tinjauan hukum islam terhadap praktik ...digilib.uinsby.ac.id/23569/7/dewi ayu lestari...

77
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KERJASAMA LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM PARON DI DESA SIDODADI KECAMATAN SUKOSEWU KABUPATEN BOJONEGORO SKRIPSI Oleh : Dewi Ayu Lestari NIM. C72214036 Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES) 2018

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK

    KERJASAMA LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM

    PARON DI DESA SIDODADI KECAMATAN SUKOSEWU

    KABUPATEN BOJONEGORO

    SKRIPSI

    Oleh :

    Dewi Ayu Lestari

    NIM. C72214036

    Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

    Fakultas Syariah dan Hukum

    Jurusan Hukum Perdata Islam

    Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES)

    2018

  • v

    ABSTRAK

    Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kerjasama Lahan Pertanian

    dengan sistem Paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten

    Bojonegoro”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana

    mekanisme kerjasama lahan pertanian dengan sistem Paron di Desa Sidodadi

    Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro? Bagaimana tinjauan hukum Islam

    terhadap praktik kerjasama lahan pertanian dengan sistem Paron di Desa Sidodadi

    Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro?

    Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan (field research) di Desa Sidodadi

    Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro. Metode pengumpulan data yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan wawancara (interview).

    Selanjutnya data yang dikumpulkan disusun dan dianalisis dengan menggunakan

    metode deskriptif analisis, yakni mengumpulkan data tentang kerjasama lahan

    pertanian dengan sistem paron antara pemilik sawah dan penggarap di Desa Sidodadi

    Bojonegoro yang disertai analisis, untuk diambil kesimpulan.

    Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa, yang pertama kerjasama lahan pertanian

    dengan sistem paron di Desa Sidodadi Bojonegoro antara pemilik sawah dan

    penggarap yaitu dalam melakukan perjanjian mereka tidak melakukannya secara

    tertulis, melainkan memakai cara kekeluargaan dengan rasa saling percaya antara

    pemilik sawah dan penggarap dan saat panen hasilnya akan dibagi menurut

    kesepakatan, dalam hal ini bibit, pupuk, dan seluruh biaya penggarapan sawah

    ditanggung oleh penggarap, kemudian juga tidak menentukan tentang jangka waktu

    pelaksanaan kerjasama dan juga tidak menentukan pembagian bagi hasilnya. Kedua

    yaitu menurut hukum Islam bahwa praktik kerjasama tersebut telah memenuhi rukun

    dan syarat Mukhᾱbarah yakni pelaksanaan kerjasama tersebut bibit, pupuk, dan

    seluruh biaya perawatan sawah ditanggung oleh penggarap, dan sudah menjadi adat

    kebiasaan yang tidak bertentangan dengan dalil syara’ serta memenuhi syarat maka

    penggunaan sistem paron tersebut diperbolehkan dan termasuk ‘Urf Shahih.Adapun

    saran yaitu diharapkan bagi pemilik sawah dan penggarap khususnya di Desa

    Sidodadi, agar melakukan perjanjian secara tertulis. Serta diharapkan saat melakukan

    perjanjian ditentukan pembagian hasilnya serta ditentukan jangka waktu kerjasama

    agar tidak terjadi pertikaian di kemudian hari. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan

    bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti tentang kerjasama lahan pertanian

    sehingga bisa menelitinya berdasarkan undang-undang positif yaitu UU Nomor 2

    Tahun 1960 tentang Perjanjian bagi hasil dan berdasarkan Hukum Adat.

  • v

    DAFTAR ISI

    SAMPUL DALAM .................................................................................................. i

    PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ ii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ iii

    ABSTRAK ............................................................................................................. iv

    KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

    DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii

    DAFTAR TRANSLITERASI ................................................................................ xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

    B. Identifikasi dan Batasan Masalah ............................................................. 7

    C. Rumusan Masalah ..................................................................................... 9

    D. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9

    E. Kegunaan Hasil Penelitian ...................................................................... 10

    F. Kajian Pustaka ......................................................................................... 10

    G. Definisi Operasional ............................................................................... 14

    H. Metode Penelitian ................................................................................... 15

  • vi

    I. Sistematika Pembahasan .......................................................................... 20

    BAB II HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN PERTANIAN MENURUT

    HUKUM ISLAM DAN SUMBER HUKUM ISLAM

    A. Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah dalam Hukum Islam ...................................................... 22

    1. Pengertian Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah ................................................ 22

    2. Dasar Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah .......................................... 23

    3. Rukun dan Syarat Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah .................................... 25

    4. Zakat Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah ........................................................ 27

    5. Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah ..................................................... 28

    6. Berakhirnya Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah ............................................. 29

    7. Hikmah Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah .................................................... 30

    B. ‘Urf dalam Hukum Islam ........................................................................ 31

    1. Pengertian ‘Urf ................................................................................... 31

    2. Macam-Macam ‘Urf ........................................................................... 32

    3. Kaidah tentang ‘Urf ............................................................................. 32

    4. Kehujjahan ‘Urf ................................................................................... 34

    5. Syarat-Syarat ‘Urf untuk dapat dijadikan landasan Hukum ................ 34

  • vii

    BAB III PRAKTIK KERJASAMA LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM

    PARON DI DESA SIDODADI KECAMATAN SUKOSEWU KABUPATEN

    BOJONEGORO

    A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................................... 36

    1. Letak Geografis .................................................................................... 36

    2. Luas Wilayah ........................................................................................ 37

    3. Keadaan Penduduk ............................................................................... 38

    4. Kondisi Sosial Keagamaan .................................................................. 39

    5. Kondisi Sosial Pendidikan ................................................................... 40

    B. Sistematika Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem Paron antara ........

    Pemilik dan Penggarap di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu ..............

    Kabupaten Bojonegoro ........................................................................... 41

    1. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem

    Paron antara Pemilik dan Penggarap ................................................... 41

    2. Mekanisme Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem Paron ............ 45

    3. Pelaksanaan Bagi Hasil ........................................................................ 49

    BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KERJASAMA

    LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM PARON DI DESA SIDODADI

    KECAMATAN SUKOSEWU KABUPATEN BOJONEGORO

    A. Analisis Akad dalam Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem Paron

  • viii

    antara Pemilik dan Penggarap................................................................... 52

    B. Analisis Hukum Islam dalam Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem ..

    Paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro .. 58

    BAB V PENUTUP

    A. Simpulan .................................................................................................... 62

    B. Kritik dan Saran ......................................................................................... 63

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Manusia adalah makhluk sosial yang berkodrat hidup dalam

    bermasyarakat, sebagai makhluk sosial dalam hidupnya manusia memerlukan

    manusia lainnya yang sama-sama hidup bermasyarakat, manusia selalu

    berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak, untuk mencukupkan

    kebutuhan-kebutuhan hidup. Untuk itu perlu kita ketahui juga bahwasanya

    dalam islam segala hal yang berkaitan dengan manusia semuanya sudah

    diatur secara jelas, aturan tersebut salah satunya yakni terdapat dalam kaidah

    tentang fiqh muamalah yang mana didalamnya mencakup seluruh aturan sisi

    kehidupan individu dan masyarakat.

    Setiap manusia tidak bisa menyediakan dan mengadakan

    keperluannya tanpa melibatkan orang lain. Salah satu upaya yang dapat

    dilakukan adalah dengan cara melakukan kerjasama, misalkan ada seseorang

    mempunyai suatu barang tetapi orang yang lain tidak memiliki barang

    tersebut, maka manusia harus saling berhubungan, saling melengkapi, saling

    bertukar keperluan dan juga keahlian (keterampilan).1

    1 M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),

    62.

  • 2

    Mu’ᾱmalah berasal dari kata ‘amala yang artinya saling bertindak,

    saling berbuat, dan saling mengenal.2 Mu’ᾱmalah ialah segala aturan agama

    yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antar manusia dengan

    alam sekitarnya tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya.

    Mu’ᾱmalah mempunyai ruang lingkup yang luas, yang meliputi segala aspek,

    baik dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan serta sosial budaya.

    Fiqh Mu’ᾱmalah adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis

    (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci yang mengatur

    keperdataan seseorang dengan orang lain dalam hal persoalan ekonomi, di

    antaranya: dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerjasama dagang,

    simpanan barang atau uang, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang

    piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, barang titipan, dan pesanan.3

    Aturan-aturan Allah ini ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam

    urusan yang berkaitan dengan duniawi dan sosial kemasyarakatan. Manusia

    kapanpun dan dimanapun harus senantiasa mengikuti aturan yang telah

    ditetapkan Allah sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi sebab segala

    aktifitas manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

    Dalam islam tidak ada pemisahan antara amal perbutuatan dana amal akhirat,

    2 Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 13.

    3 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2012,

    2

  • 3

    sebab sekecil apapun aktifitas manusia di dunia harus didasarkan pada

    ketetapan Allah SWT agar kelak selamat di akhirat.4

    Indonesia dikenal sebagai Negara agraris karena sebagian besar

    penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau

    bercocok tanam. Secara geografis Indonesia yang juga merupakan negara

    kepulauan memiliki potensi alam yang besar tidak hanya dalam bidang

    kelautan tapi juga dalam pengolahan pertanian. Potensi pertanian Indonesia

    yang tinggi salah satunya disebabkan wilayah Indonesia yang memiliki

    wilayah daratan sepertiga dari luas keseluruhan ini dilewati barisan

    pegunungan dunia. hal ini menyebabkan wilayah daratan Indonesia sangat

    subur. kondisi alam yang demikian memberikan peluang bagi sebagian besar

    masyarakat Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian

    maupun yang berkaitan dengan pertanian. itulah mengapa selain disebut

    sebagai negara maritim indonesia juga disebut negara agraris.

    Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang

    dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri,

    atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Sebagian

    besar penduduk Indonesia hidup dari hasil bercocok tanam atau petani.

    Pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam

    kesejahteraan penduduk Indonesia.

