tinea kapitis

40
TINEA KAPITIS Tinea kapitis adalah salah satu kelainan di sistem dermatologi yang menyerang rambut. Penyakit ini digolongkan sebagai mikosis superfisialis atau dermatofitosis dan disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada kulit kepala, alis dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang batang rambut dan akar folikel rambut. Kelainan ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia, bahkan kadang-kadang ditandai gejala yang lebih berat, yaitu kerion (Djuanda, 2010). A. Definisi Tinea Kapitis adalah infeksi jamur superfisial yang menyerang kulit kepala dan rambut (Siregar, 2005). Tinea Kapitis disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada kulit kepala, alis dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang batang rambut dan akar folikel rambut. Penyakit ini termasuk ke dalam mikosis superfisialis atau dermatofitosis (Kao, 2013). B. Klasifikasi 1. Berdasarkan morfologi 1

Upload: rizki-putra-sanjaya

Post on 17-Jan-2016

301 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

koas coass

TRANSCRIPT

Page 1: Tinea Kapitis

TINEA KAPITIS

Tinea kapitis adalah salah satu kelainan di sistem dermatologi yang

menyerang rambut. Penyakit ini digolongkan sebagai mikosis superfisialis atau

dermatofitosis dan disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada kulit kepala,

alis dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang batang rambut dan akar

folikel rambut. Kelainan ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan,

alopesia, bahkan kadang-kadang ditandai gejala yang lebih berat, yaitu kerion

(Djuanda, 2010).

A. Definisi

Tinea Kapitis adalah infeksi jamur superfisial yang menyerang

kulit kepala dan rambut (Siregar, 2005). Tinea Kapitis disebabkan oleh in-

feksi jamur superfisial pada kulit kepala, alis dan bulu mata dengan kecen-

derungan menyerang batang rambut dan akar folikel rambut. Penyakit ini

termasuk ke dalam mikosis superfisialis atau dermatofitosis (Kao, 2013).

B. Klasifikasi

1. Berdasarkan morfologi

Tinea kapitis diklasifikasikan berdasarkan morfologinya menjadi

jenis ektotrik, endotrik dan favus. Jenis ektotrik ditandai dengan

adanya hifa jamur dan selubung artrokondria di luar rambut hingga ke

zona keratinisasi rambut dan bisa merusak kutikula (Rudnicka et al.,

2012). Rambut yang terinfeksi memancarkan pendaran kuning kehi-

jauan cerah pada pemeriksaan dengan lampu Wood. Penyebabnya an-

tara lain Microsporum canis, Microsporum gypseum, Trichophyton

equinum, dan Trichophyton verrucosum (Kao, 2013).

1

Page 2: Tinea Kapitis

Gambar 2.1 Hifa dan spora jamur di luar rambut (panah merah)

pada tinea kapitis jenis ektotrik (JRM, 2013).

Jenis endotrik ditandai dengan pengisian batang rambut dengan

hifa jamur dan artrokondria sehingga semua elemen rambut bisa

dilemahkan oleh jamur (Rudnicka et al., 2012). Kutikula rambut

masih intak dan rambut yang terinfeksi tidak memancarkan pendaran

cahaya dengan lampu Wood. Penyebabnya antara lain Trichophyton

tonsurans dan Trichophyton violaceum (Kao, 2013).

Gambar 2.2 Hifa dan spora jamur di dalam rambut (panah merah)

pada tinea kapitis jenis endotrik (JRM, 2013).

Jenis favus (endotrik favosa) biasanya disebabkan oleh Trichophy-

ton schoenleinii dengan ciri khas adanya rongga udara di dalam ram-

but yang terinfeksi (Rudnicka et al., 2012).

2

Page 3: Tinea Kapitis

2. Berdasarkan penampakan klinis

Tinea kapitis diklasifikasikan berdasarkan penampakan klinisnya

menjadi tiga jenis, yaitu inflamatori, non-inflamatori dan favus. Jenis

noninflamatori (epidemik) sering disebabkan oleh jamur antropofilik

dan sering menyerang anak-anak dan ditandai dengan adanya rambut

pendek dengan panjang bervariasi, jaringan parut sedikit dan adanya

black dot. Tinea kapitis jenis ini biasanya disebabkan oleh Microspo-

rum canis (Rudnicka et al., 2012).

Gambar 2.3 Rambut yang pendek dengan panjang bervariasi

(panah merah) pada tinea kapitis noninflamatori

(Habif et al., 2004)

Tinea kapitis inflamatori sering disebabkan jamur zoofilik atau ge-

ofilik dan ditandai dengan adanya pustul. Tinea kapitis favus (tinea

kapitis favosa) biasanya ditandai dengan adanya krusta, dan material

amorfik yang mengandung sisa rambut, hifa jamur dan debris keratin

sedangkan batang rambutnya normal. Pada fase kronisnya, tinea kapi-

tis favosa bisa menyebabkan kerontokan rambut (Rudnicka et al.,

2012).

