terorisme di indonesia
DESCRIPTION
Makalah Pengantar Ilmu Politik, Tema : Terorisme di Indonesia, Isi: Pengertian, Sejarah,Bentuk Terorisme, Terorisme di IndonesiaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi
aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center
(WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September
2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000
korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan
pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik
perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar
Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat
dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin
Towers World Trade Center dan gedung Pentagon.1
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center
dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal,
lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu
mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-
anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun
berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal
yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-
Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua.
Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para
penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat
yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira
bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Centre
merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun,
gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi
internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di
sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430
perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja
1 http://www.wikipedia.org/terorisme.htm tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.09 WIB
1
menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia. Osama bin laden dan
jaringan internasional Al-Qaeda sering disebut-sebut sebagai actor
di balik tragedi kemanusian yang spektakuler tersebut. Bangsa
Indonesia yang sedang dilanda krisis multidimensional juga tak
luput dari target aksi terorisme.
Dari uraian yang telah dibahas diatas penulis tertarik untuk
menjabarkan secara lebih detail lagi tentang terorisme, khususnya
terorisme di Indonesia
II. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan tidak terlalu melebar, penulis membatasi
makalah ini dengan bertemakan tentang Terorisme. Adapun untuk
memudahkan menemukan jawaban, penulis menyusun rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Pengertian Terorisme dan apa saja unsur-unsur
tindakan terorisme?
2. Bagaimana Sejarah Terorisme?
3. Bagaimana bentuk-bentuk terorisme?
4. Bagaimana Terorisme di Indonesia?
5. Bagaimana upaya untuk mencegah terorisme?
III. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penulisan ini bertujuan untuk
:
1. Memahami lebih mendalam tentang Terorisme
2. Mengetahui sebab-sebab terjadinya terorisme di Indonesia
3. Sebagai Salah satu tugas mata kuliah pengantar ilmu hukum
IV. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran pembahasan yang menyeluruh,
maka penulisan makalah ini dibagi menjadi tiga bab dengan
sistematika sebagai berikut :
2
Daftar Isi
Kata Pengantar
BAB I, Pendahuluan terdiri dari: Latar Belakang, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Sistematika Penulisan.
Bab II, Terorisme di Indonesia, Terdiri dari : Pengertian Terorisme,
Sejarah Terorisme, Sebab-Sebab Terorisme, Bentuk-Bentuk
Terorisme, Terorisme di Indonesia, Upaya Menanggulangi dan
Memberantas Terorisme.
Bab III. Kesimpulan
Daftar Pustaka
3
BAB II
TERORISME DI INDONESIA
I. Pengertian Terorisme
Kata terorisme berasal dari bahasa latin yakni Terrere (gemetaran)
dan Deterrere (takut). Menurut kamus ilmiah Populer (2006 : 467)
terorisme adalah hal tindakan pengacau dalam masyarakat untuk
mencapai tujuan (bidang politik); penggunaan kekerasan dan
ancaman secara sistematis dan terencana untuk menimbulkan rasa
takut dan menggangu system-sistem wewenang yang ada2.
Defenisi Terorisme, Berdasarkan konvensi PBB tahun 1939, adalah
segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada
negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-
orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas3.
Sedangkan menurut Departemen Pertahanan Amerika Serikat,
terorisme merupakan perbuatan melawan hukum atau tindakan
yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan
terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau
mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik,
agama, atau ideologi. Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya,
kita dapat memahami bahwa unsur utama dari terorisme adalah
penggunaan kekerasan yang dilatarbelakangi oleh motif-motif
tertentu seperti motif perang suci (agama), motif ekonomi, dan
balas dendam, membebaskan tanah air, menyingkirkan musuh
politik, dan bahkan gerakan separatis.4
II. Sejarah Terorisme
2 Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap. (Jakarta: Gitamedia Press. 2006) cet 1. h. 4673 http://www.wikipedia.org/definisi_terorisme.htm tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.09 WIB4 ibid
4
Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau,
ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan
ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran
kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik
yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok
terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan
terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni
dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern.
Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18,
namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant
Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi
Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi
baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen
kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme
lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.5
Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya
Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada
pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di
Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme
adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik
maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang
berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme
Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan
bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang
Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai
bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.
Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II,
Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap
5 http://www.wikipedia.org/sejarah_terorisme.htm Tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.09 wib
5
pejabat pemerintah. Bentuk kedua Terorisme dimulai di Aljazair di
tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan
yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa.
Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai
Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga
Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah
“Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja
untuk tujuan publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga
sumber, yaitu:
1. Kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme
dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
2. Pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan
fundamentalis agama, radikalis setelah era perang Vietnam dan
munculnya ide perang gerilya kota.
3. Kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan
peningkatan lalu lintas.
Namun Terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam
masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis.
Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai dampak yang
sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the
bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan. Pasca Perang
Dunia II, dunia tidak pernah mengenal "damai". Berbagai
pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan.
Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur -
Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya
menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan
melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik
campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian
banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak.
Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara
Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap
6
fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya
Terorisme. Fenomena Terorisme meningkat sejak permulaan dasa
warsa 70-an. Terorisme dan Teror telah berkembang dalam
sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan,
pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara
dan sarana menegakkan kekuasaannya.
Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:
1. Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
2. Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara
internasional secepat mungkin.
3. Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme
yang sudah dilakukan.
4. Serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena
sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.
III. Sebab-Sebab Terorisme
Adalah sangat penting untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya
terorisme. Karena dengan mengetahui sebab-sebabnya, maka
dapat ditemukan langkah-langkah atau strategi yang tepat dan
efektif untuk memberantasnya. Secara umum munculnya tindakan
terorisme disebabkan satu atau lebih dari faktor-faktor berikut:
a. Ideologi
Ideologi adalah seperangkat kepercayaan yang menadi dasar
dari tindakan seseorang, sekelompok, partai atau Negara.
Ideology adalah salah satu alas an yang digunakan orang atau
kelompok tertentu untuk melakukan tindakan kekerasan atau
terorisme.
b. Perjuangan Agama
Contoh kelompok-kelompok yang melandaskan diri pada
perjuangan agama tertentu adalah kelompok-kelompok islam
radikal yang berkembang di seluruh dunia terutama yang
memiliki penduduk mayoritas beragama islam.
7
Tujuan tersebut biasanya muncul disebabkan oleh ketidak
puasan kelompok-kelompok tersebut terhadap kebijakan
pemerintah.
c. Ketidakadilan
Munculnya aksi terorisme dalam suatu Negara itu terkait
dengan kebijakan pemerintah nasional yang tidak adil dalam
kondisi realistis tatanan masyarakat yang pluralistic yang
berlangsung lama dan tidak adak harapan adanya perubahan
IV. Bentuk-Bentuk Terorisme
a. Ditinjau dari cara-cara yang digunakan
1. Terror Fisik
Yang dimaksud dengan terror fisik adalah penciptaan rasa
takut dan gelisah dengan menggunakan alat-alat yang
berlangsung berkenaan dengan unsure jasmani manusia.
2. Teror mental
Terror mental dilakukan dengan tujuan untuk mencipatakan
rasa takut dan gelisah dengan menggunakan alat-alat yang
tidak berkenaan langsung dengan jasmani manusia, tetapi
dengan tekanan psikologi sehingga menimbulkan tekanan
bathin yang luar biasa sampai-sampai sasaran terror
menjadi putus asa, gila hingga bunuh diri
b. Ditinjau dari skala sasaran
1. Terorisme Domestik (Lokal) atau Terorisme Nasional
Terorisme domestic atau terorisme nasional adalah tindakan
terror yang diarahkan pada lingkup geografis suatu Negara
secara terbatas
2. Terorisme Internasional atau Terorisme Global
8
Terorisme internasional adalah tindakan terror yang
mengarah pada kepentingan-kepentingan global, tanpa
batas-batas tertentu suatu negara
V. Terorisme di Indonesia
Terorisme di Indonesia merupakan terorisme di Indonesia yang
dilakukan oleh kelompok militan Jemaah Islamiyah yang
berhubungan dengan al-Qaeda ataupun kelompok militan yang
menggunakan ideologi serupa dengan mereka. Sejak tahun 2002,
beberapa "target negara Barat" telah diserang. Korban yang jatuh
adalah turis Barat dan juga penduduk Indonesia. Terorisme di
Indonesia dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek
Jakarta, diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan yang
paling mematikan adalah Bom Bali 2002
Berikut adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di
Indonesia dan instansi Indonesia di luar negeri:
a. Tahun 1981
Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah
penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke
Medan pada Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla
berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di Palembang,
dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada
pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut dibajak
oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang.
Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku
sebagai anggota Komando Jihad; 1 kru pesawat tewas; 1
tentara komando tewas; 3 teroris tewas.
b. Tahun 1985
Bom Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa
terorisme ini adalah peristiwa terorisme bermotif "jihad" kedua
yang menimpa Indonesia.
9
c. Tahun 2000
Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari
sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar
Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang
lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T
Caday.
Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di
kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta.
Tidak ada korban jiwa.
Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan
mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta.
10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak
berat, 57 rusak ringan.
Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan
bom pada malam Natal di beberapa kota di Indonesia,
merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta
mengakibatkan 37 mobil rusak.
d. Tahun 2001
Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. di Kawasan
Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas.
Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom
meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang
cedera.
Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom
mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah.
Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di
kantor MLC Life cabang Makassar tidak meledak.
Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan
meledak di halaman Australian International School (AIS),
Pejaten, Jakarta.
10
e. Tahun 2002
Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di
depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang
tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi
Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak
ada korban jiwa.
Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali.
202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan
300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado,
Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen
Filipina, tidak ada korban jiwa.
Bom restoran McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom
rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran
McDonald's Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.
f. Tahun 2003
Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom
rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri
Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom
meledak dii area publik di terminal 2F, bandar udara
internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang
luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan
sebagian Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal,
dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.
g. Tahun 2004
Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang.
