tingkat depresi pada penderita kusta yang mengalami

16

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI
Page 2: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI
Page 3: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

KECACATAN

LEVEL OF DEPRESSION TO PATIENTS WITH LEPROSY DEFECT

You Try Asmar Gayu*, Vitaria Wahyu Astuti**

*Mahasiswa STIKES RS. Baptis Kediri, **Dosen STIKES RS. Baptis Kediri

Jl. Mayjend. Panjaitan no. 3B Kediri Kode pos 641002, Telp (0354) 683470

Email: [email protected]

ABSTRAK

Kusta merupakan penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Leprae. Permasalahan yang sering dialami penderita kusta yaitu

permasalahan fisik, psikologi, sosial. Permasalahan psikologis yang dapat terjadi pada

penderita kecacatan kusta adalah depresi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

tingkat depresi pada penderita kusta yang mengalami kecacatan. Desain penelitian

menggunakan korelasional dengan rancangan penelitian Cross Sectional. Populasi

penelitian ini adalah seluruh penderita kusta yang rawat jalan di Rumah Sakit Kusta Kota

Kediri dengan subyek 44 responden. Teknik pengambilan data penelitian ini dengan

menggunakan Purposive sampling. Variabel independen adalah tingkat depresi dan

variabel dependen adalah tingkat kecacatan. Pengumpulan data untuk tingkat depresi

menggunakan kuesioner Zung Self-Rating Depression Scale, sedangkan tingkat kecacatan

menggunakan observasi format WHO. Hasil diuji menggunakan uji statistik Spearman’s

rho dengan α ≤ 0,05. Hasil penelitian menunjukkan paling banyak mengalami depresi

ringan yaitu 18 responden (40,9%), lebih dari 50% penderita kusta memiliki tingkat

kecacatan 1 yaitu 28 responden (63,3%). Hasil uji statistik Spearman’s rho didapatkan ρ

= 0,115. Kesimpulan Penderita kusta yang mengalami depresi tidak dipengaruhi oleh

tingkat kecacatan yang dialami.

Kata Kunci: Tingkat Depresi, Kusta, Tingkat Kecacatan

ABSTRACT

Leprosy is a contagious infection and chronic disease caused by Mycobacterium

leprae bacteria. Psychological problems that are often experienced by patient with

leprosy namely physical problem, psychology, and social. Psychological problem that

can occur to patients with leprosy defect is depression. The objective of study was to

analyze the level of depression to patients with leprosy defect. The design of the study

used correlational research that was cross-sectional design. The population was 81

patients with leprosy in Out-patient Department of Kediri Leprosy Hospital with total of

subjects were 44 respondents. The data collection technique used purposive sampling.

The independent variable was level of depression and the dependent variable was level of

defect. Data collection for level of depression used questionnaires of Zung Self-Rating

Depression Scale, whereas level of defect used observation format of WHO. The result

was tested by using statistical test of Spearman's rho with α ≤ 0.05. The results showed

Page 4: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

that most experienced mild depression that was 18 respondents (40,9%), more than 50%

patients with leprosy had level of defect 1 that was 28 respondents (63.3%). The result of

statistical test of Spearman's rho obtained ρ = 0.115. In conclusion, patients with leprosy

who experienced depression were not influenced by the level of defect.

Keywords: Level of depression, Leprosy, Defect

Pendahuluan

Kusta adalah penyakit kronis

yang disebabkan oleh bakteri yang

menyerang kulit dan syaraf tepi (Kunoli,

2013). Menurut Susanto dkk (2013)

permasalahan yang sering dialami

penderita kusta yaitu permasalahan fisik,

psikologi, sosial dan ekonomi.

Permasalahan fisik pada penderita kusta

adanya kecacatan fisik pada mata,

telapak tangan/kaki dengan tingkat

kecacatan 0-2. Kecacatan secara luas

adalah mencakup setiap kerusakan,

pembatasan aktivitas yang mengenai

seseorang (Kemenkes RI, 2012).

Permasalahan psikologis yang dapat

terjadi pada penderita kecacatan kusta

adalah depresi. Kecacatan kusta dapat

menyebabkan seseorang mengalami

gambaran diri yang negatif dari

masyarakat. Depresi merupakan

gangguan kejiwaan yang paling umum

diderita penderita kusta. Klien yang

menunjukkan sikap penolakan terhadap

diagnosis kusta merupakan gangguan

kejiwaan yang paling umum diderita

penderita kusta. Klien yang menunjukkan

sikap penolakan terhadap diagnosis kusta

kemudian akan mengekspresikan

perasaan kesedihan dan kekecewaan atas

keadaan dirinya. Kesedihan dan

kekecewaan tersebut berupa reaksi

depresi (Susanto dkk, 2013).

Menurut WHO (2013), Indonesia

memiliki jumlah kasus kusta baru

sebanyak 16.856 kasus dan jumlah

kecacatan tingkat 2 di antara penderita

baru sebanyak 9,86 %. Pusat Data dan

Informasi Kemenkes RI, (2015)

menambahkan, bahwa Indonesia hingga

saat ini merupakan salah satu negara

dengan beban penyakit kusta yang tinggi.

