tes kecerdasan milik depi mohammad umar s.pd

51
Tes Kecerdasan (Inteligence Test) A. PENGERTIAN INTELIGENSI Dalam bukunya, Human Ability, Spearman & Jones (dalam Azwar, 2006:1) mengemukakan adanya sebuah konsepsi lama mengenai suatu kekuatan yang dapat melengkapi akal manusia dengan gagasan abstrak yang universal. Dalam bahasa Yunani, kekuatan itu disebut nous, sedangkan upaya pemanfaatan kekuatan tersebut dikenal dengan noesis. Kemudian kedua istilah tersebut dikenal sebagai intellectus dan intelligentia dalam bahasa Latin. Perkembangan berikutnya, keduanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi intellect dan intelligence. Transisi bahasa tersebut ternyata juga membawa perubahan makna. Intelligence yang semula berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata, kemudian berganti makna menjadi suatu kekuatan yang lain . Berbagai definisi yang dirumuskan oleh para ahli tampaknya memang menampakkan adanya pergeseran tersebut. Namun demikian, definisi-definisi itu selalu mengandung pengertian bahwa inteligensi merupakan suatu kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. Crider (dalam Azwar, 2006:3) mengatakan bahwa inteligensi bagaikan listrik; mudah diukur namun hampir mustahil untuk didefinisikan. Pendapat ini sangat beralasan sebab sejak awal kemunculannya hingga saat ini, belum ada definisi inteligensi yang dapat diterima secara universal. Konsep mengenai inteligensi sebagai kemampuan mental memang banyak disetujui, namun hal-hal

Upload: nilam-maharani-k

Post on 25-Jul-2015

148 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

Tes Kecerdasan (Inteligence Test)

A.      PENGERTIAN INTELIGENSI

Dalam bukunya, Human Ability, Spearman & Jones (dalam Azwar, 2006:1)

mengemukakan adanya sebuah konsepsi lama mengenai suatu kekuatan  yang dapat melengkapi

akal manusia dengan gagasan abstrak yang universal. Dalam bahasa Yunani, kekuatan itu disebut

nous, sedangkan upaya pemanfaatan kekuatan tersebut dikenal dengan noesis. Kemudian kedua

istilah tersebut dikenal sebagai intellectus dan intelligentia dalam bahasa Latin. Perkembangan

berikutnya, keduanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi intellect dan intelligence.

Transisi bahasa tersebut ternyata juga membawa perubahan makna. Intelligence yang semula

berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata, kemudian berganti makna menjadi suatu

kekuatan yang lain

. Berbagai definisi yang dirumuskan oleh para ahli tampaknya memang menampakkan

adanya pergeseran tersebut. Namun demikian, definisi-definisi itu selalu mengandung pengertian

bahwa inteligensi merupakan suatu kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu.

Crider (dalam Azwar, 2006:3) mengatakan bahwa inteligensi bagaikan listrik; mudah

diukur namun hampir mustahil untuk didefinisikan. Pendapat ini sangat beralasan sebab sejak

awal kemunculannya hingga saat ini, belum ada definisi inteligensi yang dapat diterima secara

universal. Konsep mengenai inteligensi sebagai kemampuan mental memang banyak disetujui,

namun hal-hal apa saja yang dicakup dalam kemampuan mental tersebut masih terus

diperdebatkan.

Jika ditilik kembali ke awal perkembangan teori mengenai inteligensi, dapat kita lihat

bahwa kemampuan mental umum banyak dikaitkan pada faktor-faktor yang lebih bersifas fisik,

khususnya faktor penginderaan (sensasi) dan faktor persepsi. Sebagai contoh, James McKeen

Cattell, seorang pengikut Galton, mengembangkan suatu bentuk skala pengukuran inteligensi

yang banyak mengukur kemampuan fisik seperti kekuatan tangan menekan dinamometer,

kecepatan reaksi, kemampuan persepsi mata, dan semacamnya (Willerman dalam Azwar,

2006:4). Galton sendiri berteori bahwa terdapat dua karakteristik yang dimiliki oleh orang

berinteligensi tinggi, yaitu: (a) energi/kemampuan untuk bekerja, dan (b) kepekaan terhadap

stimulus fisik. Dengan demikian, faham Galton ini jelas merupakan faham yang berciri

psikofisik dalam bidang inteligensi.

Page 2: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

Perkembangan psikologi selanjutnya menggeser pandangan tentang inteligensi yang

bersifat fisikal tersebut ke arah pandangan yang bersifat mentalistik. Alfred Binet, seorang tokoh

utama perintis pengukuran inteligensi, bersama Theodore Simon, mendefinisikan inteligensi

sebagai terdiri atas tiga komponen, yaitu: (a) kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau

mengarahkan tindakan, (b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut

telah dilaksanakan, dan (d) kemampuan untuk mengeritik diri sendiri (autocriticism). Ahli

lainnya, Lewis Madison Terman, mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan seseorang

untuk berpikir secara abstrak. Sedangkan H. H. Goddard mengatakan bahwa inteligensi adalah

tingkat kemmapuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang

langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang (Garrison &

Magoon dalam Azwar, 2006:5).

V.A.C. Henmon, salah seorang di antara penyusun Tes Inteligensi Kelompok Henmon-

Nelson, mengatakan bahwa inteligensi terdiri atas dua macam faktor, yaitu: (a) kemampuan

untuk memperoleh pengetahuan, dan (b) pengetahuan yang telah diperoleh. George D. Stoddard

juga menyebut inteligensi sebagai bentuk kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang

bercirikan (a) mengandung kesukaran, (b) kompleks, yaitu mengandung bermacam jenis tugas

yang harus dapat diatasi dengan baik, dalam arti bahwa individu yang berinteligensi tinggi

mampu menyerap kemampuan baru dan memadukannya dengan kemampuan yang sudah

dimiliki untuk kemudian digunakan dalam menghadapi masalah, (c) abstrak, yaitu mengandung

simbol-simbol yang memerlukan analisis dan interpretasi, (d) ekonomis, yaitu dapat diselesaikan

dengan menggunakan proses mental yang efisien waktu, (e) diarahkan pada satu tujuan, yaitu

bukan dilakukan tanpa maksud melainkan mengikuti suatu arah atau target yang jelas, (f)

mempunyai nilai sosial, yaitu cara dan hasil pemecahan masalah dapat diterima oleh nilai dan

norma sosial, dan (g) berasal dari sumbernya, yaitu pola pikir yang membangkitkan kreativitas

untuk menciptakan sesuatu yang baru dan lain.

David Wechsler, pencipta skala-skala inteligensi Wechsler yang masih banyak

digunakan hingga saat ini, mendefinisikan inteligensi sebagai totalitas kemampuan seseorang

untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi

lingkungannya dengan efektif (Wechsler dalam Azwar, 2006:7).

Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut ternyata juga banyak selaras

dengan pandangan orang awam mengenai inteligensi. Hasil penelitian Stenberg, dkk (1981)

Page 3: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

menemukan bahwa konsepsi orang awam mengenai inteligensi mencakup tiga faktor

kemampuan utama, yaitu: (a) kemampuan memecahkan masalah-masalah praktis yang berciri

utama adanya kemampuan berpikir logis, (b) kemampuan verbal yang berciri utama adanya

kecakapan berbicara dengan jelas, dan (c) kompetensi sosial yang berciri utama adanya

kemampuan untuk menerima orang lain sebagaimana adanya. Berikut ini adalah tabel

perbandingan ciri-ciri inteligensi menurut orang awam dan para ahli sebagaimana dirangkum

oleh Stenberg:

AHLI AWAMKemampuan Memecahkan Masalah

1.      Mampu menunjukkan pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi

2.      Mengambil keputusan dengan tepat3.      Menyelesaikan masalah secara

optimal4.      Menunjukkan pikiran jernih

Kemampuan Praktis untuk Pemecahan Masalah

1.      Nalar yang baik2.      Melihat hubungan di antara berbagai

hal3.      Melihat aspek permasalahan secara

menyeluruh4.      Pikiran terbuka

Inteligensi Verbal1.      Kosakata yang baik2.      Membaca dengan penuh pemahaman3.      Ingin tahu secara intelektual4.      Menunjukkan keingintahuan

Kemampuan Verbal1.      Berbicara dengan artikulasi yang baik

dan fasih2.      Berbicara dengan lancar3.      Memiliki pengetahuan di bidang

tertentuInteligensi Praktis

1.      Tahu situasi2.      Tahu cara mencapai tujuan3.      Sadar terhadap dunia sekeliling4.      Menunjukkan minat terhadap dunia

luar

Kompetensi Sosial1.      Menerima orang lain apa adanya2.      Mengakui kesalahan3.      Tertarik pada masalah sosial4.      Tepat waktu bila berjanji

B.       SEJARAH PERKEMBANGAN ASESMEN INTELIGENSI

Tes untuk mengukur kompetensi pada awalnya dilaksanakan di Cina sebelum dinasti Han

berkuasa. Tes tersebut dilakukan untuk menguji rakyat sipil yang ingin menjadi legislatif. Materi

tes berisi pengetahuan menulis klasik, persoalan administratif, dan persoalan manajerial. Tes

yang demikian kemudian berlanjut hingga masa pemerintahan dinasti Han (200 SM – 200 M),

untuk menyeleksi calon anggota legislatif, militer, perpajakan, pertanian, dan geografi. Sistem

ujian telah disusun sedemikian rupa dan berisi aktivitas yang lebih kompleks. Para peserta tes

diwajibkan tinggal sehari semalam dalam kabin untuk menulis artikel atau puisi. Hanya satu

hingga tujuh persen peserta yang akan lolos ke ujian tahap kedua yang berlangsung dalam tiga

Page 4: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

hari tiga malam. Menurut Gregory, seleksi ini keras namun dapat memilih orang yang mewakili

karakter orang Cina yang kompleks. Tugas-tugas militer yang cukup berat dapat dilakukan

dengan baik oleh para pegawai yang lolos dalam seleksi fisik dan psikologi yang intensif ini.

Memasuki era psikologi modern, pengukuran kemampuan umum mulai banyak dilakukan

dengan metode yang sistematis. Usaha-usaha pengukuran tersebut berkembang di Amerika

Serikat dan Perancis dalam waktu yang hampir serempak. Di Amerika, usaha pertama dimulai

oleh James Mckeen Cattell (1860–1944), yang menerbitkan buku Mental Tests and Measurement

pada tahun 1890. Buku ini berisi rangkaian tes inteligensi yang terdiri dari sepuluh jenis ukuran.