    4 Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah…, 15

  • 4

    Kegiatan pertanian merupakan pekerjaan yang dianjurkan dan

    diperbolehkan dalam Islam karena dalam pertanian terdapat hasil dan

    manfaat yang begitu besar. Hal tersebut dapat dipahami melalui firman Allah

    SWT dalam QS. An-An’am: 99 yang berbunyi :

    َماِء َماًء فََأْخَرْجَنا بِِه نَ َباَت ُكلِّ َشْيٍء فََأْخَرْجَنا ِمْنُه َخِضرًا ُُنْرُِج مِ بااَوُهَو الَِّذي أَنْ َزَل ِمَن السَّ ََ ْنُه اَن ُمْشتَ َواٌن َدانَِيٌة َوَجنَّاٍت ِمْن أَْعَناٍب َوالزَّيْ ُتوَن َوالرُّمَّ َر ُمتَ رَاِكًباَوِمَن النَّْخِل ِمْن طَْلِعَها ِقن ْ ِبًها َوَغي ْ

    ِلُكْم ََليَاٍت لَِقْوٍم يُ ْؤِمُنونَ ۗ اْنظُُروا ِإََلٰ ََثَرِِه ِإَذا أََْثََر َويَ ْنِعِه ۗ ُمَتَشابٍِه ِإنَّ ِف ذَٰ Artinya : “dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu

    Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan Maka

    Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami

    keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak dan dari

    mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun

    anggur, dan (kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang

    tidak serupa, perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan

    (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu

    ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”5

    Dalam melaksanakan kegiatan pertanian manusia juga harus saling

    bekerja sama dan memberi bantuan kepada orang lain, untuk memenuhi

    kebutuhan dan mencapai kesejahteraan dalam kehidupan.

    Kerjasama dengan cara bagi hasil merupakan salah satu kegiatan

    mu’ᾱmalah yang sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya

    dalam bidang pertanian. Kerjasama secara bagi hasil ataupun sewa menyewa

    5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Khadijah. (Jakarta: Panca Cemerlang, 2010),

    140.

  • 5

    ini diperbolehkan dalam Islam baik terhadap barang bergerak ataupun barang

    tidak bergerak seperti tanah.6

    Dalam hukum Islam, model kerjasama pengelolaan sawah ada dua,

    yaitu Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah. Muzᾱra’ah merupakan kerjasama

    pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, yakni pemilik

    lahan memberikan lahan pertaniannya kepada si penggarap untuk ditanami

    dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam

    kerjasama ini terdapat dua pihak yang satu sebagai pemilik modal, sedangkan

    dipihak lain sebagai pelaksana usaha. Keduanya mempunyai kesepakatan

    untuk kerjasama, kemudian hasilnya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.

    Mukhᾱbarah pun tidak jauh berbeda dengan Muzᾱra’ah, hanya saja jika

    Muzᾱra’ah benihnya dari pemilik tanah. Seperti pandangan ulama Syafi’iyah

    yang menyatakan bahwa Muzᾱra’ah adalah transaksi antara penggarap

    (dengan pemilik tanah) untuk menggarap tanah dengan imbalan sebagian dari

    hasil yang keluar dari tanah tersebut dengan ketentuan bibit dari pemilik

    tanah.7

    Sistem bagi hasil menjadi suatu yang penting manakala orang-orang

    mempunyai tenaga kerja tetapi tidak mempunyai lahan, sementara yang lain

    memiliki lahan tetapi tidak mempunyai modal dan tenaga kerja. Berdasarkan

    6 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III. (Jakarta: PT.Pena Pundi Aksana, 2009) 2-7.

    7 Ahmad Wardi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta: Amzah, 2013), 393.

  • 6

    keadaan seperti ini saling membantu dan bekerjasama, maka hanya sistem

    bagi hasil yang merupakan cara efektif untuk menghasilkan lebih banyak

    tanah yang dapat diolah sehingga menguntungkan kedua pihak.8

    Sidodadi adalah sebuah Desa yang merupakan bagian dari Kecamatan

    Sukosewu Kabupaten Bojonegoro, di Desa tersebut memiliki banyak

    kegiatan ekonomi seperti petani dan kuli bangunan. Namun mayoritas

    masyarakat di Desa tersebut berprofesi sebagi petani dan buruh tani. Akan

    tetapi tidak semua masyarakat memiliki sawah, sehingga banyak masyarakat

    yang melakukan kerjasama dalam mengelola sawah milik masyarakat yang

    biasa disebut dengan sistem paron.

    Kerjasama paron yang ada di Desa Sidodadi ini melibatkan 2 pihak,

    yaitu pihak pemilik sawah dan pihak pengelola sawah, sistem paron yang ada

    di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro pada

    praktiknya semua biaya ditanggung oleh penggarap sawah. Panen yang

    terjadi pada umumnya sebanyak tiga kali dalam satu tahun, yaitu dua kali

    panen padi dan satu kali panen kedelai, kacang hijau, dan jagung. Ketika

    melakukan perjanjian, pemilik sawah membuat kesepakatan dengan

    penggarap bahwa hasil dari setiap panen dibagi dua dengan prosentase 50%

    untuk pemilik sawah dan 50% untuk penggarap sawah, namun pada

    praktiknya ada yang prosentasenya 60% untuk penggarap dan 40% untuk

    8 Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II. (Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), 279.

  • 7

    pemilik sawah, adapula yang melibatkan pihak ketiga dalam kerjasama yaitu

    pihak pemilik toko pertanian dimana penggarap sawah berhutang pupuk dan

    obat tanaman kepada pemilik toko pertanian dan akan dibayar saat panen.9

    Berangkat dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk

    mengadakan penelitian lebih lanjut secara rinci untuk meneliti praktik

    terjadinya kerjasama dengan sistem Paron dan untuk diketahui kajian

    hukumnya dalam Islam. Maka judul yang akan dijadikan bahan penelitian

    penulisan skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Islam tentang Kerjasama

    Lahan Pertanian dengan sistem Paron di Desa Sidodadi Kecamatan

    Sukosewu Kabupaten Bojonegoro”.

    B. Identifikasi dan Batasan Masalah

    Identifikasi dan Batasan Masalah menjelaskan kemungkinan-

    kemungkinan cakupan yang dapat muncul dalam penelitian dengan

    melakukan identifikasi dan inventarisasi sebanyak-banyaknya kemungkinan

    yang dapat diduga sebagai masalah. Kemudian, ruang lingkup masalah yang

    telah diidentifikasi itu dibatasi dalam rangka menetapkan batas-batas masalah

    secara jelas sehingga mana yang masuk dan mana yang tidak masuk dalam

    masalah yang akan didekati dan dibahas.10

    9 Muntohar, Wawancara, Bojonegoro, 4 September 2017.

    10 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. (Surabaya:

    Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), 8.

  • 8

    1. Akad yang digunakan dalam kerjasama lahan pertanian dengan sistem

    Paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

    2. Faktor penyebab adanya perbedaan prosentase bagi hasil dalam

    kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron di Desa Sidodadi

    Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

    3. Mekanisme bagi hasil dalam kerjasama lahan pertanian dengan sistem

    Paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

    4. Akibat yang akan ditimbulkan dengan adanya perbedaan prosentase bagi

    hasil dalam kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron di Desa

    Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

    5. Konsep analisis hukum Islam terhadap praktik kerjasama lahan pertanian

    dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten

    Bojonegoro.

    Agar pembahasan dapat fokus dan mencapai apa yang diharapkan, maka

    perlu dibatasi ruang lingkup dalam permasalahan ini, yaitu:

    1. Mekanisme kerjasama/bagi hasil lahan pertanian dengan sistem paron di

    Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

    2. Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik kerjasama lahan pertanian

    dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten

    Bojonegoro.

  • 9

    C. Rumusan Masalah

    Berdasarkan pemaparan latar belakang dan identifikasi masalah di

    atas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

    1. Bagaimana mekanisme kerjasama/bagi hasil lahan pertanian dengan

    sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten

    Bojonegoro?

    3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik kerjasama lahan

    pertanian dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu

    Kabupaten Bojonegoro?

    D. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan penelitian yang ingin tercapai dalam penelitian ini adalah:

    1. Untuk mengetahui mekanisme kerjasama dan bagi hasil lahan pertanian

    dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten

    Bojonegoro.

    2. Untuk mengetahui analisis ‘urf terhadap praktik kerjasama lahan

    pertanian dengan sistem paron di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu

    Kabupaten Bojonegoro.

  • 10

    E. Kegunaan Hasil Penelitian

    Dari permasalahan di atas, penelitian dan penulisan ini diharapkan

    mempunyai nilai tambah dan manfaat baik untuk penulis maupun pembaca,

    sekurang-kurangnya untuk tiga aspek yaitu:

    1. Secara akademis, dapat digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan

    bagi peneliti berikutnya untuk membuat penelitian yang lebih sempurna.

    2. Secara teoritis, dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan

    ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum ekonomi syariah (muamalah).

    3. Secara Praktis, dapat memberikan pemahaman secara jelas tentang

    penggarapan lahan pertanian dengan sistem Paron menurut Hukum Islam

    sehingga ilmu tersebut dapat diterapkan di masyarakat dan memberikan

    solusi terhadap permasalahan yang ada.

    F. Kajian Pustaka

    Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang

    sudah pernah dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat

    jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan

    atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.11

    Dari beberapa literatur yang telah penulis baca belum ada di antara

    literature tersebut yang membahas secara rinci mengenai perbedaan

    11

    Ibid.

