tesis penyidikan tindak pidana korupsi di bidang …
TRANSCRIPT
TESIS
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG
PENGADAAN BARANG DAN JASA
DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN
OLEH :
HERAWATI
P0902215035
SEKOLAH PASCASARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
Disusun dan di ajukan oleh
HERAWATI
P0902215035
Telah Dipertahankan di depan panitia Ujian Tesis
Pada tanggal 21 Februari 2018
Menyetujui
Komisi Penasehat
Prof. Dr. Muhadar S.H. M.S. Dr. Ans M.H.Ketua nggota
tas Hukumanuddin
dei Z
Moenta. S.H.. M.H.. DFM FProf. Dr. A. Pa qeranq atittin S,H. M.Hum.
rESIS
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DIBIDANGPENGADAAN BARANG DAN JASA
DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN
Plh. Ketua Program StudiMagister Hukum
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
ABSTRAK ......................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................... iv
DAFTAR ISI ...................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ..................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Pengertian dan Ruang Lingkup
Kebijakan Hukum Pidana .......................................... 11
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana ................... 11
2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana ............ 14
B. Sistem Peradilan Pidana .......................................... 17
C. Tindak Pidana Administrative Corruption dalam Pengadaan
Barang dan Jasa ...................................................... 19
D. Pengertian, Tugas dan Wewenang Kejaksaan ........ 32
1. Pengertian Kejaksaan .......................................... 32
2. Pengertian Penuntut Umum.................................... 33
3. Tugas dan Wewenang Kejaksaan ........................ 34
E. Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Korupsi ........ 46
F. Teori Sistem Hukum ................................................. 58
G. Teori Penegakan Hukum.......................................... 61
H. Kerangka Pikir .......................................................... 68
I. Definisi Operasional ................................................. 69
viii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian ......................................................... 71
B. Lokasi Penelitian ...................................................... 71
C. Jenis Dan Sumber Data ........................................... 71
D. Teknik Pengumpulan Data ....................................... 72
E. Analisis Data ............................................................ 72
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Bidang
Pengadaan Barang Dan Jasa Oleh Kejaksaan ........ 73
B. Faktor Penghambat Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi Di Bidang Pengadaan Barang Dan Jasa ..... 106
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................. 117
B. Saran ....................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA
HALAMAN JUDUL
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG
PENGADAAN BARANG DAN JASA
DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Program Studi
Magister Hukum
Disusun dan diajukan oleh :
HERAWATI
P0902215035
SEKOLAH PASCASARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut diucapkan selain puji syukur kita kehadirat Allah
SWT, karena atas berkah dan hidayah-nya sehingga tesis ini bisa terselesaikan.
Tak lupa pula shalawat serta salam terhatur kepada Nabi Muhammad SAW
sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah dalam bentuk Tesis
ini dengan berjudul ” Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Bidang
Pengadaan Barang Dan Jasa Di Kejaksaan Tinggi Sulsel”, guna
memperoleh gelar Magister Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
Dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan terima kasih dan
penghargaan tertinggi kepada kedua orang tua tercinta. Ayahanda Almarhum
Muhammad Basri dan Ibunda Hajrah yang telah mendidik dan membesarkan
penulis dengan penuh kesabaran, rasa kasih sayang, perhatian, pengorbanan,
keringat serta doa yang tidak pernah putus. Juga tak lupa kepada Kedua anakku
Rezky Putri Bhayangkari dan Muh Rifky Febriansyah yang senantiasa memberi
semangat kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, karena itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa penulis harapkan guna
memacu kreatifitas dalam menciptakan karya-karya yang lebih baik lagi. Akhir
kata, penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan dalam penyusunan tulisan ini, terutama kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor
Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Junaedi Muhidong. M. Sc, selaku Wakil Rektor
Bidang Akademik
3. Bapak Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.H. Wakil Rektor Bidang
Administrasi Umum, keuangan dan sumber daya
4. Bapak Dr. Ir. Abdul Rasyid M.Si selaku Wakil Rektor bidang
Kemahasiswaan dan Alumni
5. Bapak Prof. dr. Budu, Ph.D, SPM(K) selaku Wakil Rektor Bidang
Perencanaan dan pengembangan Kerjasama
6. Bapak Prof. Dr. Muhammad Ali, S.E., M.Si, selaku Dekan Sekolah
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
7. Ibu Prof Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin,
8. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik dan Pengembangan
9. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan Bidang Perencanaan dan Keuangan
10. Bapak Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni
11. Bapak Prof Dr. Andi Pangerang Moenta, SH.,MH. selaku Ketua Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
12. Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S, selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H., Selaku Pembimbing II.
13. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H, M.H., Bapak Prof. Dr. Marthen Aries, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Hj. Nur azisa, S.H., M.H., selaku penguji penulis yang telah memberikan banyak masukan-masukan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.
14. Bapak dan Ibu dosen Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang dengan tulus ikhlas memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya selama perkuliahan berlangsung sehingga memberikan banyak manfaat bagi penulis baik untuk saat ini maupun dimasa mendatang.
15. Seluruh staf dan karyawan akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
16. Semua pihak di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat yang telah bersedia dan membagi waktunya kepada penulis dalam mengembangkan tesis ini.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Ilmu
Hukum khususnya Dalam Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, serta berguna
bagi masyarakat yang bernilai jariyah. Aamiin Ya Rabbal’alaamiin. Terima kasih.
Makassar , 21 Februari 2018
Penulis
HERAWATI
ABSTRACT
HERAWATI (B11112663), Corruption Crime Investigation In The Field Of
Procurement Of Goods And Services By Attorney Guided by Muhadar As
Advisors I and Anshori Ilyas As Advisor II.
This research aims to analyze the implementation of Corruption criminal
investigation in the field of procurement of goods and services by the Attorney,
as well as what factors inhibit the implementation.
This research is empirical law research, ie research conducted directly in the
field. Data obtained both primary and secondary analyzed both deductively and
inductively then presented descriptively describing, describing, and describing in
accordance with the problems closely related to this research.
The result of the research shows that the implementation of Corruption criminal
investigation in the field of procurement of goods and services by South Sulawesi
Prosecutor's Office is through the action of judicial intelligence operation, case
development technique by utilizing whistle blower and justice collaborator and
investigative audit technique as search and data collection method, information
and other findings to find out the truth or even a fact error in coordination with
BPK / BPKP. Factors that hamper the investigation of corruption in the field of
procurement of goods and services are the limited number of human resources
to the Prosecutor who conducts intelligence and examination activities in place
and limited funding sources / budget handling cases in investigation activities.
The authors suggest that the public prosecutor should optimize the role of justice
collaborator in the investigation stage of corruption in the procurement of goods
and services. In addition, the frequently used intelligence methods can also be
optimized, given that corruption in procurement of goods and services is the most
corrupt type that has resulted in state losses. In order to overcome the internal
difficulties, the public prosecutor should arrange special stages of handling
corruption cases in the procurement of goods and services in the beginning of
the investigation process conducted by intlejen method, the examination stage
up to the stage of file delegation into the Annual Work Plan of the Procuratorate.
It is intended that the limited availability of budget and facilities do not become an
obstacle in the process of investigation of corruption crime in the procurement of
goods and services, which is corruption is the type of corruption that causes the
greatest loss of the state.
Keywords: Investigation, Corruption, Goods and Services
iii
ABSTRAK
HERAWATI (B11112663), Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Bidang Pengadaan Barang Dan Jasa Di Kejaksaan Tinggi Sulsel, dibimbing oleh Muhadar Selaku Pembimbing I dan Anshori Ilyas Selaku Pembimbing II. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan Penyidikan tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa oleh Kejaksaan, serta faktor-faktor apakah yang menghambat dalam pelaksanaannya.
Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, yakni penelitian yang dilakukan langsung di lapangan. Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis baik secara deduktif maupun induktif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Penyidikan tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa oleh Kejaksaan Sulawesi Selatan adalah melalui upaya penindakan berupa kegiatan operasi intelijen yustisial, teknik pengembangan kasus dengan memanfaatkan whistle blower dan justice collaborator serta teknik audit investigatif sebagai metode pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta dengan berkoordinasi dengan BPK/BPKP. Faktor yang menghambat dalam penyidikan tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan Jasa adalah keterbatasan jumlah sumber daya manusia pada Jaksa Penyidik yang melakukan kegiatan intelijen dan pemeriksaan di tempat dan keterbatasan sumber dana/anggaran penanganan perkara dalam kegiatan penyidikan.
Saran penulis adalah pihak kejaksaan harus lebih mengoptimalkan peran justice collaborator dalam tahap penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa. Selain itu, metode intelijen yang selama ini sering digunakan juga dapat lebih dioptimalkan, mengingat bahwa korupsi pengadaan barang dan jasa merupakan jenis korupsi terbanyak yang telah mengakibatkan kerugian negara. Dalam rangka mengatasi kesulitan internal, pihak kejaksaan harus menyusun tahapan khusus penanganan perkara korupsi pengadaan barang dan jasa dalam mulai dari tahap penyelidikan yang dilakukan dengan metode intlejen, tahap pemeriksaan hingga tahap pelimpahan berkas perkara ke dalam Rencana Kerja Kejaksaan setiap tahunnya. Hal ini dimaksudkan agar keterbatasan ketersediaan anggaran dan fasilitas tidak menjadi kendala proses penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa, yang mana korupsi ini merupakan jenis korupsi yang paling banyak mengakibatkan kerugian negara. Kata Kunci: Penyidikan, Tindak Pidana Korupsi, Barang dan Jasa
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika perekonomian negara Indonesia menjadi suatu hal
yang tidak dapat diingkari. Sebuah keniscayaan yang tidak dapat
dihindari ketika perangkat negara melakukan suatu inovasi dalam
pemenuhan perekonomian suatu negara yang mencakup kepada suatu
tujuan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam Alinea IV
Pembukaan UUD NRI 1945 menyatakan bahwa dalam pembentukan
Pemerintah Negara Indonesia salah satu tujuannya yaitu untuk
memajukan kesejahteraan umum.
Percepatan pemenuhan perekonomian menjadi salah satu
kebijakan Pemerintah Indonesia. Dalam kebijakan tersebut, tentu tidak
lain tujuan utama yang hendak dicapai yaitu untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Percepatan pemenuhan perekonomian dilakukan melalui pengadaan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh seluruh perangkat
pemerintahan yang mencakup pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
Salah satu bentuk Inovasi percepatan perekonomian oleh
Pemerintah Indonesia yaitu Pengadaan Barang/Jasa. Dalam
penerapan inovasi tersebut, pengadaan barang dan/atau jasa telah
2
ditetapkan serta dilegalisasi oleh Pemerintah Indonesia melalui suatu
Peraturan Presiden (selanjutnya disingkat Perpres) antara lain
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan keempat
atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang dan/atau Jasa Pemerintah. dan Peraturan Presiden Nomor 3
Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional. Dari kedua Perpres tersebut, yang tidak lain merupakan
bentuk inovasi dari Pemerintah Indonesia, inti pengaturannya adalah
proses percepatan pelaksanaan pembangunan yang menjadi tanggung
jawab Pemerintah Indonesia berdasarkan tujuan dari Konstitusi
Republik Indonesia.
Alasan pengadaan barang/jasa pada instansi pemerintah adalah
tugas pokok keberadaan instansi pemerintah bukan untuk
menghasilkan barang/jasa yang bertujuan profit oriented, tetapi lebih
bersifat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu,
pemerintah membutuhkan barang/jasa dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik atas dasar pemikiran yang logis dan sistematis,
mengikuti prinsip dan etika serta berdasarkan metode dan proses
pengadaan yang berlaku.1
1 Abu Salman Lubis. 2014. Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang/Jasa Apakah harus
Dipedomani? Dikutip melalui laman website: http://www.bppk.kemenkeu.go.id/
publikasi/artikel/147-artikel-anggaran-dan-perbendaharaan/19693-artikel-prinsip-
prinsip-pengadaan-barang-jasa-apakah-harus-dipedomani. Diakses Pada Tanggal 6
November 2016.
3
Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa terdapat
Perpres yang mengatur berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa.
Akan tetapi, secara umum pengaturan berkaitan dengan pengadaan
barang dan jasa tersebar dalam beberapa peraturan perundang-
undangan yaitu Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan
Presiden. Akan tetapi, pengaturan yang tersebar tersebut tidak
memiliki payung hukum atau peraturan perundang-undangan dalam
bentuk undang-undang yang secara jelas memiliki nomenklatur
pengadaan barang dan jasa.
Pengadaan barang dan/atau jasa dalam kenyataannya justru
telah banyak merugikan negara, hingga tahun 2015 tercatat nilainya
mencapai Rp 1 Triliun.2 Penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku
dalam pengadaan barang dan/atau jasa telah memasuki ranah tindak
pidana korupsi yang menjadi frame dari hukum pidana Indonesia.
Dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, maka korupsi pada
sektor pengadaan barang dan/atau jasa tergolong kepada tindak
pidana di bidang ekonomi.
Pengaturan yang tersebar tersebut dalam kaitannya dengan
pengadaan barang dan jasa menyebabkan terjadinya obesitas hukum.
Lebih jauh lagi, dalam hal penegakan hukum pidana di bidang
pengadaan barang dan jasa mengalami permasalahan diakibatkan
2 Dikutip melalui laman website resmi media kompas :
http://nasional.kompas.com/read/2016/06/27/17234861/negara.rugi.hampir.rp.1.triliu
n.dari.korupsi.pengadaan.barang.dan.jasa. Diakses Pada Tanggal 26 Oktober 2016.
4
terlalu banyaknya pengaturan yang perlu dipatuhi oleh Pemerintah
atau swasta selain itu pengaturan yang terlalu banyak juga menjadi
kendala bagi penegak hukum untuk membuktikan suatu tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh pelaku. Dengan demikian, efektifitas dan
efisiensi dalam penanganan kasus oleh penegak hukum tidak dapat
tercapai dengan baik.
Pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu sumber
korupsi terbesar di Indonesia. 70 % kasus-kasus korupsi yang
ditangani oleh Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK adalah terkait
dengan pengadaan barang dan jasa. Tidak sedikit para penyelenggara
negara, baik eksekutif maupun legislatif (termasuk pihak swasta)
terpaksa harus berurusan dengan hukum karena diduga atau terbukti
telah melakukan penyimpangan atau menggunakan anggaran
pemerintah tidak sebagaimana mestinya melalui proyek-proyek
pemerintah khususnya dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah.3
Sebagaimana diketahui bahwa dalam historinya politik kriminal
negara Indonesia dalam mengatur permasalahan korupsi ini telah
dibentuk hukum pidana materil yang mengatur tentang korupsi
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diuban melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
3Dikutip melalui laman website resmi kejati sulsel :
http://www.kejati-sulsel.go.id/index.php/baca-artikel/14/TP4-Kejaksaan-dan-
Pencegahan-Korupsi. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2016.
5
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa tindak pidana
korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa. Dalam
kaitannya dengan tindak pidana korupsi di sektor pengadaan
barang/jasa maka pemberantasannya pun harus dilakukan secara luar
biasa.
Pemberantasan secara luar biasa yang mencakup kepada
penegakan hukum tindak pidana korupsi, khususnya dalam aspek
pengadaan barang/jasa dalam kebijakan hukum pidana yang tertuang
dalam Undang-undang korupsi didapatkan bahwa posisinya sebagai
primum remedium yaitu sebagai obat utama dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dengan demikian, dalam tindak pidana korupsi
di bidang pengadaan barang dan jasa penyelesaiannya dilakukan
secara represif dan prioritas.
Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan pencegahan dan
pemberantasan korupsi khususnya dalam bidang pengadaan barang
dan jasa telah merumuskan kebijakan hukum pidana yaitu Pemerintah
membuat Instruksi Presiden (Selanjutnya disingkat Inpres) Nomor 10
Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Tahun 2016 dan Tahun 2016. Salah satu kebijakan mengenai
pengadaan barang dan jasa yaitu Pemerintah mendorong upaya
transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme pengadaan barang
6
dan jasa melalui e-procurement atau melalui sistem pengadaan secara
elektronik (SPSE).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa
penanggulangan korupsi mengambil tempat sebagai primum
remedium. Akan tetapi prinsip primum remedium dalam
penanggulangan korupsi bertentangan dengan kebijakan hukum
pidana yang dikeluarkan oleh Pemerintah yaitu Peraturan Presiden
Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional. Dalam Perpres tersebut, salah satu bentuk
percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional adalah pengadaan
barang dan jasa pemerintah. Dalam Bab X Penyelesaian
Permasalahan Hukum Dalam Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
Pasal 31 ayat (7) bahwa kesalahan administrasi yang menimbulkan
kerugian negara penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan
administrasi dan pengembalian kerugian negara. Administrasi
Pemerintahan senidiri menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan merupakan tata
laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan
dan/atau pejabat pemerintahan.
Apabila dilihat dari kebijakan hukum pidana oleh pemerintah
dikaitkan dengan pengadaan barang dan jasa, maka sebenarnya
prinsip Ultimum Remedium (obat terakhir) dari penyelesaian hukum
pidana korupsi yang harus dikedepankan dalam penanganan tindak
7
pidana korupsi tersebut. Hal mana tentu ini sangat berbeda dengan
Undang-undang korupsi yang mengambil posisi Premium remedium
dalam penanganan tindak pidana korupsi dalam bentuk apapun
termasuk di bidang pengadaan barang dan jasa.
