terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

345

Click here to load reader

Upload: phungkiet

Post on 11-Jan-2017

366 views

Category:

Documents


44 download

TRANSCRIPT

Page 1: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF

ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI

DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH MMI

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Magister Ilmu-Ilmu Humaniora (M.Hum)

Oleh

NASRULLAH NURDIN

NIM: 211-30222-0000-1

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB

PASCASARJANA FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H / 2016 M.

Page 2: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

ii

LEMBAR PERNYATAAN KARYA ASLI

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh Gelar Magister Strata 2 (Dua) di Pascasarjana Fakultas Adab

dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan Tesis ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Juknis (Petunjuk Teknis) Pascasarjana

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan (plagiat) dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Kembangan Selatan, 1 Maret 2016

Nasrullah Nurdin

Page 3: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

iii

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

Tesis saudara Nasrullah Nurdin (NIM: 211-30222-0000-1) yang berjudul “Terorisme dan

Teks Keagamaan: Studi Komparatif Atas Terjemah Al-Qur’an Kemenag RI dan Terjemah

Tafsiriyah MMI” telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk diujikan ke Sidang Terbuka

Ujian Promosi Magister.

Jakarta, 4 April 2016

Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag.

NIP : 19690415 199703 1 004

Page 4: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

iv

TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF

ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI

DAN TERJEMAH TAFSIRYAH MMI

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Magister Ilmu-Ilmu Humaniora (M.Hum)

Oleh

NASRULLAH NURDIN

NIM: 211-30222-0000-1

Di Bawah Bimbingan

PROF. DR. SUKRON KAMIL, M.AG.

NIP : 19690415 199703 1 004

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB

PASCASARJANA FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H / 2016 M.

Page 5: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

v

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis ini berjudul TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF

ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH

MMI yang ditulis oleh Nasrullah Nurdin (NIM: NIM: 211-30222-0000-1 telah diperbaiki

sesuai dengan saran tim penguji dalam Ujian Promosi Magister Pascasarjana Fakultas Adab

dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Senin, 30 Mei 2016 sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum).

Jakarta, 30 Mei 2016

Tim Penguji

Ketua Sidang, Pembimbing/Merangkap Penguji I,

Dr. Abdullah, M.Ag Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag

NIP: 19610825 199303 1 002 NIP: 19690415 199703 1 1004

Anggota,

Penguji II, Penguji III,

Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum Jajang Jahroni, Ph.D

NIP: 19791229 200501 1 004 NIP: 19670612 199403 1 006

Sekretaris Sidang,

Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum

NIP: 19730224 200801 1 009

Page 6: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

vi

KATA-KATA MUTIARA

قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم :

إن الدين يسر، ولن يشاد الدين إال غلبو )رواه البخاري(

Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh agama adalah kemudahan. Siapa saja yang bertindak

ekstrim terhadapnya, pasti kalah.” (HR. Bukhârī).

"Setiap perbuatan terorisme dan radikalisme haruslah dipahami sebagai kriminalisasi yang

dilakukan oleh seseorang yang boleh jadi menganut agama tertentu. Terorisme dapat lahir

dari ketidakadilan, didesain dan dipelihara pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu.

Terorisme juga dapat lahir karena kebodohan dalam memahami agama.”

(Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA)

Imam Besar Masjid Istiqlal 2005-2016 dan Pemimpin Darus Sunnah International

Institute for Hadith Sciences Indonesia-Malaysia

Sumber: akun Twitter @AliMustafaYaqub.

If You Want to Stop Terrorism, Stop Killing Muslims !

(Jika Anda ingin menghentikan terorisme, berhentilah membunuhi orang Islam !)

Prof Noam Chomsky, Guru Besar Emiritus Linguistik di Institut Teknologi

Massachusetts Amerika Serikat.

Sumber: Youtube https://www.youtube.com/watch?v=dW0eiPiuUuk

Page 7: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

vii

ABSTRAK

NASRULLAH NURDIN. NIM: 211-30222-0000-1

“TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF ATAS TERJEMAH

AL-QUR’AN KEMENAG RI DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH MMI” DI BAWAH

BIMBINGAN PROF. DR. SUKRON KAMIL, M.AG.

Tujuan penelitian ini membuktikan bahwa terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI bukan

penyebab timbulnya aksi terorisme di Indonesia. Terorisme agama muncul di antaranya

faktor literal/tekstual dalam memahami teks keagamaan. Riset ini menegaskan, terjemah

tafsiriyah MMI yang mereka anggap sebagai solusi/koreksi bukan merupakan bentuk

deradikalisasi, sebab mereka sendiri termasuk kelompok Islam radikal.

Tesis ini berkesimpulan bahwa terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI Tahun 2002

disusun menggabungkan dua metode sekaligus: harfiyah dan tafsiriyah. Redaksi ayat/nash

Al-Qur‟an yang bisa dialihbahasakan secara harfiyah, maka diterjemahkan secara harfiyah,

sedangkan yang tidak bisa, maka diterjemahkan secara tafsiriyah. Teknik penerjemahan ini

mendukung argumentasi ulama tafsir sebelumnya, semisal al-Syâthibī, Ibnu Qutaibah, dan al-

Marâghī. Dalam konteks Indonesia, metode ini pernah dilakukan A. Hassan dalam Al-Furqân

Tafsīr Al-Qur’an, T.M. Hasbi al-Shiddīqī dalam Tafsīr al-Bayân, dan M. Quraish Shihab

dalam Al-Qur’an dan Maknanya.

Riset ini berseberangan dengan teori strukturalisme Ferdinand de Saussure yang

menyarankan kajian bahasa bersifat intralinguistik yang sinkronik (ta’âshuriyyah), dan

berupaya memperkuat teori mentalistik atau kognitivistik (nazhariyyah ‘aqliyyah) Noam

Chomsky, yang memandang bahasa merefleksikan pikiran

penuturnya/penulisnya/penerjemahnya (mutakallim/kâtib/mutarjim). Dengan menggunakan

pendekatan kualitatif, jenis penelitian deskriptif-analitis berbasis ilmu humaniora, penulis

menganalisis dua variabel: hubungan terorisme dan terjemah Al-Qur‟an. Objek riset ini

adalah menganalisis terjemahan ayat-ayat jihâd melalui analisis semantik leksikal dan

gramatikal dengan membandingkan terjemah Al-Qur‟an Kemenag 2002 dan terjemah

tafsiriyah MMI 2013. Jenis semantik ini mengusung pengkajian suatu makna leksikal yang

ditentukan oleh kata, baik sebelum maupun sesudahnya dan mengkaji tata bahasa dalam

terjemahan MMI. Konteks yang dijadikan pijakan analisis adalah konteks sosio-historis-

kultural yang menyelimuti teks keagamaan tersebut. Gagasan ini juga yang dikemukakan

Benny Hoedoro Hoed, bahwa sebuah teks terjemahan dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa

sasaran (BSa) memerlukan pemahaman semantik yang utuh.

Keywords: Terjemah Al-Qur’an, Semantik, Literalisme, Terorisme, dan Teks Keagamaan

Page 8: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

viii

ABSTRACT

NASRULLAH NURDIN. NIM: 211-30222-0000.1

"TERRORISM AND RELIGIOUS TEXTS: COMPARATIVE STUDY OF MMI

CRITICISM AS AN ISLAMIC FUNDAMENTALISM TOWARDS THE QUR'AN

TRANSLATION OF MINISTRY OF RELIGIOUS AFFAIRS, RI" UNDER THE

GUIDANCE OF PROF. DR. SUKRON KAMIL, M.AG.

This study found that the Qur'an translation of the Ministry of Religious Affairs is not

the cause of terrorism acts in Indonesia. The religious terrorism emerged among

literal/textual factors in understanding the religious texts. This research confirmed that

MMI‟s tafsiriyah translation of which they consider as a solution/correction is not a form of

de-radicalization, because they themselves belong to the group of political Islamic radicalism.

This thesis revealed that the Qur'an translation of the Ministry of Religious Affairs

year 2002 was arranged by combination of two methods: harfiyah and tafsiriyah. Editor‟s

verse/nash of the Qur'an that can be translated as harfiyah is (then) translated as harfiyah, and

for those which cannot, then being translated as tafsiriyah. This translation technique

encourages the argumentation of earlier scholars‟ interpretations, such as al-Syâthibī, Ibnu

Qutaibah, and al-Marâghī. In the Indonesian context, this method had been implemented by

A. Hassan on Al-Furqân Tafsir Al-Qur’an, T.M. Hasbi al-Shiddīqī on Tafsir al-Bayân, and

M. Quraish Shihab on Al-Qur’an dan Maknanya.

This research is contrary to the structuralism theory of Ferdinand de Saussure who

suggested that the study of language is a synchronic intra-linguistics (ta’âshuriyyah), and

attempts to strengthen the mentalism or cognitivism (nazhariyyah ‘aqliyyah) theory of Noam

Chomsky, who views the language as a reflection to the speaker/author‟s (mutakallim/kâtib)

thoughts. By using a qualitative approach, the research type is descriptive-analytical with the

basis of humanities sciences, the author analyzed two variables: the relationship between

terrorism and translation of the Qur'an. This research analyzed the translation of jihâd verse

through the syntactical semantic analysis by comparing the Qur'an translation of the Ministry

of Religious Affairs year 2002 and MMI‟s tafsiriyah translations year 2013. This semantic

type is carrying a lexical meaning of which the assessment is determined by words, either

before or afterwards. Contextuality used as the basis of analysis is the context of socio-

historical-cultural that surrounds the religious texts. This idea was also expressed Benny

Hoedoro Hoed, that a translation from the source language text (BSu) to the target language

(BSa) requires the understanding of semantics and analysis processes of the BSU.

Keywords: Qur'an Translation, Semantics, Literalism, Terrorism and Religious Texts

Page 9: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

ix

الملخص

حول انتقادات مجلس المجاىدين االندونيسى كاألصولية اإلسالمية رىاب والنص الديني: دراسة مقارنةاإل

على ترجمة القرآن الكريم لوزارة الشؤون الدينية باندونيسيا

تحت االشراف األستاذ الدكتور شكران كامل الماجستير***

لشؤون الدينية باندونيسيا ليست سببا لإلرىاب كشفت ىذه الدراسة على أن ترمجة القرآن الكرمي لوزارة ايف إندونيسيا. كان ظهور اإلرىاب الديىن بسبب العوامل العديدة، منها الفهم احلريف للنصوص الدينية. ويؤكد ىذا

التفسنية جمللس اجملاىدين االندونيسى الذي يعتربوهنا حال أو تصحيحا ال يشكل ضد البحث على أن الرتمجة .م أنفسهم ينتوون إ ى مجووعة من األوولية اإلسالمية السياسيةالتطرف، ألهن

جتوع 2002ىذه الدراسة تكشف على أن ترمجة القرآن الكرمي لوزارة الشؤون الدينية باندونيسيا سنة و تفسنيا، قد تكون الرتمجة حرفيا ان أمكن، و اال فتكون تفسنيا. ىذه التقنية ىف الرتمجة بن الطريقتن:حرفيا

أكدىا العلواء السابقون، منهم الشاطىب وابن قتيبة واملراغي. ويف إندونيسيا، هنج ىذا املنهج عبد اهلل حسن ىف حسيب الصديقي يف تفسن البيان وحمود قريش شهاب يف القرآن تفسنه الفرقان تفسن القرآن و تينكو حمود

.الكرمي ومعناه

ة تكون على أساس د دي سوسن الذي يؤكد أن دراسة اللغىذا البحث خيالف نظرية البنيوية لـفردينان، ويسعى إ ى تعزيز نظرية عقلية لـنعوم تشومسكي، الذي يرى أن اللغة تعكس أفكار التصورية التعاورية أو اللغوية

ا املستود من العلوم اإلنسانية مبنهج نوعى، حلل الكاتب من خالهل مقارنةة دراسة املتكلم هلا. كانت ىذه الرسالمتغنين: العالقة بن اإلرىاب وترمجة القرآن. يقارن ىذا البحث ترمجة آية اجلهاد بن ترمجة القرآن الكرمي لوزارة

من خالل التحليل 2002و ترمجة مجلس اجملاىدين االندونيسى سنة 2002الشؤون الدينية باندونيسيا سنة ل الكلوات، سواء قبلو أو بعده. مع استخدام سياق الداليل والنحوي. حدد النوع الداليل معنا معجويا من قب

االجتواعية والتارخيية والثقافية اليت حتيط بالنص الديين كأساس التحليل. وأعرب عن ىذه الفكرة بيين ىودورو تتطلب فهوا لغويا ومعناويا وتطبيقيا جبانب معرفة ىويد الذى يرى أن ترمجة النص من لغة األم إ ى لغة اهلدف

فات والتحاليل.املرتاد

: ترمجة القرآن، علم الداللة، احلرفية، اإلرىاب، النصوص الدينيةكلمات البحث

Page 10: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

x

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Dalam Tesis ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin.

Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah” yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

tahun 2007.

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

T ط ا

Z ظ B ب

„ ع T ت

Gh غ Ts ث

F ف J ج

Q ق H ح

K ك Kh خ

L ل D د

M م Dz ذ

N ن R ر

W و Z ز

H ة S س

` ء Sy ش

Y ي S ص

D ض

Page 11: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

xi

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal

atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

A. Vokal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

---- A Fathah

---- I Kasrah

----- U Dammah

B. Vokal rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي--- Ai a dan i

و--- Au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

----ا/ي Â a dengan topi di atas

ي---- Î i dengan topi di atas

و--- Û u dengan topi di atas

Page 12: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

xii

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال ,

dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah.

Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah

tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan

huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf

syamsiyah. Misalnya, kata رورة ,tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah الض

demikian seterusnya.

5. Ta Marbûtah

Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh No.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta

Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’at) atau kata sifat (contoh No.2). namun jika huruf Ta

Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi

huruf /t/ (contoh No. 3)

No. Kata Arab Alih Aksara

Tarîqah طريقة 1

al-jâmi’ah al-islâmiyah الجامعة اإلسالمية 2

wihdat al-wujûd وحدة الوجود 3

6. Huruf kapital

Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan

sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a) tidak boleh kapital.

Page 13: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

xiii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur terpanjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Tesis ini dengan baik dan cepat. Salawat dan salam terlimpahkan kepada suri

teladan (uswah hasanah) Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW, Rasul terakhir tiada lagi

makhluk yang lebih mulia selain beliau (afdhal al-makhluqīn). Semoga kita termasuk orang-

orang yang mendapatkan syafa‟at-Nya di padang mahsyar kelak. Amin Ya Rabbal ‘Âlamin.

Salam ta’dzim dan rasa cinta kasih terhaturkan kepada dua inspirator gemilang

penulis yaitu Ayahanda Ustadz H. Nurdin Jasan dan Ibunda Ustadzah Hj. Syamsiah Saman

yang benar-benar menyentuh sanubari penulis dengan pesannya agar selalu beribadah,

belajar, dan bekerja atas nama Allah (fillâh, billâh, wa ilallâh) dan Rasul-Nya, doa keduanya

mendorong gerak tubuh ini dalam jalan yang diridhai-Nya. Keduanya dengan sentuhan

keikhlasan hati mendidik, membesarkan, dan memohonkan doa untuk penulis sejak 28 tahun

silam. Semoga kedua orangtua penulis dalam naungan Allah SWT, diberikan umur panjang,

rezeki yang halal, berkah, dijaga dari pintu neraka, dan masuk Jannat al-na’im. Amin.

Doa dan sayangku kepada dua adikku yang cantik nan cerdas; adinda Siti Robiah al-

Adawiyah, S.Pd.I dan adinda Siti Qotrun Nada serta keponakan Siti Aisyah Lutfiyah.

Dalam sekapur sirih ini, izinkan Penulis menghaturkan ekspresi terima kasih kepada:

1) Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

sedang berupaya keras melanjutkan cita-cita pendahulunya menjadikan UIN Jakarta

dari Teaching University menjadi Research University and World Class University.

2) Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

sekaligus pembimbing Tesis dan promotor Magister Humaniora. Masukan, saran, dan

kritik konstruktif yang telah diberikan amat bermanfaat bagi penulisan Tesis ini.

Begitu juga diucapkan kepada pembimbing Tesis lainnya, Prof. Dr. KH. Ahmad

Satori Ismail, MA., yang telah berkenan meluangkan waktu di tengah kesibukan

beliau.

3) Ketua Program dan Sekretaris Program Pascasarjana FAH, Dr. Abdullah, M.Ag., dan

Dr. Adib Misbahul Islam, M.Hum. Untuk keduanya, diucapkan terima kasih atas

arahan dan support-nya beserta segenap Dosen Pascasarjana FAH UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Bapak/Ibu Dosen Profesor dan Doktor tercinta atas perhatian

dan nasehatnya. Untuk dua penguji pendahuluan Tesis ini sekaligus penguji ujian

promosi Magister, Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M.Hum dan Jajang Jahroni, Ph.D

Peneliti Senior PPIM, disampaikan terima kasih atas koreksi dan coretan evaluatifnya.

Page 14: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

xiv

4) Tak lupa kepada Khadim al-Ma’had Darus Sunnah International Institute for Hadith

Sciences, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub, MA. Doaku selalu menyertaimu, Tuan

Guruku.

5) Penulis berhutang budi kepada Bapak Menteri Agama RI, Drs. H. Lukman Hakim

Saifuddin; Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof. H.

Abdurrahman Mas‟ud, Ph.D; Sekretaris Balitbang Dr. H. Rohmat Mulyana Sapdi,

M.Pd; Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. H. Machasin, MA; Dr. H. Hamdar Arraiyyah,

M.Ag; H. Muharram Marzuki, Ph.D; Drs. H. Choirul Fuad Yusuf, M.A. Exclusively

for Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA selaku Imam Besar Masjid Istiqlal 2016-2020;

dan Prof. Dr. H. Mahfud, MD yang keduanya berkenan memberikan “jalan” dan

networking, Bpk Drs. Djubaidi Adih, M.Si sebagai Ketua BAZIS DKI; Ketua MUI

DKI Jakarta KH. Ahmad Syarifuddin Abdul Gani, MA; Rois Syuriah PWNU DKI

Jakarta KH. Mahfuz Asirun; KH. Drs. Imron Rosyadi, ZA; KH. Drs. Taufiqurrahman,

SQ (ustadz pantun). Tak lupa Dr. M. Yusuf di Kemenlu RI; dan Dr. H. Muchlis M.

Hanafi, MA di LPMQ Badan Litbang Kemenag RI; dan Dr. KH. Ahmad Lutfi

Fathullah, MA (Direktur Pusat Kajian Hadis).

Harapan sepenuh hati kepada pemegang tampuk jiwa ini, Allah SWT, semoga karya

ilmiah yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi peminat penerjemahan/penafsiran, kajian

gerakan keagamaan kontemporer di Indonesia, dan pecinta studi Al-Qur‟an. Pepatah Arab

menuturkan: (Idzâ tamma al-amru, bada naqsuhu, bila suatu perkara telai selesai, pasti ada

saja sisi kurangnya). Oleh karena itu, kritik konstruktif dan saran-saran dari semua khayalak

pembaca sangat dinantikan demi kesempurnaan Tesis ini.

Kembangan Selatan, 1 Januari 2016

Penulis

Nasrullah Nurdin

Page 15: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………. i

LEMBAR PERNYATAAN KARYA ASLI ……………………………………………… ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………. iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………………………………... v

LEMBAR KATA MUTIARA ……………………………………………………………. vi

ABSTRAK ………………………………………………………………………………… vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ………………………………………… x

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. xiii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………..... xv

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………...…………………….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….. 1

B. Identifikasi, Rumusan, dan Batasan Masalah …….................................... 11

C. Riset Terdahulu yang Relevan ………………………………………….. 14

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………………….. 26

E. Metodologi Penelitian …………………………………………………… 28

1. Objek dan Jenis Penelitian …………………………………………... 28

2. Sumber/Teknik Pengumpulan Data ………………………………..... 30

3. Teknik Penulisan/Metode Analisis Data …………………………….. 33

F. Sistematika Penulisan …………………………………………………… 37

Page 16: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

xvi

BAB II KERANGKA TEORITIK FUNDAMENTALISME, TERORISME, DAN

TEKS KEAGAMAAN …………………………………………………….. 39

A. Sekilas Mengenai Fundamentalisme Islam ………………………………. 39

B. Klasifikasi Fundamentalisme Islam ……………………………………… 47

C. Terorisme dan Agama ……………………………………………………. 57

1) Keterkaitan Radikalisme dan Terorisme Agama …………………….... 61

2) Terorisme di Belahan Dunia …………………………………………... 64

3) Menelisik Definisi Terorisme dan Aksinya di Indonesia ……………... 76

4) Menginterpretasi Jihâd dan Terorisme secara Tepat ………………….. 90

5) Penerapan Jihâd yang Salah …………………………………………. 104

6) Penyebab Lahirnya Terorisme ……………………………………….. 109

7) Negara Islam: Doktrin Paling Strategis saat ini ……………………....116

D. Teks Keagamaan dan Pola Keislaman ………………………………….. 119

E. Teori Semantik Mentalisme Noam Chomsky (Kajian Kebahasaan) ……. 126

1. Pengantar Semantik …………………………………………………... 126

2. Teori Mentalistik dan Generatif-Transformatif Noam Chomsky …….. 144

3. Kritik atas Konsep Strukturalisme Ferdinand De Saussure

dan Behaviorisme Leonard Bloomfield …………………………........ 161

F. Ulasan Singkat Terjemah Harfiyah dan Tafsiriyah …………………........168

BAB III MMI SEBAGAI GERAKAN FUNDAMENTALISME ISLAM……….. 187

A. Memotret Profil MMI dari Dekat ………………………………………. 187

B. MMI sebagai Gerakan Fundamentalisme Islam …. ………….………… 196

a) Visi dan Ideologi MMI …………………………………………….…. 196

b) Misi MMI …………………………………………………………….. 200

Page 17: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

xvii

c) Struktur Organisasi MMI ……………………………………………... 200

d) Basis Keanggotaan MMI ……………………………………….…….. 201

e) Kongres dan Sumber Dana MMI …………………………………….. 202

f) Estafet Kepemimpinan MMI …………………………………………. 203

C. Sekilas Penjelasan Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah…………..……........ 212

BAB IV KRITIK MMI ATAS TERJEMAHAN AL-QUR’AN

KEMENAG RI………………..…... ………………………………………... 217

A. Terjemahan Al-Qur‟an Kemenag secara Umum …………………………... 222

B. Terjemahan Al-Qur‟an Kemenag dan Terorisme ……….......……………... 237

C. Menguji Terjemah Tafsiriyah MMI sebagai Deradikalisasi …...…...……... 246

D. Kategorisasi dan Identifikasi Ayat-Ayat Jihâd …..……………….………. 253

E. Studi Kasus Teks Terjemahan bernada Jihâd/Terorisme …………..……. 265

1) Ayat-Ayat Makkiyyah

Pertama, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 6 ....................................................... 270

Kedua, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 8 ........................................................... 272

Ketiga, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 69 ......................................................... 274

Keempat, QS. al-Nahl (16) : ayat 110 ........................................................... 276

Kelima, QS. al-Furqân (25) : ayat 52 ............................................................ 277

Keenam, QS. Luqmân (31) : ayat 15 ............................................................ 278

Ketujuh, QS. al-Nahl (16) : ayat 38 ............................................................... 279

Kedelapan, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 6 ..................................................... 280

Kesembilan, QS. al-Furq ân (25) : ayat 52 .................................................... 280

2) Ayat-Ayat Madaniyyah

Pertama, QS. al-Baqarah [2] : ayat 190-193 .................................................. 281

Page 18: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

xviii

Kedua, QS. al-Shâf [61] : ayat 11 .................................................................. 286

Ketiga, QS. al-Anfâl [8] : ayat 39 ................................................................... 288

Keempat, QS. al-Taubah [9] : ayat 5 ............................................................... 290

Kelima, QS. al-Hajj [22] : ayat 78 ................................................................... 292

Keenam, QS. al-Tahrīm [66] : ayat 9 .............................................................. 294

Ketujuh, QS. al-Taubah [9] : ayat 20 .............................................................. 296

Kedelapan, QS. al-Taubah (9) : ayat 73 .......................................................... 297

Kesembilan, QS. Muhammad (47) : ayat 31 ................................................... 299

BAB V PENUTUP .................................................................................................. 302

A. Kesimpulan ........................................................................................... 302

B. Saran-saran / Rekomendasi ................................................................. 303

DAFTAR PUSTAKA ............... ...................................................................................... 304

DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................... 314

GLOSARIUM ..................................................................................................................... 316

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................................. 318

CURRICULUM VITAE .................................................................................................... 326

Page 19: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Awal abad ke-21 sekarang ini, dunia masih terus menyaksikan rentetan perubahan

cepat dan mendasar yang pada gilirannya mempengaruhi proses transformasi pada

konfigurasi politik dan ekonomi global. Secara politik, muncul gelombang demokrasi yang

syarat dengan nilai-nilai kebebasan dan persamaan. Secara ekonomi, timbul gejala globalisasi

ekonomi pasar yang kental akan nuansa kapitalisme global dan pandangan bebas. Perubahan

politik dan ekonomi global tersebut telah menempatkan negara-negara pada pola hubungan

saling ketergantungan (interdependensi) dan saling keterkaitan (interlingkage). Bersamaan

dengan perubahan global ini, telah lahir pula isu baru yang sangat besar pengaruhnya

terhadap tatanan politik ekonomi global saat ini. Isu baru ini adalah isu seputar terorisme.

Meskipun isu mengenai terorisme telah ada secara dominatif pada masa Perang Dingin (cold

war) dan sesudahnya, namun klimaks dari menguatnya gejala ini adalah meletusnya tragedi

11 September 2001.1 Terorisme disebut sebagai ancaman non-tradisional (non-conventional

threats). Sulit disangkal, di era globalisasi ini terorisme justru bertambah kembang dengan

pesatnya.2

Diskursus terorisme dan jihâd semakin aktual pasca peristiwa 11 September 2001,

pengeboman WTC (World Trade Center), Menhattan, New York dan Gedung Pentagon,

Washington DC. WTC adalah simbol supremasi ekonomi Amerika, sementara Pentagon

merupakan ikon keperkasaan militer negeri Paman Sam tersebut. Peristiwa itu telah

menimbulkan dampak psikologis, perekonomian dunia dan ketegangan hubungan antara

1 Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia

(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 1-2. Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Konsentrasi Syariah. 2 Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi

(Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 2.

Page 20: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

2

Amerika (Barat) dengan dunia Islam karena Presiden Amerika Serikat, George W. Bush

mengklaim bahwa pelaku pengeboman adalah jaringan Islam radikal (Al-Qaeda) pimpinan

Osamah bin Laden.3 Sebaliknya, kalangan Islam radikal meyakini bahwa perbuatan mereka

merupakan aktualisasi doktrin jihâd yang diperintahkan dalam Islam. Perdebatan terorisme

dan jihâd eksis ketika para pemikir terorisme, media massa, dan teroris, terutama dari

kalangan fundamentalis Muslim, memberikan argumentasi yang kontroversial tentang

paradigma terorisme dan jihâd.4

Menurut Ready Susanto, seperti dikutip Kasjim Salenda, pesawat yang menabrak

menara utara WTC New York tersebut adalah Boeing 767 American Airlines dengan nomor

penerbangan 11, jurusan Boston-Los Angeles (LA) pada pukul 08.48, menewaskan 92 orang

termasuk 9 orang kru dan 2 pilot, sementara pesawat yang menabrak selatan WTC yakni

Boeing 757 United Airlines dengan nomor penerbangan 175 jurusan Bandara Dulles,

Washington DC menuju Los Angeles pada pukul 09.05, yang menewaskan 65 orang

termasuk 7 kru dan 2 pilot. Adapun pesawat yang menabrak sisi barat Pentagon, Washington

DC pada pukul 09.40 adalah American Airlines dengan nomor penerbangan 77 jurusan

Virginia-Los Angeles, menewaskan 64 orang termasuk 4 kru dan 2 pilot. Satu pesawat

lainnya, United Airlines dengan nomor penerbangan 93 jurusan New Jersey-San Francisco

diarahkan ke Gedung Putih namun terjatuh di Stony Creek, Pennsylvania, yang menewaskan

45 orang termasuk 5 kru dan 2 pilot.5

3 Organisasi Al-Qaeda (tanzhim Al-Qaidah) menurut Syaikh Mamduh al-Harbi seperti dikutip Ali

Mustafa Yaqub bahwa organisasi ini dikenal dengan sebutan Laskar Islam (al-Jaisy al-Islamy) atau Front Islam

Dunia untuk Jihâd Melawan Yahudi dan Kristen (al-Jabhah al-Islâmiyyah al-„Âlamiyyah li al-Jihâd Dhidd al-

Yahûd wa al-Shâlibiyyah), alias Laskar Islam untuk Pembebasan Wilayah Palestina (al-Jaisy al-Islamy li Tahīr

al-Arâdhī al-Muqaddasah), alias Jaringan Usamah bin Laden (Syabakah Usamah bin Laden), Lembaga

Pemurnian Islam (al-Khalâsh al-Islâmy), dan Kelompok Penjaga Tempat-Tempat Suci. Lihat Ali Mustafa

Yaqub, Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme (Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2015), h. 46-47. 4 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan

Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 1-2. Buku ini berawal dari Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008. 5 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan

Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 4. Buku ini berawal dari Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008.

Page 21: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

3

Wajah Islam yang damai dan sejuk, kini telah tercoreng oleh munculnya berbagai

tindakan ekstrimisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris atau individu

ekstrimis yang mengatasnamakan Islam. Sebut saja fenomena ISIS, peristiwa Charlie Hebdo,

dan serangan Paris yang belakangan ini meluas ke mana-mana termasuk bom Sarinah

Thamrin di Jakarta Pusat. Padahal perbuatan semacam itu tidak dapat diterima oleh seluruh

agama, bertentangan dengan hati nurani dan moralitas. Pergeseran politik dunia akibat

gelombang globalisasi memberi dampak besar bagi dunia dan Islam. Salah satu kondisi nyata

adalah konflik di negara-negara Timur Tengah yang digerakkan oleh kelompok radikal

menimpa hampir semua negara. Kondisi seperti itu mengakibatkan tergusurnya kekuatan

Islam Ahlussunnah wal Jamâ‘ah, demikian juga di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan.6

Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut yang

sebelumnya dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan masyarakat dunia. Berbagai stigma

dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme,7 radikalisme dan

sebagainya. Dengan menggalang kekuatan internasional, Amerika Serikat melancarkan

kampanye antiteror. Atas nama itu, Afganistan dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan

gerakan keagamaan juga menjadi sasaran, terutama jaringan Al-Qaeda Internasional.

Tuduhan tersebut menemukan relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang

menyebutkan motivasi keagamaan di balik aksi mereka, sehingga banyak pengamat

mengaitkan gerakan Islam garis keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak

faktor yang melatarbelakanginya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial, psikologi, dan

6 https://www.isomil.id/nu diunduh pada Senin, 25 April 2016, pukul 11.45 WIB.

7 Afadlal secara umum membagi kaum fundamentalis ke dalam dua golongan. Pertama, fundamentalis

yang hanya bergerak pada tataran pemurnian praktek keagamaan. Kelompok ini menekankan pada pemurnian

bentuk-bentuk peribadatan dari praktek-praktek yang disebut sebagai takhâyul, bid‟ah, dan khurâfat. Sementara

itu, kelompok kedua adalah fundamentalisme yang bercorak gerakan politik. Gerakan ini bercita-cita

menjadikan syariat Islam sebagai dasar dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara secara formal

(pilar-pilar Negara). Kelompok ini menjadikan Islam sebagai ideologi yang harus diterapkan oleh sebuah

Negara. Lihat riset Afadlal dkk., dalam Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia Press, 2005), h. 280.

Page 22: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

4

lainnya, tetapi faktor keyakinan dan pemahaman terhadap beberapa doktrin keagamaan

agaknya yang paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan

tertentu, yang notabene berbeda agama, dalam berbagai dimensi kehidupan mendapat

legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nasshi),

parsial (juz‟i), dan ekstrim/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga terkesan konflik bukan

lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan

meluas kepada konflik agama.8

Terorisme sebagai gerakan yang membawa ambisi kebenaran, menggunakan

pelbagai kendaraan. Ada yang menggunakan kendaraan agama, politik, dan ekonomi.

Apapun kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba hegemonik, anarkis dan

radikal. Inilah kesan yang bisa ditangkap mengenai terorisme. Hampir seluruh gambarannya

buruk dan tidak manusiawi. Ironisnya, berbagai tindakan kekerasan dan terorisme dikaitkan

dengan Islam. Terorisme identik dengan Islam. Stigma ini diusung kalangan Barat, terutama

Amerika Serikat. Segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam atau kalangan

yang tidak sejalan dengan Amerika Serikat diklaim sebagai aksi terorisme.9 Dalam konteks

Indonesia, munculnya gerakan-gerakan Islam radikal terutama pasca Orde Baru tahun 1998,

dengan mengatasnamakan agama dan kelompok tertentu telah menimbulkan kerusakan pada

tata kehidupan bangsa yang sangat majemuk. Bangsa kita lebih mudah curiga terhadap

sesuatu yang “berbeda”, sesuatu yang dipandang “asing”. Bahkan, tak jarang perbedaan

yang terlanjur dipandang sebagai “yang asing” secara ekstrim juga disebut sebagai “sesat”.

Penyebutan diksi “sesat” dan “menyimpang” begitu mudah keluar untuk menyebut relasi

sosial yang heterogen ini. Pada saat yang bersamaan, radikalisme agama juga terindikasi

dipengaruhi konflik sektarian yang memang memiliki kesejarahan dalam perjalanan umat

8 Muchlis M. Hanafi, Islam, Kekerasan, dan Terorisme (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-

Qur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 2-3. 9 Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia.

Tesis dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2004, dengan

mengambil konsentrasi Syariah, h. 4-5.

Page 23: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

5

Islam. Konflik yang kini terjadi di beberapa negara muslim dan melibatkan sesama muslim

pula, telah dimaknai sebagai konflik teologis dan beberapa kalangan mencoba menariknya ke

dalam konteks keindonesiaan. Kelompok ini begitu massif melakukan propaganda dan

menggiring opini publik bahwa konflik tersebut adalah jihâd dalam memerangi kelompok

muslim tertentu.10

Pembacaan yang literal dan tidak holistik menjadi salah satu pemicu timbulnya

terorisme agama. Isu ini harus dihadapi oleh para pemikir agama, termasuk para sarjana

Muslim di era modern dan postmodern.11

Tantangan ini memang sangat berat. Masalah ini

merupakan isu modernitas yang belum ada pada masa sebelumnya, seperti isu kesetaraan

gender, hak asasi manusia, humanisme, liberalisme, sekularisme, pluralisme, dan isu-isu

modernitas lainnya. Hal ini semua menuntut para pemegang otoritas dan cendekiawan agama

untuk melakukan pembacaan kembali (rereading) terhadap kitab suci,12

sumber rujukan

agama mereka masing-masing. Bagi para sarjana Muslim modern, pembacaan ulang ini

bukan hanya berupa pembacaan yang berpijak pada otoritas teks semata (secara literal), tetapi

lebih dari itu mereka berusaha menunjukkan signifikansi dan nilai kontributif teks

keagamaan13

tersebut bagi kehidupan modern yang sedang dihadapi.

10

Lukman Hakim Saifuddin, kata Sambutan Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Menuju

Islam Indonesia yang Ramah dan Moderat (Jakarta: Direktur Jenderal Bimas Islam, 2014), h. vii – x. 11

Dalam catatan Alwi Shihab, pada 1960-an bangkit suatu gerakan kultural intelektual baru akibat rasa

cemas terhadap janji-janji gerakan modern yang dianggap gombal. Gerakan ini menamakan dirinya

posmodernisme. Gerakan ini secara konkret menunjukkan kepanikannya terhadap gerakan modern dengan suatu

aksi nyata di St. Louis, AS, pada tahun 1972. Gerakan modern atau modernitas tampil dalam sejarah sebagai

kekuatan progresif yang menjanjikan pembebasan manusia dari berbagai belenggu keterbelakangan dan

irasionalitas yang mengunggulkan rasio atau emosi, akal atas hati. Sebaliknya, posmodernisme menyanggah dan

menolak gerakan modern yang menempatkan akal (intellect/reason) di atas wahyu, gerakan ini menghidupkan

kembali relevansi nilai-nilai tradisional suci terhadap kehidupan manusia yang selama ini dicampakkan oleh

modernitas. Semangat baru kembali ditiupkan kepada nilai-nilai tradisional keagamaan. Iman dalam

posmodenisme sesuatu yang otentik, suci, agar kembali pada posisinya semula. Alwi Shihab, Islam Inklusif

Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1998), h. 50-53. 12

Kitab suci adalah sebuah teks, bila teks dipahami sebagai ―segala bentuk wacana yang dipancangkan

(fixed) melalui tulisan.‖ Teks berarti segala bentuk ‗produk‘ dari discourse, apakah berupa ucapan (speech),

tulisan (writing), gambar (visual text), bahkan benda-benda (artefact). Yasraf Amir Piliang, Agama dan

Tamasya Hermeneutika dalam pengantar buku Memahami Bahasa Agama (Bandung: Mizan, 2011), h. 17-18. 13 Teks keagamaan di sini adalah teks yang substansinya didominasi oleh tema dan topik-topik yang

bersumber pada satu agama atau lebih. Kitab suci adalah teks keagamaan yang bersumber pada satu agama.

Fokus pembicaraan kita akan difokuskan pada teks yang bersumber pada satu agama, khususnya Al-Qur‘an.

Tentu saja ada teks keagamaan yang bukan kitab suci, seperti karya teologis dan karya sastra keagamaan. Dunia

Page 24: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

6

Dalam kasus lain yang sejenis, problem literalisme tersebut pada gilirannya

tersemat pada kelompok sosial/ormas Islam keagamaan fundamentalisme, dalam konteks

Indonesia yaitu fundamentalisme dakwahis (seperti salafi Jamaah Tabligh), fundamentalisme

Islam politis (seperti MMI dan HTI) dan fundamentalisme Islam jihadis (seperti Jamaah

Islamiyah, Ansharut Tauhid, dan NII) sebagaimana nanti akan diulas secara detail pada bab

II. Bahkan lebih dalam lagi, ditemukan sejumlah akar permasalahan yang melahirkan pola

keagamaan dan bahasa pada fundamentalisme jihadis yang melakukan terorisme atas nama

Islam. Tentu saja problem literalisme yang telah diungkap di atas itu berubah menjadi

radikalisme (salafi-jahadis) sampai bergeser pada aksi terorisme (jihadis-teroris) saat bertemu

faktor-faktor lain, yaitu perasaan adanya ketidakadilan, kerentanan, ketidakpercayaan dan

ketidakberdayaan. Sebagai muslim, kaum teroris seperti Imam Samudera, merasa

diperlakukan tidak adil oleh kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat/USA (United State of

America).14

Dalam perjalanannya, literalisme (harfiyah) dalam memahami teks keagamaan

dalam konteks ini, kitab suci Al-Qur‘an, dipersoalkan oleh kelompok Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI). Dalam banyak literatur (sebagaimana nanti akan dipaparkan pada bab III),

ormas keagamaan Islam ini amat vokal dalam pemberlakuan syariat Islam di Indonesia.

Pendirian Negara Islam (Islamic state) dan penerapan syariat Islam menjadi isu politis yang

mereka cita-citakan karena mereka ingin mengganti NKRI yang berlandaskan ideologi

Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika (dasar-dasar Negara/pilar-pilar Negara)

yang sudah final dirumuskan oleh the founding fathers kita. Kelompok ini (MMI) masuk

teks keagamaan adalah teologi dan budaya agama tertentu, seperti Islam dan Kristiani. Oleh karena itu, untuk

memahami teks keagamaan kita wajib menguasai teologinya. Kalau tidak, bisa saja terjadi kesalahan dalam

menafsirkan teks atau bagian teks yang bersangkutan dan menafsirkan calon pembacanya. Benny Hoedoro

Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 33-34. 14

Sukron Kamil, dkk., Pola Keagamaan dan Bahasa: Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman

Kontemporer, dalam Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013),

h. iii.

Page 25: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

7

dalam kategori ciri-ciri fundamentalisme Islam (penyebutan lain dari Islam radikal), yakni

gerakan ormas keagamaan yang sejak berdirinya tahun 2000 identik dengan kekerasan,

eksklusif, intoleran, anti modernitas, dan stigma negatif lainnya. Di sisi lain, istilah

fundamentalisme Islam menurut Asep Syamsul M. Romli, sebagaimana yang dikutip Arif

Gunawan Santoso (2015), adalah sebuah terminologi yang digunakan oleh Barat untuk

melakukan demonologi Islam. Label tersebut ditujukan kepada setiap kelompok mana saja

yang berjuang untuk pemberlakuan syariat Islam.15

Kelompok MMI sebagai fundamentalisme Islam menuding bahwa terjemah Al-

Qur‘an Kementerian Agama RI telah menyuburkan benih-benih radikalisme dan terorisme

agama di Indonesia. Penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag dengan menggunakan metode

harfiyah (tekstualis/skriptualis) disebut-sebut sebagai faktor utamanya. Ditemukan ada

sekitar 3.229 jumlah keseluruhan ayat (dari 6.236 ayat) yang dipermasalahkan M. Thalib

selaku Amir MMI, baik dari aspek akidah, syariah, ekonomi, dan sosial dengan

mengelompokkan ayat-ayat pilihan serta prinsipil sebanyak 171 ayat dengan perincian 78

ayat di bidang akidah, 42 ayat di bidang syariah, 35 ayat bidang muamalah, dan bidang

ekonomi sebanyak 16 ayat.16

Kegelisahan M. Thalib dengan terjemahan Al-Qur‘an Kemenag

membuatnya kritis mendalami segala aspek kesalahan—baik faktor linguistik maupun

nonlinguistik—yang ada di dalamnya. Dalam masa kurang lebih 10 tahun, M. Thalib

akhirnya menerbitkan karyanya yaitu Al-Qur‘an Terjemah Tafsiriyah sebagai koreksi dan

alternatif terjemahan Al-Qur‘an Kemenag. Namun, sayangnya produk yang dihasilkannya ini

masih banyak menuai pro-kontra, komentar, kritik pedas, dan tanggapan dari para pengkaji

bahasa dan terjemah/tafsir Al-Qur‘an. Alih-alih sebagai terjemahan terbaik dengan

menggunakan pendekatan terjemah tafsiriyah, hasil terjemahan M. Thalib/MMI justru

15

Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan

Sosial (Jakarta: A-Empat, 2015), h. 1. Buku ini merupakan Tesis yang dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014. 16

M. Thalib, Koreksi Terjemah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu

Shuffah, 2013), h. 852-1025.

Page 26: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

8

menimbulkan permasalahan baru yang bila ditelaah lebih dalam, maka didapati

terjemahannya cukup keras, ekstrim, bias dari penafsiran ulama tafsir yang menjadi

rujukannya (tidak sesuai dengan sebagian besar referensi kitab tafsir), dan cenderung

menggiring pembaca untuk mendukung garis-garis perjuangan atau basis idelologi MMI

sendiri yaitu penegakan syariat Islam, syariat perang, dan jihâd. Di sinilah letak

permalasahannya. Problem terorisme yang menurut mereka bersumber dari terjemahan Al-

Qur‘an Kemenag belakangan masuk menjadi ranah politis, seakan-akan MMI ingin

menunjukkan ke publik bahwa mereka bukan kelompok radikal, mereka menuding bahwa

pemerintahlah (melalui terjemah Al-Qu‘ran Kemenag) yang memberi andil munculnya

terorisme. Untuk itu mereka membuat Al-Qur‘an terjemah tafsiriyah, yang mana terjemahan

tafsriyah mereka sendiri lebih mencerminkan pola pikir penyusunnya/penerjemahnya, jauh

berbeda dari pola penerjemahan/penafsiran ulama pada umumnya.

Perlu diketahui, faktor umum kebringasan para teroris tidaklah diawali pada bacaan

mereka dari terjemahan Al-Qur‘an Kemenag semata-mata (an sich), kalaupun itu ada lagi-

lagi soal interpretasi dan sempitnya pemahaman agama seseorang saja, akan tetapi lebih

mengarah kepada fakta genealogi ekonomi dan politik global yang akhirnya mereka beraksi

kejam. Menurut Azyumardi Azra dalam KTT Madrid Summit 11 Maret 2005, akar-akar

terorisme sangat kompleks dan merupakan penggabungan dari sejumlah faktor: sosial,

psikologi, ketidakpuasan politik domestik dan internasional, ekonomi, kemiskinan,

keterbelakangan pendidikan, dan alienasi ketercerabutan budaya.17

Lebih luas lagi, pada

kerangka ini, fakta yang muncul, aksi teroris ini bisa dimaknai sebagai bentuk ketidakpuasan

pada kebijakan global yang lebih berpihak kepada kalangan borjouis yang akhirnya

merembes pada persoalan laten yaitu interpretasi nilai-nilai agama sebagai legitimasi

17

Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim dari Australia hingga Timur Tengah (Jakarta:

Hikmah Mizan, 2007), h. 97-98.

Page 27: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

9

tindakan mereka.18

Bahkan, Komaruddin Hidayat menambahkan, mengerasnya ideologi

Islam ini dipengaruhi juga oleh krisis Palestina-Israel yang tak kunjung selesai yang telah

membangkitkan solidaritas keislaman anti AS (Amerika Serikat) yang diyakini berada di

belakang Zionisme.19

Bertolak dari uraian dan hipotesa perdebatan ilmiah-akademik di atas, sangat

menarik untuk dikaji keterkaitan antara tindakan terorisme dan teks keagamaan, mengingat

terorisme semakin mengguncang rasa takut seluruh umat manusia dalam peta pemikiran

global abad 21 saat ini.20

Terlebih dalam konteks Indonesia, di mana aksi teror tidak ada

matinya, sekaligus penelitian ini menjawab stigma bahwa radikalisme agama dan terorisme

yang terjadi karena pemahaman agama seseorang yang kerdil, literalis, parsial, dan tidak

komprehensif. Dalam melakukan analisis riset ini, bertolak belakang dengan pendekatan teori

Ferdinand De Saussure yang menjelaskan bahwa perilaku bertutur (speech act) sebagai

rangkaian hubungan antara dua orang atau lebih seperti A dengan B. Perilaku bertutur ini

terdiri dari dua bagian kegiatan, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar dibatasi oleh

mulut dan telinga, sedangkan bagian dalam melingkupi jiwa dan akal pikiran yang terdapat

dalam otak pembicara dan pendengar. Jika A berbicara, maka B menjadi pendengar, dan jika

18

Keterangan ini sebagaimana yang diteliti Stephen Sulaiman Schwartz dan Stephen Vertigans dalam

riset M. Abzar Duraesa. Dalam penelusuran M Abzar Duraesa, ada sejumlah penelitian tentang teroris dan

perilaku terorisme dengan berbagai varian yang melatarbelakanginya. Di antaranya apa yang ditulis Babun

Suharto yang mengangkat “Kekerasan Atas Nama Agama: Akar Masalah dan Alternatif Solusinya” yang

dimuat dalam Jurnal Edu-Islamika: The Indonesian Journal of Education and Islamic Studies, Vol. 3, No. 1,

Maret 2012. Lalu Stephen Sulaiman Schwartz dengan tema “Dua Wajah Islam: Moderatisme vs

Fundamentalisme Dalam Wacana Global‖ dan Stepehen Vertigans tentang ―Militant Islam: a Sociology of

Characteristics; Causes and Cinsequences‖ yang dimuat di The Wahid Institute dan Center for Islamic

Pluralism, 2007. Lihat M. Abzar Duraesa, Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi Terhadap

Perkembangan Teologi Terorisme di Kota Samarinda, paper Proceeding in Annual International Conference

(AICIS) XIV, Buku 4, Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities, (STAIN

Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014), h. 633. 19

Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books Mizan, 2012), h. 182. 20

Peristiwa terorisme paling terkini adalah apa yang terjadi di Brussels, Belgia. Serangan bom bunuh

diri di bandara Zaventem tersebut menelan korban 31 orang. Menurut mantan Kepala Keamanan Dalam Negeri

Perancis Bernard Cazeneuve sebagaimana dalam reportase harian Kompas, serangan Paris dan Brussels

dirancang oleh jaringan teroris yang sama dan paling berbahaya di Eropa. Disebutkan, dugaan pelakunya adalah

Ibrahim El Bakraoui dan Khalid El Bakroui, dua bersaudara pelaku serangan bom Belgia kemudian Saleh

Abdeslam yang bergabung dalam milisi Negara Islam di Suriah dan Irak (NIIS). Disunting dari Harian Kompas

dalam liputan Internasional, Minggu, 27 Maret 2016, h. 4.

Page 28: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

10

B berbicara, maka A menjadi pendengar.21

Teori de Saussure dengan linguistik sinkronik

biasa disebut juga linguistik deskriptif (washfiyyah) berupaya mendeskripsikan bahasa secara

apa adanya pada suatu masa tertentu. Sebaliknya, riset ini mendukung teori mentalisme atau

kognitivisme (nazhariyyah „aqliyyah) Noam Chomsky yang mengungkapkan bahwa bahasa

merefleksikan pola pikir penuturnya, dan bahasa adalah cermin terbaik akal pikiran

manusia,22

diperkaya dengan pisau analisis semantik leksikal, gramatikal, dan semantik

kontekstual.

Selain itu, riset ini juga sebanding dengan pendekatan kebahasaan kontekstual

(tharīqah siyâqiyyah) seperti yang digagas oleh Firth.23

Bagaimana ketika seseorang

membaca teks-teks keagamaan, harus pula melihat konteks yang mengitarinya, tidak ditelan

mentah-mentah. Sebuah teks24

harus bisa dianalisis dari segala aspek (sosio-historis-

kultural). Makna teks harus diinterpretasikan dengan konteks. Sebab sangat berbahaya,

tatkala seseorang menelaah teks yang bernada perang dan menyuruh ber-jihâd—sebagai

doktrin paling utama/strategis oleh kaum jihadis/teroris ISIS—misalnya, maka dia akan

melakukan aksi keji dan memilukan hati seperti pengeboman. Keberadaan kelompok

keagamaan radikal ini dapat dikatakan sebagai bentuk perkembangan yang paling ekstrim

saat ini, sekaligus menakutkan karena mengakibatkan korban nyawa dari kalangan sipil,

21

Abdul Chaer, Psikololinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 66. 22

Noam Chomsky, Knowledge of Languange: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger

Publishers, 1986), h. 1. 23

Menurut Firth sebagaimana menurut S. Chapman, seperti dirujuk Muhbib Abdul Wahab, dalam

kajian linguistik yang paling penting adalah konteks. Karena konteks itu menjadi penentu makna bahasa.

Bahkan inti atau proses sentral studi linguistik adalah makna dan konteks. Muhbib Abdul Wahab, Metode

Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 51. Disertasi pada konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab. 24

Teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan,

sedangkan wacana (discourse) adalah suatu aktivitas sharing (saling berbagi dan tukar-menukar) pendapat dan

perasaan. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan,

2011), h. 215.

Page 29: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

11

kerusakan terhadap berbagai tempat bangunan (seperti tempat ibadah, kafe, restoran, mall,

dan lain-lain) dan kerugian secara material lainnya.25

B. Identifikasi,26

Rumusan, dan Batasan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, landasan

teoritis dan kasuistik literalisme teks terjemahan mutakhir, muncul permasalahan mendasar

yang menjadi central problem dan pokok penelitian ini (major research question), yaitu:

bagaimana korelasi antara terorisme dan teks keagamaan yang belakangan menjadi polemik

wacana dalam pola penerjemahan Al-Qur‘an Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan

Kementerian Agama RI? Kemudian apakah penerjemahan Al-Qur‘an yang dilakukan oleh

tim penerjemah Kemenag sudah sesuai dengan teori penerjemahan Al-Qur‘an secara ilmiah?

Pokok masalah tersebut selanjutnya dapat dijabarkan dalam rumusan masalah dengan

mengemukakan bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1) Bagaimana keabsahan argumen MMI bahwa terjemah Al-Qur‘an Kemenag telah

berperan dalam melahirkan terorisme Islam?

2) Bagaimana hasil terjemahan tafsiriyah MMI yang mereka anggap sebagai solusi

dalam memahami Al-Qur‘an, sementara mereka sendiri termasuk kelompok Islam

radikal?

25

Syamsul Arifin, Multikulturalisme dalam Skema Deradikalisasi Paham dan Gerakan Keagamaan

Radikal di Indonesia, paper dalam Proceeding Annual International Conference (AICIS) XIV, Buku 2 subtema:

Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems, Editor Muhammad Zain, dkk., (STAIN Samarinda

Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014), h. 165. 26

Identifikasi berasal dari bahasa Inggris, identification yang berarti ‗penyamaan; mempersamakan;

meneliti dan menetapkan nama sesungguhnya. Identifikasi dalam bahasa Arab, sebagaimana dikutip Ismail

Lubis, sama dengan penegasan sesuatu masalah (حتقيق ذاتية الشيء). Jadi, identifikasi masalah dan ruang

lingkup pembahasan penetapan; penegasan masalah, dan pembatasan masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini. Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2001), h. 28.

Page 30: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

12

Fokus kajian masalah27

ini dibatasi pada aspek penerjemahan ayat-ayat jihâd,

dengan membandingkan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI Edisi Tahun 2002,28

dan Al-

Qur‘an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‘an Lebih Mudah, Tepat

dan Mencerahkan Tahun 2013 milik MMI yang lebih ditekankan (stressing) pada aspek-

aspek yang telah teridentifikasi dalam poin di atas. Ruang lingkup pembahasan penelitian ini

diharapkan dilakukan secara komprehensif dan ilmiah dengan memadukan teori/teknik

penerjemahan Al-Qur‘an, ilmu tafsir dengan melihat asbâb nuzûl al-ayat, dan diperkaya

pendekatan linguistik/semantik (leksikal, gramatikal, dan kontekstual). Teori yang dipakai

dalam riset ini adalah teori mentalistik Noam Chomsky yang memandang bahasa jelas

mencerminkan pikiran penafsirnya atau penerjemahnya. Sebab, pikiran manusia menurut M.

Amien Rais sebagaimana yang diungkap Muhammad Chirzin, merupakan ekspresi proses

komunikasi pemikir dengan lingkungannya. Pemikiran yang radikal tidak akan pernah

muncul dalam situasi masyarakat yang mantap secara sosial, politik, dan ekonomi. Ideologi

atau pemikiran itu dikembangkan oleh manusia dalam memberikan jawaban terhadap situasi

yang berkembang.29

27

Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka ada dua hal penting yang perlu disorot dalam riset ini,

yaitu unit masalah dan kedua fokus kajian masalah yang dijadikan sebagai masalah utama (central problem)

yang dipilih, yang kemudian ditemukan solusinya melalui kajian ini. Untuk keduanya sudah dijelaskan di atas.

Menurut Lexy Moleong, fokus masalah telah ditentukan akan berfungsi selain tidak hanya membatasi studi,

melainkan juga untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau memasukkan-mengeluarkan (inclusion-exclusion

criteria). Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 62. 28

Al-Qur‘an dan Terjemahnya Edisi Tahun 2002 ini tampil dengan format yang lebih tipis, yaitu 924

halaman (selain daftar kepustakaan), di mana ada pengurangan 370 halaman dari edisi sebelumnya Tahun 1990

sekitar 1.294 halaman. Untuk catatan kaki (footnote) juga berkurang, Tahun 1990 ada 1.610 footnote, namun

edisi 2002 ini hanya 930 footnote saja (berkurang 680). Selain aspek footnote yang diminimalisir, juga ada

mukadimah yang berjumlah 172 halaman dibuang. Khusus edisi Tahun 2002 ini, mukadimah yang berisikan

kajian Ulumul Qur‟an tidak dimuat, dan bagi mereka yang ingin mempelajarinya dipersilahkan untuk membaca

buku-buku Ulumul Qur‟an. Dengan demikian, penerjemahan ayat pula diusahakan lebih singkat dan padat,

sedangkan bagi mereka yang ingin mempelajarinya secara lebih mendalam, dipersilahkan membaca kitab-kitab

tafsir, termasuk Tafsir Al-Qur‟an Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Edisi Tahun 2002 ini

harus disadari lebih praktis, mudah dibawa dan mudah dipelajari dan terbuka untuk penyempurnaan pada edisi-

edisi berikutnya. Lihat Kata Pengantar Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an dalam Al-Qur‟an dan

Terjemahnya, yang kemudian edisi Tahun 2002 ini dicetak sebanyak 400.000 eksemplar, dicetak oleh PT.

Sinergi Pustaka Indonesia dan diadakan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais

dan Binsyar), Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam), Kementerian Agama

Republik Indonesia Tahun 2012, h. vi. 29

Muhammad Chirzin, Jihâd dalam Al-Qur‟an: Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Jurnal

Hermenia, Kajian Islam Kontemporer, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2003, h. 95.

Page 31: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

13

Jenis semantik yang digunakan dalam Tesis ini menyarankan pengkajian atas satu

makna leksikal (makna dalam kamus) yang ditentukan kata dan atau kalimat sebelum dan

sesudahnya. Konteks yang dijadikan dasar analisis juga adalah konteks sosial budaya yang

melingkupi teks keagamaan saat teks itu lahir. Ini sesuai dengan konsep asbâb nuzûl al-ayat

dalam ranah ilmu tafsir di mana teks Al-Qur‘an muncul disesuaikan dengan latar belakang

sosio-historis-kulturalnya, begitu pula asbâb wurûd al-hadīs dalam domain kajian hadis.

Dalam teori kebahasaan modern, teori ini selaras dengan gagasan/teori kontekstual (siyâq)

sebagaimana disarankan oleh Firth dan Lyons.

Dengan begitu, kita bisa berasumsi apakah ‗tuduhan miring‘ MMI itu objektif atau

hanya sekadar persoalan ideologi penerjemahan/beda pemahaman saja, atau hanya beda

metode/teknik/prosedur penerjemahan saja,30

atau boleh jadi ada motif tertentu misalnya

sudah masuk ke dalam ranah politik sampai ‗berani‘ menuduh ada tim oknum siluman yang

menyelinap di tubuh Tim Ahli Penerjemah dan Penafsir Al-Qur‘an Kemenag RI. Pada

interpretasi selanjutnya diungkap bahwa segala bentuk penjelasan terhadap Al-Qur‘an adalah

upaya menyingkap tabir makna untuk memperoleh pesan dan petunjuk yang terkandung di

dalamnya. Varian bentuk dan motivasi penulisannya, sebagai contoh penulisan Al-Qur‘an

Tarjamah Tafsiriyah MMI31

itu pun turut mempengaruhi arah dan kecenderungan

30

Metode dan prosedur adalah dua istilah teknis dalam penerjemahan. Ada sisi perbedaan di antara

keduanya. Untuk metode (method) adalah suatu cara melakukan penerjemahan, bisa pula bermakna memberikan

penekanan terhadap bahasa sumber (BSu) dan memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran. Adapun

prosedur (procedure) adalah perbuatan atau cara kerja dalam segala tindakan atau proses. Perbedaan antara

metode dan prosedur terletak pada satuan penerapannya. Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan

teks, sedangkan prosedur terjemahan berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih kecil seperti

klausa, frasa, kata, dan seterusnya. Sebagai metode, penerjemahan harfiyah dapat dianggap sebagai prosedur

penerjemahan yang paling penting karena pada dasarnya penerjemahan harfiyah dilakukan pada tataran klausa

atau kalimat. Lihat Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo Gramedia, 2000), h. 48-

49 dan 62-63. 31

Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan

Mencerahkan disusun oleh Al-Ustadz Muhammad Thalib sebagai Penerjemah; kemudian Slamet Suripto

sebagai Asisten Penerjemah; Penyelaras Bahasa oleh Irfan Suryahardi ‗Awwas; Zaky Imadudin Rabbany selaku

Pemeriksa Khat Al-Qur‘an; lalu Abu Labib sebagai Penata Letak; dan Budi Yuwono bertugas sebagai Desain

Cover. Berdasarkan penelusuran Penulis, karya MMI ini sudah sampai cetakan keempat di mana Edisi I terbit

pada Muharram 1433 H/Desember 2011 M; Edisi II pada Rabi‘ul Awwal 1433 H/Februari 2012 M; Edisi III

pada bulan Rajab 1433 H/Mei 2012 M; dan Edisi IV terbit pada Rabi‘ul Awwal 1434 H/Februari 2013 M.

Diterbitkan oleh Penerbit Ma‘had An-Nabawy Markaz Pusat Majelis Mujahidin Indonesia, Alamat: Jl. Karanglo

Page 32: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

14

penerjemahan ataupun penafsiran. Sebab, tak bisa kita pungkiri ada sejumlah karya

terjemahan atau tafsir Al-Qur‘an yang hadir ke permukaan dengan mengusung perspektif

tersendiri, baik dari segi pendekatan maupun latar belakang akademik penulisnya

(penerjemahnya atau penafsirnya). Bisa jadi juga, muncul dan terbit ke khalayak pembaca

sebagai reaksi terhadap karya yang sudah ada sebelumnya, semacam bantahan (counter

discourse) ataupun korektif.

C. Riset Terdahulu yang Relevan

Untuk mendapatkan hasil penulisan yang baik dan komprehensif, maka penulis

menggunakan acuan-acuan sebagai berikut: sejauh pengamatan penulis, ada sejumlah

penelitian terdahulu yang mengangkat isu-isu penerjemahan dan penafsiran Al-Qur‘an

Kemenag; tentang teori mentalisme Chomsky; terorisme dan isu deradikalisasi; membincang

bahasa dan pola keagamaan fundamentalisme Islam; serta riset yang menjadikan Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai objek kajiannya. Oleh karena itu, penulis akan membuat

langkah-langkah riset terdahulu/kajian literatur ini agar lebih sistematis, kronologis, tematis,

dan komprehensif.

1) Kajian terdahulu yang mengangkat isu-isu terjemah Al-Qur‘an Kemenag

termutakhir, dan penafsiran Al-Qur‘an kontekstual kontemporer. Di antaranya adalah

Syahrullah, seorang Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menulis ―Tarjamah

Tafsiriyah Terhadap Al-Qur‘an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi,‖ yang dimuat dalam

Journal of Qur‟an and Hadith Studies. Ia menyoroti bahwa karya MMI ini memiliki beberapa

kelebihan dan juga kekurangan. Salah satu kelebihannya adalah M. Thalib mengetengahkan

sebuah kemasan terjemahan yang ringkas, namun berani memberi keputusan makna yang

tegas atas sebuah term atau ayat Al-Qur‘an. Dari segi kebahasaan, masih menurut Syahrullah,

No. 94 Kotagede, Yogyakarta, Tlp/Fax (0274) 451665 dan Hak Penerbitan dan Publikasi dipegang oleh

(Muassasah) Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta – Indonesia.

Page 33: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

15

karya terjemahan ini terbilang istimewa. Upaya singkronisasi antara teks bahasa sumber

(source text) dengan bahasa sasaran (target text) bahkan dia menyebutnya bahasa ketiga,

secara leksikal dapat dikatakan tercapai dengan baik, dengan tidak membingungkan pembaca

yang hendak menerima dengan cepat keputusan makna di tengah pembacaannya terhadap

naskah terjemahan tafsiriyah dalam karya tersebut. Upaya pembedaan makna dari dua

kosakata yang umumnya diterjemahkan serupa dalam sebuah karya terjemahan lain dikemas

dengan redaksi yang mudah dipahami. Pemilihan kosakata (mufradât) yang tepat dalam

menyusun redaksi terjemahan menjadi kelebihan tersendiri dari karya terjemahan tafsiriyah

ini.32

Berikutnya Muchlis M. Hanafi, ―Problematika Terjemahan Al-Qur‘an: Studi pada

Beberapa Penerbitan Al-Qur‘an dan Kasus Kontemporer,‖ dalam Jurnal Suhuf Vol. 4, No. 2,

2011. Artikelnya mengulas seputar Problematika Terjemahan Al-Qur‘an mutakhir seperti

kasus Terjemahan Kemenag, Terjemah Al-Qur‘an per Kata terbitan Sygma (2007), Tafsir Al-

Qur‘an per Kata terbitan Penerbit Maghfirah (2009) dan Penerbit Kalim (2011), dan tak

kalah pentingnya Muchlis mengulas perseturuan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag dengan

Tarjamah Tafsiriyah MMI. Ia mengemukakan bahwa Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI

bukanlah pemicu timbulnya gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Boleh jadi

pemahaman agama yang kurang lengkap dan memadai ketika seseorang membaca terjemahan

kitab suci itu. 33 Riset yang sangat relevan dengan kasus terjemahan Al-Qur‘an Kementerian

Agama, adalah Ismail Lubis yaitu ―Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‘an Departemen Agama

Edisi 1990.‖ Disertasinya cukup komprehensif dalam menganalisis kesalahan dalam

terjemahan Al-Qur‘an Depag tersebut. Berkaitan dengan itu, judul buku menggunakan istilah

32

Syahrullah, Tarjamah Tafsiriyah terhadap Al-Qur‟an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi,

Bandung: Journal of Qur‘an and Hadith Studies, Vol. 2, No. 1, 2013, h. 60. 33

Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an; Studi pada Beberapa Penerbitan Al-

Qur‟an dan Kasus Kontemporer (Lajnah Pentashihahan Mushaf Al-Qur‘an: Jakarta, 2011), Jurnal Suhuf, vol 4,

No. 2, h. 169-170.

Page 34: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

16

―falsifikasi‖ yang dapat diartikan memberikan gambaran kepada pembaca atas proses

penelitian terhadap ketidaktepatan penerjemahan Al-Qur‘an Depag edisi 1990.

Sebelumnya dibahas penerjemahan yang salah dalam Penerjemahan Al-Qur‘an

Depag Edisi Tahun 1990 dan sebab-sebab terjadinya penerjemahan yang salah. Dalam

disertasi doktoralnya bidang ilmu-ilmu agama Islam di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

Ismail Lubis merumuskan identifikasi masalah, batasan masalah, dan ruang lingkup

pembahasan sekurang-kurangnya ada tujuh masalah yang perlu diselesaikan. (1) Kata yang

berlebihan dalam kalimat terjemahan karena mengandung arti yang sama, sehingga kalimat

terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 71 surat al-Baqarah halaman

21, kalimat terjemahan ayat 99 surat Yunus halaman 322, kalimat terjemahan ayat 13 surat

al-Hujurât halaman 847, dan kalimat terjemahan ayat 111 surat al-An‘âm halaman 206. (2)

Frasa yang digunakan dalam kalimat terjemahan ayat tidak lazim digunakan dalam bahasa

Indonesia, yakni frasa berjalan di atas perut. Akibatnya membuat kalimat terjemahan ayat

tidak efektif karena frasa tersebut tidak mengandung makna ayat secara tepat dan tidak lazim

digunakan dalam bahasa Indonesia, misalnya kalimat terjemahan ayat 45 surat al-Nur

halaman 552. 34

Selanjutnya riset seputar ―Koherensi Terjemahan Al-Qur‘an: Analisis Struktural

Terjemahan Al-Qur‘an Depag RI Edisi Tahun 2002,‖ Tesis yang ditulis Tardi Mahasiswa SPs

UIN Jakarta 2008. Dalam penelitiannya, Tardi membuktikan bahwa Terjemahan Al-Qur‘an

Depag 2002 itu menggunakan teori-teori terjemahan secara umum yang ditawarkan oleh

Newmark. Teori tersebut dikembangkan melalui prosedur penerjemahan yang tidak hanya

mengikuti salah satu langkah, tetapi tiga langkah/strategi penerjemahan yaitu analisis,

transfer, dan restrukturisasi. Ketiga langkah ini dalam kesimpulannya tidak dapat

34

Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2001), h. 29-30.

