan yang hingga detik itu masih deras berjatuhan.

Tak ada gunanya lagi aku hidupTak ada gunanyaTak ada gunanya

Kalimat-kalimat itu menuntun langkah Rion mendekati jembatan itu. beberapa tapak saja, dan tibalah ia di salah satu sisi samping jembatan itu.Rion sepertinya tak peduli apapun lagi, langit yang sudah gelap detik itu sepersis hatinya yang tak memiliki cahaya lagi saat ini. Mati menjadi satu-satunya hal yang terlintas dalam benaknya.

Perlahan kakinya menaiki satu per satu trali besi pembatas samping jembatan itu. detik selanjutnya dalam mata terpejam Rion hanya dapat merasakan tubuhnya melayang sebelum akhirnya membentur deras jeram sungai yang menghantam dan membasahi tubuhnya.

*Dia sudah sadar?

Kafka tersentak, buyar dari lamunannya. Suara Nenek mengagetkannya yang sedang menatapi tubuh seorang pemuda yang sedang terbaring di depannya. Rion.

Nenek ngagetin aja. Belum nek, dia masih belum sadar. Sepertinya benar khasiat obat racikan Nenek mulai berkurang akhir-akhir ini, aww satu jitakan sang Nenek bersarang di dahi Kafka.

Sembarangan kamu, seumur hidup belum ada yang gagal Nenekmu ini obati dengan obat-obatku. Hmm, tapi kondisi pemuda ini memang sedang tak baik bahkan sebelum ia jatuh ke sungai. Dia banyak dehidrasi dan kekurangan nutrisi.

Dari rautnya dia seperti orang yang sedang depresi berat, nek.

Kamu benar, ya bisa kita lihat dari pakaian yang dia pakai. Baju setelah hitam-hitam, serba hitam. Tentu dia habis menghadiri pemakaman. Si Nenek beranjak menuju ruang obatnya. Kamu teruskan mengompres kepalanya sampai demamnya reda, Nenek mau meracik satu obat lagi, untuk pemulihan dia.

Oke.

Kafka bergerak mendekati Rion lalu meraih kain kompresan dari dahi Rion. Memeras airnya lalu mencelupkan lagi kain itu ke dalam air dalam baskom. Lalu dengan hati-hati meletakan kembali ke dahi Rion. Setelahnya, Kafka membetulkan letak kacamata minusnya, lalu bergerak mundur sedikit. Duduk sambil memeluk kedua lututnya, sambil terus menatap Rion yang masih terlelap dengan raut suramnya.

Apa sebenarnya yang tejadi sama kamu sih?

Kafka sedang dalam hari liburnya kini, berkunjung ke rumah sang Nenek menjadi pilihannya menghabiskan hari liburnya kali ini. Menghindar dari kepekaan kota yang menyesakkan. Kafka menemukan Neneknya sedang menggendong seorang pemuda berpakaian serba hitam yang basah dan penuh bekas luka di sekujur tubuh. Kafka sempat terperangah dibuat Neneknya kemarin.

Dari cerita sang Nenek, pemuda itu ditemukan sang Nenek pertama kali di pinggir sungai saat sedang memeriksa perangkap udang yang di lepasnya. Awalnya dikira sudah tewas. Neneknya bertindak cepat begitu sadar kalau jantungnya masih berdetak.

Sepertinya hari libur Kafka kali ini akan memiliki warna yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tak dapat di pungkirinya, Kafka langsung jatuh hati saat menatap wajah Rion untuk pertama kalinya. Hatinya tergerak untuk tau lebih jauh tentang apa yang terjadi pada pemuda malang itu hingga membuatnya seperti ini. Tanpa sadar jemari Kafka bergerak membelai rambut Rion dengan penuh sayang.