Dari perbedaan kebijakan hukum pidana baik undang-undang
korupsi (kebijakan hukum pidana legislatif) dan peraturan presiden
(kebijakan hukum pidana eksekutif). Hal mana menyebabkan adanya
kemunduran dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi
khususnya di bidang pengadaan barang dan jasa. Tentunya keadaan
ini berimplikasi pada pelaksanaan penegakan hukum di bidang
pengadaan barang dan jasa, salah satunya adalah proses penyidikan.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Dalam praktiknya jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi
mengalami berbagai kendala. Hambatan keterbatasan jumlah sumber
daya manusia pada Jaksa Penyidik yang melakukan kegiatan intelijen
dan pemeriksaan di tempat. Hambatan lainnya juga berkaitan denan
keterbatasan sumber dana/anggaran penanganan perkara dalam
kegiatan penyidikan. Banyak aktifitas luar ruangan yang harus
dilakukan, seperti kegiatan pengamatan, koordinasi dengan BPKP
8
serta penggunaan jasa ahli audit di luar lingkungan Kejaksaan.
Hambatan keterbatasan fasilitas/sarana dan prasarana yang
mendukung dan menunjang kegiatan penyidikan ini menjadi faktor
utama dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa.
Permasalahan-permasalahan di atas oleh penulis mengajukan
proposal penelitian yang berjudul “Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi Di Bidang Pengadaan Barang Dan Jasa Oleh Kejaksaan
(Studi Kasus di Sulawesi Selatan)”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Penyidikan tindak pidana korupsi di
bidang pengadaan barang dan jasa oleh Kejaksaan?
2. Faktor apakah yang menghambat dalam penyidikan tindak
pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan Jasa?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban secara
kongkrit tentang hal-hal yang menjadi permasalahan penelitian,
meliputi:
1. Untuk memahami Pelaksanaan Penyidikan tindak pidana
korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa oleh Kejaksaan.
9
2. Untuk mengatahui faktor-faktor apakah yang menghambat
dalam penyidikan tindak pidana korupsi di bidang pengadaan
barang dan Jasa.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini nantinya
adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
1) Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemahaman dan
pengembangan hukum pidana korupsi di Indonesia khususnya
pada bidang pengadaan barang dan jasa.
2) Memberikan masukan terhadap pihak-pihak yang terkait
khususnya Kejaksaan dalam kaitannya dengan penanganan
tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa.
2. Manfaat Praktis
1) Memberikan landasan atau dasar pijakan atau rambu-rambu
bagi pengemban kewenangan aparat penegak hukum, sehingga
aparat penegak hukum lebih proporsional dan professional
dalam menyikapi kejahatan korupsi di bidang pengadaan barang
dan jasa.
2) Dapat dijadikan dasar pemahaman bagi masyarakat yang sering
bersinggungan dengan korupsi di bidang pengadaan barang dan
jasa, sehingga masyarakat atau pihak-pihak terkait memahami
pencegahan dan/atau penindakan tindak pidana korupsi
10
pengadaan barang dan jasa oleh penegak hukum khususnya
Kejaksaan Negara Republik Indonesia.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau
dalam bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan
sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan
pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum
dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan
publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang
penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian
hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada
upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat
(warga negara)4.
Dilihat dari kedua istilah tersebut, maka istilah kebijakan
hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum
pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini
sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy,
criminal law policy atau staftrechtspolitiek.
4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti (Bandung, 2010), hlm : 23-24.
12
Definisi kebijakan hukum pidana dapat diartikan yaitu cara
bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk
menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu,
terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui
bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap
negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu
upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui
suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.5
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat
dari politik hukum pidana maupun politik kriminal. Menurut Sudarto,
politik hukum adalah :6
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang
baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy (Kebijakan
Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
5 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya (Yogyakarta, 1999), hlm : 10 6 Barda Nawawi Arief, Op Cit, hlm : 24.
13
pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga
kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 7
Politik hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan
menyeleksi atau melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi
terhadap suatu perbuatan. Disini tersangkut persoalan pilihan-
pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak
pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternatif
yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana
pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik hukum
pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau
menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai
tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah
salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar
legitimasi bagi tindakan yang represif negara terhadap seseorang
atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan
sebagai tindak pidana.8
Politik hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas
yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara
melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan
keputusan atau pemilihan melalui seleksi diatara berbagai alternatif
yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana
mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan
tersebut, disusun berbagai kebijakan yang berorientasi pada
7 Ibid, hlm : 23.
8 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana ; Reformasi Hukum, PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia (Jakarta, 2008), hlm : 58-59
14
berbagai masalah pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang
bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggung jawaban
pidana dan berbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana
maupun tindakan).9
2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Ruang Lingkup kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui
tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum
pidana yang terdiri dari 10:
1. Kebijakan formulatif / legislatif, yaitu tahap
perumusan/penyusunan hukum pidana;
2. Kebijakan aplikatif / yudikatif, yaitu tahap penerapan
hukum pidana;
3. Kebijakan administratif / eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan
hukum pidana.
Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem
hukum pidana. Mengenai sistem hukum pidana akan penulis uraikan
pada bagian selanjutnya. Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan
proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab
itu, kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi /
operasionalisasi / funsionalisasi hukum pidana material
9 Muladi dalam Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media
(Yogyakarta, 2009), hlm : 45-46. 10
Barda Nawawi Arief, Op Cit, hlm : 24.
15
(substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan
hukum pelaksanaan pidana.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat
(lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya
merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan
(policy).Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana
penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga
tahap, yakni :11
1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah
kriminalisasi yaitu perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana
dan penalisasi yaitu sanksi apa yang sebaiknya dikenakan pada si
pelaku tindak pidana. Kriminalisasi dan penaliasi menjadi masalah
sentral yang untuk penanganannya diperlukan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi
(criminalisation) mencakup lingkup perbuatan melawan hukum (actus
reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea) maupun sanksi yang
dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan
11
Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group (Jakarta, 2007), hlm : 78-
79
16
(treatment). Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan
sampai menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimum
remedium (ultima ratio principle) dan menjadi bumerang dalam
kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan (oever
criminalisation), yang justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi
dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah
pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan
dan penuntutan.12
Pada tahap selanjutnya, hukum yang telah dipilih sebagai
sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berwujud peraturan perundang-undangan melalui
aparatur negara, maka perlu ditindaklanjuti usaha pelaksanaan hukum
itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Pada
tahap ini termasuk ke dalam bidang penegakan hukum, dalam hal ini
perlu diperhatikan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem
hukum yaitu struktur, substansi dan kultur.13
12 Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1
No. 3 tanggal 22 Agustus 2003, hlm : 1-2 13
Lihat Hakristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum : Menuju Upaya Sinergistis untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan, Jurnal Keadilan Vol. 3, No.6 Tahun
2003/2004.
17
B. Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana sangat erat kaitannya dengan
kebijakan hukum pidana, hal ini dapat diketahui bahwa baik sistem
peradilan pidana maupun kebijakan hukum pidana akan bermuara
kepada proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh.
Oleh sebab itu, kebijakan hukum pidana diarahkan pada
konkretisasi / operasionalisasi / funsionalisasi hukum pidana
material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana)
dan hukum pelaksanaan pidana.
Sistem Peradilan Pidana atau dalam hal ini Tahapan proses
peradilan pidana menurut KUHAP dibagi dalam beberapa tahapan
tersebut yaitu: (1) Pra Ajudikasi (tahap pemeriksaan pendahuluan
terdiri dari tahapan penyelidikan, penyidikan, dan proses
penuntutan) (2) Ajudikasi (tahap pemeriksaan perkara di
pengadilan) (3) Pasca Ajudikasi (tahap sesudah persidangan adalah
tahapan pelaksanaan putusan Hakim).14
1. Tahap Pra-Ajudikasi
Tahap praajudikasi, sebagai tahap pertama adalah proses
penyelidikan, penyidikan (pemeriksaan pendahuluan),
”penyidikan lanjutan”, prapenuntutan dan penuntutan. Lembaga-
lembaga peradilan pidana yang terlibat pada tahap ini adalah
14 M. Syukri Akub dan Baharuddin baharu, Wawasan Due Process Of Law Dalam
Sistem Peradilan Pidana. Rangkang Education (Yogyakarta, 2012), hlm : 197.
18
lembaga kepolisian dan kejaksaan. Di dalam penggarapan
tugasnya, masing-masing lembaga itu harus tetap menyadari,
bahwa kedudukan mereka sama-sama sebagai suatu sub
sistem yang haus bersinergi dalam sistem peradilan pidana.
2. Tahap Ajudikasi
Tahap ajudikasi, sebagai tahap kedua adalah tahap
pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim, untuk
menentukan apakah suatu kejahatan (tindak pidana) telah
terjadi, dan apakah terdakwa yang terbukti bersalah telah
melakukan perbuatan tersebut.
3. Tahap Pasca Ajudikasi
Tahap pasca ajudikasi sebagai tahap purna dalam proses
peradilan pidana, atau tahap setelah pemerikasaan di sidang
pengadilan, adalah tahap pelaksanaan putusan pengadilan baik
yang berupa pemidanaan atau tidak, oleh aparat pelaksana
putusan pengadilan.
Dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan kepada
tahap pra ajudikasi. Hal ini berkaitan dengan penyidikan yang
dilakukan oleh Kejaksaan dalam hubungannya dengan kebijakan
hukum pidana di bidang pengadaan barang dan jasa.
Pra Ajudikasi mengambil tempat yang paling dominan dalam
sistem peradilan pidana. Hal ini sebagaimana didasarkan pada
19
kebijakan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia yang melihat bahwa tindak pidana korupsi berupa tindak
pidana administrasi korupsi tidak lah diselesaikan secara penal.
Akan tetapi, ditempuh melalui jalur selain penal (pidana).
Hal ini tentu sangat bertentangan dengan Undang-undang
korupsi yang merupakan kebijakan hukum pidana yang dikeluarkan
oleh legislatif yang melihat bahwa korupsi merupakan premium
remedium dan penyelesaiannya dilakukan secara luar biasa.
C. Tindak Pidana Administrative Corruption dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Kontrak pengadaan barang dan jasa pemerinah dikatakan
sesuai dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 apabila telah
memenuhi seluruh proses pengadaan barang/jasa pemerintah,
harus memenuhi prosedur yang diatur dalam undang-undang
tersebut serta memenuhi syarat terjadinya kontrak. Dalam
pelaksanaannya Kontrak pengadaan barang/jasa perlu dilakukan
pengawasan atau audit pengadaan barang/jasa (APBJ) agar tidak
terjadi penyimpangan dalam pembuatan kontrak maupun
pelaksanaan kontrak. Ruang lingkup APBJ adalah seluruh
kegiatan pengadaan barang/jasa sesuai dengan pasal 2 Perpres
No.70 Tahun 2012 yaitu pengadaan yang pembiayaannya
sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD; yang
sebagian atau seluruhnya dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri
20
(PHLN); dan pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan
BI/BHMN/BUMN/ BUMD yang pembiayaannya sebagian atau
seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD. Dasar hukum
pengadaan barang dan jasa adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
b. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
c. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.
d. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.
e. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005 Tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
f. Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kelima atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.
g. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.
h. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Adapun mekanisme pengadaan barang dan jasa asalah
sebagai berikut:
Di dalam peraturan presiden ini diuraikan secara jelas,
tegas dan gambling tentang segala sesuatu yang menyangkut
pengadaan barang / jasa pemerintah, salah satunya adalah
21
tentang tahapan kegiatannya. Khusus untuk pelelangan umum
pemilihan penyedia barang / pekerjaan konstruksi / jasa lainnya
dengan pascakualifikasi sebagaimana yang dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Malang dapat dilihat pada huruf c pasal 57
yang tahapan pelaksanaannya diatur sebagai berikut:
1. pengumuman
2. pendaftaran dan pengambilan dokumen pengadaan
3. pemberian penjelasan
4. pemasukan dokumen penawaran
5. pembukaan dokumen penawaran
6. evaluasi penawaran
7. evaluasi kualifikasi
8. pembuktian kualifikasi
9. pembuatan berita acara hasil pelelangan
10. penetapan pemenang
11. pengumuman pemenang
12. sanggahan
13. sanggahan banding (apabila diperlukan), dan
14. penunjukkan penyedia barang/jasa.
Setelah semua tahapan tersebut dilaksanakan oleh pantia,
maka kegiatan selanjutnya adalah:
1. pembuatan SBPPK oleh Pejabat Pembuat Komitment (diatur dalam pasal 85).
2. penandatanganan kontrak (diatur dalam pasal 86)
3. pembayaran uang muka (diatur dalam pasal 88)
4. pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
5. Serah terima pekerjaan (diatur dalam pasal 95).
22
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan
jasa adalah sebagai berikut:
1. Pengguna Anggaran: Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD.
2. Kuasa Pengguna Anggaran: pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD.
3. Unit Layanan Pengadaan: unit organisasi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. (Perpres 70/2012)
4. Pejabat Pengadaan: personil yang ditunjuk untuk melaksanakan Pengadaan Langsung.
5. Pejabat Pembuat Komitmen: pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
6. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan: panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.
7. Penyedia Barang/Jasa: badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya.
Tindak pidana korupsi dalam perkembangannya telah
memiliki banyak modus, seperti halnya korupsi di bidang
pengadaan barang dan jasa. Tindak pidana ini tergolong ke dalam
administrative corruption. Untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya administrative corruption tersebut, maka terlebih
dahulu akan dijelaskan pengertian dari tindak pidana korupsi.
Dalam kamus istilah hukum Latin Indonesia (Adiwinata,
1997:30) bahwa korupsi berasal dari perkataan corruptio yang
23
berarti kerusakan atau dapat juga diartikan sebagai bentuk
penyogokan. Sedangkan menurut Sudarto (1986:115) :
Perkataan korupsi semula hanyalah bersifat umum dan baru menjadi istilah hukum untuk pertama kalinya adalah di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/ PM/06/1957 tentang pemberantasan korupsi.
Pengertian yang dikemukakan di atas masih dalam bentuk -
bentuk umum artinya secara khusus pengertiannya belum tercakup
secara menyeluruh baik dalam kamus istilah hukum latin Indonesia
dan dalam peraturan Penguasa Militer seperti dikemukakan oleh
Sudarto.
Menurut A. Hamzah (2012:4) pengertian tindak pidana
korupsi jika diartikan secara harfiah yaitu:
Kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan menghina atau memfitnah.
Dari pengertian di atas, maka tindak pidana korupsi tidak
terbatas pada suatu tindakan seorang pejabat tetapi juga
mencakup persoalan moral serta masalah ucapan seseorang.
Menurut Leden Marpaung (1992:149) pengertian tindak
pidana korupsi dalam arti luas yaitu:
Perbuatan seseorang yang merugikan keuangan negara dan yang membuat aparat pemerintah tidak efektif, efisien, bersih dan berwibawa.
24
Pengertian Tindak Pidana Korupsi juga dapat ditemukan
pada Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976), :
“Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya”.
Adapun pengertian tindak pidana korupsi secara yuridis
formal atau yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan
antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga diberikan
pengertian tindak pidana korupsi, di mana dalam ketentuan
tersebut menekankan :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
2. Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
suatu badan atau suatu korporasi menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
25
3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387,
Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,
Pasal 420, Pasal 423 serta Pasal 435 KUHP dan juga Pasal
5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11
dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
4. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat kekuasaannya atau
wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukan
tersebut.
5. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang
yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi.
6. Setiap orang melakukan percobaan, pembantuan, atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
7. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia
yang memberikan bantuan, kesempatan sarana atau
keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi.
Jika melihat redaksi dari Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
26
maka terdapat perubahan dari ketentuan yang ada
sebelumnya karena dianggap bahwa semakin canggihnya dan
rumit kejahatan ini, sehingga diperlukan pengaturan lebih
khusus untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi.
b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengertian tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 yang mengubah Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
tidak mengalami perubahan berarti hanya saja dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak lagi mengacu pada
ketentuan KUHP, melainkan langsung menyebut unsur-unsur
yang terdapat dalam undang-undang Korupsi baru ini. Adapun
rumusan pasal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah :
a) Tindakan seseorang atau badan hukum melawan hukum
b) Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang.
c) Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang
lain.
d) Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian
Negara atau patut diduga merugikan keuangan dan
perekonomian negara.
27
e) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dengan maksud supaya
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya.
f) Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
g) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili.
h) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
i) Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan
terjadinya perbuatan curang tersebut.
j) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus
28
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
k) Dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya dan membiarkan orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut serta membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
l) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.
29
Istilah tindak pidana administrative Corruption dalam tindak
pidana korupsi, khususnya yang diatur dalam Undang-undang
korupsi di atas, istilah tersebut tidak dapat ditemukan sama sekali.
