analisis yuridis terhadap instruksi presiden nomor 7 tahun 2014 tentang pelaksanaan program simpanan...

25
Analisis Yuridis Terhadap Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 Berdasarkan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia ANALISIS YURIDIS TERHADAP INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN PROGRAM SIMPANAN KELUARGA SEJAHTERA, PROGRAM INDONESIA PINTAR DAN PROGRAM INDONESIA SEHAT BERDASARKAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Ayu Nur Fatimah Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] Abstrak Peraturan kebijakan merupakan produk hukum di luar bentuk Undang-Undang yang dihasilkan oleh parlemen. Salah satu contoh dari peraturan kebijakan yaitu Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 yang di keluarkan oleh Presiden untuk merealisasikan janjinya pada saat kampanye sebagai calon Presiden demi kepentingan masyarakat. Presiden mempunyai hak eksklusif untuk mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 akan tetapi seharusnya tetap berlandaskan pada peraturan perundang-undangan. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan Kedudukan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dan menjelaskan Implikasi yuridis atas dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan sejarah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia karena Instruksi merupakan produk dari Peraturan kebijakan yang dipayungi oleh diskresi. Dalam hal implikasi yuridis dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 jika terjadi penyimpangan pada obyek hukum maka produk hukum yang dihasilkan menjadi tidak sah. Kata Kunci: Instruksi Presiden, Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar Abstract Policy regulation is a legal product which is not included in the form of parliament regulations. An example of policy regulation is Presidential Instruction Number 7 year 2014 which had been stipulated in order to implement president’s resolutions during the election campaign. A president has an exclusive right

Upload: alim-sumarno

Post on 16-Sep-2015

52 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : AYU NUR FATIMAH

TRANSCRIPT

ANALISIS YURIDIS TERHADAP INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN PROGRAM SIMPANAN KELUARGA SEJAHTERA, PROGRAM INDONESIA PINTAR DAN PROGRAM INDONESIA SEHAT BERDASARKAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Ayu Nur FatimahProgram Studi S-1 Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] kebijakan merupakan produk hukum di luar bentuk Undang-Undang yang dihasilkan oleh parlemen. Salah satu contoh dari peraturan kebijakan yaitu Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 yang di keluarkan oleh Presiden untuk merealisasikan janjinya pada saat kampanye sebagai calon Presiden demi kepentingan masyarakat. Presiden mempunyai hak eksklusif untuk mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 akan tetapi seharusnya tetap berlandaskan pada peraturan perundang-undangan. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan Kedudukan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dan menjelaskan Implikasi yuridis atas dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan sejarah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia karena Instruksi merupakan produk dari Peraturan kebijakan yang dipayungi oleh diskresi. Dalam hal implikasi yuridis dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 jika terjadi penyimpangan pada obyek hukum maka produk hukum yang dihasilkan menjadi tidak sah.Kata Kunci: Instruksi Presiden, Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia PintarAbstractPolicy regulation is a legal product which is not included in the form of parliament regulations. An example of policy regulation is Presidential Instruction Number 7 year 2014 which had been stipulated in order to implement presidents resolutions during the election campaign. A president has an exclusive right to issue a presidential instruction, in this case the Presidential Instruction number 7 year 2014. However, it must still be based on the regulation of laws. The objectives of this study are to explain the position of presidential instruction number 7 year 2014 according to the hierarchy of regulation and laws of Indonesia, also to describe the juridical implication on the issue of presidential instruction number 7 year 2014. This study is a normative research which employed statute, conceptual and historical approaches. According to the results, it can be concluded that position of the presidential instruction is not included in the Indonesia hierarchy of laws since the instruction is a product of policy regulation which housed within a discretionary. In the case of juridical implication of the presidential instruction number 7 year 2014, the results showed that if there is any irregularity in the legal object, thus the legal product will be invalid.

Keywords: Presidential Instruction, Program Of Welfare Family Savings, Smart Indonesia Program

Analisis Yuridis Terhadap Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 Berdasarkan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

PENDAHULUANPernyataan konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum mengandung makna luas tentang berlakunya prinsip negara berdasarkan hukum (rechtsstaat) seperti di berbagai negara lain. Salah satu aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya hukum berkehendak dalam menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dengan masyarakat. Salah satu hal yang berhubungan erat dengan masalah kepastian tersebut adalah masalah darimana hukum itu berasal. Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi penting sejak hukum menjadi lembaga yang semakin formal. Dalam konteks perkembangan yang demikian itu pertanyaan mengenai sumber yang manakah yang kita anggap sah?, menjadi sebuah hal yang sangat penting.[footnoteRef:1] [1: Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm.81]

Asas terpenting dalam negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap badan/pejabat administrasi berdasarkan Undang-Undang. Tanpa dasar Peraturan Perundang-Undangan, badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau memengaruhi keadaan hukum warga masyarakat. Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum (het democratish ideal en het rechtstaats ideal). Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan lebih banyak memerhatikan kepentingan rakyat. Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang tertuang dalam undang-undang.[footnoteRef:2] [2: Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara ,Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm.68-69]

Perubahan UUD NRI 1945 sebanyak 4 kali telah menyebabkan banyak perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan juga telah memberikan perubahan dan pergeseran kekuasaan dari kekuasaan eksekutif (executive heavy) ke kekuasaan legislatif (legislative heavy).[footnoteRef:3] Salah satu bentuk pergeseran yang dimaksud yaitu bergesernya pemegang kekuasaan legislatif (pembentuk Undang-Undang) dari sebelumnya merupakan kekuasaan yang berada di tangan Presiden bergeser menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dari kewenangan tersebutlah maka DPR merupakan lembaga yang diberikan kekuasaan untuk membuat Undang-Undang. [3: Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada,hlm.289]

Pada saat ini bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah:a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;d. Peraturan Pemerintah;e. Peraturan Presiden;f. Peraturan Daerah Provinsi; dang. Peraturan Kabupaten/Kota.Ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan tersebut merupakan bentuk tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Konsekuensi dari tata urutan tersebut adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan jenis dan bentuk peraturan yang ada di tingkat yang lebih tinggi. Bentuk dari jenis tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan bentuk penerapan teori Stuffenbau des thory Hans Nawiasky yang merupakan murid Hans Kelsen. Hans Nawiasky mengembangkan teori Grundnorm Hans Kelesen yang menyatakan:maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang dibawa berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu: staatssfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, verordnung dan autonome staatssung.[footnoteRef:4] [4: Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Cet.3, Yogyakarta: Kanisisus, 2007,hlm.44-45]

