tinjauan hukum islam terhadap praktek bagi hasil...
TRANSCRIPT
i
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK
BAGI HASIL MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO
KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Dalam Hukum Islam
Oleh:
MUKHAMMAD SUKRON
NIM 214 11 007
JURUSAN S1-HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2016
ii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan
koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :
Nama : Mukhammad Sukron
NIM : 214 11 007
Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK
MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN
GRABAG KABUPATEN MAGELANG
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam
sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, Februari 2016
Pembimbing,
Dra.Siti Zumrotun, M.Ag.
NIP. 1967 0115 199803 2002
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH
Jalan Nakula Sadewa V No. 9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433
Salatiga 50722
Website : www.iainsalatiga.ac.id E-mail :[email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul :
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK MUKHABARAH DI
DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN
MAGELANG
Oleh :
Mukhammad Sukron
NIM: 214 11 007
Telah dipertahankan di depan sidang munaqosyah skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada……., tanggal………, dan
telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana
syari‟ah (S.Sy).
Dewan Sidang Munaqosyah
Ketua Sidang : 1.
Sekretaris Sidang : 2.
Penguji I : 3.
Penguji II : 4.
Salatiga, Februari 2016
Dekan Fakultas Syari‟ah
NIP. 19670115 199803 2002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Mukhammad Sukron
NIM : 214 11 007
Jurusan : S1 Hukum Ekonomi Syari‟ah
Fakultas : Syari‟ah
Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK
MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN
GRABAG KABUPATEN MAGELANG
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan
(Plagiat) dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah (Buku
Pedoman IAIN Salatiga).
Salatiga, Febuari 2016
Yang Menyatakan,
Mukhammad Sukron
NIM: 214 11 007
v
Moto Penulis
Dan Barangsiapa yang bersunguh-sungguh, Maka Sesungguhnya kesungguhan itu
adalah untuk dirinya sendiri. (QS. Al-Ankabut: 6)
Sesuatu Yang Belum Dikerjakan, Seringkali Tampak Mustahil, Kita Baru Yakin
Kalau Kita Telah Berhasil Melakukannya Dengan Baik (Andrew Jackson)
--------------------o------------------
Apabila Kamu Berbuat Kebaikan Kepada Orang Lain, Maka Kamu Telah Berbuat
Baik Terhadap Dirimu Sendiri
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan dengan cinta dan ketulusan hati karya ilmiah berupa
skripsi ini kepada :
1. Kedua orang tuaku Bapak Muhlasin (alm) dan Ibu Nuriyah tercinta,
yang telah memberikan dukungan, doa, kasih sayang serta
penyemangat hidupku.
2. Semua keluargaku yang selalu memberikan semangat dan motivator
dalam menjalanni proses belajar ini.
3. Kepada seseorang yang telah memberikan berbagai warna kehidupan
dan mensupport dalam hal apapun serta memberikan waktunya untuk
menemani proses ini.
4. Kapada bapak dan Ibu Guru mulai dari SD hingga ke perguruan tinggi,
yang selalu memberikan ilmu-ilmunya.
5. Almamater tercinta Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang penulis
banggakan.
Kepada teman-teman seperjuangan Youth Association of Bidik Misi
Limardhotillah (Ya Bissmillah) yang tak terlupakan
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan hanya untuk Allah SWT.
Rasa syukur yang tiada kira penulis haturkan kepada-Nya yang telah memberikan
semua yang kami butuhkan dalam hidup ini. Terima kasih untuk semua limpahan
berkah, rezeki rahmat, hidayat, kesehatan serta kesempatan yang Engkau berikan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan judul: TINJAUAN
HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK BAGI HASIL MUKHABARAH
DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN
MAGELANG.
Sholawat dan salam-Nya Allah semoga tercurahkan kepada junjungan
Nabi agung yaitu Nabi Muhammad SAW. Nabi Kekasih, Spirit Perubahan,
beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa‟at beliau sangat
peneliti harapkan di dunia ini hingga di hari pembalasan nanti.
Laporan ini disusun dan diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar
sarjana Ilmu Syariah (S.Sy). penulis mengakui bahwa dalam penyusunan Laporan
Penelitian ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya, serta
ungkapan terima kasih yang banyak. Maka perlu kiranya penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah di IAIN
Salatiga, dan selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan saran,
viii
pengarahan dan masukan berkaitan penulisan skripsi sehingga dapat
selesai dengan maksimal sesuai yang diharapkan.
3. Bapak Ilya Muhsin, S.H.i., M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari‟ah
Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama yang selalu memberikan
ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan lancar dan baik.
4. Ibu Evi Ariyani, M.H, selaku Ketua Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari‟ah
di IAIN Salatiga.
5. Ibu Lutfiana Zahriani, M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari‟ah IAIN
Salatiga yang memberikan pemahaman, arahan dalam penulisan skripsi
sehingga penulisan skripsi ini bisa saya selesaikan.
6. Bapak dan Ibu Dosen pengajar dan seluruh staf adminitrasi Fakultas
Syari‟ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu memberikan
ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan
apapun.
7. Masyarakat Desa Tlogorejo khususnya Bapak Slamet, Bapak Damhuri,
Bapak Nardi, Bapak Supari, Bapak Jamroni, Ibu Nuriyah, Ibu Sofiatun,
Ibu Komariyah dan semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
yang telah mendukung penelitian sehingga dapat terlaksana dengan
lancar.
8. Bapak kepala desa serta perangkat-perangkatnya yang telah memberikan
informasi tentang Desa Tlogorejo, sehingga laporan penelitian dapat
diselesaikan.
ix
9. Sahabat-sahabtku yang tidak henti-hentinya memberi motifasi dan
bantuannya sehingga dapat menyelesaikan laporan ini dengan lancar.
10. Teman-teman Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2011 di
IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh
pendidikan di IAIN Salatiga
11. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan ini.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis jazakumullah khoiro
jaza‟, agar pula senantiasa mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan
cinta-Nya. Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari kata sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun
analisanya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapan
demi kenyamanan dibaca dan dipahami.
Akhirnya, penulis berharap semoga skrispi ini bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri, bagi Fakultas Syariah dan umumnya bagi pembaca.
وا و الص وا “Dan Allah lebih mnegetahui yang sebenar-benarnya”
Salatiga, 20 Februari 2016
Penulis.
x
ABSTRAK
Sukron, Mukhammad. 2016. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Bagi
Hasil Mukhabarah di Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten
Magelang. Penelitia. Fakultas Syariah. Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syariah.
Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata Kunci : Tinjauan, Hukum Islam, Praktek, Bagi Hasil Mukhabarah
Kerjasama bagi hasil dalam pertanian merupakan tindakan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi yang salah satunya dilakukan oleh masyarakat
Desa Tlogorejo. Dalam muammalah kerjasama bagi hasil pertanian disebut
muzara‟ah yaitu pemilik tanah memberikan modal kepada petani untuk digarap
dan mukhabarah yaitu pemilik tanah hanya menyerahkan tanahnya dan modal
pertanian dari petani.
Dalam penelitian ini penulis mempunyai pertanyaan, yaitu: (1)
Bagaimanakah praktek mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Tlogoreo. (2) bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek mukhabarah
tersebut. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui
bagaimana praktek mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo,
(2) untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktek mukhabarah di
Desa Tlogorejo tersebut, (3) untuk memberikan informasi yang benar tentang
praktek mukhabarah.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lapangan (field research)
yaitu penelitian secara langsung dan berinteraksi terhadap obyek penelitian.
Dalam menganalisis penulis menggunakan deskriptif kualitatif yakni metode
penelitian yang menjelaskan kenyataan yang diperoleh dari lapangan.objek
penelitiannya adalah Desa Tlogorejo, Kecamatan Grabag, Kabuoaten Magelang.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi selain itu
digunakan juga data dan dokumen untuk melengkapi hasil penelitian ini. Hasil
penelitian yang diperoleh adalah (1) akad yang dilakukan adalah secara lisan,
dalam akad tersebut kesepakatan dibuat bahwa pemilik tanah hanya menyerahkan
tanahnya dan biaya penggarapan dari petani. (2) bagi hasil yang dilakukan adalah
dengan sistem maro atau dibagi rata antara pemilik sawah dan petani yaitu 50% :
50% tanpa dikurangi biaya penggarapan. (3) alasan pemilik sawah melakukan
mukhabarah ini adalah karena tenaga yang sudah tidak mampu mengolah,
waktunya tidak ada, dan untuk tolong menolong. Sedangkan alasan petani adalah
karena tidak mempunyai lahan, kurangnya ekonomi, serta tolong menolong.
Mereka dalam melakukan praktek mukhabarah tersebut atas dasar saling rela atau
ridho dan tolon menolong. Praktek bagi hasil mukhabarah yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang ditinjau
secara hukum Islam adalah sudah sesuai. Akan tetapi apabila dilihat dari undang-
undang nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, maka praktek tersebut
belum tepat.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………...………...
NOTA PEMBIMBING…………………………………..........................
PENGESAHAN………………………………..………………………....
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN……………………………….
MOTO…………………………………………………………………….
PERSEMBAHAN………………………………………………………...
KATA PENGANTAR……………………………………………………
ABSTRAK……………………………………………………………......
DAFTAR ISI………………………………………………………….......
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
x
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………..............
B. Rumusan Masalah…….……………………………………..
C. Tujuan Penelitian……………………………………………
D. Kegunaan Penelitian………………………………………...
E. Telaah Pustaka……………………………………………....
F. Penegasan Istilah…………………………………………….
G. Metodologi Penelitian…………………………………….....
H. Sistematika Penulisan……………………………………….
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MUKHABARAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Mukhabarah………………....
1. Pengertian Mukhabarah………....……………………….
2. Dasar Hukum Mukhabarah……………….......………….
B. Pendapat Ulama Tentang Praktek Mukhabarah.....…………
1. Mukhabarah yang diperbolehkan………………......…….
2. Mukhabarah yang dilarang……………………………….
C. Rukun dan Syarat Mukhabarah…………..........……………
1
1
12
12
13
14
17
19
23
25
25
25
28
30
34
34
36
xii
1. Rukun Mukhabarah............................................................
2. Syarat Mukhabarah............................................................
3. Tinjauan Tentang akad.......................................................
4. Zakat dalam Mukhabarah...................................................
5. Tinjauan Tentang Bagi Hasil Dalam Mukhabarah.............
D. Akibat Hukum Dari Praktek Mukhabarah..............................
E. Berakhirnya Akad Mukhabarah..............................................
F. Hikmah Mukhabarah..............................................................
36
37
39
45
48
52
54
55
BAB III PELAKSANAAN PRAKTEK BAGI HASIL
MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO
KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG
A. Gambaran Umum Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag
Kabupaten Magelang…………………................................
1.Tata Letak geografis Desa Tlogorejo……………………
2.Keadaan Demografi Desa Tlogorejo…………………….
3.Keadaan Tanah Desa Tlogorejo........................................
4.Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat................................
B. Pelaksanaan Praktek Bagi Hasil Mukhabarah di Desa
Tlogorejo…......
1. Awal Mula Terjadinya Akad Mukhabarah....................
2. Subjek dan Objek Mukhabarah......................................
3. Jangka Waktu Perjanjian................................................
4. Pelaksanaan Bagi Hasil..................................................
5. Zakat Hasil Panenan.......................................................
57
57
57
58
59
60
60
61
68
69
70
73
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK
BAGI HASIL MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO
KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG
A. Analisis Praktek Bagi Hasil Mukhabarah di Desa
75
xiii
Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang
Ditinjau Secara Hukum Islam...........................................
1. Akad...........................................................................
2. Modal..........................................................................
3. Jangka Waktu Perjanjian.............................................
4. Bagi Hasil Pertanian....................................................
5. Zakat Mukhabarah......................................................
B. Hikmah Adanyan Praktek Mukhbarah............………….
75
76
79
80
82
84
86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………..
B. Saran……………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN
88
88
89
91
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk.....................................................................
Tabel 3.2 Tingkat Pendidikan...................................................................
58
59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang komprehensif (Rahmatal lil‟alamin) yang
mengatur semua aspek kehidupan manusia yang telah disampaikan oleh
Rosulallah Muhammad SAW. Yang salah satunya adalah mengatur
kehidupan bersosial atau bermasyarakat yaitu yang saling melibatkan dan
membutuhkan bantuan kepada satu sama lain. Islam juga tidak
mengabaikan setiap perkara yang ada dalam kehidupan manusia yaitu
perkara yang dihalalkan dan perkara yang diharamkan.
Hukum-hukum amal (ahkam amaliyah) yang berkaitan dengan
seluruh tindakan atau perbuatan orang yang mampu melakukan hukum
(mukallaf) baik ucapan, perbuatan, perjanjian dan urusan lainya tidak akan
lepas dari pertanggungjawaban kepada sesama manusia dan terutama
kepada Allah SWT (Nawawi, 2012: 4-5). Oleh karena itu hukum-hukum
islam telah mempunyai beberapa sumber yang menjadi landasan atau
rujukan dalam setiap perkara, yaitu al-Qur‟an, Sunnah Nabi SAW, Ijmak
(konsensus), qiyas (analogi), Istihsan (kebijaksanaan hukum),
Kemaslahatan, „uruf (adat kebiasaan), Sadduz-zari‟ah tindakan prevebtif),
istishab (kelangsungan hukum), Fatwa Sahabat Nabi SAW Syar‟u man
qoblana (hukum agama samawi terdahulu). (Anwar, 2010: 15). Sehingga
telah jelaslah bahwa setiap apa yang dilakukan manusia telah ada
2
ketentuanya agar manusia tidak salah dan sesuai dengan syariat Islam yang
tujuanya untuk menyejahterakan kehidupan manuisa dalam beribadah,
baik itu Ibadah Mahdhoh yaitu suatu perbuatan yang langsung dengan
Allah atau disebut dengan habluminallah (Vertikal), maupun ibadah
Ghoirumahdhoh yaitu ibadah yang tertuju kepada manusia atau disebut
dengan habluminannas (Horisontal).
Hukum amaliyah yang dimaksud disni adalah peraturan dalam
bermuammalah. Sedangkan pengertian muammalah secara bahasa adalah
bentuk masdar dari kata „amala yang artinya saling bertindak, saling
berbuat, dan saling beramal. Sedangkan secara istilah muammalah
merupakan sistim kehidupan, sistim kehidupan itu sendiri tidak terlepas
dari dunia ekonomi, bisnis dan masalah sosial. Kegiatan ekonomi yang
dilakukan bukan hanya berbasis pada nilai material saja, melainkan
terdapat sandaran transendental atau bersifat kerohanian di dalamnya,
sehingga bernilai ibadah. Oleh karena itu muammalah mempunyai
beberapa kaidah yaitu : Hukum asal muammalah adalah diperbolehkan,
konsep fikih muammalah untuk mewujudkan kemaslahatan, menetapkan
harga yang kompetitif, meninggalkan intervensi yang terlarang,
menghindari eksploitasi, memberikan kelenturan dan toleransi. (Nawawi,
2012: 10).
Muammalah adalah hubungan antara manusia dengan manusia lain
yang berkaitan denga benda atau mal. Hakikat dari hubungan tersebut
adalah berkaitan dengan hak dan kewajibanantara manusia yang satu
3
dengan manusia yang lain. Muammalah yang juga dapat diakatan ilmu
ekonomi syariah adalah ilmu yang mempelajari aktivitas atau perilaku
manusia secara aktual dan empirical, baik dalam produksi, distribusi
maupun konsumsi berdasarkan syariat islam yang bersumber al-Qur‟an
dan as-Sunnah sera Ijma‟ para Ulama‟ dengan tujuan untuk mecapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. (Nurul Hak, 2011: 6). Muammalah
berbeda dengan ibadah, dalam ibadah semua perbuatan dilarang kecuali
yang diperintahkan. Oleh karena itu semua perbuatan yang dikerjakan
harus sesuai dengan tuntutan yang diajarkan Rasulullah. Dalam kaidah
Ibadah yang berlaku adalah:
.و وا اوا والتص ع
“Pada dasarnya dalam ibadah harus menunggu (perintah)dan
mengikuti”.
Sebaliknya, dalam muammalah semuanya boleh kecuali yang dilarang.
Semua bentuk akad dan berbagai cara transaksi yang dibuat oleh manusia
hukumnya sah dan dibolehkan, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan umum yang ada dalam syara‟. Hal tersebut sesuai dengan
kaidah:
و ي وا ق ا وام مالا والحصة حتص يتق م اا الن والصح ي
Pada dasarnya semua akad dan muammalah hukumnya sah
sehingga ada dalil yang membatalkan dan mengharamkannya.
(Muslich, 2010: 3-4).
4
Dalam kaidah fiqih yang lain juga disebutkan ;
و ي وام م ة و حة إالص ون يدل اا ح يمه
“Hukum asal dalam semua bentuk muammalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muammalah dan
tranksaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai,
kerjasama (Mudharabah atau Musyarakah), perwakilan dan lain-lain,
kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan
kemadharatan, tipuan, judi dan riba. (Djazuli, 2006: 130)
Bagi hasil adalah suatu jenis kerjasama antara pekerja dan pemilik
tanah. Terkadang si pekerja memiliki kemahiran di dalam mengolah tanah
sedangkan dia tidak memiliki tanah. Dan terkadang ada pemilimtanah
yang tidak mempunyai kemampuan bercocok tanam. Maka islam
mensyariatkan kerjasama seperti ini sebagai upaya/bukti pertalian dua
belah pihak. (Sabiq, 1987:159).