  • 11

    prosentase bagi hasil pada kerjasama pengolahan lahan pertanian dengan

    system paron. Akan tetapi, ada beberapa karya tulis berupa skripsi yang telah

    membahas Paron maupun kerjasama lahan dan dianalisis praktik yang ada di

    lapangan, skripsi tersebut antara lain:

    Pertama, skripsi yang ditulis Siti Machmudah, dalam skripsi berjudul

    “Analisis Hukum Islam terhadap Kerjasama Pertanian dengan Sistem Bagi

    Hasil disertai dengan Upah di Desa Pademonegoro, Kec.Sukodono,

    Kab.Sidoarjo” skripsi ini membahas tentang mekanisme kerjasama pertanian

    dengan sistem bagi hasil disertai upah di Desa Pademonegoro,

    Kec.Sukodono, Kab.Sidoarjo, bahwa pada awal perjanjian kerjasama ini

    tidak ada upah yang berupa uang, upah yang disepakati dalam perjanjian

    awal adalah upah berupa sebagian dari panen sehingga ada pihak yang

    dirugikan, dan hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum islam dan

    tidak sesuai dengan tujuan dari kerjasama.12

    Kedua, skripsi yang ditulis Silvia Ratnani, dalam skripsi berjudul

    “Penggarapan Tanah Sawah dengan Sistem Setoran di Desa Lundo

    Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik dalam Prespektif ‘Urf “,skripsi ini

    membahas tentang kesepakatan (akad) yang digunakan dalam kerjasama

    penggarapan sawah dengan sistem setoran di Desa Lundo Kecamatan

    Benjeng Kabupaten Gresik yaitu bahwa penggarap harus menyetorkan hasil

    12

    Siti Machmudah, “Analisis Hukum Islam terhadap Kerjasama Pertanian dengan Sistem Bagi Hasil

    disertai dengan Upah di Desa Pademonegoro, Kec.Sukodono, Kab.Sidoarjo”(Skripsi--UIN Sunan

    Ampel Surabaya 2013), 84.

  • 12

    panennya pada saat panen pertama sesuai dengan permintaan pemilik sawah,

    untuk hasil panen kedua dan ketiga adalah milik penggarap seluruhnya dan

    hal tersebut tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan termasuk ‘urf

    shahih.13

    Ketiga, skripsi yang ditulis Syahrul Amil Mukminin, dalam skripsi

    yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap Paron sapi di Desa Ragang

    Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan” skripsi ini membahas tentang

    sebuah kasus dimana dalam memenuhi kebutuhan tambahan sehari-hari

    biasanya para pemilik modal menanam modal untuk tambahan hidupnya

    kepada masyarakat yang kurang mampu berupa sapi satu dan hasilnya dibagi

    dua yaitu pemilik modal dan pengelola, masalahnya dalam bagi hasil anak

    sapinya jika masyarakat yang mengelola tidak menghasilkan anak sapi maka

    tidak ada keuntungan bagi pengelola, hasil penelitian menyimpulkan dalam

    hukum islam mengenai paron sapi dalam sistem bagi hasil tidak sesuai

    dengan hukum islam dimana hasil tersebut harus dibagi menjadi dua dengan

    sistem penjualan yang transparan.14

    Keempat, skripsi yang ditulis Misnawati, dalam skripsi berjudul

    “Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem Paron Sawah Bersyarat di Desa

    Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura" skripsi ini

    13

    Silvia Ratnani, “Penggarapan Tanah Sawah dengan Sistem Setoran di Desa Lundo Kecamatan

    Benjeng Kabupaten Gresik dalam Prespektif ‘Urf “ (Skripsi UIN--Sunan Ampel Surabaya 2015), 71. 14

    Syahrul Amil Mukminin, “Analisis Hukum Islam terhadap Paron sapi di Desa Ragang Kecamatan

    Waru Kabupaten Pamekasan”(Skripsi UIN--Sunan Ampel Surabaya 2014), 61.

  • 13

    membahas tentang akad paron yang terjadi di Desa Banyuates Kecamatan

    Banyuates Kabupaten Sampang Madura ini melibatkan tiga pihak, yaitu

    pemilik sawah, pengelola dan pemilik toko sebagai penyetok keperluan

    bahan pertanian, ada dua akad dalam praktik paron sawah bersyarat di desa

    Banyuates, yang pertama, antara pihak pemilik sawah dengan pengelola,

    yaitu akad Mukhᾱbarah karena biaya operasional selama masa penanaman

    sampai masa panen ditanggung oleh pengelola, dan antara pengelola dengan

    pemilik toko yakni akad syirkah karena pemilik toko memberikan modal

    kepada pengelola berbentuk bahan pertanian.15

    Adapun penelitian yang akan peneliti lakukan berbeda dengan

    beberapa penelitian terdahulu yang juga membahas tentang kerjasama lahan

    pertanian dengan sistem paron. Dalam penelitian terdahulu di atas

    menjelaskan pokok masalah yang memfokuskan tentang beberapa praktek

    kerjasama penggarapan lahan dan sistem paron hewan ternak serta paron

    sawah bersyarat yang berbeda dengan penelitian yang akan di bahas. Dalam

    penelitian ini nanti akan membahas tentang masalah sistem paron dan

    perbedaan prosentase bagi hasil kerjasama lahan pertanian di Desa Sidodadi

    Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

    15

    Misnawati, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem Paron Sawah Bersyarat di Desa Banyuates

    Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura”(Skripsi UIN--Sunan Ampel Surabaya 2016), 73.

  • 14

    G. Definisi Operasional

    Agar dapat dijadikan acuan dalam menelusuri, mengkaji atau

    mengukur variabel, maka penulis sampaikan batasan dari berbagai pengertian

    yang berkaitan dengan maksud penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan

    Hukum Islam tentang Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem paron di

    Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro”, yaitu:

    Hukum Islam : Penyelidikan terhadap suatu peristiwa

    berlandaskan Al-Qur’an, Sunnah Nabi serta

    Ijtihad para Ulama’ yang mengatur mengenai

    praktik mu’amalah dalam akad kerjasama lahan

    pertanian. Sehingga dapat diketahui baik atau

    buruk, halal atau haram, serta boleh tidaknya

    praktik paron tersebut dilakukan.

    Kerjasama Lahan Pertanian : kerjasama antara pemilik lahan pertanian

    dengan penggarap untuk mengelola lahan

    pertanian dan masing-masing dari mereka akan

    mendapatkan bagian sesuai dengan

    kesepakatan.

    Sistem Paron : Kesepakatan dari kerjasama antara pemilik

    lahan (sawah) dengan penggarap (petani) untuk

  • 15

    mengelola lahan pertanian dan keuntungan

    yang di dapat dari pengelolaan sawah tersebut

    akan di bagi dua.

    H. Metode Penelitian

    Penelitian yang dilakukan berorientasi pada pengumpulan data empiris

    yaitu lapangan, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian

    kualitatif, karena kualitatif memuat tentang prosedur penelitian yang

    menghasilkan deskriptif berupa tulisan atau perkataan dari orang-orang atau

    pelaku yang diamati.

    1. Data yang Dikumpulkan

    Data merupakan kumpulan dari keterangan/informasi yang benar dan

    nyata yang diperoleh baik dari sumber primer maupun sumber

    sekunder.16

    a. Data primer ialah yang berkaitan dengan sistem paron kerjasama

    lahan pertanian antara pemilik sawah dengan penggarap.

    b. Data sekunder ialah tentang analisis hukum Islam terhadap sistem

    sistem paron kerjasama lahan pertanian antara pemilik sawah dengan

    penggarap.

    2. Sumber Data

    16

    Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),

    2011.

  • 16

    Sumber data terbagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan

    sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh

    langsung dari subjek penelitian. Sedangkan sumber data sekunder adalah

    data atau informasi yang diperoleh secara tidak langsung dari objek

    penelitian yang bersifat publik.17

    a. Sumber Data Primer yang meliputi:

    1) Pemilik lahan pertanian yang menerapkan sistem paron pada

    kerjasama lahan pertanian di Desa Sidodadi Kecamatan Sikosewu

    Kabupaten Bojonegoro.

    2) Penggarap lahan pertanian yang menerapkan sistem paron pada

    kerjasama lahan pertanian di Desa Sidodadi Kecamatan Sikosewu

    Kabupaten Bojonegoro.

    3) Masyarakat yang ada di Desa Sidodadi Kecamatan Sikosewu

    Kabupaten Bojonegoro.

    b. Sumber Data Sekunder yang meliputi :

    1) Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah.

    2) Saiful Jazil, Fiqih Mu’amalah.

    3) Mardani, Hukum Bisnis Syariah.

    4) Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah.

    5) M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.

    17

    Wahyu Purhantara, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Bisnis. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 79.

  • 17

    6) Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah.

    7) Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian,

    penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

    a. Observasi (Pengamatan)

    Observasi adalah pengumpulan data dengan menggunakan atau

    menggandakan pengamatan atau pencatatan dengan sistematis tentang

    fenomena yang diselidiki baik secara langsung maupun tidak

    langsung. Data diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung

    mengenai praktek kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron di

    Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

    b. Interview (wawancara)

    Wawancara atau interview ini merupakan suatu kegiatan yang

    dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan

    menggunakan pertanyaan-pertanyaan kepada responden.18

    Data dari

    metode interview ini didapat setelah mewawancarai pemilik sawah,

    penggarap sawah, dan beberapa masyarakat desa.

    4. Teknik Pengolahan Data

    18

    Margono, Metode Penelitian Pendidikan. (Jakarta:Renika Ilmu, cet.I, 2004), 39.

  • 18

    Setelah data berhasil diperoleh dari lapangan maupun penulisan, maka

    penulis akan melakukan pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut:

    a. Editing, adalah kegiatan yang dilaksanakan setelah penulis selesai

    menghimpun data di lapangan. Kegiatan ini menjadi penting karena

    kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadangkala belum

    memenuhi harapan peneliti, diantaranya kurang atau terlewatkan,

    tumpeng tindih, berlebihan bahkan terlupakan. Oleh karena itu

    keadaan tersebut harus diperbaiki melalui tahap editing ini.19

    b. Organizing, adalah kegiatan menyusun data yang telah didapatkan

    ketika penulis melakukan pencarian data yang diperlukan dalam

    penelitian ini dalam kerangka paparan yang sudah dibuat atau

    direncankan secara sistematis dengan rumusan masalah yang ada.20

    c. Penemuan Hasil adalah kegiatan melakukan analisis data yang sudah

    diperoleh peneliti dari kegiatan penelitian di lapangan guna

    memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta yang ada di

    lapangan dan akhirnya merupakan suatu jawaban dari rumusan

    masalah.21

    5. Teknik Analisis Data

    19

    Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial format-format kuantitatif dan kualitaatif. (Surabaya:

    Airlangga University Pers), 182. 20

    Usman Rianse Abdi, Metodologi Penelitian: Sosial dan Ekonomi Teori dan Aplikasi. (Bandung:

    CV. Alfabeta, 2009), 245. 21

    Ibid., 246.

