tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · debit aliran, muatan sedimen termasuk unsur hara di...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan DAS
Daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah
yang dibatasi oleh pemisah alam (punggung bukit) yang menerima dan
mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui
sungai utama dan keluar pada satu titik outlet (Kartodihardjo et al. 2004).
Pengertian fundamental DAS meliputi satu unit sistem alamiah yang terbentuk
melalui proses input dan output yang di dalamnya terdapat beberapa subsistem
(biofisik, sosial, ekonomi, kelembagaan) untuk tujuan fungsi perlindungan dan
fungsi produksi (Pasaribu 1998).
Definisi dan pengertian fundamental DAS menunjukkan bahwa DAS terdiri
dari wilayah yang lebih tinggi (hulu) dan wilayah yang lebih rendah (hilir). Hulu
DAS merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan
terhadap keseluruhan DAS, terutama fungsi tata air dan mempunyai keterkaitan
biogeofisik dengan bagian hilir (Asdak 2002). Definisi DAS juga menunjukkan
bahwa input dari suatu DAS adalah air hujan dan komponen outputnya terdiri dari
debit aliran, muatan sedimen termasuk unsur hara di dalamnya, polusi, produksi
dan kesejahteraan; sedangkan komponen utama DAS seperti vegetasi, tanah
dan air/sungai berperan sebagai processor. Setiap ada input pada DAS, maka
proses yang telah dan sedang berlangsung dapat dievaluasi melalui output dari
sistem DAS tersebut (Kartodihardjo et al. 2004).
Pengelolaan DAS merupakan upaya memelihara dan meningkatkan fungsi
hidrologis DAS untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia.
Fungsi hidrologis DAS adalah fungsi atau proses yang dilakukan komponen DAS
(tanah, topografi, vegetasi, penggunaan lahan, manusia) terhadap curah hujan
sebagai input dari DAS. Fungsi atau proses tersebut meliputi pengurangan air
melalui evapotranspirasi dan intersepsi, simpanan depresi dan infiltrasi. Bila
fungsi-fungsi tersebut rusak, maka air akan keluar melalui permukaan terutama
bila infiltrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya output DAS berupa
debit aliran sungai, produktivitas sumberdaya dan kehidupan manusia di dalam
DAS tersebut akan terganggu (Sinukaban 2005).
Nugroho dan Cahyono (2004) mengemukakan bahwa pengelolaan lahan
untuk usaha pertanian merupakan salah satu kegiatan pengelolaan DAS.
Pertanian merupakan suatu sistem yang menggunakan input produksi (lahan,
tenaga kerja, modal, manajemen) melalui suatu proses alam dan menghasilkan
11
produk pertanian sebagai output. Hal ini identik dengan pengelolaan DAS yang
juga dapat dikategorikan sebagai suatu sistem produksi, menggunakan
pengelolaan input sumberdaya alam (SDA) (tanah, air) untuk menghasilkan
output berupa barang dan jasa dengan konsekuensi adanya efek terhadap
sistem alam baik di wilayah tapak (on-site) maupun di wilayah sekitarnya (off-
site). Produksi pertanian, hasil hutan, peternakan dan air merupakan output
positif dari pengelolaan DAS; sedangkan erosi, sedimentasi, kehilangan unsur
hara, pencemaran, pendangkalan dan penurunan kualitas air sungai merupakan
output negatif.
Berdasarkan pengertian pengelolaan DAS, maka tujuan pengelolaan DAS
adalah keberlanjutan pemanfaatan semua sumberdaya di dalam DAS yang
diukur dari pendapatan, produksi, teknologi, erosi dan sedimentasi serta water
yield. Oleh karena itu terjadinya penurunan atau rusaknya fungsi hidrologis DAS
tercermin dari : a) makin meningkatnya luas lahan terdegradasi (lahan kiritis)
akibat suatu sistem pengelolaan; dan b) perubahan output DAS terutama erosi,
fluktuasi debit air, hasil sedimen dan material terlarut lainnya, serta makin
rendahnya produktivitas lahan (Grip et al. 2005).
Dalam rangka memperbaiki dan memelihara keberlanjutan fungsi hidrologis
DAS sangat diperlukan pemilihan teknologi dan strategi pengelolaan yang tepat
tergantung karakteristik DAS. Tidak ada resep umum yang dapat diberikan dalam
pengelolaan DAS termasuk untuk memecahkan permasalahan yang ada, namun
diperlukan pengelolaan dan teknologi spesifik lokasi yang mempertimbangkan
harus tercapainya sasaran konservasi lahan dan meningkatnya kesejahteraan
masyarakat di dalamnya (Agus dan Widianto 2004). Pengelolaan DAS yang
tepat sesuai karakteristik DAS diharapkan dapat memberikan kerangka kerja ke
arah tercapainya pembangunan yang berkelanjutan (Asdak 2002), karena
pengelolaan DAS tidak lain adalah pengelolaan SDA (hutan, tanah, air) berskala
DAS berdasarkan integrasi keterlibatan masyarakat, pengetahuan teknis dan
struktur organisasi beserta arah kebijakannya (Nugroho dan Cahyono 2004).
Aliran permukaan
Aliran permukan merupakan bagian dari hujan yang tidak diserap tanah dan
tidak tergenang di permukaan tanah, tetapi bergerak ke tempat lain yang lebih
rendah dan akhirnya terkumpul di dalam parit-parit atau saluran-saluran (Hillel
1981). Dengan demikian aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas
permukaan tanah dan merupakan bentuk aliran yang paling penting sebagai
12
penyebab erosi (Arsyad 2009), karena aliran permukaan mengangkut dan
mengikis tanah permukaan dan bagian-bagiannya dari tempat yang tinggi
ke tempat yang lebih rendah. Aliran permukaan hanya akan terjadi jika laju
presipitasi atau hujan melebihi laju air yang masuk ke dalam tanah dan mulai
terjadi bila laju infiltrasi, evaporasi dan intersepsi serta depresi pada permukaan
tanah telah terpenuhi (Schwab et al. 1981).
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya aliran permukaan dapat
dikelompokkan atas : 1) faktor presipitasi yaitu lamanya hujan, distribusi dan
intensitas hujan yang mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan; dan
2) faktor DAS yaitu ukuran, bentuk, topografi, geologi dan kondisi permukaan
(Schwab et al. 1981). Jumlah dan kecepatan aliran permukaan akan meningkat
dengan semakin curamnya lereng, karena aliran permukaan dari bagian atas
akan menambah air ke lereng bagian bawah dan menyebabkan bertambahnya
kedalaman aliran (Troeh et al. 2004).
Hujan yang singkat mungkin tidak akan menimbulkan aliran permukaan,
sedangkan hujan dengan intensitas yang sama tetapi lebih lama akan
menimbulkan aliran permukaan. Dengan demikian total aliran permukaan untuk
suatu kejadian hujan berhubungan dengan lamanya hujan tersebut dengan
intensitas tertentu. Intensitas hujan mempunyai hubungan yang erat dengan
energi kinetik hujan yaitu meningkat dengan meningkatnya inensitas hujan
Energi kinetik hujan merupakan penyebab utama dalam penghancuran agregat.
Peningkatan intensitas hujan menyebabkan meningkatnya kerusakan agregat
dan struktur tanah lapisan atas serta penurunan laju permeabilitas, akibatnya
aliran permukaan akan meningkat (Arsyad 2009).
Sifat-sifat aliran permukaan yang menentukan kemampuannya untuk
menimbulkan erosi adalah jumlah, laju dan kecepatan aliran permukaan tersebut
serta gejolak atau turbulensi yang terjadi sewaktu air mengalir di permukaan
tanah. Air yang mengalir di permukaan tanah tersebut akan terkumpul di ujung
lereng sehingga lebih banyak air yang mengalir dan makin besar kecepatannya
di bagian bawah lereng daripada di bagian atas. Akibatnya tanah di bagian
bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas (Arsyad 2009).
Aliran permukaan dari lahan pertanian biasanya meningkat dengan
meningkatnya kecuraman kereng, tetapi hubungan ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu jenis tanaman, kekasaran permukaan dan kejenuhan profil tanah.
