tinjauan yuridis praktek persekongkolan yang tidak sehat

18
TINJAUAN YURIDIS PRAKTEK PERSEKONGKOLAN YANG TIDAK SEHAT DALAM TENDER PROYEK Oleh : Jevi Cahya A. P E0008176 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Upload: aditya-iqbal-maulana

Post on 01-Dec-2015

163 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

TINJAUAN YURIDIS PRAKTEK PERSEKONGKOLAN YANG TIDAK SEHAT

DALAM TENDER PROYEK

Oleh :Jevi Cahya A. P

E0008176Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Persaingan Usaha

Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret

Surakarta

PENDAHULUAN

Page 2: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

A. Latar Belakang

Sebagai lembaga pengemban amanat UU No 5 tahun 1999, KPPU berkewajiban

untuk memastikan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di Indonesia.

Untuk tujuan tersebut KPPU periode pertama (2000-2005) telah meletakan lima program

utama, yakni pengembangan penegakan hukum, pengembangan kebijakan persaingan,

pengembangan komunikasi, pengembangan kelembagaan dan pengembangan sistem

informasi. Dalam periode 2006-2011 kelima program tersebut tetap menjadi program KPPU,

tetapi penekananan lebih dilakukan terhadap dua fungsi utama KPPU yaitu melakukan

penegakan hukum persaingan dan memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah terkait

dengan kebijakan yang berpotensi bertentangan dengan UU No 5 tahun 1999. Fungsi

penegakan hukum bertujuan untuk menghilangkan berbagai hambatan persaingan berupa

perilaku bisnis yang tidak sehat. Sementara proses pemberian saran pertimbangan kepada

Pemerintah akan mendorong proses reformasi regulasi menuju tercapainya kebijakan

persaingan yang efektif di seluruh sektor ekonomi. Selama ini, baik dalam proses penegakan

hukum maupun dalam analisis kebijakan Pemerintah, seringkali ditemui bahwa kebijakan

menjadi sumber dari lahirnya berbagai praktek persaingan usaha tidak sehat di beberapa

sektor. Memperhatikan perkembangan ini, maka kebijakan persaingan menempati prioritas

utama KPPU ke depan melalui program regulatory reform, dengan bentuk upaya internalisasi

prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dalam setiap kebijakan Pemerintah.

Terkait dengan upaya internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat dalam

kebijakan Pemerintah, KPPU selama ini memainkan perannya dengan senantiasa melakukan

regulatory assessment dalam perspektif persaingan usaha, terhadap berbagai kebijakan yang

dikeluarkan oleh Pemerintah ataupun lembaga regulator. Hasil dari aktivitas tersebut

kemudian disampaikan kepada Pemerintah atau lembaga regulator melalui proses advokasi

dan harmonisasi kebijakan. Dalam hal inilah maka sebagian besar program KPPU senantiasa

disinergikan dengan program-program Pemerintah di sektor ekonomi. Dalam beberapa tahun

terakhir, dalam kerangka sinergi program KPPU dengan agenda Pemerintah, regulatory

assessment difokuskan terhadap kebijakan di sektor yang memiliki keterkaitan dengan hajat

hidup orang banyak. Misalnya dalam sektor yang memiliki keterkaitan erat dengan pelayanan

publik seperti telekomunikasi, energi, kesehatan dan transportasi. KPPU juga senantiasa

melakukan assessment terhadap berbagai kebijakan tataniaga komoditas pertanian yang

seringkali memberikan efek distorsi yang berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat,

Page 3: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

mengingat sektor pertanian sampai saat ini masih menjadi sektor di mana sebagian besar

masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya. Penetapan sektor-sektor Prioritas ini

dilakukan untuk dapat mengoptimalkan peran KPPU dalam upaya mendorong lahirnya sektor

ekonomi yang efisien yang dalam gilirannya akan menciptakan kesejahteraan bagi

masyarakat.