Pada tahun 2013, Indonesia menempati

urutan ketiga di dunia setelah India dan

Brazil. Berdasarkan data dari Rekam

Medik Rumah Sakit Kusta Kota Kediri

penderita kusta di instalasi rawat jalan

yang rutin kontrol pada bulan Oktober –

Desember 2016 mencapai 81 orang. Data

hasil pra penelitian yang dilakukan oleh

peneliti pada tanggal 26 Januari – 27

Januari 2017 dari 15 responden

didapatkan 2 responden (13,3%)

mengalami depresi berat, 7 responden

(46,7%) mengalami depresi sedang, 5

responden (33,3%) mengalami depresi

ringan, dan 1 responden (6,7%) tidak

mengalami depresi. Dari hasil pra

penelitian tersebut manifestasi depresi

yang menonjol adalah pasien yang

mengalami penurunan produktivitas dan

penurunan semangat serta minat.

Respon negatif yang muncul

karena adanya permasalahan psikologi

pada penderita kusta yaitu sikap

menyangkal, tawar-menawar dan depresi.

Faktor heriditer dan genetik, faktor

konstitusi, faktor kepribadian pramorbid,

faktor fisik (kecacatan), faktor

psikobiologi, faktor neurologik, faktor

biokimia dalam tubuh, dan keseimbangan

elektrolit merupakan faktor penyebab

dari depresi (Yosep, 2014). Cacat pada

penderita kusta menimbulkan adanya

bayangan muncul rasa jijik, ngeri dan

rasa takut yang berlebihan terhadap

mereka yang melihatnya yang

menyebabkan penderita kusta tidak dapat

menerima bahwa dirinya menderita

kusta, akibatnya akan ada perubahan

psikologis penderita kusta seperti, merasa

sedih dan kecewa pada diri sendiri.

Perasaan kesedihan dan kekecewaan

terhadap permasalahan yang di hadapi

oleh klien kusta ditunjukkan dengan

sikap putus asa, menarik diri dan

Page 5: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

kesedihan yang mendalam terhadap

masalah kusta. Dampak yang muncul

akibat depresi yang dialami penderita

kusta akan ikut berpengaruh pada

permasalahan sosial dan ekonomi.

Permasalahan sosial yang muncul yaitu

adanya ketakutan klien di masyarakat,

serta rendahnya peran serta klien di

masyarakat. Sedangkan permasalahan

ekonomi yang muncul yaitu adanya

pandangan negatif masyarakat sehingga

secara ekonomi klien kusta tidak dapat

bekerja untuk mencukupi kebutuhan

hidupnya (Susanto dkk, 2013).

Peran perawat sebagai edukator

bagi penderita kusta yang mengalami

kecacatan dan depresi adalah dengan

terus memberikan motivasi atau

dukungan pada penderita kusta untuk

tetap menjalani pengobatan dan

mengikuti bimbingan konseling yang

diadakan Rumah Sakit Kusta Kota Kediri

secara rutin supaya penderita kusta tetap

produktif dalam keadaan yang dialami.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui tingkat depresi pada

penderita kusta yang mengalami

kecacatan dan untuk mendukung proses

keperawatan bagi penderita kusta dalam

mencegah depresi akibat kecacatan yang

dialami.

Metodologi Penelitian

Desain penelitian yang

digunakan adalah korelasional dengan

rancangan penelitian Cross Sectional.

Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh penderita kusta yang rawat jalan

di Rumah Sakit Kusta Kediri yang sesuai

dengan kriteria inklusi dengan subyek 44

responden. Teknik pengambilan sampel

pada penelitian ini dengan menggunakan

Purposive sampling. Variabel pada

penelitian ini yaitu variabel independen

adalah tingkat depresi dan variabel

dependen adalah tingkat kecacatan.

Pengumpulan data untuk tingkat depresi

menggunakan kuesioner yang diadopsi

dari Zung Self-Rating Depression Scale,

sedangkan tingkat kecacatan

menggunakan lembar observasi,

sedangkan. Hasil diuji menggunakan uji

statistik Spearman Rho dengan tingkat

kemaknaan α ≤ 0,05.

Hasil Penelitian

Tabel 1. Tingkat Depresi Pada Penderita Kusta Di Rumah Sakit Kusta Kota Kediri

pada Tanggal 6 Mei 2017-31 Mei 2017 (n=44). Tingkat Depresi Jumlah Persentase (%)

Normal 6 13,6

Ringan 18 40,9

Sedang 15 34,1

Berat 5 11,4

Jumlah 44 100

Berdasarkan tabel 2

menunjukkan bahwa paling banyak

penderita kusta mengalami depresi

ringan sebanyak 18 responden (40,9%)

yang berarti mengalami kehilangan minat

dan kegembiraan.

Tabel 2. Tingkat Kecacatan Pada Penderita Kusta Di Rumah Sakit Kusta Kota Kediri

pada Tanggal 6 Mei 2017-31 Mei 2017 (n=44). Tingkat Kecacatan Jumlah Persentase (%)

Tingkat Kecacatan 0 9 20,5

Tingkat Kecacatan 1 28 63,6

Tingkat Kecacatan 2 7 15,9

Jumlah 44 100

Page 6: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

Berdasarkan tabel 2

menunjukkan bahwa lebih dari 50%

responden memiliki tingkat kecacatan 1

sebanyak 28 responden (63,6%) yang

berarti ada masalah kecacatan tidak

terlihat.