  • 19

    Dalam rangka mempermudah dalam menganalisis data, dari hasil

    pengumpulan data yang dilakukan selanjutnya akan dibahas yang

    kemudian dilakukan analisis secra kualitatif, yaitu dengan menghasilkan

    data deskriptif. Deskriptif yaitu menggambarkan/ menguraikan sesuatu

    hal menurut apa adanya yang sesuai dengan kenyataan.22

    Setelah penulis melakukan penelitian dengan mengumpulkan data

    secara sistematis, kemudian menganalisisnya dengan menggunakan

    metode deskriptif analisis, yaitu dengan mengumpulkan data tentang

    praktik kerjasama lahan pertanian dengan sistem Paron di Desa Sidodadi

    Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro yang menghasilkan data

    deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari hasil wawancara

    yang dilakukan oleh penulis dengan orang yang diinterview serta

    mengamati keadaan yang ada dengan metode yang sudah ditentukan

    sebelumnya. Kemudian data tersebut akan diolah dan dianalisis dengan

    pola piker deduktif yakni menggunakan pola pikir yang berpijak pada

    teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan, kemudian dikemukakan

    berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.23

    Metode yang berpijak

    pada teori ‘Urf yang kemudian dikaitkan dengan fakta-fakta dalam

    praktik kerjasama lahan pertanian dengan sistem Paron antara pemilik

    22

    Pius Partanto dan Dahlan Barry, Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya: Arkola, 2001), 111. 23

    Sutrisno Hadi, Metodologi Research. (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1975), 16.

  • 20

    sawah dengan penggarap di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu

    Kabupaten Bojonegoro.

    I. Sistematika Pembahasan

    Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis agar mempermudah

    pembahasan dalam penelitian ini, sistematika pembahasan sebagai berikut:

    Bab pertama ialah pendahuluan yang berisi tentang pokok-pokok

    pikiran atau landasan permasalahan yang melatar belakangi penulisan

    proposal ini, sehingga memunculkan gambaran isi tulisan yang terkumpul

    dalam konteks penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah,

    rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil

    penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika

    pembahasan.

    Bab kedua memuat penjelasan tentang teori Muzᾱra’ah, Mukhᾱbarah

    dan ‘Urf. Teori pertama yaitu Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah berisi tentang

    pengertian Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah, dasar hukum Muzᾱra’ah dan

    Mukhᾱbarah, rukun dan syarat Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah, perbedaan

    Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah, dan berakhirnya akad Muzᾱra’ah dan

    Mukhᾱbarah. Teori yang kedua adalah ‘Urf mencakup tentang definisi ‘Urf,

    macam-macam ‘Urf, dan kedudukan ‘Urf dalam penetapan hukum islam.

    Bab ketiga berisikan tentang praktik kerjasama lahan pertanian

    dengan sistem Paron antara pemilik sawah dan penggarap, yang berisikan

  • 21

    tentang gambaran umum lokasi penelitian, sistematika praktik kerjasama dan

    bagi hasil lahan pertanian dengan sistem Paron antara pemilik sawah dan

    penggarap dan yang melibatkan pihak ketiga di Desa Sidodadi Kecamatan

    Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

    Bab keempat berisikan tentang tinjauan hukum islam terhadap praktik

    kerjasama lahan pertanian dengan sistim Paron didesa Sidodadi Kecamatan

    Sukosewu Kabupaten Bojonegoro.

    Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan tentang

    kesimpulan yang menjawab rumusan masalah di lengkapi dengan saran-

    saran. Selain itu bab terakhir ini dilengkapi dengan daftar pustaka.

  • 22

    BAB II

    KONSEP MUZARA’AH, MUKHABARAH, dan ‘URF DALAM HUKUM ISLAM

    A. Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah dalam Hukum Islam

    Dalam hukum Islam, model kerjasama pengelolaan sawah ada dua, yaitu

    Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah. Muzᾱra’ah merupakan kerjasama pengelolaan

    pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, yakni pemilik lahan

    memberikan lahan pertaniannya kepada si penggarap untuk ditanami dan

    dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam kerjasama

    ini terdapat dua pihak yang satu sebagai pemilik modal, sedangkan dipihak

    lain sebagai pelaksana usaha.

    1. Pengertian Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah

    Secara etimologi, Muzᾱra’ah berarti kerjasama di bidang

    pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap.1 Menurut

    Muhammad Syafi’i Antonio, Muzᾱra’ah adalah kerjasama pengolahan

    pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan

    memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan

    dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.2

    1 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana), 2010, 114

    2 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia), 2011, 213

  • 23

    Sedangkan menurut terminologi, Mukhᾱbarah adalah bentuk

    kerjasama antara pemilik sawah atau tanah dan penggarap dengan

    perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan

    penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya

    dari penggarap tanah.3

    Dalam Mukhᾱbarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh

    penggarap tanah, sedangkan dalam Muzᾱra’ah, bibit yang akan ditanam

    boleh dari pemilik.4

    Setelah diketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa

    Mukhᾱbarah dan Muzᾱra’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan.

    Persamaannya ialah, Mukhᾱbarah dan Muzᾱra’ah terjadi pada peristiwa

    yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain

    untuk dikelola. Perbedaannya ialah, pada modal bila modal berasal dari

    pengelola, disebut Mukhᾱbarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik

    tanah, disebut Muzᾱra’ah.5

    2. Dasar Hukum Mukhᾱbarah dan Muzᾱra’ah

    Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan

    hukum Mukhᾱbarah dan Muzᾱra’ah adalah sebuah hadis yang

    diriwayatkan oleh Bukhari r.a.

    3 Ibid., 117

    4 Ibid., 114

    5 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia), 2011, 215

  • 24

    َها ِمْن ََثٍَر َأْو َزرٍْع, َفَكاَن َعْن َعْبِداللَِّه ْبِن ُعَمَر : َأنَّ النَِّبَّ ص م َعاَمَل َخْيبَ َر ِبَشْطِر َما ََيْرُُج ِمن ْ

    ُرْوَن َوْسَق َشِعْْيٍ .شْ َوعِ يُ ْعِطي اَْزَواَجُه ِمائَ َتا َوْسٍق, ََثَانُ ْوَن َوْسَق ََتٍْر ,

    Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar : bahwa Nabi Saw.

    Memperkerjakan penduduk Khaibar dengan mendapatkan setengah dari

    buah atau tanaman yang dihasilkan. Maka beliau memberi istri-istrinya

    sebanyak seratus wasaq: 80 wasaq kurma dan 20 wasaq sya’ir. (HR. Al-

    Bukhari: 2328) 6

    Hukum Mukhᾱbarah sama dengan Muzᾱra’ah, yaitu mubah

    (boleh). Landasan hukum Mukhᾱbarah adalah sabda Nabi saw:7

    َُخابَ رَةَ َهِذهِ تَ رَْكتَ َلوْ نِ اَ الرَّحْ َعْبدِ اَبَا يَا َلهُ فَ ُقْلتُ َعْمٌرو قَالَ , ِبرُ َُيَا َكانَ اَنَّهُ طَاُوسٍ َعنْ امل

    َُخابَ رَةِ َعنِ نَ َهى وسلم عليه اللَّه صلى لنَِّبَّ َأنَّ يَ ْزُعُمْونَ فَِان َُّهمْ َأْخِبِْن : َعْمٌرو َأىْ فَ َقالَ امل

    َها يَ ْنهَ لَْ وسلم عليه اللَّه صلى النَِّبَّ َأنَّ َعبَّاسٍ اْبنَ بَ ْعِن ِبَذاِلكَ أَْعَلُمُهمْ َا َعن ْ َأَحدُ ََيَْنحُ قَالَ ِاَّنَّ

    رٌ َأَخاهُ ُكمْ َها يَْأُخذَ َأنْ ِمنْ َلهُ َخي ْ (.خبارى رواه) َمْعُلوًما َخْرَجا َعَلي ْ

    “ Dari Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: Lalu aku

    katakan kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan

    mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw, telah

    melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah

    menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan

    hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. tidak melarang Mukhabarah

    itu, hanya beliau berkata: Seseorang memberi manfaat kepada saudaranya

    lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan

    upah tertentu”. (HR.Bukhari 1087).

    Demikian dikemukakan dasar hukum Muzᾱra’ah dan

    Mukhᾱbarah, diketahui pula pendapat para ulama, ada yang

    6Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail, Kutubu as-Sittah, Shahih Bukhari, Nomor Hadis: 2328,

    (Riyadh: Darussalam linnasyari wa at-Ziiyi, 2008), 182 7 Muhammad Nashir Addinul Albab, Shahih Imam Bukhari, (Arriyad: Al Maktab Ma’arif Linnatsir

    Wattauqi’), 2002, Jilid IV, 113-114

  • 25

    mengharamkan kedua-duanya, ada yang mengharamkan Muzᾱra’ah saja,

    seperti Al-Syafi’i, dan ada yang menghalalkan kedua-duanya, antara lain

    Al-Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khatabi.8

    3. Rukun dan Syarat Muzᾱra’ah

    Jumhur ulama yang membolehkan akad Muzᾱra’ah

    mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad

    dianggap sah.