3

Page 4: Tinea Kapitis

Gambar 2.4 Pustul pada tinea kapitis inflamatori (panah biru) pada

tinea kapitis inflamatori (Habif et al., 2004)

Gambar 2.5 Krusta (panah merah) pada tinea kapitis favosa (doc-

torfungus, 2013)

4

Page 5: Tinea Kapitis

C. Etiologi dan Predisposisi

1. Etiologi

Tinea kapitis umumnya disebabkan spesies dermatofit, kecuali E.

floccosum, T. concentricum dan T. mentagrophytes var. interdigitale

(T. interdigitale) yang semuanya jamur antropofilik tidak menye-

babkan tinea kapitis dan T. rubrum jarang. Setiap negara dan daerah

berbeda-beda untuk spesies penyebab tinea kapitis. Perubahan waktu

juga dapat menyebabkan adanya spesies baru karena penduduk mi-

grasi. Spesies antropofilik (yang hidup di manusia) adalah penyebab

yang predominan (Clayton & Moore, 2006). Sebuah studi terbaru

pada tahun 2012 di maroko menunjukkan bahwa penyebab terbesar

tinea kapitis didominasi oleh dua spesies, yaitu Trichophyton vio-

laceum (60.8%) dan Microsporum canis (21.6%) (Elmaataoui et al.,

2012).

Trichophyton violaceum memiliki badan nodular, mikrokonidia

berbentuk piriform, makrokonidia yang berbentuk ireguler dan jarang

terlihat serta adanya klamidiospora asimetris (Mihali et al., 2012).

Gambar 2.6 Trichophyton violaceum dengan kepala (panah biru),

badan nodular (panah merah), dan mikrokonida (panah

hijau) (Murray et al., 2005)

Microsporum canis memiliki struktur makrokonidia yang panjang,

berdinding tebal, kepala asimetris di ujung dengan sedikit

mikrokonidia di bagian lateral. M. canis memiliki hifa berbentuk

seperti raket, badan nodular, dan dapat memiliki klamidiospora

(Mihali et al., 2012).

5

Page 6: Tinea Kapitis

Gambar 2.7 Microsporum canis dengan kepala asimetris (panah

hitam) dan badan nodular (panah merah) (Murray et al.,

2005)

Epidermophyton floccosum memiliki struktur dinding yang tumpul,

makrokonidia berbentuk stik bergerombol. E. floccosum tidak

memiliki mikrokonidia, akan tetapi memiliki banyak klamidiospora

(Al-Janabi, 2009).

Gambar 2.8 Epidermophyton floccosum dengan makrokonidia (panah

biru) dan klamidiospora (panah merah) (Murray et al.,

2005)

2. Predisposisi

Infeksi tinea kapitis akan meningkat pada keadaan berikut ini

(Elewski et al., 2012):

6

Page 7: Tinea Kapitis

a. Lingkungan yang hangat dan lembab

b. Terdapat luka kecil pada kulit terutama kulit kepala

c. Jarang membersihkan rambut dan kulit kepala

d. Permukaan kepala yang lembab dalam waktu lama

Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang dapat

terinfeksi tinea kapitis antara lain (Shannon, 2013):

a. Usia dibawah 10 tahun

b. Ras Afrika lebih beresiko daripada ras lain

c. Pajanan terhadap binatang yang terinfeksi

d. Higenitas yang buruk

e. Pemakaian sisir dan topi bergantian

f. Diabetes Melitus

g. Kelainan sistem imun seperti pada penyakit AIDS

Menurut Wolff et al., (2008), Faktor-faktor predisposisi yang di-

hubungkan dengan meningkatnya insidensi tinea antara lain:

a. Faktor nutrisi, seperti avitaminosis, defisiensi besi, defisiensi fo-

lat, dan malnutrisi generalis.

b. Penyakit sistemik seperti Down’s Syndrome, Diabetes mellitus,

penyakit Cushing, uremia, keganasan hematologi, timoma, dan

penyakit imunodefisiensi.

c. Penyebab iatrogenik, antara lain pemberian kortikosteroid,

imunosupresi, dan antibiotik spektrum luas seperti metronidazole

yang akan memudahkan terjadinya infeksi.

D. Patofisiologi

Microsporum canis dan T.tonsurans ditularkan melalui kontak an-

tara anak dengan anak dan mengakibatkan terbentuknya pitak berbentuk

oval. Rambut patah dengan panjang yang berbeda-beda dan permukaan

kulit kepala bersisik dan berkrusta dengan papula yang diskret. M. canis

biasanya ditularkan dari anak kucing ke anak-anak dan menimbulkan

7

Page 8: Tinea Kapitis

pitak-pitak radang purulen. Pitak tersebut biasanya berkrusta dengan

banyak pustula dan dapat menimbulkan alopesia permanen. Lesi yang

meradang dapat membentuk massa besar, lunak, dan yang disebut kerion

(Stawiski & Price, 2006).

