tinjauan pustaka etiopatofisiologi nyeri sinus isi kamal

27
ETIOPATOFISIOLOGI NYERI SINUS Oleh: Kamal Anshari Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo PENDAHULUAN Sinus paranasal merupakan rongga berisi udara yang terdapat di sekitar hidung yang membantu dalam melembabkan udara dan sekresi mukus. Inflamasi pada sinus paranasal dapat menurunkan kemampuan drainase mukus, meningkatkan tekanan dalam rongga sinus, dan menyebabkan nyeri sinus atau nyeri kepala sinus. 1 Nyeri kepala merupakan suatu sensasi nyeri atau rasa tidak nyaman di kepala dan merupakan sensasi kepala yang abnormal. Hal ini bukan suatu penyakit, tetapi lebih merupakan suatu gejala penyakit atau gangguan yang mendasari. Nyeri kepala dapat berasal dari intrakranial atau ekstrakranial. Nyeri yang berasal dari intrakranial dihasilkan bila terdapat traksi atau dilatasi pembuluh darah di otak atau struktur dural di sekitarnya serta tekanan langsung pada saraf kranial atau servikal yang mengandung serabut nyeri aferen. 2 Nyeri wajah sering dikaitkan dengan adanya kelainan pada hidung atau sinus paranasal. Selain itu, gangguan saraf, gigi, rematoid dan kelainan muskuloskeletal sebagai penyebab lain. 3,4 1

Upload: kamal-anshari

Post on 24-Nov-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

ETIOPATOFISIOLOGI NYERI SINUSOleh:Kamal Anshari

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokBedah Kepala dan LeherFakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo

PENDAHULUANSinus paranasal merupakan rongga berisi udara yang terdapat di sekitar hidung yang membantu dalam melembabkan udara dan sekresi mukus. Inflamasi pada sinus paranasal dapat menurunkan kemampuan drainase mukus, meningkatkan tekanan dalam rongga sinus, dan menyebabkan nyeri sinus atau nyeri kepala sinus.1 Nyeri kepala merupakan suatu sensasi nyeri atau rasa tidak nyaman di kepala dan merupakan sensasi kepala yang abnormal. Hal ini bukan suatu penyakit, tetapi lebih merupakan suatu gejala penyakit atau gangguan yang mendasari. Nyeri kepala dapat berasal dari intrakranial atau ekstrakranial. Nyeri yang berasal dari intrakranial dihasilkan bila terdapat traksi atau dilatasi pembuluh darah di otak atau struktur dural di sekitarnya serta tekanan langsung pada saraf kranial atau servikal yang mengandung serabut nyeri aferen.2 Nyeri wajah sering dikaitkan dengan adanya kelainan pada hidung atau sinus paranasal. Selain itu, gangguan saraf, gigi, rematoid dan kelainan muskuloskeletal sebagai penyebab lain.3,4 Berdasarkan kriteria International Headache Society (IHS), nyeri kepala biasanya menyertai sinusitis kronis atau eksaserbasi akut. Kondisi lain seperti deviasi septum nasi, hipertrofi konka, atrofi membran sinusoidal, kadang menyebabkan nyeri kepala, yang tidak cukup valid sebagai penyebab nyeri kepala.5 Nyeri sinus atau nyeri kepala sinus adalah suatu kondisi yang umum ditemukan di praktik ahli THT-KL. Pasien biasanya mengeluh nyeri dan rasa tertekan di wajah sekitar sinus paranasal dan sekitar mata. Kebanyakan dari pasien mengalami salah diagnosis dan mendapatkan terapi yang tidak tepat, bahkan yang bersifat pembedahan.5 Gejala ini merupakan salah satu alasan dilakukan operasi pada sekitar 70% pasien yang menjalani Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS).3 Diagnosis terkadang berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan darah dan radiologis jarang dilakukan. Terapi dilakukan langsung untuk mengurangi inflamasi pada rongga sinus, membantu drainase, dan menurunkan tekanan pada sinus sebagai penyebab nyeri sinus.1 Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk lebih memahami etiologi dan patofisiologi nyeri sinus.1. Sinus ParanasalSinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung, yakni sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri disebut antrum Highmore, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.6,7Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung.6 1.1Embriologi Sinus Paranasal Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah fetus berusia 2 bulan, resesus ini yang nanti akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.6,7