    Rukun Muzᾱra’ah menurut mereka sebagai berikut:9

    1. Pemilik tanah.

    2. Petani penggarap.

    3. Objek Muzᾱra’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.

    4. Ijab dan Kabul.

    Adapun syarat-syarat Muzᾱra’ah, menurut jumhur ulama sebagai

    berikut:10

    1. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah

    baligh dan berakal.

    2. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas

    sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.

    3. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:

    8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2011, 158

    9 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana), 2010, 116

    10 Ibid., 116-117

  • 26

    a. Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan

    menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga

    tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad

    Muzᾱra’ah tidak sah.

    b. Batas-batas tanah itu jelas.

    c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.

    Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian

    itu maka akad Muzᾱra’ah tidak sah.

    4. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:11

    a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

    b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa

    boleh ada pengkhususan.

    c. Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau

    seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul

    perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh

    berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal

    untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh

    panen jauh di bawah itu atau dapat juga melampaui jumlah itu.

    5. Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam

    akad sejak semula, karena akad Muzᾱra’ah mengandung makna akad

    11

    Ibid.

  • 27

    Al-Ijᾱrah (sewa menyewa atau upah-mengupah) dengan imbalan

    sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas.

    Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan

    Muzᾱra’ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani,

    sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun

    pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.

    4. Zakat Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah

    Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada

    orang mampu. Dalam arti telah mempunyai harta hasil pertanian yang

    wajib dizakati (jika telah sampai batas nisab). Maka dalam kerja sama

    seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik sawah atau ladang dan

    penggarap) membayar zakat bila telah sampai nishab.

    Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam

    Muzᾱra’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang

    menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Dalam

    Mukhᾱbarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah

    hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah

    mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat

  • 28

    diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab, sebelum pendapatan

    dibagi dua.12

    5. Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah

    a. Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah Sahih menurut Hanafiyah,

    sebagai berikut:13

    1. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada

    penggarap.

    2. Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik

    tanah.

    3. Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu

    akad.

    4. Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan

    bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada

    kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggung jawab

    menyiram atau menjaga tanaman.

    5. Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang

    telah ditetapkan.

    6. Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui

    hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan

    akad didasarkan pada waktu.

    12

    Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, 118-119 13

    Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia), 210-211

  • 29

    b. Hukum Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah Fasid menurut Hanafiyah, telah

    disinggung bahwa ulama Syafi’iyah melarang Muzᾱra’ah jika benih

    dari pemilik kecuali bila dianggap sebagai Musyᾱqoh. Begitu pula jika

    benih penggarap, hal itu tidak boleh sebagaimana dalam Musyᾱqoh.

    Dengan demikian hasil dari pemeliharaan tanah diberikan semuanya

    untuk pemilik, sedangkan penggarap hanya diberi upah.

    c. Hukum Muzᾱra’ah menurut Hanafiyah, di antara hukum-hukum yang

    terdapat dalam Muzᾱra’ah fasid adalah:

    1. Penggarap tidak berkewajiban mengelola.

    2. Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.

    3. Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari

    pekerjaannya.

    6. Berakhirnya Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah

    Beberapa hal yang menyebabkan Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah

    berakhir antara lain:14

    a. Habis masa Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah

    b. Salah seorang yang berakad meninggal dunia

    c. Adanya udzur. Menurut ulama Hanafiyah, di antara udzur yang

    menyebabkan batalnya Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah, antara lain:

    1. Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar utang.

    14 Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia), 2001, 211

  • 30

    2. Penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di

    jalan Allah SWT. dan lain-lain.

    7. Hikmah Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah

    Hikmah yang terkandung dalam Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah

    adalah saling tolong menolong (ta’awun), di mana antara pemilik tanah

    dan yang menggarapnya saling diuntungkan. Hikmah lain dari Muzᾱra’ah

    dan Mukhᾱbarah adalah tidak terjadi adanya kemubadziran baik tanah

    maupun ternak, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh orang yang

    membutuhkan, begitu pun pemilik tanah merasa diuntungkan karena

    tanahnya tergarap.15

    Hikmah yang lainnya dari masalah Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah

    adalah menimbulkan adanya rasa keadilan dan keseimbangan. Keadilan

    dapat menghasilkan keseimbangan dalam perekonomian dengan

    meniadakan kesenangan antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak

    yang membutuhkan (orang miskin). Walaupun tentunya Islam tidak

    menganjurkan kesamaan ekonomi dan mengakui adanya ketidaksamaan

    ekonomi orang perorangan.16

    15

    Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia), 2011, 218 16

    Ibid.

  • 31

    B. ‘Urf dalam Hukum Islam

    1. Pengertian ‘Urf

    Kata ‘Urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan

    dengan al-ma’ruf dengan arti: “sesuatu yang dikenal”.17

    Secara

    terminologi, ‘Urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik

    dalam perkataan mauun perbuatan. Istilah ‘Urf berarti sesuatu yang telah

    dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka,

    baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pantangan-pantangan dan juga

    bisa disebut dengan adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan

    antara ‘Urf dan adat kebiasaan. Namun dalam pemahaman biasa diartikan

    bahwa pengertian adat lebih umum disbanding dengan ‘Urf.18

    Dengan demikian, suatu kebiasaan dapat dikatakan sebagai ‘Urf

    jika memenuhi hal-hal berikut: pertama, kebiasaan itu harus disukai

    banyak orang. Kedua, kebiasaan harus dilakukan secara berulang-ulang.

    Ketiga, kebiasaan itu harus popular dan dikenal oleh banyak kamunitas.19

    Dalam hukum islam, ‘Urf menempati posisi yang penting dalam

    penetapan hukum. Hal ini karena ‘Urf menjadi kebiasaan yang berlaku di

    masyarakat secara membudaya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena

    itu, adat dan ‘Urf menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum yang

    17

    Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Predana Media Group), 2008, 387 18

    Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana

    Media Group), 2016, 151 19

    Ibid.

  • 32

    telah dirumuskan menjadi kaidah umum, yaitu: al-ᾱdah muhakkamah dan

    al-tsabit bi al-urfi ka al-tsabit bi al-nash.20

    2. Macam-macam ‘Urf

    ‘Urf terdiri dari dua macam, yaitu ‘Urf ṣaḥīḥ dan ‘Urf fasid

    (rusak). ‘Urf ṣaḥīḥ adalah Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia

    dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghlalkan yang

    haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Telah disepakati bahwa

    ‘Urf ṣaḥīḥ itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan

    pengadilan. Di antara para ulama ada yang berkata, “Adat adalah syariat

    yang dikukuhkan sebagai hukum”, begitu juga ‘Urf menurut syara’

    mendapat pengakuan hukum.21

    Adapun ‘Urf fasid, yaitu Sesutu yang telah saling dikenal

    manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau menghalalkan yang

    haram dan membatalkan yang wajib. Adapun ‘Urf yang rusak, tidak

    diharuskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti

    menentang dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’.22

    3. Kaidah tentang ‘Urf

    20

    Ibid., 152 21

    Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), 2010, 128-129 22

    Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, 128-130

  • 33

    Adapun kaidah-kaifah fikih yang berhubungan dengan ‘Urf

    (kebiasaan) yang biasa dijadikan sebagi sandaran hukum adalah sebagai

    berikut:23

    a. Kaidah ُ َحَكَمةُ ُالَعاَدة م , maksudnya suatu kebiasaan adalah sumber hukum.

    Kaidah ini dapat melahirkan banyak masalah hukum yang

    memberikan ruang kepada tradisi lokal masyarakat tertentu sebagai

    sumber hukum Islam. Terkait hal ini menunjukan bahwa hukum Islam

    tidak antibudaya setempat, tetapi justru melestarikan budaya yang

    dianggap baik, selama tidak bertentangan dengan syariat.

    b. Kaidah ُوف ْوطُُِْرًفاعُ ُالَمِعر َشْرًطاَُكالَمْشر , maksudnya sesuatu yang sudah

    diketahui oleh banyak masyarakat akan menjadi suatu kebiasaan yang

    dapat dijadikan sebagai sumber hukum seperti halnya sesuatu yang

    disyariatkan akan menjadi syarat atau suatu transaksi yang disepakati

    kedua belah pihak.

    c. Kaidah ُْرفُُِالَثاِبت اُِباْلع ِبالنَِّصُُِبتَُُِكالثَّ , maksudnya bahwa suatu hukum

    yang ditetapkan berdasarkan ‘Urf (kebiasaan), sama halnya dengan

    hukum yang ditetapkan berdasarkan teks. Hal ini menunjukan bahwa

    ‘Urf memiliki peranan dalam pengembangan hukum Islam sebagai

    salah satu metode merumuskan hukum Islam.

    23

    Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Malang: UIN Maliki Press), 2010, 239-243

  • 34

    d. Kaidah ُاألَْحَكامَُِتَغي َواالَْمِكَنةُُِاألَْزِمَنةُُِِبَتَغي رُُِر , maksunya bahwa perubahan

    suatu hukum akan dipengaruhi oleh perubahan waktu dan tempat di

    mana hukum tersebut diformulasikan. Dengan demikian, dalam

    kaitannya ‘Urf sebagai sumber hukum akan memberikn pengaruh di

    mana ‘Urf tersebut berlaku di tempat di mana hukum ditetapkan.

    4. Kehujjahan ‘Urf

    ‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’

    tersendiri. Pada umumnya, ‘Urf ditujukan untuk memelihara

    kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran

    beberapa nash. Dengan ‘Urf dikhususkan lafal yang ‘ᾱmm (umum) dan

    dibatasi yang mutlak. Karena ‘Urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan.

    Karena itu, sah sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak

    tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dūm (tiada).

    5. Syarat-syarat ‘Urf untuk dapat dijadikan Landasan Hukum

    Ada beberapa persyaratan bagi ‘Urf yang bisa dijadikan landasan

    hukum yaitu:24

    1) ‘Urf itu harus termasuk ‘Urf yang ṣaḥīḥ dalam arti tidak bertentangan

    dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

    2) ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi

    kebiasaan mayoritas penduduk negeri itu.