Kesepuluh ukuran tersebut merupakan seri pertama yang dibuat di laboratorium psikologi The

University of Pennsylvania dan dicobakan kepada siapapun yang bersedia dan kebetulan datang

ke laboratorium tersebut. Kesepuluh macam ukuran tersebut dimaksudkan untuk mengukur

inteligensi, yang sarat dengan pengukuran aspek sensori-motor dan fisiologis.

Di Eropa, para ahli juga melakukan usaha pengukuran aspek mental yang lebih kompleks.

Kraepelin, pada tahun 1895, menyusun suatu seri tes yang yang panjang yang dimaksudkan

untuk mengungkap apa yang dianggapnya sebagai faktor-faktor dasar yang menjadi karakteristik

individual. Tesnya sendiri pada dasarnya berisi operasi berhitung sederhana dan dirancang untuk

mengukur efek latihan, ingatan, kerentanan terhadap kelelahan dan kerentanan terhadap pemecah

perhatian.

Selanjutnya, seorang psikolog Perancis, Alfred Binet menciptakan sebuah tes inteligensi

yang terkenal hingga saat ini. Diawali oleh desakan terhadap Ministry of Public Instruction agar

menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus, Binet ditugaskan

untuk mendeteksi anak-anak yang memiliki kecerdasan terbelakang tersebut. Untuk tugas itu,

dengan bantuan Theodore Simon, di tahun 1905 ia menerbitkan Skala Binet-Simon yg pertama.

Tes tersebut kemudian direvisi secara berturut-turut pada tahun 1908 dan 1911.

Di Amerika Serikat, revisi Skala Binet yang paling terkenal dan paling banyak dipakai

selama bertahun-tahun adalah revisi yang dilakukan di Stanford University oleh L.M. Terman,

dkk.. Edisi revisi tersebut diberi nama “The Stanford Revision of the Binet-Simon Intelligence

Scale”. Revisi pertama dilakukan pada tahun 1916. Terman menambahkan kecermatan skala

tersebut secara psikometri. Item tes juga disusun berdasarkan tingkat kesukaran dan tingkat

umur, serta skornya dinyatakan dalam mental age (MA). Dalam tes inilah konsep IQ digunakan

secara resmi untuk pertama kali. Revisi selanjutnya dilakukan pada tahun 1937, 1960, dan 1972.

Page 5: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

Skala Binet ini kemudian menjadi skala yang paling terkenal dan digunakan untuk memvalidasi

tes-tes inteligensi lain yang muncul setelahnya.

Tes-tes Binet berserta semua revisinya merupakan skala individual yang

pengadministrasiannya memerlukan waktu cukup lama. Pada saat Amerika Serikat memasuki

Perang Dunia I pada tahun 1917, sebuah komisi ditunjuk oleh American Psychological

Association untuk merancang tes yang dapat melakukan klasifikasi kilat atas satu setengah juta

orang calon tentara. Maka di bawah arahan Robert M. Yerkes, dikembangkanlah tes Army Alpha

dan Army Beta untuk memenuhi kebutuhan praktis ini. Aplikasi tes inteligensi kelompok seperti

ini jauh lebih cepat daripada tes-tes individual. Namun kemudian, ketika tes-tes ini ternyata

gagal memenuhi harapan, skeptisme terhadap para tester dan ahli tes kerap muncul.

Tiga puluh empat tahun setelah diterbitkannya tes inteligensi oleh Binet dan Simon,

David Wechsler memperkenalkan versi pertama tes inteligensi yang dirancang khusus untuk

digunakan oleh orang dewasa. Tes tersebut terbit pada tahun 1939 dan dinamai Wechsler-

Bellevue Intelligence Scale (WBIS). Pada tahun 1949, Wechsler juga menerbitkan skala

inteligensi untuk anak-anak yang dikembangkan berdasar skala WBIS tadi. Skala ini diberi nama

Wechsler Instelligence Scale for Children (WISC). Pada tahun 1974, suatu revisi terhadap tes

WISC dilakukan kembali dan edisi revisi ini diterbitkan di tahun tersebut dengan nama WISC-R

(huruf R merupakan singkatan dari kata Revised). Di tahun 1955, Wechsler menyusun skala lain

untuk mengukur inteligensi orang dewasa dengan memperluas isi tes WISC. Skala baru ini

diberinya nama Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Revisi terhadap WAIS dilakukan dan

diterbitkan pada tahun 1981 dengan nama WAIS-R

Pada perkembangan selanjutnya, disusunlah suatu standar penyusunan tes internasional di

Amerika Serikat yang dikenal dengan “Standards for Psychological and Educational Test” yang

digunakan hingga saat ini. Kini tes psikologi semakin mudah, praktis, serta muncul dengan

berbagai variasi bentuk.

C.      TEORI-TEORI INTELIGENSI

Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi elemen inteligensi, teori-teori inteligensi dapat

diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu (1) teori yang berorientasi pada faktor tunggal; (2)

teori yang berorientasi pada dua faktor; dan (3) teori yang berorientasi pada faktor ganda.

Berikut ini akan dipaparkan teori-teori inteligensi berdasarkan ketiga orientasi tersebut

Page 6: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

1.    Teori Inteligensi yang Berorientasi pada Faktor Tunggal

Alfred Binet

Alfred Binet (1857-1911) adalah salah satu ahli psikologi yang berpendapat bahwa inteligensi

bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu faktor umum atau sering dikenal dengan faktor

g. Menurut Binet, inteligensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang

sejalan dengan proses kematangan individu. Binet menggambarkan inteligensi sebagai sesuatu

yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat

perkembangan individu berdasar suatu kriteria tertentu. Jadi untuk melihat apakah seseorang

inteligen atau tidak, dapat diamati dari cara dan kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan

dan kemampuannya untuk mengubah arah tindakannya tersebut jika perlu. Inilah yang dimaksud

dengan komponen Arah, Adaptasi, dan Kritik dalam definisi inteligensi Binet.

2.    Teori Inteligensi yang Berorientasi pada Dua Faktor

a.    Charles E. Spearman

Pandangan Spearman (1927) mengenai inteligensi ditunjukkan dalam teorinya yang

dikenal dengan nama teori dua faktor. Penjelasannya mengenai teori ini berangkat dari analisis

korelasional yang dilakukannya terhadap skor seperangkat tes yang mempunyai tujuan dan

fungsi ukur yang berlainan. Hasil analisisnya memperlihatkan adanya interkorelasi positif di

antara berbagai tes tersebut. Menurut Spearman, interkorelasi positif itu terjadi karena masing-

masing tes tersebut memang mengukur suatu faktor umum yang sama, yang dinamainya faktor g.

Namun demikian, korelasi-korelasi itu tidaklah sempurna sebab setiap tes, di samping mengukur

faktor umum yang sama, juga mengukur komponen tertentu yang spesifik bagi masing-masing

tes tersebut. Faktor yang spesifik dan hanya diungkap oleh tes tertentu saja ini disebut faktor s.

Definisi inteligensi menurut Spearman mengandung dua komponen kualitatif yang

penting, yaitu (1) eduksi relasi (eduction of relation), dan (2) eduksi korelasi (eduction of

correlates). Eduksi relasi adalah kemampuan untuk menemukan suatu hubungan dasar yang

berlaku di antara dua hal. Misalnya, dalam menemukan hubungan yang terdapat di antara dua

kata “panjang-pendek”. Eduksi korelasi adalah kemampuan untuk menerapkan hubungan dasar

yang telah ditemukan dalam proses eduksi relasi sebelumnya ke dalam situasi baru. Misalnya,

bila telah diketahui bahwa hubungan antara “panjang” dan “pendek” merupakan hubungan lawan

Page 7: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

kata, maka menerapkannya dalam situasi pertanyaan seperti “baik - .....”, tentu akan dapat

dilakukan.

b.   Donald Olding Hebb

Hebb membedakan inteligensi menjadi dua macam, yaitu Inteligensi A dan Inteligensi B.

Inteligensi A merupakan kemampuan dasar manusia (human basic potentiality) untuk belajar

dari lingkungan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Inteligensi A ditentukan

oleh kompleksitas dan kelenturan sistem syaraf pusat, yang dipengaruhi oleh gen. Gen

merupakan suatu blue-print bagi pembentukan organisme hidup, yang tersusun teratur pada

setiap kromosom dalam sel. Masing-masing gen merupakan satu bagian kecil dari suatu

makromolekul yang panjang yang disebut DNA.

Sebagian orang dibekali dengan gen dalam jumlah yang banyak dan karenanya memiliki

kesiapan yang lebih baik bagi perkembangan mentalnya. Namun ada juga sebagian orang yang

tidak memiliki gen yang cukup sehingga perkembangan mentalnya tidak dapat mencapai batas

optimal. Perkembangan mental dimaksud akan terjadi bila mendapat rangsangan dengan baik

dari lingkungan sosial dan lingkungan fisik tempat seseorang mengalami pertumbuhan.

Inteligensi B merupakan tingkat kemampuan yang diperlihatkan oleh seseorang dalam

bentuk perilaku yang dapat diamati secara langsung. Bila Inteligensi A dapat dikatakan sebagai

kemampuan potensial, maka Inteligensi B merupakan kemampuan aktual. Inteligensi B tidak

berasal dari gen yang dibawa sejak lahir, namun juga tidak sekedar diperoleh sebagai hasil

belajar dari lingkungan. Inteligensi B merupakan hasil kerjasama antara keadaan alamiah

seseorang dengan asuhan yang diterimanya, atau antara potensi genetik dan stimulasi

lingkungan.

Ukuran terhadap Inteligensi B, sebagaimana diperoleh melalui tes IQ, disebut sebagai

Inteligensi C. Inteligensi C tidak merupakan representasi total dari Inteligensi B karena tes IQ

pada umumnya hanya dapat mengukur sebagian saja dari Inteligensi B, bukan seluruhnya.

c.    Raymond Bernard Cattell

Dalam teorinya mengenai organisasi mental, Cattell (1963) mengklasifikasikan

kemampuan mental menjadi dua macam, yaitu: Inteligensi fluid (gf) yang merupakan faktor

Page 8: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

bawaan biologis, dan Inteligensi crystallized (gc) yang merefleksikan adanya pengaruh

pengalaman, pendidikan, dan kebudayaan dalam diri individu.

