tinjauan pustaka · dan lemak hewan (agarwal 2006 ... terhadap terjadinya ledakan, cukup besar. ......

14
TINJAUAN PUSTAKA Bahan Bakar Biodiesel Biodiesel adalah istilah untuk bahan bakar berbasis mono-alkil ester yang terbuat dari sumber terbarukan seperti minyak sayur yang baru/telah digunakan dan lemak hewan (Agarwal 2006). Pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif disebabkan oleh karakteristiknya mirip dengan diesel konvensional dan berasal dari sumber yang terbarukan (Kim et al. 2007). Dengan demikian, penggunaannya tidak memerlukan modifikasi maupun penggantian komponen- komponen mesin. Bahan bakar ini ramah lingkungan dan berkontribusi dalam mengurangi pemanasan global dan polusi udara karena bahan yang digunakan merupakan karbon netral dan rendah kandungan sulfur, serta mengurangi emisi yang mengandung hidrokarbon (seperti karbonmonoksida) (Yadav et al. 2010), bilangan asap (smoke number) yang rendah, memiliki cetane number yang lebih tinggi sehingga pembakaran lebih sempurna ( clear burning), memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin, dan dapat terurai (biodegradabe) sehingga tidak menghasilkan racun (non toxic). Selain itu, Gerpen (2005) mengungkapkan bahwa terdapat sekurangnya lima alasan pengembangan biodiesel, antara lain: 1 Menyediakan pasar untuk kelebihan produksi minyak dan lemak hewan 2 Mengurangi, meskipun tidak menghilangkan, ketergantungan negara dalam mengimpor petroleum. 3 Biodiesel merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui dan mengurangi dampak pemanasan global karena siklus karbonnya yang tertutup. Analisis siklus hidup biodiesel menunjukkan bahwa keseluruhan emisi CO 2 berkurang sebesar 78% dibandingkan dengan bahan bakar diesel berbahan petroleum. 4 Emisi buang karbon monoksida, hidrokarbon yang tidak terbakar, dan emisi partikel padat dari biodiesel lebih rendah dibandingkan bahan bakar diesel.

Upload: ngoquynh

Post on 19-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Bakar Biodiesel

Biodiesel adalah istilah untuk bahan bakar berbasis mono-alkil ester yang

terbuat dari sumber terbarukan seperti minyak sayur yang baru/telah digunakan

dan lemak hewan (Agarwal 2006). Pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar

alternatif disebabkan oleh karakteristiknya mirip dengan diesel konvensional dan

berasal dari sumber yang terbarukan (Kim et al. 2007). Dengan demikian,

penggunaannya tidak memerlukan modifikasi maupun penggantian komponen-

komponen mesin.

Bahan bakar ini ramah lingkungan dan berkontribusi dalam mengurangi

pemanasan global dan polusi udara karena bahan yang digunakan merupakan

karbon netral dan rendah kandungan sulfur, serta mengurangi emisi yang

mengandung hidrokarbon (seperti karbonmonoksida) (Yadav et al. 2010),

bilangan asap (smoke number) yang rendah, memiliki cetane number yang lebih

tinggi sehingga pembakaran lebih sempurna (clear burning), memiliki sifat

pelumasan terhadap piston mesin, dan dapat terurai (biodegradabe) sehingga tidak

menghasilkan racun (non toxic).

Selain itu, Gerpen (2005) mengungkapkan bahwa terdapat sekurangnya lima

alasan pengembangan biodiesel, antara lain:

1 Menyediakan pasar untuk kelebihan produksi minyak dan lemak hewan

2 Mengurangi, meskipun tidak menghilangkan, ketergantungan negara dalam

mengimpor petroleum.

3 Biodiesel merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui dan mengurangi

dampak pemanasan global karena siklus karbonnya yang tertutup. Analisis

siklus hidup biodiesel menunjukkan bahwa keseluruhan emisi CO2 berkurang

sebesar 78% dibandingkan dengan bahan bakar diesel berbahan petroleum.

4 Emisi buang karbon monoksida, hidrokarbon yang tidak terbakar, dan emisi

partikel padat dari biodiesel lebih rendah dibandingkan bahan bakar diesel.

6

5 Ketika ditambahkan ke dalam bahan bakar diesel yang reguler dalam jumlah

1 – 2%, dapat mengubah kelemahan sifat bahan bakar, misalnya bahan bakar

diesel yang rendah kadar sulfur dan menjadi bahan bakar yang dapat diterima.

Biodiesel membutuhkan bahan baku minyak nabati yang dapat dihasilkan

dari tanaman yang mengandung asam lemak seperti kelapa sawit (crude palm

oil/CPO), jarak pagar (crude jatropha oil/CJO), kelapa (crude coconut oil/CCO),

sirsak, srikaya, kapuk, dll. Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang

dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Kelapa sawit merupakan salah

satu sumber bahan baku minyak nabati yang prospektif dikembangkan sebagai

bahan baku biodiesel di Indonesia, mengingat produksi CPO Indonesia cukup

besar dan meningkat tiap tahunnya (Triwahyuningsih dan Adiprasetya 2009).

Indonesia dan Malaysia adalah 2 produsen minyak sawit mentah terbesar di

dunia. Bersama-sama, kedua negara ini menghasilkan 90% dari minyak sawit

mentah (crude palm oil, CPO) dunia. CPO dewasa ini merupakan bahan mentah

utama produksi biodiesel di seluruh dunia. Minyak sawit adalah satu-satunya

bahan mentah biodiesel yang banyak tersedia, karena dewasa ini Indonesia

memproduksi 19.5 juta ton/tahun CPO; 4.5 juta ton/tahun dikonsumsi oleh

industri pangan dalam negeri (terutama untuk minyak goreng), 2.5 juta ton/tahun

digunakan oleh produsen-produsen biodiesel dan sisanya diekspor (USAID 2009).

Pemanfaatan minyak nabati secara langsung sebagai bahan bakar mesin

diesel (biodiesel), ternyata masih dijumpai suatu masalah. Masalah yang dihadapi

tersebut terutama disebabkan oleh viskositas minyak nabati yang terlalu tinggi

(Krisnangkura et al. 2010) jika dibandingkan dengan diesel petroleum. Masalah-

masalah akan muncul setelah mesin beroperasi dengan menggunakan minyak

nabati dalam waktu yang lama, khususnya dengan sistem injeksi langsung.

Permasalahan tersebut meliputi:

1 pembentukan kerak dan bentuk yang menyerupai trompet pada injektor

sedemikian rupa sehingga proses atomisasi bahan bakar tidak berlangsung

dengan baik atau terhalang karena orifice yang tersumbat,

2 penumpukan karbon,

3 minyak ring tersendat dan

7

4 penebalan serta gelling pada minyak pelumas sebagai akibat dari kontaminasi

minyak nabati (Ma dan Hanna, 1999).

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan proses konversi minyak

nabati kedalam bentuk ester (metil ester) dari asam lemak minyak nabati melalui

proses transesterifikasi (Hamid dan Yusuf 2002).

Proses Produksi Biodiesel

Biodiesel dihasilkan melalui suatu proses yang dikenal sebagai

transesterifikasi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Trigliserida Metanol FAME Gliserol

Gambar 1 Persamaan stoikiometri reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi

biodiesel

Dimana R1, R2, dan R3 merupakan rantai panjang hidrokarbon, sering

disebut sebagai rantai asam lemak (Gerpen 2005). Reaksi tersebut dibagi ke dalam

3 tahapan, yaitu pembentukan produk antara digliserida (DG) dan monogliserida

(MG) (Utami et al. 2007) dan produk yang diinginkan yaitu FAME (fatty acid

methyl esters), dengan hasil samping dari produksi tersebut yaitu gliserin.

Tahapan tersebut berlangsung seperti pada Gambar 2 (Marchetti et al. 2007).