    24

    Satria Effendi, Ushul Fiqh, 156-157

  • 35

    3) ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan

    dilandaskan kepada ‘Urf itu.

    4) Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan

    kehendak ‘Urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad

    telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku

    umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘Urf.

  • 36

    BAB III

    PRAKTIK KERJASAMA LAHAN PERTANIAN DENGAN SISTEM PARON DI

    DESA SIDODADI KECAMATAN SUKOSEWU KABUPATEN BOJONEGORO

    A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

    Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, keadaan suatu wilayah sangat

    berpengaruh dan menentukan watak dan sifat dari masyarakat yang

    menempatinya, sehingga karakteristik masyarakat itu akan berbeda-beda

    antara wilayah satu dengan wilayah yang lainnya. Seperti yang terjadi di

    masyarakat Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro,

    yang mana diantaranya adalah faktor geografis, sosial, keagamaan,

    pendidikan dan faktor ekonomi.

    1. Letak Geografis

    Desa Sidodadi merupakan salah satu desa yang terletak di

    Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro dengan jarak 7 km dari

    kecamatan, 15 km dari kabupaten. Bapak Yaimin selaku Sekrestaris Desa

    menjelaskan bahwa batas-batas Desa Sidodadi sebagai berikut:1

    a. Sebelah utara : Desa Kedaton Kecamatan Kapas

    b. Sebelah Selatan : Desa Sukosewu Kecamatan Sukosewu

    c. Sebelah barat : Desa Sumberjo Kidul Kecamatan Sukosewu

    d. Sebelah Timur : Desa Ngadiluhur Kecamatan Balen 1 Yaimin, Wawancara, Bojonegoro, 6 Nopember 2017

  • 37

    Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro

    terdiri dari 5 dusun 47 RT dan 10 RW yang masing-masing dipimpin oleh

    Kepala dusun (Kasun) dengan rincian sebagai berikut:2

    a. Dusun Kendal terdiri dari 3 RW dan 15 RT.

    b. Dusun Gempol terdiri dari 2 RW dan 8 RT.

    c. Dusun Balong terdiri dari 2 RW dan 15 RT.

    d. Dusun Kedungpapak terdiri dari 2 RW dan 8 RT.

    e. Dusun Bitingan terdiri dari 1 RW dan 6 RT.

    2. Luas Wilayah

    Luas wilayah Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten

    Bojonegoro adalah 720,25 hektar yang terdiri dari:3

    a. Tanah sawah terdiri dari 2 macam yaitu:

    1. Sawah irigasi : 332 Ha

    2. Sawah tadah hujan : 24 Ha

    b. Tanah Kering trdiri dari 3 macam yaitu :

    1. Ladang : 20 Ha

    2. Pemukiman : 100 Ha

    3. Pekarangan : 122 Ha

    c. Tanah basah (waduk/situ) : 0,25 Ha

    d. Tanah perkebunan perorangan : 122 Ha

    2 Yaimin, Wawancara, Bojonegoro, 6 Nopember 2017

    3 Data monografi Desa Sidodadi, 2017

  • 38

    3. Keadaan Penduduk4

    Jumlah Kepala Keluarga : 1652 KK

    Jumlah Penduduk : 5705 Jiwa

    Laki-Laki : 2909 Jiwa

    Perempuan : 2795 Jiwa

    Jenjang pendidikan penduduk Desa Sidodadi yaitu sebagai berikut :5

    a. Belum sekolah : 2392 Jiwa

    b. Tidak tamat SD : 150 Jiwa

    c. Tidak pernah sekolah : 333 Jiwa

    d. Tamat SD : 1502 Jiwa

    e. SMP : 824 Jiwa

    f. SMA : 421 Jiwa

    g. D1 : 11 Jiwa

    h. D2 : 9 Jiwa

    i. D3 : 13 Jiwa

    j. S1 : 24 Jiwa

    k. S2 : 4 Jiwa

    l. Tamat SLB A : 4 Jiwa

    m. Tamat SLB B : 9 Jiwa

    4 Data monografi Desa Sidodadi, 2017.

    5 Data monografi Desa Sidodadi, 2017

  • 39

    n. Tamat SLB C : 9 Jiwa

    4. Kondisi Sosial Keagamaan

    Mengenai kehidupan sosial keagamaan penduduk Desa Sidodadi

    mayoritas beragama Islam, dan ada beberapa orang yang beragama

    Kristen. Hal ini dapat dilihat dengan adanya beberapa kegiatan

    keagamaan yang ada. Selain itu juga adanya sarana dan prasarana

    peribadatan di Desa Sidodadi cukup memadai dengan adanya fasilitas

    tempat ibadah yang ada yaitu 3 masjid besar dan juga ada banyak

    mushola serta tempat pendidikan keagamaan seperti madrasah dan taman

    pendidikan Al-Qur’an (TPQ).

    Sosial keagamaan masyarakat di Desa Sidodadi cukup

    berkembang. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan yang cukup aktif

    di Desa Sidodadi, Masyarakat Desa Sidodadi mengadakan rutinitas

    kegiatan-kegiatan keagamaan yang biasanya dilaksanakan setiap satu

    minggu atau satu bulan sekali diantaranya:

    a. Tahlil untuk laki-laki : 1 Minggu

    b. Yasinan untuk perempuan : 1 Minggu

    c. Dibaiyah : 1 Minggu

    d. Istighasah dan Ceramah Agama : 1 Bulan

    e. Ziarah ke wali : 1 Tahun

    f. Manaqib Qubro : 3 Bulan

  • 40

    g. Pengajian : setiap hari besar Islam

    Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial

    keagamaan masyarakat Desa Sidodadi sudah cukup maju dan

    berkembang dilihat dari banyaknya kegiatan keagamaan yang ada dan

    diikuti oleh masyarakat Desa Sidodadi.

    5. Kondisi Sosial Pendidikan

    Masalah pendidikan tidak akan bisa lepas dari sarana dan

    prasarana dari lembaga pendidikan yang ada, karena sarana tersebut

    merupakan tolak ukur bagi perkembangan pendidikan anak didik bangsa

    pada generasi yang akan dating. Dalam hal pendidikan, kesadaran

    masyarakat desa Sidodadi akan pentingnya pendidikan, kesadaran

    masyarakat terhadap pendidikan terlihat dari anak-anak desa Sidodadi

    yang seluruhnya sedang berusaha belajar di lembaga-lembaga

    pendidikan. Dimulai dari bagian masyarakat yang paling muda, terdapat

    lembaga pendidikan formal PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), TK

    (Taman Kanak-Kanak) dan lembaga pendidikan keagamaan TPQ (Taman

    Pendidikan Al-Qur’an) untuk usia anak-anak. Selain itu juga terdapat

    pula SD (Sekolah Dasar), MI (Madrasah Ibtidaiyah), dan ada pula MTs

    (Madrasah Tsanawiyah) yaitu sekolah berbasis Islam sejenjang dengan

    SMP (Sekolah Menengah Pertama) untuk jenjang pendidikan tertinggi

    yang ada di Desa Sidodadi. Sayangnya mereka yang ingin meneruskan ke

  • 41

    jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas) harus bersekola keluar Desa

    Sidodadi. Adapun rincian tentang sarana pendidikan yang ada dapat

    dilihat dari uraian berikut:

    1. PAUD : 3 Sekolah

    2. TK : 3 Sekolah

    3. SD/MI : 3 Sekolah

    4. SMP/MTs : 1 Sekolah

    B. Sistematika Kerjasama Lahan Pertanian dengan Sistem Paron Antara Pemilik

    dan Penggarap di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten

    Bojonegoro.

    Maro atau paroan sawah yaitu seorang pemilik tanah menyuruh orang

    lain mengerjakan tanahnya itu dengan perjanjian bahwa hasil dari

    penghasilan tanah itu akan dibagi antara pemilik dan pekerja atau penggarap

    tanah dan membagi hasil itu dengan maro (memperdua). Perjanjian membagi

    hasil seperti itu sering dijumpai di tanah-tanah dengan hak milik

    perseorangan.6

    1. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Lahan Pertanian dengan Sistem

    Paron Antara Pemilik dan Penggarap.

    6 Sudikno Martokusumo, Perundang-Undangan Agraria Indonesia, (Yogyakarta: Liberty

    Yogyakarta), 2011, 32-33

  • 42

    Dalam kehidupannya, masyarakat di desa Sidodadi melakukan

    kegiatan bercocok tanam, hal ini dikarenakan meyoritas penduduknya

    berprofesi sebagai petani. Sebagai petani mereka menggarap tanah sawah

    untuk ditanami , hal tersebut merupakan aktifitas pertanian yang biasa

    dilakukan oleh masyarakat Desa Sidodadi baik laki-laki maupun

    perempuan bahkan suami istri. Kerjasama Lahan Pertanian dengan sistem

    Paron merupakan salah satu model kerjasama yang banyak digunakan

    oleh masyarakat Desa Sidodadi, karena ada masyarakat yang memiliki

    banyak lahan namun tidak memiliki cukup tenaga untuk menggarap lahan

    tersebut, ada pula masyarakat yang memiliki lahan pertanian tetapi ada

    pekerjaan lain yang harus dikerjakan setiap harinya, dari hal tersebut

    muncullah kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron antara pemilik

    sawah dengan penggarap.

    Kerjasama Paron yang ada di Desa Sidodadi ini melibatkan 2

    pihak, yaitu pihak pemilik sawah dan pihak pengelola sawah, sistem

    Paron yang ada di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten

    Bojonegoro pada praktiknya semua biaya ditanggung oleh penggarap

    sawah. Panen yang terjadi pada umumnya sebanyak tiga kali dalam satu

    tahun, yaitu dua kali panen padi dan satu kali panen kedelai, kacang hijau,

    dan jagung. Ketika melakukan perjanjian, pemilik sawah membuat

    kesepakatan dengan penggarap bahwa hasil dari setiap panen dibagi dua

  • 43

    dengan prosentase 50% untuk pemilik sawah dan 50% untuk penggarap

    sawah, namun pada praktiknya ada yang prosentasenya 60% untuk

    penggarap dan 40% untuk pemilik sawah, adapula yang melibatkan pihak

    ketiga dalam kerjasama yaitu pihak pemilik toko pertanian dimana

    penggarap sawah berhutang pupuk dan obat tanaman kepada pemilik toko

    pertanian dan akan dibayar saat panen

    Menurut Ibu Kasri pemilik sawah, kerjasama lahan pertanian

    dengan Sistem paron sudah lama dilakukan yaitu kerjasama penggarapan

    sawah yang dilakukan oleh pemilik sawah dan penggarap karena pemilik

    sawah memiliki banyak sawah namun tidak memiliki cukup tenaga untuk

    menggarapnya dengan catatan bibit, pupuk, obat, tenaga, dan kebutuhan

    lainnya ditanggung oleh penggarap dan jika sudah tiba waktu panen

    pemilik sawah mendapatkan hasil 50% dari hasil panen, namun jika

    terjadi musibah yaitu gagal panen pemilik sawah hanya mendapatkan

    30% dari hasil panen tergantung pada hasil panen.7

    Pendapat lain dari Bapak Qomari pemilik sawah, mengatakan

    bahwa ada kesibukan lain yaitu sebagai pengusaha tetapi memiliki

    banyak sawah, oleh karena itu terjadi kerjasama lahan pertanian dengan

    sistem paron ini, karena tidak memiliki cukup waktu untuk menggarap

    sawahnya, sistem paron merupakan kerjasama lahan pertanian antara

    7 Kasri, Wawancara, Bojonegoro, 11 Nopember 2017

  • 44

    pemilik sawah dan penggarap dimana bibit, pupuk, obat, dan keperluan

    lainnya semuanya ditanggung oleh penggarap, dan pada saat panen tiba

    pemilik sawah meminta separo dari hasil panen.8

    Bagi Bapak Mutohar sebagai penggarap sawah yang mengelola

    sawah milik orang lain dikarenakan mereka tidak memiliki sawah dan

    berprofesi sebagai petani karena memang memiliki keahlian di bidang

    tersebut dan menjadi penghasilan utama dalam memenuhi kehidupan

    sehari-hari. Sistem paron adalah kerjasama lahan pertanian antara pemilik

    sawah dan penggarap dengan catatan bibit, pupuk, obat, dan semua

    keperluan lainnya ditanggung oleh penggarap, dan pada saat panen tiba

    separo hasilnya harus diserahkan ke pemilik sawah, namun pada musim

    yang tidak menentu seperti saat ini, banyak penggarap yang menyerahkan

    30% dari keseluruhan hasil panen karena memang hasil panen menurun

    dan hasilnya tidak memuaskan.9

    Menurut Ibu Kalimah sebagai penggarap sawah menuturkan

    bahwa kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron sudah lama

    dikerjakan, karena tidak memiliki sawah dan berprofesi sebagai petani

    sekaligus buruh tani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sistem

    Paron adalah kerjasama penggarapan sawah oleh pemilik sawah dengan

    penggarap dengan ketentuan mulai dari bibit, pupuk, obat, biaya

    8 Qomari, Wawancara, Bojonegoro, 11 Nopember 2017

    9 Mutohar, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017

  • 45

    penanaman, biaya perawatan, biaya panen semuanya ditanggung oleh

    penggarap dan pada saat panen tiba pemilik sawah meminta separo dari

    hasil panen, tidak peduli baik atau buruk hasil panennya.10

    Menurut Ibu Ponjiat pemilik toko pertanian mengatakan bahwa

    paron adalah kerjasama penggarapan lahan pertanian dimana biaya

    operasional sawah dari bibit, pupuk, obat, tenaga kerja, dan lainnya

    ditanggung oleh pihak penggarap sawah dan saat panen tiba hasilnya

    akan dibagi dua sama rata dengan pemilik sawah, biasanya ada penggarap

    yang tidak memiliki modal untuk membeli pupuk dan obat-obatan yang

    diperlukan berhutang ke toko Ibu Ponjiat dan akan dibayar pada waktu

    panen. Didalam hutang piutang ini, Ibu Ponjiat tidak menarik keuntungan

    dalam artian antara harga cash dan harga hutang sama tidak dibedakan.11

    Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan para pihak

    yang menerapkan kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron bahwa

    kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron sudah lama dilakukan.

    2. Mekanisme Kerjasama Lahan Pertanian dengan Sistem Paron

    Yang dimaksud dengan sistem Paron menurut Ibu Kasri pemilik

    sawah yaitu sistem kerjasama dalam menggarap lahan pertanian yang

    mana hasil panennya nanti di bagi sesuai kesepakatan antar pemilik

    sawah dan penggarap. Kesepakatan pembagian hasil panen tersebut

    10

    Kalimah, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 11

    Ponjiat, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017

  • 46

    berada di awal perjanjian, namun bisa saja kesepakatan tersebut berubah

    saat panen tiba karena hasil panen yang terkadang kurang baik.12

    Menurut Bapak Qomari pemilik sawah bahwa Paron adalah

    sistem kerjasama penggarapan lahan pertanian dimana hasil panen dibagi

    dua antara pemilik sawah dan penggarap, hal tersebut sudah dilakukan

    sejak dulu, Bapak Qomari sudah menjalankan kerjasama dengan sistem

    Paron ini selama 18 tahun.13

    Alur perjanjian yang dilakukan antara pemilik sawah dengan

    penggarap yang dijelaskan oleh Ibu Kholifah pemilik sawah adalah:14

    a. Perjanjian yang dilakukan sebagaimana kebiasaan yang berlaku di

    Desa Sidodadi dari dahulu sampai sekarang. Awal mula pemilik

    sawah yang tidak bisa menggarap sawahnya atau ada kesibukan

    lain mendatangi para petani yang biasanya dianggap pandai dalam

    mengelola lahan pertanian, baik petani yang memiliki sawah atau

    petani yang tidak memiliki sawah, selanjutnya pemilik sawah

    menawarkan kepada petani untu menggarap sawahnya dengan

    sistem paron.

    b. Jika penggarap setuju maka hal tersebut sudah dianggap sebagai

    perjanjian menurut masyarakat Desa Sidodadi, perjanjian tersebut

    dilakukan secara lisan dan tanpa ditulis karena kebiasaan yang

    12

    Kasri, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 13

    Qomari, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 14

    Kholifah, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017

  • 47

    mereka lakukan seperti itu dengan memegang prinsip saling

    percaya antara pemilik sawah dan penggarap.

    c. Untuk jangka waktu tidak dibatasi oleh pemilik sawah dengan

    makna terserah penggarap mau mengelola sawah tersebut sampai

    kapan. Dengan kata lain karena perjanjian tidak dibatasi maka

    perjanjian juga bisa berakhir kapan saja, meskipun ada salah satu

    pihak yang tidak ingin mengakhiri perjanjian tersebut. Jika ada

    salah satu pihak mau mengakhiri perjanjian tersebut maka harus

    memberitahu kepada pihak lain jauh-jauh hari sebelumnya.

    d. Pemilik sawah membuat kesepakatan bahwa seluruh biaya

    penggarapan sawah ditanggung oleh penggarap, mulai dari

    penanaman, pembelian pupuk, pembelian obat, sampai proses

    panen, serta seluruh biaya pengelolaan ditanggung oleh

    penggarap. Dan saat tiba masa panen hasil panen tersebut dibagi

    dua antara pemilik sawah dan penggarap.

    Adapun proses penanaman padi yang diungkapkan Bapak

    Mutohar penggarap sawah dan pendapat dari masyarakat lainnya

    yaitu melalui beberapa tahap sebagai berikut:15

    a. Pembukaan Lahan, yaitu proses pembersihan lahan pertanian yang

    akan ditanami oleh penggarap dengan cara mencabuti atau

    15

    Mutohar, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017

  • 48

    memotong rumput yang ada. Biasanya penggarap menggunakan

    cangkul untuk mencangkul tanah agar nanti tanah tidak keras saat

    akan ditanami, hal ini dilakukan sebelum datang musim hujan.

    b. Penyiapan Benih, setelah dirasa air hujan sudah cukup membasahi

    sawah sehingga mudah ditanami, penggarap menyiapkan bibit

    atau benih. Biasanya penggarap membelinya dari toko pertanian,

    atau bagi penggarap yang tidak mempunyai modal bisa berhutang

    benih kepada pemilik toko pertanian dan akan di bayar setelah

    panen.

    c. Penanaman Benih, setelah benih siap di tanam penggarap

    menaburkan benih ke satu petak kecil sawah yang sudah

    dicangkul dan diisi air, setelah itu benih akan dibiarkan tumbuh

    sampai berumur 30 hari atau sampai dirasa padi yang masih kecil

    tersebut bisa berdiri sendiri dan tidak roboh saat terkena angin.

    d. Penanaman padi, proses selanjutnya setelah padi siap ditanam

    yaitu pencabutan padi dari tanah yang kecil tadi lalu penggarap

    memperkerjakan buruh tani untuk menanam padi ke seluruh

    sawah yang digarap.

    e. Pemberian pupuk, setelah penanaman selang 30 hari padi akan

    diberi pupuk oleh penggarap, dan selang 30 hari dari pemberian

    pupuk pertaman padi juga harus di beri pupuk kembali agar padi

  • 49

    cepat besar dan agar padi terhindar dari gangguan hama biasanya

    masyarakat menggunakan obat. Jika penggarap tidak mempunyai

    biaya untuk membeli obat biasanya penggarap menghutang obat

    dari toko pertanian dan akan di bayar saat panen tiba.

    f. Perawatan Padi, selain diberi pupuk dan obat padi juga harus

    dirawat dengan baik agar cepat panen, bisanya penggarap

    memperkerjakan buruh tani untuk mencabuti rumput liar yang

    tumbuh disekitar padi agar rumput tidak menghambat proses

    pertumbuhan padi.

    g. Panen, setelah padi tumbuh dengan baik dan berbuah, padi akan

    siap untuk di panen. Biasanya memerlukan waktu 3 bulan dari

    penanaman padi sampai padi siap di panen. Penggarap akan

    memperkerjakan buruh tani untuk memanen padinya.