Proses inokulasi dapat dilakukan untuk mendapatkan hifa jamur

berbentuk sentrifugal di stratum korneum dan tumbuh mengikuti dinding

keratin folikel rambut. Zona yang terlibat meluas hingga keatas mengikuti

arah pertumbuhan rambut dan dapat diamati diatas permukaan kulit kepala

pada hari ke 12-14. Rambut yang terinfeksi menjadi rapuh dan mudah

patah. Setelah minggu ketiga, rambut yang mengalami kerusakan akan ter-

lihat jelas. Jika infeksi berlangsung terus menerus kira-kira hingga 8 sam-

pai dengan 10 minggu maka akan menyebar ke bagian stratum korneum

rambut lainnya dengan diameter tempat yang terinfeksi mencapai 3,5

hingga 7 cm (Kao, 2013).

a. Grey Patch Ringworm (Budimulja, 2009)

Jamur (Microsporum)

Masuk (menginfeksi)

menyerang rambut membentuk papul merah kecil

di folikel rambut

warna rambut menjadi abu-abu

melebar

mudah patah, terlepas (rontok)

bercak

alopesia setempat

pucat, bersisik

8

Page 9: Tinea Kapitis

gatal

b. Black Dot Ringworm (Budimulja, 2009)

Trichophyton tonsurans, T. violaceum

Infeksi rambut (muara folikel)

Rambut patah black dot

Sisa: ujung rambut penuh spora

c. Kerion (Rengganis & Bratawidjaja, 2012)

Microsporum canis, M. gypseum

Aktivasi makrofag Merangsang produksi sitokin

IL-1, TNF-α

Produksi sitokin TNF dan IFNγ

Adhesi endotel

aktivasi sel NK

Infiltrasi neutrofil

Pelepasan bahan fungisidal ROI

(Reactive Oxygen Intermediate) dan enzim lisosom

inflamasi

menonjol jaringan parut

alopesia menetap

d. Tinea favosa

Tinea favosa adalah infeksi dermatofita yang menyebabkan infla-

masi kronis biasanya disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii. Tinea

9

Page 10: Tinea Kapitis

favosa juga bisa disebabkan oleh Trichophyton violaceum, Trichophyton

mentagrophytes var quinckeanum, atau Microsporum gypseum. Kelainan

di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang berwarna

merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk cawan

(skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus "moussy odor". Ram-

but diatas skutula putus-putus dan mudah lepas dan tidak mengkilat lagi.

Bila sembuh akan meninggalkan jaringan parut dan alopesia yang perma-

nen (Savitri, 2010).

Pada kebanyakan pasien, favosa adalah bentuk parah dari tinea

kapitis. Rambut dapat tumbuh dan memanjang meskipun dalam keadaan

sakit. Karakteristik khas pada favosa adalah pembentukan ruang udara an-

tara hifa dalam rambut yang terinfeksi. Ruang udara ini terbentuk sebagai

akibat dari autolisis hifa (Savitri, 2010).

Trichophyton schoenleinii,Trichophyton violaceum

Trichophyton mentagrophytes var quinckeanum,

Microsporum gypseum

Infeksi kulit kepala

Tinea favosa

Bintik kecil, merah

Krusta cawan (spatula)

Bau busuk (moussy odor)

Rambut putus-putus, tidak mengkilat

Jaringan parut, alopesia permanen

10

Page 11: Tinea Kapitis

E. Penegakkan Diagnosis

1. Anamnesis

Penegakan diagnosis dapat dimulai dari tahap anamnesis. Secara

umum, pasien tinea kapitis datang dengan keluhan sebagai berikut

(Budimulja, 2011):

a. Gatal pada kulit kepala terutama jika sedang berkeringat.

b. Pasien dengan tinea kapitis bentuk Grey Patch Ringworm akan

mengeluh gatal pada kulit kepala, rambut mudah patah dan ter-

lepas dari akarnya.

c. Pada bentuk kerion, muncul pembengkakan yang menyerupai

sarang lebah pada kulit kepala dan dapat menimbulkan jaringan

parut yang menonjol sehingga timbul keluhan bengkak disertai

nyeri pada kulit kepala.

d. Pada bentuk Black Dot Ringworm, terdapat kerontokan rambut

yang meninggalkan ujung rambut hitam pada kulit kepala atau

disebut black dot.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasen tinea kapitis bentuk

Grey Patch Ringworm yaitu papul merah kecil disekitar rambut dan

akan melebar, membentuk bercak serta bersisik. Warna rambut men-

jadi abu-abu dan tidak mengkilat lagi. Rambut juga mudah patah dan

terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa

rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur, se-

hingga terbentuk alopesia setempat. Tempat-tempat ini terlihat sebagai

grey patch. Grey patch yang dilihat di dalam klinik tidak menun-

jukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti (Budimulja, 2011).

11

Page 12: Tinea Kapitis

Gambar 2.9 Grey patch (Panah merah) pada tinea kapitis jenis Grey

Patch Ringworm (Kao, 2013).

Pada tinea kapitis bentuk kerion dapat ditemukan pembengkakan

yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang pa-

dat disekitarnya. Kelainan ini dapat menyebabkan jaringan parut

yang menonjol dan berakibat alopesia menetap (Budimulja, 2011).

Gambar 2.10 Bentuk kerion (panah merah) pada tinea kapitis jenis ke-

rion (panah merah) (Kao, 2013)

Pada bentuk Black Dot Ringworm, ditemukan rambut patah

akibat infeksi, tepat pada muara folikel dan yang tertinggal adalah

ujung rambut penuh spora. Jika tumbuh, ujung rambut yang patah

terkadang akan masuk ke bawah permukaan kulit (Budimulja,

2011).

12

Page 13: Tinea Kapitis

Gambar 2.11 Bentuk Black dot pada tinea kapitis tipe Black Dot

Ringworm (panah merah (Oishi, 2013)

Tinea favosa Adalah infeksi jamur kronis terutama oleh

Trychophiton schoenlini, Trychophithon violaceum, dan Microsporum

gypseum. Penyakit ini mirip tinea kapitis yang ditandai oleh skutula

warna kekuningan bau seperti tikus pada kulit kepala, lesi menjadi

sikatrik alopecia permanen. Gambaran klinik mulai dari gambaran

ringan berupa kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel

rambut tanpa kerontokan hingga skutula dan kerontokan rambut serta

lesi menjadi lebih merah dan luas kemudian terjadi kerontokan lebih

luas, kulit mengalami atropi sembuh dengan jaringan parut permanen.

Diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, prinsip

pengobatan tinea favosa sama dengan pengobatan tinea kapitis

(Higgins, 2008). Terapi tinea favosa juga sama dengan tinea kapitis

(Drake et al., 2008).

13

Page 14: Tinea Kapitis

Gambar 2.12 Skutula warna kekuningan (panah merah) pada Tinea

favosa (Anane, 2013)

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Lampu Wood

Rambut yang tampak dengan jamur M. canis, M. audouinii

dan M. Ferrugineum memberikan fluoresen warna hijau terang

oleh karena adanya bahan pteridin. Jamur lain penyebab tinea

kapitis pada manusia memberikan fluoresen negatif artinya warna

tetap ungu yaitu M. gypsium dan spesies Trichophyton (kecuali T.

schoenleinii penyebab tinea favosa memberi fluoresen hijau

gelap). Bahan fluoresen diproduksi oleh jamur yang tumbuh aktif

di rambut yang terinfeksi (Suyoso, 2012).

b. Pemeriksaan sediaan KOH

Kepala dikerok dengan cutter, atau skalpel nomor 15 lalu

digunakan kasa basah digunakan untuk mengusap kepala. Proses

ini akan memperlihatkan ada potongan pendek patahan rambut

atau pangkal rambut dicabut yang ditaruh di object glass selain

skuama dan KOH 10% ditambahkan dan ditutup kaca penutup.

Potongan rambut pada kepala harus termasuk akar rambut, folikel

rambut dan skuama kulit. Skuama kulit akan terisi hifa dan

14

Page 15: Tinea Kapitis

artrokonidia yang menunjukkan elemen jamur adalah artrokonidia

oleh karena rambut-rambut yang lebih panjang mungkin tidak

terinfeksi jamur. Pada pemeriksaaan mikroskop akan tampak

infeksi rambut ektotrik yaitu pecahan miselium menjadi konidia

sekitar batang rambut atau tepat dibawah kutikula rambut dengan

kerusakan kutikula. Pada infeksi endotrik, bentukan artrokonidia

yang terbentuk karena pecahan miselium didalam batang rambut

tanpa kerusakan kutikula rambut (Suyoso, 2012).

c. Kultur

Memakai swab kapas steril yang dibasahi akuades steril dan

digosokkan diatas kepala yang berskuama atau dengan sikat gigi

steril dipakai untuk menggosok rambut-rambut dan skuama dari

daerah luar di kepala, atau pangkal rambut yang dicabut langsung

ke media kultur. Spesimen yang didapat dioleskan di media

Mycosel atau Mycobiotic (Sabourraud dextrose agar +

khloramfenikol + sikloheksimid) atau Dermatophyte test medium

(DTM) lalu ditunggu 7 - 10 hari agar mulai tumbuh jamurnya.

Penggunaan DTM dapat memperlihatkan adanya perubahan

warna merah pada hari 2-3 oleh karena ada bahan fenol di

medianya, walau belum tumbuh jamurnya berarti jamur dematofit

positif (Suyoso, 2012).

4. Gold Standard Diagnosis

a. Lampu wood

Pemeriksaan dengan menggunakan lampu wood dapat

digunakan untuk melihat jamur. Prosedurnya adalah dengan

menyorotkan cahaya di ruangan yang gelap. Fluoresensi positif

pada tinea kapitis yang disebabkan genus Microsporum yang

menimbulkan warna kebiruan atau hijau kebiruan (Faradila et al.,

2009).