Inteligensi crystallized dapat dipandang sebagai endapan pengalaman yang terjadi

sewaktu inteligensi fluid bercampur dengan apa yang disebut dengan inteligensi budaya.

Inteligensi crystallized akan meningkat kadarnya dalam diri seseorang seiring dengan

bertambahnya pengalaman. Dengan kata lain, tugas-tugas kognitif di mana keterampilan-

keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan telah mengkristal akibat dari pengalaman sebelumnya,

seperti kekayaan kosa kata, pengetahuan, kebiasaan penalaran, dan lain-lain, semua akan

meningkatkan inteligensi dimaksud. Pada umumnya, bila kita mengatakan inteligensi sebagai

kemampuan umum dalam menyelesaikan masalah, maka hal itu berarti inteligensi crystallized.

Pada sisi lain, inteligensi fluid lebih merupakan kemampuan bawaan yang diperoleh sejak

lahir dan lepas dari pengaruh pendidikan dan pengalaman. Inteligensi fluid dapat dipandang

sebagai faktor yang tak berbentuk, yang mengalir ke dalam berbagai variasi kemampuan

intelektual. Inteligensi fluid sangat penting artinya guna keberhasilan melakukan tugas-tugas

yang menuntut kemampuan adaptasi atau penyesuaian pada situasi-situasi baru di mana

inteligensi crystallized tidak begitu berperan.

Inteligensi fluid cenderung tidak berubah setelah usia 14 atau 15 tahun, sedangkan

inteligensi crystallized masih dapat terus berkembang hingga usia 30-40 tahun, bahkan lebih. Hal

ini karena perkembangan inteligensi crystallized memang banyak tergantung pada bertambahnya

pengalaman dan pengetahuan. Dengan meningkatnya usia, pengalaman akan terus bertambah

sehingga berpengaruh terhadap perkembangan inteligensi crystallized.

Meskipun berbeda, inteligensi fluid dan inteligensi crystallized dapat tampak serupa. Pada

umumnya, kemampuan fluid dan kemampuan crystallized menunjukkan korelasi yang tinggi satu

sama lain.

3.    Teori Inteligensi yang Berorientasi pada Faktor Ganda

a.    Edward Lee Thorndike

Thorndike menyatakan bahwa inteligensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik yang

ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen. Oleh karena itu, teorinya dikategorikan ke dalam

teori inteligensi faktor ganda.

Page 9: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

Formulasi teori Thorndike didasari oleh bukti-bukti riset yang dilakukannya. Ia

mengklasifikasikan inteligensi ke dalam tiga bentuk kemampuan, yaitu: (1) kemampuan

Abstraksi, yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan gagasan dan simbol-

simbol, (2) kemampuan Mekanik, yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan

alat-alat mekanis dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang memerlukan aktivitas

sensory-motor, dan (3) kemampuan Sosial, yaitu kemampuan untuk menghadapi orang lain di

sekitar diri sendiri dengan cara-cara yang efektif.

Ketiga bentuk kemampuan ini tidak terpisah secara eksklusif dan juga tidak selalu

berkorelasi satu sama lain dalam diri seseorang. Ada kelompok orang yang sangat cakap dalam

kemampuan abstraksi, seperti para akademisi, namun tidak memiliki kecakapan dalam bidang

mekanik. Namun ada juga kelompok orang yang memiliki kecakapan tinggi dalam ketiga

kemampuan tersebut.

Thorndike meyakini bahwa tingkat inteligensi tergantung pada banyaknya ikatan syaraf

(neural connection) antara rangkaian stimulus dan respon dikarenakan adanya reinforcement

yang dialami seseorang. Orang yang telah memiliki banyak ikatan pada bidang inteligensi

mekanik akan meningkat kecakapannya pada bidang tersebut. Begitu juga pada bidang abstraksi

dan sosial.

b.        Louis Leon Thurstone & Thelma Gwinn Thurstone

Teori inteligensi L.L. Thurstone & T.G. Thurstone juga dapat dikategorikan sebagai teori

inteligensi yang berorientasi faktor ganda. Dari hasil analisis faktor yang mereka lakukan

terhadap data skor rangkaian 56 tes yang dilancarkan pada siswa sekolah lanjutan di Chicago,

mereka tidak menemukan bukti mengenai adanya faktor inteligensi umum. Menurut L.L.

Thurstone, faktor umum tersebut memang tidak ada. Yang benar adalah bahwa inteligensi dapat

digambarkan sebagai terdiri atas sejumlah kemampuan mental primer.

Berdasar hasil analisis tersebut, mereka mengatakan bahwa kemampuan mental dapat

dikelompokkan ke dalam enam faktor dan bahwa inteligensi dapat diukur dengan melihat sampel

perilaku seseorang dalam keenam bidang dimaksud. Suatu perilaku inteligen, menurut keduanya,

adalah hasil dari bekerjanya kemampuan mental tertentu yang menjadi dasar performansi dalam

tugas tertentu pula.

Page 10: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

Dari hasil studi yang telah mereka lakukan, Thurstone menyusun Tes Kemampuan Primer

Chicago dan menguraikan keenam faktor kemampuan sebagai berikut:

V: (verbal), yaitu pemahaman akan hubungan kata, kosakata, dan

penguasaan komunikasi lisan.

N: (number), yaitu kecermatan dan kecepatan dalam penggunaan fungsi-

fungsi hitung dasar.

S: (spatial), yakni kemampuan untuk mengenali berbagai hubungan dalam

bentuk visual.

W: (word fluency), yaitu kemampuan untuk mencerna kata-kata tertentu

dengan cepat.

M: (memory), yaitu kemampuan mengingat gambar-gambar, pesan-pesan,

angka-angka, kata-kata, dan bentuk-bentuk pola.

R: (reasoning), yaitu kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari

berbagai contoh, aturan, atau prinsip. Dapat juga diartikan sebagai

kemampuan pemecahan masalah.

Penelitian L.L. Thurstone & T.G. Thurstone selanjutnya menunjukkan bahwa keenam

faktor tersebut tidaklah terpisah secara eksklusif dan tidak pula independen satu sama lain. Oleh

karena itu, kesimpulan mereka, terdapat suatu faktor umum lain yang lebih rendah tingkatannya

berupa suatu faktor-g tingkat dua. Faktor-g tingkat dua inilah yang menjadi dasar bagi semua

faktor-faktor lain.

c.         Cyril Burt

Cyril Burt (1949) beranggapan bahwa faktor-faktor kemampuan merupakan suatu

kumpulan yang terorganisasikan secara hirarkis. Dalam teorinya ia mengatakan bahwa

kemampuan mental terbagi atas beberapa faktor yang berada pada tingkatan-tingkatan yang

berbeda. Faktor-faktor tersebut adalah satu faktor Umum (general), faktor-faktor Kelompok

Besar (broad group), faktor-faktor Kelompok Kecil (narrow group), dan faktor-faktor Spesifik

(specific). Model tingkat mental hirarkis yang digambarkan oleh Burt sangat erat berkaitan

dengan suatu hirarki fungsional yang diurutkan berdasarkan kompleksitas kognitifnya.

Tingkat mental terendah berupa Kemampuan Penginderaan (sensory) dasar dan Proses

Penggerak (motor), yang disingkat s dan m. Satu tingkat di atasnya adalah tingkat kemampuan

Page 11: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

yang lebih tinggi berupa Proses Persepsi atau Proses Pengamatan dan Gerakan Terkoordinasikan

(perceptual process & coordinated movement) yang disingkat P dan M. Berikutnya adalah

Proses Asosiasi yang lebih kompleks yang melibatkan Ingatan (memory) dan Pembentukan

Kebiasaan (habit), yang disingkat M dan H. Berada di atasnya lagi adalah Proses Relasional

(relational) yang disingkat R. Berada pada puncak hirarki adalah Inteligensi Umum (I), yang

dianggap mempunyai peranan integratif yang selalu terlibat dalam setiap tingkat hirarki.

d.        Philip Ewart Vernon

Sebagaimana Burt, Vernon (1950) mengemukakan pula model hirarkis dalam

menjelaskan teorinya mengenai inteligensi. Dalam model hirarkisnya (seperti terlihat pada

gambar), Vernon menempatkan satu faktor umum (faktor-g) di puncak hirarki. Di bawah faktor-

g terdapat dua jenis kelompok kemampuan mental yang disebutnya kemampuan verbal-

educational (v:ed) dan practical-mechanical (k:m). Kedua jenis kemampuan ini termasuk dalam

faktor inteligensi yang utama atau kelompok mayor. Masing-masing kelompok mayor terbagi

lagi dalam faktor-faktor kelompok minor, yang terpecah lagi menjadi bermacam-macam faktor

spesifik pada tingkat hirarki yang paling rendah.

Mengenai faktor-faktor spesifik, Vernon berpendapat bahwa sebenarnya faktor-faktor

spesifik itu tidak banyak memiliki nilai praktis dikarenakan kurang jelas relevansinya dengan

kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, menurut Vernon, lebih baik membicarakan faktor-

faktor yang lebih umum dikarenakan faktor umum itulah yang berkorelasi lebih konsisten dan

substansial dengan masalah kehidupan sehari-hari.

e.         Joy Paul Guilford

Teori Guilford (1959) dikenal dengan structure of intellect. Dalam model struktur ini,

Guilford berusaha menyertakan kategorisasi perbedaan individual di berbagai faktor kemampuan

mental dalam usahanya memahami dan menggambarkan proses-proses mental yang mendasari

perbedaan individual tersebut. Model teori structure of intellect ini diilustrasikan dalam bentuk

sebuah kubus atau kotak berdimensi tiga yang masing-masing mewakili satu klasifikasi faktor-

faktor intelektual yang bersesuaian satu sama lain.

Dimensi yang pertama adalah isi (content), terurai dalam empat bentuk, yaitu figur

(figural), simbol (symbolic), semantik (semantic), dan perilaku (behavior). Dimensi kedua adalah

Page 12: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

operasi (operation), terurai dalam lima proses, yaitu kognisi (cognition), ingatan (memory),

produksi konvergen (convergent production), produksi divergen (divergent production), dan

evaluasi (evaluation). Dimensi ketiga adalah produk (product), terurai dalam enam jeni, yaitu

satuan (unit), kelas (class), relasi (relation), sistem (system), transformasi (transformation), dan

implikasi (implication). Dengan demikian, seluruh dimensi akan berjumlah 120 (4x5x6) macam

kombinasi yang merupakan faktor-faktor kemampuan yang berlainan dan dihipotesiskan sebagai

sumber terbentuknya kemampuan-kemampuan mental yang berbeda pula macamnya.