Tabel 3. Tingkat Depresi Dengan Tingkat Kecacatan Pada Penderita Kusta Di Rumah

Sakit Kusta Kota Kediri pada Tanggal 6 Mei 2017-31 Mei 2017 (n=44).

Tingkat

Kecacatan

Tingkat Depresi

Total % Normal Ringan Sedang Berat

∑ % ∑ % ∑ % ∑ %

Tingkat

Cacat 0 3 33,3 3 33,3 2 22,2 1 11,1 9 100

Tingkat

Cacat 1 3 10,7 12 42,9 11 39,3 2 7,1 28 100

Tingkat

Cacat 2 0 0 3 42,9 2 28,6 2 28,6 7 100

Jumlah 6 13,6 18 40,9 15 34,1 5 11,4 44 100

Uji Statistik Spearman Rho ρ= 0,115

Berdasarkan tabel 3 dapat

dimaknai bahwa tingkat kecacatan 0

memiliki kecenderungan tidak depresi

dan depresi ringan (33,3%), tingkat

kecacatan 1 memiliki kecenderungan

depresi ringan (42,9%) dan depresi

sedang (39,3%), sedangkan pada tingkat

kecacatan 2 cenderung mengalami

depresi ringan (42,9%). Setelah

dilakukan uji statistik “Spearman Rho”

berdasarkan taraf kemaknaan

yangditetapkan α ≤ 0,05 didapatkan ρ =

0,115 dimana ρ > α yang berarti H0

diterima dan H1 ditolak, berarti tidak ada

hubungan yang signifikan antara tingkat

kecacatan dengan depresi pada penderita

kusta di Rumah Sakit Kusta Kota Kediri.

Pembahasan

Depresi Pada Penderita Kusta di

Rumah Sakit Kusta Kota Kediri

Berdasarkan hasil penelitian

mengenai depresi penderita kusta dari

jumlah responden sebanyak 44

responden didapatkan hasil bahwa paling

banyak mengalami depresi ringan yaitu

18 responden (40,9%), dengan

karakteristik paling banyak berjenis

kelamin laki-laki, usia 36-45 tahun,

pendidikan terakhir SD, dan sebagai ibu

rumah tangga.

Menurut Yosep (2014), depresi

merupakan gangguan alam perasaan

yang berat dan dimanisfestasikan dengan

gangguan fungsi sosial dan fungsi fisik

yang hebat, lama dan menetap pada

individu yang bersangkutan. Depresi

ringan ditandai dengan kehilangan minat

dan kegembiraan, berkurangnya energi

yang menuju meningkatnya keadaan

mudah lelah, konsentrasi dan perhatian

yang kurang, harga diri dan kepercayaan

diri yang kurang, lamanya gejala tersebut

berlangsung sekurang-kurangnya 2

minggu, dan hanya sedikit mengalami

kesulitan dan pekerjaan dan kegiatan

sosial yang biasa dilakukannya. Respon

negatif penderita kusta menurut Susanto

dkk (2013) adalah depresi, penderita

kusta merasa sedih dan kecewa terhadap

permasalahan yang dihadapi berupa

putus asa, menarik diri dan kesedihan

yang mendalam terhadap masalah kusta.

Reaksi emosional klien depresi akan

mengungkapkan rasa berduka terhadap

apa yang terjadi dan kadang klien bicara

bebas dan menarik diri. Penderita kusta

akan mencoba mengungkapkan mengapa

dirinya sampai menderita penyakit

tersebut dan mengapa harus dirinya yang

terkena penyakit tersebut dengan

mengungkapkan berbagai alasan dan

pertimbangan-pertimbangan.

Page 7: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

Depresi diukur dengan

menggunakan kuesioner yang diadopsi

dari Zung Self-Rating Depression Scale

yang terdiri dari 8 indikator yaitu minat

aktivitas, perasaan sedih, insomnia

penurunan berat badan, perasaan

bersalah, perhatian atau konsentrasi,

semangat atau harapan masa depan dan

kegelisahan. Setelah dilakukan penelitian

didapatkan manifestasi depresi yang

menonjol yaitu penderita kusta merasa

tidak bersemangat dan sedih, penderita

kusta menangis atau merasa ingin

menangis, dan merasa lelah tanpa sebab.

Berdasarkan hasil penelitian,

depresi yang dialami oleh penderita kusta

paling banyak adalah depresi ringan

dengan karakteristik paling banyak

berjenis kelamin laki-laki, usia 36-45

tahun, pendidikan terakhir SD, dan

sebagai ibu rumah tangga, hal ini

menunjukkaan bahwa ada banyak faktor

yang mempengaruhi depresi tersebut.

Menurut Amir, (2005) dan Danesh &

Landeen (2007) dalam Superzeki

Zaidatul Fadilah (2013) menyatakan

bahwa faktor yang dapat meningkatkan

resiko untuk terjadi depresi yaitu, usia,

jenis kelamin, status perkawinan,

kehilangan pekerjaan dan pendapatan

rumah tangga, dukungan keluarga,

pendidikan, suku dan karakteristik

penyakit. Hasil Penelitian

menunjukkan bahwa laki-laki cenderung

mengalami depresi dibanding wanita, 13

dari 26 responden (50,0%) laki-laki

mengalami depresi ringan. Hal ini

dibuktikan dengan data hasil penelitian,

didapatkan 8 dari 26 responden (30,8%)

yang berjenis kelamin laki-laki

mengalami depresi sedang, 3 dari 26

responden (11,5%) berjenis kelamin laki-

laki mengalami depresi berat, 2

responden lainnya tidak mengalami

depresi. Hal ini berbanding terbalik

dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Superzeki Zaidatul Fadilah (2013)

dimana hasil penelitian pada variabel

depresi menunjukkan hasil bahwa

perempuan lebih beresiko mengalami

depresi dibandingkan laki-laki. Umur

juga berpengaruh pada kejadian depresi

dari data hasil penelitian menunjukkan

bahwa 6 dari 15 responden (40,0%) yang

berusia 36-45 tahun cenderung

mengalami depresi ringan, didapatkan 5

dari 15 responden (33,3%) yang berusia

36-45 tahun mengalami depresi sedang, 3

dari 15 responden (20,0%) berusia 36-45

tahun mengalami depresi berat dan 1

responden sisanya tidak mengalami

depresi. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Superzeki Zaidatul Fadilah

(2013) bahwa penderita kusta yang

tergolong dalam usia produktif dengan

rentang 15-64 tahun akan berisiko untuk

mengalami depresi karena memiliki

tanggung jawab yang semakin meningkat

terhadap diri sendiri, keluarga dan

masyarakat. Data hasil penelitian

menunjukkan bahwa 9 dari 16 responden

(56,2%) yang memiliki latar belakang

pendidikan terakhir SD cenderung

mengalami depresi ringan, 7 dari 16

responden (43,8%) yang memiliki latar

belakang pendidikan terakhir SD

mengalami depresi sedang. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian Superzeki

Zaidatul Fadilah (2013) bahwa seorang

penderita kusta yang memiliki tingkat

pendidikan terakhir SD atau dengan

pendidikan rendah akan lebih mudah

mengalami depresi, dengan demikian

semakin rendahnya tingkat pendidikan

juga akan membuat tingkat pengetahuan

menjadi rendah karena kurangnya koping

yang baik untuk menghadapi masalah

sehingga dapat menimbulkan depresi.

Superzeki Zaidatul Fadilah (2013) dalam

penelitiannya menemukan fenomena-

fenomena yang muncul dalam

masyarakat berkaitan dengan stigma

yang buruk tentang penyakit kusta yaitu

keluarga penderita kusta berusaha

menyembunyikan penderita kusta dari

masyarakat, keluarga jarang berkumpul

dengan penderita kusta serta melarang

penderita kusta untuk ikut dalam

kegiatan sosial. Sikap keluarga dan

masyarakat tersebut akan menyebakan

penderita kusta mengalami depresi.

Dukungan keluarga merupakan sebuah

kelengkapan dari perawatan kepada

keluarga dan anggota keluarga dalam

keadaan baik sehat maupun sakit

(Friedman, 2012). Dukungan keluarga

Page 8: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

meliputi dukungan emosional,

penghargaan, fasilitas dan informasi atau

pengetahuan. Dukungan keluarga kepada

penderita kusta dapat ditunjukkan

melalui kegiatan sehari-hari, seperti

memberikan informasi mengenai jadwal

kembali berobat atau mengantarkan

penderita kusta ke pelayanan kesehatan

dan membantu penderita kusta merawat

cacat yang dialami. Penderita kusta yang

mendapat dukungan keluarga maka akan

merasa nyaman secara fisik, psikologis

dan mendapatkan stimulus positif untuk

melakukan tindakan yang dapat

mempercepat proses penyembuhannya.

Oleh karena itu dukungan keluarga yang

diperoleh oleh penderita kusta dapat

mengurangi gejala depresi yang dialami

penderita kusta.

Tingkat Kecacatan Pada Pasien Kusta

di Rumah Sakit Kusta Kediri.

Berdasarkan hasil penelitian

mengenai tingkat kecacatan fisik dari

jumlah responden sebanyak 44

responden didapatkan hasil bahwa

tingkat kecacatan dengan distribusi

merata dengan karakteristik 28

responden (63,6%) mengalami tingkat

kecacatan 1 dengan karakteristik jenis

kelamin laki-laki, umur 36-45 tahun,

pendidikan terakhir SD, pekerjaan

sekarang sebagai ibu rumah tangga.

Berdasarkan cacat kusta

kerusakan fungsi saraf perifer pada mata,

telapak tangan atau kaki yang

diakibatkan karena kuman

Mycobacterium leprae, sehingga bila

tidak ditangani dengan cermat dapat

menyebabkan cacat dan keadaan menjadi

penghalang bagi penderita kusta dalam

menjalani kehidupan bermasyarakat

untuk memenuhi kebutuhan sosial

ekonominya (Kunoli, 2012). Penderita

kusta dengan tingkat kecacatan 1 berarti

telah mengalami gangguan fungsi saraf

perifer, yang disebabkan oleh kerusakan

saraf sensorik yang tidak terlihat, seperti

hilangnya rasa raba, telapak tangan dan

telapak kaki, dan saraf motorik yang

mengakibatkan kelemahan otot tangan

dan kaki sehingga penderita kusta

mengalami keterbatasan aktivitas dalam

kegiatan sehari-hari.

