tinjauan hukum islam terhadap praktik ...digilib.uinsby.ac.id/23569/7/dewi ayu lestari...
TRANSCRIPT
-
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK
KERJASAMA LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM
PARON DI DESA SIDODADI KECAMATAN SUKOSEWU
KABUPATEN BOJONEGORO
SKRIPSI
Oleh :
Dewi Ayu Lestari
NIM. C72214036
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES)
2018
-
v
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kerjasama Lahan Pertanian
dengan sistem Paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten
Bojonegoro”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana
mekanisme kerjasama lahan pertanian dengan sistem Paron di Desa Sidodadi
Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro? Bagaimana tinjauan hukum Islam
terhadap praktik kerjasama lahan pertanian dengan sistem Paron di Desa Sidodadi
Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro?
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan (field research) di Desa Sidodadi
Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan wawancara (interview).
Selanjutnya data yang dikumpulkan disusun dan dianalisis dengan menggunakan
metode deskriptif analisis, yakni mengumpulkan data tentang kerjasama lahan
pertanian dengan sistem paron antara pemilik sawah dan penggarap di Desa Sidodadi
Bojonegoro yang disertai analisis, untuk diambil kesimpulan.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa, yang pertama kerjasama lahan pertanian
dengan sistem paron di Desa Sidodadi Bojonegoro antara pemilik sawah dan
penggarap yaitu dalam melakukan perjanjian mereka tidak melakukannya secara
tertulis, melainkan memakai cara kekeluargaan dengan rasa saling percaya antara
pemilik sawah dan penggarap dan saat panen hasilnya akan dibagi menurut
kesepakatan, dalam hal ini bibit, pupuk, dan seluruh biaya penggarapan sawah
ditanggung oleh penggarap, kemudian juga tidak menentukan tentang jangka waktu
pelaksanaan kerjasama dan juga tidak menentukan pembagian bagi hasilnya. Kedua
yaitu menurut hukum Islam bahwa praktik kerjasama tersebut telah memenuhi rukun
dan syarat Mukhᾱbarah yakni pelaksanaan kerjasama tersebut bibit, pupuk, dan
seluruh biaya perawatan sawah ditanggung oleh penggarap, dan sudah menjadi adat
kebiasaan yang tidak bertentangan dengan dalil syara’ serta memenuhi syarat maka
penggunaan sistem paron tersebut diperbolehkan dan termasuk ‘Urf Shahih.Adapun
saran yaitu diharapkan bagi pemilik sawah dan penggarap khususnya di Desa
Sidodadi, agar melakukan perjanjian secara tertulis. Serta diharapkan saat melakukan
perjanjian ditentukan pembagian hasilnya serta ditentukan jangka waktu kerjasama
agar tidak terjadi pertikaian di kemudian hari. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan
bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti tentang kerjasama lahan pertanian
sehingga bisa menelitinya berdasarkan undang-undang positif yaitu UU Nomor 2
Tahun 1960 tentang Perjanjian bagi hasil dan berdasarkan Hukum Adat.
-
v
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .................................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TRANSLITERASI ................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ............................................................. 7
C. Rumusan Masalah ..................................................................................... 9
D. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9
E. Kegunaan Hasil Penelitian ...................................................................... 10
F. Kajian Pustaka ......................................................................................... 10
G. Definisi Operasional ............................................................................... 14
H. Metode Penelitian ................................................................................... 15
-
vi
I. Sistematika Pembahasan .......................................................................... 20
BAB II HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN PERTANIAN MENURUT
HUKUM ISLAM DAN SUMBER HUKUM ISLAM
A. Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah dalam Hukum Islam ...................................................... 22
1. Pengertian Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah ................................................ 22
2. Dasar Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah .......................................... 23
3. Rukun dan Syarat Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah .................................... 25
4. Zakat Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah ........................................................ 27
5. Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah ..................................................... 28
6. Berakhirnya Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah ............................................. 29
7. Hikmah Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah .................................................... 30
B. ‘Urf dalam Hukum Islam ........................................................................ 31
1. Pengertian ‘Urf ................................................................................... 31
2. Macam-Macam ‘Urf ........................................................................... 32
3. Kaidah tentang ‘Urf ............................................................................. 32
4. Kehujjahan ‘Urf ................................................................................... 34
5. Syarat-Syarat ‘Urf untuk dapat dijadikan landasan Hukum ................ 34
-
vii
BAB III PRAKTIK KERJASAMA LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM
PARON DI DESA SIDODADI KECAMATAN SUKOSEWU KABUPATEN
BOJONEGORO
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................................... 36
1. Letak Geografis .................................................................................... 36
2. Luas Wilayah ........................................................................................ 37
3. Keadaan Penduduk ............................................................................... 38
4. Kondisi Sosial Keagamaan .................................................................. 39
5. Kondisi Sosial Pendidikan ................................................................... 40
B. Sistematika Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem Paron antara ........
Pemilik dan Penggarap di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu ..............
Kabupaten Bojonegoro ........................................................................... 41
1. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem
Paron antara Pemilik dan Penggarap ................................................... 41
2. Mekanisme Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem Paron ............ 45
3. Pelaksanaan Bagi Hasil ........................................................................ 49
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KERJASAMA
LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM PARON DI DESA SIDODADI
KECAMATAN SUKOSEWU KABUPATEN BOJONEGORO
A. Analisis Akad dalam Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem Paron
-
viii
antara Pemilik dan Penggarap................................................................... 52
B. Analisis Hukum Islam dalam Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem ..
Paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro .. 58
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................... 62
B. Kritik dan Saran ......................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang berkodrat hidup dalam
bermasyarakat, sebagai makhluk sosial dalam hidupnya manusia memerlukan
manusia lainnya yang sama-sama hidup bermasyarakat, manusia selalu
berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak, untuk mencukupkan
kebutuhan-kebutuhan hidup. Untuk itu perlu kita ketahui juga bahwasanya
dalam islam segala hal yang berkaitan dengan manusia semuanya sudah
diatur secara jelas, aturan tersebut salah satunya yakni terdapat dalam kaidah
tentang fiqh muamalah yang mana didalamnya mencakup seluruh aturan sisi
kehidupan individu dan masyarakat.
Setiap manusia tidak bisa menyediakan dan mengadakan
keperluannya tanpa melibatkan orang lain. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan cara melakukan kerjasama, misalkan ada seseorang
mempunyai suatu barang tetapi orang yang lain tidak memiliki barang
tersebut, maka manusia harus saling berhubungan, saling melengkapi, saling
bertukar keperluan dan juga keahlian (keterampilan).1
1 M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),
62.
-
2
Mu’ᾱmalah berasal dari kata ‘amala yang artinya saling bertindak,
saling berbuat, dan saling mengenal.2 Mu’ᾱmalah ialah segala aturan agama
yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antar manusia dengan
alam sekitarnya tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya.
Mu’ᾱmalah mempunyai ruang lingkup yang luas, yang meliputi segala aspek,
baik dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan serta sosial budaya.
Fiqh Mu’ᾱmalah adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis
(amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci yang mengatur
keperdataan seseorang dengan orang lain dalam hal persoalan ekonomi, di
antaranya: dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerjasama dagang,
simpanan barang atau uang, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang
piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, barang titipan, dan pesanan.3
Aturan-aturan Allah ini ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam
urusan yang berkaitan dengan duniawi dan sosial kemasyarakatan. Manusia
kapanpun dan dimanapun harus senantiasa mengikuti aturan yang telah
ditetapkan Allah sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi sebab segala
aktifitas manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Dalam islam tidak ada pemisahan antara amal perbutuatan dana amal akhirat,
2 Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 13.
3 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2012,
2
-
3
sebab sekecil apapun aktifitas manusia di dunia harus didasarkan pada
ketetapan Allah SWT agar kelak selamat di akhirat.4
Indonesia dikenal sebagai Negara agraris karena sebagian besar
penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau
bercocok tanam. Secara geografis Indonesia yang juga merupakan negara
kepulauan memiliki potensi alam yang besar tidak hanya dalam bidang
kelautan tapi juga dalam pengolahan pertanian. Potensi pertanian Indonesia
yang tinggi salah satunya disebabkan wilayah Indonesia yang memiliki
wilayah daratan sepertiga dari luas keseluruhan ini dilewati barisan
pegunungan dunia. hal ini menyebabkan wilayah daratan Indonesia sangat
subur. kondisi alam yang demikian memberikan peluang bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian
maupun yang berkaitan dengan pertanian. itulah mengapa selain disebut
sebagai negara maritim indonesia juga disebut negara agraris.
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang
dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri,
atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Sebagian
besar penduduk Indonesia hidup dari hasil bercocok tanam atau petani.
Pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam
kesejahteraan penduduk Indonesia.
4 Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah…, 15
-
4
Kegiatan pertanian merupakan pekerjaan yang dianjurkan dan
diperbolehkan dalam Islam karena dalam pertanian terdapat hasil dan
manfaat yang begitu besar. Hal tersebut dapat dipahami melalui firman Allah
SWT dalam QS. An-An’am: 99 yang berbunyi :
َماِء َماًء فََأْخَرْجَنا بِِه نَ َباَت ُكلِّ َشْيٍء فََأْخَرْجَنا ِمْنُه َخِضرًا ُُنْرُِج مِ بااَوُهَو الَِّذي أَنْ َزَل ِمَن السَّ ََ ْنُه اَن ُمْشتَ َواٌن َدانَِيٌة َوَجنَّاٍت ِمْن أَْعَناٍب َوالزَّيْ ُتوَن َوالرُّمَّ َر ُمتَ رَاِكًباَوِمَن النَّْخِل ِمْن طَْلِعَها ِقن ْ ِبًها َوَغي ْ
ِلُكْم ََليَاٍت لَِقْوٍم يُ ْؤِمُنونَ ۗ اْنظُُروا ِإََلٰ ََثَرِِه ِإَذا أََْثََر َويَ ْنِعِه ۗ ُمَتَشابٍِه ِإنَّ ِف ذَٰ Artinya : “dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu
Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan Maka
Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami
keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak dan dari
mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun
anggur, dan (kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang
tidak serupa, perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan
(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”5
Dalam melaksanakan kegiatan pertanian manusia juga harus saling
bekerja sama dan memberi bantuan kepada orang lain, untuk memenuhi
kebutuhan dan mencapai kesejahteraan dalam kehidupan.
Kerjasama dengan cara bagi hasil merupakan salah satu kegiatan
mu’ᾱmalah yang sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya
dalam bidang pertanian. Kerjasama secara bagi hasil ataupun sewa menyewa
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Khadijah. (Jakarta: Panca Cemerlang, 2010),
140.
-
5
ini diperbolehkan dalam Islam baik terhadap barang bergerak ataupun barang
tidak bergerak seperti tanah.6
Dalam hukum Islam, model kerjasama pengelolaan sawah ada dua,
yaitu Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah. Muzᾱra’ah merupakan kerjasama
pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, yakni pemilik
lahan memberikan lahan pertaniannya kepada si penggarap untuk ditanami
dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam
kerjasama ini terdapat dua pihak yang satu sebagai pemilik modal, sedangkan
dipihak lain sebagai pelaksana usaha. Keduanya mempunyai kesepakatan
untuk kerjasama, kemudian hasilnya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.
Mukhᾱbarah pun tidak jauh berbeda dengan Muzᾱra’ah, hanya saja jika
Muzᾱra’ah benihnya dari pemilik tanah. Seperti pandangan ulama Syafi’iyah
yang menyatakan bahwa Muzᾱra’ah adalah transaksi antara penggarap
(dengan pemilik tanah) untuk menggarap tanah dengan imbalan sebagian dari
hasil yang keluar dari tanah tersebut dengan ketentuan bibit dari pemilik
tanah.7
Sistem bagi hasil menjadi suatu yang penting manakala orang-orang
mempunyai tenaga kerja tetapi tidak mempunyai lahan, sementara yang lain
memiliki lahan tetapi tidak mempunyai modal dan tenaga kerja. Berdasarkan
6 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III. (Jakarta: PT.Pena Pundi Aksana, 2009) 2-7.
7 Ahmad Wardi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta: Amzah, 2013), 393.
-
6
keadaan seperti ini saling membantu dan bekerjasama, maka hanya sistem
bagi hasil yang merupakan cara efektif untuk menghasilkan lebih banyak
tanah yang dapat diolah sehingga menguntungkan kedua pihak.8
Sidodadi adalah sebuah Desa yang merupakan bagian dari Kecamatan
Sukosewu Kabupaten Bojonegoro, di Desa tersebut memiliki banyak
kegiatan ekonomi seperti petani dan kuli bangunan. Namun mayoritas
masyarakat di Desa tersebut berprofesi sebagi petani dan buruh tani. Akan
tetapi tidak semua masyarakat memiliki sawah, sehingga banyak masyarakat
yang melakukan kerjasama dalam mengelola sawah milik masyarakat yang
biasa disebut dengan sistem paron.
Kerjasama paron yang ada di Desa Sidodadi ini melibatkan 2 pihak,
yaitu pihak pemilik sawah dan pihak pengelola sawah, sistem paron yang ada
di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro pada
praktiknya semua biaya ditanggung oleh penggarap sawah. Panen yang
terjadi pada umumnya sebanyak tiga kali dalam satu tahun, yaitu dua kali
panen padi dan satu kali panen kedelai, kacang hijau, dan jagung. Ketika
melakukan perjanjian, pemilik sawah membuat kesepakatan dengan
penggarap bahwa hasil dari setiap panen dibagi dua dengan prosentase 50%
untuk pemilik sawah dan 50% untuk penggarap sawah, namun pada
praktiknya ada yang prosentasenya 60% untuk penggarap dan 40% untuk
8 Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II. (Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), 279.
-
7
pemilik sawah, adapula yang melibatkan pihak ketiga dalam kerjasama yaitu
pihak pemilik toko pertanian dimana penggarap sawah berhutang pupuk dan
obat tanaman kepada pemilik toko pertanian dan akan dibayar saat panen.9
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian lebih lanjut secara rinci untuk meneliti praktik
terjadinya kerjasama dengan sistem Paron dan untuk diketahui kajian
hukumnya dalam Islam. Maka judul yang akan dijadikan bahan penelitian
penulisan skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Islam tentang Kerjasama
Lahan Pertanian dengan sistem Paron di Desa Sidodadi Kecamatan
Sukosewu Kabupaten Bojonegoro”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi dan Batasan Masalah menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan cakupan yang dapat muncul dalam penelitian dengan
melakukan identifikasi dan inventarisasi sebanyak-banyaknya kemungkinan
yang dapat diduga sebagai masalah. Kemudian, ruang lingkup masalah yang
telah diidentifikasi itu dibatasi dalam rangka menetapkan batas-batas masalah
secara jelas sehingga mana yang masuk dan mana yang tidak masuk dalam
masalah yang akan didekati dan dibahas.10
9 Muntohar, Wawancara, Bojonegoro, 4 September 2017.
10 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. (Surabaya:
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), 8.
-
8
1. Akad yang digunakan dalam kerjasama lahan pertanian dengan sistem
Paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
2. Faktor penyebab adanya perbedaan prosentase bagi hasil dalam
kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron di Desa Sidodadi
Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
3. Mekanisme bagi hasil dalam kerjasama lahan pertanian dengan sistem
Paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
4. Akibat yang akan ditimbulkan dengan adanya perbedaan prosentase bagi
hasil dalam kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron di Desa
Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
5. Konsep analisis hukum Islam terhadap praktik kerjasama lahan pertanian
dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten
Bojonegoro.
Agar pembahasan dapat fokus dan mencapai apa yang diharapkan, maka
perlu dibatasi ruang lingkup dalam permasalahan ini, yaitu:
1. Mekanisme kerjasama/bagi hasil lahan pertanian dengan sistem paron di
Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
2. Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik kerjasama lahan pertanian
dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten
Bojonegoro.
-
9
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang dan identifikasi masalah di
atas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme kerjasama/bagi hasil lahan pertanian dengan
sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten
Bojonegoro?
3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik kerjasama lahan
pertanian dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu
Kabupaten Bojonegoro?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin tercapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui mekanisme kerjasama dan bagi hasil lahan pertanian
dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten
Bojonegoro.
2. Untuk mengetahui analisis ‘urf terhadap praktik kerjasama lahan
pertanian dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu
Kabupaten Bojonegoro.
-
10
E. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari permasalahan di atas, penelitian dan penulisan ini diharapkan
mempunyai nilai tambah dan manfaat baik untuk penulis maupun pembaca,
sekurang-kurangnya untuk tiga aspek yaitu:
1. Secara akademis, dapat digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan
bagi peneliti berikutnya untuk membuat penelitian yang lebih sempurna.
2. Secara teoritis, dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum ekonomi syariah (muamalah).
3. Secara Praktis, dapat memberikan pemahaman secara jelas tentang
penggarapan lahan pertanian dengan sistem Paron menurut Hukum Islam
sehingga ilmu tersebut dapat diterapkan di masyarakat dan memberikan
solusi terhadap permasalahan yang ada.
F. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang
sudah pernah dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat
jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan
atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.11
Dari beberapa literatur yang telah penulis baca belum ada di antara
literature tersebut yang membahas secara rinci mengenai perbedaan
11
Ibid.
-
11
prosentase bagi hasil pada kerjasama pengolahan lahan pertanian dengan
system paron. Akan tetapi, ada beberapa karya tulis berupa skripsi yang telah
membahas Paron maupun kerjasama lahan dan dianalisis praktik yang ada di
lapangan, skripsi tersebut antara lain:
Pertama, skripsi yang ditulis Siti Machmudah, dalam skripsi berjudul
“Analisis Hukum Islam terhadap Kerjasama Pertanian dengan Sistem Bagi
Hasil disertai dengan Upah di Desa Pademonegoro, Kec.Sukodono,
Kab.Sidoarjo” skripsi ini membahas tentang mekanisme kerjasama pertanian
dengan sistem bagi hasil disertai upah di Desa Pademonegoro,
Kec.Sukodono, Kab.Sidoarjo, bahwa pada awal perjanjian kerjasama ini
tidak ada upah yang berupa uang, upah yang disepakati dalam perjanjian
awal adalah upah berupa sebagian dari panen sehingga ada pihak yang
dirugikan, dan hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum islam dan
tidak sesuai dengan tujuan dari kerjasama.12
Kedua, skripsi yang ditulis Silvia Ratnani, dalam skripsi berjudul
“Penggarapan Tanah Sawah dengan Sistem Setoran di Desa Lundo
Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik dalam Prespektif ‘Urf “,skripsi ini
membahas tentang kesepakatan (akad) yang digunakan dalam kerjasama
penggarapan sawah dengan sistem setoran di Desa Lundo Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik yaitu bahwa penggarap harus menyetorkan hasil
12
Siti Machmudah, “Analisis Hukum Islam terhadap Kerjasama Pertanian dengan Sistem Bagi Hasil
disertai dengan Upah di Desa Pademonegoro, Kec.Sukodono, Kab.Sidoarjo”(Skripsi--UIN Sunan
Ampel Surabaya 2013), 84.