Dari pengamatan KPPU selama beberapa tahun terakhir, kebijakan yang tidak selaras

dengan UU No 5 Tahun 1999, dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok

kebijakan yang memberikan ruang lebih besar kepada pelaku usaha yang memiliki posisi

dominan atau pelaku usaha tertentu. Kebijakan Pemerintah tersebut cenderung menciptakan

entry barrier bagi pelaku usaha pesaingnya. Akibatnya muncul perilaku penyalahgunaan

posisi dominan oleh pelaku usaha tersebut. Kelompok kedua adalah kebijakan Pemerintah

yang memfasilitasi munculnya perjanjian antara pelaku usaha yang secara eksplisit

bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999. Misalnya program kemitraan dalam industri

peternakan ayam yang memunculkan perjanjian tertutup. Juga Program DSM Terang dari

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang memfasilitasi hadirnya perjanjian

eksklusif antar pelaku usaha. Akibat dari munculnya perjanjian seperti itu, maka muncul

perilaku anti persaingan dari pelaku usaha seperti menciptakan entry barrier dan pembatasan-

pembatasan kepada mitra yang melakukan perjanjian.

Kelompok ketiga adalah kebijakan yang merupakan bentuk intervensi Pemerintah

terhadap mekanisme pasar yang berjalan. Hal ini antara lain muncul dalam bentuk tata niaga

atau regulasi yang membatasi jumlah pemain yang terlibat. Dilihat dari aspek persaingan, hal

ini merupakan kemunduran, karena mencegah bekerjanya mekanisme pasar di sektor tersebut

yang dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Pasar yang dibebaskan bersaing

dipercaya dapat memberikan banyak keuntungan dan peran Pemerintah diperlukan untuk

mewujudkannya. Pada akhirnya, melalui kegiatan-kegiatan utama tersebut, KPPU

memberikan andil dalam pembangunan perekonomian nasional, dengan meminimalkan

hambatan persaingan dalam bentuk hambatan bagi inovasi pelaku usaha dan hambatan bagi

efektifitas dunia usaha itu sendiri, baik dalam bentuk private restraint maupun government

restraint. Upaya KPPU untuk mendorong reformasi kebijakan sektor-sektor pelayanan publik,

infrastruktur serta review terhadap tataniaga komoditas pertanian akan sejalan dengan

program Pemerintah untuk meningkatkan peran sektor swasta dalam perekonomian nasional.

Page 4: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

Di sisi lain, proses harmonisasi kebijakan persaingan yang dilakukan KPPU

diharapkan mampu mempertegas fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilaksanakan baik

oleh Pemerintah maupun badan regulator sektoral. Iklim persaingan usaha yang sehat akan

menjamin tercapainya efisiensi dan efektifitas sistem perekonomian. Melalui persaingan

usaha yang sehat pula, akan terjamin adanya kesempatan berusaha yang sama antara pelaku

usaha besar, menengah dan kecil. Selain itu, persaingan usaha yang sehat akan meningkatkan

daya saing industri dalam negeri sehingga mampu bersaing baik di pasar domestik maupun

pasar internasional. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum

persaingan dan implementasi kebijakan persaingan yang efektif akan menjadi pengawal bagi

terimplementasinya sistem ekonomi pasar yang wajar, yang akan bermuara pada peningkatan

kesejahteraan rakyat Indonesia. Implementasi UU No. 5 Tahun 1999 oleh KPPU telah

dijalankan selama beberapa tahun, sepanjang periode tersebut KPPU telah menerima kurang

lebih 450 laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran persaingan usaha, dan

hampir 60 % dari kasus yang ditangani KPPU adalah kasus dugaan persekongkolan tender.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi terkini pengadaan barang dan jasa masih banyak

diwarnai perilaku usaha yang tidak sehat, dimana pelaku usaha cenderung memupuk insentif

untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan tindakan-tindakan anti

persaingan, seperti melakukan pembatasan pasar, praktek persekongkolan, serta melakukan

kolusi dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir lelang.

Berbagai kondisi tersebut diduga menjadi penyebab tingginya tingkat korupsi dan

kolusi di Indonesia, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah.

Keadaan yang demikian menyebabkan hilangnya persaingan dan mengakibatkan penggunaan

sumber daya yang tidak efisien serta menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi kinerja

industri dan perkembangan ekonomi. Padahal proses pengadaan barang dan jasa yang

dilaksanakan secara kompetitif dan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat akan

mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat (public welfare) karena sebagian besar proyek-

proyek pemerintah memang merupakan kegiatan pemerintah atau government spending yang

ditujukan untuk memacu kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks persaingan

inilah, KPPU menjalankan fungsinya sebagai pengawas yang menelusuri pembuktian dugaan

persekongkolan yang terjadi pada setiap tahapan proses pengadaan. Berkaitan dengan upaya

penciptaan iklim usaha yang sehat di bidang pengadaaan barang dan jasa, KPPU berusaha

mengetahui sejauh mana kebijakan yang ada telah sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan

usaha yang sehat, terutama terhadap aspek pemberian kesempatan yang sama kepada semua

Page 5: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

pelaku usaha. Persekongkolan sering terjadi dalam tender-tender pemerintah. Untuk

menghindari persekongkolan vertikal terus berlangsung, pihak KPPU sudah memberikan

masukan pada pemerintah agar berhati-hati dalam pelaksanaan tender, juga dalam

persyaratan tender. Harus hati-hati, jangan sampai mengarah ke pelaku usaha tertentu.

B. Rumusan Permasalahan

1. Bagaimana persekongkolan tender terjadi di Indonesia?

2. Bagaimanakah analisis Putusan tentang Persekongkolan Tender (Putusan KPPU No.

01/KPPU-L/2000) ?

PEMBAHASAN

Page 6: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

Pengadaan barang atau jasa pada proyek sebuah perusahaan atau instansi

pemerintahan sering melalui proses  tender. Hal tersebut dimaksudkan penyelenggara  tender

untuk mendapatkan harga barang atau jasa semurah mungkin, namun dengan kualitas sebaik

mungkin. Tujuan utama dari  tender dapat tercapai apabila prosesnya berlangsung dengan

adil dan sehat sehingga pemenang benar-benar ditentukan  oleh penawarannya (harga dan

kualitas barang atau jasa yang diajukan). Konsekuensi sebaliknya bisa saja terjadi apabila

dalam proses tender tersebut terjadi sebuah persekongkolan. Dalam praktek, persekongkolan

demikian ditengarai banyak terjadi di Indonesia. Tercatat bahwa sejak dibentuknya Komisi

Pengawas Peraingan Usaha (KPPU) sudah menerima 376 laporan mengenai persekongkolan

tender. Dari  sekian banyak laporan tersebut baru 54 laporan yang ditangani. Dengan

demikian hampir dua per tiga dari kasus yang masuk ke KPPU adalah kasus persekongkolan

tender. Persekongkolan tender (collosive tendering atau bid rigging) mengakibatkan

persaingan yang tidak sehat. Selain itu, merugikan panitia pelaksana tender dan pihak peserta

tender yang beritikad baik. Karena itu, tender sering menjadi perbuatan atau kegiatan yang

dapat mengakibatkan adanya persaingan usaha tidak sehat.

Pada hakekatnya, pelaksanaan tender wajib memenuhi asas keadilan, keterbukaan,

dan tidak diskriminatif. Selain itu, tender harus memperhatikan hal-hal yang tidak

bertentangan dengan asas persaingan usaha yang sehat. Pertama, tender tidak bersifat

diskriminatif, dapat dipenuhi oleh semua calon peserta-tender dengan kompetensi yang

sama. Kedua,tender tidak diarahkan pada pelaku usaha tertentu dengan kualifikasi dan

spesifikasi teknis tertentu. Ketiga, tender tidak mempersyaratkan kualifikasi dan spesifikasi

teknis produk tertentu. Keempat, tender harus bersifat terbuka, transparan, dan diumumkan

dalam media masa dalam jangka waktu yang cukup. Karena itu, tender harus dilakukan

secara terbuka untuk umum dengan pengumuman secara luas melalui media cetak dan papan

pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bilamana dimungkinkan melalui media

elektronik, sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi

dapat mengikutinya. Tender dalam hukum persaingan usaha Indonesia mempunyai

pengertian tawaran  mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk

mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Tawaran dilakukan oleh pemilik

kegiatan atau proyek. Demi alasan efektivitas dan efisiensi proyek dilaksanakan sendiri maka

lebih baik diserahkan kepada pihak lain yang mempunyai kapabilitas melaksanakan proyek

atau kegiatan.

Page 7: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

Tidak ada definisi yang pasti mengenai persekongkolan tender (bid rigging)

Berdasarkan undang-undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bid Rigging diatur dalam pasal 22, sebagai berikut :  Pelaku

usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang

tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dari

ketentuan pasal 22 tersebut dapat diketahui unsur-unsur persekongkolan tender adalah :

1. adanya dua atau lebih pelaku usaha

2. adanya persekongkolan

3. terdapat tujuan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender (MMPT)

4. mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Meskipun pasal 22 UU Persaingan Usaha melarang adanya persekongkolan tender,

kerancuan dalam pelaksanaan tender memicu pihak-pihak yang terlibat atau

berkepentingan mengajukan keberatan terhadap putusan (pemenang) tender. Kondisi

demikian mendorong para pelaku usaha untuk melaporkan kecurangan atau pelanggaran

dalam proses penentuan pemenang tender kepada KPPU. Sebab kecenderungan yang terjadi

dalam proses tender adalah mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu dan

menghasilkan keputusan yang merugikan para pihakdalam proses tender. Akomodasi

kepentingan dapat bermanifestasi dalam bentuk praktekkorupsi atau penyuapan, nepotisme

atau kroniisme yang memberikan privilese kepada pihak tertentu memenangkan proses

tender. Department of Justice Amerika juga menemukan beberapa bentuk persekongkolan

tender, antara lain :

1. Bid Suppession, terjadi apabila peserta tender atau calon peserta tender sepakat untuk

menahan diri dari proses tender atau akan menarik diri dari penawaran tender dengan

harapan pihak-pihak yang sudah ditentukan dapat memenangkan tender

2. Complementary Bidding (cover or courtesy bidding), terjadi ketika beberapa peserta

sepakat untuk mengajukan penawaran yang sangat tinggi atau mengajukan

persyaratan khusus yang tidak akan diterima oleh pemilik pekerjaan/proyek (the

buyer), untuk menipu atau mengelabui pemilik kegiatan/proyek yang melaksanakan

tender dengan menciptakan persaingan yang merahasiakan penggelembungan harga

penawaran

3. Bid Rotation, bentuk ini berkaitan dengan harga penawaran yang bertolak belakang

dengan complementary bidding, dimana peserta tender mengajukan penawaran tetapi

Page 8: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

dengan mengambil posisi sebagai penawar dengan harga terendah. Misalnya para

pesaing mengambil bagian pada sebuah kontrak sesuai dengan ukuran kontrak atau

mengumpulkan pesaing yang mempunyai kemampuan usaha yang sama sehingga

pemenang tender dapat dikompromikan antar pesaing karena semua pihak akan

mendapatkan jarah menjadi pemenang

4. Subcontracting, bentuk ini menjadi indikator terjadinya pesekongkolan tender, dimana

pelaku usaha bersepakat untuk tidak mengajukan penawaran dengan menerima

kompensasi menjadi subkontraktor sebuah pekerjaan atau menjadi pemasok bagi

pemenang tender.

Putusan tentang Persekongkolan Tender (Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000)

Dalam Putusan KPPU No.01/KPPU-L/2000 ini, pasal yang dilanggar adalah pasal 22

UU No.5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan

tender ini berawal dari adanya laporan dari salah satu pelapor yang merupakan salah satu

anggota tender dalam rangka pengadaan casing dan tubing, yang melaporkan bahwa terlapor

memberlakukan persyaratan baru dalam penawaran tender yaitu sistem penawaran satu paket

dengan menggabungkan low-grade dengan high-grade. Dalam hal ini terlapor sudah terlebih

dahulu mengetahui bahwa pelaku usaha yang dapat memenuhi persyaratan tersebut hanyalah

PT Citra Tubindo Tbk dan PT Seamless Pipe Indonesia Jaya. Selain itu terlapor juga

mensyaratkan bahwa peserta tender yang hanya memiliki fasilitas low grade diharuskan

menyerahkan surat dukungan (letter of support) kepada pelaku usaha dalam negeri (Surat

Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Ditjen Minyak dan Gas Bumi Departemen

Pertambangan dan Energi RI No. 005/396/DMB/1992 perihal Penggunaan Fasilitas Heat

Treatment dan Threading di Dalam Negeri) yang memiliki fasilitas high-grade. Oleh karena

adanya persyaratan tersebut, PT Purna Bina Nusa dan PT Patraindo Nusa Pertiwi meminta

dukungan dari PT Citra Tubindo, Tbk, dengan dilakukannya pertemuan satu hari menjelang

dibukanya tender. Surat dukungan tersebut diberikan setelah Citra Tubindo meminta PT

Purna Bina Nusa dan Patraindo Nusa Pertiwi memperlihatkan harga penawaran karena

dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan dari Citra Tubindo. Sehingga pada saat pembukaan

tender, Citra Tubindo memberikan harga penawaran terendah dari pada para peserta tender

yang lain, sehingga Citra Tubindo memenangkan tender tersebut. Berdasarkan alasan-alasan

tersebut, KPPU menyimpulkan bahwa dalam pembukaan tender yang diselenggarakan oleh

terlapor, telah terjadi persekongkolan antara Citra Tubindo dengan PT Purna Bina Nusa dan

Page 9: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

PT Patraindo Nusa Pertiwi untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga

menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 22

UU No5 Tahun 1999. Sedangkan terlapor hanya dianggap kurang hati-hati dalam menjaga

suasana persaingan agar tetap sehat, dan kepada tindakan terlapor dinyatakan sebagai

pengecualian dalam persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a

UU No.5 Tahun 1999 karena adanya Surat Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Dirjen

Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi RI No.005/396/DMB/1992

perihal Penggunaan Fasilitas Heat Treatment dan Threading di Dalam Negeri, dan

memerintahkan kepada terlapor untuk menghentikan kegiatan pengadaan casing dan tubing

berdasarkan tender.

Dalam Putusan KPPU No.01/KPPU-L/2000 ini, terlihat bahwa persekongkolan tender

menjadi sangat mungkin terjadi disebabkan adanya peraturan peraturan perundangan yang

berlaku. Dalam hal ini adalah adanya Surat Direktur Pembinaan Pengusahan Migas, Dirjen

Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi RI No.005/396/DMB/1992

perihal Penggunaan Fasilitas Heat Treatment dan Threading di Dalam Negeri, dan

persekongkolan mungkin terjadi antar peserta tender, dimana para peserta tender membuat

kesepakatan bahwa salah satu peserta tender akan mendapatkan pekerjaan dari peserta tender

lain yang telah diatur dan ditentukan untuk memenangkan tender tersebut jika mengajukan

penawaran harga yang lebih tinggi dari peserta yang telah ditentukan memenangkan tender.

Perkara Nomor : 7/KPPU-L/2004

Perkara ini diawali dari laporan ke KPPU pada bulan juni 2004 yang menyatakan bahwa

terdapat dugaan pelanggaran UU no 5 tahun 1999 dalam penjualan dua unit tanker VLCC

Pertamina. Hasil pemeriksaan Majelis Komisi menemukan fakta bahwa pada bulan

November 2002, Pertamina telah membangun 2 (dua) unit tanker VLCC yang dilaksanakan

oleh Hyundai Heavy Industries di Ulsan Korea. Untuk keperluan pendanaan Pertamina

berencana menerbitkan obligasi atas nama PT Pertamina Tongkang. Namun rencana tersebut

dibatalkan pada bulan September 2003 oleh direksi baru Pertamina yang diangkat pada

tanggal 17 September 2003. Selanjutnya direksi baru Pertamina mengkaji lebih lanjut

kelayakan atas pemilikan VLCC tersebut.

Pada April 2004, Direksi Pertamina memutuskan untuk menjual secara putus atas dua

unit VLCC, membentuk Tim Divestasi Internal dan menunjuk Goldman Sachs sebagai

Page 10: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

penasehat keuangan dan arranger untuk keperluan tersebut tanpa melalui tender. Goldman

Sachs kemudian mengundang 43 penawar potensial dalam proses divestasi VLCC tersebut

terdapat 7 perusahaan yang memasukan penawaran. Enam perusahaan dari bidder potensial

yang diundang dan satu perusahaan yang tidak diundang. Dari tujuh tersebut 4 perusahaan

(termasuk Frontline) tidak melakukan penawaran secara langsung seperti yang dipersyaratkan

tapi diwakili oleh broker yaitu PT Equinox. Dari ketujuh bidder tersebut, Pertamina dan

Golden Sachts memilih 3 shortlisted bidder, yaitu: Frontline, Essar Shipping Ltd dan

Overseas Ship Holding Group (OSG), selanjutnya ketiganya diberi kesempatan untuk

melakukan due dilligence di Korea dan memasukan enchancement bid paling lambat 7 Juni

jam 13.00 di kantor Goldman Sachs Singapura dan hasilnya penawaran sebagai berikut:

termahal Essar AS$183,5 juta, Frontline AS$178 juta.

Kemudian Direksi Pertamina mengadakan rapat pada 8 Juli 2004. Namun terdapat

keraguan untuk menetapkan Frontline sebagai pemenang karena adanya selisih harga sebesar

AS$5,5 juta (sekitar 50 miliar). Kemudian Pertamina meminta Goldman Sachs untuk

meminta klarifikasi dari Essar perihal kepatuhan dan kesanggupan membayar. Pada hari yang

sama Essar mengirimkan faksimile kepada Goldman Sachs dan Pertamina yang menyatakan

kesanggupannya untuk memenuhi kewajiban walaupun tidak persis seperti waktu yang

dimintakan semula. Tetapi sampai dengan diputuskannya pemenang tender, Goldman Sachs

tidak pernah melaporkan isi surat tersebut kepada direksi Pertamina. Rapat pemenang tender

yang seyogyanya dilaksanakan pada 9 Juni 2004 ditunda dan dilaksanakan pada keesokan

harinya tanggal 10 juni 2004. Dalam rapat tersebut Goldman Sachs menyatakan telah

menerima dan membuka penawaran ketiga dari Frontline yang diterimanya dari PT Equinox

di Hotel Grand Hyatt Jakarta pada 9 Juni 2004.

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang memadai dengan meminta keterangan dari 23

saksi, 3 ahli , meneliti sekitar 291 dokumen dan surat menyurat dengan pihak terkait baik di

dalam dan luar negeri  KPPU memutuskan bahwa: Pertamina, Goldman Sach Pte, Frontline

dan PT Pelayaran terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 tentang

persekongkolan ternder. Pertamina dikenakan sanksi administratif sementara pihak lain

dikenakan sanksi denda.

 

Page 11: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

Kesimpulan

Pada prinsipnya tender diadakan dimana pemilik dengan alasan efektivitas dan

efisiensi daripada proyek dilaksanakan sendiri maka lebih baik diserahkan kepada pihak lain

yang mempunyai kapabilitas untuk melaksanakan proyek atau kegiatan jasa, untuk mencapai

Page 12: Tinjauan Yuridis Praktek Persekongkolan Yang Tidak Sehat

tujuan tersebut tentu harus melalui sebuah persaingan usaha yang sehat diantara para peserta.

Namun pada pelaksanaan para pihak peserta bahkan dengan pemberi tender tidak jarang

melakukan persekongkolan tender. 

Karena kecenderungan yang terjadi dalam proses tender adalah mengakomodasi

kepentingan pihak tertentu dan menghasilkan keputusan yang merugikan para pihak yang

terlibat dalam proses tender. Akomodasi kepentingan dapattermanifestasi dalam bentuk

praktek korupsi atau penyuapan (bribery), nepotisme atau kroniisme. Praktek buruk

demikian memberikan privilese kepada pihak tertentu untukmemenangkan proses tender. Ini

perlu dilihat sebagai perbuatan yang anti persaingan sehat sehingga wajar dilarang oleh

undang-undang.