Berdasarkan hasil penelitian

didapatkan bahwa lebih dari 50%

responden mengalami tingkat kecacatan

1 sebanyak 28 responden (63,6%) yang

berarti pasien kusta dengan tingkat

kecacatan ini mengalami kerusakan saraf

sensorik yang tidak terlihat. Kecacatan

adalah istilah yang dipakai mencakup 3

aspek yaitu kerusakan struktur dan fungsi

(impairment), keterbatasan aktifitas

(activity limitation) dan masalah

partisipasi (participation problem).

Ketiga aspek ini sangat dipengaruhi oleh

faktor individu dan faktor lingkungan.

Faktor individu yang dimaksud misalnya

usia, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan dan faktor lingkungan

misalnya kebijakan pemerintah,

masyarakat sekitar, stigma serta kondisi

lingkungan (Kemenkes RI, 2012). Pada

penderita kusta tingkat kecacatan 1

mengalami kerusakan saraf sensorik

yang tidak terlihat namun belum

mengalami kerusakan fisiologi yang

parah seperti lagoftalmus, ulkus, jari

keriting dan kaki semper sehingga

mengalami keterbatasan aktivitas akan

tetapi masih dapat melakukan aktivitas

yang ringan dalam kegiatan sehari-hari

itu semua ditunjang dengan usia yang

masih produktif yaitu 36-45 tahun dan

sebagai ibu rumah tangga.

Berdasarkan hasil penelitian

didapatkan hasil bahwa paling banyak

berumur 36-45 tahun mengalami tingkat

kecacatan 1 sebanyak 8 responden

(53,3%), umur merupakan faktor

individu pertama yang mempengaruhi

tingkat kecacatan penderita kusta.

Pedoman nasional pemberantasan

penyakit kusta menyatakan bahwa

penderita kusta terbanyak adalah pada

usia muda dan produktif dengan rentang

usia 15-64 tahun (Kemenkes RI, 2012).

Hasil penelitian yang ditemukan oleh

Superzeki Zaidatul Fadilah (2013)

dimana hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa penderita yang mengalami

penyakit kusta rata-rata berusia 40 tahun.

Page 9: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

Hal ini dapat dimaknai bahwa semakin

meningkatnya usia semakin meningkat

juga tingkat kecacatan yang dialami

penderita kusta.

Berdasarkan hasil penelitian

responden dengan tingkat kecacatan 1

didapatkan lebih dari 50% yaitu 18

responden (69,2%) berjenis kelamin laki-

laki. Jenis kelamin merupakan faktor

individu kedua yang mempengaruhi

tingkat kecacatan penderita kusta. Hasil

penelitian yang ditemukan oleh Yuliana

Lusianingsih (2013) dimana hasil

penelitian pada variabel tingkat

kecacatan menunjukkan bahwa

karakteristik berdasarkan jenis kelamin

terbanyak yaitu laki-laki. Hal ini dapat

disebabkan karena laki-laki cenderung

lebih banyak beraktivitas diluar rumah

sehingga sering terpapar dengan

penderita yang menjadi sumber infeksi

sehingga resiko tertular lebih besar dari

pada perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian

responden dengan tingkat kecacatan 1

didapatkan lebih dari 50% yaitu 8

responden (53,3%) pendidikan terakhir

cukup SD dan hasil penelitian juga

menunjukkan bahwa penderita kusta

yang memiliki latar belakang pendidikan

Perguruan Tinggi lebih sedikit yang

mengalami kecacatan. Pendidikan

merupakan faktor individu ketiga yang

mempengaruhi tingkat kecacatan. Dari

hasil penelitian yang ditemukan oleh

Superzeki Zaidatul Fadilah (2013)

dimana hasil penelitian menunjukkan

bahwa penderita yang mengalami

penyakit kusta sebagian besar pendidikan

terakhir nya adalah SD, dapat dimaknai

bahwa semakin tinggi pendidikan yang

dimiliki penderita kusta maka resiko

mengalami kecacatan juga semakin kecil.

Hal ini dapat disebabkan karena

rendahnya pendidikan penderita kusta

mengakibatkan penderita kusta tidak

memahami dampak buruk yang di

timbulkan akibat penyakitnya.

Berdasarkan hasil penelitian

responden dengan tingkat kecacatan 1

didapatkan lebih dari 50% yaitu 8

responden (66,7%) sebagai ibu rumah

tangga dan hasil penelitian juga

menunjukkan karakterisitk pekerjaan

yang paling sedikit mengalami kecacatan

yaitu PNS. Pekerjaan merupakan faktor

individu keempat yang mempengaruhi

tingkat kecacatan. Adanya peningkatan

sosial ekonomi, maka kejadian kusta

sangat cepat menurun bahkan hilang, dan

teryata tidak menularkan kepada orang

yang sosial ekonominya tinggi

(Kemenkes RI, 2012). Hal ini dapat

disimpulkan bahwa kecacatan pada

penderita kusta cenderung banyak

diderita oleh penderita yang mempunyai

pekerjaan bukan PNS. Hal ini dapat

disebabkan karena penghasilan yang

dimiliki oleh seseorang akan

mempengaruhi terhadap status kesehatan

orang tersebut. Keadaan ekonomi yang

kurang mampu akan mempengaruhi

akses seseorang terhadap layanan

kesehatan.

Hasil distribusi yang merata akan

kecacatan penderita kusta mulai dari

tingkat kecacatan 0, tingkat kecacatan 1,

dan tingkat kecacatan 2. Kecacatan

meliputi cacat tingkat 0 berarti tidak ada

cacat, cacat tingkat 1 adalah cacat yang

disebabkan oleh kerusakan saraf sensorik

yang tidak terlihat, seperti hilangnya rasa

raba, telapak tangan dan telapak kaki,

dan saraf motorik yang mengakibatkan

kelemahan otot tangan dan kaki.

Gangguan fungsi sensorik pada mata

tidak diperiksa di lapangan, oleh karena

itu tidak ada cacat tingkat 1 pada mata.

Cacat tingkat 1 pada telapak kaki

beresiko terjadinya ulkus plantaris,

namun dengan perawatan diri secara

rutin hal ini dapat dicegah, mati rasa

pada bercak bukan merupakan cacat

tingkat 1 karena bukan disebabkan oleh

kerusakan saraf perifer utama, tetapi

rusaknya cabang saraf kecil pada

kulit.Cacat tingkat 2 berarti cacat atau

kerusakan yang terlihat.Untuk mata:

tidak mampu menutup mata dengan rapat

(lagoftalmos), kekeruhan kornea,

kemerahan yang jelas pada mata (terjadi

pada ulserasi kornea atau uveitis),

gangguan penglihatan berat atau

kebutaan pada penderita kusta.

Sedangkan untuk tangan dan kaki :luka

dan ulkus di telapak, deformitas yang

Page 10: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki

semper atau jari kontraktur) dan atau

hilangnya jaringan (atropi) atau

reabsorbsi parsial dari jari-jari

(Kemenkes RI, 2012). Berbagai tingkat

kecacatan yang dialami responden

dengan kondisi yang berbeda-beda mulai

dari tidak ada kecacatan sampai dengan

kebutaan dan reabsorbsi parsial dari jari-

jari yang nantinya dapat berpengaruh

pada kondisi psikologi penderita kusta.

Berdasarkan hasil penelitian

didapatkan 28 responden mengalami

tingkat kecacatan 1 dengan karakteristik

jenis kelamin laki-laki, usia 36-45 tahun,

pendidikan terakhir cukup SD, sebagai

ibu rumah tangga. Upaya-upaya

pencegahan cacat dapat dilakukan baik

dirumah, puskesmas, maupun unit

pelayanan rujukan seperti rumah sakit

umum atau rumah sakit rujukan.

Penderita kusta harus mengerti bahwa

pengobatan MDT dapat membunuh

kuman kusta. Tetapi cacat pada mata,

tangan atau kaki yang sudah terlanjur

terjadi akan tetap ada seumur hidupnya,

sehingga penderita harus bisa melakukan

perawatan diri dengan teratur agar

cacatnya tidak bertambah berat

(Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan hasil

penelitian didapatkan hasil bahwa

Penderita kusta berjenis kelamin laki,

berusia 36-45 tahun, pendidikan terakhir

SD, dan sebagai ibu rumah tangga

cenderung mengalami tingkat kecacatan

1 dapat dicegah dengan melakukan

melakukan perawatan diri secara rutin.

Prinsip pencegahan cacat dan

bertambahnya cacat pada dasarnya

adalah 3M yaitu memeriksa mata, tangan

dan kaki secara teratur; melindungi mata,

tangan dan kaki dari trauma fisik;

merawat diri.

Hubungan Tingkat Kecacatan Dengan

Depresi Pada Penderita Kusta Di

Rumah Sakit Kusta Kota Kediri

Hasil uji statistik dengan

menggunakan Spearman’s Rho

berdasarkan tingkat kemaknaan α ≤ 0,05

didapatkan ρ = 0,115, karena ρ > α,

dimana H0 diterima dan H1 ditolak,

berarti tidak ada hubungan yang

signifikan antara tingkat kecacatan

dengan depresi pada penderita kusta di

Rumah Sakit Kusta Kota Kediri.

Menurut Yosep (2014), depresi

merupakan gangguan alam perasaan

yang berat dan dimanisfestasikan dengan

gangguan fungsi sosial dan fungsi fisik

yang hebat, lama dan menetap pada

individu yang bersangkutan. Depresi di

sebabkan oleh beberapa faktor yaitu

faktor heriditer, faktor genetik, faktor

konstitusi, faktor kepribadian pramorbid,

faktor fisik (kecacatan), faktor

psikobiologi, faktor neurologik, faktor

biokimia dalam tubuh, faktor

keseimbangan elektrolit. Seseorang yang

menderita penyakit kusta mengalami

kerusakan fungsi saraf perifer pada mata,

telapak tangan atau kaki yang

diakibatkan karena kuman

Mycobacterium leprae, sehingga bila

tidak ditangani dengan cermat dapat

menyebabkan cacat dan keadaan menjadi

penghalang bagi penderita kusta dalam

menjalani kehidupan bermasyarakat

untuk memenuhi kebutuhan sosial

ekonominya (Kunoli, 2012). Menurut

Kemenkes RI (2012), tingkat kecacatan

dibagi menjadi 3 yaitu tingkat kecacatan

0, tingkat kecacatan 1 dan tingkat

kecacatan 2. Berdasarkan hasil penelitian

didapatkan tingkat kecacatan 0 memiliki

kecenderungan tidak depresi dan depresi

ringan (33,3%), tingkat kecacatan 1

memiliki kecenderungan depresi ringan

(42,9%) dan depresi sedang (39,3%),

sedangkan pada tingkat kecacatan 2

cenderung mengalami depresi ringan

(42,9%), sehingga dapat disimpulkan

dengan berbagai macam tingkat

kecacatan pada penderita kusta memiliki

kecenderungan mengalami depresi

ringan. Hal tersebut dapat disebabkan

karena penderita kusta mampu menjalin

hubungan interpersonal yang baik

dengan keluarga dan orang sekitar serta

di dukung dengan adanya pendidikan

kesehatan tentang pengobatan penyakit

kusta, perawatan diri mandiri, dan

tersediannya bimbingan konseling yang

Page 11: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

di adakan oleh Rumah Sakit Kusta Kota

Kediri setiap satu bulan sekali.

Konseling didefinisikan sebagai

hubungan antara konselor dengan klien

yang terjalin karena adanya kebutuhan

klien untuk mencarikan pemecahan

masalah yang dihadapi. Konseling

dirancang untuk membantu klien

memahami pemikirannya sehingga

pasien dapat membuat keputusan yang

bijak, dengan mempertimbangkan semua

pilihan yang ada (Kemenkes RI, 2012).

Program bimbingan konseling dilakukan

satu bulan sekali di Rumah Sakit Kusta

Kota Kediri untuk mendukung psikologis

pasien kusta. Dukungan rumah sakit

yang mengutamakan akan kondisi

psikologis pasien kusta agar tidak

semakin memperparah penyakitnya

membuat pasien memberikan respon

positif pada pengobatan, sehingga pasien

sangat senang untuk datang kontrol

kerumah sakit dan memeriksakan

penyakitnya yang bertujuan untuk

mencegah kecacatan yang mungkin akan

terjadi.

Berdasarkan hasil penelitian

mengenai tingkat kecacatan dengan

depresi pada penderita kusta didapatkan

hasil bahwa berdasarkan tingkat

kecacatan 0, tingkat kecacatan 1, tingkat

kecacatan 2 memiliki kecenderungan

depresi ringan dengan 33,3% tingkat

kecacatan 0; 42,9% tingkat kecacatan 1;

42,9% tingkat kecacatan 2 Kecacatan

meliputi cacat tingkat 0 berarti tidak ada

cacat, cacat tingkat 1 adalah cacat yang

disebabkan oleh kerusakan saraf sensorik

yang tidak terlihat, seperti hilangnya rasa

raba, telapak tangan dan telapak kaki,

dan saraf motorik yang mengakibatkan

kelemahan otot tangan dan kaki.

Gangguan fungsi sensorik pada mata

tidak diperiksa di lapangan, oleh karena

itu tidak ada cacat tingkat 1 pada mata.

Cacat tingkat 1 pada telapak kaki

beresiko terjadinya ulkus plantaris,

namun dengan perawatan diri secara

rutin hal ini dapat dicegah, mati rasa

pada bercak bukan merupakan cacat

tingkat 1 karena bukan disebabkan oleh

kerusakan saraf perifer utama, tetapi

rusaknya cabang saraf kecil pada kulit.

Cacat tingkat 2 berarti cacat atau

kerusakan yang terlihat.Untuk mata :

tidak mampu menutup mata dengan rapat

(lagoftalmos), kekeruhan kornea,

kemerahan yang jelas pada mata (terjadi

pada ulserasi kornea atau uveitis),

gangguan penglihatan berat atau

kebutaan pada penderita kusta.

Sedangkan untuk tangan dan kaki :luka

dan ulkus di telapak, deformitas yang

disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki

semper atau jari kontraktur) dan atau

hilangnya jaringan (atropi) atau

reabsorbsi parsial dari jari-jari

(Kemenkes RI, 2012). Setiap

permasalahan fisik yang diakibatkan oleh

berbagai tingkat kecacatan meskipun itu

mempengaruhi fungsi kehidupan

penderita kusta teryata tidak

berhubungan secara signifikan atau

berdampak dengan depresi yang akan

naik atau turun oleh karena tingkat

kecacatan yang dialami penderita kusta.

Hal ini didukung dengan hasil penelitian

dilihat dari indikator semangat atau

harapan masa depan memiliki point

rendah yang ini dapat diartikan meskipun

dengan keadaan cacat yang dialami

penderita kusta penderita tetap

mempunyai semangat atau harapan masa

depan dan kemungkinan besar

dikarenakan penderita kusta yang

mengalami cacat tersebut merupakan

kepala keluarga sehingga harus tetap

bekerja untuk menghidupi keluarganya.

Pasien dengan tingkat cacat 0

mengalami depresi ringan sebanyak 3

responden (33,3%) dan mengalami

depresi berat 1 responden (11,1%).