Page 35: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

17

memecahkan kesulitan penerjemahan dalam tataran kata, frasa, dan kalimat.35 Selain itu, Edi

Junaedi menulis ―Polemik Terjemahan Al-Qur‘an antara MMI dan Kementerian Agama

dalam Perspektif Percakapan.‖ Dalam bahasannya, dipaparkan seputar Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI), sebuah ormas yang lahir pada tahun 2000 di Yogyakarta dan dicap sebagai

organisasi radikal, pada bulan Agustus 2010, membuka polemik dengan Kementerian

Agama. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag dianggap mereka mengalami kekeliruan karena

menggunakan tarjamah harfiyah, yang berpotensi melahirkan paham sesat bahkan sikap

radikal pada masyarakat. Dalam suratnya yang dikirimkan secara resmi kepada Menteri

Agama, MMI mengharapkan uji shahih secara publik hasil penelitian mereka atas

Terjemahan Al-Qur’an tersebut. Sejak itu terjadi ‚perang‛ wacana antara MMI dan

Kemenag RI soal terjemahan Al-Qur’an di media, terutama di Majalah Gatra. Akhirnya,

pada 29 April 2011, Kemenag melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, membuka

ruang untuk berdialog secara ilmiah di TMII. 36

Selanjutnya, Istianah tentang ―Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-

Qur‘an Kemenag RI‖, Tesis pada Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi Al-

Qur‘an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Tesisnya menguraikan hal yang

melatarbelakangi Muhammad Thalib melakukan penerjemahan Al-Qur‘an, di antaranya

karena adanya penerjemahan Al-Qur‘an secara harfiyah yang dilakukan oleh Dewan

Penerjemah Depag RI, sedangkan metode penerjemahan yang satu ini adalah sesuatu yang

mustahil. Ia pun menyadari perlunya sebuah terjemah yang dapat membantu umat Islam non

Arab dalam memahami makna ayat-ayat Al-Qur‘an dengan benar, mudah, dan lebih cepat

tanpa melenceng dari maksud kalimat aslinya. Maka dari itu, ia melakukan alih bahasa

35

Tardi, Koherensi Terjemahan Al-Qur‟an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‟an Depag RI Edisi

Tahun 2002 (Jakarta: SPs UIN Jakarta, 2008). Tesis pada Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab. 36

Edi Junaedi, Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama dalam Perspektif

Percakapan (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 2. Tesis pada SPs UIN

Jakarta.

Page 36: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

18

seluruh ayat-ayat Al-Qur‘an ke dalam bahasa Indonesia secara tafsiriyah. Lebih dari itu,

Muhammad Thalib menegaskan bahwa apa yang dilakukannya merupakan koreksi atas

terjemah versi Kemenag RI (selanjutnya akan disebut dengan QTK/Al-Qur‘an Terjemah

Kemenag) dan juga sebagai counter attack atas pemikiran-pemikiran sekuler dan liberal di

Indonesia yang semakin gencar mendeskreditkan Al-Qur‘an sebagai kitab suci yang

mengandung unsur-unsur kekerasan dan kebencian terhadap non Islam.37

Kemudian riset Moch. Nur Ichwan tentang ―Negara, Kitab Suci dan Politik:

Terjemah Resmi Al-Qur‘an di Indonesia.‖ Dalam pembahasannya, penulis menyampaikan

bahwa dalam penerjemahan Al-Qur‘an, salah satunya yang diterbitkan Depag RI,

memungkinkan adanya keterpengaruhan terjemah tersebut dengan unsur lain seperti misalnya

politik, di mana melalui hasil karya terjemah Al-Qur‘an ini, pemerintah juga ingin

menunjukkan eksistensinya sebagai pelindung Islam dan masyarakat muslim yang

merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Hal itu dilandasi pada bacaannya terkait Al-

Qur‘an dan Terjemahnya tahun 1974, halaman 129. Bunyinya sebagai berikut: ―Terjemah al-

Qur‟an ini disusun dan diterbitkan oleh pemerintah, dengan maksud agar terjemah al-

Qur‟an ini dapat dipelajari secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia dengan mudah.

Terjemah ini disusun oleh para ahli menurut vaknya masing-masing. Pelaksanaannya

diserahkan kepada suatu Lembaga Negara yang diberi nama: Lembaga Penyelenggaraan

Penterjemah Kitab Suci Al-Qur‟an.” Pada penelitiannya, Moch. Nur Ichwan mengungkapkan

sejarah terjemahan Al-Qur‘an di Indonesia, perdebatan boleh dan tidaknya sebuah kitab suci

diterjemahkan, dan yang terpenting aspek sebuah Al-Qur‘an dan Terjemahnya milik Depag

RI sebagai sebuah karya yang memiliki otoritas yang besar, di mana karya tersebut

diterjemahkan oleh ulama-ulama terkenal, yang kebanyakan terkait dengan Institut Agama

Islam Negeri (IAIN), pakar bahasa serta para ahli tafsir lainnya. Tak bisa disangkal bahwa

37

Istianah, Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta:

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 5-6. Tesis pada SPs UIN Yogyakarta.

Page 37: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

19

Al-Qur‘an dan Terjemahnya versi Depag adalah yang paling terkenal yang diterbitkan di

Indonesia. Kitab suci tersebut diterbitkan tidak hanya oleh Depag sendiri, tetapi juga oleh

beberapa pihak swasta dan organisasi Islam tertentu. Karya agung itu juga merupakan

terjemahan versi Indonesia yang paling banyak dipergunakan oleh berbagai homepage Islam

di internet.38

Asyhari tentang ―Korelasi Tarjamah Harfiyah dan Ekstrimisme: Studi Kritis

terhadap Al-Qur‘an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI.‖ Ia menyoroti keberadaan

terjemah Al-Qur‘an Kemenag ternyata membawa dampak negatif bagi umat Islam, sebab

berkurangnya minat umat Islam untuk mempelajari kitab-kitab para ulama terdahulu dan para

Kiai.39

Ibrahim Syuaib Z, mengangkat bahasan ―Dakhil al-Naqli dalam Al-Qur‘an dan

Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004‖. Pengertian al-dakhil dalam tafsir adalah

Penafsiran Al-Qur‘an dengan al-ma‟tsûr yang tidak sahih, atau bisa juga diartikan penafsiran

Al-Qur‘an dengan al-ma‟tsûr yang sahih akan tetapi tidak memenuhi syarat-syarat

penerimaan atau penafsiran dengan pendapat yang salah. Masalah yang diangkat dalam

penelitian ini adalah kemungkinan keberadaan al-dakhil al-naqli dalam sepuluh juz pertama

Al-Qur‘an dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004, bentuk dan faktornya.

Kemungkinan itu dijaring dengan sembilan bentuk al-dakhil al-naqli. Contoh kerja penelitian

ini sebagai berikut; bila Al-Qur‘an dan Tafsirnya merujuk hadis dalam menafsirkan ayat,

maka diteliti kualitas kesahihannya. Bila data-data yang ditemukan menunjukkan bahwa

hadis tersebut dhaif yang tidak layak dijadikan hujjah, maka tafsir dikategorikan sebagai

dakhil al-naqli pertama. Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan terhadap pokok

38

Moch. Nur Ichwan, Negara, Kitab Suci, dan Politik: Terjemah Resmi Al-Qur‟an di Indonesia,dalam

buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Penyunting: Henri Chambert-Loir (Jakarta:

Kepustakaan Populer (KPG) Gramedia, Forum Jakarta-Paris bekerja sama dengan Pusat Bahasa, dan

Universitas Padjajaran Bandung, 2009), h. 417-419. 39

Asyhari, Korelasi Tarjamah Harfiyah dan Ekstrimisme: Studi Kritis terhadap Al-Qur‟an Terjemah

Kementerian Agama RI (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2015), h. 3. Proposal Disertasi pada SPs UIN Sunan

Ampel.

Page 38: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

20

permasalahan ternyata dalam sepuluh juz pertama Al-Qur‘an dan Tafsirnya Departemen

Agama RI Edisi 2004 terdapat 16 (enam belas) tafsir dakhil al-naqli.40 Sebagai pamungkas

apa yang ditulis Abdullah Saeed, seorang Guru Besar Arab dan Islamic Studies di University

of Melbourne, Australia. Beliau menulis Tafsir Kontekstual Al-Qur‘an Abad 21 sekaligus

menyoroti perkembangan tafsir al-Qur‘an serta mengangkat perdebatan mutakhir tentang

pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu tafsir.41

2) Kajian terdahulu yang mengangkat tema Teori Linguistik, Pemikiran dan

Orientasi Semantik. Adalah Muhbib Abdul Wahab tentang ―Metode Penelitian dan

Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammâm Hassân.‖ Disertasi doktoralnya ini

dilatarbelakangi oleh stigma negatif bahwa bahasa Arab terutama Nahwu dianggap sulit

dipelajari. Padahal, setiap bahasa di dunia ini memiliki tingkat kesulitan dan kemudahan

masing-masing, sesuai dengan karakteristik bahasa itu sendiri. Sementara itu, penelitian

nahwu merupakan penelitian yang syarat dengan perdebatan dan kontroversi. Pada saat yang

sama, materi nahwu yang diajarkan di lembaga-lembaga penelitian masih cenderung

berorientasi kepada aspek mabna, dan belum dilandasi oleh hasil-hasil penelitian yang

memadai. Metode pembelajarannya pun dipandang belum efektif, fungsional, dan

kontekstual.42

Orientasi pemikiran Semantik misalnya, Zulkifli Agus, ―Orientasi Pemikiran

Semantik Ibnu Jinnī: Analisis Buku al-Khashâis; Suatu Tinjauan dari Segi Makna.‖ Salah

satu tujuannya adalah mengkaji pemikiran Ibnu Jinnī tentang semantik baik dari segi leksikal,

struktural dan makna sosial. Kemudian untuk mengetahui metode yang digunakan oleh Ibnu

40

Ibrahim Syuaib Z, “Dakhil al-Naqli Dalam Al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi

2004”. (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2009), h. 2. Laporan hasil penelitian. 41

Abdullah Saeed, Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach, dalam

versi terjemahan Indonesia Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, Penerjemah: Ervan Nurtawab (Bandung:

Mizan Media Utama, 2016), h. 12. 42

Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik

Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. xv. Disertasi pada

SPs UIN Jakarta, konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab.

Page 39: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

21

Jinnī dalam menetapkan suatu arti kata dalam kalimat maupun wacana.43

Riset ―Pemikiran

Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī: Kajian Kitab al-Muzhir.‖ Tesis ini ditulis oleh Ahyani, yang

ingin membuktikan bahwa al-Suyûthī produktif dalam menyumbangkan pemikiran orisinil

dan benar peranannya dalam perkembangan ilmu kebahasaan, khususnya dalam konteks

semantik bahasa Arab. Penelitian ini juga membuktikan tidak adanya hal baru dari kitab al-

Muzhir dan karya al-Suyûthī lainnya ketika dia menguraikan teori tentang rolling (al-isytiqâq

al-akbar) dari Ibnu Jinnī dan Ibnu Fâris, selain penambahan bentuk baru derivasi, yakni

dalam konteks makna, sebagaimana ahyani tidak menemukan hal baru dalam pembahasan al-

„âmm wa al-khâs, selain penambahan bab yang berbeda dari apa yang disebutkan al-Tsa‘âlibī

pada pembahasan al-Kulliyyât.44

3) Kajian terdahulu yang membahas radikalisme agama, terorisme, dan

deradikalisasi, yaitu Tim Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI.

Buku ini merupakan kumpulan materi hasil Seminar Nasional tentang Fenomena Bahaya

ISIS bagi NKRI dan Islam rahmatan lil „âlamin pada tanggal 9 Agustus 2014 di Auditorium

KH. M. Rasjidi Thamrin, yang telah disempurnakan dan dilengkapi dengan tulisan-tulisan

lain yang terkait. Banyak perspektif dan gagasan menarik dari para narasumber terkait

dengan isu mutakhir gerakan radikalisme agama di Indonesia. Buku ini disebarluaskan

kepada masyarakat sebagai salah satu upaya Ditjen Bimas Islam yang telah berkontribusi

dalam pencegahan munculnya gerakan radikalisme berbasis agama dan tantangan kebangsaan

serta beberapa pemikiran menyimpang dan menggoyangkan pilar-pilar kenegaraan dan

merusak keutuhan NKRI, terutama agama Islam yang luhur ini. Buku ini mengupas

radikalisme agama dalam sejarah Islam, apa itu radikalisme, genealogi radikalisme agama,

43

Zulkifli Agus, Orientasi Pemikiran Semantik Ibnu Jinnī: Analisis Buku al-Khashâis; Suatu Tinjauan

dari Segi Makna (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 14. Tesis UIN

Jakarta. 44

Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâl al-Dīn al-Suyûtī: Kajian Kitab al-Muzhir (Jakarta: Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. v. Tesis UIN Jakarta.

Page 40: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

22

faktor pemicu radikalisme agama dalam Islam, ISIS dan fenomena radikalisme modern.

Kemudian bagaimana menyikapi agama dan menerapkan nilai-nilai Islam untuk konteks

keindonesiaan dan kebangsaan, bagaimana memahami Islam yang rahmatan lil „âlamin,

Indonesia dan model moderasi Islam, dan NKRI sebagai semangat kekhalifahan.45

Soal terorisme oleh Rohmawati dengan tema, ―Wacana Terorisme di Indonesia

1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia‖. Dalam risetnya dijelaskan sejumlah

fenomena terorisme di Indonesia serta dilihat dari peta gerakan terorisme global, dan kapan

Indonesia mulai terperangkap dalam jaringan terorisme sekaligus faktor-faktor yang dapat

menimbulkan tindak terorisme.46

Lalu ―Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di

Indonesia.‖ Kajian ini merupakan hasil penelitian berkaitan dengan terpidana terorisme yang

bermotif keagamaan, sehingga yang diteliti dan dikaji adalah profil keagamaannya. Dalam

temuan riset ini dijumpai bahwa masing-masing pelaku terorisme dan jihadis tidak berangkat

dari ruang kosong. Mereka melandasi perbuatannya dengan suatu faham keagamaan yang

dikemas secara baik dan tidak kalah logisnya dibanding dengan logika mereka yang

menentangnya.47

Kajian terkait deradikalisasi adalah karya Nasaruddin Umar. Beliau menulis

―Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‘an dan Hadis.‖ Buku ini diharapkan bisa menjadi acuan

perbandingan dengan buku-buku yang berbahasa Indonesia yang agaknya terlalu

―bersemangat‖ untuk memperjuangkan Islam. Padahal, Al-Qur‘an dan pengalaman

Rasulullah SAW menunjukkan bahwa jihâd itu tidak mesti harus selamanya dengan

kekerasan, apalagi untuk melayangkan jiwa-jiwa yang tak berdosa. Selain itu, penulisnya

45

Tim Ahli Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia,

Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Editor: Jaja Zarkasyi dan Thobib al-Asyhar (Jakarta: Ditjen

Bimas Islam, 2014), h.vii-xii. 46

Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia.

(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 9. Tesis SPs UIN Jakarta. 47

Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di

Indonesia (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI, 2015), h, iii dan x.

Page 41: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

23

juga berharap buku ini bisa memberikan pemahaman yang komprehensif dan sebagai counter

terhadap berbagai buku lainnya.48

Mayjen TNI bintang dua yang cukup fenomenal Agus

Surya Bakti (SB), menulis penanggulangan terorisme. Bukunya ―Merintis Jalan Mencegah

Terorisme, Sebuah Bunga Rampai.‖ Buku ini layak menjadi bacaan yang memadai dan

menjadi referensi berharga bagi semua pihak untuk menangkap dan memahami fenomena

gerakan radikal yang menggunakan simbol agama atau yang mengatasnamakan agama. Buku

ini merupakan bunga rampai yang diekspresikan oleh seorang pengambil/pembuat kebijakan

(policy maker) dalam pencegahan terorisme di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

(BNPT).49

Satu lagi buku referensi yang sangat representatif untuk riset terdahulu, ditulis

Agus SB yaitu ―Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan dan Deradikalisasi.‖ Buku ini

adalah perwujudan dari pengalaman empiris yang dialami oleh Agus SB yang diberikan

amanah sebagai Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT.

Pengalaman menjabat sebagai Deputi I BNPT telah memberikan pengalaman sekaligus

membentuk pemahaman komprehensif penulis, mengenai kebijakan penanggulangan

terorisme, khususnya dalam bidang pencegahan terorisme. Penulis juga mengulas mengenai

strategi deradikalisasi. Strategi ini ditujukan kepada kelompok masyarakat yang telah

terpapar oleh ideologi radikal terorisme. Strategi ini bertujuan untuk mengurangi tingkat

radikal (less radical) dari napi, mantan napi, keluarga dan jaringan kelompok teroris tersebut

agar tidak kembali terjerumus ke dalam lingkaran terorisme yang memicu permusuhan

sesama anak bangsa karena cenderung merasa paling benar di jalan yang salah.50

4) Riset terdahulu yang mengupas gerakan dan pola keagamaan kontemporer,

fundamentalisme Islam; dan kajian kritis terhadap MMI. Yakni dari Pusat Pengkajian Islam

48

Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis, Kata Pengantar: Dr. H. Susilo

Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia ke-6 (Jakarta: Quanta Gramedia, 2014), h. xii. 49

Agus SB, Merintis Jalan Mencegah Terorisme: (Sebuah Bunga Rampai) (Jakarta: Semarak Lautan

Warna, 2004). 50

Agus SB, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi (Jakarta:

Daulat Press, 2014), h. xiii.

Page 42: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

24

dan Masyarakat (PPIM) yang diedit oleh Jamhari dan Jajang Jahroni, ―Gerakan Salafi

Radikal di Indonesia.‖ Buku ini mengulas kelompok-kelompok Islam garis keras di dunia

sunni sekarang ini berkaitan dengan reformulasi ideologi salaf, sebuah paham yang

mengajarkan umat Islam agar mencontoh perilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.

Ideologi salaf yang pada awalnya menekankan pada pemurnian akidah, mengalami

metamorfosa pada abad ke-20. Salafisme tidak hanya gerakan purifikasi keagamaan semata,

tapi menjadi ideologi perlawanan terhadap berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilai-

nilai agama. Buku ini mencoba menjelaskan fenomena gerakan Islam radikal dalam bingkai

kehidupan sosial politik masyarakat Muslim Indonesia, dalam kerangka kehidupan berbangsa

dan bernegara, dan dalam hubungannya dengan kelompok mayoritas Muslim di negeri ini

yang dikenal dengan moderat dan toleran. Setelah memetakan empat kelompok salafi radikal

di Indonesia (FPI, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir), buku ini

selanjutnya dilengkapi dengan data survei PPIM UIN Jakarta mengenai Islam dan

Konsolidasi Demokrasi di Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa meskipun dalam beberapa

tahun terakhir Indonesia dilanda fenomena gerakan salafi radikal, tapi ternyata survei

membuktikan bahwa mayoritas muslim Indonesia masih setia dengan ideologi Islam yang

moderat dan toleran.51

Wacana Islam radikal dipaparkan dengan sangat apik oleh Khamami Zada, ―Islam

Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia.‖ Buku ini, menjelaskan

hampir semua corak dan ragam gerakan-gerakan Islam ―radikal‖ di tanah air yang kini dapat

disaksikan aksi-aksinya. Mereka menjangkau mulai dari persoalan umat yang sederhana

hingga yang pelik, seperti demokrasi, dari persoalan domestik (dalam negeri) hingga

persoalan dunia Islam, terutama Palestina dan Afghanistan. Kehadiran Islam radikal ini

dalam wacana perpolitikan kita, menurut penulisnya, karena didorong dua faktor; interen dan

51

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h.

xi.

Page 43: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

25

eksteren.52

Selain itu, Tesis Arif Gunawan Santoso di SPs UIN Jakarta. Judulnya:

―Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan Sosial”.

Menurutnya, gerakan fundamentalisme Islam seringkali dimaknai secara pejoratif. Gerakan

ini diasosiasikan sebagai gerakan politis yang seringkali memaksakan kehendak dengan

menggunakan aktivitas kekerasan dalam mencapai tujuannya. Selain itu, gerakan ini juga

selalu dianggap sebagai kelompok eksklusif, intoleran, dan anti modernitas. Namun

demikian, di tengah stigma yang disematkan ke dalam gerakan fundamentalisme Islam,

gerakan HTI ini terbukti mampu menunjukkan eksistensinya. Di era reformasi, gerakan ini

seolah mendapat momentum untuk menunjukkan eksistensi diri. Tidak hanya itu, reformasi

telah menjadi media yang cukup menguntungkan bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan

fundamentalisme. Selain faktor sistem politik yang terbuka, gerakan ini ternyata tidak

berorientasi politik. Tesis ini membuktikan bahwa gerakan fundamentalisme Islam juga

menjalankan fungsi sosial budaya. Bahkan fungsi inilah yang menyebabkan gerakan ini

mampu eksis dalam berbagai kondisi sosial politik. 53

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, dapat

ditarik kesimpulan bahwa riset terhadap penafsiran Al-Qur‘an dan gerakan fundamentalis

Islam MMI lebih banyak muncul dan mendominasi dibanding melihatnya dari aspek

semantik (‗ilm al-dalâlah). Adapun korpus penelitian penulis kali ini meneropong lebih jauh

karya Tarjamah Tafsiriyah MMI dari segi semantik leksikal dan gramatikal, terutama soal

Penerjemahan Al-Qur‘an dan Terorisme dengan basis pendekatan kebahasaan modern,

diperkaya dengan alat analisis Noam Chomsky sebagai pintu memahami teks-teks

keagamaan. Pemilihan tema Tesis ini menjadi amat penting dikarenakan M. Thalib pun

52

Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta:

Teraju Grup Mizan Publika, 2002), h. viii. 53

Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan

Sosial (Jakarta: Penerbit A-Empat, 2015), h. 1. Tesis ini telah dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 44: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

26

menamai buah tangannya tersebut dengan ―Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami

Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan.” Di situ tertera kata makna Al-

Qur‟an yang tidak lain adalah fokus kajian dalam disiplin ilmu Semantik, yang lagi-lagi

mengulas soal makna. Di sinilah letak kebaruan, orisinalitas, dan sisi distingtif riset ini

dibanding penelitian-penelitian sejenis lainnya.

Meskipun demikian, ada delapan penelitian yang berusaha mengelaborasi serta

mengeksplorasi Penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag dan Linguistik/Semantik Kontekstual,

Penafsiran Al-Qur‘an Kontemporer, Isu Terorisme dan Deradikalisasi dan Studi Gerakan

Fundamentalisme Islam (MMI) tersebut, terutama yang bertalian dengan Terjemah Tafsiriyah

MMI dan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI yang berkaitan dengan teks-teks keagamaan

bernada jihâd (perang), yaitu apa yang diteliti oleh Syahrullah, Ismail Lubis, Muhbib Abdul

Wahab, Rohmawati, Jamhari dan Jajang Jahroni, Sukron Kamil, dkk, Nasaruddin Umar, dan

Tim Peneliti buku Ilusi Negara dari The Wahid Institute dan Maarif Institute. Dengan

demikian, semoga semakin memperkaya literatur/studi kepustakaan dalam kepenulisan Tesis

ini dan mewarnai cakrawala keilmuan bagi kalangan akademis serta siapa saja yang ingin

mengenal lebih jauh persoalan Penerjemahan Al-Qur‘an, Literalisme, Terorisme, Semantik,

Teks Keagamaan, dan gerakan fundamentalisme Islam. Terkait penamaan judul riset yaitu:

“Terorisme dan Teks Keagamaan: Studi Komparatif Atas Terjemah Al-Qur‟an Kemenag

RI dan Terjemah Tafsiriyah MMI.”

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berkaitan dengan pokok permasalahan serta rumusan masalah di atas, maka tujuan

penulisan Tesis ini adalah: menjelaskan latar belakang argumentasi dan temuan MMI atas Al-

Qur‘an dan Terjemahnya yang diterbitkan Kementerian Agama RI yang isinya diduga

Page 45: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

27

mengandung radikalisme agama dan pemicu terorisme. Dalam perspektif mereka, Islam

selalu acap kali dijadikan objek isu terorisme dan deradikalisasi. Mencari sebabnya, pihak

MMI berkesimpulan ada keterkaitan dengan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI. Ada terjemah

yang salah karena diterjemahkan secara harfiyah/literal, dan kesalahan itu berkisar pada

aspek akidah, syariah, sosial, dan ekonomi.

Di samping itu, semoga riset ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah

dalam kajian penerjemahan dan penafsiran, terutama yang bertalian dengan teks-teks

penerjemahan Al-Qur‘an bernuansa jihâd, terorisme, dan perang. Penelitian ini diharapkan

dapat menghasilkan semangat dan kesadaran untuk terus berupaya mendialogkan serta

mendekatkan pemahaman Terjemahan Al-Qur‘an yang ramah, moderat (tawassuth), toleran

(tasâmuh), keseimbangan (tawâzun/i‟tidâl), dan terbuka dengan dinamika di tengah-tengah

masyarakat Indonesia yang multikultur, multietnik, dan multiras serta multirelijius.

Kemudian lebih luas, sejatinya kajian ini ingin membahas persoalan aktual yang terkait

dengan Terjemah dan Tafsir Al-Qur‘an dalam menjawab tantangan zaman. Selanjutnya,

penulis menjelaskan bantahan dan tanggapan Kementerian Agama atas tuduhan MMI yang

berkesimpulan ada keterkaitan terorisme dengan Terjemah Al-Qur‘an milik Kementerian

Agama RI melalui data faktual-empirisisme, fakta termutakhir, otentik, serta objektif-kritis.

Selain itu, semoga riset ini dapat menjadi salah satu referensi dalam mengurai

problematika nasional yakni gejala radikalisme dan terorisme yang berjubah agama yang

semakin mencekam keamanan, rasa kenyamaan, dan menumbuhkan disintegrasi NKRI.

Semoga terorisme benar-benar hilang dari bumi pertiwi Indonesia tercinta ini. Diharapkan

pula nantinya, penelitian ini berguna sekaligus berkontribusi besar bagi segenap pembuat

kebijakan (policy maker), terlebih kepada Badan Intelijen Negara (BIN) yang dipimpin

Bapak Sutiyoso, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru

dilantik Presiden RI Ir. H. Joko Widodo di Istana Negara yaitu Bapak Tito Carnavian beserta

Page 46: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

28

jajarannya, Tim Anti Teror Densus 88, Polri, dan pemerintah yang diwakili Kementerian

Agama untuk membuat tahapan-tahapan jitu dalam memberangus terorisme di Indonesia.

E. Metodologi Penelitian

1) Objek dan Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan langkah kerja yang dimulai

dari teknik pengumpulan data, dengan memperoleh data primer (al-mashdar al-awwal) dan

data sekunder (al-mashdar al-tsâni), menuliskan, lalu mengklasifikasikan bahan pustaka

(literature) dengan studi kepustakaan (library research), kemudian menelusuri berbagai

sumber terpercaya-relevan, aktual lagi faktual, buku-buku terkini, jurnal kajian Islam (Islamic

studies) terakreditasi nasional dan terindeks Internasional (DOAJ/SCOPUS), majalah, koran

ter-update, menelusuri data via situs/laman website online,54

artikel termutakhir teks-teks

Terjemahan Al-Qur‘an yang mengungkap ayat-ayat jihâd, dan teori Semantik/kebahasaan

modern, kesemua data itu dianalisis sekaligus dipaparkan/ditampilkan, salah satunya

membedah bangunan dasar terorisme tersebut, sehingga dengan mengetengahkannya

diharapkan memberikan cakrawala dan informasi yang lebih akurat dan valid tentang

kajian/objek yang sedang dibahas.

Secara sederhana, kajian ini juga berusaha menjembatani antara normativitas teks

ilahi dengan historisitas realitas empiris gerakan fundamentalisme agama MMI dengan cara

‖memadukan‖ pendekatan tekstual (normative) dan pendekatan kontekstual (historis-empiris)

54

Perkembangan internet yang sudah semakin maju pesat serta telah mampu menjawab berbagai

kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para akademisi mau ataupun tidak menjadikan media online

seperti internet sebagai salah satu medium atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penulusuran informasi, mulai

dari informasi teoritis maupun data-data primer atau sekunder yang diinginkan peneliti untuk kebutuhan

penelitian. Sehubungan dengan itu, maka mau ataupun tidak, kita harus menciptakan metode untuk

memanfaatkan data online yang begitu banyak tersebar di internet dan begitu banyak yang dapat dimanfaatkan.

Pada mulanya banyak akademisi meragukan validitas data online sehubungan apabila data atau informasi itu

digunakan dalam karya-karya ilmiah, seperti penelitian, karya tulis, skripsi, tesis, maupun disertasi. Namun,

ketika media internet berkembang begitu pesat dan sangat akurat, maka keraguan menjadi sirna, kecuali bagi

kalangan akademisi konvensional-ortodoks yang kurang memahami perkembangan teknologi informasi sajalah

yang masih mempersoalkan akurasi media online sebagai sumber data. Norman K. Denzin and Yvonna S.

Lincoln (Editors), The Sage Handbook of Qualitative Research (California USA: Sage Publication, 2005), h. 85.

Page 47: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

29

yang ditawarkan oleh ulama tafsir Al-Qur‘an dan teori Semantik mentalistik/kognitivistik

(nazhariyyah ‟aqliyyah) yang digagas Noam Chomsky secara simultan, ilmiah, objektif, dan

komprehensif. Demikian pula dokumen-dokumen yang ada yang berkaitan dengan dinamika

Terjemah Al-Qur‘an sebagai representasi bahasan akan diungkap secara kritis. Penelitian ini

bersifat kualitatif dengan memadukan beberapa analisis secara sistematis, menampilkan data

dan informasi hasil-hasil riset representatif dan akurat sesuai dengan fakta-fakta, sifat-sifat

dan jenis data/objek studi yang akan diteliti.55

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif–analisis. Dalam konteks

ini, berarti penulis menyajikan data-data yang telah diperoleh tentang terorisme dan teks-teks

keagamaan, bagaimana pengaruh pemahaman seseorang dalam menginterpretasi ayat-ayat

bernada jihâd atau perang (qitâl), serta persoalan munculnya gerakan keagamaan

fundamentalisme Islam politis di Indonesia pasca Orde Baru. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan untuk

menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu variabel hubungan terorisme dan

penerjemahan Al-Qur‘an, serta pengaruh teks-teks keagamaan terhadap munculnya

radikalisme/terorisme agama. Apakah benar faktor pembacaan seseorang terhadap teks-teks

keagamaan yang keliru dapat memicu aksi terorisme? Adakah faktor keterpengaruhan lain

sampai munculnya terorisme? Penggunaan pendekatan kualitatif menurut Lexy J. Moleong

dipergunakan pada tiga pertimbangan pokok; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih

mudah apabila berhadapan dengan gejala yang kompleks. Kedua, metode ini menyajikan

secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih

peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan

terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.56

Selain itu pertimbangan lainnya ialah bahwa

55

Sumaidi Suyasubrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h. 19 – 20. 56

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 4-8.

Page 48: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

30

pendekatan kualitatif dapat menampilkan data-data dan informasi pada tingkat abstraksi yang

lebih tinggi.

2) Sumber / Teknik Pengumpulan Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam riset ini adalah buku-buku atau

sesuatu yang dapat dijadikan rujukan untuk memenuhi keperluan penelitian yang terdiri dari

sumber primer (primary resources) dan sumber sekunder (secondary resources) serta

wawancara (interview)57

dengan sumber informasi kunci (key informants) yakni pihak

Kemenag RI yang diwakili Muchlis M. Hanafi dan Irfan S. Awwas dari MMI.

A. Sumber-sumber primer, meliputi:

(1) Buku-buku yang khusus mengulas soal penerjemahan Al-Qur‘an dan

penafsirannya, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama Edisi Tahun 2002; Al-

Qur‟an dan Tafsirnya Kementerian Agama Tahun 2012; serta Al-Qur‟an Tarjamah

Tafsiriyah MMI terbitan keempat Tahun 2013. Oleh karena terjemahan tidak dapat

dipisahkan dari gramatika bahasa sumber (Bsu), sejumlah kitab tafsir yang dalam

menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‘an secara langsung terkait dengan masalah gramatikal dirujuk

pula, misalnya Tafsīr al-Jalâlain58

karya Imâm Jalâluddīn al-Suyûthī dan Imâm Jalâluddīn al-

Mahallī (W. 864/1459); Marâh Labīd al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl buah karya

57

Wawancara melalui teknologi via type recorder/rekaman di handphone, melalui surat elektronik

misalnya email, fax, atau situs jejaring media sosial seperti BBM, Whatsapp, atau situs web saat ini menjadi

andalan sebagai satu sarana pengumpulan informasi, dengan begitu hal tersebut boleh saja dilakukan dalam

riset. Perangkat lunak yang memungkinkan peneliti untuk menyimpan data wawancara dengan

responden/informan pun kini tersedia dalam chatting. Fontana dan Frey, Wawancara: Dari sikap netral hingga

keterlibatan Politis dalam The Sage Handbook of Qualitative Research by Norman K. Denzin and Yvonna S.

Lincoln (Editors) (California USA: Sage Publication, 2005), h. 87. 58

Menurut Azyumardi Azra, kitab Tafsīr Jalâlain ini ditulis oleh dua orang Jalâl, dua tokoh utama

yang kepadanya sebagian besar ulama terkemuka kita dalam jaringan ulama melacak silsilah intelektual dan

spiritual mereka. Lebih jauh lagi, menurut Johns, seperti ditilik Azra, Tafsīr Jalâlain merupakan Tafsīr Al-

Qur‟an yang sangat bagus, jelas, dan ringkas. Pengarangnya memberikan asbâb al-nuzûl (latar belakang

pewahyuan) ayat-ayat yang sangat membantu pemahaman lebih sempurna atas penafsiran yang dikemukakan.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar

Pembaruan Islam Indonesia, Edisi Perenial (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h, 258-259.

Page 49: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

31

Syaikh Nawawi al-Bantanī (lebih dikenal dengan laqob Sayyid Ulama Hijâz).59

Selain itu

juga dirujuk kitab-kitab mu‟tabar dan mu‟tamad seperti Tafsīr al-Thabarī, Tafsīr al-Qurtubī,

dan Tafsīr Ibnu Katsīr.