Gambar 2 Tahapan reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi biodiesel

(R’COOR)

Keseimbangan reaksi terjadi pada kondisi, 3 mol metanol direaksikan dengan 1

mol minyak. Menurut Hong et al. (2009), selama terjadinya reaksi, agar

keseimbangan selalu bergerak ke kanan, maka metanol yang direaksikan

sebaiknya dalam jumlah yang berlebih dengan kata lain lebih dari rasio

O || CH2 - O - C – R1 | | O | || CH - O - C - R2 + 3 CH3OH | | O | || CH2 - O - C - R3

O || CH3 - O - C – R1 O CH2 - OH || | CH3 - O - C - R2 + CH - OH | O CH2 - OH || CH3 - O - C - R3

(katalis)

8

stoikiometri reaksi transesterifikasi. Reyes et al. (2010) menyarankan

perbandingan antara alkohol dengan trigliserida adalah 6:1.

Metode produksi biodiesel dapat dibedakan ke dalam dua cara, yaitu secara

katalitik dan non-katalitik (Petchmala et al. 2008). Pengolahan secara katalitik

menggunakan NaOH (Tomoki 2008) atau KOH sebagai katalis basa, H2SO4

sebagai katalis asam, dan lipase sebagai katalis yang berasal dari enzim (Marchetti

et al. 2007, dan Yoo et al. 2011). Sedangkan, pengolahan secara non-katalitik

dilakukan pada kondisi superkritis dari alkohol (tekanan dan temperatur tinggi

yaitu sekitar 350 oC, 30 MPa (Kusdiana dan Saka 2001), 570 – 600 K dan 10 – 15

MPa (Valle et al.) atau menggunakan uap metanol lewat jenuh (superheated

methanol vapor) (Joelianingsih 2008).

Proses produksi biodiesel secara non-katalitik dapat dilakukan dengan

menggunakan kondisi superkritis metanol tanpa menggunakan katalis (Kusdiana

dan Saka 2001, Hong et al. 2009 dan Kim et al. 2007). Cara ini akan memberikan

waktu yang lebih singkat dan cara pemurnian yang lebih mudah serta lebih ramah

lingkungan jika dibandingkan dengan proses katalis (Petchmala et al. 2008).

Namun, metode ini memiliki kelemahan yaitu kondisi superkritis (kondisi

temperatur tinggi yang disertai dengan tekanan tinggi) memberikan resiko

terhadap terjadinya ledakan, cukup besar. Oleh karena itu, dilakukan penelitian

lebih lanjut mengenai cara untuk mengatasi permasalahan tersebut, hingga

ditemukannya cara produksi biodiesel pada tekanan atmosfer. Namun, proses

terbentuknya FAME masih membutuhkan waktu yang cukup lama (menurut

Joelianingsih (2008) dengan alat bubble column reactor sekitar 270 sampai 300

menit waktu reaksi) atau dengan kata lain, laju reaksi pada proses superheataed

methanol vapor masih sangat rendah. Sehingga, proses produksi secara non-

katalitik masih dirasakan sulit untuk dikembangkan pada skala besar dan

membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.

Produksi Biodiesel secara Katalitik

Katalis berfungsi untuk menurunkan energi aktivasi yang diperlukan untuk

berlangsungnya suatu reaksi. Sehingga, jumlah partikel yang mampu bereaksi

bertambah banyak, seperti yang terlihat pada Gambar 3.

9

Gambar 3 Pengaruh katalis terhadap energi aktivasi (Clark 2004).

Menambahkan katalis memberikan perubahaan yang berarti pada energi

aktivasi. Katalis menyediakan satu rute alternatif bagi reaksi. Rute alternatif ini

memiliki energi aktivasi yang rendah. Katalis hanya mempengaruhi laju

pencapaian kesetimbangan, bukan posisi keseimbangan (misalnya: membalikkan

reaksi). Katalis tidak mengganggu gugat hasil kesetimbangan suatu reaksi dimana

konsentrasi atau massanya setelah reaksi selesai sama dengan konsentrasi atau

massa reaksi sebelum reaksi dilangsungkan (Clark 2004).

Proses produksi dengan menggunakan katalis asam akan memberikan nilai

yield yang sangat besar namun reaksinya sangat lambat (dapat mencapai lebih satu

hari). Selain itu, jumlah alkohol yang digunakan sangat banyak (biasanya dengan

mol rasio 30:1 mol alkohol/mol minyak). Pemakaian katalis enzim memberikan

harapan terhadap proses produksi biodiesel yang lebih aman terhadap lingkungan.

Namun, sama halnya dengan katalis asam, katalis enzim membutuhkan waktu

yang sangat lama agar reaksi dapat berlangsung. Selain itu, proses produksi

dengan katalis enzim juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena

itu, katalis yang biasa digunakan dalam produksi biodiesel secara katalitik adalah

katalis basa (yang biasa digunakan adalah KOH dan NaOH). NaOH dan KOH

adalah jenis basa kuat yang dapat terlarut dalam metanol dan etanol (Marchetti et

al. 2005).

Sebelumnya hanya sejumlah partikel yang berada

pada area di bawah kurva pada bagian ini yang

memiliki energi yang cukup untuk bereaksi

Sebelumnya hanya sejumlah partikel yang berada

pada area di bawah kurva pada bagian ini yang

memiliki energi yang cukup untuk bereaksi

Energi

Energi aktivasi

sebelumnya

Partikel-partikel

yang tidak

memiliki energi

yang cukup untuk

bereaksi

Energi aktivasi yang baru

Sebelumnya hanya sejumlah

partikel yang berada pada area

di bawah kurva pada bagian

ini yang memiliki energi yang

cukup untuk bereaksi

Sekarang semua partikel ini juga

memiliki energi yang cukup untuk

bereaksi

Jumlah

partikel

10

Alasan lain yang menyebabkan pemakaian katalis basa lebih dipilih dalam

proses produksi untuk skala industri adalah karena proses secara alkali (basa)

akan lebih efisien dan rendah korosif daripada proses secara asam, alkohol yang

digunakan lebih sedikit (biasanya 6:1 mol/mol), dan dengan temperatur proses

yang lebih rendah.

Tabel 1 Pemakaian katalis basa pada produksi biodiesel

Autor Katalis Jumlah (%)

Arquiza et al. (2000)* NaOH 0.5

Felizardo et al. (2006)* NaOH 0.6

Chhetri et al. (2008)* NaOH 0.08

Tomasevic dan Marinkovic (2003)* KOH 1

Reefat et al. (2008)* KOH 1

Phan dan Phan (2008)* KOH 0.75

Allawzi dan Kandah (2008)* KOH 1.2

Tang et al. (2007)** NaOH 0.8

Tapanes et al. (2008)** NaOH 0.8

Chitra et al. (2005)** NaOH 1

Berchmans et al. (2010)** KOH 1

Sumber: *Math et al. (2010); **Juan et al. (2011)

Tabel 1 menunjukkan bahwa pemakaian katalis NaOH dapat diturunkan

hingga 0.08% w/w, sedangkan untuk KOH rata-rata masih sebanyak 1% w/w.

Oleh karena itu, perlu dibuat suatu sistem yang dapat menurunkan pemakaian

KOH. Untuk menurunkan pemakaian KOH dapat dilakukan dengan

meningkatkan intensitas tumbukan partikel-partikel yang bereaksi. Tumbukan

tumbukan akan menghasilkan reaksi jika partikel-partikel bertumbukan dengan

energi yang cukup untuk memulai suatu reaksi atau yang sering disebut sebagai

energi aktivasi. Peningkatan frekuensi tumbukan dapat dilakukan dengan

meningkatkan temperatur proses, konsentrasi dari pereaksi dan meningkatkan

pengadukan.

Untuk mempercepat reaksi, perlu meningkatkan jumlah dari partikel-

partikel energik (partikel-partikel yang memiliki energi yang sama atau lebih

besar dari energi aktivasi). Hampir sebagian besar reaksi yang terjadi baik di

laboratorium maupun industri akan berlangsung lebih cepat apabila dipanaskan.

Peningkatan temperatur dapat meningkatkan laju reaksi karena bertambahnya

jumlah energi tumbukan aktif (Clark 2004). Sebagian reaksi berlangsung pada

temperatur ruang, laju reaksi akan meningkat dengan meningkatnya temperatur.

11

Peningkatan konsentrasi salah satu reaktan dapat meningkatkan

kemungkinan terjadinya tumbukan. Namun, apabila menggunakan katalis padat

dalam jumlah yang sedikit dalam reaksi, dan direaksikan dengan reaktan yang

memiliki konsentrasi yang cukup tinggi, maka permukaan katalis akan seluruhnya

diliputi oleh partikel yang bereaksi sehingga mengurangi fungsi katalis. Selain itu,

peningkatan konsentrasi larutan terkadang tidak memberikan efek apa-apa karena

katalis telah bekerja pada kapasitas maksimumnya (Clark 2004). Cara lain untuk

meningkatkan frekuensi tumbukan adalah dengan proses pengadukan.

Mekanisme Pengadukan Konvensional Blade Agitator

Sebagian besar proses bergantung pada keberhasilannya dalam mengaduk

dan mencampur fluida. Pengadukan cairan biasanya dilakukan di dalam tangki

atau bejana, biasanya berbentuk silinder dengan sumbu vertikal. Pengaduk yang

digunakan dapat berupa impeler yang dipasang menggantung pada poros yang

digerakkan oleh motor. Impeler menciptakan pola aliran dalam sistem,

menyebabkan cairan beredar pada bejana dan akhirnya kembali ke impeler.

Pola aliran pada sistem pengadukan dengan menggunakan agitator

bergantung pada tipe impeler yang digunakan, karakteristik fluida, dan ukuran

serta bentuk tangki, baffle, dan agitator. Pada aliran berputar, cairan mengalir

dengan arah pergerakan mengikuti sudu impeler, kecepatan relatif antara blade

dan liquid berkurang, dan tenaga yang dapat diserap oleh liquid terbatas.

Prinsip dalam aliran adalah radial dan tangensial. Kompenen tangensial

akan menyebabkan terbentuknya vortex (pusaran) dan putaran, yang harus

dicegah dengan memasang buffle atau cincin diffuser. Dalam bejana yang tidak

memiliki buffle putaran aliran dipengaruhi oleh semua tipe impeler, baik aliran

aksial maupun radial. Apabila putarannya kuat, pola aliran di dalam tangki

sebenarnya sama untuk semua bentuk impeler. Pada impeler yang berkecepatan

tinggi, vortex akan terbentuk hingga mencapai impeler (hal ini tidak diinginkan)

(McCabe et al. 1993), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.

12

Gambar 4 Pola aliran di dalam bejana tanpa buffle pada sistem pengadukan

dengan blade agitator (McCabe et al. 1993)

Static Mixer

Selama ini pada produksi biodiesel, peningkatan frekuensi tumbukan

dilakukan dengan menggunakan blade agitator yang memanfaatkan kerja dari

moving part. Pemakaian moving part tersebut perlu dihindari untuk mengurangi

pemakaian energi dan perawatan tambahan. Penambahan komponen mixer yang

bekerja statis dapat dilakukan untuk menghindari hal tersebut.

Pemakaian static mixer dalam produksi biodiesel telah dilakukan

sebelumnya oleh Alamsyah (2010). Dalam hal ini static mixer berfungsi untuk

mempermudah kerja katalis dalam mempercepat terjadinya reaksi antara

trigliserida dan metanol melalui proses pengadukan yang dilakukan oleh elemen

statis. Katalis yang digunakan oleh Alamsyah (2010) sebanyak 1% w/w, dan

menghasilkan metil ester sebesar 98.7% dalam waktu 20 menit. Dari kondisi

tersebut terlihat bahwa pemakaian katalis masih dapat diturunkan di bawah 1%

dengan bantuan pengadukan dari static mixer yang menciptakan pemecahan,

pembagian dan pembalikan aliran dengan tujuan mengurangi variasi bahan dan

menghasilkan campuran yang lebih homogen (Kenics 2007).

Energi kinetik yang tebentuk dari aliran (Nevers 1991) yang disebabkan

oleh geometri static mixer, akan menyebabkan partikel-partikel fluida yang

terbentuk menjadi lebih kecil, luas permukaan menjadi besar, sehingga frekuensi

tumbukan yang terjadi dalam reaktor akan semakin besar pula (Clark 2004) dan

Permukaan

cairan

Vortexn

cairan

Samping Bawah

13

pada kondisi temperatur yang sesuai akan mempercepat terjadinya reaksi antar

partikel campuran fluida (trigliserida dan metanol).

Static mixer merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencampur dua

bahan fluida, umumnya fluida yang cair. Namun, juga digunakan untuk

mencampur gas, mencampur gas dengan cairan atau cairan dengan cairan yang

tidak terlarut. Perangkat ini terdiri dari elemen-elemen (umumnya berbentuk

heliks) yang berada di dalam tabung silinder. Elemen tersebut terbuat dari logam

atau sejenis plastik. Demikian pula, selubung mixer dapat dibuat dari logam atau

plastik. Jenis bahan konstruksi untuk komponen static mixer antara lain stainless

steel, polypropylene, teflon, kynar dan polyacetal.

Fluida yang mengalir terus-menerus melewati elemen static mixer akan

mengalami pencampuran dan pengadukan seolah-olah telah mengalami

pengadukan secara batch konvensional dalam tangki (Admix 2010a).

Keberhasilan proses pencampuran tergantung pada beberapa variabel antara lain

sifat fluida, diameter dalam tabung, jumlah elemen, dan desain. Desain geometrik

alat yang tepat dapat menghasilkan pola pembagian aliran dan pencampuran radial

sekaligus.

Gambar 5 Pembagian aliran dan pencampuran radial cairan di dalam static mixer

(Bor dan Thomas 1971).

Pembagian aliran

Pencampuran radial

14

Gambar 6 Pembagian aliran di mixer adalah fungsi dari jumlah elemen dalam

static mixer (Bor dan Thomas 1971).

Proses pembagian aliran bahan (fluida) pada elemen mixer terjadi di bagian

tepi setiap elemen. Aliran yang terbagi tersebut akan mengikuti saluran yang

diciptakan oleh bentuk elemen mixer (heliks), kemudian mengalami pembagian

lagi pada bagian tepi elemen berikutnya sehingga mengakibatkan peningkatan

eksponensial dalam stratifikasi (jumlah bagian yang dihasilkan adalah 2n dimana

'n' adalah jumlah elemen dalam mixer). Selain itu, geometri static mixer juga

menyebabkan terbentuknya aliran turbulen mikro, pencampuran radial (sirkulasi

dan rotasi bahan di sekitar pusat hidrolik) dan transfer momentum di setiap

saluran mixer.

Gambar 7 Aliran fluida dalam static mixing reactor (Admix 2010b).

Proses pencampuran dan pengadukan yang terjadi di saluran static mixer

akan mengurangi atau menghilangkan gradien pada temperatur, kecepatan dan

komposisi bahan (Bor dan Thomas 1971; Admix 2010b).

Jumlah elemen

1 2 3 4 5

2 4 8 16 32

Jumlah pembagian

Aliran laminar

Pembagian

Pencampuran radial dan

transfer momentum

Aliran turbulen

Pembalikan inersia

Layer = 2e

dimana e = jumlah

elemen

Membentuk aliran

turbulen mikro

Memaksa material berotasi pada

pusat hidroliknya

15

Aliran Fluida dalam Pipa

Ada dua jenis aliran mantap dari fluida yang disebut aliran laminer dan

aliran turbulen. Dalam aliran laminer partikel-partikel fluidanya bergerak di

sepanjang lintasan-lintasan lurus, sejajar dalam lapisan-lapisan atau laminae.

Sedangkan pada aliran turbulen partikel-partikel bergerak secara serampangan ke

semua arah (Giles 1996).

Fluida yang mengalir dalam aliran yang turbulen memiliki energi kinetik

per satuan massa yang lebih besar jika dibandingkan dengan fluida yang mengalir

dengan kecepatan yang sama pada aliran yang tidak turbulen. Dengan demikian,

semakin meningkat intensitas turbulensi, maka “energi kinetik turbulen” akan

semakin besar. Energi kinetik turbulen membentuk aliran dari konversi viskositas

menjadi energi dalam (Nevers 1991).

Kinetika Reaksi Transesterifikasi

Laju Reaksi dan Orde Reaksi Transesterifikasi

Laju reaksi biasanya diukur dengan melihat berapa cepat konsentrasi suatu

reaktan berkurang pada waktu tertentu. Dengan melakukan percobaan yang

melibatkan reaksi antara A dan B, akan diperoleh bahwa laju reaksi berhubungan

dengan konsentrasi A dan B, seperti pada persamaan (1).

r = k[A]a[B]

b ........................................................................................ (1)

dimana:

r = laju reaksi (mol s-1

)

k = konstanta laju reaksi

A, B = konsentrasi reaktan yang bereaksi (mol)

a, b = orde reaksi terhadap A, B

Persamaan laju menunjukkan pengaruh dari perubahaan konsentrasi reaktan

terhadap laju reaksi. Faktor-faktor lainnya seperti temperatur, katalis (Clark 2004)

serta konstanta laju reaksi juga mempengaruhi laju reaksi. Dari persamaan (1)

terlihat bahwa laju reaksi dipengaruhi oleh pangkat dari konsentrasi A dan B yang

merupakan orde reaksi terhadap A dan B.

Penyelidikan sebuah reaksi bertujuan untuk menentukan model laju dan

konstanta laju reaksi, pada beberapa temperatur. Idealnya, langkah pertama adalah

16

mengidentifikasi semua produk dan menyelidiki apakah terdapat reaksi

intermediate dan reaksi samping yang terlibat. Penentuan laju reaksi

disederhanakan dengan metode isolasi pada konsentrasi seluruh reaktan yang

berlebih. Apabila salah satu reaktan memiliki kelebihan konsentrasi, maka

konsentrasi reaktan tersebut dapat dianggap konstan selama reaksi berlangsung

(Atkins 1990).

Apabila laju reaksi tersebut mengikuti model reaksi orde pertama, maka

menjadi persamaan (2)

= - k[A]1 ...................................................................................... (2)

Kemudian persamaan (2) tersebut diintegrasikan diantara limit waktu = 0 dan

waktu t dengan konsentrasi yang beragam dari konsentrasi awal [A]o pada waktu

nol ke [A] pada waktu setelahnya sehingga menghasilkan persamaan (3)

........................................................................... (3)

Dari hasil integrasi tersebut diperoleh persamaan (4)

atau ............................................................ (4)

(House 2007).

Kinetika reaksi pada sistem produksi biodiesel dalam reaktor dibuat

berdasarkan reaksi transesterifikasi overall, dengan asumsi bahwa reaksi

berlangsung irreversible karena reaktan (alkohol) yang digunakan sangat berlebih

sehingga konsentrasi dari alkohol selama reaksi dapat dianggap tetap. Pada

kondisi ini perubahan jumlah alkohol pada reaksi tidak akan mempengaruhi laju

reaksi (Utami et al. 2007).

Apabila model orde reaksi yang berlaku untuk keseluruhan reaksi adalah

orde kedua, maka persamaan laju reaksi setelah melalui teknik isolasi dengan

konsentrasi B yang berlebih akan memberikan hasil seperti persamaan (5)

= k [A]2 ......................................................................................... (5)

Model tersebut merupakan model pseudo orde kedua (Atkins 1990).

Model laju reaksi tidak selalu mengikuti persamaan kesetimbangan pada

suatu reaksi. Jika persamaan (5) diintegrasikan antara limit konsentrasi [A]o pada t

= 0 dan [A] pada waktu t, maka akan menghasilkan laju reaksi dengan persamaan

17

..................................................................................... (6)

Sama halnya pada suatu reaksi yang mengikuti model reaksi dengan orde

ketiga dan salah satu reaktannya dalam jumlah yang berlebih, maka setelah

melalui teknik isolasi akan memiliki persamaan seperti persamaan (7):

= - k[A]3 ....................................................................................... (7)

Jika persamaan diintegrasikan antara limit konsentrasi [A]o pada t = 0 dan [A]

pada waktu t, maka diperoleh hasil integrasi laju reaksi pada persamaan (8)

................................................................................. (8)

(House 2007).

Dari perhitungan laju reaksi tersebut, maka nilai konstanta laju reaksi

(tetapan laju) dapat ditentukan dengan cara memplotkan ke dalam grafik

hubungan antara perubahan konsentrasi (sesuai dengan model orde reaksi yang

sesuai) terhadap waktu.

Persamaan Arrhenius

Konstanta laju reaksi (tetapan laju) sebenarnya tidak benar-benar konstan.

Konstanta ini berubah, jika temperatur reaksi ataupun katalis yang digunakan

dalam reaksi diubah. Nilai konstanta laju reaksi dapat ditentukan dengan

menggunakan persamaan Arrhenius.

......................................................................................... (9)

Dimana:

- T : temperatur (Kelvin).

- R : konstanta atau tetapan gas (J K-1

mol-1

)

- EA : energi aktivasi (kJ mol-1

)

- A : Faktor frekuensi (mol-1

)

A, merupakan faktor pre-eksponensial atau faktor sterik. A merupakan

istilah yang meliputi faktor seperti frekuensi tumbukan dan orientasinya. A sangat

bervariasi bergantung pada temperatur walau hanya sedikit. A sering dianggap

sebagai konstanta pada jarak perbedaan temperatur yang kecil.

Persamaan Arrhenius dapat dinyatakan dalam bentuk logaritmik seperti

pada persamaan (10)

................................................................................... (10)

18

Persamaan Arrhenius dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh dari

perubahaan temperatur pada tetapan reaksi dan laju reaksi. Jika misalkan tetapan

laju berlipatganda, maka laju reaksi juga akan berlipatganda. Utami et al. (2007)

dan Dasari (2003) telah membuktikan bahwa kenaikan temperatur berpengaruh

terhadap kenaikan konstanta laju reaksi atau dengan kata lain mempercepat

terjadinya reaksi. Faktor frekuensi (A) dalam persamaan ini kurang lebih konstan

untuk perubahaan temperatur yang kecil. Katalis akan menyediakan rute agar

reaksi berlangsung dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis adalah suatu

zat yang mempercepat suatu laju reaksi, namun ia sendiri, secara kimiawi, tidak

berubah pada akhir reaksi. Ketika reaksi selesai, akan diperoleh massa katalis

yang sama seperti pada awal ditambahkan (Clark 2004)

Salah satu faktor yang mempengaruhi kinetika reaksi pada proses ini adalah

pencampuran dan intensitas pengadukan. Sudah jelas bahwa kinetika yang

melibatkan reaksi dengan alkohol sangat dipengaruhi oleh intensitas pengadukan

reaktan di dalam campuran, karena proses ini terjadi pada sistem yang heterogen

dari dua fase yang tidak terlarut. Oleh karena itu diperlukan kondisi pengadukan

yang mampu meningkatkan yield biodiesel atau untuk mempersingkat waktu

proses, misalnya high shear mixer, reaktor dengan aliran yang berputar, dan

ultrasound reactor (Reyes et al. 2010).