Dengan ketentuan teori diatas serta berdasarkan UU No.12 Tahun 2011 tersebut maka berimplikasi pada keberlakuan dan kedudukan dari produk hukum yang akan dibuat yaitu bahwa produk hukum yang hendak atau telah dibuat di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya serta harus menyesuaikan bentuknya sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011. Konsekuensi lainnya dikaitkan dengan ciri negara hukum, yaitu apabila terjadi pertentangan norma atau aturan maka ada lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk menguji jenis produk yang dianggap bertentangan dengan produk hukum yang ada diatasnya.Beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 3 November 2014 Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan program Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera. Kartu ini biasa disebut oleh beberapa media ataupun masyarakat dengan sebutan Kartu Sakti. Kebijakan ini memang sangat merakyat, dalam artian berpihak pada rakyat. Kartu Indonesia Sehat adalah kartu yang diperuntukkan untuk warga Indonesia yang kurang mampu untuk mendapatkan pengobatan secara gratis yang digunakan untuk berobat di Rumah Sakit ataupun di Puskesmas, dan selanjutnya akan disebut dengan (KIS). Kartu Indonesia Pintar adalah kartu yang diperuntukkan bagi siswa/siswi kurang mampu di Indonesia untuk biaya pendidikan gratis baik pada sekolah swasta maupun negeri, yang selanjutnya akan disebut dengan (KIP). Kartu Keluarga Sejahtera adalah kartu yang diperuntukkan untuk warga kurang mampu diseluruh Indonesia berupa bantuan langsung/tunai yang berfungsi selama 5 tahun, yang selanjutnya akan disebut dengan (KKS). Pada tanggal 3 November 2014 dan di hari yang sama Presiden Jokowi Widodo menandatangani Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif. Inpres tersebut ditujukan kepada: 1.Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK); 2.Menko Polhukam; 3.Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; 4.Mendagri; 5.Menteri Keuangan; 6.Menteri Kesehatan; 7. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; 8. Menteri Sosial; 9. Menteri Agama; 10. Menkominfo; 11. Menteri BUMN; 12. Jaksa Agung; 13. Panglima TNI; 14. Kapolril 15. Kepala BPKP; 16. Kepala Badan Pusat Statistik; 17 Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 18. Dirut BPJS Kesehatan; 19. Para Gubernur; dan 20. Para Bupati/Walikota.Instruksi Presiden atau Perundang-Undangan semu pada dasarnya merupakan suatu peraturan-peraturan kebijakan (beleidsregels). Berdasarkan pendapat dari Philipus M Hadjon bahwa suatu peraturan kebijakan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bersifat naar buiten gebracht schriftelijk beleid (menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis) namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijakan tersebut. Peraturan-peraturan kebijakan tersebut dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini.[footnoteRef:5] [5: Philipus M .Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta; Gadjah mada University Press, 2002, hal. 153]

Yang menjadi polemik saat ini adalah apakah sebuah Instruksi Presiden merupakan instrumen hukum yang termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia saat ini atau tidak. Jika merujuk pada pendapat Philipus M Hadjon diatas diartikan bahwa pejabat tata usaha negara tidak mempunyai kewenangan dalam menciptakan peraturan kebijakan tersebut. Penyebutan instruksi hanyalah bersifat indivdual, konkret, serta harus ada hubungan antara atasan dengan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum,abstrak dan berlaku terus menerus. Instruksi pernah berlaku pada zaman orde baru dikarenakan hierarki peraturan perundang-undangan pada saat itu adalah TAP MPR No. XX/MPRS/1966, Sedangkan untuk sekarang adalah era reformasi yang telah disebutkan secara eksplisit pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan setidaknya ada tujuh peraturan yang masuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Yakni, (a) UUD 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai landasan sumber hukum tata negara kita. Dikeluarkannya KIP, KIS dan KKS yang secara cepat oleh Presiden Joko Widodo merupakan langkah Presiden untuk merealisasikan janji-janjinya pada saat kampanye yang dilakukan pada Pemilihan Presiden Tahun 2014. Dikeluarkannya kebijakan ini menuai banyak pro kontra bahkan kritikan tajam oleh pakar hukum tata negara Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Puan Maharani selaku Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di beberapa media mengatakan;Kebijakan tiga kartu sakti Jokowi akan dibuatkan payung hukumnya dalam bentuk instruksi presiden (Inpres) atau keputusan presiden (Keppres) yang akan diteken Presiden Jokowi.[footnoteRef:6] [6: http://www.tribunnews.com/.../soal-kartu-sakti-jokowiyusril-puan-dan-mensesneg-jangan-asal-ngomong, Soal Kartu Sakti Jokowi, dipost tanggal 6 November 2014, diakses tanggal 3 Desember 2014]

Hal ini merupakan suatu pernyataan yang menarik, karena pada dasarnya suatu Instruksi Presiden tidak dapat dikatakan sebagai payung hukum. Instruksi Presiden hanyalah sebuah perintah dari presiden kepada bawahannya. Berdasarkan pernyataan Pakar Hukum Tata Negara yakni Prof.Yusril Irza Mahendra pada beberapa media menyatakan bahwa; Suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya. Kalau belum ada siapkan dulu agar kebijakan itu dapat dipertanggungjawabkan. Kalau kebijakan itu berkaitan dengan keuangan negara,Presiden harus bicara dulu dengan DPR, karena DPR memegang hak anggaran. Karena itu ia berpesan agar kesepakatan-kesepakatan dengan DPR yang sudah dituangkan dalam UU APBN diperhatikan.Inpres dan Keppres itu bukanlah instrumen hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan RI. Inpres dan Keppres pernah digunakan di zaman Bung Karno dan Pak Harto sebagai instrumen hukum. Kini setelah reformasi, tidak digunakan lagi. Inpres hanyalah perintah biasa dari Presiden, dan Keppres hanya untuk penetapan seperti mengangkat dan memberhentikan pejabat.[footnoteRef:7] [7: Ibid]