Sehingga setiap manusia dalam melakukan kegiatan apapun dalam
masyarakat tidak akan lepas dari tanggung jawab atas perbuatan tersebut,
baik tanggung jawab sesama manusia maupun tanggung jawab terhadap
Allah SWT. Hal ini tidak lepas dari tugas manusia sendiri, yang mana
telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk bersebaran di muka bumi guna
memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri.selain itu manusia juga
diperintahkan untuk tolong menolong sesama manusia dalam hal kebaikan.
5
Manusia adalah makhluk sosial yang telah dikodratkan hidup
dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia saling memerlukan
dan membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupan bermasyarakat,
manusia secara tidak langsung selalu berhubungan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
manusia tidak lepas dari pergaulan hidup itu sendiri. (Basyir, 2000: 11).
Secara adi kodrati (sunatullah), manusia diciptakan untuk bermasyarakat,
hidup berkelompok dan interdependensi antara satu dengan yang lainya.
Tidak ada satu manusiapun yang dapat hidup menyendiri dan bertahan
hidup lama, apalagi sampai menciptakan sebuah peradaban. (Farkhani,
2011: 1). Dalam Islam telah diterangkan bahwa manusia diciptakan di
dunia salah satunya adalah untuk saling tolong menolong dan kerjasama
dalam kebaikan terhadap sesama makhluk. Allah berfirman dalam surat at-
Maidah ayat 2 :
أيهب ئر ٱل يي ي ءامنىا ل تحلىا شع ر ول ٱل حراا ٱللهه ٱه
ول ه ه ئ ول ٱه يي ٱه ل حراا ٱه يه ول ءام تغىن ٱه ي ه
ت ه با و ا لله ى ال ي ل ه ه و ه ه ال ما ل و ٱه باوا
وك ه عي ا أن ٱ رمنلك ه شن بن قىه ج يجه ه حراا ٱه أن ٱه
وتعبو ىا عل ت وا ىي و ٱه ر تعه ه ول تعبو ىا عل ٱتل ه ٱه
نا و و ع ه تل ىا و ٱه نل ٱل ع بة ش ي ٱل ٱه
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-
bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya,
dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
6
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Dalam kehidupan bermasyarakat banyak hal yang terjadi untuk
saling tolong menolong dan saling menguntungkan satu sama lain, salah
satunya adalah bermuammalah yang berupa kerjasama dalam pertanian,
perkebunan, pengairan, pemberdayaan tanah dan masih banyak lagi
kegiatan bermuammalah. dalam hal ini yang akan difokuskan oleh peneliti
adalah sistem perekonomian atau bermuammalah melalui sistem pertanian.
Bagi hasil dalam pertanian merupakan bentuk pemanfaatan tanah dimana
pembagian hasil terdapat dua unsur produksi, yaitu modal dan kerja atau
tenaga dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil tanah.
Di dalam al-Qur‟anpun telah diterangkan dalam surat Yasin ayat
33 yang di dalamnya diterangkan bahwa Allah menghidupkan tanah yang
mati dan menjadikanya subur agar manusia dapat makan dari apa yang
dihasilkan bumi tersebut, yaitu:
ه ٱله وءاي ة ت ٱه يه ه ٱه ب نه هب ال نب منه رجه هب وأخه ن ييه أ ه
كلىن يأه
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka
adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami
keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka dari padanya mereka
makan. (Suwiknyo, 2010: 203).
7
Imam Qurthubi mengatakan: pertanian termasukf ardhu kifayah.
Karena itu wajib bagi imam memaksakan manusia ke arah itu dan apa saja
yang termasuk pengertiany; dalam bentuk menanam pohon. ( Sabiq, 1987:
158). Kerjasama dalam hal pertanianpun ada beberapa macam kerjasama,
salah satunya adalah penggarapan sawah orang lain dan hasilnya dibagi
dua antara pemilik tanah dan penggarap sawah. Dalam bahasa arab
pertanian disebut dengan muzara‟ah dan mukhabarah. Taqiyyuddin
menyatakan bahwa muzara‟ah dan mukhabarah merupakan satu
pengertian. Tetapi pada saat yang bersamaan keduanya mempunyai dua
arti, yang pertama berarti tharh az-zurrah (melemparkan tanaman), yang
kedua adalah al-hadr (modal). Meskipun demikian masih banyak ulama‟
yang mengartikan keduanya memiliki makna yang berbeda. Sedangkan
secara istilah muzara‟ah dan mukhabarah menurut Syeikh Ibrahim Al-
Banjuri yaitu mukhabarah adalah pemilik tanah hanya menyerahkan
tanahnya kepada pekerja dan modal dari pengelola. Sedangkan muzara‟ah
yaitu pekerja hanya mengelola tanah dan modal dari pemilik tanah.
(Nawawi, 2012: 161). Muzara‟ah (mengerjakan tanah orang lain dengan
memperoleh sebagian hasil tanag tersebut), sedangkan bibit (biji) yang
ditanam dari pemilik tanah, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena tidak
syahmenyewakan tanah dengan hasil yang diperoleh daripadenya.
Demikian yang mu‟tamad dalam madzhab Syafi‟i sebelum ulama‟
Syafi‟iyah membolehkan sama dengan Musaqoh (orang upahan). ( Hsbi,
1997: 125).
8
Dari definisi di atas ada persamaan dan perbedaan antara
muzara‟ah dan mukhabarah, persamaanya yaitu pemilik tanah
menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola, sedangkan
perbedaanya adalah berkaitan pada modal, apabila modal dari pengelola
atau penggarap tanah maka disebut mukhabarah, apabila modal dari
pemilik tanah maka disebut muzara‟ah. (Nawawi, 2012: 162).
Dasar hukum yang digunakan oleh ulama untuk menetapkan
mukhabarah dan muzara‟ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a., sebagaimana yang dikutip oleh
Suhendi (2010: 156) dalam bukunya yaitu:
يت ق ت ضه ت ض ن وال يص م ا يح م وام وا ة ا وم ون ق اه م كلت اه واض ت ت ا ه ا ملحه وخ ه ن
. (ا وه وا خ اى). ت م وا ه “Sesungguhnya Nabi Saw. tidak mengaharamkan ber-
muzara‟ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian
menyayangi sebagian yang lain”. Dalam redaksi lain,
“barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah
ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika
ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu”.(Riwayat
Bukhori).
Diriwayatkan dari Abu Dawud dan an-Nasa‟i dari Rifa‟i r.a. dari
Nabi saw., beliau bersabda: “Yang boleh bercocok tanam hanya tiga
macam orang: laki-laki yang mempunyai tanah, dialah yang berhak
menanamnya; laki-laki yang diserahi manfaat tanah, dialah yang
menanaminya; dan laki-laki yang menyewa tanah dengan emas dan
perak”.
9
Diriwayatkan oleh Muslim dan Thawus r.a., “Sesungguhnya
Thawus r.a., ber-mukhabarah, Umar r.a., berkata, dan aku berkata
kepadanya, Ya Abdurrohman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini,
nanti mereka mengatakan bahwa nabi melarangnya”. Kemudian Thawus
berkata, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh
mengetahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW tidak melarang
mukhabarah, hanya beliau berkata, “Bila seseorang memberi manfaat
kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari
saudaranya dengan yang telah dimaklumi”. (Nawawi, 2012: 162).
Selain ulama di atas, ulama‟ lain yang menguatkan bahwa
mukhabarah tidak ada halangan adalah Nawawi, Ibnu Munzir dan
khatabi, mereka mengambil alasan hadis Ibnu Umar sebagaimana dikutib
oleh Rasjid (2012:302) dalam bukunya.
و م ونص والص ص وا ه س ص م وه خ ت ش ط ه م م و اع (ا وه م ). م يخ ملت
Dari ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan
kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari
penghasilan baik dari buah-buahan maupun dari hasil
pertahunan (palawija)”. (Riwayat Muslim).
Praktek Mukhabarah yang akan peneliti analisis adalah praktek
Mukhabarah yang dipraktekan oleh masyarakat desa Tlogorejo.
Kerjasama dalam hal bagi hasil ini dipraktekan oleh masyarakat Tlogorejo,
yang dalam bahasa pedasaan sistem tersebut dinamakan digarapke.
10
Para pemilik tanah menggarapkan tanahnya sudah bertahun-tahun
dan hasil yang diperoleh dari tanahnya dibagi rata antara pemilk tanah dan
penggarap sawah, yang mana pembagian hasil belum jelas pada awal
perjanjian. Selain itu pemilik tanah tidak mengetahui secara langsung
benih-benih yang akan ditanam. Sehingga pemilk tanah hanya menerima
hasil bersih dari semua panenannya. Sehingga dari pembagian hasil yang
seperti diatas belum diketahui akan untung dan ruginya masing-masing
antara pemilik tanah dan penggarap sawah.
Selain tentang benih dan pembagian hasil panen, jangka waktu
penggarapanpun tidak jelas, bahkan sampai berkali-kali panen dan sampai
bertahun-tahun, antara penggarap sawah dan pemilik sawah tetap
melanjutkan kerjasama tersebut. Dalam akad awal perjanjian antara
pemilik tanah dan penggarap sawah hanya serah terima sawah atau ladang
untuk dikerjakan atau digarapke. Kemudian diantara mereka
melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Hak dari pemilik
tanah adalah menerima hasil panenan dari sawahnya, dan kewajibannya
yaitu memberikan tanahnya untuk dikerjakan. Sedangkan hak dari
penggarap sawah adalah menerima hasil panen dan kewajibanya adalah
mengelola tanah dan tanamanya serta memberikan hasil panenanya kepada
pemilik tanah..
Akad yang dilakukan antara pemilik tanah dan penggarap sawah
adalah secara lisan dan tanpa ada saksi, sehingga dalam perjanjian
kerjasama tersebut (Mukhabarah) tidak mempunyai kekuatan hukum
11
apabila dikemudian hari terdapat permasalahan atau kesenjangan antara
pemilik tanah dan penggarap sawah. Oleh karena itu orang-orang pedesaan
dalam melakukan kerjasama terkadang tidak memperhatikan syariat
maupun akibat hukum dari suatu perjanjian, yang ada diantara mereka
yang terpenting adalah keuntungan.
Setelah melihat beberapa masalah diatas, Peneliti akan lebih fokus
membahas tentang akad yang dilakukan oleh masyarakat dusun Tlogorejo,
Grabag Magelang dalam melakukan perjanjian atau perikatan mengenai
mukhabarah, karena dari setiap kegiatan muammalah berawal dari akad.
Serta akan melihat pengetahuan mereka dalam bermuammalah. Sedikit
gambaran tentang proses kerjasama dalam pertanian telah dituliskan diatas
yang dilakukan oleh masyarakat Tlogorejo, Grabag, Magelang.
Setelah ada pembagian kata dalam kerjasama di sektor pertanian
peneliti bermaksud meneliti kerjasama yang berupa mukhabarah yaitu
pemilik tanah hanya menyerahkan tanahnya untuk digarap oleh penggarap
dan benihnya dari penggarap itu sendiri. Maka dari itu sebelum peneliti
melanjutkan penelitian dipandang perlu melihat pengertian mukhabarah
secara mendalam. Berangkat dari latar belakang di atas penulis bermaksud
untuk meneliti praktek bagi hasil mukhabarah yang ada di Desa Tlogorejo,
kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Dan mecari kebenaran dengan
analisis data yang diperoleh dari penelitian.
B. Rumusan Masalah
12
Setelah memaparkan keterangan di atas, maka peneliti mempunyai
beberapa persoalan yang perlu dijawab dalam penelitiana yaitu :
1. Bagaimanakah praktek kerja sama kemitraan dalam pertanian yang
berupa bagi hasil mukhabarah di Desa Tlogorejo, Kecamatan Grabag,
Kabupaten Magelang ?
2. Apakah prakterk bagi hasil mukhabarah tersebut sudah sesuai dengan
hukum Islam ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang disampaikan dalam rumusan
masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan kerjasama kemitraanbagi hasil
mukhabarah di Desa Tlogorejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten
Magelang.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek
bagi hasil mukhabarah yang ada di Desa Tlogorejo.
3. Untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat tentang
praktek bagi hasil mukhabarah .
D. Kegunaan Penelitian
Tiada lain dalam penelitian ini adalah untuk memberikan manfaat
dan kegunaan secara keseluruhan serta menambah wawasan bagi peneliti
khususnya, dan masyarakat umumnya tentang praktek mukhabarah. Maka
penelitian ini sekiranya dapat memberikan manfaat diantaranya :
13
1. Kegunaan teoritis
Setiap ilmu yang telah diajarkan disetiap lembaga formal maupun
nonformal di Indonesia adalah untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Maka dari itu penulis berharap dengan penelitian ini dapat mamajukan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu muammalah khususnya,
yang berkaitan dengan kerjasama kemitraan bagi hasil (mukhabarah),
sehingga dapat mengungkap permasalahan-permasalahan yang saling
berhubungan dengan masyarakat. Dalam hal ini peneliti akan
mengungkap praktek bagi hasil mukhabarah yang ada di Desa
Tlogorejo Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang ditinjau dari
hukum Islam.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Masyarakat
Memberikan wawasan dan pengarahan kepada masyarakat
cara bermuammalah yang baik sesuai syariat Islam khusunya dalam
bidang pertanian yaitu mukhabarah.
b. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan dan pola berfikir dalam setiap
melihat hal-hal yang terjadi dalam masyarakat, sehingga mampu
menjadi perubahan yang baik dalam masyarakat. Dan memberikan
informasi tentang akad mukhabarah dalam masyarakat.
c. Bagi Fakultas Syariah
14
Peneliti berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kalangan
pendidikan sebagai bahan referensi tentang tinjauan hukum islam
terhadap praktek bagi hasil mukhabarah dalam masyarakat.
Kuhusunya bagi jurusan Hukum Ekonomi Syaria‟ah (HES)
Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
E. Telaah Pustaka
Setiap penelitian hal baru tidaklah salah apabila menelaah
penelitian-penelitian terdahulu. Maka dari itu penulis melakukan telaah
terhadap penelitian yang terdahulu yang hampir sama untuk dijadikan
bahan acuan dan perbandingan bagi penelitian ini.
Peneliti menemukan sekripsi atau penelitian tentang mukhabarah
dan muzara‟ah. Oleh karena itu peneliti menelaah pustaka terhadap skripsi
ataupun penelitian yang bersangkutan dengan muzara‟ah, karena
pengertian antara mukhabarah dan muzara‟ah adalah hampir sama, yaitu
bagi hasil pertanian atau ladang, namun berbeda dalam segi akad.
Telaah pustaka yang peneliti gunakan diantaranya adalah skripsi
yang ditulis oleh Zaini dari UIN Sunan Kalijaga tahun 2014 dengan judul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Paron Tanah Cato (Bengkok)
Studi Kasus Di Desa Jenangger Kecamatan Batang Kabupaten Sumenep”.
Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa kerjasama yang dilakukan oleh
masyarakat desa tersubut adalah prkatek mukhabarah yaitu perjanjian bagi
hasil pertanian dimana pemilik lahan menyediakan lahan dan penggarap
15
menyediakan benih untuk ditanam. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa dalam kerjasama mukhabarah tersebut terdapat pihak ketiga,
sehungga tercipta dua akad diantara pihak tersebut, sehingga melahirkan
model akad baru yang belum diatur dalam hukum muammalat yaitu
mukhabarah dan muzara‟ah.
Selanjutnya skripsi yang bertema mukhabarah adalah skripsi yang
diselesaikan oleh Nurhidayah Marsono di UIN Sunan Kalijaga tahun 2013
dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Penggarapan
Sawah di Desa Cikalong Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis”.
Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa akad yang digunakan adalah
akad mukhabarah yaitu bagi hasil dengan kesepakatan diawal sesuai
kesepakatan di awal menurut kebiasaan. Hasil penelitian yang
diungkapkan adalah bahwa perjanjian di desa tersebut sudah sesuai hukum
Islam. Dan dalam bagi hasil juga tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek
Bagi Hasil Pengolahan Lahan Sawah Di Desa Pasirgeulis Kecamatan
Padaherang Kabupaten Ciamis” yang diselesaikan oleh Barokah Hasanah
di UIN Sunan Kalijaga tahun 2012. Menjelaskan bahwa akad yang
digunakan masyarakat tersebut adalah akad mukhabarah. Dalam akhir
penelitiannya disimpulkan bahwa praktek yang dilakukan masyarakat
tersebut belum sesuai dengan hukum islam, karena akadnya belum
memenuhi syarat perjanjian.
16
Selanjutnya skripsi yang diselesaikan oleh Iin Hamidah di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Kesesuaian Konsep Islam
Dalam Praktek Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulun Kecamatan
Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur”. Dijelaskan bahwa dalam
bagi hasil masyarakat tersebut menggunakan kebiasaan setempat
berdasarkan kata sepakat atau kepercayaan. Kesimpulan yang disampaikan
adalah praktek bagi hasil tersebut adalah aplikasi dari mukhabarah. Akan
tetapi belum sepenuhnya sesuai dengan Hukum Islam karena ada beberapa
syarat yang belum dipenuhi.
Penelitian terdahulu yang menjadi acuan penelitian ini selanjutya
adalah skripsi yang disusun oleh Erma Nur Afifah dengan judul “Pengaruh
Muzara‟ah Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Penggarap di Desa
Kliris Kecamatan Boja Kabupaten Kendal”. Dalam skripsi ini dijelaskan
bahwa berdasarkan hasil penelitian penulisan skripsi dengan judul
“pengaruh muzara‟ah terhadap kesejahteraan para petani penggarap Desa
Kliris Kecamatan Boja Kabupaten Kendal” tersebut, di lapangan dapat
disimpulkan bahwa dari 97 petani yang melakukan sistem Muzaro‟ah 56
diantaranya memiliki kesejahteraan yang baik sedangkan 41 diantaranya
kesejahteraannya tidak baik. Sistem Muzara‟ah yang dilakukan tidak
didapatkan hasil yang maksimal dikarenakan jumlah lahan sawah yang
diolah tidak sebanding dengan tanggungan keluarga petani.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Kudlori yang berjudul
“Analisis Penerapan Bagi Hasil Pada Akad Muzara‟ah Di Desa Pondowan
17
Kecamatan Tayu Kabupaten Pati Dalam Perspektif Ekonomi Islam”.