(2) Kamus-kamus Arab-Indonesia-Inggris, atau Kamus Arab (klasik, modern dan

kontemporer) dan Indonesia saja, Kamus Linguistik serta Kamus Istilah Keagamaan

(kontemporer), untuk membedah makna jihâd, perang, kekerasan, dan sekaligus

membedakannya dengan terorisme, seperti Kitab al-Ta‟rīfât Ali al-Jurjâni; al-Mu‟jam al-

Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarīf Syaikh Muhammad

Fu‘âd Abd al-Bâqī; Kamus al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia Munir Ba‘albaki dan Rohi

Ba‘albaki yang diterjemahkan Achmad Sunarto; Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia oleh

KH. Ahmad Warson Munawwir; Kamus Kontemporer (Kamus al-‟Ashri) Arab-Indonesia

yang ditulis Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor; Kamus Syawarifiyyah Kamus Modern

Sinonim Arab-Indonesia oleh Kamaluddin Nurdin Marjuni; Kamus Kontemporer Arab-

Indonesia Istilah Politik dan Ekonomi (al-Mu‟jam al-‟Arabiy al-Indûnisi al-Mu‟âshir fī al-

Mushtalahât al-Siyâsiyyah wa al-Iqtishâdiyyah) Muhammad Nafis Juwaini; Kamus

Linguistik Harimurti Kridalaksana; Kamus Indonesia Arab (Istilah Umum dan Kata-Kata

Populer) oleh M. Abdul Ghaffar E.M; dan Kamus Istilah Keagamaan (kontemporer) Islam,

Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu yang disusun Tim Ahli Pusat Penelitian

Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, cetakan

kedua, tahun 2015.

59

Abdurrahman Mas‘ud mengungkapkan bahwa Syaikh Nawawi al-Bantanī menjadi ulama Jawa

kenamaan lagi „alim yang pada abad XIX mendapat julukan (laqob) Sayyid Ulama al-Hijâz, menjadi seorang

guru yang sangat termasyhur baik di Mekkah maupun di Madinah. Salah satu karyanya, Safīnah al-Najât

diselesaikan dalam rentang waktu dua bulan selama studinya di bawah bimbingan seorang „alim di kota

Mekkah, yaitu Syaikh Dahlan. Syaikh Nawawi al-Bantanī menghabiskan waktu 30 tahun untuk kegiatan belajar

dan menulis, serta memberi ‗mata kuliah‘ antara tahun 1860 sampai 1870. Karyanya yang lain, Marâh Labīd

Tafsīr al-Nawawī, sebuah kita tafsir yang cukup besar terdiri dari dua jilid, ditulis dalam bahasa Arab telah

digunakan secara luas di berbagai Negara muslim. Syaikh Nawawi adalah model bagi orang Jawa yang ada di

Arab maupun di Jawa serta tidak terbantah lagi pengaruh dan kontibusi besarnya bagi perkembangan tipikal

ulama Sunni Jawa, misalnya mengorbitkan Hadratus Syaikh M. Hasyim Asy‘ari (1871-1947) yang telah

menjadi Pendiri Organisasi NU pada tahun 1926. Abdurrahman Mas‘ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak

Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 22-23.

Page 50: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

32

B) Sumber-sumber sekunder (secondary resources) yaitu data-data

pendukung terhadap objek penelitian yang sedang dilakukan, di antaranya mencakup:

(1) Buku-buku yang mengulas Tafsir Kontekstual Abad ke-21, asbâb al-nuzûl,

misalnya Al-Qur‟an Abad 21 (Tafsir Kontekstual) oleh Abdullah Saeed; Asbâb al-Nuzûl oleh

al-Wâhidī al-Naisabûrī. (2) Buku-buku yang mengupas fundamentalisme Islam, radikalisme

dan terorisme, dan deradikalisasi pemahaman Al-Qur‘an dan hadis. Oleh karena itu, langkah-

langkah yang penulis ambil untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut: Pertama,

memanfaatkan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag yang sudah diterbitkan. Kedua, menelusuri

koleksi data/objek penelitian seputar problem penerjemahan Al-Qur‘an dan polemik

terorisme dalam teks-teks keagamaan dengan menyusuri lemari buku di sejumlah

perpustakaan, terutama Perpustakaan Nasional RI Salemba Raya, lalu Perpustakaan Badan

Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pusat, Perpustakaan Lajnah Pentashihan Mushaf

Al-Qur‘an (LPMA) dan Museum Istiqlal (TMII), Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta kampus 1, Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta kampus 2, Perpustakaan Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan

Yayasan Umum Islam Iman Jama Lebak Bulus Jakarta Selatan, dan Library of Anas Corner

Jakarta Barat.

Terdapat dua pertimbangan dalam hal memilih metode/teknik pengumpulan data

dan informasi, yaitu hubungan antara pertanyaan penelitian (research question), dan

penggunaan sumber-sumber informasi dengan metode yang beragam. Untuk itu, agar

memperoleh informasi yang memadai dari segenap pertanyaan penelitian ini, maka

dimungkinkan mengombinasikan dua teknik, yaitu: studi dokumentasi dan studi literatur

yang relevan. Studi/metode dokumentasi yakni dengan merujuk sumber-sumber dimaksud

antara lain buku-buku yang mengungkap teori kebahasaan modern, kajian radikalisme dan

terorisme dalam teks keagamaan, kitab-kitab tafsir terkemuka, dan juga jurnal kajian ilmiah.

Page 51: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

33

Seperti diketahui bahwa metode dokumentasi berarti mengumpulkan data-data yang bersifat

benda mati sebagai dokumentasi yang berupa catatan, transkrip, surat kabar, agenda, rapat

dan sebagainya guna menunjang serta memperkuat pengumpulan data yang ada sebagaimana

teori yang dicetuskan Suharsimi Arikunto.60

Kemudian studi literatur yakni tahapan-tahapan riset dengan cara mempelajari

tulisan-tulisan, riset-riset termutakhir berkenaan dengan tafsir Al-Qur‘an, terjemah Al-

Qur‘an, faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi teroris, pemanfaatan Al-Qur‘an dan

hadis digital (software/aplikasi). Pengumpulan data diperkaya juga melalui selective coding,

yaitu memilih secara selektif kasus-kasus yang sesuai dengan topik pembahasan terhadap

semua data. Secara garis besar, penulis menganalisis studi kasus61

kajian Terjemah Al-Qur‘an

Kemenag dan Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah MMI terutama ayat-ayat bernada jihâd yang

telah ditetapkan dengan berangkat pada pisau analisis kebahasaan/linguistik dan teori

penerjemahan. Untuk memperkaya kajian, bisa saja dikomparasi objek ayat terjemah yang

sudah difokuskan dengan menganalisis terjemah Al-Qur‘an sejenis dalam Al-Qur‟an dan

Maknanya buah pemikiran Quraish Shihab dan Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus.

3) Teknik Penulisan/Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif–analitis (descriptive analysis)

dengan pendekatan normatif–realitas berbasiskan studi ilmu-ilmu humaniora. Analisa itu

dimaksudkan untuk menghasilkan proposisi-proposisi teoritis tentang terorisme dan teks-teks

keagamaan. Karena itu proses analisis yang ditempuh merupakan langkah-langkah tertentu

60

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.

206. 61

Studi kasus adalah salah satu strategi dan metode analisis data kualitatif yang menekankan pada

kasus-kasus khusus yang terjadi pada objek analisis. Studi kasus pun dapat dilakukan pada penelitian dengan

sumber data yang sangat kecil seperti satu orang, satu keluarga, satu RT, satu RW, satu desa/kelurahan, satu

kecamatan, satu kabupaten, satu provinsi, satu Negara, dan bahkan satu benua. Burhan Bungin, Penelitian

Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Prenada Media Group,

2007), h. 229.

Page 52: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

34

seperti metode deskriptif, metode interpretasi, dan juga komparatif. Data-data yang telah

dikumpulkan dari berbagai sumber (primer-sekunder) dirangkaikan ke dalam hubungan-

hubungan data dan fakta, sehingga membentuk pengertian-pengertian yang kemudian

dituangkan ke dalam bentuk penulisan deskriptif-analitis, yakni penelitian yang berusaha

menuturkan pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan

subjek serta objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya saja.62

Pada

penelitian deskriptif yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan ayat-ayat

terjemahan yang mengandung unsur terorisme (ayat jihâd) untuk kemudian

membandingkannya; antara terjemahan Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI

dan Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah milik MMI. Setelah itu penulis mendeskripsikan masalah

tersebut dengan data yang ada dalam teori semantik leksikal, gramatikal, dan kontekstual

sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai.

Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara memeriksa seluruh

data yang terkumpul untuk dipilih berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam perumusan

masalah. Analisis data merupakan kegiatan yang berkaitan dengan data yang meliputi

pengorganisasian, pengklasifikasian, mensintesakannya, mencari pola-pola hubungan,

menemukan apa yang dianggap penting dan apa yang telah dipelajari serta pengambilan

keputusan yang akan disampaikan kepada orang lain.63 Dikarenakan kualitatif, maka analisis

datanya bersifat iteratif atau berkelanjutan yang kemudian dikembangkan sepanjang program.

Dengan kata lain, analisis data tidak dilakukan setelah pengumpulan data selesai saja, akan

tetapi dilaksanakan/ditampilkan mulai penetapan masalah, pengumpulan data, dan setelah

62

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003),

h. 63. 63

Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 30.

Page 53: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

35

data dikumpulkan. Dengan begitu, peneliti dapat mengatahui kekurangan data yang harus

dikumpulkan dan juga mengetahui metode mana yang harus dipakai pada tahap berikutnya.

Kegiatan analisis data dalam riset ini menggunakan tiga tahapan; yaitu reduksi

data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data merupakan usaha

menyederhanakan temuan data dengan cara mengambil intisari data sehingga ditemukan tema

pokoknya, yaitu fokus masalahnya, dan juga pola-polanya. Hal ini senada dengan yang

dikemukakan Miles dan Huberman dalam Rohmawati (2008) dan dipotret pula M. Abzar

Duraesa (636: 2014), bahwa reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstarakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan

lapangan. Dalam proses reduksi data, penulis menganalisis bahan-bahan yang telah

terkumpul, menyusunnya secara sistematis dan menonjolkan pokok-pokok permasalahannya.

Untuk jelasnya, analisis data model Miles dan Huberman dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 1.

Teori Miles dan Huberman untuk analisis data, M. Abzar Duraesa (636: 2014):

Reduksi data adalah proses penyederhanaan data, memilih hal-hal pokok yang

sesuai dengan fokus penelitian. Jadi, dengan cara ini data penelitian yang sangat banyak,

Pengumpulan

Reduksi

Penyajian Data

Kesimpulan-

Kesimpulan

penarikan/verifikasi

Page 54: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

36

dipilih sesuai dengan kriteria penelitian ini yaitu penanggulangan teroris dan konsep tentang

teologi teroris yang dibangun sehingga dapat dianalisis dengan mudah. Reduksi data ini

bukan merupakan suatu kegiatan yang terpisah dan berdiri sendiri dari proses analisis data,

akan tetapi merupakan bagian dari proses analisis itu sendiri. Display data adalah suatu

proses pengorganisasian data sehingga mudah dianalisis dan disimpulkan. Proses ini

dilakukan dengan cara membuat gambar, tabel, matrik, atau grafik. Dengan demikian, penulis

dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan data yang begitu banyak.

Sedangkan dalam mengambil kesimpulan data dan verifikasi, merupakan langkah ketiga

dalam proses analisis. Langkah ini dimulai dengan mencari pola, tema, hubungan, hal-hal

yang sering timbul, dan sebagainya yang mengarah pada penanggulangan teroris dan konsep

tentang teologi teroris, dan kemudian diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai hasil dari

temuan di lapangan.64

Data dipolakan, difokuskan, dan disusun secara sistematis tersebut diambil

kesimpulan sehingga makna baru data bisa ditemukan. Namun, kesimpulan itu bersifat

sementara saja dan masih bersifat umum. Agar kesimpulan diperoleh secara final, maka data

lainnya perlu dicari. Data baru tersebut bertugas melakukan pengujian terhadap berbagai

kesimpulan tentatif tadi.65

Strategi analisis data dilakukan dengan dua cara pula; yaitu

pemetaan dan kategorisasi data. Data atau informasi yang dikumpulkan terlebih dahulu

dipetakan yang pada akhirnya menghasilkan pengelompokkan yang sesuai dengan

pembabakan data yang telah dirancang. Kemudian, data serta informasi dikategorisasikan,

mana ayat-ayat/teks-teks terjemah yang bercorak jihadisme/terorisme yang diperdebatkan

64

M. Abzar Duraesa, Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi terhadap Perkembangan Teologi

Terorisme di Kota Samarinda, paper Proceeding AICIS XIV, Buku 4 Subtema: Multicultural Education in

Indonesia: Challenges and Opportunities, Editor: Muhammad Zain, Mukhammad Ilyasin dan Mustakim,

Kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI dengan STAIN Samarinda, 2014, h.

636. 65

Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia

(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 24-25. Tesis pada SPs UIN Jakarta,

konsentrasi Syariah.

Page 55: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

37

untuk seterusnya dianalisis sesuai dengan kontekstualisasinya. Secara teknis, penulisan Tesis

ini mengacu pada ‖Buku Pedoman Penulisan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan

Disertasi) yang berlaku di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and Assurance (CeQDA) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.‖

F. Sistematika Penulisan

Agar pembaca mendapatkan gambaran yang utuh dan komprehensif tentang isi

penelitian ini, penulis beranggapan perlu menjabarkan sistematika penulisannya. Penelitian

ini terdiri dari lima bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab Pertama, untuk mengantar para pembaca dan pemerhati ilmu spesifik

penerjemahan Al-Qur‘an ini kepada gambaran umum (generale picture) tentang pokok

pembahasan dan penyajian hasil penelitian sementara (hipotesa). Pada bab ini dipaparkan

latar belakang masalah; identifikasi permasalahan, rumusan dan batasan masalah; riset

terdahulu yang relevan demi mencari titik persamaan dan perbedaan dalam riset ini.; tujuan

dan kegunaan penelitian; metodologi penelitian yang digunakan, sumber/teknik pengumpulan

data, dan sistematika pembahasan. Bab I ini merupakan kerangka penelitian yang menjadi

dasar-dasar bagi bab-bab selanjutnya.

Bab Kedua, merupakan kerangka teori yang merupakan alat pengupas terhadap

masalah yang akan ditelaah, sehingga riset memperoleh hasil yang maksimal. Pada bab ini,

Penulis memberikan sketsa umum tentang Kerangka Teoritik. Ada dua bahasan besar yang

terdiri dari sub-sub bahasan dan perdebatan terkini seputar fundamentalisme Islam,

klasifikasi fundamentalisme Islam, terorisme dan agama, dan teks keagamaan. Bagaimana

korelasi terorisme dan teks-teks keagamaan, adakah keterpengaruhannya. Selain, itu

Page 56: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

38

interpretasi makna jihâd perang pun ditampilkan secara gamblang, wacana pendirian Negara

Islam (Islamic state), terorisme di belahan dunia, menelisik definisi terorisme dan aksinya di

Indonesia, penyebab munculnya terorisme agama, dan ulasan singkat tentang terjemah

harfiyah dan tafsiriyah.

Bab Ketiga, pada bab ini dipaparkan sketsa Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah

MMI, dilanjutkan pada bahasan profil MMI dan agenda formalisasi syariat Islam, bagaimana

latar belakang lahirnya MMI sekaligus memotret MMI sebagai serakan fundamentalisme

Islam politis. Pada bab ini, bisa menjadi bahan untuk kepentingan analisis bab IV.

Bab Keempat, dalam bab ini penulis mengulas kritik MMI terhadap

penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag, lalu masuk kategorisasi dan identifikasi objek riset ini

yaitu ayat-ayat jihâd (makkiyyah dan madaniyyah), lalu menimbang parameter kritik MMI,

menguji terjemah tafsiriyah MMI sebagai deradikalisasi, dan studi kasus teks terjemahan

ayat-ayat Al-Qur‘an yang berbasis jihâd dan analisisnya. Pembahasan ayat-ayat yang

mengandung unsur terorisme dibedah secara apik dengan pisau analisis yang tajam.

Bab Kelima, adalah penutup. Yang sub kajiannya adalah tentang kesimpulan dan

rekomendasi yang ditawarkan. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik sebuah

kesimpulan sebagai sintesa dari seluruh hasil analisis yang telah dilakukan. Kemudian

diajukan saran-saran serta masukan konstruktif dan daftar pustaka yang representatif sebagai

bahan rujukan dalam akhir kepenulisan penelitian ini.

Page 57: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

39

BAB II

KERANGKA TEORITIK FUNDAMENTALISME, TERORISME,

DAN TEKS KEAGAMAAN

Pada bagian pertama, kita telah mendiskusikan latar belakang masalah, pokok permasalahan,

identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian

sebagai bangunan dasar untuk selanjutnya menggali lebih dalam bahasan demi bahasan pada

riset ini. Dalam bab kedua ini, lebih lanjut penulis akan mendedahkan perdebatan-perdebatan

mutakhir seputar fundamentalisme Islam, klasifikasi fundamentalisme Islam di Indonesia,

terorisme, dan agama. Perbincangan itu dibagi ke dalam lima tema besar: teks keagamaan,

pola keislaman, pengantar semantik, teori mentalistik generatif-transformatif Noam

Chomsky, kritik atas konsep strukturalisme Ferdinand de Saussure dan behaviorisme

Bloomfield, dan sekilas mengenai terjemah harfiyah dan tafsiriyah. Dengan demikian, akan

tergambar secara utuh bagaimana perdebatan-perdebatan ilmiah tersebut berlangsung.

A. Sekilas Mengenai Fundamentalisme Islam

Salah satu fenomena Islam di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru (1998) adalah

menguatnya fundamentalisme Islam (al-ushûliyyah al-islâmiyyah). Fenomena ini bisa dilihat

dari fenomena munculnya Laskar Jihâd (LJ), Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI). Ketiganya memiliki persamaan agenda yang mengklaim tengah

berjuang untuk menegakkan syariat Islam sebagai manhaj salaf (cara hidup Islam ortodoks di

masa Nabi SAW dan khulafâ al-râsyidīn). Ekspresi gerakan ketiga organisasi ini memang

berbeda. MMI, misalnya, ingin memperjuangkan agenda penerapan syariat tradisional Islam

yang harfiyah lewat cara damai dalam bingkai sistem politik demokrasi yang diusung Orde

Page 58: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

40

Reformasi.66

Sementara Laskar Jihâd (LJ) dan Front Pembela Islam (FPI) sering

menampilkan tindak kekerasan. FPI banyak melakukan razia terhadap tempat hiburan yang

diduga sebagai sarang maksiat yang dalam praktiknya tidak dibarengi perundingan yang

memadai. Sedangkan kelompok Laskar Jihâd adalah kelompok yang tampaknya paling

banyak mengkirim laskarnya ke Maluku, Ambon (sebanyak 1300 orang yang dikirim secara

bergilir dari anggotanya yang berjumlah sekitar 10.000 orang) untuk ikut membantu kaum

muslimin dalam konflik berdarah yang berbau agama.67

Bahkan lewat pimpinannya Ja‘far

Umar Thalib,68

Laskar Jihâd pernah melakukan eksekusi hukum rajam (istilah teknis dalam

bab hudûd/jinâyah, yaitu dilempar dengan batu hingga mati) di Maluku kepada Abdullah,

pengikutnya yang sudah berkeluarga dan berzina. Karena itu, ia pun sempat diancam oleh

pemerintah dengan pasal 359 KUHP tentang tindak penganiyaan sampai meninggal. Namun,

ketiga ormas radikal itu melihat penerapan syariat Islam secara menyeluruh sebagai solusi

krisis bagi Indonesia.

Secara harfiyah, fundamentalis berarti sekelompok orang yang taat dan setia pada

dasar-dasar ajaran agamanya, dengan kata lain mereka yang berpegang teguh kepada

fundamen-fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur‘an dan hadis Nabi

Muhammad SAW. Bisa pula diartikan: kembali kepada fundamen-fundamen keimanan;

penegakan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah

(syar‟iyyah al-hukm). Formulasi ini, seperti terlihat, menekankan dimensi politik gerakan

66

Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society,

Syariah dan HAM, Fudamentalisme, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 263. 67

Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI,

Anti-Korupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah (Jakarta: Pusat Studi Indonesia Arab (PSIA) UIN

Jakarta, 2013), h. 163. 68

Ja‘far Umar Thalib termasuk tokoh kontroversial, arsitek Laskah Jihâd (LJ). Secara singkat,

pendidikan formalnya dimulai dari Pesantren al-Irsyâd, lalu Pendidikan Guru Agama (PGA) yang kemudian

dilanjutkan ke Pesantren Persis (Persatuan Islam) di Bangil. Dari Bangil, tahun 1983, Ja‘far hijrah ke Jakarta

dan kuliah di LIPIA. Di sinilah, ia mulai berkenalan dengan ide-ide salafi-wahabi. Dari sini, ia mendapat

beasiswa dari Arab Saudi untuk melanjutkan studinya di Maududi Institute, Lahore, Pakistan. Selama di

Pakistan, ia pernah mengikuti latihan mujâhidīn bersama-sama dengan rekannya dari Afghanistan, Pakistan,

Mesir, Burma, Sudan, Thailand, dan Filipina. Din Wahid, Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Radikal

Indonesia, Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007, h, 349-350.

Page 59: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

41

Islam, ketimbang aspek keagamaannya.69

Istilah fundamentalis bukan berasal dari

terminologi Islam, akan tetapi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu fundament. Dalam

bahasa Arab, kaum fundamentalis disebut dengan ushûliyyûn (yang berpegang pada dasar-

dasar agama) yang hampir sama dengan istilah salafi (ortodoksi Islam), meski tidak sama

persis. Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiyah positif, yaitu konsisten dengan

ajaran dasar agama, kemudian dalam pergerakannya/perjalanannya mengalami konotasi

negatif.70

Sebagaimana dijelaskan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seperti yang

dikutip Sukron Kamil, fundamentalisme adalah paham atau gerakan keagamaan yang bersifat

kolot dan reaksioner, yang selalu merasa perlu kembali pada ajaran agama yang asli seperti

yang tersurat dalam kitab suci yang cenderung memperjuangkan keyakinannya secara

radikal.71

Kamus Webster dalam Sukron Kamil, menjelaskan kata fundamentalis dengan

menunjuk pada dua arti, yaitu: (1) ‗‘gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang

menekankan penafsiran pada Alkitab secara literal/harfiyah sebagai sesuatu yang mendasar

bagi hidup dan pengajaran Kristen.‖ (2) ―Suatu gerakan atau sikap yang menekankan

ketelitian dan ketaatan secara harfiyah terhadap sejumlah prinsip-prinsip dasar.72

Dalam

pengertian ini Sukron Kamil mengkategorisasikan fundamentalisme sebagai fenomena

agama-agama. Di sisi lain, ada pendapat yang mengemuka bahwa fundamentalisme adalah

fenomena yang tidak hanya soal fenomena keagamaan saja, melainkan sosial-politik, dan

juga budaya. Adalah Yusril Ihza Mahendra yang menuturkan hal itu. Akan tetapi, Yusril

69

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina University, 1996), h. 109. 70

Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 164. Lihat pula dalam Sukron Kamil, dkk,

Laporan Penelitian Kolektif Kompetitif, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab

dalam Teks-Teks Keagamaan Kontemporer (Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2013), h. 15 71

Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam

dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah

dan Neng Dara Affiah (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama, 2007), h. 63. 72

Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society,

Syariah dan HAM, Fudamentalisme, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 249-

250.

Page 60: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

42

mengulasnya dengan membandingkan antara disiplin kajian modernisme dan

fundamentalisme. Keduanya merupakan dua fenomena global yang dapat dijumpai dalam

berbagai masyarakat yang menganut ―agama-agama dunia‖, seperti Yahudi, Hindu, Kristen73

dan Islam. Dalam hubungannya dengan agama yang disebutkan terakhir ini, kedua fenomena

itu telah banyak diperbincangkan oleh media massa, masyarakat luas dan juga kalangan

intelektual. Keduanya digunakan untuk membedakan dua kecenderungan pemikiran yang ada

dalam masyarakat pemeluk agama dan diterapkan untuk mengamati pemikiran keagamaan

dalam masyarakat muslim.74

Sebelum beranjak pada ulasan serta diskusi fundamentalisme yang lebih jauh,

penulis ingin menghadirkan perdebatan-perdebatan menarik juga yang mana telah ditelaah

Yusril dalam karyanya. Ia mengatakan bahwa modernisme (dalam istilah Arab dikenal tajdīd,

ishlâh, atau salaf) dan fundamentalisme (dalam terminologi Arab dikenal dengan al-

ushûliyyah al-islâmiyah, al-ba‟ats al-islâmī/kebangkitan Islam, atau shahwah

islâmiyah/kebangunan Islam) bukanlah istilah yang berasal dari perbendaharaan kata dalam

bahasa masyarakat muslim. Kedua istilah itu dimunculkan oleh kalangan akademisi Barat

dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat mereka sendiri. Modernisme, pada

awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin

agama Kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan pemikiran modern. Adapun

fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada ―fundamen‖ agama

Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis.75

73

Bukti paling sahih kasuistik fundamentalisme Kristen seperti pada era Presiden George W. Bush

yang menjadi pendukung utama rezim neo-imperialis ini. Di dunia Islam, secara sporadis sejak beberapa tahun

terakhir, dalam catatan Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, gejala fundamentalisme ini sangat dirasakan. Yang paling

ekstrim di antara mereka mudah terjatuh ke dalam perangkap terorisme. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan

Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH. Abdurrrahman Wahid (Jakarta: The Wahid Institute dan Ma‘arif

Institute, 2009), h. 8. 74

Muhammad Chirzin, Jihâd dalam Al-Qur‟an: Pespektif Modernis dan Fundamentalis, Hermenia,

Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2003, h. 96. 75

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina

University, 1999), h. 3-5.

Page 61: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

43

Istilah modernisme dan fundamentalisme kemudian digunakan oleh sarjana-

sarjana Orientalis dan pakar ilmu sosial dan kemanusiaan Barat untuk membedakan dua

kecenderungan pemikiran yang hampir sama dengan apa yang dijumpai dalam agama Kristen

itu, di dalam masyarakat yang memeluk agama lain. Hal serupa juga mereka terapkan untuk

mengamati pemikiran keagamaan dalam masyarakat-masyarakat muslim. Sungguh pun

demikian, dalam perkembangan ilmu sosial dan kemanusiaan masa kini, baik ilmuan Barat

maupun Muslim telah menggunakan istilah yang tidak sama dalam mengkategorikan kedua

aliran/faham tersebut. Istilah ―modernisme‖ sering juga diganti dengan istilah-istilah lain,

seperti “reformism”, “reawakening”, “renaissance”, dan “renewal”. Sedangkan istilah

―fundamentalisme‖ sering diganti pula dengan istilah-istilah “revivalisme”, “militancy”,

“reasertion”, dan “resurgence”, “activism”, dan “reconstruction”.76

Definisi lain dapat dirujuk pada Masykuri Abdillah bahwa fundamentalisme

adalah sebuah gerakan keagamaan yang pada mulanya menjadi aktif di berbagai kalangan

Lembaga Protestan di Amerika Serikat setelah perang tahun 1914-1918. Gerakan mereka

didasarkan pada ketaatan yang keras kepada ajaran-ajaran tertentu yang dipegangi menjadi

dasar kepercayaan Kristen (misalnya, pemahaman ke dalam kitab suci yang literal). Gerakan

ini berhadapan dengan liberalisme dan modernisme. Sebaliknya, fundamentalisme Islam

berhadapan dengan liberalisme tetapi tidak pada modernisme sepanjang tidak bertentangan

dengan syariat. Istilah yang lebih akurat untuk mendeskripsikan pandangan yang maju,

interpretatif dan bahkan inovatif, membutuhkan rekonstruksi tatanan sosial. Jadi, dalam

pengertian Barat, ia betul-betul menyerupai gerakan pembebasan Katolik daripada

fundamentalisme Protestan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa apa yang disebut dengan

‗fundamentalis Muslim‘ menolak istilah dan konsep demokrasi. Para fundamentalis Islam

yang dirujuk di sini, adalah mereka yang membela doktrin Islam dan yang menegaskan

76 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina

University, 1999), h. 6.

Page 62: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

44

superioritas Tuhan, melakukan usaha-usaha untuk mengimplementasikannya secara total.

Untuk mendukung keyakinan ini, mereka pada akhirnya menolak tatanan yang dibuat oleh

manusia untuk digunakan sebagai dasar sistem sosial Islam.77

Kecenderungan utama fundamentalisme Islam menurut Farid Esack, sebagaimana

yang dinyatakan Muhammad Chirzin, adalah memiliki komitmen pada praktik keagamaan

ketat, komitmen untuk menaati teks apa adanya, komitmen untuk menegakkan negara Islam

(Islamic state) dengan kedaulatan di tangan Tuhan, berpandangan bahwa Islam mampu

menjawab semua persoalan umat manusia sepanjang masa, perlunya menerapkan syariat

yang dipraktikkan dalam era Nabi Muhammad SAW di Madinah, bermusuhan dengan semua

yang menolak pandangan mereka, dan menyangkal kebaikan apapun yang terdapat pada non-

Islam. Secara sosiologis, fundamentalisme terkait dengan fenomena sektarianisme. Orang-

orang yang ada di luar mereka dianggap bukan orang beriman sebenarnya. Fundamentalisme

historis berarti keagamaan konservatif yang berusaha kembali pada asal-usul suatu keimanan

dengan kerinduan pada zaman khulafâ al-râsyidīn. Dalam arti politik, fundamentalisme

menunjuk pada usaha untuk melakukan revolusi atas nama agama. Fundamentalisme berakar

pada gerakan-gerakan dalam sejarah Islam sebagai perlawanan terhadap kelas penguasa yang

dianggap menyimpang, seperti kehadiran golongan Khawârij yang menentang Khalīfah Ali

bin Abi Thâlib.78

Ada sejumlah teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia

Islam. Yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas

yang dinilai sangat menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu,

golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk ―menghibur diri‖ dalam sebuah

dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika sekadar ―menghibur‖, barangkali tidak akan

77 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia

terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 9.

78 Muhammad Chirzin, Jihâd dalam Al-Qur‟an: Pespektif Modernis dan Fundamentalis, Hermenia,

Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2003, h. 98-99.

Page 63: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

45

menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk

melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan muslim yang

tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari. Ini tidak berarti bahwa umat

Islam yang menentang cara-cara mereka itu telah lalu dalam modernitas. Golongan penentang

ini tidak kurang kritikalnya menghadapi arus modern ini, tetapi cara yang ditempuh dikawal

oleh kekuatan nalar dan pertimbangan yang jernih, sekalipun tidak berhasil.

Teori lain mengatakan bahwa membesarnya gelombang fundamentalisme di

berbagai negara muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang

menimpa saudara-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Iraq. Perasaan solider

ini sesungguhnya dimiliki oleh seluruh umat Islam sedunia. Tetapi yang membedakan adalah

sikap yang ditunjukkan oleh golongan mayoritas yang sejauh mungkin menghindari

kekerasan dan tetap mengibarkan panji-panji perdamaian, sekalipun peta penderitaan umat di

kawasan konflik itu sering tidak tertahankan lagi. Jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia

yang relatif aman, kemunculan kekuatan fundamentalisme, dari kutub yang lunak sampai ke

kutub yang paling ekstrim (terorisme), sesungguhnya berada di luar penalaran. Kita ambil

misalnya praktek bom bunuh diri sambil membunuh manusia lain (kasus bom Bali, JW

Marriot, dan lain-lain), sama sekali tidak bisa difahami. Indonesia bukan Palestina, bukan

Kashmir, bukan Afghanistan, dan bukan Iraq, tetapi praktik biadab itu dilakukan di sini?

Teori ketiga, khusus di Indonesia, maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih

disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya

keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi masih

menggurita adalah bukti nyata dari kegagalan itu. Semua orang mengakui kenyataan pahit ini.

Namun karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis

Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka menempuh jalan pintas bagi tegaknya

keadilan; melaksanakan syariat Islam melalui kekuasaan. Jika secara nasional belum

Page 64: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

46

mungkin, maka diupayakan melalui perda-perda (peraturan daerah). Dibayangkan dengan

pelaksanaan syariah ini, Tuhan akan meridai Indonesia. Anehnya, semua kelompok

fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis

untuk menyalurkan cita-cita politiknya.79

Berdasarkan definisi di atas dan literatur lain yang telah disebutkan, ada beberapa

ciri fundamentalisme termasuk di dalamnya fundamentalisme Islam. Yaitu: 1) Cenderung

menafsirkan teks-teks keagamaan80

secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual); 2) cenderung

memonopoli kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas

tafsir agama yang paling absah), sehingga menganggap sesat kelompok lain yang tidak

sealiran; 3) meniscayakan hubungan yang harmonis antara agama dan negara; 4) memiliki

pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti pluralisme maupun

sebagai tatanan sosial politik, di mana Barat dipandang sebagai monster imperialis yang

sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka; 5) mendeklarasikan perang

terhadap paham dan tindakan sekular, dan terakhir 6) cenderung radikal (menggunakan cara-

cara kekerasan, termasuk penafsiran agama yang cenderung keras, kasar juga batinnya)

dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan

modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.81

Tampaknya, karena kompleksitas ontologis yang dipengaruhi oleh realitas

fundamentalisme sebagai entitas intelektual dan gerakan yang berkembang dari masa ke

masa, sebagian kalangan ahli Islam, melihat bahwa radikalisme sebagai ciri fundamentalis

kontemporer tidak disepakati sebagai ciri fundamentalisme secara umum. Muhammad Sa‘id

79

Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, dalam Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di

Indonesia, Editor: KH. Abdurrrahman Wahid, Epilog: Ahmad Syafi‘i Ma‘arif dan KH. Ahmad Mustofa Bisri

(Jakarta: The Wahid Institute dan Ma‘arif Institute, 2009), h. 8-9. 80

Dalam penerjemahan teks keagamaan, pemahaman atas konsep-konsep teologi menentukan

bagaimana memahami teks asli dan bagaimana menetapkan terjemahannya/maksudnya/interpretasinya. Di

samping itu, kita juga harus memahami alat kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi tertulis ataupun

lisan. Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 34. 81

Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam

dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah

Dimensi Baru Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2007), h. 64 .

