the travelist 4

74
TRAVELING THROUGH FOLKTALES TRAVELIST EDISI 4| DESEMBER 2011-JANUARI 2012 SATISFYING YOUR CRAVING FOR TRAVEL

Upload: travelist-e-magazine

Post on 22-Mar-2016

228 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Majalah online dua bulanan seputar traveling di Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: The Travelist 4

Traveling Through

FolkTales

TRAVELISTEdisi 4| dEsEmbEr 2011-januari 2012

SatiSfying your Craving for travel

Page 2: The Travelist 4

EDITORIAL NOTESKita seringkali membaca catatan perjalanan maupun e-book traveling yang membahas tentang destinasi. Sayangnya, kebanyakan hanya membahas tentang landscape, entah karena itu untuk memenuhi minat pembaca atau

memang ‘itu saja’ isi dunia traveling?Setelah kami pikir-pikir, rasanya ada satu hal yang cukup terlupa dari

kebanyakan traveler, sesuatu yang sebenarnya menjadi salah satu taya tarik khas suatu daerah. Sesuatu yang kita kenal dengan nama legenda, cerita

rakyat ataupun kerap disebut dengan folktales.Pernah merasa bosan ga, jika kita hanya datang ke suatu pantai, gunung,

candi ataupun danau kemudian berleha-leha lalu pulang..begitu saja..tanpa ada cerita khas dari daerah tersebut. Pernah ga kita merasa perjalanan kita

menjadi lebih seru dan ‘bercerita’. Jika ada ‘cerita’ dari destinasi tersebut? Maka dari itulah, di edisi 4 ini kami

akan berbagi ‘cerita’, tentunya dari sudut pandang traveler.

Jadi, sudah siapkah Anda untuk perjalanan 1001 malam?

Page 3: The Travelist 4

EDITORIAL NOTESKita seringkali membaca catatan perjalanan maupun e-book traveling yang membahas tentang destinasi. Sayangnya, kebanyakan hanya membahas tentang landscape, entah karena itu untuk memenuhi minat pembaca atau

memang ‘itu saja’ isi dunia traveling?Setelah kami pikir-pikir, rasanya ada satu hal yang cukup terlupa dari

kebanyakan traveler, sesuatu yang sebenarnya menjadi salah satu taya tarik khas suatu daerah. Sesuatu yang kita kenal dengan nama legenda, cerita

rakyat ataupun kerap disebut dengan folktales.Pernah merasa bosan ga, jika kita hanya datang ke suatu pantai, gunung,

candi ataupun danau kemudian berleha-leha lalu pulang..begitu saja..tanpa ada cerita khas dari daerah tersebut. Pernah ga kita merasa perjalanan kita

menjadi lebih seru dan ‘bercerita’. Jika ada ‘cerita’ dari destinasi tersebut? Maka dari itulah, di edisi 4 ini kami

akan berbagi ‘cerita’, tentunya dari sudut pandang traveler.

Jadi, sudah siapkah Anda untuk perjalanan 1001 malam?

Page 4: The Travelist 4

REDAKSIEditor in Chief:Ferzya (@ferzyaya)Designer:Lingga Binangkit (@linggabinangkit)Project Manager:Wana Darma (@wana23)

Kontak RedaksiE: [email protected]: Travelist e-MagazineT: @travelistmagzW: www.the-travelist.com

Cover oleh Ahmad Nursalim

TRAVELISTEdisi 4 | Desember 2011-Januari 2012

LAPUTKabut Senja di tepi telaga

INTERVIEWYudi Febrianda

PHOTOSTORYFeStival lima gunung

TRAVELER’S TALESlegenda iKan depiK

TRAVELER’S TALES Suro-boYo

TRAVELER’S TALES naga di telaga Sarangan

REVIEW

DAFTAR ISI

|| || || || || || ||

6202848566472

8

Majalah online dua bulanan terbitan pecinta traveling untuk memuaskan hasrat traveling para traveler dan calon traveler lainya. Silahkan download dan sebarkan ke teman-teman kamu supaya semakin banyak orang Indonesia yang menjelajah Indonesia bagian lain, mungkin saja kita bertemu di suatu tempat.

Page 5: The Travelist 4

48 66

34

Page 6: The Travelist 4

kabuT senja di Tepi TelagaKabut senja turun semakin pekat, angin bercampur gerimis menerbangkan tenda yang baru kami bentangkan di atas permukaan tanah basah. Saya menarik salah satu sudut tenda agar tidak tebang menjauh.

TuLisan Dan FoTo oLeh YunaiDi JoepoeT

LAPUTLAPUT

Page 7: The Travelist 4
Page 8: The Travelist 4

8| LAPUT9

Page 9: The Travelist 4

Teman saya, Yandi, hanya duduk terengah bersandar di akar pohon besar melihat kami berusaha untuk mendirikan tenda di tepian Telaga

Dewi yang berselubung kabut, menyimpan legenda tentang Sibunian makhluk penculik manusia penunggu Gunung Singgalang. Gerimis menyambut kedatangan kami di Koto Baru, sebuah desa yang terletak di perlintasan jalan Padang Panjang-Bukittinggi. Tadi malam kami menaiki bus dari Pekanbaru jurusan Pariaman yang melewati Koto Baru guna mencapai titik awal pendakian Gunung Singgalang, salah satu gunung yang ada di Sumatra Barat berketinggian 2877 Mdpl. Berencana menghabiskan semalam di Telaga Dewi, kami pun memilih membentangkan matras di teras Mesjid Jami Darussalam, tidak jauh dari gerbang menuju Desa Pandai Sikek yang bergonjong duo seperti atap rumah adat Minangkabau. Pukul sepuluh pagi kami tiba di menara pemancar milik beberapa stasiun televisi. Menara pemancar ini menjadi titik awal memasuki jalur pendakian ke Gunung Singgalang. Kami memasuki jalur yang dipenuhi oleh Pimpiang, mirip dengan tumbuhan ilalang namun memiliki batang keras seukuran jempol. Saya terperosok saat kaki saya menginjak tumpukan Pimpiang yang sudah lapuk. Beberapa kali saya harus menundukkan badan melewati jalur ini, seperti melewati terowongan yang dipayungi tumbuhan. Tak jarang carrier saya tertahan oleh batang Pimpiang yang melintang.