As much I can, I want to be this guys sunshine from now

21 Maret 2015. Saya. Kafka Aditya. 25 Tahun, seorang Arsitek. Hari ini resmi menyatakan diri, jatuh hati pada seorang pria. Pria. Pria yang bahkan aku tak tau siapa, dari mana, dan bagaimana bisa ada disini bersamaku sekarang. saat ini, dihadapanku, dia terbaring tak berdaya. Terlihat begitu rapuh dan lemah. Tubuh kekarnya tak mampu menyembunyikan luka itu, seolah jelas tergurat dari wajahnya. Aku lelaki sederhana, jatuh hati padanya pun dengan sederhana. Tak ada alasan yang memberi jawaban sebuah mengapa? Yang ada di benakku saat ini, adalah untuk memberinya semangat untuk hidup lagi. Belum berani bermimpi lebih untuk memiliki hatinya Belum, hahaha udah ah

Kafka selesai dengan voice recorder-nya untuk hari ini. Bagi sebagian besar orang yang baru mengenal Kafka pasti akan berkata bahwa, Kafka seseorang dengan omongan besar. Namun sejatinya, Kafka adalah orang yang sangat konsekuen dengan perkataannya. Ia lebih baik tak pernah mengucapkannya jika tak berniat menyanggupinya. Begitu prinsip hidupnya. Seperti kalimat-kalimatnya dalam voice recorder barusan.

Emhh

Kafka buyar dari lamunannya saat tubuh Rion bergerak seiring erangan halus dari bibirnya.

Dia udah sadar? Tanya Kafka dalam hatinya.

Hengkh sekali lagi tubuhnya bergerak kecil dengan erangan yang mulai jelas terdengar.

Kek! Nenek!!! Nenek!!!

Ada apa kamu teriak-teriak? si Nenek tergopoh-gopoh menghampiri mereka.

Nenek Kafka kemudian langsung dengan sigap menangani Rion yang mulai menunjukan tanda-tanda kesadaran. Memeriksa dan memastikan benar-benar keadaan Rion, untuk tau tindakan yang harus dilakukan setelahnya.

Wah, syukurlah sudah sadar.

Segera Nenek Kafka memberinya obat ramuan yang sudah selesai diraciknya sejak tadi. Rion masih terlalu lemah untuk menolak meminum obat itu dari Nenek.*

Ehm. Kafka memasuki kamar dengan memegang sebuah nampan berisi semangkuk bubur dan segelas susu.

Kesadaran Rion sudah pulih sepenuhnya, namun raut suram dari wajahnya masih terlihat. Rionmasih tak terlihat memiliki semangat hidup. Nenek memutuskan menginfusnya karena sejak sadar pemudia itu menolak untuk memakan makanan apapun yang di sodorkan padanya.Kafka tau tak akan mudah untuk membuat pemuda dihadapannya itu mau makan.

Brother, ah nama kamu siapa sih? Aku jengah manggil brader terus dari tadi. Yang ditanyai hanya menatap Kafka dengan datar. Untuk kesekian kalinya, Kafka dibuat kehabisan kata-kata untuk meladeni Rion yang tak bereaksi sesuai harapan. Lalu kemudian hening menyelimuti ruangan itu untuk beberapa saat.

Kenapa kalian menyelamatkanku? Tak ada lagi alasan untuk aku hidup.

Kafka terdiam, untuk pertama kalinya setelah hampir seharian. Rion mengeluarkan suara. Perlahan Kafka tersenyum, sepertinya ada harapan.

Thats a nonsense, bro. Gak ada kalimat macam itu dalam hidup. Kamu harus hidup, ya karena kamu masih hidup. Bahkan setelah kamu kehilangan semua dalam hidupmu pun. Selama kamu masih bernafas, akan terus ada alasan untuk kamu hidup. Kafka berujar panjang tanpa disadarinya.

Rion terdiam mencerna perkataan Kafka, masih tetap dengan tatapan datarnya. Kali ini tak menatap muka Kafka. Hening kembali mengisi untuk beberapa saat.

Kalian tidak akan mengerti apapun tentang perasaanku. Rion berujar lagi, masih membuang pandangannya dari Kafka. Ehm, kak. Buburnya, dimakan yah? Kakak belum makan apapun sejak sadar. Kali ini ujaran Kafka tak terdengar mendikte lagi. Ia sepertinya sudah benar-benar kehabisan akal untuk membujur Rion makan.

Kalimatnya terdengar sedikit melas. Tapi sepertinya sia-sia, Rion tak bergeming sedikitpun. Tapi Kafka tak ingin cepat-cepat menunjukan keputusasaannya di depan Rion.

Hmm, mungkin kakak memang sedang butuh sendiri. Aku bawa balik dulu buburnya untuk di hangatkan lagi.

Ia lalu keluar ke dapur untuk menghangatkan buburnya lagi. Tak lama kemudian ia kembali dengan bubur dalam termos kecil. Maksudnya agar tetap hangat untuk waktu yang cukup sampai Rion mau memakannya. Ia juga datang dengan satu termos air berisi the hangat untuk diminum.

Makanlah kalau kakak sudah siap. Aku ada di kamar sebelah kalau kakak perlu apa-apa. Aku tinggal yah. Ujarnya kemudian tersenyum manis pada Rion.

Kafka berhenti sejenak sebelum keluar dan menutup pintu, Aku percaya, kakak itu orang yang kuat. Percayalah kak, masih ada sangat banyak orang yang sayang sama kamu. Masih banyak dari mereka juga yang membutuhkan kakak. Dan mau memberi kakak semangat untuk tetap hidup. Ujarnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, entah kenapa.

Sedetik kemudian Kafka berlalu dari balik pintu. Meninggalkan Rion di dalam kamar Neneknya yang terdiam sedikit takjub melihat Kafka dengan perkataannya tadi. Takjub, melihat betapa bersemangatnya anak muda itu untuk menyemangatinya agar tetap hidup.

Sementara itu, Kafka sudah berada di kamarnya. Tepat di samping kamar yang ditempati Rion sekarang. Ia menghidupkan computer lama miliknya disitu, yang sudah disambungkan dengan kamera yang diam-diam ia pasang didalam kamar Rion. Dia tau benar, mental pemuda itu belum benar-benar stabil. Ia harus memantaunya untuk menghindari terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Kafka nyaris tak tidur memantau kamar Rion lewat komputernya. Sayang sekali, sampai subuh pun. Rion tak menyentuh termos bubur dan teh yang ia bawa itu. Neneknya belum pulang dari perjalanannya membeli bahan obat-obatan dan makanan di kota. Katanya ia menginap di rumah saudara karena jalanan menuju kemari terhalang oleh pohon yang tumbang. Kafka akhirnya memutuskan untuk tidur saat memastikan Rion sudah tertidur, sebelumnya ia terlebih dulu mengganti bubur untuk Rion dengan yang baru dan masih hangat.

Argh, aww aww punggungku. Oh Tuhan, hahaha. Erang Kafka saat berusaha membaringkan tubuhnya ke atas ranjang.

Ia siap terlelap segera setelah melepas dan meletakan kacamatanya ke atas nakas. Tanpa sadar ia tersenyum, tekadnya kian kuat untuk menyemangati Rion.

*Aku terbangun oleh gemuruh petir yang menderu keras. Pagi yang dingin dengan hujan dan petir menyambar sahut-menyahut. Ku pakai kacamataku, lalu melirik arlojiku. Masih dua puluh menit lepas dari pukul enam pagi. Satu-satunya penerangan yang mengisi kamarku hanya sinar langit pagi yang mendung. Tersadar, segera aku menengok kearah layar komputerku.

Dia masih disana. Tertidur.

Sudah dimakan belum yah Gumam Kafka

Sudah kok... Nenek mengejutkan Kafka, tiba-tiba saja sudah di sampingnya

Nenek ngagetin aja, kapan tiba?

Belum lama. Diantar pamanmu Bachtiar pakai speed boatnya, ini di minum dulu. Jawab nenek sambil menyerahkan segelas teh jahe susu pada Kafka.

Ya ampun, itu nggak deras arusnya nek? Kok lewat sungai?

Tidak, hujannya baru turun lagi beberapa menit lalu. Semalam sampai tadi subuh sih tidak hujan. Jadi arusnya lumayan tenang.

. Kafka Cuma mengangguk.

Omong-omong, kamu jago juga bisa bikin pemuda itu makan. Bubur yang kamu beri di habiskan sama dia.

Hah, serius nek? Kafka segera berbalik menatap layar komputernya.

Loh, kamu nggak tau?

Nggak, sampai tadi subuh aku nyerah tidur juga dia nggak nyentuh termosnya.

Memang. Kakek masih sempat dapat lihat dia sedang menghabiskan suapan terakhirnya di termos itu. Semoga saja masih hangat itu.

Kafka tersenyum agak haru, sangat senang dengan perkembangan Rion walau sesedikit itu.

*Rion.

Pemuda itu terduduk di puncak ranjang. Terdiam memandang kearah jendela kaca yang basah bagian luarnya oleh embun dan percikan sisa air hujan. Hujan sudah mulai mereda, hanya rintik kecil yang masih tersisa. Perlahan langitnya mulai jadi cerah.

Pikiran pemuda itu kemudian memutar kembali memori-memori dalam kisah hidupnya akhir-akhir ini. Semua berlalu begitu cepat. Dalam masa yang singkat, Rion merasakan menjadi lelaki paling beruntung dan paling malang di dunia. Entah bagaimana, beberapa kalimat sederhana yang beberapa waktu lalu didengarnya dari seseorang yang baru di temuinya berputar-putar dalam mindanya.

Gak ada kalimat macam itu dalam hidup. Kamu harus hidup, ya karena kamu masih hidup. Bahkan setelah kamu kehilangan semua dalam hidupmu pun. Selama kamu masih bernafas, akan terus ada alasan untuk kamu hidup.

Aku percaya, kakak itu orang yang kuat. Percayalah kak, masih ada sangat banyak orang yang sayang sama kamu. Masih banyak dari mereka juga yang membutuhkan kakak. Dan mau memberi kakak semangat untuk tetap hidup.

Seingatnya, bahkan sebelum ia mengalami petaka itu. Selain Luna istrinya, belum ada orang-orang terdekatnya yang memberinya perhatian seperti itu, dan menyemangatinya sekuat itu di saat-saat berat dalam hidupnya. Mungkin Javier sahabat lamanya, kalau saja dia bisa punya frekuensi waktu untuk bersamanya. Jarang baginya untuk tergerak oleh perkataan seseorang, apalagi yang baru di kenalnya.

Diam-diam ia tersadar, kalau adalah sebuah keajaiban dan keberuntungan ia masih bisa bernafas sekarang.

Ia ingin bangun, dan beranjak dari ranjangnya. Tapi tadi rasa nyeri hebat menyerang tulang kering kaki sebelah kirinya. Barulah ia sadar kaki kirinya di bebat dengan perban dan besi penopang. Tentulah terbentur sesuatu saat ia hanyut di sungai. Pun ia masih tak tau, dimana ia berada kini.

Cklek

Ehm, cah bagus sudah bangun? Nenek itu datang lagi. Kali ini membawa segelas susu dan beberapa roti tawar dan selai di nampannya.

Selamat pagi, kak. Ujar Kafka sambil tersenyum. Berjalan mengekor di belakang neneknya.

Rion menatap canggung pada dua orang di hadapannya itu.

Ini roti sama susu jahe buatan nenek. Kamu nggak alergi jahe kan? Atau tidak suka jahe? Nenek meletakan nampan itu di atas ranjang.

Teterima kasih. Ujar Rion canggung.

Nenek hanya tersenyum seraya tanpa di duga membelai rambut Rion dengan sayang. Rion terpanah, tergugah oleh senyum tulus yang tergurat diwajah wanita tua di hadapannya ini. Kafka dalam diam pun merasakan kehangatan itu menelusup ke hati pemuda yang baru dikenalnya itu. Peka dengan situasi, segera ia membereskan peralatan makan yang ia bawa semalam untuk dibawa ke luar.

Menit selanjutnya, hanya ada Rion dan nenek menemaninya di dalam kamar itu. Rion memakan roti buatan nenek itu perlahan.

Ah, iya. Nenek penasaran ini sejak menemukanmu di pinggir sungai hari itu. Nama kamu?