Dalam skripsi ini dijelaskan penerapan akad muzara‟ah dan penerapan
hasil yang ada di Desa itu ada istilah hasil yang disishkan, namun hal itu
dianggap kebiasaan dalam masyarakat tersebut atau „urf maka hal itu
diperbolehkan dalam Islam.
Setelah menelaah dan meninjau pustaka di atas, maka penelitian
yang akan penulis lakukan belum ada penelitian yang fokus terhadap bagi
hasil mukhabarah. Sehingga penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
lain.
F. Penegasan Istilah
Agar tidak salah pengertian dalam memahami dalam penelitian ini,
maka perlu kiranya peneliti menjelaskan beberapa istilah yang ada dalam
judul skripsi ini, yaitu:
Tinjauan, dalam kamus besar bahasa Indonesia di sebutkan
tinjauan adalah pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki,
mempelajari dan sebagainya). (Poerwadarminta, 2006: 1281).
Hukum Islam, adalah peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketentuan berdasarkan syariat islam. (Fajri, 365)
Praktek, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan
Praktek adalah cara melakukan apa yang disebut dalam teori.
(Poerwadarminta, 2006: 909).
18
Bagi Hasil, yaitu merupakan rancangan pembiayaan yang berbeda
dengan bunga. secara istilah yaitu suatu sistem yang meliputi tata
cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola
dana. (Rafiq, 2004: 153).
Mukhabarah, menurut Syafi‟iyah ialah:
قد وا صاع ت ض م يخ م و اض
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang
keluar dari bumi”
Sedangkan menurut dhahir, al-Syafi‟i berpendapat bahwa
mukhabarah ialah:
ه ون ي ن م م ة وا م و اض ت ض م يخ ملت وام ا وا ا م
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah
tersebut”
Dan Syaikh Ibrahim al-Banjuri berpendapat bahwa mukhabarah
adalah :
ه وا ا م و م و م وا اض وام ا ت ض م يخ ملت. وا م
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada
pekerja dan modal dari pengelola”.
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa mukhabarah
adalah pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain
untuk dikelola, akan tetapi modal benihnya dari pengelola.
(Suhendi, 2010: 154-156).
19
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah fokus pada penelitian
lapangan (Field reserch) yaitu penelitian yang dilakukan secara
langsung dan berinteraksi terhadap obyek penelitian. Setelah terjun ke
lapangan, peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni
sebuah metode penelitian yang menjelaskan kenyataan di lapangan
serta mengungkapkan hal-hal yang belum jelas di masyarakat agar
dapat mengetahui hal yang sebenarnya terjadi.
Meurut Lodico, Spaulding dan Voegtle penelitian kualitatif, yang
juga disebut penelitian interpretif atau penelitian lapangan adalah suatu
metodologi yang dipinjam dari disiplin ilmu seperti sosiologi dan
antropologi dan diadaptasi ke dalam setting pendidikan. Peneliti
kualitatif menggunakan metode penalaran induktif dan sangat percaya
bahwa terdapat banyak perspektif yang akan dapat diungkapkan.
Penelitian kualitatif berfokus pada fenomena saosial dan pada
pemberian suara pada perasaan dan persepsi dari partisipan dibawah
studi. Hal ini di dasarkan pada kepercayaan bahwa pengetahuan
dihasilkan dari setting sosial dan bahwa pemahaman pengetahuan
sosial adalah suatu proses ilmiah yang sah. (Emzir, 2011: 2).
Permasalahan penelitian kualitatif dilakukan dengan berlandaskan
pada pembuatan proposisi (teori, Hipotesis) dengan kerangka acuan
20
hasil pengkajian tentang hubungan antar sejumlah toeri yang sudah ada
dan relevan, hasil kajian tersebut dikaitkan dengan fenomena yang
terjadi. Hasil kajian dapat menemukan masalah dan toeri yang perlu
dikaji kebenaranya berdasarkan atas fakta-fakta. (Maslikhah, 2013:
176-177)
Sedangkan pengertian dari penelitian deskrikriptif adalah
penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau
hal lain-lain yang sudah disebutkan, yang hasilnya dipaparkan dalam
bentuk laporan penelitian. (Arikunto, 2010: 3).
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara
(Interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
(Moleong, 2009: 186). Wawancara terdiri atas sejimlah
pertanyaan yang disiapka oleh peneliti dan diajukan kepada
seseorang mengenai topik penelitian secara tatap muka, dan
peneliti merekam jawaban-jawabannya sendiri. (Emzir, 2011:
49). Dalam wawancara terdapat jenis wawancara, yaitu
wawancara terstruktur dan wawncara bebas tidak terstruktur.
Wawancara terstruktur yaitu jenis wawancara yang disusun
secara terperinci. Sedangkan wawancara tidak terstruktur yaitu
21
jenis wawancara yang hanya memuat garis besar tentang hal
yang akan ditanyakan. (Arikunto, 2010: 227). Dalam penelitian
ini yang akan diwawancarai diantaranya adalah pemilik sawah
dan penggarap sawah serta yang bersangkutan tentang tema
judul skripsi ini yaitu tentang tinjauan hukum Islam terhadap
praktek mukhabarah.
b. Observasi
Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan
melalui suatu pengamatan, dengan disertai pencatatan-
pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran.
Orang yang melakukan observasi disebut pengobservasi
(observer) dan pihak yang diobservasi disebut terobservasi
(observee). (Fathoni, 2011: 104). Observasu atau pengamatan
dapat didefisinikan sebagai perhatian yang terfokus terahadap
kejadian, gejala, ata sesuatu. Adapun observasi ilmiah adalah
perhatian terfokus terhadap gejala, kejadian atau sesuatu
dengan ,maksud menafsirkannya, mengungkapkan faktor-
faktor penyebabnya dan menemui kaidah-kaidah yang
mengaturnya. (Emzir, 2011: 37-38). Dalam penelitian ini
peneliti akan melakukan observasi langsung ke tempat
terjadinya praktek mukhabarah yaitu di Desa Tlogorejo
kecamatan Grabag kabupaten Magelang, yang mana ada
beberapa orang yang melakukan praktek mukhabarah tersebut.
22
3. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan
pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan dan materi-materi
lain yang telah dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman tentang
materi-materi tersebut. Analisis melibatkan pekerjaan dengan data,
penyusunan dan pemecahannya ke dalam unit-unit yang dapat
ditangani, perangkuman, pencarian pola-pola dan penemuan penting
yang perlu dipelajari. (Emzir, 2011: 85).
Peneliti dalam menganalisis data-data penelitian menggunakan
metode deskriptif analisis, yaitu analisis yang bertujuan memberikan
deskriptif atau menggambarkan sifat dan keadaan mengenai subjek
peneltian berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian lapangan.
Data-data tersebut diperoleh melalui wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Peneliti fokus terhadap analisis praktek mukhabarah
yang dalam akad dan pembagian hasil panen belum jelas.
H. Sistematika Penulisan
Agar dalam memahami skripsi ini lebih mudah, maka penulis
memetakan atau membagi skripsi ini ke dalam lima bab. Masing-masing
23
bab dilengkapi dengan sub babnya sesuai dengan judulnya. Adapun
sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut ;
BAB I : Pada bab pertama ini adalah pendahuluan, yang mana
penulis akan memaparkan garis-garis besar dan pokok
permasalahan yang melatarbelakangi penelitian.
Disamping itu penulis juga akan memaparkan poin-poin
dalam pendahuluan ini yaitu; latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penulisan penelitian, kegunaan
penelitian, telaah pustaka, penegasan istilah, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Pada bab ini menerangkan tentang teori-teori atau
kerangka teori, yang berkaitan dengan hukum dalam
bermuammalah berupa mukhabarah, mulai dari pengertian
mukhabarah, syarat dan rukun hingga pendapat Ulama‟.
BAB III : dalam bab ini penulis membahas tentang paparan data
hasil penelitian tentang praktek mukhabarah di Desa
Tlogorejo, Kec. Grabag, Kab. Magelang. Yang akan
dikemukakan adalah tentang proses akad yang dilakukan,
hasil panen, pembagian atau prosentase hasil panen, luas
tanah yang digarap oleh penggarap, alasan pemilik tanah
memberiakan manfaat tanahnya, serta masalah yang ada
dalam praktek muammalah tersebut yang akan ditemukan
dalam penelitian.
24
BAB IV : Bab ini merupakan pembahasan hasil penelitian, mulai
dari teori sampai dengan menganalisis praktek
mukhabarah, dimana peneliti mengemukakan “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Praktek Mukhabarah” yang ada di
Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.
BAB V : Bab ini adalah bab terakhir dari keseluruhan isi skripsi,
dalam bab ini ada tiga pemaparan yaitu ; kesimpulan isi
skripsi, saran-saran yang konstruktif, serta penutup.
BAB II
Tinjauan Umum Tentang Mukhabarah
25
A. Pengertian dan Dasar Hukum Mukhabarah
1. Pengertian Mukhabarah
Muzara‟ah dan Mukhabarah memiliki makna yang berbeda,
pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi‟i dan al-Nawawi. Sedangkan
menurut al-Qadhi Abu Thouib, muzara‟ah dan mukhabarah merupakan
satu pengertian. (Suhendi, 2014: 153). Taqiyyuddin menyatakan bahwa
muzara‟ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian, tetapi pada saat
yang bersamaan keduanya mempunyai dua arti, yang pertama berarti
tharh az-zurrah (melemparkan tanaman), yang kedua adalah al-hadr
(modal). Meskipun demikian masih banyak ulama‟ yang mengartikan
keduanya memiliki makna yang berbeda. Sedangkan secara istilah
muzara‟ah dan mukhabarah menurut Syeikh Ibrahim Al-Banjuri yaitu
mukhabarah adalah pemilik tanah hanya menyerahkan tanahnya kepada
pekerja dan modal dari pengelola. Sedangkan muzara‟ah yaitu pekerja
hanya mengelola tanah dan modal dari pemilik tanah. (Nawawi, 2012:
161).
Mukhabarah menurut Syafi‟iyah adalah:
قد وا صاع ت ض م يخ م و اض
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang
keluar dari bumi”
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
ه ون ي ن م م ة وا م و اض ت ض م يخ ملت وا ا م وام ا
26
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah
tersebut”
Syaikh Ibrahim al-Banjuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
ه وا ا م م وا م اض وام ا ت ض م يخ ملتوا م
“sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada
pekerja dan modal dari pengelola”.
Menurut Hendi Suhendi, mukhabarah yaitu mengerjakan tanah
(menggarap ladang atau sawah) dengan mengambil sebagian dari
hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja. (Suhendi, 2014: 154-158).
Menurut Amir Syarifuddin, mukhabarah adalah kerjasama dalam
usaha pertanian. Dalam kerjasama ini pemilik lahan pertanian
menyerahkan lahanya sedang bibit disediakan oleh pekerja. Hasil yang
diperoleh daripadanya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
(Syarifuddin, 2003: 240-241).
Menurut Ahmad mukhabarah adalah mengerjakan tanah (menggarap
ladang atau sawah) dengan mengambil sebagian dari hasil, sedang
benihnya dari pekerja. (Nawawi, 2021: 162).
Akad muzara‟ah yang hampir sama dengan mukhabarah, keduanya
dalam akadnya hampir sama dengan akad sewa (ijarah) di awal, namun
diakhiri dengan akad syirkah. Dengan demikian jika bibit berasal dari
penggarap, maka objek transaksinya adalah kemanfaatan lahan pertanian,
27
namun jika bibit berasal dari pemilik lahan, objeknya adalah amal/tenaga
penggarap, tapi jika panen telah dihasilkan, keduanya bersekutu untuk
mendapatkan bagian tertentu.(al-Mishri, 2006: 110)
Seperti yang diungkapkan diatas, bahwa mukhabarah hampir sama
dengan sewa (ijarah) maka B.W. dalam pasal 1548 menentukan bahwa
sewa-menyewa itu adalah untuk selama waktu tertentu, jadi hal ini sama
dengan ketentuan fiqih. Tapi dalam praktek sewa-menyewa juga dapat
untuk waktu yang tidak ditentukan lebih dulu. Ukuran sewa dalam hal
yang demikian ditentuka kemudian sesuai dengan kelaziman. (Hamid,
1983: 70).
Perbedaan yang jelas dari pengertian mukhabarah dan muzara‟ah
adalah pada segi permodalan, ketika pemilik tanah memberikan semua
modal untuk penggarapan sawah, kecuali tenaga, maka praktek itu
dinamakan muzara‟ah. Dan dinamakan mukhabarah apabila modal
ditanggung petani penggarap.
Setelah melihat beberapa definisi tentang mukhabarah di atas,
dapat diketahui bahwa mukhabarah adalah sebuah kerjasama antara
pemilik tanah dan penggarap sawah dalam bidang pertanian. Dalam
kerjasama tersebut pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada
penggarap untuk dikelola dan ditanami, sedang bibit tanamannya dari
penggarap. Dan di akhir pemanenan hasilnya dibagi antara pemilik tanah
dan penggarap sawah/ladang sesuai dengan kesepakatan diawal akad.
28
2. Dasar Hukum Mukhabarah
Dasar hukum yang digunakan oleh ulama untuk menetapkan
mukhabarah dan muzara‟ah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a., seperti yang dikutip oleh
Suhendi (2010:156) dalam bukunya Fiqh Muammalah yaitu;
يت ق ت ضه ت ض نص وال يص م ا يح م وام وا ة ا وم ون أ ق اه م كلت اه واض ت ت ا ه ا ملحه وخ ه ن ت م
.(ا وه وا خ اى). وا ه
“Sesungguhnya Nabi Saw. tidak mengaharamkan ber-muzara‟ah,
bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi
sebagian yang lain”. Dalam redaksi lain, “barangsiapa yang
memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan
faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh
ditahan saja tanah itu”. (Riwayat Bukhori).
Dalam Bukunya Rasjid (2012: 302) disebutkan bahwa selain ulama
di atas, ulama‟ lain yang menguatkan bahwa mukhabarah tidak ada
halangan adalah Nawawi, Ibnu Munzir dan khatabi, mereka mengambil
alasan hadis Ibnu Umar.
و م ونص والص ص وا ه س ص م وه خ ت ش ط ه م م و اع (ا وه م ). م يخ ملت
Dari ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan
kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari
penghasilan baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan
(palawija)” (Riwayat Muslim).
Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah saw. Memperkerjakan penduduk Khaibar dengan upah
29
sebagian dari bebijian dan buah-buahan yang dapat ditumbuhkan oleh
tanah Khaibar.
Menurut Amir Syarifudin (2003: 203) dalam bukunya disebutkan
jual beli mukhabarah adalah muammalah dalam penggunaan tanah
dengan imbalan bagian dari apa yang akan dihasilkan oleh tanah tersebut.
Hukum tranksaksi ini adalah haram. Dasar hukum harambya adalah hadis
Nabi:
نص وال ي ص وا ه س ص نته وامح ت ة وامل ة . وامخ ت ة ي واثتلت
Sesungguhnya Nabi SAW. Melarang jual beli muhaqalah,
muzabanah, mukhabarah dan tsunaiya.
Muhammad al-Baqir bin Ali bin al Husain ra. Berkata: “tak ada
seorang muajirin pun yang ada di Madinah kecuali mereka menjadi
petani dengan mendapatkan sepertiga atau seperempat. Dan Ali ra, Said
bin Malik, Abdullah bin Mas‟ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah,
keluarga abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan ibnu Sirin, semua
terjun ke dunia pertanian. (Sabiq, 1987: 159).
Ibnu Hazm mengatakan:
“tidak diperbolehkan menyewakan lahan/tanah secara ahal, dan
tidak dihalalkan atas pertanian kecuali yiga perkara;
memberdayakan tanah tersebut dengan menggunakan alat,
tenaga, bibit dan hewanya sendiri, menyuruh orang lain untuk
memberdayakannya dan ia tidak mengambil sesuatupun dari
hasil yang didapatkan, dan jika ia bekerja sama/bersekutu
dengan orang lain dalam tenaga, alat, bibit, ataupun hewan dan
tidak memungut sewa atas tanahnya, maka itulah yang terbaik,
30
dan ada kalanya ia menyerahkan lahan pertanian berikut bibit,
alat, atau hewanya kepada orang lain untuk menggarapnya,
namun setelah mendapatkan hasil ia mendapatkan bagian
setengah atau sepertiga, dan inilah yang diperbolehkan”.
Dengan demikian, Ibnu Hazm hanya memperbolehkan konsep
“menyewakan tanah kepada orang lain dengan imbalan setengah atau
sepertiga dari hasil panen” atas lahan pertanian, dan jika lahan pertanian
tersebut mengalami gagal panen, maka orang yang menyewakan tidak
mendapatkan apapun. (al-Mishri, 2006: 41)
B. Pendapat Ulama’ Tentang Praktek Mukhabarah
An-Nawawi, Ibnu Munzir dan Khatabi berpendapat bahwa hukum
mukhabarah dan muzara‟ah adalah boleh, sesuai hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari ibnu Abbas r.a.,
“Sesungguhnya Nabi saw. Tidak mengharamkan ber-muzara‟ah, bahkan
beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyanyangi sebagian yang
lain. Dalam redaksi lain, “Barang siapa memiliki tanah maka hendaklah
ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak
mau maka boleh ditahan saja tanah itu”.
Ahmad mengungkapkan pendapat yang bersumber dari kitab Al-
Minhaj bahwa mukhabarah adalah mengerjakan tanah (menggarap
ladang atau sawah) dengan mengambil sebagian dari hasil, sedang
benihnya dari pekerja dan tidak boleh pula ber-muzara‟ah, yaitu
pengolahan tanah yang benihnya dari pemilik tanah. Pendapat ini
31
beralasan kepada hadis shahih, antara lain hadis Tsabit Ibn Adh-Dhahak,
karena akibat buruk yang sering terjadi ketika berubah.
Selanjutnya dalam hadisnya Imam Muslim disebutkan sebagai berikut;
حدص تل و ي م حدص تل س ن م و نصه ك ن يخ ل م تق ت اه ي د وا صحم ا ت كت ه ه وامخ ت ة إنتصه يت م ن نص والص يص ص وا صه ه س ص نته
وامخ ت ة تق ل ي م خ ت ني مه ا يت لي و ص نص ه إنصم ل يملح حدك خ ه والص يص ص وا صه ه س ص ا يتله لت
ه خ ج م م اه م ن يأخ ت حدص تل و ي م حدص تل خ تواثتصق ي ي ا ح حدص تل ي ش ة إسحق إ ت وه جم ك س ن ح حدص تل محمصد امح خ ت ن وا ص ث و ج يج ح حدص لي ي حج حدص تل
وا ض م س ش ي ش ة ك ه م ايل ا و ص والص ي ص وا صه ه س ص نح حديثه
“Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dan Ibnu Thawus
dari Thawus bahwa dia adalah seorang petani yang mengusahakan
tanahnya dan memungut sebagian dari hasil tanaman yang
ditanamnya, Amru berkata; Lalu saya bertanya kepadanya; "Wahai
Abu Abdurrahman, sekiranya kamu menghentikan usahamu
melakukan mukhabarah, karena sesungguhnya mereka mengatakan
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang melakukan
mukhabarah." Thawus menjawab; "Hai Amru, telah mengabarkan
kepadaku orang yang lebih mengetahui daripada mereka tentang
perihal itu -yaitu Ibnu Abbas - bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam tidak melarang hal itu, hanya saja beliau bersabda: "Salah
seorang dari kalian memberikan sebagian tanahnya kepada
saudaranya itu lebih baik daripada memungut imbalan tertentu."
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah
32
menceritakan kepada kami Ats Tsaqafi dari Ayyub. Dan
diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim semuanya dari Waki'
dari Sufyan. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada
kami Al Laits dari Ibnu Juraij. Dan diriwayatkan dari jalur lain,
telah menceritakan kepadaku Ali bin Hujr telah menceritakan
kepada kami Al Fadll bin Musa dari Syarik dari Syu'bah semuanya
dari 'Amru bin Dinar dari Thawus dari Ibnu Abbas dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits merek”. (Kitab Muslim,
Hadist No. 2893: Lidwa Pusaka i-Software.)
Sebagian Ulama ada yang melarang praktek bagi hasil tanah
pertanian semacam ini. Mereka beralasan pada hadis yang diriwayatkan
oleh Bukhori dan Muslim, yaitu:
او خديج ل كلص وكثت و النل احقال لص ن ى والاض ونص الص ه ه اه ه ه ت صم وخ جت ه ه ا خ ه ه
)ا وه وا خ اى). ن وا ى تله
Rafi‟ bin Khadij berkata, “Diantara Ansor yang paling banyak
mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan,
sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang
mengerjakanya. Kadang-kadang tanah itu berhasil baik dan yang
lain tidak berhasil. Oleh karena itu Rasulullah melarang paroan
dengan cara demikian. (Riwayat Bukhori).
Adapun hadis yang melarang di atas maksudnya adalah “apabila
penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah
seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu itu
mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan
dari sebagian tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masing
pun tidak diketahui. Keadan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad
33
SAW. Sebab pekerjaan demikian buknlah dengan cara adil dan insaf.
(Rasjid. 2012: 302-303).
Menurut Imam Syafi‟i:
ش ط اه ج وء م م م : إ و ا إا اج اض ا ت ا ه ون وكلت وه ويتصه هب و ضة و ش ط اه م , اي ه ا يج
.م م مصله ج
Bila seseorang menyerahkan kepada orang lain sebidang tanah
untuk ditanami, dan menjajikan kepadanya bagian tertentu dari
hasil tanamanya maka (hukumnya) tidak boleh. Dan bila ia
menyerahkan tanah itu kepadanya dengan emas atau perak,
atau menjajikan kepadanya makanan tertentu dalam
tanggungan, maka (hukumnya) boleh. (Bigha, tt: 470).
Setelah melihat beberapa pendapat para Ulama‟ tentang praktek
mukhabarah di atas, maka ada hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang
dalam praktek mukhabarah tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Mukhabarah yang diperbolehkan
Dalam mukhabarah yang mana telah disebutkan ketentuan-
ketentuanya dalam fiqih, maka hal-hal yang dibolehkan dalam
mukhabarah adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian kerjasama dimana tanah milik satu pihak, peralatan
pertanian, benih dan tenaga dari pihak lain, keduanya
34
menyetujui bahwa pemilik tanah akan memperoleh bagian
tertentu dari hasil.
2. Kedua belah pihak sepakat atas tanah, benih, perlengkapan
pertanian dan tenaga serta menetapkan bagian masing-masing
yang akan diperoleh dari hasil. (Rahman, 1995: 288).
3. Keuntungan yang diperoleh jelas pembagiannya menurut
kesepakatan, dalam ukuran angka persentase, bukan dalam
bentuk angka mutlak yang jelas ukuranya.
4. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan
kepada penggarap.
5. Kedua belah pihak dalam akad telah dewasa dan sehat akalnya
serta tanpa paksaan darimanapun. (Syarifuddun, 2003: 242).
2. Mukhabarah yang dilarang
Dalam Mukhabarah yang dilarang salah satunya adalah jika
bagiannya dutentukan dalam jumlah tertentu berdasarkan hasil luas
tertentu yang hasilnya menjadi miliknya, sedangkan sisanya untuk
penggarap atau dipotong secukupnya. Maka dalam keadaan seperti
ini dianggap fasid karena mengandung gharar dan dapat membawa
kepada perselisihan. Al-Bukhori meriwayatkan dari Rafi‟bin al
Khudaij, berkata: “Dahulu kami termasuk orang yang paling banyak
menyewakan tanah untuk digarap. Waktu itu kami menyewakan
tanah yang sebagian hasilnya yang disebut pemilik tanah. Kadang-
35
kadang untung dan kadang-kadang tidak memberikan untung. Lalu
kami dilarang”.(Sabiq. 1987: 162).
Selain hal di atas, hal-hal dibawah ini juga dilarang dalam
mukhabarah yaitu:
1. Perjanjian yang menetapkan sejumlah hasil tertentu yang harus
diberikan kepada pemilik tanah, yaitu suatu syarat yang
menentukan bahwa apapun dan berapapun hasilnya, pemilik
tanah tetap menerima lima atau sepuluh mound dari hasil
panen.
2. Hanya bagian lahan tertentu yang berproduksi, misalkan bagian
utara atau selatan, maka bagian tersebut diperuntukan bagi
pemilik tanah.
3. Penyerahan tanah kepada seseorang dengan syarat tanah
tersebut akan tetap menjadi miliknya jika sepanjang pemilk
tanah masih menginginkannya dan akan menghapuskan
kepemilikannya manakala pemilik tanah menghendaki.
4. Ketika petani dan pemilik tanah sepakat membagi hasil tanah
tapi satu pihak menyediakan bibit dan pihak lainya
menyediakan alat-alat pertanian. Misalnya pihak pertama
pemilik tanah, pihak kedua bertangunggung jawab atas benih,
pihak ketiga bertanggung jawab atas alat-alat pertaniaan.
36
5. Adanya hasil panen lain (selain daripada yang ditanam di
ladang itu) harus dibayar oleh satu pihak sebagai tambahan
kepada hasil pengeluaran tanah. (Rahman, 1995:286-287).
C. Rukun Dan Syarat Mukhabarah
Kerjasama dalam bentuk mukhabarah adalah kehendak dan
keinginan dua pihak, oleh karena itu harus teradi dalam suatu akad atau
perjanjian, baik secara formal dengan ucapan ijab dan qabul, maupun
dengan cara lain yang menunjukan bahwa keduanya telah melakukan
kerjasama secara rela sama rela.
Unsur yang terdapat dalam kerjasama ini adalah: pemilik tanah,
pekerja pertanian, objek mukhabarah yaitu lahan dan hasil keuntungan.
Masing masing harus memenuhi syarat yang ditentukan. (Syarifuddin,
2003: 242).
1. Rukun Mukhabarah
Menurut Hanafiyah, rukun muzarah ialah akad, yaitu ijab dan kabul
antara pemilik dan pekerja. Karena pengertian Muzara‟ah dan
Mukhabarah hampir sama, yang membedakan adalah modal. Maka rukun
dalam mukhabarah secara rinci ada empat, yaitu:
1. Tanah
2. Perbuatan Pekerja
3. Modal
4. Alat-alat untuk menanam. (Suhendi, 2014: 158).
37
Menurut Syarifuddin (2003: 242) kerjasama adalah kehendak dan
keinginan dua pihak, maka harus ada akad atau perjanjian baik secara
formal maupun cara yang lain dengan ucapan ijab dan qabul.
Melihat hal diatas penulis berkesimpulan bahwa rukun dalam
praktek kerjasama mukhabarah ada lima yaitu:
1. Akad (sighat ijab dan qabul).
2. Tanah.
3. Perbuatan pekerja.
4. Modal/benih.
5. Alat-alat untuk menanam.
2. Syarat Mukhabarah
Melihat rukun-rukun di atas, maka tidak akan lepas dari syarat-
syarat yang ditentuntakan mengenai rukun-rukunya. Maka syarat-syarat
praktek mukhabarah ialah sebagai berikut:
1. Syarat yang bertalian dengan “aqidain (orang yang berakad) antara
pemilk tanah dan penggarap yaitu harus berakal.
2. Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya
penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu:
a) Bagian masing-masing harus disebutkan jumlanya
(persentasenya ketika akad)
b) Hasil adalah milik bersama
38
a. Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis
barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik
bagianya padi kemudian Amil bagianya singkong,
maka hal ini tidak sah.
c) Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
d) Tidak disyaratkan bagi keduanya penambahan yang
maklum
4. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu:
a) Tanah tersebut dapat ditanami
b) Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5. Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah:
a) Waktunya telah ditentukan
b) Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang
dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4
bulan (tergantung teknologi yang dipakainya, termasuk
kebiasaan setempat
c) Waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup
menurut kebiasaan. (Suhendi, 2014: 158-159).
Dalam hal bagi hasil antara Malik dan Amil masing-masing harus
mempunyai rasa kemanusiaan. Dalam al-Qur‟an Allah berfirman:
Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah
mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka
39
(balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada
dirugikan.
Mohammad Syauqi al-Fanjari bahwa makna kontekstual dari ayat
diatas adalah bahwa upah yang diberikan kepada para pekerja didasarkan
atas pertimbangan kerja, bukan atas dasar eksploitasi kedhaliman. (Abu
Yasid, 2005: 164).
3. Tinjaun Tentang Akad
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk saling
berhubungan dengan mahkluk yang lainya dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga
terkadang secara pribadi manusia tidak mampu memenuhi kebutuhanya
dan harus berhubungan dengan orang lain. Dalam hubungan manusia
satu dengan yang lainya terdapat aturan yang menjelaskan hak dan
kewajiban, keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat
kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan antar keduanya lazim
disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak (Djuwaini,
2010: 47).
Ketika dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan
atau memberi sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak itu
mengikatkan diri kepada yang lain untuk melakukan atau memberikan
sesuatu yang mereka perjanjikan. Dengan kata lain, diantara keduanya
tercipta suatu ikatan yang timbul dari tindakan mereka membuat janji.
Ikatan tersebut terwujud adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh masing-masing pihak. (Anwar, 2010: 43).
40
Niat dalam urusan muamalat atau tranksaksi pada umumnya terkait
dalam satu kaidah berikut:
ة وا ق ا ا مق د وام ني ال ا ا ظ وام ني ا ا ت
“Hal yang dipertimbangkan dalam akad-akad (tranksaksi) adalah
maksud dan maknanya, bukan pada ucapan dan rangkaian kata-
katanya”.
Maksud dari kaidah ini bahwa pertimbangan utama dalam sebuah
akad (tranksaksi) adalah dilakukan tujuan tranksaksi tersebut, bukan pada
ungkapan atau rangkaian kata yang diucapkan. (Fadal, 2008:26)
Dalam bahasa Arab lafal akad berasal dari kata: „aqada-ya‟qidu-
„aqdan, yang sinonimnya :
1. Ja‟ala „uqdatan, yang artinya: menjadikan ikatan;
2. Akkada yang artinya: memperkuat;
3. Lazima yang artinya: menetapkan.
Wahab Zuhaili mengartikan lafal akad menurut bahasa sebagai
berikut.
ت ( و ح م و ت وم )م ل ه وا ط : وا قد ي اغة وا ا وف واشيء، س و ء ك ن ا ح م م ل ي ، م ج نب
. وحد، م ج ن ت
Akad dalam bahsa arab artinya ikatan (atau penguat dan ikatan)
antara ujung-ujung, baik ikatan nyata maupun maknawi, dari
satu segi maupun dua segi.
41
Muhammad Abu Zahroh mengemukakan pengertian akad menurut
bahasa sebagai berikut.
ه ي ق وا قد ي اغة واجم ت وف واشصيء ا ه ، د .واح ي ق م ل إح م واشصيء تق يتله
Akad menurut etimologi diartikan untuk menggabungkan antara
ujung sesuatu dan mengikatnya, lawanya adalah “al-hillu”
(melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan
memperkuatnya.
Para fuqaha‟ membedakan pengertian akad secara bahasa menjadi
dua arti, yaitu arti secara umum dan arti secara khusus. Pengertian secara
umum berkembang dikalangan Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabila,
yaitu:
اة ك , ته ك م م وام ء ه س وء دا ءاواة ملتإا إاوا ت ي إنش ءه ك وا ت وحل م , و ت وء وا صالق وا م . يج ا والتص ك وا ه
Akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh sesorang untuk
dikerjakan, baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf,
pembebasan, talak dan sumpah, maupun yang memerlukan dua
kehendak di dalam menimbulkanya, seperti jual beli, sewa
menyewa, pemberian kuasa dan gadai.
Pendapat kedua mengartikan akad dalam arti khusus oleh
Hanafiyah, yaitu:
42
وا قد ه وا ط إشج ا ق ت ل جه مش ع يتث ت ت ه ي خ ش و ت ق كالم حد وا دي ا : اة خ ى . مح ه
. جه ي ه ت ه وامح
Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul menurut ketentuan
syara‟ yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya atau
redaksi yang lain: keterkaitan antara pembicaraan salah seorang
yang melakukan akad dengan yang lainya menurut syara‟ pada
segi yang tampak pengaruhnya pada objek. (Muslich, 2010: 109-
111)
Adapun makna akad secara syar‟i yaitu hubungan antara ijab dan
kabul dengan cara yang diperbolehkan oleh syar‟i dan mempunyai
pengaruh secara langsung. Ini berarti bahwa akad termasuk dalam
kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandanga syara‟
antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang
kemudian du keinginan ini dinamakan ijab dan kabul. (Azam, 2010: 17)
Menurut pasal 262 Mursyid al-Harian, akad merupakan pertemuan
ijab yang diajukan oleh salah satu pihak denga kabul dari pihak yang
lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad. Sedangkan
menurut Syamsul anwar dalam bukunya “Hukum Perjanjian Syariah”,
akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua
pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.
Dari definisi di atas, memperlihatkan bahwa: pertama, akad
merupaka keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat
timbulnya hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu
43
pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad
sebagai tanggapan terhadap penawaran. Kedua, akad merupakan
tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang
mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang
menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk
melahirkan suatu akibat hukum. (Anwar, 2010: 68-69)
Dengan adanya akad maka timbulah perikatan atau ikatan antara
„aqidain (dua orang yang berakad). Dalam perikatan tersebut terdapat
ketentuan-ketentuan, sebagaimana yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam B.W. (pasal 1234), maka tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak
berbuat sesuatu. (Hamid, 1983: 51).
Asas-asas yang terdapat dalam „aqad adalah sebagai berikut; asas
ridha‟iyah (saling Rela), asas manfaat, asas keadilan, asas saling
menguntungkan. (Nurul Hak, 2011: 128-129). Disebutkan kaidah fiqih
bahwa dalam akad adalah keridhaan kedua belah pihak, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, yaitu:
و ي وا ق ا ا واملت دي
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”. (Djazuli,
2007: 131).
Dalam akad antara Malik dan Amil harus ada kesepakatan
berkaitan upah atau hasil dari kerjasama tersebut. Amil atau pekerja
44
berhak mengetahui dan menentukan besar kecilnya pembagian hasil
dari kerjasama tersebut. Dengan demikian tidak akan ada penyesalan
dikemudian hari. Karena, kedua belah pihak telah melakukan negoisasi
(memperbincangkan untuk mencapai kata sepakat) tentang jumlah
pembagian hasil kerjasama jauhari sebelunya. ( Abu Yasid, 2005: 164).