Praktek konservasi tanah tertentu dapat mengurangi aliran permukaan tetapi
13
aliran akan selalu terjadi kecuali pada tanah permeabel yang datar. Aliran
permukaan dapat mencapai 75 % dari hujan pada tanah yang tidak permeabel,
lereng curam dan kondisi vegetasi jelek (Troeh et al. 2004). Vegetasi yang baik
akan memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan simpanan permukaan
untuk mengurangi laju puncak aliran permukaan (Schwab et al. 1981).
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan, maka
volume aliran permukaan dapat dikurangi dengan : 1) meningkatkan laju
infiltrasi, 2) meningkatkan ketahanan dan simpanan permukaan sehingga
memberikan kesempatan lebih lama bagi air berinfiltrasi ke dalam tanah, dan
3) meningkatkan intersepsi hujan dengan menanam tanaman atau menggunakan
sisa-sisa tanaman sebagai mulsa (Sinukaban 1989). Teknik budidaya yang
menghasilkan penutupan permukaan tanah yang rapat oleh tanaman, sisa
tanaman atau serasah yang banyak merupakan cara terbaik untuk menjaga
infilrasi yang tinggi dan mengurangi aliran permukaan (Troeh et al. 2004).
Erosi dan Selektivitas Erosi
Erosi adalah peristiwa pindah atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian
tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami yaitu air atau angin
(Arsyad 2009). Namun pada sebagian besar daerah tropika basah (seperti
Indonesia) yang terpenting adalah erosi yang disebabkan oleh kekuatan jatuh
butir-butir hujan dan aliran permukaan (Sinukaban 1989).
Erosi menyebabkan hilangnya tanah yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman, berubahnya struktur tanah, berkurangnya jumlah dan
keanekaragaman mikroorganisme tanah, menurunnya laju infiltrasi dan akhirnya
menurunkan produktivitas tanah. Oleh karena menurunnya kualitas tanah untuk
pertumbuhan tanaman, maka erosi selanjutnya akan semakin meningkat. Erosi
yang serius menyebabkan lahan menjadi rusak, selanjutnya sedimen
menyebabkan pencemaran sungai yang akhirnya mengendap di dalam saluran
atau waduk atau danau (Arsyad 2009; Troeh et al. 2004; Sinukaban 1989).
Erosi membawa lapisan tanah permukaan yang umumnya lebih subur
(kaya bahan organik dan unsur hara) dibandingkan dengan lapisan bawah, dan
berarti erosi juga menyebabkan hilangnya unsur hara tanaman. Dalam peristiwa
erosi, fraksi halus tanah terangkut lebih dahulu dan lebih banyak dari fraksi yang
lebih kasar, sehingga kandungan liat sedimen lebih tinggi dari kandungan liat
tanah semula. Hal ini terkait dengan daya angkut aliran permukaan terhadap
butir-butir tanah yang berbeda berat jenisnya. Pemindahan partikel halus oleh
14
erosi menyebabkan peningkatan persentase pasir dan kerikil di permukaan
tanah, dan pada waktu yang sama mengurangi persentase debu dan liat
(Sinukaban 1981). Dengan demikian tanah yang telah mengalami erosi
bertekstur lebih kasar dibandingkan dengan sebelum tererosi. Kemudian oleh
karena bahan organik dan unsur hara tanah umumnya terikat pada fraksi bahan
halus (liat), maka sedimen atau tanah hasil erosi biasanya lebih kaya dengan
bahan organik dan unsur hara dibandingkan dengan tanah asalnya (tanah yang
tererosi) (Arsyad 2009). Pengkayaan juga dapat disebabkan oleh hanyutnya
bentuk-bentuk larut dari hara yang ada di dalam residu tanaman atau pupuk
organik dan anorganik yang digunakan di permukaan tanah, dan mudahnya
pengangkutan terhadap partikel-partikel yang densitasnya lebih kecil terutama
bahan organik (Elliot dan Wildung 1992; Sinukaban 1981).
Erosi akan bersifat selektif pada partikel-partikel halus jika erosi kecil dan
tidak selektif jika erosi besar, karena selektivitas erosi terjadi disebabkan oleh
keterbatasan energi aliran permukaan (Sinukaban 1981). Tingkat selektivitas
erosi dapat diukur dari nilai nisbah pengkayaan sedimen (NKS) atau Sediment
Enrichment Ratio yang didefinisikan sebagai perbandingan antara kandungan
bahan organik dan unsur hara di dalam tanah yang terbawa erosi (sedimen)
terhadap kandungannya di dalam tanah asalnya (Arsyad 2009).
Nilai NKS dari partikel-partikel halus dan distribusi ukuran partikel di dalam
sedimen sangat bervariasi tergantung pada mekanisme penghancuran dan
transportasi dari proses erosi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor (Sinukaban
1981). Arsyad (2009) mengemukakan bahwa NKS dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang mempengaruhi penghancuran agregat dan aliran permukaan. Jika dalam
proses erosi terjadi dominan penghancuran agregat sebelum pengangkutan
butir-butir tanah, maka nilai NKS akan besar; sebaliknya jika penghancuran
agregat tidak dominan, maka selektivitas erosi akan kecil dan nilai NKS akan
kecil. Demikian juga jika kecepatan aliran permukaan makin tinggi akibat lereng
yang makin curam, maka selektivitas erosi semakin kecil dan nilai NKS juga akan
kecil. Sebaliknya jika aliran permukaan menjadi lambat akibat lereng yang makin
landai atau oleh makin rapatnya tanaman dan makin banyaknya sisa tanaman
di permukaan tanah, maka nilai NKS akan makin besar.
Pada umumnya energi aliran permukaan akan menurun apabila terdapat
hambatan seperti adanya tindakan KTA, permukaan yang kasar atau sisa-sisa
tanaman di permukaan tanah. Oleh karena itu teknik pengelolaan tanah dan
15
tanaman yang dapat menurunkan energi aliran permukaan dapat meningkatkan
selektivitas erosi terhadap partikel-partikel halus, dan sekaligus menurunkan
jumlah tanah tererosi secara dramatis (Johnson et al. 1979). Oleh karena itu nilai
NKS cenderung meningkat dengan menurunnya jumlah tanah tererosi (Menzel
1980) dan memberi petunjuk tingkat atau kecepatan pemiskinan tanah serta
petunjuk untuk mengetahui apakah kehilangan hara merupakan faktor utama
penyebab penurunan produktivitas tanah (Stocking 1985 diacu dalam Arsyad
2009). Sinukaban (1981) menemukan NKS fraksi liat dari tanah lempung
berdebu 2.34 - 3.52 dengan pengolahan tanah konservasi, lebih tinggi dari nilai
NKS yang hanya 1.07 dengan pengolahan tanah konvensional. Banua (1994)
mendapatkan nilai NKS fraksi liat berkisar dari 0.98 - 1.66 dengan berbagai
tindakan konservasi tanah pada lahan berlereng 30 % yang ditanami kubis dan
kentang, sedangkan tanpa tindakan konservasi nilai NKS fraksi liat hanya 0.98.
Meningkatnya konsentrasi fraksi liat di dalam sedimen dengan makin
selektifnya erosi, diikuti dengan meningkatnya konsentrasi bahan organik dan
unsur hara di dalam sedimen tersebut. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar
bahan organik dan unsur hara terjerap pada partikel-partikel halus seperti liat dan
koloid (Soepardi 1983). Konsentrasi unsur hara di dalam sedimen dapat
50 persen lebih tinggi daripada konsentrasinya di tanah asal (Wischmeier dan
Smith 1978). Foth (1990) melaporkan bahwa tanah tererosi mempunyai
konsentrasi bahan organik, N-total, P dan K tersedia masing-masing 2.7, 2.7,
3.4, dan 19.3 kali lebih banyak dibandingkan konsentrasinya di tanah asal.