-
12
panennya pada saat panen pertama sesuai dengan permintaan pemilik sawah,
untuk hasil panen kedua dan ketiga adalah milik penggarap seluruhnya dan
hal tersebut tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan termasuk ‘urf
shahih.13
Ketiga, skripsi yang ditulis Syahrul Amil Mukminin, dalam skripsi
yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap Paron sapi di Desa Ragang
Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan” skripsi ini membahas tentang
sebuah kasus dimana dalam memenuhi kebutuhan tambahan sehari-hari
biasanya para pemilik modal menanam modal untuk tambahan hidupnya
kepada masyarakat yang kurang mampu berupa sapi satu dan hasilnya dibagi
dua yaitu pemilik modal dan pengelola, masalahnya dalam bagi hasil anak
sapinya jika masyarakat yang mengelola tidak menghasilkan anak sapi maka
tidak ada keuntungan bagi pengelola, hasil penelitian menyimpulkan dalam
hukum islam mengenai paron sapi dalam sistem bagi hasil tidak sesuai
dengan hukum islam dimana hasil tersebut harus dibagi menjadi dua dengan
sistem penjualan yang transparan.14
Keempat, skripsi yang ditulis Misnawati, dalam skripsi berjudul
“Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem Paron Sawah Bersyarat di Desa
Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura" skripsi ini
13
Silvia Ratnani, “Penggarapan Tanah Sawah dengan Sistem Setoran di Desa Lundo Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik dalam Prespektif ‘Urf “ (Skripsi UIN--Sunan Ampel Surabaya 2015), 71. 14
Syahrul Amil Mukminin, “Analisis Hukum Islam terhadap Paron sapi di Desa Ragang Kecamatan
Waru Kabupaten Pamekasan”(Skripsi UIN--Sunan Ampel Surabaya 2014), 61.
-
13
membahas tentang akad paron yang terjadi di Desa Banyuates Kecamatan
Banyuates Kabupaten Sampang Madura ini melibatkan tiga pihak, yaitu
pemilik sawah, pengelola dan pemilik toko sebagai penyetok keperluan
bahan pertanian, ada dua akad dalam praktik paron sawah bersyarat di desa
Banyuates, yang pertama, antara pihak pemilik sawah dengan pengelola,
yaitu akad Mukhᾱbarah karena biaya operasional selama masa penanaman
sampai masa panen ditanggung oleh pengelola, dan antara pengelola dengan
pemilik toko yakni akad syirkah karena pemilik toko memberikan modal
kepada pengelola berbentuk bahan pertanian.15
Adapun penelitian yang akan peneliti lakukan berbeda dengan
beberapa penelitian terdahulu yang juga membahas tentang kerjasama lahan
pertanian dengan sistem paron. Dalam penelitian terdahulu di atas
menjelaskan pokok masalah yang memfokuskan tentang beberapa praktek
kerjasama penggarapan lahan dan sistem paron hewan ternak serta paron
sawah bersyarat yang berbeda dengan penelitian yang akan di bahas. Dalam
penelitian ini nanti akan membahas tentang masalah sistem paron dan
perbedaan prosentase bagi hasil kerjasama lahan pertanian di Desa Sidodadi
Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
15
Misnawati, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem Paron Sawah Bersyarat di Desa Banyuates
Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura”(Skripsi UIN--Sunan Ampel Surabaya 2016), 73.
-
14
G. Definisi Operasional
Agar dapat dijadikan acuan dalam menelusuri, mengkaji atau
mengukur variabel, maka penulis sampaikan batasan dari berbagai pengertian
yang berkaitan dengan maksud penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan
Hukum Islam tentang Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem paron di
Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro”, yaitu:
Hukum Islam : Penyelidikan terhadap suatu peristiwa
berlandaskan Al-Qur’an, Sunnah Nabi serta
Ijtihad para Ulama’ yang mengatur mengenai
praktik mu’amalah dalam akad kerjasama lahan
pertanian. Sehingga dapat diketahui baik atau
buruk, halal atau haram, serta boleh tidaknya
praktik paron tersebut dilakukan.
Kerjasama Lahan Pertanian : kerjasama antara pemilik lahan pertanian
dengan penggarap untuk mengelola lahan
pertanian dan masing-masing dari mereka akan
mendapatkan bagian sesuai dengan
kesepakatan.
Sistem Paron : Kesepakatan dari kerjasama antara pemilik
lahan (sawah) dengan penggarap (petani) untuk
-
15
mengelola lahan pertanian dan keuntungan
yang di dapat dari pengelolaan sawah tersebut
akan di bagi dua.
H. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan berorientasi pada pengumpulan data empiris
yaitu lapangan, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian
kualitatif, karena kualitatif memuat tentang prosedur penelitian yang
menghasilkan deskriptif berupa tulisan atau perkataan dari orang-orang atau
pelaku yang diamati.
1. Data yang Dikumpulkan
Data merupakan kumpulan dari keterangan/informasi yang benar dan
nyata yang diperoleh baik dari sumber primer maupun sumber
sekunder.16
a. Data primer ialah yang berkaitan dengan sistem paron kerjasama
lahan pertanian antara pemilik sawah dengan penggarap.
b. Data sekunder ialah tentang analisis hukum Islam terhadap sistem
sistem paron kerjasama lahan pertanian antara pemilik sawah dengan
penggarap.
2. Sumber Data
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
2011.
-
16
Sumber data terbagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari subjek penelitian. Sedangkan sumber data sekunder adalah
data atau informasi yang diperoleh secara tidak langsung dari objek
penelitian yang bersifat publik.17
a. Sumber Data Primer yang meliputi:
1) Pemilik lahan pertanian yang menerapkan sistem paron pada
kerjasama lahan pertanian di Desa Sidodadi Kecamatan Sikosewu
Kabupaten Bojonegoro.
2) Penggarap lahan pertanian yang menerapkan sistem paron pada
kerjasama lahan pertanian di Desa Sidodadi Kecamatan Sikosewu
Kabupaten Bojonegoro.
3) Masyarakat yang ada di Desa Sidodadi Kecamatan Sikosewu
Kabupaten Bojonegoro.
b. Sumber Data Sekunder yang meliputi :
1) Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah.
2) Saiful Jazil, Fiqih Mu’amalah.
3) Mardani, Hukum Bisnis Syariah.
4) Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah.
5) M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.
17
Wahyu Purhantara, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Bisnis. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 79.
-
17
6) Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah.
7) Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian,
penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi (Pengamatan)
Observasi adalah pengumpulan data dengan menggunakan atau
menggandakan pengamatan atau pencatatan dengan sistematis tentang
fenomena yang diselidiki baik secara langsung maupun tidak
langsung. Data diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung
mengenai praktek kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron di
Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
b. Interview (wawancara)
Wawancara atau interview ini merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan
menggunakan pertanyaan-pertanyaan kepada responden.18
Data dari
metode interview ini didapat setelah mewawancarai pemilik sawah,
penggarap sawah, dan beberapa masyarakat desa.
4. Teknik Pengolahan Data
18
Margono, Metode Penelitian Pendidikan. (Jakarta:Renika Ilmu, cet.I, 2004), 39.
-
18
Setelah data berhasil diperoleh dari lapangan maupun penulisan, maka
penulis akan melakukan pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut:
a. Editing, adalah kegiatan yang dilaksanakan setelah penulis selesai
menghimpun data di lapangan. Kegiatan ini menjadi penting karena
kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadangkala belum
memenuhi harapan peneliti, diantaranya kurang atau terlewatkan,
tumpeng tindih, berlebihan bahkan terlupakan. Oleh karena itu
keadaan tersebut harus diperbaiki melalui tahap editing ini.19
b. Organizing, adalah kegiatan menyusun data yang telah didapatkan
ketika penulis melakukan pencarian data yang diperlukan dalam
penelitian ini dalam kerangka paparan yang sudah dibuat atau
direncankan secara sistematis dengan rumusan masalah yang ada.20
c. Penemuan Hasil adalah kegiatan melakukan analisis data yang sudah
diperoleh peneliti dari kegiatan penelitian di lapangan guna
memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta yang ada di
lapangan dan akhirnya merupakan suatu jawaban dari rumusan
masalah.21
5. Teknik Analisis Data
19
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial format-format kuantitatif dan kualitaatif. (Surabaya:
Airlangga University Pers), 182. 20
Usman Rianse Abdi, Metodologi Penelitian: Sosial dan Ekonomi Teori dan Aplikasi. (Bandung:
CV. Alfabeta, 2009), 245. 21
Ibid., 246.
-
19
Dalam rangka mempermudah dalam menganalisis data, dari hasil
pengumpulan data yang dilakukan selanjutnya akan dibahas yang
kemudian dilakukan analisis secra kualitatif, yaitu dengan menghasilkan
data deskriptif. Deskriptif yaitu menggambarkan/ menguraikan sesuatu
hal menurut apa adanya yang sesuai dengan kenyataan.22
Setelah penulis melakukan penelitian dengan mengumpulkan data
secara sistematis, kemudian menganalisisnya dengan menggunakan
metode deskriptif analisis, yaitu dengan mengumpulkan data tentang
praktik kerjasama lahan pertanian dengan sistem Paron di Desa Sidodadi
Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro yang menghasilkan data
deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari hasil wawancara
yang dilakukan oleh penulis dengan orang yang diinterview serta
mengamati keadaan yang ada dengan metode yang sudah ditentukan
sebelumnya. Kemudian data tersebut akan diolah dan dianalisis dengan
pola piker deduktif yakni menggunakan pola pikir yang berpijak pada
teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan, kemudian dikemukakan
berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.23
Metode yang berpijak
pada teori ‘Urf yang kemudian dikaitkan dengan fakta-fakta dalam
praktik kerjasama lahan pertanian dengan sistem Paron antara pemilik
22
Pius Partanto dan Dahlan Barry, Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya: Arkola, 2001), 111. 23
Sutrisno Hadi, Metodologi Research. (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1975), 16.
-
20
sawah dengan penggarap di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu
Kabupaten Bojonegoro.
I. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis agar mempermudah
pembahasan dalam penelitian ini, sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama ialah pendahuluan yang berisi tentang pokok-pokok
pikiran atau landasan permasalahan yang melatar belakangi penulisan
proposal ini, sehingga memunculkan gambaran isi tulisan yang terkumpul
dalam konteks penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua memuat penjelasan tentang teori Muzᾱra’ah, Mukhᾱbarah
dan ‘Urf. Teori pertama yaitu Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah berisi tentang
pengertian Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah, dasar hukum Muzᾱra’ah dan
Mukhᾱbarah, rukun dan syarat Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah, perbedaan
Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah, dan berakhirnya akad Muzᾱra’ah dan
Mukhᾱbarah. Teori yang kedua adalah ‘Urf mencakup tentang definisi ‘Urf,
macam-macam ‘Urf, dan kedudukan ‘Urf dalam penetapan hukum islam.
Bab ketiga berisikan tentang praktik kerjasama lahan pertanian
dengan sistem Paron antara pemilik sawah dan penggarap, yang berisikan
-
21
tentang gambaran umum lokasi penelitian, sistematika praktik kerjasama dan
bagi hasil lahan pertanian dengan sistem Paron antara pemilik sawah dan
penggarap dan yang melibatkan pihak ketiga di Desa Sidodadi Kecamatan
Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
Bab keempat berisikan tentang tinjauan hukum islam terhadap praktik
kerjasama lahan pertanian dengan sistim Paron didesa Sidodadi Kecamatan
Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan tentang
kesimpulan yang menjawab rumusan masalah di lengkapi dengan saran-
saran. Selain itu bab terakhir ini dilengkapi dengan daftar pustaka.
-
22
BAB II
KONSEP MUZARA’AH, MUKHABARAH, dan ‘URF DALAM HUKUM ISLAM
A. Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam, model kerjasama pengelolaan sawah ada dua, yaitu
Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah. Muzᾱra’ah merupakan kerjasama pengelolaan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, yakni pemilik lahan
memberikan lahan pertaniannya kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam kerjasama
ini terdapat dua pihak yang satu sebagai pemilik modal, sedangkan dipihak
lain sebagai pelaksana usaha.
1. Pengertian Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah
Secara etimologi, Muzᾱra’ah berarti kerjasama di bidang
pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap.1 Menurut
Muhammad Syafi’i Antonio, Muzᾱra’ah adalah kerjasama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.2
1 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana), 2010, 114
2 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia), 2011, 213
-
23
Sedangkan menurut terminologi, Mukhᾱbarah adalah bentuk
kerjasama antara pemilik sawah atau tanah dan penggarap dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan
penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya
dari penggarap tanah.3
Dalam Mukhᾱbarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh
penggarap tanah, sedangkan dalam Muzᾱra’ah, bibit yang akan ditanam
boleh dari pemilik.4
Setelah diketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa
Mukhᾱbarah dan Muzᾱra’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan.
Persamaannya ialah, Mukhᾱbarah dan Muzᾱra’ah terjadi pada peristiwa
yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain
untuk dikelola. Perbedaannya ialah, pada modal bila modal berasal dari
pengelola, disebut Mukhᾱbarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik
tanah, disebut Muzᾱra’ah.5
2. Dasar Hukum Mukhᾱbarah dan Muzᾱra’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan
hukum Mukhᾱbarah dan Muzᾱra’ah adalah sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari r.a.
3 Ibid., 117
4 Ibid., 114
5 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia), 2011, 215
-
24
َها ِمْن ََثٍَر َأْو َزرٍْع, َفَكاَن َعْن َعْبِداللَِّه ْبِن ُعَمَر : َأنَّ النَِّبَّ ص م َعاَمَل َخْيبَ َر ِبَشْطِر َما ََيْرُُج ِمن ْ
ُرْوَن َوْسَق َشِعْْيٍ .شْ َوعِ يُ ْعِطي اَْزَواَجُه ِمائَ َتا َوْسٍق, ََثَانُ ْوَن َوْسَق ََتٍْر ,
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar : bahwa Nabi Saw.
Memperkerjakan penduduk Khaibar dengan mendapatkan setengah dari
buah atau tanaman yang dihasilkan. Maka beliau memberi istri-istrinya
sebanyak seratus wasaq: 80 wasaq kurma dan 20 wasaq sya’ir. (HR. Al-
Bukhari: 2328) 6
Hukum Mukhᾱbarah sama dengan Muzᾱra’ah, yaitu mubah
(boleh). Landasan hukum Mukhᾱbarah adalah sabda Nabi saw:7
َُخابَ رَةَ َهِذهِ تَ رَْكتَ َلوْ نِ اَ الرَّحْ َعْبدِ اَبَا يَا َلهُ فَ ُقْلتُ َعْمٌرو قَالَ , ِبرُ َُيَا َكانَ اَنَّهُ طَاُوسٍ َعنْ امل
َُخابَ رَةِ َعنِ نَ َهى وسلم عليه اللَّه صلى لنَِّبَّ َأنَّ يَ ْزُعُمْونَ فَِان َُّهمْ َأْخِبِْن : َعْمٌرو َأىْ فَ َقالَ امل
َها يَ ْنهَ لَْ وسلم عليه اللَّه صلى النَِّبَّ َأنَّ َعبَّاسٍ اْبنَ بَ ْعِن ِبَذاِلكَ أَْعَلُمُهمْ َا َعن ْ َأَحدُ ََيَْنحُ قَالَ ِاَّنَّ
رٌ َأَخاهُ ُكمْ َها يَْأُخذَ َأنْ ِمنْ َلهُ َخي ْ (.خبارى رواه) َمْعُلوًما َخْرَجا َعَلي ْ
“ Dari Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: Lalu aku
katakan kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan
mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw, telah
melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah
menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan
hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. tidak melarang Mukhabarah
itu, hanya beliau berkata: Seseorang memberi manfaat kepada saudaranya
lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan
upah tertentu”. (HR.Bukhari 1087).
Demikian dikemukakan dasar hukum Muzᾱra’ah dan
Mukhᾱbarah, diketahui pula pendapat para ulama, ada yang
6Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail, Kutubu as-Sittah, Shahih Bukhari, Nomor Hadis: 2328,
(Riyadh: Darussalam linnasyari wa at-Ziiyi, 2008), 182 7 Muhammad Nashir Addinul Albab, Shahih Imam Bukhari, (Arriyad: Al Maktab Ma’arif Linnatsir
Wattauqi’), 2002, Jilid IV, 113-114
-
25
mengharamkan kedua-duanya, ada yang mengharamkan Muzᾱra’ah saja,
seperti Al-Syafi’i, dan ada yang menghalalkan kedua-duanya, antara lain
Al-Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khatabi.8
3. Rukun dan Syarat Muzᾱra’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad Muzᾱra’ah
mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad
dianggap sah.
Rukun Muzᾱra’ah menurut mereka sebagai berikut:9
1. Pemilik tanah.
2. Petani penggarap.
3. Objek Muzᾱra’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.
4. Ijab dan Kabul.
Adapun syarat-syarat Muzᾱra’ah, menurut jumhur ulama sebagai
berikut:10
1. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah
baligh dan berakal.
2. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas
sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
3. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2011, 158
9 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana), 2010, 116
10 Ibid., 116-117
-
26
a. Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan
menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga
tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad
Muzᾱra’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.
Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian
itu maka akad Muzᾱra’ah tidak sah.
4. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:11
a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa
boleh ada pengkhususan.
c. Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau
seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul
perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh
berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal
untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh
panen jauh di bawah itu atau dapat juga melampaui jumlah itu.
5. Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam
akad sejak semula, karena akad Muzᾱra’ah mengandung makna akad
11
Ibid.
-
27
Al-Ijᾱrah (sewa menyewa atau upah-mengupah) dengan imbalan
sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas.
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan
Muzᾱra’ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani,
sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun
pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.
4. Zakat Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah
Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada
orang mampu. Dalam arti telah mempunyai harta hasil pertanian yang
wajib dizakati (jika telah sampai batas nisab). Maka dalam kerja sama
seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik sawah atau ladang dan
penggarap) membayar zakat bila telah sampai nishab.
Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam
Muzᾱra’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang
menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Dalam
Mukhᾱbarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah
hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah
mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat
-
28
diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab, sebelum pendapatan
dibagi dua.12
5. Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah
a. Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah Sahih menurut Hanafiyah,
sebagai berikut:13
1. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada
penggarap.
2. Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik
tanah.
3. Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu
akad.
4. Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan
bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada
kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggung jawab
menyiram atau menjaga tanaman.
5. Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang
telah ditetapkan.
6. Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui
hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan
akad didasarkan pada waktu.
12
Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, 118-119 13
Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia), 210-211
-
29
b. Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah Fasid menurut Hanafiyah, telah
disinggung bahwa ulama Syafi’iyah melarang Muzᾱra’ah jika benih
dari pemilik kecuali bila dianggap sebagai Musyᾱqoh. Begitu pula jika
benih penggarap, hal itu tidak boleh sebagaimana dalam Musyᾱqoh.
Dengan demikian hasil dari pemeliharaan tanah diberikan semuanya
untuk pemilik, sedangkan penggarap hanya diberi upah.
c. Hukum Muzᾱra’ah menurut Hanafiyah, di antara hukum-hukum yang
terdapat dalam Muzᾱra’ah fasid adalah:
1. Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
2. Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
3. Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari
pekerjaannya.
6. Berakhirnya Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah
Beberapa hal yang menyebabkan Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah
berakhir antara lain:14
a. Habis masa Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah
b. Salah seorang yang berakad meninggal dunia
c. Adanya udzur. Menurut ulama Hanafiyah, di antara udzur yang
menyebabkan batalnya Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah, antara lain:
1. Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar utang.
14 Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia), 2001, 211
-
30
2. Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di
jalan Allah SWT. dan lain-lain.
7. Hikmah Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah
Hikmah yang terkandung dalam Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah
adalah saling tolong menolong (ta’awun), di mana antara pemilik tanah
dan yang menggarapnya saling diuntungkan. Hikmah lain dari Muzᾱra’ah
dan Mukhᾱbarah adalah tidak terjadi adanya kemubadziran baik tanah
maupun ternak, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh orang yang
membutuhkan, begitu pun pemilik tanah merasa diuntungkan karena
tanahnya tergarap.15
Hikmah yang lainnya dari masalah Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah
adalah menimbulkan adanya rasa keadilan dan keseimbangan. Keadilan
dapat menghasilkan keseimbangan dalam perekonomian dengan
meniadakan kesenangan antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak
yang membutuhkan (orang miskin). Walaupun tentunya Islam tidak
menganjurkan kesamaan ekonomi dan mengakui adanya ketidaksamaan
ekonomi orang perorangan.16
15
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia), 2011, 218 16
Ibid.
-
31
B. ‘Urf dalam Hukum Islam
1. Pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan
dengan al-ma’ruf dengan arti: “sesuatu yang dikenal”.17
Secara
terminologi, ‘Urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik
dalam perkataan mauun perbuatan. Istilah ‘Urf berarti sesuatu yang telah
dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pantangan-pantangan dan juga
bisa disebut dengan adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan
antara ‘Urf dan adat kebiasaan. Namun dalam pemahaman biasa diartikan
bahwa pengertian adat lebih umum disbanding dengan ‘Urf.18
Dengan demikian, suatu kebiasaan dapat dikatakan sebagai ‘Urf
jika memenuhi hal-hal berikut: pertama, kebiasaan itu harus disukai
banyak orang. Kedua, kebiasaan harus dilakukan secara berulang-ulang.
Ketiga, kebiasaan itu harus popular dan dikenal oleh banyak kamunitas.19
Dalam hukum islam, ‘Urf menempati posisi yang penting dalam
penetapan hukum. Hal ini karena ‘Urf menjadi kebiasaan yang berlaku di
masyarakat secara membudaya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena
itu, adat dan ‘Urf menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum yang
17
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Predana Media Group), 2008, 387 18
Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana
Media Group), 2016, 151 19
Ibid.
-
32
telah dirumuskan menjadi kaidah umum, yaitu: al-ᾱdah muhakkamah dan
al-tsabit bi al-urfi ka al-tsabit bi al-nash.20
2. Macam-macam ‘Urf
‘Urf terdiri dari dua macam, yaitu ‘Urf ṣaḥīḥ dan ‘Urf fasid
(rusak). ‘Urf ṣaḥīḥ adalah Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia
dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghlalkan yang
haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Telah disepakati bahwa
‘Urf ṣaḥīḥ itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan
pengadilan. Di antara para ulama ada yang berkata, “Adat adalah syariat
yang dikukuhkan sebagai hukum”, begitu juga ‘Urf menurut syara’
mendapat pengakuan hukum.21
Adapun ‘Urf fasid, yaitu Sesutu yang telah saling dikenal
manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau menghalalkan yang
haram dan membatalkan yang wajib. Adapun ‘Urf yang rusak, tidak
diharuskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti
menentang dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’.22
3. Kaidah tentang ‘Urf
20
Ibid., 152 21
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), 2010, 128-129 22
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, 128-130
-
33
Adapun kaidah-kaifah fikih yang berhubungan dengan ‘Urf
(kebiasaan) yang biasa dijadikan sebagi sandaran hukum adalah sebagai
berikut:23
a. Kaidah ُ َحَكَمةُ ُالَعاَدة م , maksudnya suatu kebiasaan adalah sumber hukum.
Kaidah ini dapat melahirkan banyak masalah hukum yang
memberikan ruang kepada tradisi lokal masyarakat tertentu sebagai
sumber hukum Islam. Terkait hal ini menunjukan bahwa hukum Islam
tidak antibudaya setempat, tetapi justru melestarikan budaya yang
dianggap baik, selama tidak bertentangan dengan syariat.
b. Kaidah ُوف ْوطُُِْرًفاعُ ُالَمِعر َشْرًطاَُكالَمْشر , maksudnya sesuatu yang sudah
diketahui oleh banyak masyarakat akan menjadi suatu kebiasaan yang
dapat dijadikan sebagai sumber hukum seperti halnya sesuatu yang
disyariatkan akan menjadi syarat atau suatu transaksi yang disepakati
kedua belah pihak.
c. Kaidah ُْرفُُِالَثاِبت اُِباْلع ِبالنَِّصُُِبتَُُِكالثَّ , maksudnya bahwa suatu hukum
yang ditetapkan berdasarkan ‘Urf (kebiasaan), sama halnya dengan
hukum yang ditetapkan berdasarkan teks. Hal ini menunjukan bahwa
‘Urf memiliki peranan dalam pengembangan hukum Islam sebagai
salah satu metode merumuskan hukum Islam.
23
Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Malang: UIN Maliki Press), 2010, 239-243
-
34
d. Kaidah ُاألَْحَكامَُِتَغي َواالَْمِكَنةُُِاألَْزِمَنةُُِِبَتَغي رُُِر , maksunya bahwa perubahan
suatu hukum akan dipengaruhi oleh perubahan waktu dan tempat di
mana hukum tersebut diformulasikan. Dengan demikian, dalam
kaitannya ‘Urf sebagai sumber hukum akan memberikn pengaruh di
mana ‘Urf tersebut berlaku di tempat di mana hukum ditetapkan.
4. Kehujjahan ‘Urf
‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’
tersendiri. Pada umumnya, ‘Urf ditujukan untuk memelihara
kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran
beberapa nash. Dengan ‘Urf dikhususkan lafal yang ‘ᾱmm (umum) dan
dibatasi yang mutlak. Karena ‘Urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan.
Karena itu, sah sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak
tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dūm (tiada).
5. Syarat-syarat ‘Urf untuk dapat dijadikan Landasan Hukum
Ada beberapa persyaratan bagi ‘Urf yang bisa dijadikan landasan
hukum yaitu:24
1) ‘Urf itu harus termasuk ‘Urf yang ṣaḥīḥ dalam arti tidak bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
2) ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi
kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu.
24
Satria Effendi, Ushul Fiqh, 156-157
-
35
3) ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan kepada ‘Urf itu.
4) Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan
kehendak ‘Urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad
telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku
umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘Urf.
-
36
BAB III
PRAKTIK KERJASAMA LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM PARON DI
DESA SIDODADI KECAMATAN SUKOSEWU KABUPATEN BOJONEGORO
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, keadaan suatu wilayah sangat
berpengaruh dan menentukan watak dan sifat dari masyarakat yang
menempatinya, sehingga karakteristik masyarakat itu akan berbeda-beda
antara wilayah satu dengan wilayah yang lainnya. Seperti yang terjadi di
masyarakat Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro,
yang mana diantaranya adalah faktor geografis, sosial, keagamaan,
pendidikan dan faktor ekonomi.
1. Letak Geografis
Desa Sidodadi merupakan salah satu desa yang terletak di
Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro dengan jarak 7 km dari
kecamatan, 15 km dari kabupaten. Bapak Yaimin selaku Sekrestaris Desa
menjelaskan bahwa batas-batas Desa Sidodadi sebagai berikut:1
a. Sebelah utara : Desa Kedaton Kecamatan Kapas
b. Sebelah Selatan : Desa Sukosewu Kecamatan Sukosewu
c. Sebelah barat : Desa Sumberjo Kidul Kecamatan Sukosewu
d. Sebelah Timur : Desa Ngadiluhur Kecamatan Balen 1 Yaimin, Wawancara, Bojonegoro, 6 Nopember 2017
-
37
Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro
terdiri dari 5 dusun 47 RT dan 10 RW yang masing-masing dipimpin oleh
Kepala dusun (Kasun) dengan rincian sebagai berikut:2
a. Dusun Kendal terdiri dari 3 RW dan 15 RT.
b. Dusun Gempol terdiri dari 2 RW dan 8 RT.
c. Dusun Balong terdiri dari 2 RW dan 15 RT.
d. Dusun Kedungpapak terdiri dari 2 RW dan 8 RT.
e. Dusun Bitingan terdiri dari 1 RW dan 6 RT.
2. Luas Wilayah
Luas wilayah Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten
Bojonegoro adalah 720,25 hektar yang terdiri dari:3
a. Tanah sawah terdiri dari 2 macam yaitu:
1. Sawah irigasi : 332 Ha
2. Sawah tadah hujan : 24 Ha
b. Tanah Kering trdiri dari 3 macam yaitu :
1. Ladang : 20 Ha
2. Pemukiman : 100 Ha
3. Pekarangan : 122 Ha
c. Tanah basah (waduk/situ) : 0,25 Ha
d. Tanah perkebunan perorangan : 122 Ha
2 Yaimin, Wawancara, Bojonegoro, 6 Nopember 2017
3 Data monografi Desa Sidodadi, 2017
-
38
3. Keadaan Penduduk4
Jumlah Kepala Keluarga : 1652 KK
Jumlah Penduduk : 5705 Jiwa
Laki-Laki : 2909 Jiwa
Perempuan : 2795 Jiwa
Jenjang pendidikan penduduk Desa Sidodadi yaitu sebagai berikut :5
a. Belum sekolah : 2392 Jiwa
b. Tidak tamat SD : 150 Jiwa
c. Tidak pernah sekolah : 333 Jiwa
d. Tamat SD : 1502 Jiwa
e. SMP : 824 Jiwa
f. SMA : 421 Jiwa
g. D1 : 11 Jiwa
h. D2 : 9 Jiwa
i. D3 : 13 Jiwa
j. S1 : 24 Jiwa
k. S2 : 4 Jiwa
l. Tamat SLB A : 4 Jiwa
m. Tamat SLB B : 9 Jiwa
4 Data monografi Desa Sidodadi, 2017.
5 Data monografi Desa Sidodadi, 2017
-
39
n. Tamat SLB C : 9 Jiwa
4. Kondisi Sosial Keagamaan
Mengenai kehidupan sosial keagamaan penduduk Desa Sidodadi
mayoritas beragama Islam, dan ada beberapa orang yang beragama
Kristen. Hal ini dapat dilihat dengan adanya beberapa kegiatan
keagamaan yang ada. Selain itu juga adanya sarana dan prasarana
peribadatan di Desa Sidodadi cukup memadai dengan adanya fasilitas
tempat ibadah yang ada yaitu 3 masjid besar dan juga ada banyak
mushola serta tempat pendidikan keagamaan seperti madrasah dan taman
pendidikan Al-Qur’an (TPQ).
Sosial keagamaan masyarakat di Desa Sidodadi cukup
berkembang. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan yang cukup aktif
di Desa Sidodadi, Masyarakat Desa Sidodadi mengadakan rutinitas
kegiatan-kegiatan keagamaan yang biasanya dilaksanakan setiap satu
minggu atau satu bulan sekali diantaranya:
a. Tahlil untuk laki-laki : 1 Minggu
b. Yasinan untuk perempuan : 1 Minggu
c. Dibaiyah : 1 Minggu
d. Istighasah dan Ceramah Agama : 1 Bulan
e. Ziarah ke wali : 1 Tahun
f. Manaqib Qubro : 3 Bulan
-
40
g. Pengajian : setiap hari besar Islam
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial
keagamaan masyarakat Desa Sidodadi sudah cukup maju dan
berkembang dilihat dari banyaknya kegiatan keagamaan yang ada dan
diikuti oleh masyarakat Desa Sidodadi.
5. Kondisi Sosial Pendidikan
Masalah pendidikan tidak akan bisa lepas dari sarana dan
prasarana dari lembaga pendidikan yang ada, karena sarana tersebut
merupakan tolak ukur bagi perkembangan pendidikan anak didik bangsa
pada generasi yang akan dating. Dalam hal pendidikan, kesadaran
masyarakat desa Sidodadi akan pentingnya pendidikan, kesadaran
masyarakat terhadap pendidikan terlihat dari anak-anak desa Sidodadi
yang seluruhnya sedang berusaha belajar di lembaga-lembaga
pendidikan. Dimulai dari bagian masyarakat yang paling muda, terdapat
lembaga pendidikan formal PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), TK
(Taman Kanak-Kanak) dan lembaga pendidikan keagamaan TPQ (Taman
Pendidikan Al-Qur’an) untuk usia anak-anak. Selain itu juga terdapat
pula SD (Sekolah Dasar), MI (Madrasah Ibtidaiyah), dan ada pula MTs
(Madrasah Tsanawiyah) yaitu sekolah berbasis Islam sejenjang dengan
SMP (Sekolah Menengah Pertama) untuk jenjang pendidikan tertinggi
yang ada di Desa Sidodadi. Sayangnya mereka yang ingin meneruskan ke
-
41
jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas) harus bersekola keluar Desa
Sidodadi. Adapun rincian tentang sarana pendidikan yang ada dapat
dilihat dari uraian berikut:
1. PAUD : 3 Sekolah
2. TK : 3 Sekolah
3. SD/MI : 3 Sekolah
4. SMP/MTs : 1 Sekolah
B. Sistematika Kerjasama Lahan Pertanian dengan Sistem Paron Antara Pemilik
dan Penggarap di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten
Bojonegoro.
Maro atau paroan sawah yaitu seorang pemilik tanah menyuruh orang
lain mengerjakan tanahnya itu dengan perjanjian bahwa hasil dari
penghasilan tanah itu akan dibagi antara pemilik dan pekerja atau penggarap
tanah dan membagi hasil itu dengan maro (memperdua). Perjanjian membagi
hasil seperti itu sering dijumpai di tanah-tanah dengan hak milik
perseorangan.6
1. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Lahan Pertanian dengan Sistem
Paron Antara Pemilik dan Penggarap.
6 Sudikno Martokusumo, Perundang-Undangan Agraria Indonesia, (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta), 2011, 32-33
-
42
Dalam kehidupannya, masyarakat di desa Sidodadi melakukan
kegiatan bercocok tanam, hal ini dikarenakan meyoritas penduduknya
berprofesi sebagai petani. Sebagai petani mereka menggarap tanah sawah
untuk ditanami , hal tersebut merupakan aktifitas pertanian yang biasa
dilakukan oleh masyarakat Desa Sidodadi baik laki-laki maupun
perempuan bahkan suami istri. Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem
Paron merupakan salah satu model kerjasama yang banyak digunakan
oleh masyarakat Desa Sidodadi, karena ada masyarakat yang memiliki
banyak lahan namun tidak memiliki cukup tenaga untuk menggarap lahan
tersebut, ada pula masyarakat yang memiliki lahan pertanian tetapi ada
pekerjaan lain yang harus dikerjakan setiap harinya, dari hal tersebut
muncullah kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron antara pemilik
sawah dengan penggarap.
Kerjasama Paron yang ada di Desa Sidodadi ini melibatkan 2
pihak, yaitu pihak pemilik sawah dan pihak pengelola sawah, sistem
Paron yang ada di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten
Bojonegoro pada praktiknya semua biaya ditanggung oleh penggarap
sawah. Panen yang terjadi pada umumnya sebanyak tiga kali dalam satu
tahun, yaitu dua kali panen padi dan satu kali panen kedelai, kacang hijau,
dan jagung. Ketika melakukan perjanjian, pemilik sawah membuat
kesepakatan dengan penggarap bahwa hasil dari setiap panen dibagi dua
-
43
dengan prosentase 50% untuk pemilik sawah dan 50% untuk penggarap
sawah, namun pada praktiknya ada yang prosentasenya 60% untuk
penggarap dan 40% untuk pemilik sawah, adapula yang melibatkan pihak
ketiga dalam kerjasama yaitu pihak pemilik toko pertanian dimana
penggarap sawah berhutang pupuk dan obat tanaman kepada pemilik toko
pertanian dan akan dibayar saat panen
Menurut Ibu Kasri pemilik sawah, kerjasama lahan pertanian
dengan Sistem paron sudah lama dilakukan yaitu kerjasama penggarapan
sawah yang dilakukan oleh pemilik sawah dan penggarap karena pemilik
sawah memiliki banyak sawah namun tidak memiliki cukup tenaga untuk
menggarapnya dengan catatan bibit, pupuk, obat, tenaga, dan kebutuhan
lainnya ditanggung oleh penggarap dan jika sudah tiba waktu panen
pemilik sawah mendapatkan hasil 50% dari hasil panen, namun jika
terjadi musibah yaitu gagal panen pemilik sawah hanya mendapatkan
30% dari hasil panen tergantung pada hasil panen.7
Pendapat lain dari Bapak Qomari pemilik sawah, mengatakan
bahwa ada kesibukan lain yaitu sebagai pengusaha tetapi memiliki
banyak sawah, oleh karena itu terjadi kerjasama lahan pertanian dengan
sistem paron ini, karena tidak memiliki cukup waktu untuk menggarap
sawahnya, sistem paron merupakan kerjasama lahan pertanian antara
7 Kasri, Wawancara, Bojonegoro, 11 Nopember 2017
-
44
pemilik sawah dan penggarap dimana bibit, pupuk, obat, dan keperluan
lainnya semuanya ditanggung oleh penggarap, dan pada saat panen tiba
pemilik sawah meminta separo dari hasil panen.8
Bagi Bapak Mutohar sebagai penggarap sawah yang mengelola
sawah milik orang lain dikarenakan mereka tidak memiliki sawah dan
berprofesi sebagai petani karena memang memiliki keahlian di bidang
tersebut dan menjadi penghasilan utama dalam memenuhi kehidupan
sehari-hari. Sistem paron adalah kerjasama lahan pertanian antara pemilik
sawah dan penggarap dengan catatan bibit, pupuk, obat, dan semua
keperluan lainnya ditanggung oleh penggarap, dan pada saat panen tiba
separo hasilnya harus diserahkan ke pemilik sawah, namun pada musim
yang tidak menentu seperti saat ini, banyak penggarap yang menyerahkan
30% dari keseluruhan hasil panen karena memang hasil panen menurun
dan hasilnya tidak memuaskan.9
Menurut Ibu Kalimah sebagai penggarap sawah menuturkan
bahwa kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron sudah lama
dikerjakan, karena tidak memiliki sawah dan berprofesi sebagai petani
sekaligus buruh tani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sistem
Paron adalah kerjasama penggarapan sawah oleh pemilik sawah dengan
penggarap dengan ketentuan mulai dari bibit, pupuk, obat, biaya
8 Qomari, Wawancara, Bojonegoro, 11 Nopember 2017
9 Mutohar, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017
-
45
penanaman, biaya perawatan, biaya panen semuanya ditanggung oleh
penggarap dan pada saat panen tiba pemilik sawah meminta separo dari
hasil panen, tidak peduli baik atau buruk hasil panennya.10
Menurut Ibu Ponjiat pemilik toko pertanian mengatakan bahwa
paron adalah kerjasama penggarapan lahan pertanian dimana biaya
operasional sawah dari bibit, pupuk, obat, tenaga kerja, dan lainnya
ditanggung oleh pihak penggarap sawah dan saat panen tiba hasilnya
akan dibagi dua sama rata dengan pemilik sawah, biasanya ada penggarap
yang tidak memiliki modal untuk membeli pupuk dan obat-obatan yang
diperlukan berhutang ke toko Ibu Ponjiat dan akan dibayar pada waktu
panen. Didalam hutang piutang ini, Ibu Ponjiat tidak menarik keuntungan
dalam artian antara harga cash dan harga hutang sama tidak dibedakan.11
Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan para pihak
yang menerapkan kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron bahwa
kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron sudah lama dilakukan.
2. Mekanisme Kerjasama Lahan Pertanian dengan Sistem Paron
Yang dimaksud dengan sistem Paron menurut Ibu Kasri pemilik
sawah yaitu sistem kerjasama dalam menggarap lahan pertanian yang
mana hasil panennya nanti di bagi sesuai kesepakatan antar pemilik
sawah dan penggarap. Kesepakatan pembagian hasil panen tersebut
10
Kalimah, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 11
Ponjiat, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017
-
46
berada di awal perjanjian, namun bisa saja kesepakatan tersebut berubah
saat panen tiba karena hasil panen yang terkadang kurang baik.12
Menurut Bapak Qomari pemilik sawah bahwa Paron adalah
sistem kerjasama penggarapan lahan pertanian dimana hasil panen dibagi
dua antara pemilik sawah dan penggarap, hal tersebut sudah dilakukan
sejak dulu, Bapak Qomari sudah menjalankan kerjasama dengan sistem
Paron ini selama 18 tahun.13
Alur perjanjian yang dilakukan antara pemilik sawah dengan
penggarap yang dijelaskan oleh Ibu Kholifah pemilik sawah adalah:14
a. Perjanjian yang dilakukan sebagaimana kebiasaan yang berlaku di
Desa Sidodadi dari dahulu sampai sekarang. Awal mula pemilik
sawah yang tidak bisa menggarap sawahnya atau ada kesibukan
lain mendatangi para petani yang biasanya dianggap pandai dalam
mengelola lahan pertanian, baik petani yang memiliki sawah atau
petani yang tidak memiliki sawah, selanjutnya pemilik sawah
menawarkan kepada petani untu menggarap sawahnya dengan
sistem paron.
b. Jika penggarap setuju maka hal tersebut sudah dianggap sebagai
perjanjian menurut masyarakat Desa Sidodadi, perjanjian tersebut
dilakukan secara lisan dan tanpa ditulis karena kebiasaan yang
12
Kasri, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 13
Qomari, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 14
Kholifah, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017
-
47
mereka lakukan seperti itu dengan memegang prinsip saling
percaya antara pemilik sawah dan penggarap.
c. Untuk jangka waktu tidak dibatasi oleh pemilik sawah dengan
makna terserah penggarap mau mengelola sawah tersebut sampai
kapan. Dengan kata lain karena perjanjian tidak dibatasi maka
perjanjian juga bisa berakhir kapan saja, meskipun ada salah satu
pihak yang tidak ingin mengakhiri perjanjian tersebut. Jika ada
salah satu pihak mau mengakhiri perjanjian tersebut maka harus
memberitahu kepada pihak lain jauh-jauh hari sebelumnya.
d. Pemilik sawah membuat kesepakatan bahwa seluruh biaya
penggarapan sawah ditanggung oleh penggarap, mulai dari
penanaman, pembelian pupuk, pembelian obat, sampai proses
panen, serta seluruh biaya pengelolaan ditanggung oleh
penggarap. Dan saat tiba masa panen hasil panen tersebut dibagi
dua antara pemilik sawah dan penggarap.
Adapun proses penanaman padi yang diungkapkan Bapak
Mutohar penggarap sawah dan pendapat dari masyarakat lainnya
yaitu melalui beberapa tahap sebagai berikut:15
a. Pembukaan Lahan, yaitu proses pembersihan lahan pertanian yang
akan ditanami oleh penggarap dengan cara mencabuti atau
15
Mutohar, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017
-
48
memotong rumput yang ada. Biasanya penggarap menggunakan
cangkul untuk mencangkul tanah agar nanti tanah tidak keras saat
akan ditanami, hal ini dilakukan sebelum datang musim hujan.
b. Penyiapan Benih, setelah dirasa air hujan sudah cukup membasahi
sawah sehingga mudah ditanami, penggarap menyiapkan bibit
atau benih. Biasanya penggarap membelinya dari toko pertanian,
atau bagi penggarap yang tidak mempunyai modal bisa berhutang
benih kepada pemilik toko pertanian dan akan di bayar setelah
panen.
c. Penanaman Benih, setelah benih siap di tanam penggarap
menaburkan benih ke satu petak kecil sawah yang sudah
dicangkul dan diisi air, setelah itu benih akan dibiarkan tumbuh
sampai berumur 30 hari atau sampai dirasa padi yang masih kecil
tersebut bisa berdiri sendiri dan tidak roboh saat terkena angin.
d. Penanaman padi, proses selanjutnya setelah padi siap ditanam
yaitu pencabutan padi dari tanah yang kecil tadi lalu penggarap
memperkerjakan buruh tani untuk menanam padi ke seluruh
sawah yang digarap.
e. Pemberian pupuk, setelah penanaman selang 30 hari padi akan
diberi pupuk oleh penggarap, dan selang 30 hari dari pemberian
pupuk pertaman padi juga harus di beri pupuk kembali agar padi
-
49
cepat besar dan agar padi terhindar dari gangguan hama biasanya
masyarakat menggunakan obat. Jika penggarap tidak mempunyai
biaya untuk membeli obat biasanya penggarap menghutang obat
dari toko pertanian dan akan di bayar saat panen tiba.
f. Perawatan Padi, selain diberi pupuk dan obat padi juga harus
dirawat dengan baik agar cepat panen, bisanya penggarap
memperkerjakan buruh tani untuk mencabuti rumput liar yang
tumbuh disekitar padi agar rumput tidak menghambat proses
pertumbuhan padi.
g. Panen, setelah padi tumbuh dengan baik dan berbuah, padi akan
siap untuk di panen. Biasanya memerlukan waktu 3 bulan dari
penanaman padi sampai padi siap di panen. Penggarap akan
memperkerjakan buruh tani untuk memanen padinya.
3. Pelaksanaan Bagi Hasil
Pada umumnya, pelaksanaan bagi hasil masyarakat Desa Sidodadi
dilakukan dengan penentuan bagi hasil di awal yaitu pemilik sawah
meminta hasil setengah dari hasil panen.
Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Kalimah sebagai penggarap
sawah bahwa ketika tiba masa panen setengah dari hasil panen akan
diserahkan kepada pemilik sawah tidak peduli bagaimana kondisi hasil
-
50
panen, baik atau gagal, pemilik sawah tetap meminta setengah dari hasil
panen.16
Adapun menurut Bapak Mutohar sebagai penggarap bahwa saat
tiba masa panen hasilnya akan dibagi sesuai dengan keadaan hasil panen,
jika hasil panen baik maka 50% dari hasil akan diserahkan kepada
pemilik sawah. Namun jika hasil panen tidak baik atau gagal maka
penggarap hanya menyerahkan 40% atau 30% dari hasil panen kepada
pemilik sawah tergantung pada keadaan hasil panen. Bukan berarti
penggarap melakukan hal tersebut secara sepihak, penggarap juga
memberitahukan kepada pemilik sawah bagaimana hasil panennya dan
berapa hasil panennya serta berapa yang diberikan kepada pemilik sawah
agar sama-sama mengetahui dan saling setuju.17
Dalam pembagian hasil tersebut tidak disisihkan atau dikurangi
biaya-biaya yang harus ditanggung penggarap seperti benih, pupuk, obat,
tenaga buruh tani, biaya penggilingan, dan lain sebagainya, yang dibagi
dengan pemilik sawah tersebut adalah hasil kotor.
Berikut contoh perincian perhitungan biaya:18
1. Bibit : Rp.8000 per Kg membutuhkan 15 Kg
(15 x 8000 = Rp. 120.000)
16
Kalimah, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 17
Mutohar, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 18
Ibid.
-
51
2. Pupuk : Rp.120.000 per sak membutuhkan 4
sak (4 x 120.000 = Rp.480.000)
3. Obat Organik : Rp.50.000 per botol membutuhkan 2
botol (2 x 50.000 = Rp.100.000)
4. Penggilingan Padi : Rp.450.000
5. Pengupahan Buruh Tani : Rp.30.000 per orang membutuhkan 12
orang (12 x 30.000 = Rp.360.000)
Dari data tersebut di atas biasanya pada saat panen mendapatkan
hasil 35 sampai 40 karung dan setiap karungnya biasanya di hargai
Rp.150.000 (tergantung bobot padi), jika pemilik sawah menginginkan
bagi hasil dalam bentuk padi maka padi yang masih dikarung langsung
dikirim ke rumah pemilik sawah. Namun, jika pemilik sawah
menginginkan bagi hasil dalam bentuk uang maka penggarap harus
menjual dulu hasil panen kepada pengepul.
-
52
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KERJASAMA LAHAN
PERTANIAN DENGAN SISTEM PARON DI DESA SIDODADI KECAMATAN
SUKOSEWU KABUPATEN BOJONEGORO
Dalam bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana praktik
kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron antara pemilik sawah dan penggarap
di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro. Dari data yang
didapat, maka perjanjian kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron secara garis
besar dapat dianalisis dari berbagai segi, yaitu :
A. Analisis Akad dalam Perjanjian Kerjasama Lahan Pertanian dengan Sistem Paron
antara Pemilik dan Penggarap
Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah adalah bentuk kerjasama bidang lahan
pertanian menurut Islam. Muzᾱra’ah merupakan kerjasama pengelolaan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, yakni pemilik lahan memberikan
lahan pertaniannya kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan
imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam kerjasama ini terdapat dua pihak
yang satu sebagai pemilik modal, sedangkan dipihak lain sebagai pelaksana
usaha. Keduanya mempunyai kesepakatan untuk kerjasama, kemudian hasilnya
akan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Mukhᾱbarah pun tidak jauh berbeda
dengan Muzᾱra’ah, hanya saja jika Muzᾱra’ah benihnya dari pemilik tanah.
-
53
Seperti pandangan ulama Syafi’iyah yang menyatakan bahwa Muzᾱra’ah adalah
transaksi antara penggarap (dengan pemilik tanah) untuk menggarap tanah
dengan imbalan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah tersebut dengan
ketentuan bibit dari pemilik tanah.1
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa kerjasama lahan
pertanian dengan sistem paron di desa Sidodadi melibatkan dua pihak yaitu
pemilik sawah dan penggarap. Pemilik sawah menawarkan kepada petani yang
dianggap pandai menggarap sawah untuk menggarap sawahnya dikarenak
pemilik sawah memiliki kesibukan lain atau kurang pandai menggarap sawah,
jika penggarap setuju maka saat itu pula sudah berlangsung perjanjian antara
pemilik sawah dan penggarap. Dalam melakukan perjanjian mereka tidak
melakukannya secara tertulis, melainkan memakai cara kekeluargaan dengan rasa
saling percaya antara pemilik sawah dan penggarap atas kewajiban-kewajiban
yang harus mereka penuhi dalam kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron
tersebut. Pemilik sawah memiliki kewajiban menyerahkan sawahnya untuk
digarap oleh penggarap, dan penggarap memiliki kewajiban untuk membagi hasil
panen dengan pemilik sawah sesuai kesepakatan. Dalam hal ini bibit, pupuk, dan
seluruh biaya penggarapan sawah ditanggung oleh penggarap.
Menurut Ibu Kasri pemilik sawah, kerjasama lahan pertanian dengan
Sistem paron sudah lama dilakukan yaitu kerjasama penggarapan sawah yang
1 Ahmad Wardi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta: Amzah, 2013), 393.
-
54
dilakukan oleh pemilik sawah dan penggarap karena pemilik sawah memiliki
banyak sawah namun tidak memiliki cukup tenaga untuk menggarapnya dengan
catatan bibit, pupuk, obat, tenaga, dan kebutuhan lainnya ditanggung oleh
penggarap dan jika sudah tiba waktu panen pemilik sawah mendapatkan hasil
50% dari hasil panen, namun jika terjadi musibah yaitu gagal panen pemilik
sawah hanya mendapatkan 30% dari hasil panen tergantung pada hasil panen.2
Bagi Bapak Mutohar sebagai penggarap sawah yang mengelola sawah milik
orang lain dikarenakan mereka tidak memiliki sawah dan berprofesi sebagai
petani karena memang memiliki keahlian di bidang tersebut dan menjadi
penghasilan utama dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Sistem paron adalah
kerjasama lahan pertanian antara pemilik sawah dan penggarap dengan catatan
bibit, pupuk, obat, dan semua keperluan lainnya ditanggung oleh penggarap, dan
pada saat panen tiba separo hasilnya harus diserahkan ke pemilik sawah, namun
pada musim yang tidak menentu seperti saat ini, banyak penggarap yang
menyerahkan 30% dari keseluruhan hasil panen karena memang hasil panen
menurun dan hasilnya tidak memuaskan.3
Akan tetapi di dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan waktu
berlakunya kerjasama paron tersebut, juga tidak diucapkan berapa bagian bagi
hasil untuk pemilik sawah dan berapa bagi hasil untuk penggarap karena
kerjasama paron di desa Sidodadi sudah berlangsung cukup lama, masyarakat
2 Kasri, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017
3 Mutohar, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017
-
55
mengenal bahwa bagi hasil dalam kerjasama paron adalah 50% untuk penggarap
dan 50% untuk pemilik sawah, oleh karena itu meskipun pembagian hasil tidak
diucapkan dalam perjanjian, tidak menjadi masalah bagi kedua pihak karena
mereka sama-sama mengerti bahwa kerjasama paron untuk pembagian hasilnya
50% untuk penggarap dan 50% untuk pemilik sawah. Tetapi ada beberapa
masyarakat setelah perjanjian tersebut berlangsung terdapat perubahan ditengah
akad, jika tiba masa panen tetapi hasil panen tidak memuaskan atau gagal panen,
penggarap hanya memberikan 30% untuk pemilik sawah dan 70% untuk
penggarap karena penggarap sudah mengeluarkan biaya untuk menggarap sawah
tersebut namun hasilnya tidak memuaskan, dan hal tersebut disetujui oleh
pemilik sawah. Dalam hal ini terjadi pembaharuan akad dalam perjanjian tersebut
karena kondisi tertentu dan disepakati oleh para pihak.
Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, rukun Mukhᾱbarah yaitu:
1. Pemilik tanah.
2. Petani penggarap.
3. Objek Mukhᾱbarah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.
4. Ijab dan Kabul.
Mukhᾱbarah dianggap sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:4
4 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana), 2010, 117
-
56
a. Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan
menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga tidak
memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad Muzara’ah
tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad
Muzara’ah tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:5
a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada
pengkhususan.
c. Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau
seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di
kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu