terumbu karang

Upload: kadav-story

Post on 07-Jul-2015

149 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Pemakaian Terumbu Buatan sebagai Bangunan Pelindung PantaiHaryo Dwito Armono Laboratorium Rekayasa Dasar Laut dan Bawah Air Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 60111. Email : [email protected] ABSTRAKPada umumnya studi terumbu buatan lebih banyak dilakukan oleh para ahli biologi atau perikanan dibanding ahli teknik pantai. Studi-studi terdahulu lebih difokuskan pada aspek lingkungan , misal seperti distribusi jenis ikan yang ada di sekitar terumbu buatan, produktivitas terumbu buatan, atau studi perbandingan antara terumbu buatan dan terumbu karang. Hanya beberapa peneliti saja yang melakukan studi mengenai aspek fisik atau aspek hidraulik terumbu buatan. Sementara itu, para ahli teknik pantai yang berlatar belakang teknik sipil, lebih menekankan pada aspek stabilitas dan efektivitas redaman berbagai jenis bangunan bangunan pelindung pantai dengan ambang benam (submerged breakwater). Makalah ini ditulis untuk mempertemukan aspek biologi dan aspek fisik pada suatu terumbu buatan dengan penekanan pada kemampuan terumbu buatan dalam melindungi pantai dari serangan gelombang sehingga akan didapatkan suatu bangunan pantai ramah lingkungan. Untuk itu, tinjauan atas pemakaian terumbu buatan sebagai bangunan pelindung pantai pada aspek fisik akan diuraikan secara singkat. Penekanan pada aspek fisik ini berupa kemampuan terumbu buatan dalam mereduksi gelombang, melalui mekanisme pecahnya gelombang datang, penggeseran frekuensi gelombang serta dan pola arus perubahan garis pantai yang akan ditimbulkannya. Beberapa persamaan untuk memperkirakan koefisien transmisi gelombang juga akan didiskusikan dalam makalah ini. Kata kunci: Terumbu Buatan, Submerged breakwater, Teknik Pantai.

PENDAHULUAN Jaringan peneliti terumbu buatan di Eropa (European Artificial Reef Research Network EARNN) mendefinisikan terumbu buatan (artificial reefs) sebagai suatu bangunan yang sengaja dibenamkan untuk menirukan karakteristik terumbu karang (coral reefs) (Jensen, 1998). Sebelumnya, Harris (1995) mendefinisikan istilah terumbu buatan untuk berbagai benda buatan manusia yang dibenamkan ke dasar laut. Dari aspek biologi dan lingkungan, terumbu buatan juga didefinisikan sebagai suatu struktur buatan manusia yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan habitat, sumber makanan dan tempat pemijahan bagi hewan-hewan laut. (White et al, 1990). Sedangkan para peneliti teknik pantai yang lebih condong ke aspek fisik, juga mengunakan istilah terumbu buatan untuk bangunan pelindung garis pantai ambang benam (submerged breakwater) (Creter, 1994, Harris 2001) atau bangunan pembangkit gelombang untuk keperluan selancar (Craig, 1992). Terumbu buatan diletakkan di daerah-daerah tertentu dengan tujuan meningkatkan atau merestorasi lingkungan atau sumberdaya pesisir; yaitu daerah-daerah (i) yang memiliki produktivitas rendah, atau kondisi lingkungan dan habitat di daerah tersebut sudah sedemikian parah kerusakannya, seperti pantai yang tererosi (Creter, 1994); (ii) yang terumbu karangnya sudah rusak atau hilang (Crark dan Edward, 1994); atau (iii) untuk memperbaiki karakteristik gelombang sehingga bisa digunakan untuk berselancar (Craig, 1992 dan Black, 2000). Namun demikian, terumbu buatan lebih sering digunakan untuk peningkatkan produk-produk perikanan, yang sukses dilakukan oleh Jepang dan Amerika Serikat (Grove et al., 1989 dan 1994; McGurrin and Reeff, 1986; McGurrin et al, 1989; Stone 1985; and Stone et al., 1991, Barber, 2001). Sebagian besar studi atau penelitian terumbu buatan pada awalnya lebih banyak dilakukan oleh ahli biologi atau peneliti kelautan. Studi-studi tersebut difokuskan pada aspek biologi dan

lingkungan, seperti misalnya seperti distribusi jenis ikan yang ada di sekitar terumbu buatan, produktivitas terumbu buatan, atau studi perbandingan antara terumbu buatan dan terumbu karang. Hanya beberapa peneliti saja yang melakukan studi mengenai aspek fisik atau aspek hidraulik terumbu buatan. Sementara itu di sisi lain, studi aspek fisik bangunan-bangunan pelindung pantai dengan ambang benam (yang sering juga didefinisikan sebagai terumbu buatan), lebih banyak dilakukan oleh para ahli teknik pantai. Studi-studi ini lebih menekankan pada aspek stabilitas dan efektivitas redaman berbagai jenis bangunan bangunan pelindung pantai dengan ambang benam. Dari sudut pandang hidrodinamika gelombang, terumbu buatan (artificial reefs) yang sering diteliti oleh ahli biologi dan bangunan pantai dengan ambang dibawah muka air laut (submerged breakwater) memiliki karakteristik yang hampir sama. Dalam makalah ini, istilah terumbu buatan digunakan untuk kedua jenis bangunan tersebut diatas sebagai bangunan pelindung pantai. Aspek fisik seperti hidrodinamika, stabilitas, dan perubahan garis pantai setelah pemasangan terumbu buatan akan didiskusikan secara ringkas. KOEFISIEN TRANSMISI GELOMBANG TERUMBU BUATAN Untuk perletakan di daerah dangkal (freeboard kecil) bangunan-bangunan dengan ambang rendam akan memecahkan gelombang saat melewati bangunan tersebut. Reduksi gelombang juga disebabkan oleh adanya turbulensi dan interaksi non linier antara terumbu dan gelombang datang. Gambar 1 menunjukkan efek global dan lokal yang terjadi di sekitar terumbu buatan. Bentuk gelombang setelah melewati terumbu umumnya lebih pendek dan lebih kecil dibanding gelombang datang; atau dengan kata lain, terjadi pengurangan tinggi gelombang atau spektrum kerapatan energi. Hal ini bisa terlihat dari perubahan bentuk spektrum gelombang (Bleck and Oumeraci, 2001)

Gambar 1. Efek global dan lokal yang terjadi di sekitar terumbu buatan (Black dan Oumeraci, 2001) Kinerja bangunan pantai sebagai penahan gelombang umumnya dilihat dari koefisien transmisi gelombang (KT), yaitu perbandingan antara gelombang yang melewati bangunan tersebut terhadap gelombang datang. Semakin rendah nilai KT, semakin baik kinerja bangunan tersebut. Karena terumbu buatan memiliki ambang dibawah muka air, nilai KT pada terumbu buatan umumnya sedikit lebih besar dibanding bangunan-bangunan pantai dengan ambang di atas muka air laut. Namun demikian, pada umumnya, semakin besar amplitudo gelombang datang, koefisien transmisi yang terjadi akan berkurang (CERC, 1984). Hal ini berarti bahwa terumbu buatan sangat efektif menahan gelombang-gelombang besar, dan dapat digunakan untuk memicu pecahnya gelombang-gelombang besar.

Pengamatan selama pembuatan terumbu buatan di Yugawara (Jepang) menunjukkan bahwa ambang yang lebar lebih mampu mengurangi energi dibandingkan dengan dengan terumbu yang memiliki ambang sempit (Ohnaka and Yoshizawa, 1994). Sementara itu dalam skala laboratorium, koefisien transmisi gelombang akan dipengaruhi oleh gelombang yang pecah oleh keberadaan terumbu buatan (Ahrens, 1987, Seabrook, 1997, Armono, 2003), ataupun pada kondisi gelombang datang yang tidak pecah saat melewati terumbu buatan tersebut (Aono dan Cruz, 1996, Armono, 2003). Studi lebih lengkap mengenai pecahnya gelombang saat melewati terumbu buatan (berbentuk segitiga) telah dilakukan baik dengan model fisik (Smith dan Kraus, 1990) maupun model numerik (Armono, 2006). Pada studi oleh Smith dan Kraus (1990) untuk gelombang datang reguler, gelombang yang pecah di sekitar terumbu buatan pada umumnya berbentuk plunging dan collapsing dan dipengaruhi oleh arus balik (return flow. Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2a, gelombang sekunder yang terbentuk didepan gelombang utama akan menyebabkan gelombang utama pecah sebelum gelombang utama tersebut mencapai kondisi batas pecah (kedalaman pecah). Indeks gelombang pecah (b = Hb/Ho) akan meningkat seiring dengan menguatnya arus balik. Arus balik ini akan semakin besar apabila sudut kemiringan terumbu buatan 1 cukup besar dan kemiringan gelombang (Ho/Lo) yang rendah sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2b.

b =

Hb Ho

Hb

Ho

hb 3 1

a. Typical Incipient Wave Breaking a. Typical Incipient Wave Breakingb2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0

bRegresion Calculated2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0

Regresion Calculated

0.8 0.6 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10

0.8 0.6 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10

Ho/Lo 1 = 5o

o/Lo 1= 15o

b. Typical Breaker Heigh as function of Deepwater Steepness b. Typical Breaker Height as aafunctionof Deepwater Steepness

Gambar 2. Indeks gelombang pecah pada Terumbu Buatan (Smith and Kraus, 1990) Pengaruh lebar puncak terumbu buatan terhadap gelombang pecah telah juga diamati dalam skala laboratorium (Seabrook, 1996, Armono, 2004) maupun di lapangan (Yoshioka et al,1993 dan Ohnaka & Yoshizawa,1994). Semakin panjang jarak tempuh gelombang pecah melewati terumbu, semakin besar reduksi gelombang yang dihasilkan. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3, pengaruh lebar ambang (B) dan panjang gelombang (Lo) terhadap koefisien Transmisi KT.

1.5

F/Ho2.1

1.6

1.0

KT

1.3 1.0

Ho/Lo0.6 0.04~ 0.04~ ~0.04 ~0.04 ~0.03 ~0.03 ~0.02

0.50.4

F/Ho0.2 0.0 -0.2 Tanaka (1976)

~0.02

0

1.0

B/Lo

2.0

3.0

Figure 3. Koefisien transmisi Terumbu Buatan (Yoshioka et al, 1993) Notasi F dalam gambar 3 di atas menunjukkan jarak ambang terhadap muka air (freeboard) sebagaimana ditunjukkan pula pada gambar 4 berikut:Onshore Ht armour material - D50 B F h core material d Hi, T Offshore

Gambar 4. Tumpukan batu pecah dengan ambang lebar untuk meredam gelombang Untuk skala laboratorium, pengaruh lebar dan kedalaman ambang terhadap koefisien transmisi telah dilakukan oleh Seabrook (1997). Studi ini memberikan persamaan untuk memperkirakan koefisien transmisi pada kedalaman relatif (h/d) antara 0.56 dan 1 sebagai berikut: 0.65 F 1.09 Hi B.F F .Hi B KT = 1 e Hi + 0.047 + 0.067 L.D50 BD50

[1]

D50 adalah diameter median batu pelindung yang dirumuskan sebagai D50=(M50/a)1/3, M50 adalah berat median batu pelindung dan a merupakan rapat massa batu pelindung. Gambar 4 di atas menjelaskan notasi-notasi yang digunakan dalam persamaan [1] tersebut. Sebuah disain terbaru terumbu buatan yang diberi nama Aquareef yang berfungsi untuk substrat seaweed dan untuk meningkatkan kondisi lingkungan habitat sekitar terumbu telah diusulkan di Jepang (Hirose et al, 2002). Dengan bantuan grafik pada gambar 5, koefisien transmisi Aquareef tersebut dapat diperkirakan berdasarkan jumlah unit terumbu yang digunakan (n) atau lebar ambang (B) dengan koefisien transmisi.

H1/3, L1/3 Ht 2.6m number of rows n = 3 ~ 20 B d2.0m

5.0m

F

1:2

1:30

rubble mound

1: 2

r

1.0 0.8Ht/H1 /3

0.6 0.4 0.2 0.0 0.0

F/H/1/3 R H

1/3

=

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0

0.1

0.2

0.3B/L1/3

0.4

0.5

0.6

Figure 5. Koefisien Transmisi Aquareef Notasi H1/3 dan L1/3 pada grafik diatas menunjukkan tinggi dan panjang gelombang signifikan, dan F sebagaimana telah dijelaskan dimuka merupakaan freeboard. Pemakaian grafik di atas disarankan untuk penempatan Aquareef di pesisir dengan kemiringan kurang dari 1/30 dengan tinggi gelombang kurang dari 6,5m. Sementara itu, Armono (2003) meneliti koefisien transmisi terumbu buatan berbentuk kubah yang difungsikan sebagai bangunan peredam gelombang sebagaimana ditunjukkan pada gambar 6. Dalam penelitian tersebut dipelajari pengaruh kedalaman air, ketinggian relatif struktur, periode dan tinggi gelombang datang, kemiringan gelombang, lebar ambang, dan konfigurasi perletakan terumbu terhadap koefisien transmisi gelombang.Onshore Ht Artificial reefs units g, , w B core material Hi, T Offshore

armour material d h

Gambar 6 Terumbu buatan bentuk kubah untuk meredam gelombang Armono (2003) memberikan persamaan [2] untuk memperkirakan koefisien transmisi gelombang pada bangunan peredam gelombang dengan terumbu buatan yang diusulkannya:

KT =

1 H 1 + 14.527 i2 gT 0.901

B gT 2

0.413

h B

1.013

h d

4.392

[2]

Mengingat keterbatasan fasilitas penelitian, persamaan [2] di atas hanya berlaku pada kondisi berikut: 8,4.10-4< Hi/gT2

+ Fb + Fl

[7]

Sebagimana studi model fisik yang lain, kurva yang diberiken oleh Roehl (1997) hanya berlaku pada kondisi yang sama pada saat percobaan dilakukan, yaitu stabilitas untuk terumbu buatan tunggal. Kurva tersebut tidak berlaku untuk beberapa terumbu yang diletakkan bersama-sama sehingga memungkinkan adanya interlocking (ikatan antar terumbu) yang mampu meningkatkan stabilitas terhadap gelombang seperti Aquareef.

30000 Wave Height (ft)

Required Module Weight (lbs)

2

18000

30 20 10 5 2.5

12000

6000

0 0 25 50 75 100

Water Depth (ft)

Gambar 9. Kurva stabilitas Reef Ball pada periode gelombang 12 detik (Roehl, 1997) Kurva stabilitas Aquareef sendiri telah diberikan oleh Hirose et al (2002), seperti ditunjukkan pada gambar 10. Gaya yang mampu ditahan oleh Aquareef (Fr) adalah hasil perkalian berat Aquareef dibawah air (Wwet) dan koefisien gesek (). Hirose tidak mempertimbangkan gayagaya vertikal (gaya apung Fb dan gaya angkat Fl) seperti Roehl mengingat dalam eksperimen yang dilakukannya, gaya-gaya tersebut relatif kecil dibandingkan dengan gaya-gaya horisontal. Untuk memperkirakan jumlah baris Aquareef yang dibutuhkan (gambar 10b), harga koefisien gaya (Kn) harus dicari terlebih dahulu dengan persamaan:

Kn =

Fr w H1/ 3 A

[8]

dimana Fr adalah Gaya penahan Aquareef (Fr = .Wwet) , w adalah berat jenis air, H1/3 adalah tinggi gelombang signifikan, dan A adalah proyeksi luasan terumbu buatan.2.020

required number of rows n

1.8 1.6 1.4 Kn 1.2F/h = 0.22 0F/h

0.3

0.4

0.5 H1/3 / h

0.6

0.7

2

3

4 5 H1/3 (m)

6

7

a. Chart of Kn value

b. Chart of required number of rows n

Gambar 10. Kurva stabilitas Aquareef (Hirose et al, 2002) Kurva pada gambar 10 di atas hanya berlaku pada kondisi dimana Aquareef selalu terletak dibawah muka air (Freeboard > 0), tinggi gelombang signifikan dibawah 6,5m dan kemiringan pantai kurang dari 1/30.

PERUBAHAN GARIS PANTAIHasil pengamatan di lapangan (Newman, 1989) dan model fisik di laboratorium (Bruno, 1993) menunjukkan bahwa terumbu buatan sangat efektif dalam mengurangi laju transpor sediment tegak lurus pantai (offshore sediment transport). Lebih jauh lagi Newman (1989) melihat bahwa terumbu buatan tersebut mengubah sejumlah energi gelombang menjadi energi yang menghasilkan arus yang cukup kuat di sepanjang ambang terumbu buatan. Karenanya, lebih banyak energi gelombang yang diubah menjadi energi arus di sepanjang pantai yang dilindungi oleh terumbu buatan dibandingkan dengan pantai tanpa perlindungan terumbu. Newman (1989) mencatat bahwa terumbu buatan yang diamatinya tidak mengurangi laju arus sejajar pantai (longshore current), sehingga arus tersebut dapat melintas (tanpa mengendapkan sedimen) di daerah antara terumbu dan garis pantai. Namun sebaliknya, Mead dan Black (1999) yang mengamati 123 foto udara garis pantai New Zealand dan sisi Timur Australia, melihat adanya perubahan garis pantai karena keberadaan terumbu. Hal yang sama diamati pula oleh Harris (2001) ketika menggunakan Reefball sebagai struktur pelindung pantai. Di belakang terumbu (lokasi antara terumbu dan garis pantai) selain arus sejajar pantai yang umum terjadi, sirkulasi arus karena keberadaan terumbu mampu mengurangi laju sediment sejajar pantai (littoral drift) dan membantu terjadinya pengendapan sediment yang bisa menyebabkan terjadinya spit, salien atau tombolo. Dari pengamatan Mead dan Black (1999), tombolo di belakang terumbu akan terbentuk apabila nilai perbandingan panjang terumbu dengan jaraknya ke garis pantai (Lr/Y) diatas 0.6 sementara CERC (1984) memperkirakan tombolo akan terbentuk apabila Lr/Y < 2. Salient akan terbentuk apabila nilai perbandingan tersebut di atas 2, dan tidak terjadi pengendapan sedimen apabila jarak terumbu cukup jauh dari garis pantai atau nilai perbandingan Lr/Y tersebut sekitar 0,1. CERC 1984 memperkirakan tidak akan terbentuk sedimen di belakang terumbu apabila Lr/Y 0,25 Lr dan 1