Page 65: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

47

al-Asymawī pun misalnya, beliau mengatakan bahwa ada perbedaan antara “activist political

fundamentalism” dan “rationalist spiritualist fundamentalist”. Istilah pertama merujuk pada

sekelompok muslim yang memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik. Sedangkan istilah

berikutnya merujuk pada sekolompok muslim yang menginginkan kembali pada ajaran Al-

Qur‘an dan hadis sebagaimana dipraktikkan generasi pertama (al-salaf al-shâlih). Dalam

sejarah Islam, kelompok pertama sebagaimana yang diperlihatkan gerakan Salafiyah Ibn

Taimiyah. Pembedaan lain disampaikan oleh Bruce Lawrence. Ia membagi kaum

fundamentalis, terutama fundamentalisme agama secara umum pada tiga bagian: yakni

fundamentalisme literalis, fundamentalisme teroris, dan fundamentalisme aktivis politik.82

B. Klasifikasi Fundamentalisme Islam

Pada perkembangan selanjutnya, gerakan fundamentalisme mengalami

pergeseran dan perubahan orientasi. Jika gerakan Wahabi tidak menjadikan aktifitas politik

sebagai basis perjuangannya, maka corak gerakan fundamentalisme pada era awal abad 20

lebih mencirikan gerakan politik sebagai basis purifikasi pemahaman Islam. Para pemikir

seperti Jamâluddin al-Afghânī,83

Ayatullah Khomaeni, al-Maududi, Hasan al-Banna, Sayyid

Qutub, merupakan inspirator bagi gerakan fundamentalisme Islam modern. Taqiyyuddīn al-

Nabhâni melihat fundamentalisme Islam sebagai reaksi yang timbul atas dilenyapkannya

institusi khilâfah Islam pada awal abad ke-20.

82

Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, h. 250. Selain itu lihat penulis yang sama dalam

Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 167, dan buku Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya

Merambah Dimensi Baru Islam, h. 64. 83

Menurut Jajang Jahroni, modernisme Islam tidak bisa dipisahkan dari tiga tokoh Timur Tengah:

Jamâluddin al-Afghânī, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Al-Afghânī adalah seorang tokoh

Pan-Islamisme yang memberi inspirasi terhadap gerakan perlawanan terhadap penjajahan Barat di banyak

negeri Islam. Adapun Abduh adalah seorang pemikir yang mencoba mempertemukan Islam dengan modernitas.

Dan yang terakhir, Rasyid Ridha, adalah seorang ulama yang mencari otentisitas agama lewat akidah salaf.

Ketiga tokoh ini, tidak diragukan lagi telah menyediakan cetak biru bagi perkembangan gerakan modernisme

Islam di dunia muslim termasuk di Indonesia. Jajang Jahroni, Modernisme dan Radikalisme Islam di Indonesia:

Menafsirkan Warisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian

Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004, h, 578.

Page 66: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

48

Fundamentalisme Islam tidak hadir pada ruang hampa. Gerakan ini lahir sebagai

respon atas realitas kehidupan yang lahir dari modernitas yang melanda seluruh penjuru

negeri. Brian Beary dan Aris Humaidi mengajukan dua faktor penyebab utama munculnya

fundamentalisme Islam. Faktor pertama adalah sebagai respon atas tindakan dunia Barat,

khususnya Amerika, terhadap dunia Islam. Perlakuan diskriminatif yang ditunjukkan oleh

Barat, terutama Amerika dan Israel, terhadap umat Islam mendapatkan respon dari umat

Islam dengan berdirinya gerakan-gerakan fundamentalisme. Mereka hadir sebagai upaya

perlawanan terhadap hegemoni Amerika dan Israel terhadap dunia Islam. Faktor kedua

adalah bahwa gerakan fundamentalisme Islam hadir sebagai reaksi atas modernitas.

Sebagaimana dipahami bahwa modernitas tidak hanya membawa dampak positif.

Modernitas juga telah menghadirkan dampak negatif berupa rusaknya tatanan kehidupan

bermasyarakat. Oleh karena itu, gerakan fundamentalisme Islam bereaksi atas ekses negatif

yang ditimbulkan. Reaksi yang dilatarbelakangi basis ideologi Islam tersebut pada akhirnya

menempuh penolakan modernitas secara menyeluruh. Reaksi atas modernitas juga lahir

karena ketidakmampuan dunia Islam dalam menghadapi modernitas dan perubahan.

Syamsul Bakri dalam Arif Gunawan Santoso (2014) menyatakan bahwa faktor

sosial politik, emosi keagamaan, kultural, ideologi keagamaan, kebijakan pemerintah, dan

faktor media massa Barat telah melahirkan fundamentalisme Islam. Syamsul Arifin melihat

bahwa fundamaentalisme Islam tidak bisa dilepaskan dari faktor pemahaman keagamaan. Ini

dikarenakan di dalam ajaran agama terdapat aspek ortodoksi dan sekaligus aspek

ortopraksis. Aspek ortodoksi memuat ajaran-ajaran yang menuntut penerimaan doktrin-

doktrin agama sebagai sebuah kepercayaan. Sementara itu ortopraksis merupakan aspek

yang menuntut pelaksanaan sebuah ajaran keagamaan sebagai bukti dari adanya

kepercayaan. Pandangan berbeda diungkapkan oleh Taqiyyuddīn al-Nabhânī. Dalam

pandanganya, gerakan fundamentalisme Islam modern merupakan respon langsung atas

Page 67: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

49

runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani. Runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani telah

mendorong lahirnya berbagai macam gerakan keagamaan di dunia Islam. Gerakan ini lahir

sebagai upaya untuk mengembalikan kejayaan Islam. Berdasarkan beberapa pandangan para

sarjana, akar fundamentalisme dapat ditelusuri berdasarkan kategori sebagaimana

diungkapkan oleh Bruce Lawrence dan ICG (International Crisis Group). Untuk gerakan

fundamentalisme literalis/dakwahis, akar gerakan ini dapat ditelusuri dari gerakan

Wahabisme. Gerakan yang kemudian dikenal dengan gerak salafi ini merupakan embrio awal

dari fundamentalisme Islam yang bergerak secara literalis/dakwahis.

Dilihat dari faktor penyebab munculnya, fundamentalisme Islam dapat dibagi

dalam dua faktor. Faktor pertama adalah faktor yang menjadi entry point. Faktor ini

merupakan penyebab awal munculnya gerakan fundamentalisme Islam. Faktor ini bukanlah

faktor inti, melainkan faktor perantara. Faktor perantara tersebut adalah faktor yang berasal

dari eksternal umat Islam, yaitu faktor sosial politik berupa respon atas tidakan Barat

terhadap dunia Islam, penolakan terhadap sekulerisme, modernitas, kegagalan ideologi Barat

dalam menghadirkan kesejahteraan dan keamanan, dan faktor westernisasi dunia Islam, serta

faktor eksternal lainnya. Faktor ini merupakan pemicu munculnya gerakan fundamentalisme

Islam. Sementara itu, faktor kedua adalah faktor inti, faktor yang menjadi penyebab genuine

fundamentalisme Islam. Faktor ini berasal dari internal pemahaman umat Islam terhadap

ajaran serta norma yang terkandung dalam agama Islam. Sikap pandang skriptualis, literal,

dan purifikasi agama serta keyakinan akan kebenaran ajaran agama menjadi faktor kuat yang

melahirkan sikap millitansi serta keras dalam beragama.84 Fenomena fundamentalisme Islam

kontemporer, sebagai diakui Naisbitt, Aburdene, dan Oliver Roy, terkait dengan realitas

sosial politik. Gerakan ini merupakan counter trend (reaksi balasan) terhadap globalisasi

84

Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan

Sosial (Jakarta: Penerbit A-Empat, 2015), h. 22-26. Tesis dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2014.

Page 68: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

50

yang berarti homogenisasi global Barat, khususnya Amerika Serikat, reaksi terhadap

imperialisme kultural yang telah mengorupsi peraturan konservatif Islam, dan juga reaksi

terhadap kegagalan nation state dalam membawa negara dan bangsa pada kehidupan sosial

ekonomi yang lebih baik. Dalam sejarah Timur Tengah (al-syarq al-awsath),

fundamentalisme Islam selain terkait dengan kegagalan modernisasi rezim yang berkuasa

seperti yang diperlihatkan Revolusi Iran di bawah Ayatullah Khomeini juga menurut Bassam

Tibi, terkait dengan kekalahan militer Arab di tangan Israel pada Perang Juni 1976. Sebagai

produk dialog antara teks dan konteks, fenomena fundamentalisme pun sebagaimana diakui

Karen Amstrong, bukan saja ada dalam Islam, tetapi juga ada dalam agama Buddha, Hindu,

Kong Hu Cu, dan Yahudi yang sama-sama menolak butir-butir nilai-nilai budaya liberal,

berperang atas nama agama, dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan

politik dan negara.

Pada agama yang terakhir disebut, misalnya, gejala fundamentalisme tersebut

antara lain bisa dilihat dari peristiwa 25 Februari 1994. Pada peristiwa tersebut, sekelompok

fundamentalis Yahudi melakukan penembakan secara brutal terhadap ratusan warga muslim

Palestina yang sedang melakukan salat subuh di Masjid Hebron yang menewaskan 63 orang.

Bahkan, kata fundamentalisme itu sendiri diperkenalkan oleh Protestanisme Amerika,

terutama Gereja Baptist, Desciple, Persbyterian, sebagai perlawanan terahadap kaum liberal

yang menurut mereka telah merusak keimanan Kristen.85

Sama dengan pemikir-pemikir

modernis, pemikir-pemikir fundamentalis yakin pada Islam sebagai agama yang menyeluruh,

mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam dipandang sebagai sebuah sistem, mencakup

seluruh wilayah kultural (cultural universal). Tapi pemikir-pemikir fundamentalis juga

menekankan perbedaan (distinctiveness) dan pertentangan antara Islam dan Barat, dan yakin

85

Sukron Kamil, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam

dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah

Dimensi Baru Islam, h. 64 – 67.

Page 69: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

51

pada kebenaran Islam yang menghadapi tantangan dari Barat. Dalam wilayah politik, kaum

fundamentalis cenderung menghindar dari setiap ide yang dipandang terbaratkan, dan karena

itu dianggap tidak Islami. Dengan pemahaman atas Islam secara literal dan tekstual, kaum

fundamentalis lebih berupaya mengembangkan konsep-konsep mereka sendiri dari perspektif

Islam sebagai alternatif atas konsep-konsep Barat.86

Dalam persepektif kesejarahan, fundamentalisme dapat dikonsepsikan sebagai

satu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjaga, membela dan melestarikan kemurnian

Islam dari pengaruh-pengaruh asing dengan cara kembali pada pondasi-pondasi skriptual

(secara sederhana berarti pemahaman berdasar bunyi teks apa adanya). Sumber-sumber

skriptual yang merupakan fundamen-fundamen Islam adalah Al-Qur’an dan hadis.

Fundamentalisme skriptual, sesungguhnya menjadi instrumen yang tangguh dalam

menyebarkan Islam di kalangan strata masyarakat bawah dari masyarakat kota sepanjang

sejarah penyebaran Islam, dan juga telah menjadi bagian yang integral dari proses-proses

Islamisasi yang intensif. Di belakang proyek Islamisasi konservatif yang dijalankan Negara

saat itu, terdapat banyak kelompok yang menaruh harapan dan kemudian mengafiliasikan

diri ke dalamnya, atau paling tidak merasa tengah menapaki arah yang sama. Hal semacam

ini, dipandang oleh banyak kalangan sebagai hal yang sangat menjijikkan. Umat Islam yang

selama ini dipaksa bermain di pinggiran dan tidak diberikan banyak kesempatan dalam

konstelasi politik nasional, menemukan jalan untuk menaiki panggung politik, sosial, dan

ekonomi nasional. Kelompok-kelompok yang menaruh harapan tersebut datang dari

berbagai segmen kekuatan masyarakat.87

Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam dakwahis secara umum

tersemat pada kelompok Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah

86

M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 140. 87

Wakhid Sugiyarto, Direktori Paham, Aliran dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, Editor: Wakhid

Sugiyarto dan Syaiful Arif (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Agama RI, 2012), h. 141-142.

Page 70: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

52

kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia

(MMI). Secara umum, HTI sebanding dengan MMI. MMI menekankan doktrin keharusan

mendirikan daulah Islâmiyah (negara Islam). Bagi MMI, meskipun daulah Islâmiyah

(negara Islam) dalam Al-Qur‘an tidak ada perintahnya yang jelas (qath‟î) untuk ditegakkan,

tetapi kedudukannya sebagai wasâ‟il (perantara atau institusi) bagi tegaknya kewajiban dari

Allah seperti qishâsh (hukuman yang sebanding) dan rajam, menjadikannya sebagai sesuatu

yang wajib ditegakkan pula. Hal ini karena hukum pidana Islam (jinâyah) semisal qishâsh

dan rajam sama wajibnya dengan salat untuk dilaksanakan (QS. 4: 45).88

Jika tidak, maka hal

itu merupakan pengingkaran (kekufuran) terhadap syarî‟ah (QS. al-Mâidah [5] : 44, 45, dan

47)89

dan merupakan dosa, karena telah menyalahi perintah Tuhan. Lebih dari itu,

pengingkaran terhadap pidana Islam juga mengakibatkan lahirnya kepemimpinan yang sesat

dan Tuhan pun kemudian memberi adzab (siksa) dengan krisis yang berkepanjangan hingga

dewasa ini. Pada saat Tuhan telah memberi adzab ini, sebagaimana dijelaskan QS. 23 : 64-

65,90

Tuhan tidak lagi memperkenankan doa hamba-Nya. Bagi MMI, Al-Qur‘an adalah kitab

suci yang sempurna, yang harus diimani secara keseluruhan. Tidak boleh diimani sebagian

88

Berikut ini ayatnya:

ه أ ع لله ٱ ا ثأ ع ئ ذ ىه ف و ١ لل ٱث ب ف و ٥٤ ا ظ١ش لل ٱث Terjemah: “Dan Allah lebih mengetahui tentang musuh-musuhmu. Cukuplah Allah menjadi pelindung

dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu).” (QS. al-Nisâ [4] : 45). 89

Berikut ini ayatnya:

ئب ض ٱ بأ ى ز س هذ ف١ ب خ س ه ه ٠ ح ٱ ث ب ىه ٱ ج١ ا أ ع ز٠ ه ا ز٠ شث ٱ بده ج بسه ح ل ٱ ١

ب ا زهح ع ٱ ث فظه ا لل ٱ ت وز به و ١ ا ع ذ ا ر خ ف ل ء شه ه خ ٱ بط ٱ ش ل ش ا ر ش ز شه ثأ ٠ب ر ١ل بث ل

٠ ح ب ىه ي ث ض لله ٱ أ ه ه ئه ف أ ى ٱ ه ز ج ٥٥ فشه و ١ ب ع ف١ ب ١ ٱ ظ ف ٱث ظ ف ٱ أ ٱث ع

١ ع

ه ٱ ل ٱث ل ٱ ل ٱث رهه ل ٱ ره ٱث غ ح ٱ غ شه بص جه لظ ذق ف ر ظ ۦث ه ح ف فبس ۥ ه و ىه٠ ح

ب ض ث لله ٱ ي أ ه ه ئه ف أ ٱ ه

ظ ه ل ف١ ٥٤ ب اث ع ء ش ث ٱ ثع١غ ش ل ٠ ذ ب بهظ ٠ ث ١ ٠ ذ ٱ ى ز خ س

ار ١ ء ٱ ه ل ج١ س هذ ف١ ه ل ذ هظ ب ب ٠ ث ١ ٠ ذ ٱ هذ خ ى س ز عظ خ زم١ ٥٤ ه ١ ح ىه ه أ

ٱ ل ب ج١ ي ث ض لله ٱ أ ف١ ب ىه٠ ح ي ث ض لله ٱ أ ه ه ئه ف أ ٱ ه

ف ٥٤ غمه90

Berikut ini ayatnya:

ز ا ح ز ئر ز بأ خ ه ف١ ٱث ش ز اة ا ع ئر ه ئ شه ئ ل ٤٥ ٠ ج ار ج ٱ شه ١ ب ئىه ل شه ظ ٤٤ ره

Terjemah: “Sehingga apabila Kami timpakan siksaan kepada orang-orang yang hidup bermewah-

mewah di antara mereka, seketika itu mereka berteriak-teriak meminta tolong. Janganlah kamu berteriak-teriak

meminta tolong pada hari ini! Sungguh, kamu tidak akan mendapat pertolongan dari Kami.“ (QS. al-

Mukminûn [23] : 64-65).

Page 71: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

53

dan diingkari sebagian lainnya sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi (QS. 2 : 85).91

Semuanya merupakan sesuatu yang tak ada tawar menawar untuk ditegakkan (iqâmah al-

dîn). Semua urusan kaum Muslimin hendaknya diserahkan kepada Allah, lewat ajarannya

dalam Al-Qur‘an (QS. al-Ahzâb [33] : 36).92

Itu berarti penegakan syariat Islam secara

komprehensif, termasuk hukum pidananya yang mesti diberlakukan sebagai hukum positif.

Alasannya, pertama, menurut MMI, Islam adalah agama yang mengatur dunia dan akhirat.

Kedua, secara historis daulah Islam, dari masa Nabi, khulafâ‟ al-râsyidīn hingga Usmani,

mengakui supremasi syarî‟ah secara komprehensif. Ketiga, fenomena globalisasi yang

memungkinkan kekuatan thâghût (setan) semakin berani menawarkan alternatif sekularnya.

Untuk merealisir hal itu, MMI bersedia mengikuti sistem politik yang ada, tidak menempuh

jalur kekerasan.93

Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia adalah NII (negara

Islam Indonesia). Menurut temuan riset Sukron Kamil, NII memiliki pandangan: pertama,

keharusan mengikrarkan iman, yaitu persaksian Allah sebagai Tuhan dan Muhammad

sebagai Rasulullah di hadapan aktivis organisasi ini, karena mereka mengklaim dirinya

91

Berikut ini ayatnya:

ثه زه ل أ ر م ء إه ه زه ىه فهغ رهخ أ ىه بف ش٠م شجه د٠ ر ظ ش ١ شه ٱث ع ل ذ ٱ ث ئ عه

٠ أ وه أهع ره رهف ش ذهه ه ش ح ١ ه ع ئخ ىه ه اجه أ ف زهإ ش ه ر ى ت ىز ٱ غ ثج ع ب غ ثج ع فهشه ا ف ض ءه ج

ه ٠ ف ه ر ع ىه ٱ ف خض ئل ١ ٱ ح ح ١ ب ذ ٠ ٱ خ م١ د ٠هش ذ ئ اة ٱ أ ش ز ب ع ثغ لله ٱ ب ف ر ع ع ه

٥٤ Terjemah: “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu) dan mengusir segolongan

dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan

permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang

mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang

lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain

kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat.

Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2] : 85).

92

Berikut ini ayatnya:

ب ب إ و ه ل إ خ ه ا ئر ه لله ٱ ل ؼ ه عه س ۥ أ شاأ ه ٠ ىه ه حه خ١ ش ٱ أ ش ض ٠ ع

ه لل ٱ عه س ف م ذ ۥ ػ ل ػ ج١ ٦٤ ب

93

Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam

Teks-Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013). Dalam Laporan Penelitian

Kompetitif Kolektif Direktorat PTAI Pendidikan Islam Kemenag Tahun 2013, h. 22-23.

Page 72: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

54

sebagai pelanjut kenabian, dengan merujuk QS. al-Qashash: 75. Kegiatan ini oleh para aktivis

NII disebut dengan istilah taslîm. Bagi aktivis NII, kaum Muslimin di luar NII, karena belum

mengucapkan syahâdat di hadapan mereka, dianggapnya sebagai kafir (non Islam). Dalam

praktik, prosesi taslîm adalah prosesi seseorang yang telah bersedia bergabung dengan

gerakan dan ini disebut dengan prosesi bai‟at (sumpah setia) kepada pemimpin organisasi.

Berbeda secara ekstrim dengan bai‟at kepada mereka sebagai sebuah keharusan agama, maka

bagi para aktivisnya, keharusan taat atau ber-bai‟at terhadap negara Indonesia tidak ada.

Argumennya adalah karena negara ini tidak dipimpin oleh orang-orang yang taat kepada

Allah dan Rasul-Nya, sebuah negara yang tidak berdasarkan syariat Islam.

Selain itu, sebagai kafir (non Islam), kaum Muslimin di luar angggota NII, halal

darah dan hartanya. Kedua, ideologi selain Islam merupakan bentuk berhala masa kini, yang

karenanya Burung Garuda dan Pancasila juga termasuk kategori berhala tersebut. Mereka

juga mengartikan kata Islam dalam ayat inna ad-dîn „inda Allâh al-Islâm adalah agama,

keyakinan, pandangan hidup, dan ideologi. Ketiga, doktrin yang berisi 3 prinsip nilai, yaitu

prinsip persamaan, di mana manusia hanya dibedakan karena ketakwaannnya saja; prinsip

persaudaraan; dan keharusan berdakwah pada masyarakat sekeliling. Praktik dari 3 prinsip

ini, di tingkat bawah sangat tampak, tetapi di tingkat elitenya semakin hilang. Dalam

menjalankan dokrinnya, NII adalah organisasi bawah tanah, atau tanzhīm sirri, sebagai

organisasi rahasia dan tertutup. Untuk kepentingan organisasi pun, seorang aktivis NII boleh

berbohong, selain boleh mengambil harta orang di luar anggota NII dan boleh membunuhnya

karena dianggap kafir.

Menurut Nasir Abbas, mantan aktivis Jamaah Islamiyyah, Jamaah Islamiyyah

adalah faksi NII yang didirikan 1994, yang di antara programnya adalah takwînul quwwah wa

istikhdâmuh (membentuk kekuatan seperti kelompok bersenjata dan menggunakannya saat

dibutuhkan). Kebalikan dari fundamentalisme/radikalisme Islam di atas adalah moderatisme

Page 73: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

55

Islam. Moderatisme Islam dalam riset ini adalah kelompok keislaman yang tidak memiliki

ciri-ciri/ukuran fundamentalisme/radikalisme Islam, kecuali ciri penggunaan teknologi yang

memang netral. Yang termasuk moderatisme dalam riset ini adalah NU (Nahdhatul Ulama)

sebagai faksi Islam tradisional dan Muhammadiyah sebagai faksi Islam modernis. Keduanya

merupakan model Islam mainstream di Indonesia.

Ada banyak faktor pendorong yang mengakibatkan lahir dan berkembangnya

fundamentalisme Islam (kebalikan moderatisme) dalam tiga bentuk itu. Antara lain adalah

doktrin fundamentalisme agama, terutama dari Sayyid Qutub, aktivis Ikhwan al-Muslimin

yang dieksekusi mati tahun 1966 oleh Pemerintah Jamal ‗Abd an-Nashir, karena

pandanganya dalam buku Ma‟alim fî at-Tharîq (Rambu-Rambu [Petunjuk] Menuju Jalan

Lurus). Gagasan utama buku ini adalah pencanangan kekuasaan mutlak Allah (al-

hâkimiyyah) lewat doktrin lâ hukma illâ li Allâh (tidak ada hukum kecuali hukum Allah)

sebagai ciri berlangsungnya pemerintahan-Nya. Menurut Qutub, saat ini, masyarakat Muslim

sedang berada dalam kondisi Jahiliyyah seperti sebelum Islam ada, bahkan lebih buruk lagi.

Termasuk kategori Jahiliyyah juga sebagian apa yang selama ini dianggap Islam, karena telah

bercampur dengan non Islam, terutama Yunani dan Kristiani. Tugas utama seorang Muslim

adalah mengubah realitas Jahiliyyah agar kembali pada Islam. Qutub pun memahami jihad

bukan dalam arti bertahan tetapi opensif, yaitu proklamasi atas pembebasan manusia dari

menghamba selain kepada Tuhan atau memerangi setiap kelompok yang menolak penerapan

kaidah Islam yang benar yang disepakati. Selain itu, Sayyid Qutub menafsirkan kata yahkum

dalam QS 5: 44,45, 46, bukan dengan arti ―memutuskan‖ tetapi ―memerintah‖ bukan dengan

hukum yang diwahyukan Allah sebagai tindakan kafir. Meskipun Qutub tidak secara eksplisit

menganjurkan serangan terhadap pemerintahan Nashir, tetapi argumen-argumennya

memberikan dasar bagi organisasi radikal Islam setelehanya pada periode Sadat untuk

Page 74: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

56

melakukannya. Pandangannya itu kemudian menjadi proyek tandingan melawan proyek

modernisasi yang dilakukan rezim Nashir dan setelahnya di Mesir.

Selain faktor doktrin, sebagaimana diakui Naisbitt, Aburdene, dan Oliver Roy,

fenomena radikalisme Islam kontemporer, terutama di dunia Islam, terkait dengan realitas

sosial politik. Gerakan ini merupakan counter trend (reaksi balasan) terhadap globalisasi

yang berarti homogenisasi global Barat, khususnya Amerika Serikat; reaksi terhadap

imperialisme kultural yang telah mengorupsi peraturan konservatif agama; dan juga reaksi

terhadap kegagalan nation state dalam membawa negara dan bangsa pada kehidupan sosial

ekonomi yang lebih baik. Menurut Bernard Lewis, selain kegagalan modernisasi ekonomi

yang diperparah oleh tingginya angka kelahiran, yang juga mempengaruhi munculnya

radikalisme Islam adalah gagalnya modernisasi dalam bidang politik, terutama untuk kasus

Timur tengah. Masih kuatnya tirani di Timur tengah mempengaruhi suburnya radikalisme

Islam. Dalam sejarah Timur Tengah, radikalisme Islam, selain terkait dengan kegagalan

modernisasi rezim yang berkuasa—seperti yang diperlihatkan Revolusi Iran di bawah

Ayatullah Khomeini dalam menggulingkan Syah Reza—juga menurut Basam Tibi, terkait

dengan kekalahan militer Arab di tangan Israel pada Perang Juni 1976. Namun demikian,

Oliver Roy menolak relasi antara kemiskinan dan radikalisme Islam. Menurut Roy,

penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kemiskinan dengan radikalisasi.

Ia lebih percaya bahwa radikalisme Islam muncul karena sebagai reaksi terhadap imperialis,

gerakan ketiga di dunia terhadap Barat dan khususnya Amerika Serikat.94

94

Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam

Teks-Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013). Dalam Laporan Penelitian

Kompetitif Kolektif Direktorat PTAI Pendidikan Islam Kemenag Tahun 2013, h. 23-25.

Page 75: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

57

B. Terorisme dan Agama95

Beberapa sarjana melihat aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama

(fundamentalisme Islam) berakar pada gerakan Khawârij yang lahir pada masa pemerintahan

Khalīfah Ali bin Abi Thalib. Kekacauan politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib

merupakan faktor penyebab munculnya fundamentalisme. Diangkatnya Ali bin Abi Thalib

sebagai khalīfah menggantikan Utsman bin Affan yang terbunuh telah meningkatkan

ketegangan antara Ali dengan Muawiyah bin Abi Sofyan. Ketegangan ini dipicu oleh sikap

politik khalīfah Ali yang cenderung membiarkan pembunuh Usman bin Affan membuat

pihak Muawiyah marah. Ketegangan kedua kelompok ini sampai menimbulkan peperangan

di antara mereka yang berimplikasi terbunuhnya beberapa pendukung keduanya, termasuk

golongan sahabat. Peristiwa ini akhirnya terselesaikan dengan kedamaian kedua kelompok

yang terkenal dengan peristiwa tahkīm (arbitrase/perundingan).

Di tengah kekacauan politik akibat peristiwa tahkīm tersebut, muncul sebuah

gerakan yang kemudian dikenal dengan sebutan Khawârij.96 Kelompok ini pada mulanya

merupakan pendukung Ali bin Abi Thalib yang membelot. Penyebab membelotnya

kelompok ini adalah karena ketidakpuasan atas keputusan Ali yang menerima hasil tahkīm

tersebut. Kelompok ini berpandangan bahwa baik Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib telah

95

Menurut M. Quraish Shihab, kata Agama terdiri dari kata ―A‖ yang berarti tidak dan ―Gama” yang

berarti kacau, sehingga agama bermakna ―tidak kacau‖ atau bisa diistilahkan sebagai tuntunan yang melahirkan

keteraturan/ketiadaan kekacauan. Pakar lain berpendapat, kata ―agama‖ terambil dari bahasa Indo-Germania

yang berarti ―jalan‖ sehingga ―agama‖ adalah jalan menuju kebahagiaan/nirwana. Dalam bahasa Al-Qur‘an,

kata ―agama‖ ditunjuk dengan kata دين (dīn). Huruf د )dal), ي (ya), dan ن (nun), mengandung arti hubungan

antara dua pihak, yang salah satu keduanya mempunyai kedudukan lebih tinggi. M. Quraish Shihab, dalam kata

pengantar buku Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 6. 96

Khawârij adalah suatu aliran sempalan yang muncul karena kecewa terhadap arbitrase (tahkīm) yang

dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan pada perang Siffīn (37 H/658 M). Khawârij

memandang bahwa Ali, Mu‘awiyah, ‗Amr bin ‗Ash dan Abu Musa al-‗Asy‘ari dan lain-lain yang menerima

arbitrase adalah kafir berdasarkan tafsir literal mereka atas QS. al-Mâidah/5: 44. Karena Ali dan lainnya

dianggap telah keluar dari Islam, maka mereka dianggap telah murtad (apostase) yang mesti dibunuh. Dalam

perkembangannya, yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al-

Qur‘an, tetapi orang yang berbuat dosa besar atau murtakib al-kabâir, juga dipandang kafir. Muchlis M. Hanafi,

Tafsir terhadap Dasar-Dasar Ideologi Takfir Kelompok Islam Radikal, dalam Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an,

Volume 7, No. 2, November 2014, h. 158.

Page 76: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

58

kafir dan meninggalkan hukum Islam. Ciri utama dari kelompok ini adalah paham takfīrī.

Yaitu paham yang senang mengkafirkan setiap kelompok atau individu yang tidak sesuai

dengan pemahaman kelompoknya. Dengan jargon ‚la hukma Illa Allâh‛ (tiada hukum selain

hukum Allah) kelompok ini telah menorehkan sejarah sebagai kelompok fundamentalisme

pertama dalam sejarah Islam. Gerakan fundamentalisme Islam selalu mengalami

perkembangan dan perubahan orientasi. Dengan semangat tajdīd

(pembaharuan/modernisme), gerakan ini selalu hadir pada setiap kurun sejarah peradaban

Islam. Dalam konteks gerakan fundamentalisme modern, beberapa sarjana berpendapat

bahwa akar fundamentalisme yang berkembang pada era modern berakar pada gerakan

keagamaan Wahabisme. Gerakan ini memfokuskan diri pada ajakan untuk meneladani para

salaf. Gerakan ini menjadikan pemahaman-pemahaman Muhammad ibn Abdul Wahab

(1703-1792), Ibnu Taimiyah, Ibnu Bâz, al-Albâni, Ibnu Utsaimin, dan Ibnu Fauzân sebagai

standar kebenaran dalam memahami Islam. Gerakan ini menekankan pada purifikasi

pengamalan peribadatan Islam dari pengaruh paham-paham yang tidak berlandaskan pada

ajaran Islam.97

Gerakan ini terbagi dua yakni gerakan Wahabi Haraki dan Wahabi Tarbawi.

Dalam rangka purifikasi ajaran Islam, Wahabi Haraki mengumandangkan jihâd dengan cara

yang destruktif dan ofensif, antara lain dengan terjadinya pertumpahan darah di Mekkah dan

di Madinah berbarengan dengan penghancuran monumen historis yang dianggap sebagai

penyimpangan ajaran agama yang murni. Sedangkan gerakan Wahabi Tarbawi

melaksanakan jihâd melalui prasarana pendidikan, ibadah, pengadaan buku dan brosur untuk

mensosialisasikan dan berdakwah tentang ide dan pemahaman mereka.98

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa berkaitan dengan

fundamentalisme Islam yang akrab dilabeli pada pembacaan literalis terhadap teks-teks

97

Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan

Sosial (Jakarta: A-Empat, 2015), h. 22-23. 98

Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan

Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 7.

Page 77: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

59

keagamaan, maka kemunculan gerakan radikal dan terorisme secara sporadis di berbagai

belahan dunia tidak muncul dari ruang kosong. Akar masalahnya harus diteliti secara cermat,

hati-hati, dan adil. Cermat dalam arti jangan sampai terjebak dalam mengurai asal-usul

gerakan terorisme dengan menyalahkan atau menuduh kelompok lain secara membabi buta.

Hati-hati, karena isu terorisme menjadi isu yang sangat sensitif, dan adil dalam arti harus bisa

mendudukkan persoalan terorisme ini secara proporsional, sehingga tidak merugikan orang

atau kelompok yang tidak bersalah. Kenyataan yang muncul di tengah masyarakat

internasional sekarang ini adalah sikap gegabah yang menuduh Islam sebagai biang keladi

munculnya gerakan terorisme. Hanya karena sekelompok kecil orang yang mengakui muslim

dan melakukan tindakan terorisme. Islam pun kemudian dianggap sebagai ancaman bagi

ketenteraman dan kedamaian umat manusia di seluruh dunia. Mereka yang tidak memliki

pemahaman yang benar tentang Islam, akan sangat mudah menerima pandangan-pandangan

atau stigma negatif yang disebarkan oleh pihak yang tidak menyukai Islam.99

Oleh karena itu, perlu diupayakan sebuah tindakan konkret berupa sosialisasi

tentang Islam yang ‗benar‘ ke seluruh masyarakat internasional. Mengenalkan wajah Islam

yang moderat (tawassuth), Islam yang ‗benar‘ sebagaimana yang Rasulullah SAW

contohkan, yang lemah lembut, ramah, walaupun misalkan harus keras namun membawa

rahmat ini memang harus dikenalkan ke publik, terutama masyarakat Barat. Hal demikian

pula menjadi isu sentral dalam Konferensi ke-4, International Conference of Islamic Scholars

(ICIS) di Malang, Jawa Timur. Dunia Islam dalam beberapa dekade terakhir hancur porak-

poranda karena diadu domba. Karenanya, ulama berkewajiban memberikan pemahaman

moderasi Islam, terutama kawasan Islam di Asia Tenggara bisa dijadikan model wajah Islam

99 Berita paling teranyar adalah ceramah pidato pencapresan Donald Trump yang mengatakan bahwa

jika saya terpilih nanti menjadi Presiden Amerika Serikat, ke depan umat Islam atau masyarakat muslim tidak

boleh masuk ke Amerika. Diunduh dari http://news.detik.com/bbc-world/3091179/larang-muslim-masuk-ke-

amerika-trump-dikecam-pro-yahudi, Rabu, 20 Januari 2016 pukul 12.56 WIB.

Page 78: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

60

yang moderat. Kita tahu bahwa Asia Tenggara merupakan wilayah dengan banyak penduduk

muslim. Sekitar sepertiga penduduk muslim dunia tinggal di Asia Tenggara. Terlebih bangsa

kita Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Corak keagamaan yang

dianut oleh mayoritas Muslim di kawasan ini sangat toleran, damai, dan berperadaban.

Bahkan, dunia Islam berharap besar kebangkitan Islam akan muncul dari kawasan ini, begitu

kata Direktur Foundation Cultural Azzagra, Spanyol, A Romero Roman.

Pandangan tersebut bukan tanpa alasan. Umat Islam di Asia Tenggara,

menurutnya, memiliki modal sejarah, potensi sosial, dan realitas aktual yang membuktikan

wajah Islam yang ramah tersebut. Ia melihat, geliat peradaban Islam (Islam hadhârī) terkini

yang menggembirakan, mulai dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, Asia Tenggara Masa

Depan. Konsep Islam berperadaban yakni Islam tidak hanya dipahami sebagai sebuah doktrin

teologi, tetapi sebagai jalan hidup yang integral. Pentingnya kasih sayang (rahmah) sebagai

fondasi penguatan Islam yang moderat. Kasih sayang itu harus menjadi asas dalam berbagai

lini kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam bidang pendidikan. Pendidikan

menurut Abdullah Ahmad Badawi, berkontribusi besar dalam membangun generasi dan SDM

yang unggul. Melalui pendidikan yang berbasis kasih sayang pula, moderasi Islam bisa

direalisasikan. Selain itu, Hassan Wirajuda Mantan Menteri Luar Negeri RI, mengatakan

bahwa peran pendidikan itu tak hanya dimiliki oleh institusi formal, tetapi juga ulama. Kaum

agamawan didorong memberikan pemahaman yang moderat (tawassuth), cinta perdamaian

(mahabbah), dan toleran (tasâmuh).100

Mengedepankan nilai-nilai Islam sebagai agama yang rahmatan lil „âlamin juga di

antara cara menanggulangi gerakan radikalisme agama ini. Radikalisme dalam bahasa Arab

dikenal dengan sebutan syiddah al-tanattu‟ yang memiliki semantikal keras, eksklusif,

berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam

100

Khazanah Harian Umum REPUBLIKA, Rabu 25 November 2015/13 Shafar 1437 H.

Page 79: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

61

yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam

memandang agama-agama lainnya. Kelompok radikal selalu ada pada setiap agama, termasuk

dalam agama Islam. Dalam sejarahnya, kelompok radikal muncul semenjak terbunuhnya

Khalifah Usman bin Affan, menyusul kemudian terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib yang

dilakukan oleh umat Islam sendiri. Saat itu, radikal diwakili oleh kelompok Khawârij

sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.101

1) Keterkaitan Radikalisme dengan Terorisme Agama

Dalam Islam memang tidak dikenal istilah radikal. Sebab yang radikal/keras bukan

Islam sebagai agama, melainkan pemeluknya. Pada masa lalu, istilah Islam garis keras ini

belum ada. Yang ada istilah Islam ekstrim. Kata ekstrim, berasal dari bahasa Inggris yakni

extreme yang berarti keras, berlebihan, berada di ujung atau di pinggir. Dengan arti yang

sama, dalam bahasa Arab disebut tatharruf (berawal dari kata tharaf, berarti pinggir atau

ujung), sedang pelakunya disebut mutatharrif. Dalam teks-teks agama (Al-Qur‘an dan hadis),

istilah tatharruf sering disebut dengan kata-kata ghuluw, tasydīd, dan tanattu‟ artinya sikap

berlebih-lebihan dalam beragama. Adakalanya istilah faham garis keras ini disebut pula

dengan fanatik. Ada pula yang menerjemahkannya dengan ekstrimitas keagamaan (al-

tatharruf al-dīnī). Tetapi istilah ini tampaknya perlu diluruskan, karena seperti disinggung di

atas, bahwa yang ekstrim itu bukan agamanya, melainkan pemeluknya dalam beragama.102

Perkataan radikal berasal dari bahasa Latin yaitu radix yang artinya akar. Dan

dalam bahasa Inggris, kata radikal dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik,

revolusioner, ultra dan fundamental. Radikal dalam The Fontana Dictionary of Modern

Thought seperti dikutip Imam Tolkhah, diartikan sebagai tindakan-tindakan dan pandangan-

101 Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan

Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 100. 102

Ali Mustafa Yaqub, Menanggulangi Faham Islam Radikal dalam buku Haji Pengabdi Setan

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 40-41.

Page 80: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

62

pandangan politis yang cenderung ekstrim. Sedangkan radicalism artinya doktrin atau

praktek penganut paham radikal atau paham ekstrim. Berkembangnya gerakan sosial yang

bersifat radikal tersebut, termasuk gerakan Islam radikal dan organisasi lain mencuat secara

dramatis sejak adanya krisis ekonomi, sosial budaya dan politik menjelang runtuhnya rezim

kuat Orde Baru, hingga lahirnya rezim-rezim yang relatif rentan pada awal era reformasi.

Rezim kuat ini ditandai dengan adanya hegemoni rezim penguasa terhadap berbagai sektor

kehidupan, terutama ideologi, politik, ekonomi, sosial dan keamanan, sehingga tidak ada

kekuatan oposisi yang muncul ke permukaan. Hegemoni ini berlangsung di bawah satu orang

Presiden selama kurang lebih 30 tahun. Sedangkan rezim lemah ditandai dengan sering

munculnya kerusuhan-kerusuhan sosial, tindakan-tindakan anarkis dari berbagai kelompok

masyarakat dan cepatnya pergantian pimpinan Negara, presiden, serta rendahnya

kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.103

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seperti dikutip Tim Direktorat

Jenderal Bimas Islam, radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan

sosial dan politik, dengan cara menggunakan tindakan kekerasan sebagai batu loncatan untuk

menjustifikasi keyakinan mereka yang dianggap benar. Dari sini, radikalisme bisa dipahami

sebagai paham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan revolusi besar-

besaran, sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan yang signifikan. Definisi yang terakhir

ini cenderung bermakna positif yang bisa melahirkan kemajuan besar bagi peradaban dunia.

Kecenderungan makna radikalisme yang melahirkan bias politik maupun ekonomi, pada

dasarnya tidak lepas dari pandangan para penganutnya, yang memiliki argumentasi berbeda

untuk memaknai gerakan radikalisme yang tumbuh pesat di kalangan umat Islam. Tidak

heran bila pandangan positif dan negatif terhadap munculnya gerakan radikalisme sangat

bergantung pada keyakinan dasar penganutnya.

103

Imam Tolkhah, Dimensi Baru Gerakan Islam Radikal Pasca Orde Baru dalam buku Gerakan

Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah dan Neng Dara

Affiah (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2005), h. 23-24.

Page 81: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

63

Pada dasarnya, perlu dibedakan antara radikal, radikalisme, dan radikalisasi.

Menurut KH Hasyim Muzadi, Mantan Ketua PBNU dan Anggota Wantimpres RI, pada

dasarnya seseorang yang berpikir radikal (berpikir mendalam, sampai ke akar-akarnya)

boleh-boleh saja, dan memang berpikir sudah seharusnya seperti itu. Katakanlah misalnya,

seseorang yang dalam hatinya berpandangan bahwa Indonesia mengalami banyak masalah

ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik, disebabkan Indonesia tidak menerapkan syariat

Islam, oleh karena itu, misalnya, dasar Negara Indonesia harus diganti dengan sistem

pemerintahan Islam (khilâfah islâmiyyah). Pendapat radikal seperti itu sah-sah saja. Sekeras

apapun pernyataan di atas jika hanya dalam wacana atau pemikiran, tidak akan menjadi

persoalan publik. Sebab, pada hakikatnya, apa yang muncul dalam benak atau pikiran tidak

dapat diadili (kriminalisasi pemikiran), karena tidak termasuk tindak pidana. Kejahatan

adalah suatu tindakan (omissi). Dalam pengertian ini, seseorang tidak dapat dihukum hanya

karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam betindak.

Adapun term ―radikalisme‖, masih menurut KH Hasyim Muzadi

mendefinisikannya, ―radikal dalam paham atau ismenya‖. Biasanya mereka akan menjadi

radikal secara permanen. Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secara demokratis, force

(kekuatan) masyarakat dan teror. Dengan kata lain, radikalisme adalah radikal yang sudah

menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Seorang berpotensi menjadi radikal dan penganut

paham radikal (radikalisme), tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya atau

tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan radikalisasi, menurut Wantimpres ini adalah

seseorang yang tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan di masyarakat. Biasanya

radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketidakadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan

hukum dan seterusnya. Jadi, jangan dibayangkan ketika teroris sudah ditangkap, lalu

radikalisme hilang. Sepanjang keadilan dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi akan

selalu muncul di masyarakat. Keadilan itu menyangkut banyak aspek, baik aspek hukum,

Page 82: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

64

politik, pendidikan, sosial, hak asasi, maupun budaya. Hukum itu berbeda dengan keadilan.

Hukum adalah aspek tertentu, sedangkan keadilan adalah akhlak dari hukum itu.104

Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), karena

dampak (impact) yang diakibatkan aksi dan tindakan terorisme tidak saja menyebabkan

kehilangan nyawa. Akan tetapi, kehilangan material juga, dampak psikologis, budaya, agama

hingga persoalan ideologis. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, terorisme sebagai salah

satu jenis dari Activities of Transnational/Criminal Organizations, yang merupakan kejahatan

yang sangat ditakuti karena ancaman dan akibat yang ditimbulkannya cukup luas. Ancaman

tersebut meliputi ancaman terhadap kedaulatan sebuah negara, keamanan masyarakat,

individu, mengganggu stabilitas ketahanan nasional, nilai-nilai demokratis, dan lembaga-

lembaga publik, ekonomi nasional, dan arah laju perkembangan.

2) Terorisme di Belahan Dunia

Islamofobia kini kian meningkat ketika terjadi penembakan di pusat layanan difabel

San Bernardino, California, Amerika Serikat. Istilah Islamofobia (rasa takut terhadap agama

Islam) menjadi kata yang kerap ditemui pada paruh akhir tahun 2015. Bahkan awal 2016,

intensitas Islamofobia tak juga mereda. Ketakutan akan tindakan kekerasan yang dikaitkan

dengan Islam pun mengemuka, sampai-sampai di Brussels, Belgia, mereka membatalkan

perayaan malam Tahun Baru 2016. Pihak berwenang Belgia mengatakan bahwa pertunjukan

kembang api dan perayaan menyambut tahun baru tidak akan dilakukan setelah mengungkap

dugaan rencana teror yang diarahkan ke ibu kota pada saat liburan tahun baru.

Berbeda dengan di Paris, pertunjukan kembang api tahunan di Champs-Elysees juga

dibatalkan. Sebanyak 11 ribu aparat polisi, tentara, dan pemadam kebakaran akan berpatroli

di ibu kota Perancis tersebut. Kemudian, lapangan Merah Moskow, Rusia, yang biasanya

104

Tim Penyusun buku Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan Direktorat Jenderal Bimas

Islam Kementerian Agama, Editor: Jaja Zarkasyi dan Thobib al-Asyhar, Prolog: Menteri Agama RI (Jakarta:

Bimas Islam, 2014), h. 3-5.

Page 83: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

65

menjadi tempat berkumpul masyarakat untuk memperingati malam tahun baru akan ditutup

untuk umum pada tanggal 31 Desember 2015. Sementara di Wina, Austria, juga

meningkatkan pengamanan sebelum perayaan. Selain itu, polisi di Munich, Jerman,

memperingatkan serangan teror yang telah direncanakan dan meminta orang-orang untuk

menghindari keramaian. Polisi dalam kicauan Twitter-nya mengatakan, stasiun utama kota

dan stasiun Pasing telah dievakuasi dan mengatakan kereta tidak lagi berhenti di sana. Dalam

sebuah unggahan di Facebook, pihak berwenang mengaku memiliki informasi serius

serangan ISIS itu telah direncanakan padaa saat malam Tahun Baru. Seperti dilansir Harian

Umum Republika, semenjak serangan Paris, Prancis, pada tanggal 13 November 2015 yang

telah menewaskan 129 jiwa akibat penembakan massal yang dilakukan kelompok militan

ISIS, bangunan resmi dan tempat ibadah di Eropa dan Amerika bahkan di dunia, menjadi

sasaran empuk yang dapat mengkerdilkan dan memojokkan agama Islam. Seluruh dunia

berkabung dan mengutuk peristiwa tersebut dan mengaitkannya dengan agama Islam yang

dituding melegalkan term jihâd dan qitâl dengan membunuh orang-orang yang dianggap

musuh agama ini. Padahal, ketika penembakan terjadi, Muslim asal Al-Jazair bernama Safer

saat itu sedang bekerja di belakang bar restoran Casa Nostra. Hal ini dilakukan menurut

mereka sebagai perlawanan dan perang terhadap terorisme.105

Pada perkembangan mutakhir ini, kekerasan atas nama agama atau teror yang

terjadi di belahan dunia seringkali diidentikkan dengan umat Islam. Hal itu terlihat dari upaya

pencarian tokoh muslim yang diduga berada di balik berbagai peristiwa yang meresahkan

bangsa, termasuk umat Islam sendiri. Kenyataan ini tentu saja merugikan Islam dan umat

Islam, karena ada kesan bahwa Islam identik dengan kekerasan, intoleran, anarkis, dan

kasar.106

Terkait masalah terorisme, terutama kejadian mutakhir dalam dua minggu

105

Harian Umum REPUBLIKA, Islamofobia dan Standar Ganda Terorisme, dimuat pada kolom

Internasional, Rabu 6 Januari 2016, h. 9. 106

Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa image negatif tersebut muncul karena dalam Islam

dikenal adanya ajaran jihâd, bahkan dalam sejumlah hadis dan kitab fiqih (yurisprudensi Islam) ada penjelasan

Page 84: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

66

belakangan ini, yakni tragedi bom Paris dan sekitarnya yang telah menewaskan 129 orang

jiwa di tujuh tempat107

di Perancis, Jum‘at malam, yang diduga dilakukan oleh gerakan

militan teroris yang mengatasnamakan diri dari ideologi agama. Seperti diberitakan bahwa

yang melakukan aksi keji itu ialah kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).108

Semua agama tidak membenarkan tindakan terorisme, dengan dalih apapun. Islam

pun mengutuk keras perbuatan keji itu. Dalam Al-Qur‘an ditegaskan bahwa membunuh satu

manusia yang tidak berdosa ibarat membunuh seluruh manusia di muka bumi ini. (QS. al-

Mâidah [5] : 32) seperti ayat berikut:

khusus mengenai tema itu, yaitu kitâb al-Jihâd atau bâb al-Jihâd atau fasal-fasal. Dalam disiplin ilmu Fiqih,

ulasan mengenai tema jihâd dipaparkan secara terang-benderang, dan komprehensif. Misalnya dalam kitâb

Nihâyat al-Zain fī Irsyâd al-Mubtadiīn, Syarah „ala Qurrat al-„Ain bi Muhimmât al-Dīn fī al-Fiqh „ala

Madzhab al-Syâfi‟ī, karya masterpiece Syaikh Nawawi al-Bantanī. Beliau memulai bahasan jihâd dengan Bâb

al-Jihâd diawali hukumnya, lalu golongan yang wajib ber-jihâd. Syaikh Nawawi al-Bantanī, Nihâyat al-Zain fi

Irsyâd al-Mubtadiīn (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), h. 328-334. Selain itu penulis dapati juga dalam kitab Fiqih

yang lain, misalnya bahwa jihâd itu wajib, dan kewajiban itu terfokus pada tujuh persyaratan sampai pada

pembagian ghanīmah (harta rampasan perang), lihat kitâb buah karya Taqiyyuddīn al-Dimasyqī, Kifâyat al-

Akhyâr fī Halli Ghâyat al-Ikhtishâr (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 165-178. 107

Adapun tujuh tempat itu seperti diberitakan Koran TEMPO, yaitu 1) Stadion Stade De France. 2)

Restoran Le Carillon dan Le Petit Cambodge. 3) Area Veneu De La Republique. 4) Bar La Belle Equipe. 5)

Café Camptoir Voltaire. 6) Gedung Konser Bataclan Theater. 7) Jalan Beaumarchais Boulevard. Selama dua

pekan itu, teror ISIS benar-benar membuat geram pemimpin Negara Eropa. Perjalannya dimulai pada 31

Oktober 2015, pesawat Airbus Metrojet Rusia yang mengangkut 224 orang rute Sharm el-Sheikh St Petersburg,

Rusia, jatuh di Semenanjung Sinai, Mesir. Tim investigasi yakin 99 persen bahwa penyebabnya adalah bom di

koper. Kelom pok teroris Mesir pendukung ISIS mengklaim bertanggung jawab. Kemudian pada 12 November

2015, ISIS merilis video berupa ancaman menyerang Rusia dan di wilayahnya. Dua bom bunuh diri di Beirut

Lebanon yang menewaskan 43 orang dan puluhan lainnya terluka, lokasinya di wilayah Hezbollah, penyokong

Damaskus. Lalu pada tanggal 13 November, terjadi serangan teroris di tujuh tempat, di Paris, Perancis.

Puncaknya, 14 November 2015 empat anggota milisi ISIS tewas saat penggebrekan oleh polisi Turki di

perbatasan Turki-Suriah. TEMPO, Senin 16 November 2015, edisi No. 5092 tahun XIV. 108

Dilansir dari Harian KOMPAS pada Senin 16 November 2015. Kejadian terorisme ini sontak

mendapatkan perlawanan dari pemimpin Negara di dunia. Pemimpin dunia yang menghadiri Konferensi Tingkat

Tinggi (KTT) G-20, di Antalya, Turki, Minggu, bersatu mengumumkan perlawanan terhadap terorisme.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengecam serangan itu sebagai tindakan biadab dan menyerukan

semua Negara bersatu dan meningkatkan usaha menghancurkan ISIS. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

berharap KTT G-20 bisa memberi pesan kuat melawan terorisme. Terorisme tidak hanya menyerang Perancis,

tetapi ―kemanusiaan kita semua‖. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa terorisme global bisa

diatasi jika semua bangsa bersatu. Adapun Presiden Dewan Eropa Donald Tusk meminta agar dunia fokus

melawan terorisme. Sementara itu Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin mengatakan terorisme

dalam berbagai bentuk, motif, dan siapapun pelakunya tidak dapat dibenarkan. Ketua Umum Pimpinan Pusat

Muhammadiyah, Haedar Nashir mengecam keras tragedi di Paris. Serangan itu bertentangan dengan nilai agama

dan kemanusiaan secara universal. Haedar meminta serangan teror itu tidak dikaitkan dengan agama Islam. Di

Eropa, Islam telah diterima sebagai kelompok yang adaptif dengan kehidupan berbangsa di sana.

Page 85: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

67

ز ج ه ر أ ج بو ع ش ئع ث ه ء٠ ٱ في فساد أو س نف ر بغي اس نف قتل من ۥأ ض ر ل

م ذ ا جميع لناس ٱ ياأح فكأنما ياهاأح ومن اجميع لناس ٱ قتل فكأنما ب ر ج ء ه ب ه عه ٱث سه ذ ج ١ ثه

ث١ش ئ او غ ع س ل ٱ ف ه ر ذ ث ع ه ه ٦٣ شفه

―Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa

membunuh seseorang, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan

karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia

seluruhnya. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan

dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah

datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi

kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.‖ (QS. al-

Mâidah [5] : 32).

terlebih korban terorisme tidak hanya puluhan, bahkan ratusan nyawa. Ketika dunia dipenuhi

dengan ancaman teror, agama sebagai ajaran cinta dan kasih sayang menjadi sirna, karena itu

agama sebagai ajaran cinta dan kasih sayang harus dihidupkan kembali untuk melawan

ancaman ideologi teror tersebut. Terorisme telah melahirkan sekat dan jarak cinta antar

sesama manusia. Islam menawarkan cinta kasih dan perdamaian untuk meredam terorisme.109

Gambaran dan stigma negatif terhadap Islam sebagai agama teror berkembang

luas di Barat, terutama di Amerika Serikat, pasca peristiwa 11 September 2001. Pada saat itu,

dunia digemparkan oleh peristiwa bom bunuh diri spektakuler yang menghancurkan menara

kembar WTC (World Trade Center) di New York yang menjadi simbol kapitalisme global

dan kemajuan perekonomian dan gedung markas besar pertahanan USA Pentagon, Amerika

Serikat. Ibukota USA hancur lebur ditabrak oleh pesawat jet komersial yang sampai saat ini

masih misterius. Upaya menabrakkan pesawat kedua gedung pencakar langit tersebut telah

melumpuhkan, untuk sementara waktu urat saraf penting di Negeri Paman Sam itu. WTC

sebagai pusat saraf ekonomi dan Pentagon sebagai pusat militer Amerika telah melumpuhkan

keangkeran dan arogansi negara adidaya (super power) tersebut dalam tata pergaulan dunia

internasional. Osamah bin Laden dan Jaringan Internasional Al-Qaeda sering disebut-sebut

109

Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual

(Jakarta: Serambi, 2014), h. 126-127.

Page 86: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

68

sebagai aktor di balik tragedi kemanusiaan yang spektakuler tersebut. Lebih tragis lagi,

ratusan, mungkin ribuan, umat Islam yang berwajah (beridentitas) dari Timur Tengah, baik di

Amerika Serikat maupun di Eropa ditangkap, disiksa, dan ditahan. Dan pada tanggal 7

Oktober 2001, Amerika Serikat dan sekutunya menyerbu dan menghancurkan Afghanistan

serta membubarkan Taliban. Namun sampai detik ini tidak ditemukan fakta di lapangan dan

diuji di depan sidang pengadilan secara terbuka bahwa Osamah bin Laden dan Al-Qaeda

adalah pelaku teror 11 September 2001.110

Sebelum terjadi peristiwa 9 September, di Amerika Serikat telah berkembang

wacana tentang pembenturan peradaban atau konflik peradaban (clash of civilization) yang

diungkapkan oleh Samuel P. Huntington, seorang analis politik sekaligus penasehat George

W Bush (mantan Presiden Amerika Serikat). Dalam risalah buku berjudul The Clash of

Civilization and the Remaking of World Order (1996), Huntington menyatakan bahwa

sumber konflik yang dominan dewasa ini bukan sesuatu yang bersifat ideologis dan

ekonomis, melainkan kultural. Konflik akan terjadi antara negara dan kelompok berbagai

peradaban yang berbeda. Huntington mendefinisikan peradaban sebagai entitas kultural

tertinggi dan identitas terbesar yang dimiliki manusia. Ia mengidentifikasi tujuh peradaban

besar, yaitu: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia-Ortodoks, dan Amerika Latin.

Dari tujuh peradaban besar itu, Huntington secara provokatif menilai bahwa Islam merupakan

peradaban yang paling potensial mengancam peradaban Barat yang kini sedang berada di

puncak kekuasaannya. Tesis Huntington111

di atas kemudian diterima luas di Amerika

110

Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002, Tesis SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pada konsentrasi Syariah tahun 2004, h. 2.

111

Selain Huntington, para futurolog lainnya semisal Alvin Toffler dalam Future Shock dan Third

Wave-nya, Jhon L. Esposito dengan Islamic Threat: Myth or Reality-nya serta Mark Jurgensmeyer dengan The

New Cold War-nya, semuanya menggambarkan bahwa Islam sebagai sebuah ideologi yang siap menjadi pesaing

baru dalam menghadapi peradaban Barat, setelah jatuhnya Komunisme sebagai sebuah sistem dan Sosialisme

sebagai sebuah ideologi. Lihat M. Adlin Sila, Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Nusakambangan Jawa

Tengah (kasus Amrozi dan Mukhlas) dalam buku Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia, Editor:

Wakhid Sugiyarto (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

RI, 2015), h. 45.

Page 87: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

69

Serikat. Akibatnya, bisa ditebak, Islam menjadi kambing hitam dari seluruh oposisi terhadap

peradaban Barat. Islam disebut-sebut sebagai dalang dari seluruh aksi kerusuhan dan

radikalisme di dunia. Umat Islam yang tinggal di negara Barat dimusuhi, dihina, dan

dicurigai setiap aktivitasnya. Mereka tidak lagi mendapatkan apa yang digembor-gemborkan

Barat sebagai kebebasan untuk semua (freedom for all).

Terlepas dari beberapa kritik yang kemudian dialamatkan kepada Huntington, satu

hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pasca runtuhnya komunisme di Soviet,

kecurigaan terhadap Islam semakin menguat. Oleh Barat, Islam dipandang sebagai kekuatan

besar yang harus diwaspadai. Hal ini terjadi karena setelah keruntuhan komunisme di Soviet.

Barangkali belum ada satu kekuatan besar yang mampu menegasi dominasi dan hegemoni

Barat. Jauh sebelum berakhirnya Perang Dingin (cold war), para sarjana yang concern

terhadap fenomena gerakan politik global telah mengakui politisasi agama sebagai fenomena

global yang baru. Para sarjana ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis

gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama. Namun, tema fundamentalisme agama,

menurut Bassam Tibi, sebagaimana dikutip Ali Masykur Musa, menjadi problematis lantaran

penerapannya yang sensasional pada Revolusi Ayatullah di Iran pada tahun 1979 dan iklim

fanatisme dan ekstremisme agama yang berlanjut di sana. Satu dekade berikutnya, pasca

runtuhnya Tembok Berlin, beberapa pengamat dari sayap kiri membantah bahwa dengan

runtuhnya komunisme, Barat telah kehilangan musuhnya. Sejak saat itu, Barat kemudian

mengintai satu kekuatan raksasa baru yang akan menggantikan ancaman komunisme, dan

fundamentalisme Islam dipandang memiliki kualifikasi yang tepat.

Barat perlu mengidentifikasi musuh baru untuk menjamin kontinuitas serta

hegemoni politik dan militer mereka tidak terganggu. Asumsi ini diterima secara taken for

granted (apa adanya) oleh beberapa pemangku kepentingan militer di Barat. Willy Claes

(mantan Sekretaris Jenderal NATO) menyebut fundamentalisme Islam sebagai ancaman

Page 88: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

70

utama bagi peradaban Barat berikutnya. Pertanyaannya, tepatkah fundamentalisme Islam

dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) masyarakat dunia hanya karena

menentang Barat dan meyakini bahwa dunia tengah menyaksikan keruntuhannya, dan karena

itu para fundamentalis ingin segera memproklamasikan tatanan baru untuk menggantikan

tatanan dunia Barat yang sudah tidak dipercayai. Bryan S. Turner menengarai runtuhnya

komunisme Soviet menjadikan kedudukan global Islam amat penting, tetapi bermasalah. Bisa

diasumsikan bahwa dengan adanya sejarah dunia Islam sejak Revolusi Perancis, Islam kini

berfungsi sebagai alternatif besar, bahkan barangkali satu-satunya alternatif dari hegemoni

kapitalis Barat. Beberapa pemikir Islam, seperti Ali Shari‘ati, menyatakan bahwa Islam

secara konsisten dan terus-menerus menentang sekularisme, komunisme, dan konsumerisme

dunia Barat. Dengan demikian, peran Islam sebagai kekuatan oposisi menjadi sangat

signifikan dan diperhitungkan dalam percaturan politik global.

Tesis Huntington dengan telak menyerang Islam sebagai agama kebencian. Islam

yang dipersepsi Huntington adalah agama yang keras dan menakutkan; suatu agama yang

disebarkan dengan pedang dan akan melawan seluruh capaian modernitas dan kemajuan

Barat. Tidak mengherankan kalau kemudian tesisnya ini banyak dikritik. John L. Esposito,

misalnya, mempertanyakan validitas argumen yang dikemukakan Huntington. Menurutnya,

berbagai gerakan yang ada tidaklah menakutkan seperti yang umumnya digambarkan oleh

media-media massa di Barat. Menyamakan berbagai gerakan itu dengan ancaman

khomeinisme, terorisme, ekstremisme, fundamentalisme, dan sejenisnya merupakan sebuah

simplikasi yang berlebihan.

Dalam jangka panjang, pandangan monolitik seperti ini akan merugikan

kepentingan umat manusia secara keseluruhan, sebab yang akan berlangsung adalah

―penyetanan‖ satu sama lain (mutual satanization) dan penghancuran satu sama lain (mutual

assured destruction). Esposito juga menyatakan bahwa berbagai gerakan yang ia sebut

Page 89: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

71

dengan istilah revivalisme Islam yang muncul di banyak belahan dunia lebih tepat untuk

disebut sebagai sebuah ―tantangan‖ (challenge) daripada ―ancaman‖ (threat), karena gerakan-

gerakan tersebut lebih merupakan gerakan sosial bukan gerakan politik yang berorientasi

pada pembentukan tatanan masyarakat yang islami.112

Perkembangan terorisme termutakhir abad ini, munculnya gerakan Islam radikal

yaitu Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Gerakan Islam garis ekstrim ini menjadi teror

menakutkan karena telah menanamkan pengaruhnya di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Gerakan ISIS tidak akan pernah berhenti sebelum cita-cita besarnya tercapai untuk

membentuk khilâfah islâmiyah yaitu kepemimpinan universal bagi seluruh umat muslim yang

bertanggungjawab mengimplementasikan syariat Islam di seluruh dunia. Secara normatif dan

historis, Negara Islam (Islamic state) atau khilâfah islâmiyah yang menjadi cita-cita besar

ISIS ternyata tidak memiliki legitimasi dalam ajaran Islam maupun dalam sejarah peradaban

Islam. Selain itu, apa yang dicita-citakan ISIS itu tidak memiliki bentuk kejelasan (hanya

semu), baik dari segi mekanisme dan teknis penerapannya, argumentasi naqlī yang menjadi

pijakannya (yang bersumber dari Al-Qur‘an dan hadis) maupun individu-individu yang ada di

dalamnya. Dari segi sistem politik, ISIS sebenarnya mengajak kita melakukan langkah

mundur. Sebab, sistem politik pemerintahan yang kita pakai saat ini di Indonesia jauh lebih

baik dari apa yang diperjuangkan ISIS, bahkan selaras dengan nilai-nilai keislaman.113

112

Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual

(Jakarta: Serambi, 2014), h. 129-132. 113

Abdul Waid, ISIS: Perjuangan Islam Semu dan Kemunduran Sistem Politik (Menyoal Nilai-Nilai

Keislaman ISIS Secara Normatif dan Historis dan Mengkomparasikannya Dengan Sistem Politik Kekinian),

paper in Annual International Conference (AICIS), XIV, Buku 3, Subtema: Nusantara Islamic Civilization:

Value, History, and Geography, Editor: Muhammad Zain, dkk, (STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat

Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014), h. 131.

Page 90: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

72

Berikut ini daftar aksi teror terhadap kemanusiaan di Dunia.114

Tabel. 1

Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Seluruh Dunia

No Tanggal Aksi Teror Deskripsi/Keterangan

1 Konflik Israel-Palestina 1967-sekarang Konflik Palestina-Israel ini sudah berlangsung

kurang lebih 31 tahun sejak invasi Israel ke

sejumlah negara Arab pada tahun 1967. Sudah

ribuan orang tewas baik dari pihak Palestina

maupun Israel dan rata-rata adalah warga sipil.

PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyebut

korban tewas pada 2014 adalah jumlah

tingginya perang Palestina-Israel sejak tahun

1967. Menurut PBB, pada 2014, jumlah total

korban tewas mendekati 2.200 orang.

Penderitaan 1,8 juta penduduk Palestina di Jalur

Gaza meningkat dan mengalami keadaan

terburuk sejak tahun 1967. Lebih dari 1.500

warga Palestina tewas pada 2014, 550 kurang

lebih di antaranya adalah anak-anak, lebih dari

11.000 orang cedera, dan sekitar 100.000 orang

kehilangan tempat tinggal.

2 Pengeboman Sinagoga di Antwerp, Belgia

(1981)

Sebuah teror bom mengerikan terjadi pada

tahun 1981 di Kota Antwerp, Belgia. Kejadian

mengerikan ini membunuh sekitar 100 orang

akibat ledakan dari sebuah mobil van yang

masuk ke area Sinagoga saat sedang ada

perayaan besar. Setelah itu mobil mendadak

meledak dan membuat banyak orang meninggal

di tempat.

3 Tragedi Lockerbie (21 Desember 1988) 21 Desember 1988 pesawat Boeing 747-100

dari maskapai Pan American World Airways

dari Bandara International Heathrow, London

ke Bandara International Jhon F. Kennedy,

New York, meledak di udara pada saat terbang

di atas Lockerbie, Dumfries dan Galloway,

Skotlandia, ketika sebuah 340-450 gram

peledak plastik diledakkan di tempat kargo

depan. Sebanyak 271 penumpang meninggal

dalam tragedi ini.

4 Bom Oklahoma City (19 April 1995) Kasus ini adalah serangan teroris domestik

terbesar kedua dalam sejarah Amerika Serikat

yang menewaskan 168 orang. Bom tersebut

diletakkan dalam sebuah truk sewaan,

diledakkan di jalan depan gedung tersebut pada

19 April 1995 pukul 09.02 pagi waktu setempat

114

Sumber (source): The War on Rocks, sebagaimana yang dikutip oleh Tim Redaksi Liputan Koran

SINDO MNC Group Jakarta, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015, h. 8-9.

Page 91: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

73

(local time). Bom mobil tersebut berisi 2.300

kg bahan peledak, dibuat dari amonia nitrat,

sejenis pupuk yang digunakan dalam pertanian,

dan nitrometan, sejenis bahan bakar untuk

mobil balap.

5 7 Agustus 1998 Pengeboman Kedubes AS di Kenya dan

Tanzania. Sebanyak 200 orang tewas dan lebih

dari 1.000 orang luka-luka setelah serangan

bom di dua Kedubes (embassy) AS di Kenya

dan Tanzania. Laman stasiun televisi BCC

mengungkapkan bahwa dua insiden itu terjadi

bersamaan dalam selisih beberapa menit.

Ledakan pertama terjadi di Kedubes AS di Dar

es Salaam, ibukota Tanzania. Lima menit

kemudian, bom menghancurkan gedung

Kedubes AS di ibukota Kenya, Nairobi.

Ledakan Nairobi melukai Duta Besar AS,

Prudence Bushnell.

6 Tragedi WTC 11 September 2001 Serangan 11 September 2001 adalah

serangkaian empat serangan bunuh diri yang

telah diatur terhadap beberapa target di New

York dan Washington DC Amerika Serikat

pada 11 Spetember 2001. Para pembajak

sengaja menabrakkan dua pesawat ke Menara

Kembar World Trade Center di New York City

USA. Menurut Laporan tim investigasi 911,

sekitar kurang lebih 3.000 orang tewas dalam

serangan ini.

7 Perang Afganistan (2001-sekarang) Setelah serangan terhadap gedung WTC 11

September 2001, Amerika Serikat memulai

kampanye perang Melawan Terorisme. Mereka

di Afganistan memiliki tujuan menggulingkan

kekuasaan Taliban yang dituduh melindungi

Al-Qaeda serta untuk menangkap Osamah bin

Laden. Sekitar 15.000 pasukan tewas yang

terdiri atas Amerika Serikat, NATO, dan

pasukan keamanan Afganistan dan 50.000

pasukan luka-luka. Korban sipil diperkirakan

mencapai 20.000 orang tewas dan ratusa ribu

lainnya cidera.

8 Bom Bali, Indonesia (tahun 2002) Bom ini terjadi pada malam hari 12 Oktober

2002 di Bali yang telah menewaskan 202 orang

dan melukai 209 lainnya, kebanyakan

merupakan wisatawan asing. Peristiwa ini

sering dianggap sebagai peristiwa terorisme

terparah dalam sejarah Indonesia.

9 Teror di Moskow, Rusia (2002) Pada 23 Oktober 2002, teroris Chechnya yang

berjumlah 50 orang menyandera sekitar 700

warga Rusia di Bali-Bearing Palnt‘s Palace of

Page 92: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

74

Culture, sebuah gedung teater megah di

Moskow. Dalam penyanderaan itu, militer

Chechnya meminta pasukan Rusia menarik diri

dari wilayahnya yang terletak di utara

pegunungan Kaukasus. Setelah 57 jam

penyanderaan, pada 26 Oktober 2002, pasukan

khusus Rusia, Spetsnaz, yang mengirim Alpha

Group dan Vympel, berhasil membebaskan

ratusan orang yang disandera. Operasi ini harus

dibayar mahal dengan tewasnya 120 sandera

akibat baku tembak.

10 Serangan bom di Istanbul Turki (2003) Pada 15 November hingga 20 November 2003,

sebanyak empat truk bom meledak di sekitar

Kota Istanbul, Turki. Serangan itu menewaskan

total 57 orang dan 700 lainnya mengalami luka

serius. Pemerintah Turki meyakini militan Al-

Qaeda berada di balik serangan itu.

11 Invasi Amerika Serikat ke Irak (2003) Saat menginvasi Irak pada 2003, Amerika

Serikat memiliki tiga dalih yakni

menghancurkan senjata pemusnah massal,

menyingkirkan ancaman teroris internasional

dan membebaskan rakyat Irak dari penindasan

rezim Saddam Hussein dengan cara

memulihkan demokrasi di Irak. Dari tiga alasan

itu ternyata semuanya dipenuhi kebohongan.

Sekitar setengah juta orang tewas di Irak akibat

tragedi perang Irak sejak invasi pasukan AS

dari 2003-pertengahan 2011. Bahkan hingga

kini meski perang sudah usai, namun Irak

masih dilanda konflik sektarian

berkepanjangan.

12 Bom Madrid, Spanyol (2004) Peristiwa peledakan bom Madrid pada 11

Maret 2004, terdiri dari beberapa ledakan di

dalam empat kereta komuter. Terdapat 192

korban jiwa dan 2.050 korban luka-luka.

Peristiwa ini serangan teroris terparah di Eropa

setelah peristiwa Lockerbie pada 21 Desember

1988.

13 Bom Karachi, Pakistan (2007) Pada 18 Oktober 2007, 139 orang terbunuh

dalam serangan bom mobil di Kota Karachi,

Pakistan. Militan Al-Qaeda dan Taliban

diyakini bertanggungjawab atas serangan itu.

14 Serangan Mumbai, India (28 Nov 2008) Pada tahun 2008, India terguncang akibat

penembakan brutal di Mumbai yang

menyebabkan 174 orang meninggal dunia.

Kejadian ini dinobatkan sebagai kejadian teror

terburuk dalam sejarah India pada tahun 2000-

an. Namun, di tempat sama sekitar 15 tahun

silam pernah terjadi aksi teror super

Page 93: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

75

mengerikan di mana anggota keluarga teroris

melakukan pengeboman di hampir seluruh

wilayah dalam waktu 75 menit.

15 Serangan Boko Haram di Negeria (2009) Lebih dari 5.000 orang telah terbunuh akibat

serangan teror yang dilakukan pejuang Boko

Haram di Negeria sejak tahun 2009 hingga saat

ini.

16 Perang Suriah (2011) Perang Suriah awalnya dipicu keinginan rakyat

Suriah menghendaki perubahan dari penguasa

otoriter serta dipicu angin perubahan di dunia

Arab (Arab spring). Namun, kini perang Suriah

justru meluas dan menghadapkan antara

Amerika Serikat dengan sekutunya yang

mendukung oposisi Suriah melawan

pemerintah Suriah dengan dukungan Rusia dan

China. Organisasi masyarakat dunia,

Observatorium HAM untuk Suriah (SOHR),

menyebutkan, jumlah korban tewas akibat

perang di Suriah selama 4 tahun sudah

mencapai 320.000 orang dan ribuan warga yang

mengungsi ke berbagai belahan dunia.

17 Serangan ISIS (2011) Kelompok militan ISIS telah membunuh ribuan

orang menggunakan banyak serangan bom saat

berupaya menguasai seluruh wilayah Suriah

dan Irak. Bahkan kelompok ekstrimis telah

melebarkan sayapnya dengan mencoba

menguasai banyak wilayah seperti Mesir,

Libya, Nigeria, dan Somalia.

18 Pembunuhan Massal di Peshawar, Pakistan

(2014)

Pada tanggal 16 Desember 2014, lebih dari 145

orang termasuk 132 orang anak sekolah berusia

antara delapan sampai 18 tahun, dan beberapa

orang karyawan di sekolah, dibunuh secara

massal di sebuah sekolah di Kota Peshawar,

Pakistan. Serangan itu dilakukan tujuh pria

bersenjata yang diyakini merupakan militan

Taliban Pakistan.

Tabel 2.

Negara dan Kasus Kematian Akibat Terorisme (sepanjang tahun 2013)115

No Negara Total Kematian (jiwa) Presentase Total

Kematian

1 Thailand 292 orang 1,6 %

2 Yaman 291 orang 1,6 %

3 Filipina 292 orang 1,6 %

115

Dilansir dari sumber (source): Global Terrorism Index, sebagaimana yang dikutip oleh Tim Redaksi

Liputan Koran SINDO, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015, h. 8-9.

Page 94: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

76

4 India 404 orang 2,2 %

5 Somalia 405 orang 2,3 %

6 Suriah 1.078 orang 6,0 %

7 Nigeria 1.826 orang 10,2 %

8 Pakistan 2.1345 orang 13,1 %

9 Afganistan 3.111 orang 17,3 %

10 Irak 6.362 orang 25,4 %

Berdasarkan fakta di atas, jenis dan tipe serangan terorisme di belahan dunia

beraneka ragam dan dikerucutkan seperti berikut ini: jenis serangan bersenjata; bermotif

pembunuhan; pengeboman; menyerang fasilitas umum; pembajakan; penculikan; serangan

non bersenjata. Kemudian, indeks terorisme global menunjukkan, aksi terorisme justru

meningkat drastis ke tingkat amat mencemaskan. Tahun 2013 tercatat 10.000 kali serangan

teror yang menewaskan 18.000 orang. Jika disimpulkan, perang melawan teror ternyata

menciptakan lebih banyak teror. Dalam indeks juga disebutkan, 80 % organisasi teroris

menghentikan aksinya karena mereka telah mencapai target yang digariskan. Hanya 10 %

organisasi teroris menghentikan aksinya karena mereka telah mencapai target yang

digariskan. Menurut catatan lain dari sebuah database aksi terorisme, Global Terrorism

Database (GTD), sejak 1970 sampai tahun 2012, telah tercatat 113.000 aksi terorisme. Secara

rinci dari 113.000 serangan teroris terdiri dari 52.000 pengeboman, 14.400 pembunuhan,

5.600 penculikan. Negara-negara yang paling menderita akibat aksi terorisme, yakni Irak,

Pakistan, Nigeria, Suriah, dan juga Afghanistan.116

3) Menelisik Definisi Terorisme dan aksinya di Indonesia

Wacana tentang terorisme telah muncul sejak ribuan tahun silam dan menjadi

legenda dunia, disebutkan Adjie Suradi seperti dalam Kasjim Salenda, praktek aksi terorisme

telah eksis sejak kekaisaran Romawi, masa kekuasaan Tiberius (14-37 M) dan Caligula (37-

116

Dilansir dari sumber (source): Global Terrorism Index dan The War on Rocks, sebagaimana yang

dikutip oleh Tim Redaksi Liputan Koran SINDO MNC Group Jakarta, kolom Topik Pilihan, Senin 16

November 2015, h. 8-9.

Page 95: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

77

41 M) dengan cara membunuh, mengintimidasi, mengasingkan, dan merampas harta milik

para oposan. Akan tetapi, hingga kini belum ada satu kesepakatan dari semua pihak tentang

apa sebenarnya yang dimaksud dengan terorisme, baik dalam hukum internasional, berbagai

organisasi yang berskala internasional maupun regional. Kendati demikian, para pakar

politik, hukum, bahasa, dan sosiologi mengemukakan rumusan istilah terorisme sesuai

dengan persepsi dan latar belakang keilmuannya.117

Dalam kamus Oxford, kata terrorist dalam Muchlis M. Hanafi diartikan dengan

orang yang melakukan kekerasan terorganisasi untuk mencapai tujuan politik tertentu.

aksinya disebut terrorism, yaitu penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman,

terutama untuk tujuan-tujuan politis. Sementara dalam bahasa Arab, istilah yang populer

untuk aksi ini adalah al-Irhâb, dan pelakunya disebut al-Irhâby. Para penyusun kamus al-

Mu‟jam al-Wasīth masih dalam kutipan Muchlis M. Hanafi, memberikan makna kata al-

Irhâby dengan sifat yang dimiliki oleh mereka (perorangan maupun kelompok) yang

menempuh kekerasan dan menebar kecamasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Al-

Irhâb dengan pengertian semacam ini tidak ditemukan penggunaannya dalam pengertian

modern dalam Al-Qur‘an dan kamus-kamus bahasa Arab klasik, sebab ini merupakan istilah

baru yang belum dikenal pada masa lampau. Bahkan penggunaan kata ini (irhâb) dalam

bentuk derivasinya (kata turunannya), yakni turhibûn atau lainnya, dalam Al-Qur‘an seperti

pada surat al-Anfâl [8]: 60 bermakna positif.118

Sebab melalui ayat ini, Allah memerintahkan

117

Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan

Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 76.

118

Ayat tersebut berbunyi:

ا أ عذ ه ب زهز ط ع ع ٱ ح له ث بؽ ١ ٱ س رهش خ جه ۦث ذه لل ٱ ع وه ذه ع اخ ء ش٠ ل ده

ه ر ع ه ه ٠ ع لله ٱ ه ه ب ا فمه ره ف ء ش ج١ ف لل ٱ ع ئ ١ ٠ه ىه زه أ رهظ ل ه ٤٦

Terjemah: “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan

kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan

orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah

Page 96: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

78

umat beriman untuk mempersiapkan diri dengan berbekal kekuatan apa saja yang dapat

menggentarkan (turhibûn) musuh Allah dan musuh mereka. Tidak jauh berbeda dengan

pengertian di atas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam Muchlis M. Hanafi,

mendefinisikan teror dengan usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh

seseorang atau golongan. Makna terorisme adalah: penggunaan kekerasan untuk

menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).119

Terorisme menurut Azra seperti dikutip Rohmawati, merupakan masalah moral

yang sangat sulit sehingga mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam mendefinisikannya.

Sampai detik ini, belum ditemukan definisi yang diakui secara universal. Pendefinisian yang

ada masih bersifat subjektif dan relatif, tergantung kepada subjek yang mendefinisikannya.

Sebagai sebuah paham, terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, intimidasi, dan

ekstrimitas. Para pelakunya disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme seringkali

menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban

kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung. Dalam insiden WTC dan Bom Bali,

membuktikan bahwa ribuan nyawa manusia yang tak berdosa raib akibat ulah para teroris.

Orangtua-renta, dewasa, anak muda, dan bayi turut menanggung akibat dari pertarungan

politik dan ideologi. Pada titik ini, terorisme mendapat sorotan yang serius dari masyarakat

dunia, karena cara-cara yang ditempuh para teroris dapat mewujudkan instabilitas,

kekacauan, dan kegelisahan yang berkepanjangan. Masyarakat senantiasa dihantui perasaan

was-was dan tidak aman. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian, ―Siapa sebenarnya

yang melakukan aksi-aksi terorisme?‖ Pada tahap ini, kita akan memasuki kerumitan

tersendiri, sebab identifikasi terorisme tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan.

niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (QS. al-Anfâl [8] :

60).

119

Muchlis M. Hanafi, Islam, Kekerasan dan Terorisme (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-

Qur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 9-11.

Page 97: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

79

Apalagi, jikalau menyangkut sebuah kelompok atau negara tertentu, niscaya dibutuhkan data-

data yang akurat dan tepat.

Konsepsi teror dan terorisme merupakan masalah yang sulit sehingga

mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam mendefinisikannya. Tarik ulur seputar terorisme

apakah bermakna positif atau negatif berlangsung hingga kini, tergantung siapa yang

memunculkan dan yang membuat definisinya. Sulit sekali menarik definisi objektif dan

akurat tanpa terkandung di dalamnya sentimen yang sarat ideologi atau kepentingan. Usaha-

usaha untuk mendefinisikan terorisme ini sering didasarkan pada asumsi bahwa sejumlah

tindakan kekerasan terutama yang menyangkut politik (political violence) ada yang dapat

dibenarkan (justifiable) dan ada yang tidak dapat dibenarkan (unjustifiable). Kekerasan yang

dikategorikan sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan inilah yang sering disebut

sebagai teror atau terorisme. Namun, untuk menentukan standar dan ukuran yang jelas dari

masing-masing kategori tidaklah mudah sebab subjek yang mendefinisikan mempunyai

determinasi yang kuat dalam menentukan mana yang justifiable dan mana unjustifiable.

Dengan demikian, menurut Azra seperti dalam Rohmawati, batas dan standar tindakan

kekerasan bersifat relatif, tergantung siapa yang mengelompokkan. Kekerasan politik yang

bagi sebagian orang dianggap unjustifiable mungkin dianggap justifiable bagi pihak

lainnya.120

Subjektifitas dan relativitas pendefinisan teror dan terorisme terlihat jelas pada

pandangan orang, misalnya terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan Organisasi

Pembebasan Palestina (PLO). Di satu pihak, khususnya Barat, memandang aksi kekerasan

oleh PLO–atau garis keras PLO–sebagai terorisme. Bahkan, laporan Departemen Luar Negeri

Amerika Serikat memasukkan PLO sebagai organisasi teroris yang tidak memiliki legitimasi

politik yang menggunakan metode kekerasan yang tidak sah untuk mencapai tujuan-

120

Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia

(Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 27-28. Tesis pada konsentrasi Syariah.

Page 98: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

80

tujuannya yang tidak dapat dibenarkan. Sebaliknya, pihak yang lain memandang PLO

sebagai wakil sah rakyat Palestina yang tertindas. Tindakan kekerasan yang dilakukan adalah

untuk mencapai tujuan-tujuan yang adil, sah, dan tidak terelakan. Dari pandangan yang

subjektif dan relatif ini, menurut Juliet Lodge seperti dalam Rohmawati, kita dihadapkan

pada dilema: “one man‟s terrorist is another man‟s freedom fighter” (seorang teroris adalah

pejuang kemerdekaan bagi pihak lain). Dengan demikian, pengertian teror dan terorisme

terletak pada pembenaran (justifiable) moral yang mendefinisikannya.

Istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun 1973 sebagai akibat revolusi

Perancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan era baru yang disebut Reign of Terror

(10 Maret 1793-27 Juli 1794). Teror menjadi agenda penting para pengawal revolusi dan

menjadi keputusan pemerintah untuk mengukuhkan stabilitas politik. Sasarannya bukan

hanya politik, tetapi juga tokoh-tokoh moderat, pedagang, agamawan, dan lain sebagainya.

Selama berlangsung Revolusi Perancis, Robespierre dan yang sejalan dengannya seperti St.

Just dan Couthon melancarkan kekerasan politik dengan membunuh 1366 penduduk

Perancis, laki dan perempuan, hanya dalam waktu 6 minggu terakhir masa teror. Bahkan

dalam sidang umum PBB melalui Dewan Khusus Terorisme Internasional pernah membahas

isu terorisme internasional pada tahun 1972. Perdebatan tentang definisi terorisme mengalami

deadlock. Akhinya sidang memandang tidak mungkin untuk memutuskan sebuah definisi

yang dapat disepakati bersama dan dapat mengakomodir berbagai persepsi yang ada.

Menurut Charles W. Kegley Jr, penulis buku International Terrorism: Characteristics,

Causes, Control, sebagaimana dikutip Alif Arrosyid (2008), mengatakan: “There is no single

definition of terrorism that can possibly cover all the varieties of terrorism that have

appeared throughout history.” ―(Tidak ada definisi tunggal tentang terorisme yang bisa

Page 99: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

81

mencakup semua isi fenomena terorisme yang telah muncul sepanjang sejarah).‖121

Di

Indonesia sendiri, bahkan di kalangan pakar sosial-politik Barat, belum ada kesepakatan

tentang definisi terorisme. Karena belum ada formulasi definisi yang jelas dan baku yang

diakui secara universal inilah telah berdampak pada biasnya pemahaman masyarakat dunia

terhadap berbagai upaya memerangi terorisme, sehingga merugikan pihak tertentu dan tidak

menutup kemungkinan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan definisi yang

jelas, gamblang, transparan, dan diterima secara universal, kita tidak akan salah menunjuk

orang atau kelompok tertentu sebagai teroris dan memeranginya. Meskipun demikian,

setidaknya ada beberapa definisi yang dapat penulis suguhkan dalam penelitian ini agar bisa

memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana sebenarnya terorisme.

Sebelum melangkah lebih jauh tentang pendefinisian terorisme, agaknya perlu

diungkapkan perbedaan antara teror dan terorisme. Sebagai metode kekerasan, teror dan

terorisme memiliki pengertian yang berbeda meski asal-usul namanya sama-sama berasal dari

bahasa Latin, “terrere” yang berarti menimbulkan ketakutan yang mendalam. Penggunaan

kekerasan atau teror tidak langsung merupakan terorisme karena aksi teror merupakan

aktivitas yang dilakukan untuk tujuan-tujuan kriminal yang bercorak spontan dan tidak

terorganisir rapi serta cenderung bersifat personal/perorangan. Sebaliknya, terorisme bersifat

sistematis, terorganisir rapi dan dilakukan oleh sebuah organisasi atau kelompok sebagai

pelaku dari aktivitas teror tersebut. Makna kata teror dan terorisme telah mengalami

perubahan yang cukup signifikan sejak akhir abad ke-19. Dalam Webster‟s International

Dictionary seperti dirujuk Rohmawati, edisi 1890 memberikan definisi teror sebagai

“Extreme fear, fear that agitates body and mind; violent dread; fright” (rasa takut yang luar

biasa, rasa takut yang mengganggu tubuh dan pikiran, ketakutan yang mendalam). Pada

perkembangan selanjutnya, Webster‟s New Twentieth Century Dictionary meng-cover

121

Alif Arrosyid, Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia 2000-2005

(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008), awal bab II, t.h. Tesis di SPs UIN Jakarta.

Page 100: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

82

pengertian yang sama secara esensial: 1) Intens fear (rasa takut yang mendalam); 2) a person

or thing that causes intense fear (seseorang atau sesuatu yang menimbulkan rasa takut yang

mendalam); 3) a period characterized by political executions, as during the French

Revolution (suatu periode yang ditandai dengan eksekusi politik yang berlangsung selama

Revolusi Prancis); 4) a program of terrorism or a party, group, etc, resorting to this (suatu

program terorisme atau suatu partai, kelompok, dan lain-lain yang menggunakan tindakan

kekerasan/terorisme). Dengan penambahan akhiran “isme” pada kata teror, timbul perbedaan

pengertian di kalangan para ilmuan. Menurut Rourke masih dalam Rohmawati, terorisme

merujuk pada “aksi-aksi kekerasan secara luas yang dapat menimbulkan ketakutan yang

besar secara kontinyu (berlanjut) yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok

lain.” Adapun Noam Chomsky juga memberikan definisi terorisme sebagai berikut:

“Penggunaan intimidasi atau ancaman dengan menggunakan cara-cara kekerasan secara

sistematis yang dilakukan oleh sekelompok, baik suatu penguasa maupun negara atau

mereka yang tidak berkuasa atau sedang menjadi oposisi terhadap penguasa.” Istilah

terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18 terutama untuk menunjukkan aksi-aksi

kekerasan yang dilakukan pemerintah (penguasa) yang ditujukan untuk menjamin ketaatan

rakyat.122

Dalam kajian akademis, memang dibedakan antara teror dan terorisme. Ada yang

memandang bahwa terorisme adalah bentuk pemikiran, sedangkan teror adalah aksi atau

tindakan yang terorganisir. Kebanyakan memang memandang teror bisa terjadi tanpa adanya

terorisme. Teror menjadi unsur asli yang melekat pada terorisme. Terorisme adalah puncak

aksi kekerasan. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.

Menyitir Rikard Bagun, seperti dalam Said Aqil Siradj, terorisme tidak sama dengan

intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan

122

Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002, Tesis pada SPs UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, tahun 2005, h. 29-39.

Page 101: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

83

terorisme tidak. Kaum teroris hanya ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas

memperhatikan perjuangan mereka. Kaum teroris modern justru suka mengeluarkan

pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan

media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.

Cara pandang dalam ―tatapan akademis‖ tersebut perlu dikedepankan. Ini dalam

rangka membedakan dari ―tatapan ideologis‖ yang eksklusif dan cenderung reaktif. Ketika

terjadi bom di Alam Sutera, sontak dari kalangan ini menyebutnya (kaum akademisi) sebagai

titik balik yang bisa meruntuhkan stigmatisasi agama dalam isu terorisme. Stigmatisasi yang

dituduhkan sebenarnya terlalu berlebihan. Negara memahami teroris bisa datang dari mana

saja. Namun, menyitir Brian Michael Jenkins, teroris tidak jatuh dari langit, mereka muncul

dari seperangkat keyakinan yang dipegang kuat. Mereka adalah radikal. Kemudian mereka

menjadi teroris. Aksi teror yang muncul akibat ideologis inilah yang selama ini muncul di

negeri kita. Peristiwa bom, hingga penembakan terhadap aparat, telah terkuak dilakukan oleh

mereka yang berasal dari jaringan radikal keagamaan. Walaupun model jaringan sudah mulai

melemah, sel-selnya masih bergerak hingga metamorfosis terorisme ―sel hantu‖ yang

berangkat dari individu. Di sinilah perlu pembacaan secara bijak. Pemerintah sudah

mengeluarkan Perppu Antiterorisme yaitu Perppu No. 1 Tahun 2002 dan Perppu No.2 Tahun

2002, dan kita sudah punya UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

sebagai dasar hukum di Indonesia. Ada unsur-unsur terorisme yang telah ditetapkan, yaitu

perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk

menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan kedaulatan bangsa dan

negara. Dan itu dilakukan dengan menggunakan kekerasan, menimbulkan suasana teror atau

rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,

dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda dari orang lain

(Pasal 1 Ayat 1). Dikeluarkannya Perppu itu tidaklah lain karena untuk memproteksi

Page 102: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

84

masyarakat dari masalah terorisme yang muncul pascareformasi pada tahun 1999 hingga

2003, khususnya pada tahun 2000-2002, kemudian tahun 1999 adalah era transisi demokrasi

yang ditandai oleh lahirnya gerakan-gerakan militan Islam yang secara sosiologis muncul

karena merasa tertindas atau tertekan selama rezim Orde Baru.

Di era Orde Lama, bentuk pola aksi teror didominasi oleh aksi-aksi separatis yang

marak terjadi di masa itu. Aksi-aksi ini mayoritas dilakukan oleh organisasi seperti

PRRI/Permesta, PKI, dan DI/TII. Aksi-aksi yang dilakukan berorientasi pada penggulingan

pemerintahan yang sah, mengingat masih labilnya kondisi politik di masa itu. Naiknya

Mayjen TNI Soeharto, yang sebelumnya menjabat sebagai Pangkostrad, menjadi Presiden RI

menggantikan Ir. Soekarno membuka babak baru dalam sistem pemerintahan NKRI. Di masa

Orde Baru, terjadi perubahan drastis dan menyeluruh di berbagai bidang, terutama di bidang

ekonomi dan politik.123

Tahun 2000 diasumsikan sebagai indikasi awal dan menjadi stimulan

bagi kerja jaringan terorisme di Indonesia. Dan selanjutnya, tahun 2002 meletus tragedi

kemanusiaan yaitu Bom Bali yang sangat hebat di Indonesia di mana dampaknya pada krisis

multidimensional yang dialami bangsa kita. Kejahatan teror akan terus beralih rupa. Bisa saja

ada pergeseran motif politik menuju motif ekonomi, atau berwujud kejahatan transnasional

melalui kejahatan dunia maya. Dan, dari yang berakar etnosentrisme beralih wajah menjadi

kejahatan katarsis (amuk personal). Kita perlu mewaspadai, perubahan demografis akibat

mobilitas manusia secara massif bisa memengaruhi keamanan nasional. Pertumbuhan

populasi yang tidak terkendali juga bisa meningkatkan peluang instabilitas, radikalisme, dan

terorisme.124

Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa dan negara Indonesia kita tak lepas dari

guncangan teror bom. Dari mulai tahun 2000 sampai sekarang sudah banyak korban tewas

123

Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi

(Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 10-11. 124

Said Aqil Siradj Ketua PBNU, Membaca Bom Alam Sutera, artikel kolom Opini Harian KOMPAS

pada Rabu, 4 November 2015.

Page 103: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

85

dari masyarakat sipil, polisi, dan warga asing. Berikut ini daftar peristiwa ledakan teroris

yang pernah terjadi di Indonesia.

Tabel. 3

Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Indonesia

No Tanggal Kejadian Deskripsi/Keterangan

1 1 Agustus 2000 Bom meledak di Kedutaan Besar

(Kedubes/Embassy) Filipina. Bom meledak dari

sebuah mobil yang diparkir di depan rumah

Dubes Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang

tewas, dan 21 orang luka-luka. Termasuk Dubes

Filipina, Leonides T Caday

2 27 Agustus 2000 Sebuah granat meledak di Kompleks Kedutaan

Besar Malaysia, Kuningan Jakarta. Tidak ada

korban jiwa

3 13 September 2000 Bom meledak di lantai parkir Bursa Efek Jakarta

(BEJ), 10 orang tewas dan 90 orang luka-luka,

baik luka berat maupun luka ringan. 161 mobil

rusak, dan sarana gedung rusak berat.

4 24 Desember 2000 Serangan bom meledak pada malam Natal di

Jakarta, Bandung, Ciamis, Bekasi, Sukabumi,

Mataram, Pematang-Siantar, Medan, Mojokerto,

Batam, dan Pekanbaru. Aksi pengeboman ini

terjadi bersamaan dengan memanasnya konflik

horizontal bernuansa agama di Maluku dan

sekitarnya. 16 jiwa tewas, 96 orang luka-luka,

dan 37 mobil rusak.

5 22 Juli 2001 bom meledak di Gereja Santa Anna dan gereja

Huria Kristen Batak Protestan (KHBP) di

Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. 5 orang

meninggal dunia.

6 31 Juli 2001 bom meledak di Gereja Bethel Tabernakel

Kristus Alfa Omega, Jl. Gajah Mada Semarang,

Jawa Tengah

7 23 September 2001 bom meledak di Plaza Atrium Senen, Jakarta

Pusat. Ledakan tersebut menyebabkan 6 orang

terluka dan merusak beberapa mobil.

8 12 Oktober 2001 Sebuah bom meledak di KFC Makassar yang

mengakibatkan kaca-kaca, langit-langit, dan

lampu neon pecah.

9 6 November 2001 bom rakitan meledak di halaman Australian

International School (AIS), Pejaten, Jakarta

Selatan.

Page 104: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

86

10 12 Oktober 2002 bertempat di Paddy‘s Pub dan Sari Club (SC) di

Jalan Legian, Kuta, Bali yang mengguncang

Bom. Dua bom meledak spektakuler dalam

waktu yang hampir bersamaan yaitu pukul 23.05

WITA. Lebih dari 200 orang tewas, dan 200

lebih lainnya luka berat maupun ringan dalam

peristiwa yang dikenal dengan Bom Bali Satu.

Jumlah korban dan dampak/implikasinya

mendunia. Turis mancanegara menjadi takut

berkunjung ke Indonesia.

11 3 Februari 2003 bom rakitan meledak di Lobi Wisma Bayangkari

Mabes Polri Jakarta.

12 27 April 2003 bom meledak di bandara Soekarno Hatta

Cengkareng tereminal 2F, 2 orang luka berat,

dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.

13 5 Agustus 2003 bom berkekuatan tinggi meledak di kawasan

Hotel JW Marriot kawasan Mega Kuningan.

Bom meledak sekitar pukul 12.45 WIB.

Sebanyak 14 orang tewas, dan sekitar 150 orang

cedera.

14 10 Januari 2004 bom meledak di sebuah cafe Palopo, Sulawesi. 4

orang tewas.

15 9 September 2004 bom meledak di Kedubes Australia Jl. HR

Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan. Akibat

peristiwa itu 6 orang tewas.

16 28 Mei 2005 bom meledak di tentena, Poso, Sulawesi Tengah.

22 orang tewas.

17 1 Oktober 2005 bom meledak di RAJA‘s Bar dan Restaurant,

Kuta Square, daerah pantai Kuta, Bali dan di

Nyoman Café Jimbaran. 22 orang tewas dalam

peristiwa yang dikenal dengan Bom Bali Dua

18 22 Maret 2006 sekitar pukul 19.00 WITA, bom meledak di pos

kamling dusun Landangan, Desa Toni,

Kecamatan Poso Pesisir.

19 1 Juli 2006 sebuah bom meledak di Gereja Kristen Sulawesi

Tengah (GKST) Eklesia jalan Pulau Seram,

Poso. Tidak ada korban jiwa maupun kerusakan

materil.

20 3 Agustus 2006 bom meledak di Stadion Kasintuwu Poso. Tidak

ada korban jiwa dalam peristiwa itu

21 6 September 2006

bom meledak di Tangkura Poso Pesisir Selatan

22 17 Juli 2009 terjadi ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan

JW Marriot, Jakarta. Seperti diketahui 9 korban

Page 105: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

87

tewas.

23 pada 15 April 2011 tiga bom meledak di tiga kota di Indonesia. Bom

pertama, meledak di Masjid Malporesta Cirebon.

Peristiwa ini menewaskan pelaku teror

pengeboman dan melukai 25 orang. Kedua, kota

Tangerang di mana polisi berhasil menggagalkan

aksi pemboman terhadap Gereja Christ

Cathedral. Kota berikutnya adalah Solo. Sebuah

bom bunuh diri kembali diledakkan di GBIS

Kepunten Solo, Jawa Tengah. Satu orang pelaku

tewas dalam peristiwa ini sedangkan 28 orang

lainnya terluka.

24 19 Agustus 2012 pengeboman terjadi di Pospom Gladak, Solo

Jawa Tengah. Tidak ada korban dalam peristiwa

tersebut.

25 3 Juni 2013. bom bunuh diri di halaman Mapolres, Poso

Sulawesi Tengah

26 4 Agustus 2013 Ledakan terjadi di Vihara Ekayana Amara jalan

Mangga II/8 RT 08/08 Kelurahan Duri Kepa,

Tanjung Duren, Jakarta Barat, pada pukul 18.50

WIB. Satu paket bom gagal meledak dam 3

orang luka-luka

Sumber: http://news.detik.com/read/2009/07/17/161656/1167203/10/data-ledakan-bom-di-

indonesia-2000-2009.125

Selain itu data didapat dan disarikan dari Tim Redaksi Sindo serta Litbang

Kompas. 126

Di bumi Indonesia, apa yang diharapkan dari pemuka agama tidak lain adalah

mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat mengacu ke arah

radikalisme dan kekerasan. Dalam lingkungan Islam, di atas pundak pemuka agama terletak

kewajiban untuk mensosialisasikan konsep moderasi yang menghindari sikap ekstrem atau

berlebihan dalam kedua sisinya, guna menciptakan masyarakat penengah dan adil, atau dalam

bahasa Al-Qur‘an yaitu ummatan wasathan (QS. al-Baqarah [2] : 143). Segala bentuk

moderasi keagamaan, baik dalam menilai, berinteraksi dengan kelompok lain, maupun dalam

menjalankan tuntunan agama perlu mendapat tekanan. Untuk itu, usaha-usaha untuk mencari

titik temu dalam ajaran agama-agama dunia guna mencegah terjadinya kekerasan atau

125

Sumber kejadian bom dapat dilihat pula

http://news.detik.com/read/2009/07/17/161656/1167203/10/data-ledakan-bom-di-indonesia-2000-2009 diakses

10 Juni 2014 pukul 12.07 WIB. 126

Tim Redaksi SINDO, Teror Bom yang Guncang Indonesia, Topik Pilihan Koran SINDO, pada

Jum‘at 15 Januari 2016, h. 8-9.

