tinjauan hukum islam terhadap pembagian harta...

84
i TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS ANAK MURTAD (Studi Kasus Pembagian Waris Keluarga Alm. Bapak Salim di Dusun Pendem Kecamatan Argomulyo Salatiga) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh: Zaid Hidayatul Muflih NIM : 21113001 JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2018

Upload: duonganh

Post on 18-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN

HARTA WARIS ANAK MURTAD

(Studi Kasus Pembagian Waris Keluarga Alm. Bapak Salim di

Dusun Pendem Kecamatan Argomulyo Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Zaid Hidayatul Muflih

NIM : 21113001

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2018

ii

iii

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga

Di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan

dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:

Nama : Zaid Hidayatul Muflih

NIM : 21113001

Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

PEMBAGIAN HARTA WARIS ANAK MURTAD (Studi Kasus

Pembagian Waris Keluarga Alm. Bapak Salim di Dusun Pendem

Kecamatan Argomulyo Salatiga)

dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan

dalam sidang munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan

digunakan sebagimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga,

Pembimbing,

Dra. Siti Muhtamiroh, M.SI.

NIP. 19681229199303 2 001

iv

PENGESAHAN

Skripsi Berjudul:

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS

ANAK MURTAD (Studi Kasus Pembagian Waris Keluarga Alm. Bapak

Salim di Dusun Pendem Kecamatan Argomulyo Salatiga)

Oleh:

Zaid Hidayatul Muflih

NIM : 21113001

telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari’ah,

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Senin, tanggal 2 April

2018, dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar

sarjana dalam hukum Islam

Dewan Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang : Dr. Illya Muhsin, M.SI ...............................................

Sekretaris Sidang : Luthfiana Zahriani, S.H., M.H..............................................

Penguji I : Yahya, S.Ag., M.H.I. ...............................................

Penguji II : H. M. Yusuf Khummaini, M.H. ............................................

Salatiga, 4 April 2018

Dekan Fakultas Syari’ah

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Nakula Sadewa V No.9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722

Website : http://syariah.iainsalatiga.ac.id/ E-mail : [email protected]

v

Dr. Siti Zumrotun, M.Ag.

NIP.19670115 199803 2 002

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Zaid Hidayatul Muflih

NIM : 21113001

Jurusan : Hukum Keluarga Islam

Fakultas : Syari’ah

Judul Skripsi : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN

HARTA WARIS ANAK MURTAD (Studi Kasus Pembagian Waris Keluarga

Alm. Bapak Salim di Dusun Pendem Kecamatan Argomulyo Salatiga)

menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri,

bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang

terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga,

Yang menyatakan

Zaid Hidayatul Muflih

NIM: 21113001

vi

MOTTO

Pantang Mundur Sebelum Mencoba

Belajar Dari Kesalahan Untuk Mencapai Kesuksesan

Nuhoni Dharmaning Satriyo Tomo

Suro Diro Joyo Diningrat Lebur Dening Pangastuti

vii

PERSEMBAHAN

Bapak dan Ibuku tercinta, Bapak Jali dan Ibu Warsini yang selalu memberikan

kasih sayang, semangat dan doa kepada anak-anaknya.

Kakak tercinta, Razif Hidayat yang selalu memberi kasih sayang dan dukungan.

Keluarga Besar dari Bapak Jali dan Ibu Warsini yang selalu memberi doa dan

dukungan kepada penulis.

Ibu Sunariyah dan Hafizh yang sudah seperti Ibu dan adik, yang selalu

memberikan semangat dan doa.

Dosen-dosen Fakultas Syari’ah yang selalu memberikan ilmunya dan selalu

membimbing penulis selama berkuliah di IAIN Salatiga.

Sahabat-sahabatku Jurusan Hukum Keluarga Islam angkatan tahun 2013 yang

saling support dalam perkuliahan dan selalu kompak saat di luar perkuliahan.

Saudara-saudara baru saya dari perguruan Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati

Terate “PSHT” Komisariat IAIN Salatiga yang selalu memberikan dukungan

moral dan doa.

viii

ABSTRAK

Muflih, Zaid Hidayatul. 2018. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembagian

Harta Waris Anak Murtad (Studi Kasus Pembagian Waris Keluarga

Alm. Bapak Salim di Dusun Pendem Kecamatan Argomulyo Salatiga).

Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut

Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Muhtamiroh,

M.SI.

Kata Kunci: waris, murtad, dan musyawarah

Ketentuan menjadi ahli waris diatur dalam Al Quran, adapun penghalang-

penghalang tidak bisa mendapat warisan yaitu karena pembunuhan, berbeda

agama, dan perbudakan. Ahli waris yang murtad memungkinkan menjadi salah

satu penyebab sengketa pembagian harta waris, karena Hukum Waris Islam

melarang saling mewarisi antara orang muslim dan non muslim. Namun dalam

praktek pembagian waris di keluarga alm. Bapak Salim, anak alm. Bapak Salim

yang murtad memperoleh warisan berdasarkan musyawarah keluarga. Masalah

dalam penelitian ini adalah bagaimana cara pembagian waris terhadap anak

murtad yang dilakukan oleh keluarga almarhum Bapak Salim, dan Tinjauan

Hukum Islam mengenai pembagian waris anak murtad.

Metode yang penulis gunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan cara

wawancara terhadap ahli waris dari alm. Bapak Salim. Pendekatan yang

digunakan penulis adalah sosiologis normatif. Pendekatan sosiologis ini bertujuan

untuk mengetahui cara pembagian waris terhadap anak murtad dan pendekatan

normatif bertujuan untuk mengetahui perspektif Hukum Islam terhadap

pembagian waris anak murtad berdasarkan musyawarah di keluarga alm. Bapak

Salim.

Hasil penelitian mengenai pembagian harta waris yang dilakukan oleh

keularga alm. Bapak Salim adalah menggunakan musyawarah keluarga. Menurut

Hukum Islam pembagian harta waris untuk ahli waris yang murtad sudah jelas

tidak boleh. Berdasarkan Hukum Islam agar harta waris seorang muslim yang

memiliki ahli waris yang berbeda agama adalah dengan jalan memberi hibah atau

wasiat sebelum si pewaris meninggal dunia.

ix

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena

berkat rahmat-Nya penulisa skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan

yang diharapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah

diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi ini.

Sholawat serta salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad

SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat, dan teman teman. Syafaat beliau

sangat penulis nantikan dihari pembalasan nanti.

Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana dalam Hukum Islam, Fakultas Syari’ah, jurusan

Hukum Keluarga Islam yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Pembagian Harta Waris Anak Murtad (Studi Kasus Pembagian Waris Keluarga

Alm. Bapak Salim di Dusun Pendem Kecamatan Argomulyo Salatiga).” Penulis

mengakui bahwa dalam menyusun penelitian skripsi ini tidak dapat diselesaikan

tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah penulis mengucapkan terima

kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi , M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN

Salatiga.

3. Ibu Dra. Siti Muhtamiroh, M.SI, selaku Dosen Pembimbing yang selalu

memberi pemahaman, saran, arahan, dan masukan mengenai skripsi penulis

sehingga dapat terselesaikan dengan maksimal sesuai dengan apa yang

diharapkan.

4. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf Administrasi

Fakultas Syari’ah yang selalu memberikan ilmunya dan membimbing penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ayah dan Ibu selaku orangtua yang sangat penulis cintai dan hormati karena

pengorbanan, serta restu yang diberikan mereka selalu memberi semangat

kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini.

x

DAFTAR ISI

COVER .............................................................................................................. i

NOTA PEMBIMBING ...................................................................................... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................................. iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN.............................................................. iv

MOTTO.............................................................................................................. v

PERSEMBAHAN .............................................................................................. vi

ABSTRAK ........................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6

E. Penegasan Istilah ...................................................................................... 7

F. Telaah Pustaka .......................................................................................... 8

G. Metode Penelitian ..................................................................................... 12

H. Sistematika Penulisan Skripsi ................................................................... 16

BAB II WARIS DAN ANAK MURTAD ......................................................... 18

A. Waris ......................................................................................................... 18

1. Pengertian Waris .................................................................................. 18

2. Dasar-Dasar Hukum Waris .................................................................. 19

3. Asas-Asas Hukum Waris ..................................................................... 21

xi

4. Rukun Waris ........................................................................................ 27

5. Syarat-Syarat Waris ............................................................................. 30

6. Penggolongan Ahli Waris .................................................................... 30

7. Sebab-Sebab Terhalangnya Kewarisan................................................ 35

B. Murtad ...................................................................................................... 37

BAB III DATA HASIL PENELITIAN ............................................................. 41

A. Gambaran Umum Dusun Pendem .............................................................. 41

B. Profil Keluarga Alm. Bapak Salim ............................................................. 45

C. Ahli Waris ................................................................................................... 48

BAB IV ANALISIS PEMBAGIAN HARTA WARIS TERHADAP ANAK

MURTAD .......................................................................................................... 50

A. Pembagian Waris Keluarga Bapak Salim ................................................... 50

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembagian Waris Anak Murtad ............ 55

BAB V KESIMPULAN ..................................................................................... 66

A. Kesimpulan ................................................................................................. 66

B. Saran ........................................................................................................... 67

C. Penutup ....................................................................................................... 68

DAFTA PUSTAKA ...........................................................................................

LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai sebuah ajaran dan tatanan baru, memperbaiki pola

kehidupan masyarakat Jahiliyah pada peradaban Arab membawa pengaruh

besar terhadap kehidupan. Islam sendiri hadir sebagai pembawa cahaya

kehidupan tidak hanya mengatur masalah ketuhanan dengan berbasiskan

ketauhidan, akan tetapi mengatur segala sendi kehidupan yang bertujuan agar

nilai-nilai kemanusiaan tidak terkikis oleh sifat buruk manusia. Dengan

demikian, Islam sebagai agama yang diyakini oleh semua pemeluknya

dimaknai sebagai jalan kehidupan untuk menemukan jalan kebahagiaan dan

kesejatian hidup baik di dunia dan akhirat.

Manusia sebagai makhluk yang bersifat fana tentu akan mengalami

peristiwa alam dalam kehidupannya yaitu kematian. Kematian juga tidak bisa

diprediksi kapan datangnya. Matinya manusia akan meninggalkan hal-hal

yang bersifat keduniaan, baik itu meninggalkan kerabat, orang tua, saudara,

pekerjaan, dan harta bendanya. Seseorang yang mengalami peristiwa

kematian sering timbul permasalahan terkait harta benda yang ditinggalkan.

Beberapa masalah diantaranya ialah perebutan tentang hak atas harta benda

yang ditinggalkan oleh anggota keluarganya.

Hukum yang mengatur tentang harta peninggalan orang yang sudah

meninggal dunia dinamakan Hukum Waris. Hukum tentang tata cara

penerusan hak dan peralihan hak yang bendanya berwujud atau tidak

2

berwujud dari seorang pewaris kepada ahli waris, menduduki peranan penting

dalam Hukum Islam. Mengutip pernyataan Soepomo dari buku “Hukum Adat

Indonesia” yang mengatakan waris itu memuat peraturan-peraturan yang

mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda

dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari

suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya. Proses ini tidak

menjadi penting apabila orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya

Bapak atau Ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan

tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan

pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut (Soekanto & Taneko,

1990: 287-288). Oleh sebab itu pelaksanaan dan praktek penerusan dan

peralihan harta waris diatur dalam Al Qur’an untuk menciptakan rasa

keadilan terhadap semua pemeluknya.

Firman Allah SWT Surat An-Nisaa’ ayat 58:

....

“Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya, (dan menyuruh kamu) apabila

menetapkan hukum di antara manusia-manusia supaya kamu menetapkan

dengan adil” (QS. An-Nisaa’ (4):58)

Ayat Al Qur’an di atas menjelaskan dan memerintahkan kepada para

penguasa, masyarakat, dan umat Islam agar adil dalam setiap urusan dan

masalah yang dihadapi. Oleh karena itu dalam menyelesaikan perkara

pembagian harta waris, sebagai umat Islam yang patuh terhadap agama yang

3

dianutnya maka harus menciptakan rasa keadilan kepada para ahli waris demi

kemaslahatan bersama.

Agama Islam sendiri dalam menentukan besar kecilnya nilai harta waris

untuk dibagi ke ahli waris menjadi sangat penting, karena laki-laki dan

perempuan sudah berbeda bagiannya yaitu laki-laki mendapat bagian dua dan

perempuan mendapat bagian satu (2:1). Akhir-akhir ini dalam masyarakat

sendiri muncul praktik pembagian waris berdasarkan kesetaraan, yaitu satu

banding satu untuk laki-laki dan perempuan (1:1). Terkait dengan munculnya

pembagian waris ini di masyarakat, jika masyarakat telah mengetahui hakikat

tentang ilmu waris, maka betapa tinggi dan mulia penguasaan para sahabat

tentang ilmu Hukum Waris Islam, akan tetapi sangat disayangkan apabila

terkadang masyarakat dalam praktiknya mengabaikan ketentuan-ketentuan

pembagian waris sebagaimana telah diatur dalam Al Qur’an. Firman Allah

dalam Surat An-Nisaa’ ayat 11 disebutkan sebagai berikut:

....

“Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)

anak-anak, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua

orang anak perempuan....” (An-Nisaa’ (4):11)

Ada pula beberapa penghalang untuk seseorang mendapatkan hak

warisnya, yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perdebatan ialah perbedaan

agama di antara ahli waris. Hukum Waris Islam mengatur:

4

ثىا أت عاصم عه اته جزيج عه اته شاب عه عهي ته حسيه عه عمز ته عثمان حد

سهم قال ل يزث انم عهي عىما أن انىثي صه للا سهم عه أسامة ته سيد رضي للا

ل انكافز انمسهم انكافز

“Artinya: Abu Ashim, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Shihab, dari Ali bin Husain,

dari Amru bin Utsman, dari Usamah bin Zaid ra, Mendengar Nabi SAW

bersabda: Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir

tidak mewarisi dari orang muslim” (HR. Bukhori no 6764).

Hadits di atas melarang jika saling mewarisi antara orang Muslim

dengan orang non Muslim atau orang non Muslim dengan orang Muslim

ialah tidak diperbolehkan (Basyir, 2001:149). Menurut Hukum Islam sendiri

yang diperbolehkan jika ahli waris berbeda agama ialah hibah kepada ahli

waris yang terhalang ketika saat pewaris masih hidup, dan itu bukan termasuk

dalam kewarisan melainkan adalah hadiah.

Masalah waris berbeda agama ini dialami oleh keluarga almarhum

Bapak Salim yang bertempat tinggal di Dusun Pendem, Kelurahan Ledok,

Kecamatan Argomulyo, Salatiga. Almarhum Bapak Salim memiliki tiga

orang anak. Dua dari hasil pernikahan dengan istri pertama yang telah cerai

dan satu dari pernikahan dengan istri yang kedua. Ketika istri pertama

mempunyai suami lagi yang beragama Kristen, kedua anak dari hasil

pernikahan almarhum Bapak Salim dan istri pertama juga ikut berpindah

agama menjadi Kristen. Almarhum Bapak Salim akhirnya mempunyai

seorang anak laki-laki dari pernikahannya dengan istri yang kedua. Pada

waktu Bapak Salim ini meninggal dunia, dia meninggalkan tiga orang anak,

seorang istri (pernikahan kedua) dan ayah kandungnya. Setelah empat puluh

5

hari meninggalnya almarhum Bapak Salim, kedua anak murtad (seorang anak

laki-laki dan seorang anak perempuan) meminta bagian waris kepada istri

almarhum Bapak Salim yang kedua, namun secara tegas kakek (ayah Bapak

Salim) menolak untuk memberikan harta waris kepada cucu yang sudah

berpindah agama tersebut. Kenyataannya dalam pembagian waris keluarga

almarhum Bapak Salim, kedua anaknya yang murtad (dari hasil pernikahan

dengan istri pertama) dan seorang anak yang muslim (dari hasil pernikahan

dengan istri yang kedua), istri kedua, dan kakek (ayah Bapak Salim) masing-

masing mendapat bagian waris, namun sebelumnya tidak ada hibah kepada

anak-anaknya yang murtad tersebut.

Dari permasalahan yang dihadapi keluarga almarhum Bapak Salim

tersebut, penulis menemukan beberapa fenomena menarik untuk

ditindaklanjuti. Salah satu yang membuat penulis tertarik yakni permintaan

anak Bapak Salim yang telah murtad namun masih meminta bagian warisan

dari ayahnya. Dengan permasalahan tersebut, penulis berkeinginan untuk

membuat sebuah penelitian berjudul TINJAUAN HUKUM ISLAM

TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS ANAK MURTAD (Studi

Kasus Pembagian Waris Keluarga Almarhum Bapak Salim di Dusun

Pendem Kecamatan Argomulyo Salatiga).

6

B. Rumusan Masalah

Dari permasalahan di atas, penulis merumuskan masalah yang menjadi

pokok permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana cara pembagian waris terhadap anak murtad yang dilakukan

oleh keluarga almarhum Bapak Salim?

2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap pembagian waris anak murtad

di keluarga almarhum Bapak Salim?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok masalah, adapun tujuan dari penulisan bertujuan

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui cara pembagian waris terhadap anak murtad yang

dilakukan oleh keluarga almarhum Bapak Salim.

2. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap pembagian waris anak

murtad di keluarga almarhum Bapak Salim.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penulisan adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Agar dapat memberikan sumbangan pemikiran dan penyesuaian

Hukum Waris di Indonesia.

b. Agar dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam upaya

penyesuaian permasalahan-permasalahan Hukum Islam kontemporer

yang sedang dihadapi umat Islam.

7

c. Sebagai referensi untuk masyarakat yang ingin mempelajari Hukum

Waris.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Keluarga Bapak Salim

Memberikan informasi terkait dasar hukum dan pelaksanaan

warisan untuk ahli waris apabila ada yang murtad sehingga

diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai

Hukum Islam terhadap pembagian waris untuk anak murtad.

b. Bagi Peneliti

Memberikan ilmu pengetahuan dan pembenaran pola pikir

dalam menganalisa bagaimana pelaksanaan pembagian waris apabila

ada ahli waris yang murtad serta memberi wawasan terkait tinjauan

Hukum Islam terhadap pembagian waris untuk anak murtad.

c. Bagi Mahasiswa

Memberi wawasan dan pemahaman kepada mahasiswa

sebagai informasi untuk penelitian lebih lanjut.

E. Penegasan Istilah

1. Hukum Waris

Hukum Waris adalah ilmu yang mempelajari tentang proses

perpindahan harta waris peninggalan pewaris kepada ahli waris. Hukum

Waris ini membahas tentang cara pembagian harta waris, pengetahuan

tentang cara perhitungan, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang

wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik harta waris. Sengketa

8

pewarisan timbul apabila ada orang yang meninggal, kemudian terdapat

harta benda yang ditinggalkan, dan terdapat orang-orang yang berhak

menerima harta yang ditinggalkan itu, tetapi tidak ada kesepakatan dalam

pembagian harta warisan itu (Hasbiyallah, 2007:1-2).

2. Murtad

Secara etimologi kata murtad (riddah) dari segi bahasa berarti ruju’

(kembali). Menurut istillah riddah adalah orang yang kembali dari agama

Islam, pelakunya disebut murtad yaitu ia secara resmi berani menyatakan

kafir setelah beriman. Di sini yang dikehendaki dengan murtad adalah

kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa ke kekafiran dengan

kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain, baik itu laki-laki

ataupun perempuan (Sabiq, 1984:168).

3. Musyawarah

Musyawarah adalah suatu upaya bersama dengan sikap rendah hati

untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil

penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan

keduniawian.

F. Telaah Pustaka

Penelitian terhadap masalah waris sebenarnya telah banyak dilakukan.

Beberapa penelitian tersebut ialah:

Pertama, skripsi dari Muhammad Ali As’ad dengan judul Pelaksanaan

Hukum Waris dalam Masyarakat Islam (Studi Kasus Atas Pelaksanaan

Pembagian Waris Di Kelurahan Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota

9

Salatiga). Skripsi ini membahas tentang hukum kewarisan yang digunakan

masyarakat Kelurahan Tingkir Kecamatan Tingkir Kota Salatiga ialah

menggunakan perbandingan laki-laki dan perempuan (1:1) dan juga

terkadang menggunakan perbandingan (2:1). Analisa skripsi tersebut

membahas tentang pemahaman masyarakat Tingkir Lor tentang hukum

kewarisan serta praktik pembagian waris tersebut. Jenis penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah field research, yaitu penelitian dengan

cara terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian terhadap objek

yang dibahas. Pendekatan yang dipakai menggunakan tiga pendekatan,

pertama normatif, yaitu pendekatan masalah yang diteliti berdasarkan aturan

norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kedua, pendekatan sosiologis,

yaitu pendekatan dengan melihat fenomena kenyataan praktek pelaksanaan

pembagian waris di dalam masyarakat. Ketiga pendekatan historis, yaitu

pendekatan dengan memperhatikan sejarah yang menjadi dasar pembagian

waris dilakukan sesuai dengan kurun waktu yang berbeda-beda terkait

dengan masalah pelaksanaan pembagian waris di Kelurahan Tingkir Lor

Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.

Kedua, Skripsi dari Istiarini Cahyaningsih dengan judul Analisa

Putusan Pengadilan Agama Depok Tentang Ahli Waris Beda Agama dan

Perkara Yang Putus Secara Ultra Petita. Skripsi ini membahas tentang

putusan Pengadilan Depok yang melebihi apa yang diminta oleh penggugat

atau disebut Ultra Petita. Di dalam pasal 178 ayat (3) HIR serta dalam pasal

189 ayat (3) Rbg yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan

10

Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia telah melarang Hakim mengadili

dan memberi putusan melebuhi apa yang ada dalam petitum atau apa yang

dituntut oleh penuntut. Untuk melakukan penelitian terhadap masalah ini,

penulis menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan menggunakan

analisa isi, dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan

yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang

diajukan.

Ketiga, Skripsi dari Iga Alfianta dengan judul Tinjauan Yuridis

Pembagian Harta Warisan Pasangan Suami Istri Yang Beda Agama

(Perspektif Hukum Islam dan KUHPerdata). Skripsi ini membahas tentang

tinjauan hukum positif dan tinjauan Hukum Islam tentang pembagian harta

waris oleh pasangan berbeda agama. Walaupun apabila sebelum membahas

pembagian harta waris pasangan berbeda agama, perkawinan berbeda agama

menurut Hukum Positif dan Hukum Islam sendiri sudah di larang. Menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama tidak

dibenarkan dan tidak sah. Walau demikian pernikahan beda agama masih ada

di masyarakat. Pendekatan yang digunakan penulis ialah menggunakan

pendekatan normatif dan yuridis.. pendekatan normatif dengan cara melihat

dalil-dalil atau nash Al Qur’an dan hadits Nabi saw dan pendekatan yuridis

dengan cara penulis berpedoman kepada KUHPerdata dan Kompilasi Hukum

Islam.

Keempat, Skripsi dari Andhita Sellasari dengan judul Kedudukan Ahli

Waris Yang Beda Agama Dengan Pewaris Terhadap Pembagian Harta

11

Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam. Penelitian tersebut membahas

tentang kedudukan ahli waris yang berbeda agama serta lembaga pengadilan

mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara pewaris dan ahli

warisnya yang berbeda agama. Metodologi yang dipakai dalam penulisan ini

adalah yuridis normatif (legal research) yaitu penelitian yang difokuskan

untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma yang ada di

dalam hukum positif yang berlaku. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan Undang-Undang (statue approach) dan pendekatan konseptual

(conseptual approach).

Kelima, Skripsi dari Moh. Mujib dengan judul Kewarisan Beda Agama

Studi Perbandingan Terhadap Putusan PA Jakarta No. 377/pdt.G/1993 dan

Kasasi MA. No. 368.K/AG/1995. Pokok masalah dalam penulisan skripsi ini

ialah mengenai dasar-dasar pertimbangan hukum Pengadilan Agama tidak

memberikan harta pusaka terhadap ahli waris yang berbeda agama dengan

pewaris. Serta keputusan yang dijadikan dasar oleh Mahkamah Agung

memberikan hak waris kepada ahli waris non Muslim dengan jalan wasiat

wajibah, serta relevansi wasiat wajibah terhadap realitas kontemporer. Jenis

penelitian yang digunakan penulis adalah dengan menggunakan jenis

penelitian kepustakaan dengan sifat diskriptif analitik dan komparatif. Di sini

penulis melakukan pencarian dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

putusan Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung, lalu keduanya di analisa

dan dibandingkan antara putusan di Pengadilan Agama dan Mahkamah

Agung. Pendekatan yang digunakan penulis ialah menggunakan pendekatan

12

normatif, yaitu pendekatan yang menuju pada persoalan dapat tidaknya

sesuatu dipergunakan sesuai syariat Islam, yaitu dengan berpegang teguh

pada landasan pemikiran sesuai dengan tujuan nash, baik Al Qur’an dan

sunnah.

Dari beberapa penelitian yang ada, terdapat kedekatan judul dengan

judul penelitian yang penulis lakukan. Namun penelitian yang penulis

lakukan berbeda dengan penelitian yang lainnya. Perbedaannya adalah pada

permasalahan yang penulis fokuskan. Penulis menitikberatkan pada Hukum

Islam mengatur permasalahan pembagian harta waris terhadap anak murtad

di keluarga almarhum Bapak Salim.

G. Metode Penelitian

Penelitian membutuhkan data-data yang dapat memberikan kebenaran

dari suatu ilmu pengetahuan. Di mana penelitian itu ialah untuk

mengembangkan, menemukan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan

dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Untuk menghasilkan data-data

yang akurat maka dilakukan secara sistematis, sehingga penentuan metode

adalah langkah awal dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

keadaan atau fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan

13

memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2011:6). Dalam

penelitian kualitatif ini, metode yang digunakan untuk mendukung hasil

penelitian yaitu wawancara dan dokumentasi.

Penelitian ini berusaha untuk memahami bagaimana pembagian

warisan pada ahli waris yang murtad di keluarga almarhum Bapak Salim.

Selanjutnya, penelitian ini juga membahas mengenai tinjauan Hukum

Islam terhadap pembagian harta waris anak murtad tersebut.

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai pengumpul data di

lapangan dengan ditunjang alat penelitian yang membantu dalam

pengumpulan data di lapangan. Selain itu, alat yang dijadikan untuk

pengumpulan data bisa berupa dokumen-dokumen yang menunjang hasil

penelitian nanti serta alat-alat bantu lain yang dapat mendukung

terlaksananya penelitian, seperti kamera dan alat perekam.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat di mana peneliti akan mengambil

data untuk penelitian. Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian di

Dusun Pendem, Desa Ledok, Kecamatan Argomulyo, Salatiga.

4. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang langsung

didapatkan dari lapangan atau lokasi penelitian. Sumber data primer

yang penulis dapatkan yaitu:

14

1) Informan

Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi

tentang hal-hal yang berhubungan dengan penelitian. Dalam

penelitian nanti yang menjadi informan adalah Ibu Sunariyah dan

Nur Hariyanti.

2) Dokumentasi

Dokumentasi yang digunakan penulis dalam memperoleh

data-data penelitian yakni direkam melalui alat perekam dan

pengambilan gambar.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari

berbagai bacaan atau hasil penelitian sebelumnya yang bertema sama

dengan penelitian ini. Jadi, sumber data lain yang bisa mendukung

penelitian ini adalah dengan telaah pustaka seperti buku-buku, jurnal,

atau hasil penelitian sebelumnya.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan ialah sebagai

berikut:

a. Wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

(interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara

(interviewee) (Arikunto,1998:115). Di sini yang menjadi sumber

informasinya adalah Ibu Sunariyah (istri kedua almarhum Bapak

Salim) dan Nur Hariyanti (anak murtad).

15

b. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau

variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah

dan sebagainya. Metode ini sumber datanya masih tetap dan belum

berubah. Dengan metode ini yang diamati adalah bukan benda hidup

tetapi benda mati (Arikunto, 1998: 236). Adapun dokumen-dokumen

yang penulis ambil dari penelitian ini adalah berupa foto-foto saat

proses wawancara dengan Ibu Sunariyah, Nur Hariyanti, dan Bapak

Sarjono (Ketua RW Dusun Pendem).

c. Studi Pustaka yaitu penelitian yang mengambil data dari bahan-bahan

tertulis seperti buku-buku, penelitian sebelumnya, dan jurnal yang

berkaitan dengan Hukum Waris Islam.

6. Teknik Analisa Data

Data mentah yang telah dikumpulkan oleh penulis tidak akan ada

gunanya jika tidak dianalisa. Analisa data merupakan hal yang amat

penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisalah data tersebut

dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah

penelitian (Nazir, 1988: 405).

Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan sosiologis

normatif. Pendekatan sosiologis di sini untuk mencari tahu bagaimana

keluarga almarhum Bapak Salim dalam membagikan harta warisan

almarhum Bapak Salim. Sedangkan pendekatan normatif digunakan

untuk mengetahui bagaimana dan sampai sejauh mana Hukum Waris

16

Islam mengatur tentang pembagian waris terhadap anak yang telah

murtad.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data dimaksudkan untuk menghindari

adanya kekeliruan atau kesalahan yang terlewati oleh penulis. Dalam

pengecekan keabsahan data di sini dilakukan dengan cara

membandingkan observasi atau pengamatan langsung dengan wawancara

terhadap para informan, yaitu dengan membandingkan hasil wawancara

terhadap Ibu Sunariyah, Nur Hariyanti.

H. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk mempermudah dalam memahami skripsi serta mengikuti

petunjuk penulisan skripsi yang ada, maka penulisan skripsi ini penulis susun

secara sistematis sebagai berikut:

1. Bagian Muka

Bagian ini terdiri dari halaman sampul, lembar berlogo, halaman

judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan kelulusan,

pernyataan keaslian tulisan, halaman motto, halaman persembahan,

halaman abstrak, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi.

2. Bagian Isi

Pada bagian ini disusun dari beberapa bab, yaitu:

Bab pertama Pendahuluan, dalam bab ini dibahas mengenai latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

17

penilitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian, dan

sistematika penulisan skripsi.

Bab kedua Kajian Teoritis, dalam kajian ini menguraikan berbagai

teori-teori yang diambil dari berbagai literatur mengenai penjelasan

singkat kajian pustaka tentang Hukum Waris dan anak murtad.

Bab ketiga Pembagian Waris Di Keluarga Almarhum Bapak Salim,

dalam bab ini berisi letak geografis Dusun Pendem Kelurahan Ledok

Kecamatan Argomulyo Salatiga, profil sejarah keluarga almarhum Bapak

Salim, siapa saja yang mendapat warisan, dan bagian-bagian yang didapat

masing-masing ahli waris.

Bab keempat Analisis, dalam bab ini berisi analisa sehingga apa

yang menjadi tujuan penulis akan tercapai yang terdiri dari landasan-

landasan Hukum yang dipakai dalam pembagian waris tersebut, faktor-

faktor yang menyababkan anak murtad tersebut mendapatkan warisan,

dan tinjauan Hukum Islam tentang memberi waris terhadap anak yang

murtad.

Bab kelima Penutup, dalam bab ini penulis menyampaikan

kesimpulan dan saran-saran dari hal-hal yang penulis dapatkan pada

pembahasan terdahulu.

3. Bagian Akhir

Bagian ini berisi daftar pustaka, dan lampiran-lampiran.

18

BAB II

WARIS DAN ANAK MURTAD

A. Waris

1. Pengertian Waris

Kata Mawaris diambil dari bahasa arab yang berarti harta

peninggalan tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang

berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-

masing. Fiqh mawaris kadang-kadang disebut juga dengan istilah al-

faraidh bentuk jamak dari kata fardh, artinya kewajiban dan atau bagian

tertentu. Apabila dihubungkan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh

(Hukum Waris Islam) maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara

membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia

kepada yang berhak menerimanya (Muhibin & Wahid, 2009:7-8).

Prof T.M Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fiqhul Muwarits

sebagaimana dikutip oleh Budiono (1995:1) telah memberikan pengertian

tentang Hukum Waris, yaitu ilmu yang dapat diketahui orang-orang yang

mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang diterima

oleh masing-masing ahli waris serta cara pengambilannya. Definisi

Hukum Waris Islam menurut AS-Syarbini, yaitu ilmu fiqh berpautan

dengan pembagian harta warisan, pengetahuan tentang cara perhitungan

yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan

pengetahuan mengenai begian-bagian wajib dan harta peninggalan untuk

setiap pemilik warisan. Para Fuqaha mendefinisikan Hukum Waris Islam

19

sebagai suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang

menerima warisan, serta kadar yang diterima tiap-tiap ahli waris dan cara

membaginya (Budiono & Rahmat, 1999:1-2).

2. Dasar-Dasar Hukum Waris

Ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan baik secara

langsung maupun tidak langsung di dalam Al Qur’an dapat dijumpai

dalam beberapa surat dan ayat, sebagai berikut:

a. Menyangkut tanggung jawab orang tua dan anak ditemui dalam QS.

Al-Baqarah ayat 233.

b. Menyangkut harta pusaka dan pewarisnya ditemui dalam QS. An-

Nisaa’ ayat 33, QS. Al-Anfal ayat 75, dan QS. Al-Ahzab ayat 6.

“Artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan Ibu Bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-

pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah

setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.

Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” (QS. An-Nisaa’

(4):33)

20

“Artinya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang

mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah Ibu-Ibu

mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu

sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah

daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali

kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama).

Adal yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah)” (QS. Al-

Ahzab(33): 6)

c. Menyangkut aturan pembagian harta warisan ditemui dalam QS. An-

Nisaa’ ayat 7-14, 34, dan 176 (Thalib, 1995:4).

“Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan

Ibu-Bapak dan kerabatnya , dan bagi orang wanita ada hak bagian

(pula) dari harta peninggalan Ibu-Bapak dan kerabatnya, baik sedikit

atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisaa’

(4): 7)

d. Hadits-hadits yang memberikan penjelasan tambahan mengenai

kewarisan (berisi pengertian pembantu).

ثىا أت عاصم عه اته جزيج عه اته شاب عه عهي ته حسيه عه عمز حد

عهي عىما أن انىثي صه للا سهم قال ته عثمان عه أسامة ته سيد رضي للا

ل انكافز انمسهم ل يزث انمسهم انكافز

“Artinya: Abu Ashim, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Shihab, dari Ali bin

Husain, dari Amru bin Utsman, dari Usamah bin Zaid ra, Mendengar

Nabi SAW bersabda: Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir,

dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (HR. Bukhori

no.6764)

21

3. Asas-Asas Hukum Waris

a. Prinsip Ijbari

Prinsip ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang yang telah

meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.

Dalam Hukum Waris Islam, dijalankannya prinsip ijbari ini berarti

bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia

kepada ahli warisnya, berlaku dengan sendirinya sesuai dengan

kehendak Allah, tanpa bergantung kepada kehendak pewaris atau ahli

waris. Ditegaskannya prinsip ijbari dalam Hukum Waris Islam, tidak

dalam arti yang memberatkan ahli waris. Andai kata pewaris

mempunyai hutang lebih besar daripada warisan yang

ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani membayar semua hutang

pewaris itu. Berapapun besarnya hutang pewaris, hutang itu hanya

akan dibayar sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut

kalau seluruh warisan sudah dibayarkan hutang, kemudian masih ada

sisa hutang, maka ahli waris tidak diwajibkan membayar sisa hutang

tersebut. Kalaupun ahli waris hendak membayar sisa hutang itu, maka

pembayaran itu bukan merupakan suatu kewajiban yang diletakkan

oleh hukum, melainkan karena akhlak ahli waris yang baik (Budiono

& Rahmat, 1999:3).

Apabila dilihat dari segi Hukum Kewarisan KUHPerdata,

tampak perbedaannya bahwa peralihan harta dari seseorang yang

telah meninggal dunia kepada ahli warisnya bergantung pada

22

kehendak dan kerelaan ahli waris yang bersangkutan. Ahli waris

dalam KUHPerdata dimungkinkan untuk menolak warisan.

Dimungkinkannya penolakan warisan ini karena jika ahli waris

menerima warisan, ia harus menerima segala konsekuensinya, dan

salah satunya adalah melunasi seluruh hutang pewaris.

b. Prinsip Individual

Prinsip Individual adalah warisan dapat dibagi-bagikan kepada

ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli

waris berhak atas bagian warisan yang didapatkan tanpa terikat oleh

ahli waris yang lain. Ketentuan mengenai prinsip individual ini dalam

Hukum Waris Islam terdapat dalam Al Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 7,

yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap orang, laki-laki atau

perempuan berhak menerima warisan dari orang tua maupun kerabat

dekatnya. Pengertian berhak atas kewarisan tidak berarti bahwa

warisan itu harus dibagi-bagikan. Bisa saja warisan tidak dibagi-

bagikan asal hal ini dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan,

atau keaadan mengehendakinya. Misalnya seseorang suami mau

meninggal dunia, meninggalkan seorang istri dan anak-anak yang

masih kanak-kanak. Apapun alasannya dalam keadaan seperti ini

menghendaki kewarisan untuk tidak dibagi-bagikan. Tidak

dibagikannya warisan ini demi kebaikan ahli waris sendiri, dan tidak

menghapuskan hak waris dari para ahli waris yang bersangkutan

23

c. Prinsip Bilateral

Prinsip bilateral adalah bahwa baik laki-laki maupun perempuan

dapat mewarisi dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yakni pihak

kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan. Tegasnya jenis

kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.

Prinsip bilateral ini, dalam Hukum Waris Islam dapat dengan nyata

dilihat dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 7, 11, 12, dan 176.

Secara umum, Al Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 7 menerangkan

mengenai prinsip bilateral, sedangkan ayat 11, 12, 176 merinci lebih

jauh mengenai siapa saja yang dapat mewarisi dan berapa besar

bagiannya. Dengan mengkaji secara mendalam ayat-ayat Al Qur’an di

atas, bisa disimpulkan bahwa baik dalam garis lurus ke bawah, ke

atas, serta garis ke samping, prinsip bilateral tetap berlaku (As’ad,

2010: 36-37).

d. Prinsip Kewarisannya hanya karena Kematian

Hukum Waris Islam menerangkan bahwa peralihan harta

seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan, berlaku

setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan

demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih

hidup. Segala bentuk peralihan harta yang masih hidup, baik secara

langsung maupun tidak, tidak termasuk kedalam persoalan kewarisan

menurut Hukum Waris Islam. Hukum Waris Islam hanya mengenal

satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan ab instestato dan tidak

24

mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada saat pewaris

masih hidup.

Prinsip tersebut erat kaitannya dengan prinsip ijbari. Apabila

seseorang telah memenuhi syarat sebagi subjek hukum, pada

hakikatnya ia dapat bertindak sesuka hatinya terhadap seluruh

kekayaannya. Akan tetapi kebebasan itu hanya ada waktu ia masih

hidup saja. Ia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan nasib

kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Meskipun seseorang

mempunyai kebebasan untuk berwasiat, akan tetapi juga terbatas

hanya sepertiga dari keseluruhan kekayaannya, dan yang lebih

penting, kejadian yang disebut terakhir ini tetap bukan merupakan

persoalan kewarisan, meskipun berlakunya sesudah ada kematian.

Prinsip kewarisan hanya karena kematian ini bisa digali dari

penggunaan kata-kata warasa yang banyak terdapat dalam Al Qur’an

dari keseluruhan pemakaian itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku

sesudah yang mempunyai harta tersebut mati, ini menunjukkan bahwa

kata warasa mengandung arti peralihan harta setelah adanya

kematian.

Prinsip di atas dibandingkan dengan prinsip dalam hukum

kewarisan adat terdapat perbedaan. Salah satu prinsip dalam hukum

kewarisan adat yang sangat penting adalah bahwa proses kewarisan

dapat dimulai sejak pewaris masih hidup. Hukum Waris Adat memuat

peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta

25

mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang

tidak berwujud (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia

(generatie) kepada keturunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu

orang tua masih hidup (Nugroho, 2016:7).

Meskipun kematian tetap merupakan unsur yang amat penting,

tetapi bukan merupakan unsur yang harus ada untuk adanya

kewarisan. Prinsip dalam Hukum Waris Adat ini sangat erat kaitannya

dengan mentas dan mencarnya anak-anak atau generasi baru yang

akan terbentuk. Mentas berarti anak atau generasi itu telah mampu

berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang tuanya. Mencar berarti

memisahnya anak atau generasi dari lingkungan keluarga asalnya

(Budiono & Rahmat, 1999:3).

Jika kedua hal itu telah tercapai maka tujuan proses kewarisan

dalam Hukum Adat telah tercapai. Mewarisi menurut anggapan

tradisional orang jawa bermakna mengoperkan harta keluarga kepada

keturunan, terutama kepada anak laki-laki serta anak perempuan.

e. Prinsip Keadilan Berimbang

Kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari

kata al adlu. Hubungannya dengan masalah kewarisan, kata tersebut

dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta

keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan

kegunaannya.

26

Sebagaimana laki-laki, perempuan mendapat hak yang sama

kuat untuk mendapatkan warisan hal ini secara jelas disebutkan dalam

Al Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-

laki dan perempuan dalam hal mendapatkan warisan. Pada ayat 11,

12, 176 surat An-Nisaa’ secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan

hak menerima antara anak laki-laki dan anak perempuan, ayah dan

ibu (ayat 11), suami dan istri (ayat 12), saudara laki-laki dan saudara

perempuan (ayat 12 dan 176).

Asas ini mengandung arti harus terdapat keseimbangan antara

hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan

kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan

misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang

dipikulnya masing-masing (kekal) dalam kehidupan keluarga dan

masyarakat. Dalam sistem Waris Islam, harta peninggalan yang

diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah

kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya (Muhibin &

Wahid, 2009:29). Oleh karena itu, perbedaan bagian yang diterima

oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan

tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga. Seorang laki-laki

menjadi penanggungjawab kehidupan keluarga, mencukupi keperluan

hidup dan istrinya. Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama

yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah istrinya

mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak.

27

4. Rukun Waris

Adapun rukun dari waris adalah sebagai berikut:

a. Harus ada pewaris (muwarits) seseorang yang telah meninggal dunia

dan meninggalkan harta peninggalan. Pewarisan hanya berlaku karena

ada kematian (ash-Shabuni, 1995:39). Kematian ada beberapa macam

antara lain:

1) Mati Hakiki (mati sejati), ialah hilangnya nyawa seseorang dari

jasadnya yang dapat dibuktikan oleh panca indra atau dokter.

2) Mati Hukmi (mati yang dinyatakan menurut putusan hakim), pada

hakikatnya orang itu kemungkinan masih hidup, atau ada

kemungkinan antara hidup atau mati, tetapi menurut hukum

dianggap telah mati karenan tak tentu lagi di mana hutan

rimbanya dia berdiam.

3) Mati Taqdiri, ialah kematian bayi yang baru dilahirkan akibat

terjadi pemerkosaan (Ramulyo, 1994:106-107).

b. Ahli Waris

Ahli waris yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau

menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan

kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya. (Ash-

Shabuni, 1995:39). Ada lima golongan orang yang akan menerima

harta peninggalan si pewaris:

1) Ahli waris sebab (sababiyah), yaitu karena adanya perkawinan

antara suami dengan istri.

28

2) Ahli waris nasabiyah, yaitu orang yang menerima warisan karena

ada hubungan nasab (qarabat), misalnya karena hubungan darah

bertalian lurus ke atas, lurus ke bawah maupun pertalian ke

cabang seperti saudara-saudara, paman, bibi, dan seterusnya,

anak, cucu, cicit, orang tua saudara, dan seterusnya.

3) Ahli waris karena hubungan wala (karena pembebasan budak),

yaitu seorang yang telah membebaskan budak, berhak terhadap

peninggalan budak itu, dan sebaliknya orang yang telah

membebaskan budak, apabila tidak ada ahli waris yang lain.

4) Anak yang tidak dapat warisan adalah anak yang baru lahir kecuali

ia lahir bersuara.

5) Kematiannya bersamaan, misalnya Bapak dan anak-anak sama-

sama mati tenggelam dalam satu perahu atau kapal, mereka tidak

saling mewaris (Ramulyo, 1994:108-109).

c. Harta Warisan

Harta warisan yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang

ditinggalkan pewaris hak-hak kebendaan berwujud maupun tak

berwujud, bernilai, atau tidak bernilai, atau kewajiban-kewajiban

yang harus dibayar, misalnya hutang-hutang pewaris. Dengan catatan

bahwa hutang si Pewaris dibayar sepanjang harta bendanya cukup

untuk membayar utang tersebut.

1) Benda-benda berwujud dan bernilai seperti misalnya benda-benda

bergerak, seperti mobil, termasuk di dalamnya hutang-hutang,

29

benda wajib yang harus dibayar oleh si pembunuh. Benda-benda

tetap seperti rumah, tanah, kebun, dan sebagainya.

2) Hak-hak kebendaan lainnya, hak monopoli untuk

mendayagunakan, menarik hasil dari sumber irigasi, pertanian,

perkebunan, dan sebagainya.

3) Hak-hak lainnya seperti:

a) Hak Khiyar yaitu hak untuk menentukan pilihan antara dua

alternatif, meneruskan akad jual beli atau diurungkan (ditarik

kembali tidak jadi jual beli). Hal ini untuk memikirkan

kemaslahatan masing-masing agar tidak terjadi penyesalan di

kemudian hari lantaran merasa tertipu.

b) Hak Syuf’ah, ialah suatu hak membeli kembali dengan paksa

dengan harga pantas. Dalam hal ada salah seorang anggota

perseketuan telah menjual haknya atas harta persekutuan

kepada orang lain tanpa izin para anggota lain, maka para

anggota lain itu berhak membeli dengan paksa hak anggota

yang telah dijual itu dengan harga pantas, hak membeli

dengan paksa itulah disebut hak Syuf’ah.

4) Hak-hak yang bersangkutan (berhubungan) dengan orang lain

diluar kategori tersebut (hak khiyar dan hak syuf’ah) diatas,

misalnya:

a) Hak gadai;

b) Hak hipotek;

30

c) Hak credit verband;

d) Mas kawin yang belum dibayar yang kesemuanya disebut hak

ainiyah (diyan-ainy) (Ramulyo, 1994:107-108).

5. Syarat Waris

a. Kata muwarits, artinya orang yang mewariskan atau pewaris. Dalam

hal ini pewarisan baru terjadi apabila si pewaris sudah meninggal

dunia. Artinya, selagi si Pewaris masih hidup menurut Hukum Islam

tidak ada proses memproses pewarisan. Artinya, apabila si pewaris

masih hidup dan pada saat itu terjadi pemberian harta kepada ahli

waris, pemberian ketika si pewaris masih hidup ini tidak termasuk di

dalam kategori waris mewarisi. Ini hanya pemberian, atau hibah saja.

Di dalam waris mewarisi kelak harta benda yang sudah diberikan ini

tidak termasuk diperhitungkan. Mati di sini, baik hakiki maupun

hukmi (artinya berdasarkan keputusan hakim).

b. Ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal

dunia.

c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian

masing-masing (ash-Shabuni, 1995:39).

6. Penggolongan Ahli Waris

Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yakni ashabul

furudh atau dzawil furudh, ashabah, dan dzawil arham.

31

a. Ashabul Furudh

Ashabul Furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta

peninggalan yang sudah ditentukan oleh Al Qur’an, As-Sunnah, dan

Ijma’. Adapun bagian yang sudah ditentukan adalah 1/2 , 1/4, 1/8,

1/3, 2/3, dan 1/6.

Ahli waris dari laki-laki adalah sebagai berikut.

1) Anak laki-laki

2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki

3) Ayah

4) Kakek (ayah dari ayah)

5) Saudara laki-laki sekandung

6) Saudara laki-laki seayah

7) Saudara laki-laki seibu

8) Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari saudara laki-laki

sekandung)

9) Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah)

10) Saudara seayah (paman) yang seibu seayah

11) Saudara seayah (paman) yang seayah

12) Anak paman yang seibu seayah

13) Anak paman yang seayah

14) Suami

15) Orang laki-laki yang memerdekakannya (As’ad, 2010:28)

32

Apabila ahli waris di atas ada semuanya maka hanya 3 ahli

waris yang mendapat warisan yaitu sebagai berikut:

1) Suami

2) Ayah

3) Anak

Adapun ahli waris dari pihak perempuan (As’ad, 2010:29), yaitu

sebagai berikut:

1) Anak perempuan

2) Cucu perempuan dari anak laki-laki

3) Ibu

4) Nenek perempuan (Ibunya Ibu)

5) Nenek perempuan (Ibunya Ayah)

6) Saudara perempuan yang seibu seayah

7) Saudara perempuan yang seayah

8) Saudara perempuan yang seibu

9) Istri

10) Orang perempuan yang memerdekakannya

Apabila ahli waris di atas ada semuanya maka yang

mendapatkan harta waris hanya lima orang yaitu:

1) Anak perempuan

2) Cucu perempuan dari anak laki-laki

3) Ibu

4) Saudara perempuan seayah dan seibu

33

5) Istri (Rofiq, 1998:387)

Andaikan ahli waris yang jumlahnya 25 orang itu ada semua

maka yang berhak mendapat harta warisan adalah sebagai berikut:

1) Ayah

2) Ibu

3) Anak laki-laki

4) Anak perempuan

5) Suami atau istri

b. Ashabah

Ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan,

tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagi kepada

ahli waris. Ahli waris ashabah akan mendapatkan bagian harta

peninggalan, tetapi tidak ada ketentuan bagian yang pasti. Baginya

berlaku:

1) Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta

waris untuk ahli waris ashabah

2) Jika ada ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabah

menerima sisa dari ashabul furudh tersebut

3) Jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh

maka ahli waris ashabah tidak mendapat apa-apa

Yang termasuk ahli waris ashabah, yakni sebagai berikut:

1) Anak laki-laki

2) Cucu laki-laki walaupun sampai ke bawah

34

3) Bapak

4) Kakek

5) Saudara laki-laki sekandung

6) Saudara laki-laki seayah

7) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung (keponakan)

8) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan)

9) Paman kandung

10) Paman sebapak

11) Anak laki-laki paman sekandung

12) Anak laki-laki paman sebapak

c. Dzawil Arham

Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furudh

dan bukan pula ashabah. atau dzawil arham, ahli waris yang tidak

termasuk ashabul furudh dan tidak pula ashabah. Mereka dianggap

kerabat yang jauh pertalian nasabnya, yaitu sebagai berikut:

1) Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan

2) Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan

3) Kakek pihak Ibu (bapak dari ibu)

4) Nenek pihak kakek (ibu kakek)

5) Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung, sebapak,

maupun seibu)

6) Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan dari

kakek

35

7) Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu

8) Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung,

sebapak, atau seibu)

9) Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu

dengan kakek

10) Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu

11) Anak perempuan dari paman

12) Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu) (Anshory, 2013:76).

7. Sebab-Sebab Terhalangnya Kewarisan

Ada beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dinyatakan

terhalang menerima warisan dari harta yang ditinggalkan pewaris, adalah

sebagai berikut:

a. Perbudakan

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak

mewarisi sekalipun dari saudaranya, karena segala sesuatu yang

dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak

itu sebagai Qinnun (budak murni), Mudabbar (budak yang telah

dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau Mukattab (budak

yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya,

dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Semua jenis

budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan untuk diwarisi

disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik (ash-Shabuni, 1995:

41).

36

b. Pembunuhan

Pembunuhan dimaksudkan adalah seorang ahli waris yang

membunuh pewaris. Ahli waris tersebut terhalang untuk mewarisi

harta warisan pewaris. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah

saw (Al Kahliani, Tt:154). yang berbunyi

عه عمز ته شعية عه اتي عه جدي قا ل قا ل رسلهلل صه للا عهي سهم :

نيس نهقاتم مه انميزا ث شيء

“Artinya: “Dari amr bin syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia

berkata: Rasulullah SAW, bersabda: orang yang membunuh tidak

dapat mewarisi satupun dari harta warisan orang yang di bunuhnya."

c. Perbedaan Agama

Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi

kepercayaan antara orang-orang yang mewarisi dengan orang yang

mewariskan. Dasar hukum berlainan agama sebagai mawani’ul irsi

adalah hadis Rasulullah saw:

ثىا أت عاصم عه اته جزيج عه اته شاب عه عهي ته حسيه عه عمز حد

سهم قال عهي عىما أن انىثي صه للا ته عثمان عه أسامة ته سيد رضي للا

ل انكافز انمسهم ل يزث انمسهم انكافز

“Artinya: Abu Ashim, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Shihab, dari Ali bin

Husain, dari Amru bin Utsman, dari Usamah bin Zaid ra, Mendengar

Nabi SAW bersabda: Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir,

dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (HR. Bukhori no.

6764).

Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat

sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan

37

peninggalan belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru

masuk Islam itu tetap terhalang untuk mewarisi. Sebab timbulnya hak

mewarisi tersebut adalah sejak adanya kematian orang yang

mewariskan, bukan saat dimulainya pembagian harta peninggalan.

Pada saat kematian si pewaris, ia masih dalam keadaan kafir. Jadi,

mereka dalam keadaan berlainan agama (Muhibbin & Wahid, 2009:

78).

B. Murtad (Riddah)

Riddah adalah kembali ke jalan asal. Di sini yang dikehendaki ialah

kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa ke kekafiran dengan

kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Anak kecil dan orang

gila tidak bisa dianggap kembali ke kekafiran karena mereka bukanlah

seorang mukallaf, dan juga orang yang dipaksa untuk keluar dari agamanya

(Islam) sepanjang hatinya masih tetap teguh pada keimanannya tidak bisa

dianggap sebagai orang yang murtad atau keluar dari agamanya (Islam)

(Sabiq, 1984:168).

Orang Islam tidak bisa dianggap keluar dari agamanya yang berarti

telah murtad kecuali bila ia telah melapangkan dadanya menjadi tenang dan

tenteram terhadap kekufuran, sehingga ia melakukan kekufuran.

Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 106:

38

“Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia

mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal

hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang

yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah

menimpa dan baginya azab besar” (QS An-Nahl (16): 106).

Contoh-contoh yang menunjukkan kekafiran:

1. Mengingkari ajaran agama yang telah ditentukan secara pasti. Contohnya

mengingkari ciptaan Allah terhadap alam, mengingkari adanya Malaikat,

mengingkari kenabian Muhammad saw, mengingkari Al Qur’an sebagai

wahyu Allah SWT, mengingkari hari kebangkitan dan pembalasan,

mengingkari kefardhuan shalat, zakat, puasa, dan haji

2. Menghalalkan apa yang telah disepakati keharamannya. Contoh

menghalalkan minum arak, zina, riba, makan daging babi, dan

menghalalkan membunuh orang-orang yang terjaga darahnya.

3. Mengharamkan apa yang telah disepakati kehalalannya. Contoh

mengharamkan makan nasi.

4. Mencaci-maki agama Islam, mencela Al Qur’an dan sunnah Nabi, dan

berpaling dari hukum yang ada dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi.

5. Mencaci-maki Nabi Muhammad saw, demikian pula mencaci Nabi-Nabi

sebelumnya.

39

6. Mengaku bahwa wahyu Allah telah turun kepadanya. Ini tentu saja bagi

selain Nabi Muhammad.

7. Mencampakkan mushaf Al Qur’an atau kitab-kitab hadis ke tempat-tempat

yang kotor dan menjijikkan sebagai penghinaan dan menganggap enteng

isinya.

8. Meremehkan nama-nama Allah, atau meremehkan perintah-Nya, larangan-

larangan-Nya, janji-janji-Nya, kecuali bila ia baru saja masuk Islam dan

tidak tahu hukum dan hadd-hadd dalam agama Islam. Karena orang yang

baru saja masuk Islam bila ia mengingkari hukum-hukum dalam Islam

lantaran tidak tahu, maka ia tidak dapat dihukum karena kafir (Sabiq,

1984:173-174).

Riddah merupakan perbuatan dosa besar yang dapat menghapus amal-

amal shaleh sebelumnya. Dan dosa ini dibalas dengan hukuman yang pedih

di akhirat. Allah telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 217:

“Artinya: Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agama-Nya, lalu

dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di

dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di

dalamnya” (Al-Baqarah (2):217).

Jika orang Islam murtad atau berpindah agama, maka terdapatlah

perubahan-perubahan dan akibat dalam segi muamalah ada tiga, yaitu:

40

1. Hubungan Perkawinan

Jika suami dan istri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan

mereka, karena riddahnya salah satu pihak merupakan suatu hal yang

mengharuskan suami istri berpisah. Apabila salah satu yang murtad itu

bertaubat dan kembali ke Islam, maka untuk mengadakan hubungan

perkawinan seperti semula, mereka haruslah memperbarui lagi akad nikah

dan mahar.

2. Hak Waris

Orang murtad tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat

muslimnya. Bila ia mati atau dibunuh, maka harta peninggalannya

diambil alih oleh para pewarisnya yang beragama Islam, karena sejak ia

murtad, ia telah dianggap dan dihukumi sebagai mayat.

3. Hak Kewajibannya

Orang yang murtad tidak mempunyai hak kewajiban terhadap orang

lain, ia tidak boleh menjadi wali dalam akad nikah anak perempuannya.

Jarimah murtad meliputi dua unsur, yaitu keluar dari Islam lalu menuju

kekafiran dan melawan hukum.

41

BAB III

DATA HASIL PENELITIAN

A. Gambaran umum Dusun Pendem

1. Letak Geografis

Dusun Pendem merupakan salah satu Dusun yang terletak di

Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga seluas 100

hektar dengan jumlah penduduk 2.423 orang dari 517 kepala keluarga.

Tempat ini dapat ditempuh dengan perjalanan kurang lebih 4 Km dari

pusat pemerintahan Kota Salatiga. Ketua RW Dusun Pendem bernama

Bapak Sarjono Marto Sanjoyo yang sudah menjabat kurang lebih 20

tahun. Adapun penulis melakukan wawancara dengan Bapak Sarjono

(ketua RW) untuk mengetahui data-data seputar Dusun Pendem. Hasil

wawancara dengan Bapak Sarjono adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Data Jumlah Penduduk Dusun Pendem

No. Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. 0 – 14 223 385 608

2. 15 – 29 246 261 507

3. 30 – 59 560 654 1214

4. 60+ 42 52 94

Jumlah 1071 1352 2423

Sumber: data monografi Dusun Pendem Kecamatan Argomulyo Salatiga

42

Dari tabel data monografi di atas, dapat dilihat bahwa jumlah

penduduk terbanyak di Dusun Pendem adalah penduduk usia dewasa

dengan rentang usia 30-59 tahun sejumlah 1214 orang dengan laki-laki

560 orang dan perempuan 654 orang. Penduduk terbanyak kedua di

Dusun Pendem merupakan anak-anak dengan rentang usia 0-14 tahun

sejumlah 608 dengan jumlah perempuan 223 anak dan laki-laki 385 anak.

Penduduk terbanyak yang ketiga di Dusun Pendem yakni penduduk yang

memasuki usia produktif dengan rentang 15-29 tahun berjumlah 246 laki-

laki dan 261 perempuan dengan total 507 penduduk produktif. Penduduk

yang memiliki jumlah paling sedikit di Dusun Pendem yaitu penduduk

yang memasuki usia lansia dengan rentang 60 tahun ke atas berjumlah 42

orang laki-laki dan 52 orang perempuan sehingga total penduduk usia

lansia di Dusun Pendem berjumlah 94 orang.

1. Keadaan Ekonomi

Berdasarkan jenis dan jumlah pekerja penduduk Dusun Pendem,

dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat masih belum merata

di Dusun Pendem. Keadaan ekonomi masyarakat Dusun Pendem rata-rata

berada di tingkat ekonomi menengah ke bawah. Adapun jenis pekerjaan

penduduk adalah sebagai berikut:

43

Tabel 3.2

Data Pekerjaan Penduduk Dusun Pendem

No Pekerjaan Jumlah

1 Petani dan peternak 122

2 Pedagang dan Pengusaha 87

3 PNS dan Pensiunan 127

4 Buruh Industri dan Bangunan 584

5 Lain-lain 56

Jumlah 976

Sumber: data monografi Dusun Pendem Kecamatan Argomulyo Salatiga

Dari tabel monografi terkait pekerjaan penduduk Dusun Pendem

memperlihatkan jumlah pekerjaan terbanyak yang dilakukan oleh

penduduk Dusun Pendem yaitu Buruh Industri dan Bangunan dengan

jumlah 584 orang. Banyaknya Buruh Industri dan Bangunan disebabkan

oleh letak geografis Dusun Pendem yang dekat dengan beberapa pabrik

dan kompleks-kompleks pembangunan. Pekerjaan yang kedua paling

banyak dilakukan penduduk Dusun Pendem yakni PNS dan pensiunan

sejumlah 127 orang. Selanjutnya, sejumlah 122 penduduk Dusun Pendem

bekerja sebagai petani dan peternak. Profesi pedagang dan pengusaha di

Dusun Pendem sebanyak 87 orang dari keseluruhan penduduk yang

bekerja. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai lain-lain, yakni

dokter, guru wiyata, TKI, dan lain sebagainya sejumlah 56 orang.

44

2. Tingkat Pendidikan

Di Dusun Pendem, terdapat satu Sekolah Dasar (SD) yang

membantu memfasilitasi pendidikan dasar warga Dusun Pendem dan

sekitarnya serta satu Sekolah Luar Biasa (SLB) yang dikhususkan untuk

penyandang disabilitas yang ada Dusun Pendem dan sekitarnya. Di

lingkungan sekitar Dusun Pendem terdapat satu Sekolah Menengah

Pertama (SMP) dan satu Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berperan

sebagai pendidikan lanjutan dari pendidikan dasar.

Selanjutnya, terkait tingkat pendidikan di Dusun Pendem terbilang

kurang baik. Hal tersebut dikarenakan mayoritas orang tua di Dusun

Pendem lulusan SD/sederajat dan SMP/sederajat. Sedangkan untuk

lulusan SMA/sederajat dan lulusan Perguruan Tinggi, hanya sebagian

kecil dari jumlah masyarakat. Meskipun begitu, tingkat kesadaran orang

tua terhadap pendidikan anak-anak di Dusun Pendem bisa dibilang sudah

tinggi dan mulai meningkat meskipun orang tuanya mayoritas tidak

mengenyam pendidikan tinggi. Orang tua sadar untuk memberi

pendidikan kepada anaknya minimal sampai jenjang SMA/SMK/MA

bahkan banyak dari mereka yang menguliahkan anaknya di Perguruan

Tinggi. Selain menyadari pentingnya pendidikan itu sendiri, hal tersebut

dilakukan orang tua untuk meningkatkan kesejahteraan dalam keluarga.

3. Tingkat Keagamaan

Masyarakat Dusun Pendem memiliki beragam kepercayaan.

Mayoritas masyarakat dusun Pendem beragama Islam. Adapun untuk

45

agama Kristen sekitar 2% dan 0,5% untuk agama Buddha. Tempat

beribadah di Dusun Pendem sendiri terdapat 3 Masjid, 1 Musholla, 1

Gereja, dan 1 Vihara. Acara-acara dusun yang berbau keagamaan juga

sering diadakan, khususnya agama Islam yang penganutnya terbanyak di

Dusun Pendem. Contoh kegiatan rutinan ialah pengajian “Yasiin dan

Tahlil” setiap malam jum’at, pengajian Ibu-Ibu yang diadakan setiap

sabtu dan minggu sore, TPQ untuk anak-anak setiap sore hari, dan

berbagai perayaan hari besar Islam setiap tahunnya.

B. Profil Keluarga Almarhum Bapak Salim

Bapak Salim adalah anak tunggal dari pasangan suami istri bernama

Ngatmo Ngatmin dan Suti. Beliau lahir pada tanggal 14 Juni 1954 di Salatiga.

Semasa kecil beliau bersekolah dan membantu orang tua di kebun. Pendidikan

terakhir Bapak Salim ialah tamat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Setelah lulus sekolah beliau bekerja di sebuah perusahaan tekstil di Salatiga.

Pada tahun 1977 Bapak Salim menikah dengan seorang wanita yang

berasal dari Dusun Pendem juga bernama Suparti. Pernikahan Bapak Salim

dan Suparti dikaruniai Allah SWT dua orang anak bernama Nur Hariyanti dan

Bambang Prasetyo Aji. Namun karena satu dan lain hal, pernikahan mereka

tidak bisa bertahan dan mereka memutuskan untuk berpisah. Pada tahun 1985,

mereka resmi berpisah. Hak asuh anak dimiliki oleh Ibu Suparti. Namun

karena Bapak Salim dan Ibu Suparti ini masih satu dusun maka anak mereka

masih bisa bertemu kedua orang tuanya. Walaupun keadaannya sudah tidak

sama lagi seperti dahulu saat kedua orang tua mereka masih bersama.

46

Pada tahun 1987, Bapak Salim menikah lagi dengan seorang wanita

bernama Sunariyah berasal dari Kota Pati, Jawa Tengah. Mereka bertemu

ketika Ibu Sunariyah dan keluarga tinggal di Salatiga karena tugas dinas ayah

Ibu Sunariyah di Salatiga. Selama sepuluh tahun pernikahan Bapak Salim dan

Ibu Sunariyah tidak dikaruniai seorang anak. Hingga akhirnya, pada tahun

1997, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki oleh Allah SWT yang diberi

nama Zunarsa Hafizh Risqulloh.

Pada tahun 1990, Ibu Suparti (mantan istri Bapak Salim) menikah lagi

dengan seorang laki-laki beragama Kristen yang menyebabkan Ibu Suparti

berpindah agama menjadi Kristen. Mereka dikaruniai 2 orang anak, Agus dan

Lina. Pada tahun 1999 anak nomer satu Bapak Salim yaitu Nur Hariyati atau

sering dipanggil Nur ini menikah dengan laki-laki beragama Kristen. Mulai

saat itu Nur berpindah agama menjadi Kristen, yang kemudian diikuti oleh

adiknya, Bambang Prasetyo Aji. Bambang menikah pada tahun 2004 dengan

seorang wanita beragama Kristen.

Ibu Suti (ibu almarhum Bapak Salim) meninggal dunia pada tahun 2001.

Pada tahun 2005, semua harta benda yang berupa tanah pekarangan dan tanah

tegal milik kakek Ngatmo Ngatmin dihibahkan kepada Bapak Salim, dengan

alasan kondisi kakek Ngatmo Ngatmin yang tidak sehat. Namun pada tahun

2008, Bapak Salim dipanggil terlebih dahulu oleh Allah SWT, karena

mengalami serangan jantung.

Setelah Bapak Salim meninggal, selisih 40 hari Nur dan Bambang (anak

dari istri pertama almarhum Bapak Salim, Ibu Suparti) meminta bagian harta

47

waris dari ayahnya kepada Ibuu Sunariyah (istri kedua Bapak Salim). Namun

kakek Ngatmo Ngatmin (ayah almarhum Bapak Salim) tidak mau

memberikan harta anaknya kepada cucunya itu, dengan alasan cucunya itu

telah murtad dan berdosa kepada almarhum Bapak Salim. Namun karena

alasan ekonomi, Bambang dan Nur memaksa untuk meminta hak warisnya

kepada Ibu Sunariyah sebagai dalih untuk melunasi hutang-hutangnya.

Bambang menceritakan kasus ini ke tetangga-tetangganya dan saudara-

saudara kerabat ibunya (Suparti). Namun karena kurangnya pengetahuan para

tetangga dan keluarga Ibu Suparti tentang Hukum Waris, mereka mulai

terprovokasi oleh cerita Bambang tentang harta warisan almarhum Bapak

Salim yang tidak kunjung dibagikan oleh Ibu Sunariyah. Karena Ibu

Sunariyah merasa terintimidasi oleh omongan-omongan orang, beliau

berkonsultasi dengan seorang Notaris yang bernama Bapak Burhan. Setelah

memahami duduk perkara warisan di keluarga Ibu Sunariyah, Bapak Burhan

memberi penjelasan kepada Ibu Sunariyah bahwa Nuru dan Bambang

sebenarnya sudah tidak berhak menerima harta warisan almarhum Bapak

Salim. Namun Nur dan Bambang tidak menerimanya dan tetap memaksa harta

waris tersebut untuk segera dibagikan. Akhirnya Ibu Sunariyah membagi harta

warisan tersebut, sebab terdapat tekanan dari Bambang sekeluarga dan

tetangga-tetangga yang kurang tahu Hukum Waris Islam menganggapnya

serakah karena tidak membagikan harta suaminya kepada anak-anaknya.

Walau sebenarnya Kakek Ngatmo Ngatmin tidak ikhlas dengan pembagian

waris itu, karena merasa kasihan dengan menantunya yang selalu dipojokkan

48

oleh keluarganya sendiri, Kakek Ngatmo Ngatmin akhirnya menerima jika

harta warisan almarhum Bapak Salim harus segera dibagikan kepada menantu

(Ibu Sunariyah) dan cucu-cucunya (Nur dan Bambang yang keduanya murtad

dan Zunarsa yang beragama Islam).

Berikut diagram terkait pohon keluarga Bapak Salim.

Diagram 3.1

Pohon Keluarga Bapak Salim

Keterangan:

: Istri pertama, dicerai tahun 1985

: Anak Bapak Salim yang murtad dari istri pertama

: Istri kedua Bapak Salim, menikah tahun 1987

: Anak Bapak Salim dengan istri kedua

C. Ahli Waris

Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan, daftar ahli waris yang

mendapatkan harta warisan dari almarhum Bapak Salim ialah sebagai berikut:

Bapak Ngatmo Ngatmin Ibu Suti

Salim Sunariyah Suparti

Nur Hariyati Bambang

Prasetyo

Zunarsa Hafizh

Risqulloh

49

1. Ibu Sunariyah (istri kedua)

2. Zunarsa Hafizh Risqulloh (anak ketiga)

3. Nur Hariyanti (anak pertama/murtad)

4. Bambang Prasetyo Aji (anak kedua/murtad)

Harta warisan almarhum Bapak Salim yang dibagikan adalah sebagai

berikut:

1. Tanah pekarangan (tanah dan rumah) seluas 455 m2

2. Tanah Tegal seluas 2000 m2

50

BAB IV

ANALISIS PEMBAGIAN HARTA WARIS TERHADAP ANAK MURTAD

A. Pembagian Waris Keluarga Bapak Salim

Ketentuan mengenai dasar hukum pelaksanaan harta waris tertulis secara

hak dalam ketentuan Al Qur’an dan Hadits. Al Qur’an dan Hadits sendiri

sudah mengatur tentang ketentuan-ketentuan kewarisan, ahli waris, besarnya

bagian, wasiat, hibah, aul dan rad, serta siapa-siapa saja yang tidak berhak

menerima harta warisan.

Akan tetapi pada praktik pelaksanaan mengenai pembagian warisan

yang terjadi di masyarakat masih ada beberapa orang yang melakukan

pembagian waris yang tidak sesuai dengan ketentuan Hukum Islam. Contoh-

contoh nyata yang terjadi di masyarakat terkait penyimpangan Hukum Islam

dalam pembagian waris yaitu, pembagian yang tidak sesuai dengan ashabul

furudh, pihak yang diberi amanah pembagian waris tidak menyampaikan

sesuai dengan amanahnya, dan anak murtad yang masih menuntut bagian

waris. Adanya penyimpangan tersebut mengindikasikan bahwa pemahaman

tentang Hukum Waris Islam di masyarakat masih sangat minim dan harus

dipahamkan, disosialisasikan serta disebarluaskan. Rasulullah SAW

memerintahkan belajar dan mengajarkan ilmu waris, agar tidak terjadi

perselisihan-perselisihan dalam membagikan harta warisan. Seperti sabda

Rasulullah yang berbunyi:

51

ض ا فإو امزؤ مقث عهم ا انفزئض تعهم ي انىاس عهم تعهم انقزآن

شك أن يختهف اثىان فل يجدان أحدا يخثزما ي ع انعهم مزف )راي احمد

انتزميذ انىسائ(

“Artinya: Pelajarilah Al Qur’an dan ajarkan kepada orang-orang dan

pelajarilah ilmu Waris Islam serta ajarkan kepada orang-orang. Karena

penulis adalah orang yang bakal mati, sedang ilmu itu bakal diangkat.

Hampir-hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian waris,

maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup

memfatwakannya kepada mereka (HR. Bukhori dan Muslim no. 8069).

Dari Hadits di atas, Rasulullah memerintahkan umat Islam untuk

mempelajari Al Qur’an dan mengajarkan kepada orang-orang yang belum tahu

tentang kebenaran Al Qur’an, dan dari hadits di atas pula rosul memerintahkan

agar umat Muslim di seluruh dunia agar mempelajari dan mengajarkan

Hukum Waris Islam kepada keturunannya agar ilmu yang dipelajari ini

(Hukum Waris Islam) bisa diketahui dan diamalkan oleh umat Muslim ke

generasi berikutnya. Masalah waris ini dapat memicu perpecahan antara ahli

waris karena sifat serakah atau ketidakpuasan yang dimiliki setiap orang untuk

menguasai harta warisan. Oleh karena itu bagian-bagian waris setiap ahli

waris sudah ditentukan dalam Al Qur’an.

Umat Islam di Indonesia mempunyai produk hukum sendiri yang

mengacu pada Hukum Islam, yaitu Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1

Tahun 1991). Keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini tidak lepas dari

penduduk Muslim di Indonesia yang banyak dibandingkan dengan pemeluk

agama lain. Indonesia bukan merupakan negara Islam akan tetapi dengan

menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara dan satu-satunya asas dalam

52

kehidupan berbangsa dan bernegara Hukum Islam secara tidak langsung

menempati posisi yang sangat penting. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah

sejalan dengan ajaran tauhid yang merupakan sendi pokok dari ajaran Islam

dan Hukum Islam dalam Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila

(Abdurrahman, 1992:3).

Dalam konsideran secara tersirat disebutkan bahwa Kompilasi Hukum

Islam dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah

di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, oleh instansi pemerintah

dan masyarakat yang memerlukannya (Abdurrahman, 1992:55). Dalam

Diktum Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 Tahun 1991

Tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1991

poin kedua disebutkan: “Seluruh lingkungan Instansi Tersebut dalam diktum

pertama, dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum

Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan

Kompilasi Hukum Islam dan Di samping peraturan-peraturan undang-

undangan yang lainnya.”

Satu hal yang perlu perhatian dari Keputusan Menteri Agama ini ialah

pada diktum bagian kedua yang berkaitan dengan kedudukan kompilasi, yang

intinya agar supaya seluruh lingkungan Instansi (dalam kasus ini yang

dimaksud adalah Instansi Peradilan Agama) agar “sedapat mungkin

menerapkan Kompilasi Hukum Islam di samping peraturan perundang-

undangan lainnya.” Kata “sedapat mungkin” dalam keputusan Menteri Agama

mempunyai kaitan cukup erat dengan kata-kata “dapat digunakan” dalam

53

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, sebagaimana dikemukakan di atas harus

diartikan Kompilasi Hukum Islam bukan hanya dipakai kalau keadaan

memungkinkan akan tetapi sebagai suatu anjuran untuk lebih menggunakan

kompilasi ini dalam penyelesaian sengketa-sengketa perkawinan, kewarisan

dan perwakafan yang terjadi di kalangan umat Islam (Abdurrahman, 1992:57).

Di Indonesia sendiri sebenarnya terdapat pilihan-pilihan untuk

menggunakan Hukum Waris yang ada di Indonesia. Pilihan pertama ialah

menggunakan Hukum Waris Islam Indonesia (Kompilasi Hukum Islam),

untuk umat Islam sendiri yang jumlah penduduknya terbanyak di Indonesia

seharusnya menggunakan ketentuan-ketentuan Hukum Waris Islam. Sebagai

pemeluk agama yang baik seharusnya para umat Muslim mau menjalankan

perintah-perintah dan menjauhi larangan-larang Allah SWT.

Pilihan kedua ialah menggunakan Hukum Waris Adat. Sebagaimana

kita ketahui dalam materi Hukum Adat, bahwa di dalam masyarakat Indonesia

terdapat sifat-sifat kekerabatan/kekeluargaan yang sama. Di dalam masyarakat

Indonesia terdapat berbagai sifat kekerabatan yang dapat dimasukkan dalam

tiga macam golongan, yaitu:

1. Patrilinial, menarik dari garis keturunan bapak

2. Matrilinial, menarik garis keturunan ibu

3. Parental, menarik garis keturunn kedua belah pihak yaitu bapk dan ibu.

Hukum Adat Waris akan selalu dipengaruhi oleh sistem/ sifat

kekerabatan di atas. Sedangkan kalau kita lihat masing-masing sistem

kekerabatan tersebut yang tentunya juga mempengaruhi Hukum Waris akan

54

terlihat perbedaan-perbedaannya. Kalau kita lihat dari jumlah (kuantitas) dan

juga kita lihat dari sisi perasaan keadilan dan kesadaran Hukum Nasional,

maka sistem parental yang tidak membedakan kedudukan antara hak pria dan

wanita dalam hal pembagian warisan adalah yang paling banyak dipakai di

Indonesia (Nugroho, 2016:9).

Sedangkan asas-asas yang dipakai dalam Hukum Adat adalah asas

kerukunan dan kesamaan hak. Asas kerukunan adalah asas saling mengerti

dan memahami kepentingan yang satu dengan yang lain, dimana hidup saling

menunjang diutamakan terlihat masih berpengaruh di lingkungan masyarakat

desa dimana hubungan kekerabatan dan sifat-sifat komunal masih kuat.

Sedangkan asas hak adalah asas yang mengutamakan atau alam pikiran yang

cenderung kepada sifat-sifat individualitas telah mempengaruhi dan

selanjunya ikatan kekerabatan mulai hilang (Nugroho, 2016:11).

Salah satu kasus pembagian waris yang tidak sesuai dengan Hukum

Waris Islam adalah kasus yang terjadi pada pembagian waris keluarga

almarhum Bapak Salim di mana kedua anaknya yang murtad mendapat bagian

waris. Berikut penulis sajikan data yang penulis peroleh dari wawancara

dengan Ibu Sunaryah terkait bagian-bagian yang didapat setiap ahli waris dari

harta warisan almarhum Bapak Salim adalah sebagai berikut:

1. Ibu Sunariyah : tanah pekarangan 250 m2

2. Zunarsa Hafizh Risqulloh : tanah tegal 1000 m2

3. Nur Hariyanti : tanah pekarangan 90 m2 dan tanah tegal 500 m

2

4. Bambang Prasetyo Aji : tanah pekarangan 100 m2 dan tanah tegal 500 m

2

55

5. Hibah untuk Musholla 15 m2 (dari tanah pekarangan)

Berdasarkan data di atas, dalam pembagian waris tersebut sangat jelas

tidak menggunakan HukumWaris Islam. Selain itu, dua anak Bapak Salim

yang telah murtad, yakni Nur dan Bambang, keduanya mendapatkan warisan.

Lebih lanjut lagi, dari data tersebut dapat dilihat bahwa bagian-bagian yang

diperoleh anak perempuan, anak laki-laki, dan istri hampir sama besar atau

tidak sesuai dengan ashabul furudh.

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembagian Waris Anak Murtad

Kata Mawaris diambil dari bahasa arab yang berarti harta peninggalan

tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta

peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing. Fiqh Mawaris kadang-

kadang disebut juga dengan istilah al-faraidh bentuk jamak dari kata fardh,

artinya kewajiban dan atau bagian tertentu (Muhibin & Wahid, 2009:7-8).

Apabila dihubungkan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh atau Hukum Waris

Islam maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara membagi harta

peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak

menerimanya.

Berdasarkan penjelasan pembagian waris keluarga alm Bapak Salim di

atas, dapat dilihat bahwa dari penyimpangan pembagian waris yang tidak

sesuai dengan ilmu Waris Islam menyebabkan ada dua permasalahan yang

timbul dari pembagian waris tersebut. Pertama, anak murtad memperoleh

bagian warisan. Kedua, besar bagian yang diperoleh oleh ahli waris tidak

sesuai dengan ashabul furudh.

56

Terkait dengan permasalahan pertama yang timbul dalam pembagian

waris Bapak Salim yakni anak murtad yang memperoleh bagian warisan. Hal

itu menjadi permasalahan karena ahli waris dan pewaris berbeda agama.

Adapun dasar yang menjelaskan ahli waris dan pewaris yang beda agama

sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa’ ayat 141 yang

berbunyi:

“Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang

kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman (untuk menguasai orang

mu’min) (An-Nisaa’ (4):141)”

Berdasarkan ayat di atas, dijelaskan bahwa saling mewarisi antara

pewaris dan ahli waris yang keduanya berbeda agama adalah hal yang

dilarang. Ayat tersebut dikuatkan oleh hadits sebagai berikut:

ثىا أت عاصم عه اته جزيج عه اته شاب عه عهي ته حسيه عه عمز ته عثمان حد

سهم قال ل يزث انم عهي عىما أن انىثي صه للا سهم عه أسامة ته سيد رضي للا

ل انكافز انمسهم انكافز

“Artinya: Abu Ashim, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Shihab, dari Ali bin Husain,

dari Amru bin Utsman, dari Usamah bin Zaid ra, Mendengar Nabi SAW

bersabda: Orang Muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir

tidak mewarisi dari orang Muslim” (HR. Bukhori no.6764)

Selain ayat dan hadits di atas, Nabi Muhammad SAW mempraktekkan

pembagian warisan, bahwa perbedaan agama menyebabkan antara mereka

tidak bisa saling mewarisi. Hal itu terjadi pada saat Abu Thalib (Paman Nabi

Muhammad saw) meninggal dunia dalam keadan belum masuk Islam, beliau

meninggalkan empat orang anak, yaitu Uqail, dan Talib yang belum masuk

57

Islam, serta Ali dan Ja’far yang telah masuk Islam. Kemudian Rosulullah

membagikan harta warisan Abu Thalib itu kepada Uqail dan Thalib. Dari

kisah ini menunjukan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang untuk bisa

saling mewarisi antara muwarits dan ahli waris.

Sedangkan kata murtad atau riddah adalah kembali ke jalan asal. Di sini

yang dikehendaki ialah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa ke

kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain.

Orang Islam tidak bisa dianggap keluar dari agamanya yang berarti telah

murtad kecuali bila ia telah melapangkan dadanya menjadi tenang dan

tenteram terhadap kekufuran, sehingga ia melakukan kekufuran.

Definisi riddah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena

perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya ia mengatakannya untuk

tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini

(kata-kata tersebut).

Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 106:

“Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia

mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal

hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang

yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah

menimpa dan baginya azab besar” (An-Nahl (16):106).

58

Ayat di atas menerangkan bahwa seorang yang telah benar-benar ingin

berpindah agama karena maunya sendiri dan dia melapangkan hatinya untuk

tetap berpindah dari agama yang diridhoi Allah SWT ke agama yang tidak

diridhoi Allah SWT, maka dia akan mendapat murka dan azab dari Allah

sendiri, baik itu di dunia maupun di akhirat. Namun berbeda apabila seseorang

itu berpindah agama karena ada kondisi tertentu seperti paksaan dari orang

lain untuk berpindah agama karena jika tidak mau berpindah agama, maka

akan dibunuh, dan dia tidak benar-benar melapangkan hatinya untuk

berpindah agama.

Pembagian waris terhadap anak murtad yang dilakukan oleh keluarga

alm Bapak Salim dalam hal ini menunjukkan bahwa keluarga tersebut masih

belum mampu mengimplementasikan ketentuan-ketentuan Hukum Waris

Islam yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Menurut Ibu Sunariyah

sendiri, pembagian harta waris tersebut didasarkan pada kemashlahatan

bersama. Kemaslahatan bersama di sini yang dimaksud ialah agar tidak ada

dengki di antara keluarga almarhum Bapak Salim. Berikut disajikan tabel

perolehan harta warisan Bapak Salim yang tidak menggunakan Hukum Waris

Islam:

59

Tabel 4.1

Pembagian Waris Keluarga Bapak Salim

No.

Status

Ahli

Waris

Bagian

(Nisab)

Peroleh

an

Perse

ntase

Tanah

Tegal

(%)

Bagia

n

Tanah

Tegal

(m2)

Persenta

se

Tanah

Pekaran

gan (%)

Bagian

Tanah

Pekaran

gan

(m2) x 4

1 Ibu

Sunariyah - - - 0 0 57

250

2 Zunarsah

Hafizh R - - - 50 1000 0 0

3 Bambang

P.A - - - 25 500 23 100

4 Nur

Hariyanti - - - 25 500 20 90

TOTAL 100 2000 100 440

Tabel di atas memperlihatkan pembagian harta waris Bapak Salim tanpa

memperhatikan Hukum Waris Islam. Dari tabel di atas dapat dilihat setiap ahli

waris mendapat bagian yang hampir sama. Anak laki-laki Bapak Salim yang

Muslim mendapat bagian tanah tegal saja seluas 1000 m2. Sedangkan anak

laki-laki dan anak perempuan yang murtad mendapatkan bagian yang hampir

sama besar, yakni tanah tegal yang sama-sama seluas 500 m2 dan tanah

pekarangan laki-laki mendapat 100 m2 serta perempuan mendapat 90

m

2. Istri

Bapak Salim hanya mendapatkan setengah dari bagian tanah pekarangan saja

tanpa memperoleh bagian dari tanah tegal. Lebih lanjut lagi, ayah kandung

dari Bapak Salim berdasarkan pembagian tersebut tidak mendapat bagian.

Pembagian di atas sangat jelas bahwa Hukum Waris Islam tidak

diterapkan dalam pembagian waris. Karena jika didasarkan Hukum Waris

Islam, anak-anak yang murtad seharusnya tidak memperoleh bagian dan ayah

60

kandung (Ngatmo Ngatmin) seharusnya mendapat bagian waris. Kondisi

tersebut menyalahi Hukum Waris Islam yang sebenarnya sudah penulis

jelaskan sebelumnya bahwa anak yang murtad seharusnya tidak memperoleh

bagian. Sehingga ahli waris yang seharusnya mendapatkan bagian hanya istri,

ayah kandung dan anak laki-laki Bapak Salim yang masih Muslim.

Berdasarkan data-data yang diperoleh penulis, hasil penelitian yang

dilakukan terhadap kasus pembagian waris Almarhum Bapak Salim melalui

wawancara dengan Ibu Sunariyah dapat diketahui dan dianalisa sebagai

berikut:

1. Harta peninggalan almarhum Bapak Salim yang diributkan untuk segera

dibagikan ialah bukan dari hasil gono-gini dengan istrinya (Ibu Sunariyah),

melainkan harta hibah dari orang tua almarhum Bapak Salim (Kakek

Ngatmo). Harta yang ditinggalkan ialah berupa tanah pekarangan, dan

tanah tegal pekarangan.

2. Almarhum Bapak Salim meninggalkan seorang istri bernama Sunariyah

dan tiga orang anak, bernama Nur Hariyanti (murtad), Bambang Prasetyo

Aji (murtad), dan Zunarsa Hafizh Risqulloh.

3. Pembagian waris tidak menggunakan Hukum Waris Islam karena tuntutan

dari Nur Hariyanti dan Bambang Prastetyo Aji (anak murtad) kepada Ibu

Sunariyah agar harta ayahnya dibagikan kepada mereka juga. Nur Hariyanti

dan Bambang Prasetyo Aji juga menuntut besar bagian harta waris mereka

untuk dibagi rata dengan alasan biar adil dan tidak ada yang dirugikan.

61

4. Pembagian waris yang digunakan dalam menyelesaikan masalah waris

keluarga almarhum Bapak Salim adalah menggunakan musyawaroh

keluarga, karena Bu Sunariyah tidak ingin terjadi perpecahan di dalam

keluarga mereka.

Adapun alasan-alasan yang penulis peroleh dari Nur Hariyanti terkait

dengan Nur Hariyanti dan Bambang Prasetyo Aji tetap bersikeras ingin

mendapatkan waris tersebut ialah:

1. Suami Nur Hariyanti yang pada waktu itu masih menganggur (tidak

memiliki pekerjaan), sedangkan Nur Hariyanti bekerja namun gaji

kerjaannya yang tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga Nur

Hariyanti memiliki hutang yang cukup banyak untuk menutupi kebutuhan

keluarganya sehari-hari.

2. Kedua, Bambang Prasetyo Aji yang belum memiliki pekerjaan tetap, dan

harus menanggung kebutuhan istri dan anaknya, maka Bambang ini harus

berhutang untuk menutupi kebutuhan keluarganya sehari-hari.

Dari data di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa keluarga Nur

Hriyanti dan Bambang yang belum mapan dari segi ekonomi, menjadi

pendorong mereka untuk segera mendapatkan harta warisan dari almarhum

Bapak Salim. Terutama keadaan rumah tangga Bambang yang harus

menghidupi anak-anak dan istrinya, sedangkan istrinya yang tidak bekerja dan

bambang sendiri yang belum memiliki pekerjaan yang tetap.

Berdasarkan Hukum Islam yang membahas mengenai warisan, salah satu

jalan agar harta waris seorang muslim bisa dibagikan kepada ahli waris yang

62

berbeda agama adalah dengan jalan wasiat atau hibah. Wasiat atau hibah

tersebut harusnya dilakukan ketika si pewaris masih hidup (Anshori 2005:135).

Pengertian Hibah sendiri adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang

kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan

pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.

Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak

keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh karena pada dasarnya

seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta

bendanya kepada siapapun.

Salah satu syarat dalam hukum waris untuk adanya proses pewarisan

ialah adanya seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah

harta kekayaan. Sedangkan dalam hibah itu sendiri, seseorang pemberi hibah

itu harus masih hidup pada waktu pelaksanaan pemberian.

Di dalam Hukum Islam diperbolehkan untuk seseorang memberikan atau

menghadiahkan sebagian atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih hidup

kepada orang lain disebut intervivos. Pemberian semasa hidup itu sering

disebut sebagai hibah. Di dalam hukum Islam jumlah harta seseorang yang

dapat dihibahkan itu tidak dibatasi. Berbeda halnya dengan pemberian

seseorang melalui surat wasiat yang terbatas pada sepertiga dari harta

peninggalan yang bersih.

Berkaitan dengan Hibah ini, terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan yaitu :

63

1. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah

ketika hidupnya untuk memberikan sesuatu barang dengan cuma-

cuma kepada penerima hibah.

2. Hibah harus dilakukan antara dua orang yang masih hidup.

3. Hibah harus dilakukan dengan akta Notaris, apabila tidak

menggunakan akta Notaris, maka hibah dinyatakan batal.

4. Hibah antara suami dan isteri selama masa perkawinan dilarang,

kecuali jika yang dihibahkan itu benda-benda bergerak yang harganya

tidak terlampau mahal.

Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal melakukan Hibah

Menurut Hukum Islam, yaitu :

1. Ijab, adalah pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang

memberikan.

2. Qabul, ialah pernyataan dari pihak yang menerima pemberian hibah

itu.

3. Qabdlah, merupakan penyerahan milik itu sendiri, baik penyerahan

dalam bentuk yang sebenarnya maupun secara simbolis.

Hibah menurut Hukum Islam dapat dilakukan baik secara tertulis maupun

lisan, bahkan telah ditetapkan dalam Hukum Islam, pemberian yang berupa

harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu

dokumen tertulis. Namun jika ditemukan bukti-bukti yang cukup tentang

terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian tersebut dapat dinyatakan

64

secara tertulis. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis, bentuk

tersebut terdapat dua macam yaitu :

1. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya

menyatakan bahwa telah terjadinya pemberian.

2. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat tersebut merupakan

suatu alat dari penyerahan pemberian itu sendiri. Artinya, apabila

penyerahan dan pernyataan terhadap benda yang bersangkutan

kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang

demikian itulah yang harus didaftarkan.

Seseorang yang hendak menghibahkan sebagian atau seluruh harta

kekayaannya semasa hidupnya, menurut Hukum Islam harus memenuhi

beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Orang tersebut harus sudah dewasa.

2. Harus waras akan pikirannya.

3. Orang tersebut haruslah sadar dan mengerti tentang apa yang

diperbuatnya.

4. Baik laki-laki maupun perempuan diperbolehkan melakukan hibah.

5. Perkawinan bukan merupakan suatu penghalang untuk melakukan

hibah.

Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan menerima

hibah, sehingga hibah dapat saja diberikan kepada siapapun dengan beberapa

pengecualian sebagai berikut:

65

1. Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras

akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu

yang sah dari anak di bawah umur atau orang yang tidak waras itu.

2. Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur yang diwakili oleh

saudaranya yang laki-laki atau oleh ibunya, hibah menjadi batal.

3. Hibah kepada seseorang yang belum lahir juga batal.

Pada dasarnya segala macam harta benda yang dapat dijadikan hak milik

dapat dihibahkan, baik harta pusaka maupun harta gono-gini seseorang. Benda

tetap maupun bergerak dan segala macam piutang serta hak-hak yang tidak

berwujud itu juga dapat dihibahkan oleh pemiliknya.

66

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa yang penulis lakukan untuk menjawab rumusan

masalah, berikut kesimpulan yang dapat diambil:

1. Pembagian waris yang dilakukan keluarga almarhum Bapak Salim untuk

ahli waris yang di dalamnya terdapat anak yang murtad adalah sebagai

berikut:

a. Ibu Sunariyah : tanah pekarangan 250 m2

b. Zunarsa Hafizh Risqulloh : tanah tegal 1000 m2

c. Nur Hariyanti : tanah pekarangan 90 m2 dan tanah

tegal 500 m2

d. Bambang Prasetyo Aji : tanah pekarang 100 m2 dan tanah

tegal 500 m2

e. Hibah untuk Musholla 15 m2 (dari tanah pekarangan)

Pembagian untuk anak murtad tersebut tidak sesuai dengan Hukum

Waris Islam yang melarang pewaris dan ahli waris yang berbeda agama

untuk saling mewarisi. Oleh karena itu, pembagian waris yang dilakukan

keluarga Bapak Salim selain dilarang karena perbedaan agama juga tidak

memenuhi bagian-bagian yang sudah ditentukan dalam Hukum Waris

Islam.

2. Menurut Hukum Islam terhadap pembagian harta waris untuk ahli waris

yang murtad adalah tidak boleh. Menurut Hukum Islam yang membahas

67

mengenai warisan, agar harta waris seorang Muslim bisa dibagikan

kepada ahli waris yang berbeda agama adalah dengan jalan wasiat atau

hibah. Pemberian wasiat atau hibah itu pun harus dilakukan semasa

pewaris masih hidup. Sehingga ke depannya pembagian waris tersebut

tidak dapat dicela ataupun dipermasalahkan karena si pewaris sudah

terlebih dahulu memberikan wasiat atau hibah hartanya untuk ahli waris

yang dia kehendaki. Jadi, jalan yang ditempuh oleh pewaris agar ahli

waris tetap mendapat bagian meskipun berbeda agama adalah dengan

diberi hibah atau wasiat. Dengan begitu, semua pihak dapat menerima

keputusan dan tidak terjadi sengketa perebutan harta waris.

B. Saran

Dari pembahasan dan kesimpulan dalam penulisan ini, penulis

sampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif dari lembaga-lembaga yang

terkait (KUA dan Peradilan Agama) kepada masyarakat luas khususnya

umat Islam tentang perlunya mempelajari Hukum Waris Islam dan

mengimplementasikannya kekehidupan sehari-hari, sehingga ke

depannya tidak ada lagi sengketa antar keluarga di masyarakat terkait

perbedaan pembagian waris antara ahli waris yang satu dengan yang

lainnya.

2. Untuk umat Islam di Indonesia, sebagai pemeluk agama yang baik dan

taat, sebaiknya memahami Hukum Waris Islam dan kemudian

diterapkan di kehidupan sehari-hari.

68

C. Penutup

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah yang telah

memberikan segala nikmat kepada penulis, dan berkat izin-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan banyak terima

kasih kepada seluruh pihak terutama Dosen Pembimbing yang telah

membimbing dengan sabar, dan selalu memberikan sarann dan arahan

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, H. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: CV.

Akademika Pressindo.

Al-Kahliani, Muhammad Bin Ismail. Subul As-Salam. Bandung: Dahlan Tt.

Alfiananita, Iga. 2017. Tinjauan Yuridis Pembagian Harta Warisan Pasangan

Suami Istri Yang Beda Agama (Perspektif Hukum Islam dan

KUHPerdata).UIN Alaudin Makassar.

Anshori, Abdul Ghafur. 2005. Filsafat Hukum Kewarisan Islam. Yogyakarta:

UUI Press.

Anshary, M MK. 2013. Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Prektik).

Jakarta: Reneika Cipta.

As-ad, Muhammad Ali. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris Dalam masyarakat

Islam (Studi Kasus Atas Pelaksanaan Pembagian Waris Di Kelurahan

Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga). STAIN Salatiga.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurt Islam. Jakarta:

Gema Insani Press.

Basyir, Ahmad Azhar. 2001. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press.

Budiono, A Rahmad. 1995. Pembaharuan Hukum Kewarisan di Indonesia,

Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Cahyaningsih. Istiarini. 2010. Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Tentang

Ahli Waris Beda Agama dan Perkara Yang Putus Secara Ultra Petita.UIN

Syarif Hidayatullah.

Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Islam 1986 (Proyek Pembinaan

Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta). Ilmu Fiqih.

Jilid III.

Eman, Suparman. 2011. Hukum Waris Indonesia. Bandung : PT Refika Aditama.

Hasbiyallah H, 2007. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Izzudin bin Abd al-Asalam. 1980. Qawa’id al-Ahkam fi Amashalih al-Anam, Dar

al-Jail

Lubis, Suhrawardi K, & Simanjuntak, Komis. 2007. Hukum Waris Islam. Jakarta:

Sinar Grafika.

Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Muhibbin. Mohammad. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Mujib. Moh. 2009. Kewarisan Beda Agama Studi Perbandingan Terhadap

Putusan PA Jakarta No. 377/pdt.G/1993 dan Kasasi MA. No.

368.K/AG/1995. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitia. Jakarta: Ghalia Indonesia

Nugroho, Sigit Sapto. 2016. Hukum Waris Adat di Indonesia. Solo: Pustaka

Iltizam.

Ramulyo, M. Idris. 1994. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam

dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).

Jakarta: Sinar Grafika Press.

Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 8. Bandung: PT Al Ma’arif.

Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 9. Bandung: PT Al Ma’arif.

Sellasari, Andhita. 2011. Kedudukan Ahli Waris Yang Beda Agama Dengan

Pewaris Terhadap Pembagian Harta Waris Menurut Kompilasi Hukum

Islam. Universitas Jember.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV

Alfabeta.

Soekanto, Soerjono dan Taneko, Soleman b. 1990. Hukum Adat Indonesia,

Jakarta: Rajawali.

Thalib, Sajuti. 1995. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam. 2011. Bandung : Citra Umbara.

Lampiran-Lampiran

Wawancara dengan Ibu Sunariyah Wawancara dengan Nur Hariyanti

(Rumah Nur Hariyanti) (Rumah Nur Hariyanti)

Wawancara dengan Bapak Rumah Bambang (kiri), Rumah Ibu Sunariyah

Sarjono (Ketua RW) (kanan)

DAFTAR PERTANYAAN

Daftar Pertanyaan Kepada Ibu Sunariyah (Istri kedua)

1. Profil dari alm. Bapak Salim ?

2. Bagaimana sejarah awal pernikahan alm Bapak Salim dengan istri pertama

(ibu Suparti) sampai terjadi perceraian ?

3. Bagaimana sejarah bertemunya alm. Bapak Salim dengan istri kedua

(informan/ ibu Sunariyah) sampai terjadinya pernikahan ?

4. Berapa anak alm. Bapak Salim dari istri pertama (ibu Suparti) dan istri kedua

(ibu Sunariyah) ?

5. Pada tahun berapa alm. Bapak Salim meninggal ?

6. Bagaimana kronologi awal Nur Hariyanti dan Bambang Praseto Aji meminta

harta waris dari alm. Bapak Salim ?

7. Bagaimana tanggapan Ibu Sunariyah (informan) dan kakek Ngatmo Ngatmin

waktu itu soal pembagian harta waris kepada Nur Hariyanti dan Bambang

Prasetyo Aji?

8. Bagaimana kronologi harta alm. Bapak Salim akhirnya bisa dibagikan ke Nur

Hariyanti dan Bambang Prasetyo Aji (anak murtad) ?

9. Apakah Ibu Sunariyah dan kakek Ngatmo Ngatmin sudah berkonsultasi

dengan seorang pakar hukum atau seorang Ustadz dan jika sudah bagaimana

tanggapannya?

10. Berapa besar bagian waris yang dibagikan kepada masing-masing ahli waris?

11. Berapa besar bagian waris yang diperoleh kepada masing-masing ahli waris?

Daftar Pertanyaan Kepada Nur Hariyanti (Anak Murtad)

1. Pada tahun berapa alm. Bapak Salim meninggal ?

2. Alasan apa yang membuat Nur Hariyanti (informan/anak murtad) dan

Bambang Prasetyo Aji meminta hak waris kepada ibu Sunariyah ?

3. Berapa besar bagian waris yang dibagikan kepada masing-masing ahli waris?

4. Berapa besar bagian waris yang diperoleh kepada masing-masing ahli waris?