Akad bila ditinjau dari orang yang mengakadkan dan yang
diakadkan ada tiga macam, yaitu:
a. Akad antara Allah dengan Hambanya
b. Akad antara hamba sesama hamba
c. Akad antara seseorang hamba dengan dirinya.
Dari tiap-tiap akad jika dipandang kepada yang mengerjakan, maka
akad dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Diwajibkan oleh akal
b. Diwajibkan oleh syara‟, yaitu yang ditunjuk oleh kitabullah dan
sunnaturrosul. (Ash Shiddieqy, 1997:470).
Ulama telah menuliskan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
objek akad dalam sebuah akad:
a. Objek akad itu harus ada ketika dilakukan akad.
b. Objek akad harus disebutkan / dijelaskan secara transparan,
jelas dan terhindar dari gharar yang dapat menyebabkan
pertentangan pada kedua belah pihak.
c. Dapat menerima semua implikasi hukum yang ada karena yang
dilakukan di atsanya.
45
d. Dapat diserah terimakan. (al-Mishri, 2006: 100).
4. Zakat Dalam Mukhabarah
Zakat ialah nama atau sebutan dari suatu hak Allah Ta‟ala yang
dikeluarkan sesorang kepada fakir miskin. Dinamakan zakat karena di
dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkat,
membersihkan jiwa dan memupuknya dengan pelbagai kebaikan.
Kata-kata zakat itu arti aslinya ialah tumbuh, suci dan berkah.
Firman Allah swt:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui. (Sabiq, 1978: 5)
Allah mewajibkan kepada orang yang diberikan kelebihan rejeki
dengan mengeluarkan zakat dan dianjurkan melakukan ibadah sosial
lainya seperti infaq dan shodaqah jariyyah. Penegasan agar memenuhi
keadilan sosial adalah suatu perintah agama, bukan sekedar acuan etik
atau dorongan moral belaka. Konsepsi keadilan sosial ekonomi yang
Islami mempunyai ciri khas dari konsep ekonomi lain yaitu; Keadilan
sosoial dilandasi prinsip keimanan, manusia sebagai kholifah
dianugerahi pemilikan sebagai karunia-Nya. (Nurul Hak, 2011: 57-58).
46
Dalam zakat, terdapat beberapa unsur yang telah dijelaskan oleh
para ulama‟, sebua unsur yang dapat mencirikan zakat:
a. Waktu pembayaran zakat, Islam mengetahui waktu-waktu yang
tepat untuk mengeluarkan zakat, zakat harta perdangangan
misalnya, dikeluarkan setahun setelah harta tersebut dikuasaioleh
pemiliknya, selain itu juga merupakan kelebihanatas kebutuhan
pokok yang ada. Zakat pertanian dibayarkan setelahpanen dituai,
begitu juga dengan barang tambang.
b. Kewajiban zakat bersifat absolut dan tidak berubah secara terus
menerus. Harta yang wajib dizakati sudah ditentukan, begitu juga
dengan kadar yang harus dibayarkan. Kewajiban itu bersifat mutlak
dan berlaku sampai akhir zaman, tidak seorangpun berhak
mengubahnya. Berbeda dengan pajak, besar beban dan objeknya
bisa berubah sesuai dengan kebijakan penguasa.
c. Keadilan, dalam arti adil dalam pendistribuan maupun
pengambilan harta yang menjadi objek zakat. (al-Mishri, 2006:
136).
Segala yang dihasilkan bumi harus dikeluarkan zakatnya, dengan
demikian hasil pertanian dan tumbuh-tumbuhan wajib dikeluarkan
zakatnya ketika panen dan tidak usah menunggu masa satu tahun.
Seperti diriwayatkan Nabi, hasil pertanian yang kurang dari lima
wasaq tidak wajib zakat (sekitar 563 kg) dan ini menjadi nishabnya,
zakat yang harus dikeluarkan sebesar 5% jika menggunakan irigasi,
47
namun jika tidak, zakatnya sebesar 10%. Untuk buah-buahan juga
sama adanya, baik nishab maupun zakat yang harus dikeluarkan. (al-
Mishri, 2006: 141).
Nisab zakat pertanian dan buah-buahan adalah Nisabnya 5 Wasak,
sedangkan satu wasak dalam satuan liter adalah 164,88 liter. Jadi
jumlah nisab zakat pertanian dan buah-buahan dalam liter adalah 824,
4 liter. (Lam bin Ibrahim, 2005:205)
Sabda Rosulullah diterangkan apabila hasil bumi dan buah-buahan
yang kurang dari lima wasaq tidak berkewajiban mengeluarkan zakat,
sabdanya yaitu:
(ا ه وا خ اى م )ا س م ا ن خم ة و سق د ة
“(Tanaman dan buah-buahan) yang kurang dari 5 wasaq tidak
ada kewajiban zakat”.(HR. Bukhori dan Muslim).
Disebutkan lagi oleh Mustofa Dibbul Bigha (tt: 326) dalam bukunya
Fiqih Syafi‟i:
غ خم ة و سق ا ه )ا س حب ال مد د ة حتص يت ت .(م
“Tidak terkena zakat biji-bijian dan buah-buahan tidak terkena
zahat sehingga sampai lima wasaq”.(HR. Muslim).
Zakat dalam mukhabarah diwajibkan atas yang punya tanah,
karena hakikatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil
upah hasil bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib
48
dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat diajibkan atas
keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi. (Rasjid,
2012: 303).
5. Tinjauan Tentang Bagi Hasil Dalam Mukhabarah
Bagi hasil dalam pertanian dapat diartikan pembagian hasil atas
pengolahan sawah atau ladang dalam awal perjanjian dengan
persentase tertentu.
Dalam hal bagi hasil antara Malik dan Amil masing-masing harus
mempunyai rasa kemanusiaan. Dalam al-Qur‟an Allah berfirman:
Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah
mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka
(balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada
dirugikan.
Mohammad Syauqi al-Fanjari menjelaskan bahwa makna
kontekstual dari ayat diatas adalah bahwa upah yang diberikan kepada
para pekerja didasarkan atas pertimbangan kerja, bukan atas dasar
eksploitasi kedhaliman. (Abu Yasid, 2005: 164).
Dalam pembagian hasil mukhabarah Islam tidak menjelaskan
secara rinci tentang persentasenya hanya saja disebutkan bahwa
pembagian hasil sesuai kesepakatan. Maksudnya tidak jelas pembagian
antara pemilk tanah dan petani penggarap atas cara pembagian dan
besar bagiannya masing-masing kedua belah pihak. Oleh karena itu
dalam konteks ini di Indonesia dikeluarkan Keputusan Bersama
49
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan
Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak
antara pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan
tersenbut di atas dikemukakan pada poin kedua, yaitu sebagai berikut :
Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak
penggarap dan pemilik sebagai yang dimaksud dalam pasal 7 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1960 sepanjang mengenai padi yang ditanam
ditetapkan oleh bupati/walikotamadya Kepala Daerah dengan
menggunakan pedoman sebagai tersbut dibawah ini :
a. Oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah berdasarkan usul
dan pertimbangan camat/kepala wilayah kecamatan serta
instansi-instansi yang bidang tugasnya berkaitan dengan
kegiatan usaha produksi pangan dan pengurus organisasi tani
yang ada di daerahnya dengan terlebih dahulu mendengar usul
dan pertimbangan kepala Desa atau kepala keluarahan dengan
lembaga ketahanan masyarakat Desanya.
b. Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak,
tenaga tanam dan panen sebagaimana dimaksud dalam pasal
huruf d Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 dinyatakan
dalam bentuk natural pada gabah sebesar maksimum 25% dari
hasil kotor yang besarnya dibawah atau sama dengan hasil
produksi rata-rata dalam daerah tingkat II atau kecamatan yang
bersangkutan atau dalam bentuk rumus sebagai berikut :
50
Z = ¼ X
Dalam mana Z = biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga
ternak, tenaga tanam dan penen, X = hasil kotor
c. Jika hasil yang dicapai penggarap tidak melebihi hasil produksi
rata-rata Daerah tingkat II atau kecamatan sabagai yang
ditetapkan oleh bupati/walikotamadya kepala daerah yang
bersangkutan, maka hasil kotor, setelah dikurangi biaya untuk
bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen
yang dihitung menurut rumus 2 di atas, dibagi dua sama besar
antara penggarap dan pemilik, atau dalam bentuk rumus
sebgain berikut (rumus I) :
Hak penggarap = hak pemilik
𝑥 − 𝑧
2=x − 1/4x
2
d. jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi
rata-rata daerah tingkat II/kecamatan sebagai yang ditetapkan
oleh bupati/walikotamadya kepala daerah yang bersangkutan,
maka besarnya bagian yang menjadi hak penggarap dan
pemilik ditetapkan sebagai berikut :
1) hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata
dibagi menurut rumus I.
2) hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi
antara penggarap dan pemilik tanah dengan imbangan
51
bagian, 4 bagian dari penggarap dan 1 bagian dari
pemilik atau dalam bentuk rumus sebagai berikut
(rumus II) :
hak penggarap =
𝑦 − 𝑧
2+4 𝑥 − 𝑦
5=
𝑦 −14𝑥2
+4 𝑥 − 𝑦
5
Hak Pemilik =
𝑦 − 𝑧
2+1 𝑥 − 𝑦
5=
𝑦 −14𝑥2
+ 𝑥 − 𝑦
5
e. jika di suatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada
kenyatannya lebih besar dari apa yang ditentukan pada rumus I
dan rumus II di atas, maka tetap diperlakukan imbangan yang
lebih menguntungkan penggarap.
f. Ketetapan bupati/walikotamadya kepala daerah mengenai
besarnya imbangan bagi hasik tanah yang menjadi hak
penggarap dan pemilik serta hasil produksi rata-rata tiap Ha
(Hektar) di daerah tingkat II atau kecamatan yang
bersangkutan, diberitahu kepada dewan perwakilan rakyat
daerah tingkat II setempat.
g. Sesuai dengan penjelasan pasal 7 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960, zakat disisihkan dari hasil kotor yang mencapai
nisab untuk padi (ditetapkan sebesar 14 kwintal).
52
h. Sesuai dengan ketentuan pasal 8 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960, pemberian “sromo” oleh calon penggarap kepada
pemilik tanah dilarang.
i. Sesuai dengan ketentuan pasal 9 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960, pajak tanah sepenuhnya menjadi beban pemilik
tanah dan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.
(Pasribu & Lubis, 1996: 61-66).
D. Akibat Hukum Dari Praktek Mukhabarah
Setelah adanya pemaparan tentang pengertian, rukun, serta syarat
mukhabarah di atas, maka akan ada hak dan kewajiban diantara kedua
belah pihak yang mengadakan adak mukhabarah tersebut. Oleh karena
itu ada akibat hukum yang mengikat diantara pemilik tanah dan pekerja,
diantaranya yaitu:
1. Petani penggarap bertanggung jawab mengeluarkan biaya
benih dan biaya pemeliharaan pertanian tersebut.
2. Hasil panen dibagi antara kedua belah pihak sesuai
kesepakatan.
3. Pengairan dilaksanakan sesuai kesepakatan. Apabila tidak ada
kesepakatan maka berlaku kebiasaan di tempat masin-masing.
apabila kebiasaan lahan itu diairi dengan air hujan, maka
masing-masing pihak tidak boleh dipaksa mengairi melalui
irigasi.
53
4. Apabila salah satu diantara kedua belah pihak meninggal dunia
sebelum panen, maka akan diwakili oleh ahli warisnya, karena
jumhur ulama berpendapat bahwa akad upah mengupah
(ijarah) bersifat mengikat kedua belah pihak. Seperti halnya
yang disampaikan oleh Hamid (1983: 83) lazimnya di
Indonesia apabila salah satu pihak meninggal, maka haknya
beralih kepada ahli warisnya, sampai habisnya jangka waktu
sewa-menyewa.
5. Kedua belah pihak harus menghormati perjanjian, sebagaimana
yang dikatakan oleh Sayyid Sabiq, (1987: 190) bahwa
penghormatan terhadap perjanjian menurut Islam hukumnya
wajib, melihat pengaruhnya yang positif dan perannya yang
besar dalam memelihara perdamaian dan melihat urgensinya
dalam mengatasi kemusykilan, menyelesaikan perselisihan dan
menciptakan kerukunan.
E. Berakhirnya Akad Mukhabarah
Dalam kerjasama mukhabarah, akan berakhir apabila:
1. Kematian salah satu pihak yang mengadakan akad.
2. Atas permintaan salah satu pihak sebelum panen. Dengan
alasan yang dapat dimaklumi.
3. Jangka waktu yang ditentukan telah habis. Tetapi apabila
jangka waktu sudah berakhir sedangkan hasil pertanian belum
54
bisa dipanen, maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen dan
hasilnya dibagi sesuai kesepakatan.
4. Berakhirnya usaha pertanian dengan panen.
5. Pihak pekerja jelas-jelas tidak mampu lagi melanjutkan
pekerjaannya. Bila kerjasama berakhir sebelum panen, maka
yang diterima oleh pekerja adalah upah dan yang diterima oleh
pemilik tanah adalah sewa dalam ukuran yang patut yang
disebut ujratul mutsil ( ج ةوامث ). (Syarifuddin, 2003: 242-
243).
Apabila penggarap atau ahli warisnya berhalangan bekerja sebelum
berakhirnya waktu atau fasakh-nya akad, mereka tidak boleh dipaksa.
Tetapi, jika mereka memetik buah yang belum layak dipanen maka hal itu
adalah mustahil. Hak berada pada pemilik atau ahli warisnya, sehingga
dalam keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut.
1. Memetik buah dan dibagi oleh dua belah pihak sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
2. Memberikan kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah
uang karena dialah yang memotong atau memetik.
3. Pembiayaan pohon sampai pantas untuk dipetik atau dipanen.
(sahrani & Abdullah, 2011: 209).
F. Hikmah Mukhabarah
55
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak, seperti kerbau
sapi, kuda dan lain-lain. Dia sanggup berladang dan bertani untuk
mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya,
banyak diantara manusia mempunyai sawah, ladang dan lainya yang
layak untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk
mengolah sawah atau ladang tersebut, atau ia sendiri tidak mengolah
sawah dan mengerjakannya. Sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan
tidak menghasilkan suatu apapun.
Mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk itu hal-hal lainya
yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah, yaitu konsep kerjasama
dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak
dengan tujuan saling menguntungkan. (Nawawi, 2012: 164).
Selain itu dalam kerjasama mukhabarah ini terdapat asas tolong
menolong (ta‟awun) dan kerjasama. Karena banyak yang mempunyai
keahlian bertani tetapi tidak mempunyai lahan. Sedangkan banyak juga
yang mempunyai lahan pertanian tetapi tidak mampu bertani. Sehingga
ada kemadharatan atau kemubadziran yaitu tanah yang tidak di kelola
dan dikerjakan.
Hikmah lainya adalah timbulnya rasa keadilan dan keseimbangan.
Keadilan dapat menghasilkan keseimbangan dalam perekonomian
dengan meniadakan kesenangan antara pemilik modal (orang kaya)
dengan pihak yang membutuhkan (orang miskin). Walaupun tentunya
Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi dan mengakui adanya
56
ketidaksamaan ekonomi antar orang perorangan. (Sahrani & Abdullah,
2011: 218).
BAB III
PELAKSANAAN PRAKTEK BAGI HASIL MUKHABARAH DI DESA
TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG
A. Gambaran Umum Desa Tlogorejo kecamatan Grabag Kabupaten
Magelang
1. Tata Letak Geografis Desa Tlogorejo
57
Desa Tlogorejo kecamatan Grabag kabupaten Magelang terletak di
daerah pegunungan yaitu sekitar 700 M di atas permukaan laut. Suhu
yang ada di sana adalah 20,00 °C. Luas daerah pegunungannya adalah
120,00 Ha. Desa Tlogorejo yang berjarak 3 km dari ibukota kecamatan
memiliki luas tanah 112,93 hektar, yang aman luas tersebut menurut
penggunaannya terbagi menjadi beberapa wilayah, diantaranya;
a. Luas pemukiman adalah 15 Ha
b. Luas persawahan adalah 84,34 Ha
c. Luas prasarana umum adalah 12,24 Ha
Dengan luas yang sedemikian, desa Tlogorejo Kecamatan Grabag
mempunyai batas-batas wilayah tertentu, yaitu: sebelah utara
berbatasan dengan Desa Sambungrejo Kecamatan Pringsurat, sebelah
selatan berbatasan dengan Desa Tirto Kecamatan Grabag, sebelah
timur berbatasan dengan Desa Pagergunung Kecamatan Ngablak,
sebelah barat berbatasan dengan Desa Kleteran Kecamatan Grabag.
Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag terdiri dari 4 dusun yaitu:
a. Dusun Tlogorejo
b. Dusun Watuanten
c. Dususn Temon
d. Dusun Ngleter
2. Keadaan Demografi Masyarakat Desa Tlogorejo
58
Jumlah kepala keluarga adalah 491 KK. Dilihat dari jumlah
penduduk yang sedemikian banyak maka tingkat kepadatan penduduk
Desa Tlogorejo adalah 12,00 per KM.
Jumlah penduduk Desa Tlogorejo kecamatan Grabag dilihat dari
segi umur yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk
Usia Laki-laki Perempuan
0-12 bulan 193 orang 132 orang
1-19 tahun 260 orang 220 orang
20-30 tahun 148 orang 161 orang
31-40 tahun 123 orang 84 orang
41-50 tahun 78 orang 83 orang
51-60 tahun 80 orang 78 orang
61-70 tahun 57 orang 47 orang
71 tahun ke atas 32 orang 27 orang
Jumlah total 971 832
Sumber: Profil Desa.
Sedangkan penduduk desa Tlogorejo dilihat dari segi pendidikan
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2 Tingkat pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah
Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK/Play Group 481 orang
Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 48 orang
59
Tamat SD/Sederajat 710 orang
Tamat SMP/Sederajat 225 orang
Tamat SMA/Sederajat 200 orang
Tamat D-3/Sederajat 27 orang
Tamat S-1/Sederajat 23 orang
Tamat S-2/Sederajat 1 orang
Jumlah Total 1.715 orang
Sumber: Profil Desa
3. Kondisi Tanah Desa Tlogorejo
Tanah yang ada di desa Tlogorejo rata-rata adalah tanah
persawahan. Karena itu tidak heran apabila rata-rata penduduknya
adalah petani. Luas tanah desa Tlogorejo Kecamatan Grabag dapat
dilihat sebagai berikut:
a. Tanah Sawah : 84,34 Ha
b. Tanah Kering : 25,90 Ha
c. Tanah Basah : - Ha
d. Tanah Perkebunan : - Ha
e. Tanah Fasilitas Umum : 12,24 Ha
f. Tanah Hutan : - Ha
4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
60
Masyarakat desa Tlogorejo dilihat dari segi sosial ekonominya
rata-rata adalah menengah ke bawah karena rata-rata pekerjaanya
adalah petani. Data yang diperoleh dari profil desa Tlogorejo
menunjukan bahwa keluarga yang menjadi petani adalah 438 keluarga
dari 491 keluarga. Oleh karena itu mata pencaharian pokoknya adalah
sebagai berikut: petani terdiri dari 162 orang laki-laki dan 122 orang
perempuan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) terdiri dari 13 orang laki-laki
dan 6 orang perempuan, pedagang barang klontong terdiri dari 5 orang
perempuan, peternak 1 orang, anggota legislatif 1 orang.
Dalam hal keagamaan, masyarakat desa Tlogorejo semuanya
adalah pemeluk agama Islam. Dengan demikian di Desa Tlogorejo
terdapat prasarana peribadatan yang berupa 4 masjid dan 5 mushola.
(Data diperoleh dari data profil desa tlogorejo tahun 2014 dan
wawancara dengan bapak Arif sebagai sekretaris desa Tlogorejo).
B. Pelaksanaan Praktek Bagi Hasil Mukhabarah di Desa Tlogorejo
Di awal penulisan, penulis telah memaparkan tentang hal-hal yang
dilakukan dalam praktek mukhabarah. Hal-hal tersebut meliputi akad,
pembagian hasil dan zakat yang harus dibayarkan serta alasan yang
mendasari dilakukannya praktek mukhabarah tersebut. Di bawah ini
penulis akan memaparkan hasil observasi praktek mukhabarah yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo kecamatan Grabag Kabupaten
Magelang.
61
1. Awal Mula Terjadinya Akad Mukhabarah
a. Jenis Kerjasama
Jenis kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat desa
Tlogorejo adalah bagi hasil. Karena dilihat dari awal akad
perjanjiannya, yaitu bahwa pemilik tanah menyerahkan tanahnya
untuk dikerjakan kepada petani penggarap dengan persetujuan
ketika panen maka hasilnya dibagi antara pemilik tanah dan petani
penggarap.
Awal mula terjadinya akad mukhabarah ini yaitu
pertemuan antara pemilik tanah dan petani penggarap. Dalam
pertemuan tersebut ada niat salah satu diantara mereka, yang
mengawali pertemuan tersebut bisa pemilk tanah mendatangi
petani penggarap untuk menyerahkan tanahnya agara digarap
ataupun sebaliknya yaitu petani penggarap mendatangi pemilik
tanah untuk meminta tanahnya agar bisa digarap.
Hal yang melatar belakangi kerjasama selain yang di atas,
juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Pemilk tanah yang tidak
mempunyai waktu untuk menggarap sawahnya maka digarapka,
sehingga sawah tersebut menjadi aset tabungan. Sedang bagi petani
karena memang kebutuhan ekonomi yang kurang, maka mencari
berbagai usaha, maka terjadilah kerjasama mukhabarah tersebut.
b. Akad Perjanjian mukhabarah di Desa Tlogorejo
62
Akad mukhabarah dalam pertemuan antara pemilik tanah
dan petani penggarap tersebut yang dilakukan masyarakat desa
Tlogorejo adalah secara lisan tanpa ada tulisan hitam diatas putih,
karena mereka saling percaya satu dengan yang lain. Dalam akad
tersebut tidak ada saksi, hanya antara pemilik sawah dan petani
penggarap. Sebagai contoh akad secara lisan apabila pemilk tanah
yang terlebih dahulu mencari tenaga penggarap sawah adalah:
Pemilik tanah: “aku mempunyai sawah di depan desa sana,
tetapi aku tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
menggarap sawah itu, selain itu tenaga saya juga sudah
tidak kuat seperti dulu, apakah bapak bersedia menggarap
sawah saya ?, nanti setelah sawah itu panen hasilnya kita
bagi berdua. Tetapi benih dan biaya penggarapan dari
bapak”.
Petani penggarap: iya pak saya siap dan bersedia menggarap
tanah bapak, kebetulan saya juga masih kurang
penghasilannya”.
Sedang bentuk akad yang lakukan apabila petani penggarap
yang mencari pekerjaan atau menawarkan diri atas
kesanggupannya unutuk menggarap sawah orang lain adalah
sebagai contoh:
Petani penggarap: “Pak saya ingin menggarap sawah bapak
yang ada di depan desa itu, karena saya dalam memenuhi
63
kebutuhan keluarga masih kurang, dan tenaga saya masih
siap untuk menggarap sawah bapak”
Pemilik sawah: “ow iya pak tidak mengapa, silahkan
digarap, karena kebetulan waktu saya tidak bisa untuk
menggarap sawah itu. Tapi biaya penggarapan dan benih
dari bapak”.
Perjanjian bagi hasil pertanian yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Tlogorejo ada yang hanya mengurusi masalah
perairan saja. Artinya semua modal baik itu tanah atau sawah,
bibit, peralatan pertanian serta tenaga pengolahan adalah dari
pemilk tanah, sedang petani penggarap hanya bertanggung jawab
atas peraian sawah tersebut. Ddalam hal pembagian hasilnya petani
yang hanya bertnaggung jawab atas perairan sawah tersebut
bagiannya adalah 1/10. Akan tetapi perjanjian diatas jarang
dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo. (wawancara dengan
Bapak Arif 2 Februari 2016).
c. Kesepakatan Atas Benih Atau Jenis Tanaman
Melihat akad di atas maka bentuk akad yang dilakukan oleh
masyarakat desa Tlogorejo yaitu lahan atau sawah pertanian
berasal dari pemilk sawah sedang benih dari petani penggarap.
64
Dalam pemilihan jenis tidak ada kesepakatan kalau benih dari
kedua belah pihak, akan tetapi benih dari petani penggarap saja.
Jumlah benih yang disediakan harus menyesuaikan dengan luasnya
lahan yang akan digarap. Dalam pemilihan benih, pemilik sawah
mengikuti petani penggarap. (wawancara dengan bapak Nardi 1
Februari 2016). Dalam pemilihan benih yang akan ditanam, Bapak
Slamet sebagai petani penggarap juga mengungkapkan bahwa
benih ditentukan oleh petani penggarap, sedang pemilik tanah
hanya mengikuti saja.
Jenis benih yang rata-rata ditanam di Desa Tlogorejo adalah
benih padi. Karena lahan yang terluas di Desa Tlogorejo adalah
lahan persawahan. Namun selain benih padi yang biasa menjadi
objek mukhabarah tersebut, benih sayurang dan kacang-kacangan
juga menjadi objek mukhabarah. Seperti yang diungkapkan oleh
Ibu Nuriyah sebagai pemilik tanah, bahwa ia menerima hasil
paroan sawah terkadang berupa sayur-sayuran, kacang-kacangan
dan juga padi. Namun Ibu Nuriyah mengaku tidak pernah
mengetahui awal mula pemilihan bibit yang akan ditanam. Hanya
saja ia diberitahukan ketika akan panen.
d. Biaya Penggarapan
Dalam awal akad mukhabarah yang dipraktekan oleh
masyarakat Desa Tlogorejo di atas, disebutkan bahwa beban
pembiayaan penggarapan sawah atau ladang sepenuhnya
65
ditanggung oleh petani penggarap. Dalam penggarapan sawah
tersebut biaya yang dikeluarkan oleh petani penggarap bermacam-
macam sesuai jenis benih yang akan ditanam dan luas sawah atau
ladang tersebut.
Besar biaya penggarapan sawah atau ladang yang
dikeluarkan oleh Bapak Slamet salah satu petani penggarap, yang
menggarap sawah seluas ± 700 𝑚2 dengan perkiraan dana sebesar
Rp. 500.000,- yang sudah meliputi segala hal yang diperlukan
dalam penggarapan sawah, yaitu; biaya benih padi (karena dalam
hal ini Bapak Slamet memilih Benih padi yang akan ditanam),
pembajakan sawah, biaya penanaman benih dalam bahasa jawa
disebut tandur, biaya pupuk dan pemanena padi.
e. Alasan melakukan Mukhabarah
Selama proses observasi peneliti menemukan beberapa
alasan sebab mereka (pemilik tanah dan petani penggarap)
melakukan mukhabarah, diantaranya yaitu:
a. Bagi pemilik lahan:
karena tidak mempunyai waktu banyak untuk menggarap
sawahnya, artinya pemilik tanah mempunyai kesibukan
lain atau aktifitas lain sehingga tidak sempat menggarap
sawahnya sendiri, kemudian diserahkanlah tanah itu
kepada petani penggarap agar bisa dimanfaatkan.
66
Selanjutnya karena pemilik tanah sudah tidak mampu lagi
mengolah tanahnya atau sawahnya disebabkan usia yang
sudah tua atau tenaganya sudah tidak mampu.
Untuk menolong petani penggarap dengan membuka
lapangan pekerjaan bagi petani yang memang tidak
mempunyai lahan pertanian dan tidak mempunyai
pekerjaan tetap.
b. Bagi petani penggarap:
Karena untuk mencari hasil tambahan, karena hanya
memiliki sawah atau tanah yang sempit.
Karena tidak mempunyai sawah, tetapi mempunyai
keahlian yang bagus untuk mengelolah sawah.
Karena faktor ekonomi yang masih kurang dalam
memenuhi kebutuhan keluarga.
f. Hak Dan Kewajiban
Setelah melakukan akad maka kewajiban pemilik sawah
adalah menyerahkan sawahnya dan hak petani penggarap adalah
menerimanya. Pemilik tanah menunggu hasil panen sawahnya.
Sedangkan kewajiban petani penggarap adalah mengelola dan
mengolah tanah tersebut mulai dari benih hingga biaya
pengolahannya. Kemudian ketika sawahnya panen maka kedua
belah pihak berhak menerima hasil panenan sawah tersebut sesuai
dengan akad yang dilakukan di awal.
67
g. Keuntungan Bagi Pemilik dan Penggarap
Bagi pemilk sawah beban pekerjaannya terasa lebih ringan,
karena kesibukan yang lain sudah menyita banyak waktu. Sehingga
dengan adanya mukhabarah pemilik sawah tetap mendapatkan
hasil atau keuntungan dari sawahnya. Selain itu bapak Damhuri
sebagai pemilik sawah menyatakan dengan adanya mukhabarah,
dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi pertani yang tidak
memiliki sawah untuk digarap atau dapat dikatakan lapangan
pekerjaan bagi buruh tani dan juga menjadi tabungan tersendiri
bagi pemilk sawah karena tinggal menunggu hasil panenan.
Bagi penggarap ada yang berpendapat yaitu bapak Slamet
sebagai petani penggarap, ia menungkapkan kerjasama
mukhabarah tersebut tidak begitu menungtungkan, karena apabila
disamakan dengan buruh maka hasilnya sedikit lebih banyak
daripada penggarapan sawah orang lain, akan tetapi dengan adanya
mukhabarah ini dapat menambah penghasilan bagi beliau. Selain
bapak Slamet, bapak Nardi selaku petani penggarap
mengungkapkan sengan adanya mukhabarah ini ia merasa lebih
beruntung, karena tidak memiliki tanah ataupun ladang maka
dengan adanya mukhabarah penggarap sangat diuntungkan dengan
adanya penghasilan dari penggarapan sawah.
2. Subjek dan Objek Mukhabarah
a) Subjek
68
Subjek dari praktek mukhabarah ini adalah pemilik tanah
dan petani penggarap. Subjek yang melakukan akad mukhabarah
di Desa Tlogorejo ini sudah memenuhi syarat yaitu kedua belah
pihak („aqidain) telah dewasa, berakal dan cakap dalam melakukan
perjanjian ini. Salah satu dari masyarakat Desa Tlogorejo yang
melakukan akad mukhabarah adalah Bapak Damhuri selaku
pemilk tanah, ia adalah seorang guru yang berusia sekitar 60
tahun, dan Bapak Slamet sebagai petani penggarap, ia seorang
petani yang berusia sekitar 55 tahun.
b) Objek
Objek dalam praktek mukhabarah ini adalah sawah atau
lahan pertanian, bibit, tenaga pekerja serta peralatan pertanian.
Objek mukhabarah yang berupa lahan pertanian adalah benar-
benar milik dan sah kepunyaan pemilik sawah, sedang objek
mukhabarah yang berupa bibit, tenaga dan alat pertanian dari pihak
petani penggarap. Sawah yang menjadi objek mukhabarah salah
satunya adalah sawah milik Bapak Damhuri yang berada di sebelah
selatan dusun Tlogorejo dan luas sekitar ± 700 𝑚2. Tanah tersebut
memang sah kepemilikan bapak Damhuri dan diakui batas-
batasnya oleh pemilik sawah yang berseberangan.
3. Jangka Waktu Perjanjian
Praktek mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Tlogorejo dalam jangka waktu perjanjian penggarapannya tidak secara
69
jelas disebutkan lama waktunya, misalkan dua atau tiga tahun, akan
tetapi dalam awal akad antara pemilik tanah dan penggarap sawah
sepakat bahwa lama penggarapan sawah tersebut adalah sampai salah
satu pihak memutuskan untuk berhenti dari akad tersebut. Lamanya
waktu penggarapan tersebut ada yang sampai berpuluh-puluh tahun,
salah satu petani penggarap yang sudah lama menjadi petani penggarap
adalah bapak Slamet, ia menjadi petani penggarap sudah sejak remaja
sampai sekarang, yang mana umurnya sekitar 60an tahun. Selain bapak
slamet petani penggarap lain adalah bapak Nardi ia menjadi petani
penggarap sudah 14 tahun.
Dalam perjanjian awal akad tidak ada batasan lamanya
penggarapan. Karena dalam penggarapan sawah itu tidak pasti akan
cuacanya, maka dari itu akad yang dilakukan oleh bapak Slamet dalam
hal jangka waktu penggarapan sawah tidak dibatasi waktu seperti
kontrak sawah. Maka dari itu apabila penggarap tidak mampu lagi
maelanjutkan pekerjaannya sesuai perjanjian diawal boleh dilanjutkan
oleh anaknya atau ahli warisnya selama pemilik tanah masih
menginginkan sawah tersebut untuk digarapkan. (wawancara dengan
bapak Slamet 01 Februari 2015).
Karena jangka waktu penggarapan dalam perjanjian atau akad
tidak ditentukan atau tidak dibatasi, maka perjanjian tersebut dapat
diakhiri kapan saja. Artinya apabila dari pemilik tanah menginginkan
mengakhiri akadnya atau ingin mengambil kembali tanahnya maka itu
70
bisa dilakukan, meskipun petani penggarap masih mengingkan sawah
tersebut untuk digarap. Dan sebaliknya apabila dari pihak penggarap
ingin mengakhiri akad atau ingin menyerahkan kembali tanah yang
digarap karena sudah tidak mampu lagi melanjutkan pekerjaanya atau
dalam penggarapanya mengalami kesulitan seperti masalah perairan,
maka hal itu tetap bisa dilakukan. Karena asas yang digunakan adalah
rela sama rela atau saling ridho.
Dalam hal mengambil kembali tanah tersebut pemilik tanah tatap
memperhatikan kepada kondisi tanaman yang mungkin masih belum
siap panen, maka pemilik tanah harus menunggu sampai tanaman
tersebut siap untuk dipanen. Sebaliknya petani penggarap jika ingin
menyerahkan kembali tanah yang digarap maka tatap harus
memperhatikan kondisi tanaman.
4. Pelaksanaan Bagi Hasil
Bagi hasil adalah hal yang harus dilakukan antara dua orang yang
melakukan perjanjian atau akad. Dalam akad mukhabarah, pembagian
hasil adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi agar kerjasama
mukhabarah itu dianggap sah.
Pelaksanaan pembagian hasil panen dalam praktek mukhabarah
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo presentasenya adalah
50 : 50. Hal itu karena pada kesepakatan awal akad antara pemilik
tanah dan petani penggarap sawah telah sepakat apabila nanti
sawahnya panen, maka bagian masing-masing adalah 50 : 50
71
berapapun hasil panenan tersebut. Misalkan hasil panenan sawah
adalah berupa padi (dalam bahasa jawa gabah) satu ton, maka bagian
masing-masing adalah 500 kg beras. Ketika hasil panen itu langsung
dijual (dalam bahasa jawa ditebaske) maka uang hasil penjualan
tersebut dibagi rata 50%. (wawancara dengan bapak damhuri 30
Januari 2016).