Akan tetapi, istilah tindak pidana administrative corruption oleh
penulis menggolongkannya ke dalam bagian dari tindak pidana
korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa.
Istilah korupsi sendiri, terdapat berbagai macam literatur
yang menulis tentang istilah-istilah korupsi. Akan tetapi, penulis
hanya akan membahas tentang istilah tindak pidana administrative
corruption dalam pengadaan barang dan jasa. Sebagaimana telah
diuraikan bahwa terdapat perbedaan jenis-jenis korupsi. Menurut
World Bank (Marwan, 2013:56), dalam praktek dikenal dua bentuk
korupsi yaitu:
a. Administrative Corruption
Dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai
dengan hukum/peraturan yang berlaku, akan tetapi ada individu-
individu tertentu yang berupaya memanfaatkan memperkaya diri
atau mencari keuntungan dari situasi yang ada. Sebagai contoh
dalam pelaksanaan pelelangan, seakan-akan sudah sesuai
dengan aturan, padahal pemenang lelang sudah ada dan sudah
ditentukan terlebih dahulu, meski kemudian tetap diumumkan.
30
b. Against The Rule Corruption
Korupsi yang dilakukan sepenuhnya bertentangan
dengan hukum, seperti penerima suap, pemerasan,
memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi lain secara melawan hukum atau dengan
perbuatan penyalahgunaan jabatan.
Pendapat yang sama dikemukakan Darwin Prinst (2002:10),
dalam praktek dikenal korupsi dalam dua bentuk, yaitu:
a. Administrative corruption
Dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai
dengan hukum peraturan yang berlaku. Akan tetapi, individu-
individu tertentu memperkaya dirinya sendiri. Misalnya proses
rekruitmen pegawai negerti, di mana dilakukan ujian seleksi
mulai dari seleksi administratif sampai ujian pengetahuan atau
kemampuan. Akan tetapi, yang harus diluluskan sudah tertentu
orangnya.
b. Against The Rule Corruption
Artinya korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya
bertentangan dengan hukum. Misalnya penyuapan,
penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi.
31
Terdapat pendapat yang berbeda dari kedua pendapat di
atas, melihat bahwa kedua jenis korupsi tersebut, sebenarnya
termasuk korupsi administrasi. Menurut Jeremy Pope (Jawade
Hafidz, 2013:101), bahwa ada dua kategori yang sangat berbeda
mengenai korupsi administrasi, yakni sebagai berikut:
a. Korupsi yang terjadi dalam situasi, misalnya jasa atau kontrak
“sesuai peraturan yang berlaku”. Dalam situasi ini, seorang
pejabat mendapat keuntungan pribadi secara ilegal karena
melakukan sesuatu yang memang sudah kewajibannya untuk
melaksanakan sesuai dengan undang-undang.
b. Korupsi yang terjadi dalam situasi transaksi berlangsung secara
“melanggar peraturan yang berlaku”. Dalam situasi ini, suap
diberikan untuk mendapatkan pelayanan dari pejabat yang
menurut undang-undang dilarang memberikan pelayanan
bersangkutan.
Dari pendapat di atas, penulis dalam hal ini cenderung
menggunakan pendapat Jeremy Pope, alasan yang mendasar
bahwa administrative corruption sebagaimana pengkategorian di
atas, sebenarnya pengadaan barang dan jasa termasuk ke dalam
golongan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan jasa atau
kontrak yang apabila ditelusuri pengadaan barang dan jasa sangat
berkaitan dengan kontrak antara Pemerintah dan Pihak Swasta.
32
D. Pengertian, Tugas dan Wewenang Kejaksaan
1. Pengertian Kejaksaan
Kejaksaan RI adalah Lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta
kewenangan lainnya berdasarkan undang-undang.15 Sebagai
badan berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan,
Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung,
Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan
Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang
penuntutan dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang
utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia dijelaskan bahwa kejaksaan adalah Lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Dan melaksanakan kekuasan Negara secara merdeka. Yang
dimaksud secara merdeka disini adalah kejaksaan dalam
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya.
15
Sudarto, Hukum Pidana I, Cet. Ke-2, Semarang : Yayasan Sudarto, 1990, hal. 10.
33
Dalam pelaksanaan kekuasaan negara khususnya di
bidang penegakan hukum diselenggarakan oleh Kejaksaan
Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri, dan masing-
masing tingkatan Kejaksaan mempunyai wilayah hukum.
Kejaksaan Agung yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik
Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan
negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi berkedudukan di
ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi,
Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota dan Cabang
kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota kecamatan tertentu
yang terdiri beberapa kecamatan yang jauh dari ibu kota
kabupaten dan daerah hukumnya meliputi beberapa wilayah
kecamatan.
2. Pengertian Penuntut Umum
Dalam Undang-undang R.I Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana sangat jelas diuraikan bahwa Penuntut
Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
Adapun tugas dan wewenangnya, yaitu:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
34
b. Mengadakan prapenututan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 Ayat
(3) dan Ayat (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidik dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun terhadap saksi,
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan umum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang –
undang ini;
j. Melaksanakan penetapan hakim.
3. Tugas dan Wewenang Kejaksaan
Dalam ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara, istilah “kekuasaan” dan “wewenang” terkait erat dengan
pelaksanaan fungsi pemerintahan.
35
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
“wewenang” memiliki arti :
1. Hak dan kekuasaan bertindak; kewenangan 2. Kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain, 3. Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan
Sedangkan “kewenangan” memiliki arti :
1. Hal berwenang 2. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu
Soerjono Soekanto menguraikan bahwa beda antara kekuasaan
dan wewenang adalah bahwa setiap kemampuan untuk memengaruhi
pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah
kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang
mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.
Menurut Bagir Manan, “kekuasaan” (macht) tidak sama artinya
dengan “wewenang”. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat
atau tidak berbuat. Wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban.
Wewenang menurut Stout adalah keseluruhan aturan-aturan yang
berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang
pemerintah oleh subjek hukum publik dan hubungan hukum publik.
Kemudian Nicholai memberikan pengertian tentang kewenangan yang
berarti kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu
(tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan
mencakup timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu).16
16 Romi Librayanto, 2008, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP-Indonesia, Makassar, hlm 61-63.
36
Wewenang dalam bahasa inggris disebut Authority.
Kewenangan adalah otoritas yang dimiliki suatu lembaga untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Menurut Roobert
Bierttedt, bahwa wewenang adalah institutionalized power (kekuasaan
yang dilembagakan). Sementara itu, menurut Mirriam Budiarjo
wewenang adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku
pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir sesuai
dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Sementara itu, Marbun memberikan pengertian berbeda antara
kewenangan dan wewenang. Menurutnya, kewenangan (authority,
gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan
orang tertentu maupun terhadap sesuatu bidang secara bulat.
Sedangkan wewenang (competence, bevoedheid) hanya mengenai
bidang tertentu saja. Dengan demikian, kewenangan kumpulan dari
wewenang-wewenang (rechtsbevoegeden). Menurutnya, wewenang
adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik
atau kemampuan bertindak yang diberikan peraturan perundang-
undangan untuk melakukan hubungan hukum. Sedangkan
kewenangan dalam konteks penyelenggaraan negara terkait pula
dengan paham kedaulatan (souveregnity). Dalam konteks wilayah
hukum dan kenegaraan, orang yang berjasa memperkenalkan
37
gagasan-gagasan kedaulatan adalah Jean Bondin dan setelah itu
dilanjutkan oleh Hobbes.
Terkait dengan sumber kekuasaan atau kewenangan,
Aristoteles menyebut hukum sebagai sumber kekuasaan. Dalam
pemerintahan yang berkonstitusi hukum haruslah menjadi sumber
kekuasaan bagi para penguasa agar pemerintahan terarah untuk
kepentingan, kebaikan, dab kesejahtraan umum. Dengan meletakkan
hukum sebagai sumber kekuasaan, para penguasa harus
menaklukkan diri di bawah hukum. Pandangan ini berbeda dengan
pandangan pendahulunya, Plato, yang meletakkan pengetahuan
sebagai sumber kekuasaan, karena menurut Plato, pengetahuan dapat
membimbing dan menuntun manusia ke pengenalan yang benar.
Karena itu, jika dilihat dari sifatnya, Marbun berpendapat bahwa
wewenang pemerintah dapat dibedakan atas exprerssimlied, fakultatif
dan vrij bestuur. Wewenang pemerintahan yang bersifat exprerssimlied
adalah wewenang yang jelas maksud dan tujuannya, terikat pada
waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan
hukum tidak tidak tertulis, isinya dapat bersifat umum dan dapat pula
bersifat individual konkrit. Wewenang pemerintahan bersifat fakultatif
wewenang yang yang peraturan dasarnya menentukan kapan dan
dalam keadaan yang bagaimana suatu wewenang dapat
dipergunakan. Wewenang pemerintahan yang bersifat vrij bestuur
adalah wewenang yang peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup
38
yang longgar kepada pejabat tata usaha negara untuk
mempergunakan wewenang yang dimilikinya. 17
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, (1) atribusi
yakni pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang
kepada organ pemerintahan, (2) delegasi yakni pelimpahan wewenang
pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ
pemerintah lainnya dan (3) mandat yakni kewenangan yang terjadi
ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan
oleh organ lain.
Berdasarkan keterangan tersebut diatas, tampak bahwa
wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal
dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ
pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi
pasal tertentu dari suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal
atribusi, penerima kewenangan dapat menciptakan wewenang baru
atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab
intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan
sepenuhnya berada pada penerima wewenang. Pada delegasi tidak
ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan wewenang
dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggungjawab yuridis
17 Fajlurrahman Jurdi, Skripsi : “Hubungan Kewenangan Antara Komisi Yudisial Dengan Mahkamah Agung”, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar,
39
tidak lagi berada pada pemberi delegasi, tetapi beralih kepada
penerima delegasi. Sementara itu pada mandat, penerima mandat
hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, tanggungjawab
akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi
mandat. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat ini bukan
pihak lain dari pemberi mandat. 18
Mengenai wewenang kejaksaan yang diatur dalam Undang
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
terdapat beberapa bidang di antaranya bidang pidana, perdata dan
tata usaha negara serta bidang ketertiban dan kesejahteraan umum
namun penulis hanya membatasi pada persoalan kewenangan di
bidang pidana. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam bidang pidana
diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis :
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan
lepas bersyarat;
18 Ibid, hlm 108-109
40
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 Ayat (1) dapat kita
lihat bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan memang sangat
menentukan dalam membuktikan apakah seseorang atau
korporasi terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak.
Selain tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 30 Ayat (1),
maka dimungkinkan pula Kejaksaan diberikan tugas dan
wewenang tertentu berdasarkan Undang-Undang yang lain selain
Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia misalnya dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme. Hal ini diatur dalam
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis :
“Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang”.
Dalam hal penuntutan pihak Kejaksaan sebagai Penuntut
Umum setelah menerima berkas atau hasil penyidikan dari
41
penyidik segera setelah menunjuk salah seorang jaksa untuk
mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya
diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (KAJARI). Menurut
Leden Marpaung (1992:19-20) bahwa ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam proses penuntutan yaitu :
a. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena
ternyata belum lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan
dilakukan penyidik (pra penuntutan)
b. Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas
c. Hasil penyidikan telah lengkap tetapi tidak terdapat bukti cukup
atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan
selanjutnya disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika saran
disetujui maka diterbitkan surat ketetapan. Atas surat
ketetapan dapat diajukan pra peradilan.
d. Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat diajukan ke
pengadilan Negeri. Dalam hal ini KAJARI menerbitkan surat
penunjukan Penuntutan Umum. Penuntut umum membuat
surat dakwaan dan setelah surat dakwaan rampung kemudian
dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada
Pengadilan Negeri.
Selain tugas dan wewenang Kejaksaan yang diatur dalam
Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
42
Indonesia, juga di dalam KUHAP diatur tugas dan kewenangan
tersebut. Berdasarkan hal tersebut menurut Djoko Prakoso
(1988:23-25) dapat diinventarisir kewenangan yang diatur dalam
KUHAP tersebut sebagai berikut :
a. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik
telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana (Pasal 109 Ayat (1)) dan
pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik pegawai
negeri sipil yang dimaksud oleh Pasal 6 Ayat (1) Huruf b
mengenai penyidikan dihentikan demi hukum.
b. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama
dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 Ayat (3) Huruf
a dan b. dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima
berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).
c. Mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 Huruf b) dengan
memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 Ayat (3), (4) dan
Pasal 138 Ayat (1) dan (2).
d. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 Ayat (2),
melakukan penahanan rumah (Pasal 22 Ayat (2), penahanan
kota (Pasal 22 Ayat (3)), serta mengalihkan jenis penahanan
(Pasal 23).
43
e. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan
penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan
dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang
ditentukan (Pasal 31).
f. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak
atau membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan
sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh
kekuatan hukum yang tetap atau mengamankannya dengan
disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45 Ayat (1)).
g. Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara
penasehat hukum dengan tersangka sebagai akibat
disalahgunakan haknya (Pasal 70 Ayat (4)) dan mengawasi
hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa
mendengar isi pembicaraan (Pasal 71 Ayat (1)) dan dalam hal
kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengar isi
pembicaraan tersebut (Pasal 71 Ayat (2)).
h. Meminta dilakukan pra peradilan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk menerima sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini
adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran
melalui sarana pengawasan secara horizontal.
44
i. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari
oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk
mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang
berwenang (Pasal 91 Ayat (1)).
j. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah
memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke
pengadilan (Pasal 139).
k. Mengadakan tindakan lain antara lain meneliti identitas
tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas
batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum
dan pengadilan (Pasal 14 Huruf i).
l. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu
secepatnya ia membuat surat dakwaan (Pasal 140 Ayat (1)).
m. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140
Ayat (2) Huruf a.
n. Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan
dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 Ayat (2) Huruf d).
o. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam
satu surat dakwaan (Pasal 141).
45
p. Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu
berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang
dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142).
q. Melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan disertai
surat dakwaan beserta berkas perkara (Pasal 143 Ayat (1).
r. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 Ayat (2).
s. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan
penuntutan, penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan
sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-
lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144).
Keseluruhan tugas dan kewenangan pihak Kejaksaan baik
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan Republik Indonesia maupun KUHAP,
semuanya dapat digunakan oleh pihak Kejaksaan dalam usaha
penegakan hukum tanpa terkecuali dan berdasarkan tugas dan
wewenang yang dimiliki oleh kejaksaan, maka dapat dilihat
bahwa antara penyidik, penuntut umum dan hakim dalam rangka
melaksanakan penegakan hukum di bidang pidana ini dapatlah
dikatakan sebagai rangkaian kegiatan yang satu sama lain saling
menunjang.
46
E. Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Korupsi
Pada Pasal 1 angka 1 UU No 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa “Jaksa adalah
pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penyidik, penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta
wewenang lain berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004”. Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus
bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.19
Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga negara yang
merupakan aparat pemerintah yang berwenang melimpahkan
perkara pidana, menuntut pelaku tindak pidana di pengadilan dan
melaksanakan penetapan dan putusan hakim pidana, kekuasaan
ini merupakan ciri khas dari kejaksaan yang membedakan dengan
lembaga-lembaga atau badan-badan penegak hukum lain. Selain
itu dalam tindak pidana umum, Jaksa hanya bertindak sebagai
penuntut umum, lain halnya dalam tindak pidana khusus dimana
Jaksa berperan dan bertindak sebagai penyidik dan penuntut
umum. Sebagai penyidik maka diperlukan suatu keahlian dan
ketrampilan yang khusus untuk mencari dan mengumpulkan bukti
sehingga dapat diketemukan tersangkanya. Pada dasarnya,
19
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 22.
47
penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan awal
dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana
korupsi.20
Kewenangan jaksa sebagai penyidik telah ada pada saat
Herzien Inlandsch Reglement (HIR), berlaku di Indonesia sebagai
hukum acara pidana. Penyidikan dianggap sebagai bagian dari
penuntutan, sehingga kewenangan yang demikian menjadikan
penuntut umum / jaksa sebagai koordinator penyidikan bahkan
jaksa dapat melakukan sendiri penyidikan. Setelah dicabutnya HIR
karena tidak sesuai lagi dengan cita - cita hukum nasional, dan
digantikan dengan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau yang dikenal dengan Kitab Undang -
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan jaksa sebagai
penyidik masih tetap ada, walaupun pengertian penyidik dalam
pasal 6 KUHAP tidak menyebutkan jaksa melainkan polisi negara
Republik Indonesia.
Kewenangan jaksa sebagai penyidik setelah berlakunya
KUHAP hanya terbatas pada tindak pidana yang bersifat khusus
saja, yaitu korupsi. Kewenangan jaksa dalam melakukan
penyidikan untuk tindak pidana yang bersifat khusus banyak
menjadi batu sandungan bagi lembaga kejaksaan, karena karena
20 Fidel Angwarmasse, Peranan Kejaksaan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, diakses tanggal 25 September 2015
48
kewenangan tersebut seakan- akan mengambil alih tugas Polri
sebagai penyidik tindak pidana, dan Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagai lembaga yang juga berwenang melakukan
penyidikan terhadap kasus korupsi. Sehingga kewenangan jaksa
untuk melakukan penyidikan atau sebagai penyidik selain tugas
utamanya adalah penuntut umum dipertegas dan jelas dalam
berbagai peraturan perundang-undangan serta berbagai keputusan
dan surat-surat edaran.
Adapun kewenangan jaksa selaku penyidik tindak pidana
khusus korupsi, diatur, ditentukan dan dapat dilihat seperti apa
kewenangan yang diberikan itu dalam berbagai peraturan
perundangan-undangan dan sebagainya. Kewenangan kejaksaan
dalam lingkup peradilan dipertegas dalam KUHAP, di mana posisi
kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan
pidana, dalam perkara tindak pidana khusus, yang dalam hal ini
adalah tindak pidana korupsi kejaksaan diberikan kewenangan
untuk menyidik perkara tersebut. Dalam Pasal 284 (2) ketentuan
peralihan KUHAP berbunyi “ dalam waktu dua tahun setelah
undang - undang ini di undangkan, maka terhadap semua perkara
diberlakukan ketentuan undang - undang ini, dengan pengecualian
untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang undang tertentu, sampai ada
perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Yang dimaksud
49
dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undang - undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana yang tersebut pada, antara lain : Undang –
undang tentang Pengusutan, Penuntutan, Tindak Pidana Ekonomi
(Undang - undang darurat Nomor 7 Tahun 1955) dan Undang –
undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang –
undang Nomor 3 Tahun 1977).
Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana
berbunyi “ penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana yang tersebut pada Undang - undang tertentu
sebagaimana dimaksud pada pasal 284 ayat (2) KUHAP
dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang
berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang undangan.
Pasal 30 (d) Undang - undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, dalam tugas dan wewenangnya
berbunyi “ dibidang pidana kejaksaan, melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang.
Dengan penjelasannya bahwa kewenangan dalam ketentuan
ini adalah sebagaimana diatur misalnya dalam Undang – undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan hak Asasi Manusia dan
Undang – undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang
50
undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penegasan tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan
Umum Undang – undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
RI “kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak
pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa
ketentuan undang - undang yang memberikan kewenangan
kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang -
undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan hak Asasi
Manusia dan Undang - undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang - undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang -
undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 11 ayat (2) Undang - undang Nomor 19 Tahun 2000
tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
berbunyi “penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dibebankan kepada Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dan
Jaksa”. Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9 huruf f Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 8 ayat (2) berbunyi “
dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil
51
alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan”.
Pasal 8 ayat (3) berbunyi “ dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian
atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas
perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam
waktu paling lama 14 (empat belas hari) hari kerja, terhitung sejak
tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Pasal 8 ayat (4) berbunyi “ Penyerahan sebagaimana
dimaksud dalam pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas
dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan
tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dengan
catatan bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan harus
dengan alasan - asalan tertentu.
Pasal 44 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “
dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa
perkara tersebut diteruskan, KPK melaksanakan penyidikan sendiri
atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik
Kepolisian atau Kejaksaan. Dan ayat (5) berbunyi “ dalam hal
penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan
52
wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan
penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Selanjutnya, kewenangan jaksa selaku penyidik tindak pidana
korupsi, ditentukan dan ditegaskan dalam Peraturan Presiden RI
Nomor : 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan RI yang kemudian dilaksanakan dengan Peraturan
Jaksa Agung RI Nomor : PER-009/A/JA/01/2011 tanggal 21 januari
2011. Pasal 21 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden RI Nomor 38
tahun 2010, menyebutkan:
(1) Jaksa Agung Muda bidang tindak pidana khusus
mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan tugas dan
wewenang kejaksaan dibidang tindak pidana korupsi.
(2) Lingkup bidang tindak pidana khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penyelidikan, penyidikan,
prapenuntutan, pemeriksaaan tambahan, penuntutan, upaya
hukum, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, eksaminasi serta
pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat dan
keputusan lepas bersyarat dalam perkara tindak pidana khusus
serta tindak pidana lainnya”.
Tap MPR RI No. XI/ MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang bersih dan bebas, dari KKN. Jo. Intruksi Presiden No.
53
30 Tahun 1998 tanggal 2 Desember 1998 tentang Pemberantasan
KKN, yang berisi antara lain : Presiden menginstruksikan kepada
Jaksa Agung untuk : Pertama segera mengambil tindakan proaktif,
efektif, dan efisien dalam membrantas korupsi, kolusi dan
nepotisme guna memperlancar dan meningkatkan pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka terwujudnya tujuan nasional
bangsa Indonesia, dst.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN,
yang berisi antara lain Kewenangan Jaksa sebagai penyidik
tercantum dalam Pasal 1,12,17,18, 20,20,21 dan 22 beserta
penjelasannya.
Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1999 tanggal 30 Juli 1999
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dimana
dalam Pasal 17 disebutkan bahwa Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan,
penyelidikan, penyidikan, pemeriksa tambahan, penuntutan,
pelaksanaan penetapan Hakim dan putusan pengadilan,
pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan
tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak
pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Jaksa Agung. Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Nomor
54
55 Tahun 1991 tentang susunan organisasi dan telah kerja
Kejaksaan Republik Indonesia, ditegaskan Kejaksaan mewakili
kepentingan dari negara atau pemerintah dan masyarakat
berdasarkan jabatan maupun kuasa khusus.
Instruksi Presiden RI No. 15 tahun 1983 dan Keppres RI No.
15 Tahun 1991 yang pada pokoknya ditentukan bahwa dalam
pedoman pelaksanaan pengawasan, Para Menteri / Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non-Depertemen / Pimpinan Instansi lainnya
yang bersangkutan setelah menerima laporan, melakukan
pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala
Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak
pidana khusus, seperti korupsi.
Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi No. R-
124/F/Fpk.1/7/1995 tanggal 24 Juli 1995 dalam angka 2
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1604/K/Pid/1990
tanggal 10 November 1994 dalam perkara Tindak Pidana Korupsi
yang telah ditolak Majelis Hakim dengan alasan bahwa berkas
perkara tidak lengkap, oleh karena perkaranya disidik Penyidik
Umum / Polri dan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 55
Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
RI yang terakhir diubah dengan Keppres No. 86 Tahun 1999 pada
Bab II Bagian Pertama Pasal 4 angka 6 adanya jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus yang pada Pasal 22 angka 3 Keppres 86
55
Tahun 1999 membawahi Direktorat Tindak Pidana Korupsi dan
Keputusan Jaksa Agung RI No. KEPJA-035/J.A/3/1992 tanggal 22
Maret 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
Republik Indonesia, yang kemudian diubah dengan Keputusan
Jaksa Agung RI No.KEPJA-115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober
1999, dan diubah kembali dengan keputusan Jaksa RI No. KEPJA-
558/J.A/XII/2003 tanggal 17 Desember 2003 pada Bab XVIII
Bagian Pertama Pasal 569 tentang Kejaksaan Negeri yang dalam
Pasal 573 angka 6 Susunan Organisasi Kejaksaan Tinggi adalah
Asisten Tindak Pidana Khusus yang terdiri dari Seksi Tindak
Pidana Korupsi ( Pasal 627 ayat (1) angka 2 ). Untuk tingkat
Kejaksaan Negeri yang tergolong Tipe A Pasal 692 ayat (1) angka
5 salah satu bagian adalah Seksi Tindak Pidana Khusus dan
berdsarkan Pasal 708 ayat (1) angka 2, salah satu sukseksi Tindak
Pidana Korupsi dan pada Kejaksaan Negeri Tipe B berdasarkan
Pasal 718 ayat (1) angka 5 adalah Seksi Tindak Pidana Khusus,
Perdata dan Tata Usaha Negara.
Pasal 27 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan : Dalam hal
ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka
dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.
(catatan : pasal tersebut dicabut dengan Pasal 71 Undang - undang
56
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ).
Surat Edaran Nomor : SE-001/A/JA/01/2010 tanggal 13
Januari 2010 tentang pengendalian penanganan perkara tindak
pidana korupsi, isinya antara lain : - Perkara tindak pidana korupsi
yang ditangani oleh kejaksaan negeri dengan nilai kerugian negara
Rp. 5 milyar kebawah, termasuk kebijakan penghentian penyidikan
dan penuntutan pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh
kepala kejaksaan negeri. - Perkara tindak pidana korupsi dengan
nilai kerugian negara /perekonomian negara diatas Rp. 5 milyar
termasuk kebijakan penghentian penyidikan dan penuntutan,
pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh kepala
kejaksaan tinggi. - Perkara tindak pidana korupsi yang menarik
perhatian masyarakat dan berdampak nasional atau internasional
atau karena hal tertentu yang mendapat atensi dari pimpinan,
pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kejaksaan
Agung RI.
Keputusan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor
: KEP- 002/F/Fjp/03/2010 tanggal 24 Maret 2010 tentang
Pengangkatan Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana
Korupsi (PPTPK) divisi penyelidikan / penyidikan, terdiri dari orang,
terbagi dalam : Sektor perbankan dan keuangan, Sektor
pengadaan barang dan jasa I dan II, Sektor pelayanan umum dan
57
sektor lainnya. Yang tugas utamanya melakukan penyelidikan dan
penyidikan perkara tindak pidana korupsi, dengan pengendali
direktur penyidikan.
Keputusan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor
: Kep- 015/F/Fjp/11/2010 tanggal 24 Nopember 2010 tentang
Pengangkatan Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana
Korupsi (PPTPK) Divisi Penyelidikan terdiri dari 24 orang jaksa
yang tugas utamanya melakukan penyelidikan perkara tindak
pidana korupsi, dengan pengendalian oleh direktur penyidikan.
Keputusan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor
: KEP- 016/F/Fjp/11/2010 tanggal 24 Nopember 2010 tentang
Pengangkatan Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana
Korupsi (PPTPK) divisi penyidikan terdiri dari 60 orang jaksa yang
tugas utamanya melakukan penyidikan perkara tindak pidana
korupsi, dengan pengendalian oleh direktur penyidikan.
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi pada intruksi yang kedelapan menentukan:
“memberikan dukungan maksimal terhadap upaya-upaya
penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan cara mempercepat pemberian
informasi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi dan
58
mempercepat pemberian izin pemeriksaan terhadap
saksi/tersangka.
Keppres No. 86 Tahun 1999 tanggal 30 Juli 1999 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia
yang dalam Pasal 17 menyebutkan : JAM PIDSUS mempunyai
tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan,
pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan
hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan
keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai
tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana
khusus lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Berdasarkan semua peraturan perundang undangan dan
keputusan-keputusan serta surat edaran yang menjadi dasar
kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana khusus korupsi sudah jelas ketentuan seperti apa
kewenangan dan pengaturannya.
F. Teori Sistem Hukum
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan
berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung atas 3 (tiga) unsur
sistem hukum, yakni: struktur hukum (structure of law), substansi
hukum (substance of law) dan budaya hukum (legal culture).
59
Struktur hukum merupakan aparat penegak hukum, substansi
hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum
merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu
masyarakat.
Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan bahwa:
To begin with, the legal system has the structure of a legal
system consist of elements of this kind: the number and size
of courts; their jurisdiction. . . structure also means how the
legislature is organized. . . what procedures the police
departement follow, and so on. Structure, in way is a kind of
cross section of the legal system . . . a kind of still
photograph, with freezes the action21.
Struktur dari sistem hukum terdiri atas: jumlah dan ukuran
pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang
mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke
pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif
ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden,
prosedur apa yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi
struktur (legal structure) terdiri dari lembaga hukum yang ada, yang
dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada.
Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana
hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur
21
Lawrence M. Friedman. 2013. Sistem Hukum. Nusa Media. Bandung. Hal. 5-6.
60
ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan
serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan.
Di Indonesia misalnya jika berbicara tentang struktur sistem
hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-
institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan22:
Substasi hukum menurut Friedman adalah:
“Another aspect of the legal system is its substance. By this is
meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of
people inside the system . . . the stress hereis on living law,
not just rules in law books”23.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang
dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku
nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum
menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat
hukum.
Sedangkan budaya hukum, Friedman berpendapat bahwa:
The third component of legal system, of legal culture. By this
we mean people’s attitudes toward law and legal system their
22
Achmad Ali. Achmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori
Peradilan (Juducialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)Volume 1 Pemahaman Awal. Kencana. Jakarta. Hlm. 225-226. 23
Lawrence M. Friedman. Op.Cit.
61
belief . . . in other word, is the climinate of social thought an
social force which determines how law is used avoide or
abused”.
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan
sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukum)
terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan
struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan
dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa
didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam
sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan
secara efektif.
G. Teori Penegakan Hukum
Istilah penegakan dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah enforcement dalam Black law dictionary diartikan the act of
putting something such as a law into effect, the execution of a
law.Sedangkan penegak hukum (law enforcement officer) artinya
adalah those whose duty it is to preserve the peace24. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, penegak adalah yang mendirikan,
menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum,
dalam arti sempit hanya berarti polisi dan jaksa yang kemudian
24 Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, St. Paulminn West Publicing, C.O,
1999, hlm : 797.
62
diperluas sehingga mencakup pula hakim, pengacara dan lembaga
pemasyarakatan25.
Sudarto memberi arti penegakan hukum adalah perhatian
dan penggarapan, baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum
yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan
melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in
potentie)26. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, secara
konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.27
Josep Golstein, membedakan penegakan hukum pidana
menjadi 3 bagian, yaitu :28
1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum
pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum
pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan
hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan
25
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka (Jakarta, 1998), hlm : 912. 26 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni (Bandung, 1986), hlm : 32. 27
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada (Jakarta, 2005), hlm : 5. 28 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip (Semarang, 1995), hlm :
40.
63
sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh
hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-
aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu,
mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri
memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan
terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik
aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini
disebut sebagai area of no enforcement;
2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum
pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no
enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak
hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal;
3. Actual enforcement, dianggap not a realistic expectation,
sebab adanya keterbatasan- keterbatasan dalam bentuk
waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya,
yang kesemuanya mengakibatkan keharusan
dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut
dengan actual enforcement.
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka
penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan
hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan berbagai
sub-sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan,
64
pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja
lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum
haruslah dipandang dari 3 dimensi, yaitu :29
1. Penerapan hukum dipandang sebagi sistem normatif
(normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan
hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang di
dukung oleh sanksi pidana;
2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif
(administrative system) yang mencakup interaksi antara
pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub-
sistem peradilan di atas;
3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social
system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak
pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif
pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.
Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat
dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum
pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi
antara hukum, praktek administratif dan pelaku
sosial.
29
Ibid,, hlm : 41.
65
Penegakan hukum secara konsepsional, maka inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai suatu
proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh
kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi,
bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral
(etika dalam arti sempit).Oleh karena itu, bahwa penegakan hukum
bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan,
dan pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Soerjono Soekanto
menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
adalah30:
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
30
Soerjono Soekanto.Op.Cit, Hlm. 5-9.
66
5. Faktor kebudayaan, yaitu hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
H. Kerangka Pikir
Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan suatu permasalahan
hukum tentang Kebijakan hukum pidana oleh Kejaksaan dalam tindak
pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa. Hal mana akan
dikaji melalui metode penelitian normatif dengan pendekatan
perundang-undangan. Adapun dalam penelitian ini ditetapkan 3 (tiga)
variabel yang akan diteliti atau dianalisis sebagai variabel
bebas/berpegaruh (independent variabel) dan variabel
terikat/terpengaruh (dependent variabel) serta dijelaskan secara rinci
melalui indikator-indikator variabel turunannya. Variabel bebas yang
pertama adalah Kebijakan Hukum Pidana dalam Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi di Bidang pengadaan barang dan jasa oleh Kejaksaan
dengan beberapa indikator Tahap Formulasi. Tahap Aplikasi, Tahap
Eksekusi. Indikator-indikator variabel tersebut diambil dengan
pertimbangan bahwa dalam membahas persoalan kebijakan hukum
pidana maka tidak dapat dilepas dari ruang lingkup kebijakan hukum
pidana itu sendiri yakni terdiri atas tiga komponen sebagaimana telah
diuraikan dalam indikator-indikator variabel di atas.
Variabel bebas yang kedua adalah Pelaksanaan Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa oleh
Kejaksaan. Terdapat beberapa indikator-indikator variabel Struktur
67
Hukum, Substansi Hukum, dan Kultur Hukum. Pengambilan indikator
variabel tersebut didasarkan kepada teori sistem hukum Lawrence M.
Friedman.
Variabel bebas ketiga yaitu Faktor yang menghambat dalam
penyidikan Tindak Pidana Korupsi di bidang pengadaan barang dan
jasa, dengan indikator variabel yaitu Faktor Hukum, Faktor Penegak
Hukum, Faktor Sarana, Faktor Masyarakat,Faktor Kultur. Pengambilan
variabel-variabel di atas didasarkan kepada teori yang dikemukakan
oleh Soerjono Soekanto tentang Faktor-faktor penegakan hukum.
Selain ketiga variabel bebas di atas, penulis menentukan
variabel terikat/terpengaruh yaitu Terwujudnya Kepastian Hukum
Penegakan Hukum Pidana Korupsi di Bidang Pengadaan Barang dan
Jasa.
68
BAGAN KERANGKA PIKIR
Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa oleh Kejaksaan
- Struktur Hukum - Substansi Hukum - Kultur Hukum
Faktor yang menghambat dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa
- Faktor Hukum - Faktor Penegak
Hukum - Faktor Sarana - Faktor Masyarakat - Faktor Kultur
Terwujudnya Keadlian dan Kepastian Hukum dalam Penegakan Hukum Pidana Korupsi oleh Kejaksaan di
Bidang Pengadaan Barang dan Jasa
Kebijakan Hukum Pidana Oleh Kejaksaan
Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di
Bidang Pengadaan Barang dan Jasa
69
I. Definisi Operasional
1. Kebijakan Hukum Pidana adalah cara bertindak atau kebijakan dari
negara untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan
tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan. Kebijakan
Hukum Pidana terdiri atas beberapa kategori yakni tahap formulasi,
tahap aplikasi, dan tahap eksekusi
2. Tahap formulasi (kebijakan legislatif), yaitu tahap penegakan hukum
in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini juga
disebut tahap kebijakan legislatif.
3. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif / yudisial) yaitu tahap penerapan
hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian
sampai pengadilan. Dan
4. Tahap eksekusi (kebijakan eksekusi/administrasi) yaitu tahap
pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aoarat
pelaksana pidana
5. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
6. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
70
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
7. Struktur Hukum adalah keseluruhan institusi-institusi hukum yang
ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian beserta
para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan
dengan para hakimnya, dan lain-lain.
8. Substansi Hukum adalah keseluruhan aturan hukum, norma
hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis termasuk putusan pengadilan.
9. Kultur Hukum adalah opini-opini, kepercayaan-kepercayaan
(keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara
bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga
masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan
dengan hukum.
71
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe
penelitian normatif, yaitu menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute approach) Pendekatan perundang-undangan untuk
menelaah semua undang-undang dan regulasi (kebijakan hukum
pidana) khususnya yang berkaitan dengan pengadaan barang dan
jasa.
B. Lokasi Penelitian
Dalam rangka memperoleh data yang relevan dengan kebutuhan
penulisan tesis ini, penulis akan melakukan penelitian di Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada
pertimbangan instansi tersebut telah banyak menangani kasus tindak
pidana korupsi Pengadaan barang dan jasa.
C. Jenis dan Sumber Data.
Adapun jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar
untuk menunjang hasil penelitian adalah:
1. Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
sumber pertama (responden) pada lokasi penelitian.
72
2. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh berupa sumber-sumber
tertentu, seperti dokumen-dokumen termasuk juga literatur bacaan
lainnya yang sangat berkaitan dengan pembahasan penelitian ini.
D. Teknik Pengumpulan Data.
a. Bentuk penelitian kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data
dengan cara mempelajari berbagai literatur baik buku artikel
maupun materi kuliah yang diperoleh.
b. Bentuk interview yaitu teknik pengumpulan data dengan cara
melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten
dan objek penelitian, serta meminta data-data kepada pihak
yang terkait dengan penelitian ini.
E. Analisis Data.
Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis
baik secara deduktif maupun induktif kemudian disajikan secara
deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan
sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian
ini.
73
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Bidang Pengadaan Barang Dan Jasa Oleh Kejaksaan
Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
luar biasa (extra odinary crime), sehingga diperlukan penanganan
khusus dalam perkara tindak pidana khusus. Hal itu dikarenakan
proses mencari bukti-bukti dalam kasus perkara tindak pidana korupsi
yang sangat sulit, karena pelaku dari tindak pidana korupsi adalah
orang-orang yang memiliki jabatan atau pengetahuan yang lebih
(pintar) sehingga pelaku paham cara-cara untuk menghilangkan alat-
alat bukti.
Wakil Ketua KPK mengungkapkan bahwa 80 persen tindak
pidana korupsi yang terjadi di pusat maupnun di daerah adalah tindak
pidana korupsi pengadaan barang dan jasa (PBJ). "Hampir setiap
pengadaan harang dan jasa itu sekarang sudah melalui e-procurement
dan lebih 80 persen perkara korupsi di daerah itu menyangkut
pengadana barang dan jasa, semuanya lewat e-procurement. Sistem
sebagus apapun tetapi kalau ada kolusi, pasti akan terjadi juga”.31
Banyaknya aturan hukum yang mengatur tentang
pemberantasan korupsi, tidak lantas berdampak pada penurunan
31 https://www.suara.com/news/2017/09/15/040000/kpk-80-persen-korupsi-terkait-
pengadaan-barang-dan-jasa diakses tanggal 27 Agustus 2017. Pukul 21.00.
74
tingkat korupsi yang terjadi setiap tahunnya khususnya korupsi
dibidang pengadaan barang dan jasa. Yang lebih mengkhawatirkan
adalah aktor-aktor atau pelaku yang sebenarnya harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya sangat susah untuk dibawa
ke muka hukum.
Saat ini dalam praktek peradilan ada hal yang menjadi sorotan
yaitu mengenai keabsahan dari penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan. Secara empirik, pengadilan
sendiri menyikapi secara beragam mengenai hal tersebut, yakni ada
yang berpendapat Jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan
perkara tindak pidana korupsi dan sebaliknya ada yang berpendapat,
Jaksa tidak berwenang dalam melakukan penyidikan perjara tindak
pidana korupsi. Fakta tersebut tentulah memberikan konsekuensi
beragamnya putusan pengadilan atas suatu hal dan obyek yang
sama.32
Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Penyidikan merupakan suatu tahap
terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia, karena
32 Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi, Dipandang Dalam Berbagai Aspek, Pustaka
Pena, Yogyakarta, 2010, hlm. 27.
75
dalam tahap ini penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan
bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan
tersangka pelaku tindak pidana tersebut.
Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu
telah dilakukan proses penyelidikan oleh penyelidik pada suatu perkara
tindak pidana yang terjadi. Dalam Pasal 1 angka (2 dan 5) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan
pengertian tentng penyidikan dan penyelidikan. Dari kedua rumusan
pengertian hampir tidak ada perbedaan makna antara keduanya,
hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan saling
berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu
peristiwa pidana. Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan
sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut
Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya.33
Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP jo Pasal 284 ayat (2)
KUHAP jo Pasal 7 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP, terdapat benang merah yang dapat ditarik, meskipun KUHAP
menyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) (secara a contrario) bahwa Jaksa
bukanlah penyidik, tetapi KUHAP dalam Pasal 284 ayat (2) jo Pasal 17
PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP memberikan
33 Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan
dan Penuntutan, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 109.
76
peluang bagi Jaksa melakukan penyidikan dengan syarat “Jika ditunjuk
langsung oleh Undang-undang yang secara khusus mengaturnya’.
Berkaitan dengan penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa, maka Undang-undang tindak pidana korupsi yang
berlaku sekarang ini yaitu UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah dengan UU
No. 20 Tahun 2001, dalam Pasal 26 menyatakan bahwa:
“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”.
Melihat rumusan Pasal 26 ini, maka yang dimaksud dengan
’berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku’ adalah UU No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Dengan penunjukan tersebut, ketentuan KUHAP khususnya
ketentuan dalam Bab XIV, Bab XV dan Bab XVI KUHAP berlaku dalam
pengananan perkara tindak pidana korupsi baik dalam tahapan
penyidikan, penuntutan maupun dalam pemeriksaan di persidangan.
Dari ketentuan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diperoleh
konstruksi hukum khusus mengenai penyidikan tindak pidana korupsi.
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur secara khusus
mengenai penyidikan, tetapi dinyatakan bahwa ‘penyidikan dilakukan
77
berdasarkan pada KUHAP’, sehingga dengan demikian, ketentuan
dalam KUHAP khususnya Pasal 6 ayat (1) KUHAP mengikat dan
berlaku bagi penyidikan tindak pidana korupsi. Penunjukan Jaksa
sebagai penyidik dalam tindak pidana khusus, penegasannya dapat
dilihat pada Pasal 6 ayat (1) hurub b KUHAP yang berbunyi: ‘Penyidik
adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang’. Dari makna bunyi Pasal 6 ayat (1) huruf
b ini maka, Jaksa diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.34
Rumusan pasal-pasal dalam UU No.30 Tahun 2002 di atas,
secara gramatikal telah menunjukkan kewenangan Jaksa untuk
melakukan penyidikan. Kewenangan menyidik ini berlaku untuk
perkara-perkara yang disidik oleh Kejaksaan baik sesudah maupun
sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 2002. Alasannya karena
kewenangan Komisi mengambil ailh penyidikan yang dilakukan oleh
Jaksa tidak ditentukan batasan waktunya kejadian dan pelaksanaan
penyidikan. Dengan demikian untuk perkara-perkara yang terjadi
sebelum diundangkannya UU No. 31 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi tanggal 27 Desember 2002, bik perkara yang
terjadi dalam masa berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
34
Yahya Harahap. Op-Cit, hlm. 113.
78
Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan perkara tindak
pidana korupsi khususnya pengadaan barang dan jasa. Kewenangan
ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut di
atas dan terkait dengan alasan-alasan Komisi mengambil alih
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi ang sedang
dilakukan penyidikan dan penuntutan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.
Salah satu kelemahan dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah adalah dalam hal metode penunjukan langsung. Dalam
norma pengadaan barang dan jasa pemerintah ada beberapa metode
yang dapat digunakan. Namun, dalam prakteknya yang seringkali
digunakan adalah metode penunjukkan langsung. Norma pengadaan
barang dan jasa sepanjang yang mengatur tentang penunjukkan
langsung dianggap memiliki kelemahan karena ternyata syarat-syarat
seringkali disimpangi oleh pengguna barang dan jasa. Hal ini yang
kemudian menjadikan norma pengadaan barang dan jasa terus
disempurnakan. Setiap pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
pemerintah yang tidak sesuai atau menyimpangi dengan norma
tersebut dapat dipidana dengan tindak pidana korupsi.
Korupsi di lingkungan birokrasi adalah yang tertinggi dibanding
sektor lainnya. Beberapa kasus menunjukan sistem birokrasi menjadi
penyebab terjadinya korupsi dilingkungan birokrasi, misalnya adanya
perintah atasan untuk memotong anggaran pekerjaan pengadaan
barang dan bawahan menjalankan perintah atasan tersebut sebagai
79
bentuk tugas jabatan. Tindak pidana Korupsi dalam birokrasi tidak
seluruhnya faktor kesengajaan pelakunya, terdapat penggolongan
birokrat yang melakukan koruspi, yaitu golongan birokrat yang sengaja
melakukan korupsi dan kedua golongan birokrat karena faktor atasan
atau perintah jabatannya melakukan korupsi, terhadap bawahan yang
melakukan karena hanya melaksanakan perintah atasannya yang tidak
dapat dia tolak, maka berlakulah penghapusan pidana terhadap
bawahan yang melakukan perintah atasannya dalam kasus korupsi
diatur dalam pasal 51 ayat (1).
Rumusan tentang ‘perintah jabatan’ (ambtelijk bevel) diatur
dalam pasal 51 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pasal ini menyebutkan barang siapa melakukan perbuatan
untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan
hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan
iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya.
Pengertian ‘perintah’ dalam pasal 51 KUHP maksudnya
berdasarkan putusan Hoge Raad 17 Desember 1899 No. 6603,
berpendapat perintah di sini bukan saja perintah dalam arti konkrit,
80
tetapi juga suatu instruksi yang bersifat umum.Perintah jabatan atau
ambtelijk bevel dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah
diberikan oleh seorang atasan, dimana kewenangan untuk memerintah
semacam itu bersumber pada suatu ambtelijke positie atau suatu
kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan
perintah maupun dari orang yang menerima perintah.35
Berbicara mengenai pertanggungjawaban dalam korupsi
pengadaan barang dan jasa akan terkait dengan kapan seseorang
terbukti melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa menjadi pertanggungjawaban jabatan dan kapan
menjadi pertanggungjawaban pribadi atau pertanggungjawaban
pidana. Oleh karena itu, sebelum menentukan dapat atau tidaknya
seorang pelaku korupsi dalam pengadaan barang/jasa dimintai
pertanggung jawaban pidana maka harus terlebih dahulu dikaji apakah
perbuatan pelaku termasuk dalam kesalahan jabatan atau merupakan
kesalahan pribadi. Peran aparatur penegak hukum dalam melakukan
penyidikan terhadap kasus-kasus korupsi pada pengadaan barang dan
jasa sangatlah penting guna menjerat pelaku korupsi.
Di Wilayah Hukum Kejaksaan Sulawesi Selatan, Tindak Pidana
Korupsi Pengadaan barang dan Jasa cukup tinggi. Dari data yang
diperoleh penulis, ditemukan data sebagai berikut:
35
Lamintang P.A.F (1984). Dasar-dasar hukum pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru. Hal.
500.
81
Tabel 1
Data Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan
Jasa oleh Kejaksaan di Wilayah Hukum Sulawesi Selatan
No. Tahun Jumlah Keterangan
Proses Putus
1. 2014 42 - 42
2. 2015 63 29 34
3. 2016 57 37 20
Jumlah 162 66 96
Sumber Data: Kejaksaan Sulawesi Selatan, 2017.
Dalam 3 tahun terakhir, data yang penulis peroleh terkait tindak
pidana korupsi pengadaan barang dan jasa menunjukkan tren yang
fluktuatif. Tahun 2014 terdapat 42 kasus, tahun 2015 terdapat 63
kasus dan tahun 2016 terdapat 57 kasus. Untuk kasus tahun 2014,
keseluruhannya telah di putus pada Pengadilan Negeri, untuk Tahun
2015 29 kasus masih dalam tahap proses dan 34 sisanya telah di
putus oleh Pengadilan Negeri. Selanjutnya, pada tahun 2016 37 kasus
masih berproses dan 20 kasus telah di putus.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Hariffin Sanrang
selaku Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
82
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017, ada banyak modus operandi
yang digunakan pelaku dalam Tipikor Pengadaan Barang dan Jasa,
beliau mengemukakan bahwa:36
Kalau kita lihat, modus yang ada adalah proyek atau paket
sudah dijual dengan 'deal-deal' tertentu kepada Pihak tertentu
bahkan sebelum anggaran disetujui atau disahkan. Proses
lelang yang dilaksanakan hanya bersifat formalitas sebagai
bentuk pemenuhan syarat pengadaan barang dan jasa. Namun
para pihak yang mengikuti kegiatan pelelangan tersebut
merupakan perusahaan-perusahaan yang sudah di set sejak
awal bahwa perusahaan yang telah disepakatilah yang akan
dimenangkan atau dikenal dengan istilah “manipulasi pemilihan
pemenang”. Modus selanjutnya adalah rekayasa dokumen
dimana ada persekongkolan pihak terkait yang inisiatifnya bisa
dimulai dari manapun juga. Kemudian ada juga Harga Perkiraan
Sendiri (HPS) dibuatkan oleh pihak yang kira-kira akan ditunjuk
sebagai calon pemenang, 'mark up' harga, hingga suap.
Ditambahkan pula oleh Kamaria sekalu Jaksa pada Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan:
Dari berbagai kasus yang ditanda tangani Kejaksaan ditemukan
bentuk-bentuk cara melakukan korupsi pengadan barang dan
jada menggunakan modus pemalsuan dokumen, dilakukan
dengan cara membuat surat palsu, dokumen palsu atau berita
acara palsu, ini sering terjadi dalam pembangunan proyek pisik
seperti gedung, jalan, lahan, reboisasi, pengerukan sungai dan
berbagai pekerjaan yang memerlukan adanya berita acara pada
saat pencairan dana proyek. Dalam dunia perbankan pun sering
terjadi dengan membuat surat-surat palsu yang berkaitan
dengan agunan kredit yang disebut dengan “mark up” dan juga
yang berkaitan dengan proses pencairan dana dalam kegiatan
perbankan.
36
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
83
Selain itu juga banyak terjadi pemalsuan kwitansi, ini biasanya
terjadi pada tanda terima sejumlah uang yang diisikan berbeda
dengan besar jumlah pisik dana yang sebenarnya. Yang paling
populer adalah Penyogokan atau penyuapan biasanya terjadi
antara seseorang memberikan hadiah kepada seorang pegawai
negeri dengan maksud agar dapat terus mendapatkan proyek
pengadaan barang dan jasa.
Terkait mengenai proses penyidikan yang dilakukan kejaksaan
pada penanganan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa
pada dasarnya dilakukan dengan berpedoman pada KUHAP. Dalam
KUHAP ditentukan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Aparat Penyidik yang mengemban tugas dalam Surat
Penyidikan, setelah menerima surat perintah tersebut segera membuat
“Rencana penyidikan (Rendik) seraya mempelajari/memahami hasil
penyelidikan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tindak
pidana korupsi yang sedang disidiknya sehingga akan dapat
menentukan penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dan
bukti-bukti yang mendukung penyimpangan-penyimpangan tersebut,
dengan demikian akan dapat ditemukan “Modus Operandi”.
