tinea kapitis
DESCRIPTION
koas coassTRANSCRIPT
TINEA KAPITIS
Tinea kapitis adalah salah satu kelainan di sistem dermatologi yang
menyerang rambut. Penyakit ini digolongkan sebagai mikosis superfisialis atau
dermatofitosis dan disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada kulit kepala,
alis dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang batang rambut dan akar
folikel rambut. Kelainan ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan,
alopesia, bahkan kadang-kadang ditandai gejala yang lebih berat, yaitu kerion
(Djuanda, 2010).
A. Definisi
Tinea Kapitis adalah infeksi jamur superfisial yang menyerang
kulit kepala dan rambut (Siregar, 2005). Tinea Kapitis disebabkan oleh in-
feksi jamur superfisial pada kulit kepala, alis dan bulu mata dengan kecen-
derungan menyerang batang rambut dan akar folikel rambut. Penyakit ini
termasuk ke dalam mikosis superfisialis atau dermatofitosis (Kao, 2013).
B. Klasifikasi
1. Berdasarkan morfologi
Tinea kapitis diklasifikasikan berdasarkan morfologinya menjadi
jenis ektotrik, endotrik dan favus. Jenis ektotrik ditandai dengan
adanya hifa jamur dan selubung artrokondria di luar rambut hingga ke
zona keratinisasi rambut dan bisa merusak kutikula (Rudnicka et al.,
2012). Rambut yang terinfeksi memancarkan pendaran kuning kehi-
jauan cerah pada pemeriksaan dengan lampu Wood. Penyebabnya an-
tara lain Microsporum canis, Microsporum gypseum, Trichophyton
equinum, dan Trichophyton verrucosum (Kao, 2013).
1
Gambar 2.1 Hifa dan spora jamur di luar rambut (panah merah)
pada tinea kapitis jenis ektotrik (JRM, 2013).
Jenis endotrik ditandai dengan pengisian batang rambut dengan
hifa jamur dan artrokondria sehingga semua elemen rambut bisa
dilemahkan oleh jamur (Rudnicka et al., 2012). Kutikula rambut
masih intak dan rambut yang terinfeksi tidak memancarkan pendaran
cahaya dengan lampu Wood. Penyebabnya antara lain Trichophyton
tonsurans dan Trichophyton violaceum (Kao, 2013).
Gambar 2.2 Hifa dan spora jamur di dalam rambut (panah merah)
pada tinea kapitis jenis endotrik (JRM, 2013).
Jenis favus (endotrik favosa) biasanya disebabkan oleh Trichophy-
ton schoenleinii dengan ciri khas adanya rongga udara di dalam ram-
but yang terinfeksi (Rudnicka et al., 2012).
2
2. Berdasarkan penampakan klinis
Tinea kapitis diklasifikasikan berdasarkan penampakan klinisnya
menjadi tiga jenis, yaitu inflamatori, non-inflamatori dan favus. Jenis
noninflamatori (epidemik) sering disebabkan oleh jamur antropofilik
dan sering menyerang anak-anak dan ditandai dengan adanya rambut
pendek dengan panjang bervariasi, jaringan parut sedikit dan adanya
black dot. Tinea kapitis jenis ini biasanya disebabkan oleh Microspo-
rum canis (Rudnicka et al., 2012).
Gambar 2.3 Rambut yang pendek dengan panjang bervariasi
(panah merah) pada tinea kapitis noninflamatori
(Habif et al., 2004)
Tinea kapitis inflamatori sering disebabkan jamur zoofilik atau ge-
ofilik dan ditandai dengan adanya pustul. Tinea kapitis favus (tinea
kapitis favosa) biasanya ditandai dengan adanya krusta, dan material
amorfik yang mengandung sisa rambut, hifa jamur dan debris keratin
sedangkan batang rambutnya normal. Pada fase kronisnya, tinea kapi-
tis favosa bisa menyebabkan kerontokan rambut (Rudnicka et al.,
2012).
3
Gambar 2.4 Pustul pada tinea kapitis inflamatori (panah biru) pada
tinea kapitis inflamatori (Habif et al., 2004)
Gambar 2.5 Krusta (panah merah) pada tinea kapitis favosa (doc-
torfungus, 2013)
4
C. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Tinea kapitis umumnya disebabkan spesies dermatofit, kecuali E.
floccosum, T. concentricum dan T. mentagrophytes var. interdigitale
(T. interdigitale) yang semuanya jamur antropofilik tidak menye-
babkan tinea kapitis dan T. rubrum jarang. Setiap negara dan daerah
berbeda-beda untuk spesies penyebab tinea kapitis. Perubahan waktu
juga dapat menyebabkan adanya spesies baru karena penduduk mi-
grasi. Spesies antropofilik (yang hidup di manusia) adalah penyebab
yang predominan (Clayton & Moore, 2006). Sebuah studi terbaru
pada tahun 2012 di maroko menunjukkan bahwa penyebab terbesar
tinea kapitis didominasi oleh dua spesies, yaitu Trichophyton vio-
laceum (60.8%) dan Microsporum canis (21.6%) (Elmaataoui et al.,
2012).
Trichophyton violaceum memiliki badan nodular, mikrokonidia
berbentuk piriform, makrokonidia yang berbentuk ireguler dan jarang
terlihat serta adanya klamidiospora asimetris (Mihali et al., 2012).
Gambar 2.6 Trichophyton violaceum dengan kepala (panah biru),
badan nodular (panah merah), dan mikrokonida (panah
hijau) (Murray et al., 2005)
Microsporum canis memiliki struktur makrokonidia yang panjang,
berdinding tebal, kepala asimetris di ujung dengan sedikit
mikrokonidia di bagian lateral. M. canis memiliki hifa berbentuk
seperti raket, badan nodular, dan dapat memiliki klamidiospora
(Mihali et al., 2012).
5
Gambar 2.7 Microsporum canis dengan kepala asimetris (panah
hitam) dan badan nodular (panah merah) (Murray et al.,
2005)
Epidermophyton floccosum memiliki struktur dinding yang tumpul,
makrokonidia berbentuk stik bergerombol. E. floccosum tidak
memiliki mikrokonidia, akan tetapi memiliki banyak klamidiospora
(Al-Janabi, 2009).
Gambar 2.8 Epidermophyton floccosum dengan makrokonidia (panah
biru) dan klamidiospora (panah merah) (Murray et al.,
2005)
2. Predisposisi
Infeksi tinea kapitis akan meningkat pada keadaan berikut ini
(Elewski et al., 2012):
6
a. Lingkungan yang hangat dan lembab
b. Terdapat luka kecil pada kulit terutama kulit kepala
c. Jarang membersihkan rambut dan kulit kepala
d. Permukaan kepala yang lembab dalam waktu lama
Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang dapat
terinfeksi tinea kapitis antara lain (Shannon, 2013):
a. Usia dibawah 10 tahun
b. Ras Afrika lebih beresiko daripada ras lain
c. Pajanan terhadap binatang yang terinfeksi
d. Higenitas yang buruk
e. Pemakaian sisir dan topi bergantian
f. Diabetes Melitus
g. Kelainan sistem imun seperti pada penyakit AIDS
Menurut Wolff et al., (2008), Faktor-faktor predisposisi yang di-
hubungkan dengan meningkatnya insidensi tinea antara lain:
a. Faktor nutrisi, seperti avitaminosis, defisiensi besi, defisiensi fo-
lat, dan malnutrisi generalis.
b. Penyakit sistemik seperti Down’s Syndrome, Diabetes mellitus,
penyakit Cushing, uremia, keganasan hematologi, timoma, dan
penyakit imunodefisiensi.
c. Penyebab iatrogenik, antara lain pemberian kortikosteroid,
imunosupresi, dan antibiotik spektrum luas seperti metronidazole
yang akan memudahkan terjadinya infeksi.
D. Patofisiologi
Microsporum canis dan T.tonsurans ditularkan melalui kontak an-
tara anak dengan anak dan mengakibatkan terbentuknya pitak berbentuk
oval. Rambut patah dengan panjang yang berbeda-beda dan permukaan
kulit kepala bersisik dan berkrusta dengan papula yang diskret. M. canis
biasanya ditularkan dari anak kucing ke anak-anak dan menimbulkan
7
pitak-pitak radang purulen. Pitak tersebut biasanya berkrusta dengan
banyak pustula dan dapat menimbulkan alopesia permanen. Lesi yang
meradang dapat membentuk massa besar, lunak, dan yang disebut kerion
(Stawiski & Price, 2006).
Proses inokulasi dapat dilakukan untuk mendapatkan hifa jamur
berbentuk sentrifugal di stratum korneum dan tumbuh mengikuti dinding
keratin folikel rambut. Zona yang terlibat meluas hingga keatas mengikuti
arah pertumbuhan rambut dan dapat diamati diatas permukaan kulit kepala
pada hari ke 12-14. Rambut yang terinfeksi menjadi rapuh dan mudah
patah. Setelah minggu ketiga, rambut yang mengalami kerusakan akan ter-
lihat jelas. Jika infeksi berlangsung terus menerus kira-kira hingga 8 sam-
pai dengan 10 minggu maka akan menyebar ke bagian stratum korneum
rambut lainnya dengan diameter tempat yang terinfeksi mencapai 3,5
hingga 7 cm (Kao, 2013).
a. Grey Patch Ringworm (Budimulja, 2009)
Jamur (Microsporum)
Masuk (menginfeksi)
menyerang rambut membentuk papul merah kecil
di folikel rambut
warna rambut menjadi abu-abu
melebar
mudah patah, terlepas (rontok)
bercak
alopesia setempat
pucat, bersisik
8
gatal
b. Black Dot Ringworm (Budimulja, 2009)
Trichophyton tonsurans, T. violaceum
Infeksi rambut (muara folikel)
Rambut patah black dot
Sisa: ujung rambut penuh spora
c. Kerion (Rengganis & Bratawidjaja, 2012)
Microsporum canis, M. gypseum
Aktivasi makrofag Merangsang produksi sitokin
IL-1, TNF-α
Produksi sitokin TNF dan IFNγ
Adhesi endotel
aktivasi sel NK
Infiltrasi neutrofil
Pelepasan bahan fungisidal ROI
(Reactive Oxygen Intermediate) dan enzim lisosom
inflamasi
menonjol jaringan parut
alopesia menetap
d. Tinea favosa
Tinea favosa adalah infeksi dermatofita yang menyebabkan infla-
masi kronis biasanya disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii. Tinea
9
favosa juga bisa disebabkan oleh Trichophyton violaceum, Trichophyton
mentagrophytes var quinckeanum, atau Microsporum gypseum. Kelainan
di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang berwarna
merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk cawan
(skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus "moussy odor". Ram-
but diatas skutula putus-putus dan mudah lepas dan tidak mengkilat lagi.
Bila sembuh akan meninggalkan jaringan parut dan alopesia yang perma-
nen (Savitri, 2010).
Pada kebanyakan pasien, favosa adalah bentuk parah dari tinea
kapitis. Rambut dapat tumbuh dan memanjang meskipun dalam keadaan
sakit. Karakteristik khas pada favosa adalah pembentukan ruang udara an-
tara hifa dalam rambut yang terinfeksi. Ruang udara ini terbentuk sebagai
akibat dari autolisis hifa (Savitri, 2010).
Trichophyton schoenleinii,Trichophyton violaceum
Trichophyton mentagrophytes var quinckeanum,
Microsporum gypseum
Infeksi kulit kepala
Tinea favosa
Bintik kecil, merah
Krusta cawan (spatula)
Bau busuk (moussy odor)
Rambut putus-putus, tidak mengkilat
Jaringan parut, alopesia permanen
10
E. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Penegakan diagnosis dapat dimulai dari tahap anamnesis. Secara
umum, pasien tinea kapitis datang dengan keluhan sebagai berikut
(Budimulja, 2011):
a. Gatal pada kulit kepala terutama jika sedang berkeringat.
b. Pasien dengan tinea kapitis bentuk Grey Patch Ringworm akan
mengeluh gatal pada kulit kepala, rambut mudah patah dan ter-
lepas dari akarnya.
c. Pada bentuk kerion, muncul pembengkakan yang menyerupai
sarang lebah pada kulit kepala dan dapat menimbulkan jaringan
parut yang menonjol sehingga timbul keluhan bengkak disertai
nyeri pada kulit kepala.
d. Pada bentuk Black Dot Ringworm, terdapat kerontokan rambut
yang meninggalkan ujung rambut hitam pada kulit kepala atau
disebut black dot.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasen tinea kapitis bentuk
Grey Patch Ringworm yaitu papul merah kecil disekitar rambut dan
akan melebar, membentuk bercak serta bersisik. Warna rambut men-
jadi abu-abu dan tidak mengkilat lagi. Rambut juga mudah patah dan
terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa
rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur, se-
hingga terbentuk alopesia setempat. Tempat-tempat ini terlihat sebagai
grey patch. Grey patch yang dilihat di dalam klinik tidak menun-
jukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti (Budimulja, 2011).
11
Gambar 2.9 Grey patch (Panah merah) pada tinea kapitis jenis Grey
Patch Ringworm (Kao, 2013).
Pada tinea kapitis bentuk kerion dapat ditemukan pembengkakan
yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang pa-
dat disekitarnya. Kelainan ini dapat menyebabkan jaringan parut
yang menonjol dan berakibat alopesia menetap (Budimulja, 2011).
Gambar 2.10 Bentuk kerion (panah merah) pada tinea kapitis jenis ke-
rion (panah merah) (Kao, 2013)
Pada bentuk Black Dot Ringworm, ditemukan rambut patah
akibat infeksi, tepat pada muara folikel dan yang tertinggal adalah
ujung rambut penuh spora. Jika tumbuh, ujung rambut yang patah
terkadang akan masuk ke bawah permukaan kulit (Budimulja,
2011).
12
Gambar 2.11 Bentuk Black dot pada tinea kapitis tipe Black Dot
Ringworm (panah merah (Oishi, 2013)
Tinea favosa Adalah infeksi jamur kronis terutama oleh
Trychophiton schoenlini, Trychophithon violaceum, dan Microsporum
gypseum. Penyakit ini mirip tinea kapitis yang ditandai oleh skutula
warna kekuningan bau seperti tikus pada kulit kepala, lesi menjadi
sikatrik alopecia permanen. Gambaran klinik mulai dari gambaran
ringan berupa kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel
rambut tanpa kerontokan hingga skutula dan kerontokan rambut serta
lesi menjadi lebih merah dan luas kemudian terjadi kerontokan lebih
luas, kulit mengalami atropi sembuh dengan jaringan parut permanen.
Diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, prinsip
pengobatan tinea favosa sama dengan pengobatan tinea kapitis
(Higgins, 2008). Terapi tinea favosa juga sama dengan tinea kapitis
(Drake et al., 2008).
13
Gambar 2.12 Skutula warna kekuningan (panah merah) pada Tinea
favosa (Anane, 2013)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Lampu Wood
Rambut yang tampak dengan jamur M. canis, M. audouinii
dan M. Ferrugineum memberikan fluoresen warna hijau terang
oleh karena adanya bahan pteridin. Jamur lain penyebab tinea
kapitis pada manusia memberikan fluoresen negatif artinya warna
tetap ungu yaitu M. gypsium dan spesies Trichophyton (kecuali T.
schoenleinii penyebab tinea favosa memberi fluoresen hijau
gelap). Bahan fluoresen diproduksi oleh jamur yang tumbuh aktif
di rambut yang terinfeksi (Suyoso, 2012).
b. Pemeriksaan sediaan KOH
Kepala dikerok dengan cutter, atau skalpel nomor 15 lalu
digunakan kasa basah digunakan untuk mengusap kepala. Proses
ini akan memperlihatkan ada potongan pendek patahan rambut
atau pangkal rambut dicabut yang ditaruh di object glass selain
skuama dan KOH 10% ditambahkan dan ditutup kaca penutup.
Potongan rambut pada kepala harus termasuk akar rambut, folikel
rambut dan skuama kulit. Skuama kulit akan terisi hifa dan
14
artrokonidia yang menunjukkan elemen jamur adalah artrokonidia
oleh karena rambut-rambut yang lebih panjang mungkin tidak
terinfeksi jamur. Pada pemeriksaaan mikroskop akan tampak
infeksi rambut ektotrik yaitu pecahan miselium menjadi konidia
sekitar batang rambut atau tepat dibawah kutikula rambut dengan
kerusakan kutikula. Pada infeksi endotrik, bentukan artrokonidia
yang terbentuk karena pecahan miselium didalam batang rambut
tanpa kerusakan kutikula rambut (Suyoso, 2012).
c. Kultur
Memakai swab kapas steril yang dibasahi akuades steril dan
digosokkan diatas kepala yang berskuama atau dengan sikat gigi
steril dipakai untuk menggosok rambut-rambut dan skuama dari
daerah luar di kepala, atau pangkal rambut yang dicabut langsung
ke media kultur. Spesimen yang didapat dioleskan di media
Mycosel atau Mycobiotic (Sabourraud dextrose agar +
khloramfenikol + sikloheksimid) atau Dermatophyte test medium
(DTM) lalu ditunggu 7 - 10 hari agar mulai tumbuh jamurnya.
Penggunaan DTM dapat memperlihatkan adanya perubahan
warna merah pada hari 2-3 oleh karena ada bahan fenol di
medianya, walau belum tumbuh jamurnya berarti jamur dematofit
positif (Suyoso, 2012).
4. Gold Standard Diagnosis
a. Lampu wood
Pemeriksaan dengan menggunakan lampu wood dapat
digunakan untuk melihat jamur. Prosedurnya adalah dengan
menyorotkan cahaya di ruangan yang gelap. Fluoresensi positif
pada tinea kapitis yang disebabkan genus Microsporum yang
menimbulkan warna kebiruan atau hijau kebiruan (Faradila et al.,
2009).
15
Gambar 2.13 Flouresensi warna kebiruan (panah merah) pada
pemeriksaan dengan Lampu Wood (Faradila et al.,
2009)
b. Kultur jamur
Selain menggunakan lampu wood, pemeriksaan penunjang
lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis tinea kapitis adalah
dengan melakukan kultur sehingga dapat diketahui jamur atau
organisme penyebab kerion (Faradila et al., 2009). Prosedurnya
antara lain adalah sebagai berikut (Faradila et al., 2009):
1) Mencabut sedikit rambut atau menusuk lesi yang berisi nanah
pada area kepala yang terkena
2) Selain itu untuk mendapatkan nanah, gosokkan cotton steril
pada lesi
3) Kirim spesimen yang didapat ke laboratorium
Hasil laboratorium ini didapatkan setelah 2-3 minggu. Pada
umumnya hasil laboratorium dapat mengidentifikasi jenis dari
dermatofita penyebab tinea kapitis dan kerion. Akan tetapi, perlu
dilakukan konfirmasi lebih lanjut untuk melihat hasil kultur
bakteri. Pembiakan dapat dilakukan pada (Faradila et al., 2009):
1) Agar Dekstrosa Sabouraud (SDA)
SDA dapat dipakai untuk menumbuhkan jamur akan
tetapi dapat juga menumbuhkan kuman tertentu sehingga
ditambahkan antibiotik pada medium ini. Antibiotik yang
digunakan adalah kloramfenikol dan sikloheksimid.
16
2) Dermatophyte Test Medium (DTM)
DTM merupakan media khusus untuk menumbuhkan
jamur dermatofit. Sebagai anti kuman yaitu gentamisin dan
klortetrasiklin sedangkan sikloheksimid sebagai anti jamur
kontaminan. Positif bila adanya perubahan warna dari
kuning menjadi merah karena pengaruh metabolit
dermatofit.
Seringkali diagnosis kerion celsi dapat ditegakkan hanya
dengan melihat keadaan lesi pada pasien. Walaupun demikian,
sebaiknya untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan
pemeriksaan dengan mengambil bahan kerokan dari tempat lesi
dan diletakkan di atas slide dan diteteskan larutan KOH 10%
kemudian dilihat dibawah mikroskop (Faradila et al., 2009).
c. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mikroskop cahaya.
Preparat langsung dari kerokan kulit dengan larutan KOH 10%.
Awalnya, dilakukan pengamatan dengan pembesaran 10 x10
kemudian dilanjutkan dengan pembesaran 10 x 45 sehingga dapat
terlihat hifa atau spora dan miselium. Fungsi KOH adalah untuk
melarutkan debris dan lemak. Larutan KOH 10% dapat
melarutkan debris dan lemak dari kerokan kulit, rambut dan
mukosa. Pada sedian rambut yang dilihat adalah spora kecil
(mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di
luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-
kadang terlihat pula hifa pada sediaan rambut (Faradila et al.,
2009).
17
Gambar 2.14 Spora (panah biru) dan pseudohifa (panah merah)
pada pememeriksaan mikroskopis Tinea Kapitis
dengan larutan KOH 10% (Faradila et al., 2009).
Pada pemeriksaan fisik, anak-anak bisa didiagnosis tinea kapitis
jika datang dengan kepala berskuama, eritema, alopesia, limfadenopati
servikal posterior atau limfadenopati aurikuler posterior atau kerion,
juga termasuk pustul atau abses, dissecting cellulitis atau black dot
(Suyoso, 2012).
d. Pemeriksan bentuk comma hairs, corkscrew hairs, dan broken dys-
trophic hairs
Pada pasien dengan warna kulit gelap, seringkali sulit untuk mene-
mukan tanda-tanda di atas. Masalah ini telah diselesaikan dalam
penelitian tahun 2011 yang berisi tentang pengamatan bentuk residu
rambut yang terlihat dengan pengamatan tanpa mikroskop untuk
menentukan adanya mikroorganisme penyebab tinea kapitis. Bentuk
residu rambut yang dapat diamati adalah comma hairs, corkscrew
hairs, dan broken dystrophic hairs (Hughes, Chiaverini, Bahadoran, &
Lacour, 2011). Pada tahun 2013 kembali dilakukan penelitian dan
hasilnya adalah bahwa metode ini juga bisa digunakan untuk pasien
berkulit putih (Neri et al., 2013).
18
Gambar 2.15 Pengamatan bentuk comma hairs (panah merah),
corkscrew hairs (panah biru), and broken dys-
trophic hairs (panah kuning) (Hughes et al., 2011).
F. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Terapi lama
Pengobatan dermatofitosis mengalami kemajuan sejak
tahun 1958. Gentles (1958) dan Martin (1958) secara terpisah
melaporkan, bahwa griseofulvin per oral dapat menyembuhkan
dermatofitosis yang ditimbulkan pada binatang percobaan. Se-
belum zaman griseofulvin, pengobatan dermatofitosis hanya di-
lakukan secara topikal dengan zat-zat keratolitik dan fungistatik
(Budimulija, 2010).
Pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum au-
douini misalnya, dilakukan pengobatan topikal dan disertai penyi-
naran dengan sinar X untuk merontokkan rambut di bagian yang
sakit. Cara penyinaran ini, yang diberi dengan dosis tunggal
memerlukan perhitungan yang cermat. Persiapan untuk melin-
dungi bagian yang sehat juga sangat rumit. Selain itu, efek samp-
ing penyinaran yang mungkin timbul pada masa akan datang
cukup berbahaya (Budimulija, 2010).
Anak-anak yang telah mendapat penyinaran ternyata di
masa akan datang mendapat kemungkinan menderita keganasan
10 kali lebih besar daripada anak-anak yang tidak mengalami
19
penyinaran untuk pengobatan tinea kapitis. Pada masa sekarang,
dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian
griseofulvin yang bersifat fungistatik (Budimulija, 2010).
b. Terapi baru
Obat tinea kapitis lebih manjur jika menggunakan obat sis-
temik dibandingkan obat topikal karena obat topikal tidak men-
embus folikel rambut. Obat topical lebih ditujukan untuk menjadi
tambahan dari obat sistemik (Richardson & David, 2012).
Griseofulvin merupakan obat jamur dan berperan dalam
menghambat mitosis dermatofit dan telah menjadi gold standard
terapi tinea kapitis. Obat ini sudah tersedia lebih dari 40 tahun dan
terbukti aman. Tersedia dalam dua sediaan, yaitu microsize dan
ultramicrosize (Bennasar & Ramon, 2010). Untuk sediaan micro-
size dosis yang direkomendasikan adalah 20-25 mg/kgBB dan un-
tuk sediaan ultramicrosize sebanyak 10-15 mg/kgBB. Griseoful-
vin diberikan selama 6-8 minggu, namun akan memerlukan waktu
lebih lama pada infeksi M. canis dibandingkan T. tonsurans
(Richardson & David, 2012).
Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet. Untuk orang de-
wasa diberi dosis 250 mg/hari. Untuk anak-anak direkomen-
dasikan dosis sebanyak 62,5 mg/hari untuk anak dengan berat
badan di bawah 20 kg, 125 mg/hari untuk anak dengan berat
badan 20-40 kg, 250 mg/hari untuk anak dengan berat badan di
atas 40 kg. Pengobatan ini dilakukan selama 4 minggu. Untuk
pemberian dosis lebih tinggi atau pengobatan lebih lama ditu-
jukan pada infeksi M. canis (Richardson & David, 2012).
Itraconazole bersifat lipofilik dan memiliki afinitas tinggi
terhadap keratin. Obat ini menempel pada sitoplasma lipofilik
keratinosit di dasar kuku dan mempertahankan kekokohan kuku.
Keberadaan sitoplasma dalam stratum korneum akan bertahan se-
lama 4 minggu setelah terapi. Kadar itraconazole dalam sebum 5
20
kali lebih tinggi dibandingkan dalam plasma dan bertahan hingga
1 minggu setelah terapi (Bennasar & Ramon, 2010).
Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul atau oral solution.
Itraconazole dalam bentuk kapsul lebih baik dicerna saat makn,
sedangkan oral solution lebih baik dicerna setelah berpuasa untuk
mendapatkan bioavailibilitas maksimal. Respons yang diberikan
sama saja dan tidak tergantung pada bentuk sediaan. Dosis yang
direkomendasikan oleh dokter anak adalah 5 mg/kgBB/ hari dan
diberikan sejara kontinyu. Jika diberikan bersama sediaan oral so-
lution maka dosis akan dikurangi 3 mg/kgBB/hari (Bennasar &
Ramon, 2010).
Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala, gangguan
pencernaan, ruam-ruam, dan terkadang terjadi abnormalitas enzim
hati. Obat ini juga dapat meningkatkan konsentrasi cyclosporine,
digoksin, dan cisapride. Jika digunakan bersama phenytoin, isoni-
azid, dan rifampin, maka obat-obatan tersebut akan menurunkan
konsentasi itraconazole. Kontraindikasi dari obat ini ialah pada
penderita, gagal jantung, orang dengan enzim hati yang tidak nor-
mal, dan yang pernah mengalami toksisitas dari obat jamur lain-
nya (Bennasar & Ramon, 2010).
Sebuah penelitian pada tahun 2013 berusaha untuk mem-
bandingkan efiksai obat Griseofulvin dan Terbinafin. Penelitian
ini dilakukan dengan metode meta-analisis. Meta-analisis di-
lakukan terhadap beberapa Random Clinical Trial (RCT) berba-
hasa inggris dari situs Pubmed pada tahun 2011. Beberapa RCT
yand digunakan sebagai acuan tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
21
Tabel 2.1 Daftar RCT yang digunakan dalam meta-analisis
(Gupta & Drummond-Main, 2013).
Analisis terhadap beberapa RCT tersebut kemudian dilan-
jutkan dengan membandingkan efikasi masing-masing obat
tersebut terhadap Microsporum sp. dan Trichophyton sp. Kesim-
pulan yang didapatkan yaitu bahwa Griseofulvin memiliki
efikasi lebih tinggi untuk mengatasi tinea kapitis akibat Mi-
crosporum sp., sedangkan Terbinafin memiliki efikasi lebih se-
bagai terapi tinea kapitis akibat Trichophyton sp. (Gupta &
Drummond-Main, 2013).
c. Terapi kausatif
1) Antifungal Sistemik
Pada dasarnya, terapi antifungal sistemik sama dengan ter-
api yang terdapat dalam bagian terapi baru yang telah dije-
laskan sebelumnya, yaitu antara lain adalah sebagai berikut:
a) Golongan Griseofulvin (Richardson & David, 2012).
b) Golongan alilamin, contohnyaTerbinafin (Richardson
& David, 2012).
c) Golongan azole, contohnya Itraconazole (Bennasar &
Ramon, 2010).
d) Golongan polyene, contohnya amfoterisin B, nistatin,
natamisin (Neal, 2006).
e) Golongan flusitosin (Neal, 2006).
22
2) Antifungal Topikal
Terapi antifungal topikal pada tinea kapitis dapat
berupa sampo selenium sulfida, zink pyrithion, povidon io-
dida atau sampo ketokonazol. Selain menggunakan sampo,
dapat pula diberikan krim atau lotion yang mengurangi
spora yang dapat hidup. Spora menyebabkan penularan
penyakit dan reinfeksi, serta menurunkan angka kesem-
buhan dari terapi antifungal oral. Larutan terbinafin 0,01%
dapat membunuh arthroconidia dari lima spesies Tri-
chophyton setelah waktu paparan 15-30 menit (Bennasar &
Ramon, 2010).
Krim atau lotion fungisidal diaplikasikan pada lesi
sekali sehari selama 1 minggu. Sampo digunakan pada kulit
kepala dan rambut yang terinfeksi dan didiamkan selama 5
menit 2 kali atau 3 kali per minggu selama 2-4 minggu
sampai pasien sembuh (Bennasar & Ramon, 2010).
d. Terapi Suportif
Terapi suportif pada pasien dengan tinea kapitis meliputi
edukasi pasien mengenai transmisi tinea kapitis. Jika agen aktif
yang diderita pasien adalah ektotriks antropofilik, maka pasien
dapat diizinkan kembali sekolah atau bekerja setelah seminggu
dari terapi antifungal dimulai. Pada kasus lain, pasien dapat
tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Sangat ditekankan
pada pasien untuk tidak menggunakan sisir, topi, helm, handuk
bersama dengan orang lain karena penggunaan barang-barang
yang kontak dengan lesi dapat berperan dalam transmisi
penyakit. Pada semua kasus tinea kapitis yang disebabkan der-
matofita antropofilik, pihak sekolah harus diberitahu bahwa
kegiatan olahraga yang membutuhkan kontak fisik lama, seperti
bergulat, harus dihindari sampai risiko infeksi benar-benar hi-
lang (Bennasar & Ramon, 2010).
23
Pemeriksaan klinis dan serta mikroskopis pada anggota
keluarga sangat disarankan. Sampel mikologis diambil terutama
pada anggota keluarga yang sudah menunjukkan gejala terin-
feksi. Organisme zoofilik, seperti M. canis menyebabkan respon
inflamasi hampir di semua host yang terinfeksi. Pada organisme
antopofilik, seperti T.tonsurans atau T.violaceum, timbul respon
ringan atau tanpa inflamasi, oleh karena itu infeksi dari spesies
antropofilik bersifat asymptomatic. Keluarga yang berada satu
atap atau teman bermain yang sangat dekat harus turut diperiksa
dan diberikan terapi antifungal topikal, seperti sampo selenium
sulfide atau sampo ketokonazol 2% selama 12 minggu. Hewan
peliharaan juga harus diperiksa dan jika perlu diterapi untuk
mencegah adanya spora yang mungkin melekat pada bulu-bulu
hewan peliharaan (Bennasar & Ramon, 2010).
Peralatan rumah, seperti pakaian, karpet, bagian-bagian
sofa, kasur, bantal, tirai, sisir, gunting, dan barang-barang rumah
tangga yang meliputi penggunaan bersama harus dicuci dengan
disinfektan kuat. Barang-barang yang dapat direbus, seperti sisir
dan pakaian, dianjurkan untuk direbus dalam air mendidih se-
lama 5 menit untuk mematikan spora-spora yang mungkin
melekat pada barang-barang tersebut (Bennasar & Ramon,
2010).
e. Terapi Simptomatik
1) Antipruritus
Antihistamin generasi 2 dapat digunakan sebagai
agen antipruritus, contohnya adalah ketofilen, terfenadin,
astemizol, loratazin, setirizin, akrivastin, dan azelastin.
Mekanisme obat ini adalah blokade reseptor antihistamin
dan menghambat degranulasi sel mast. Efek samping yang
dapat terjadi adalah mengantuk ringan dan mulut kering
(Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI,
24
Doxepin, sebuah bentuk dibenzoxepin tricyclic,
yakni sebuah obat antihistamin yang sangat aktif. Obat ini
bekerja dengan menekan kerja reseptor saraf di kulit. Dosis
awalnya ialah 25-50 mg diberikan secara oral sebelum
tidur. Untuk doxepin dalam bentuk krim, diberikan se-
banyak 5% secara q.i.d. Obat ini menyebabkan efek samp-
ing, seperti mengantuk dan rasa menyengat (Vender &
Lovell, 2007).
f. Terapi profilaksis
Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 menun-
jukkan bahwa penggunaan sampo antifungal ketoconazole seba-
gai profilaksis efektif untuk mencegah terjadinya infeksi tinea
capitis pada populasi yang berisiko tinggi. Terapi profilaksis
lainya adalah secara nonmedikamentisa dengan cara
meningkatkan higienitas, dan mencegah adanya mikroorganisme
penyebab tinea kapitis (Bookstaver et al., 2011).
2. Non-medikamentosa
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani tinea kapitis
antara lain adalah sebagai berikut (Berman, 2012):
a. Mencuci handuk di dalam air hangat yang diberi sabun dan diker-
ingkan sebelum digunakan oleh penderita.
b. Merendam sisir selama satu jam per hari dalam larutan campuran
pemutih dan air dengan perbandingan 1:1. Lakukan selama 3 hari.
c. Penderita tidak boleh menggunakan sisir, topi, handuk, sarung
bantal, atau helm bersama dengan orang lain.
d. Apabila dalam satu rumah terdapat anggota keluarga yang terin-
feksi, sebaiknya anggota keluarga dalam rumah tersebut juga
menggunakan shampoo yang mengandung ketokenazol dan sele-
nium sulfide untuk pencegahan.
25
G. Prognosis
Prognosis umumnya baik jika pada penderita tinea kapitis sudah
dilakukan pengobatan dan mencapai kesembuhan, dan faktor-faktor in-
feksi dapat dihindari, maka prognosis umumnya baik (Siregar, 2005).
Komplikasi dan infeksi sekunder pada jarang sekali terjadi pada penderita
tinea kapitis. Pada umumnya hal tersebut hanya terjadi pada individu den-
gan sistem imun yang ditekan (Stöppler, 2012).
H. Komplikasi
1) Infeksi Sekunder
Kondisis kulit yang sedang terganggu akibat infeksi tinea men-
jadi rawan untuk terkena infeksi sekunder oleh mikroorganisme lain.
Pada tinea capitis, bila ada infeksi sekunder akan menyerupai gejala-
gejala pioderma (impertigenisasi) (Siregar, 2005).
2) Alopesia
Alopesia adalah kerontokan rambut atau defisiensi pertumbuhan
rambut dan kehilangan sebagian atau seluruh rambut (Davey, 2005).
Jamur adalah organisme penyebab penyakit tinea capitis yang dapat
merusak rambut dan struktur pilosebasea dan mengakibatkan rambut
rontok yang parah dan mungkin permanen, pembentukan jaringan
parut alopesia pada kulit secara permanen dan menimbulkan luka yang
berisi nanah (Kao, 2013).
3) Reaksi “Id”
Reaksi “id” adalah manifestasi alergi akibat infeksi pada bagian
distal, dan pada lesi ini tidak ditemukan organisme. Sekelompok
vesikel teraba keras, gatal dan kadang nyeri dapat ditemukan pada
bagian tubuh yang lain. Lesi pada tubuh banyak dijumpai pada tinea
kapitis, sementara jari dan telapak tangan lebih sering terkena jika lesi
primernya berupa tinea pedis. Lesi dapat berubah menjadi reaksi ekse-
matoid berskuama atau respon papulovesikuler folikel yang muncul di
26
sebagian besar permukaan tubuh dan sangat menyulitkan dan menye-
babkan rasa tidak nyaman bagi penderita (Siregar, 2005).
4) Gangguan emosi
Tinea capitis disebabkan oleh infeksi dermatofita yang paling
umum pada populasi anak di Amerika Serikat, tanpa diagnosis yang
akurat dan pengobatan yang tepat, penyakit ini merugikan baik secara
fisik dan mental anak-anak yang terkena. Pasien muda dengan kulit
kepala yang gatal dan merata atau total, kerugiannya sering diejek,
terisolasi, dan diganggu oleh teman sekelasnya atau teman bermain.
Dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat menyebabkan gangguan
emosi yang parah pada anak-anak dan dapat mengganggu kestabilan
hubungan keluarga (Kao, 2013).
27