Lewat pukul lima sore, kami baru menginjakkan kaki di cadas. Area bertanah kuning yang ditumbuhi tumbuhan berukuran rendah. Jalur dari cadas menuju Telaga Dewi tempat kami mendirikan tenda menanjak tajam, hujan yang turun sedari pagi membuat jalur menjadi licin. Di pinggang jalur cadas, tugu berwarna kuning untuk mengenang dua pendaki yang hilang di Gunung Singgalang tahun 1988 berdiri membisu. Tugu Galapagos, para pendaki menamakannya. Di tugu itu tergores kalimat “Terbanglah engkau wahai sang elang, walau tinggi ke angkasa ikuti angin takdir...suatu saat mungkin kami akan bersamamu”. Saya menarik nafas dan berdoa sejenak untuk kedua pendaki yang hilang ini, dan berharap pendakian Gunung Singgalang kali ini berjalan dengan baik. “Uuuuuuuuuu...uuuu..uuu”. Arka mencoba membuat suara gaduh untuk mengetahui seberapa jauh jarak kami dengan kedua teman kami di belakang. Dulu waktu masih tinggal di salah satu desa di Pariaman, saya sering masuk hutan dengan beberapa pemuda. Komunikasi kami tidak menggunakan nama, tapi menggunakan suara auman. Mitosnya jika kami memanggil nama saat berjalan di hutan, yang menyahut mungkin bisa saja warga lain selain kami. “Ouuu...ouuu....”. Teman kami menyahut, tak lama mereka muncul dari balik pepohonan yang ditumbuhi lumut. Dari hutan lumut, tidak diperlukan waktu lama untuk tiba di Telaga Dewi. Mengingat hari semakin gelap kami memutuskan untuk mendirikan tenda

Page 10: The Travelist 4

berjarak 15 meter dari bibir telaga. Angin kencang bercampur kabut menerbangkan butiran-butiran air membuat kami mengeluarkan tenaga ekstra untuk membentangkan tenda. Malam pun tiba, kami hanya menghabiskannya di dalam tenda. Kondisi di luar tidak memungkinkan untuk menikmati telaga. Yang ada hanya suara hembusan angin, gesekan pepohonan dan cerita untuk mengiringi malam di tepian telaga. Salah seorang warga Desa Pandai Sikek, Pak Lo mengatakan bahwa Gunung Singgalang dan Tandikek ini menjadi gunung dengan predikat hunian para Sibunian. Mitosnya Sibunian yang merupakan penunggu Gunung Singgalang ini menculik manusia untuk ikut ke alamnya. Menurut legenda di Tandikek yang saya dengar dari Ibrahim dan Bustami, warga Mudiak Padang -sebutan lain untuk Tandikek- mengatakan bahwa Sibunian merupakan orang halus. Konon dulu sewaktu Islam belum menyentuh tanah Sumatra Barat. Hidup seorang raja Hindu bernama Kalik. Kalik Jantan yang beristri Anduang Sangkua. Pasangan Raja Hindu yang berkuasa di Tandikek ini memiliki seorang putri bernama Puti Sari Bana. Syahdan, Puti Sari Bana pergi ke sebuah telaga bernama Talago Tanang. Telaga yang terletak di daerah Tandikek. Permukaan telaga ini terlihat tenang namun di dasar telaga air berpusar kuat. Puti Sari Bana menyeburkan diri ke telaga, saat itu pula tubuh Puti Sari Bana dihisap ke dalam telaga dan tubuhnya ditemukan di Gunung Panggilun Padang yang

10| LAPUT11

Page 11: The Travelist 4
Page 12: The Travelist 4

12| LAPUT13

Page 13: The Travelist 4

saat itu masih bernama Sikilir-kilir. Orang Gunung Panggilun yang menemukan Puti Sari Bana sontak kaget melihat seorang putri cantik di daerah mereka yang berjarak puluhan kilometer dari tempat asal sang putri. Atas petunjuk Puti Sari Bana, orang Padang mengantarkan Puti ke Tandikek dan membuat janji agar Puti Sari Bana tidak boleh dikawinkan. Orang Tandikek menyetujuinya agar Puti Sari Bana tidak dikawinkan. Namun suatu ketika, Puti Sari Bana dilamar oleh salah seorang pria Tandikek dan terjadilah perkawinan di antara mereka. Waktu berselang, dikabarkan bahwa orang Padang akan menuju ke Tandikek untuk melihat Puti Sari Bana. Orang Tandikek yang mengetahui sontak merasa telah melanggar perjanjian karena telah mengawinkan Puti Sari Bana dengan seorang lelaki Tandikek. Orang Tandikek pun menyembunyikan Puti Sari Bana beserta suaminya di Gunung Tigo tidak jauh dari Tandikek. Setelah disembunyikan Puti Sari Bana dan suaminya tidak pernah lagi kembali ke Tandikek. Menurut warga Tandikek, mereka berkembang dan beranak pinak dengan ilmu hitam yang mereka miliki. Keturunan mereka inilah yang dianggap orang Tandikek menjadi Sibunian yang menyebar hingga ke Puncak Singgalang hingga ke Pasaman.

Page 14: The Travelist 4

Nyali saya ikut menciut, mengingat kembali para sibunian yang membawa manusia ke dunia mereka. Dunia yang berjalan sangat cepat dari putaran waktu di bumi, terasing dalam kungkungan dunia yang entah bagaimana. Hari mereka berjalan cepat, saya mendengar cerita dari Bustami tentang orang yang dibawa sibunian ke alam mereka. “ Sebulan di dunia sibunian, mungkin satu atau dua hari dunia kita”. Ungkap Bustami menceritakan tentang pemuda bernama Bansai yang jasadnya ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa namun setelah dua hari dikubur, Bansai kembali pulang ke rumah dan membuat geger warga di kampung. Berdasarkan terawangan orang pintar, Bansai dibawa oleh sibunian sewaktu Bansai memasuki hutan di kawasan Gunung Tandikek. Hanya jasad Bansai saja yang sudah tiada, namun ruhnya masih kekal.

14| LAPUT15

Page 15: The Travelist 4
Page 16: The Travelist 4

16| LAPUT17

Page 17: The Travelist 4

Saya berusaha untuk menepis pikiran-pikiran aneh saya tentang Sibunian sebelum lampu penerangan tenda kami dimatikan. Saya mengubur dalam-dalam cerita tentang Sibunian, mengganti dengan pikiran tentang keindahan Telaga Dewi andai malam cerah. Menghabiskan sisa malam di tepi api unggun, bercerita tentang makna kehidupan. Bersenda gurau sembari melantunkan lagu memuja keindahan alam. Suara angin mengantarkan tidur kami malam itu. Keesokan harinya kami terbangun, cuaca di luar tetap sama. Angin disertai kabut tetap mengurung kami di tepian telaga berketinggian 2762 Mdpl. Pagi itu saya mendapat jatah untuk menyajikan makanan untuk teman-teman, mengisi perut sebelum kembali turun. Tepat tengah hari, perjalanan awal turun Gunung Singgalang ditemani gerimis berkabut.

Page 18: The Travelist 4

Di perjalanan turun kami bertemu dengan beberapa rombongan pendaki yang sudah berjalan sedari malam. Berkenalan dan memberi senyuman sesama pendaki. Di ketinggian 2300 Mdpl, hujan mengguyur lebat. Jalur untuk turun dialiri air, kami seperti berjalan turun melewati aliran sungai kecil. Hujan menemani kami hingga tiba di pos pemancar. Saya terpaku mengenang Gunung Singgalang diantara kabut-kabut pekat yang menyelimuti puncaknya. Kelak kita akan bertemu di pendakian berikutnya, meresapi setiap butiran-butiran kabutmu dalam senandung misteri telagamu. Melewati akar-akar kayu penyangga tubuhmu, menghisap setiap tetesan air yang jatuh dari lembaran daun pohon yang menjadi rambut penyilimut kulitmu. Dalam balutan harmoni alam, Gunung Singgalang. [T]

18| LAPUT19

Page 19: The Travelist 4
Page 20: The Travelist 4
Page 21: The Travelist 4

Festival Lima Gunung ini adalah perayaan kesenian rutin tahunan yang diselenggarakan oleh Komunitas

Lima Gunung yakni Gunung Merapi, Merbabu, Menoreh, Sumbing, dan Andong. Atraksi kesenian yang ditampilkan

merupakan pertunjukan seni ataupun prosesi ritual dari kelompok kesenian di lima gunung tersebut.

Festival Lima Gunung

oLeh arY “siarY” harTanTo

PHOTOSTORY

Page 22: The Travelist 4

Festival Lima Gunung berlangsung selama beberapa hari dengan puncaknya diselenggarakan bergilir di salah satu wilayah anggota komunitasnya. Tahun 2011 merupakan perayaan festival yang ke-10 dan puncak acaranya diadakan di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Page 23: The Travelist 4

|23PHOTOSTORY 22

Page 24: The Travelist 4

Festival Lima Gunung tampaknya benar-benar merupakan gerakan kesenian rakyat. Melalui festival inilah rakyat kecil turut berperan dalam mengisi lembar-lembar kekayaan budaya Indonesia. Pementasan yang mereka lakukan memancarkan kesederhanaan sebagai masyarakat petani. Kesederhanaan itu bahkan terlihat secara kasat mata lewat panggung pementasan.

Page 25: The Travelist 4

|25PHOTOSTORY 24

Page 26: The Travelist 4

Konsep panggung dalam festival ini memang tidak seperti biasanya. Panggung hanya berupa ruang terbuka di pelataran depan atau belakang rumah. Panggung yang terbuka tersebut memberikan kesan meleburnya kesenian dengan masyarakat setempat sekaligus menegaskan bahwa seniman adalah bagian dari masyarakat sekitarnya.

Page 27: The Travelist 4

|27PHOTOSTORY

Page 28: The Travelist 4
Page 29: The Travelist 4

yudi febrianda

Nyawa folktales terkadang terlupakan oleh para traveler, walaupun beberapa traveler yang asik menggelutinya sudah mulai menuliskannya,

tetapi kadang masih ditemukan kesulitan untuk memasukkan ‘nyawa’ tersebut ke dalam sebuah foto. Untuk itu, antropolog yang suka jalan-jalan ini akan membuka pengetahuannya kepada para travelist. Siap?

INTERVIEW

Page 30: The Travelist 4

Pernah kuliah di Antropologi Unpad selama tujuh tahun karena hampir setengahnya dihabiskan dengan jalan-jalan. Aktif di berbagai organisasi sejak SMA. Pernah jadi Sekretaris Jenderal Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia. Tahun 2010 terpilih jadi Petualang Program Aku Cinta Indonesia (ACI) yang diadakan oleh DetikCom, dikirim untuk mengelilingi NTB (Sumbawa-Lombok) selama 14 hari. Kemudian dipilih oleh Kemenbudpar pada tahun yang sama sebagai Official Photographer untuk promosi Komodo pada pemilihan New7wonders.

“Enaknya melakukan perjalanan sendiri adalah kita bisa mandiri, bebas ambil keputusan mau kemana ngapain aja. kesepian? Aha….dimana-mana akan banyak bertemu dengan teman perjalanan. Justru kita akan semakin banyak menambah saudara di setiap jejak langkah”, novel Balada si Roy membakar adrenalin saya untuk traveling, buku bacaan sejak SMP. Pertama kali traveling jauh waktu liburan naik kelas 2 SMA, saya pergi ke Jawa berdua saja dengan sepupu naik bus. Dari Jakarta, Bandung, Jogja, sampai Surabaya lalu kembali ke Padang sendirian pakai bus lagi. Sejak itu kotak Pandora seperti terbuka. Naik gunung, camping, dan hiking sudah jadi menu setiap liburan bagi saya, walaupun masih di seputaran Sumatera Barat.Tahun 1996 saya diterima di jurusan Antropologi Unpad. Kesempatan jalan-jalan pun makin banyak. Ilmu Antropologi sangat membantu saya dalam melakukan traveling. Termasuk salah satunya mata kuliah Folklore. Begitu juga jaringan kekerabatan Antropologi Indonesia. Kemana pun mau traveling, selagi masih ada jurusan antropologi di kota tersebut, kita bisa mendapat tumpangan untuk menginap dan ditemani kalau ingin jalan-jalan. Kita dulu menyebutnya jalan-jalan ala Antrop.

Karena tema kali ini baru, boleh dong, bang Yudi perkenalan diri dulu..

Jadi ceritanya gimana kok bisa ‘kecemplung’ dalam dunia traveling?

68|69 Event30| INTERVIEW31

Page 31: The Travelist 4
Page 32: The Travelist 4

68|69 Event32| INTERVIEW33

Page 33: The Travelist 4

Folktales itu cerita rakyat, yaitu cerita yang ada pada suatu masyarakat dan beredar serta diwarisi secara lisan. Contohnya kayak cerita Malin Kundang pada masyarakat Minangkabau atau cerita Sangkuriang di masyarakat Sunda. Folktales ini, biar lebih enak kita sebut saja cerita rakyat ya, bisa dalam bentuk dongeng, legenda, dan mitos. Dongeng itu cerita yang diyakini cuma karangan saja. Biasanya berisi cerita-cerita imajiner seperti bidadari turun dari pelangi.Legenda itu cerita rakyat yang diyakini pernah ada, seperti legenda si Pitung. Sedangkan mitos menurut Claud Levi-Strauss adalah cerita suci berbentuk simbolis yang mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal-usul dan perubahan-perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan atas kodrati, manusia, pahlawan, dan masyarakat.

Terkait dengan tema, jelasin sedikit tentang folktales boleh dong Bang

Page 34: The Travelist 4

Yang menarik dari cerita rakyat itu banyak. Walau kesannya cuma cerita pengantar tidur, tapi banyak muatannya. Biasanya dongeng, legenda, atau mitos itu dibuat untuk menyampaikan suatu pesan, nilai, atau pelajaran moral tertentu seperti kisah Malin Kundang, yang mengajarkan agar jangan durhaka pada orang tua. Dari cerita rakyat itu kita juga bisa mengenal sistem budaya dari suatu masyarakat tersebut. Cerita rakyat sangat kaya dengan simbol-simbol dan kita bisa mengetahui kearifan, sistem nilai, norma, tabu adat, dan sejarah suatu tempat tertentu dari cerita tersebut.