    3. Pelaksanaan Bagi Hasil

    Pada umumnya, pelaksanaan bagi hasil masyarakat Desa Sidodadi

    dilakukan dengan penentuan bagi hasil di awal yaitu pemilik sawah

    meminta hasil setengah dari hasil panen.

    Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Kalimah sebagai penggarap

    sawah bahwa ketika tiba masa panen setengah dari hasil panen akan

    diserahkan kepada pemilik sawah tidak peduli bagaimana kondisi hasil

  • 50

    panen, baik atau gagal, pemilik sawah tetap meminta setengah dari hasil

    panen.16

    Adapun menurut Bapak Mutohar sebagai penggarap bahwa saat

    tiba masa panen hasilnya akan dibagi sesuai dengan keadaan hasil panen,

    jika hasil panen baik maka 50% dari hasil akan diserahkan kepada

    pemilik sawah. Namun jika hasil panen tidak baik atau gagal maka

    penggarap hanya menyerahkan 40% atau 30% dari hasil panen kepada

    pemilik sawah tergantung pada keadaan hasil panen. Bukan berarti

    penggarap melakukan hal tersebut secara sepihak, penggarap juga

    memberitahukan kepada pemilik sawah bagaimana hasil panennya dan

    berapa hasil panennya serta berapa yang diberikan kepada pemilik sawah

    agar sama-sama mengetahui dan saling setuju.17

    Dalam pembagian hasil tersebut tidak disisihkan atau dikurangi

    biaya-biaya yang harus ditanggung penggarap seperti benih, pupuk, obat,

    tenaga buruh tani, biaya penggilingan, dan lain sebagainya, yang dibagi

    dengan pemilik sawah tersebut adalah hasil kotor.

    Berikut contoh perincian perhitungan biaya:18

    1. Bibit : Rp.8000 per Kg membutuhkan 15 Kg

    (15 x 8000 = Rp. 120.000)

    16

    Kalimah, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 17

    Mutohar, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017 18

    Ibid.

  • 51

    2. Pupuk : Rp.120.000 per sak membutuhkan 4

    sak (4 x 120.000 = Rp.480.000)

    3. Obat Organik : Rp.50.000 per botol membutuhkan 2

    botol (2 x 50.000 = Rp.100.000)

    4. Penggilingan Padi : Rp.450.000

    5. Pengupahan Buruh Tani : Rp.30.000 per orang membutuhkan 12

    orang (12 x 30.000 = Rp.360.000)

    Dari data tersebut di atas biasanya pada saat panen mendapatkan

    hasil 35 sampai 40 karung dan setiap karungnya biasanya di hargai

    Rp.150.000 (tergantung bobot padi), jika pemilik sawah menginginkan

    bagi hasil dalam bentuk padi maka padi yang masih dikarung langsung

    dikirim ke rumah pemilik sawah. Namun, jika pemilik sawah

    menginginkan bagi hasil dalam bentuk uang maka penggarap harus

    menjual dulu hasil panen kepada pengepul.

  • 52

    BAB IV

    TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KERJASAMA LAHAN

    PERTANIAN DENGAN SISTEM PARON DI DESA SIDODADI KECAMATAN

    SUKOSEWU KABUPATEN BOJONEGORO

    Dalam bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana praktik

    kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron antara pemilik sawah dan penggarap

    di Desa Sidodadi Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro. Dari data yang

    didapat, maka perjanjian kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron secara garis

    besar dapat dianalisis dari berbagai segi, yaitu :

    A. Analisis Akad dalam Perjanjian Kerjasama Lahan Pertanian dengan Sistem Paron

    antara Pemilik dan Penggarap

    Muzᾱra’ah dan Mukhᾱbarah adalah bentuk kerjasama bidang lahan

    pertanian menurut Islam. Muzᾱra’ah merupakan kerjasama pengelolaan

    pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, yakni pemilik lahan memberikan

    lahan pertaniannya kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan

    imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam kerjasama ini terdapat dua pihak

    yang satu sebagai pemilik modal, sedangkan dipihak lain sebagai pelaksana

    usaha. Keduanya mempunyai kesepakatan untuk kerjasama, kemudian hasilnya

    akan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Mukhᾱbarah pun tidak jauh berbeda

    dengan Muzᾱra’ah, hanya saja jika Muzᾱra’ah benihnya dari pemilik tanah.

  • 53

    Seperti pandangan ulama Syafi’iyah yang menyatakan bahwa Muzᾱra’ah adalah

    transaksi antara penggarap (dengan pemilik tanah) untuk menggarap tanah

    dengan imbalan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah tersebut dengan

    ketentuan bibit dari pemilik tanah.1

    Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa kerjasama lahan

    pertanian dengan sistem paron di desa Sidodadi melibatkan dua pihak yaitu

    pemilik sawah dan penggarap. Pemilik sawah menawarkan kepada petani yang

    dianggap pandai menggarap sawah untuk menggarap sawahnya dikarenak

    pemilik sawah memiliki kesibukan lain atau kurang pandai menggarap sawah,

    jika penggarap setuju maka saat itu pula sudah berlangsung perjanjian antara

    pemilik sawah dan penggarap. Dalam melakukan perjanjian mereka tidak

    melakukannya secara tertulis, melainkan memakai cara kekeluargaan dengan rasa

    saling percaya antara pemilik sawah dan penggarap atas kewajiban-kewajiban

    yang harus mereka penuhi dalam kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron

    tersebut. Pemilik sawah memiliki kewajiban menyerahkan sawahnya untuk

    digarap oleh penggarap, dan penggarap memiliki kewajiban untuk membagi hasil

    panen dengan pemilik sawah sesuai kesepakatan. Dalam hal ini bibit, pupuk, dan

    seluruh biaya penggarapan sawah ditanggung oleh penggarap.

    Menurut Ibu Kasri pemilik sawah, kerjasama lahan pertanian dengan

    Sistem paron sudah lama dilakukan yaitu kerjasama penggarapan sawah yang

    1 Ahmad Wardi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta: Amzah, 2013), 393.

  • 54

    dilakukan oleh pemilik sawah dan penggarap karena pemilik sawah memiliki

    banyak sawah namun tidak memiliki cukup tenaga untuk menggarapnya dengan

    catatan bibit, pupuk, obat, tenaga, dan kebutuhan lainnya ditanggung oleh

    penggarap dan jika sudah tiba waktu panen pemilik sawah mendapatkan hasil

    50% dari hasil panen, namun jika terjadi musibah yaitu gagal panen pemilik

    sawah hanya mendapatkan 30% dari hasil panen tergantung pada hasil panen.2

    Bagi Bapak Mutohar sebagai penggarap sawah yang mengelola sawah milik

    orang lain dikarenakan mereka tidak memiliki sawah dan berprofesi sebagai

    petani karena memang memiliki keahlian di bidang tersebut dan menjadi

    penghasilan utama dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Sistem paron adalah

    kerjasama lahan pertanian antara pemilik sawah dan penggarap dengan catatan

    bibit, pupuk, obat, dan semua keperluan lainnya ditanggung oleh penggarap, dan

    pada saat panen tiba separo hasilnya harus diserahkan ke pemilik sawah, namun

    pada musim yang tidak menentu seperti saat ini, banyak penggarap yang

    menyerahkan 30% dari keseluruhan hasil panen karena memang hasil panen

    menurun dan hasilnya tidak memuaskan.3

    Akan tetapi di dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan waktu

    berlakunya kerjasama paron tersebut, juga tidak diucapkan berapa bagian bagi

    hasil untuk pemilik sawah dan berapa bagi hasil untuk penggarap karena

    kerjasama paron di desa Sidodadi sudah berlangsung cukup lama, masyarakat

    2 Kasri, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017

    3 Mutohar, Wawancara, Bojonegoro, 02 Nopember 2017

  • 55

    mengenal bahwa bagi hasil dalam kerjasama paron adalah 50% untuk penggarap

    dan 50% untuk pemilik sawah, oleh karena itu meskipun pembagian hasil tidak

    diucapkan dalam perjanjian, tidak menjadi masalah bagi kedua pihak karena

    mereka sama-sama mengerti bahwa kerjasama paron untuk pembagian hasilnya

    50% untuk penggarap dan 50% untuk pemilik sawah. Tetapi ada beberapa

    masyarakat setelah perjanjian tersebut berlangsung terdapat perubahan ditengah

    akad, jika tiba masa panen tetapi hasil panen tidak memuaskan atau gagal panen,

    penggarap hanya memberikan 30% untuk pemilik sawah dan 70% untuk

    penggarap karena penggarap sudah mengeluarkan biaya untuk menggarap sawah

    tersebut namun hasilnya tidak memuaskan, dan hal tersebut disetujui oleh

    pemilik sawah. Dalam hal ini terjadi pembaharuan akad dalam perjanjian tersebut

    karena kondisi tertentu dan disepakati oleh para pihak.

    Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, rukun Mukhᾱbarah yaitu:

    1. Pemilik tanah.

    2. Petani penggarap.

    3. Objek Mukhᾱbarah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.

    4. Ijab dan Kabul.

    Mukhᾱbarah dianggap sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

    Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:4

    4 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana), 2010, 117

  • 56

    a. Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan

    menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga tidak

    memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad Muzara’ah

    tidak sah.

    b. Batas-batas tanah itu jelas.

    c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila

    disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad

    Muzara’ah tidak sah.

    Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:5

    a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

    b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada

    pengkhususan.

    c. Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau

    seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di

    kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu