tinjauan pustaka neuropsikiatri

Upload: carlos-johnson

Post on 12-Oct-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

neuropsikiatri

TRANSCRIPT

Tinjauan PustakaGangguan Somatisasi pada Wanita Usia 51 TahunRicky Johnatan (102010174/D4)Universitas Kristen Krida Wacana, Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta, [email protected]

AbstractPada masa kini, stresor dan tekanan untuk bertahan hidup menyebabkan distres pada setiap individu. Faktor stres psikososial sendiri terkadang dapat menimbulkan gangguan psikis dan juga somatik pada kita. Gangguan somatisasi merupakan salah satu gangguan yang terdapat pada gangguan somatoform spesifik(F45). Gangguan ini terdapat banyak pada wanita dengan awitan sebelum usia 30 tahun. Pasien gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan fisik atau somatik tetapi tidak dapat dibuktikan saat pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan somatisasi biasanya memiliki diagnosis banding hipokondriasis, psikosomatik dan juga gangguan somatoform lainnya. Penatalaksanaan gangguan somatisasi adalah sengan psikoterapi dan farmakoterapi selektif. Prognosis pada gangguan ini biasanya baik karena pasien telah datang ke klinik sebelum 1 tahun. Kata kunci : stres, psikiatri, somatisasi, somatoform, psikosomatik, hipokondriasisPendahuluanSomatoform merupakan kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. Gangguan ini mencakup interaksi pikiran tubuh. Otak mengirimkan berbagai sinyal yang mempengaruhi kesadaran pasien dan menunjukkan adanya masalah serius dalam tubuh. Menurut DSM-IV TR, somatoform spesifik dibagi dalam lima gangguan yaitu somatisasi, konversi, hipokondriasis, dismorfik tubuh, dan gangguan nyeri. Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan bagaimana cara kita menegakkan diagnosis gangguan somatoform dan membedakannya dengan penyakit organik atau psikosomatik. Makalah ini juga menjelaskan cara melakukan wawancara psikiatri, pemeriksaan, dan manifestasi klinik serta penatalaksanaan gangguan somatisasi. Anamnesis (wawancara psikiatri)Wawancara psikiatri dilakukan untuk mendapatkan informasi, menilai emosi dan sikap pasien dan berperan suportif dan mempermudah memahami pasien. Wawancara psikiatrik yang baik terdiri dari serangkain proses penggalian informasi yang terstruktur, dengan cara mengajukan pertanyaan spesifik untuk mengklarifikasi hal-hal yang membingungkan dan memastikan atau mengubah kesan awal. Pasien harus diberi kesempatan untuk merasa sesantai dan selepas mungkin saat berbicara melalui pengemban suatu hubungan saling percaya. Pewawancara harus menyediakan lingkungan yang berbobot dalam konteks pasien meyakini bahwa pewawancara dapat memegang tanggung jawab ini. Saat wawancara yang harus dilakukan pewawancara adalah biarkan pasien menceritakan kisah, perlakukan pasien secara serius, berikan waktu untuk menenangkan emosi, tanyakan mengenai ide bunuh diri atau kekerasan, berikan kepastian jika memungkinkan, dan harus menjadi pendengar yang baik. Pewawancara juga tidak boleh menggunakan pertanyaan tertutup terlalu cepat, terlalu kaku dan tak terarah, dan lebih memperhatikan catatan medis daripada pasien.1 Secara umum, wawancara dimulai dengan pertanyaan terbuka mengenai penyebab masalah yang timbul saat ini, diikuti oleh pertanyaan yang lebih terfokus untuk mengklarifikasi urutan kronologis dan perubahan gejala yang penting. Kita dapat mengizinkan pasien untuk berbicara mengenai masalahnya selama 5 menit pertama wawancara tanpa diputus. Pertanyaan terbuka memotivasi pasien untuk berbicara, berkonsentrasi dan membantu membentuk rapport. Pertanyaan tertutup dappat dilakukan setelah gangguan yang mendasari sudah jelas terlihat. Jika pasien tidak dapat menjawab pertanyaan terbuka kita dapat mengganti dengan pertanyaan pilihan.1 Riwayat psikiatri idealnya harus didapatkan baik dari pasien maupun dari sumber informasi yang lebih terperinci. Riwayat psikiatri sendiri terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat keluarga, riwayat pribadi, riwayat psikoseksual, riwayat penyakit medis dan psikiatri dahulu, riwayat hukum dan penggunaan zat psikoaktif. Keluhan utama merupakan keluhan yang diungkapkan pasien. Lamanya keluhan telah berlangsung harus dicatat.1Pada riwayat penyakit sekarang, perkembangan gejala perlu dikemukakan secara kronologis bersama dengan faktor pencetusnya. Gangguan penyerta juga harus diberiathukan. Pengaruh kondisi pasien terhadap fungsi sosial juga perlu dicatat. Untuk riwayat keluarga, pasien perlu ditanyakan perincian mengenai orang tua dan saudaranya, termasuk umur mereka saat ini atau umur saat meninggal, pekerjaan, kondisi kesehatan dan hubungannya dengan pasien. Saat perpisahan orang tua atau perceraian perlu disebutkan bila memang terjadi. Setiap riwayat gangguan psikiatri dan neurologis dalam keluarga perlu diperinci, termasuk sifat gangguan dan terapinya. Pasien juga perlu ditanyakan tentang adanya riwayat bunuh diri dalam keluarga.1 Riwayat masa kanak-kanak, pendidikan dan pekerjaan harus ditanyakan untuk melengkapi riwayat pribadi pasien. Riwayat kanak-kanak mencakup tanggal lahir, tempat lahir, kesehatan masa kanak-kanak, stress emosional dan perkembangan masa kanak-kanak pasien. Riwayat pendidikan mencakup umur mulai sekolah, jenis sekolah, hubungan dengan teman dan guru, pendidikan terakhir dan ada atau tidaknya riwayat membolos(masalah lain). Untuk riwayat psikoseksual, harus ditanyakan usia haid pertama, kelainan menstruasi, riwayat kehamilan dan umur menopause bikah telah terjadi. Orientasi seksual juga harus ditanyakan.1 Riwayat penyakit medis dahulu merupakan riwayat kronologis dari penyakit yang dialami dahulu, termasuk sifat gangguan dan cedera fisik, tempat perawatan, dan jenis pengobatan yang diberikan. Terapi obat dan efek samping juga harus ditanyakan, terutama hipersensitivitas terhadap obat. Pada riwayat psikiatri dahulu, kita harus mengetahui sifat penyakit, lama sakit, pengobatan dan di rumah sakit mana si pasien dirawat dahulu. Untuk riwayat zat psikoaktif kita harus menanyakan riwayat penggunaan alkohol, tembakau dan penyalahgunaan zat terlarang.1 Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik dilakukan secara lengkap dan menyeluruh dari kepala sampai kaki. Pemeriksaan umum yang harus dilakukan adalah kondisi umum, dan tanda-tanda vital. Pemeriksaan pertama kita lihat kondisi umum pasien saat datang, apakah kompos mentis; apatis; delirium; somnolen; sopor; atau koma. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital kita harus melihat suhu, tekanan darah, frekuensi napas dan denyut nadi. Setelah itu kita melakukan pemeriksaan sesuai keluhan pasien.2Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan menggunakan termometer demam. Suhu tubuh normal adalah 36-370C. Pada pagi hari mendekati 360C, sedanggkan sore hari mendekati 370C. Pengukuran suhu dapat dilakukan di tiga lokasi, yaitu mulut (10 menit), aksila (15 menit) dan rektum (2-5 menit). Pengukuran suhu di rektum lebih tinggi 0,5-10C, dibandingkan suhu aksila.2 Tekanan darah diukur dengan sfigmomanometer, yaitu melingkarkan manset pada lengan kanan 2 jari di atas fossa cubiti anterior, kemudian tekanan sfimomanometer dinaikan sambil meraba denyut arteri radialis sampai kira-kira 20mmHg di atas tekanan sistolik, kemudian tekanan diturunkan perlahan-lahan sambil meletakkan stetoskop pada fossa cubiti anterior di atas arteri brakialis atau arteri radialis. Dengarkan dimana bunyi itu hilang, maka disebut tekanan diastolik. Tekanan darah normal pada orang dewasa adalah 120/80 mmHg.2 Pemeriksaan denyut nadi biasanya dilakukan dengan melakukan palpasi arteri radialis. Bila perlu kita juga bisa melakukan di fossa cubiti, arteri femoralis di fosa inguinalis, atau di fossa poplitea(arteri poplitea). Pada pemeriksaan perlu diperhatikan frekuensi denyut, irama nadi, isi nadi, kualitas nadi dan dinding arteri. Frekuensi nadi normal sekitar 80 permenit(60-100). Kita tentukan apakah irama nadi teratur(reguler) atau tidak teratur(ireguler). Isi nadi dinilai apakah cukup, kecil(pulsus parvus) atau besar (pulsus magnus). Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali permenit. Pemeriksaan selanjutnya sesuai dengan gejala atau keluhan, seperti pemeriksaan abdomen, thorax dan jantung, pemeriksaan leher, refleks, pemeriksaan mata dan pemeriksaan pada kulit.2Pemeriksaan status mentalPemeriksaan status mental merupakan suatu bagian yang amat penting dalam pemeriksaan psikiatri yang haru dilatih berulang kali mengamati dengan seksama bagaimana psikiater terlatih melakukannya. Pemeriksaan status mental terdiri dari penilaian penampilan dan perilaku, bicara, mood, isi pikiran, status kognitif, kepribadian, presepsi, daya nilai dan tilikan, proses pikir, dan impuls.1Penampilan umum pasien harus diuraikan dengan memperhatikan secara khusus gambaran yang sesuai dengan gangguan psikiatri. Penampilan wajah juga bisa menjadi petunjuk diagnosa, terutama terkait gangguan organik. Selain itu kita juga dapat memperhatikan postur dan gerakan tubuh, serta sikap pasien terhadap pemeriksa. Sikap pasien terbagi atas indifferent, apatis, kooperatif, nogastivistik, dependen, curiga dan rigid. Pada pemeriksaan perilaku bisa kita lihat pasien dalam keadaan hiperaktifitas, hipoaktifitas, katatonia, berkoordinasi, kompulsi, stereotipi atau lainnya.1 Penilaian bicara pada pasien meliputi kecepatan, kuantitas, pengucapan, volume dan bentuk bicara. DSM III-R mendefinisikan mood sebagai emosi yang pervasif dan menetap, yang dalam keadaan ekstrim sangat mewarnai presepsi orang mengenai dunia. Penilaian objektif harus dibuat mengenai kualitas mood berdasarkan riwayat, penampilan, perilaku dan sikap tubuh pasien. Penilaian subjektif mengenai kualitas modd seperti yang dijelaskan pasien dapat diperoleh dengan menanyakan Bagaimana perasaan anda? atau Apakah anda bersemangat. Mood terbagi atas hipothym, euthym, hyperthym, dysthym dan ketakutan(ansietas). Selain mood kita juga harus melihat afek yang diperlihatkan oleh pasien.1Isi pikiran pasien patologis dapat kita nilai lihat dari ada atau tidaknya preokupasi, fobia atau obsesi. Pikiran yang sakit, preokupasi dan keresahan yang dikeluhkan pasien perlu dicatat. Pertanyaan yang sesuai untuk menskkrinning preokupasi meliputi Apa yang menjadi keresahan dan perhatian utama anda? dan Apakah hal itu mengganggu konsentrasi dan kegiatan anda, misalnya tidur?. Hipokondriasis merupakan preokupasi terhadap rasa takut mengalami penyakit berat. Obsesi adalah pikiran tidak masuk akal yang berulang dan dianggap tidak rasional oleh pasien sendiri, tetapi tidak bisa dihindari. Sedangkan fobia merupakan ketakutan tak rasional dan menetap tentang satu aktifitas, objek atau situasi yang menyebabkan penghindaran. Rasa takut tersebut melebihi bahaya yang sesungguhnya, tidak beralasan dan diluar kendali sadar. Selain itu kita juga harus melihat apakah ada pikiran bunuh diri dan membunuh pada pasien tersebut.1Status kognitif terdiri dari orientasi, taensi, konsentrasi memori dan pengetahuan umum serta intelegensi. Orientasi dapat dinilai melalui pengenalan terhadap waktu dan tempat. Untuk atensi dan konsentrasi dapat diperiksa dengan uji serial 7, yaitu pasien diminta untuk menghitung 100 dikurangi 7 dan dikurangi 7 lagi sampai tttidak bisa dikurangi lagi secepat-cepatnya lalu catat waktu yang digunakan. Untuk memori kita harus memastikan memori sesaat, memori jangka pendek, dan memori jangka panjang dalam keadaan yang baik. Orang normal bisa mengingat kembali 5-9 angka, rata-rata 7 angka. Pengetahuan umum dapat dinilai dengan meminta pasien menyebutkan nama presiden RI. Inteleggensi dinilai dengan intellegence quotient.1Tilikan atau insight merupakan kemampuan untuk mengerti arti dan sebab yang benar dari suatu situasi(sindrom). Tilikan dapat dinilai dengan menanyakan Apakah anda menyadari bahwa anda sakit?, Apakah anda bisa menerima bahwa anda mengidap gangguan psikiatri?, Apakah anda bisa menerima bahwa terapi psikiatri dibutuhkan?. Tilikan sendiri dinilai dengan suatu derajat.1 Presepsi merupakan pengertian, pemahaman dan penafsiran(tanggapan) tentang suatu hal tertentu, misalnya tentang diri dan kehidupan, cita-cita, ambisi, dorongan kehendak(volition). Gangguan presepsi terdiri dari halusinasi. Ilusi, depersonalisasi, derealisasi, agnosia. Selain presepsi diatas terdapat juga ide yang berlebihan misalnya waham. Waham merupakan keyakinan pribadi yang salah didasarkan pada kesimpulan yang keliru mengenai realitas eksternal dan secara teguh dipertahankan walaupun hampir setiap orang tidak beranggapan begitu, serta walaupun apa yang dianggap tidak dapat disangkal tersebut terbukti bertentangan.1 Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji darah, urin, dan pemeriksaan penunjang lain sesuai keluhan pasien. Alasan penting untuk melakukan uji darah adalah memeriksan adanya gangguan organik, memeriksan komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri, dan menemukan gangguan metabolik. Uji darah yang harus dilakukan yaitu, pemeriksaan darah lengkap, urea dan elektrolit, uji fungsi tiroid, uji fungsi hati, kadar vitamin B12 dan asam folat, serta serologi sifilis. Untuk pemeriksaan darah lini kedua dapat dilakukan pemeriksaan kadar kalsium, assay kortisol dan serologi HIV.1 Pada uji urin kita melakukan skrining obat terlarang dalam urin untuk memeriksa penyalahgunaan zat psikoaktif. Selain itu kita juga melakukan uji urin lengkap seperti pada uji darah. Untuk pemeriksaan lain kita dapat melakukan elektroensefalografi(EEG), elektrokardiografi(EKG), radiografi seperti x-ray dan ct scan.1,3Diagnosis kerjaSomatisasi atau briquets syndrome merupakan salah satu dari gangguan somatoform spesifik. Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-Tr mengharuskan awitan gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, pasien harus memiliki keluhan sedikitnya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium.3,4 Kriteria diangnostik gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :3,4A. Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.B. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapanpun selama perjalanan dari gangguan :1. Empat gejala nyeri : riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya empat tempat atau fungsi yang berbeda (kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum, dll)2. Dua gejala gastrointestinal : sedikitnya dua riwayat gejala gastrointestinal selain nyeri (mual, kembung, muntah, diare atau intoleransi makanan)3. Satu gejala seksual : sedikitnya satu riwayat gejala seksual atau reproduktif selain nyeri (masalah haid, disfungsi ereksi atau ejakulasi, indiferens seksual)4. Satu gejala pseudooneurologik : sekurangnya satu riwayat gejala atau defisit pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak terbatas nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, kehilanggan sensasi rasa sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan, gejala disosiatif seperti amnesia, hilang kesadaran bukan karena pingsan)C. Salah satu dari (1) atau (2) :1. Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada kriteria B tak dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan efek langsung dari zat (penyalahgunaan zat atau karena medikasi)2. Apabila terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya sosial atau pekerjaan yang dilibatkannya melebihi daripada yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik atau laboratorium.D. Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura) Diagnosis bandingDiagnosis banding dari gangguan somatisasi adalah gangguan psikosomatik dan gangguan somatoform lain seperti hipokondriasis.3,4 Hipokondriasis didefinisikan sebagai preokupasi seseorang mengenai rasa takut menderita atau yakin memiliki penyakit berat. Rasa takut atau keyakinan ini muncul ketika orang salah menginterpretasikan gejala atau fungsi tubuh. Hipokondriasis berasal dari kata hipokondrium yang mencerminkan keluhan abdomen yang lazim pada banyak pasien dengan gangguan ini. Awitan dari gejala dapat terjadi pada segala usia, namun yang tersering pada usia 20-30 tahun. Laki-laki dan perempuan secara setara dapat mengalami hipokondriasis. Keluhan atau keyakinan tersebut harus ada selama sedikitnya 6 bulan tanpa adanya intensitas waham. Keyakinan tersebut juga tidak boleh terbatas pada penderitaan mengenai penampilan.3,4 Perbedaan antara hipokondriasis dengan somatisasi adalah hipokondriasis menekankan rasa takut memiliki suatu penyakit dan gangguan somatisasi menekankan kekhawatiran mengenai banyak gejala. Pasien hipokondriasis biasanya mengeluh lebih sedikit gejala daripada pasien dengan gangguan somatisasi. Pasien somatisasi biasa memiliki awitan sebelum usia 30 tahun, sedangkan pada hipokondriasis tidak spesifik. Pasien somatisasi lebih banyak terjadi pada perempuan, sedangkan hipokondriasis rata-rata sama antara laki-laki dan perempuan.3,4 Gangguan psikosomatik merupakan gangguan atau penyakit yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan somatik yang dapat merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan ataupun tanpa gejala objektif dan dapat pula bersamaan dengan kelainan organik/struktural yang berkaitan erat dengan stressor atau peristiwa psikososial terntentu. Untuk mempermudah pemahaman berdasarkan ada tidaknya patologi sistem organ, gangguan psikosomatik dibagi menjadi gangguan psikosomatik fungsional dan gangguan psikosomatik struktural. Hampir semua setuju bahwa stres berat dan kronis mempunyai penyebab timbulnya penyakit-penyakit somatis. Istilah stres bisa diartikan sebagai stres fisik maupun stres psikis, tetapi secara umum dan populer stres diartika sebagai stres psikis. Menurut Hans Seyle stres merupakan suatu respon tubuh yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan atasnya. Respon tubuh tersebut dibagi menjadi tiga fase, yaitu reaksi alarm, fase pertahanan, dan fase kelelahan. Reaksi stres psikis akan timbul pada tahap dimana respon terhadap situasi stres sudah melampaui titik pertahanan tubuh.Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang. Stresor sendiri dibagi menjadi stresor fisik, stresor sosial dan stresor psikis.5 Patofisiologi dari gangguan psikosomatik terdiri dari beberapa teori yaitu gangguan keseimbangan saraf autonom vegetatif, sistem neurotransmiter, sistem endokrin, sistem imunitas, dan hiperalgesia alat visceral. Pada gangguan keseimbangan saraf autonom vegetatif konfilk emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke sistim limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf autonom vegetatif. Gejala klinisnya adalah hiper/hipotoni simpatik, hipertoni parasimpatik, amfotoni dan ataksi vegetatif. Respon neurotransmiter terhadap stres mengaktifasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus ceruleus, menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf autonom. Stres juga mengaktifasi sistem serotonergik di otak. Demikian pula, stres meningkatkan neurotransmisi dopaminergik pada jalur mesofontal.5 Pada sistem endokrin, sebagai respon terhadap stres hipotalamus mengeluarkan CRF kedalam sistem hypophysial pituitary portal. CRF mencetuskan pelepasan ACTH yang merangsang pembuatan dan pelepasan glukokortikoid di korteks adrenal. Efek glukokortikoid terhadap tubuh sangat banyak akan tetapi dapat digabung dalam waktu singkat menimbulkan peningkatan penggunaan tenaga, meningkatkan aktifitas kardio vaskular, dan menghambat fungsi seperti pertumbuhan reproduksi dan imunitas. Inhibisi sistem imun menimbulkan aksi kompensasi aksis hipotalamik pituitari adrenal untuk mengurangi efek fisiologis lain dari stres. Sebaliknya stres juga dapat menggakibatkan aktifitas sistem imun melalui beberapa jalur. CRF merangsang pelepasan norepinefrin melalui reseptor CRF di lucus cceruleus, yang kemudian mengatifkan sistem saraf simpatik sehingga meningkatkan pelepasan epinefrin dari medula adrenal. Sebagai tambahan, juga ada jalur neuron norepinefrin yang bersinaps di sel target imun. Juga melalui pelepasan faktor imun humoral.5 Menegakkan diagnosis gangguan psikosomatik tidak berbeda dengan diagnosis penyakit lain yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Kriteria diagnosis gangguan psikosomatik, yaitu : Didapatkan adanya kondisi medis umum, yang dicantumkan pada aksis III, diagnosis multi aksial. Selain itu, terdapat faktor psikologis yang secara bermakna dan tidak menyenangkan, mempengaruhi kondisi medis umum dalam hal mempengaruhi perjalanan penyakit, menghambat atau mengganggu pengobatan, menimbulkan