15

Page 16: Tinea Kapitis

Gambar 2.13 Flouresensi warna kebiruan (panah merah) pada

pemeriksaan dengan Lampu Wood (Faradila et al.,

2009)

b. Kultur jamur

Selain menggunakan lampu wood, pemeriksaan penunjang

lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis tinea kapitis adalah

dengan melakukan kultur sehingga dapat diketahui jamur atau

organisme penyebab kerion (Faradila et al., 2009). Prosedurnya

antara lain adalah sebagai berikut (Faradila et al., 2009):

1) Mencabut sedikit rambut atau menusuk lesi yang berisi nanah

pada area kepala yang terkena

2) Selain itu untuk mendapatkan nanah, gosokkan cotton steril

pada lesi

3) Kirim spesimen yang didapat ke laboratorium

Hasil laboratorium ini didapatkan setelah 2-3 minggu. Pada

umumnya hasil laboratorium dapat mengidentifikasi jenis dari

dermatofita penyebab tinea kapitis dan kerion. Akan tetapi, perlu

dilakukan konfirmasi lebih lanjut untuk melihat hasil kultur

bakteri. Pembiakan dapat dilakukan pada (Faradila et al., 2009):

1) Agar Dekstrosa Sabouraud (SDA)

SDA dapat dipakai untuk menumbuhkan jamur akan

tetapi dapat juga menumbuhkan kuman tertentu sehingga

ditambahkan antibiotik pada medium ini. Antibiotik yang

digunakan adalah kloramfenikol dan sikloheksimid.

16

Page 17: Tinea Kapitis

2) Dermatophyte Test Medium (DTM)

DTM merupakan media khusus untuk menumbuhkan

jamur dermatofit. Sebagai anti kuman yaitu gentamisin dan

klortetrasiklin sedangkan sikloheksimid sebagai anti jamur

kontaminan. Positif bila adanya perubahan warna dari

kuning menjadi merah karena pengaruh metabolit

dermatofit.

Seringkali diagnosis kerion celsi dapat ditegakkan hanya

dengan melihat keadaan lesi pada pasien. Walaupun demikian,

sebaiknya untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan

pemeriksaan dengan mengambil bahan kerokan dari tempat lesi

dan diletakkan di atas slide dan diteteskan larutan KOH 10%

kemudian dilihat dibawah mikroskop (Faradila et al., 2009).

c. Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mikroskop cahaya.

Preparat langsung dari kerokan kulit dengan larutan KOH 10%.

Awalnya, dilakukan pengamatan dengan pembesaran 10 x10

kemudian dilanjutkan dengan pembesaran 10 x 45 sehingga dapat

terlihat hifa atau spora dan miselium. Fungsi KOH adalah untuk

melarutkan debris dan lemak. Larutan KOH 10% dapat

melarutkan debris dan lemak dari kerokan kulit, rambut dan

mukosa. Pada sedian rambut yang dilihat adalah spora kecil

(mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di

luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-

kadang terlihat pula hifa pada sediaan rambut (Faradila et al.,

2009).

17

Page 18: Tinea Kapitis

Gambar 2.14 Spora (panah biru) dan pseudohifa (panah merah)

pada pememeriksaan mikroskopis Tinea Kapitis

dengan larutan KOH 10% (Faradila et al., 2009).

Pada pemeriksaan fisik, anak-anak bisa didiagnosis tinea kapitis

jika datang dengan kepala berskuama, eritema, alopesia, limfadenopati

servikal posterior atau limfadenopati aurikuler posterior atau kerion,

juga termasuk pustul atau abses, dissecting cellulitis atau black dot

(Suyoso, 2012).

d. Pemeriksan bentuk comma hairs, corkscrew hairs, dan broken dys-

trophic hairs

Pada pasien dengan warna kulit gelap, seringkali sulit untuk mene-

mukan tanda-tanda di atas. Masalah ini telah diselesaikan dalam

penelitian tahun 2011 yang berisi tentang pengamatan bentuk residu

rambut yang terlihat dengan pengamatan tanpa mikroskop untuk

menentukan adanya mikroorganisme penyebab tinea kapitis. Bentuk

residu rambut yang dapat diamati adalah comma hairs, corkscrew

hairs, dan broken dystrophic hairs (Hughes, Chiaverini, Bahadoran, &

Lacour, 2011). Pada tahun 2013 kembali dilakukan penelitian dan

hasilnya adalah bahwa metode ini juga bisa digunakan untuk pasien

berkulit putih (Neri et al., 2013).

18

Page 19: Tinea Kapitis

Gambar 2.15 Pengamatan bentuk comma hairs (panah merah),

corkscrew hairs (panah biru), and broken dys-

trophic hairs (panah kuning) (Hughes et al., 2011).

F. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

a. Terapi lama

Pengobatan dermatofitosis mengalami kemajuan sejak

tahun 1958. Gentles (1958) dan Martin (1958) secara terpisah

melaporkan, bahwa griseofulvin per oral dapat menyembuhkan

dermatofitosis yang ditimbulkan pada binatang percobaan. Se-

belum zaman griseofulvin, pengobatan dermatofitosis hanya di-

lakukan secara topikal dengan zat-zat keratolitik dan fungistatik

(Budimulija, 2010).

Pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum au-

douini misalnya, dilakukan pengobatan topikal dan disertai penyi-

naran dengan sinar X untuk merontokkan rambut di bagian yang

sakit. Cara penyinaran ini, yang diberi dengan dosis tunggal

memerlukan perhitungan yang cermat. Persiapan untuk melin-

dungi bagian yang sehat juga sangat rumit. Selain itu, efek samp-

ing penyinaran yang mungkin timbul pada masa akan datang

cukup berbahaya (Budimulija, 2010).

Anak-anak yang telah mendapat penyinaran ternyata di

masa akan datang mendapat kemungkinan menderita keganasan

10 kali lebih besar daripada anak-anak yang tidak mengalami

19

Page 20: Tinea Kapitis

penyinaran untuk pengobatan tinea kapitis. Pada masa sekarang,

dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian

griseofulvin yang bersifat fungistatik (Budimulija, 2010).

b. Terapi baru

Obat tinea kapitis lebih manjur jika menggunakan obat sis-

temik dibandingkan obat topikal karena obat topikal tidak men-

embus folikel rambut. Obat topical lebih ditujukan untuk menjadi

tambahan dari obat sistemik (Richardson & David, 2012).

Griseofulvin merupakan obat jamur dan berperan dalam

menghambat mitosis dermatofit dan telah menjadi gold standard

terapi tinea kapitis. Obat ini sudah tersedia lebih dari 40 tahun dan

terbukti aman. Tersedia dalam dua sediaan, yaitu microsize dan

ultramicrosize (Bennasar & Ramon, 2010). Untuk sediaan micro-

size dosis yang direkomendasikan adalah 20-25 mg/kgBB dan un-

tuk sediaan ultramicrosize sebanyak 10-15 mg/kgBB. Griseoful-

vin diberikan selama 6-8 minggu, namun akan memerlukan waktu

lebih lama pada infeksi M. canis dibandingkan T. tonsurans

(Richardson & David, 2012).

Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet. Untuk orang de-

wasa diberi dosis 250 mg/hari. Untuk anak-anak direkomen-

dasikan dosis sebanyak 62,5 mg/hari untuk anak dengan berat

badan di bawah 20 kg, 125 mg/hari untuk anak dengan berat

badan 20-40 kg, 250 mg/hari untuk anak dengan berat badan di

atas 40 kg. Pengobatan ini dilakukan selama 4 minggu. Untuk

pemberian dosis lebih tinggi atau pengobatan lebih lama ditu-

jukan pada infeksi M. canis (Richardson & David, 2012).

Itraconazole bersifat lipofilik dan memiliki afinitas tinggi

terhadap keratin. Obat ini menempel pada sitoplasma lipofilik

keratinosit di dasar kuku dan mempertahankan kekokohan kuku.

Keberadaan sitoplasma dalam stratum korneum akan bertahan se-

lama 4 minggu setelah terapi. Kadar itraconazole dalam sebum 5

20

Page 21: Tinea Kapitis

kali lebih tinggi dibandingkan dalam plasma dan bertahan hingga

1 minggu setelah terapi (Bennasar & Ramon, 2010).

Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul atau oral solution.

Itraconazole dalam bentuk kapsul lebih baik dicerna saat makn,

sedangkan oral solution lebih baik dicerna setelah berpuasa untuk

mendapatkan bioavailibilitas maksimal. Respons yang diberikan

sama saja dan tidak tergantung pada bentuk sediaan. Dosis yang

direkomendasikan oleh dokter anak adalah 5 mg/kgBB/ hari dan

diberikan sejara kontinyu. Jika diberikan bersama sediaan oral so-

lution maka dosis akan dikurangi 3 mg/kgBB/hari (Bennasar &

Ramon, 2010).

Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala, gangguan

pencernaan, ruam-ruam, dan terkadang terjadi abnormalitas enzim

hati. Obat ini juga dapat meningkatkan konsentrasi cyclosporine,

digoksin, dan cisapride. Jika digunakan bersama phenytoin, isoni-

azid, dan rifampin, maka obat-obatan tersebut akan menurunkan

konsentasi itraconazole. Kontraindikasi dari obat ini ialah pada

penderita, gagal jantung, orang dengan enzim hati yang tidak nor-

mal, dan yang pernah mengalami toksisitas dari obat jamur lain-

nya (Bennasar & Ramon, 2010).

Sebuah penelitian pada tahun 2013 berusaha untuk mem-

bandingkan efiksai obat Griseofulvin dan Terbinafin. Penelitian

ini dilakukan dengan metode meta-analisis. Meta-analisis di-

lakukan terhadap beberapa Random Clinical Trial (RCT) berba-

hasa inggris dari situs Pubmed pada tahun 2011. Beberapa RCT

yand digunakan sebagai acuan tersebut dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

21

Page 22: Tinea Kapitis

Tabel 2.1 Daftar RCT yang digunakan dalam meta-analisis

(Gupta & Drummond-Main, 2013).

