tesis pengaruh pemberian edukasi tentang …
TRANSCRIPT
i
TESIS
PENGARUH PEMBERIAN EDUKASI TENTANG DUKUNGAN SUAMI TERHADAP TINGKAT DEPRESI DAN HORMON ENDORPHIN PADA
IBU POSTPARTUM DI RSUD LATEMMAMALA KABUPATEN SOPPENG TAHUN 2017
UMMUL KHAIR P4400215037
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PENGARUH PEMBERIAN EDUKASI TENTANG DUKUNGAN SUAMI
TERHADAP TINGKAT DEPRESI DAN HORMON ENDORPHIN PADA IBU POSTPARTUM DI RSUD LATEMMAMALA
KABUPATEN SOPPENG TAHUN 2017
Disusun dan diajukan oleh
UMMUL KHAIR P4400215037
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Akhir
Pada tanggal 9 Oktober 2017
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat.
Menyetujui, Komisi Penasehat
Ketua
(Dr.dr Sharvianty Arifuddin, Sp.OG(K))
Anggota
(Dr. Werna Nontji, S.Kp.,M. kep)
Mengetahui,
Plt Ketua Program Studi
Prof.Dr.dr.Suryani As’ad,M.Sc,Sp.G(K) NIP. 19600504198601 2002
iii
ABSTRAK
UMMUL KHAIR. Pengaruh Pemberian Edukasi Tentang Dukungan Suami terhadap Tingkat Depresi dan Hormon β- Endorphin pada Ibu Nifas Di Rumah Sakit Umum Daerah Latemmamala Kabupaten Soppeng (dibimbing oleh Sharvianti Arifuddin dan Werna Nontji)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian edukasi tentang dukungan suami terhadap tingkat depresi dan hormone β- Endorphin pada ibu Nifas primipara di Rumah Sakit Umum Daerah Latemmamala Soppeng.
Desain penelitian yang digunakan yaitu rancangan kuasi eksperimen dengan menggunakan kelompok intervensi dan kelompok control. Populasi penelitian yaitu ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan di Rumah Sakit Umum Latemmamala Soppeng dan didampingi oleh suami sampai masa Nifas. Teknik yang digunakan adalah Purposive Sampling. Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 32 responden yang di bagi menjadi kelompok intervensi dan kontrol.
Hasil analisis Uji Maan Whitney U menunjukkan p=0.000<α 0.05. hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian edukasi pada pendamping ibu postpartum terhadap tingkat depresi ibu poaspartum primipara. Berdasrkan hasil uji beda dengan Mann Whitney dapat diketahui bahwa nilai signifikansi 0,000<0,05 menandakan ada perbedaan rata-rata hormone β-endorphin antara kelompok kontrol dan Intervensi yang berarti bahwa ada pengaruh pemberian edukasi tentang dukungan suami terhadap hormone β- Endorphin atau, terdapat perbedaan tingkat depresi dan hormone β-Endorphin pada ibu yang didampingi oleh suami yang mendapatkan edukasi dengan yang tidak mendapatkan edukasi.
Kata Kunci : Edukasi, Tingkat Depresi,Hormon β-Endorphin
iv
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
“Pengaruh Pemberian Edukasi tentang Pendampingan Suami terhadap
Tingkat Depresi dan Hormone β-Endorphin pada Ibu Postpartum
Primipara”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu rangkaian persyaratan
penyelesaian program pendidikan Magister Kebidanan Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar. Banyak kendala yang dihadapi oleh
penulis dalam rangka penyusunan tesis ini. Berkat bantuan dari berbagai
pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini,
penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA., selaku Rektor
Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Prof. Dr. Muhammad Ali, SE, MS., selaku Dekan Sekolah
Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
3. Prof.Dr.dr. Suryani As’ad, M.Sc, selaku PLT Ketua Program Studi
Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
4. Dr. dr. Sharvianty Arifuddin, Sp.OG (K) selaku pembimbing I dan
Dr.Werna Nontji,S.Kp.,M.Kep selaku pembimbing II dengan sabar
memberikan masukan, bimbingan dan bantuan sehingga proposal
tesis ini siap untuk dipertahankan depan penguji.
v
5. Para Dosen dan Staff Program Studi Magister Kebidanan dengan tulus
memberikan ilmunya selama menempuh pendidikan.
6. Teristimewa Kepada Kedua Orang tua, Jumdari Arawi (Bapak) dan
Nahariah S.Pd (IBU), suami tercinta Hasnawir Bahar, S.Kom dan
yang terkasih ananda Muh. Hanif Hidayatullah sebagai salah satu
penyemangat dalam menempuh pendidikan serta kerabat yang tiada
putus memberi dukungan dan doa untuk kelancaran dan kemudahan
penyusunan proposal tesis.
7. Para rekan kerja dari Akbid Menara Primadani Soppeng yang tiada
hentinya memberikan dukungan serta motivasi selama menempuh
pendidikan Magister Kebidanan.
8. Teman-teman seperjuangan Magister Kebidanan angkatan IV yang
memberi semangat dalam proses penyusunan dan penyelesaian tesis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan.
Penulis berharap kritik dan saran yang dapat mendukung kesempurnaan
tesis ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Makassar, Oktober 2017
Ummul Khair
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii
ABSTRAK .............................................................................................. iii
PRAKATA .............................................................................................. iv
DAFTAR ISI ........................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 8
BAB II. TINAJUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Masa Nifas ........................................................ 10
B. Tinjauan Umum Depresi Pasca Melahirkan ................................ 19
C. Tinjauan Umum Edukasi ............................................................. 27
D. Tinjauan Umum Hormone Endorphin .......................................... 44
E. Hasil Penelitian Terkait ................................................................ 59
F. Kerangka Teori ............................................................................ 63
G. Kerangka Konsep ........................................................................ 64
H. Hipotesis ...................................................................................... 64
I. Definisi Operasional .................................................................... 64
vii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desai Penelitian ..................................................................... 66
B. Lokasi Dan Waktu Penelitian ................................................. 66
C. Populasi dan Sampel ............................................................. 67
D. Alur Penelitian ........................................................................ 70
E. Instrument Pengumpulan Data .............................................. 71
F. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 73
G. Pengolahan Data ................................................................... 76
H. Etika Penelitian ...................................................................... 78
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...................................................................... 80
B. Pembahasan .......................................................................... 91
C. Keterbatasan ......................................................................... 100
BABV PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 102
B. Saran ................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 : Distribusi Karakteristik Reponden ..................................... 82 Tabel 4.2 : Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Sebelum dan
Sesudah Edukasi .............................................................. 83 Tabel 4.3 : Distribusi Frekuensi Edukasi terhadap Tinkat Depresi
Antara Kelompok Kontrol dan Intervensi .......................... 84 Tabel 4.4 : Distribusi Frekuensi Hormon β-Endorphin antara
Kelompok Kontrol dan Intervensi ...................................... 86 Tabel 4.5 : Pengaruh Edukasi terhadap Tingkat Depresi...................... 87 Tabel 4.6 : Pengaruh Edukasi terhadap Hormon β- Endorphin ............ 89 Tabel 4.7 : Pengaruh Hormon β-Endorphin terhadap Tingkat
Depresi pada Kelompok Kontrol ....................................... 90
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Kerangka Teori ............................................................... 63
Gambar 2.2 : Kerangka Konsep ........................................................... 64
Gambar 3.1 : Bagan Alur Penelitian ..................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persalinan merupakan masa yang cukup berat bagi ibu,
dimana proses melahirkan layaknya sebuah pertaruhan hidup dan
mati seorang ibu, terutama pada ibu primipara, dimana mereka belum
memiliki pengalaman melahirkan. Hal tersebut pula akan dirasakan
setelah melahirkan(Kurniasih, 2009). Rasa cemas, panik, dan takut
akan merawat dan membesarkan bayinya serta rasa sakit yang
dirasakan ibu dapat mengganggu proses masa nifas dan
mengakibatkan ibu dapat mengalami beberapa gangguan masa nifas
Menurut Vivin (2011) dan Yanti (2014) mengatakan bahwa salah satu
tujuan dalam perawatan dalam masa nifas adalah menjaga kesehatan
ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis.
Setelah fase persalinan dilalui maka akan memasuki fase nifas
dimana Fase nifas merupakan bagian dari kehidupan ibu dan bayinya
yang bersifat kritis. Diperkirakan sekitar 60% dari kematian ibu adalah
akibat persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam
pertama pasca persalinan. Masa nifas dimulai setelah placenta lahir
dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan
sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu.
(Varney H 2008)
2
Proses adaptasi psikologis pada seorang ibu telah dimulai
sejak ibu hamil. Perubahan mood seperti sering marah, menangis,
dan sering sedih atau cepat berubah perasaan menjadi senang
merupakan manifestasi dari emosi yang labil (Suherni, dkk,2008).
Terdapat tiga gangguan mood yang dapat terjadi setelah kelahiran
bayi, yaitu postpartum blues, depresi postpartum dan psikosis
postpartum. Menurut bobak(2005) di Indonesia kejadian postpartum
blues yaitu 50-70 % dan hal ini dapat berlanjut menjadi depresi
postpartum dengan jumlah bervariasi dari 55 hingga lebih dari 25%
setelah ibu melahirkan.
Baby Blues Syndrome (BBS) adalah depresi ringan yang
dialami ibu setelah melahirkan. BBS dipengaruhi oleh ketidaksiapan
ibu untuk melahirkan, termasuk kesulitan menyusui, ketidakmampuan
memandikan bayi, dan kekurangan pengetahuan tentang cara-cara
menangani bayi (Lubis, 2009). BBS biasanya dialami oleh ibu selama
3 – 4 hari setelah melahirkan, namun menghilang setelah beberapa
minggu (Lubis, 2009, National Mental HealthAssociation, 2009). BBS
disebut juga maternity blues atau postpartum blues (PPB). Gejalanya
berupa gangguan emosi seperti sering menangis, murung, panik,
mudah marah dan disertai gejala depresi seperti mood swings,
gangguan tidur dan selera makan, serta gangguan konsentrasi yang
terjadi akibat perubahan hormonal (Atmadibrata, 2005; National
Mental Health Association, 2009). Gejala PPB yang berlangsung lebih
3
dari dua minggu dan menetap pada ibu post partum dapat
berkembang ke arah PPD. Hasil penelitian Ismail(2014) dari bagian
psikiatri UI melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu
melahirkan) mengalami PPB. Ia juga menyatakan gejala PPB dialami
oleh sekitar 50-75% ibu yang melahirkan pertama kali, atau dua
pertiga dari jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia (Atmadibrata,
2005). Bahkan The National Mental Health Association (2009)
menyatakan bahwa sekitar 80% ibu yang melahirkan bayi untuk
pertama kalinya mengalami gejala tersebut
Kasus depresi post partum ini sudah banyak dilaporkan dengan
tingkat insiden yang bervariasi. WHO (2011) menyatakan tingkat
insiden kasus depresi post partum yang berbeda di beberapa negara
seperti di Kolumbia (13,6%), Dominika (3%), dan Vietnam (19,4%).
Soep (2009) melaporkan hasil penelitian dari O’Hara dan Swain
bahwa kasus depresi post partum masih banyak terjadi di beberapa
negara maju seperti di Belanda (2%-10%), Amerika Serikat (8%-
26%), dan Kanada (50%-70%). Sedangkan di Indonesia sendiri,
insiden kasus depresi post partum bervariasi yaitu di Bandung
mencapai 30% (2002) , Medan mencapai 48,4% (2009), dan
Jatinegara, Jakarta, serta Matraman mencapai 76% (2010). Jadi
insiden depresi di Indonesia masih lebih tinggi di banding Negara lain
dengan selisih 6%.
4
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membantu ibu
beradaptasi pada masa nifas yakni peran dan fungsi menjadi orang
tua, respon dan dukungan psikososial dari keluarga, sejarah riwayat
dan pengalaman masa kehamilan dan persalinan, harapan, keinginan
dan aspirasi pada saat hamil dan melahirkan. Semua hal tersebut
saling berkaitan selama proses adaptasi.
Dalam beberapa penelitian, depresi postpartum terbukti dapat
menghambat keberlangsungan menyusui. Ibu dengan kondisi depresi
terutama pasca melahirkan kemungkinan akan lebih cepat untuk
melakukan penyapihan ASI dini kepada bayinya dibandingkan dengan
ibu dengan kondisi normal. Sebanyak 82% ibu dengan depresi
postpartum berhenti menyusu setelah mengalami gejala depresi
(Jager et al.,2012).
Kejadian depresi post partum ini dapat disebabkan oleh
berbagai hal, diantaranya akibat dari perubahan fisik dan hormon,
dukungan keluarga, suami, dan sosial yang kurang, riwayat obstetri
ibu, proses persalinan yang ibu alami, riwayat depresi pada ibu
maupun keluarga sebelumnya, serta faktor stress akibat masalah
yang dirasakan oleh ibu pada saat itu. Oleh karena itu, beberapa
peneliti telah mengajukan beberapa intervensi yang dapat diberikan
untuk mengurangi kejadian depresi post partum ini, diantaranya
pendidikan kesehatan mengenai antenatal, proses perawatan bayi di
rumah, serta depresi post partum melalui booklet, proses metode
5
belajar sambil bermain mengenai cara perawatan bayi kepada ibu,
serta pentingnya dukungan suami dalam kehamilan hingga perawatan
bayi. Intervensi tersebut terbukti mampu untuk mengurangi kejadian
depresi post partum pada ibu.
Secara psikologis, istri membutuhkan pendampingan keluarga
selama proses kehamilan hingga nifas. Proses persalinan merupakan
masa yang paling berat bagi ibu, dimana ibu membutuhkan dukungan
dari berbagai pihak, terutama suami agar dapat menjalani proses
persalinan sampai melahirkan dengan aman dan nyaman. World
Health Organization (WHO) merekomendasikan bahwa pendamping
persalinan adalah atas pilihan ibu sendiri. Namun saat ini partisipasi
pria dalam kesehatan reproduksi masih rendah, masih banyak suami
belum mampu menunjukkan dukungan penuh terhadap proses
persalinan, terdapat 68% persalinan di Indonesia tidak didampingi
suami selama proses persalinan. Efek dari tidak adanya
pendampingan suami selama persalinan berdampak kecemasan pada
ibu mengakibatkan kadar kotekolamin yang berlebihan sehingga
menyebabkan turunnya aliran darah ke rahim, kontraksi melemah,
turunnya aliran darah ke placenta, oksigen yang tersedia untuk janin
berkurang serta dapat meningkatkan lamanya persalinan (Cholil,2006)
Pada penelitian Putri Ayu Yessy Ariescha(2015) dengan judul
pengaruh pemberian Edukasi pada Pendamping Persalinan terhadap
Kecemasan dan Intensitas Nyeri pada Ibu Bersalin Primigravida di
6
RSU Sembiring Delitua Medan dengan hasil analisis uji Mann Whitney
U p=0,000 < α 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh
pemberian edukasi pada pendamping persalinan terhadap tingkat
kecemasan ibu bersalin primigravida. Sementara uji Mann Whitney U
untuk intensitas nyeri menunjukkan p=0,002 <α 0,05. Hal ini juga
menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian edukasi pada
pendamping persalinan terhadap intensitas nyeri ibu bersalin
primigravida. Dengan kata lain, terdapat perbedaan tingkat
kecemasan dan intensitas nyeri ibu bersalin primigravida yang
mendapatkan edukasi dan tidak mendapatkan edukasi pada suami
sebagai pendamping persalinan.
Dengan demikian, penting sekali bagi tenaga kesehatan untuk
memberikan edukasi tentang peran pendamping bagi ibu selama
masa nifas, sehingga baik ibu maupun suami dapat mengetahui apa
yang harus mereka lakukan pada saat proses masa nifas
berlangsung, sehingga ibu dapat merasakan nyaman dan tidak stress
menghadapi masa nifas.
Rumah Sakit Umum Daerah Latemmamala Kabupaten
Soppeng merupakan satu-satunya Rumah sakit yang ada di
kabupaten Soppeng dan merupakan salah satu Rumah Sakit yang
berkembang. Angka persalinan di Rumah Sakit ini setiap bulannya
tercatat 52 orang (januari 2015). Namun di Rumah Sakit ini belum
pernah diadakan bimbingan edukasi khusus untuk pendamping masa
7
nifas, sehingga biasanya para suami hanya menemani ibu saja
selama masa nifas, tanpa mengerti dan mengetahui apa seharusnya
yang dilakukan suami sebagai pendamping masa nifas.
Penelitian tentang pendampingan suami pada saat persalinan
sudah banyak dilakukan namun penelitian tentang pendamping pada
masa nifas masih jarang maka dilakukan penelitian tentang pengaruh
pemberian edukasi tentang dukungan suami terhadap tingkat depresi
dan hormone endorphin pada ibu post partum primipara di RSUD
latemmamala Kabupaten Soppeng tahun 2017.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“bagaimanakah pengaruh pemberian edukasi tentang dukungan
suami terhadap tingkat depresi dan hormone endorphin pada ibu
postpartum primipara di RSUD Latemmamala kabupaten Soppeng
tahun 2017?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pemberian edukasi tentang dukungan
suami terhadap tingkat depresi dan hormone endorphin pada ibu
postpartum primipara di RSUD Latemmamala Kabupaten Soppeng
tahun 2017.