Banua (1994) melaporkan bahwa nilai NKS berkisar dari 0.99 - 1.57 untuk
C-organik, 1.06 - 3.35 untuk N-total, 2.4 - 9.88 untuk P-tersedia dan 1.13 - 1.81
untuk K-tersedia dengan perlakuan berbagai tindakan konservasi tanah. Nilai
NKS tertinggi adalah pada perlakuan tindakan konservasi yang menghasilkan
erosi terkecil (8.37 ton/ha), sebaliknya nilai NKS terendah pada perlakuan tanpa
tindakan konservasi yang menghasilkan erosi terbesar (66.55 ton/ha). Kemudian
Suganda et al. (1997) melaporkan bahwa kehilangan hara (241 kg N/ha, 80 kg
P2O5/ha, 18 kg K2O/ha) akibat erosi (65 ton/ha) pada lahan usahatani kentang
dengan guludan searah lereng, lebih besar dibandingkan dengan erosi (40.50
ton/ha) dan kehilangan hara (146 kg N/ha, 58 kg P2O5/ha, 13 kg KCl/ha) pada
penanaman dengan guludan searah kontur. Selanjutnya Sinukaban et al. (2007)
melaporkan bahwa pada pertanaman jagung-kacang tanah dengan perlakuan
mulsa di tanah Latosol Coklat Kemerahan Darmaga dengan kemiringan lereng
16
7 - 14 persen menunjukkan bahwa nilai NKS berkisar 3.3 - 9.4 untuk C-organik,
6.4 - 9.0 untuk N-total, 12.9 - 33.9 untuk P-tersedia dan 1.1 - 3.0 untuk K dan 1.4
- 3.6 untuk Mg. Dalam hal ini erosi menurun dari 96.1 ton/ha menjadi 39.1 ton/ha
akibat penggunaan mulsa yang sekaligus juga meningkatkan selektivitas erosi.
Suatu teknik konservasi tanah akan meningkatkan selektivitas erosi atau
nilai NKS. Namun karena teknik konservasi tersebut dapat menekan jumlah
tanah tererosi, maka teknik konservasi tersebut sekaligus juga akan menurunkan
jumlah bahan organik dan hara yang hilang terbawa erosi. Dalam hal ini jumlah
bahan organik dan hara yang hilang diduga dari konsentrasinya di dalam
sedimen terhadap jumlah tanah tererosi, karena dijelaskan oleh King (1990)
bahwa kehilangan unsur hara berhubungan langsung dengan jumlah tanah
tererosi dan merupakan fungsi dari konsentrasi hara tersebut di dalam sedimen.
Menurut Arsyad (2009) banyaknya unsur hara yang hilang oleh erosi bergantung
pada besarnya erosi dan unsur hara yang terkandung dalam bagian tanah yang
tererosi. Secara kasar banyaknya unsur hara yang hilang dari sebidang tanah
yang tererosi dihitung dengan mengalikan kandungan unsur hara tanah semula
dengan besarnya tanah tererosi. Namun lebih teliti jika jumlah hara yang hilang
diukur dengan mengalikan banyaknya sedimen dengan unsur hara yang terbawa
sedimen dan larut dalam air.
Usaha Pertanian di Hulu DAS dan Dampaknya
Sistem pertanian di hulu DAS umumnya merupakan pertanian lahan kering
yang dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pertanian yang dilaksanakan pada
lahan dengan tanah mineral, tanpa irigasi dan kebutuhan air bergantung hanya
pada curah hujan (Hadinugroho 2002). Lahan kering dapat didefinisikan sebagai
hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian
besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani 2002).
Oleh karena itu pertanian lahan kering umumnya sering dikaitkan dengan
pengertian usahatani bukan sawah oleh masyarakat di hulu DAS.
Pengembangan usahatani lahan kering di Indonesia selama ini umumnya
membuka hutan di hulu DAS dan belum menerapkan upaya KTA, kondisi ini
telah menyebabkan erosi dan sedimentasi yang cukup besar. Hal ini ditunjukkan
oleh beberapa hasil penelitian, diantaranya pembukaan hutan untuk usaha
pertanian (karena sempitnya lahan garapan petani) di DAS Limboto Kabupaten
Bone Bolongo menyebabkan laju erosi sebesar 317.67 ton/ha/tahun, dan
penurunan kedalaman Danau Limboto dari 14 m pada tahun 1934 menjadi
17
3 - 3.5 m pada tahun 1994 akibat sedimentasi (Setiawan dan Yudono 2002).
Kemudian di dataran tinggi Bedugul (daerah tangkapan air atau DTA Danau
Beratan, Bali), rata-rata erosi di seluruh DTA 102 ton/ha/tahun dan sedimentasi
di Danau Beratan 74 ton/tahun (13.47 ton/tahun berasal dari daerah kebun sayur,
65.140 ton/tahun dari lahan tandus) (Budihardja dan Syaifuddin 2003).
Selanjutnya dengan luas hutan dan kebun kopi masing-masing 42.6 % dan 9.9 %
dari luas DAS (DAS Tulang Bawang, Lampung) di Sub DAS Besai, jumlah air
hujan yang langsung masuk ke sungai < 10 % dan erosi yang terjadi 12.08
ton/ha/tahun (1975 - 1981). Namun dengan luas hutan dan kebun kopi masing-
masing 8.4 % dan 71.2 % luas DAS, jumlah air hujan yang masuk ke sungai
meningkat menjadi 24.5 % dan terjadi erosi 49.93 ton/ha/tahun (1996 - 1998)
(Sihite 2004). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menjadi lahan
pertanian meningkatkan jumlah tanah tererosi dan air hujan yang langsung
masuk ke sungai, berarti juga meningkatkan sedimentasi.
Besarnya erosi pada usahatani di hulu DAS disebabkan kawasan hulu
tersebut umumnya dicirikan oleh lahan kering dengan jenis tanah yang peka
terhadap erosi, curah hujan tinggi dan topografi sebagian besar berbukit hingga
bergunung. Kemudian kebanyakan masyarakat yang bermukim disini dicirikan
oleh keterbatasan kondisi sosial-ekonomi, menggantungkan hidup dari sektor
pertanian dan bercocok tanam merupakan kegiatan utama untuk mencari nafkah
tetapi pemilikan lahan kecil (Hadinugroho 2002; Hidayat dan Mulyani 2002).
Berbagai keterbatasan tersebut menyebabkan penggunaan lahan oleh petani
umumnya secara konvensional yang tidak sesuai dengan kaidah KTA.
Perpaduan ciri biofisik lahan dan pengelolaan lahan intensif yang konvensional
mengakibatkan sistem pertanian lahan kering ini sangat peka terhadap erosi,
penurunan produktivitas dan degradasi lahan, serta penggunaan bahan kimia
yang berlebihan makin merugikan terhadap keberlanjutan produktivitas lahan dan
lingkungan. Oleh karena itu erosi merupakan masalah utama dalam
pengembangan pertanian di hulu DAS. Berdasarkan karakteristik lahannya,
maka pembangunan pertanian pada dataran tinggi di hulu DAS perlu diarahkan
untuk perbaikan dan pelestarian kondisi biofisik lahan, peningkatan produktivitas
melalui agroteknologi dan pemilihan komoditas yang mampu memberikan
pendapatan cukup tinggi secara berkelanjutan, didukung oleh sistem
kelembagaan yang kuat dengan program/kebijakan dan pendekatan lintas
sektoral yang mempertimbangkan perspektif masyarakat lokal (Nugroho 2002).
18
Andisol, Karakteristik dan Permasalahannya
Andisol merupakan salah satu ordo tanah pada lahan kering dataran tinggi
di hulu DAS (Dariah dan Husen 2004). Andisol yang termasuk tanah-tanah
pertanian utama lahan kering adalah : 1) Udands, Andisol yang berdrainase baik
di wilayah beriklim humid dengan rejim kelembaban tanah udik; 2) Ustands,
Andisol yang terdapat di wilayah agak kering sampai kering dengan rejim
kelembaban tanah ustik; dan 3) Vitrands, Andisol yang bertekstur agak kasar
dengan kandungan gelas volkan yang tinggi (Hidayat dan Mulyani 2002).
Andisol adalah tanah-tanah yang mempunyai lapisan < 36 cm dengan sifat
andik pada kedalaman > 60 cm (Hardjowigeno 2010). Sifat umum Andisol
adalah fraksi debu dan pasir halus berupa gelas vulkanik dengan mineral
ferromagnesium, dan fraksi liat sebagian besar berupa alofan berkembang dan
juga mengandung halloysit. Kemudian ciri Andisol adalah sebagai berikut :
1) Ciri morfologi, horizon A1 tebal bewarna kelam, coklat sampai hitam, sangat
porous, gembur, tak liat (non plastik), tak lekat (non sticky), struktur remah,
mengandung bahan organik 8 - 30 persen dengan pH 4.5 - 6.0, beralih tegas ke
horizon B2 berwarna kuning sampai coklat, struktur gumpal dengan granulasi
yang tak pulih dengan bahan organik antara 2 - 8 persen, atau beralih ke horison
C berbentuk batang gibsit dari oxida Al atau Fe; 2) Sifat mineralogi, fraksi debu
dan pasir halus berupa gelas vulkanis dan mineral feromagnesium, fraksi
lempung sebagian besar allophan dan berkembang menjadi hallosit; dan 3) Sifat
fisika-kimia, kejenuhan basa (KB) rendah dengan kapasitas tukar kation (KTK)
tinggi, nisbah C/N rendah dan kadar P rendah karena terfiksasi kuat
(Darmawijaya 1997). Hardjowigeno (2003) menambahkan bahwa pada Andisol
sering terjadi penambahan abu vulkanik yang menyebabkan terjadinya stratifikasi
atau pembentukan Andisol yang baru (lapisan tanah baru). Oleh karena itu
dapat ditemukan Andisol yang berlapis karena adanya stratifikasi tersebut.