Dari 120 macam kemampuan tersebut, sekitar tiga perempatnya telah dibuktikan

keberadaannya secara empiris, sedangkan sisanya masih dalam proses penelitian.

f.         C. Halstead

Teori inteligensi Halstead (1961) merupakan teori yang menggunakan pendekatan

neurobiologis. Menurut Halstead, terdapat sejumlah fungsi otak yang berkaitan dengan

inteligensi dan relatif bebas dari aspek-aspek kebudayaan. Fungsi otak ini memiliki dasar

biologis dan berlaku bagi fungsi setiap otak individu. Selanjutnya, Halstead mengemukakan

adanya empat faktor inteligensi yang diringkas sebagai berikut:

a.    Faktor Central Integrative (C). Faktor ini berupa kemampuan untuk mengorganisasikan

pengalaman. Fungsi faktor ini adalah penyesuaian, di mana latar belakang pengalaman seseorang

dan hasil belajarnya akan mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang baru.

b.    Faktor Abstraction (A). Merupakan kemampuan mengelompokkan sesuatu dengan cara-cara

yang berbeda, dan kemampuan untuk melihat kesamaan dan perbedaan yang terdapat di antara

benda-benda, konsep-konsep, dan peristiwa-peristiwa.

c.    Faktor Power (P). Merupakan kekuatan otak (power) dalam arti tenaga otak yang utuh.

Termasuk dalam faktor ini adalah kemampuan untuk mengekang afeksi sehingga kemampuan-

kemampuan rasional dan intelektual dapat tumbuh dan berkembang

d.   Faktor Directional (D). Merupakan kemampuan yang memberikan arah dan sasaran bagi

kemampuan-kemampuan individu. Kemampuan ini menunjukkan dengan spesifik cara

mengekspresikan intelek dan perilaku.

Keempat faktor tersebut merupakan dasar dari apa yang oleh Halstead disebut sebagai

inteligensi biologis.

Page 13: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

g.        Howard Gardner

Pendapat Gardner mengenai keberadaan Inteligensi Ganda (multiple intelligence)

didorong oleh pendapatnya bahwa pandangan dari sisi psikometri dan kognitif saja terlalu sempit

untuk menggambarkan konsep inteligensi. Pendekatan teori Gardner sangat berorientasi pada

struktur inteligensi. Teori ini juga merupakan sanggahan terhadap pendapat yang mengatakan

bahwa hanya ada kemampuan umum sebagai konsep tunggal inteligensi.

Dalam usahanya melakukan identifikasi terhadap inteligensi, Gardner menggunakan

beberapa macam kriteria, yaitu: (a) pengetahuan mengenai perkembangan individu yang normal

dan yang superior, (b) informasi mengenai kerusakan otak, (c) studi mengenai orang-orang

eksepsional seperti individu yang luar biasa pintar, juga individu idiot savant, dan orang-orang

autistik, (d) data psikometrik, dan (e) studi pelatihan psikologis. Gardner mengatakan bahwa

berbagai inteligensi yang telah diidentifikasikannya bersifat universal sekalipun secara budaya

tampak berbeda. Sebagai contoh, inteligensi linguistik tidak selalu dinyatakan dalam bentuk

tulisan, bergantung pada budaya mana yang diperhatikan. Inteligensi sangat beragam dan

kebanyakan bersifat kognitif.

Tujuh macam inteligensi yang telah berhasil diidentifikasi oleh Gardner adalah

Inteligensi Linguistik, Inteligensi Matematik-logis, Inteligensi Spasial, Inteligensi Musik,

Inteligensi Kelincahan Tubuh, Inteligensi Interpersonal, dan Inteligensi Interpersonal.

Inteligensi linguistik banyak terlibat dalam kegiatan membaca, menulis, berbicara dan

mendengar. Menurut Gardner, aktivitas linguistik terletak pada bagian tertentu dalam otak.

Sebagai contoh, daerah Broca adalah lokasi terjadinya kalimat-kalimat yang sesuai dengan

struktur bahasa sehingga seseorang yang mengalami kerusakan pada daerah tersebut, sekalipun

dapat memahami kata dan kalimat, akan tetapi sulit menerangkannya menjadi kalimat yang

benar.

Inteligensi matematik-logis adalah inteligensi yang digunakan untuk memecahkan

problem berbentuk logika simbolis dan matematika abstrak.

Inteligensi spasial digunakan dalam mencari cara untuk berpindah dari satu tempat ke

tempat yang lain, untuk mengatur isi koper agar memuat barang-barang dengan efisien,

membayangkan langkah-langkah lanjutan dalam permainan catur, dan sejenisnya. Belahan otak

sebelah kanan merupakan sumber inteligensi ini. Sehingga jika terjadi kerusakan pada bagian

tersebut, maka proses spasial akan terganggu.

Page 14: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

Inteligensi musik berfungsi dalam menyusun lagu, menyanyi, memainkan alat musik,

ataupun sekedar mendengarkan musik. Sekalipun belahan otak sebelah kanan banyak

mengandung inteligensi musik, menurut Gardner, inteligensi musik tidak terlalu pasti letaknya.

Inteligensi kelincahan tubuh diperlukan dalam aktivitas-aktivitas atletik, menari, berjalan,

dan semacamnya. Kendali gerak tubuh terletak pada bagian korteks gerak di otak yang sisi-

sisinya mengendalikan gerakan pada bagian tubuh di sisi yang berlawanan.

Inteligensi interpersonal digunakan dalam berkomunikasi, saling memahami, dan

berinteraksi dengan orang lain. Orang yang inteligensi interpersonalnya tinggi adalah mereka

yang memperhatikan perbedaan di antara orang lain, dan dengan cermat dapat mengamati

temperamen, suasana hati, motif, dan niat mereka. Inteligensi ini sangat penting pada pekerjaan-

pekerjaan yang melibatkan orang lain, seperti psikoterapis, konselor, guru, polisi, dan sejenisnya.

Inteligensi intrapersonal sangat diperlukan dalam memahami diri sendiri. Merupakan

kepekaan seseorang akan suasana hati dan kecakapannya sendiri.

D.      JENIS-JENIS ASESMEN INTELIGENSI

1.    Tes Inteligensi Individual

a.    Skala Stanford-Binet

Tes Stanford-Binet merupakan tes inteligensi yang paling populer di dunia dan seringkali

digunakan sebagai standar untuk menguji validitas tes inteligensi lain yang dikembangkan

setelahnya. Tes Stanford-Binet edisi tahun 1916 memiliki banyak kelemahan sehingga dilakukan

revisi pada tahun 1937, yang menghasilkan dua format yang paralel (L dan M). Revisi

berikutnya dilakukan pada tahun 1960 dan kemudian distandardisasi pada tahun 1972 sehingga

mencakup norma-norma yang memadai bagi populasi masyarakat Amerika saat itu.

Skala Binet edisi keempat disusun pada tahun 1986. Penyusunnya berusaha untuk

mempertahankan kelebihan edisi sebelumnya sebagai tes inteligensi individual, ditambah dengan

kelebihan tambahan dari perkembangan teori dan riset terbaru dalam psikologi kognitif. Selain

itu, pada edisi revisi keempat ini ditambahkan variasi lainnya, khususnya jenis tes nonverbal.

Edisi keempat terdiri dari 15 jenis tes yang berbeda yang mencakup empat area: (1)

verbal reasoning, (2) abstract/visual reasoning, (3) quantitative reasoning, dan (4) short-term

memory. Sebagian dari kelimabelas jenis tes tersebut dapat digunakan untuk segala umur, dan

sebagian lainnya hanya dapat digunakan untuk umur-umur tertentu.

Page 15: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

Sebagaimana edisi sebelumnya, pada tes edisi 1986, testi diberikan tugas-tugas yang

sesuai dengan kemampuannya. Tes pertama-tama dimulai dari level yang dapat dijangkau oleh

testi dan kemudian dilanjutkan ke level yang lebih tinggi. Jawaban yang diberikan oleh testi pada

tes kosakata (sesuai dengan usia kronologisnya) dapat digunakan untuk menentukan tes mana

selanjutnya yang pertamakali akan digunakan. Tes kemudian berlanjut sampai setidaknya tiga

dari empat item tidak dapat dijawab dengan benar, di mana hal itu menunjukkan batas

kemampuan maksimal konseli (biasanya tes-tes berikutnya juga akan sulit dijawabnya dengan

benar).

Pada sebagian besar tes, setiap item hanya memiliki satu jawaban benar. Raw score setiap

tes kemudian dikonvensi ke dalam skor standard age dengan mean 50 dan standar deviasi 8.

Skor standar juga disediakan untuk masing-masing dari empat bidang kognitif bersama dengan

skor total komposit yang mencerminkan kemampuan mental umum. Masing-masing memiliki

mean 100 dan standar deviasi 16. Tes edisi keempat ini memerlukan waktu sekitar satu jam 15

menit. Tidak seluruh kelimabelas tes dilancarkan pada testi. Biasanya hanya delapan hingga 13

tes saja yang diberikan, tergantung pada entry level masing-masing testi.

Edisi keempat ini telah distandardisasi dengan lebih dari 5000 orang dari seluruh

Amerika Serikat yang di dalamnya telah mewakili sampel berdasarkan gender, umur, kelompok

etnis, dan masyarakat luas. Reliabilitas konsistensi internal tes secara keseluruhan sangat tinggi

(di atas .95), begitu pula reliabilitas masing-masing area kognitif (di atas .93). Uji reliabilitas

dengan metode test-retest terhadap bagian-bagian tes dan tes secara keseluruhan menunjukkan

hasil yang lebih tinggi bagi testi usia dewasa. Penyusun tes Binet juga telah menguji validitas

edisi keempat ini dengan menggunakan (1) validitas konstruk terhadap penelitian terkini dalam

bidang inteligensi kognitif, (2) konsistensi internal dan metode analisis faktor, dan (3) uji

korelasi dengan tes inteligensi lain.

b.   Skala Wechsler

Tes Wechsler edisi terakhir terdiri dari tiga jenis, yaitu: WPPSI-R untuk umur 3-7 tahun,

WISC-R untuk umur 6-16 tahun, dan WAIS-R untuk umur 16-74 tahun. WPPSI-R merupakan

hasil revisi pada tahun 1989. Modifikasi dan restandardisasi berikutnya yang dilakukan pada

tahun 1990an menghasilkan tes baru yang dinamakan WISC III (pengganti WISC-R). Namun

Page 16: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

dalam subbab ini hanya akan dibahas mengenai WPPSI dam WISC-R karena edisi penggantinya

tersebut masih belum beredar saat buku ini naik cetak.