Menurut Buku Pedoman KUHP, penyelidikan diintrodusir dalam
KUHP dengan motivasi perlindungan hak asasi manusia dan
pembatasan yang ketat terhdap penggunaan upaya paksa, dimana
84
upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa
dilakukan, penyelidikan mendahului tindakan-tindakan lain yaitu untuk
menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat
dilakukan penyidikan atau tidak. Dengan demikian, penggunaan upaya
kepentingan umum yang lebih luas.
Pasal 1 butir 5 KUHAP memberikan definisi dari penyelidikan
yaitu serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara
yang diatur dalam KUHAP. Dari definisi tersebut diatas jelaslah bahwa
fungsi penyelidikan merupakan suatu kesatuan dengan fungsi
penyidikan, penyelidikan hanya merupakan salah satu cara, salah satu
tahap dari penyidikan, yaitu tahap yang seyogyanya dilakukan lebih
dahulu sebelum melangkah kepada tahap-tahap penyidikan
selanjutnya seperti penagkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, pemeriksaan seksi dan sebagainya.
Pada tanggal 2 Oktober 2017, penulis melakukan wawancara
dengan Harifin Sanrang selaku Jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan. Beliau mengemukakan bahwa: 37
Kita harus membedakan penyelidikan menurut KUHAP dan
penyelidikan sebagai kegiatan intelijen, sebab jenis penyelidikan
yang berakhir ini belum menyentuh KUHAP. Kejaksaan
mengenal law intelligence atau intelijen hukum. Dalam pelajaran
37
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
85
tentang intelijen, para siswa akan mengetahui peranan apa
yang dapat diberikan oleh intelijen untuk mensukseskan suatu
penyidikan (termasuk suksesnya penyelidikan KUHAP). Fungsi
penyelidikan, pengamanan dan penggalangan/pembinaan dari
intelijen dapat memberikan manfaat yang besar bila dilakukan
secara tepat dan dalam bentuk kordinasi yang baik pada waktu
kita melakukan penyidikan/penyelidikan KUHAP. Penyelidikan
diatur dalam KUHAP dalam beberapa pasal, oleh karena
KUHAP menganut pokok pikiran bahwa yang berhak melakukan
penyelidikan hanyalah pejabat POLRI, maka bunyi pasal-pasal
tersebut harus dibaca dengan penyesuaian seperlunya agar
dapat dipergunakan sebagai dasar oleh Jaksa Penyelidik
terhadap tindak pidana khusus.
Ditambahkan pula, bahwa:
Pada penyidikan tindak pidana khusus berkaitan dengan
pengadaan barang dan jasa, arti tahap penyelidikan ini justru
sangat penting,Jaksa penyelidik harus berusaha menguasai
“anatomi” kasus yang sedang dihadapi. Dengan makin
canggihnya tehnologi dan berkembangnya berbagai tatanan
kehidupan, seorang jaksa harus pula mampu melakukan
penyidikan dengan menggunakan metode-metode canggih.
Pada penyidikan tindak pidana korupsi, seorang Jaksa
diharapkan bahwa setiap waktu dia “siap pakai’ karena sudah
menguasai segala sesuatunya. Dibutuhkan waktu untuk dapat
menguasai suatau perkara dengan baik.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan,
bahwa seorang Jaksa Penyelidik harus menguasai dasar-dasar
pengetahuan (secara umum) mengenai bidang kehidupan
negara/ekonomi/social yang ada kaitannya dengan kasus yang terjadi.
Berdasar pengatahuan tersebut, pada waktu mendapat perintah untuk
melakukan penyelidikan, dia dengan cepat dapat menentukan dari
86
siapa, atau dimana dia dapat memperoleh penjelasan lebih dalam/luas
mengenai bidang tersebut. Mempersiapkan bahan-bahan yang
diperoleh selama penyelidikan dalam bentuk yang lengkap dan teratur
sehingga dengan mudah dan tepat dapat dipergunakan pada tahap
penindakan.
Dengan penjelasan diatas, tidaklah berarti bahwa tiap
penyidikan tindak pidana khusus harus selalu dimulai dengan kegiatan
penyelidikan dan sesudah itu baru dilakukan kegiatan penindakannya.
Ada kasus-kasus tertentu dimana pada saat itu juga perlu langsung
dilakukan kegiatan penindakan (penangkapan, penahanan atau
pemeriksaan). Tetapi walaupun demikian, secara bersamaan dapat di
tugaskan jaksa yang lain untuk melakukan kegiatan penyelidikan untuk
memperoleh masukan-masukan yang diperlukan.
Hasil wawancara penulis dengan Harifin Sanrang selaku Jaksa
pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada tanggal 12 Oktober
mengemukakan bahwa: 38
Pertimbangan untuk mulai melakukan suatu penyelidikan pada
dasarnya ditentukan oleh penilaian terhadap suatu infomasi
atau data baru yang diperoleh oleh Seksi Penyelidikan.
Informasi atau data baru tersebut dapat diperoleh melalui
sumber-sumber tertentu yang dapat dipercayai, adanya laporan
langsung ke Kejaksaan dari orang yang mengetahui terjadinya
suatu tindak pidana khusus atau berasal dari hasil Berita Acara
yang dibuat oleh Jaksa Penyidik/Penyelidik. Sumber-sumber
informasi yang dapat dipergunakan sangat banyak sekali,
38
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
87
mungkin sumber tersebut berupa orang, tilisan dalam media,
instansi/perusahaan atau petugas Kejaksaan sendiri dan
sebagainya. Laporan langsung diterima dari orang yang
mengetahui terjadinya suatu tindak pidana khusus dapat berupa
laporan tertulis dan dapat juga berupa laporan lisan yang oleh
jaksa yang menerima laporan tersebut dituangkan dalam bentuk
Berita Acara Penerimaan Laporan. Dalam pemerikasaan
seorang tersangka atau seorang saksi mungkin ditemukan
suatu keterangan tentang adanya suatu tindak pidana khusus
yang lain diluar dari tindak pidana yang sedang disidik/diperiksa.
Keterangan seperti itu dapat menjadi sumber untuk
pertimbangan perlu tidaknya dilakukan suatu penyelidikan.
Selanjutnya dilakukan langkah penyidikan tindak pidana korupsi
dengan membuat Laporan, setelah sebelumnya melakukan
proses penyelidikan dan dua alat bukti sudah terpenuhi,
selanjutnya administrasi penyidikan dibuat yaitu berupa surat
perintah tugas, surat perintah penyidikan dan kelengkapan
administrasi lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa salah satu metode yang digunakan kejaksaan guna
mengungkap adanya tindak pidana korupsi melalui upaya penindakan
berupa kegiatan operasi intelijen yustisial oleh jajaran Intelijen
Kejaksaan. Segera setelah seksi intelijen mendapatkan informasi
(laporan masyarakat, pengaduan masyarakat, atau temuan sendiri)
tentang adanya suatu indikasi tindak pidana korupsi, maka informasi
tersebut disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri. Kajari
kemudian mendisposisi surat tersebut kepada Kapala Seksi Intelijen
(Kasi Intel) dengan permintaan untuk dibuat telaahan.
Telaah intelijen ini memuat pokok permasalahan, uraian
permasalahan, telaahan, kesimpulan, dan saran tindak. Bilamana
88
informasi yang diperoleh tersebut dirasa belum lengkap, maka dalam
saran tindak penelaah mengajukan saran kepada pimpinan untuk
diterbitkan Surat Perintah Tugas. Apabila dalam telaahan intelijen,
penelaah berkeyakinan bahwa informasi terkait adanya dugaan tindak
pidana tersebut besar kemungkinannya memang terjadi, maka
penelaah memberikan saran tindak kepada pimpinan agar informasi
tersebut ditindaklanjuti dengan dengan kegiatan penyelidikan intelijen.
Pelaksana intelijen melakukan kegiatan penyelidikan intelijen
dengan melakukan pengumpulan data dan pengumpulan bahan
keterangan dengan menggunakan teknik intelijen dan/atau didukung
peralatan intelijen. Teknik pengumpulan data biasanya dilakukan
dengan metode observasi (pengamatan) di lapangan, sedangkan
teknik pengumpulan bahan keterangan dilakukan dengan cara
memintai keterangan atau mengadakan wawancara dengan
seseorang. Setelah segala sesuatunya dipandang cukup, maka dalam
jangka waktu paling lama 7 hari setelah berakhirnya surat perintah,
Tim Pelaksana Intelijen (Tim Penyelidik) menyusun dan membuat
Laporan Operasi Intelijen Yustisial.
Ketua tim pelaksana intelijen melalui Kasi Intel menyampaikan
Lapopsinyus kepada user (Kajari) dengan Nota Dinas. Laporan operasi
intelijen yustisial tersebut diserahkan dengan dilampiri Matrik Hasil
Operasi Intelijen Yustisial. Setelah Kepala Kejaksaan Negeri
membaca, mempelajari, dan mencermati isi laporan tersebut
89
berpendapat perlu untuk dilakukan ekspos, maka pelaksana intelijen
menyiapkan bahan ekspos dalam jangka waktu paling lama 3 hari
setelah menerima petunjuk/disposisi dari Kajari. Setelah operasi
intelijen yang telah dilaksanakan mendapatkan suatu kesimpulan,
selanjutnya Kajari memerintahkan Kasi Intel untuk membuat laporan ke
Kejaksaan dalam bentuk Laporan Intelijen Khusus. Biasanya, untuk
kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat dan/atau
menyangkut kerugian negara yang besar dan/atau memiliki tingkat
kerumitan yang cukup tinggi, maka Kejaksaan Tinggi meminta kepada
Pelaksana Intelijen agar melakukan gelar perkara (ekspos) di Kejati,
dan kesimpulan yang diperoleh dari hasil gelar perkara (ekspos) di
Kejati tersebut yang kemudian digunakan sebagai dasar oleh
Pelaksana Intelijen dalam menentukan hasil akhir kegiatan operasi
intelijen (penyelidikan).
Dalam hal kesimpulan yang diambil adalah “ditingkatkan ke
tahap penyidikan”, maka Kasi Intel akan melimpahkan penanganan
perkara tersebut ke seksi Tindak Pidana Khusus (Pidsus) disertai
dengan berita acara. Dengan dilimpahkannya penanganan perkara ke
Seksi Pidsus, maka tugas dan tanggung jawab pelaksana intelijen
dalam kegiatan operasi intelijen (penyelidikan) berakhir sudah.
Langkah selanjutnya dalam tahap penyidikan tindak pidana
korupsi pengadaan barang dan jasa adalah pemanggilan saksi.
Penuntut umum mempunyai wewenang menyampaikan pemberitahuan
90
kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan. Terkait pemanggilan saksi ini, kejaksaan sangat
berpedoman pada Ketentuan dalam Pasal 227 ayat (1) dan (2) KUHAP
yang berbunyi:
(3) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang
berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada
terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya
tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, di tempat
tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir;
(4) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus
bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang
dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah
diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan
tanggal serta tanda tangan, baik oleh petugas maupun
orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak
menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya;
(5) Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu
tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), surat
panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat
dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik
Indonesia di tempat di mana orang yang dipanggil biasa
91
berdiam dan apabila masih belum juga disampaikan, maka
surat panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor
pejabat yang mengeluarkan panggilan tersebut.
Surat Panggilan harus jelas isinya, nama yang memanggil,
pekerjaan, alamat, hari, tanggal, jam tempat penyidikan dan
ditandatangani oleh Kepala selaku Penyidik. Pengiriman Surat
Panggilan disertai dengan Surat Pengantar dan mencantumkan nama,
pangkat Penyidik No Tlp yang dapat dihubungi. Diantar sendiri oleh
Penyidik / Penyidik Pembantu, kecuali yang berada diluar Jakarta bisa
Via Pos tercatat. 3 (tiga) hari sebelumnya sudah diantar dan sudah
sampai kepada alamat dimaksud (tenggang waktu yang wajar Psl 112
(1) KUHP).
Khusus penanganan tindak pidnaa korupsi pengadaan abrang
dan jasa, penyidik memperhatikan prosedur pemanggilan yang juga
diatur dalam berbagai Undang-Undang lainnya. Sebagaimana
diketahui bahwa tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa
pasti setidaknya melibatkan pejabat daerah. Sebagaimana
dikemukakan oleh Harifin Sanrang, sebagai berikut:
Dalam melakukan pemanggilan saksi sebagai bagian tahapan
penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa,
perlu diperhatikan prosedur sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-undang Pemreintahan Daerah, Nomor 23
Tahun 2014, yakni Pasal 384, yang pada intinya mengatur
bahwa Penyidik memberitahukan kepada kepala daerah
sebelum melakukan penyidikan terhadap aparatur sipil negara
di instansi Daerah yang disangka melakukan pelanggaran
92
hukum dalam pelaksanaan tugas. Ketentuan pemberitahuan
penyidikan tidak berlaku apabila yang bersangkutan tertangkap
tangan melakukan sesuatu tindak pidana, disangka telah
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan/atau disangka
telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara. Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberitahukan kepada kepala daerah dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.
Ditambahkan pula oleh Kamaria bahwa:
Untuk pemanggilan anggota DPRD, jika mengacu pada UU
Pemerintahan daerah yang lama, maka Tindakan penyidikan
terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden bagi anggota DPRD provinsi dan dari Gubernur atas
nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD
kabupaten/kota. Dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan
dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak
diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.
Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan
diperlukan persetujuan tertulis. Namun demikian, Hal-hal yang
dikecualikan dari ketentuan jika anggota DPRD bersangkutan
tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara.
Dalam penelusuran penulis, Undang-undang Pemerintahan
Daerah yang baru tidak mengatur tentang bagaimana tata cara
penyidikan bagi anggota DPRD. Berkenaan hal tersebut, maka
pengaturan terkait penyidikan bagi anggota DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota tidak lagi dimuat pengaturannya dalam undang-
undang tersebut. Dengan demikian pemanggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD tidak perlu lagi
mendapatkan persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri untuk anggota
93
DPRD Provinsi dan persetujuan tertulis Gubernur untuk anggota DPRD
Kabupaten/Kota.
Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah Pemanggilan
Tersangka. Pada tahap ini penyidik kejaksaan sudah harus
mempunyai bukti permulaan yang cukup. Harifin Sanrang selaku Jaksa
pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mengemukakan bahwa: 39
Pemanggilan tersangka dapat dilakukan jika Dua alat bukti sudah terpenuhi Psl 184, 185 KUHAP. Telah melakukan gelar perkara dihadapan Kepala Satuan masing-masing, Diantar sendiri oleh Penyidik / Penyidik Pembantu, kecuali yang berada diluar Jakarta bisa Via Pos tercatat. 3 (tiga) hari sebelumnya sudah diantar dan sudah sampai kepada alamat dimaksud (tenggang waktu yang wajar Psl 112 (1) KUHP).
Ditambahkan pula oleh Kamaria bahwa setiap perkara korupsi
membutuhkan ahli untuk menghitung kerugian negara. Ahli yang
ditunjuk untuk menghitung kerugian negara adalah BPKP dan BPK.
Demikian juga ahli lainnya yaitu ahli Hukum, ahli Bangunan,
perusahaan Apraisal, ahli tehnik, ahli perbankan dari Bank Indonesia
dan ahli lainnya sesuai yang perkara yang sedang ditangani. Surat
permohonan ahli ditujukan kepada kantor/badan yang akan kita mintai
keterangannya sebagai ahli.
Penyidik yang menerima informasi dan atau mengetahui langsung
adanya kasus yang terindikasi korupsi, terlebih dahulu meminta Auditor
BPKP untuk melakukan audit investigasi atas kasus yang sedang
39
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
94
diselidiki untuk mengetahui apakah atas perbuatan seseorang/orang
lain ada terdapat kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara, dan apabila laporan hasil audit dari Auditor BPKP menyatakan
sudah terdapat kerugian negara dengan mencantumkan besaran
kerugian negara maka Penyidik akan meningkatkan tahap penyelidikan
menjadi tahap penyidikan untuk melakukan serangkaian tindakan
tindakan penyidikan dan melimpahkan kasus dan tersangkanya
kepada Jaksa Penuntut Umum untuk disidangkan di pengadilan guna
mendapatkan kepastian hukum. Namun apabila laporan hasil audit
yang diterbitkan Auditor BPKP menyatakan tidak terdapat kerugian
negara maka penyelidikan akan dihentikan dengan kesimpulan bukan
merupakan tindak pidana korupsi. Sehingga disimpulkan bahwa ada
atau tidaknya perbuatan korupsi ditentukan oleh laporan hasil audit
Auditor BPKP sehingga auditor BPKP sangat berperan dalam
pengungkapan tindak pidana korupsi.
Dalam rangka implementasi kerjasama antara Kejaksaan
Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan BPKP,
maka dibentuk Forum Instansi Penanganan Penyimpangan Dalam
Pengelolaan Keuangan Negara, Dana Non‐Budgeter, Dan Hambatan
Pembangunan Nasional. Forum ini terdiri dari unsur Kejaksaan
Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang melaksanakan
tugasnya sesuai tugas fungsi dan wewenangnya masing‐masing.