8
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat pengetahuan suami tentang dukungan
suami pada ibu nifas sebelum dan sesudah diberi edukasi.
b. Mengetahui pengaruh edukasi dukungan suami terhadap tingkat
depresi pada ibu postpartum primipara pada kelompok control
dan kelompok intervensi
c. Mengetahui pengaruh edukasi dukungan suami terhadap
hormone endorphin pada ibu postpartum primipara pada
kelompok control dan kelompok intervensi
d. Mengetahui pengaruh hormone endorphin terhadap tingkat
depresi pada ibu nifas primipara. pada kelompok control dan
kelompok intervensi
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
tentang pentingnya edukasi tentang dukungan suami pada ibu
nifas primipara dalam meningkatkan asuhan kebidanan.
2. Manfaat Aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi
petugas kesehatan dan sumber informasi bagi Dinkes
Watansoppeng dalam menentukan arah kebijakan peningkatan
kualitas asuhan masa nifas, utamanya pada ibu nifas primipara
dalam upaya pencegahan depresi pasca melahirkan.
9
E. Batasan penelitian
Lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah Endorphin
Pada ibu Nifas. Sasaran pada ibu nifas yang ada di RSUD
Latemmamala Kabupaten Soppeng. Lingkup Waktu dalam
penelitian ini direncanakan dimulai pada bulan mei 2017.
F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, sistematika penulisan proposal ini yaitu:
BAB I :Pendahuluan menguraikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, lingkup penelitian,
penelitian terkait, dan sistematika penulisan.
BAB II :Tinjauan Pustaka, berisi tentang tinjauan umum tentang
hormon endorphin dan pengaruh dukungan suami pada ibu
postpartum.
BAB III : Metode Penelitian, mencakup rancangan penelitian, waktu
dan lokasi penelitian, populasi dan sampel, alur penelitian,
instrument pengumpulan data, teknik pengumpulan data,
pengolahan dan analisis data, dan etika penelitian.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Masa Nifas
1. Defenisi Masa Nifas
Masa nifas dimulai setelah placenta lahir dan berakhir ketika
alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa
nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Wanita yang melalui
periode purperium disebut puerpura (Varney, H. 2008).
Fase nifas merupakan bagian dari kehidupan ibu dan bayinya
yang bersifat kritis. Diperkirakan sekitar 60% dari kematian ibu adalah
akibat persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam
pertama pasca persalinan. Dalam memberikan pelayanan pada fase
nifas, seorang bidan menggunakan asuhan, berupa memantau
keadaan fisik, psikologis, spiritual, kesejahtraan sosial ibu, serta
memberikan pendidikan dan penyluhan yang kontinu. Melalui proses
pemantauan dan asuhan diharapkan bisa mencegah atau bahkan
menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi (Janiwarty
dan Pieter, 2013:268).
2. Tujuan Asuhan Masa Nifas
a. Tujuan umum
Membantu ibu dan pasangannya selama masa transisi awal
mengasuh anak.
11
b. Tujuan khusus
1) Menjaga kesehatan ibu dan bayi baik fisik maupun
psikologisnya.
2) Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi
masalah, mengobati/merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu
dan bayinya.
3) Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan
kesehatan diri, nutrisi, KB, menyusui, pemberian imunisasi
dan perawatan bayi sehat.
4) Memberikan pelayanan keluarga berencana.
3. Peran dan Tanggungjawab Bidan dalam Masa Nifas
Peranan dan tanggungjawab bidan dalam masa nifas adalah
a. Mendeteksi komplikasi dan perlunya rujukan
b. Memberikan konseling untuk ibu dan keluarganya mengenai cara
mencegah perdarahan, mengenali tanda-tanda bahaya, menjaga
gizi yang baik, serta mempraktekkan kebersihan yang aman.
c. Memfasilitasi hubungan dan ikatan batin antara ibu dan bayi.
d. Memulai dan mendorong pemberian ASI.
4. Tahapan Masa Nifas
Nifas dibagi menjadi 3 tahap :
a. Puerperium dini
Kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-
jalan.
12
b. Puerperium intermedial
Kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8
minggu.
c. Remote puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama
bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi.
Bebrapa hal yang perlu diperhatikan bidan dan keluarga untuk
membantu ibu beradaptasi pada masa nifas adalah peran dan
fungsinya ibu menjadi orang tua, respon dan dukungan psikososial
dari keluarganya, sejarah riwayat dan pengalaman masa kehamilan
dan persalinannya, harapan, keinginan dan aspirasi pada saat hamil
dan melahirkan. Semuanya saling berkaitan selama proses adaptasi
nifas. Terdapat beberapa fase yang dilalui pada masa nifas, yaitu
(Janiwarty dan Pieter, 2013: 272-273).
a. Fase taking in
Fase ini merupakan fase ketergantungan ibu yang
berlangsung 1-2 hari pasca melahirkan. Dalam fase taking ini ibu
berfokus kepada dirinya sendiri, sehingga cenderung pasif
terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, keluarga perlu
memahaminya dengan menjaga komunikasi yang baik. Pada fase
ini, sangat membutuhkan perhatian ekstra, baik itu menyangkut
asupan makanan untuk proses pemulihannya, di samping nafsu
13
mkan yang memang sedang meningkat ataupun dukungan
psikologis. (Janiwarty dan Pieter, 2013:272)
b. Fase taking hold
Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan.
Periode taking hold dianggap masa perpindahan dari keadaan
ketergantungan menjadi keadaan mandiri. Perlahan-lahan itngkat
energi ibu meningkat, merasa lebih nyaman dan mulai berfokus
pada bayi yang dilahirkannya. Kini ibu mulai belajarmandiri dan
berinisiatif merawat dirinya sendiri, belajar mengontrol fungsi
tubuhnya, mengeliminasi dan memperhatikan aktivitas, tugas-tugas
yang diajarkan pada periode taking hold adalah
1) Mengajarkan anggota untuk terus melakukan komunikasi yang
baik dengan ibu nifas.
2) Memberikan dukungan psikologis
3) Memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan, terutama
tentang perawatan diri sendiri dan bayinya.
Sementara tugas bidan adalah
1) Mengajarkan ibu niafs tentang cara-cara perawatan bayi.
2) Mengajarkan ibu tentang cara-cara menyusui yang benar.
3) Mengajarkan ibu tentang senam nifas dan kesehatan gizi.
4) Menganjurkan ibu untuk cukup istirahat.
5) Mengajarkan ibu untuk menjaga kebersihan diri.
14
c. Fase letting go
Fase ini merupakan fase menerima tanggungjawabakan
peran barunya yang berlangsung selama 10 hari setelah
melahirkan. Ibu sudah bisa menyesuaikan diri dari
ketergantungannya. Kini keinginan merawat diri sendiri dan bayi
sudah semakin meningkat, dan ibu mulai merasa lebih nyaman.
Secara bertahap ibu mulai mengambil alih terhadap tugas dan
tanggung jawab perawatan bayi. Ibu mulai memahami kebutuhan
bayinya. Beberapa hal yang bisa dianjurkan bidan kepada ibu yang
memasuki fase ini adalah mengajarkan ibu tetap cukup istirahat,
memperhatikan gizi dan pentingnya dukungan keluarga,
memberikan perhatian dan kasih sayang, dan menghibur ibu saat
sedih atau menemani saat kesepian.
5. Deteksi Dini pada Masa Nifas
Masa nifas dimulai setelah plasenta lahir sampai 6 minggu
berikutnya. Setiap tahap masa nifas bidan perlu menilai status ibu,
mencegah, mendeteksi menangani masalah-masalah yang terjadi
karena ibu nifas rentan terjadi penyulit dan komplikasi, diantaranya :
a. Masa 2 jam dan 6 jam nifas
Asuhan masa nifas diperlukan karena pada periode ini
merupakan masa kritis bagi ibu dan bayinya. Diperkirakan 60%
kematian ibu terjadi akibat setelah persalinan dan 50% kematian
masa nifas terjadi 24 jam pertama. Apabila uterus lembek dan tidak
15
berkontraksi, perdarahan 350-500cc per menit waspadai
perdarahan ibu post partum karena atonia uteri.
b. Masa 6 hari – 6 minggu nifas
1) Beberapa bakteri dapat menyebabkan infeksi setelah persalinan.
Infeksi masa nifas masih merupakan penyebab tertinggi AKI.
Infeksi yang meluas ke saluran urinary dan payudara. Gejala
umum infeksi dapat dilihat dari temperature atau suhu,
pembengkakan, takikardi dan malaise. Sedangkan gejala lokal
dapat berupa uterus lembek, kemerahan, dan rasa nyeri atau
adanya disuria.
2) Wanita yang baru melahirkan sering mengeluh sakit kepala
hebat atau penglihatan kabur. Disertai pembengkakan diwajah
atau ekstremitas.
3) Payudara yang berubah menjadi merah, panas, dan terasa sakit.
Payudara bengkak yang tidak disusui secara adekuat dapat
menyebabkan payudara menjadi merah, panas, terasa sakit,
akhirnya terjai mastitis. Puting lecet akan memudahkan
masuknya kuman dan terjadinya payudara bengkak.
4) Sesudah anak lahir ibu akan merasa lelah mungkin juga lemas
pencernaan tidak langsung turut mengadakan proses
persalinannya tersebut. Sehigga alat pencernaan perlu istirahat
guna memulihkan keadaannya kembali. Oleh karena itu tidak
benar bila ibu diberikan makanan sebanyak-banyaknya
16
walaupun ibu menginginkan tetapi biasanya disebabkan adanya
kelelahan yang amat berat, nafsu makan pun akan terganggu.
5) Selama masa nifas dapat terbentuk thrombus sementara pada
vena-vena maupun pelvis yang mengalami dilatasi, perlu
wasapada apabila disertai rasa sakit, merah, lunak, dan
pembengkakan di kaki. Timbul rasa nyeri seperti terbakar, nyeri
tekan maka mengarah pada gejala trompoplebitis
6) Pada minggu-minggu awal setelah persalinan kurang lebih 1
tahun ibu postpartum cenderung mengalami perasaan-perasaan
yang tidak pada umumnya, seperti merasa sedih, tidak mampu
mengasuh dirinya sendiri sendiri dan bayinya. Waspadai bila
berlanjut pada depresi postpartum. (Syaifuddin, 2001)
6. Kebutuhan Dasar Masa Nifas
Periode post partum adalah waktu penyembuhan dan
perubahan yaitu kembali pada keadaan tidak hamil. dalam masa post
partum, alat-alat genetalia interna maupun eskterna akan berangsur-
angsur pulih seperti pada keadaan sebelum hamil.
Untuk membantu mempercepat proses pemulihan pada masa
post partum, maka kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan ibu post
partum antara lain, Nutrisi dan cairan, Ambulasi, Eliminasi, Kebersihan
diri dan perineum, Istirahat, Seksual, Keluarga Berencana, dan
Latihan / senam nifas
17
7. Penyesuaian Wanita terhadap Pasca Persalinan
a. Aspek-aspek pasca persalinan yang memerlukan kemampuan
coping Nicolson (dalam Bobak dkk., 1994, h.665) membagi empat
aspek yang memerlukan kemampuan penanggulangan masalah
secara nyata pasca persalinan pada seorang wanita yaitu:
1) Penyesuaian fisik
2) Perasaan tidak aman
3) Adanya sistem dukungan
4) Kehilangan akan identitasnya yang dulu
b. Ikatan (bonding) dan kelekatan (attachment)
Ikatan (bonding) dapat dianggap sebagai langkah awal proses
terjadinya saling ketertarikan dan saling mereaksi antara orang tua
dan bayi yang baru lahir, mengembangkan cara dalam membantu
pembentukan cinta dan afiliasi selanjutnya (Mercer; Brazelton;
Reeder dalam Reeder, 1997, h.654). Ikatan antara ibu dan bayi
tidak dibatasi akan muncul pada saat-saat awal setelah kelahiran.
Selanjutnya kelekatan (attachment) pada anak terjadi secara
bertahap melalui proses pembentukan hubungan (bonding
formation process) yang dipelajari sejak masa bayi. Berikut adalah
faktor-faktor yang berhubungan dengan ikatan dan kelekatan
(Klaus dkk.; Mercer; Stainton; Brazelton; Willne dkk., dalam
Reeder, 1997, h.654), yaitu:
1) Kesehatan emosional orangtua, termasuk kemampuan untuk
18
mempercayai.
2) Sistem dukungan sosial yang cukup, termasuk dari pasangan,
keluarga dan teman-teman.
3) Kemampuan komunikasi dan melakukan pengasuhan.
4) Setidaknya terdapat kedekatan bayi dengan salah satu
orangtua berkesinambungan secara optimal.
5) Kesesuaian bayi dan orangtua, termasuk kepuasan dengan
jenis kelamin bayi, kesesuaian harapan dengan keadaan bayi,
dan kesesuaian temperamen.
c. Mitos motherhood
Sejumlah mitos seputar penyesuaian peran ibu baru
sebelum/setelah melahirkan yang disebut motherhood seringkali
memunculkan perasaan kegagalan, kekurangan akan sesuatu,
dan kekecewaan. Hoffnung (dalam Lips, 1988, h.264) juga
menggambarkan mitos motherhood sebagai kumpulan pernyataan
mengenai peran ibu yang telah mempengaruhi wanita sehingga
merasa bersalah dan merasa tidak lengkap apabila tidak memiliki
anak atau apabila mereka tidak dapat mencurahkan diri secara
penuh pada anak mereka.
19
B. Tinjauan Umum Depresi Pasca Melahirkan
1. Pengertian Depresi Pasca Melahirkan (DPM)
Menurut Beck dkk., (dalam Reeder dkk., 1997) menjelaskan
bahwa depresi postpartum merupakan salah satu bentuk gangguan
perasaan akibat penyesuaian terhadap kelahiran bayi, yang muncul
pada hari pertama sampai hari ke empat belas setelah proses
persalinan, dengan gejala memuncak pada hari ke lima.
Gennaro (dalam Bobak dkk., 1994) menyebutkan depresi
pasca melahirkan adalah perasaan sedih dan depresi segera
setelah persalinan, dengan gejala dimulai dua atau tiga hari pasca
persalinan dan biasanya hilang dalam waktu satu atau dua minggu.
Pada umumnya perasaan sedih banyak dialami oleh para
ibu yang mengalami persalinan yang pertama. Baby blues atau
depresi biasanya terjadi hingga hari ke empat belas pasca
melahirkan dan pada hari ke-tiga dan empat adalah hari yang
paling berat untuk dilewati (Winaris, 2011). Depresi pasca
melahirkan (DPM) adalah salah satu bentuk depresi mayor dialami
ibu yang melahirkan bayi pertama dan berlangsung pada tahun
pertama setelah kelahiran bayi. DPM merupakan perubahan fisikal,
emosional, tingkah laku yang kompleks yang terjadi setelah
melahirkan dan dilengkapi dengan perubahan kimia dalam tubuh,
sosial, dan psikologis yang diasosiasikan dengan kelahiran bayi
(The Cleveland Clinic, 2004).
20
Menurut Pitt (Regina dkk, 2001) tingkat keparahan depresi
postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu
saat ibu mengalami “kesedihan sementara” yang berlangsung
sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the
blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling
berat disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2
keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif mempunyai
tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau
depresi postpartum.
2. Faktor Penyebab Depresi Pasca Melahirkan
Rosenberg et al (2003), menyatakan bahwa faktor penyebab
depresi pasca melahirkan meliputi:
a. Faktor biologi
Depresi dan kecemasan selama kehamilan, memiliki sejarah
keluarga yang depresi, mengalami baby blues yang tidak
teratasi selama dua minggu, mengalami premenstrual syndrome
yang cukup parah, disfungsi kelenjar tiroid, masalah
kesuburan,dan pernah mengalami keguguran atau aborsi.
b. Faktor psikologis
1) Distres psikologis, seperti kritik terhadap diri sendiri dan
pemikiran bunuh diri.
2) Stres yang berhubungan dengan peran sebagai ibu, seperti
memikirkan kesehatan bayi, perasaan tidak adekuat menjadi
21
orang tua.
3) Sejarah masa kecil ibu seperti kekerasan fisik,
emosi/seksual pada masa kecil, kehidupan keluarga yang
tidak harmonis atau tidak memuaskan, kehamilan yang tidak
diharapkan, dan stress selama kehamilan dan kelahiran
bayi.
4) Kebahagiaan atau ketidak bahagiaan pernikahan juga
merupakan faktor psikologis yang dapat menyebabkan
Depresi Pasca Melahirkan. Jika pernikahan tidak bahagia
atau hubungan pasangan kurang bahagia seperti gangguan
hubungan dengan suami selama periode kehamilan,
komunikasi terhambat, kurangnya afeksi, perbedaan nilai
atau ketidak sesuaian keinginan, maka terdapat
kecenderungan ibu mengalami Depresi Pasca Melahirkan
(DPM).
c. Faktor sosial
Kurangnya dukungan social dan emosional terutama dari
pasangan. Karena ibu baru yang sedang mengalami masa
transisi menjadi seorang ibu, membutuhkan bantuan dan
dukungan sebelum dan selama kehamilan serta setelah
kelahiran bayi, selanjutnya status sosial ekonomi yang rendah
atau tidak bekerja menjadi orang tua tunggal atau bercerai,
tingkat pendidikan yang rendah, dan tekanan pada saat tidak
22
dapat menyusui bayi. Ibu baru akan mengalami tekanan sosial
untuk mengasuh bayinya. Sehingga ketika ibu mengalami
kesulitan menyusui atau tidak mau menyusui atau merasa tidak
mampu menyusui, maka ibu merasa bersalah dan depresi.
d. Faktor Hormonal
Kasdu (2005) menyebutkan bahwa faktor hormonal
seringkali disebut sebagai faktor utama yang dapat memicu
timbulnya postpartum blues. Faktor ini melibatkan terjadinya
perubahan kadar sejumlah hormon dalam tubuh ibu pasca
persalinan, yaitu menurunnya kadar hormon progesteron,
hormon estrogen, ketidakstabilan kelenjar tiroid, dan
menurunnya tingkat endorfin (hormon kesenangan).