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan yang pertama yaitu apakah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat dapat dibenarkan menurut Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan rumusan kedua yaitu bagaimana implikasi yuridis atas dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat mengingat produk hukum yang didapat melahirkan asas diskresi.METODE PENELITIANPada penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan.[footnoteRef:8] Penelitian normatif memfokuskan obyek kajiannya pada ketentuan-ketentuan hukum positif lalu mengarah kepada makna dari asas hukum. Dalam penelitian normatif, tahapan pengkajian (analisis) dimulai dari paragraf-paragraf pasal-pasal hukum positif terkandung konsep-konsep eksplanasi dan sifat dari persoalan penelitian.[footnoteRef:9] [8: Mukti Fajar dan Achmad Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar, hlm.34] [9: Muhjad Hadin dan Nuswardani, 2011, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm.11]

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian normatif ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) sangat diperlukan guna mengkaji lebih lanjut mengenai Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat. Pendekatan konseptual (conceptual approach), digunakan untuk mengkaji dan menganalisis kerangka berpikir atau kerangka konseptual maupun landasan teoritis sesuai dengan tujuan penelitian ini yakni Analisis Yuridis Terhadap Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat Berdasarkan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. Oleh sebab itu maka diperlukan prinsip negara hukum dan teori tentang Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara. Pendekatan sejarah (historical approach) diperlukan untuk melacak secara historis guna memahami landasan filosofis mengenai lahirnya ketentuan hirakie peraturan perundang-undangan di Indonesia dari zaman orde baru hingga reformasi sekarang ini.

Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.1. Bahan Hukum PrimerBahan hukum primer yang digunakan terdiri atas peraturan perundang-undangan terkait Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014.2. Bahan Hukum SekunderBahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan yang mendukung bahan hukum primer seperti buku-buku teks khusus hukum pemerintahan yaitu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, buku-buku teori peraturan perundang-undangan, kamus hukum, artikel dalam berbagai majalah dan jurnal ilmiah bidang hukum, dan sumber lainnya yang mendukung.

Teknik Analisa Bahan Hukum dilakukan dengan cara Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan (inventarisasi) kemudian dikelompokkan dan dikaji dengan pendekatan perundang-undangan guna memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum. Selanjutnya dilakukan sistematisasi dan klasifikasi kemudian dikaji serta dibandingkan dengan teori dan prinsip hukum yang dikemukakan oleh para ahli,untuk akhirnya dianalisa secara normatif.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Hasil PenelitianDalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil. Sistem pemerintahan Presidensil adalah sistem pemerintahan yang memiliki ciri utama Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan negara.[footnoteRef:10] Ketentuan ini mengandung makna bahwa Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan dalam negara. Dengan demikian ketentuan yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 dapat dijadikan landasan hukum dalam pembentukan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014. [10: Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum, op.cit, hlm.8]

5153Akan tetapi, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Presiden juga harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan. Sesuai yang diamanatkan pada UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum sehingga segala tindakan pemerintahan harus berdasarkan hukum (rechtmatigheid). Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya asas terpenting dalam negara hukum yaitu asas legalitas, substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap badan/pejabat administrasi berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Tanpa dasar Peraturan Perundang-Undangan, badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau memengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.[footnoteRef:11] [11: Ridwan HR, Hukum Administrasi..,op.cit, hlm.68-69]

Pada tanggal 3 November 2014 Presiden Jokowi Widodo menandatangani Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif. Intruksi Presiden tersebut ditujukan kepada: 1.Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK); 2.Menko Polhukam; 3.Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; 4.Mendagri; 5.Menteri Keuangan; 6.Menteri Kesehatan; 7. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; 8. Menteri Sosial; 9. Menteri Agama; 10. Menkominfo; 11. Menteri BUMN; 12. Jaksa Agung; 13. Panglima TNI; 14. Kapolril 15. Kepala BPKP; 16. Kepala Badan Pusat Statistik; 17 Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 18. Dirut BPJS Kesehatan; 19. Para Gubernur; dan 20. Para Bupati/Walikota.Instruksi Presiden merupakan perintah dari atasan kepada bawahan, Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada seluruh menteri beserta bawahannya untuk bekerja dalam pelaksanaan program Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Keluarga Sejahtera sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ketiga kartu tersebut merupakan realisasi atas janji-janji kampanye Presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) dan dibuatlah pada 100 hari kerjanya dengan berbentuk Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tersebut.Setiap pemerintah mempunyai hak untuk mengatur (pouvoir reglementair), yaitu melalui apa yang disebut dengan beleidsregels atau kebijakan di luar bentuk Undang-Undang yang dihasilkan oleh parlemen. Payung hukum yang memayungi kebijakan tersebut adalah kewenangan diskresi (discretionary power).[footnoteRef:12] Namun, tidak selamanya diskresi bisa digunakan, hanya dalam empat hal diskresi bisa digunakan. Berdasarkan Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa: Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: a) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, b) mengisi kekosongan hukum, c) memberikan kepastian hukum, d) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.Diskresi menjadi sebuah asas yang sangat dibutuhkan ketika adanya sebuah kekosongan hukum, namun dalam hal menggunakan asas tersebut pemerintah tidak bisa sembarangan dalam menggunakannya, ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam penggunaannya, jika ketentuan tersebut terpenuhi maka secara otomatis produk hukum/kebijakan yang dihasilkan itu sah, namun jika ketentuan-ketentuan itu tidak terpenuhi maka produk hukum/kebijakan yang dihasilkan menjadi tidak sah. [12: Jimmly Asshiddiqie, Format Kelembagaan..,op.cit, hlm.191]

Pada dasarnya kebijakan itu hendaknya tetap dibuat atas dasar perintah ataupun kuasa Undang-Undang. Karena itu, perlu dibedakan antara materi-materi beleidsregels atau kebijakan seperti ini dengan materi-materi yang seharusnya dibentuk dalam Undang-Undang, tetapi karena keadaan tidak memungkinkan terpaksa dibuat dalam bentuk peraturan di bawah tingkat Undang-Undang. Karena pemerintahan harus dijalankan dengan hukum, maka logikanya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang menyimpang bahkan bertentangan dengan hukum. Implikasi lainnya, pemerintah tidak dapat membuat peraturan perundang-undangan atau keputusan tata usaha negara yang bertentangan dengan konstitusi atau Peraturan Perundang-Undangan dibawahnya. Walaupun wewenang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dapat berdasarkan pendelegasian wewenang oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, tetapi pendelegasian wewenang tersebut bukan tanpa batas. Dalam pendelegasian wewenang mengatur bahwa Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tidak membolehkan adanya delegasi blangko. Oleh karena itu Peraturan Perundang-Undangan lebih tinggi dalam mendelegasikan wewenang mengatur harus memberikan batasan yang jelas tentang apa saja yang ingin diatur lebih lanjut.