95
BPKP sebagai unsur pengawasan mempunyai komitmen yang
tinggi dalam melaksanakan Inpres 5/2004, yaitu dengan dengan
berkoordinasi dengan Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI dan KPK
atau instansi lain yang meminta untuk dilakukannya audit investigasi.
Tindak lanjut hasil audit investigasi dikategorikan menjadi 2 (dua),
yakni tindakan korektif oleh manajemen untuk kasus non‐tindak pidana
korupsi. Sedangkan untuk kasus tindak pidana korupsi, tindak
lanjutnya adalah sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan yang
berlaku. Jika diminta oleh instansi penyidik, BPKP juga memberikan
dukungan dalam proses litigasi dengan melakukan audit investigasi
dan perhitungan kerugian keuangan negara termasuk pemberian
keterangan ahli di persidangan perkara korupsi.
BPKP juga berperan dalam melakukan tindakan represif
cenderung mengakibatkan sikap kontraproduktif dari penyelenggara
negara, yaitu melalui upaya peningkatan koordinasi dengan
Kejaksaaan RI dan Kepolisian RI. Upaya Koordinasi dilakukan melalui
Penandatanganan Nota Kesepahaman bersama antara POLRI,
Kejaksaan RI dan BPKP dalam rangka penyamaan persepsi karena
dalam kondisi di lapangan diketahui bahwa dalam pelaksanaan
kegiatan pemerintahan dan pembangunan ditemukan keraguan dari
para penyelenggara negara yang dapat menghambat laju
pembangunan nasional. Sinergi antara instansi penegak hukum dan
pengawasan juga diperlukan untuk mewujudkan penegakan hukum
96
yang efisien dan efektif. BPKP mengharapkan kepada instansi
penyidik, termasuk Polri agar melibatkan BPKP sejak awal
penanganan kasus TPK sehingga setiap tahapan proses litigasi akan
lebih terarah kepada penuntasan kasus karena memperoleh dukungan
penuh dari auditor BPKP dalam mengidentifikasi penyimpangan,
menghitung kerugian keuangan negara dan pemberian keterangan
ahli.
Penyidik/Penyidik pembantu harus membuat konsep pertanyaan
yang mencakup unsur-unsur subyektif dan obyektif pasal yang
dituduhkan. Dalam pemeriksaan Penyidik / Penyidik Pembantu wajib
mengumpulkan dan mencari alat bukti sesuai dengan psl 186 KUHAP.
Penyidik / Penyidik Pembantu harus memahami Pasal 114, 115, 116,
117, 118, 119 dan 120 KUHAP tentang tata cara / proses pemeriksaan
Saksi / Ahli / Tersangka.
Pada tahap inilah dapat diperoleh alat-alat bukti yang paling
pokok sebagaimana ditentukan oleh pasal 184 ayat (2) KUHAP.
Bahkan sebenarnya, pada tahap inilah dapat diungkapkan:
b. Tindak pidana apa sebenarnya yang telah terjadi.
c. Bagaimana modus operandinya.
d. Siapa-siapa yang tersangkut (baik sebagai tersangka
maupun saksi) dan apa peranan masing-masing dalam
tindak pidana tersebut.
97
e. Apa arti atau peranan barang bukti yang telah disita dalam
tindak pidana tersebut (barang bukti antara lain baru
mempunyai kekuatan sebagai alat bukti petunjuk melalui
keterangan saksi dan keterangan tersangka).
Semua keterangan tersebut akan menjadi jelas melalui
keterangan orang-orang yang diperiksa, apakah sebagai saksi,
sebagai ahli ataupun sebagai tersangka. Para saksi dan ahli wajib
menerangkan kejadian yang sebenarnya, oleh karena itu dari mereka
bisa diharapkan keterangan yang jelas dan benar tentang tindak
pidana tersebut. Keterangan para saksi, ahli dan tersangka tersebut
dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan.
Harifin Sanrang selaku Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan mengemukakan bahwa40 dalam penanganan kasus tindak
pidana korupsi pengadaan barang dan jasa, penyidik selalu melakukan
penyitaan terhadap barang bukti yang dibutuhkan. Dalam melakukan
penyitaan penyidik terlebih dahulu mendapat Surat izin dari Ketua
Pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan perlu dan sangat
mendesak, harus segera bertindak dan berkewajiban segera
melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna memperoleh
persetujuan. Selanjutnya penyidik membuat Berita Acara Penyitaan,
dibacakan, diberi tanggal, ditandatangani Penyidik, orang yang
bersangkutan / keluarga / kepala desa lingkungan dan 2 (dua) orang
40
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
98
saksi dan turunan berita acara disampaikan kepada atasan Penyidik ,
keluarga yang barangnya disita dan kepala desa.
Dalam keadaan tertentu guna kepentingan proses penanganan
perkara, penyidik dapat melakukan penggeledahan. Penggeledahan
yang dilakukan penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal
kepada Tersangka atau Keluarga dan harus disaksikan oleh 2 (dua)
orang Saksi dalam hal tersangka penghuni setuju, atau oleh Kepala
Desa, Ketua Lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi dalam hal
tersangka / penghuni menolak atau tidak hadir. Setelah itu, penyidik
yang melakukan penggeledahan membuat Berita Acara tentang
jalannya hasil penggeledahan dan turunanya disampaikan kepada
pemilik / penghuni.
Pada tahap penyidikan juga dilakukan penangkapan
Penangkapan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pada tahap ini
penyidik harus memperlihatkan identitas, menunjukkan Surat Perintah
Tugas, tidak arogan. Dalam proses penagkapan tidak boleh ada unsur
kekerasan. Disaksikan oleh Kepala Lingkungan RT/RW, tidak
menggunakan media cetak dan elektronika dalam proses
penangkapan. Langkah selanjutnya adalah memberikan kepada
Tersangka Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan identitas
tersangka dan menyebutkan alasan penagkapan serta uraian singkat
99
perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat Ia diperiksa,
tembusannya diberikan kepada Keluarga.
Dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa, penyidik dengan pertimbangannya dapat melakukan
penahanan kepada tersangka. Berkaitan dengan hal ini, Harifin
Sanrang selaku Jaksa mengemukakan bahwa: 41
Dalam hal penyidik melakukan penahanan, penyidik harus
menjelaskan kepada Tersangka bahwa Tindak Pidana yang
telah dilakukan olehnya telah cukup bukti dan memperhatikan
pasal 21 ayat 4 KUHP. Menunjukan Surat Perintah Penahanan
kepada Tersangka, Membuat Berita Acara Penahanan, Penyidik
/ Penyidik Pembantu tidak dibenarkan menakut-nakuti tersangka
yang akan ditahan. Mengirim surat kepada keluarga tersangka
dan dibuatkan tanda terima dalam wakti 1 X 24 Jam. Sebelum
memasukkan keruang sel tahanan agar dicek kesehatan, difoto
dan diambil sidik jari tersangka. Apabila Tersangka tidak mau
menandatangani surat perintah penahanan penyidik / penyidik
pembantu membuat Berita Acara penolakan ditandatangani oleh
Saksi, Dilengkapi dengan Surat Perintah Penahanan, Dicatat
jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan surat
pemberitahuan penahanan kepada keluarga tersangka. Perlu
diingat jangka waktu penahanan terbatas (pasal 29 KUHAP),
pemeriksaan tersangka harus mulai dilakukan dalam satu hari
setelah perintah penahanan itu dijalankan (psl 122 KUHAP).
Penyidik wajib memberitahukan hasil perkembangan penyidikan
kepada Pelapor (SP2HP) setelah 20 hari penanganan perkara.
Penyidik harus berani mengambil sikap menentukan perkara tersebut.
Apabila cukup bukti segera limpahkan, sedangkan tidak cukup bukti,
41
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
100
demi hukum bukan tindakan pidana segera hentikan. SP3 diberikan
tembusanya kepada Pelapor dan Tersangka. Penyidik Melakukan
Gelar Perkara sebelum menerbitkan SP3. Apabila Perlu
Pelapor/penasehat hukumnya mengikuti gelar perkara dimaksud.
Teknik yang digunakan kejaksaan dalam upaya mengungkap
kasus tindak pidana korupsi ada tahap penyidikan, adalah dengan
menggunakan teknik interogasi saksi sebagai whistle blower. Menurut
Kamaria selaku Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan,
dikemukakan bahwa: 42
Pada kasus tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa,
pihak-pihak yang terlibat pasti lebih dari satu orang. Hal ini
dikarenakan metode pengadaan barang dan jasa yang
digunakan saat ini melibatkan banyak pihak pelaksana dan
pengawas. Oleh karenya sangat sulit untuk melakukan tindak
pidana korupsi pengadaan barang dan jasa hanya dengan
mengandarkan diri sendiri saja. Penggunaan whistle blower dan
justice collaborator dalam proses peradilan pidana merupakan
salah satu teknik yang digunakan kejaksaan untuk
mengungkatp tindak pidana korupsi pengadaan barang dan
jasa. Whistle blower adalah orang yang mengetahui tindak
pidana tersebut yang termasuk dalam jaringan yang biasanya
merupakan bawahan untuk memberanikan diri melaporkan
tindak pidana tersebut kepada penegak hukum, sedangkan
justice collaborator dilakukan banyak pelaku, dan pelaku itu
bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Peranan
saksi sebagai whistle blower dan justice collaborator sangat
penting diperlukan dalam rangka proses pengungkapan tindak
pidana korupsi.
42
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
101
Istilah justice collaborator dalam masyarakat umum sering
dikaitkan dengan whistle blower, meskipun sama-sama melakukan
kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam hal memberikan
informasi penting terkait dengan kasus hukum.Akan tetapi keduanya
memiliki status hukum yang berbeda, whistle blower dapat
diterjemahkan sebagai saksi pelapor, sedangkan justice collaborator
dapat diterjemahkan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dengan
aparat penegak hukum.
Mengenai definisi saksi mahkota sendiri, penulis mengutip
alasan pemohon kasasi (kejaksaan) dalam Putusan Mahkamah Agung
No. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa: 43
Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP
mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan
perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai
Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka
atau terdakwa lainnya yang bersamasama melakukan
perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut
diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada
Saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk
ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya
suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya
dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang
pernah dilakukan. Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H.,
M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Saksi mahkota
adalah kesaksian sesama Terdakwa, yang biasanya terjadi
dalam peristiwa penyertaan.
43
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
102
Pengertian justice collaborator menurut Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 adalah seseorang yang
merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana, mengakui kejahatan
yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut,
serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan
yang sangat signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana
dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang
memiliki peran yang lebih besar dan mengembalikan aset-aset/hasil
suatu tindak pidana.
Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, whistle blower diartikan
sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu
dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang
dilaporkannya. Namun demikian dalam praktiknya kadang whistle
blower juga terlibat dan memiliki peran yang kecil dalam kejahatan
tersebut. Banyak pandangan-pandangan yang sering mengungkapkan
bahwa whistle blower merupakan saksi pelapor, atau orang yang
melaporkan suatu tindak pidana korupsi atau permufakatan jahat
kepada aparatur penegak hukum atau penyidik.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
perlindungan saksi dan korban sama sekali tidak disebutkan kata-kata
whistle blower dan Justice collaborator. Akan tetapi berdasarkan
pengertian kedua istilah tersebut maka ditemukan kemiripan dengan
103
pengertian pelapor (whistle blower) dan saksi pelaku (justice
collaborator).
Dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban Pasal 1 angka 4 yang dimaksud dengan pelapor atau
istilah lainnya whistle blower adalah orang yang memberikan laporan
informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak
pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi. Selanjutnya dalam Pasal
1 angka 2 yang dimaksud dengan saksi pelaku atau istilah lainnya
justice collaborator disebutkan saksi pelaku adalah tersangka,
terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum
untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
Kedudukan Justice Collaborator dalam pengungkapan kasus
tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa sangat membantu
penyidik dalam menemukan alat-alat bukti dan tersangka lain yang
signifikan sehingga penyidikan dan pemeriksaan dapat berjalan efektif.
Posisi justice collaborator sangat relevan bagi sistem peradilan pidana
Indonesia untuk mengatasi kemacetan prosedural dalam
pengungkapan suatu kejahatan terorganisir dan sulit pembuktiannya.
Pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu
tindak pidana terutama yang berkaitan dengan organisasi kejahatan.
Dalam melakukan interogasi terhadap saksi dan tersangka
korupsi pengadaan barang dan jasa, seorang jaksa menggunakan
104
teknik khusus untuk dapat memecahkan kasus. Harifin Sanrang selaku
Jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mengemukakan bahwa: 44
Secara Sederhana didefinisikan sebagai upaya pembuktian
Upaya pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan
lainnya untuk mengetahui kebenaran atau bahkan kesalahan
sebuah fakta. Melakukan kegiatan investigatif sebenarnya lebih
dari sekedar mengumpulkan ribuan data atau temuan di
lapangan. Tetapi juga kembali menyusun berbagai informasi
yang berakhir dengan kesimpulan atas rangkaian temuan dan
susunan kejadian.
Dalam melakukan penyidikan, seorang jaksa akan
menggunakan teknik-teknik berbeda, tergantung pada jenis
kasus yang ditangani. Untuk kasus tindak pidana korupsi
pengadan barang dan jasa, maka teknik yang digunakan adalah
teknik Audit investigatif.
Audit investigatif merupakan penelitian secara mendalam
terhadap fakta-fakta. Penelitian tersebut berdasarkan pada
informasi yang diperoleh yang mungkin berasal dari
pengaduan/laporan, dugaan dan fakta-fakta, serta analisis lebih
lanjut terhadap fakta-fakta tersebut yang pada akhirnya menjadi
dasar untuk membuktikan atau tidak membuktikan pengaduan/
laporan atau dugaan tersebut. Pengujian dilakukan secara
objektif dan tidak memihak.
Ditambahkan pula oleh Kamaria, tujuan dilakukan pra
perencanaan adalah untuk meyakini layak tidaknya suatu
informasi/pengaduan yang diterima dapat ditindak lanjuti dengan audit
investigatif Informasi dugaan adanya kasus penyimpangan dapat
bersumber dari lingkungan intern atau ekstern antara lain,
pengembangan hasil audit reguler BPKP, lembaga eksekutif, legislatif,
44
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
105
yudikatif/lembaga negara lainnya, masyarakat atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan Media massa.
Tahapan awal dalam melakukan investigasi audit adalah tahap
perencanaan audit. Tujuan perencanaan audit investigatif adalah untuk
meminimalkan tingkat resiko kegagalan dalam melakukan audit
investigatif serta memberikan arah agar pelaksanaan audit investigatif
efisien dan efektif. Dalam perencanaan ini, seorang penyidik harus
menyusun rincian, Audit Program, Perencanaan Sumber Daya yang
Dibutuhkan dan Penugasan.
Penyidik audit investigatif melakukan pemeriksaan fakta-fakta
dan proses kejadian, Sebab dan dampak penyimpangan, Pihak-pihak
yang diduga terlibat/bertanggung jawab atas kerugian keungan negara
dan bukti-bukti yang mendukung. Tahap evaluasi bukti dilakukan
dalam rangka meyakinkan bahwa bukti dibutuhkan telah lengkap,
memiliki kaitan dan mendukung tersedianya alat bukti dari sudut
pandang hukum pembuktian tindak pidana korupsi dan membuktikan
hipotesis yang telah dikembangkan/dikembangkan kembali untuk
menyusun uraian fakta, pihak-pihak yang diduga terlibat dan
bertanggung jawab serta kerugian keungan negara.
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diketahui bahwa
penanganan tindak pidana korupsi barang dan jasa yang digunakan
Kejaksaan Sulawesi Selatan adalah melalui upaya penindakan berupa
kegiatan operasi intelijen yustisial oleh jajaran Intelijen Kejaksaan.
106
Dalam proses penyidikan digunakan teknik pengembangan kasus
dengan memanfaatkan whistle blower dan justice collaborator serta
untuk mengumpulkan data dan fakta perkara, Kejaksaan
menggunakan teknik audit investigatif sebagai metode pencarian dan
pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui
kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta.
B. Faktor Penghambat Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Bidang Pengadaan Barang Dan Jasa
Sebagaimana telah di jelaskan pada Sub Bab sebelumnya,
bahwa penanganan tindak pidana korupsi barang dan jasa yang
digunakan Kejaksaan Sulawesi Selatan adalah melalui upaya
penindakan berupa kegiatan operasi intelijen yustisial oleh jajaran
Intelijen Kejaksaan. Dalam proses penyidikan digunakan teknik
pengembangan kasus dengan memanfaatkan whistle blower dan
justice collaborator serta untuk mengumpulkan data dan fakta perkara,
Kejaksaan menggukanakanteknik audit investigatif sebagai metode
pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk
mengetahui kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta.
Serangkaian tindakan yang dilakukan Kejaksaan Sulawesi
Selatan dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa dalam praktiknya masih menemukan kendala-
kendala. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Harifin
107
Sanrang selaku Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
dikemukakan bahwa: 45
Tim penyidikan ditunjuk atas dasar Surat Perintah Penyidikan
yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri atau pejabat
teknis setingkat dibawahnya atas nama dan sepengetahuan
Kepala Kejaksaan Negeri dengan mengutamakan Jaksa yang
tergabung dalam tim penyelidikan. Tim penyidikan sekurang-
kurangnya terdiri dari Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus
selaku koordinator tim merangkap anggota tim dan tiga orang
Jaksa selaku anggota tim. Setelah dimulainya penyidikan,
penyidik harus memberitahukan telah dimulainya penyidikan
kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri. Demikian
juga hal tersebut harus dilakukan penyidik dari Kejaksaan,
dalam hal ini penyidik tetap harus menyampaikan SPDP
tersebut ke Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri melalui
nota dinas. Setelah penerimaan SPDP, maka Kepala Kejaksaan
Negeri menerbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut
Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara
pidana atau biasa disebut P-16 kemudian diikuti dengan surat
perintah penunjukan petugas pelaksana administrasi
penanganan perkara tindak pidana.
Maksud penerimaan berkas perkara tahap I adalah penerimaan
berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik, jadi berkas perkara
tersebut dikirim oleh penyidik apabila penyidikan yang telah dilakukan
dinyatakan telah selesai. Dari ketentuan pasal diatas disebutkan
bahwa penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan kepada penuntut umum. Setelah pemberkasan yang
dilakukan penyidik selesai maka penyidik mengirimkan berkas perkara
tersebut kepada Kejaksaan Negeri. Setelah menerima berkas perkara
45
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
108
dari Penyidik, Jaksa Penuntut umum wajib segera mempelajari dan
meneliti berkas perkara yang telah diserahkan oleh penyidik. Jaksa
Penuntut Umum meneliti kelengkapan secara formil maupun materiil
berkas perkara penyidikan dilakukan paling lama 14 hari. Dalam waktu
7 (tujuh) hari Jaksa Penuntut Umum harus menentukan apakah berkas
perkara tersebut sudah lengkap atau belum lengkap. Apabila penuntut
umum berpendapat kelengkapan formil/materiil berkasnya belum
lengkap maka penuntut umum menerbitkan P-18 (pemberitahuan hasil
penyidikan belum lengkap) dan mengembalikan berkas perkara
kepada penyidik. Penerbitan P-18 juga disertai dengan petunjuk-
petunjuk untuk dilengkapi oleh Penyidik yang biasa disebut dengan P-
19.
Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan
untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum. Dalam waktu
14 (empat belas) hari penyidik harus menyelesaikan penyidikan
tambahan itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk penuntut umum.
Apabila berkas perkara telah lengkap secara formil maupun materiil
maka Jaksa Penuntut Umum menerbitkan P-21 dan harus segera
membuat surat dakwaan.
Jangka waktu penyidikan dibatasi selama 4 (empat) bulan,
namun dalam prakteknya berlarut-larut bahkan sampai 1 (satu) tahun
dan bahkan lebih. Dalam waktu 4 (empat) bulan itu, penyidikan selesai
109
atau belum selesai akan diadakan ekspose di Kejaksaan Tinggi
Surabaya. Jika belum selesai dalam waktu yang ditentukan, maka
setiap 30 hari akan terus dimintakan laporan perkembangan
penyidikan. Dalam upaya penyelesaian tindak pidana korupsi di
daerah, Kejaksaan seringkali menghadapi hambatan baik dari dalam
maupun luar Kejaksaan. Hambatan tersebut ada seiring dengan situasi
dan kondisi Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di
masing-masing daerah.
Menurut Kamaria selaku Jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan, mengemukakan bahwa Secara umum hambatan yang timbul
dalam upaya penyelesaian tindak pidana korupsi di Kejaksaan meliputi
tiga pokok hambatan, yaitu: 46
Hambatan keterbatasan jumlah sumber daya manusia pada
Jaksa Penyidik yang melakukan kegiatan intelijen dan
pemeriksaan di tempat. Hambatan lainnya juga berkaitan denan
keterbatasan sumber dana/anggaran penanganan perkara
dalam kegiatan penyidikan. Banyak aktifitas luar ruangan yang
harus dilakukan, seperti kegiatan pengamatan, koordinasi
dengan BPKP serta penggunaan jasa ahli audit di luar
lingkungan Kejaksaan. Hambatan keterbatasan fasilitas/sarana
dan prasarana yang mendukung dan menunjang kegiatan
penyidikan ini menjadi faktor utama dalam mengungkap kasus
tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa.
Dalam pandangan penulis, hal ini memang sering terjadi dalam
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kejaksaan. Tindak pidana korupsi
barang dan jasa, sangat berbeda dengan jenis tindak pidana korupsi
46
Hasil Wawancara dengan Jaksa Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Selatan pada tanggal 12 Oktober 2017
110
lainnya. Proses pemeriksaan tindak pidana korupsi barang dan jasa
tidak dapat hanya dilakukan di dalam ruangan, melainkan memerlukan
pengamatan langsung di lokasi dima barang atau hasil pengerjaan jasa
itu berada misalnya pengerjaan konstruksi bangunan. Dalam
pelaksanaannya, Jaksa setingkali harus pulang pergi ke lapangan.
Sehingga keterbatasan sarana/fasilitas penunjang terutama anggaran
kegiatan sangat menghambat proses pengungkapan tindak pidana
korupsi pengadaan barang dan jasa.
Kamaria selaku Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
mengemukakan bahwa kendala teknis dalam pengungkapan kasus
tindak pidana korupsi terjadi saat tersangka buron/masuk daftar
pencarian orang (DPO). Hal ini menjadi kendala dikarenakan penyidik
juga memerlukan keterangan dari tersangka. Dalam beberapa kasus
saksi tidak berdomisili. Sering ditemui bahwa saksi yang akan dimintai
keterangan oleh Penyidik, ternyata tidak berada ditempat dan
berpindah tempat tinggal yang tidak diketahui keberadaannya.
Sehingga mengurangi kapasitas pemeriksaan perkara tindka pidana
korupsi.
Ditambahkan pula oleh Harifin Sanrang bahwa pihak kejaksaan
meminta bantuan penghitungan uang negara yang dirugikan ke
BPK/BPKP. Penghitungan ini juga terbilang lama karena pihak
BPK/BPKP juga membutuhkan dokumen-dokumen dari instansi terkait
yang melakukan tindak pidana korupsi. Pihak dari BPK/BPKP sendiri
111
juga kesulitan jika dokumen yang dicari ternyata dihilangkan oleh
tersangka. Jika tersangka yang melakukan tindak pidana korupsi ini
adalah atasannya, dalam hal ini kepala pimpinan suatu
instansi/pemerintah, hal ini juga menjadi kendala dalam penyidikan
dikarenakan saksi adalah bawahannya. Sering ditemui bahwa saksi
tidak memberikan keterangannya secara menyeluruh atau jelas,
sehingga menimbulkan keterangan yang tidak utuh.
Dalam hal hambatan yang timbul pada saat dilakukan upaya
koordinasi dengan instansi lain yang berkaitan dengan penanganan
perkara tindak pidana korupsi tahap penyidikan sebagaimana
disampaikan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus bahwa hambatan
dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki
nilai kerugian keuangan Negara sehingga pihak Jaksa Penyidik
memerlukan bantuan audit perhitungan nilai kerugian keuangan
Negara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi tersebut dan
memerlukan bantuan dari instansi lain seperti BPK maupun BPKP.
Yang dalam hal ini tentunya melalui proses mulai dari mengajukan
permohon bantuan perhitungan kerugian keuangan Negara kepada
BPK atau BPKP, jawaban atas permohon bantuan tersebut,
pemaparan perkara/gelar perkara, hingga diterbitkan laporan hasil
audit perhitungan kerugian keuangan Negara dari perkara tindak
pidana korupsi tersebut, hal ini memerlukan waktu yang sangat lama
112
hingga lebih dari dua bulan, sehingga dalam proses penyidikan
perkara tindak pidana korupsi tersebut terkesan berlarutlarut.
BPK memiliki peran penting dalam penentuan kerugian keuagan
negara. Hal ini sejalan dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2016, Sema
tersebut mengatur tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan. Salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang
menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara
konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara.
Pasal 1 angka 1 UU BPK dengan tegas menentukan bahwa “Badan
Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah
lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Selain itu, pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU BPK : “BPK menilai
dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan
oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain
yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.”
UU Nomor 17 Tahun 2003 membagi pengelolaan keuangan
negara kedalam 2 domain besar yaitu penggunaan anggaran dan
penggunaan barang. Seperti salah satunya tertuang dalam pasal 6
ayat 2 huruf b. bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan
113
memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara menguasakan
kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya.
Untuk pemerintah daerah dijelaskan dalam Pasal 10 ayat 1
huruf b dengan kalimat yang kurang lebih sama bahwa kepala
pemerintahan daerah menguasakan kewenangan pengelolaan
keuangan daerah yang dilimpahkan oleh Kepala Negara kepada
kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah.
Hal ini kemudian di kristalisasi pada pasal 1 ayat 12 dan 13 UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 1 Ayat
12 berbunyi Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang
kewenangan penggunaan anggaran kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Sedangkan Pasal 1
Ayat 13 mengatakan bahwa Pengguna Barang adalah pejabat
pemegang kewenangan penggunaan barang milik negara/daerah.
Jika dilihat secara seksama pengaturan terkait prinsip
pemeriksaan keuangan daerah, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara. Disini dijelaskan bahwa yang
berwenang memeriksa Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
114
Dalam menjalankan tugas pemeriksaan BPK mencakup seluruh
unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU
Nomor 17 Tahun 2003. Kemudian berdasarkan itu jenis pemeriksaan
yang diamanatkan oleh UU Nomor 15 Tahun 2004, pasal 4 adalah
pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan
dengan tujuan tertentu. Pada bagian penjelaskan diurai tentang
wewenang tersebut ditentukan pula bahwa Pemeriksaan keuangan,
adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK
dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi
dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim
dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan
intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan
pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan
pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu
menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah,
pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan
keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan
efisien serta memenuhi sasarannya secara efektif.
115
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang
dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan
pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini
adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan
dan pemeriksaan investigatif.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh penulis, kendala
yang paling berpengaruh dalam penyidikan sering ditemui pada saat
melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi adalah kendala
teknis. Kendala teknis itu yang mana adalah perhitungan auditor dari
BPK/BPKP. Pihak dari Kejaksaan meminta bantuan dari BPK/BPKP
untuk penghitungan kerugian uang negara. Hal ini dilakukan oleh pihak
Kejaksaan agar data kerugian uang negara lebih akurat. Penghitungan
auditor ini menjadi kendala dalam tahap penyidikan perkara tindak
pidana korupsi yang mana seringkali ditemui dari pihak BPK/BPKP
meminta tambahan data untuk melengkapi rincian keuangan. Dari
pihak Kejaksaan segera meminta dan mencari data yang berhubungan
dengan audit keuangan suatu instansi (kalau yang diperiksa sebuah
instansi pemerintahan). Hal ini dilakukan guna membuat akurat data
auditor keuangan dari sebuah instansi yang telah merugikan keuangan
negara. Arus permintaan dan pemberian data tersebut membuat
penghitungan auditor ini menjadi lama, ditambah lagi jika penyidikan
dilakukan di Pengadilan Negeri yang lokasinya jauh dari BPK/BPKP
yang berlokasi di provinsi. Penghitungan auditor ini selesai lebih dari 4
116
(empat) bulan yang mana hal ini melebihi jangka waktu penyidikan
perkara tindak pidana korupsi. Kejaksaan berupaya dalam
penyelesaian perkara tindak pidana korupsi agar di selesaikan
secepatnya, upaya yang telah dilakukan adalah meminta
perkembangan dari hasil penghitungan auditor dan mendesak
BPK/BPKP agar diselesaikan secepatnya.
117
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pemabahasan yang telah
dilakukan, penulis menarik kesimpulan bahwa:
1. Pelaksanaan Penyidikan tindak pidana korupsi di bidang
pengadaan barang dan jasa oleh Kejaksaan Sulawesi Selatan
adalah melalui upaya penindakan berupa kegiatan operasi intelijen
yustisial oleh jajaran Intelijen Kejaksaan. Dalam proses penyidikan
digunakan teknik pengembangan kasus dengan memanfaatkan
whistle blower dan justice collaborator serta untuk mengumpulkan
data dan fakta perkara. Selain itu, Kejaksaan menggukanakan
teknik audit investigatif sebagai metode pencarian dan
pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk
mengetahui kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta
dengan berkoordinasi dengan BPK/BPKP.
2. Faktor yang menghambat dalam penyidikan tindak pidana korupsi
di bidang pengadaan barang dan Jasa adalah:
a. Faktor Internal yakni, Keterbatasan jumlah sumber daya
manusia pada Jaksa Penyidik yang melakukan kegiatan intelijen
dan pemeriksaan di tempat. Hambatan lainnya juga berkaitan
denan keterbatasan sumber dana/anggaran penanganan
118
perkara dalam kegiatan penyidikan. Banyak aktifitas luar
ruangan yang harus dilakukan, seperti kegiatan pengamatan
barang bukti berupa barang dan bangunan hasil jasa konstruksi,
koordinasi dengan BPKP serta penggunaan jasa ahli audit di
luar lingkungan Kejaksaan. Hambatan keterbatasan
fasilitas/sarana dan prasarana yang mendukung dan menunjang
kegiatan penyidikan ini menjadi faktor utama dalam penyidikan
tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa.
b. Faktor eksternal yakni, tersangka buron/masuk daftar pencarian
orang (DPO). Hal ini menjadi kendala dikarenakan penyidik juga
memerlukan keterangan dari tersangka. Dalam beberapa kasus
saksi tidak berdomisili. Sering ditemui bahwa saksi yang akan
dimintai keterangan oleh Penyidik, ternyata tidak berada
ditempat dan berpindah tempat tinggal yang tidak diketahui
keberadaannya. Sehingga mengurangi kapasitas pemeriksaan
perkara tindka pidana korupsi.
B. Saran
Berkaitan dengan kesimpulan di atas, saran penulis adalah
sebagai berikut:
1. Dalam rangka pengungkapan kasus secara menyeluruh, pihak
kejaksaan harus lebih mengoptimalkan peran justice collaborator
dalam tahap penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan barang
119
dan jasa. Selain itu, metode intelijen yang selama ini sering
digunakan juga dapat lebih dioptimalkan, mengingat bahwa
korupsi pengadaan barang dan jasa merupakan jenis korupsi
terbanyak yang telah mengakibatkan kerugian negara.
2. Dalam rangka mengatasi kesulitan internal, pihak kejaksaan
harus menyusun tahapan khusus penanganan perkara korupsi
pengadaan barang dan jasa dalam mulai dari tahap penyelidikan
yang dilakukan dengan metode intlejen, tahap pemeriksaan
hingga tahap pelimpahan berkas perkara ke dalam Rencana
Kerja Kejaksaan setiap tahunnya. Hal ini dimaksudkan agar
keterbatasan ketersediaan anggaran dan fasilitas tidak menjadi
kendala proses penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa, yang mana korupsi ini merupakan jenis korupsi
yang paling banyak mengakibatkan kerugian negara.
120
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam dan DPM Sitompul. 2007. Sistem Peradilan Pidana.
Jakarta: Restu Agung.
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori
Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-
Undang (Legisprudence). Prenada Media Group. Jakarta.
Aloysius Wisnubroto. 1999. Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer. Universitas
Atmajaya. Yogyakarta.
Andi Muhammad Sofyan. 2014 Hukum Acara Pidana Suatu
Pengantar, Kencana Prenada Group, Jakarta.
Andi Muhammad Sofyan. 2016 Hukum Pidana, Pustaka Pena Press,
Makassar
Barda Nawawi Arif. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana
Media Group. Jakarta
-----------------------------. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta.
Hakristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum : Menuju Upaya Sinergistis
untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan, Jurnal
Keadilan Vol. 3, No.6 Tahun 2003/2004.
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, St. Paulminn West
Publicing, C.O, 1999, hlm : 797.
Lawrence M. Friedman. 1997. Legal Culture and Social Development,
Law and Society an Introduction New Jersey, Prentice Hall Inc.
121
---------------------------------. 2013. Sistem Hukum. Nusa Media. Bandung
M. Syukri Akub dan Baharuddin baharu. 2012. Wawasan Due Process
Of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana. Rangkang Education.
Yogyakarta
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip.
Semarang
----------. Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media
Hukum Vol. 1 No. 3 tanggal 22 Agustus 2003.
Soerjono Soekanto. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakkan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Sudarto. 1990. Hukum Pidana I, Cet. Ke-2, Semarang : Yayasan
Sudarto,
-----------, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung
Syaiful Bakhri. 2009. Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total
Media. Yogyakarta
Tim Pustaka Setia. 2002. Undang-undang Dasar 1945 Setelah
Amandemen Keempat Tahun 2002. Bandung. CV. Pustaka
Setia.
Yesmil Anwar dan Adang. 2008. Pembaharuan Hukum Pidana;
Reformasi Hukum, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Jakarta,
122
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan
2. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah melalui Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
4. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan
keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang dan/atau Jasa Pemerintah.
5. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
6. Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP-152/A/JA/10/2015 tanggal 1
oktober 2015 tentang pembentukan tim pengawal dan pengaman
Pemerintahan dan Pembangunan (TP4)