Gambar 1. Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal.7 1.2Sinus Maksila Sinus maksila atau antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke-70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa.8 Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih ke arah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7x4x4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertikal, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimal tercapai antara usia 15-18 tahun.6,7 Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasar menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posterior adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medial ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksila konka inferior, dan sebagian kecil os lakrimalis. Dinding superior ialah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran, jadi ostium tulang berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus.6,7 Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar satu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supurasi yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis, 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita, melalui defek kelainan bawaan, foramen atau sutura yang terbuka, atau melalui erosi tulang pada lamina papirasea dan pembuluh darah menuju orbita, 3) ostium sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior, pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. 6,7 1.3Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.6,7 Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan sering kali sangat berbeda bentuk dan ukuran dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal yakni tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.7 1.4Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada fetus berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.7 Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.7,9 Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoid berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.7 1.5Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terbentuk pada fetus berumur 3 bulan sebagai pasangan invaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letaknya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.6 Letak sinus sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferior adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.7

Gambar 2. Sinus Paranasal.1 1.6Fisiologi Sinus Paranasal Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dipatahkan oleh Proetz, bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Berdasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.7,8Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah : 1.6.1Pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.7 Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung.7 1.6.2Penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.7 1.6.3Keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.7 1.6.4Resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.7 1.6.5Peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.7 1.6.6Produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.7 2. Nyeri Sinus2.1 Patofisiologi NyeriTeori spesifisitas menjelaskan bahwa rasa nyeri sebanding dengan cedera perifer dan keadaan patologis yang terjadi. Kelainan pada hidung dan sinus secara langsung bertanggungjawab terhadap adanya respon nyeri yang kronis. Pada tahun 1983, terjadi perubahan paradigma bahwa banyak kejadian hipersensitifitas nyeri yang disertai cedera jaringan perifer atau inflamasi yang diakibatkan oleh meningkatnya sinyal sensorik dalam sistem saraf pusat (SSP), konsep ini dikenal dengan sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral memperkenalkan konsep bahwa SSP memodifikasi derajat, durasi, dan luasnya rasa nyeri dengan cara memcerminkan status fungsional dari SSP, terhadap sisi dan stimulus berbahaya dari perifer. Sensitisitas sentral ditandai dengan peningkatan kepekaan terhadap sentuhan ringan, nyeri otot, nyeri alih serta kemerahan lokal dan edema. Bukti penelitian klinis menunjukkan bahwa migrain, tension headache, dan nyeri sendi temporomandibular adalah manifestasi dari sensitisasi sentral.4 Kebanyakan penelitian terhadap nyeri dan sensitisasi sentral telah difokuskan pada pemicuan plastisitas sinaptik SSP oleh input nosiseptif. Bukti yang signifikan dari glia, gap junctions, dan eksitabilitas membran juga telah diakui (Gambar 3). Secara khusus, glia, reseptor dan faktor-faktor sinyal sekresi telah terbukti memiliki pengaruh besar terhadap fungsi saraf. Glia yang teraktivasi akan memproduksi dan melepaskan berbagai zat perangsang saraf. Toll-like receptors (TLRs), khususnya TLR2 dan TLR4, yang merespon sinyal berbahaya endoden seperti liposakarida yang berkaitan dengan infeksi bakteri, telah terlibat dalam aktivasi sel glia.4

Gambar 3. Konsep tetrapartite glia memicu kekuatan sinaps berdasarkan hubungan anatomis antara astrosit, glia dan neuronSensasi nyeri pada kepala disalurkan oleh jalur sensoris melalui jalur trigeminal. Neuron-neuron pada kompleks trigeminoservikal merupakan neuron relay utama untuk input nosiseptif aferen dari struktur kepala yang sensitif terhadap nyeri, yaitu selaput otak, pembuluh darah dural, struktur servikal, sendi temporomandibular, dan mukosa gingival, nasal, serta sinus. Jalur aferen dari struktur-struktur tersebut yang mengakibatkan aktivasi neuron nosiseptif di dalam kompleks trigeminoservikal menjalarkan nyeri pada daerah-daerah distribusi somatik dari N. trigeminus dan nervus servikalis bagian atas. Meskipun terjadinya serangan migrain masih diperdebatkan, mekanisme nyeri serupa dengan akibat sensitisasi jalur trigeminal aferen perifer dan sensitisasi neuron trigeminovaskular sentral. Aktivasi jalur trigeminal perifer mengakibatkan pelepasan peptida yang berasal dari gen kalsitonin, suatu marker dari aktivasi trigeminal, selama serangan migrain.10 Serangan migrain sering disertai gejala yang menggambarkan aktivasi jalur parasimpatis kranial, yaitu injeksi konjungtiva, lakrimasi, kongesti nasal, dan rinorea. Peningkatan kadar vasoaktif polipeptida intestinalis (suatu marker aktivasi parasimpatis) ditemukan pada darah vena jugularis pasien dengan migrain ketika terjadi serangan. Bukti terbaru juga menunjukkan bahwa meningkatnya tonus parasimpatis memiliki kontribusi yang signifikan pada aktivasi nosiseptor trigeminal perivaskular. Aktivasi nosiseptor tersebut memiliki kontribusi yang signifikan terhadap intensitas nyeri dan inisiasi sensitisasi sentral, dan proses mempertahankan sensitisasi sentral tersebut sebagian besar tidak berhubungan dengan impuls-impuls yang akan terjadi dari nosiseptor yang teraktivasi.10 Inervasi parasimpatis kranial dari struktur intrakranial terjadi dari neuron-neuron yang berlokasi di atas nukleus salivatorius. Serabut eferen dari nukleus ini keluar ke batang otak melalui nervus kranialis VII, melintasi ganglion genikulatum, dan bersinaps di miniganglia sfenopalatina, otikum, dan karotis. Jalur vasomotor parasimpatis eferen kemudian berjalan melalui nervus etmoidalis untuk menginervasi pembuluh darah otak. Sekretomotor eferen dari jalur ini menginervasi glandula lakrimalis dan kelenjar di mukosa hidung, sehingga menjelaskan dasar anatomis dari gejala otonom kranial (lakrimasi, kongesti nasal, rinorea) yang tampak pada pasien migrain dan gangguan nyeri kepala primer yang lain seperti cluster headache.9 Gambaran anatomis dan fisiologis ini menjelaskan kenapa serangan migrain berhubungan dengan rasa nyeri yang dijalarkan ke daerah-daerah sinus paranasal di wajah dan bisa disertai gejala otonom kranial. Hal ini tidak diragukan lagi menjelaskan mengapa migrain sering rancu dengan nyeri kepala rinogenik atau yang berasal dari sinus. Hal ini juga menjelaskan mengapa inflamasi dan aktivasi trigeminal atau aferen parasimpatis aferen yang menginervasi nasal atau mukosa sinus bisa menyebabkan nyeri kepala atau menjadi pemicu serangan migrain pada individu tertentu.10Mukosa hidung dan sinus paranasal serta rongga-rongganya, ternyata mukosa yang melapisi jalan masuk ke sinus paranasal merupakan yang paling sensitif nyeri, lebih dari pada lapisan mukosa sinus sendiri. Karena inflamasi dan pembengkakan konka, osteum sinus, duktus nasofrontalis, dan rongga hidung superior menyebabkan nyeri sinus. Tekanan dalam rongga sinus sendiri, sejak lama diduga sebagai penyebab nyeri, ternyata secara klinis tidak menyebabkan gangguan. Tekanan negatif dalam sinus, biasanya sinus frontal, dapat menyebabkan gangguan.11 2.2 KlasifikasiAda 2 sistem klasifikasi dan kriteria diagnosis nyeri sinus yang utama, yakni diagnosis kerja untuk akut, subakut, dan kronik yang direkomendasikan oleh AAO-HNS dan kriteria IHS yang secara resmi diumumkan pada tahun 1988 yang direvisi baru-baru ini. Kedua kriteria tersebut mewakili pendapat konsensus para ahli dalam bidang masing-masing, bukan berdasarkan evaluasi dengan bukti ilmiah. Pembuat kriteria AAO-HNS mengusulkan tinjauan periodik untuk menggabungkan umpan balik dan informasi terbaru untuk pengembangan definisi yang lebih tepat. Mereka juga menyadari bahwa kriteria tersebut harus sesuai dengan realita klinis walaupun mereka mempertahankan bahwa diagnosis definitif rinosinusitis harus berdasarkan nasal endoskopi dan Computed Tomography Scan (CT scan) sinus paranasalis. Kelompok ini menyatakan bahwa sebagian besar pasien simtomatis akan diterapi oleh dokter umum yang kurang memiliki peralatan maupun pelatihan yang diperlukan untuk melaksanakan uji ini dan mereka menerima bahwa diagnosis rutin rinosinusitis dapat dilakukan secara umum dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk rinoskopi anterior, pemeriksaan orofaringeal dan leher).10 Klasifikasi IHS meliputi istilah nyeri sinus akut, namun tidak mengakui sinusitis kronik sebagai penyebab nyeri kepala atau nyeri fasial. Diagnosis nyeri sinus akut dibuat berdasarkan 5 kriteria dasar berikut, yakni 1) sekret purulen dari nasal, 2) temuan patologis pada pemeriksaan rontgen, CT scan, MRI, atau transiluminasi, 3) onset nyeri kepala dan sinusitis yang bersamaan, 4) lokasi nyeri kepala (yang berhubungan dengan struktur sinus paranasal tertentu), 5) menghilangnya nyeri kepala setelah mendapatkan terapi sinusitis akut. Pemeriksaan rontgen dan transiluminasi saat ini sudah kuno dengan adanya CT scan dan nasal endoskopi. Bukti pentingnya lokasi nyeri kepala yang berhubungan dengan letak sinus paranasal kini sudah meragukan dan alasan kriteria kelima ini telah dikritisi. Klasifikasi IHS yang direvisi menghubungkan nyeri kepala dengan rinosinusitis berdasarkan klasifikasi nyeri kepala terkait rinosinusitis dengan kriteria diagnostik (Tabel 1). Ketergantungan dengan lokasi sinus seperti yang disebutkan pada klasifikasi IHS terdahulu kini telah dijatuhkan, dan pemeriksaan yang dibutuhkan untuk bukti klinis telah diperbaharui. IHS masih menganggap bahwa sinusitis kronik bukan penyebab nyeri kepala atau nyeri fasial kecuali jika terjadi eksaserbasi akut dan kondisi lain yang sering dianggap menginduksi terjadinya nyeri kepala seperti deviasi septum, hipertrofi konka, atrofi membran sinus, dan kontak mukosal tidak cukup valid sebagai penyebab nyeri kepala. Bukti yang menyatakan kontak mukosal sebagai penyebab nyeri kepala masih terbatas, sehingga untuk memasukkannya dalam kriteria IHS masih diperlukan penelitian lebih lanjut.10 Tabel 1. Kriteria diagnostik nyeri kepala terkait rinosinusitis oleh IHSKategoriKriteria

A

B

C

D Nyeri kepala frontal, disertai nyeri pada regio fasial, telinga, atau gigi dan memenuhi kriteria C dan D. Klinis, nasal endoskopi, CT scan, dan atau MRI dan atau pemeriksaan laboratorium menunjukkan akut atau akut pada kronik rinosinusitis* Nyeri kepala dan nyeri fasial yang terjadi secara bersamaan dengan onset rinosinusitis eksaserbasi akut. Nyeri kepala dan atau nyeri fasial yang sembuh dalam 7 hari setelah remisi atau keberhasilan pengobatan akut/akut on kronik rinosinusitis.

* Bukti klinis termasuk nanah dalam rongga hidung,sumbatan hidung, hiposmia, anosmia, dan/atau demam

Dengan menggunakan sistem klasifikasi AAO-HNS, ahli otolaringologi meneliti nyeri kepala sebagai salah satu dari beberapa gejala dan tanda untuk mendiagnosis kondisi patofisiologis, ahli neurologi atau ahli bidang nyeri kepala mencari patofisiologinya untuk menjelaskan terjadinya gejala tersebut. Meskipun sistem klasifikasi AAO-HNS dan IHS memiliki keterbatasan, pertimbangan kriteria diagnosis mereka telah mengungkapkan tanda dan gejala penting yang akan membantu dalam membedakan nyeri kepala rinogenik dan migrain. Karakteristik nyeri kepala atau nyeri fasial yang dialami pasien meliputi lokasi, tingkat keparahan, frekuensi, dan durasi nyeri, ada tidaknya mual, muntah, atau fotofobia, ada tidaknya gejala nasal (sekret purulen), dan hubungan temporal antara nyeri kepala dan gejala nasal adalah faktor penting dalam diagnosis dan tata laksana pasien. Nasal endoskopi dan CT scan diperlukan pada pasien tertentu untuk melihat adanya rinosinusitis atau menemukan kelainan anatomi. Kecurigaan yang lebih tinggi perlu diterapkan pada pasien dengan rinitis alergi, untuk itu dokter perlu menyarankan pasien untuk melakukan CT scan karena pasien dengan migrain bisa sering mengalami rinosinusitis atau sebaliknya, sehingga memberi gambaran klinis yang membingungkan.10 2.3 EtiologiNyeri sinus paranasal sering menyebabkan nyeri wajah biasanya terletak pada sinus yang terkena, kecuali dalam kasus infeksi sfenoid dengan nyeri bersifat sentral atau lebih difus. Sinus paranasal dilapisi mukosa siliaris yang rentan terhadap perubahan metabolik, peradangan, neoplastik, dan traumatik.2 Ketika inflamasi sinus (sinusitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti flu yang menyebabkan pembengkakan pada hidung dan mengurangi kemampuan sinus untuk melakukan drainase, reaksi alergi seperti demam juga dapat memulai proses inflamasi. Seperti peradangan di tempat lain di dalam tubuh, terjadi pembengkakan dan peningkatan produksi cairan radang, mengakibatkan gabungan rasa nyeri dan tertekan pada nyeri sinus.1 2.3.1SinusitisSinusitis ditandai dengan nyeri kepala, obstruksi nasal, rinorea, demam dan malaise (Tabel 2). Pada anak, nyeri kepala merupakan gambaran klinis yang jarang terjadi. Pada anak dan orang dewasa, sinus yang paling sering terkena adalah sinus maksila. Gambaran klinis penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, atau kronis.2 2.3.2Barotrauma Sinus FrontalBarotrauma sinus frontal paling sering muncul disertai nyeri setelah penerbangan, menyelam, atau menggunakan elevator gedung bertingkat berkecepatan tinggi. Sinus-sinus lain lebih jarang terkena barotrauma. Nyeri barotrauma sering menyebar ke sinus maksila. Pengobatan ditujukan untuk pemulihan obstruksi dan penanganan setiap infeksi yang tumpang-tindih (superimposed).2 2.3.3MukokelMukokel sinus paranasal merupakan istilah yang jarang digunakan yang terkadang menyebabkan nyeri maksilofasial. Massa ini bersifat jinak, berkapsul, dan terisi mukus yang menyebabkan nyeri melalui perubahan letak struktur yang berdekatan. Nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering terjadi. Infeksi mukokel (piokel) sering menimbulkan distribusi nyeri yang sama seperti yang terjadi pada sinusitis akut.2 2.3.4Neoplasma Sinus ParanasalNeoplasma sinus paranasal tidak selalu menyebabkan nyeri. Neoplasma sinus frontal, etmoid, dan sfenoid jarang terjadi, dan gejalanya cenderung menyerupai gejala infeksi kronik. Tumor maligna yang paling sering terjadi adalah karsinoma sel skuamosa antrum maksila. Lesi ini memiliki kecenderungan untuk menginvasi dan merusak jaringan sekitarnya. Hiperestesia pada saraf infraorbital lebih sering terjadi pada pada karsinoma antrum maksila. Nyeri biasanya disebabkan oleh kompresi langsung di saraf atau infeksi di dalam sinus. Gejala neural terjadi pada distribusi saraf yang terkena (gejala infraorbital disertai keterlibatan dasar orbita dan nasal atau gejala retrobulbar disertai keterlibatan dinding lateral nasal atau invasi dinding posterior).2 Tabel 2. Karakteristik nyeri sinus paranasalSinusLokasi nyeriPenyebabTanda dan gejala spesifikKomplikasi

MaksilaPada antrum, akar molar bagian atasImpaksi gigi, infeksi, neuralgiaNyeri atau gigi berdenyut, sekret purulen di bawah konka mediaOsteomielitis

EtmoidPeriorbita (anterior)Verteks, belakang mata (posterior)Bagian pansinusitisHanya etmoid pada anak dengan fibrosis kistikNyeri meningkat saat menuruni tangga, melompat atau membungkukMengenai mata dan kehilangan penglihatan

FrontalDahi atau di atas mataObstruksi duktus nasofrontralisTidak ada pus di dalam hidungOsteomielitis, selulitis atau abses orbita, meningitis atau abses otak

SfenoidNyeri dijalarkan ke area frontal, temporal, atau oksipital, nyeri retroorbita atau verteksPeradangan atau proses ekspansifNyeri kepala difus disertai rinorea posteriorOftalmoplegia, neuralgia trigeminalis, dan komplikasi intrakranial

2.4 Gejala KlinisPada umumnya nyeri yang timbul dari infeksi akut sinus frontal atau maksila berlokasi tepat pada struktur-struktur tersebut. Nyeri yang berhubungan dengan penyakit akut sinus etmoid dan sfenoid dirasakan lebih ke posterior dan di antara kedua mata serta cenderung untuk disebarkan ke verteks kepala. Nyeri sinus berupa nyeri yang agak hebat, letak dalam, menetap, dan berdenyut, namun jarang sekali disertai nausea. Umumnya dapat dihilangkan dengan aspirin atau kodein dan diperburuk dengan aktifitas yang menyebabkan pembengkakan mukosa hidung, misalnya minum alkohol, membungkukkan kepala ke depan, keadaan haid.11 Nyeri merupakan gejala utama, biasanya diakibatkan oleh tekanan dan pernurunan drainase dari rongga sinus. Nyeri sinus kadang digambarkan dengan peningkatan sensasi tertekan akibat sinus yang buntu. Bagian wajah di sekitar sinus akan nyeri jika disentuh. Nyeri dapat meningkat dengan perubahan posisi kepala, atau ketika pertama kali saat bangun tidur, menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap rongga sinus.1 Pada infeksi, gejala dapat disertai demam, meriang, malaise, atau mialgia, sekret kuning kehijauan juga dapat terjadi. Post-nasal drainage yang jatuh ke belakang ke arah tenggorok akan menyebabkan batuk, yang membuat pasien kadang mengeluhkan dahak berwarna kuning. Pembesaran kelenjar getah bening bisa ditemui di sekitar leher, yang sama terjadi menyertai faringitis akut atau otitis media.1 Pada inflamasi tanpa infeksi, drainase biasanya lancar. Khusus peradangan di sinus maksila, nyeri dapat dirasakan di gigi atas karena rongga sinus terletak di dalam tulang tempat menempelnya dasar gigi-gigi.1Hanya 20% dari pasien dengan nyeri sinus yang mengalami mual, dan tak pernah dilaporkan adanya gangguan penglihatan. Kedua gejala ini biasanya terdapat pada nyeri kepala primer dan terindikasi adanya proses sentral.3 RINGKASAN Nyeri sinus berupa nyeri dan rasa tertekan di wajah sekitar sinus paranasal dan sekitar mata. Mukosa yang melapisi jalan masuk ke sinus paranasal merupakan yang paling sensitif nyeri, lebih dari pada lapisan mukosa sinus sendiri. Inflamasi dan pembengkakan konka, osteum sinus, duktus nasofrontalis, dan rongga hidung superior menyebabkan nyeri sinus.Kriteria dasar dari nyeri sinus meliputi 1) sekret purulen dari nasal, 2) temuan patologis pada pemeriksaan rontgen, CT scan, MRI, atau transiluminasi, 3) onset nyeri kepala dan sinusitis yang bersamaan, 4) lokasi nyeri kepala, dan 5) menghilangnya nyeri kepala setelah mendapatkan terapi sinusitis akut.Penyebab terjadinya nyeri sinus antara lain sinusitis, barotrauma sinus frontalis, mukokel, dan neuoplasma sinus paranasal. Terapi dilakukan langsung untuk mengurangi inflamasi pada rongga sinus, membantu drainase, dan menurunkan tekanan pada sinus sebagai penyebab nyeri sinus.