Sebenarnya apa sih yang bikin menarik dari suatu folktales atau legenda ini sendiri?

Saya tertarik dengan cerita rakyat karena saya bisa mempelajari dan mengetahui bagaimana budaya dan sejarah masyarakat tersebut, bahkan bisa berhubungan dengan kosmologi lain. Selain itu bagi kacamata seorang traveler, cerita rakyat adalah suatu modal cerita yang menarik untuk kita ceritakan kembali ke dunia luar. Setiap daerah pasti punya cerita rakyat yang unik dan menarik. Satu lagi, saya suka penasaran dengan sejarah dan hal-hal yang berbau misteri dan banyak cerita rakyat yang mengandung unsur misteri.

Kalo Bang Yud kenapa tertarik dengan folktales?

68|69 Event34| INTERVIEW35

Page 35: The Travelist 4
Page 36: The Travelist 4

68|69 Event36| INTERVIEW37

Page 37: The Travelist 4

Rasanya setiap daerah punya keunikan dan hal menarik tersendiri. Cerita rakyat tentang manusia harimau di Minang, saya pernah bertemu dengan sosok yang menurut cerita masyarakat sana adalah orang yang menjadi harimau alias inyiak. Di Bali banyak beredar cerita Calon Arang dan Leak. Di Baduy ada mitos tentang Arca Domas. Di Kampung Naga ada mitos hutan larangan. Pokoknya hampir semua cerita rakyat atau folktales itu menarik dan membuat penasaran.Ada hal menarik ketika saya melakukan penelitian skripsi di Dieng. Skripsi saya mengkaji tentang mitos Anak Gembel, yaitu anak-anak usia 1-7 tahun berambut gimbal yang dipercayai sebagai titipan dari Kyai Kolodete, penguasa gaib daerah Dieng. Saya mendapat cerita dari masyarakat bahwa rambut gimbal tersebut adalah titipan dari Kyai Kolodete. Ketika saya bertanya ke kuncen sekaligus ketua Paguyuban Kejawen Dieng, katanya rambut gimbal itu titipan dari Ratu Kidul. Pada saat malam suroan, masyarakat kejawen Dieng kebetulan selalu mengadakan sarasehan dengan mengundang roh Kaki Tunggul Semar (katanya adalah penasehat Ratu Kidul). Saya bertanya ke Semar, siapakah sebenarnya yang menitipkan rambut gimbal tersebut, apakah Ratu Kidul (versi Kuncen) atau Kyai Kolodete (versi masyarakat), dan Semar menjawab “yang benar adalah Kyai Kolodete”. Esoknya sang kuncen langsung bertapa untuk menemui Kyai Kolodete di Gunung Kendil. Hari keempat, sang Kyai akhirnya menemui kuncen tersebut dan mengkonfirmasi bahwa betul dialah yang menitipkan rambut gimbal. Sang Kyai juga berpesan ke kuncen untuk menyampaikan informasi tersebut ke saya dengan pesan agar diteruskan ke masyarakat lain. Selesai bertapa tersebut, sang kuncen mengumpulkan warga Dieng dan menyampaikan informasi dari Kyai Kolodete tersebut. Sejak itu versi Ratu Kidul pun tidak digunakan lagi.

Nah, sejauh ini menjelajah, daerah mana yang paling menarik ceritanya?

Page 38: The Travelist 4

Untuk foto, cerita rakyat itu sarat dengan simbolisasi baik simbol secara lisan atau bukan materi maupun simbol-simbol atau budaya materi atau visual. Simbol-simbol visual seperti lambang dan budaya materi seperti candi, petilasan, situs, pohon, dan lainnya memungkinkan untuk difoto. Tapi sebaiknya ketika memotret wilayah yang sakral atau disucikan, lebih baik minta ijin terlebih dahulu. Untuk menulis, dari cerita rakyat ini kita bisa mendapatkan pesan atau nilai, kearifan lokal, sejarah, dan pola kognitif dari masyarakat tersebut. Tapi yang terpenting dalam memahami cerita rakyat adalah mencari makna dan muatan dari cerita-cerita tersebut. Jika sudah bisa memahami dan menangkap “nyawa” dari cerita rakyat tersebut, maka tinggal menangkap pencitraan simbol-simbolnya dan menuliskan makna tersebunyi tersebut. Agak susah diterangkan secara teknis, tapi yang penting harus punya ketertarikan, empati, dan mengasah insting untuk itu. Kalau mau serius, ada baiknya mempelajari tentang Folklore, Kognitif, dan Simbolik. Buku Folklore Indonesia karangan James Danandjaja sangat menarik untuk dibaca.

Terkait traveling, gimana ceritanya memasukkan nyawa folktales ini ke dalam foto atau tulisan nih Bang?

68|69 Event38| INTERVIEW39

Page 39: The Travelist 4
Page 40: The Travelist 4

68|69 Event40| INTERVIEW41

Page 41: The Travelist 4

Memang agak bias perbedaannya. Mudahnya, folktales atau cerita rakyat itu ada pada masyarakat yang homogen secara kebudayaan dan punya ranah budaya yang dominan serta merujuk pada budaya suatu daerah tertentu. Sedangkan urban legend ada pada masyarakat heterogen yang banyak kaum urban seperti di perkotaan dan relatif tidak punya budaya dominan (di beberapa kota sebenarnya masih ada budaya dominan). Urban legend ini tidak merujuk pada budaya satu suku. Dia cenderung lepas dari nilai-nilai budaya etnis yang ada.

Terkadang kita suka bias antara folktales dengan urban legend, gimana ya cara membedakannya Bang?

Page 42: The Travelist 4

1. Bersikaplah bebas nilai. Jangan menilai positif atau negatif karena cerita rakyat itu bersifat relatif sebagaimana sifat kebudayaan pada umumnya.

2. Hati-hati ketika memasuki ranah mitos karena terkadang ada ranah yang tidak bisa sembarangan dimasuki oleh orang luar, seperti Arca Domas di Baduy. Harap selalu patuhi aturan dari adat sana. Lakukan pendekatan untuk bisa masuk ke ranah tersebut.

3. Jangan percaya pada satu sumber walaupun dari seorang key informan, contohnya adalah kasus yang saya alami di Dieng tadi.

4. Usahakan selami makna atau analisa apa yang tersembunyi dibalik cerita rakyat tersebut.

5. Perlu diingat, cerita rakyat biasanya dimunculkan untuk menyampaikan suatu nilai atau pesan tertentu.

6. Upacara adat, situs, bangunan-bangunan budaya tua adalah beberapa bagian dari cerita rakyat yang menarik untuk dipotret

7. Untuk mendapatkan folktales yang lebih dalam butuh kesabaran. Kadang tidak gampang kita mendapatkan folktales secara lengkap terutama untuk kisah-kisah yang sedikit sensitif.

8. Ketika menuliskan folktales, usahakan tanpa ada tendesius apa-apa, tanpa penilaian baik-buruk dan tulis saja apa adanya.

9. Untuk foto, objek-objek folktales yang tampak mata itu kadang dianggap keramat. Usahakan untuk minta izin ke kuncen atau warga atau minimal minta izin dalam hati.

10. Jika dilarang, jangan memaksa namun lakukan pendekatan.

Ada tips-tips buat traveler terkait dengan folktales,untuk tulisan ataupun foto mereka?

68|69 Event42| INTERVIEW43

Page 43: The Travelist 4
Page 44: The Travelist 4

68|69 Event44| INTERVIEW45

Page 45: The Travelist 4

Saya sering kali melihat, membaca, mendengar para traveler ketika mengunjungi suatu lokasi seperti datang ke kebun binatang. Datang, cuci mata, bersenang-senang, memotret seusatu, tapi sangat minim melakukan interaksi dengan masyarakat setempat. Ketika mereka menuliskan perjalanannya tidak jauh dari keindahan alam, pesona budaya yang mereka lihat, tapi sangat minim sekali cerita tentang bagaimana mereka bercengkrama dengan masyarakat setempat. Apalagi cerita tentang sesuatu yang tersembunyi di balik kebudayaan masyarakat tersebut.Jadi bagi para traveler, jangan cuma menyelami lautan, tapi selamilah masyarakat sekitar tempat anda berkunjung. Akan sangat banyak kekayaan cerita yang akan anda temui. Pergilah ke rumah-rumah penduduk, sapa, dan salami mereka. Ajak mengobrol dan dengarkan kisah-kisahnya. Atau pergilah ke warung kopi yang biasanya menjadi media lalu lintas informasi apapun di perkampungan. Jangan takut atau sungkan untuk ajak ngobrol para pengunjung atau pemilik warung kopi tersebut. Sering kali kisah-kisah menarik, informasi-informasi langka bisa didapatkan di tempat tersebut.

Harapan Bang Yudi terkait dengan dengan dunia traveling dan folktales?

Page 46: The Travelist 4

Yudi Febrianda

Suami dari satu istri dan ayah dari empat orang anak (satu anak sudah almarhum). Sekarang tinggal di Depok. Sejak kecil sudah hobi jalan-jalan, sepakbola, dan kemudian fotografi. Menggeluti dunia fotografi sejak 1998 dan rajin berburu objek-objek budaya seperti kampung adat dan upacara adat.Sejak 2011 bersama beberapa teman-teman alumni Petualang ACI mendirikan komunitas Keluarumah, yaitu komunitas yang mengajak orang untuk keluar rumah menjelajahi kekayaan alam dan budaya Indonesia. Mari follow @keluarumah untuk berbagi info dan kisah-kisah perjalanan.

68|69 Event46| INTERVIEW47

Page 47: The Travelist 4
Page 48: The Travelist 4

legenda ikan depikNafas saya terengah, peluh menetes di dahi. Pohon-pohon pinus menjulang menemani. Angin berhembus semilir memaksa saya menggosok-gosok kedua telapak tangan untuk menghangatkan diri.

TuLisan Dan FoTo oLeh ari MurDiYanTo

Traveler’s TalesTraveler’s Tales

Page 49: The Travelist 4
Page 50: The Travelist 4

berjalan kaki menaiki bukit ini ternyata cukup menguras tenaga. Setelah tiba di puncak Bur Gayo, mata saya terbius oleh bukit yang memiliki pemandangan terindah untuk

menikmati Danau Lut Tawar yang berada di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Pemandangan danau yang berair tenang dikelilingi perbukitan tampak sangat cantik dan penuh misteri. Pikiran saya menerawang, tersirat keingintahuan tentang legenda ikan Depik yang hidup di danau itu, yang dipercaya berasal dari butiran nasi yang dibuang ke danau. Bagi saya, cerita rakyat bukan sekedar dongeng isapan jempol untuk diacuhkan begitu saja. Cerita rakyat adalah pembuktian adanya peradaban berusia sangat tua. Tentu saja, peradaban suku Gayo yang konon lebih tua daripada suku Batak ini, terbukti sudah ratusan tahun mendiami daerah sekitar Danau Lut Tawar. Sehingga, sangat dimungkinkan cerita rakyat seperti legenda ikan Depik ini tumbuh bersama mereka.

68|69 Event50| traveler’s tales51

Page 51: The Travelist 4
Page 52: The Travelist 4

68|69 Event52| traveler’s tales53

Page 53: The Travelist 4

Ikan Depik adalah jenis ikan yang hanya hidup di Danau Lut Tawar. Ikan bersisik mengkilat yang memiliki panjang sekitar delapan centimeter ini biasa dikonsumsi sebagai lauk makanan. Musim ikan Depik terjadi pada musim hujan. Sebelum musim hujan tiba, konon ikan Depik bersembunyi di kaki gunung Bur Kelieten. Uniknya, ketika bulan purnama, tidak ada satu pun ikan Depik yang muncul. Bagi masyarakat sekitar, ikan Depik merupakan anugerah yang dipercaya tidak akan habis sampai kapanpun. “Silakan, ikan Depik keringnya satu bambu Rp100.000“, terdengar suara ibu-ibu menawarkan dagangannya di Pasar Takengon. Disini mereka tidak menggunakan takaran seperti umumnya, tapi menggunakan bambu. Satu bambu berukuran sekitar satu kilogram. Selain ikan depik, juga dijual bumbu seperti terasi yang dibungkus daun pisang yang enak dibuat sambal untuk teman makan ikan Depik. Sepertinya memang enak dan saya harus merasakan kelezatannya di lain kesempatan. Siang itu saya berkeliling danau, memanjakan mata menikmati pemandangan. Danau terlihat sepi, tidak tampak nelayan yang mencari ikan Depik. Mereka biasanya memanen ikan Depik seusai subuh. Menggunakan perahu kecil bergerak perlahan ke tengah danau kemudian menarik jaring yang sudah dari semalam ditanam. Saya berbincang dengan beberapa penduduk asli yang saya temui, bertanya tentang legenda ikan Depik. Hampir semua orang yang saya tanyai pernah mendengar cerita tersebut. Tapi tidak satupun yang mengetahui detail ceritanya, sungguh sulit untuk menemukan penduduk yang masih mengingatnya. Beruntung, akhirnya ada seorang kenalan asli Takengon yang kebetulan sekali mengetahui sedikit detail tentang legenda ikan Depik.

Page 54: The Travelist 4

Alkisah, ada dua kampung yang hidup berdampingan, kampung Beno Serule dan Akim Mengaya. Penghuni kedua kampung ini memiliki kebiasaan berburu bersama di hutan Bur Kelieten. Saat beristirahat di hutan, pemburu dari Beno Serule menanak nasi menggunakan kuali (wajan) dan kayu Genuli Hitam sebagai pengaduk. Begitu masak, ternyata nasi menjadi berwarna hitam. Merasa tidak layak untuk dimakan, nasi itu mereka buang ke aliran sungai. Tiga kali mereka mengulang menanak nasi, hasilnya tetap sama. Tiga kali mereka membuang nasi ke aliran sungai. Sampai yang keempat, karena semakin kelaparan, terpaksa mereka makan nasi berwarna hitam itu. Hanya pemburu dari Beno Serule yang makan, pemburu dari Akim Mengaya tidak makan. Setelah makan nasi itu, anehnya mereka malah berubah menjadi muda kembali. Sepulangnya mereka, orang-orang menjadi bingung sekaligus terpana melihat perubahan yang terjadi dengan para pemburu itu. Berkeinginan untuk awet muda, penduduk Beno Serule mengikuti cara para pemburu dalam menanak nasi. Berbeda dengan orang Beno Serule yang kembali muda, orang Akim Mengaya tetap hidup seperti biasa. Ratusan tahun berlalu, orang Beno

Serule masih tetap awet muda. Namun tampaknya kebahagiaan sudah tidak ada lagi di hati mereka karena terlalu lama hidup. Mereka menginginkan kematian datang. Untuk menyambut kematian, mereka mengumpulkan emas untuk dibelikan beberapa keranda mayat di kampung Akim Mengaya. Begitu keranda sampai ke kampung Beno Serule, tangis meledak diantara orang-orang Beno Serule. Saking bahagianya, mereka pun meninggal. Beberapa dari mereka yang tidak ingin meninggal pindah ke Kampung Beno Nosar Bangil, yang sampai sekarang kampung ini masih ada di Kecamatan Bintang, Aceh Tengah. Tiga kuali nasi berwarna hitam yang dibuang di aliran sungai yang bermuara di danau itu dipercaya berubah menjadi ikan Depik. Mungkin karena nasi hitam itu, ikan Depik pun memiliki punggung berwarna hitam dan bagian kepala yang terasa pahit jika dimakan. Benar tidaknya cerita itu, tidak perlu diperdebatkan. Biarlah menjadi penghias kehidupan bermasyarakat dan menambah kekayaan budaya. Semoga legenda ikan Depik yang dikisahkan dari mulut ke mulut ini tetap terpelihara abadi sampai kapanpun. [T]

68|69 Event54| traveler’s tales55

Page 55: The Travelist 4
Page 56: The Travelist 4

naga di Telaga saranganPerjalanan kami kali ini memang cukup mendadak dan kurang persiapan. Seorang teman mengajak saya untuk pergi ke rumah neneknya yang ada di Magetan untuk menghabiskan waktu liburan.

TuLisan Dan FoTo oLeh riskY novrianDi

Traveler’s TalesTraveler’s Tales

Page 57: The Travelist 4
Page 58: The Travelist 4

T idak adanya tempat untuk menghabiskan waktu liburan dan cuaca yang kurang bersahabat untuk berpergian jauh menjadikan

saya menerima ajakan teman untuk menghabiskan beberapa hari waktu liburan di Magetan, Jawa Timur. Perjalanan Solo-Magetan melalui Tawangmangu menjadi pilihan, disamping jarak tempuh yang lebih cepat, kami memang ingin mampir di Telaga Sarangan membeli sate kelinci untuk makan siang nanti. Menuju Magetan melalui jalur Tawangmangu tidak semudah yang kami kira. Jalur Tawangmangu-Telaga Sarangan yang memiliki banyak tanjakan dan turunan yang cukup curam membuat kami sedikit kewalahan. Mungkin bagi pengguna jalan yang menggunakan kendaraan dengan cc mesin yang besar tidak masalah jika harus melewati jalur curam, tapi bagi kami yang memang kurang persiapan dan kondisi motor bebek yang tidak begitu prima membuat perjalanan kali ini menjadi cukup menantang. Dari semua tanjakan menuju Telaga Sarangan, tanjakan menuju Cemoro Kandang dirasa sangat berat untuk dilalui. Motor bebek yang kami kendarai sempat tidak kuat naik dan mati mendadak di tengah tanjakan. Terpaksa saya berjalan kaki mendaki tanjakan yang memiliki kemiringan sampai 40 derajat agar motor bisa menaiki tanjakan. Setelah memaksa mesin motor bekerja ekstra untuk melewati beberapa tanjakan curam, akhirnya kami berdua sampai di Cemoro Kandang. Jalur Cemoro Kandang-Telaga Sarangan yang akan kami tempuh ternyata lebih ekstrem lagi. Jalan berkelok-kelok

dengan tikungan yang cukup curam dan tajam membuat kami harus benar-benar berkonsentrasi dan berhati-hati. Tetapi pemandangan indah kebun sayur-mayur serta deretan pepohonan khas dataran tinggi yang meneduhkan mata dan suhu udara yang cukup dingin menjadi teman setia yang mengiringi kami menuju Telaga Sarangan, beruntung saat itu cuaca sedang cerah dan kabut tidak turun. Setelah bertemu dengan pertigaan dan turunan yang cukup curam, akhirnya kami bisa melihat Telaga Sarangan dari kejauhan. Kami pun sampai di pintu gerbang Telaga Sarangan dan menemukan pos penjual tiket yang kosong tidak dijaga oleh petugas. Kosongnya pos penjual tiket mungkin karena kami datang pada saat hari kerja dan bukan pada waktu liburan sekolah ataupun akhir pekan. Telaga Sarangan terletak di kaki Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Memiliki luas 30 hektar dan memiliki kedalaman 28 meter, Telaga Sarangan dapat ditempuh selama 2,5 jam dari kota Solo dan 40 menit dari kabupaten Magetan. Telaga Sarangan bisa dikatakan unik karena di tengah telaga terdapat pulau yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Menurut penduduk setempat pulau yang ada di tengah telaga adalah tempat bersemayamnya roh leluhur pencipta Telaga Sarangan, yaitu Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Penduduk setempat juga sering menyebut Telaga Sarangan sebagai Telaga Pasir. Disebut sebagai Telaga Pasir karena menurut legenda yang hingga kini masih dipercaya oleh masyarakat sekitar

68|69 Event58| traveler’s tales59

Page 59: The Travelist 4
Page 60: The Travelist 4

68|69 Event60| traveler’s tales61

Page 61: The Travelist 4

bahwa awal mula terbentuknya telaga tersebut berasal dari cerita sepasang suami istri yang bernama Kyai dan Nyai Pasir. Bertahun-tahun mereka hidup berdampingan sebagai suami istri tetapi belum dikaruniai seorang anak. Lalu Kyai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kepada Sang Hyang Widhi agar dikaruniai anak. Akhirnya mereka pun medapat seorang anak lelaki yang diberi nama Joko Lelung. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka bercocok tanam dan berburu. Karena pekerjaan yang dirasa berat maka Kyai dan Nyai Pasir bersemedi memohon kesehatan dan umur panjang kepada Sang Hyang Widhi. Dalam semedinya, pasangan suami istri tersebut mendapat wangsit bahwa keinginannya akan terwujud jika ia dapat menemukan dan memakan telur yang ada di dekat ladangnya. Akhirnya Nyai Pasir menemukan telur tersebut lalu membawanya pulang dan memasaknya. Telur kemudian dibagi menjadi dua, satu di makan oleh Kyai Pasir dan yang satunya dimakan oleh Nyai Pasir. Setelah memakan telur tersebut Kyai Pasir pergi ke ladang dan Kyai pasir merasa panas dan gatal di seluruh tubuhnya. Kyai Pasir terus menggaruk tubuhnya yang terasa gatal hingga menimbulkan luka lecet di seluruh tubuh. Akhirnya tubuh Kyai Pasir berubah menjadi ular naga yang sangat besar,

begitu juga yang terjadi dengan Nyai Pasir. Keduanya lalu berubah menjadi ular naga yang sangat besar dan kedua ular naga tersebut berguling-guling di pasir sehingga menimbulkan cekungan yang semakin lama semakin besar dan dalam. Dari dalam cekungan keluar air yang sangat deras dan menggenangi cekungan tadi. Menyadari kemampuan yang dimilikinya, Kyai Pasir dan Nyai Pasir berniat untuk membuat cekungan sebanyak-banyaknya untuk menenggelamkan Gunung Lawu. Mengetahui kedua orang tuanya berubah menjadi naga besar dan memiliki niat buruk, maka Joko Lelung bersemedi agar niat tersebut dapat diurungkan dan semedi Joko Lelung pun diterima oleh Hyang Widhi. Saat kedua orang tuanya sedang berguling-guling membuat cekungan baru, timbul wahyu kesadaran agar Kyai dan Nyai pasir mengurungkan niat menenggelamkan Gunung Lawu. Begitulah asal mula Telaga Pasir atau Telaga Sarangan yang sampai kini masih diyakini oleh penduduk setempat. Bahkan setiap menjelang bulan Ruwah (bulan puasa) selalu diadakan upacara bersih desa dan labuh sesaji dengan memberikan hasil desa untuk tolak bala dan memperingati terbentuknya Telaga Pasir. Upacara ini juga bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada roh leluhur yang merupakan cikal bakal Desa Sarangan yaitu Kyai Pasir.

Page 62: The Travelist 4

Kondisi Telaga Sarangan yang pada saat itu sepi oleh pengunjung membuat kami lebih bisa menikmati keindahan telaga yang dikelilingi oleh perbukitan pinus dan perkebunan sayur. Speedboat dan perahu bebek yang biasanya terparkir siap mengantarkan pengunjung mengitari telaga pada saat itu juga lebih banyak tertutup terpal karena sepinya pengunjung, hanya terlihat beberapa speedboat yang beroperasi. Setelah puas menikmati keindahan ciptaan Tuhan dan menghabiskan makan siang, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan karena hari sudah semakin sore. Mungkin nanti sesampainya di rumah nenek teman sambil beristirahat meluruskan punggung, saya akan meminta diceritakan cerita rakyat lain yang masih banyak dipercaya oleh masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Lawu. [T]

68|69 Event62| traveler’s tales63

Page 63: The Travelist 4
Page 64: The Travelist 4

suro-boYoSaya menatap seekor ikan hiu (Suro) dan buaya (Boyo) berukuran raksasa yang sedang bergelut di tengah-tengah tumbuhan air serupa ganggang, yang tentunya juga berukuran raksasa. Patung batu yang ditempatkan di depan Kebun Binatang Surabaya (KBS) itu tampil anggun dimandikan cahaya matahari sore.

TuLisan Dan FoTo oLeh heraJeng gusTiaYu

Traveler’s TalesTraveler’s Tales

Page 65: The Travelist 4
Page 66: The Travelist 4

ada dua patung bergaya serupa yang sempat saya datangi saat berada di Surabaya, selain yang berada di KBS, ada pula yang

berada di Arena Ketabang Skateboard & Bike Park, yakni tempat nongkrong dan berlatih untuk anak-anak skater dan biker Surabaya. Namun saat itu tak sedikit pun pikiran saya bertanya-tanya alasan kenapa simbol Suro dan Boyo yang dipilih untuk melambangkan kota Surabaya. Pertempuran hewan Suro dan Boyo adalah salah satu versi dari banyak cerita yang saya dengar. Alkisah dahulu kala ada dua hewan raksasa yang sama-sama keras kepala, kuat, dan selalu berebut wilayah. Dua hewan raksasa ini adalah ikan Suro dan Boyo dalam memperebutkan area darat dan air. Awalnya mereka telah sepakat untuk membagi wilayah kekuasaan, Suro menguasai air dan Boyo menguasai darat. Pertempuran terakhir mereka berlokasi di Sungai Kalimas, sungai yang membelah Kota Surabaya. Suro berpendapat karena sungai merupakan daerah yang berair, maka ia berhak menguasai sungai. Namun Boyo berpendapat karena sungai berada di dalam daratan, maka Boyo-lah yang berhak menguasai sungai. Karena sama-sama keras kepala dan kuat, akhirnya mereka bertarung hingga kehabisan tenaga setelah bertempur sekian lama hingga air Sungai Kalimas pun memerah oleh darah. Warga yang menonton pertempuran itu pun sepakat menamakan daerah mereka “Surabaya”

untuk mengenang pertempuran legendaris tersebut. Versi kedua adalah pertempuran dua orang manusia, namun masih ada hubungannya dengan kedua hewan tersebut, yakni pertempuran Adipati Jayengrono yang memiliki ilmu Buaya dan Sawunggaling yang memiliki ilmu Sura pada jaman Majapahit. Adu kesaktian yang tujuannya untuk mempertahankan dan memperebutkan wilayah itu (lagi-lagi) bertempat di Sungai Kalimas, dengan (lagi-lagi) tidak adanya pemenang karena keduanya meninggal kehabisan tenaga saat bertarung. Versi ketiga akan terdengar kurang seru dibanding yang versi pertama dan kedua, tapi pastinya lebih baik saya tetap ceritakan agar artikel ini lengkap. Asal usul nama Surabaya dapat ditafsirkan pula seperti ini: Sura berarti “selamat”, serta Baya berarti “bahaya”. Nama lain dari Surabaya adalah “Sura ing Bhaya” yang berarti “selamat dari bahaya” atau juga dapat ditafsirkan sebagai “keberanian menghadapi bahaya”. Diduga nama tersebut muncul setelah Kota Surabaya selamat dari mara bahaya berupa perang besar. Disinyalir perang besar itu adalah ketika terjadinya perang pada abad ke-13 antara raja Jawa, Raden Wijaya, dengan pasukan Tartar yang berada di bawah dinasti Mongol. Coba tebak di daerah mana perang ini berlokasi? Ya, di sekitar Sungai Kalimas! Tapi untungnya kali ini Raden Wijaya yang menang, sehingga Kota Surabaya tidak jadi dikuasai dinasti Mongol.

68|69 Event66| traveler’s tales67

Page 67: The Travelist 4
Page 68: The Travelist 4

68|69 Event68| traveler’s tales69

Page 69: The Travelist 4

Namun jika dipikirkan kembali, Sungai Kalimas memang merupakan urat nadi Kota Surabaya pada zaman keemasan kerajaan maritim. Rata-rata pada setiap peradaban, asal mula sebuah pemukiman memang berpusat pada sumber air. Apalagi apabila dilihat di peta, kedua ujung Sungai Kalimas menuju ke lautan, sehingga cocok sebagai jalur transportasi air yang amat efektif dan efisien sebagai jalur perdagangan. Memang tak mengherankan jika diperebutkan. Kini Sungai Kalimas yang digembor-gemborkan dalam berbagai versi cerita legenda tersebut tidak lagi aktif sebagai jalur transportasi air. Namun, yang paling saya kagumkan dari Sungai Kalimas adalah sebagai sungai yang berada di perkotaan besar, sungai ini tergolong cukup bersih dan tidak berbau, apabila dibandingkan sungai besar di kota lainnya. Terutama jika dibandingkan dengan Kali Ciliwung di Jakarta yang sudah berpolusi tingkat tinggi.

Page 70: The Travelist 4

Walaupun kini tidak aktif sebagai jalur transportasi, Sungai Kalimas ini masih memperlihatkan aktivitas sekumpulan atlet yang berlatih olahraga mendayung di sepanjang sungai tersebut. Seorang teman pun sempat menjelaskan kepada saya bahwa sewaktu-waktu di sepanjang Sungai Kalimas diadakan tur menjelajahi sungai yang berangkat dari lokasi Monumen Kapal Selam. Sayang, saya tidak sempat mencobanya. Pastinya mencoba tur jelajah sungai, bukan berlatih mendayung. Mengkaitkan asal-usul nama Surabaya dengan karakter asli penduduk Surabaya (Jawa Timuran) yang relatif lebih keras, percaya diri, dan berani dibandingkan dengan penduduk Jawa lainnya nampaknya juga pas. Apalagi jika dikaitkan dengan karakter bonek yang terkenal “beringas” itu, di otak saya terbayang kembali pertempuran Suro dan Boyo membela kepercayaan masing-masing hingga titik darah penghabisan. Mungkin karena itu juga lah, simbol Suro dan Boyo diambil dengan bangga sebagai lambang Kota Surabaya. [T]

68|69 Event70| traveler’s tales71

Page 71: The Travelist 4
Page 72: The Travelist 4

INdonesian Folklore merupakan blog kumpulan cerita-cerita rakyat dan apat di akses melalui indonesianfolklore.blogspot.com. Dengan ilustrasi yang menarik, blog ini

bertujuan untuk dapat menyampaikan kisah-kisah Indonesia bukan hanya untuk pembaca dari Indonesia saja, namun juga pembaca dari seluruh dunia. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa asing dalam penulisannya, yakni Bahasa Inggris. [T]

WEbsite ceritarakyatnusantara.com ini merupakan website yang dikelola oleh Badan Kajian dan Pengembangan Kebudayaan Melayu. Badan yang berbasis di Yogyakarta

ini, mengumpulkan cerita-cerita rakyat yang dicari oleh para redaktur dan diunggah di website. Dengan latar belakang redaktur yang berpendidikan di bidang Antropologi, cerita-cerita yang dihadirkan olehnya menjadi lebih menarik, terutama untuk diceritakan kembali menjelang anak tidur karena adanya pesan moral di tiap cerita. [T]

indonesian Folklore

CeriTa rakYaT nusanTara

68|69 Event72 REVIEW

Page 73: The Travelist 4

Lahir dan besar di Jawa. Sejak beberapa tahun lalu merantau ke Banda Aceh dan jatuh cinta dengan Aceh. Di sela kesibukan sebagai seorang pegawai pajak, sesekali melakukan kegiatan traveling, menulis blog, dan membaca buku.

Ari MurdiyantoPunya kritik dan saran untuk The Travelist? Kirim surat anda melalui email: [email protected] dengan menyebutkan nama, kota, dan nomor telepon. Surat yang terpilih akan mendapatkan suvenir menarik dari The Travelist.

The Travelist mengundang siapa saja yang mau berbagi cerita mengapa ia menyukai traveling, diving, ataupun hiking untuk menyebarkan ‘virus’ ini kepada pembaca yang lain agar semakin mencintai Indonesia.Kirim melalui email: [email protected] dengan subjek : cerita sayaTulisan maksimal 1000 kata dan disertai sepuluh foto.

Hey Travelist!

My Story

konTribuTor

Seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan sosiologi, pecinta angkringan dan apapun yang berbau sejarah. Berobsesi keliling Pulau Jawa-Bali naik VW Combie

Rizky Noviandri@ukikuki

Pemuda yang lahir di Padang, suka jalan-jalan, fotografi, dan cintanya pada Indonesia melebihi cintanya terhadap wanita. Menekuni fotografi sejak dari SMA dengan fokus utama landscape dan budaya Indonesia. Karyanya dapat dilihat di www.ranselkosong.com.

Yunaidi Joepoet@yunaidijoepoet

Ari “Siary“ Hartanto@desainaryPemilik travel blog bernama The Backpacker’s

Notes. Lulusan arsitektur dan perancangan kota yang sudah tidak bekerja di bidang ilmu tersebut. Kini sedang menyelesaikan bukupertamanya yang mengulik tentang serba-serbi backpacking.

Herajeng Gustiayu@BackpackerNotes

@buzzerbeezz

Ahmad NursalimVisual artist wannabe yang masih kuliah di ITB. Tekun di bidang gambar, animasi, motion graphic, computer graphic 2D/3D, serta ilustrasi. Sering mengirimkan animasi pendek ke festival animasi internasional dan pernah dapat penghargaan sebagai official selection di festival Anifest dan Tehran Animafest. Punya keinginan jalan-jalan di negeri orang.

‘wong ndeso’ yang besar di Semarang, menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Arsitektur UGM, Jogjakarta dan sekarang tinggal diselatan Jakarta. Kerja di dunia arsitektur, yang jadi profesi sekaligus hobinya selain fotografi dan memilih bekerja sendiri agar tidak mengganggu kesenangannya yang lain yakni traveling dan menjelajah suatu daerah.Penyuka kopi dan jajanan pasar yang lebih senang jalan ke desa atau kota-kota kecil.

Page 74: The Travelist 4