Dengan pembagian hasil 50 : 50 tersebut antara pemilik tanah dan
petani penggarap tidak ada yang merasa dirugikan, karena diantara
mereka saling menguntungkan dan saling membutuhkan. Meskipun
petani penggarap masih bertanggung jawab atas benihnya, tetapi ia
merasa beruntung, karena meskipun ia tidak punya tanah untuk
ditanami, tetapi ia masih bisa bercocok tanam dan bisa mendapatkan
hasil panenan. Begitu juga pemilik tanah, meskipun ia tidak bersusah
payah menggarap sawahnya, akan tetapi karena ia menyerahkan
tanahnya atau sawahnya untuk digarap orang lain, ia tetap
mendapatkan hasil panenan dari sawahnya.
Pada saat perhitungan bagi hasil, biaya penggarapan sawah sudah
dihitung dari bagian 50:50 tersebut. Artinya bagian 50% untuk petani
penggarap sudah termasuk biaya selama penggarapan sawah tersebut
dan 50% untuk pemilik sawah. Dengan pembagian tersebut petani
penggarap tetap menerimanya karena dengan modal benih dan tenaga
bisa untung. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Slamet selaku
petani penggarap, bahwasanya biaya penggarapan sawah mulai dari
72
benih sampai pemanenan apabila dibandingkan dengan hasilnya maka
ia bisa mendapatkan keuntungan, walaupun keuntungan itu tidak pasti
nominalnya. Sedangkan pemilik sawah mendapatkan bagian 50%
karena sudah modal sawah atau ladangnya untuk ditanami.
Contoh pembagian hasil paroan sawah adalah yang dilakukan oleh
Bapak Slamet, ia menggarap sawahnya Bapak Damhuri seluas ± 700
𝑚2 dengan hasil yang tidak pasti karena pengaruh cuaca, yaitu ± 3
kwintal kemudian hasil panen tersebut dibagi rata 50:50, yaitu 1,5
kwintal untuk pemilk sawah yaitu Bapak Damhuri dan 1,5 kwintal
untuk petani penggarap yaitu Bapak Slamet.
Contoh kedua pembagian hasil paroan sawah atau ladang yaitu
yang dilakukan oleh Bapak Jamroni, ia (Bapak Jamroni) menggarap
sawah miik Ibu Nuriyah yang luasnya ±185 𝑚2, sawah atau ladang
tersebut ditanami sayur-sayuran dan hasil panenan tersebut dijual
dalam bahasa jawa ditebaske seharga Rp. 780.000,- kemudian uang itu
dibagi rata antara Bapak Jamroni dan Ibu Nuriyah yaitu Rp. 390.000,-
untuk Bapak Jamroni sebagai petani penggarap dan Rp. 390. 000,- bagi
Ibu Nuriyah sebagai pemilik sawah.
Contoh pembagian hasil panen yang ketiga adalah yang dilakukan
oleh Bapak Asrori sebagai petani penggarap, ia menggarap sawah yang
dimiliki oleh Ibu Nuriyah seluas ± 97 𝑚2 dan menghasilkan hasil
panenan berupa padi sebanyak 3 karung, kemudian hasil tersebut
dibagi rata antara Bapak Asrori dan Ibu Nuriyah dengan bagian
73
masing-masing 1,5 karung untuk Bapak Asrori sebagai petani
penggarap dan 1,5 karung untuk ibu nuriyah sebagai pemilik sawah.
5. Zakat Hasil Panenan
Setelah pemilik tanah mengetahui banyak atau sedikitnya hasil
panenan yang sudah dibagi dengan petani penggarapa, selanjutnya
adalah pembayaran zakat hasil panenan sawah tersebut. Seperti yang
telah dipaparkan di awal, bahwa yang berkewajiban membayar zakat
adalah pemilik tanah, maka apabila hasil panenanya melebihi nisab
yang telah ditentukan oleh syariat maka pemilik tanah berkewajiban
membayarkan zakatnya.
Hasil wawancara dengan bapak Slamet salah satu petani
penggarap, bahwa hasil panenan sawah dalam satu kali panen tidak
lebih dari 500 kg. Maka dari itu bagi pemilik tanah tidak wajib zakat
atas hasil panenan sawahnya. Karena telah diketahui diawal
pembahasan, bahwa nishab zakat pertanian adalah lima wasaq yaitu
sekitar 536 kg dan zakat dikeluarkan dalam setiap panen bukan setiap
tahun. Ketika peneliti wawancara dengan bapak Damhuri salah satu
pemilik tanah yang digarap oleh petani penggarap, bahwa dengan hasil
panenan sawahnya yang sedemikian, tidak menghalangi beliau untuk
bershodaqah sebagai rasa syukur beliau atas rezeki yang diperolehnya.
74
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK BAGI HASIL
MUKHABARAH DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN GRABAG
KABUPATEN MAGELANG
75
A. Analisis Praktek Bagi Hasil Mukhabarah Di Desa Tlogorejo,
Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang Ditinjau Secara Hukum
Islam
Setiap perbuatan manusia terhadap manusia lain pasti akan ada
timbal balik dari perbuatan tersebut, karena manusia dalam melakukan
aktifitas kehidupanya tidak akan pernah bisa lepas dari bantuan manusia
lainya. Hal ini seperti apa yang ada dalam muammalah yaitu hubungan
antara manusia satu dengan manusia yang lain. Dalam Islam aturan
tentang muammalah telah dijelaskan dalam al-Quran maupun al-Hadist,
namun apabila dalam hal-hal yang terperinci belum dijelaskan dalam al-
Qura‟an maupun Hadist, islam mempunyai sumber-sumber hukum yang
menjadi landasan atau rujukan yaitu Ijmak (Konsensus), Qiyas (analogi),
Istihsian (Kibijakan Hukum), Mashlahah (Kemaslahatan), „Urf (Adat
Kebiasaan), Istishab (Kelangsungan Hukum) dan fatwa Nabi SAW Syar‟u
man qoblana (hukum agama samawi terdahulu).
Ilmu yang mempelajari tentang muammalah dalam Islam adalah
ilmu fiqih. Dalam menentukan suatu hukum tertentu, ilmu fiqih
menggunakan sumber-sumber hukum Islam tersebut di atas. Oleh karena
itu dalam ber-muammalah dapat merujuk sumber-sumber hukum Islam di
atas salah satunya menggunakan „urf yaitu suatu adat kebiasaan dalam
suatu masyarakat. Adat kebiasaan dalam masyarakat dapat dijadikan
sebagai hukum seperti yang disebutkan dalam kaidah fiqih “al-„Adalah
Muhakkamah”. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa „urf semacam ini
76
dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum, bahkan ahli
hukum dikalangan madzhab Malikiyah dan Syafi‟iyah menggunaka „Urf
sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Dalam hukum muammalah telah dijelaskan berbagai macam aturan
yang menyangkut dengan aktifitas manusia itu sendiri. Praktek
mukhabarah yang ada di Desa Tlogorejo adalah termasuk muammalah
karena di dalam mukhabarah terdapat hal-hal yang ditentukan dalam
bermuammalah, salah satunya adalah akad, yang mana dalam akad
tersebut terdapat dua orang yang saling berinteraksi untuk melakukan
perjanjian yang saling mengikat diantara kedua orang (aqidain) tersebut.
Dalam ilmu fiqih, peraturan tentang mukhabarah telah di jelaskan,
seperti akad, bagi hasil dan kewajiban membayar zakat. Di bawah ini
penulis akan mencoba melakukan analisis terhadap praktek bagi hasil
mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo Kecamatan
Grabag kabupaten Magelang ditinjau secara hukum Islam.
1. Akad
Mukhabarah adalah suatu kerjasama dalam bidang pertanian,
kerjasama ini bertujuan pada bagi hasil pertanian, yaitu ketika sawah
atau lahan pertanian itu panen, maka yang melakukan kerjasama
mukhabarah tersebut akan mendapatkan hasil dari kerjasama tersebut
dengan persentase tertentu sesuai kesepakatan. Dalam kerjasama
mukhabarah, yang melakukan perjanjian adalah pemilik sawah dan
petani pengarap.
77
Rata-rata masyarakat Desa Tlogorejo adalah petani, oleh karena itu
tidak heran apabila masyarakat Desa Tlogorejo melakukan Praktek
mukhabarah. Dalam melakukan praktek mukhabarah tersebut harus ada
pemilik tanah dan petani penggarap. Selain itu juga harus ada akad
perjanjian dan serah terima sawah atau lahan pertanian yang menjadi
objek dari mukhabarah tersebut dan ada kesepakatan tentang benih dan
peralatan pertanian serta kesepakatan pembagian atas hasil panen.
Seperti yang dijelaskan oleh Abdul Sami al-Mishri, Ulama telah
menuliskan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh objek akad
dalam sebuah akad:
e. Objek akad itu harus ada ketika dilakukan akad.
f. Objek akad harus disebutkan / dijelaskan secara transparan,
jelas dan terhindar dari gharar yang dapat menyebabkan
pertentangan pada kedua belah pihak.
g. Dapat menerima semua implikasi hukum yang ada karena yang
dilakukan di atsanya.
h. Dapat diserah terimakan.
Hal yang menjadi sorotan utama dan urgensi dalam mukhabarah
bahkan yang akan menentukan hak dan kewajiban adalah rukun
mukhabarah itu sendiri. Sedangkan rukun mukhabarah adalah „aqad
yaitu adanya ijab dan qabul atau serah terima. Dalam mukhabarah
akad tersebut meliputi modal dan pembagian hasil panenan. Modal
78
dalam praktek mukhabarah yaitu adanya tanah, perbuatan pekerja,
benih dan peralatan untuk menanam.
Orang yang melakukan akad („aqidain) dalam Islam disyaratkan
harus dewasa cakap dalam melakukan perbuatannya dan berakal. Selain
itu dalam akad yang ditujukan adalah maksud dan tujuanya. Akad yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo adalah secara lisan tanpa
ada bukti tertulis serta tidak dihadirkan saksi. Meskipun demikian
secara hulum Islam tetap sah karena dalam akad tersebut terdapat asas
keridhoan.
Masyarakat Desa Tlogorejo pada saat melakukan akad telah jelas
tujuanya yaitu untuk memberikan manfaat tanahnya (pemilik tanah) dan
menawarkan tenaganya (petani penggarap), dengan dibuktikan bahwa
salah satu diantara mereka saling mendatangi. Melihat masyarakat Desa
Tlogorejo yang melakukan akad mukhabarah adalah benar-benar orang
yang sudah dewasa dan berakal, maka akad yang dilakukan masyarakat
Desa Tlogorejo tersebut sudah memenuhi syarat dalam hukum Islam.
2. Modal
Hal yang ada dalam akad praktek mukhabarah salah satunya
adalah modal. Modal dalam praktek mukhabarah adalah berupa tanah
dari pemilik sawah atau ladang, benih yang akan ditanam dan tenaga
penggarap. Dalam Islam kepemilikan suatu modal harus jelas bahwa
79
modal tersebut benar-benar kepemilikannya. Melihat hal demikian,
modal yang ada dalam praktek mukhabarah di Desa Tlogorejo adalah
benar-benar dimiliki oleh pemilik tanah dan petani penggarap. Seperti
halnya tanah yang akan ditanami jelas batas-batasnya dan tanah tersebut
dapat ditanami.
Berkaitan dengan modal, Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila modal berupa lahan
atau sawah disediakan oleh pemilk lahan sedangkan bibit, alat pertanian
dan tenaga disediakan oleh petani penggarap maka akad mukhabarah
tersebut adalah sah.
Dalam praktek mukhabarah kedua belah pihak („aqidain) dapat
dikatakan sebagai pemodal, karena pemilik tanah adalah orang yang
mempunyai sawah atau lahan pertanian yang akan digarap, maka
pemilik tanah adalah sebagai pemodal tanah. Sedangkan petani
penggarap dikatakan pemodal karena benih yang akan ditanam serta
biaya perawatan selama proses penggarapan ditanggung oleh petani
penggarap, maka dalam hal ini petani penggarap sebagai pemodal
benih. Seperti halnya yang dikatakan oleh Syeikh al-Banjuri bahwa
pemilik lahan hanya menyerahkan tanahnya atau sawahnya untuk
digarap, sedangkan modal pertanian dari pengelola atau petani
penggarap.
Praktek bagi hasil mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Tlogorejo adalah bahwa benih, peralatan pertanian dan perbuatan
80
pekerja serta biaya penggarapan sawah adalah sepenuhnya berasal dari
petani penggarap, sedang lahan atau sawah adalah dari pemilik tanah.
Melihat realita mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Tlogorejo dilihat dari segi modal dapat dikatakan sesuai dengan hukum
Islam dan akad yang demikian adalah sah. Karena dalam melakukan
praktek mukhabarah tersebut berdasarkan atas kesukarelaan dan tidak
ada unsur keterpaksaan.
3. Jangka waktu perjanjian
Syarat yang berkaitan dengan mukhabarah adalah jangka waktu
perjanjian penggarapan. Waktu dalam perjanjian tersebut yang
berkaitan dengan waktu yaitu:
a. Waktunya telah ditentukan, yaitu dalam perjanjian penggarapan
sawah atau ladang ditentukan masa waktunya misalkan 3 sampai 4
kali panen atau 1 sampai 2 tahun tergantung pada kesepakatan.
b. Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud.
Seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan (tergantung
teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat dan
tanaman yang lain. Artinya waktu paling sedikit dalam perjanjian
pertanian ini sampai satu kali panen.
c. Waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut
kebiasaan.
81
d. Jangka waktu atau masa perjanjian tersebut terjadi selama-lamanya.
Artinya dalam akad mukhabarah tidak disebutkan atau dijelaskan
lamanya waktu penggarapan, maka hal itu juga sah.
Dalam perjanjian mukhabarah waktu perjanjiannya bersifat jaiz.
Artinya ketika salah satu diantara „aqidain menginginkan mengakhiri
perjanjian tersebut maka hal itu tetap diperbolehkan, karena diawal
akad memang tidak disebutkan lamanya masa perjanjian tersebut. Akan
tetapi ketika akan mengakhiri perjanjian tersebut kedua belah pihak
tetap memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan sawah atau lahan
pertanian, apakah sudah siap panen atau belum. Ketika sawah belum
panen dan yang melakukan akad tidak mampu lagi melanjutkan
pekerjaanya, maka dilanjutkan oleh ahli warisnya, baik itu ahli
warisnya dari pemilik tanah ataupun ahli warisnya dari petani
penggarap.
Jangka waktu dalam praktek mukhabarah yang dilakukan oleh
masyarakat Desa Tlogorejo secara hukum Islam maupun hukum positif
belum dikatakan sah karena dalam akadnya antara kedua belah pihak
(„aqidain ) tidak menyatakan secara jelas jangka waktu atau masa
berakhirnya perjanjian tersebut, apakah itu satu musim sampai dua
musim atau satu tahun sampai dua tahun, akan tetapi diantara mereka
ada saling percaya, saling rela dan adanya kebiasaan, serta diantara
mereka sudah saling mengenal. Melihat hal diatas maka perjanjian
mukhabarah yang berkaitan dengan waktu atau masa secara hukum
82
Islam dapat dikatakan sah karena adanya saling percaya dan kebiasaan
atau adat serta asas kerelaan.
4. Bagi hasil pertanian
Hal yang menjadi ujung dalam kerjasama mukhabarah adalah
pembagian hasil sawah atau ladang. Bagi hasil dalam mukhabarah
adalah bentuk dari pembagian keuntungan antara pemilik sawah dan
petani penggarap dari hasil pengolahan sawah atau ladang, yang mana
pembagian tersebut telah ditentukan persentasenya di awal akad.
Di dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara rinci tentang
persentase pembagian hasil pertanian, hanya saja disebutkan bahwa
dalam pembagian hasil panenan harus sesuai dengan akad yang
disepakati bersama antara pemilik tanah dan petani penggarap. Adapun
syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian hasil panen ialah,
pembagian hasil panen harus jelas persentasenya sesuai kesepakatan
para pihak serta hasil panen itu benar-benar milik orang yang berakad.
Artinya bahwa hasil panen yang dibagi tersebut benar-benar hasil dari
tanah yang menjadi objek mukhabarah serta tidak boleh dikurangi
sebelum ada pembagian, serta tidak boleh ada pengkhususan, seperti
halnya dikhususkan terlebih dahulu beberapa persen untuk petani
penggarap ataupun untuk pemilk tanah.
Dalam bagi hasil mukhabarah terdapat unsur-unsur yang menjadi
pokok dari bagi hasil tersebut, yaitu adanya pemilik sawah, adanya
petani penggarap dan adanya sawah atau ladang yang akan digarap.
83
Pembagian hasil pertanian tidak lepas dari pemodalan yang mana akan
menentukan persentase pembagian hasil panenan tersebut. Pembagian
hasil panenan yang dilakukan oleh masyarakat desa Tlogorejo
dilakukan dengan sistem paroan (dalam bahasa jawa) yaitu hasil
panenan dibagi rata (50 : 50). Dalam pembagian tersebut tanpa
dikurangi modal dari petani penggarap. Dengan pembagian yang
sedemikian petani penggarap tetap menerima dengan alasan karena
pemilik tanah sudah bermodal tanah. Selain itu, pembagian dengan cara
paroan tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat Desa Tlogorejo.
Hak pemilik tanah dan petani penggarap atas hasil panen tersebut
harus dipenuhi, yang mana dalam hasil panenan tersebut tidak ada
pengkhususuan terlebih dahulu, seperti dikurangi sekian persen untuk
benih. Hak-hak tersebut adalah mendapatkan bagiannya masing-
masing, yang mana bagian pemilik tanah adalah 50% dari panannya,
begitu juga hak petani penggarap, yaitu 50% dari hasil panenannya
tanpa dikurangi modal benih. Pembagian tersebut apabila dilihat dari
undang-undang nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil maka
belum pas, karena dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa
yang dinamakan hasil tanah ialah hasil bersih, yaitu hasil kotor setelah
dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam
dan panen.