tambahan resiko kesehatan, dan respon fisiologis akibat stres mencetuskan atau mengeksaserbasi simtom dari kondisi medis umumnya.5 Terapi pada gangguan psikosomatik adalah kesembuhan dengan resolusi gangguan, reorganisasi kepribadian, adaptasi yang lebih matang, meningkatkan kapasitas fisik dan okupasi serta proses penyembuhan, perbaikan penyakit, mengurangi secondary gain terhadap kondisi medis, serta menjadi patuh pengobatan. Terapi utama pada keadaan akut adalah terapi medis seperti anti ansietas dan anti depresan, serta farmakoterapi untuk penyakit kontaminan. Psikoterapi dilakukan hanya untuk reassurance dan suportif. Sedangkan pada keadaan kronis harus dilakukan evaluasi psikosomatik oleh psikiater bersamaan dengan terapi medis.5 EpidemiologiPrevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum diperkirakan 0,1 sampai 0,2 persen, walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa angka sebenarnya dapat lebih mendekati 0,5 persen. Gangguan ini lazim ditemukan, dengan rasio perempuan banding laki-laki lima banding satu. Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi pada perempuan di populasi umum mungkin satu atau dua persen. Gangguan ini terjadi paling sering pada pasien yang memiliki sedikit edukasi dan tingkat pendapatan rendah. Gangguan somatisasi didefinisikan dimulai sebelum usia 30 tahun dan paling sering dimulai selama masa remaja.3,4,6 EtiologiEtiologi gangguan somatisasi terdiri dari faktor psikososial, biologis dan genetik. Secara psikososial gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari kewajiban dengan mengekspresikan emosi atau menyimbolkan perasaan atau keyakinan. Aspek pembelajaran menekankan bahwa pengajaran dari orang tua dan budaya mengajarkan pada anak untuk menggunakan somatisasi. Faktor sosial, kultur dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan gejala-gejala somatisasi. Data genetik menunjukkan bahwa gangguan somatisasi dapat memiliki komponen genetik. Gangguan somatisasi cenderung menurun di dalam keluarga dan terjadi pada 10 hingga 20 persen kerabat perempuan derajat pertama pasien dengan gangguan somatisasi. Sedangkan kerabat laki-laki derajat pertama rentan terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Satu studi melaporkan bahwa angka kejadian bersama 29 persen pada kembar monozigot dan 10 persen kembar dizigot, menunjukkan adanya efek genetik. Penelitian sitokin menemukan bahwa sitokin dapat relevan dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatoform lainnya. Sitokin adalah molekul pembawa pesan yang digunakan sistem imun untuk berkomunikasi di dalam dirinya dan dengan sistem saraf, termasuk otak. Contoh dari sitokin adalah interleukin, faktor nekrosis tumor, dan interferon. Pengaturan sistem sitokin dapat mengakibatkan sejumlah gejala yang ditemukan pada gangguan somatisasi.3,4,6,7

Manifestasi klinikPasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah mual, muntah(bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek(bukan karena olah raga), amnesia, komplikasi kehamilan, dan menstruasi. Sering kali pasien beranggapan dirinya menderita sakit sepanjang hidupnya. Gejala pseudoneurologik sering dianggap gangguan neurologik namun tidak patognomonik. Misalnya gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan total, sulit menelan atau merasa ada gumpalan ditenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau sakit, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan atau hilang kesadaran bukan karena pingsan. Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol dengan cemas dan depresi. Hal tersebut merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Ancaman akan bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang. Jika terjadi bunuh diri biasanya sering terkait penyalahgunaan zat. Riwayat medis pasien sering berbelit-belit, samar, tidak pasti, tidak konsisten, dan kacau. Pasien secara klasik menggambarkan keluhannya dengan cara yang dramatik, emosional dan berlebihan dengan bahasa yang jelas dan berwarna. Mereka dapat bingung dengan urutan waktu dan tidak dapat membedakan dengan jelas gejala saat ini dengan yang lalu. Pasien perempuan dengan gangguan somatisasi dapat berpakaian dengan cara yang ekshibisionistik. Pasien-pasien gangguan somatisasi biasanya tampak tidak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, dan manipulatif.3,4 Terapi non farmakologiPenanganan pada pasien gangguan somatisasi sebaiknya dilakukan dengan satu orang dokter, sebab apabila lebih dari satu klinisi pasien akan memiliki kesempatan lebih untuk mengekspresikan keluhan somatiknya. Interval petemuan adalah sebulan sekali. Kunjungan ini harus relatif singkat walaupun pemeriksaan fisik parsial harus dilakukan untuk memberikan respon terhadap keluhan somatik baru. Prosedur laboratorium dan diagnostik tambahan umumnya harus dihindari. Ketika diagnostik gangguan somatisasi sudah ditegakkan, dokter yang merawat harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosi, bukan sebagai keluhan medis. Strategi jangka panjang yang beralasan untuk dokter di tempat pelayanan primer yang merawat pasien dengan gangguan somatisasi adalah meningkatkan kesadaran pasien akan kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala sampai pasienmampu menemui klinisi kesehatan jiwa.3,4,7 Psikoterapi, baik individu maupun kelompok, menurunkan pengeluaran untuk perawatan kesehatan pribadi pasien hingga 50 persen, sebagian besar dengan menurunkan angka perawatan rumah sakit. Psikoterapi membantu pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengekspresikan emosi yang mendasari dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya.3,4,7 Terapi farmakologiMemberikan obat psikotropik ketika gangguan somatisasi timbul bersamaan dengan gangguan mood atau gangguan ansietas selalu memiliki risiko, tetapi juga diindikasikan terapi psikofarmakologik dan terapi psikoterapeutik pada gangguan yang timbul bersamaan. Obat harus diawasi karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obatnya dengan tidak teratur dan tidak dapat dipercaya. Pada pasien tanpa gangguan jiwa lain, sedikit data yang tersedia menunjukkan bahwa terapi farmakologis efektif bagi mereka.4PrognosisPerjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis biasanya ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal dimulai saat remaja. Masalah menstruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita. Keluhan seksual sering kali berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode keluhan yang ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang berat dan pengembangan keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan. Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis. Adanya peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi gejala-gejala somatik.3,4KesimpulanSomatisasi atau briquets syndrome merupakan salah satu dari gangguan somatoform spesifik. Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Somatisasi dapat didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium umum. Diagnosis banding gangguan somatisasi adalah hipokondriasis, psikosomatik dan gangguan somatoform lainnya. Somatisasi sering terjadi pada wanita dan memiliki onset sebelum usia 30 tahun. Penatalaksanaan dilakukan dengan psikoterapi dan farmakoterapi selektif. Diagnosis kerja wanita berusia 51 tahun tersebut adalah gangguan somatisasi.

Daftar Pustaka1. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku ajar psikiatri. Ed. 2. Jakarta. EGC, 2011. H. 65-89, 227-9.2. Setiyohadi B, Subekti I. Buku ajar ilmu penyakit dalam : pemeriksaan fisis umum. Ed.5. Vol.1. Jakarta. Interna Publishing, 2009. H. 29-33.3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and sadocks concise textbook of clinical psychiatry. Ed. 2. Jakarta. EGC, 2010. H. 268-80.4. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta. Badan Penerbit FKUI, 2010. H. 265-93. 5. Mudjaddid E, Shatri H. Buku ajar ilmu penyakit dalam : gangguan psikosomatik gambaran umum dan patofisiologinya. Ed. 5. Vol. 3. Jakarta. Interna Publishing, 2009. H. 2093-7.6. Davies T, Craig TKJ. Abc kesehatan mental. Jakarta. EGC, 2009. H. 35-7. 7. Tomb DA. Buku saku psikiatri, Ed 6. Jakarta. EGC, 2004. H.52-3.