Tiga tes tersebut memiliki kesamaan pola, dengan lima atau enam subtes yang

menghasilkan skor Verbal (selanjutnya disingkat V) dan skor Performansi (selanjutnya disingkat

P). Kedua skor tersebut kemudian menghasilkan skor skala total. Subtes-subtes itu hampir mirip

namun tidak identik antara satu sama lain (untuk masing-masing tingkat usia).

Sub-sub Tes Wechsler Berdasarkan Umur TestiAnak Kecil(WPSSI-R)

Anak Usia Sekolah(WISC-R)

Usia 16 Tahun Ke Atas(WAIS-R)

VERBALInformasiPemahamanAritmatikaPersamaanKosakata(Kalimat)

InformasiPemahamanAritmatikaPersamaanKosakata(Selisih Digit)

InformasiPemahamanAritmatikaPersamaanKosakata(Selisih Digit)

PERFORMANSIMendesain BalokMenyempurnakan Gambar

Merangkai Obyek(Memasang Hewan)JaringanDesain Geometrik

Mendesain BalokMenyempurnakan GambarMenata GambarMerangkai ObyekKodingJaringan

Mendesain BalokMenyempurnakan GambarMenata GambarMerangkai ObyekSimbol Digit

Catatan: tanda kurung menunjukkan bahwa tes tersebut merupakan pilihan atau suplemen. Tes yang berada pada satu baris merupakan tes yang mirip namun berbeda isi dan judulnya.

Tes Wechsler dilancarkan oleh tester terlatih dan memerlukan waktu sekitar satu jam.

Subtes Verbal dan Performansi biasanya diberikan secara berseling. Tester memulai dengan item

yang paling mudah –misalnya menyusun balok- atau item yang menengah namun diperkirakan

cukup mudah untuk testi. Tester kemudian melanjutkan pada tes subtes berikutnya jika testi telah

selesai dengan satu tes sebaik yang ia bisa.

2.    Tes Inteligensi Kelompok

Tes kelompok diklaim lebih efisien dalam hal waktu pengadministrasian dan skoringnya.

Material-material yang digunakan juga lebih simpel, biasanya berupa: booklet, lembar jawaban

Page 17: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

pilihan ganda, pensil, dan kunci jawaban. Tes jenis ini biasanya juga memberikan informasi yang

lebih normatif, karena data jenis ini lebih mudah dikumpulkan dalam seting kelompok.

Pengembangan tes kelompok didorong oleh kebutuhan untuk mengklasifikasikan hampir

dua juta tentara Amerika yang direkrut selama Perang Dunia I. Tes Army Alpha (untuk tentara

yang dapat membaca) dan Army Beta (untuk tentara yang tidak dapat membaca) saat itu

dikembangkan untuk keperluan militer. Berikutnya, dikembangkan pula tes inteligensi kelompok

untuk keperluan pendidikan dan personalia, dengan memodel kedua tes tersebut. Sekarang,

beberapa jenis tes kelompok telah digunakan di setiap tingkat pendidikan, dari TK hingga

pascasarjana. Tes kelompok juga digunakan secara luas oleh industri, militer, dan dalam

penelitian-penelitian. Supaya tidak kabur dengan istilah tes inteligensi, karena istilah inteligensi

seringkali disalahpahami dan disalahartikan, tes-tes kelompok tersebut lebih sering disebut

dengan tes kematangan mental, tes kecakapan kognitif, tes kesiapan sekolah, atau tes kecakapan

mental.

a.    Tes Henmon-Nelson

Tes Kecakapan Mental Henmon-Nelson terdiri dari empat level yang didesain untuk memenuhi

kebutuhan taman kanak-kanak hingga kelas XII, di mana setiap levelnya dapat digunakan untuk

tiga atau empat tingkat. Tes berisikan item jenis verbal dan numerikal, dan kemudian

menghasilkan raw score yang akan dikonversikan ke dalam IQ deviasi dan persentil.

b.   Tes Kecakapan Kognitif (Cognitive Abilities Tests)

Tes Kecakapan Kognitif merupakan versi modern dari Tes Inteligensi Lorge-Thorndike. Tes ini

terdiri dari tiga peruntukan yang berbeda, yaitu: (1) untuk TK dan kelas 1, (2) untuk kelas 2 dan

kelas 3, serta (3) untuk multilevel yang dapat digunakan di kelas 3 hingga kelas 12. Tes

Kecakapan Kognitif terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mengukur hal yang berbeda:

verbal, kuantitatif, dan nonverbal. Bagian nonverbal mengukur tidak menggunakan bahasa

ataupun angka, namun menggunakan gambar-gambar geometrik yang harus diklasifikasikan,

dianalogikan, dan disintesakan. Dalam porsi ini, pengaruh dari sekolah formal, ketidakmampuan

membaca, atau bukan berbahasa asli Inggris, dapat diminimalkan. Raw score masing-masing

bagian kemudian dikonversikan ke dalam skor stanin dan persentil untuk setiap umur dan kelas.

Tiga skor yang dihasilkan oleh tiga bagian tersebut kemudian dapat dikomparasikan dengan

Page 18: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

norma kelompok ataupun dikomparasikan dengan masing-masing peserta lainnya. Sebagai

tambahan, untuk menghasilkan skor deviasi IQ, skor juga dapat dikonversikan ke dalam skor

standar yang memiliki mean 100 dan standar deviasi 16. Tes Kecakapan Kognitif ini telah

distandardisasi bersama dengan Tes Keterampilan Dasar Iowa (Iowa Tests of Basic Skills) untuk

tingkat TK hingga kelas IX dan Tes Prestasi dan Profisiensi untuk kelas IX hingga kelas XII.

c.    Tes Kuhlmann-Anderson

Tes Kuhlmann-Anderson terdiri dari delapan level untuk tingkat TK hingga kelas XII, di mana

setiap level berisi beberapa tes. Tes Kuhlmann-Anderson merupakan versi terbaru dari dari salah

satu tes inteligensi terpopuler yang pernah digunakan di sekolah. Dibandingkan tes sejenis, tes

ini tidak terlalu bergantung pada bahasa, namun akan menghasilkan skor verbal, skor kuantitatif,

dan skor total. Skor disajikan dalam bentuk persentil (condidence interval) dan skor deviasi IQ.

d.   Tes Keterampilan Kognitif (Test of Cognitive Skills)

Tes Keterampilan Kognitif (Test of Cognitive Skills) merupakan versi terkini dari California Test

of Mental-Maturity-Short Form. Dalam format aslinya, instrumen tes ini didesain seperti tes

Stanford-Binet versi kelompok. Skor yang dihasilkanpun mirip dengan skor yang didapat dari tes

Stanford-Binet. Tes ini terdiri dari empat subtes yang masing-masing memiliki lima battery

untuk kelas dua hingga kelas XII. Umur dan tingkat stanin, persentil, dan norma skor standar

tersedia untuk setiap subtes. Indeks Keterampilan Total akan menghasilkan skor IQ deviasi.

e.    Tes Kesiapan Sekolah Otis-Lennon (Otis-Lennon School Ability Test)

Tes Kesiapan Sekolah Otis-Lennon (Otis-Lennon School Ability Test) berisi lima level tes untuk

kelas satu hingga kelas XII. Tes terbagi dalam dua bentuk R dan S. Tes ini merupakan revisi

terkini dari seri tes Otis terdahulu. Norma Tes Kesiapan Sekolah Otis-Lennon sama dengan the

Metropolitan Achievement Tests dan the Stanford Achievement Test.

f.     Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi (School and College Ability Tests)

Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi (School and College Ability Tests) terdiri dari tiga

level dan diperuntukkan bagi siswa kelas III hingga kelas XII. Dua di antaranya (X dan Y) dapat

digunakan untuk semua tingkatan. Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi berisi tes lisan

Page 19: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

mengenai analogi verbal dan tes kuantitatif mengenai perbandingan numerik. Tes ini akan

menghasilkan tiga skor: verbal, kuantitatif, dan skor total. Skor standar, stanin, dan persentil juga

tersedia untuk setiap tingkatan level. Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi diberi norma

secara konkuren dengan the Sequential Tests of Educational Progress (STEP). Karena Tes

Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi dikembangkan oleh Educational Testing Service yang

juga mengembangkan the College Entrance Examination Board’s Scholastic Aptitude Test

(SAT), skor verbal dan kuantitatif dalam Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi dapat

digunakan untuk memprediksi skor verbal dan kuantitatif SAT.

g.    Wonderlic Personnel Test

Wonderlic Personnel Test merupakan tes kecakapan mental singkat untuk orang dewasa yang

berdurasi 12 menit. Tes inteligensi dengan kertas dan pensil ini terdiri dari lima bentuk, dengan

norma yang ekstensif. Tes ini banyak digunakan dalam bisnis dan industri untuk seleksi dan

penempatan karyawan. Validitas data mengenai kesuksesan kerja tentu dapat ditemukan di

banyak perusahaan, namun memang jarang ditemukan dalam literatur penelitian. Namun

demikian, validitas tes masih dipertanyakan dalam hal seleksi posisi-posisi tertentu di mana

golongan minoritas memperoleh skor lebih rendah.

h.   Multi-Dimensional Aptitude Battery

Multi-Dimensional Aptitude Battery dikembangkan oleh Douglas Jackson pada tahun 1984

sebagai sebuah tes tulis kelompok untuk menghasilkan skor yang sama dengan yang akan

diperoleh dari Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Tes ini berisi lima tes skala verbal dan

lima tes skala performansi yang bentuknya sangat mirip dengan subtes-subtes skala WAIS,

namun dalam format tulis. Skor pada subtes-subtes tersebut memiliki mean 50 dan standar

deviasi 10, sedangkan skor total dari bagian verbal, performansi dan skala penuh memiliki mean

100 dan standar deviasi 15. Kelebihan tes ini adalah kemudahan dalam pengadministrasian dan

skoringnya. Untuk menjadi tester, juga tidak diperlukan keterampilan tingkat tinggi seperti yang

diperlukan pada skala WAIS dan Stanford-Binet. Sebagai alat tes kelompok, tes ini tentu saja

tidak bertujuan untuk memperoleh data observasional seperti yang diperoleh pada instrumen-

instrumen individual.

Page 20: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

E.       MENGHITUNG DAN MENGKLASIFIKASIKAN INTELIGENSI

1.    Intelligence Quotient

Salah satu cara yang sering digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya inteligensi

adalah dengan menerjemahkan hasil tes inteligensi ke dalam angka yang dapat menjadi petunjuk

mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang bila dibandingkan secara relatif terhadap

suatu norma

Secara tradisional, angka normatif dari hasil tes inteligensi dinyatakan dalam bentuk rasio

(quotient) dan diberi nama intelligence quotient (IQ). Walaupun demikian, tidak semua tes

inteligensi akan menghasilkan angka IQ karena IQ bukan satu-satunya cara untuk menyatakan

tingkat kecerdasan seseorang. Beberapa tes inteligensi bahkan tidak menghasilkan IQ, tetapi

memberikan klasifikasi tingkat inteligensi, seperti Level III yang berarti klasifikasi inteligensi

normal.

Istilah IQ diperkenalkan pertama kali pada tahun 1912 oleh seorang psikolog Jerman,

William Stern. Kemudian ketika pada tahun 1916, L.M. Terman menerbitkan edisi revisi tes

Binet, istilah IQ mulai digunakan secara resmi untuk yang pertama kali.

Sewaktu pertama kali digunakan secara resmi, angka IQ dihitung dari hasil tes inteligensi

Binet, yaitu dengan membandingkan skor tes yang diperoleh seorang individu dengan usia

individu tersebut. Pada waktu itu, perhitungan IQ dilakukan dengan menggunakan rumus:

IQ = (MA/CA) x 100

Keterangan:MA = Mental Age (usia mental)CA = Chronological Age (usia kronologis)100 = Angka konstan untuk menghindari bilangan desimal

Istilah usia mental dikemukakan untuk pertama kalinya bersamaan dengan perumusan

perhitungan IQ di atas. Pada masa tersebut, rumus IQ digunakan untuk menentukan tingkat

inteligensi seseorang berdasarkan hasil tes inteligensi Binet. Sebenarnya usia mental merupakan

suatu norma pembanding, yaitu norma performansi pada kelompok usia tertentu. Misalkan anak

yang berusia delapan tahun sebagian besar di antara mereka mampu menjawab dengan benar

sebanyak 24 soal dalam tes, mak skor 24 tersebut dijadikan norma untuk kelompok anak-anak

usia delapan tahun, dan disebut usia mental delapan tahun. Bila seorang anak, dalam

mengerjakan tes yang sama, mampu menjawab 24 soal dengan benar, maka ia dikatakan sebagai

mempunyai usia mental delapan tahun, sekalipun usia kronologisnya baru tujuh tahun. Adapun

Page 21: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

usia kronologis adalah usia anak sejak dilahirkan yang dinyatakan dalam satuan tahun atau

dalam satuan bulan.

2.    Batasan Rasio MA/CA

Gagasan pokok dalam perumusan rasio MA/CA adalah perbandingan relatif antara usia

kronologis dengan usia mental yang telah ditentukan berdasar rata-rata skor pada kelompok usia

tersebut. Seorang yang berinteligensi normal, diharapkan pada usia lima tahun akan mencapai

usia mental lima tahun, pada usia tujuh tahun akan mencapai usia mental tujuh tahun, dan

seterusnya.

Ternyata, hubungan seperti disebutkan di atas tidaklah selalu ditemui dalam

kenyataannya. Setelah memasuki usia remaja akhir, usia mental seseorang rupanya tidak lagi

banyak berubah, bahkan cenderung menurun. Rata-rata skor tes yang diperoleh individu berusia

40 tahun relatif sama dengan rata-rata skor sewaktu ia masih berusia 15 tahun, dan karenanya

tidaklah layak untuk mengatakannya mencapai usia mental 40 tahun. Di sisi lain, usia kronologis

seseorang terus saja bertambah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, apabila tes dilakukan

dengan membandingkan MA dan CA, maka angka IQ yang diperoleh akan semakin mengecil

sejalan dengan bertambahnya usia kronologis. Hal itu memberikan kesan bahwa semakin tua

seseorang akan, maka IQ-nya akan semakin menurun. Padahal hal tersebut tidaklah logis dan

tidak sesuai dengan kenyataan. Karena itu, perhitungan IQ dengan menggunakan perbandingan

MA dan CA tidak dapat dilanjutkan lagi.

3.    Perumusan IQ-Deviasi

Dengan adanya kelemahan penggunaan rasio MA/CA untuk menghitung IQ, maka David

Wechsler memperkenalkan konsep penghitungan IQ yang disebut IQ-Deviasi. IQ-Deviasi tidak

ditentukan berdasarkan perbandingan MA/CA, akan tetapi dihitung berdasarkan norma

kelompok (mean) dan dinyatakan dalam besarnya penyimpangan (deviasi standar) dari norma

kelompok tersebut. Dalam statistika, angka yang dinyatakan dalam satuan deviasi standar disebut

skor standar dan dirumuskan sebagai:

Skor Standar = m + s {(X-M)/sx}

Keterangan:m = mean skor standar yang diinginkan

Page 22: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

s = deviasi standar yang diinginkanX = skor mentah yang akan dikonversikanM = mean distribusi skor mentah yang diperolehsx = deviasi standar skor mentah yang diperoleh

Sebagai catatan, mean IQ selama ini ditetapkan sebesar 100. Hal ini merupakan kebiasaan

tradisional para ahli tes inteligensi selama berpuluh-puluh tahun dalam menafsirkan IQ sebesar

100 sebagai tanda tingkat inteligensi normal. Wechsler sendiri menggunakan mean sebesar 100

dan deviasi standar sebesar 15 untuk menghitung IQ yang diperoleh dari tes WAIS dan WISC,

sedangkan tes Stanford-Binet, sejak edisi revisi tahun 1960, menggunakan mean sebesar 100 dan

deviasi standar sebesar 16.

4.    Distribusi IQ dan Klasifikasi Inteligensi

Sebagaimana karakteristik fisik dan karakteristik psikologis yang lain, dalam suatu

populasi yang besar, distribusi angka IQ akan mengikuti suatu model sebaran normal yang

berbentuk genta/lonceng simetris, di mana mean terletak di tengah sumbu, angka-angka yang

lebih kecil dari mean terletak di sebelah kiri, dan angka-angka yang lebih besar dari mean

terletak di sebelah kanan. Hal itu terjadi sesuai dengan deskripsi matematis Quatelet mengenai

kurva lonceng yang dijadikan landasan oleh Galton, pada tahun 1869, untuk menyatakan bahwa

setiap sifat yang terjadi secara alamiah akan mempunyai satu mean dan satu distribusi normal

terhadap mean tersebut.

Implikasi model distribusi normal ini terhadap tingkat inteligensi adalah bahwa

persentase terbesar populasi akan memiliki IQ di sekitar mean (100), yaitu di antara angka 90

dan 110. Semakin jauh ke arah kiri (IQ semakin rendah) dan semakin jauh ke arah kanan (IQ

semakin tinggi), persentase populasi yang ada akan semakin kecil. Artinya, persentase orang

yang mempunyai IQ yang tinggi sekali akan sama kecilnya dengan persentase orang yang

memiliki IQ rendah sekali.

Hal tersebut telah terbukti kebenarannya dari data yang diperoleh oleh Terman dan Merril

pada tahun 1937. Data tersebut berasal dari 3184 subyek yang digunakan untuk standardisasi tes

Stanford-Binet. Distribusi data tersebut tampak dalam tabel berikut:

IQ PERSENTASE KLASIFIKASI160 – 169 0,03

Sangat Superior150 – 159 0,20140 – 149 1,10

Page 23: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

130 – 139 3,10Superior

120 – 129 8,20110 – 119 18,10 Rata-rata Tinggi100 – 109 23,50

Rata-rata Normal90 – 99 23,0080 – 89 14,50 Rata-rata Rendah70 – 79 5,60 Batas Lemah60 – 69 2,00

Lemah Mental50 – 59 0,4040 – 49 0,2030 – 39 0,03

Normalitas distribusi skor tes inteligensi juga diperlihatkan oleh hasil pelancaran skala WAIS-R,

pada tahun 1981, sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini. Dalam tabel tersebut dapat

dibandingkan distribusi persentase teoretis bagi masing-masing kelompok IQ dengan distribusi

persentase yang diperoleh dari sampel nyata.

IQ PERSENTASE KLASIFIKASITeoretis Sampel Nyata

≥ 130 2,2 2,6 Sangat Superior120 – 129 6,7 6,9 Superior110 – 119 16,1 16,6 Di Atas Rata-rata90 – 109 50,0 49,1 Rata-rata80 – 89 16,1 16,1 Di Bawah Rata-

rata70 – 79 6,7 6,4 Batas Lemah

≤ 69 2,2 2,3 Lemah Mental

Gambaran distribusi IQ demikian diharapkan juga dapat berlaku pada populasi subyek yang lain

di mana saja, asalkan bukan merupakan kelompok khusus atau kelompok pilihan.

F.       PROSEDUR PELAKSANAAN ASESMEN INTELIGENSI

Pelaksanaan tes intelegensi memberikan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk

menjamin adanya hasil dari sebuah pelaksanaan tes yang reliabel dan valid. Beberapa hal yang

harus dilakukan dalam prosedur pelaksanaan tes intelegensi antara lain sebagai berikut.

1.        Menciptakan Suasana Testing

Kegiatan menciptakan sebuah kondisi dan situasi testing memiliki tujuan pokok agar testi

dapat menunjukkan dan memberikan performance yang dimilikinya dengan sebaik mungkin.

Dalam pelaksanaan kegiatan ini perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya terkait dengan

Page 24: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

kondisi fisik bangunan yang digunakan dalam pelaksanaan sebuah tes intelegensi. Misalnya,

penerangan ruangan, ventilasi ruangan, dan besarnya ruangan yang digunakan tersebut. Sebagai

contoh, testi akan mengalami kesulitan memahami pengarahan yang diberikan sebelum tes

intelegensi dilaksanakan jika tidak ditunjang dengan sound system yang memadai.

Selain kondisi fisik bangunan yang digunakan dalam pelaksanaan tes, hal lain yang perlu

diperhatikan yakni keadaan atau kondisi orang yang akan dites. Hasil tes yang ditunjukkan dari

testi yang mengalami kelelahan dan mengalami masalah-masalah yang lain bukan merupakan

sampel yang representatif dari tingkah laku yang diharapkan muncul dalam kondisi dan situasi

tes. Hal ini dikarenakan, tes intelegensi secara umum menghendaki kondisi fisik dan mental yang

serasi dalam diri seorang individu. Jika tes intelegensi dilaksanakan dalam kondisi testi yang

kurang mendukung, maka dalam interpretasinya nanti harus disertakan kondisi-kondisi testi yang

kurang mendukung pelaksanaan tes intelegensi ini.

 

2.        Memberikan Motivasi dan Menciptakan Rapport dalam Testing

Motivasi merupakan salah satu hal yang harus menjadi perhatian, karena motivasi testi

yang mendasari pelaksanaan tes intelegensi akan mempengaruhi skor testi. Beberapa hal yang

harus diperhatikan dalam memahami motivasi dalam testing antara lain.

a.       Reinforcement yang dapat meningkatkan skor

Pada umumnya testi akan memiliki dorongan yang lebih besar dalam menyelesaikan

sebuah tes intelegensi jika mengetahui akan memperoleh reinforcement dari penyelesaian tes

intelegensi tersebut. Untuk anak-anak, reinforcement dapat berupa hadiah-hadiah, untuk siswa

sekolah menengah dapat dimotivasi dengan menyampaikan bahwa hasil tes intelegensi berguna

untuk mengetahui diri mereka sendiri dengan lebih baik dan juga penting untuk penjurusan

bidang studi mereka. Jika kegiatan ini dapat dilakukan secara optimal kepada testi, maka hasil tes

yang diperoleh akan cukup representatif dari tujuan yang diharapkan dalam pelaksanaan tes

intelegensi ini. 

b.      Motivasi-motivasi yang dapat mengurangi skor.

Pelaksanaan tes intelensi tidak menutup kemungkinan sedikit banyak akan memicu

munculnya dorongan atau motivsi dalam diri testi yang akan mendorong testi untuk mengambil

“jalan aman” dalam penyelesaian tes intelegensi atau bahkan tidak bersungguh-sungguh dalam

penyelesaiannya. Kondisi seperti ini harus menjadi perhatian tester untuk dapat menciptakan

Page 25: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

sebuah kondisi yang dapat memotivasi testi agar bersungguh-sungguh dalam penyelesaian tes

intelegensi ini, selain juga menghindarkan testi dari perasaan tegang yang dapat mengakibatkan

testi membuat banyak kesalahan dalam menyelesaikan tes intelegensi ini. Hal yang dapat

dilakukan tester yakni dengan membangkitkan ego-involvement dari testi, yakni sebuah situasi

yang melibatkan kepentingan seorang individu.  

c.       Ketakutan dalam menghadapi tes

Adanya ketakutan dalam menghadapi sebuah tes merupakan hal yang wajar, ketakutan

yang muncul dalam diri seorang testi dapat berasal dari orang tua, guru-guru, dan teman sebaya.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa testi yang khawatir tentang hasil tesnya akan

menunjukkan jumlah kesalahan yang lebih besar jika dibandingkan dengan testi yang tidak atau

kurang mengkhawatirkan hasil tes yang diselesaikannya tersebut. Kondisi ini dapat ditangani

dengan memberikan treatment reconditioning, dengan memberikan pemahaman kepada testi

bahwa tes intelegensi yang akan dilaksanakan merupakan alat atau media yang dapat membantu

(seorang individu) untuk dapat memahami dirinya sendiri dengan lebih baik, dan tes yang akan

dilakukan ini perlu disikapi secara wajar dan tidak berlebih-lebihan, dan diselesaikan dengan

sebaik-baiknya.

d.      Membentuk Rapport dalam Testing

Sebagian besar teknik yang digunakan dalam membentuk rapport ditentukan oleh sifat

tes yang akan diselesaikan dan tingkatan umur subyek yang akan dites. Teknik pembentukan

rapport pastinya akan berbeda antara subyek anak taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah

menengah, dan orang dewasa. Setiap tingkatan perkembangan ini akan memberikan tantangan

terhadap tester untuk dapat menciptakan sebuah hubungan yang baik dan menciptakan suatu

lingkungan yang aman dan nyaman antara testi dan tester dalam proses penyelesaian sebuah tes.

Sebagai contoh, tester dituntut untuk dapat menunjukkan sikap membantu, bersahabat,

ramah,dapat dipercaya, dan santai dalam menciptakan rapport sebelum pelaksanaan sebuah tes.

Kondisi pembentukan rapport ini dapat ditunjung dengan adanya kesamaan apa saja antara tester

dengan testi, karena adanya kesamaan ini dapat membangkitkan rasa aman dan kepercayaan

dalam diri testi. Hal yang lain, tester juga dapat menciptakan kondisi agar anak (testi) dapat

menyelesaikan sebuah tes dengan sungguh-sungguh sebagaimana dirinya (testi) bersungguh-

sungguh dalam menghadapi sebuah permainan tertentu yang disukai oleh testi.

Page 26: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

Hal yang perlu diperhatikan dalam membentuk rapport agar dapat berjalan dengan baik

yaitu menghindari pelaksanaan sebuah tes secara mendadak. Jika sebuah tes dilakukan secara

mendadak, secara langsung maupun tidak langsung akan memicu munculnya rasa tidak nyaman

dalam diri testi sebelum, selama, dan bahkan setelah menyelesaikan sebuah tes. Oleh karena itu,

sebelum pelaksanaan sebuah tes harus diberitahukan terlebih dahulu, sehingga testi (siswa) dapat

mempersiapkan dirinya terlebih dahulu sebelum menghadapi sebuah tes.      

3.        Memberikan Pengarahan kepada Testi

Memberikan pengarahan apa yang harus dilakukan oleh testi dalam menyelesaikan tes

intelegensi merupakan salah satu tanggungjawab yang penting dalam prosedur pelaksanaan tes

intelegensi. Tester dalam memberikan pengarahan apa yang harus dilakukan oleh testi harus

sesuai dengan yang tercantum dalam manual book tes intelegensi. Tester mengikuti semua

petunjuk yang ada dalam manual book, seperti nama, umur, tanggal pengetesa, dan lain

sebagainya secara jelas, membacakannya kata demi kata, tidak menambah dan atau merubah

sedikit pun petunjuk penyelesaian suatu tes, hingga dapat dipahami dengan baik oleh testi dan

tidak terjadi kesalahfahaman dari pengarahan yang diberikan tersebut.    

Tester harus tegas dalam menyampaikan petunjuk kepada testi, selain juga menentukan

waktu yang tepat dalam menyampaikan petunjuk tersebut, sehingga petunjuk yang disampaikan

kepada testi tidak diulang berkali-kali. Hal lain yang juga diperhatikan yakni pengarahan

dilakukan secara sederhana, jelas, dan tahap demi tahap. Sebagai contoh, tester memberikan

perintah “ambillah buku tesmu”, disaat yang bersamaan tester juga mengambil satu buku tes pula

sebagai contoh sembari memeriksa apakah perintah yang disampaikannya tersebut telah

dilakukan oleh testi sebelum melanjutkan perintah berikutnya. Penyampaikan perintah ini harus

bersifat formal, dapat didengarkan dengan jelas tetapi tetap dengan nada yang sopan dan tidak

menyebabkan testi merasa tidak bebas dan tertekan. Sesekali dalam situasi yang formal tersebut

diiiringi dengan suara yang santai semisal saat menyampaikan arti dan tujuan tes yang akan

diselesaikan.

4.        Mengontrol Cara Kerja Testi

Setelah kegiatan pemberian pengarahan selesai, tester memberikan aba-aba bahwa tes

mulai dapat dikerjakan. Tester mengawasi dan menjaga batas waktu sesuai dengan yang

Page 27: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

ditetapkan tes. Batas waktu dalam penyelesaian tes intelegensi ini harus dijaga ketat. Hal yang

lain yang dapat dilakukan oleh tester yakni melakukan kontrol apakah testi telah mengerjakan

sesuai dengan petunjuk, tetapi perlu diperhatikan dalam hal ini hendaknya kegiatan tester ini

tidak sampai mengganggu testi yang sedang menyelesaikan tes. Sebagai contoh, berlama-lama

melihat dan mengamati pekerjaan testi

5.        Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Testi

Jika sebuah pengarahan testing telah diberikan biasanya akan diikuti oleh berbagai

macam pertanyaan dari testi. Menyikapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari testi ini, tester

menjawab pertanyaan yang disampaikan dengan tidak menambahi hal-hal atau pengertian-

perngertian baru sebagaimana yang telah tercantum dalam manual book. Hal ini perlu mendapat

perhatian yang lebih karena penyampaian pengarahan merupakan bagian dari dalam situasi tes.

Dalam pelaksanaannya, pengarahan yang tidak dapat dimengerti dan dipahami dengan baik dapat

mempengaruhi skor yang diperoleh testi sebagai hasil tes.

6.        Menskor hasil tes dan mentfansformasian ke dalam norma

Jika tes telah selesai dilakukan, kegiatan berikurnya yakni menskor hasil tersebut.

Kegiatan ini cukup sederhana, yang dilakukan yakni mencocokkan jawaban testi dengan kunci

jawaban yang telah tersedia. Biasanya setiap jawaban yang benar diberi skor 1, dan secara

keseluruhan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total, yang kurang sederhana ialah kunci

jawaban tersebut berupa petunjuk yang memberikan berbagai kategori dengan gradasi skor yang

berbeda-beda.

Skor total yang dihasilkan biasanya disebut skor “mentah” karena belum diolah lebih

lanjut. Untuk menjadikan skor “mentah” ini memiliki lebih banyak makna, maka skor “mentah”

ini harus dibandingkan dengan patokan tertentu. Dapat dilakukan melalui membandingkannya

dengan suatu norma tertentu untuk melihat kedudukan relatif dari individu pemilik skor tersebut,

lebih tinggi atau lebih rendah dari umum. Untuk tes intelegensi, norma yang lazim digunakan

ialah yang didasarkan pada pengelompokan umur. Hal yang dapat dilakukan agar skor “mentah”

ini lebih bermakna yakni dengan mentransformasikannya ke dalam IQ, hal ini akan menjadikan

skor “mentah” tersebut berubah menjadi “self expalining” yang dapat langsung menerangkan

kedudukannya sendiri. Cara yang paling banyak digunakan yakni dengan menggunakan tabel

Page 28: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

transformasi, yakni dengan mencocokkan skor “mentah” dengan nilai IQ yang telah tercantum

dalam tabel untuk kelompok umur yang diperlukan.

7.        Menafsirkan dan melaporkan hasil tes

Dalam melaporkan hasil tes harus dituliskan identitas testi secara lengkap dan jelas, jenis

tes yang digunakan juga harus disebutkan, termasuk tanggal pengetesan. Hal ini dikarenakan

nilai IQ yang diperoleh dari suatu tes hampir tidak pernah sama antara satu tes dengan tes

lainnya. Melaporkan nilai IQ, baik itu tinggi maupun rendah, akan membawa risiko masing-

masing dari pencantuman nilai IQ tersebut. Pencantuman nilai IQ yang rendah akan membawa

risiko yang lebih besar jika dibandingkan dengan pencantuman nilah IQ yang tinggi. Dalam

melaporkannya, nilai IQ tinggi lebih reliabel jika dibandingkan dengan nilai IQ rendah, karena

nilai IQ rendah dapat berarti macam-macam, seperti kurang percaya diri, kurang motivasi, tidak

ada minat mengerjakan tes, dan lain sebagainya, oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk

menggunakan tes yang lain. Hal terakhir terkait pelaporan hasil tes ialah laporan hasil tes

tersebut harus ditandatangani dengan mencantumkan tangga pembuatan laporan.

G.      PENGGUNAAN ASESMEN INTELIGENSI DALAM LAYANAN BK

Penggunaan tes intelegensi dalam pelayanan bimbingan konseling tidak hanya

melibatkan konselor sebagai pelaksanan kegiatan bimbingan konseling, tetapi juga pihak-pihak

lain yang juga terlibat dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Hasil tes intelegensi yang

diperoleh dapat dipergunakan oleh berbagai pihak disekolah yaitu:

1.      Sekolah, tes intelegensi dapat digunakan untuk menyaring calon siswa yang akan diterima atau

untuk menempatkan siswa pada jurusan tertentu, dan juga mengidentifikasi siswa yang memiliki

IQ di atas normal.

2.      Guru, tes intelegensi dapat digunakan untuk mendiagnosa kesukaran pelajaran dan

mengelompokkan siswa yang memiliki kemampuan setara.

3.      Konselor, tes intelegensi dapat digunakan untuk membuat diagnosa siswa, untuk memprediksi

hasil siswa dimasa yang akan datang, dan juga sebagai media untuk mengawali proses konseling.

4.      Siswa, tes intelegensi dapat digunakan untuk mengenali dan memahami dirinya sendiri dengan

lebih baik, dan mengetahui kemampuannya.

Page 29: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

Penggunaan tes intelegensi perlu memperhatikan beberapa prinsip dalam pelaksanaannya

di sekolah. Diantaranya sebagai berikut.

1.      Diberikan untuk seluruh siswa, jika hanya diberikan kepada sekelompok siswa saja,

dikhawatirkan kesimpulan yang diambil nantinya tidak mencakup atau mewakili siswa secara

keseluruhan.

2.      Diberikan dengan pertimbangan waktu yang baik, tes yang diselenggarakan dengan rencana

yang matang akan memiliki manfaat yang cukup besar dari hasil yang diberikan tersebut.

3.      Dilakukan dengan cara yang benar, tes harus dilakukan dengan cara yang benar dan tidak

disalahgunakan agar dapat memberikan manfaat kepada siswa dan juga pada sekolah.

4.      Proses skoring harus dilakukan dengan tepat dan teliti.

5.      Hasil tes harus diinterpretasikan berdasarkan norma yang wajar.

6.      Hasil tes hendaknya disajikan dengan cara yang mudah dimengerti oleh siswa, orang tua, kepala

sekolah, guru dan konselor. Dapat disertai dengan keterangan-keterangan yang menunjang.

Kegiatan konseling memiliki ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan kegiatan

bimbingan yang lain, dan dalam praktiknya ada yang menggunakan hasil tes untuk mengawali

sebuah proses konseling. Hasil tes intelegensi dapat  digunakan sebagai bahan diagnosa. Hasil

tes belum tentu perlu disampaikan dalam proses konseling, tetapi konselor maupun konseli

memerlukan gambaran yang menyeluruh dari diri seorang konseli. Dengan menggunakan hasil

tes intelegensi, konselor dapat melakukan diagnosa terkait perkembangan konseli selama dan

setelah proses konseling berlangsung. Selain itu, Hasil tes intelegensi dapat digunakan sebagai

data penunjang. Jika tes yang digunakan tidak hanya tes atau tes intelegensi, maka hasil tes

intelegensi dapat digunakan untuk menunjang data yang telah diperoleh dan diperlukan dalam

kegiatan konseling.

H.      ETIKA PENGGUNAAN ASESMEN INTELIGENSI DALAM PELAYANAN BK

Agar tes intelegensi tidak disalahgunakan, maka disusunlah kode etik yang mengatur

sebuah penggunaan tes. Beberapa prinsip penting yang perlu diketahui oleh berbagai pihak,

termasuk konselor, antara lain sebagai berikut.

1.      Penjualan dan distribusi tes intelegensi terbatas pada pemakai yang dapat

dipertanggungjawabkan. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki wewenang untuk

Page 30: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

mengadministrasikan tes itelegensi yang telah dipersiapkan sebelumnya secara matang untuk

dapat melakukan hal tersebut, sehingga tidak semua orang dapat menjalankan dan

mengadministrasikan kegiatan tes intelegensi ini.

2.      Skor tes intelegensi hanya boleh disampaikan kepada orang-orang yang mampu

menginterpretasikannya. Individu (testi) yang memperoleh laporan hasil tes intelegensi

selayaknya juga memperoleh penjelasan dari orang yang mengerti dan mampu

menginterpretasikan hasil tes intelegensi tersebut. Hal ini berkaitan dengan tindakan berikutnya

yang akan dilakukan setelah individu (testi) mengerti dan memahami hasil tes intelegensi yang

diperolehnya.

3.      Membentuk sikap obyektif testi. Hal ini perlu dilakukan karena bagaimapun kondisinya, tes

intelegensi merupakan alat atau media yang dapat digunakan untuk memahami diri sendiri

dengan lebih baik, hal ini perlu dilakukan karena adanya kemungkinan testi memiliki prasangka

tertentu dalam menginterpretasikan sebuah hasil tes.

4.      Tes yang digunakan telah teruji tingkat validitas dan reliabilitasnya. Tes intelegensi yang masih

dalam tahap pengembangan tidak boleh digunakan, hal ini dikarenakan tingkat validitas dan

reliabilitasnya belum teruji.

Terdapat dua alasan pokok terkait pengontrolan dalam penggunaan tes intelegensi dengan

menggunakan aturan-aturan yang ketat, yaitu:

1.      Menjaga agar tes tidak menjadi hal yang biasa bagi calon testi, sehingga bisa mengurangi tingkat

validitas tes. Jika seorang individu pernah mengerjakan tes intelegensi dan mencoba mengingat-

ingat jawaban yang benar dari tes yang diselesaikannya tersebut, maka tidak menutup

kemungkinan individu tersebut memperoleh hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan

hasil tes sebelumnya (belum pernah menyelesaikan tes tersebut). Hasil tes yang baru menjadi

tidak valid karena hasil  tersebut diperoleh melalui “latihan” sebelumnya dan tidak dapat

dipandang sebagai manifestasi kemampuan individu dalam kondisi yang wajar yang ingin

diungkap melalui tes tersebut.

2.      Menjamin agar tes intelegensi hanya dapat dilakukan dan diadministrasikan oleh orang-orang

yang berwenang. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan sebuah tes pastinya akan melibatkan

aspek pemilihan, pengadministrasian, skoring, serta interpretasi hasil tes yang telah dilaksanakan

tersebut. Kegiatan-kegiatan ini tidak dapat dilakukan oleh semua orang, melainkan orang-orang

Page 31: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

yang telah dipersiapkan sebelumnya secara matang untuk dapat melakukan berbagai macam

kegiatan ini.

I.         KELEMAHAN TES INTELIGENSI

Menurut Cronbach (1970) dalam Azwar (2006) menempatkan tes intelegensi umum

berdasarkan ethical standart of psychologist pada golongan tes Level B, yaitu tes yang hanya

boleh dilakukan oleh mereka yang memiliki latar belakang dan pendidikan psikologi dan terlatih

secara khusus dalam penggunaan tes ini. Sedangkan penggunaan tes intelegensi secara klinis

menempatkan tes ini pada golongan Level C, yaitu tes yang hanya boleh dilakukan oleh mereka

yang memiliki paling tidak tingkat mastes dalam bidang psikologi dan mempunyai paling tidak

pengalaman minimal satu tahun dalam penggunaan tes, yang bersangkutan dibawah pengawasan

yang ketat.

Aspek administrasi tes intelegensi ini menuntut kualifikasi taraf terlatih, dalam hal ini

dapat dilakukan oleh siapapun yang telah dipersiapakan secara matang dan dilatih secara khusus,

sehingga kesalahan-kesalahan dalam pengadminisresian dapat dihindari. Aspek interpretasi tes

intelegensi ini menuntut kualifikasi terdidik secara khusus dalam bidang psikologi, hal ini

dikarenakan hasil tes intelegensi akan memiliki manfaat yang besar jika dipergunakan secara

tepat, akan menjadi berbahaya jika disalahgunakan oleh orang yang tidak dapat

menginterpretasikannya dengan benar, dan akan merugikan testi dan instansi yang

berkepentingan dalam menggunakan hasil tes intelegensi ini.

Page 32: Tes Kecerdasan Milik Depi Mohammad Umar S.pd

DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, A. & Urbina, S. 1997. Psychological Testing. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall International, Inc.

Azwar, S. 2006. Pengantar Psikologi Inteligensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cronbach, L.J. 1990. Essentials of Psychological Testing. New York: HarperCollins Publishers.

Hood, A.B. & Johnson, R.W. 1993. Assessment in Counseling: A Guide to the Use of Psychological Assessment Procedures. Alexandria, VA: ACA.

Konselor Indonesia. 2010. Sejarah Tes Inteligensi, (Online), (Error! Hyperlink reference not valid.), diakses pada 15 Oktober 2011.

Suwandi, I. 1993. Teknik Bimbingan Testing: Memahami Individu dengan Menggunakan Tes. Malang: Proyek OPF IKIP Malang.

Wirawan, Y. G. & Triyono. 2011. Materi Pelatihan 3: Tes Kemampuan Umum (Inteligensi). Malang: PPs UM.