Hasil analisis Andisols dari berbagai wilayah menunjukkan bahwa Andisols
memiliki tekstur bervariasi dari berliat (30 - 65 persen liat) sampai berlempung
kasar (10 - 20 persen liat), namun sebagian besar berlempung halus sampai
berlempung kasar. Reaksi tanah umumnya agak masam (5.6 - 6.5), kandungan
bahan organik lapisan atas sedang sampai tinggi dan lapisan bawah umumnya
rendah dengan rasio C/N tergolong rendah (6 - 10). Kandungan P dan K
potensial sebagian sedang sampai tinggi, sebagian lagi rendah sampai sedang
dan umumnya kandungan lapisan atas lebih tinggi dari pada lapisan bawahnya.
19
Jumlah basa-basa dapat ditukar tergolong sedang sampai tinggi, didominasi oleh
ion Ca dan Mg dan sebagian juga K, KTK sebagian besar sedang sampai tinggi
dengan KB umumnya sedang. Dengan demikian kesuburan alami Andisol
termasuk sedang hingga tinggi (Hidayat dan Mulyani 2002). Kadar C-organik
tanah Andisol yang umumnya tinggi disebabkan oleh dekomposisi bahan organik
pada Andisol relatif lambat akibat adanya hidroksida alumunium amorfous pada
suhu udara yang dingin (Djaenuddin 2004).
Menurut Prasetyo (2005) Andisol di Indonesia umumnya mempunyai sifat
gembur sehingga mudah diolah dan baik untuk pertumbuhan akar tanaman,
solum dalam, kapasitas menyimpan air tinggi, KTK dan KB sedang hingga tinggi,
cadangan hara (berupa mineral mudah lapuk) tinggi. Oleh karena itu secara
umum Andisol mempunyai potensi kesuburan tanah tergolong tinggi dan
umumnya dimanfaatkan untuk pertanian pangan lahan kering, hortikultura
sayuran dan perkebunan. Hidayat dan Mulyani (2002) menjelaskan bahwa
komoditas tanaman yang disarankan pada lahan kering Andisol di dataran tinggi
beriklim basah adalah tanaman serealia (jagung), umbi-umbian (ubi jalar),
hortikultura sayuran (kentang, kubis, tomat, buncis, wortel), bunga-bungaan
(sedap malam, mawar), tembakau, teh, kopi arabika, kayumanis, vanili dan buah-
buahan (alpokat, markisa).
Kurnia et al. (2004) mengemukakan bahwa Andisol yang merupakan salah
satu ordo tanah pada kawasan usahatani sayuran dataran tinggi tergolong rentan
atau mudah tererosi meskipun umumnya mempunyai sifat fisika yang baik,
karena tekstur tanahnya mengandung fraksi debu lebih banyak (mempunyai sifat
”thixotropic”, tanah licin dan berair bila dipirit) dan umumnya berada pada
topografi berlereng dengan curah hujan tinggi. Dariah dan Husen (2004)
menambahkan bahwa tanah-tanah yang mempunyai sifat Andik seperti Andisol
mempunyai porositas yang tinggi sehingga air lebih mudah masuk ke dalam
tanah, namun karena teksturnya didominasi oleh fraksi ringan (debu) yang
sangat mudah terangkut oleh aliran permukaan, maka tanah menjadi sangat
mudah tererosi begitu tanah tersebut jenuh dan terjadi aliran permukaan.
Berdasarkan sifat dan ciri Andisol, maka permasalahan utama Andisol
secara alami adalah tingginya bahaya erosi dan longsor akibat adanya sifat
”thixotropic”, lereng yang terjal, adanya lapisan kedap air yang berupa tanah atau
batuan di bawah Andisol. Kendala pemanfaatan Andisol untuk usaha pertanian
adalah tingginya retensi P (> 80 %) dan pada Andisol masam ditemukan
20
kejenuhan Al tinggi yang dapat meracuni tanaman. Kemudian letaknya di
dataran tinggi dan lerengnya yang terjal menyebabkan erosi dan pencucian hara
atau bahan organik cukup intensif, sedangkan dominasi mineral amorf dan
kompleks Al-humus berpotensi mengurangi ketersediaan P untuk tanaman.
Penambahan P dan bahan organik banyak disarankan untuk mengatasi masalah
retensi P, arah barisan tanaman atau guludan searah kontur atau memotong
lereng merupakan teknik KTA yang dinilai mampu mengendalikan aliran
permukaan dan erosi (Prasetyo 2005).
Usahatani Kentang Dataran Tinggi
Sayuran dataran tinggi mempunyai peran strategis dan memperoleh
prioritas pengembangan dalam pembangunan pertanian nasional terutama
kentang, kubis, cabe, bawang merah dan tomat yang merupakan komoditas
sayuran unggulan nasional. Permintaan sayuran dataran tinggi cenderung
meningkat baik dalam bentuk segar maupun olahan seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, berkembangnya
industri makanan dan makin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya
konsumsi sayuran. Sayuran dataran tinggi juga merupakan salah satu komoditas
yang berperan penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional.
Pengembangan sistem ketahanan pangan sangat diperlukan karena terkait erat
dengan kemiskinan, ketahanan sosial dan stabilitas ekonomi. Kemiskinan akan
berakibat pada ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar
pangan bagi suatu kehidupan yang layak dan berakibat pada kurangnya
kemampuan untuk melakukan ekonomi produktif. Sejumlah usahatani sayuran di
Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif karena efisien
secara finansial dalam pemanfaatan sumberdaya (Saptana et al. 2007) dan
dapat memberikan keuntungan finansial lebih besar dibandingkan dengan
usahatani tanaman pangan maupun kebun campuran (Irawan et al. 2004).
Kentang merupakan salah satu high value comodity yang dapat memberikan
penghasilan lebih baik, potensi bisnis cukup tinggi, segmen usaha dapat dipilih
sesuai dengan modal, dan paling berpeluang untuk pengembangan agribisnis
dan agroindustri dibandingkan sayuran lainnya (Saptana et al. 2005; Sumarno
2000). Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan pangan melalui pengembangan
usahatani sayuran dataran tinggi berbasis kentang merupakan salah satu
langkah strategis pengentasan kemiskinan.
21
Secara umum dataran tinggi di hulu DAS mempunyai iklim yang memenuhi
persyaratan optimum untuk pengembangan berbagai komoditas sayuran
termasuk kentang. Suhu rendah dan curah hujan di dataran tinggi yang hampir
merata sepanjang tahun memungkinkan usahatani sayuran dapat diusahakan
sepanjang tahun (Kurnia et al. 2004). Dengan kata lain kentang adaptif dengan
kondisi agroklimat lahan kering dataran tinggi yang umumnya berlereng, namun
dihadapkan pada banyak kendala terutama tingginya serangan hama dan
penyakit atau organisme pengganggu tanaman (OPT) (Sunarjono 2007).
Menurut Lutaladio et al. (2009) faktor kendala pengembangan usahatani
kentang berkelanjutan dapat dibedakan atas faktor teknis, faktor sosial-ekonomi
dan faktor kelembagaan dan kebijakan. Faktor teknis meliputi karakteristik
biologi kentang, sistem perbenihan/pembibitan yang terbatas, dan faktor hama
dan penyakit. Faktor sosial-ekonomis meliputi biaya produksi yang tinggi dan
kurangnya fasilitas kredit, instabilitas harga, pasar lokal tidak efisien, dan
terbatasnya akses terhadap pasar yang bernilai lebih tinggi. Hama dan penyakit
merupakan kendala yang cukup besar dalam usahatani kentang dan penyakit
utama tanaman kentang adalah late blight dan bacterial wilt, sedangkan hama
utama adalah aphids, tuber moths dan leaf miners.