B. PEMBAHASAN1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan menurut Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966Dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang memorandum tentang DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, tidak disinggung hal-hal mengenai garis-garis besar tentang kebijakan Hukum Nasional, tetapi TAP ini menentukan antara lain Sumber Tertib hukum Republik Indonesia, yaitu Pancasila yang dirumuskan sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan mengenai Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia.Dalam TAP MPRS tersebut diuraikan lebih lanjut dalam lampiran I bahwa perwujudan sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia adalah:1. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 19452. Dekrit Presiden 5 Juli 19593. Undang-Undang Dasar Proklamasi4. Surat Perintah 11 Maret 1966Sedangkan dalam Lampiran II tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 dalam huruf A disebutkan sebagai berikut:1. UUD 19452. Ketetapan MPRS/MPR3. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang4. Peraturan Pemerintah5. Keputusan Presiden6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:Peraturan MenteriInstruksi Menteri, dan lain-lainnya.Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam penjelasan UUD 1945, UUD NRI adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan peraturan bawahan dalam negara. Sesuai pula dengan prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya.Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 mengakui adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis dan berjenjang-jenjang, dimana suatu norma itu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan diakui pula adanya norma tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi norma-norma dibawahnya seperti dalam teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, sedangkan norma-norma hukum yang termasuk dalam sistem norma menurut TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.Dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tersebut secara eksplisit disebutkan mengenai jenis aturan atau produk hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Salah satu diantaranya adalah Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri. Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri tersebut merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam teori perundang-undangan, Peraturan menteri dan Instruksi Menteri sebagaimana dimaksud dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 termasuk dalam jenis Peraturan Pelaksana.Peraturan pelaksana merupakan peraturan yang terletak dibawah Undang-Undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang. Peraturan Pelaksana bersumber dari kewenangan delegasi. Delegasi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah kewenangan membentuk peraturan perundang-undnagan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Berlainan dengan kewenangan atribusi pada kewenangan delegasi tersebut tidak diberikan, melainkan diwakilkan dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.Dalam kaitannya dengan kewenangan delegasi dan kewenangan atribusi, kedudukan Instruksi Menteri dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 merupakan delegasi dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Presiden. Jika demikian, maka suatu Instruksi Menteri akan memiliki kekuatan hukum jika Instruksi Menteri tersebut secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain bahwa suatu peraturan atau keputusan menteri akan memiliki keberlakuan sebagaimana peraturan perundang-undangan yang memerintahkannya. Hal ini karena peraturan atau keputusan menteri merupakan jenis peraturan pelaksana yang memerlukan pendelegasian terlebih dahulu dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Berdasarkan uraian diatas, jika Instruksi Menteri secara eksplisit terdapat dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 lain halnya dengan Instruksi Presiden yang secara bentuk/nonmeklatur tidak terdapat dalam tata urutan tersebut. Kedudukan Instruksi Presiden dapat masuk dalam dua macam kategori pada tata urutan ini yakni Keputusan Presiden dan Instruksi yang termasuk pada Peraturan Pelaksana lainnya. Akan tetapi menurut Maria Farida dikatakan bahwa Keputusan Presiden yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan adalah bersifat einmahlig yang sifat normanya individual, konkrit, dan sekali selesai. Penyebutan Keputusan Presiden yang einmahlig ini sebenarnya tidak tepat karena suatu Keputusan Presiden dapat juga dauerhaftig (berlaku terus menerus). Sedangkan Instruksi Menteri sebagai peraturan perundang-undangan tidak tepat karena suatu Intruksi itu bersifat individual, konkrit, serta harus ada hubungan atasan dan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum, abstrak, dan berlaku terus-menerus.[footnoteRef:13] [13: Ninatul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 43]

