tinjauan hukum islam terhadap pandangan kepala …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_bab...

52
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA KUA SE-KOTA YOGYAKARTA TENTANG USIA KEDEWASAAN DALAM PERKAWINAN PADA PASAL 6 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM OLEH: YUSUF ADI PUTRA NIM: 14350011 PEMBIMBING: Dr. SAMSUL HADI, M.Ag NIP: 19730708 2000310 003 HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2018

Upload: phamnhi

Post on 23-Aug-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA KUA SE-KOTA

YOGYAKARTA TENTANG USIA KEDEWASAAN DALAM PERKAWINAN PADA

PASAL 6 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA

STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM

OLEH:

YUSUF ADI PUTRA

NIM: 14350011

PEMBIMBING:

Dr. SAMSUL HADI, M.Ag

NIP: 19730708 2000310 003

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2018

Page 2: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

ii

ABSTRAK

Perkawinan merupakan sebuah awal dari fase kehidupan baru sebagai

ikatan suami istri yang membutuhkan persiapan matang agar dapat mewujudkan

tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian. Hukum Islam

tidak pernah menentukan pada usia berapa seseorang dipandang telah cukup

matang untuk menikah, sedangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah

mengatur usia diwajibkan izin orang tua dalam perkawinan yaitu pada usia kurang

dari 21 tahun. Usia tersebut mengindikasikan usia kedewasaan dalam perkawinan

walaupun tidak sedikit yang melakukan perkawinan kurang dari usia 21 tahun.

Realita yang ada ialah seorang yang belum dewasa cenderung kurang dapat

membangun rumah tangga dengan baik, dibandingkan dengan seorang yang telah

dewasa. Di Kota Yogyakarta Perkawinan di bawah usia dewasa dinilai cukup

banyak. Oleh karena itu, penyusun tertarik untuk meneliti bagaimana tinjauan

Maqāṣid asy-Syarī’ah terhadap pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarata

tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan bersifat preskriptif yaitu

suatu analisis penelitian yang ditujukan untuk memberikan preskripsi atau

penilaian yang semestinya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum

dari hasil penelitian. Dalam penelitian ini, data dan informasi bersumber dari

Kepala KUA se-Kota Yogyakarta yang dikumpulkan melalui tiga metode

pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun

pendekatan yang digunakan ialah pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan

yang mengacu pada hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Dalam hal ini

merujuk pada teori Maqāṣid asy-Syarī’ah menurut Asy-Syāṭībī untuk

menganalisis pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta tentang usia

kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974.

Secara umum terdapat tiga pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta

tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 yaitu usia 21 tahun sebagai usia kedewasaan dalam

perkawinan, kedewasaan dalam perkawinan menjadi hal penting yang harus

dipenuhi, dan usia 21 tahun sebagai usia minimal dalam perkawinan. Jika dilihat

dari kacamata Maqāṣid asy-Syarī’ah, maka pandangan tersebut secara garis besar

telah memenuhi lima aspek kemaslahatan yaitu agama (ḥifẓ ad-dīn), jiwa (ḥifẓ an-

nafs), akal (ḥifẓ al-‘aqli), keturunan (ḥifẓ an-nasl), dan harta (ḥifẓ al-māl). Namun,

sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa kedewasaan

akal atau psikologi menjadi indikator kedewasaan dalam perkawinan karena

sesuai dengan maksud dari izin orang tua dalam perkawinan.

Kata Kunci: Hukum Islam, Kepala KUA, Usia Kedewasaan dalam Perkawinan

Page 3: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa
Page 4: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa
Page 5: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa
Page 6: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

vi

Motto

وان ليس لالنسان ال ما سعى

“dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang

telah diusahakannya”

(QS. An-Najm (53): 39)

Page 7: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

vii

PERSEMBAHAN

Saya persembahkan karya sederhana ini kepada:

Kedua Orang tua Tercinta, Bapak Jasan dan Ibu Marini

Kakak-kakakku Yeni Purwati, Lina Dewi Wahyuni, dan adik tersayang Putri Indriani Khotimah

Seorang terkasih yang kelak menjadi penyempurna ibadahku

Dan untuk almamaterku tercinta Program Studi Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta

Page 8: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan

transliterasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama Republik

Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:

158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/U/1987.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا

Bâ’ B Be ب

Tâ’ T Te ت

Ṡâ’ ṡ es (dengan titik di atas) ث

Jîm J Je ج

Ḥâ’ Ḥ ha (dengan titik di bawah) ح

Khâ’ Kh ka dan ha خ

Dâl D De د

Żâl Ż zet (dengan titik di atas) ذ

Râ’ R Er ر

Zai Z Zet ز

Sin S Es س

Syin Sy es dan ye ش

Ṣâd Ṣ es (dengan titik di bawah) ص

Ḍâd Ḍ de (dengan titik di bawah) ض

Page 9: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

ix

Ṭâ’ Ṭ te (dengan titik di bawah) ط

Ẓâ’ Ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ

Ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع

Gain G Ge غ

Fâ’ F Ef ف

Qâf Q Qi ق

Kâf K Ka ك

Lâm L El ل

Mîm M Em م

Nûn N En ن

Wâwû W W و

Hâ’ H Ha ھ

Hamzah ʼ Apostrof ء

Yâ’ Y Ye ي

B. Konsonan Rangkap

ددةمتع Ditulis muta’addidah

Ditulis ‘iddah ةعد

C. Ta’Marbuṭah di Akhir Kata

1. Bila dimatikan ditulis h

حكمة Ditulis ḥikmah

Ditulis ‘illah ةعل

Page 10: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

x

(ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap

dalam bahasa Indonesia, seperi salat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila

dikehendaki lafal aslinya).

2. Bila diikuti dengan kata sandang al serta bacaan kedua itu terpisah, maka

ditulis dengan h.

كرامةاألولياء Ditulis Karāmah al-Auliyā’

3. Bila ta’marbuṭah hidup atau dengan harakat fathah, kasrah dan dammah

ditulis t atau h.

Ditulis Zakāh al-Fiṭri زكاةالفطر

D. Vokal Pendek

فعل

Fathah

Ditulis

Ditulis

A

Fa’ala

ذكر

Kasrah Ditulis

ditulis

I

Żukira

يذھب

Dammah Ditulis

ditulis

U

Yażhabu

E. Vokal Panjang

1. Fathah + alif

فال

Ditulis

ditulis

Ā

Falā

2. Fathah + ya’ mati

تنسى

Ditulis

ditulis

Ā

Tansā

3. Kasrah + ya’mati

يمكر

Ditulis

ditulis

Ī

Karīm

Page 11: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

xi

4. Dammah + wawu mati

أصول

Ditulis

ditulis

Ū

Uṣūl

F. Vokal Rangkap

1. Fathah + ya’ mati

الزھيلي

Ditulis

ditulis

Ai

az-zuhailī

2. Fathah + wawu mati

الدولة

Ditulis

ditulis

Au

ad-daulah

G. Vokal Pendek Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof

نتمأأ Ditulis A’antum

Ditulis U’iddat أعدت

شكرتمنى ل Ditulis La’in syakartum

H. Kata Sandang Alif + Lam

Kata sandang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ال ,

namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang

yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti huruf

qamariyyah.

1. Bila diikuti Huruf Qamariyyah

Kata sandang yang diikuti oleh Huruf Qamariyyah ditransliterasikan sesuai

dengan bunyinya

نالقرأ Ditulis Al-Qur’an

Ditulis Al-Qiyās القياس

Page 12: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

xii

2. Bila diikuti Huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan Huruf

Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf 1 (el) nya.