Melihat uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa praktek
pembagian hasil mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat Desa
84
Tlogorejo secara hukum Islam tetap sah, karena dalam bermuammalah
asasnya adalah saling rela, saling menuntungkan dan saling percaya.
Selain itu pembagian tersebut sudah menjadi tradisi atau kebiasaan
(„urf) bagi masyarakat Desa Tlogorejo, yang mana kerjasama tersebut
sering dilakukan dengan cara maro (dalam bahasa jawah) sehingga
tidak bisa disalahkan menggunakan adat kebiasaan, karena adat
kebiasaan tersebut tidak bertentangan denga syari‟at Islam. Akan tetapi
dilihat dari undang-undang, pembagian tersebut belum memenuhi
syarat pembagian hasil. Akan tetapi belum dikatan sah dalam undang-
undang nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
5. Zakat dalam mukhabarah
Harta yang wajib dizakati sudah ditentukan, begitu juga dengan
kadar yang harus dibayarkan. Kewajiban itu bersifat mutlak dan berlaku
sampai akhir zaman serta tidak ada seorangpun yang berhak
mengubahnya. Zakat dalam mukhabarah diwajibkan atas yang
mempunyai tanah karena pada hakekatnya dialah yang bercocok tanam.
Sedang upah yang dihasilkan petani penggarap tidak wajib dikeluarkan
zakatnya. Hasil pertanian yang telah mencapai batas nisab maka wajib
dikeluarkan zakatnya. Sedangkan nisab yang ditentukan dalam hukum
Islam untuk pertanian adalah 5 wasaq yang setara dengan ± 563 kg.
Sedangkan dalam undang-undang nomor 2 tahun 1960 nisab bagi padi
adalah 14 kwintal. Sehingga apabila hasil pertanian yang kurang dari
85
nisab yang ditentukan maka tidak wajib mengeluarkan zakat atas hasil
pertanian tersebut.
Hasil panenan di Desa Tlogorejo rata-rata belum mencapai nisab
yang ditentukan, hal ini disebabkan lahan pertanian yang ada tidak
begitu luas, selain itu musim yang tidak begitu menentu mengakibatkan
hasil yang kurang memuaskan. Maka dari itu hasil panenan tersebut
tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan hasil panenan yang belum
mencapai nisab tersebut tidak menghalangi masyarakat Desa Tlogorejo
untuk bershodaqah atas rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh
Allah SWT.
Dari keselurahan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa
praktek mukhabarah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo
secara garis besar dilihat berdasarkan hukum Islam dapat dikatakan sah.
Karena dalam melaksanakannya merupakan „urf, maka muammalah
yang tidak bertentangan dengan syari‟at Islam adalah boleh. Karena
dalam kaidah fiqih disebutkan “al-“Adatu al-Muhakkamah”, yaitu adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.
B. Hikmah Adanya Praktek Mukhabarah
Kerjasama dalam kehidupan akan meciptakan manfaat besar dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Karena manusia adalah makhluk sosial yang
membutuhkan keberadaan orang lain dan diciptakan untuk saling
86
berinteraksi serta kerjasama. Dan hal tersebut akan tumbuh apabila dalam
masyarakat menjunjung nilai-nilai kerukunan.
Mukhabarah adalah kerjasama dalam pertanian, dimana pemilik
tanah dan petani penggarap saling mengikatkan dirinya untuk kerjasama.
Dalam mukhaharah terdapat pembagian hasil, untuk itu hal-hal yang
bersifat teknis di sesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama
dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak
dengan tujuan bisa saling menguntungkan. Disini manfaat dari
mukhabarah adalah dapat memanfaatkan sesuatu yang tidak dimiliki orang
lain sehingga tanah dapat digunakan dan dapat menghasilkan pemasukan
yang dapat membiayai kebutuhan sehari-hari.
Melihat dari hal-hal mengenai praktek mukhabarah khususnya
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo, terdapat beberapa
hikmah dan manfaat yang dapat diambil, berikut beberapa hikmahnya.
a. Asas tolong menolong, yaitu saling menolong bagi mereka yang
membutuhkan, disini adalah pemilk tanah dan petani penggarap.
pemilik tanah menolong petani penggarap karena faktor tertentu,
sedangkan petani penggarap menolong pemilik tanah karena faktor
tertentu yang tidak memungkinkan untuk mengerjakan sawahnya
sendiri.
b. Saling menguntungkan, yaitu ketika petani penggarap membutuhkan
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya maka dintungkan dengan
adanya pekerjaan yaitu mengerjakan sawah orang lain dengan
87
dibaginya hasil sawah tersebut. Sedangkan pemilik tanah
membutuhkan orang untuk mengerjakan sawanhya karena faktor
tertentu,, maka pemilik tanah merasa beruntung dengan adanya orang
yang mengerjakan sawahnya.
c. Melaksanakan tugas manusia sebagai kholifah di bumi, yaitu untuk
mencari rezeki dengan usaha dan jalan yang benar.
d. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
e. Mengurangi kemiskinan.
f. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki
kemampuan bertani tetapi tidak memiliki lahan atau tanah garapan.
g. Menumbuhkan kerukunan, karena adanya saling percaya dan saling
rela atau keridhoan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
88
Setelah memaparkan pembahasan tentang praktek bagi hasil
mukhabarah yang ada di Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten
Magelang, mulai dari observasi hingga analisis, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kerjasama pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo
Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang adalah aplikasi dari praktek
mukhabarah. Bagi hasil mukhabarah dilakukan oleh dua orang antara
pemilik sawah dan petani penggarap. Akad yang dilakukan adalah
akad secara lisan yang berisi kesepakatan kedua belah pihak tentang
penggarapan sawah dan pembagian hasilnya. Dalam kesepakatan
tersebut, hasil panenan dibagi rata antara pemilk sawah dan petani
penggarap yaitu 50% : 50% atau dalam bahasa jawa disebut maro,
yang mana biaya penggarapan sawah mulai dari benih dan lain-lain
ditanggung oleh petani penggarap.
2. Jika ditinjau secara Hukum Islam, praktek bagi hasil mukhabarah di
Desa Tlogorejo tersebut sudah memenuhi kriteria Hukum Islam,
karena dengan alasan sebagai berikut: (a) Praktek bagi hasil
mukhabarah tersebut sudah menjadi adat kebiasaan setempat.
Sedangkan dalam Hukum Islam ada dapat dijadikan hukum, dengan
kaidah: مح صمة ول وا اة “Adat Kebiasaan dapa dijadikan hukum”. (b)
Tidak menimbulkan perselisihan karena saling ridho. (c) Praktek bagi
hasil mukhabarah tersebut saling menguntungkan antara pemilik
89
sawah dan petani penggarap. (d) Adanya asas tolong menolong,
sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Amat berat siksa-Nya”.
Dari kesimpulan di atas, maka praktek bagi hasil mukhabarah yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten
Magelang ditinjau secara hukum Islam adalah sudah sesuai. Akan tetapi
apabila dilihat dari undang-undang nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian
Bagi Hasil, maka praktek tersebut belum tepat.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Sebaiknya pada saat melakukan akad perjanjian mengikuti zaman,
yaitu adanya surat perjanjian yang tertulis serta saksi, agar dapat
dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugasnya masing-masing
orang yang bersangkutan.
2. Hendaknya dalam melakukan pembagian hasil memperhatikan
peraturan yang telah ditentukan oleh negara apabila dipandang mampu
melaksanakan, meskipun dalam pembagian 50:50 atau satu karung :
satu karung, sudah saling sepakat dan rela.
90
3. Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat Desa Tlogorejo
Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang tentang bagi hasil pertanian,
hendaknya Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga mengadakan sosialisasi tentang undang-undang nomor 2
tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Yasid. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma‟had Aly terhadap Wacana Hukum
Islam Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
91
Al-Mishri, Abdul Sami‟. 2006. Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 1997. Pengantar Hukum Islam.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Anwar, Syamsul. 2010. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: Rajawali.
Azam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muammalat Sistem Tranksaksi dalam
Islam. Jakarta: Amzah.
Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-asas Hukum Mu‟ammalah (Hukum Perdata
Islam). Yogyakarta: UII Press
Bigha, Mustofa Dibbul. Tanpa tahun. Fiqih Syafi‟i Terjemah ST. Tahdzib. Putra
Pelajar.
Djazuli, Ahmad. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah hukum Islam
Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Djuwaini, Dimyaudin. 2010. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Emzir. 2011. Analisis Data: Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali
Pers.
Fadal, Moh. Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta Barat: CV.Arta Rivera.
Farkhani. 2011. Ilmu Hukum Sebuah Pengantar. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Fathoni, Abdurrahmat. 2011. Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan
Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamid, A.T. 1983. Ketentuan Fiqh dan Ketentuan Hukum Yang Kini Berlaku Di
Lapangan Hukum Perikatan. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Hasbi, Muhammad Teungku as-Shiddieqy. 1997. Hukum-Hukum Fiqh Islam.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
J.Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kuakitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
92
Lam bin Ibrahim, Abdullah. 2005. Fiqih Finansial. Surakarta: Era Intermedia.
Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah Bagi Mahasiswa.
Yogyakarta: TrustMedia.
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Nawawi, Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum
Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial. Bogor: Ghalia Indonesia
Nurul Hak. 2011. Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah. Yogyakarta: Teras.
Pasaribu, Chairuman & Suhrawadi K. Lubis. 1996. Hukum Perjanjian Dalam
Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus umum Bahasa Indonesia. Jakarta Balai
Pustaka.
Rahman, Ahzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf.
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rofiq, Ahmad. 2004. Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sabiq, Sayiyd. 1978a. Fikih Sunnah 3. Bandung: PT Alma‟arif.
___________. 1978b. Fikih Sunnah 11. Bandung: PT Alma‟arif.
___________. 1987c. Fikih Sunnah 12. Bandung: PT Alma‟arif.
Sahrani, Sohari & Abdullah, Ruf‟ah. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suhendi, Hendi. 2010a. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
_____________. 2014b. Fiqh Muammalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Suwiknyo, Dwi. 2010. Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam Buku Referensi
Progam Studi Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana.
Lidwa Pusaka i-Software. www.lidwapusaka.com
93
0
LAMPRIAN
1
DAFTAR NILAI SKK MAHASISWA REGULER
Nama : Mukhammad Sukron
NIM : 214 11 007
Fakultas : Syariah
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah (HES)
Dosen PA : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
No Kegiatan Waktu Keterangan Point
1 User Education (Pendidikan Pemakai)
UPT Perpustakaan STAIN Salatiga
19 September
2011 PESERTA 2
2
Malam Keakraban (MAKRAB)
Mahasiswa Syariah “Bertajuk
Semalam”. HMJ Syariah
09 Oktober
2011 PANITIA 3
3 Pendidikan Dasar KSEI ke XII 19 November
2011 PESERTA 3
4 Seminar Regional IPNU Kab.
Semarang dan PMII Kota Salatiga
22 November
2011 PESERTA 4
5 Penerimaan Anggota Baru (PAB) JQH
STAIN Salatiga
02 Desember
2011 PESERTA 2
6 Pendidikan KSEI Tingkal Lanjut
(PKTL) 01 April 2012 PSERTA 3
7 Akhirussanah Ma‟had STAIN Salatiga
2012 07 Juni 2012 PANITIA 2
8 Gorah Masal Divisi Tilawah JQH
STAIN Salatiga 12 Mei 2012 PESERTA 2
9 Pelatihan Advokasi DEMA & HMJ
Syariah STAIN Salatiga 17 Mei 2012 PESERTA 3
10 Seminar Nasional Ekonomi Syariah.
KSEI STAIN Salatiga 02 Juni 2012 PANITIA 8
11 Lokakarya Imsakiyah 1433 H/2012M.
Oleh Progam Ahwal Al-Syakhsiyah 20 Juni 2012 PESERTA 2
2
STAIN Salatiga
12
CERTIFICATE PYRAMID
ENGLISH COURSE at July 10th-
August 9th 2012
09 Agustus
2012 PESERTA 3
13 Opak STAIN Salatiga 2012 07 September
2012 PESERTA 3
14 Opak Jurusan Syariah 2012 09 September
2012 PESERTA 3
15
Lomba Karya Tulis Ekonomi Syariah
“Ekonomi Islam Kini dan Nanti”.
KSEI STAIN Salatiga
20 Oktober
2012 PANITIA 2
16 Penerimaan Anggota Baru (PAB) JQH
STAIN Salatiga
17-18
November 2012 PANITIA 3
17
Seminar Nasional “Peran Lembaga
Perbankan Syariah Dengan Adanya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). HMJ
Syariah
29 November
2012 PANITIA 8
18
Seminar Nasional “Upaya Menata
Progam Studi Ekonomi Syariah Pasca
Terbitnya peraturan Direktur Jendral
Pendidikan Islam Nomor 1429 Tahun
2012. Jurusan Syariah STAIN Salatiga
06 Desember
2012 PESERTA 8
19
SK Ketua Jurusan Syariah STAIN
Salatiga Tentang Susunan Pengurus
HMJ Syariah STAIN Salatiga Periode
2013
24 Januari 2013 4
20 Diklat Ekonomi Islam KSEI STAIN
Salatiga
4-5 Februari
2013 PANITIA 3
21 Pendidik Tingkat Lanjut KSEI STAIN
Salatiga 30 maret 2013 PANITIA 3
3
22
Seminar Nasional dan Dialog Publik
“Minimnya Pasokan Energi Dalam
Negeri” HMJ Tarbiyah dan HMJ
Syariah STAIN Salatiga
20 April 2013 PANITIA 8
23
Seminar Nasional “Perjuangan Kaum
Perempuan Dalam Kesetaraan Hukum
Islam di Indonesia”. Percik dan
STAIN Salatiga
30 April 2013 PESERTA 6
24
Seminar Nasional dan Dialaog Publik
“Penyesuaian Harga BBM
Bersubsidi”. HMJ Syariah STAIN
Salatiga
27 Juni 2013 PANITIA 8
25
SK Ketua Jurusan Syariah STAIN
Salatiga Tentang Susunan Panitia
OPAK Jurusan STAIN Salatiga 2013
22 Agustus
2013 4
26 OPAK STAIN Salatiga 2013 26-27 Agustus
2013 PANITIA 3
27 OPAK Syariah STAIN Salatiga 2013 29 Agustus
2013 PANITIA 3
28
Seminar Internasional “Politik Jihad
dan Terorisme” Jurusan Syariah
STAIN Salatiga
11 September
2013 PESERTA 8
29
Surat Keputusan Ketua Jurusan
Syariah & Ekonomi Islam STAIN
Salatiga Tentang Susunan Pengurus
HMJ Syariah &Ekonomi Islam
STAIN Salatiga Periode 2014. Sebagai
Devisi Wacana
24 Januari 2014 4
30 Kursus Pembina Pramuka Mahir
Tingkat Dasar (KMD).
03 – 08 Maret
2014 PESERTA 3
4
Diselenggarakan oleh Kwartir Cabang
Kota Salatiga.
31
Pelatihan Advokasi “Membangun
Mahasiswa Cerdas, Peduli & Sadar
Sebagai Agent Of Change. HMJ &
Ekonomi Islam STAIN Salatiga
23-24 Mei 2014 PANITIA 3
32
Seminar Imsakiyah Ramadhan 1435
H. Prodi Ahwal al-Syakhsiyah STAIN
Salatiga
26 Mei 2014 PESERTA 2
33 OPAK Jurusan Syariah & Ekonomi
Islam 2014 20-21 Juni 2014 PANITIA 3
34
Sekolah Pasar Modal (SPMS) “Level
Basic 1 atau Pendidikan Tingkat 1”
KSEI STAIN Salatiga
13 Oktober
2014 PANITIA 3
35
Seminar Nasional “Optimalisasi
Sumber daya Insani Terhadap
Lembaga Keuangan Syariah” KSEI
STAIN Salatiga
14 Oktober
2014 PANITIA 8
36
Tabligh Akbar “Membangun Karakter
Mahasiswa Islamic Entrepreneurship”.
KSEI STAIN Salatiga
14 Oktober
2014 PANITIA 3
37 Workshop Pendidikan Anti Korupsi.
HMJ &Ekonomi Islam
24-25
November 2014 PANITIA 3
38 CERTIFICATE Of TOEFL Predection
Test. UPB STAIN Salatiga
10 Februari
2015 PESERTA 3
39
Surat Tanda Tamat Belajar pleh Badan
Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat dalam
Kegiatan Pemantapan Ideologi Bangsa
dan Nasionalisme Angkatan II TA.
10-12 Juni 2015 PESERTA 3
5
2015
6
7
8
9
10
11
12
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Mukhammad Sukron
Tempat /Tanggal Lahir : Magelang 15 Januari 1992
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Tlogorejo, RT 03 RW 01, Grabag Magelang
Nomor Telephon : 08572 877 8041
Riwayat Pendidikan : 1. SDN Tlogorejo Lulus Th. 2004
2. MTs Darul Falah Pringsurat Lulus Th. 2008
3. MAN Parakan Temanggung Lulus Th. 2011
Data Orang tua
Nama Ayah : Muhlasin (Alm)
Tempat/Tanggal Lahir : Magelang, 1960
Alamat : Tlogorejo, RT 03 RW 01, Grabag Magelang
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Nama Ibu : Nuriyah
Tempat/Tanggal Lahir : Magelang, 27 Mei 1966
Alamat : Tlogorejo, RT 03 RW 01, Grabag Magelang
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh Harian Lepas