tinjauan yuridis praktek persekongkolan yang tidak sehat
TRANSCRIPT
TINJAUAN YURIDIS PRAKTEK PERSEKONGKOLAN YANG TIDAK SEHAT
DALAM TENDER PROYEK
Oleh :Jevi Cahya A. P
E0008176Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Persaingan Usaha
Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret
Surakarta
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai lembaga pengemban amanat UU No 5 tahun 1999, KPPU berkewajiban
untuk memastikan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di Indonesia.
Untuk tujuan tersebut KPPU periode pertama (2000-2005) telah meletakan lima program
utama, yakni pengembangan penegakan hukum, pengembangan kebijakan persaingan,
pengembangan komunikasi, pengembangan kelembagaan dan pengembangan sistem
informasi. Dalam periode 2006-2011 kelima program tersebut tetap menjadi program KPPU,
tetapi penekananan lebih dilakukan terhadap dua fungsi utama KPPU yaitu melakukan
penegakan hukum persaingan dan memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah terkait
dengan kebijakan yang berpotensi bertentangan dengan UU No 5 tahun 1999. Fungsi
penegakan hukum bertujuan untuk menghilangkan berbagai hambatan persaingan berupa
perilaku bisnis yang tidak sehat. Sementara proses pemberian saran pertimbangan kepada
Pemerintah akan mendorong proses reformasi regulasi menuju tercapainya kebijakan
persaingan yang efektif di seluruh sektor ekonomi. Selama ini, baik dalam proses penegakan
hukum maupun dalam analisis kebijakan Pemerintah, seringkali ditemui bahwa kebijakan
menjadi sumber dari lahirnya berbagai praktek persaingan usaha tidak sehat di beberapa
sektor. Memperhatikan perkembangan ini, maka kebijakan persaingan menempati prioritas
utama KPPU ke depan melalui program regulatory reform, dengan bentuk upaya internalisasi
prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dalam setiap kebijakan Pemerintah.
Terkait dengan upaya internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat dalam
kebijakan Pemerintah, KPPU selama ini memainkan perannya dengan senantiasa melakukan
regulatory assessment dalam perspektif persaingan usaha, terhadap berbagai kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah ataupun lembaga regulator. Hasil dari aktivitas tersebut
kemudian disampaikan kepada Pemerintah atau lembaga regulator melalui proses advokasi
dan harmonisasi kebijakan. Dalam hal inilah maka sebagian besar program KPPU senantiasa
disinergikan dengan program-program Pemerintah di sektor ekonomi. Dalam beberapa tahun
terakhir, dalam kerangka sinergi program KPPU dengan agenda Pemerintah, regulatory
assessment difokuskan terhadap kebijakan di sektor yang memiliki keterkaitan dengan hajat
hidup orang banyak. Misalnya dalam sektor yang memiliki keterkaitan erat dengan pelayanan
publik seperti telekomunikasi, energi, kesehatan dan transportasi. KPPU juga senantiasa
melakukan assessment terhadap berbagai kebijakan tataniaga komoditas pertanian yang
seringkali memberikan efek distorsi yang berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat,
mengingat sektor pertanian sampai saat ini masih menjadi sektor di mana sebagian besar
masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya. Penetapan sektor-sektor Prioritas ini
dilakukan untuk dapat mengoptimalkan peran KPPU dalam upaya mendorong lahirnya sektor
ekonomi yang efisien yang dalam gilirannya akan menciptakan kesejahteraan bagi
masyarakat.
Dari pengamatan KPPU selama beberapa tahun terakhir, kebijakan yang tidak selaras
dengan UU No 5 Tahun 1999, dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok
kebijakan yang memberikan ruang lebih besar kepada pelaku usaha yang memiliki posisi
dominan atau pelaku usaha tertentu. Kebijakan Pemerintah tersebut cenderung menciptakan
entry barrier bagi pelaku usaha pesaingnya. Akibatnya muncul perilaku penyalahgunaan
posisi dominan oleh pelaku usaha tersebut. Kelompok kedua adalah kebijakan Pemerintah
yang memfasilitasi munculnya perjanjian antara pelaku usaha yang secara eksplisit
bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999. Misalnya program kemitraan dalam industri
peternakan ayam yang memunculkan perjanjian tertutup. Juga Program DSM Terang dari
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang memfasilitasi hadirnya perjanjian
eksklusif antar pelaku usaha. Akibat dari munculnya perjanjian seperti itu, maka muncul
perilaku anti persaingan dari pelaku usaha seperti menciptakan entry barrier dan pembatasan-
pembatasan kepada mitra yang melakukan perjanjian.
Kelompok ketiga adalah kebijakan yang merupakan bentuk intervensi Pemerintah
terhadap mekanisme pasar yang berjalan. Hal ini antara lain muncul dalam bentuk tata niaga
atau regulasi yang membatasi jumlah pemain yang terlibat. Dilihat dari aspek persaingan, hal
ini merupakan kemunduran, karena mencegah bekerjanya mekanisme pasar di sektor tersebut
yang dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Pasar yang dibebaskan bersaing
dipercaya dapat memberikan banyak keuntungan dan peran Pemerintah diperlukan untuk
mewujudkannya. Pada akhirnya, melalui kegiatan-kegiatan utama tersebut, KPPU
memberikan andil dalam pembangunan perekonomian nasional, dengan meminimalkan
hambatan persaingan dalam bentuk hambatan bagi inovasi pelaku usaha dan hambatan bagi
efektifitas dunia usaha itu sendiri, baik dalam bentuk private restraint maupun government
restraint. Upaya KPPU untuk mendorong reformasi kebijakan sektor-sektor pelayanan publik,
infrastruktur serta review terhadap tataniaga komoditas pertanian akan sejalan dengan
program Pemerintah untuk meningkatkan peran sektor swasta dalam perekonomian nasional.
Di sisi lain, proses harmonisasi kebijakan persaingan yang dilakukan KPPU
diharapkan mampu mempertegas fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilaksanakan baik
oleh Pemerintah maupun badan regulator sektoral. Iklim persaingan usaha yang sehat akan
menjamin tercapainya efisiensi dan efektifitas sistem perekonomian. Melalui persaingan
usaha yang sehat pula, akan terjamin adanya kesempatan berusaha yang sama antara pelaku
usaha besar, menengah dan kecil. Selain itu, persaingan usaha yang sehat akan meningkatkan
daya saing industri dalam negeri sehingga mampu bersaing baik di pasar domestik maupun
pasar internasional. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum
persaingan dan implementasi kebijakan persaingan yang efektif akan menjadi pengawal bagi
terimplementasinya sistem ekonomi pasar yang wajar, yang akan bermuara pada peningkatan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Implementasi UU No. 5 Tahun 1999 oleh KPPU telah
dijalankan selama beberapa tahun, sepanjang periode tersebut KPPU telah menerima kurang
lebih 450 laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran persaingan usaha, dan
hampir 60 % dari kasus yang ditangani KPPU adalah kasus dugaan persekongkolan tender.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi terkini pengadaan barang dan jasa masih banyak
diwarnai perilaku usaha yang tidak sehat, dimana pelaku usaha cenderung memupuk insentif
untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan tindakan-tindakan anti
persaingan, seperti melakukan pembatasan pasar, praktek persekongkolan, serta melakukan
kolusi dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir lelang.
Berbagai kondisi tersebut diduga menjadi penyebab tingginya tingkat korupsi dan
kolusi di Indonesia, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah.
Keadaan yang demikian menyebabkan hilangnya persaingan dan mengakibatkan penggunaan
sumber daya yang tidak efisien serta menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi kinerja
industri dan perkembangan ekonomi. Padahal proses pengadaan barang dan jasa yang
dilaksanakan secara kompetitif dan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat akan
mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat (public welfare) karena sebagian besar proyek-
proyek pemerintah memang merupakan kegiatan pemerintah atau government spending yang
ditujukan untuk memacu kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks persaingan
inilah, KPPU menjalankan fungsinya sebagai pengawas yang menelusuri pembuktian dugaan
persekongkolan yang terjadi pada setiap tahapan proses pengadaan. Berkaitan dengan upaya
penciptaan iklim usaha yang sehat di bidang pengadaaan barang dan jasa, KPPU berusaha
mengetahui sejauh mana kebijakan yang ada telah sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan
usaha yang sehat, terutama terhadap aspek pemberian kesempatan yang sama kepada semua
pelaku usaha. Persekongkolan sering terjadi dalam tender-tender pemerintah. Untuk
menghindari persekongkolan vertikal terus berlangsung, pihak KPPU sudah memberikan
masukan pada pemerintah agar berhati-hati dalam pelaksanaan tender, juga dalam
persyaratan tender. Harus hati-hati, jangan sampai mengarah ke pelaku usaha tertentu.
B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana persekongkolan tender terjadi di Indonesia?
2. Bagaimanakah analisis Putusan tentang Persekongkolan Tender (Putusan KPPU No.
01/KPPU-L/2000) ?
PEMBAHASAN
Pengadaan barang atau jasa pada proyek sebuah perusahaan atau instansi
pemerintahan sering melalui proses tender. Hal tersebut dimaksudkan penyelenggara tender
untuk mendapatkan harga barang atau jasa semurah mungkin, namun dengan kualitas sebaik
mungkin. Tujuan utama dari tender dapat tercapai apabila prosesnya berlangsung dengan
adil dan sehat sehingga pemenang benar-benar ditentukan oleh penawarannya (harga dan
kualitas barang atau jasa yang diajukan). Konsekuensi sebaliknya bisa saja terjadi apabila
dalam proses tender tersebut terjadi sebuah persekongkolan. Dalam praktek, persekongkolan
demikian ditengarai banyak terjadi di Indonesia. Tercatat bahwa sejak dibentuknya Komisi
Pengawas Peraingan Usaha (KPPU) sudah menerima 376 laporan mengenai persekongkolan
tender. Dari sekian banyak laporan tersebut baru 54 laporan yang ditangani. Dengan
demikian hampir dua per tiga dari kasus yang masuk ke KPPU adalah kasus persekongkolan
tender. Persekongkolan tender (collosive tendering atau bid rigging) mengakibatkan
persaingan yang tidak sehat. Selain itu, merugikan panitia pelaksana tender dan pihak peserta
tender yang beritikad baik. Karena itu, tender sering menjadi perbuatan atau kegiatan yang
dapat mengakibatkan adanya persaingan usaha tidak sehat.
Pada hakekatnya, pelaksanaan tender wajib memenuhi asas keadilan, keterbukaan,
dan tidak diskriminatif. Selain itu, tender harus memperhatikan hal-hal yang tidak
bertentangan dengan asas persaingan usaha yang sehat. Pertama, tender tidak bersifat
diskriminatif, dapat dipenuhi oleh semua calon peserta-tender dengan kompetensi yang
sama. Kedua,tender tidak diarahkan pada pelaku usaha tertentu dengan kualifikasi dan
spesifikasi teknis tertentu. Ketiga, tender tidak mempersyaratkan kualifikasi dan spesifikasi
teknis produk tertentu. Keempat, tender harus bersifat terbuka, transparan, dan diumumkan
dalam media masa dalam jangka waktu yang cukup. Karena itu, tender harus dilakukan
secara terbuka untuk umum dengan pengumuman secara luas melalui media cetak dan papan
pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bilamana dimungkinkan melalui media
elektronik, sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi
dapat mengikutinya. Tender dalam hukum persaingan usaha Indonesia mempunyai
pengertian tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk
mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Tawaran dilakukan oleh pemilik
kegiatan atau proyek. Demi alasan efektivitas dan efisiensi proyek dilaksanakan sendiri maka
lebih baik diserahkan kepada pihak lain yang mempunyai kapabilitas melaksanakan proyek
atau kegiatan.
Tidak ada definisi yang pasti mengenai persekongkolan tender (bid rigging)
Berdasarkan undang-undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bid Rigging diatur dalam pasal 22, sebagai berikut : Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dari
ketentuan pasal 22 tersebut dapat diketahui unsur-unsur persekongkolan tender adalah :
1. adanya dua atau lebih pelaku usaha
2. adanya persekongkolan
3. terdapat tujuan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender (MMPT)
4. mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Meskipun pasal 22 UU Persaingan Usaha melarang adanya persekongkolan tender,
kerancuan dalam pelaksanaan tender memicu pihak-pihak yang terlibat atau
berkepentingan mengajukan keberatan terhadap putusan (pemenang) tender. Kondisi
demikian mendorong para pelaku usaha untuk melaporkan kecurangan atau pelanggaran
dalam proses penentuan pemenang tender kepada KPPU. Sebab kecenderungan yang terjadi
dalam proses tender adalah mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu dan
menghasilkan keputusan yang merugikan para pihakdalam proses tender. Akomodasi
kepentingan dapat bermanifestasi dalam bentuk praktekkorupsi atau penyuapan, nepotisme
atau kroniisme yang memberikan privilese kepada pihak tertentu memenangkan proses
tender. Department of Justice Amerika juga menemukan beberapa bentuk persekongkolan
tender, antara lain :
1. Bid Suppession, terjadi apabila peserta tender atau calon peserta tender sepakat untuk
menahan diri dari proses tender atau akan menarik diri dari penawaran tender dengan
harapan pihak-pihak yang sudah ditentukan dapat memenangkan tender
2. Complementary Bidding (cover or courtesy bidding), terjadi ketika beberapa peserta
sepakat untuk mengajukan penawaran yang sangat tinggi atau mengajukan
persyaratan khusus yang tidak akan diterima oleh pemilik pekerjaan/proyek (the
buyer), untuk menipu atau mengelabui pemilik kegiatan/proyek yang melaksanakan
tender dengan menciptakan persaingan yang merahasiakan penggelembungan harga
penawaran
3. Bid Rotation, bentuk ini berkaitan dengan harga penawaran yang bertolak belakang
dengan complementary bidding, dimana peserta tender mengajukan penawaran tetapi
dengan mengambil posisi sebagai penawar dengan harga terendah. Misalnya para
pesaing mengambil bagian pada sebuah kontrak sesuai dengan ukuran kontrak atau
mengumpulkan pesaing yang mempunyai kemampuan usaha yang sama sehingga
pemenang tender dapat dikompromikan antar pesaing karena semua pihak akan
mendapatkan jarah menjadi pemenang
4. Subcontracting, bentuk ini menjadi indikator terjadinya pesekongkolan tender, dimana
pelaku usaha bersepakat untuk tidak mengajukan penawaran dengan menerima
kompensasi menjadi subkontraktor sebuah pekerjaan atau menjadi pemasok bagi
pemenang tender.
Putusan tentang Persekongkolan Tender (Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000)
Dalam Putusan KPPU No.01/KPPU-L/2000 ini, pasal yang dilanggar adalah pasal 22
UU No.5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan
tender ini berawal dari adanya laporan dari salah satu pelapor yang merupakan salah satu
anggota tender dalam rangka pengadaan casing dan tubing, yang melaporkan bahwa terlapor
memberlakukan persyaratan baru dalam penawaran tender yaitu sistem penawaran satu paket
dengan menggabungkan low-grade dengan high-grade. Dalam hal ini terlapor sudah terlebih
dahulu mengetahui bahwa pelaku usaha yang dapat memenuhi persyaratan tersebut hanyalah
PT Citra Tubindo Tbk dan PT Seamless Pipe Indonesia Jaya. Selain itu terlapor juga
mensyaratkan bahwa peserta tender yang hanya memiliki fasilitas low grade diharuskan
menyerahkan surat dukungan (letter of support) kepada pelaku usaha dalam negeri (Surat
Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Ditjen Minyak dan Gas Bumi Departemen
Pertambangan dan Energi RI No. 005/396/DMB/1992 perihal Penggunaan Fasilitas Heat
Treatment dan Threading di Dalam Negeri) yang memiliki fasilitas high-grade. Oleh karena
adanya persyaratan tersebut, PT Purna Bina Nusa dan PT Patraindo Nusa Pertiwi meminta
dukungan dari PT Citra Tubindo, Tbk, dengan dilakukannya pertemuan satu hari menjelang
dibukanya tender. Surat dukungan tersebut diberikan setelah Citra Tubindo meminta PT
Purna Bina Nusa dan Patraindo Nusa Pertiwi memperlihatkan harga penawaran karena
dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan dari Citra Tubindo. Sehingga pada saat pembukaan
tender, Citra Tubindo memberikan harga penawaran terendah dari pada para peserta tender
yang lain, sehingga Citra Tubindo memenangkan tender tersebut. Berdasarkan alasan-alasan
tersebut, KPPU menyimpulkan bahwa dalam pembukaan tender yang diselenggarakan oleh
terlapor, telah terjadi persekongkolan antara Citra Tubindo dengan PT Purna Bina Nusa dan
PT Patraindo Nusa Pertiwi untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 22
UU No5 Tahun 1999. Sedangkan terlapor hanya dianggap kurang hati-hati dalam menjaga
suasana persaingan agar tetap sehat, dan kepada tindakan terlapor dinyatakan sebagai
pengecualian dalam persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a
UU No.5 Tahun 1999 karena adanya Surat Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Dirjen
Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi RI No.005/396/DMB/1992
perihal Penggunaan Fasilitas Heat Treatment dan Threading di Dalam Negeri, dan
memerintahkan kepada terlapor untuk menghentikan kegiatan pengadaan casing dan tubing
berdasarkan tender.
Dalam Putusan KPPU No.01/KPPU-L/2000 ini, terlihat bahwa persekongkolan tender
menjadi sangat mungkin terjadi disebabkan adanya peraturan peraturan perundangan yang
berlaku. Dalam hal ini adalah adanya Surat Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Dirjen
Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi RI No.005/396/DMB/1992
perihal Penggunaan Fasilitas Heat Treatment dan Threading di Dalam Negeri, dan
persekongkolan mungkin terjadi antar peserta tender, dimana para peserta tender membuat
kesepakatan bahwa salah satu peserta tender akan mendapatkan pekerjaan dari peserta tender
lain yang telah diatur dan ditentukan untuk memenangkan tender tersebut jika mengajukan
penawaran harga yang lebih tinggi dari peserta yang telah ditentukan memenangkan tender.
Perkara Nomor : 7/KPPU-L/2004
Perkara ini diawali dari laporan ke KPPU pada bulan juni 2004 yang menyatakan bahwa
terdapat dugaan pelanggaran UU no 5 tahun 1999 dalam penjualan dua unit tanker VLCC
Pertamina. Hasil pemeriksaan Majelis Komisi menemukan fakta bahwa pada bulan
November 2002, Pertamina telah membangun 2 (dua) unit tanker VLCC yang dilaksanakan
oleh Hyundai Heavy Industries di Ulsan Korea. Untuk keperluan pendanaan Pertamina
berencana menerbitkan obligasi atas nama PT Pertamina Tongkang. Namun rencana tersebut
dibatalkan pada bulan September 2003 oleh direksi baru Pertamina yang diangkat pada
tanggal 17 September 2003. Selanjutnya direksi baru Pertamina mengkaji lebih lanjut
kelayakan atas pemilikan VLCC tersebut.
Pada April 2004, Direksi Pertamina memutuskan untuk menjual secara putus atas dua
unit VLCC, membentuk Tim Divestasi Internal dan menunjuk Goldman Sachs sebagai
penasehat keuangan dan arranger untuk keperluan tersebut tanpa melalui tender. Goldman
Sachs kemudian mengundang 43 penawar potensial dalam proses divestasi VLCC tersebut
terdapat 7 perusahaan yang memasukan penawaran. Enam perusahaan dari bidder potensial
yang diundang dan satu perusahaan yang tidak diundang. Dari tujuh tersebut 4 perusahaan
(termasuk Frontline) tidak melakukan penawaran secara langsung seperti yang dipersyaratkan
tapi diwakili oleh broker yaitu PT Equinox. Dari ketujuh bidder tersebut, Pertamina dan
Golden Sachts memilih 3 shortlisted bidder, yaitu: Frontline, Essar Shipping Ltd dan
Overseas Ship Holding Group (OSG), selanjutnya ketiganya diberi kesempatan untuk
melakukan due dilligence di Korea dan memasukan enchancement bid paling lambat 7 Juni
jam 13.00 di kantor Goldman Sachs Singapura dan hasilnya penawaran sebagai berikut:
termahal Essar AS$183,5 juta, Frontline AS$178 juta.
Kemudian Direksi Pertamina mengadakan rapat pada 8 Juli 2004. Namun terdapat
keraguan untuk menetapkan Frontline sebagai pemenang karena adanya selisih harga sebesar
AS$5,5 juta (sekitar 50 miliar). Kemudian Pertamina meminta Goldman Sachs untuk
meminta klarifikasi dari Essar perihal kepatuhan dan kesanggupan membayar. Pada hari yang
sama Essar mengirimkan faksimile kepada Goldman Sachs dan Pertamina yang menyatakan
kesanggupannya untuk memenuhi kewajiban walaupun tidak persis seperti waktu yang
dimintakan semula. Tetapi sampai dengan diputuskannya pemenang tender, Goldman Sachs
tidak pernah melaporkan isi surat tersebut kepada direksi Pertamina. Rapat pemenang tender
yang seyogyanya dilaksanakan pada 9 Juni 2004 ditunda dan dilaksanakan pada keesokan
harinya tanggal 10 juni 2004. Dalam rapat tersebut Goldman Sachs menyatakan telah
menerima dan membuka penawaran ketiga dari Frontline yang diterimanya dari PT Equinox
di Hotel Grand Hyatt Jakarta pada 9 Juni 2004.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang memadai dengan meminta keterangan dari 23
saksi, 3 ahli , meneliti sekitar 291 dokumen dan surat menyurat dengan pihak terkait baik di
dalam dan luar negeri KPPU memutuskan bahwa: Pertamina, Goldman Sach Pte, Frontline
dan PT Pelayaran terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 tentang
persekongkolan ternder. Pertamina dikenakan sanksi administratif sementara pihak lain
dikenakan sanksi denda.
Kesimpulan
Pada prinsipnya tender diadakan dimana pemilik dengan alasan efektivitas dan
efisiensi daripada proyek dilaksanakan sendiri maka lebih baik diserahkan kepada pihak lain
yang mempunyai kapabilitas untuk melaksanakan proyek atau kegiatan jasa, untuk mencapai
tujuan tersebut tentu harus melalui sebuah persaingan usaha yang sehat diantara para peserta.
Namun pada pelaksanaan para pihak peserta bahkan dengan pemberi tender tidak jarang
melakukan persekongkolan tender.
Karena kecenderungan yang terjadi dalam proses tender adalah mengakomodasi
kepentingan pihak tertentu dan menghasilkan keputusan yang merugikan para pihak yang
terlibat dalam proses tender. Akomodasi kepentingan dapattermanifestasi dalam bentuk
praktek korupsi atau penyuapan (bribery), nepotisme atau kroniisme. Praktek buruk
demikian memberikan privilese kepada pihak tertentu untukmemenangkan proses tender. Ini
perlu dilihat sebagai perbuatan yang anti persaingan sehat sehingga wajar dilarang oleh
undang-undang.