Dari kedua penjelasan tersebut pada dasarnya memiliki pengertian yang sama yakni bersifat individual konkrit kemudian harus ada hubungan antara atasan dengan bawahan dan sekali selesai. Jika diartikan demikian maka kedudukan Instruksi Presiden pada zaman ini dapat diartisamakan dengan Pertama, Keputusan Presiden yang terdapat pada urutan kelima dalam tata urutan dibawah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Kedua, dapat dikategorikan Instruksi atau Peraturan Pelaksana dikarenakan disebutkan dalam tata urutan tersebut Peraturan Pelaksana Lainnya yakni Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain lain. Kata dan lain-lain dapat di interpretasikan bahwa Instruksi Presiden bisa dikatakan masuk dalam peraturan pelaksana dibawah Keputusan Presiden.Ketidaktepatan ini yang mengakibatkan kekaburan norma dan secara eksplisit bahwa Instruksi Presiden memang tidak ada di dalam tata urutan menjadi sulit untuk mengetahui Instruksi Presiden mengikat pada kategori Keputusan Presiden atau Instruksi yang termasuk dalam peraturan pelaksana. Sehingga tepat jika pada zaman ini yaitu zaman orde baru banyak terjadi tindakan pemerintah yang sewenang-wenang akibat ketidakjelasan terkait aturan tersebut.Hierarki Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPR No.III/MPR/2000Melalui Sidang Tahunan MPR RI, tanggal 7-18 Agustus tahun 2000, MPR telah mengeluarkan Ketatapan TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. TAP MPR No.III/MPR/2000 dikeluarkan setelah perubahan kedua UUD NRI 1945. Dalam masa perubahan kedua UUD NRI 1945 tersebut belum banyak terjadinya perubahan sistem ketatanegaraan. Pada perubahan kedua UUD NRI 1945 tersebut, MPR masih merupakan lembaga tertinggi negara yang melaksanakan kekuasaan tertinggi negara atau pelaksana kedaulatan rakyat sebgaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan. Sehingga pada saat itu, ketetapan MPR masih merupakan sumber hukum yang berada dibawah UUD NRI 1945.Ketentuan Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000 menyatakan tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia pada saat itu adalah:1. UUD 19452. Ketetapan MPR3. Undang-Undang4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)5. Peraturan Pemerintah6. Keputusan Presiden7. Peraturan DaerahKekuasaan membentuk Undang-Undang yang sebelumnya ditangan Presiden dialihkan kepada DPR. Akan tetapi dalam ketentuan Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000 tersebut terjadi sebuah perubahan tata urutan yakni bahwa kedudukan Undang-Undang berada dibawah TAP MPR, sedangkan Perpu berada dibawah Undang-Undang. Padahal secara teoritik, sebenarnya kedudukan Perpu sejajar dengan Undang-Undang. Perpu merupakan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Dikatakan sebagai pengganti undang-undang yaitu karena materi muatan dan kekuatan mengikat dari Perpu tersebut sama dengan materi muatan dan kekuatan mengikat Undang-Undang. Perbedaannya hanyalah terletak pada proses pembentukkannya saja. Jika Undang-Undang dibentuk berdasarkan persetujuan bersama antara Presiden bersama dengan DPR, maka Perpu dibentuk oleh Presiden dikarenakan adanya hal ihwal kepentingan yang memaksa.Dalam TAP MPR No.III/MPR/2000 Pasal 4 disebutkan bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain bahwa jika ada suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tersebut harus dikesampingkan. Ketentuan tersebut sesuai dengan asas preferensi hukum yang berbunyi lex superior derogat leg lex inferior yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.Berdasarkan uraian tersebut maka, kedudukan Instruksi Presiden menjadi kabur kembali. TAP MPR No.III/MPR/2000 tidak menyebutkan kedudukan Instruksi Presiden dalam tata urutan peraturan perundang-undangan misalnya berada dibawah undang-undang atau berada dibawah peraturan lainnya. Selain itu TAP MPR No.III/MPR/2000 juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang Instruksi Presiden, yang masuk dalam kategori hanyalah Keputusan Presiden seperti yang telah dijelaskan pada sumber tertib hukum sebelumnya.Kedudukan Instruksi Presiden dalam TAP MPR No.III/MPR/2000 tidak dijelaskan apakah harus diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan diatasnya terlebih dahulu dengan memberikan delegasi untuk dibentuknya Peraturan Pelaksana. Dengan kata lain Instruksi Presiden tersebut dapat dibentuk tanpa adanya perintah atau delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian maka berdasarkan ketentuan TAP MPR No.III/MPR/2000 pengaturan mengenai Instruksi Presiden juga masih bersifat kabur, baik dari segi kedudukannya maupun kekuatan mengikatnya.Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia menurut UU No.10 Tahun 2004Pada 24 Mei 2004, DPR dan pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-Undangan menjadi Undang-Undang (UU No.10 Tahun 2004) Undang-Undang ini menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. UUD NRI 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang ini juga memerintahkan untuk menempatkan UUD NRI 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Penempatan UUD NRI 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya. Disamping itu, diatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yakni Pasal 7. Sebelumnya, hierarki peraturan perundang-undangan dituangkan dalam produk hukum ketetapan MPR/MPRS, adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004:1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;3. Peraturan Pemerintah;4. Peraturan Presiden;5. Peraturan Daerah;Didalam Undang-Undang ini, Ketetapan MPR/MPRS dihapuskan dari hierarki peraturan perundang-undangan dan mengembalikan kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) setingkat dengan Undang-Undang. Disamping itu, Undang-Undang ini juga mengakomodir permintaan dari pemerintah agar Peraturan Menteri masuk dalam hierarki, namun ditolak oleh Komisi II DPR, yakni rumusan dalam Pasal 7 ayat (4) yang berbunyi bahwa Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Jika sebelumnya dalam TAP MPR No.III/MPR/2000, pengaturan mengenai Instruksi Presiden masih bersifat kabur, baik dari sisi kedudukannya maupun dari segi kekuatan mengikatnya, maka dalam UU No.10 Tahun 2004 sudah terdapat ketentuan mengatur mengenai kekuatan mengikat maupun kedudukan suatu peraturan perundang-undangan selain dari Pasal 7 Ayat (1) tersebut akan tetapi dengan syarat jika didelegasikan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika suatu aturan hukum didelegasikan oleh aturan hukum lain yang lebih tinggi, maka aturan hukum yang didelegasikan tadi memiliki kekuatan hukum sebagaimana aturan hukum yang mendelgasikannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU No.10 Tahun 2004 diatas, maka didefinisikan bahwa sepanjang suatu peraturan diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka kekuatan hukum peraturan atau keputusan tersebut diakui keberadannya. Dengan kata lain suatu peraturan atau keputusan akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan diatasnya. Dalam hal ini Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tersebut tidak diperintahkan oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah dapat dilihat dengan tidak adanya konsideran dalam aturan tersebut, maka dengan kata lain Instruski Presiden tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat karena tidak diperintahkan oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah melainkan berdasarkan diskresi oleh Presiden. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka Instruksi Presiden tidak dapat dikatakan mempunyai kekuatan mengikat dikarenakan tidak terdapat perundang-undangan yang memberikan pelimpahan kewenangan untuk dibentuknya Instruksi Presiden tersebut.Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia menurut UU No.12 Tahun 2011Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 ayat (1) tentang Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas :a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;d. Peraturan Pemerintah;e. Peraturan Presiden;f. Peraturan Daerah Provinsi; dang. Peraturan Kabupaten/Kota.Selain tujuh jenis tersebut, Pasal 8 Ayat (1) juga memperluas ruang lingkup peraturan perundang-undangan dengan mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.Kemudian Pasal 8 Ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimaksud pada Ayat (1) mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuik berdasarkan kewenangan. Misalnya Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah dibentuk berdasarkan kewenangan, yaitu penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai ketentuan perundang-undangan. Jika mengacu pada karakter peraturan kebijakan yang dibentuk karena diskresi atau tanpa diperintahkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka peraturan yang dimaksud Pasal 8 Ayat (2) tidak mengikat tersebut dapat dikategorikan sebagai peraturan kebijakan. Oleh karena itu sebenarnya secara tidak langsung UU No.12 Tahun 2011 kemudian menyatakan bahwa tidak memiliki kekuatan mengikat, maka tidak ada kategori peraturan kebijakan yang memiliki kekuatan mengikat umum.Jika peraturan perundang-undangan yang dibentuk tanpa diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau tanpa kewenangan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara, maka peraturan perundang-undangan tersebut telah memiliki mengikat umum. Namun jika tidak diundangkan dalam Lembaran Negara maka tidak dapat dikatakan memiliki kekuatan mengikat umum.2. Implikasi Yuridis Atas Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat Yang Peraturan kebijakan secara teori merupakan peraturan yang tidak memiliki kekuatan mengikat untuk seluruh subyek hukum. Seperti pada Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 dan bentuk lainnya yaitu Surat Edaran, Juklak, Juknis yang hanya ditunjukkan bagi pejabat-pejabat administrasi dalam melaksanakan tugasnya ketika terdapat kekosongan aturan ataupun norma yang kabur. Dapat diketahui bahwa peraturan kebijakan tidak memiliki kekuatan mengikat sebagaimana peraturan perundang-undangan dengan mengacu pada dua hal. Pertama, bentuk peraturan kebijakan baik dalam TAP MPS No.XX/MPRS/1966, TAP MPR No.III/MPR/2000, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak dinyatakan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Kedua, karena bentuk peraturan kebijakan tersebut berdasarkan Undang-Undang tidak digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan maka peraturan kebijakan tidak dapat dimasukkan dalam Lembaran Negara atau Berita Negara yang memiliki kekuatan mengikat.Terkait bahwa peraturan kebijakan tidak mempunyai kekuatan mengikat dilakukan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang mengikat sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pengundangan tersebut berupa penempatan di dalam suatu Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Tambahan Lembaran Daerah Republik Indonesia. Jika peraturan kebijakan bukanlah peraturan perundang-undangan dan tidak mengikat, maka seharusnya peraturan kebijakan tidak perlu dimasukkan dalam Lembaran Negara, Berita Negara dan Lembaran Daerah. Dengan demikian dinyatakan tepat jika dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 diakhiri hanya dengan tanda tangan Presiden sebagai Kepala Negara yang mengeluarkan Instruksi tersebut tanpa mencantumkan dalam Lembaran Negara atau Berita Negara.Jadi, peraturan kebijakan dapat dikatakan mengikat ketika menggunakan bentuk peraturan perundang-undangan, walaupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 telah membatasi bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk tanpa perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau tanpa kewenangan tidak memiliki kekuatan mengikat, tetapi jika peraturan tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara atau Berita Negara maka peraturan tersebut telah memiliki kekuatan mengikat.Implikasi lainnya bahwa diskresi merupakan sebuah asas yang digunakan untuk memayungi sebuah kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah, salah satu contohnya yaitu Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014. Dalam hal ini diskresi sering dilakukan oleh eksekutif yang pada Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Adanya diskresi adalah suatu kekuatan bagi eksekutif/Presiden untuk melakukan sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Berdasarkan Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa: Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: a)melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b)mengisi kekosongan hukum; c)memberikan kepastian hukum; d)mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Diskresi menjadi sebuah kekuatan oleh eksekutif/Presiden sebagai asas untuk melakukan kebijakan, melihat adanya kekuatan yang sangat besar maka dalam hal penerapan asas diskresi dimungkinkannya terjadi sebuah kesewenang-wenangan. Oleh karena itu dalam penggunaan diskresi, apabila terjadi sebuah pelanggaran yaitu merugikan hak warga negara, maka eksekutif dapat dimintai pertanggung jawaban.Akibat sampingan dari diskresi adalah terjadinya kesewenang-wenangan oleh eksekutif. Negara Indonesia adalah negara hukum, jika terjadi pelanggaran oleh subyek hukum maka subyek mendapatkan sanksi, jika terjadi penyimpangan terhadap obyek hukum maka produk hukum yang dihasilkan menjadi tidak sah. Ada tolak ukur dalam pemerintahan agar pemerintahan atau produk hukumnya dikategorikan baik. Ukuran pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang menjalankan pelayanan umum secara baik pula. Berdasarkan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan ada delapan (8) asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Undang-Undang tersebut meliputi asas:a. kepastian hukum;b. kemanfaatan;c. ketidakberpihakan;d. kecermatan;e. tidak menyalahgunakan wewenang;f. keterbukaan;g. kepentingan umum; danh. pelayanan yang baik.Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Asas kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita. Asas ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif. Asas kecermatan adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan. Asas tidak menyalahgunakan wewenang adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan. Asas keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif. Asas pelayanan yang baik adalah asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.Berdasarkan penjelasan dari kedelapan asas-asas umum pemerintahan yang baik diatas, terdapat satu asas yang harus diperhatikan oleh Presiden dalam mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 yakni Asas Kepastian Hukum. Bahwa dalam negara hukum harus mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang undangan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa Instruksi Presiden bukanlah produk dari peraturan perundang-undangan. Bahwa dikarenakan dalam penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan itu mengandang 3 (tiga) unsur yang sangat penting yakni tercantum dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan:a. asas legalitas;b. asas perlindungan terhadap hak asasi manusia;c. asas-asas umum pemerintahan yang baik;Dengan mengacu kepada ketiga asas tersebutlah yang seharusnya dilakukan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan. Asas legalitas sangat penting untuk dipenuhi agar terciptanya kepastian hukum dari Tindakan yang dilakukan oleh Presiden terkait dengan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014. Dikarenakan bentuk yang dikeluarkan oleh Presiden berupa Instruksi dimungkinkan terjadi tindakan yang sewenang-wenang karena berdasarkan asas diskresi. Maka, harus ada akibat hukum yang didapat ketika Pemerintah mengeluarkan produk hukum diluar bentuk Undang-Undang tersebut.Pengaturan terhadap akibat hukum dari diskresi tersebut kini secara tegas telah diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2), Pasal 31 ayat (1) dan (2) dan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dijelaskan sebagai berikut ini;Pasal 30(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila: a. Bertindak melampaui batas waktu berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;b. Bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau c. Tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28. (2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.