DAFTAR PUSTAKA1. Wedro B. Sinus headache. MedicineNet, 2012. Available from: http://www.medicinenet.com/sinus_headache/article.htm. Accesed December 26, 20132. Bhaya MH, Goldsmith AJ. Nyeri kepala dan wajah. Dalam : Lucente FE, Har-El G, ed. Ilmu tht esensial. Edisi 5. (Alih bahasa oleh Hartanto H, Matahari, Diani A, Kosasih AA, Mahanani DA). Jakarta : EGC; 2011. hal. 221-393. Tarabichi M. Characteristics of sinus-related pain. Otolaryngology-Head and Neck Surgery 2000;122:842-7 4. Bartley J. Sinus pain. In : Onerci TM, ed. Nasal physiology and pathophysiology of nasal disorders. London : Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2013. p. 237-455. Kaymakci M, Cikriklar HI, Pay G. The aetiology underlying sinus headache. Journal of International Medical Research, 2013. Available from: http://imr.sagepub.com/content/41/1/218.full.pdf+html. Accesed December 25, 20136. Ballenger JJ. Aplikasi klinis anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Dalam : Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Jilid 1. (Alih bahasa oleh Hadiwirkarta A, Roezin A, Hermani B, Soetjipto D, Fachruddin D, Mangunkusumo E, et al.). Jakarta : Binarupa Aksara; 2009. hal. 1-277. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2008. hal. 118-1228. Stammberger H, Lund VJ. Anatomy of the nose and paranasal sinuses, In : Gleeson M, Browning GG, Burton MJ, Clarke R, Hibbert J, Jones NS, et al., eds. Scott-Browns otolaryngology, head and neck surgery. 7th ed. Vol. 2. London: Hodder Arnold; 2008. p. 1315-439. Leung RM, Walsh WE, Kern RC. Sinonasal anatomy and physiology. In : Johnson JT, Rosen CA. eds. Bailey's head and neck surgery - otolaryngology. 5th ed. Vol. One. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 359-7010. Levine HL, Setzen M, Cady RK, Dodick DW, Schreiber CP, Eross EJ, et al. An otolaryngology, neurology, allergy, and primary care consensus on diagnosis and treatment of sinus headache. Otolaryngology-Head and Neck Surgery 2006;134:516-23 11. Ballenger JJ. Nyeri kepala dan neuralgia muka. Dalam : Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Jilid 1. (Alih bahasa oleh Hadiwirkarta A, Roezin A, Hermani B, Soetjipto D, Fachruddin D, Mangunkusumo E, et al.). Jakarta : Binarupa Aksara; 2009. hal. 182-931