Analisis terhadap beberapa RCT tersebut kemudian dilan-

jutkan dengan membandingkan efikasi masing-masing obat

tersebut terhadap Microsporum sp. dan Trichophyton sp. Kesim-

pulan yang didapatkan yaitu bahwa Griseofulvin memiliki

efikasi lebih tinggi untuk mengatasi tinea kapitis akibat Mi-

crosporum sp., sedangkan Terbinafin memiliki efikasi lebih se-

bagai terapi tinea kapitis akibat Trichophyton sp. (Gupta &

Drummond-Main, 2013).

c. Terapi kausatif

1) Antifungal Sistemik

Pada dasarnya, terapi antifungal sistemik sama dengan ter-

api yang terdapat dalam bagian terapi baru yang telah dije-

laskan sebelumnya, yaitu antara lain adalah sebagai berikut:

a) Golongan Griseofulvin (Richardson & David, 2012).

b) Golongan alilamin, contohnyaTerbinafin (Richardson

& David, 2012).

c) Golongan azole, contohnya Itraconazole (Bennasar &

Ramon, 2010).

d) Golongan polyene, contohnya amfoterisin B, nistatin,

natamisin (Neal, 2006).

e) Golongan flusitosin (Neal, 2006).

22

Page 23: Tinea Kapitis

2) Antifungal Topikal

Terapi antifungal topikal pada tinea kapitis dapat

berupa sampo selenium sulfida, zink pyrithion, povidon io-

dida atau sampo ketokonazol. Selain menggunakan sampo,

dapat pula diberikan krim atau lotion yang mengurangi

spora yang dapat hidup. Spora menyebabkan penularan

penyakit dan reinfeksi, serta menurunkan angka kesem-

buhan dari terapi antifungal oral. Larutan terbinafin 0,01%

dapat membunuh arthroconidia dari lima spesies Tri-

chophyton setelah waktu paparan 15-30 menit (Bennasar &

Ramon, 2010).

Krim atau lotion fungisidal diaplikasikan pada lesi

sekali sehari selama 1 minggu. Sampo digunakan pada kulit

kepala dan rambut yang terinfeksi dan didiamkan selama 5

menit 2 kali atau 3 kali per minggu selama 2-4 minggu

sampai pasien sembuh (Bennasar & Ramon, 2010).

d. Terapi Suportif

Terapi suportif pada pasien dengan tinea kapitis meliputi

edukasi pasien mengenai transmisi tinea kapitis. Jika agen aktif

yang diderita pasien adalah ektotriks antropofilik, maka pasien

dapat diizinkan kembali sekolah atau bekerja setelah seminggu

dari terapi antifungal dimulai. Pada kasus lain, pasien dapat

tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Sangat ditekankan

pada pasien untuk tidak menggunakan sisir, topi, helm, handuk

bersama dengan orang lain karena penggunaan barang-barang

yang kontak dengan lesi dapat berperan dalam transmisi

penyakit. Pada semua kasus tinea kapitis yang disebabkan der-

matofita antropofilik, pihak sekolah harus diberitahu bahwa

kegiatan olahraga yang membutuhkan kontak fisik lama, seperti

bergulat, harus dihindari sampai risiko infeksi benar-benar hi-

lang (Bennasar & Ramon, 2010).

23

Page 24: Tinea Kapitis

Pemeriksaan klinis dan serta mikroskopis pada anggota

keluarga sangat disarankan. Sampel mikologis diambil terutama

pada anggota keluarga yang sudah menunjukkan gejala terin-

feksi. Organisme zoofilik, seperti M. canis menyebabkan respon

inflamasi hampir di semua host yang terinfeksi. Pada organisme

antopofilik, seperti T.tonsurans atau T.violaceum, timbul respon

ringan atau tanpa inflamasi, oleh karena itu infeksi dari spesies

antropofilik bersifat asymptomatic. Keluarga yang berada satu

atap atau teman bermain yang sangat dekat harus turut diperiksa

dan diberikan terapi antifungal topikal, seperti sampo selenium

sulfide atau sampo ketokonazol 2% selama 12 minggu. Hewan

peliharaan juga harus diperiksa dan jika perlu diterapi untuk

mencegah adanya spora yang mungkin melekat pada bulu-bulu

hewan peliharaan (Bennasar & Ramon, 2010).

Peralatan rumah, seperti pakaian, karpet, bagian-bagian

sofa, kasur, bantal, tirai, sisir, gunting, dan barang-barang rumah

tangga yang meliputi penggunaan bersama harus dicuci dengan

disinfektan kuat. Barang-barang yang dapat direbus, seperti sisir

dan pakaian, dianjurkan untuk direbus dalam air mendidih se-

lama 5 menit untuk mematikan spora-spora yang mungkin

melekat pada barang-barang tersebut (Bennasar & Ramon,

2010).

e. Terapi Simptomatik

1) Antipruritus

Antihistamin generasi 2 dapat digunakan sebagai

agen antipruritus, contohnya adalah ketofilen, terfenadin,

astemizol, loratazin, setirizin, akrivastin, dan azelastin.

Mekanisme obat ini adalah blokade reseptor antihistamin

dan menghambat degranulasi sel mast. Efek samping yang

dapat terjadi adalah mengantuk ringan dan mulut kering

(Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI,

24

Page 25: Tinea Kapitis

Doxepin, sebuah bentuk dibenzoxepin tricyclic,

yakni sebuah obat antihistamin yang sangat aktif. Obat ini

bekerja dengan menekan kerja reseptor saraf di kulit. Dosis

awalnya ialah 25-50 mg diberikan secara oral sebelum

tidur. Untuk doxepin dalam bentuk krim, diberikan se-

banyak 5% secara q.i.d. Obat ini menyebabkan efek samp-

ing, seperti mengantuk dan rasa menyengat (Vender &

Lovell, 2007).

f. Terapi profilaksis

Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 menun-

jukkan bahwa penggunaan sampo antifungal ketoconazole seba-

gai profilaksis efektif untuk mencegah terjadinya infeksi tinea

capitis pada populasi yang berisiko tinggi. Terapi profilaksis

lainya adalah secara nonmedikamentisa dengan cara

meningkatkan higienitas, dan mencegah adanya mikroorganisme

penyebab tinea kapitis (Bookstaver et al., 2011).

2. Non-medikamentosa

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani tinea kapitis

antara lain adalah sebagai berikut (Berman, 2012):

a. Mencuci handuk di dalam air hangat yang diberi sabun dan diker-

ingkan sebelum digunakan oleh penderita.

b. Merendam sisir selama satu jam per hari dalam larutan campuran

pemutih dan air dengan perbandingan 1:1. Lakukan selama 3 hari.

c. Penderita tidak boleh menggunakan sisir, topi, handuk, sarung

bantal, atau helm bersama dengan orang lain.

d. Apabila dalam satu rumah terdapat anggota keluarga yang terin-

feksi, sebaiknya anggota keluarga dalam rumah tersebut juga

menggunakan shampoo yang mengandung ketokenazol dan sele-

nium sulfide untuk pencegahan.

25

Page 26: Tinea Kapitis

G. Prognosis

Prognosis umumnya baik jika pada penderita tinea kapitis sudah

dilakukan pengobatan dan mencapai kesembuhan, dan faktor-faktor in-

feksi dapat dihindari, maka prognosis umumnya baik (Siregar, 2005).

Komplikasi dan infeksi sekunder pada jarang sekali terjadi pada penderita

tinea kapitis. Pada umumnya hal tersebut hanya terjadi pada individu den-

gan sistem imun yang ditekan (Stöppler, 2012).

H. Komplikasi

1) Infeksi Sekunder

Kondisis kulit yang sedang terganggu akibat infeksi tinea men-

jadi rawan untuk terkena infeksi sekunder oleh mikroorganisme lain.

Pada tinea capitis, bila ada infeksi sekunder akan menyerupai gejala-

gejala pioderma (impertigenisasi) (Siregar, 2005).

2) Alopesia

Alopesia adalah kerontokan rambut atau defisiensi pertumbuhan

rambut dan kehilangan sebagian atau seluruh rambut (Davey, 2005).

Jamur adalah organisme penyebab penyakit tinea capitis yang dapat

merusak rambut dan struktur pilosebasea dan mengakibatkan rambut

rontok yang parah dan mungkin permanen, pembentukan jaringan

parut alopesia pada kulit secara permanen dan menimbulkan luka yang

berisi nanah (Kao, 2013).

3) Reaksi “Id”

Reaksi “id” adalah manifestasi alergi akibat infeksi pada bagian

distal, dan pada lesi ini tidak ditemukan organisme. Sekelompok

vesikel teraba keras, gatal dan kadang nyeri dapat ditemukan pada

bagian tubuh yang lain. Lesi pada tubuh banyak dijumpai pada tinea

kapitis, sementara jari dan telapak tangan lebih sering terkena jika lesi

primernya berupa tinea pedis. Lesi dapat berubah menjadi reaksi ekse-

matoid berskuama atau respon papulovesikuler folikel yang muncul di

26

Page 27: Tinea Kapitis

sebagian besar permukaan tubuh dan sangat menyulitkan dan menye-

babkan rasa tidak nyaman bagi penderita (Siregar, 2005).

4) Gangguan emosi

Tinea capitis disebabkan oleh infeksi dermatofita yang paling

umum pada populasi anak di Amerika Serikat, tanpa diagnosis yang

akurat dan pengobatan yang tepat, penyakit ini merugikan baik secara

fisik dan mental anak-anak yang terkena. Pasien muda dengan kulit

kepala yang gatal dan merata atau total, kerugiannya sering diejek,

terisolasi, dan diganggu oleh teman sekelasnya atau teman bermain.

Dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat menyebabkan gangguan

emosi yang parah pada anak-anak dan dapat mengganggu kestabilan

hubungan keluarga (Kao, 2013).

27