Pada Pasal 30 Ayat (1) huruf c diatas, dijelaskan bahwa Pasal 26 terdapat prosedur penggunaan diskresi dimana pada Pasal 26 Ayat (1) berbunyi bahwa Pejabat yang menggunakan Diskresi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 Ayat (1) dan Ayat (2) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan. Dalam hal ini yang dimaksud kan Pasal 25 Ayat 1 dan 2 adalah penggunakan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan Pejabat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 pada saat itu belum terjadi kesepakatan dengan DPR terkait anggaran dari Program Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Sehat dan Program Indonesia Pintar, bahwa Anggaran pada tahun 2014 masih berlangsung dan belum pada batas akhir tahun, sehingga kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara dan jika mengacu pada ketentuan Pasal tersebut secara tidak langsung maka produk hukum dari Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 dianggap tidak sah.

Pasal 31(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan mencampuradukkan Wewenang apabila: a. Menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan wewenang yang diberikan;b. Tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28; dan/atau c. Bertentangan dengan AUPB.(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan. Pasal 32(1) Penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak sah.Produk hukum yang menggunakan asas diskresi/kebijakan, haruslah dikeluarkan pada saat yang tepat yaitu dalam keadaan kekosongan hukum dan saat terjadinya kebebasan penafsiran, selain itu produk hukum juga mendapatkan delegasi dari perundang-undangan, dan adanya produk hukum berangkat dari kehendak pejabat/eksekutif untuk memenuhi kepentingan umum. Apabila produk hukum memenuhi semua hal yang tertera diatas maka produk hukum dianggap sah, namun sebaliknya ketika ada unsur-unsur diatas yang tidak terpenuhi maka produk hukum dianggap tidak sah. Selain tentang sah dan tidaknya sebuah produk hukum berbentuk peraturan kebijakan, dalam hal ini kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah maka kebijakan tersebut harus sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai yang telah dijelaskan sebelumnya, tujuan dari pemenuhan asas-asas tersebut adalah guna mewujudkan cita-cita dasar Negara Indonesia yaitu menjadi negara hukum.Terkait bahwa penjelasan diatas Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 dikatakan tidak sah dengan mengacu dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa Penyelenggaraan Pemerintahan terdiri atas; a) asas legalitas, b) asas perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan c) asas-asas umum pemerintahan yang baik. Penting untuk dianalisis yang Pertama Asas legalitas, asas ini penting karena diartikan bahwa setiap Badan/Pejabat administrasi harus berdasarkan Undang-Undang. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tanpa landasan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang. Jelas disini bahwa Presiden tidak menggunakan asas legalitas dengan baik, mengeluarkan Instruksi yang merupakan produk dari Peraturan Kebijakan yang berpayung atas diskresi atau kebebasan bertindak. Kedua, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia memang dalam peraturan kebijakan yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo berupa Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 yang tujuannya untuk program penanggulangan kemiskinan tersebut untuk melindungi hak-hak dari pada warga masyrakat yang kurang mampu untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Dalam hal ini sepakat jika Presiden Joko Widodo menjalankan asas perlindungan terhadap hak asasi manusia. Ketiga, asas-asas umum pemerintahan yang baik telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa terdapat satu asas yakni kepastian hukum yang belum tepat dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Bahwa tindakan dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 yang merupakan produk dari Peraturan Kebijakan berpayung diskresi tidak menunjukkan bahwa adanya kepastian hukum terkait landasan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Secara eksplisit tegas dijelaskan Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.Ketaatasasan tersebut dirasa sangat penting dalam penyelenggaran pemerintahan. Oleh sebab itu pada hakekatnya pernyataan terkait bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum harus sangat diperhatikann. Mengingat produk dari Peraturan Kebijakan belum secara jelas diatur bahkan kewenangan dalam membuat peraturan kebijakan tidak disebutkan dalam UUD NKRI 1945. Berdasarkan analisis diatas dikarenakan terdapat asas yang belum dilakukan oleh Presiden sebagai tolak ukur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, maka dengan mengacu pada ketiga asas tersebut dapat dikatakan bahwa Peraturan Kebijakan yang dibuat oleh Presiden dengan berupa Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 dinyatakan tidak sah.Pada prinsipnya, jika Presiden taat pada peraturan perundang-undangan terkait substansi tentang program penanggulangan kemiskinan tersebut harus dibuat Peraturan Presiden terlebih dahulu. Dengan membuat Peraturan Presiden yang secara eksplisit tercantum dalam hierarki/tata urutan peraturan perundang-undangan maka jelas bahwa ada pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi untuk melaksanakan program penanggulangan kemiskinan tersebut terkait maksud,tujuan,dan substansi dari program yang dibuat oleh Presiden.Kemudian dari Peraturan Presiden tersebutlah Presiden menunjuk pejabat/menteri-menterinya berdasarkan kewenangan dan bidang masing-masing untuk bekerja menjalankan program penanggulangan percepatan kemiskinan tersebut dengan berupa Instruksi Presiden. Jadi seyogyanya tidak semata-mata dengan atas dasar diskresi/kebebasan bertindak yang dapat dilakukan oleh Presiden dalam membuat program yang diperuntukkan oleh warga masyrakat yang kurang mampu. Berpegang bahwa negara Indonesia adalah negara hukum maka ketaatan terkait aturan-aturan yang telah ada wajib untuk dilaksanakan.Dengan demikian sependapat dengan pernyataan oleh Prof.Yusril Ihza Mahendra bahwa Instruksi Presiden bukanlah instrumen hukum dan suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya, karena jika belum terdapat landasan hukumnya maka perlu dibuat terlebih dahulu agar dapat dipertanggung jawabkan. Terlebih lagi kebijakan program yang berpotensi mengubah alokasi anggaran memang harus dibicarakan terlebih dahulu dengan DPR selaku pemegang hak anggaran. Diharapkan dari peristiwa terkait Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 yang menuai banyak pro kontra tidak lagi terjadi kesalahan pada penyelenggaran-penyelenggaran selanjutnya dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.PENUTUPSimpulanDari