Terjadinya cacat tergantung dari fungsi

serta saraf mana yang rusak. Diduga

kecacatan akibat penyakit kusta dapat

terjadi lewat 2 proses : infiltrasi langsung

Mycobacterium leprae kesusunan saraf

tepi dan organ (misalnya : mata), Melalui

reaksi kusta secara umum fungsi saraf

ada 3 macam, yaitu fungsi motorik

memberikan kekuatan pada otot, fungsi

sensorik memberi sensasi raba, nyeri dan

suhu serta fungsi otonom mengurus

kelenjar keringat dan kelenjar minyak.

Kecacatan yang terjadi tergantung pada

komponen saraf yang terkena, dapat

Page 12: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

sensorik, motorik, otonom, maupun

kombinasi anatara ketiganya (Kemenkes

RI, 2012). Penderita kusta dengan tingkat

kecacatan 0 yang berarti tidak ada

masalah kecacatan akibat kusta

mengalami depresi ringan begitu juga

ada yang mengalami depresi berat.

Penderita kusta yang masih memiliki

tingkat cacat 0 justru mengalami depresi

berat hal ini disebabkan karena sikap

tidak menerima atau penolakan terhadap

diagnosa kusta pada dirinya yang di

ditandai dengan kesedihan dan

kekecewaan yang dalam.

Penderita kusta dengan tingkat

cacat 0 mengalami depresi berat ada 1

responden (11,1%). Sedangkan pasien

dengan tingkat cacat 2 mengalami

depresi ringan sebanyak 3 responden

(42,9%). Keluarga merupakan satuan

unit paling kecil dalam masyarakat yang

terdiri atas kepala keluarga dan individu

yang tinggal di bawah satu atap dalam

keadaan saling ketergantungan (Setiadi,

2008). Dukungan keluarga merupakan

sebuah kelengkapan dari perawatan

kepada keluarga dan anggota keluarga

dalam keadaan baik sehat maupun sakit

(Friedman, 2012). Dukungan keluarga

sangat di butuhkan dalam proses

penyembuhan penyakit penderita kusta

dalam kegiatan sehari-hari dan dukungan

keluarga dapat meningkatkan

kesejahteraan psikologis karena adanya

perhatian dan pengertian dari keluarga

serta akan meningkatkan perasaan positif

pada diri sendiri.

Kesimpulan

Penderita kusta yang mengalami

depresi tidak dipengaruhi oleh tingkat

kecacatan yang dialami tetapi dapat

disebabkan karena sikap tidak menerima

atau penolakan terhadap diagnosa kusta

pada dirinya yang di ditandai dengan

kesedihan dan kekecewaan yang dalam.

Saran

Penderita kusta rutin melakukan

perawatan diri untuk mencegah agar

tidak bertambah tingkat kecacatannya

yaitu dengan prinsip 3M yaitu

memeriksa, melindungi dan merawat,

sedangkan untuk mengurangi depresi

penderita kusta rutin mengikuti program

bimbingan konseling yang di adakan oleh

Rumah Sakit Kusta Kota Kediri dan

peran serta keluarga juga penting dalam

memberikan dukungan atau motivasi

untuk mengurangi depresi yang

diakibatkan oleh kecacatan yang dialami.

Daftar Pustaka

Friedman, Marlyn. (2012). Buku Ajar

Keperawatan Keluarga: Riset,

Teori dan Praktek. Jakarta: EGC.

Kemenkes RI, (2012). Pedoman

Nasional Program Pengendalian

Penyakit Kusta. Jakarta:

Kemenkes RI.

Kunoli J. Firdaus. (2012). Asuhan

Keperawatan Penyakit Tropis.

Jakarta: Trans Info Media.

______. (2013). Pengantar Epidemologi

Penyakit Menular: Untu

Mahasiswa Kesehatan

Masyarakat. Jakarta: TIM.

Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI.

(2015). InfoDatin. Jakarta:

Kemenkes RI.

Setiadi. (2008). Konsep & Proses

Keperawatan Keluarga.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Superzeki Zaidatul Fadilah. (2013).

Hubungan Dukungan Keluarga

Dengan Depresi Penderita Kusta

Di Dua Wilayah Tertinggi Kusta

Di Kabupaten Jember.Skripsi

Universitas Jember Medan.

Page 13: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI

http://repository. unej.ac .id.

Diakses Tanggal 30 September

2016, Jam 14.30 WIB.

Susanto, Tantut. (2013). Perawatan

Klien Di Komunitas. Jakarta:

Trans Infor Media.

WHO. (2013). http://www.depkes.go.id/

article/view/15012700001/menke

s- canangkan-resolusi-jakarta-

guna-hilangkan-stigma-dan-

diskriminasi-kusta.html

Yosep, H. Iyus. (2014). Buku Ajar

Keperawatan Jiwa. Bandung: PT

Refika Aditama.

Yuliana, Lusianingsih. (2013). Hubungan

Antara Tingkat Kecacatan

Dengan Gambaran Diri (Body

Image) Pada Penderita Kusta Di

Rumah Sakit Kusta Donorogo

Jepara. Diakses Tanggal 8

Oktober 2016, Jam 21.17 WIB.

Page 14: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI
Page 15: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI
Page 16: TINGKAT DEPRESI PADA PENDERITA KUSTA YANG MENGALAMI