’Ditulis As-Samā السماء

Ditulis Asy-Syams الشمش

I. Penulisan Kata-Kata dalam Rangkaian Kalimat

Ditulis menurut penulisannya.

Ditulis Żawī al-Furūḍ ذويالفروض

Ditulis Ahl as-Sunnah أھلالسنة

Page 13: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

xiii

KATA PENGANTAR

الرحيم بسم هللا الرحمن

وبه نستعين على أمور الدنيا و الدين , أشهد أن ال اله اال هللا وحده هلل رب العالمين , الحمد

, اللهم صل وسلم على سيدنا ال شر يك له وأشهد أن محمدا عبده ور سوله ال نبى بعده

جمعين , أما بعدوعلى اله وأصحا به أ محمد

Dengan menghaturkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Tinjuan Hukum Islam terhadap Pandangan Kepala KUA

se-Kota Yogyakarta tentang Usia Kedewasaan dalam Perkawinan pada Pasal 6

ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.

Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari zaman jahiliah menuju

zaman yang penuh dengan pencerahan dan semoga kita bisa memperoleh

syafaatnya pada yaumul akhir. Amin.

Penyusun menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, M.A. Ph.D., selaku Rektor UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Agus Mohammad Najib, M. Ag., selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

3. Bapak Mansur, S. Ag., M. Ag., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga

Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Page 14: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

xiv

4. Bapak Dr. Samsul Hadi, M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah berkenan meluangkan waktu dan tenaganya untuk membantu dan

membimbing penyusun dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. H. Khoiruddin, M.A., selaku dosen pembimbing

akademik.

6. Terima kasih kepada seluruh dosen jurusan Hukum Keluarga Islam

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga yang telah memberikan

ilmunya.

7. Kepada seluruh Kepala KUA beserta staf yang ada di Kota Yogyakarta,

yang telah berkenan memberi pendapat dan data dalam penyusunan

skripsi.

8. Kedua orangtuaku Bapak Jasan dan Ibu Marini yang selalu mendoakan

dan berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi masa depan anak-

anaknya.

9. Kakak dan Adikku, Yeni Purwati, Lina Dewi Wahyuni dan Putri Indriani

Khotimah yang selalu memberikan dorongan dan motivasi untuk

kelancaran dalam menyelesaikan studi.

10. Kepada teman-teman AS angakatan 2014, yang telah melalui proses

bersama-sama, sehingga mengukir cerita indah bagi hidup penyusun.

11. Kepada teman-teman LIMAPUSAKA (Lingkar Mahasiswa Purbalingga

UIN Sunan Kalijaga) khususnya teman-teman di sekretariatan yang telah

menemani penyusun untuk berjuang di tanah perantauan.

Page 15: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

xv

Sebagai manusia biasa penyusun menyadari dalam penyusunan skripsi ini

masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik serta

saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi

ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca maupun masyarakat. Amin Ya Rabbal

‘Alamin.

Yogyakarta, 04 Dzulqa’dah 1439 H

17 Juli 2018 M

Penyusun

Yusuf Adi Putra

NIM. 14350011

Page 16: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

xvi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... .... i

ABSTRAK .................................................................................................. .... ii

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI .................................................... .... iii

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... .... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ............................................... .... v

MOTTO ...................................................................................................... .... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ .... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................................ .... viii

KATA PENGANTAR ................................................................................ .... xiii

DAFTAR ISI ............................................................................................... .... xvi

DAFTAR TABEL ...................................................................................... .... xix

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... .... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. .... 1

B. Pokok Masalah ........................................................................... .... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ .... 8

D. Telaah Pustaka............................................................................ .... 9

E. Kerangka Teoritik ....................................................................... .... 14

F. Metode Penelitian ....................................................................... .... 19

G. Sistematika Pembahasan ............................................................ .... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG USIA KEDEWASAAN DALAM

PERKAWINAN DAN MAQĀṢID ASY-SYARĪ’AH .............. .... 26

Page 17: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

xvii

A. Tinjuan Umum Usia Kedewasaan dalam Perkawinan ............... .... 26

1. Pengertian Usia Kedewasaan dalam Perkawinan ................... .... 26

2. Asas-asas Perkawinan............................................................. .... 33

3. Usia Kedewasaan dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam .... 35

4. Usia Kedewasaan dalam Perkawinan Menurut Perundang-undangan

............................................................................................... .... 40

B. Gambaran Umum Maqāṣid asy-Syarī’ah ................................... .... 47

1. Pengertian Maqāṣid asy-Syarī’ah ........................................... .... 47

2. Pembagian Maqāṣid asy-Syarī’ah .......................................... .... 48

BAB III GAMBARAN UMUM KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)

KOTA YOGYAKARTA DAN PANDANGAN KEPALA KUA SE-

KOTA YOGYAKARTA TENTANG USIA KEDEWASAAN

DALAM PERKAWINAN PADA PASAL 6 AYAT (2) UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

.................................................................................................... .... 56

A. Deskripsi Kantor Urusan Agama (KUA) di Kota Yogyakarta ... .... 56

B. Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tentang Usia

Kedewasaan dalam Perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ..................................... .... 65

C. Draft Tabulasi Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Tentang Usia Kedewasaan dalam Perkawinan pada Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ......... .... 89

Page 18: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

xviii

BAB IV TINJAUAN MAQĀṢID ASY-SYARĪ’AH TERHADAP

PANDANGAN KEPALA KUA SE-KOTA YOGYAKARTA

TENTANG USIA KEDEWASAAN DALAM PERKAWINAN

PADA PASAL 6 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ................................ 98

BAB V PENUTUP .................................................................................. .... 114

A. Kesimpulan ................................................................................... .... 114

B. Saran-Saran ................................................................................... .... 116

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ .... 117

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 19: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Peraturan Perundang-undangan tentang batas umur anak atau

belum dewasa dan dewasa.

Tabel 2 Pandangan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) tentang usia

kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 20: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan sebuah awal dari fase kehidupan yang baru,

dimana seseorang akan berada pada ikatan suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Sebelum ada

ikatan perkawinan mereka masing-masing hidup sendiri, namun setelah ada

ikatan perkawinan mereka hidup bersama kemudian muncul hak dan kewajiban

tertentu antara satu dengan yang lain dan antara mereka bersama terhadap

masyarakat. Dalam menghadapi fase kehidupan yang baru sebagai ikatan

suami istri tentu membutuhkan persiapan yang matang agar dapat mewujudkan

tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.

Dalam mewujudkan tujuan utama perkawinan yaitu mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tentu

membutuhkan bekal yang cukup guna memudahkan jalan bagi suami dan istri

dalam membina keluarganya. Bekal tersebut ialah kemampuan secara jasmani,

rohani, dan materi. Oleh karena itu, seseorang yang pada usia tertentu telah

mencapai keadaan tersebut dianjurkan untuk menikah, sebagaimana tercantum

dalam surat An-Nūr ayat 32:

وانكحوا االيامى منكم والصلحين من عبادكم واما ءكم1

1 An-Nūr (24): 32.

Page 21: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

2

Hukum Islam tidak pernah menentukan pada usia berapa seseorang

dipandang telah cukup matang untuk menikah. Hal ini dimaksudkan antara lain

untuk menjaga keadaan dimana kesiapan biologis setiap orang tidak sama.

Bahkan, setiap daerah dan zaman memiliki perbedaan dengan daerah dan

zaman yang lainnya, yang sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya

usia kedewasaan seseorang.2 Sedangkan dalam fikih, suatu perkawinan tetap

saja sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi, tanpa mengharuskan usia

kedewasaan para calon suami istri. Akan tetapi, aspek kedewasaan seseorang

tidak dapat disampingkan dalam mewujudkan kemaslahatan rumah tangga.

Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator untuk mencapai

tujuan utama perkawinan, yaitu mendapatkan ketentraman dan kasih sayang

dalam mewujudkan kelurga sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagaimana

disebutkan dalam surat Ar-Rūm ayat 21:

ومن ايته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة3

Tujuan utama perkawinan akan tercapai apabila calon pasangan suami

istri telah memenuhi syarat ‘aqil dan baligh. ‘Aqil adalah berakal, mengetahui

atau memahami, sedangkan baligh adalah sampai. Dalam perkawinan, orang

yang telah ‘aqil-baligh adalah orang yang telah sampai pada usia tertentu dan

mampu mengetahui atau memahami hukum pernikahan, serta siap secara

jasmani dan rohani untuk menjalani bahtera rumah tangga. Dengan demikian,

2 H.M. Ghufron, Makna Kedewasaan dalam Perkawinan (Analisis terhadap Pembatasan

Usia Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974), www. academia.edu.com, diakses

24 February 2018.

3 Ar-Rūm (30): 21.

Page 22: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

3

orang yang telah ‘aqil-baligh adalah orang yang telah dewasa dan bukan anak-

anak.4

Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan mengenai usia minimal

perkawinan mengemuka seiring dengan aturan-aturan yang ada. Perdebatan

yang melibatkan akademisi dan para pakar yang berkompeten disebabkan

karena tidak adanya kesamaan dalam mengatur batas usia kedewaasaan untuk

menikah. Penentuan batas usia dewasa terkesan tidak konsisten karena antara

undang-undang satu dengan yang lainnya tidak memiliki kesamaan dan

keterkaitan.

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan

Anak, batas usia seseorang dapat disebut anak ialah kurang dari 18 tahun.5

Batas usia dewasa tersebut, berbeda dengan batas minimal usia perkawinan

yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.6 Perbedaan yang

lain terdapat dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2013

tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa usia dewasa ialah di

atas usia 17 tahun dan wajib memiliki KTP elektronik.7

4 Rahmani Timorita Yulianti, Benarkah Akil Baligh Sebagai Batas Minimal Usia

Pernikahan?, (Yogyakarta: Kaukaba Dirpantara, 2011), hlm. 9.

5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak , Pasal 1 angka (1)

menyebutkan: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan”.

6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1).

7 Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 63 ayat (1) menyebutkan: “Penduduk

Page 23: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

4

Peraturan tentang batas usia minimal perkawinan yang tertuang dalam

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah banyak diketahui

oleh masyarakat hingga muncul berbagai diskusi yang berujung pro dan kontra.

Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan bukan hanya

mengatur tentang batas usia minimal perkawinan. Tetapi juga mengatur tentang

batas usia minimal seseorang harus mendapat izin orang tua untuk menikah

yaitu dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.8

Penentuan usia 21 tahun dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang

Perkawinan tidak bertentangan dengan undang-undang lain yang mengatur usia

kedewasaan. Bahkan, penentuan usia 21 tahun melebihi batas usia anak-anak

yang diatur dalam undang-undang lain, seperti Undang-Undang Perlindungan

Anak, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang Administrasi

Kependudukan. Selain itu, beberapa kalangan menilai bahwa usia 21 tahun

atau lebih merupakan usia ideal dalam melangsungkan pernikahan dibanding

usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini didasarkan

dari kematangan dan kemampuan di berbagai segi kehidupan pada usia 21

tahun.

Usia kedewasaan dalam perkawinan menunjukkan bahwa seseorang

telah memasuki cukup dewasa untuk melangsungkan pernikahan karena

perwalian terhadap hak milik anak telah hilang. Perwalian yang dimaksud

Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur

17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el”

8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (2) menyebutkan:

“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun

harus mendapat izin orang tua”.

Page 24: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

5

meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan. Hal ini dijelaskan pula

dalam Kompilasi Hukum Islam Buku 1 tentang Perkawinan pada Pasal 107

ayat (1) menyebutkan, “Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai

umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.”9

Dengan demikian, penentuan batas usia kurang dari 21 tahun yang

diharuskan mendapat izin dari orang tua dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-

Undang No. 1 tentang Perkawinan, mengindikasikan bahwa pemerintah

mengatur usia kedewasaan untuk menikah berada pada usia 21 tahun.

Sedangkan seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun, harus mendapat izin

dari orang tua karena dalam masa perwalian sehingga dianggap belum bisa

bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam

Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam, “Batas usia anak yang mampu berdiri

sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat

fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.

Perbedaan tentang batas usia minimal perkawinan dan usia kedewasaan

dalam perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan menjadi hal

yang jarang diketahui oleh masyarakat. Masyarakat lebih mengetahui aturan

batas usia minimal perkawinan dibanding batas usia kedewasaan dalam

perkawinan yang diharuskan mendapat izin orang tua. Akibatnya masyarakat

banyak yang menyamakan usia kedewasaan dalam perkawinan dengan batas

usia minimal perkawinan.

9 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 107.

Page 25: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

6

Jika melihat fenomena yang ada saat ini, orang tua memberikan izin

dan mendorong anaknya untuk menikah dengan alasan telah memenuhi umur

yang ditentukan undang-undang, sedangkan aspek kedewasaan dan

kemampuan anak diabaikan baik kemampuan akal, materi, ataupun psikis.

Bahkan, keberlangsungan pendidikan anak tidak jarang dikesampingkan.

Menurut data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak (KemenPPPA) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan perempuan

usia 20-24 tahun yang melakukan perkawinan pada usia anak berdasar pada

Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu usia kurang dari 18 tahun

mengalami dampak yang cukup memprihatinkan terhadap keberlangsungan

pendidikan. Sebesar 94,72% perempuan usia 20-24 tahun tidak bersekolah lagi

karena melakukan perkawinan di usia anak, 0,9% belum pernah sekolah,

sementara yang masih bersekolah hanya 4,38%.10

Realita yang ada ialah seorang yang belum dewasa cenderung kurang

dapat membangun rumah tangga dengan baik, dibandingkan dengan seorang

yang telah dewasa. Hal ini tentu dapat menjadi faktor keretakan rumah tangga,

serta dapat menjadi faktor penyebab perceraian karena belum mampunyai

bekal yang cukup untuk menghadapi permasalahan keluarga.

Terdapat beberapa faktor mempengaruhi orang tua untuk menikahkan

ataupun mengizinkan anaknya untuk menikah tanpa melihat aspek

kedewasaan, seperti faktor adat, kebiasaan, ekonomi, dan lingkungan.

Sedangkan sang anak memegang konsep sami’nā wa aṭa’nā, dimana sang anak

10 “Perkawinan Anak: Sebuah Ikatan Sakral Pemadam Api Harapan”,

www.kemenpppa.go.id, akses tanggal 4 Juni 2018.

Page 26: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

7

patuh terhadap perintah orang tua, termasuk perintah untuk menikah. Hal ini

dapat dilihat dengan sedikitnya permasalahan izin orang tua dalam administrasi

perkawinan di KUA karena izin orang tua sudah didapatkan, sedang

kedewasaan anak diabaikan.

Penelitian ini terfokus pada kemaslahatan batas usia 21 tahun dalam

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Mengingat pada usia tersebut seseorang berada dalam batasan perwalian

sebagai akibat kedewasaan menurut hukum positif sehingga diperlukan

tinjauan hukum Islam untuk mengetahui terjamin atau tidaknya lima aspek

kemaslahatan manusia dalam usia tersebut. Adapun lima aspek kemaslahatan

manusia ialah agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta.

Penyusun mengambil pandangan Kepala Kantor Urusan Agama di Kota

Yogyakarta sebagai bahan utama penelitian karena setiap perkawinan yang

terjadi di Kota Yogyakarta berawal atas persetujuan kepala KUA, maka perlu

diketahui pendapat mereka. Selain itu, Kepala KUA yang sekaligus berperan

sebagai penghulu memiliki ilmu dan pengalaman yang mumpuni tentang

praktik hukum perkawinan.

Alasan penyusun mengambil data di KUA Kota Yogayakarta karena

kondisi masyarakat di Kota Yogyakarta lebih heterogen dibandingkan

kabupaten lain di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga

memunculkan permasalahan yang lebih beragam dalam masyarakat. Perlu

diketahui bahwa jumlah pernikahan di bawah usia 21 tahun yang terjadi di

Kota Yogyakarta pada tahun 2017 yang dilakukan oleh mempelai laki-laki

Page 27: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

8

berjumlah 131 orang dan mempelai perempuan berjumlah 270 orang,

sedangkan jumlah pernikahan yang terjadi berjumlah 2290 pernikahan. Hal ini

menunjukkan bahwa jumlah perkawinan di bawah usia 21 tahun atau usia

kedewasaan di Kota Yogyakarta terbilang cukup banyak dan diskusi tentang

upaya pendewasaan usia perkawinan telah banyak dilakukan oleh para

penghulu yang ada di Kota Yogyakarta.

Berdasarkan pemaparan di atas, penyusun merumuskan penelitian

tentang tinjauan hukum Islam terhadap pandangan Kepala KUA se-Kota

Yogyakarta tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

B. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan pokok masalah yaitu: Bagaimana tinjauan Maqāṣid asy-Syarī’ah

terhadap pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta tentang usia

kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan pokok masalah, maka tujuan penelitian adalah untuk

menjelaskan tinjauan Maqāṣid asy-Syarī’ah terhadap pandangan Kepala KUA

se-Kota Yogyakarta tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6

ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 28: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

9

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

`a. Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan terutama

dalam kajian yang berkaitan dengan usia perkawinan.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pemahaman dan pengetahuan yang baik bagi masyarakat tentang usia

kedewasaan untuk menikah.

D. Telaah Pustaka

Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan oleh penyusun,

terdapat beberapa karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan karya ilmiah lain yang

berkaitan dengan tema yang dikaji dalam skripsi ini.

Pertama, tulisan Ali Imron yang berjudul “Perlindungan dan

Kesejahteraan Anak dalam Perkawinan di Bawah Umur”. Tulisan ini

memaparkan bahwa perkawinan di bawah umur pada dasarnya secara normatif

melanggar regulasi perlindungan dan kesejahteraan anak. Sedangkan

dispensasi perkawinan yang diberikan oleh pengadilan dapat membuka

terjadinya perkawinan di bawah umur yang berpotensi menghalangi tujuan dan

hikmah perkawinan sehingga harus diperketat pelaksanaannya karena

bertentangan dengan maksud undang-undang. Hal ini mempertemukan antara

maslahah makro yang menghendaki kesejahteraan anak dan keluarga pada

umumnya dan maslahah mikro yang memperhatikan kepentingan calon

Page 29: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

10

pasangan tertentu atas dasar pemikiran bahwa maslahah makro dan mikro tidak

boleh saling merugikan dan harus seimbang.11

Kedua, tulisan Rahma Khairani dan Dona Eka Putri yang berjudul

“Kematangan Emosi pada Pria dan Wanita yang Menikah Muda”. Tujuan

tulisan ini adalah untuk menguji secara empiris perbedaan kematangan emosi

pada pria dan wanita yang menikah muda. Melalui penelitian terhadap 25

orang pria dan 25 orang wanita yang berusia 18-24 tahun yang menikah muda,

disimpulkan bahwa adanya perbedaan kematangan emosi yang sangat

signifikan pada pria dan wanita yang menikah muda. Dimana pria memiliki

kematangan emosi yang lebih tinggi dibandingkan wanita.12

Ketiga, skripsi yang disusun oleh Erik Tauvani Somaf yang berjudul

“Pandangan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Kota Yogyakarta Terhadap Batas

Minimal Usia Perkawinan Tinjauan Maslahah”. Pokok permasalahan dalam

skripsi ini ialah bagaiamana pandangan dan alasan tokoh-tokoh

Muhammadiyah Kota Yogyakarta terhadap batas minimal perkawinan dan

bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pandangan tersebut. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian lapangan dengan pendekatan

normatif yuridis. Hasilnya menunjukan bahwa pandangan tokoh-tokoh

Muhammadiyah Kota Yogyakarta terhadap batas minimal usia perkawinan

tinjauan maslahah adalah berbeda-beda. Perbedaan tersebut diklasifikasikan ke

11 Ali Imron, “Perlindungan dan Kesejahteraan Anak dalam Perkawinan di Bawah

Umur”, Jurnal Al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 Tahun 2013, hlm. 254., akses tanggal 30 Juli 2018,

http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/tahrir/article/view/16.

12 Rahma Khairani dan Dona Eka Putri, “Kematangan Emosi pada Pria dan Wanita yang

Menikah Muda”, Jurnal Psikologi, Vo. 1, No. 2, Juni 2018, hlm. 136., akses tanggal 30 Juli 2017,

http://www.ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/289.

Page 30: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

11

dalam tiga kelompok, yaitu kelompok tekstual, kontekstual, dan moderat.

Namun, demikian sesungguhnya ketiga kelompok tersebut menghendaki

kemaslahatan bagi masyarakat.13

Keempat, skripsi yang disusun oleh Elly Surya Indah dengan judul

“Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Fiqh Empat Mazhab Dan UU No. 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Rumusan masalah dalam skripsi ini ialah

bagaimana pandangan ulama fiqih empat mazhab dan UU No. 1 Tahun 1974

mengenai batas minimal usia perkawinan serta relevansi antar pendapat

keduanya. Melalui pendekatan yuridis normatif dan sosiologis, skripsi ini

menerangkan bahwa pendapat antara Imam mazhab dan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan menganai batas minimal perkawinan adalah

sama-sama menekankan pada segi kematangan mental, sedangkan perbedaanya

adalah Imam Mazhab memulai dengan umur dewasa yaitu 9 tahun bagi wanita,

15 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

minimal usia nikah adalah 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.14

Kelima, Muh. Ainun Najib dalam penelitiannya yang berjudul

“Penetapan Usia Perkawinan (Analisis Menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak)”. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian

ini ialah, (1) Apa yang melatar belakangi UU Perkawinan dan UU

13 Erik Tauvani Somaf, “Pandangan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Kota Yogyakarta

Terhadap Batas Minimal Usia Perkawinan Tinjauan Maslahah”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.

14 Elly Surya Indah, “Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Fiqh Empat Mazhab Dan

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.

Page 31: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

12

Perlindungan Anak dalam menetapkan usia perkawinan. (2) Bagaimana

landasan filosofis antara UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak dalam

menentukan batas minimal usia nikah. Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif, analisis dan komparatif. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak Pasal (1) menetapkan usia diatas 18 tahun

tidak lagi disebut sebagai seorang anak, sehingga berdasar pasal tersebut usia

16 tahun bagi wanita yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganai batasan usia perkawinan

merupakan usia anak-anak . Namun, usia minimal yang baik untuk

melangsungkan sebuah pernikahan pada dasarnya adalah yang bisa

memberikan memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.15

Keenam, penelitian milik Moh. Alex Fawzi yang berjudul “Batas Usia

Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kesehatan Reproduksi”.