Dalam CIP-Balitsa tahun 1999 telah terinventarisasi sebanyak 72 jenis OPT
pada tanaman kentang yang terdiri atas 4 bakteri patogen, 13 cendawan
patogen, 15 virus patogen, 1 mikroplasma patogen, 8 penyakit fisiologi (abiottik)
dan 31 jenis hama. Namun kelompok OPT yang umum menyerang tanaman
kentang dataran tinggi adalah Phytophthora infestans (penyakit busuk batang
dan daun), Fusarium oxysporum (penyakit layu fusarium), Alternaria solani
(penyakit becak daun alternaria), Ralstonia solanacearum (penyakit layu bakteri),
Meloidogyne spp (nematoda bengkak akar), nematoda sista kentang (NSK), virus
kompleks (penyakit mosaik), trips (Thrips palmi), ulat daun/umbi kentang
(Phthorimaea operculella), tungau (Polyphagotarsonemus latus dan Tetranychus
sp), kutu daun persik (Myzus persicae), lalat pengorok daun (Liriomyza sp),
orong-orong (Gryllotalpha) dan kutu kebul (Bemisia tabaci) (Duriat et al. 2006).
Menurut Purwantisari et al. (2008) penyakit busuk batang dan daun
tanaman kentang oleh P. infestans merupakan masalah krusial atau paling serius
diantara penyakit yang menyerang tanaman kentang di Indonesia. Belum ada
fungisida yang benar-benar efektif dan belum ada varietas kentang yang benar-
benar tahan terhadap penyakit tersebut. Patogen tersebut dapat menyerang
22
daun, batang dan umbi di dalam tanah dan sangat berpotensi terjadi pada
daerah dingin dan lembab, dapat menurunkan produksi kentang hingga 90 %.
Gejala pada daun berupa hawar (blight) atau bercak abu-abu yang berukuran
besar dengan bagian tengah agak gelap dan agak basah. Oleh karena itu kasus
penyakit busuk daun dan batang oleh P. infestans sering terjadi di dataran tinggi
bersuhu rendah dan kelembaban tinggi.
Selain masalah hama dan penyakit tanaman, usahatani kentang datarn
tinggi dihadapkan pada masalah erosi. Umumnya budidaya sayuran dataran
tinggi dilakukan secara intensif pada lahan berlereng dengan tanah yang
didominasi oleh Andisol yang umumnya peka terhadap erosi (Kurnia et al. 2004).
Andisol yang umumnya gembur dan mempunyai porositas baik sangat cocok
untuk pengembangan tanaman sayuran termasuk kentang (Hidayat dan Mulyani
2002), karena tanaman kentang tumbuh dan produktif pada tanah-tanah ringan
yang dicirikan oleh sedikit pasir dan kaya bahan organik serta gembur dengan
aerase yang baik (Sunarjono 2007).
Umumnya petani menanam kentang dan sayuran lainnya dengan guludan
atau bedengan (raised bed) selebar 0.7 - 1.2 m dan searah lereng. Selain untuk
menciptakan kondisi drainase dan aerase yang baik, guludan searah lereng
dimaksudkan untuk memudahkan penanaman, pemeliharaan dan panen.
Namun parit atau saluran diantara guludan searah lereng akan mempercepat
aliran permukaan dan menyebabkan tanahnya makin mudah tererosi. Kondisi ini
akan mempercepat hilangnya tanah lapisan atas yang subur, sehingga akibat
usahatani sayuran yang terus menerus pada gilirannya akan menyebabkan
kerusakan atau degradasi lahan (Kurnia et al. 2004).
Hasil penelitian di pegunungan Tengger/Bromo menunjukkan bahwa pada
lahan usahatani kentang dan sayuran lainnya terjadi erosi 100 - 200 ton/ha/tahun
(Suryanata et al. 1998), dan rata-rata erosi pada pertanaman kentang 150 - 200
ton/ha/tahun akibat penanaman dengan guludan searah lereng (Saefuddin et al.
1988). Pada lahan usahatani kentang tanpa teknik KTA di daerah perbukitan
Loudian Site Propinsi Guizhou Cina terjadi erosi sebesar 102.3 ton/ha/tahun
(Sajjapongse et al. 2002). Pada usahatani kentang dan sayuran di dataran tinggi
Dieng (Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah) erosi setiap tahun jauh lebih
besar dari Etol (8 - 13 ton/ha/tahun) akibat penanaman terus menerus sepanjang
tahun (3 - 5 kali tergantung jenis tanaman), karena terjadi erosi 10.5 ton/ha dan
aliran permukaan 457.57 m3/ha per musim tanam (Haryati dan Kurnia 2000).
23
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa penanaman kentang dengan
guludan searah lereng dan searah kontur pada lereng 30 % di Desa Sukamanah
Kecamatan Pengalengan masing-masing menyebabkan erosi sebesar 15.7
ton/ha dan 6.6 ton/ha setiap musim tanam pada tahun 1992 (Hermawati 1992),
32 ton/ha dan 6 ton/ha pada tahun 1994 (Banua 1994), 56.31 ton/ha dan 26.31
ton/ha pada tahun 2004 (Katharina 2007). Penerapan teknik konservasi di DAS
Citere Kecamatan Pengalengan dengan usahatani dominan kentang dan kubis
tahun 1993 - 1995 dapat menurunkan aliran permukaan dan annual water yield
serta meningkatkan base flow (Sinukaban et al. 1998). Namun fakta di lapangan
menunjukkan bahwa penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan
bagian dari pengelolaan lahan yang dilakukan oleh petani sayuran umumnya.
Menurut Kurnia et al. (2004) sebagian petani sayuran di dataran tinggi telah
cukup mengerti bahwa tanpa teknik konservasi tanah akan menyebabkan
hanyutnya tanah pada lahan usahataninya. Namun petani enggan menerapkan
penanaman pada guludan memotong lereng pada lahan usahataninya terutama
kentang umumnya karena : 1) sulit, berat dan membutuhkan waktu yang lama
dalam mengerjakannya; 2) setelah hujan dapat menyebabkan genangan air
pada saluran diantara guludan yang dapat meningkatkan kelembaban tanah
di dalam guludan tersebut dan merupakan media bagi berkembangnya jamur
penyebab penyakit busuk akar atau umbi; dan 3) penerapan teknik konservasi
tanah dianggap membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat bekerja
efektif, sedangkan tanaman sayuran umumnya berumur pendek sehingga
penerapan teknik konservasi tersebut tidak segera memberikan keuntungan
langsung. Dariah dan Husen (2004) menambahkan bahwa petani sayuran belum
menerapkan teknik konservasi tanah disebabkan oleh produksi sayuran akan
menurun karena berkurangnya areal tanam (Tabel 1). Pengurangan luas bidang
olah atau areal tanam yang berdampak pada pengurangan populasi tanaman
merupakan faktor yang sering dipertimbangkan dalam pemilihan alternatif teknik
konservasi tanah, karena pada gilirannya juga akan sangat menentukan tingkat
adopsi petani terhadap teknik konservasi yang diintroduksikan. Namun
pengurangan areal tanam tersebut dapat dikompensasi dengan menanam
tanaman yang mempunyai nilai jual tinggi. Sebagian petani, khususnya petani
dengan penguasaan lahan yang sempit tidak memiliki modal yang cukup untuk
membuat bangunan konservasi. Menurut Suganda et al. (1997) pembuatan
guludan searah kontur menyebabkan populasi tanaman berkurang 3 - 30 persen.