(BBC)
Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar
terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan
ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan
11
kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara
Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. (Lihat pula: Bom
Kedubes Indonesia, Paris 2004)
Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada
12 Desember 2004.
h. Tahun 2005
Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005
Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.
Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di
halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis
Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat.
Tidak ada korban jiwa.
Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali.
Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka
akibat ledakan yang terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta
Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.
Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah
pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan
melukai sedikitnya 45 orang.
i. Tahun 2009
Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW
Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir
bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB.
j. Tahun 2010
Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010
Perampokan bank CIMB Niaga September 20106
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh
suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara
6 http://ww.wikipedia.org/terorisme_di_indonesia.htm Tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.19 Wib
12
langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan
kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak
Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual
dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam
penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan
perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada
saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum
mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk
memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia
merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002,
yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang
dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan
Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat
bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta
karena:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di
dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman,
terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang
mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena
perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi
termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-
undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi
terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam
suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang
yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
13
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu
diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila
dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam
pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15
tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga
terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex specialis derogat lex
generalis)]]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus
memenuhi kriteria:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat
umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya,
yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-
Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya
berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang
tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian
dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak
cara, seperti:
1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal
KUHP.
2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar
KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam
KUHP tentang kejahatan terorisme.
14
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus
dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum
mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata
untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan
suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi
penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan
yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi.
Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus
tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain
ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang
terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana
materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu
harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap
memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam
ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk
hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal
25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus
Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah
sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
15
Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini
tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan
Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya,
terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang
tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana
dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak
Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang
diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar
penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu
berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia[20]. Atau mungkin karena
sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan
penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan
asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun
dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus
sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum
masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari
Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas
penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah
Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang
diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti
Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti
Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara
jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana.
Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum.
Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada
16
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi:
1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap Laporan Intelijen.
2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan
yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua
Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua
Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan
Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang
pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan
apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan,
termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti
Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti
Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri
melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara
tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar
hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap
seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana
Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain
mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam
hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak
setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat
diganggu gugat.
17
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan
ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti
mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai
Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam
kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat
Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti
Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut
memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk
melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap
orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme,
maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar
tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan
dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat,
dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara
mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam
melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat
kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak
Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun
penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan
khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap
telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan
tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian
itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di
dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi
Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme,
termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights,
yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam
keadaan apapun[23]. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan
di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan
18
(arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair
trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa
penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang
disangka teroris cenderung meningkat.
Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana
Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia,
sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan
mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa
memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur
soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru
melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan
bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi
dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana
ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.7
VI. Upaya Menanggulangi dan Memberantas Terorisme
Kita semua pasti sepakat bahwa usaha-usaha memerangi terorisme
dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan dengan cara
kekerasan. Upaya memerangi terorisme harus berangkat dari
penyelesaian terhadap akar atau sumber masalah, karena jika tidak
diketahui dan dihilangkan dulu factor penyebabnya maka sulit
ditemukan langkah-langkahh atau strategi yang tepat untuk
memberantasnya.
Bachtiar Efendy berpendapat bahwa usaha untuk memerangi
terorisme di Negeri ini, terutama yang berkaitan dengan kelompok
garis keras, tidak banyak yang bias dilakukan karena sebenarnya
sebab-sebab terorisme itu tidak ada di Indonesia, Indonesia hanya
7 http://www.wikipedia.org//Terorisme_di_Indonesia.htm Tanggal Akses 13 Oktober 2010 Pukul 20.09 WIB
19
ketempatan terorisme global saja. Jadi untuk memeranginya harus
bersifat global pula.
Menyoroti masalah terorisme di Indonesia yang semakin meningkat
belakangan ini, bahtiar menyatakan pandangannya tentang
pentingnya penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Setiap
tindakan kekerasan harus ditindak tegas, siapapun pelakunya.
BAB III
KESIMPULAN
Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme
adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa
saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa
kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase.
Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan
terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang
yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi
agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan.
Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya
merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan
20
mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta
merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam
menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza
atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris
modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan.
Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan
media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya
untuk memerangi terorisme di Negeri ini, terutama yang berkaitan
dengan kelompok garis keras, tidak banyak yang bias dilakukan karena
sebenarnya sebab-sebab terorisme itu tidak ada di Indonesia, Indonesia
hanya ketempatan terorisme global saja. Jadi untuk memeranginya
harus bersifat global pula.
Menyoroti masalah terorisme di Indonesia yang semakin meningkat
belakangan ini, bahtiar menyatakan pandangannya tentang pentingnya
penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Setiap tindakan kekerasan
harus ditindak tegas, siapapun pelakunya.
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Wawan H. Terorisme Undercover : Memberantas Terorisme Hingga ke Akar-Akar, Mungkin Kah?. Jakarta: CMB Press2007
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003, Jakarta: UIN Press. 2004
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap. (Jakarta: Gitamedia Press. 2006)
Zulfidah, Abdullah. Terorisme dan Konspirasi Anti Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002
www.wikipedia.org
21
22