Dalam penelitian ini memuat penjelasan tentang dampak pernikahan anak-anak

bagi kesehatan reproduksi dan tinjauan hukum Islam terhadap usia ideal

perkawinan menurut kesehatan reproduksi. Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan ushul fiqh dengan kaidah yang digunakan

adalah sadd adz-dzarī’ah, yaitu pencegahan terhadap segala sesuatu yang

membawa mafsadah. Dalam UU Perkawinan memperbolehkan menikah bagi

perempuan ketika usia 16 tahun, namun usia 16 tahun masih dalam kategori

15 Muh. Ainun Najib, “Penetapan Usia Perkawinan (Analisis Menurut Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak)”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2014.

Page 32: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

13

anak-anak yang belum matang kondisi alat reproduksinya, serta secara fisik

dan mental belum siap untuk menjalani konsekuensi pernikahan.16

Ketujuh, studi yang membahas tentang usia perkawinan seperti skripsi

yang ditulis oleh Muhammad Khamim dengan judul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Usia Perkawinan Menurut Imam Syafi’i”. Skripsi ini menjelaskan

tentang bagaimana pandangan dan istinbāṭ Imam Syafi’i tentang usia

perkawinan ditinjau dari hukum Islam. Penelitian ini mengambil kesempulan

bahwa inti dari metode istinbāṭ hukum Imam Syafi’i yaitu posisi “tengah” yang

dapat dilihat dalam dasar-dasar mahzabnya dan fikih Imam Syafi’i secara tidak

langsung membatasi minimal usia perkawinan adalah 15 tahun untuk laki-laki

dan 9 tahun untuk perempuan. Skripsi ini merupakan penelitian literer (library

research) dengan mengambil data primer dari Kompilasi Hukum Islam dan

kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i.17

Berdasarkan penelusuran pustaka berupa skripsi telah banyak yang

membahas tentang usia perkawinan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974. Namun sejauh pengetahuan penyusun belum ada

dalam bentuk skripsi yang pembahasannya menitikberatkan pada usia

kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

16 Moh. Alex Fawzi, “Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam dan Kesehatan Reproduksi”,

skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.

17 Muhammad Khamim, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Usia Perkawinan Menurut

Imam Syafi’i”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2013.

Page 33: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

14

E. Kerangka Teoritik

Kehidupan rumah tangga yang kokoh dalam perkawinan menjadi syarat

penting bagi kesejahteraan keluarga. Maka dengan itu, persiapan untuk

membentuk sebuah keluarga menjadi sangat penting untuk mewujudkan tujuan

perkawinan. Persiapan yang dibutuhkan ialah persiapan jasmani, akal, dan

materi sehingga tercapainya calon suami-isteri yang masak jiwa raganya.

Masak jiwa raga yang dimaksud dalam persiapan membina rumah tangga

merujuk pada usia kedewasaan seseorang.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai dasar peraturan perkawinan

di Indonesia tidak menentukan usia kedewasaan secara tegas dan jelas.

Undang-Undang Perkawinan hanya mengatur secara tegas dan jelas mengenai

batas usia minimal perkawinan yaitu pria berusia 19 tahun dan wanita berusia

16 tahun. Namun, peraturan tersebut tidak mengindikasikan usia kedewasaan

seseorang, sedangkan hukum Islam tidak mengatur dengan jelas dan tegas usia

minimal dalam perkawinan.

Syari’at Islam hanya memberi batasan seseorang telah mencapai usia

nikah, yaitu ketika baligh atau rusyd (cakap atau pandai). Baligh merupakan

fase perubahan dari masa anak-anak ke masa dewasa dalam bentuk fisik atau

biologis maupun non biologis. Gejala-gejala balig bagi seorang anak laki-laki

yang dapat diketahui yaitu mengalami ihtilam atau mimpi basah, yaitu

Page 34: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

15

keluarnya mani. Gejala baligh bagi anak perempuan yaitu dia akan mengalami

menstruasi.18 Istilah rusyd terdapat dalam Surat an-Nisā ayat 6:

19فان انستم منهم رشدا فادفعوا اليهم اموا لهم

Menurut Abu Hanifah bahwa dewasa yang dimaksud dengan istilah

rusyd ( رشد ) dalam surat an-Nisā ayat 6 ialah sanggup bertindak dengan baik

dalam mengurus harta dan manafkahkan harta itu sesuai dengan pikiran yang

waras, tindakan yang bijaksana, dan peraturan agama.20 Dengan kata lain,

rusyd merupakan bentuk pendewasaan akal atau mental, yaitu manusia mampu

untuk mandiri dalam mengurus harta miliknya dan bertanggung jawab terhadap

diri sendiri. Namun, Syari’at Islam tidak memberikan batasan umur secara

pasti dan konkrit yang dinyatakan dengan bilangan angka.

Dalam hukum positif, peraturan tentang usia perkawinan diatur dalam

dua pasal yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974. Pasal 6 ayat (2) menyebutkan, “Untuk melangsungkan

perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun

harus mendapat izin orang tua”.21 Sedangkan Pasal 7 ayat (1) menyebutkan,

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)

18 Dadan Muttaqien, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet. ke-1

(Yogyakarta: Insania Citra Pres, 2006), hlm. 23.

19 An-Nisā (4): 6.

20 Zakariya Ahmad al-Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1977), hlm. 116.

21 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (2).

Page 35: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

16

tahun”.22 Dua aturan tersebut mengatur tentang batas usia minimal untuk dapat

menikah (Pasal 7 ayat (1)) dan batas usia maksimal perkawinan yang harus

mendapat izin orang tua (Pasal 6 ayat (2)). Jika dua peraturan tersebut tidak

dipenuhi maka perkawinan tidak bisa dicatatkan dan tidak dapat dilaksanakan,

karena aturan usia perkawinan dan izin orang tua tersebut merupakan syarat

perkawinan menurut hukum positif. Apabila syarat-syarat tersebut tidak

terpenuhi maka dapat mengajukan dispensasi dari pengadilan.

Pemberlakuan peraturan tentang usia perkawinan merupakan bentuk

dari prinsip Undang-Undang Perkawinan yaitu calon suami istri itu harus telah

masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir perceraian dan

mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dengan kata lain, undang-undang

menghendaki perkawinan dilakukan pada usia dewasa, sedangkan dalam

Undang-Undang Perkawinan yang mengatur tentang usia minimal perkawinan,

pihak perempuan masih dalam masa anak-anak yang belum siap dari segi

psikis. Di sisi lain, justru peraturan tentang usia kurang dari 21 tahun

diharuskan mendapat izin orang tua untuk menikah, menunjukan seseorang

telah masuk usia dewasa yaitu usia lebih dari 21 tahun. Hal ini dikarenakan

seseorang yang berumur lebih dari 21 tahun tidak diharuskan izin orang tua

dalam menikah. Dengan kata lain, hak perwalian atas pribadi anak dan harta

benda anak telah lepas, sedangkan perwalian hanya berlaku untuk anak-anak.

22 Ibid., Pasal 7 ayat (1).

Page 36: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

17

Peraturan tentang batas usia perkawinan yang diwajibkan izin orang tua

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diperkuat oleh Kompilasi Hukum

Islam Pasal 15 ayat (2) yang berbunyi,”Bagi calon mempelai yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam

pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974”.23 Maksudnya bukan

berarti orang tua ikut campur tangan terhadap hak asasi dari kedua calon

mempelai, akan tetapi karena kondisi anak masih dalam masa transisi menuju

kedewasaan sehingga perananan dan bimbingan orang tua sangat penting.24

Penelitian ini menggunakan teori Maqāṣid asy-Syarī’ah yang berarti

maksud atau tujuan disyari’atkan hukum Islam. Tujuan syara’ dalam

menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia

seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di

hari yang baqa (kekal)25, ini berdasarkan surat Al-Anbiyā ayat 107:

26وما ارسلنك اال رحمة للعلمين

Asy-Syāṭibī mengemukakan bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum

Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat.27

23 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 15 ayat (2).

24 Dadan Muttaqien, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet. ke-1, hlm.

63.

25 Zain Dahlan, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 65.

26 Al-Anbiyā (21): 107.

27 Abī Isḥāq Ībrāhim bin Mūsa bin Muhammad al-Lakhmī Asy-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt Fī

Usūl asy-Syarī’ah, (Kairo: Al-Hayah al-Miṣrīyah al-Āmmah, 2006), juz II, hlm. 4.

Page 37: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

18

Kemaslahatan itu akan terwujud dengan cara terpeliharanya tiga macam

kebutuhan manusia, yaitu bersifat dharūriyyāt, ḥājiyyāt, dan taḥsīniyyāt.28

1. Kebutuhan dharūriyyāt, yaitu syari’at menjadi tiang untuk menegakkan

berbagai kemaslahatan di dunia dan akhirat. Jika tiang-tiang syari’at

tersebut tidak ditegakkan dan dilaksanakan, maka kemaslahatan dunia dan

akhirat itu akan hilang dan tidak akan terwujud. Adapun jumlah tujuan yang

bersifat dharūriyyāt itu menjadi lima bagian: agama (Ḥifẓ ad-Dīn), jiwa

(Ḥifẓ an-Nafs), akal (Ḥifẓ al-‘Aqli), keturunan (Ḥifẓ an-Nasl), dan harta

(Ḥifẓ al-Māl).29

2. Kebutuhan ḥājiyyāt adalah sebagai sesuatu yang dibutuhkan guna

menghilangkan kesempitan yang secara lahiriah kesempitan tersebut

mendatangkan kepayahan dan menimbulkan kesusahan, karena tidak

didapatnya yang dituntut.30

3. Kebutuhan taḥsīniyyāt adalah mengambil sesuatu yang baik dalam adat

kebiasaan dan meninggalkan hal-hal yang buruk yang mengotori akalnya.

Mengenai sesuatu yang baik dan buruk ini terakomodasi dalam

perbincangan akhlak.31

28 Ibid., hlm. 6.

29 Ibid., hlm. 8.

30 Yusuf al-Qaraḍawi, Membumikan Syari’at Islam, alih bahasa Muhammad Zakki dan

Yasir Tajid, cet. ke-1 (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hlm. 59.

31 Abī Isḥāq Ībrāhim bin Mūsa bin Muhammad al-Lakhmī Asy-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt Fī

Usūl asy-Syarī’ah, juz II, hlm. 9.

Page 38: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

19

Imam Asy-Syāṭibī menjelaskan bahwa kemaslahatan agama dan dunia

itu tegak di atas pemeliharaan dharūriyyāt (tujuan primer). Jika tujuan

dharūriyyāt itu hilang dan tidak terpelihara, maka dunia tidak akan terwujud.

Begitu pula perkara akhirat yang tidak akan ada tanpa adanya dunia.32

Apabila kelima unsur pokok yang terdapat dalam dharūriyyāt dapat

terpelihara, maka tujuan perkawinan sebagai tujuan primer (dharūriyyāt ) akan

terwujud. Kaitannya dengan usia kedewasaan dalam perkawinan, maka

penentuan usia 21 tahun pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 sebagai usia kedewasaan dalam perkawinan merupakan upaya untuk

menghilangkan kesusahan dalam mewujudkan tujuan utama perkawinan

(ḥājiyyāt). Selain itu, kedewasaan dalam perkawinan dapat menjadi kebutuhan

utama (dharūriyyāt) apabila memenuhi lima aspek kemaslahatan yaitu agama,

akal, jiwa, keturunan, dan harta sehingga dapat menegakakan kemaslahatan

dalam perkawinan serta mencegah kerusakan dalam perkawinan. Dalam rangka

terwujudnya keluarga yang bahagia dan kekal serta mencegah perceraian, maka

perlu dilakukan kajian tentang peraturan tersebut. Apakah peraturan tentang

usia kedewasaan dalam perkawinan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

telah memenuhi memenuhi lima aspek kemaslahatan atau justru menimbulkan

madharat.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

32 Yusuf al-Qaraḍawi, Membumikan Syari’at Islam, alih bahasa Muhammad Zakki dan

Yasir Tajid, cet. ke-1, hlm. 59.

Page 39: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

20

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan dari

data yang diperoleh dari fakta-fakta yang ada di lapangan dengan tujuan

untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam masyarakat.33 Dalam

hal ini, data dan informasi diperoleh dari Kepala Kantor Urusan Agama se-

Kota Yogyakarta.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini menggunakan metode preskriptif yaitu suatu

analisis penelitian yang ditujukan untuk memberikan preskripsi atau

penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang semestinya menurut

hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.34

Penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mengetahui penilaian atau

pandangan Kepala KUA di Kota Yogyakarta terhadap Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan menganalisisnya menggunakan

teori Maqāṣid asy-Syarī’ah.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam skripsi ini adalah Kantor Urusan Agama

(KUA) di Kota Yogyakarta yang terdiri dari 14 (empat belas) KUA yaitu

KUA Kec. Gedongtengen, KUA Kec. Pakualaman, KUA Kec. Danurejan,

KUA Kec. Kraton, KUA Kec. Ngampilan, KUA Kec. Umbulharjo, KUA

33 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara,

1995), hlm. 28.

34 Mukti Fajar ND, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, cet. ke-1

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 184.

Page 40: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

21

Kec. Kotagede, KUA Kec. Gondokusuman, KUA Kec. Gondomanan, KUA

Kec. Jetis, KUA Kec. Mantrijeron, KUA Kec. Mergangsan, KUA Kec.

Tegalrejo, dan KUA Kec. Wirobrajan.

4. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan normatif yaitu suatu

pendekatan yang mengacu pada peraturan perundang-undangan (law in

books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan

patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.35 Dalam hal ini

berdasarkan pada buku-buku yang memuat tentang teori Maqāṣid asy-

Syarī’ah menurut Asy-Syāṭībī sebagai data primer penelitian. Sumber data

primer yang lain ialah pandangan Kepala KUA tentang usia kedewasaan

dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

sedangkan data sekunder berupa data pernikahan berdasarkan usia yang

terjadi di Kota Yogyakarta dalam satu tahun terakhir.

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematis dan standar

untuk memperoleh data yang diperlukan selalu ada hubungan antara metode

pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan.36

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada

tiga yaitu:

35 Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2004), hlm. 118.

36 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 174.

Page 41: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

22

a. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu obyek dengan

sistematika fenomena yang diselidiki.37 Dalam hal ini penyusun

melakukan observasi langsung ke Kantor Urusan Agama (KUA) yang

ada di Kota Yogyakarta untuk memperoleh gambaran bagaimana

pandangan Kepala KUA terhadap usia kedewasaan dalam perkawinan

pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berdasarkan

pemahaman tentang nilai-nilai yang terdapat dalam Maqāṣid asy-

Syarī’ah.

b. Wawancara, merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan

jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara

pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden).

Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak

langsung. Adapun wawancara yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

wawancara dalam bentuk komunikasi langsung yakni peneliti berhadapan

langsung dengan responden untuk menanyakan secara lisan hal-hal yang

diinginkan, dan jawaban responden dicatat oleh pewawancara.38

Metode yang digunakan dalam wawancara ini ialah wawancara bebas

terpimpin, yaitu wawancara yang dilakukan dengan cara mengajukan

pertanyaan kepada interviewee berdasarkan pokok yang telah disusun.39

Wawancara yang dilakukan pada responden atau pihak-pihak terkait

37 Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Penelitian Pemula,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 69.

38 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 72.

39 Madyana, Dasar Penentuan Sampel Dalam Metodologi Penelitian, (Yogyakarta:

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1996), hlm. 131.

Page 42: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

23

dengan penelitian ini, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di 14

(empat belas) Kecamatan di Kota Yogyakarta yang dipilih penyusun

dengan anggapan mengetahui pokok permasalahan secara baik.

c. Dokumentasi, yaitu cara mengumpulkan data melalui peninggalan

tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku

tentang pendapat, teori, dalil/hukum-hukum dan lain-lain yang

berhubungan dengan masalah penyelidikan.40 Dalam penelitian ini

penyusun akan menelusuri dokumen jumlah pernikahan berdasarkan usia

dalam arsip KUA di Kota Yogyakarta.

6. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif

yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkap gejala secara

holistik-kontekstual (secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks/apa

adanya) melalui pengumpulan data dari latar alami sebagai sumber langsung

dengan instrumen kunci penelitian itu sendiri.41 Data yang diperoleh

selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metode deduktif, yaitu pola

berfikir yang bertolak dari pernyataan bersifat umum ke sesuatu yang

khusus.42 Penelitian ini bertolak dari kedewasaan dalam perkawinan yang

ada pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menurut

pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta. Data akan disimpulkan

40 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1993), hlm. 133.

41 Ahmad Tanzeh, Metodologi Penelitian Praktis, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 64.

42 Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Penelitian Pemula,

hlm. 40.

Page 43: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

24

dengan metode induktif, yaitu mulai dari fakta, realita, gejala, masalah yang

diperoleh melalui suatu observasi khusus kemudian penyusun membangun

pola-pola umum.43 Dalam hal ini kesimpulan didasarkan pada pandangan

Kepala KUA se-Kota Yogyakarta yang dianalisis menggunakan lima aspek

kemaslahatan dalam teori Maqāṣid asy-Syarī’ah.

G. Sistematika Pembahasan

Suatu penelitian ilmiah diharuskan memiliki pembahasan yang

sistematis agar penelitian dapat terarah dan memudahkan dalam pembahasan

penelitian ini. Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini terbagi

menjadi lima bagian, yaitu:

Bab pertama, berisi pendahuluan sebagai pengantar secara keseluruhan

sehingga akan memperoleh gambaran umum tentang pembahasan skripsi ini.

Dalam pembahasan pertama ini penyusun memaparkan latar belakang masalah

penelitian yang menguraikan masalah tentang usia kedewasaan dalam

perkawinan, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian supaya penelitian

memiliki arah yang jelas dan dapat memberikan manfaat yang diharapkan dari

penelitian, telaah pustaka untuk menerangkan karya ilmiah yang memiliki

kesamaan aspek dan memastikan bahwa penelitian yang dilakukan tidak

memiliki kesamaan menyeluruh dengan karya ilmiah yang sejenis, kerangka

teoritik menerangkan cara pandang sekaligus sebagai alat analisa untuk

menganalisis data yang didapatkan, metodologi penelitian menerangkan cara

43 J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, Keunggulannya, (Jakarta:

Grasindo, 2010), hlm. 121.

Page 44: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

25

atau teknik yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika pembahasan

guna mengarahkan pembaca kepada isi dari penelitian.

Bab kedua, merupakan pembahasan umum tentang usia kedewasaan

dalam perkawinan, asas-asas perkawinan, usia kedewasaan dalam perkawinan

menurut hukum Islam dan Perundang-undangan. Selain itu, bab kedua ini juga

akan memabahas secara umum tentang Maqāṣid asy-Syarī’ah, seperti

pengertian dan pembagian-pembagian.

Bab ketiga, membahas gambaran umum Kantor Urusan Agama (KUA)

di Kota Yogyakarta. Hal ini diperlukan guna memperoleh gambaran tentang

tempat penelitian, letak geografis, dan kondisi perkawinan yang ada di Kota

Yogyakarta. Bab ini juga akan menguraikan pandangan Kepala KUA se-Kota

Yogyakarta tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disajikan dalam

bentuk deskripsi dan tabel untuk mempermudah dalam memahami dan

membedakan pendapat yang ada.

Bab keempat ini penyusun melakukan analisis menggunakan teori

Maqāṣid asy-Syarī’ah terhadap pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta

tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Bab kelima adalah bab penutup dalam pembahasan penelitian ini yang

berisi kesimpulan dan saran-saran. Serta pelengkap lebih lanjut dicantumkan

daftar pustaka dan lampiran.

Page 45: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

114

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian terhadap pandangan Kepala KUA se-

Kota Yogyakarta tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat

(2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Secara umum terdapat tiga pandangan Kepala KUA se-Kota Yogyakarta

tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

a. Usia 21 tahun sebagai usia kedewasaan dalam perkawinan.

b. Kedewasaan dalam perkawinan menjadi hal penting yang harus dipenuhi.

c. Usia 21 tahun sebagai usia minimal dalam perkawinan.

2. Jika dilihat dari kacamata Maqāṣid asy-Syarī’ah, maka pandangan Kepala

KUA tentang usia kedewasaan dalam perkawinan pada Pasal 6 ayat 2

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 secara garis besar telah memenuhi lima

aspek kemaslahatan dalam maqāṣid dharūriyyāt yaitu:

a. Aspek memelihara agama (ḥifẓ ad-Dīn) lebih merujuk pada terpeliharnya

tanda-tanda kedewasaan dalam hukum Islam yaitu tamyiz, baligh, dan

rusyd.

b. Pada hal memelihara akal (ḥifẓ al-‘Aqli) lebih dekat dengan pemeliharaan

terhadap kehidupan rumah tangga dan kedewasaan psikologis terutama

Page 46: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

115

faktor pemahaman tentang perkawinan baik tujuan, tanggung jawab,

kemampuan dalam menghadapi persoalan, maupun hak dan kewajiban

dalam perkawinan, kecerdasan emosi dan cara bersikap dalam

menghadapi berbagai persoalan.

c. Aspek memelihara jiwa (ḥifẓ an-Nafs) dekat pada aspek pemeliharaan

kesehatan terutama kematangan reproduksi yang lebih optimal baik laki-

laki maupun perempuan.

d. Ditinjau dari segi memelihara keturunan (ḥifẓ an-Nasl), maka secara

umum perkawinan merupakan bentuk hukum Islam dalam memelihara

keturunan yaitu kejelasan status anak.

e. Aspek memelihara harta (ḥifẓ al-māl) yakni memelihara kewajiban suami

yaitu menafkahi keluarga dan kewajiban isteri yaitu menjaga harta

dengan baik.

Dalam melihat usia kedewasaan dalam perkawinan tersebut, Kepala

KUA se-Kota Yogyakarta lebih menekankan aspek akal (ḥifẓ al-‘Aqli) atau

psikologis sebagai indikator kedewasaan dalam perkawinan karena

kedewasaan akal menjadi alasan diwajibkan izin orang tua dalam perkawinan

apabila usia kurang dari 21 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang Perkawinan. Sedangkan jiwa (ḥifẓ an-Nafs), aspek agama

(ḥifẓ ad-Dīn), ekonomi (ḥifẓ al-māl), dan keturunan (ḥifẓ an-Nasl) menjadi

indikator kedewasaan setelah aspek akal (ḥifẓ al-‘Aqli) dan bersifat relatif.

Namun, aspek agama dapat menjadi indikator kedewasaan di samping aspek

akal atau psikologis. Hal ini dapat dilihat pada tanda-tanda kedewasaan dalam

Page 47: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

116

aspek agama yang mencakup aspek akal (tamyiz), jiwa (baligh), dan harta

(rusyd), kemudian diikuti oleh kematangan jiwa, aspek keturunan dan harta.

Penentuan usia 21 tahun sebagai usia kedewasaan dalam perkawinaan

pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menjadi landasan

bagi Kepala KUA di Kota Yogyakarta untuk menentukan batas usia dewasa

untuk menikah. Sebaliknya usia kurang dari 21 tahun merupakan usia yang

belum dewasa. Namun demikian, seluruh Kepala KUA se-Kota Yogyakarta

menghimbau masyarakat untuk menikah di usia dewasa karena mendatangkan

kemaslahatan yang lebih banyak.

B. Saran-saran

1. Masyarakat hendaknya lebih memperhatikan usia kedewasaan dalam

perkawinan karena kedewasaan dalam perkawinan menjadi hal yang penting

dalam menentukan keberhasilan tujuan perkawinan. Selain itu, penentuan

usia 21 tahun sebagai usia kedewasaan dalam perkawinan dapat menjadi

landasan orang tua untuk lebih mendidik anaknya agar dapat mandiri

sebelum usia 21 tahun sehingga ketika menginjak usia 21 tahun telah siap

untuk menikah.

2. Perlu diadakan peninjauan yang lebih mendalam terhadap upaya menaikan

usia minimal dalam perkawinan karena peraturan dalam Undang-Undang

Perkawinan dianggap masih relevan oleh sebagian besar kalangan seperti

Kepala KUA se-Kota Yogayakarta.

Page 48: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

117

DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an dan Hadits

Bukhari, Al-, Ṣahīh al-Bukhārī, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M.

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Kementrian

Agama, 2010.

Saurah, Abu Isa Muhammad bin, Sunan at-Turmużī, Beirut: Dār al-Fikr,

1988.

B. Fikih dan Ushul Fikih

Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqāṣid asy-Syarī’ah menurut Asy-Syāṭibī,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Darajat, Zakiyah, Ilmu Fikih, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, jilid II,

1995.

Fawzi, Moh. Alex, “Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam

Perspektif Hukum Islam dan Kesehatan Reproduksi”, skripsi tidak

diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2014.

Haroen, Hasrun, Ushul Fiqh, jilid 1, Jakarta: Logos, 1996.

Indah, Elly Surya, “Batas Minimal Usia Perkawinan Menurut Fiqh Empat

Mazhab Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, skripsi

tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2008.

Khamim, Muhammad, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Usia

Perkawinan Menurut Imam Syafi’i”, skripsi tidak diterbitkan,

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2013.

Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta:

Bulan Bintang, 1992.

Najib, Muh. Ainun, “Penetapan Usia Perkawinan (Analisis Menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Page 49: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

118

Anak), skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1: Dilengkapi Perbandingan

UU Negara Muslim Kontemporer, Yogyakarta: ACAdeMIA &

TAZZAFA, 2004.

Nuroniyah, H. Maswan dan Wardah, Hukum Perkawinan Islam di

Indonesia: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, Yogyakarta:

Teras, 2011.

Qaraḍawi, Yusuf al-, Membumikan Syari’at Islam, alih bahasa Muhammad

Zakki dan Yasir Tajid, cet. ke-1, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

Shiddieqy, Hasbi ash-, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

1975.

Somaf, Erik Tauvani, “Pandangan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Kota

Yogyakarta Terhadap Batas Minimal Usia Perkawinan Tinjauan

Maslahah”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.

Syāṭibī, Abī Isḥāq Ībrāhim bin Mūsa bin Muhammad al-Lakhmī Asy-, al-

Muwāfaqāt Fī Usūl asy-Syarī’ah, Kairo: Al-Hayah al-Miṣrīyah al-

Āmmah, juz II, 2006.

Zuhaili, Wahbah az-, Fiqih Imam Syafi’i, alih bahasa: Muhammad Afifi

dan Abdul Aziz, Jakarta: Almahira, 2010.

C. Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, cet. ke-1, Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997.

D. Buku Umum

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit,

2004.

Ahmad al-Barry, Zakariya, Hukum Anak-anak Dalam Islam, Jakarta:

Bulan Bintang, 1977.

Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004.

Page 50: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

119

Asmin, Yudian W., Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,

Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.

Dahlan, Zain, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama, Jakarta:

Logos Wacana Ilmu, 1997.

Hanurawan, Fattah, Psikologi Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

Hawari, Dadang, Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan,

Jakarta: Bakti Prima Yasa, 1996.

Hidayati, Wiji, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Bidang Akademik

UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Jahja, Yudrik, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Kencana, 2011.

Latif, Nasaruddin, Ilmu Perkawinan: Problematika Seputar Keluarga dan

Rumah Tangga, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001.

Madyana, Dasar Penentuan Sampel Dalam Metodologi Penelitian,

Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1996.

Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi

Aksara, 1995.

Mas’ud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka,

1996.

Monks, F.J., dkk, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2006.

Muttaqien, Dadan, Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet.

ke-1,Yogyakarta: Insania Citra Pres, 2006.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 1993.

Nazir, Moh., Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.

ND, Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, cet.

ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Nurhadi, M., Pendidikan Kedewasaan dalam Persepektif Psikologi Islami,

Yogyakarta: Deepublish, 2014.

Raco, J.R., Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik,

Keunggulannya, Jakarta: Grasindo, 2010.

Page 51: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

120

Rumidi, Sukandar, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk

Penelitian Pemula, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2012.

Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi

Aksara,1999.

Tanzeh, Ahmad, Metodologi Penelitian Praktis, Yogyakarta: Teras, 2011.

Wahyudi, Yudian, Hukum Islam: antara Filsafat dan Politik, Yogyakarta:

Pesantren Nawesea Press, 2015.

Yulianti, Rahmani Timorita, Benarkah Akil Baligh Sebagai Batas Minimal

Usia Pernikahan?, Yogyakarta: Kaukaba Dirpantara, 2011.

E. Peraturan Perundang-undangan

Kompilasi Hukum Islam.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

F. Internet/Blog

“Definisi Masa Dewasa”, www.mirapujiana26.blogspot.com, akses

tanggal 4 Juni 2018.

“Kategori Umur”, www.ilmu-kesehatan-masyarakat.blogspot.com, akses

tanggal 22 Maret 2018.

“Kondisi Geografis Kota Yogyakarta”, www.jogjakota.go.id, akses

tanggal 4 April 2018.

“Pengertian Kaidah Fikih dan Contohnya”, www.muamalatku.com, akses

tanggal 26 Juni 2018.

“Perkawinan Anak: Sebuah Ikatan Sakral Pemadam Api Harapan”,

www.kemenpppa.go.id, akses tanggal 4 Juni 2018.

Page 52: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KEPALA …digilib.uin-suka.ac.id/33014/1/14350011_BAB 1_BAB_TERAKHIR_DAFTAR... · sebagain besar Kepala KUA se-Kota Yogyakarta menyatakan bahwa

121

”Perbedaan Batasan Usia Cakap Hukum dalam Peraturan Perundang-

undangan”, www.hukumonline.com, akses tanggal 15 Juli 2018.

Ghufron, H.M., Makna Kedewasaan dalam Perkawinan (Analisis

terhadap Pembatasan Usia Perkawinan dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974), dalam www. academia.edu.com, akses 24

February 2018.

www.ejournal.gunadarma.ac.id., Rahma Khairani dan Dona Eka Putri,

“Kematangan Emosi pada Pria dan Wanita yang Menikah Muda”,

Jurnal Psikologi, Vo. 1, No. 2, Juni 2018, akses tanggal 30 Juli

2017.

www.jurnal.stainponorogo.ac.id., Ali Imron, “Perlindungan dan

Kesejahteraan Anak dalam Perkawinan di Bawah Umur”, Jurnal

Al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 Tahun 2013, akses tanggal 30 Juli 2018.