pembahasan tersebut maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut yaitu :A. 8183Peraturan kebijakan dalam hal ini adalah Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 diidentifikasi sebagai peraturan yang tidak memiliki kekuatan mengikat. Oleh karena karakternya yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan. Kedudukan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia pada TAP MPRS No.XX/MPRS/1966, TAP MPR No.III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011 tidak menyebutkan kedudukan Instruksi Presiden secara eksplisit dalam tata urutan peraturan perundang-undangan misalnya berada dibawah Undang-Undang atau berada dibawah peraturan lainnya. Sehingga pengaturan mengenai Instruksi Presiden bersifat kabur, baik dari segi kedudukannya maupun kekuatan mengikatnya. Disisi lain bahwa sepanjang suatu peraturan diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka kekuatan hukum peraturan atau keputusan tersebut diakui keberadannya. Akan tetapi, jika peraturan perundang-undangan yang dibentuk tanpa diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau tanpa kewenangan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara, maka peraturan perundang-undangan tersebut telah memiliki mengikat. Namun jika tidak diundangkan dalam Lembaran Negara maka tidak dapat dikatakan memiliki kekuatan mengikat.B. Implikasi dari diskresi adalah terjadinya kesewenang-wenangan oleh eksekutif. Jika terjadi pelanggaran oleh subyek hukum maka subyek mendapatkan sanksi, jika terjadi penyimpangan terhadap obyek hukum maka produk hukum yang dihasilkan menjadi tidak sah. Pengaturan terhadap akibat hukum dari diskresi tersebut kini telah diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2), Pasal 31 ayat (1) dan (2) dan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Pada pasal-pasal tersebut Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang tertulis didalamnya sehingga produk hukum tersebut dinyatakan tidak sah.SaranDari analisis sebagaimana diuraikan didalam kesimpulan diatas, sebagai masukan saran sebagai berikut:A. Kedudukan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 harus dipertegas keberadaan fungsinya oleh Presiden, apakah sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ataukah sebagai sebuah peraturan kebijakan, sehingga tidak dicampur adukan dan akan lebih mudah dalam pengawasan penerapan dan penegakkannya. Disarankan sebaiknya pengaturan peraturan kebijakan dalam hal ini adalah Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 diperjelas dengan Undang-Undang bahwa dalam kondisi apakah suatu badan/pejabat administrasi dapat membentuk peraturan kebijakan. Dengan adanya pengaturan tersebut, terdapat batasan yang jelas bagi pemerintah dalam menjalankan wewenang bebas.B. Kepada Pemerintah dalam hal ini Kemenkumham dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan diharapkan dalam memberikan masukan kepada Presiden untuk melaksanakan atau menjalankan suatu program dalam penyelenggaraan pemerintahan tetap berpegang pada hierarki peraturan perundang-undangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karena instrumen hukum yang secara jelas tercantum dalam peraturan perundang-undangan merupakan landasan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.DAFTAR PUSTAKABuku :Asshiddiqie, Jimmly. 2004. Konstitusi&Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Diterbitkan atas Kerja Sama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Studi HTN FH Universitas Indonesia.________________. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH-UII Press.________________. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada________________. 2010. Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers.D. Darumurti, Kharisna. 2012. Kekuasaan Diskresi Pemerimtah. Bandung: PT.Citra Adya BaktiFajar Mukti, dan Achmad Yulianto. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Jakarta: Pustaka Pelajar.Farida, Maria Indrati Suprapto. 1998. Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kasinius____________________________. 2007. Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Cet.3. Yogyakarta: Kanisisus.Hadin, Muhjad dan Nuswardani. 2011. Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Genta Publishing.HR, Ridwan. 2002. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII PressHuda, Nimatul. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.Imanuel W Nalle, Victor. 2013. Konsep Uji Materiil Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia. Malang: Setara Press.Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar HarapanLubis, Solly. 1989. Landasan dan Teknik Perundang-Undangan. Bandung: Mandar Maju.M.Hadjon, Philipus. 1985. Pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintah. Surabaya: Djumali________________. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah mada University Press.Mahmud Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media.Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. 1987. Peranan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Armico____________________________. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung :AlumniManan, Bagir. 1999. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Ind.Hill.CoRahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.Ranggawidjaja, H.Rosjidi. 1998. Pengantar Imu Perundang-Undangan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.S Attamimi, A Hamid. 1984. dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia IndonesiaSyarif, Amiroeddin. 1987. Perundang-Undangan: Dasar, Jenis dan Teknik membuatnya. Jakarta: Bina Aksara.

Peraturan Perundaang-Undangan:Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389)Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601)Intruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia SehatJurnal :S Attamimi, A Hamid. 1990. Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. JakartaM.Hadjon, Philipus. 1997. Tentang Wewenang, Jurnal Yuridika Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nomor 5 dan Tahun XIIMakalah :M.Hadjon, Philipus. 1987. Pemerintahan Menurut Hukum. MakalahPidato :M.Hadjon, Philipus. 10 Oktober 1994. Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.Seminar :M.Hadjon, Philipus. 6-7 Mei 2004. Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Makalah Seminar Nasional Aspek Pertanggungjawaban Pidana dalam Kebijakan Publik dan Tindak Pidana Korupsi. Semarang Internet :Widianto, Willy. 2014. www.tribunnews.com Soal Kartu Sakti Jokowi. diakses dari http://www.tribunnews.com/.../soal-kartu-sakti-jokowiyusril-puan-dan-mensesneg-jangan-asal-ngomong. pada tanggal 3 Desember 2014Himawan Estu, Bagijo. 2014. Metode Penelitian Hukum, diakses dari http://himawan.doesen.narotama.ac.id. pada tanggal 3 Desember 2014