Ehm nama saya Rion nek, Rion Hargian. Jawabnya sambil berusaha tersenyum.

Rion, nama yang bagus. Hmm, tentunya kamu habis mengalami masa yang sangat sukar ya.

Hening sejenak.

Istri dan anak saya meninggal, nek. Hanya berselang beberapa bulan. Luka jelas masih tertinggal di sela-sela kalimat pendeknya ini.

Ya Tuhan. Kenapa bisa seperti itu, nak? Ah, tidak usah dijawab kalau masih tak ingin mengingatnya, cah bagus.

Rion setengah tersenyum, Tak apa nek, mungkin sudah takdir saya. Hmm, istri saya punya kelainan bawaan pada jantungnya. Dia meninggal saat berjuang melahirkan anak pertama kami. Malangnya, putra kami yang terlahir premature juga hanya mampu bertahan hidup tak sampai tiga bulan penuh karena masih terlalu lemah.

Hmmh, nenek turut berduka nak Rion. Nenek kehabisan kata-kata, tanpa sadar tangannya menggenggam erat jemari pemuda dihadapannya itu.

Rion hanya tersenyum dalam diam menjawab ujaran nenek itu. Perlahan ia mengatur kembali nafasnya yang mulai tak beraturan, teringat hari-hari sedih itu.

Sementara, di balik daun pintu. Tanpa sadar, Kafka meneteskan airmatanya. Tak menyangka sebab yang ia ingin ketahui tentang mengapa sampai Rion ingin mengakhiri hidupnya seperti itu adalah demikian menyakitkannya.

*

Sudah hari ke lima semenjak Rion dirawat nenek Maria di rumahnya. Keadaannya semakin membaik. Hanya saja, ia masih butuh bantuan tongkat untuk berjalan. Sepertinya cidera di kakinya cukup parah.

Hari ini adalah hari ulang tahun Kafka. Diam-diam nenek menyiapkan pesta kejutan kecil untuk cucu kesayangannya itu. tanpa sepengetahuan Kafka, nenek mengundang beberapa sahabat Kafka dari kota untuk hadir dan turut serta dalam penjebakan yang siap di buat nenek malam nanti. Dan Rion, juga akan turut di libatkan nenek dalam scenario ini.

Yudhi.

Rion.

Rega.

Rion.

Aduh, kakak ini ganteng sekali. Perkenalankan, nama saya Renata Putri Pangalila. Dipanggilnya bisa Rena atau putri aja kak.

Eh, hehe. iiya Rena, saya Rion.

Nenek Maria memperkenalkan Rion pada ke tiga sahabat dekat Kafka ini sebagai pendaki yang ditemukan nenek tersesat di hutan dalam kondisi terluka.

Hush, ganjen! Udah, jangan lama-lama pegang tangannya.

Nenek memukul tangan Renata yang tak mau melepaskan salaman dengan Rion begitu lama.

Ah neneeek eh, tapi tapi Kafkanya sekarang lagi di mana?

Dia sedang ke rumah pamannya, ini scenario juga. Jadi nenek minta pamannya untuk pura-pura sakit dan minta ditemani seharian oleh Kafka.

Wah, hebat euy. Nenek punya banyak backingan yah! Sahut Yudhi.

Oh jelas. Oke, jadi gini. Ehm Nenek kemudian membuka sebuah kotak kardus berukuran besar yang baru dibawanya dari kota beberapa hari lalu.

Tadaaa!!!

Waaaaa!!! Waaaaa!!! Ya Tuhan itu apa??? teriak Rega tersentak kaget ketakutan melihat sebuah topeng hantu yang di keluarkan nenek dari kotak.

HAHAHA, dasar penakut! Seru Renata dan Yudhi bersamaan.

Rega hanya meringis ngeri menanggapinya. Rion terbahak kecil melihat tingkah pola orang-orang di sekitarnya itu.

Kalian tau kan, gimana reaksi Kafka dengan benda-benda yang kayak gini?

Waaaahh, nek! Dahsyat lah pokoknya. Kalian inget nggak, gimana mukanya dia pas di kerjain waktu kelas dua SMA dulu. Sergah Renata bersemangat.

Hahahaha, bener-bener! Edan lah, dia sampe ngompol gara-gara di takutin sama Hera yang dandan jadi kuntilanak. Hahahaha, aduh nek? Seriusan ini mau ngerjain dia kayak gini? Kalau dia pingsan gimana?

Hehehe, seriuslah. Pokoknya pasti sukses deh, tenang aja! Kalo pingsan, tinggal dibangunin kok pake ramuan.

Haduh, parah nenek ih! sahut Rega.

Hehehe, haaaaa!!!

Haaaaa! Rega kembali berteriak ketakutan di lempari topeng hantu tadi oleh nenek.

Ya elah, gimana kamu mau nakutin Kafka kalo sendirinya juga ketakutan. Sahut Yudhi.

Rion Cuma bisa menggeleng-geleng kepalanya melihat keseruan dihadapannya.

*Malam akhirnya tiba, hampir tengah malam mobil Kafka baru terdengar memasuki halaman rumah. Ruslan, pamannya betul-betul mengerjainya seharian.Huah, betul-betul hari yang merepotkan. Ujarnya lalu menutup pintu mobil, melangkah masuk menuju rumah.

Duh, listriknya padam? Damn. Ketusnya saat lampu ruang tengah tak menyala ketika saklar dinyalakannya.

Nek, nenek?

Kafka melangkah masih kedalam setelah menyalakan flashlight ponselnya.

Mana sih? Masa sudah tidur. Kak Rion? Kak Rion?

Ia kemudian mendengus kecewa juga heran mendapati kamar Rion dalam kondisi kosong. Masa sih mereka keluar rumah semalam ini?

Keluar dari kamar Rion ia melangkah menuju ruang tengah, juga tak ada tanda-tanda ada nenek dan Rion di sana. Diam-diam, perasaan cemas mulai menghantuinya.

Ia berhenti kini. Duduk di atas sofa sembari mencoba menghubungi ponsel neneknya. Tidak aktif. Bertambahlah kepanikannya perlahan.

Tanpa disadarinya. Kejutan buatnya sudah siap di eksekusi. Nenek, sahabat-sahabat Kafka, ditambah Rion sudah siap di posisinya masing-masing. Kejutan di mulai dengan nenek yang berpakaian jubah putih dengan make up seram ala kuntilanak, memasuki ruang tengah tempat Kafka berada sekarang dengan perlahan.

Benar-benar perlahan, tanpa sedikitpun membunyikan suara. Hingga hanya berjarak dua langkah dibelakang.

Kafkaaaa.. Kafka. Nenek betul-betul mendalami perannya. Dengan perlahan mendesiskan nama Kafka dari belakang orangnya.

Seketika bulu kuduk cucunya itu langsung melenting keras di tambah detak jantung yang tiba-tiba berpacu sangat cepat.Kafkaaaa.

..

Kafka hanya menutup matanya, tak mampu bergerak atau beranjak dari tempat ia berada kini. Lalu sedetik kemudian terasa usapan telapak tangan di pundaknya. Sambil terus gumaman kecil namanya terdengar dari belakangnya. Kafkaaaa

Waaaaaa!!!

Ia tak bisa menahannya kini, segera melompat menjauh dari tempat ia duduk tadi. Sayangnya begitu berlari ingin keluar ruang keluarga, sosok menyeramkan menghalanginya. Kali ini ada Rega dan Yudhi yang berdandan seperti tentara jepang dengan wajah yang dibuat sangat pucat dan penuh luka, bergerak layaknya zombie mendekati Kafka. Kembali teriakan keras Kafka memenuhi ruangan. Nenek juga bergerak cepat mengepung Kafka dari tempat duduk tadi.

Aaaaaa!!! Pergi! Pergi! Jangan! Kafka berteriak histeris menghindar dari sosok-sosok hantu yang mengerubunginya itu.

Ia akhirnya hanya bisa berjongkok menunduk sambil menutup kedua matanya. Tubuhnya gemetaran dan basah dengan keringat.