Meskipun demikian, masih banyak faktor lain yang perlu
dipertimbangkan dalam terjadinya postpartum blues seperti
harapan persalinan yang tidak sesuai dengan kenyataan, adanya
perasaan kecewa dengan keadaan fisik dirinya juga bayinya,
kelelahan akibat proses persalinan yang baru dilaluinya, kesibukan
mengurus bayi dan perasaan ibu yang merasa tidak mampu atau
khawatir akan tanggung jawab barunya sebagai ibu, kurangnya
dukungan dari suami dan orang-orang sekitar, terganggu dengan
penampilan tubuhnya yang masih tampak gemuk, dan
kekhawatiran pada keadaan sosial ekonomi yang membuat ibu
harus kembali bekerja setelah melahirkan.
23
Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebeb
depresi postpartum sebagai berikut :
a. Faktor konstitusional.
Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah
riwayat obstetri pasien yang meliputi riwayat hamil sampai
bersalin serta apakah ada komplikasi dari kehamilan dan
persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita
primipara. Wanita primipara lebih umum menderita blues karena
setelah melahirkan wanita primipara berada dalam proses
adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi
lahir jika ibu tidak paham perannya ia akan menjadi bingung
sementara bayinya harus tetap dirawat.
b. Faktor fisik
Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya
gangguan mental selama 2 minggu pertama menunjukkan
bahwa faktor fisik dihubungkan dengan kelahiran pertama
merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis
setelah melahirkan dan periode laten selama dua hari diantara
kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat
berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik
dan estrogen yang menurun secara cepat setelah melahirkan
merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.
24
c. Faktor psikologis
Peralihan yang cepat dari keadaan “dua dalam satu” pada akhir
kehamilan menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung
pada penyesuaian psikologis individu. Klaus dan Kennel
(Regina dkk, 2001) mengindikasikan pentingnya cinta dalam
menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai hubungan
baik antara ibu dan anak.
d. Faktor sosial
Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman
yang tidak memadai lebih sering menimbulkan depresi pada
ibu–ibu, selain kurangnya dukungan dalam perkawinan.
Menurut Kruckman (Yanita dan zamralita, 2001), menyatakan
terjadinya depresi pascasalin dipengaruhi oleh faktor :
1) Biologis
Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum
sebagai akibat kadar hormon seperti estrogen, progesteron
dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam
masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu
cepat atau terlalu lambat.
2) Karakteristik ibu, yang meliputi :
a) Faktor umur
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang
tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada
25
usia antara 20–30 tahun, dan hal ini mendukung masalah
periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang
ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat
kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan
kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi
seorang ibu.
b) Faktor pengalaman
Beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Paykel dan Inwood (Regina dkk, 2001)
mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih banyak
ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa
peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan
bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi
dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian
yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami
istri muda dari kelas sosial menengah mengajukan
hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis
setelah kelahiran bayi pertama.
c) Faktor pendidikan
Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi
tekanan sosial dan konflik peran, antara tuntutan sebagai
perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau
melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran
26
mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari
anak–anak mereka (Kartono, 1992).
d) Faktor selama proses persalinan
Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi
medis yang digunakan selama proses persalinan. Diduga
semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat
persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis
yang muncul dan kemungkinan perempuan yang
bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin.
e) Faktor dukungan sosial
Banyaknya kerabat yang membantu pada saat
kehamilan, persalinan dan pascasalin, beban seorang ibu
karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.
3. Cara mengukur tingkat depresi pada ibu nifas
Untuk membantu mengungkapkan tingkat depresi seseorang
dapat menggunakan skala depresi beck yang disebut BDI (The
Beck Depression Inventory). Skala BDI (The Beck Depression
Inventory), terdiri dari 21 kelompok aitem yang menggambarkan
21 kategori sikap dan gejala depresi, yaitu : sedih,
pesimis,merasa gagal, merasa tidak puas, merasa bersalah,
merasa dihukum, perasaan benci pada diri sendiri,
menyalahkan diri sendiri, kecenderungan bunuh diri, menangis,
mudah tersinggung, manarik diri dari hubungan social, tidak
27
mampu mengambil keputusan, merasa dirinya tidak menarik
secara fisik, tidak mampu melaksanakan aktivitas, gangguan
tidur, merasa lelah, kehilangan selera makan, penurunan berat
badan, preokupasi somatic dan kehilangan libido sex (dalam
Lestari, 2003). Masing-masing kelompok aitem terdiri dari 4-6
pernyataan yang menggambarkan dari tidak adanya gejala
sampai adanya gejala yang paling berat
C. Tinjauan Umum Edukasi
1. Pengertian Edukasi
Dalam bidang kesehatan, edukasi merupakan satu bentuk
intervensi yang mandiri berupa pendidikan kesehatan untuk
membantu klien baik individu, kelompok, maupun masyarakat
dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan
pembelajaran, yang didalamnya tenaga kesehatan berperan
sebagai pendidik.
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu,
kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, dalam Arita
Muwarni, 2014).
28
2. Tujuan Edukasi
Menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992
maupun WHO tujuan edukasi kesehatan atau pendidikan
kesehatan yakni meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik fisik,
mental, dan socialnya sehingga produktif secara ekonomi maupun
secara social, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan
pemberantasan penyakit menular sanitasi lingkungan, gizi
masyarakat, dan pelayanan kesehatan maupun program
kesehatan lainnya. (Wahit, dkk 2007).
3. Prinsip edukasi
a. Edukasi berfokus pada kebutuhan klien yang spesifik
b. Edukasi bersifat menyeluruh (holistic). Dalam memberikan
edukasi harus dipertimbangkan klien secara menyeluruh dan
tidak hanya berfokus pada muatan spesifik saja.
c. Edukasi negosiasi, pentingnya tenaga kesehatan dan klien
bersama-sama menentukan apa yang telah diketahui, dan apa
yang penting untuk diketahui
d. Edukasi yang interaktif, suatu proses yang dinamis dan
interaktif yang melibatkan partisipasi dari petugas kesehatan
dan klien
e. Pertimbangan umur dalam edukasi kesehatan, untuk
menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku
29
manusia melalui pengajaran, perlu dipertimbangkan umur klien
dan hubungannya dengan proses edukasi
4. Metode- metode edukasi
a. Metode pendidikan Individual (perorangan)
Bentuk dari metode individual ada 2 (dua) bentuk :
1) Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling),
yaitu ;
a) Kontak antara klien dengan petugas lebih intensif
b) Setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek
dan dibantu penyelesaiannya.
c) Akhirnya klien tersebut akan dengan sukarela dan
berdasarkan kesadaran, penuh pengertian akan
menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku)
2) Interview (wawancara)
a) Merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan
b) Menggali informasi mengapa ia tidak atau belum
menerima perubahan, untuk mengetahui apakah
perilaku yang sudah atau yang akan diadopsi itu
mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat,
apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih
mendalam lagi.
30
b. Metode pendidikan Kelompok
Metode pendidikan Kelompok harus memperhatikan apakah
kelompok itu besar atau kecil, karena metodenya akan lain.
Efektifitas metodenya pun akan tergantung pada besarnya
sasaran pendidikan.
1) Kelompok besar
a) Ceramah ; metode yang cocok untuk sasaran yang
berpendidikan tinggi maupun rendah.
b) Seminar ; hanya cocok untuk sasaran kelompok besar
dengan pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah
suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli atau beberapa
ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan
biasanya dianggap hangat di masyarakat.
2) Kelompok kecil
a) Diskusi kelompok ;
Dibuat sedemikian rupa sehingga saling berhadapan,
pimpinan diskusi/penyuluh duduk diantara peserta agar
tidak ada kesan lebih tinggi, tiap kelompok punya
kebebasan mengeluarkan pendapat, pimpinan diskusi
memberikan pancingan, mengarahkan, dan mengatur
sehingga diskusi berjalan hidup dan tak ada dominasi
dari salah satu peserta.
31
b) Curah pendapat (Brain Storming) ;
Merupakan modifikasi diskusi kelompok, dimulai dengan
memberikan satu masalah, kemudian peserta
memberikan jawaban/tanggapan, tanggapan/jawaban
tersebut ditampung dan ditulis dalam flipchart/papan
tulis, sebelum semuanya mencurahkan pendapat tidak
boleh ada komentar dari siapa pun, baru setelah
semuanya mengemukaan pendapat, tiap anggota
mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi.
c) Bola salju (Snow Balling)
Tiap orang dibagi menjadi pasangan-pasangan (1
pasang 2 orang). Kemudian dilontarkan suatu
pertanyaan atau masalah, setelah lebih kurang 5 menit
tiap 2 pasang bergabung menjadi satu. Mereka tetap
mendiskusikan masalah tersebut, dan mencari
kesimpulannya. Kemudian tiap 2 pasang yang sudah
beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan
pasangan lainnya dan demikian seterusnya akhirnya
terjadi diskusi seluruh kelas.
d) Kelompok kecil-kecil (Buzz group)
Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok kecil-kecil,
kemudian dilontarkan suatu permasalahan sama/tidak
sama dengan kelompok lain, dan masing-masing
32
kelompok mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya
kesimpulan dari tiap kelompok tersebut dan dicari
kesimpulannya.
e) Memainkan peranan (Role Play)
Beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai
pemegang peranan tertentu untuk memainkan peranan
tertentu, misalnya sebagai dokter puskesmas, sebagai
perawat atau bidan, dll, sedangkan anggota lainnya
sebagai pasien/anggota masyarakat. Mereka
memperagakan bagaimana interaksi/komunikasi sehari-
hari dalam melaksanakan tugas.
f) Permainan simulasi (Simulation Game)
Merupakan gambaran role play dan diskusi kelompok.
Pesan-pesan disajikan dalam bentuk permainan seperti
permainan monopoli. Cara memainkannya persis seperti
bermain monopoli dengan menggunakan dadu, gaco
(penunjuk arah), dan papan main. Beberapa orang
menjadi pemain, dan sebagian lagi berperan sebagai
nara sumber.
c. Metode pendidikan Massa
Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) ini adalah tidak
langsung. Biasanya menggunakan atau melalui media massa.
Contoh :
33
1) Ceramah umum (public speaking)
Dilakukan pada acara tertentu, misalnya Hari Kesehatan
Nasional, misalnya oleh menteri atau pejabat kesehatan
lain.
2) Pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media
elektronik baik TV maupun radio, pada hakikatnya adalah
merupakan bentuk pendidikan kesehatan massa.
3) Simulasi, dialog antar pasien dengan dokter atau petugas
kesehatan lainnya tentang suatu penyakit atau masalah
kesehatan melalui TV atau radio adalah juga merupakan
pendidikan kesehatan massa. Contoh : ”Praktek Dokter
Herman Susilo” di Televisi.
4) Tulisan-tulisan di majalah/koran, baik dalam bentuk artikel
maupun tanya jawab /konsultasi tentang kesehatan antara
penyakit juga merupakan bentuk pendidikan kesehatan
massa.
5) Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk poster
dan sebagainya adalah juga bentuk pendidikan kesehatan
massa. Contoh : Billboard ”Ayo ke Posyandu”. Andalah
yang dapat mencegahnya (Pemberantasan Sarang
Nyamuk).
34
5. Media Edukasi
Media edukasi kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu
pendidikan (audio visual aids/AVA). Disebut media edukasi karena
alat-alat tersebut merupakan alat saluran (channel) untuk
menyampaikan kesehatan karena alat-alat tersebut digunakan
untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi
masyarakat atau ”klien”. Berdasarkan fungsinya sebagai
penyaluran pesan-pesan kesehatan (media), media ini dibagi
menjadi 3 (tiga) : Cetak, elektronik, media papan (bill board)
a. Media cetak
1) Booklet : untuk menyampaikan pesan dalam bentuk buku,
baik tulisan maupun gambar.
2) Leaflet : melalui lembar yang dilipat, isi pesan bisa
gambar/tulisan atau keduanya.
3) Flyer (selebaran) ; seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk
lipatan.
4) Flip chart (lembar Balik) ; pesan/informasi kesehatan dalam
bentuk lembar balik. Biasanya dalam bentuk buku, dimana
tiap lembar (halaman) berisi gambar peragaan dan di
baliknya berisi kalimat sebagai pesan/informasi berkaitan
dengan gambar tersebut.
35
5) Rubrik/tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah,
mengenai bahasan suatu masalah kesehatan, atau hal-hal
yang berkaitan dengan kesehatan.
6) Poster ialah bentuk media cetak berisi pesan-
pesan/informasi kesehatan, yang biasanya ditempel di
tembok-tembok, di tempat-tempat umum, atau di kendaraan
umum.
7) Foto, yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan.
b. Media elektronik
1) Televisi ; dapat dalam bentuk sinetron, sandiwara, forum
diskusi/tanya jawab, pidato/ceramah, TV, Spot, quiz, atau
cerdas cermat, dll.
2) Radio ; bisa dalam bentuk obrolan/tanya jawab, sandiwara
radio, ceramah, radio spot, dll.
3) Video Compact Disc (VCD)
4) Slide : slide juga dapat digunakan untuk menyampaikan
pesan/informasi kesehatan.
5) Film strip juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan
kesehatan.
6) Media papan (bill board)
Papan/bill board yang dipasang di tempat-tempat umum
dapat dipakai diisi dengan pesan-pesan atau informasi –
informasi kesehatan. Media papan di sini juga mencakup
36
pesan-pesan yang ditulis pada lembaran seng yang
ditempel pada kendaraan umum (bus/taksi).
6. Langkah-langkah edukasi
a. Menentukan tujuan edukasi : tujuan dari edukasi ini adalah
memberikan materi tentang dukungan suami pada ibu nifas
untuk peningkatan pengetahuan kepada suami agar tercapai
perilaku yang diinginkan selama mendampingi ibu selama
proses masa nifas.
b. Menentukan sasaran edukasi : sasaran edukasi ini adalah
suami
c. Menentukan isi edukasi : isi materi edukasi mencakup tahapan
masa nifas, fase yang dilalui pada masa nifas, kebutuhan dasar
ibu masa nifas, faktor penyebab depresi pada ibu postpartum,
dan pengertian,bentuk serta jenis dukungan suami pada ibu
post partum.
d. Menentukan metode edukasi : metode yang digunakan dalam
edukasi ini adalah metode diskusi, tanya jawab dan
demonstrasi.
e. Menentukan media edukasi : media yang digunakan dalam
edukasi ini adalah leafleat
f. Menyusun rencana evaluasi : evaluasi dilakukan dengan
memberikan pertanyaan tertulis berupa questioner kepada
37
suami untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman
tentang materi dukungan suami.
g. Pelaksanaan hasil edukasi : pelaksanaan hasil edukasi
dilakukan pada saat suami memberikan dukungan kepada ibu
selama masa nifas
7. Evaluasi hasil edukasi
Evaluasi merupakan penilaian kemampuan sesudah
mengikuti suatu program edukasi. Sasaran evaluasi adalah
perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Evaluasi
diarahkan kepada komponen imput, proses dan output. Prosedur
evaluasi edukasi menggunakan metode kuesioner, dan
wawancara yang masing-masing dilengkapi dengan instrument
penilaian tertentu. (Wahit, dkk 2007)
D. Tinjauan Umum Dukungan Suami
1. Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan
kepada individu khususnya sewaktu dibutuhkan oleh orang- orang
yang memiliki hubungan emosional yang dekat dengan orang
tersebut (As’ari, 2005). Rook (1985) dalam Smet (1994)
berpendapat dukungan sosial sebagai satu diantara fungsi pertalian
atau ikatan sosial. Ikatan-ikatan sosial menggambarkan tingkat dan
kualitas umum dari hubungan interpersonal.
38
Pendapat lainnya dinyatakan oleh Cobb (1976) dalam
Sarafino (1997) bahwa dukungan sosial diartikan sebagai suatu
kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang
dirasakan individu dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain.
Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa
terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu
keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan
masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat menaikkan
perasaan positif serta mengangkat harga diri. Kondisi atau keadaan
psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku
individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu
secara umum.
Beberapa pengertian tersebut menunjukkan bahwa segala
sesuatu yang ada di lingkungan dapat menjadi dukungan sosial
atau tidak tergantung pada sejauh mana individu merasakan hal itu
sebagai dukungan sosial.
2. Pengertian Dukungan Suami
Menurut Chaplin (2006), dukungan adalah menyediakan
sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, dukungan juga
dapat diartikan sebagai memberikan dorongan/motivasi atau
semangat dan nasihat dalam situasi pembuat keputusan.
Dukungan suami diterjemahkan sebagai sikap penuh perhatian
yang ditujukan dalam bentuk kerjasama yang baik, serta
39
memberikan dukungan moral dan emosional (Jacinta, 2005).
3. Bentuk-bentuk Dukungan Suami
Adapun bentuk-bentuk dukungan suami menurut kuntjoro
(2002) , adalah :
a. Adanya kedekatan emosional.
b. Suami mengijinkan istri terlibat dalam suatu kelompok yang
menginginkannya untuk berbagi minat.
c. Suami selalu memperhatikan kondisi istri.
d. Suami menghargai kemampuan dan keahlian istri.
e. Suami dapat diandalkan saat istri membutuhkan bantuan.
f. Suami merupakan tempat bergantung untuk menyelesaikan
masalah istri.
4. Jenis- jenis Dukungan Suami
Menurut House (1985) dalam Suhita (2005) mengatakan
dukungan sosial dalam halnya dukungan suami memiliki empat
jenis disesuaikan dengan situasi yang dibutuhkan. Adapun jenis
dukungan sosial tersebut adalah :
a. Dukungan Emosional
Bentuk dukungan ini melibatkan rasa empati, ada yang
selalu mendampingi, adanya suasana kehangatan, dan rasa
diperhatikan akan membuat ibu memiliki perasaan nyaman,
yakin, diperdulikan dan dicintai oleh suami sehingga ibu dapat
menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat
40
penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat
dikontrol.
b. Dukungan Instrumental
Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah
atau menolong orang lain sebagai contohnya adalah peralatan,
perlengkapan, dan sarana pendukung lain dan termasuk
didalamnya memberikan peluang waktu.
c. Dukungan Informatif
Aspek ini berupa pemberian informasi dalam mengatasi
masalah pribadi. Terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan,
dan keterangan lain yang dibutuhkan oleh ibu.
d. Dukungan Penghargaan
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada ibu,
pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu dan
perbandingan yang positif dengan orang lain. Bentuk dukungan
ini membantu ibu dalam membangun harga diri dan kompetensi.
5. Cara mengukur pelaksanaan dukungan suami
Pelaksanaan dukungan suami terhadap ibu postpartum
dapat diukur dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner ini
merupakan pernyataan tentang dukungan keluarga berjumlah 24
pernyataan yang terdiri dari pernyataan dukungan emosional,
dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan pernyataan
dukungan instrumental. Setiap pernyataan memiliki empat pilihan
41
dengan kriteria jawaban sebagai berikut : 3= selalu, 2 = sering, 1 =
kadang-kadang, 0 = tidak pernah, untuk pernyataan positif dan
sebaliknya 0 = selalu, 1= sering, 2= kadang-kadang, 3 = tidak
pernah, untuk pernyataan negative. Kuesioner dukungan kelurga
ini, diambil dari penelitian Yenni (2011) dengan hasil uji validitas
nilai r hitungnya 0,361, sedangkan hasil uji reliabilitasnya 0,949. Hal
ini menunjukkan bahwa pernyataan telah realibel.
6. Hubungan Dukungan Suami Dengan Kecendrungan Depresi
Pada Ibu Postpartum
Depresi postpartum dapat menimbulkan efek buruk jangka
panjang yang tidak hanya merugikan perempuan penderita, tetapi
juga bagi seluruh anggota keluarganya dan bila berlanjut lama
kemungkinan dapat timbul pikiran bunuh diri dan melukai bayi
(Wheller L, 1997).
Ibu yang mengalami depresi setelah melahirkan tidak dapat
menikmati pengalaman melahirkan yang dinanti-nantikan. Banyak
ibu postpartum merasakan ada suatu hal yang salah, tetapi mereka
sendiri tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi.
Mengingat depresi postpartum jarang dilaporkan, dan bila
dilaporkan pun saat ini pelayanan yang diterima dari tenaga
kesehatan berkisar pada saran untuk beristirahat atau lebih banyak
tidur, dianjurkan tidak gelisah, minum obat atau berhenti mengasihi
diri sendiri dan mulai merasa gembira menyambut kedatangan bayi
42
yang mereka cintai (O’Hara, 1986).
Hal ini memerlukan penanganan yang serius dari penyedia
pelayanan kesehatan termasuk para perawat untuk mencari
penyelesaian depresi postpartum. Identifikasi dan tindakan cepat
pada ibu yang mengalami depresi postpartum harus menjadi
prioritas utama di setiap praktik klinik (Cox J, 1986).
Selain mendapatkan penangan dari tenaga kesehatan
secara serius, ibu juga sangat memerlukan dukungan dari orang-
orang terdekat untuk selalu memperhatikan dan memberi semangat
dalam melewati masa postpartum. Ibu yang kurang mendapatkan
sosial tentunya akan lebih mudah merasa dirinya tidak berharga
dan kurang diperhatikan oleh suami khususnya, sehingga ibu yang
kurang mendapat dukungan sosial pada masa postpartum lebih
mudah mengalami depresi (Urbayatun, 2010).
Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak),
suami mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu
keluarga tersebut dan suami mempunyai peranan yang penting,
dimana suami sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah
akan tetapi suami sebagai motivator dalam berbagai kebijakan
yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga
(chaniago, 2005).
Pengaruh dukungan social dapat memberikan pengaruh
langsung dan tidak langsung. Maksud dari pengaruh ini menurut
43
Brehm dan Kassin (1990) bahwa mendapatkan dukungan social
dari keluarga secar langsung dengan cara menciptakan situasi
yang menyenangkan bagi ibu dan tidak menekan. Sedangkan
pengaruh tidak langsung maksudnya bahwa ketika ibu sedang
mengalami depresi, dengan adanya dukungan social yang
diberikan akan memberi kepercayaan diri, kepada ibu. Karena
dengan pulihnya kepercayaan diri pada ibu nifas maka akan
berpengaruh oleh kesehatan jiwa ibu.
Ibu postpartum sangat membutuhkan bantuan dan
dukungan dari orang terdekat, karena pada minggu pertama di
rumah merupakan hal melelahkan yang memerlukan kesabaran,
sebagai proses penyesuaian yang berat. Keadaan semacam ini
perlu diketahui orang sekitar terutama suami, sehingga suami
dapat lebih memperhatikan kebutuhan istri, dengan cara memberi
dukungan psikologis pada pasangannya, misalnya menerima peran
sebagai ayah, sikap positif terhadap bayi dan istri, menggenggam
erat tangan istri saat setelah meahirkan sebagai tanda
kebahagiaan. Bukan hanya itu, suami juga dapat memeperluas
peran dalam melakukan berbagai tugas khususnya dalam hal
membantu mengurus bayi, misalnya mengganti popok atau
menggendong. Perhatian suami terhadap bayi dan istri sesudah
melahirkan mengakibatkan depresi pada ibu postpartum berkurang
(Adhim, 2000).
44
Menurut Wills (Cohen & Syme, 1985) pada studi naturalistik
menunjukkan bahwa dukungan dari pasangan merupakan jalur
utama perilaku mencari bantuan yang dilakukan individu ketika
mengalami tekanan psikologis. Seorang istri membutuhkan
dukungan afeksi ataupun tindakan dari suami sebagai wujud
tanggung jawab sebagai calon ayah. Kesediaan suami untuk
memahami kebutuhan istri akan dukungan dan bantuan, dapat
membantu istri melampaui masa postpartum dengan baik.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
ibu postpartum dengan dukungan suami yang penuh akan
memperoleh penghargaan diri lebih tinggi sehingga membuat ibu
tidak mudah mengalami depresi, sebab dukungan suami sangat
penting diberikan untuk menciptakan rasa aman, nyaman dan
merasa diperhatikan serta dapat menimbulkan rasa percaya diri
pada ibu.
D. Tinjauan Umum Hormon Endorphin
Manusia adalah makhluk yang sejatinya dilahirkan untuk
hidup sehat. Kondisi kesehatan manusia bergantung pada
pikirannya sendiri. Dr. Haruyama menjelaskan bahwa pada otak
manusia, sesuai dengan aktifitas yang dilakukannya, diproduksi
bermacam-macam hormon. Hormon tersebut ada yang bermanfaat
untuk kesehatan, namun tidak sedikit yang sangat merugikan
kesehatan. (Haruyama, 2014)
45
Salah satu Hormon yang berbahaya antara lain yaitu
Noradrenalin. Hormon ini diproduksi otak pada saat kita takut,
stress, tertekan, marah dan penolakan terhadap segala sesuatu
(negative thinking). Efek buruk dari hormon jahat ini sangat
bervariasi, terutama yang berkaitan dengan gangguan pencernaan
dan pembuluh darah yang pada akhirnya menimbulkan gangguan
pada system pencernaan serta kerusakan pada hati, ginjal, jantung
sampai dengan terjadinya stroke dan kanker. Sedangkan hormon
yang sangat bermanfaat yang paling utama adalah Beta-
Endorphin. Dr. Haruyama menamakannya sebagai Hormon
Kebahagiaan. Hormon ini bereaksi sebagaimana morfin. Dia
membuat kita merasa tenang, nyaman dan rileks. (Haruyama,
2014)
1. Pengertian Hormon Endorphin
Hormon endorfin adalah senyawa kimia yang membuat
seseorang merasa senang. Endorfin diproduksi oleh kelenjar
pituitary yang terletak di bagian bawah otak. Hormon ini bertindak
seperti morphine, bahkan 200 kali lebih besar dari morphine.
Endorfin atau Endorphine mampu menimbulkan perasaan senang
dan nyaman hingga membuat seseorang berenergi. (Haruyama,
2014)
Endorphin adalah peptide peptide opioid endogen yang
terdiri daro 31 asam amino yang telah terbukti terlibat terhadap
46
gangguan yang berhubungan dengan stress serta gangguan lain
seperti obesitas diabetes dan respon imun. Endorphin dapat
bertindak sebagai neurotransmitter di pusat system saraf dan
neuron diotak yang mensintesis dan mengeluarkan endorphin
terutama terletak di dalam inti Arkuata hypothalamus (ARN),
anterior dan neuro intermediate lobus kelenjar hypofisis, solitaries
necleus tracktus, dan ekstensi neuron ini berakhir pada beberapa
daerah diotak. Karena diproduksi di beberapa daerah di bagian
otak yang terkait dengan perannya terhadap respon stress maka
disarankan digunakan dalam manifestasi beberapa penyakit
kejiwaan.
2. Manfaat Hormon Endorphin
Selama ini endorphin sudah dikenal sebagai zat yang
banyak manfaatnya. Beberapa diantaranya adalah, mengatur
produksi hormon pertumbuhan dan seks, mengendalikan rasa
nyeri serta sakit yang menetap, mengendalikan perasaan stres,
serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Endhorpine
sebenarnya merupakan gabungan dari endogenous dan morphine,
zat yang merupakan unsur dari protein yang diproduksi oleh sel-sel
tubuh serta sistem syaraf manusia. Endorphin dalam 35 tubuh bisa
dipicu munculnya melalui berbagai kegiatan, seperti pernapasan
yang dalam, relaksasi, serta meditasi. Karena endorphine
47
diproduksi oleh tubuh manusia sendiri, maka endorphine dianggap
sebagai zat penghilang rasa sakit yang terbaik.
Beberapa fungsi diantaranya :
a. Meredakan nyeri.
Merupakan fungsi utama hormon ini yaitu memblokir reseptor
opioid yang terdapat pada sel – sel saraf. Hal ini kemudian
menyebabkan terganggunya penghantaran sinyal rasa sakit.
b. Mengurangi Stres.
Pada saat stres jumlah endorfin dalam tubuh dapat mengalami
peningkatan dan menghasilkan euforia sehingga membantu
Anda mengatasi stres.
c. Meningkatkan Mood.
Endorfin dapat menenangkan saraf Anda dengan menciptakan
perasaan tenang dan damai, sehingga terjadi perbaikan pada
suasana perasaan anda.
d. Meningkatkan imunitas.
Hormon ini dapat memicu pembentukan natural killer cell yang
merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. sehingga
hormon ini juga dapat meningkatkan kekebalan tubuh.
e. Mempengaruhi Sel Otak.
Hormon ini juga dipercaya dapat berpengaruh terhadap sel otak
dan membantu meningkatkan daya ingat dan konsentrasi.
f. Sebagai zat anti penuaan.
48
Endorfin juga dipercaya dapat menghilangkan superoksida yang
menyebabkan proses penuaan pada tubuh
3. Faktor yang dapat meningkatkan Hormon Endorphin
Dr. Haruyama memberikan langkah-langkah untuk
menstimulus keluarnya hormon baik dan aktivitas untuk
mengoptimalkan fungsinya dalam tubuh. Secara garis besar yang
harus dilakukan antara lain :
a. Seks
Seks adalah nature’s greatest relaxant. Seks merupakan
aktivitas penyumbang terbesar diproduksi dan dilepaskannya
hormon endorphin didalam tubuh. Bukan hanya pada saat
orgasme tetapi membayangkan dan sentuhan dari pasangan
membuat tubuh kebanjiran endorphin.
b. Cokelat
Konsumsi coklat (dark) bahkan dalam jumlah sedikit dapat
meningkatkan produksi hormon endorphin dan serotonim dalam
tubuh.
c. Tersenyum dan tertawa
Tersenyum dan tertawa selama 10 sampai 15 menit akan
dapat mengeluarkan hormon endorphin dalam jumlah cukup
agar kita merasa bahagia.
d. Pijat
49
Pemijatan pada tubuh juga selain menghilangkan pegal-
pegal juga merangsang tubuh melepas endorphin.
e. Aktifitas Fisik/ Olahraga
Kegiatan fisik atau olahraga merupakan cara yang tepat
dan efektif dalam meningkatkan produksi hormon endorphin.
Tidak perlu menjadi seorang atlet, semua jenis aktifitas fisik
atau olahraga dapat menyebabkan endorphin dilepaskan ke
dalam aliran darah seperti berjalan, berenang, jogging, basket,
sepak bola, berkebun atau membersihkan rumah.
Kelas olahraga berkelompok juga sangat bermanfaat
karena perpaduan antara aktivitas fisik dan dan sosialisasi
dapat merangsang produksi hormon endorphin ekstra.
Beberapa contoh kelas olahraga berkelompok yaitu :
1) Tari-tarian
2) Yoga
3) Zumba
4) Karate, seni beladiri, kickboxing dan taekondow.
f. Meditasi
Meditasi dimaksudkan untuk menciptakan ketenangan
dalam otak, sehingga otak mampu memproduksi hormon
kebahagiaan dalam jumlah melimpah. Meditasi yang dianjurkan
Dr. Haruyama adalah dengan berjalan kaki. Sambil berjalan
kaki, beliau membayangkan tentang yng indah-indah, tentang
50
mimpi dan harapan. Pada kondisi tersebut, otak memproduksi
hormon kebahagiaannya. Berarti 2 fungsi didapatkan sekaligus,
membakar lemak dan meditasi.
Meditasi yang beliau tekankan adalah bagaimana kita
mampu mengaktivasi otak kanan kita. Sebagaimana yang
banyak disampaikan para ahli, otak kanan adalah otak yang
berisi impian, fantasi, jiwa seni, rasa humor dan kreativitas.
Berbeda dengan otak kiri yang memikirkan fakta dan data yang
ekstrak. Bila otak kiri yang mengakibatkan stress, maka aktivasi
otak kananlah penangkalnya. Intinya meditasi dapat dilakukan
dimanapun dan kapanpun, asal melakukannya dengan tenang,
senang dan nyaman. (Haruyama, 2014)
4. Peranan Hormon Endorphin pada kehamilan Hingga Pasca
Melahirkan
Pada masa kehamilan selaput plasenta pada janin,
syncytiotrophoblast mengeluarkan beta-edorfin dalam darah mulai
dari masa bulan ketiga kehamilan. Penelitian terbaru menunjukkan
adanya penyesuain diri terhadap fenomena tersebut. Penulis
berpendapat bahwa calon bayi membuat ibu mereka melepaskan
endorfin kemudian memanipulasinya untuk meningkatkan nutrisi
yang beralokasi pada plasenta. Hipotesis tersebut memprediksikan
bahwa :
51
1. Posisi anatomi produksi endorfin harus mencerminkan seperti
cara yang diperkirakan pada pertentangan sifat calon bayi
dan ibu.
2. Level endorfin harus bervariasi secara positif dengan
kaoasitas nutrisi pada sistem peredaran ibu.
3. Gejala psikologi pasca melahirkan (seperti kesedihan pasca
melahirkan, depresi, dan penyakit kejiwaan) pada manusia
merupakan efek lain dari mekanisme ini yang dapat
diinterpretasikan sebagai gejala kehilanga endorfin.
4. Singkatnya, setelah proses kelahiran, placentopaghy dapat
berperan sebagai adaptif untuk menurunkan efek negatif lain
dari pengaruh calon bayi.
5. Selanjutnya, menyusui memengaruhi eksresi endorfin pada
pituitari ibu menyelamatkan sang ibu dari gejala kekurangan
pada masa mendatang.
5. Pengertian Persepsi, Proses dan Faktor yang mempengaruhi
persepsi
a. Pengertian Persepsi
Persepsi adalah proses-proses yang memberikan
koherensi dan kesatuan bagi input indrawi (Reber, Arthur S. dan
Reber, Emily S, 2010: 689). Persepsi adalah sesuatu proses
untuk memberi arti pada tanda-tanda yang diterimanya. Proses
mengetahui sesuatu dari sekitar dengan mempergunakan alat-
52
alat indera. Persepsi dapat muncul jika terjadi seleksi terhadap
stimulasi yang datang dari luar yaitu melalui indera, kemudian
orang tersebut menginterprestasi atau mengorganisasikan
informasi tersebut sehingga muncul arti bagi orangg tersebut
dan akhirnya timbul reaksi dan tingkah laku akibat interprestasi
(Dakir, 1975: 37).
Persepsi adalah hal-hal yang kita tangkap melalui
pengindraan, selanjutnya kita transformasikan ke susunan
syaraf pusat di otak, kemudian diinterprestasikan sehingga
mengandung arti tertentu bagi kita (Monty P. Satiadarma, 2001:
46). Dengan demikian kesan yang diterima individu sangat
tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh
melalui proses berpikir dan belajar yang berasal dari dalam diri
individu.
Hal senada diungkapakan Bimo Walgito (1994: 53) yang
mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang didahului
oleh pengindraan, stimulus yang diindera diteruskan oleh syaraf
ke otak kemudian berlanjut pada proses persepsi. Persepsi
muncul ketika obyek-obyek eksternal di lingkungan
mempengaruhi struktur medium informasi yang ujung-ujungnya
mempengaruhi reseptor-reseptor indrawi manusia sehingga
mengarah atensi manusia kepada pengidentifikasian kita
terhadap obyek tersebut secara internal (Strenberg, Robert J,
53
2008: 109).
Dengan demikian persepsi meliputi aktivitas menerima
stimuli, mengorganisasikan stimuli tersebut atau menafsirkan
stimuli yang terorganisasi sedemikian rupa hingga ia dapat
mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap. Persepsi-
persepsi manusia membentuk perilaku dan kepribadian mereka.
b. Proses Persepsi dan Sifat Persepsi
Menurut Miftah Toha (2003: 145) proses terbentuknya persepsi
seseorang didasari pada beberapa tahapan, diantaranya:
1) Stimulus atau rangsangan
Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan
pada sesuatu stimulus atau rangsangan yang hadir di
lingkungannya. Maksud dari stimulus (rangsangan) itu
sendiri adalah setiap masukan atau input yang dapat
ditangkap oleh indera.
2) Registrasi
Dalam proses registrasi, suatu gejala yang tampak adalah
mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan saraf
seseorang berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya.
3) Interpretasi
Merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang sangat
penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang
diterimanya. Proses ini bergantung pada cara pendalamnya,
54
motivasi dan kepribadian seseorang.
4) Umpan balik (feed back)
Setelah melauli proses intepretasi, informasi yang sudah
diterima dipersepsikan oleh seseorang dalam bentuk umpan
balik terhadap stimulus.
Menurut Bimo Walgito (2010: 102) menyatakan bahwa
terjadinya persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-
tahap berikut:
1) Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan
nama proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses
ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indra manusia.
2) Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses
fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang
diterima oleh reseptor (alat indra) melalui saraf-saraf
sensoris.
3) Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama
proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran
individu tentang stimulus yang diterima reseptor.
4) Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari
proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan,
bahwa proses persepsi melalui tiga tahap, yaitu:
1) Tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik maupun
55
stimulus sosial melalui alat indra manusia, yang dalam
proses ini mencakup pula pengenalan dan pengumpulan
informasi tentang stimulus yang ada.
2) Tahap pengolahan stimulus sosial melalui proses seleksi
serta pengorganisasian informasi.
3) Tahap perubahan stimulus yang diterima individu dalam
menanggapi lingkungan melalui proses kognisi yang
dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, serta
pengetahuan individu.
Menurut Newcomb, (1978: 207), ada beberapa sifat yang
menyertai proses persepsi, yaitu:
1) Konstansi (menetap): dimana individu mempersepsikan
seseorang sebagai orang itu sendiri walaupun perilaku yang
ditampilkan berbeda-beda.
2) Selektif: persepsi dipengaruhi oleh keadaan psikologis si
perseptor. Dalam arti bahwa banyaknya informasi dalam
waktu yang bersamaan dan keterbatasan kemampuan
perseptor dalam mengelola dan menyerap informasi
tersebut, sehingga hanya informasi tertentu saja yang
diterima dan diserap.
3) Proses organisasi yang selektif: beberapa kumpulan
informasi yang sama dapat disusun ke dalam pola-pola
menurut cara yang berbeda- beda.
56
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Persepsi lebih bersifat psikologis dari sekedar pengindraan,
menurut Irwanto (1989: 90-92) Faktor-faktor yang
mempengaruhi hal tersebut:
1) Perhatian yang selektif
Artinya tidak semua rangsangan (stimulus) harus ditanggapi.
Individu cukup memusatkan perhatian pada rangsangan
tertentu saja.
2) Ciri-ciri rangsangan
Berarti bahwa intensitas rangsang yang paling kuat, paling
besar atau lebih menarik perhatian untuk diamati.
3) Nilai-nilai dan kebutuhan individu
Perspesi antar individu yang satu dengan lainnya tidak sama
tergantung nilai hidup yang dianutnya dan kebutuhannya.
4) Pengalaman terdahulu
Suatu hal yang mempengaruhi bagaimana seseorang
mempersepsikandunia sekitar.Keadaan individu yang dapat
mempengaruhi hasil persepsi ada dua sumber, yaitu segi
jasmani dan psikologis. Segi jasmani berupa sistemfisiologis.
Apabila seseorang mengalami gengguan dalam sistem
fisiologisnya, akan mempengaruhi persepsi. Segi psikologis
dapat berupa pengalaman, perasaan, motivasi, dan
kemampuan berfikir (Bimo Walgito, 1994 : 55).
57
Bimo Walgito (1994: 110) juga menyatakan bahwa persepsi
itu mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap,
yaitu:
1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen
yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,
keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan
bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.
2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen
yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang
terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang
positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang
negatif.
3) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action
component), yaitu komponen yang berhubungan dengan
kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen
ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar
kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku
seseorang terhadap objek sikap.
Selain itu Saifudin Azwar (2000 : 23) menyatakan struktur
sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu :
1) Komponen kognitif merupakan representasi apa yang
dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif
berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu
58
mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini)
terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem
yang kontroversial.
2) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut
aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya
berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-
pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang
komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki
seseorang terhadap sesuatu.
3) Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan
berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh
seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk
bertindak / bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara
tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya
adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang
adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.
Dari batasan ini juga dapat dikemukakan bahwa
persepsi mengandung komponen kognitif, komponen afektif,
dan juga komponen konatif, yaitu merupakan kesediaan
untuk bertindak atau berperilaku. Sikap seseorang pada
suatu obyek sikap merupakan manifestasi dari kontelasi
ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi untuk
59
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap obyek
sikap. Ketiga komponen itu saling berinterelasi dan
konsisten satu dengan lainnya. Jadi, terdapat
pengorganisasian secara internal diantara ketiga komponen
tersebut.
6. Hubungan dukungan Suami terhadap Hormon Endorphin
Pada Ibu Postpartum
Kasdu (2005) menyebutkan bahwa faktor hormonal
seringkali disebut sebagai faktor utama yang dapat memicu
timbulnya postpartum blues. Faktor ini melibatkan terjadinya
perubahan kadar sejumlah hormon dalam tubuh ibu pasca
persalinan, yaitu menurunnya kadar hormon progesteron, hormon
estrogen, ketidakstabilan kelenjar tiroid, dan menurunnya tingkat
endorfin (hormon kesenangan).
E. Hasil Penelitian Sebelumnya Yang Berkaitan
No.
Penulis Judul Kesimpulan Sumber
1. Machmudah Pengaruh persalinan dengan komplikasi terhadap kejadian postpartum blues di Kota Semarang.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh antara persalinan dengan komplikasi terhadap kemungkinan terjadinya postpartum blues. Namun ada faktor lain yang berpengaruh yakni faktor paritas dan dukungan social.
Tesis Magister Ilmu Keperawatan UI.
2. Triani Yulistianti,
Pendampingan Suami dan
Terdapat hubungan antara pendamping
Bidan Pradda jurnal Ilmiah
60
Novita Nurhidayati (2013)
Skala Nyeri pada Persalinan Kala I
persalinan dengan pengurangan rasa nyeri
Kebidanan Vol. 4 No. I edisi Dessember tahun 2013 halaman 190-198
3. Pevi Primasnia, Wagiyo, Elisa (2013)
Hubungan pendampingan suami dengan tingkat kecemasan ibu primigravida dalam menghadapi proses persalinan kala I
Ada hubungan yang signifikan antara pendampingan suami dengan tingkat kecemasan ibu
Prosiding konferensi Nasional PPNI Jawa Tengah tahun 2013
4. E Kungwimba, addres malate, Alfred Maluwa, Ellen Chirwa
Pengalaman wanita terhadap dukungan yang diterimanya dari pendamping persalinan selama proses persalinan di Malawi
Hasil studi kualitatif ini menunjukkan bahwa ibu primipara tidak maksimal dalam mendapatkan pendampingan persalinan karena kurangnya edukasi tentang persalinan pada saat ANC.
Jurnal Health Thailand No.5 halaman 45-52 tahun 2013
5. Esther Tiarma Hutagaol
Efektivitas Intervensi Edukasi Pada Depresi Postpartum
Hasil penelitian menunjukkan penurunan proporsi depresi secara bermakna pada kelompok intervensi (p=0,000), namun tidak berbeda bermakna dibandingkan kelompok control (p=1,000).
Tesis Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Maternitas UI
6. Pamela Kenwa, Made Kornia Karkata, I Gusti Ayu
Pengaruh Pemberian konseling terhadap Depresi Postpartum
Hasil uji statistik Independent Sample T-Test diperoleh angka kemaknaan p=0,04 (<0,05) sehingga dapat disimpulkan ada
Journal ISSN: 2303-1298
Program Studi Ilmu Keperawatan
61
Triyani
pengaruh pemberian konseling terhadap depresi post partum
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
7. Sitti Fatimah Hubungan Dukungan Suami Dengan Kejadian Postpartum Blues Pada Ibu Primipara Di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang
Dari hasil penelitian di dapatkan ada hubungan antara dukungan suami dengan kejadian Postpartum Blues pada ibu primipara di ruang bugenvile RSUD Tugurejo Semarang.
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
8. Triani Yuliastanti dan Novita Nurhidayati
Pendampingan Suami dan Skala nyeri pada Persalinan Kala I Fase Aktif
The conclusion of this study is the husband on maternal assistance when one phase is active in BPS Siti Lestari Amd, Keb had a significant association with the reduction of pain during childbirth
Jurnal Ilmiah kebidanan Vol. 4 tahun 2013
9. Luh Putu Prema Diani & Luh Kadek pande ary susilawati
Pengaruh dukungan suami terhadap istri yang mengalami kecemasan pada kehamilan trimester III
Terdapat perbedaan kecemasan antara ibu yang didampingi oleh suami dibandingkan ibu yang tidak didampingi oleh suami
Jurnal psikologi Undayana. Vol. 1 No. 1 halaman 1-11 tahun 2013
10. Esha Pradnyana, Wayan Westa, Nyoman Ratep
Diagnosis dan tata Laksanan depresi Postpartum pada Primipara
Untuk menegakkan diagnosis yaitu melalui test Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS). Pasien yang telah didiagnosis menderita gejala depresi postpartum, diberikan pengobatan dengan
Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
62
pemberian obat antidepressant. Menyusui tidak hanya untuk mengurangi stress untuk ibu, namun juga menguragi tingkat stress pada bayi ketika ibunya mengalami depresi
11. Kusyogo Cahyo, SKM
Drs. Samsul Huda, M. Kes
Kajian Adaptasi Sosial Psikologis pada Ibu Setelah Melahirkan (Postpartum) di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Kodia Semarang
Hasil penelitian menunjukkan kebanyakan responden semasa postpartum dalam perawatan bayi masih bergantung pada keluarga khususnya ibu. Adapun untuk bentuk adaptasi social psikologis yang muncul antara lain : perasaan bingung, takut, cemas sebelum persalinan dan perasaan emosional kebahagiaan yang berlebihan setelah mengalami persalinan. Sedangkan peran keluarga dalam adaptasi social psikologis adalah berupa dukungan untuk menemani dan merawat bayi selama responden dianggap belum mampu sendiri
Pusat Studi Wanita / Gender Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro
12. Dr. Archana Sharma*, Deepali Verma
Endorphins : Endogenous Opioid In Human Cells
Research has shown that opioidergic activity plays a role in addictions by mediating the development of reinforcing qualities of certain activities and substances
World journal of pharmacy and pharmaceutical science
63
E. Kerangka Teori
Gambar 2.1 : Kerangka Teori
Edukasi tentang
Dukungan Suami Pemberian
dukungan
suami
Fase nifas menurut
reva rubin
1. Fase taking in
2. Taking hold
3. Letting go
Tingkat depresi
menggunakan BDI
Kadar Hormone β
endorphin dengan
ELISA
Ibu postpartum
otak
periaquaduktus
hipotalamus
Opiat endogen
Saraf desenden
Pelepasan hormone
β endorphin
Kebutuhan
psikologi ibu
nifas
Faktor depresi
menurut Rosenberg :
1. Faktor Biologi
2. Faktor Psikologis
3. Faktor Sosial
4. Faktor Hormonal
Tingkat
depresi
64
F. Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
: Variabel Antara
Gambar 2.2 : Kerangka Konsep
Edukasi tentang dukungan suami
pada ibu
Tingkat depresi pada ibu
postpartum
Kadar Hormone Endorphin
Persepsi Dukungan
suami
Faktor umur
Faktor pendidikan
Faktor pengalaman
Faktor proses persalinan
Faktor dukungan
sosial
seks
cokelat
tersenyum
olahraga pijat meditasi
65
G. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :.
1. Terdapat pengaruh edukasi dukungan suami terhadap tingkat
depresi pada ibu postpartum primipara
2. Terdapat pengaruh edukasi dukungan suami terhadap hormone β
endorfin pada ibu postpartum primipara
H. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Variabel Definisi Operasional Cara ukur Hasil ukur Skala
Pemberian edukasi dukungan suami terhadap ibu postpartum
Pembelajaran tentang peran dan bentuk dukungan suami terhadap ibu postpartum
Pengukuran pengetahuan dengan kuesioner
1. pengetahuan baik ≥50%
2. pengetahuan kurang<50%
ordinal
Dukungan suami terhadap ibu postpartum
Suatu bentuk dukungan berupa perhatian, penghargaan, instrumental, emosional dan informasi yang diterima oleh ibu postpartum dari suami
Kuesioner pertanyaan dukungan keluarga
3= selalu, 2 = sering, 1=kadang-kadang, 0=tidak pernah, untuk pernyataan positif dan sebaliknya 0=selalu, 1=sering, 2=kadang-kadang, 3=tidak pernah, untuk pernyataan negative
66
Kadar Hormon Endorphin
Hormon endorfin adalah senyawa kimia yang membuat seseorang merasa senang. Endorfin diproduksi oleh kelenjar pituitary yang terletak di bagian bawah otak. Dan mampu menimbulkan perasaan senang dan nyaman hingga membuat seseorang berenergi.
Pemeriksa Elisa
Nilai cut of pint berdasrkan kurva ROC = 208,5350 ng/L
-
Tingkat depresi pada ibu postpartum hari ke 10
Depresi postpartum merupakan salah satu bentuk gangguan perasaan akibat penyesuaian terhadap kelahiran bayi, yang muncul pada hari pertama sampai hari ke empat belas setelah proses persalinan, dengan gejala memuncak pada hari ke lima
Menggunakan questioner BDI (Beck Depression Inventory)
1-10 Normal 11-16 Depresi Ringan >17 Depresi Klinis 17-20 Batas Depresi 21-30 Depresi Sedang 31-40 Depresi Berat >41 Depresi Ekstrim
67
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi- eksperimen
yang bersifat two group posttest yaitu kelompok intervensi dan control
untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian edukasi dukungan suami
terhadap hormone endorphin dan tingkat depresi pada ibu post partum
primipara. Desain ini digambarkan :
Kelompok Perlakuan Post tes
X 1 01
Y 0 01
Keterangan :
X : Kelompok intervensi
Y : Kelompok Kontrol
1 : diberikan edukasi pada suami yang mendampingi ibu masa nifas
0 : tidak diberikan edukasi pada suami yang mendampingi ibu masa nifas
01 : produksi hormone endorphin dan tingkat depresi ibu pascasalin
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah
Latemmamala Kabupaten Soppeng. Waktu penelitian dilaksanakan pada
tanggal 18 juli hingga 31 Agustus tahun 2017
68
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah sekelompok subjek atau data dengan
karakteristik tertentu., yaitu ibu hamil trimester III primigravida dengan
tafsiran persalinan pada bulan Juli hingga Agustus 2017 di RSUD
Latemmamala Kabupaten Soppeng. Jumlah populasi dalam penelitian
ini sebanyak 35 orng.
2. Sampel
a. Teknik pengambilan sampel
Pada penelitian ini peneliti menggunakan tekhnik purposive
sampling sehingga populasi dijadikan sampel dengan kriteria inklusi
dan ekslusi yang telah ditetapkan yaitu :
Kriteria inklusi
1. Ibu dan suami yang bersedia menjadi responden
2. Ibu yang melahirkan normal di RSUD Latemmamala Kabupaten
Soppeng pada periode Maret-Mei 2017
3. Ibu yang di didampingi suami selama menjalani perawatan
masa nifas di RSUD untuk kelompok intervensi.
4. Ibu yang tidak didampingi oleh suami selama perawatan pasca
melahirkan di RSUD untuk kelompok kontrol.
Kriteria Ekslusi
1. Ibu dan suami yang tidak bersedia menjadi responden
2. Ibu yang memiliki riwayat persalinan dengan komplikasi
69
3. Ibu yang didampingi bukan oleh suami atau didampingi anggota
keluarga yang lain selama perawatan pasca melahirkan di
RSUD.
b. Besar sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau
sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini yaitu dengan
menggunakan rumus Slovin :
n = N
1 + N (d²)
Keterangan :
N : Besar populasi
n : Besar sampel
d :Tingkat kepercayaan yang diinginkan (0,05)
Dari rumus di atas, dapat dihitung jumlah sampel yang akan
dijadikan responden dalam penelitian ini, yaitu :
N = 35 d = 0,05
n = 35
1 + 35 (0,05²)
n = 35
1,0875
n = 32,18
n = 32 (pembulatan)
Jadi, besar sampel = 32 orang
70
Berdasarkan perhitungan jumlah sampel di atas maka pada
penelitian ini menggunakan 32 jumlah sampel. Jumlah sampel
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu
a. Kelompok Intervensi yang diberi intervensi berupa edukasi dalam
bentuk diskusi sebanyak dua kali pertemuan dengan materi yang
berbeda kepada ibu dan suami tentang pendampingan keluarga
selama menjalani perawatan di ruang nifas dengan jumlah 16
orang
b. Kelompok Control yang tidak diberi intervensi berupa edukasi
dalam bentuk diskusi melainkan hanya diberikan leafleat kepada
ibu dan suami tentang pendampingan keluarga selama menjalani
perawatan di ruang nifas dengan jumlah 16 orang.
71
D. Alur Penelitian
Gambar 3.1 : Bagan Alur Penelitian
Populasi dan Sampel di RSUD Latemmamala Kabupaten Soppeng
Informed concent
Pretest pengetahuan sebelum edukasi
Pemberian leafleat dan diberi edukasi dua kali pertemuan untuk kelompok intervensi
Post tes pengetahuan setelah edukasi
Pengukuran tingkat depresi pada ibu postpartum
Pengkuran Tingkat depresi pada ibu postpartum
Pengambilan Sampel Darah Pengambilan Sampel Darah
Membandingkan hormone endorphin dan tingkat depresi antara kelompok control dan kelompok intervensi
Analisa data : Univariat dan Bivariat
Kesimpulan
Hasil dan Pembahasan
Pretest pengetahuan
Pemberian leafleat
Pemberian dukungan pada ibu postpartum
Post tes pengetahuan
Pemberian dukungan pada ibu postpartum
72
E. Instrument Pengumpulan Data
1. Kuesioner Edukasi Dukungan Suami pada Ibu Postpartum
Instrument penelitian pre dan post test yang digunakan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan suami sebagai pemberi dukungan
kepada ibu masa nifas sebelum dan setelah diberikan edukasi yaitu
menggunakan kuesioner berupa 15 pertanyaan yang diambil dari
materi memberi dukungan kepada ibu masa nifas dengan pilihan
jawaban multiple choice dan dihitung dengan skala guttman. Dikatakan
pengetahuan baik bila ≥50% dan pengetahuan kurang bila responden
hanya menjawab pertanyaan benar ≤50%.
2. Kuesioner Dukungan Keluarga/ Suami
Kuesioner ini merupakan pernyataan tentang dukungan keluarga
berjumlah 24 pernyataan yang terdiri dari pernyataan dukungan
emosional no. 1 sampai 6, dukungan penghargaan nomor 7 sampai
12, dukungan informasi nomor 13 sampai 18, dan pernyataan
dukungan instrumental nomor 19 sampai 24. Setiap pernyataan
memiliki empat pilihan dengan kriteria jawaban sebagai berikut : 3=
selalu, 2 = sering, 1 = kadang-kadang, 0 = tidak pernah, untuk
pernyataan positif dan sebaliknya 0 = selalu, 1= sering, 2= kadang-
kadang, 3 = tidak pernah, untuk pernyataan negative. Kuesioner
dukungan kelurga ini, diambil dari penelitian Yenni (2011) dengan hasil
uji validitas nilai r hitungnya .0,361, sedangkan hasil uji reliabilitasnya
0,949. Hal ini menunjukkan bahwa pernyataan telah realibel.
73
3. Kuesioner Tingkat Depresi Pada Ibu Postpartum
Untuk membantu mengungkapkan tingkat depresi seseorang dapat
menggunakan skala depresi beck yang disebut BDI (The Beck
Depression Inventory). Skala BDI (The Beck Depression Inventory),
terdiri dari 21 kelompok aitem yang menggambarkan 21 kategori sikap
dan gejala depresi, yaitu : sedih, pesimis,merasa gagal, merasa tidak
puas, merasa bersalah, merasa dihukum, perasaan benci pada diri
sendiri, menyalahkan diri sendiri, kecenderungan bunuh diri,
menangis, mudah tersinggung, manarik diri dari hubungan social, tidak
mampu mengambil keputusan, merasa dirinya tidak menarik secara
fisik, tidak mampu melaksanakan aktivitas, gangguan tidur, merasa
lelah, kehilangan selera makan, penurunan berat badan, preokupasi
somatic dan kehilangan libido sex (dalam Lestari, 2003). Masing-
masing kelompok aitem terdiri dari 4-6 pernyataan yang
menggambarkan dari tidak adanya gejala sampai adanya gejala yang
paling berat.
4. Pemeriksaan kadaar hormone endorphin
Pemeriksaan kadar endorphin menggunakan Enzim Linked
Immuno Sorbent Assay (ELISA) kit. Pada penelitian ini dilakukan
pengambilan darah kira-kira sebanyak satu sendok makan untuk
pemeriksaan Hormon β-Endorphin. Proses pengambilan darah ini tidak
berlangsung lama kurang lebih 5 menit. Pengambilan darah dilakukan
pada pembuluh darah di lipatan lengan, yang dilakukan oleh peneliti
74
dan petugas laboratorium terlatih. Selanjutnya sampel darah yang
telah diambil kemudian di bawa ke laboratorium RSP Unhas untuk
dilakukan pemeriksaan.
F. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk
memperoleh data-data yang mendukung pencapaian penelitian. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan
kuesioner pemahaman suami, yang diambil dari hasil pemberian
edukasi bagi kelompok intervensi. Pengumpulan data dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut :
1. Prosedur Administrasi
Prosedur ini dilakukan dengan meminta izin dari Program Studi
Magister Ilmu Kebidanan dan Komite Etik Penelitian Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Setelah itu peneliti
menyampaikan surat pengantar ke Rumah Sakit Umum Daerah
Latemmamala, tempat penelitian ini dilakukan
2. Prosedur Teknik
a. Peneliti melakukan pertemuan dengan pihal-pihak terkait di
Rumah Sakit Umum Latemmamala Soppeng untuk
menyampaikan maksud dan tujuan penelitian. Dalam hal ini
peneliti memberikan penjelasan kepada Direktur RSUD
Latemmamala serta perawat dan Bidan di ruangan Nifas secara
lisan tentang alur penelitian yang akan dilakaukan.
75
b. Setelah mendapat persetujuan dari pihak Rumah Sakit, maka
peneliti melaksanakan penelitian di Ruang Nifas RSUD
Latemmamala Soppeng.
c. Pelaksanaan Penelitian dimulai pada tanggal 18 juli hingga 31
agustus 2017
1) Penelitian ini diawali dengan pendataan ibu primipara yang
melahirkan di RSUD Latemmamala Kabupaten Soppeng dan
meminta persetujuan untuk menjadi responden.
2) Selanjutnya peneliti menanyakan siapa yang akan
menemani/mendampingi ibu selama masa nifas dan
memastikan pendamping bersedia menemani ibu minimal
selama 1 satu minggu setelah ibu melahirkan.
3) Pada kelompok intervensi dan control dilakukan pretest
pengetahuan yaitu dengan memberikan kuestioner untuk
mengetahui tingkat pengetahuanresponden yaitu dengan
berupa 15 pertanyaan tentang pemberian dukungan
keluarga pada ibu postpartum.
4) Setelah melakukan pretest pada kelompok kontorl dan
intervensi, selajutnya masing-masing kelompok diberikan
leafleat tentang pemberian dukungan pada ibu nifas.
5) Pada kelompok control pemberian leafleat tidak disertai
edukasi, dimana keloompok intervensi pemberian leafleat
disertai dengan edukasi oleh peneliti.
76
6) Untuk kelompok intervensi dilakukan pemberian edukasi
dilaksanakan sesuai dengan permintaan responden
mengingat kemampuan pasien untuk mobilisasi dini
berbeda. Edukasi dilakukan pada dua tempat yakni di ruang
perawatan atau di ruang tindakan perawatan nifas RSUD
Latemmamala. Edukasi dilakukan sebanyak 3 kali
pertemuan yaitu :
a. Pada pertemuan pertama membuat kontrak waktu
dengan responden dan menjelaskan kegiatan apa yang
akan dilakukan 2 hari kedepan serta mengenal lebih
dekat responden yang akan diberikan edukasi.
b. Pada pertemuan kedua peneliti memberikan edukasi
tentang materi yang pertama yakni tentang pengertian
masa nifas, kebutuhan Ibu masa nifas dan tanda bahaya
pada masa nifas yang penting untuk diketahui
c. Pada pertemuan ini sebelum responden kembali di
berikan edukasi materi selanjutnya, responden kembali di
ingatkan tentang materi sebelumnya yang telah diberikan
setelah itu dilanjutkan pemberian materi tentang kondisi
psikolgis ibu pada masa nifas, serta jenis dan bentuk
dukungan suami terhadap ibu nifas
7) Setelah itu dilakukan post test pengetahuan tentang
dukungan pada ibu nifas kepada masing-masing kelompok.
77
8) Evaluasi dilakukan satu minggu masa nifas. Pengukuran
tingkat stress dan hormone β-Endorphin akan dilakukan
dengan melaksanakan kunjungan rumah dimana untuk
mengetauhi tingkat stress ibu yakni dengan memberikan
kuestioner tingkat depresi dan pengambilan sampel darah
sebanyak 3cc untuk pemeriksaan hormone.
9) Selajutnya dilihat perbandingan tingkat depresi dan hormone
β- Endorphin pada kelompok control maupun intervensi.
G. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS versi 20
(Statistical Package and Service Solutions) denga tingkat
kepercayaan 95%, yang terlebih dahulu melalui beberapa tahap yaitu :
a. Editing : penyuntingan data dimulai dilapangan dan setelah data
terkumpul, maka data diperiksa kelengkapannya
b. Koding : Apabila semua data telah terkumpul dan selesai diedit
dilapangan, kemudian akan dilakukan pengkodean data
berdasarkan kode lembar observasi dan checklist yang telah
disusun sebelumnya dan telah dipindahkan ke format aplikasi
program SPSS dikomputer.
c. Cleaning data : Dilakukan pada semua lembar kerja untuk
membersihkan kesalahan yang mungkin terjadi selama proses
input data. Proses ini dilakukan melalui analisis frekuensi pada
78
semua variable. Adapun data missing dibersihkan dengan
mengimput data yang benar.
2. Analisa data
Metode statistic untuk analisa data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
a. Analisa Univariat : Analisa ini adalah suatu prosedur pengolahan
data untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variable yang
diteliti. Fungsi analisis univariat adalah menyederhanakan
kumpulan data hasil pengukuran, dapat berupa ukuran statistic,
table dan grafik.
b. Analisa bivariate : Analisis yang digunakan untuk uji pengaruh
adalah uji Mann Whitney U. Analisis ini untuk melihat besar
pengaruh edukasi tentang dukungan suami terhadap tingkat
depresi dan hormone endorphin pada ibu nifas serta untuk
membandingkan perbedaan produksi hormone endorpnin ibu nifas
bagi pendamping yang diberi edukasi dan tidak diberi edukasi.
Pedoman dalam menerima hipotesis adalah apabila nilai P<0,05
maka Ho ditolak dan Ha menyatakan adanya pengaruh. Jika nilai
P>0,05 maka Ho gagal ditolak dan Ha menyatakan tidak adanya
pengaruh.
3. Penyajian data
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan
narasi. Untuk analisis univariat disajikan dalam bentuk tabel
79
distribusifrekuensi disertai dengan penjelasan tabel. Analisis bivariate
akan disajikan dalam bentuk tabel silang antara variable edukasi
pendamping ibu postpartum terhadap tingkat depresi dan hormone β-
endorphin.
H. Etika Penelitian
Penelitian yang dilakukan dengan memperhatikan prinsip – prinsip etik.
Prinsip etik bertujuan untuk melindungi subjek penelitian Hak – hak
responden dilindungi dengan baik oleh peneliti dengan pertimbangan :
1. Right self determination
Responden mempunyai hak otonomy untuk berpartisipasi atau
tidak dalam penelitian. Setelah mendapat penjelasan dari peneliti yang
berisi prosedur penelitian, manfaat dan risikonya, responden diberikan
kesempatan untuk memberikan persetujuan atau menolak
berpartisipasi dalam penelitian tanpa konsekuensi apapun.
2. Right privacy and dignity
Peneliti melindungi privasi dan martabat responden. Selama
penelitian kerahasiaan akan tetap dijaga dengan baik oleh peneliti.
3. Right to anonymity and contidentiality
Data penelitian yang berasal dari responden tidak disertai dengan
identitas responden, tetapi cukup dengan kode responden. Data yang
diperoleh dari hasil penelitian setiap responden hanya diketahui oleh
peneliti dan responden yang bersangkutan. Selama pengolahan data
80
analisis dan publikasi dari hasil penelitian tidak dicantumkan identitas
responden.
4. Right to protection from discomfort and ham
Kenyamanan responden dan risiko perlakuan yang diberikan
selama penelitian tetap dipertimbangkan dalam penelitian ini.
Kenyamanan responden baik fisik, psikologis, dan sosial tetap
dipertahankan.
5. Justice
Memperlakukan orang lain secara adil tanpa membedakan status
sosial, ras, agama, dan sebagainya tapi memperlakukan subjek
sebagai individu yang memerlukan bantuan dengan keunikan yang
dimiliki. Peneliti mempertimbangkan aspek keadilan dan hak subjek
untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama
maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.
6. Beneficiency
Prinsip beneficiency digunakan saat peneliti melaksanakan
prosedur penelitian untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat.
Meminimalkan dampak bagi subjek penelitian (Nonmaleficiency) dan
menjelaskan keuntungan atau manfaat yang didapatkan responden
serta potensial risiko yang dapat terjadi.
81
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakasanakan di Rumah Sakit Umum Daerah
Latemmamala Kabupaten Soppeng dari tanggal 18 Juli hingga 31 Agustus
2017 setelah mendapat Rekomendasi Persetujuan Etik yang telah
dikeluarkan oleh fakultas Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
Makassar nomor : 512/H4.8.4.5.31/PP36 – KOMETIK/2017.
Unit sampel terdiri dari kelompok intervensi yaitu ibu primipara yang
bersalin normal dan menjalani perawatan di ruang Nifas RSUD
Latemmamala dan didampingi oleh suami yang telah mendapatkan
edukasi tentang dukungan suami pada ibu nifas, sedangkan kelompok
control adalah ibu primipara yang bersalin normal dan menjalani
perawatan di ruang Nifas RSUD Latemmamala dan didampingi oleh suami
yang tidak mendapatkan edukasi tentang dukungan suami pada ibu nifas.
Sedangkan unit analisisnya adalah tingkat depresi dan hormone β-
Endorphin pada ibu nifas seperti yang tertuang dalam tujuan khusus
penelitian.
Penarikan sampel dari populasi penelitian dilakukan dengan cara
purposive sampling, yakni semua anggota populasi yang memenuhi
kriteria dimasukkan sebagai anggota sampel. Besar sampel pada
kelompok kasus adalah 16 orang dan sedangkan kelompok control
adalah sebanyak 16 orang, dengan jumlah keseluruhan sampel adalah 32
82
orang. Setelah dilakukan edukasi dan penilaian tingkat depresi dan
hormone β-Endorphin pada ibu nifas, selanjutnya dilakukan pengolahan
dan analisis data.
Alat ukur yang digunakan adalah lembar observasi yang telah valid
dan dapat digunakan secara internasional. Untuk pengukuran tingkat
depresi menggunakan Beck Deppression Inventory (BDI) dan untuk
mengukur hormone β-Endorphin dengan menggunakan ELISA.
Hasil penelitian meliputi gambaran karakteristik responden dan
distribusi variable tingkat depresi dan hormone β-Endorphin pada
kelompok yang diberikan edukasi maupun pada kelompok yang tidak
diberikan edukasi. Untuk mengetahui pengaruh pemberian edukasi
tentang dukungan suami terhadap tingkat depresi dan hormone β-
Endorphin pada kelompok control dan intervensi digunakan uji Man
Whitney.
1. Analisis Univariat
a. Karakteristik Responden
Karakteristik responden adalah ciri khas yang melekat pada
diri responden. Pada penelitian ini ciri khas yang ditampilkan
adalah umur, pendidikan, dan Sosial Ekonomi. Karakteristik ibu
nifas primipara untuk kelompok intervensi dan control ditampilkan
pada tabel 4.1.
83
Tabel 4.1. Karakteristik ibu nifas primipara
Karakteristik Kontrol Intervensi Jumlah n (%) Jumlah n (%)
Umur (tahun) 20-25 26-30 31-35
9 4 3
56 25 19
6 9 1
38 56 6
Pendidikan Rendah
(SD-SMP) Menengah-Tinggi
(SMA-PT)
5
11
31
69
5
11
31
69
Sosial Ekonomi Rendah Sedang Tinggi
0 16 0
0
100 0
0 9 7
0
56 44
Sumber : Data Primer 2017
Dari hasil penelitian ini berdasarkan karakteristik usia
didapatkan bahwa usia responden pada kelompok control,
kelompok yang tidak diberikan perlakuan edukasi tentang
dukungan suami yaitu dari 16 responden sebanyak 3 orang
(19%),yang berusia 31-35 tahun, 4 orang (25%) yang berusia
antara 26 – 30 tahun, 9 orang (56%) yang berusia antara 20 – 25
tahun.
Sedangkan pada kelompok intervensi, kelompok yang
diberikan edukasi tentang dukungan suami yaitu dari 16 responden
sebanyak 6 orang (38%) yang berusia antara 20 – 25 tahun, 9
84
orang (56%) yang berusia antara 26 – 30 tahun dan 1 orang (6%)
yang berusia antara 31 – 35 tahun.
Berdasarkan karakteristik pendidikan, pada kelompok
intervensi dari 16 responden sebanyak 5 orang (31%) yang
berpendidikan rendah, 11 orang (69%) yang berpendidikan
menengah-tinggi. Sedangkan pada kelompok kontrol dari 16
responden 5 orang (31%) yang berpendidikan rendah, 11 orang
(69%) yang berpendidikan menengah-tinggi.
Berdasarkan karakteristik social ekonomi pada kelompok
intervensi dari 16 responden 9 orang (56%) yang memiliki riwayat
social ekonomi sedang, dan 7 orang (44%) yang memiliki riwayat
social ekonomi tinggi Sedangkan pada kelompok kontrol dari 16
responden yaitu 16 orang (100%) seluruhnya memiliki riwayat
social ekonomi sedang.
b. Distribusi FrekuensiTingkat Pengetahuan tentang Dukungan
Suami pada ibu nifas Sebelum dan Sesudah Edukasi
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Tingkat pengetahuan dukungan suami pada
ibu nifas sebelum dan sesudah edukasi
Sumber : Data Primer 2017
Pengetahuan
Kelompok
Kontrol intervensi pre (%) post (%) pre (%) post (%)
kurang 12 75 10 63 11 69 3 19 Baik 4 25 6 37 5 31 13 81 Jumlah 16 100 16 100 16 100 16 100
85
Berdasarkan tabel tingkat pengetahuan responden sebelum
dan sesudah edukasi diketahui dari 16 responden kelompok
control sebelum edukasi ada 12 orang (75%) yang memiliki
pengetahuan kurang dan hanya 4 orang (25%) yang memiliki
pengetahuan baik. Setelah edukasi ada 10 orang (63%) yang
memiliki pengetahuan kurang dan 6 orang (37%) yang memiliki
pengetahuan baik.
Sedangkan untuk kelompok intervensi sebelum edukasi ada
11 orang (69%) yang memiliki pengetahuan kurang dan 5 orang
(31%) memiliki pengetahuan baik. Setelah edukasi ada 3 orang
(19%) yang memiliki pengetahuan kurang dan 13 orang (81%) yang
memiliki pengetahuan baik.
c. Distribusi Frekuensi edukasi terhadap tingkat depresi antara
kelompok control dan intervensi
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi edukasi terhadap tingkat depresi antara
kelompok control dan intervensi
Variable
Tingkat Depresi Total
Normal Ringan Sedang
n
% n % n % n %
Intervensi
(Edukasi)
8 50 8 50 0 0 16 100
Kontrol
(Leafleat)
0 0 11 69 5 31 16 100
Sumber : Data Primer 2017
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi edukasi terhadap
tingkat depresi didapatkan pada kelompok intervensi, Responden
86
dengan tingkat depresi sedang sebanyak 0 orang atau 0,0%,
Responden dengan tingkat depresi ringan sebanyak 8 orang atau
50%, dan Responden dengan tingkat depresi normal sebanyak 8
orang atau 50%. Sedangkan pada kelompok Kontrol, Responden
dengan tingkat depresi sedang sebanyak 5 orang atau 31%,
Responden dengan tingkat depresi ringan sebanyak 11 orang atau
69%, dan Responden dengan tingkat depresi normal sebanyak 0
orang atau 0,0%.
Secara keseluruhan pada kelompok control cenderung
mengalami depresi ringan dan sedang sedangkan pada kelompok
intervensi cenderung mengalami depresi ringan dan normal.
d. Distribusi Frekuensi hasil pemeriksaan hormone β-Endorphin
antara kelompok control dan intervensi
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi hasil pemeriksaan hormone β-Endorphin antara kelompok control dan intervensi
Responden (kontrol)
Hormone β-Endorphin
Mean
Responden (intervensi)
Hormone β-Endorphin
Mean
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
168.84 13.6
186.81 225.06 207.67 200.53 308.62 186.54 216.38 208.61 167.71 184.6
176.95 208.46 191.851
74.93
125.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
215.29 1483.82
427 11639.81 182.58 258.91 194.57 154.06 190.16 229.25 188.13 245.55 213.07 213.4
236.69 411.7
168.75
*Sumber: Data Primer 2017
87
Berdasarkan uji statistic dapat diperoleh nilai rata- rata dari
kedua kelompok variable yakni pada kelompok kontrol dengan nilai
mean 12500 sedangkan pada kelompok intervensi dengan nilai
mean 16875. hal ini menandakan bahwa rata-rata hormone β-
Endorphin pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
Uji beda pada hormone endorphin antara kelompok control
dan intervensi terlebih dahulu dilakukan uji normalitas yakni dengan
menggunakan Kolmogrov Smirnov dan dari hasil uji tersebut
ditemukan bahwa data hormone endorphin tidak berdistribusi
normal sehingga uji beda dilakukan dengan statistic nonparametric
Mann Whitney U.
Berdasarkan hasil uji beda Mann Whitney U dapat diketahui
bahwa nilai signifikansi 0,000<0,05 yang menandakan ada
perbedaan rata-rata hormone β-Endorphin antara kelompok control
dan perlakuan.
88
2. Analisis Bivariat
a. Pengaruh Edukasi Dukungan Suami Pada tingkat Depresi
Tabel 4.5 Pengaruh Edukasi Dukungan Suami terhadap Tingkat Depresi
pada Ibu Postpartum
Variable
Tingkat depresi
Nilai
P
Sedang Ringan Normal Mean (SD) r
n % n % n %
Control
(leafleat)
5 31 11 69 0 0 150.00 0.47871
-234
0,000
Intervensi
(Edukasi)
0 0 8 50 8 50 168.75 0.51640
*Uji Korelasi Pearson
Berdasarkan tabel diatas pada kelompok control hasil
pemeriksaan tingkat depresi pada kelompok control yakni 11 orang
mengalami depresi ringan dan 5 orang mengalami depresi sedang.
Sedangkan responden pada kelompok intervensi yakni ada 8 orang
responden yang mengalami depresi ringan dan 8 orang responden
yang normal.
Berdasarkan hasil pengujian statistik dengan menggunakan
uji Korelasi Pearson pada kelompok intervensi dan Kontrol yaitu
didapatkan P value 0,000. Hal ini menunjukkan P < 0,05, maka Ho
ditolak, artinya terdapat pengaruh pemberian edukasi tentang
dukungan suami pada kelompok intervensi dan tidak terdapat
pengaruh pemberian edukasi tentang dukungan suami pada
kelompok kontrol.
89
b. Pengaruh Edukasi Dukungan Suami Terhadap Hormone β-
Endorphin
Tabel 4.6 Pengaruh Edukasi Dukungan Suami Terhadap
Hormone β-Endorphin Variable Hormon β-Endorphin Nilai P
Mean (SD)
Control
125.00 47871 0,000
Intervensi 168.75 51640
*Uji Korelasi Pearson
Berdasarkan tabel diatas pada kelompok control diperoleh
nilai mean hormone β-Endorphin pada kelompok Kontrol yaitu
125.00 ng/L sedangkan pada kelompok intervensi yaitu 168.75
ng/L. dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata hasil
pemeriksaan hormone β-Endorphin pada kelompok intervensi lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil dengan uji Mann Whitney diatas dapat
diketahui bahwa nilai signifikansi 0,000<0,05 menandakan ada
perbedaan rata-rata hormone endorphin antara kelompok control
dan perlakuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
pemberian edukasi tentang dukungan suami terhadap hormone
Endorphin.
90
c. Pengaruh Hormon β-Endorphin Terhadap Tingkat Depresi
Tabel 4.7 Pengaruh Hormon β-Endorphin Terhadap Tingkat Depresi
pada ibu postpartum kelompok intervensi
Kelompok Hormon β-
Endorphin
Tingkat Depresi
Nilai P
Mean (SD) Mean (SD) Kontrol 1.2500 .44721 1.6875 .47871 0,002
Intervensi 1.6875 .47871 1.5000 .51640 0,001
*Uji Maan Whitney U
Pada uji beda variable kedua kelompok diatas di gunakan uji
Maan Whitney U dimana di dapatkan hasil untuk kelompok control
nilai P 0,002 dan kelompok intervensi 0,001 yang menandakan ada
perbedaan hormone endorphin pada responden berdasarkan
tingkat depresi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
hormeone endorphin terhadap tingkat depresi pada kelompok
control dan intervensi.
B. Pembahasan
Edukasi dukungan suami terhadap ibu postpartum adalah
pemberian materi pembelajaran bagi pendamping ibu postpartum tentang
peran pendamping untuk mengurangi tingkat depresi dan meningkatkan
jumlah hormone endorphin pada ibu postpartum primipara selama masa
nifas. Setelah dilakukan penelitian di RS terhadap 32 orang ibu
postpartum primipara, maka didapatkan hasil dengan penjelasan sebagai
berikut :
91
1. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri dari umur,
pendidikan dan social ekonomi. Umur juga merupakan faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang. Salah satu prinsip edukasi
adalah pertimbangan umur, karena untuk menumbuh kembangkan
kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran, perlu
dipertimbangkan umur dan hubungannya dengan proses edukasi.
(Wahit, 2007).
Tingkat pendidikan menentukan mudah tidaknya seseorang untuk
memahami dan menyerap informasi. Menurut notoadmodjo dalam
Fatmawati (2012), pengetahuan merupakan hasil tau, sebagian
pengetahuan itu diperoleh melalui mata dan telinga, yaitu yang berasal
dari pendidikan, pengalaman, dan hubungan social sehingga
menghasilkan perubahan pengetahuan dan perilaku. Menurut Wong
dalam Wahit (2007), salah satu tujuan edukasi kesehatan adalah agar
individu mempelajari apa yang dapat ia lakukan sendiri dan bagaimana
caranya tanpa selalu meminta pertolongan kepada system pelayanan
kesehatan formal. Dalam penelitian ini, latar belakang pendidikan
kelompok intervensi dan control lebih didomonasi oleh latar belakang
pendidikan menengah-tinggi, sehingga memiliki cukup kemampuan
untuk menerima informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan
peran pendamping pada masa nifas karena salah satu prinsip edukasi
yaitu edukasi harus bersifat negosiasi yaitu menentukan apa yang
92
telah diketahui dan apa yang penting untuk diketahui. Sehingga akan
menghasilkan edukasi yang interaktif, yaitu suatu proses yang dinamis
yang melibatkan partisipasi responden dan peneliti.
2. Pengetahuan suami pada kelompok control dan intervensi
sebelum dan sesudah edukasi
Suami yang berperan sebagai pendamping masa nifas sebaiknya
dipersiapkan jauh hari sebelum persalinan tiba. Beberapa syarat untuk
menjadi pendamping masa nifas adalah cukup usia, cukup matang,
dan memiliki kesiapan mental dan pengetahuan untuk mendukung ibu
secara fisik dan emosional. (Simkin, 2008)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 orang responden pada
kelompok intervensi dan kontrol, diketahui bahwa suami sebagai
pendamping ibu postpartum tidak memiliki pengetahuan yang baik
tentang apa perannya sebagai pendamping masa nifas. Hal ini dapat
dilihat dari hasil pretest kuesioner diketahui dari 16 responden
kelompok control sebelum edukasi ada 12 orang (75%) yang memiliki
pengetahuan kurang dan hanya 4 orang (25%) yang memiliki
pengetahuan baik. Sedangkan untuk kelompok intervensi sebelum
edukasi ada 11 orang (69%) yang memiliki pengetahuan kurang dan 5
orang (31%) memiliki pengetahuan baik.
Namun setelah dilakukan pemberian edukasi tentang peran
pendamping ibu postpartum, diketahui bahwa hasil post test ada 10
orang (63%) yang memiliki pengetahuan kurang dan 6 orang (37%)
93
yang memiliki pengetahuan baik untuk kelompok control dan untuk
kelompok intervensi ada 3 orang (19%) yang memiliki pengetahuan
kurang dan 13 orang (81%) yang memiliki pengetahuan baik.
Secara umum baik pada kelompok kontrol maupun intervensi
jumlah responden yang memiliki pengetahuan tentang dukungan
suami mengalami peningkatan setelah diberi edukasi. Meskipun pada
kelompok kontrol masih didominasi oleh responden dengan kategori
kurang memahami pengetahuan tentang dukungan suami. Menurut
Wahit, dkk 2007 salah satu prinsip edukasi ialah negosiasi yakni
pentingnya tenaga kesehatan dan klien bersama-sama menentukan
apa yang telah diketahui, dan apa yang penting untuk diketahui selain
itu prinsip yang harus ada dalam edukasi adalah interaktif yakni
melibatkan partisipasi dari petugas kesehatan dan klien dalam berbagi
informasi.
Hal ini sejalan dengan studi kualitatif dengan 800 suami tentang
pengalaman selama mendampingi istri dalam persalinan. Sebagian
besar suami mengatakan mereka tidak memiliki informasi yang cukup
tentang persalinan, sehingga mereka membutuhkan informasi yang
lebih banyak tentang strategi koping untuk istri dalam persalinan,
informasi tentang nyeri persalinan, dan peran serta mereka selama
proses persalinan. (Evidence Based, 2012)
Hal ini juga terlihat pada hasil studi kualitatif 20 ibu primipara yang
dilakukan oleh Ester Kungwimba, dkk di Malawi menunjukkan bahwa
94
ibu primipara yang didampingi selama persalinan mengatakan, ibu
belum mendapatkan dukungan maksimal dari pendamping persalinan,
hal ini dikarenakan selama Antenatal Care tidak adanya edukasi
tentang peran pendamping persalinan sehingga ibu tidak mengetahui
jenis dukungan apa sebenarnya akan dia terima selama proses
persalinan dari suami sebagai pendamping persalinan, dan disisi lain
suami sebagai pendamping persalinan juga tidak mengetahui apa
perannnya sebagai pendamping persalinan dan jenis dukungan apa
yang seharusnya dia berikan kepada ibu selama proses persalinan.
(Kungwimba, 2013).
3. Pengaruh edukasi dukungan suami terhadap tingkat depresi pada
kelompok control dan intervensi
Dalam penelitian ini berdasarkan uji korelasi antara tingkat depresi
pada kelompok kontrol dan intervensi diperoleh nilai P= 0,000<0,05
menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pada tingkat
depresi ibu postpartum yang didampingi oleh suami yang telah
diberikan edukasi, dibandingkan dengan ibu yang suaminya tidak
mendapatkan edukasi tentang perang pendamping selama masa nifas.
Salah satu tujuan pendidikan kesehatan menurut Green dalam
Notoadmojo, 2012 yaitu untuk menggugah kesadaran, memberikan
atau meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan bagi dirinya sendiri, keluarga maupun
masyarakatnya. Hal ini di buktikan dengan adanya perbedaan tingkat
95
depresi pada kelompok kontrol dan intervensi dimana pada kelompok
intervensi nilai mean lebih tinggi hal ini disebabkan oleh pemberian
edukasi yang disertai dengan metode dan media edukasi sedangkan
pada kelompok kontrol nilai mean lebih rendah, hal ini di karenakan
kelompok kontrol hanya diberi media edukasi berupa leafleat.
Secara psikologis, seorang wanita yang baru saja melahirkan akan
mengalami tekanan psikis. Banyak wanita yang sepintas merasa
bahagia dengan kelahiran bayinya, namun sejalan dengan itu, akan
muncul gangguan suasan hati, perasaan sedih dan tekanan yang
dialami oleh seorang wanita setelah melahirkan yang berlangsung
pada minggu pertama, terutama pada hari ketiga hingga
kelima.(Herawati, dkk. 2014)
Ibu membutuhkan support system berupa dukungan dari suami
ataupun anggota keluarga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kehadiran suami atau keluarga sebagai pendamping pada masa nifas
mampu menurunkan stress pada ibu postpartum.
Menurut House (1985) dalam Suhita (2005) mengatakan salah satu
jenis dukungan yang paling penting bagi ibu nifas adalah dukungan
emosional. Bentuk dukungan ini melibatkan rasa empati kepada istri
yang baru saja berjuang melahirkan bayinya, menghadirkan suasana
kehangatan, dan memberikan perhatian yang akan membuat ibu
memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh suami
sehingga ibu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan
96
ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak
dapat dikontrol oleh ibu.
Menurut Notoatmodjo, dalam Arita Muwarni, 2014, Pendidikan
secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan. Edukasi yang diberikan pada suami sebagai pendamping
masa nifas mencakup hal-hal apa saja yang dapat dan harus dilakukan
suami selama mendampingi pada masa nifas. Dukungan fisik dan
psikologis sangat dibutuhkan oleh ibu selama masa nifas untuk
mengurangi depresi. Adapun bentuk dukungan yang di berikan suami
kepada ibu postpartum diantaranya adalah suami selalu
memperhatikan kondisi istri dan tidak lupa menghargai kemampuan
dan keahlian istri dalam merawat bayi serta suami dapat diandalkan
saat istri membutuhkan bantuan.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Esther T.
Hutagaol dari Universitas Indonesia dengan Hasil penelitian
menunjukkan penurunan proporsi depresi secara bermakna pada
kelompok intervensi (p=0,000), namun tidak berbeda bermakna
dibandingkan kelompok kontrol (p=1,000).
Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa Intervensi
pendidikan kesehatan direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai
97
bagian dari discharge planning untuk meningkatkan kesehatan
psikologis ibu postpartum.
4. Pengaruh Edukasi Dukungan Suami Terhadap Hormone β-
endorphin pada ibu postpartum
Kasdu (2005) menyebutkan bahwa faktor hormonal seringkali
disebut sebagai faktor utama yang dapat memicu timbulnya stress
pascapartum. Faktor ini melibatkan terjadinya perubahan kadar
sejumlah hormon dalam tubuh ibu pasca persalinan, yaitu
menurunnya kadar hormon progesteron, hormon estrogen,
ketidakstabilan kelenjar tiroid, dan menurunnya tingkat endorfin
(hormon kesenangan). Selain itu kurangnya dukungan dari suami dan
orang-orang sekitar juga merupakan salah satu faktor depresi pada
ibu postpartum.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membantu ibu
beradaptasi pada masa nifas yakni peran dan fungsi menjadi orang
tua, respon dan dukungan psikososial dari keluarga, sejarah riwayat
dan pengalaman masa kehamilan dan persalinan, harapan, keinginan
dan aspirasi pada saat hamil dan melahirkan. Semua hal tersebut
saling berkaitan selama proses adaptasi.
Dalam bidang kesehatan, edukasi merupakan satu bentuk
intervensi yang mandiri berupa pendidikan kesehatan untuk
membantu klien baik individu, kelompok, maupun masyarakat dalam
98
mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran,
yang didalamnya tenaga kesehatan berperan sebagai pendidik.
Pada penelitian ini didapatkan nilai mean hormone β-Endorphin
pada kelompok kontrol yakni 1.2500 sedangkan pada kelompok
intervensi nilai mean hormone β-Endorphin yakni 1.16875 dan
berdasarkan hasil uji beda dengan Mann Whitney dapat diketahui
bahwa nilai signifikansi 0,000<0,05 menandakan ada perbedaan rata-
rata hormone endorphin antara kelompok control dan Intervensi yang
berarti bahwa ada pengaruh pemberian edukasi tentang dukungan
suami terhadap hormone Endorphin.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh dr.
Archana Sharma yang berjudul Endogenous Opioid In Human Cells.
Salah satu pendapat dari hasil penelitian tersebut yang berkaitan
dengan ibu postpartum adalah Gejala psikologi pasca melahirkan
(seperti kesedihan pasca melahirkan, depresi, dan penyakit kejiwaan)
pada manusia merupakan efek lain dari mekanisme yang dapat
diinterpretasikan sebagai gejala kehilanga endorfin.
Sebagai kesimpulan, tingkat depresi yang dialami oleh ibu
postpartum akan dipengaruhi oleh kualitas pendamping masa nifas
yang telah di beri edukasi terlebih dahulu sehingga mempengaruhi
pula hormone endorphin pada ibu postpartum. Hasil pemeriksaan
hormone β-Endorphin bagi kelompok yang tidak diberi edukasi
99
cenderung rendah di bandingkan dengan hasil pemeriksaan hormone
β-Endorphin pada kelompok intervensi.
5. Pengaruh Hormon β-Endorphin Terhadap Tingkat Depresi
Hormon endorfin adalah senyawa kimia yang membuat
seseorang merasa senang. Endorfin diproduksi oleh kelenjar pituitary
yang terletak di bagian bawah otak. Hormon ini bertindak seperti
morphine, bahkan 200 kali lebih besar dari morphine. Endorfin atau
Endorphine mampu menimbulkan perasaan senang dan nyaman
hingga membuat seseorang berenergi. (Haruyama, 2014)
Endorphin adalah peptide peptide opioid endogen yang terdiri
daro 31 asam amino yang telah terbukti terlibat terhadap gangguan
yang berhubungan dengan stress serta gangguan lain seperti obesitas
diabetes dan respon imun. Endorphin dapat bertindak sebagai
neurotransmitter di pusat system saraf dan neuron diotak yang
mensintesis dan mengeluarkan endorphin terutama terletak di dalam
inti Arkuata hypothalamus (ARN), anterior dan neuro intermediate
lobus kelenjar hypofisis, solitaries necleus tracktus, dan ekstensi
neuron ini berakhir pada beberapa daerah diotak. Karena diproduksi di
beberapa daerah di bagian otak yang terkait dengan perannya
terhadap respon stress maka disarankan digunakan dalam manifestasi
beberapa penyakit kejiwaan.
Selama ini endorphin sudah dikenal sebagai zat yang banyak
manfaatnya. Beberapa diantaranya adalah, mengatur produksi hormon
100
pertumbuhan dan seks, mengendalikan rasa nyeri serta sakit yang
menetap, mengendalikan perasaan stres, serta meningkatkan sistem
kekebalan tubuh. Dalam kaitannya dengan depresi pada ibu post
partum hormone β-Endorphin di harapkan dapat membantu ibu dalam
mengatasi kemungkinan depresi yang dapat dialami ibu pascasalin
melalui mekanisme pendampingan oleh suami yang telah diberi
edukasi terlebih dahulu selama masa nifas.
Pada uji statistic Maan Whitney dimana di dapatkan hasil untuk
kelompok control nilai P 0,002 dan kelompok intervensi 0,001 yang
menandakan ada perbedaan hormone endorphin pada responden
berdasarkan tingkat depresi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh hormeone endorphin terhadap tingkat depresi pada
kelompok control dan intervensi.
Hal tersebut sejalan dengan teori yang di ungkapkan oleh dr.
Shigeyu Haruyama dalam bukunya The Miracle Of Endorphine
mengungkapkan salah satu langkah-langkah yang diberikan oleh Dr.
Haruyama untuk menstimulus keluarnya hormon β-Endorphin untuk
mengoptimalkan fungsinya dalam tubuh secara garis besar antara lain
melalui sentuhan lembut dari pasangan serta sesuatu yang membuat
tersenyum atau tertawa minimal 10 hingga 15 menit perhari.
C. Keterbatasan
Keterbatasan yang dimiliki peneliti dalam penelitian ini adalah
ketidakmampuan peneliti dalam mengkoordinasi dan mengendalikan
101
keadaan responden terkhusus kadar endorphin dan tingkat Depresi. Hal
ini disebabkan karena kedua variabel tersebut pada umumnya bersifat
subjektif dan dipengaruhi berbagai faktor lain yang tidak diteliti oleh
peneliti.
Dari segi pelaksanaan pemberian Edukasi yang dilakukan terjadwal
yaitu 2 kali selama responden di rawat di perawatan nifas, ada responden
yang kurang menyimnak dengan baik materi yang diberikan sehingga ada
kemungkinan kurang mendapatkan hasil yang maksimal.
102
BAB V
A. Kesimpulan
Berasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh pemberian edukasi tentang dukungan suami terhadap tingkat
depresi dan hormone β- Endorphin pada ibu postpartum primipara.
Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang di damping oleh suami
yang telah diberi edukasi cenderung mengalami depresi ringan
sedangkan ibu yang didampingi oleh suami dan tidak mendapatkan
edukasi cenderung beresiko mengalami depresi sedang dan berat.
B. Saran
1. Pemberian edukasi pada pendamping ibu post partum sebaiknya di
berikan jauh hari sebelum ibu melahirkan mengingat pemberian
edukasi pada pendamping ibu postpartum merupakan hal yang nyata
pasca melahirkan yang akan dilakukan bersama dengan ibu untuk
menghindari kemungkinan terjadi depresi yang di akibatkan oleh
kurangnya dukungan social khususnya dukungan dari suami.
2. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan untuk meneliti pengaruh
pendampingan ibu nifas terhadap keberhasilan ASI Ekslusif dan
hormone β- Endorphine. Dengan menganalisis sejauh mana ASI dapat
mempengaruhi Kadar Hormone β-Endorphin pada ibu Menyusui.
103
DAFTAR PUSTAKA
Adryanto, R.Dr (2014).Suami Siaga.Cetakan Pertama. Yogyakarta :
Laksana
Bobak dkk. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Edisi 4. Jakarta :
EGC
Dahro, Ahmad. (2012), Psikologi Kebidanan : Analisis Perilaku Wanita
Untuk Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika
Dalami, E, dkk. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Masalah
Psikososial, Jakarta : Trans Info Media
Haruyama S. (2015). The Miracle Of Endorphin Cetakan I. Bandung :PT.
Mizan Pustaka
Hawari, Dadang (2006). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi, Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Kaplan, H.I & Sadock, B.J (2004). Sinopsis Psikiatri, Jilid 2, Alih Bahasa.
Jakarta : Bina Rupa Aksara
Klein, S., Thompson, F. (2009). Panduan Lengkap Kebidanan. Yogyakarta
: Pallmall
Kungwimba, E.(2013). Experience Of Woman With The Support They
Received From Their Birth Companions During Labor And Delivery
In Malawi. Health Journal. No. 1. Vol. 5. Pages 45-52
Lapau, Buchari (2015). Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Indonesia
Luh Putu & Kadek. (2013). Pengaruh Dukungan Suami terhadap Istri yang
Mengalami Kecemasan pada Kehamilan Trimester III. Jurnal
Psikologi Undayana. Vol.1. No. 1. Halaman 1-11.
104
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN
KOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN Sekretariat : Lantai 2 Gedung Laboratorium Terpadu
JL JL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM.10, Makassar 90245 Contact Person: dr. Agussalim Bukhari, M.Med, PhD, SpGK (HP. 081241850858), email:
Lampiran 1
LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN
Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh,
Perkenalkan nama saya Ummul Khair, NIM P4400215037, saya adalah
mahasiswa Magister kebidanan FK.UNHAS, sedang melakukan penelitian sebagai
bagian dari tugas akhir program pendidikan dengan judul tesis “Pengaruh
Pemberian Edukasi tentang Dukungan Suami terhadap Tingkat Stres dan
Hormon β-Endorphin pada Ibu Post Partum”.
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui Pengaruh Pemberian Edukasi
tentang Dukungan Suami terhadap Tingkat Stres dan Hormon β-Endorphin pada Ibu
Post Partum. Saya akan melakukan penelitian dalam bentuk wawancara dengan
menggunakan kuisioner dan laboratorium terhadap suami dan ibu post partum
primipara.
Jika Ibu dan suami bersedia menjadi responden penelitian ini maka peneliti
akan menanyakan identitas dan beberapa hal yang mungkin ibu dan suami alami.
Selanjutnya peneliti memberikan edukasi kepada suami dan ibu post partum tentang
pemberian dukungan suami kepada ibu postpartum dengan model diskusi yang
dibantu dengan media leafleat. Setelah itu peneliti membuat kontrak waktu untuk
beberapa pertemuan berikutnya selama ibu dirawat di di perawatan Nifas RSUD
Latemmamala Soppeng sebelum dilakukan langkah penelitian selanjutnya yakni
satu minggu kemudian untuk menilai tingkat stress ibu dengan menggunakan
kuestioner dan mengambil sampel darah ibu untuk menilai hormone β-endorphin
pada ibu post partum yang dibantu oleh petugas laboratorium dari RSUD
Latemmamala Kabupaten Soppeng dan akan dibawa ke Lab. RSP. Unhas dan
dilakukan pemeriksaan. Tetapi jika Ibu merasa tidak berkenan dengan alasan
tertentu, Ibu berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini. Keikutsertaan Ibu
dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa paksaan.
Biaya pemeriksaan laboratorium yang akan dilakukan pada ibu menjadi
tanggung jawab peneliti.
Pada penelitian ini akan dilakukan pengambilan darah kira-kira 3cc untuk
pemeriksaan Hormon β-Endorphin. Proses pengambilan darah ini tidak berlangsung
lama kurang lebih 5 menit. Pengambilan darah dilakukan pada pembuluh darah di
lipatan lengan, akan terasa sakit sedikit dan dapat terjadi perdarahan di tempat
pengambilan. Namun kemungkinan ini akan sangat kecil karena yang akan
melakukan pengambilan darah adalah peneliti dan petugas laboratorium terlatih.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka ibu akan dipantau
selama 30 menit setelah pengambilan darah. Bila terjadi perdarahan, maka kami akan
segera memberikan pengobatan dan ibu berhak untuk menolak atau melanjutkan ikut
dalam penelitian. Kompensasi untuk ibu yang bersedia menjadi responden dalam
penelitian adalah bingkisan makanan yang akan diberikan setelah pengambilan darah
dan akan ditanggung oleh peneliti.
Identitas Ibu maupun data lainnya serta semua informasi yang diberikan akan
dijamin kerahasiaannya dengan menyamarkan identitas dan dibuat dalam logbook,
data disajikan hanya untuk kepentingan penelitian serta pengembangan ilmu. Bila
ada hal-hal yang tidak jelas, Ibu dapat menanyakan langsung kepada peneliti.
Peneliti,
Ummul Khair
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN
KOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN Sekretariat : Lantai 2 Gedung Laboratorium Terpadu
JL JL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM.10, Makassar 90245 Contact Person: dr. Agussalim Bukhari, M.Med, PhD, SpGK (HP. 081241850858), email: [email protected]
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Pengaruh Pemberian Edukasi tentang Dukungan Suami terhadap Tingkat Stres
dan Hormon β-Endorphin pada Ibu Post Partum
PERNYATAAN RESPONDEN Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Kode responden : Umur : Alamat : Setelah mendengar/membaca dan mengerti penjelasan yang diberikan oleh peneliti : Nama : Ummul Khair Prodi : Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran UNHAS
Saya bersedia menjadi responden bukan karena adanya paksaan dari pihak lain, namun karena keinginan sendiri dan tanpa biaya yang akan ditanggungkan kepada saya sesuai dengan penjelasan yang sudah dijelaskan oleh peneliti. Baik yang berhubungan dengan tujuan, manfaat, serta efek yang ditimbulkan penelitian ini, Maka dengan ini saya menyatakan setuju untuk ikut dalam penelitian ini secara sukarela dan tanpa paksaan.
Hasil yang diperoleh dari saya sebagai responden dapat dipublikasikan sebagai hasil dari penelitian dan akan diseminarkan pada ujian hasil dengan tidak akan mencantumkan nama, kecuali nomor informan.
Nama Tanda Tangan Tgl/Bln/Thn 1. Responden
2. Saksi I
3. Saksi II
Penanggung Jawab Penelitian Penanggung Jawab Medis Nama : Ummul Khair Alamat : Jln. Perintis Kemerdekaan VII F/23 No Hp : 085299974674
dr. Hj. Fadillah, Sp.OG.,M.Kes(K) Alamat : Jl. Kesatria Watansoppeng
Correlations
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
depresi_control 1.6875 .47871 16
depresi_intervensi 1.5000 .51640 16
Correlations
depresi_control depresi_intervensi
depresi_control
Pearson Correlation 1 -.234
Sig. (2-tailed) .000
N 16 16
depresi_intervensi
Pearson Correlation -.234 1
Sig. (2-tailed) .000
N 16 16
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
endorphin_control 1.2500 .44721 16
endorphin_intervensi 1.6875 .47871 16
Correlations
endorphin_control endorphin_intervensi
endorphin_control
Pearson Correlation 1 .405
Sig. (2-tailed) .000
N 16 16
endorphin_intervensi
Pearson Correlation .405 1
Sig. (2-tailed) .000
N 16 16
Uji normalitas hormone
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
endorfin_kontrol .292 16 .001 .761 16 .001
endorfin_intervensi .459 16 .000 .332 16 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Correlations
hormon_endorphin tingkat_depresi
Spearman's rho
hormon_endorphin
Correlation Coefficient 1.000 -.225
Sig. (2-tailed) . .000
N 32 32
tingkat_depresi
Correlation Coefficient -.225 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 32 32
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
endorphin N Mean Rank Sum of Ranks
depresi_control
rendah 12 8.33 100.00
tinggi 4 9.00 36.00
Total 16
depresi_intervensi
rendah 12 8.50 102.00
tinggi 4 8.50 34.00
Total 16
Test Statisticsa
depresi_control depresi_intervensi
Mann-Whitney U 22.000 24.000
Wilcoxon W 100.000 34.000
Z -.302 .000
Asymp. Sig. (2-tailed) .002 .001
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .003b .001b
a. Grouping Variable: endorphin
b. Not corrected for ties.
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
depresi
kontrol 16 18.00 288.00
intervensi 16 15.00 240.00
Total 32
endorphin
kontrol 16 13.00 208.00
intervensi 16 20.00 320.00
Total 32
Test Statisticsa
depresi endorphin
Mann-Whitney U 104.000 72.000
Wilcoxon W 240.000 208.000
Z -1.063 -2.441
Asymp. Sig. (2-tailed) .288 .015
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .381b .035b
a. Grouping Variable: kelompok
b. Not corrected for ties.