24
Tabel 1 Perkiraan pengurangan areal tanam sebagai dampak dari aplikas teknik konservasi tanah pada lahan sayuran
Kemiringan lahan(%)
Pengurangan areal tanam (%) akibat penerapanGuludan searah
konturStrip rumput
searah konturTeras bangku
< 10 < 6 < 3 < 1410 - 15 6 - 9 3 - 6 14 - 2215 - 20 9 - 12 6 - 9 22 - 2920 - 25 12 - 15 9 - 12 29 - 3625 - 30 15 - 18 12 - 15 36 - 42 > 30 > 18 > 15 > 42
Tenaga kerja (HOK/ha), tergantung kemiringan lahan 60 - 160 4 - 40 600 - 1200
Sumber : Suganda et al. (1997)
Kekhawatiran petani bahwa pertumbuhan akan terganggu dan produksi
kentang akan menurun bila ditanam dengan guludan memotong lereng telah
terjawab oleh beberapa hasil penelitian. Hasil kentang pada lahan usahatani di
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Andic Dystropepts, kemiringan lereng
9 - 22 persen) tidak berbeda nyata antara penanaman pada guludan searah
lereng dan guludan memotong lereng (searah kontur). Penanaman pada
guludan searah lereng dan dipotong guludan memotong leteng pada setiap jarak
4.5 m merupakan alternatif lain yang cukup efektif mengendalikan aliran
permukaan, erosi dan kehilangan hara selain penanaman dengan guludan
searah kontur (Suganda et al. 1999). Kemudian pertumbuhan dan hasil kentang
di dataran tinggi Dieng (Andosol, kemiringan 5 - 15 persen) juga tidak berbeda
nyata, tetapi erosi pada penanaman kentang dengan guludan sejajar kontur dan
miring 450 terhadap kontur dan setiap 6 m dipotong guludan memotong lereng
yang ditanami Flemingia nyata lebih kecil dibandingkan dengan penanaman
dengan guludan searah lereng (Haryati dan Kurnia 2000). Selanjutnya
penanaman kentang pada tanah Andosol (kemiringan lereng 3 - 50 persen)
dengan guludan miring 15 - 30 derajat terhadap kontur pada 31 % areal DAS
Citere Jawa Barat dapat mengurangi total aliran permukaan, quickflow dan
annual water yield (Sinukaban et al. 1998).
Berdasarkan karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman kentang,
maka teknik konservasi tanah pada lahan usahatani berbasis tanaman sayuran
bersifat spesifik. Selain harus efektif mengendalikan aliran permukaan dan erosi,
teknik konservasi tanah yang akan diaplikasikan juga harus dapat menciptakan
kondisi drainase yang baik karena umumnya tanaman sayuran sangat sensitif
terhadap penyakit bila drainase tanah buruk. Dalam hal ini perlu dikembangkan
25
teknik konservasi tanah yang merupakan penyempurnaan atau pengembangan
cara yang biasa dilakukan petani (Dariah dan Husen 2004). Dengan kata lain
teknik konservasi tanah yang dapat diterima petani sayuran terutama kentang
adalah penerapan guludan yang sesuai dengan agroekosistem setempat tanpa
mengabaikan kebiasaan petani dan erosi dapat dikendalikan hingga < Etol dan
tidak menurunkan hasil (Kurnia et al. 2004).
Faktor lain yang mempengaruhi produksi sayuran dataran tinggi umumnya
dan kentang khususnya adalah kesuburan tanah dan kultur teknik yang biasa
disebut dengan crop and soil management, good agricultural practices (GAPs)
atau sapta usahatani hortikultura yang meliputi pengolahan tanah, pemupukan,
pemilihan bibit (varietas), pengaturan jarak tanam, perawatan tanaman dan
pengendalian hama, penyakit dan gulma. Faktor kultur teknik ini sangat penting
karena mampu memanipulasi atau meningkatkan produktivitas lahan dan
tanaman kentang sangat responsif terhadap GAPs (Sunarjono 2007).
Menurut Latuladio et al. (2009) GAPs hendaknya diaplikasikan pada skala
lebih luas dalam sistem pertanian dan diaplikasikan melalui metode sistem
pertanian berkelanjutan seperti integrated pest management, integrated water
and fertilizer management, dan pertanian konservasi. Dalam hal ini GAPs
berdasarkan pada 4 prinsip yaitu : 1) memproduksi produk pertanian dan
makanan bernutrisi dan aman dalam jumlah yang cukup, secara ekonomis dan
efisien; 2) produksi tanaman meningkat dan berkesinambungan; 3) menjaga
agar bentuk-bentuk usaha pertanian (farming enterprise) bergairah dan
berkontribusi terhadap peningkatan lapangan pekerjaan; serta 4) mencukupi
kebutuhan sosial dan kultural masyarakat.
Contoh GAPs dalam pengelolaan tanah antara lain mengurangi erosi
melalui hedging dan ditching, menggunakan pupuk pada waktu yang tepat dalam
dosis yang cukup (berdasarkan analisis tanah dan kebutuhan tanaman) untuk
menghindari extra-cost dan kemungkinan terbawa aliran permukaan atau
leaching, menjaga kadar bahan organik tanah melalui penggunaan pupuk
kandang, penanaman dan/atau rotasi tanaman dengan tanaman rumput,
memelihara struktur tanah melalui pencegahan pemadatan tanah dan
pembatasan pengunaan alat-alat berat dan praktek pengolahan tanah yang tidak
penting dan melalui penggunaan cover crops, penerapan zero-tillage dan
memelihara penutupan permukaan tanah untuk mengurangi evaporasi dan
memperbaiki struktur tanah dan infiltrasi air (Latuladio et al. 2009). Menurut
26
Suwandi (2009) penerapan GAPs dalam usahatani sayuran bertujuan untuk
menghindari atau meminimalkan resiko (bahaya keamanan pangan, kerusakan
lingkungan, kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan pekerja) untuk
meningkatkan daya saing produk sayuran. Oleh karena itu salah satu aspek
penting yang menjadi standar dalam penerapan GAPs dalam usahatani sayuran
adalah pengelolaan unsur hara (pemupukan) yang efisien dan ramah lingkungan.
Katharina (2007) melaporkan bahwa usahatani kentang di Kecamatan
Pengalengan tidak sesuai dengan kaidah KTA dan tidak sepenuhnya
menerapkan teknik budidaya yang dianjurkan. Kontinuitas usahatani dan
produksi kentang terjadi karena dukungan input (pupuk dan pestisida) dalam
jumlah besar dan makin tinggi setiap musim tanam. Kondisi ini juga ditemukan
pada usahatani kentang di Kabupaten Kerinci, Jambi. Edi et al. (2005)
melaporkan bahwa sebagian besar petani kentang di Kecamatan Kayu Aro,
Kabupaten Kerinci menggunakan pupuk anorganik (terutama pupuk P) dalam
jumlah besar dan tidak berimbang serta pestisida berlebihan. Nugroho et al.
(2004) melaporkan bahwa petani kentang di Kabupaten Kerinci umumnya
menggunakan bibit berkualitas rendah (asal-usul bibit tidak diketahui), hanya
sebagian kecil yang menggunakan bibit unggul karena lebih mahal. Selain itu
petani umumnya menggunakan bibit tersebut secara terus menerus dan
mengalami kemunduran pertumbuhan dari pertanaman pertama ke pertanaman
berikutnya, sehingga akhirnya tidak lagi memberikan keuntungan yang optimal.
Dengan demikian budidaya kentang dataran tinggi umumnya dilakukan secara
konvensional, tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan teknik budidaya
yang dianjurkan.
Hasil penelitian di Desa Kebun Baru Kecamatan Kayu Aro menunjukkan
bahwa paket teknologi berupa bibit yang belum mengalami degenerasi dan jelas
asal usulnya, jarak tanam 80 cm x 30 cm, pengendalian OPT dengan
penyemprotan fungisida yang tepat memberikan hasil kentang dan pendapatan
petani jauh lebih besar dibandingkan dengan cara petani (Nugroho et al. 2004).
Hasil penelitian lain juga di Desa Kebun Baru menunjukkan bahwa paket
pemupukan dengan dosis rekomendasi BPTP (Badan Pengkajian Teknologi
Pertanian) Jambi (150 kg Urea, 150 kg ZA, 350 kg SP-36, 200 hg KCl per hektar)
memberikan produktivitas kentang lebih tinggi (19.70 ton/ha) dan benefit cost
ratio lebih besar dari satu (BCR > 1) dibandingkan dengan produktivita pada
penanaman dengan paket pemupukan petani (195 kg Urea, 920 kg SP-36,
27
329 kg KCl, 185 kg ZA per hektar, BCR < 1 (Edi et al. 2003). Dilaporkan juga
bahwa biaya yang paling banyak dikeluarkan petani kentang di Desa Kebun
Baru, Kecamatan Kayu Aro adalah untuk pembelian bibit (55.31%), kemudian
biaya pupuk (17.45 %), biaya tenaga kerja (16.81 %), dan biaya pestisida
(10.43 %) (Adri et al. 2006).