Saat itulah, Rion muncul dengan kursi rodanya membawa kue ulang tahun dengan lilin angka dua puluh satu tahun menyala di atasnya. Sejurus kemudian, lampu rumah kembali menyala menerangi seluruh ruangan.

Kejutaaaaaan!!! Hahahahaha, happy birthday Kafka ganteng!!! We love you!!! lengkingan suara Renata menyambut Kafka ketika lampu menyala.

Dengan masih takut takut Kafka membuka matanya lalu tersadar dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia Cuma bisa mendesah lemas, menyadari kalau hantu-hantu itu ternyata hanya nenek, dan sahabat-sahabatnya yang di dandani sedemikian rupa menyerupai hantu.

Ah kalian parah ah, nenek juga ih. Ia ingin marah, tapi tubuhnya terlanjur lemas karena ketakutan sejak tadi.

Hahahaha. Semua terbahak keras melihat reaksi Kafka.

Kak Rion juga ih, ampun deh.

Hahaha, maafin kita yah Kaf. Anyway selamat ulang tahun yah. Ucap Kafka sambil tersenyum.

Selanjutnya seisi rumah larut dalam kebahagiaan.

***

Sore yang hening. Dagu Kafka menyandar malas di atas meja belajarnya, dengan Kelly Klarkson menyenandungkan The Trouble With Love Is dari earphone yang terpasang di kedua telinganya. Sementara di atas ranjang, Rion begitu asyik membaca sebuah novel terjemahan pemberian nenek Kafka beberapa hari lalu. Sudah lebih seminggu semenjak ia tinggal bersama Kafka dan neneknya.

Kak, lagi ngapain sih? Betah amat duduk-duduk disitu seharian. Kafka beranjak dari meja belajarnya. Lalu beringsut membaringkan tubuhnya di samping Rion.

Rion hanya tersenyum lalu menjawab tanya Kafka sambil matanya kembali membaca, Novel nenek keren-keren, kamu belum pernah baca?

Huh, aku nggak suka baca. Kakak sama sama nenek ih, jadi autis begitu di depan buku. Aku bosen nih Hmm, kak Rion suka pantai nggak?

Hmm, suka. Tapi pantai yang tenang, bukan yang terlalu ramai.

Pas banget kak! Ikut aku yuk! Kita ke pantai dekat sini, dijamin kakak suka. Sergah Kafka bersemangat.

Hah? Memang ada?

Ada, nggak jauh dari sini. Rumah kita ini tuh udah masuk daerah muara sungai kak. Kafka beranjak dari kasur lalu membantu Rion berdiri dari ranjang.

Tapi, kaki kakak kan?

Udah tenang aja, kita ke sana pake motor aja kak. Aman.

Rion Cuma mengangkat bahu mengiyakan ide Kafka, ia juga sebenarnya sedang jenuh menghabiskan harinya di rumah terus lebih dari seminggu.

*

Beberapa menit kemudian, Rion sudah duduk siap di boncengan Kafka. Kafka mengendarai motor tua milik mendiang kakeknya menyusuri rerimbunan hutan pinus menuju pantai.

Rion sesekali menghirup dalam-dalam udara hutan bersih yang menyejukkan. Sudah lama ia tak bepergian ke tempat yang begitu alami seperti ini. Dengan kecepatan sedang Kafka membawa motor menyusuri jalur-jalur sempit di dalam hutan menuju daerah pantai.

Bermenit kemudian Rion dibuat terkagum-kagum saat mereka tiba di track pasir putih pantai yang mereka tuju sejak tadi. Pantai yang sangat indah, airnya tenang dengan sedikit saja riak ombak menyapu pasir putih bersih di sepanjang garis pantai. Sinar mentari memantul indah di atas permukaan air jernihnya.

Kafka membantu Rion turun dari motor dan melangkah lebih mendekat ke pinggir pantai dengan bantuan tongkat.

Wah, indah sekali Kaf.

Hehe, iya dong. Ini tempat selalu jadi secret escape aku tiap lagi labil kak.

Tempat sebagus ini malah sepi sekali Kaf, tak ada yang tau kah?

Memang nggak banyak yang tau kak.