Sistem Pertanian Berkelanjutan
Dalam rangka meningkatkan produktivitas usahatani dan menekan
dampaknya terhadap lingkungan, maka sistem usahatani konvensional perlu
diubah menjadi sistem usahatani konservasi untuk mewujudkan sistem pertanian
berkelanjutan yang memiliki ciri pemanfaatan sumberdaya efisien dan efektif
serta pengendalian degradasi lahan terutama akibat erosi dan teknik budidaya
yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan kebutuhan tanaman. Secara umum
dalam sistem produksi pertanian yang berkelanjutan harus terjadi transformasi
pertanian dari subsisten menjadi pertanian produktif yang tangguh, sehingga
sistem pertanian tersebut dapat mengurangi kemiskinan dengan memberikan
pendapatan yang cukup dan pada waktu yang sama juga mengkoservasi
sumberdaya lahan secara efektif (Khisa 2002).
Keberlanjutan produksi pertanian ditentukan oleh interaksi mutual antara
faktor biofisik lahan dan sosial-ekonomi sumberdaya yang membangun dasar
produksi, termasuk pengakuan dan attitude masyarakat yang juga penting untuk
mencapai keberlanjutan tersebut (Minami 1997). Oleh karena itu di bidang
pertanian, konsep keberlanjutan mengandung pengertian bahwa pengembangan
produk pertanian harus tetap memelihara kelestarian SDA dan lingkungan hidup,
guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang dan lintas generasi
(Suryanata et al. 1998). Dengan demikian sustainability merupakan suatu
konsep yang dinamis dan pertanian berkelanjutan mencakup keberhasilan
pengelolaan sumberdaya untuk pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia yang selalu berubah sekaligus memelihara atau meningkatkan kualitas
lingkungan dan konservasi SDA (Harwood dan Kassam 2003).
Berdasarkan prinsipnya, sistem pertanian berkelanjutan harus selalu
memasukkan aspek sosial, ekonomi dan ekologi (Belcher et al. 2004; Derpsch
dan Moriya 1998). Sistem pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu
sistem pertanian yang mencakup pengelolaan dan konservasi SDA (lahan, air,
tanaman), berorientasi teknologi dan institusional yang menjamin hasil yang
diperoleh dapat memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia masa
28
kini dan generasi mendatang, menguntungkan secara ekonomi dan secara sosial
dapat diterima (Bab 14 Agenda 21 Indonesia, Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup 1997).
Indikator Sistem Pertanian Berkelanjutan
Identifikasi keberlanjutan suatu agroekosistem atau usahatani merupakan
prasyarat dalam menerapkan konsep keberlanjutan, sebagai kriteria untuk
mengidentifikasi kendala, menilai dan memperbaiki kegiatan atau kebijakan
pertanian (Adnyana 1999). Keberlanjutan agroekosistem yang kompleks dapat
dievaluasi melalui monitoring perubahan dalam agroekosistem atau dari
parameter output yang meliputi komponen ekonomi dan biofisik sistem tersebut,
karena saling pengaruh antara produksi dan kualitas tanah merupakan faktor
penting yang mengendalikan keberlanjutan sistem tersebut (Belcher et al. 2004).
Berdasarkan definisi dan tujuannya, maka indikator keberlanjutan suatu sistem
pertanian harus mencakup semua aspek yang terkandung di dalamnya terutama
aspek ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi. Namun yang terpenting dalam
menentukan indikator keberlanjutan bukan pengelompokan aspek-aspek
tersebut, melainkan variabel dan kriteria setiap aspek yang dapat digunakan
untuk menilai status keberlanjutan sistem tersebut (Mersyah 2005).
Menurut Sinukaban (2007) ada tiga ciri utama suatu sistem pertanian
berkelanjutan yaitu : 1) pendapatan petani atau produksi usahatani harus cukup
tinggi sehingga petani bergairah meneruskan usahanya, jika pendapatannya
tidak mencukupi cepat atau lambat petani akan mengganti usahanya; 2) erosi
dalam sistem usahatani tersebut harus lebih kecil dari Etol agar produktivitas
yang tinggi dapat dipertahankan atau ditingkatkan secara terus menerus, jika
erosi > Etol maka produktivitas akan menurun dan cepat atau lambat tidak
memberikan hasil yang optimal; dan 3) teknologi pertanian atau sistem produksi
yang dianjurkan harus dapat diterapkan dan dikembangkan oleh petani terus
menerus dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal secara substansial, jika
teknologi yang dianjurkan tidak dapat diterapkan oleh petani, maka petani akan
mengganti dengan teknologi yang mampu diterapkannya. Oleh karena itu dalam
rangka tercapainya sistem pertanian yang berkelanjutan, pendapatan petani
yang cukup tinggi harus dipenuhi berapapun luas areal atau lahan usahanya.
Jika pendapatan dari usaha pertanian tidak mencukupi, harus dicari usaha lain
dan harus direncanakan agar semua anggota enterprise dapat sustainable untuk
hidup layak. Dengan kata lain dalam dimensi ekonomi, kebutuhan hidup layak
29
(KHL) bagi petani dapat dipenuhi melalui produktivitas yang tinggi baik dari
usahatani maupun di luar usahatani.
Kebutuhan hidup layak adalah kebutuhan untuk hidup sehat minimal dari
suatu keluarga petani dalam bentuk nilai nominal yang setara dengan total nilai
kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, komunikasi, rekreasi, dan
tabungan untuk jaminan hari tua sepasang kepala keluarganya. Oleh karena itu
nilai KHL lebih besar dari nilai ambang kecukupan pangan (beras). Batasan
mengenai KHL tersebut dapat dipastikan sebagai standar kebutuhan hidup yang
lebih tinggi daripada sekedar cukup pangan, sandang dan perumahan sederhana
yang biasa disebut dengan kebutuhan hidup subsisten (Tim IPB 2004).
Produktivitas dan pendapatan petani yang tinggi untuk dapat memenuhi
KHL dapat diperoleh melalui pemilihan usahatani, komoditas dan agroteknologi
yang tepat. Pemilihan komoditas yang tepat dapat meningkatkan pendapatan,
sehingga petani mempunyai modal yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya
dan dapat melakukan kegiatan investasi termasuk teknologi untuk meningkatkan
produktivitas/kualitas lahan (Adnyana 1999). Oleh karena itu salah satu aspek
yang menentukan adalah introduksi teknologi tepat guna yang inovatif melalui
proses alih teknologi yang utuh mulai dari kegiatan penelitian hingga tingkat
adopsi oleh petani. Hal ini berarti teknologi tersebut harus lebih baik dari
teknologi yang ada sebelumnya yang dinyatakan dalam bentuk ekonomis
(keuntungan komparatif), konsisten dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat,
pengalaman masa lalu, harapan dan kebutuhan petani sebagai penerima
teknologi (kompatabilitas), relatif mudah dimengerti dan dipergunakan, mudah
dicoba dalam skala kecil (triabilitas), dan hasil penerapan teknologi tersebut
harus dapat dilihat langsung (observabilitas) (Nugroho 2002).
Pembukaan lahan kering untuk usahatani tanaman semusim di wilayah
berlereng akan mempercepat degradasi lahan, terutama akibat erosi (physical
degradation) dan penurunan kandungan bahan organik tanah (biological
degradation) serta pencucian hara (chemical degradation) (Stocking 1994).
Menurut Minami (1997) erosi merupakan faktor negatif pertama yang
menentukan produktivitas dan profitability dalam konsep sustainability. Hal ini
didukung oleh Belcher et al. (2004) yang mengemukakan bahwa karakteristik
biofisik agro-ekosistem yang mencakup karakteristik tanah dan iklim merupakan
critical determinant dari performance ekonomi dan sustainability sistem produksi.
Oleh karena itu konsekuensinya menurut Wolf dan Snyder (2003) sustainability
30
hanya dapat dicapai jika erosi dapat dikendalikan dan kandungan bahan organik
tanah dapat dipertahankan dan/atau ditingkatkan. Derpsch dan Moriya (1998)
menambahkan bahwa jika tanah yang hilang lebih besar daripada laju erosi yang
dapat ditoleransikan, maka sistem pertanian berkelanjutan tidak mungkin dicapai.
Untuk tujuan konservasi tanah sekaligus produktivitas yang tinggi, tidak ada
agroteknologi yang memungkinkan tanaman tumbuh dengan baik dan tidak ada
teknik KTA yang dapat mengendalikan erosi apabila tanahnya tidak cocok untuk
pertanian. Penggunaan tanah yang tepat berdasarkan hasil kemampuan lahan
merupakan langkah awal menuju sistem budidaya tanaman yang baik dan
program konservasi tanah yang berhasil (Sinukaban 1989) dan langkah awal
dalam pengelolaan DAS berkelanjutan (Sheng 2000). Selanjutnya konservasi
tanah sekaligus konservasi bahan organik tanah merupakan suatu keharusan
pada setiap usaha pertanian, sehingga level bahan organik di dalam tanah
merupakan salah satu indikator keberlanjutan sumberdaya lahan (Wolf dan
Snyder 2003; Khisa 2002; Stocking 1994).
Ketergantungan sistem pertanian berkelanjutan terhadap keberadaan
bahan organik disebabkan oleh efek menguntungkan bahan organik dan bentuk-
bentuk bahan organik tanah (Wolf dan Snyder 2003). Penurunan kesuburan
tanah berhubungan erat dengan penurunan bahan organik tanah yang
berkorelasi dengan kerusakan struktur tanah, menurunnya kaju infiltrasi,
meningkatnya kepadatan, pengkerakan, erodibilitas tanah dan pencucian, dan
menurunnya status hara tanah. Menurut Soepardi (1983) usaha pertanian
menyebabkan menurunnya kandungan bahan organik tanah dan nitrogen hingga
35 %, bila penurunan lebih dari 35 % membahayakan kondisi tanah yang
ditunjukkan oleh menurunnya produktivitas. Besarnya peranan bahan organik
dalam memelihara produktivitas tanah memberikan implikasi bahwa level bahan
organik merupakan salah satu indikator dari sustainability suatu sistem
pengelolaan tanah. Jika level bahan organik tanah berkurang dari level yang ada
pada tanah tersebut akibat suatu pengelolaan, maka sistem tersebut dikatakan
tidak sustainable (Greenland 1994). Dengan kata lain sustainable agriculture
tidak mungkin tanpa sustainable soil, sedangkan produktivitas tanah tidak dapat
berlanjut tanpa bahan organik yang cukup (Wolf dan Snyder 2003).
Program Tujuan Ganda
Program Tujuan Ganda (PTG) atau Multiple Goal Programming merupakan
modifikasi atau variasi khusus dari Program Linier. Dalam kondisi pengambil
31
keputusan dihadapkan kepada suatu persoalan yang mempunyai beberapa
tujuan, sementara satu tujuan dengan tujuan lainnya saling bertentangan
(multiple and conflict goals), maka PTG dapat dengan mudah menganalisisnya
untuk memberikan pertimbangan yang rasional (Nasendi dan Anwar 1985).
Tujuan dari analisis PTG adalah untuk meminimumkan ”jarak antara” atau
“deviasi“ terhadap ”tujuan, target/sasaran” yang telah ditetapkan, dengan usaha
yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut secara
memuaskan, sesuai dengan syarat ikatan yang ada yang membatasinya berupa
sumberdaya dan teknologi yang tersedia, kendala tujuan dan sebagainya.
Tahap pertama dalam memformulasikan PTG adalah dengan menetapkan
peubah-peubah pengambilan keputusan. Kemudian menspesifikasikan masalah
yang dihadapi dan ingin dianalisis menurut urutan prioritasnya yang dapat
disusun dalam skala kardinal maupun ordinal. Asumsi-asumsi dasar yang
disebut dengan “peubah-peubah devisional” dalam PTG terdiri dari peubah
deviasi positif dan deviasi negatif. Kemudian dalam PTG dimasukkan satu atau
lebih tujuan yang langsung berhubungan dengan fungsi tujuan dalam bentuk
peubah-peubah devisional, dan memfokuskan prosedur optimasi pada peubah-
peubah tersebut dengan jalan tidak memberikan nilai pada peubah struktural Xj.
Jadi yang dinilai dan dianalisis dalam PTG bukanlah kegiatannya, melainkan
deviasi dari tujuan, saran atau target yang ditimbulkan oleh adanya nilai
penyelesaian tersebut. Model umum PTG adalah sebagai berikut :
mMeminimumkan : Z = ∑ Wi ( di
+ + di- ) ........................................................... 1)
i =1
m Z = ∑ Wi
+ di+ + Wi
- di ............................................................ 2) i =1 mSyarat ikatan : ∑ ai.j Xj + di
- - di+ = bi ..................................................... 3)
j =1 untuk : i = 1, 2, 3, .... m tujuan atau target
n ∑ gk.j Xj <atau> Ck ........................................................... 4) j =1 untuk : k = 1, 2, .. p kendala fungsional
j = 1, 2, .. n peubah keputusan
xj, di- , di
+ > 0 ................................................................... 5)
di- . di
+ = 0 ......................................................................... 6)
32
Keterangan :
Z = nilai skala dari kriteria pengambilan keputusan, fungsi tujuan
di-, di
+ = jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap
tujuan (bi)
wi- ,wi
+ = timbangan atau penalti (ordinal atau kardinal) yang diberikan
terhadap suatu unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+)
terhadap tujuan (bi)
aij = koefisien teknologi fungsi kendala tujuan yang berhubungan dengan
tujuan peubah pengambilan keputusan (Xj)
Xj = peubah pengambilan keputusan atau kegiatan (subtujuan)
bi = tujuan atau target yang ingin dicapai
gk.j = koefisien teknologi fungsi kendala biasa
Ck = jumlah sumberdaya “k” yang tersedia
Model tersebut di atas menunjukkan bahwa PTG mempunyai struktur yang
terdiri dari fungsi tujuan dan fungsi kendala. Fungsi tujuan bersifat
meminimumkan simpangan dari tujuan atau target dan didalamnya terdapat
urutan skala prioritas dari tujuan atau target tersebut. Fungsi kendala terdiri atas
fungsi kendala tujuan dan fungsi kendala sumberdaya (kendala fungsional).
Dalam rangka memecahkan persoalan dimana pengambil keputusan
menghadapi suatu persoalan dengan tujuan ganda, tetapi satu tujuan dengan
tujuan lainnya saling bertentangan, maka pengambil keputuan tersebut harus
menentukan tujuan yang diutamakan atau diprioritaskan (tujuan yang paling
penting ditentukan sebagai prioritas ke-1 dan seterusnya). Pembedaan prioritas
tersebut dikatakan sebagai pengutamaan (preemptive) yaitu mendahulukan
tercapainya kepuasan pada suatu tujuan yang telah ditetapkan sebagai prioritas
utama sebelum menuju pada tujuan-tujuan atau prioritas-prioritas berikutnya.
Dengan kata lain prioritas-prioritas tersebut harus disusun dalam suatu urutan
(ranking) menurut prioritasnya (prioritas dinyatakan sebagai Pi untuk i = 1, 2, 3 ...,
m). Hubungan nPi+1 > Pi tidak mungkin diharapkan terjadi dalam persoalan PTG
yang menggunakan ketentuan pengutamaan (urutan prioritas). Perumusan
model PTG dengan urutan prioritas ini disebut sebagai “Model Program Tujuan
Ganda” yang memiliki struktur prioritas yang timbangannya (Pi; i = 1, 2, 3, ...., m)
adalah ordinal”.
Model umum PTG yang memiliki struktur timbangan pengutamaan dengan
urutan ordinal dapat dirumuskan sebagai berikut :
33
Meminimumkan : m Z = ∑ ( Py Wi.y
+ di+ + Ps Wi.s
- di- ) .......................................... 7)
i =1
m Syarat ikatan : ∑ ai.j Xj + di
- - di+ = bi ....................................................... 8)
j = 1 untuk : i = 1, 2, 3, .... m tujuan atau target
n ∑ gk.j Xj <atau> Ck ............................................................... 9) j =1
untuk : k = 1, 2, ....... p kendala fungsional
j = 1, 2, ...... n peubah pengambil keputusan
xj, di- , di
+ > 0 .................................................................... 10)
di- . di
+ = 0 .......................................................................... 11)
Py dan Ps adalah faktor-faktor prioritas dari tujuan, Wi.y+ dan Wi.s
- adalah
timbangan relatif dari di+ dalam urutan ke-y dan timbangan relatif dari di
- dalam
urutan ke-s, dan terdapat m tujuan, p kendala fungsional dan n peubah
pengambil keputusan.