Page 106: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

88

radikalisme perlu terus ditingkatkan. Dan sebelum melangkah ke arah itu, rekonsiliasi intern

dari setiap kelompok harus menjadi prioritas utama dalam agenda tiap agama. Dalam bahasa

Islam popular upaya tersebut dikenal dengan istilah taqrīb baina al-madzâhib (pendekatan

antar sekte/mazhab). Kiranya dengan pendekatan ini benih radikalisme keagamaan akan

dapat kita bendung agar tidak tumbuh di tanah air kita.127

Terkait terorisme di Indonesia, dalam catatan Kepolisian Negara Republik

Indonesia, sepanjang tahun 2015 telah menangkap 74 orang terduga teroris, yang 65 di

antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Polisi juga terus mencegah aksi keji terorisme ini

dengan kontinyu dan mengawasi pergerakan kelompok NIIS di tanah air. Terbukti, polisi

juga mencegah sembilan teror. Karena itu, penanganan tindak pidana terorisme dan

deradikalisasi tetap menjadi skala prioritas Polri di tahun 2016 dan selanjutnya sampai

terkikis habis. Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menjelaskan dari 74 orang yang

ditangkap, 9 orang di antaranya dipulangkan karena tidak cukup bukti. Jumlah itu termasuk

10 terduga teroris yang ditangkap pada operasi 18-23 Desember 2015 terkait dengan rencana

aksi teror yang didukung kelompok militan ISIS dan jaringan Jamâah Islâmiyah (JI). Aksi

teror yang dicegah kepolisian antara lain penangkapan terduga teroris yang akan melakukan

teror jelang perayaan hari Kemerdekaan RI di Solo, Jawa Tengah, penangkapan empat orang

di Tasikmalaya Jawa Barat yang diduga merencanakan aksi jelang Natal, serta penangkapan

satu orang di Bekasi Jawa Barat yang akan dieksekusi menjelang akhir tahun atau saat

pergantian awal tahun baru.

Menurut Badrodin Haiti, selama pencegahan terorisme periode 2004-2015,

sebanyak 35 polisi meninggal dunia dan 67 polisi lainnya luka-luka. Penyebabnya antara lain

aksi baku tembak dengan kelompok radikal teroris tersebut. Dari 171 aksi terorisme yang

diungkap pada sepanjang tahun 2000-2015, Polri telah menangkap 1.064 terduga teroris. Dari

127

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), h.

149.

Page 107: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

89

jumlah itu, 451 orang sudah bebas dari penjara. Selain itu, saat ini dari data Polri, sebanyak

408 Warga Negara Indonesia (WNI) berada di Suriah bergabung dengan NIIS (Negara Islam

Iraq-Suriah). Adapun di Tanah Air, Indonesia, terdapat 543 orang yang menjadi kelompok

inti NIIS, 246 orang penduduk NIIS, dan 296 orang menjadi simpatisan kelompok itu. Dalam

menyampaikan refleksi akhir tahun kinerja Kepolisian di Mabes Polri Jakarta, dihadiri oleh

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris yang

mengatakan kepolisian harus bersinergi dan berkoordinasi dengan Detasemen khusus 88 anti

teror untuk melaksanakan program deradikalisasi.128

Di negeri kita, belum berselang lama, juga pernah terjadi kasus teror bom di ITC

Depok, Jawa Barat, yang hingga kini pelakunya belum tertangkap. Dalam sederet contoh

kasus tersebut, motif (faktor pemicu) menjadi penting dalam membaca misteri di balik

sebuah aksi. Terbacalah beberapa motif (faktor pendorong), seperti depresi, penggunaan

akibat narkoba, xenofobia, kriminal dan juga motif rasial, politik dan keagamaan. Begitu pun,

adanya dampak yang ditimbulkan akibat aksi tersebut menjadi hitung-hitungan dalam

pembacaannya. Keragaman motif dan dan kekuatan dampak ini menandakan, dalam aksi

kekerasan tidak semua aksi kekerasan semata dapat dinyatakan sebagai aksi teroris.

Mengapa? Aksi teroris yang bersumbu dari ―paham teror‖ mempunyai ―daya ledak‖ secara

masif sehingga membawa pada keguncangan stabilitas negara. Bom Bali, misalnya

ditetapkan sebagai ―dampak nasional‖ karena dampaknya yang sangat besar bagi negara.129

Berita paling termutakhir di awal tahun 2016 apa yang terjadi di kawasan jalan protokol

Sarinah MH Thamrin. Ledakan bom dan baku tembak itu menewaskan tujuh orang

meninggal, lima di antaranya teroris dan satu warga asing, dan satu lagi warga negara

Indonesia seorang office boy (OB) pada sebuah perkantoran Sarinah yang waktu itu

128

Source: dilansir dari Harian Nasional KOMPAS dalam berita Politik dan Hukum, Rabu 30

Desember 2015, h. 5. 129

Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU, Membaca Bom Alam Sutera, artikel OPINI dimuat di Harian

KOMPAS, Rabu 4 November 2015.

Page 108: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

90

berkerumunan dengan masyarakat melihat peristiwa nahas, dan sekitar 20 orang luka-luka.130

Serangan bom di jalan Thamrin diduga melibatkan dua kelompok di Jakarta dan Cirebon.

Para saksi yang ditangkap mengungkap skema perencanaan. Menggunakan cara dan bahan-

bahan sederhana, biaya perakitan bom tak sampai 2 juta rupiah. Bahkan dalam laporan utama

Majalah Tempo, kepolisian republik Indonesia menyebutkan para pelaku teror di kawasan

Thamrin, Jakarta, beberapa bulan lalu, terhubung dengan sejumlah pentolan kelompok

radikal Tanah Air pendukung Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS). Setelah peristiwa

berdarah itu, belasan orang ditangkap di sejumlah tempat. Sebagian dari mereka pemain yang

disebut-sebut berhulu ke Aman Abdurahman, pemimpin Jamaah Ansharut Daulah yang kini

mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kembang Kuning, Nusakambangan, Cilacap.131

4) Menginterpretasi Jihâd dan Terorisme secara Tepat

Meskipun ‗mungkin benar‘ bahwa sebagian tindakan terorisme dilakukan oleh para

fundamentalis yang menjustifikasi gerakannya sebagai jihâd fī sabīlillah, namun konsep

jihâd sendiri itu harus dipahami secara komprehensif. Hampir bisa dipastikan, istilah jihâd

merupakan salah satu konsep Islam yang paling sensitif, sering disalahpahami,

diselewengkan dan dicemarkan, khususnya di dunia Barat modern. Pertanyaan penting yang

dapat kita ajukan kepada penganjur radikalisme atau terorisme yang notabene beragama

Islam adalah apakah benar tindakan mereka itu jihâd seperti yang diajarkan Islam? (meskipun

secara sadar dan penuh keyakinan bahwa para teroris itu tidak memiliki jubah agama

apapaun). Jangan-jangan para teroris yang mengaku berjihad itu tidak memahami makna

jihâd yang sebenarnya. Mereka hanya tahu kulitnya saja, tanpa mengetahui isinya. Lebih

berbahaya lagi, kalau ternyata apa yang mereka sebut sebagai jihâd itu ternyata adalah upaya

penyelewengan teks (nash) Al-Qur‘an dan hadis (pendistorsian).

130

Headline News pada Harian Umum Republika, Jumat 15 Januari 2016 / 4 Rabi‘ul Awwal 1437 H,

nomor 12 Tahun ke-24. 131

Majalah TEMPO, edisi 4448/25-31 Januari 2016, h. 30-33.

Page 109: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

91

Dalam Al-Qur‘an dan hadis memang terdapat ayat-ayat dan matan (teks hadis)132

yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad. Namun, ayat dan matan yang berkaitan

dengan konsep jihâd atau peperangan (qitâl)133

seringkali ditafsirkan secara serampangan.

Penafsiran secara subjektif dan jauh dari nilai ilmiah inilah yang kemudian menjadi justifikasi

sekaligus stimulus bagi banyak gerakan politik (harakah siyâsiyah) Islam yang pada

gilirannya mencoreng wajah umat Islam secara keseluruhan. Dari sini kemudian muncul

gerakan-gerakan yang mempolitisasi agama yang pada hakikatnya bertentangan dengan

substansi agama itu sendiri dan kepentingan politik sekaligus dengan cara menafsirkan ayat-

ayat Al-Qur‘an dan menggunakan hadis-hadis untuk melegitimasi kepentingan gerakan

tersebut.

Oleh sebab itu, diperlukan peninjauan ulang terhadap pemaknaan konsep jihâd

pada pemikiran klasik yang sudah sekian lama ditulis dan dipaparkan oleh para ulama yang

kredibel dan autentik. Dibutuhkan semacam langkah kembali pada nilai-nilai pemahaman

modern dan kontemporer. Menoleh makna dasar jihâd, pada prinsipnya jihâd berkonotasi

pada upaya pengekangan hawa nafsu yang dimulai dari kondisi individu dan kemudian bisa

mengkristal secara kolektif. Makna dasar ini penting untuk tetap dipegang, sebab pemaknaan

ini mempunyai filosofi tentang eksistensi diri manusia sendiri. Dalam arti manusia terdapat

sifat-sifat yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, diperlukan upaya netralisasi dan

132

Dalam literatur kitab hadis, pembahasan mengenai hadis-hadis jihâd ini diberikan space yang cukup

besar. Biasanya dimulai dengan Kitâb al-Jihâd, atau Kitâb Fadhâil al-Jihâd, dan Bâb seperti Bâb mâ dzukira

anna Abwâba al-Jannah tahta Dzhilâl al-Suyûf. Tercantum kitab Tuhfah al-Ahwadzī bi Syarhi Jâmi‟ al-Tirmidzī

(Syarah Sunan al-Tirmidzī), oleh Imam al-Mubârakfûrī (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2001), juz ke-5, h. 595-597. 133

Yang menjadi central problem adalah kata qitâl yang tidak boleh diartikan secara tekstual, harus

kontesktual. Penelitian/pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis yang tertuju pada beberapa

objek: misalnya struktur bahasanya apakah susunan kata dalam matan hadis itu sesuai dengan kaidah bahasa

Arab atau tidak? Lalu apakah menggunakan kata-kata yang lazim dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi

Muhammad SAW atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literatur modern?

Kemudian apakah redaksi hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian? Dan terakhir apakah makna kata

tersebut misalnya dalam kasuistik ini qitâl, ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sama dengan makna

yang dipahami oleh pembaca terjemahan hadis itu atau penelitinya, hal ini dilakukan demi menjaga otentisitas

hadis dan jauh dari unsur politik. Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 76.

Page 110: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

92

pembersihan diri secara kontinu agar eksistensi tersebut bisa terjaga dan berkembang secara

sehat.

Rupanya wacana tentang jihâd telah menarik atensi ilmuwan dan para pengamat

Barat (Orientalis, mustasyriqûn) untuk menelusurinya lebih dalam. Kalangan orientalis

mengumandangkan bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Bagi mereka, menurut

Azyumardi Azra sebagaimana dirujuk Enizar, ketika mendengar ungkapan jihâd, maka

muncul dalam ingatan mereka adalah angkatan perang muslim yang menyerbu ke berbagai

wilayah dengan tujuan memaksa nonmuslim untuk memeluk Islam.134

Dapat diasumsikan

bahwa nilai atraktif yang berkelindan di balik doktrin jihâd dalam Islam ini dilatari oleh dua

asumsi. Pertama, secara tekstual, Al-Qur‘an dan hadis selaku pedoman dominan dasar ajaran

Islam banyak mengurai tentang jihâd, sehingga memicu penggelut studi keislaman, baik dari

kalangan ilmuan Muslim maupun non Muslim, untuk menemukan konteks pemaknaan dari

signifikansinya dalam kehidupan kekinian. Kedua, menggejalanya paradigma keislaman yang

revolusioner, skriptualis, ataupun radikal di kalangan umat Islam. Fenomena keislaman

seperti ini, tak ayal telah meminimalisasi keagungan risalah Islam yang dikenal ―ramah‖ dan

―damai‖.

Dalam hal ini, Dawam Rahardjo dalam Nasaruddin Umar, menyebut lima ilmuwan

Barat (orientalis) yang mengulas doktrin jihâd. Di antara yang tertua adalah karya Andrean

Reland (1718) yang mengulas hukum perang melawan Kristen yang membahas masalah

jihâd sebagai doktrin utamanya. Dalam konteks Indonesia, Snouck Hurgronje dalam bukunya

De Achehers (1894) yang mengurai doktrin jihâd dalam konteks masyarakat Aceh. Ilmuan

lainnya adalah H. TH. Bobbrink (1901) yang menulis sebuah penelitian disertasi mengenai

gerakan Cheragh ‗Ali di India yang memfokuskan kajiannya pada doktrin jihâd.

134

Enizar, Jihad ! the Best Jihad for Moslems (Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2007), h. xii.

Page 111: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

93

Tokoh selanjutnya adalah A.J. Wensinck (1930) yang menghasilkan sebuah buku

pedoman tentang hadis yang dalam versi Inggrisnya dijuduli The Handbook of Early

Muhammadan Tradition. Buku ini juga memuat banyak uraian ―jihâd‖, kendati harus

merujuknya pada entri ―perang‖. Ilmuan lainnya adalah Rudolf Peters dari Universitas

Amsterdam dalam sebuah satu karyanya yang berjudul Islam and Colonialism: The Doctrine

of Jihâd in Modern History (1979). Karya ini lebih menitikberatkan pada relasi antara Islam

dan kolonialisme Barat, khususnya dampak kolonialisme terhadap Islam. Dalam Tesis ini,

penulis mencoba menghadirkan pemikiran keislaman dari seorang ilmuan kontemporer yang

terbilang kontroversial. Tokoh tersebut menamai dirinya Mark A. Gabriel yang hingga kini

belum diketahui nama aslinya. Ia adalah seorang pemikir liberal di tengah kelompok dan

lingkungan Muslim garis keras di Mesir. Dalam bukunya yang terkenal Islam and Terrorism

(2002) yang setebal 235 halaman. Gabriel secara lugas mengukuhkan terjadinya relasi antara

Islam dan terorisme, mulai dari akar terorisme dalam Islam hingga perkembangan jihâd di era

kontemporer. Paling tidak, sejumlah pemikiran Gabriel akan penulis sajikan sebagai starting

point untuk dievaluasi secara sistematis.

Gabriel menyoroti eksistensi surat al-Qitâl sebagai nama lain dari surat

Muhammad (47). Dari artinya, dapat dipahami bahwa surat al-Qitâl artinya adalah

peperangan, dan tidak dijumpai nama surat lainnya yang bernuansa perdamaian. Berdasar

pada penamaan surah ini, Gabriel dengan tegas menyatakan bahwa jihâd dan perang

merupakan ajaran paling utama dalam Islam. Atas dasar itu juga, Gabriel menilai sejarah

Islam sebagai ―sungai darah‖ (a river of blood). Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa

(doktrin) Islam-lah agama yang berada di balik segala tindak terorisme, bukan kaum

Muslimin. Gabriel berpandangan bahwa motif utama dari jihâd adalah untuk membasmi

manusia yang tidak menerima Islam sebagai agamanya. Ia memahami bahwa praktik jihâd di

zaman Nabi Muhammad SAW adalah memerangi warga Kristen dan Yahudi ataupun orang-

Page 112: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

94

orang yang menyembah berhala. Salah satu ayat Al-Qur‘an yang dijadikan legitimasi

pandangan bias Gabriel terhadap Islam adalah QS. al-Anfâl [8] : 39, yaitu:

ل ه زه ز ل ح خ فز ر ىه ٠ ىه ه ٱ ٠ ه ذ ۥوه لل ٱ ف ا ا ز ب لل ٱ ف ا ٠ ع ث ه ث ظ١ش

٦٦

―Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata

untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha

Melihat apa yang mereka kerjakan.‖ (QS. al-Anfâl [8] : 39).

Dalam ayat ini, term “jihad” dimaknai dengan term “struggle” yang didefinisikan

sebagai berikut:

“Fighting anybody who stands in the way of spreading Islam. Or fighting anyone

who refuse to enter into Islam.”

“Memerangi orang yang menghalangi penyebaran Islam. Atau, memerangi orang

yang menolak untuk masuk Islam.”

Di samping itu, Gabriel juga menyatakan bahwa wahyu yang turun kepada Nabi

Muhammad SAW yang menceritakan perihal Yahudi tidak pernah bernilai positif, tetapi

setelah Muhammad berhijrah ke Madinah, wahyu Al-Qur‘an yang menyebut term “Ahlul

Kitâb” bahkan menjadi sangat dimusuhi. Di antara ayat yang dimaksud adalah QS. al-Anfâl

[8] : 39 di atas. Pandangan lainnya adalah doktrin jihâd dalam Islam lebih memprioritaskan

membunuh musuh, ketimbang menjadikannya tawanan perang, sebagaimana termaktub

dalam QS. al-Anfâl [8] : 67, yaitu:

ب ب و أ ج أ ع ۥ ه ٠ ىه ش ز ٠هث ح ع س ل ٱ ف خ ع رهش٠ذه ش ٱ ع لله ٱ ١ بذ

ح ل ٱ ٠هش٠ذه ض٠ض لله ٱ خش ع ى١ ٤٤ ح

―Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan

musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan

Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana.‖ (QS. al-Anfâl [8] : 67).

Penulis berasumsi mengutip Nasaruddin Umar, bahwa paradigma keislaman ala Mark

Gabriel ini adalah paradigma yang banyak dipahami oleh mayoritas orientalis, terutama

Page 113: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

95

terkait dengan doktrin jihâd dan perang135

dalam Islam. Penyebutan Mark A. Gabriel sebagai

pengantar dalam uraian ini tidaklah bermaksud menafikan pemikiran Orientalis lainnya,

tetapi telah dianggap representatif untuk mengetahui permasalahan krusial yang patut

dievaluasi secara sistematis terkait dengan doktrin jihâd.136

Berikut ini pengulasan tentang

terminologi jihâd serta prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai rujukan dalam membedah

semantikal jihâd sampai ke akar-akarnya. Ulasan tersebut sangat penting mengingat

pemaknaan dan pengaplikasian jihâd dalam wacana global internasional dan regional terjadi

pergeseran, agar Islam benar-benar tercermin sebagai agama yang rahmatan lil „âlamīn,

bukan agama teror.

Makna jihâd yang berasal dari term j-h-d, jahada, yajhadu, juhdan, wa jihâdan,

bila kita telaah dalam kamus mempunyai turunan kata (musytaq/derivasi) dari akar kata

jâhada, yujâhidu, jihâdan, wa mujâhadatan lalu mujâhid (pelaku, pejuang di jalan Allah,

orang yang melakukan aksi jihâd).

137ماىد -ة د اى م و -ااد ه ج – د اى ي – د اى ج

berusaha dengan sungguh-sungguh بزيادة األلف. يف األمر مبعت : جد جهد جاىد : أولو

دة عليها.، وىو : ما كانت أحرف ماضيو ثالثة فقط من غت زياد ثالثي جهد وزنو كتب مر

135

Di antara matan hadis bernada jihâd/perang yang bisa dianalisis lewat pendekatan bahasa yakni

hadis dalam Sahīh Muslim Kitâb al-Īmân, bab al-Amr bi qitâl al-Nâs hatta Yaqûlû: Lâ ilâha illa Allâh. Hadis

tersebut berbunyi: ―Aku diperintahkan untuk memerangi manusia (non-muslim) sampai mereka benar-benar

mengucapkan syahadat, lalu mengakui bahwa Muhammad utusan Allah, mereka mendirikan salat, dan

mengeluarkan zakat. Apabila mereka melakukan perintah itu, maka selamatlah jiwa (darah) dan harta benda

mereka karena memeluk Islam, dan semua urusannya milik Allah.‖ (HR. Muslim). Lihat Muslim al-Naisabûrī,

al-Jâmi‟ al-Sahīh al-Musamma Sahīh Muslim (Semarang: Toha Putra, t.t), juz ke-1, h. 38. 136

Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis, Pengantar: Dr. H. Susilo

Bambang Yudhoyono Presiden RI ke-6 (Jakarta: Quanta Kompas Gramedia, 2014), h. 86-90. 137

Kata ini seimbang (wazan) dalam bidang ilmu Shorof, dengan kata قاتل ي قاتل مقات لة وقتاال مقاتل yakni masuk dalam pembahasan kedua (al-mabhats al-tsâni), mazīd al-tsulâsī bi harfin wâhidin (dengan

tambahan satu huruf setelah fa‟ fi‟il dan sebelum „ain fi‟il, lihat dalam Shorof Praktis: Metode Krapyak, oleh

Muhtarom Busyro, Pengantar: KH. Ahmad Warson Munawwir dan KH. Atabik Ali (Yogyakarta: Menara

Kudus, 2007), h. 82.

Page 114: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

96

Kata jahada sepadan (wazan/seimbang) dengan kata kataba yang merupakan

tsulasi mujarrad, di mana huruf madhi-nya hanya tiga huruf saja tanpa ada tambahan.138

Adapun derivasi-nya seperti berikut di bawah ini:

mencurahkan segala kemampuanل وسعو : ذجاىد : ب

perjuangan/berjuang di jalan Allahاجلهاد يف سبيل اهلل :

percurahan tenaga, pikiran untuk mengambil hukum (bukan qoth‟ī) dari اإلجتهاد إصطالحا :

suatu dalil139

Dalam kamus Kontemporer Arab-Indonesia, makna jihâd seperti di bawah ini:

tanah yang keras, tidak bertumbuh-tumbuhجهاد ج جهد :

140 جهاد : جهاد يف سبيل اهلل Jihâd, perjuangan, jihâd (berjuang di jalan Allah)

Dalam versi lain, secara praktis, makna jihâd diinterpretasikan oleh al-Jurjâni, yaitu:

seruan atau panggilan menuju agama Allah yang benar: ين الق عاء إل الد اجلهاد : ىو الد 141

Pemaknaan jihâd dipaparkan juga dalam kamus al-Maurid, disebutkan:

: jihad; holy war; struggle (jihad; perang suci; perjuangan) جهاد

;hard work effort; endeavor; attempt; exertion; strain :جهد

138 Syaikh Musthafâ al-Ghalâyainī, Jâmi‟ al-Durûs al-„Arabiyyah: Mausû‟ah fī Tsalâtsati Azjâ‟ (Kairo:

Dâr al-Hadīs, 2005), h. 44. 139

KH. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), h. 217-218. 140

Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus (al-„Ashri) Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta:

Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998), h. 702. 141

Ali al-Jurjâni, al-Ta‟rīfât (Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2003), h. 84.

Page 115: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

97

penggunaan; ketegangan; bekerja dengan keras)142 (Usaha; upaya; percobaan;

Dalam Kamus Istilah Kegamaan (KIK), makna jihâd diinterpretasikan: (1) perjuangan

tiada henti dengan mencurahkan segala yang dimilikinya, baik nyawa, harta, maupun ilmu,

hingga tercapai apa yang diperjuangkan dengan niat semata-mata mengharap rida Allah, (2)

perjuangan menegakkan kalimah Allah.143

Jihâd dalam Al-Qur‘an adalah jalan terbaik untuk

umat Islam demi merengkuh kesenangan di akhirat kelak, di mana di dalamnya manusia akan

melihat sorga yang di bawahnya ada sungai-sungai yang mengalir. Balasan tersebut akan

diberikan kepada mereka yang mau berjihad/berjuang dengan harta dan jiwa mereka di dunia

ini. Perhatikan firman Allah (QS. al-Shâf [61] : 10-12)

ٱ أ ٠ ب٠ ه ز٠ ا ا ء ىه أ ده ح رج ع ج١ىه ش ره اة ز ع ١ رهإ ٠٦ أ ه لل ٱث

عه س رهج ۦ ف ذه ج١ لل ٱ ع ثأ ىه فهغىه أ ر ١ ىه ش خ ئ ىه زه ر ع وه ه فش ٠ غ ٠٠ ىه

ث ىه ه ٠هذ ره خ ىه شر ج ذ ج غ شه ل ٱ ز بر ح ف ؽ ١ج خ ى ذ ذ ج ع ٱ ه ر ه ٱ صه ف ظ١ ع

٠٣

―Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan

menguntungkan yang akan dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu)

kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan ber-jihâd di jalan Allah dengan harta

dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika mau mengetahui. Niscaya Allah

mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di

bawahnya sungai-sungai dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga

‗Adn. Itulah kemenangan yang agung.‖ (QS. al-Shâf [61] : 10-12).

Di dalam Al-Qur‘an Al-Karim, term jihâd disebutkan sebanyak 41 kali, 9 di

antaranya ada dalam ayat Makkiyah dan sisanya 32 kali disebut dalam ayat Madaniyyah.144

Ayat-ayat yang berbicara tentang jihâd di antaranya adalah (QS. al-‗Ankabût [29]: 6). Seperti

di bawah ini ayatnya:

142 Munir Ba‘albaki dan Rohi Ba‘albaki, Kamus al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Penerjemah:

Achmad Sunarto (Surabaya: Halim Jaya, 2006), h. 267. 143

Choirul Fuad Yusuf, dkk., Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,

Khonghucu) (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Agama Republik Indonesia, 2015), h. 81. 144

M. Fuâd Abd al-Bâqī, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm (Kairo: Dâr el-Hadith

Publishing, 2007), h. 224-225.

Page 116: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

98

ب ذ ج ف ذه ٠هج ف ا ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤

―Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk

dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan

sesuatu) dari semesta alam. (QS. al-‗Ankabût [29]: 6).

Ayat lain yang bertemakan jihâd dan mengangkat senjata untuk berperang adalah

seperti tercantum di bawah ini:

أهر ٠هم ز٠ ه ز ه ثأا ه ظه ئ لل ٱ ظ ع ٱ ٦٦ م ذ٠ش ش ا أهخ ز٠ شجه

د٠ ١ ش ك ش ثغ ا أ ئل ح ه ث ب ٠ مه لله ٱ س ف ل هث ع بط ٱ لل ٱ عه د ذ غ ثج ع ؼ هذ عه ط

ث١ ع ط غ د شه ٠هز جذه ث١ش لل ٱ ه ع ٱ ف١ ب و ا و ش ظه ١ لله ٱ ه شه ظه ۥ ٠ لل ٱ ئ ض٠ض م ع

٥٦

―Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya

mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong

mereka itu. (Yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka

tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah

Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan

sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,

rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak

disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong

(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.‖ (QS.

al-Hajj [22] : 39-40.

Jihâd secara leksikal (makna dalam kamus) adalah ―mengerahkan upaya‖,

―berusaha‖, ―berjuang keras‖, atau lebih tepatnya ia melukiskan usaha maksimal untuk

melawan sesuatu yang salah. Para ahli linguistik membedakan definisi jahd dan juhd.

Menurut Ibnu Manzhûr, seperti disitir Nasaruddin Umar, mereka memaknai juhd dengan

kemampuan/kekuatan (thâqah), sedangkan jahd dengan rintangan (masyaqqah). Ada juga

yang mengartikan sebaliknya, yaitu term jahd diartikan sebagai ‗rintangan‘, sedangkan juhd

dengan ‗kemampuan‘. Jika dikatakan jâhada fi al-amr, berarti ia akan bersungguh-sungguh

dalam urusan tersebut, sehingga merasa lelah karena berusaha maksimal mungkin untuk

memperolehnya. Jika dikaitkan dengan musuh, maka frasa jâhada al-„aduwwa diartikan

Page 117: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

99

sebagai ―membunuh musuh, mencurahkan segenap tenaga untuk memeranginya, dan

mengeluarkan segenap kesungguhuhan dalam membela diri dari serangannya.‖145

Konotasi yang dimiliki kata jihâd sangat komprehensif. Pertama, mujâhadah,

perang spiritual melawan dorongan hawa nafsu atau upaya sungguh-sungguh membangun

nilai spiritual manusia. Kedua, ijtihâd, mencurahkan kemampuan guna menjustifikasikan

hukum yang cukup rumit melalui metode yang ketat dan diproyeksikan untuk mencetuskan

pendapat independen dalam yurisprudensi Islam (hukum fiqih), yakni dengan metode analogi

(qiyâs) dengan menggunakan fondasi ratio-legis („illat) yang terpetik dari Al-Qur‘an dan

hadis, membangun sisi intelektualitas seseorang. Ketiga, amar ma‟ruf nahi munkar;

perjuangan menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan kaum muslimin untuk

mengimplementasikan kewajiban-kewajiban syariat, serta menyesuaikan dengan norma-

norma etiknya. Keempat, qitâl fī sabīlillah; perang146

untuk membela agama dari sesuatu

yang mengancamnya dengan kode etik yang telah dijelaskan dari Al-Quran dan hadis.

Adapun jihâd secara terminologis menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylī,

sebagaimana dikutip Tim Kodifikasi Lajnah Bahtsul Masâil Ponpes Lirboyo Kediri, yaitu

mencurahkan kemampuan untuk menolak agresi orang-orang kafir dengan jiwa raga dan

harta. Sedangkan menurut KH Said Aqil Siradj, jihâd merupakan ―upaya pencurahan tenaga

secara fisik yang diproyeksikan untuk mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka

bumi guna mengakurasikan tugas manusia sebagai khalifah-Nya. Adapun berperang dengan

145

Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media

Komputindo Gramedia, 2014), h. 84-85. 146

Dalam kamus bahasa Arab, istilah teknis perang adalah qitâl, di sisi lain acap kali ditemukan tidak

selamanya begitu, terkadang menggunakan istilah غزوة ج غزوات yang bermakna peperangan, serangan,

ekspedisi, agresi, dan perang itu sendiri, misalnya dalam frasa dan bahkan terkadang ,(perang badar) ر د ب ة و ز غ

menggunakan istilah lain seperti ت ف ص ة ع ق و dalam contoh bentuk idhâfah ini ات ع ق ج و ة ع ق و (perang shiffīn).

Lihat dalam M. Napis Djuaeni, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Istilah Politik-Ekonomi) Jakarta: Mizan

Publika, 2006), h. 559 dan 830-831. Sebagai sebuah kasus, Ibnu Hajar al-‗Asqallânī, memasukkan hadis-hadis

tentang perang dalam Kitâb al-Maghâzī, dengan pengulasan berikutnya Bâb Qisshati Ghazwati Badr (Bab

Kisah perang Badar), tidak menggunakan Kitâb al-Qitâl. Lihat Ibnu Hajar al-‗Asqallânī, Fath al-Bâri bi Syarhi

Sahīh al-Bukhârī (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2004), juz ke-7, h. 320 dan 327.

Page 118: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

100

mengangkat senjata hanyalah salah satu dari beberapa model jihâd. Seperti halnya masalah

lain, jihâd diinstrusikan secara gradual (tadarruj, bertahap). Berikut ini fase-fase jihâd dalam

wahana dakwah Islam yang dirumuskan ulama. Pertama, fase deffensive (difâ‟i); kedua, fase

izin berjihad; ketiga, fase wajib jihâd; keempat, fase terakhir serta munculnya mazhab

deffensive (difâ‟i), dan offensive (hujûmi).147

Dalam konteks berperang, terminologi jihâd menurut Hanafiyyah didefinisikan

sebagai usaha dakwah untuk mengajak kepada agama yang haq (benar) dan memerangi orang

yang menolak dan menentangnya baik dengan turun langsung ke medan perang atau dengan

wujud partisipasi lain. Mâlikiyyah mendefinisikan jihâd sebagai peperangan antara umat

Islam melawan kuffâr yang tidak memiliki ikatan rekonsiliasi damai dengan Islam dengan

tujuan li i‟lâi kalimâtillah (untuk meninggikan kalimat-kalimat Allah). Menurut Hanâbilah,

jihâd adalah agresi umat Islam yang diarahkan hanya kepada orang kafir, sehingga menurut

versi ini perang menghadapi pemberontak (bughât), qutho‟ al-tharīq (perampok jalanan)

bukan termasuk jihâd. Sedangkan terminologi jihâd menurut Syâfi‘iyyah adalah perang

melawan kuffâr untuk melindungi eksistensi agama.

Dari variasi bahasa yang digunakan masing-masing mazhab dalam

mendeskripsikan jihad di atas, maka amaliah nyata untuk media mengekspresikan jihâd bagi

individu atau kelompok Islam dapat dimanifestasikan dalam bentuk: a) menunjukkan

masyarakat kepada ajaran tauhid dan ajaran Islam melalui media pendidikan, diskusi,

penelitian atau meluruskan pemahaman, penyimpangan dan kesesatan akidah umat. b) jihâd

dengan harta yang dialokasikan untuk kebutuhan dana sosial menegakkan masyarakat yang

kuat. c) dengan perang difâ‟i (defensif) yakni jihâd diizinkan hanya sebatas untuk membela

diri dari serangan musuh, tidak boleh mendahului menyerang, tidak boleh membunuh lawan

147

Tim Kodifikasi Purna Siswa Lirboyo Kediri, Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresi dan Progresif,

Editor: KH. Said Aqil Siradj (Lirboyo: Madrasah Hidâyatul Mubtadīn Kediri Jawa Timur, 2005), h. 225-227.

Lihat pula dalam Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi,

bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 105.

Page 119: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

101

yang telah menyerah atau membunuh selain pasukan perang. d) dengan perang hujûmi

(ofensif) yakni umat Islam boleh diizinkan melancarkan serangan terlebih dahulu kepada

orang-orang kafir atau musyrik. e) dengan perang habis-habisan atau perang total.148

Jihâd tidak identik dengan perang angkat senjata, pendefinisian itu bisa juga

diaplikasikan secara kontekstual untuk membela tanah air Indonesia tercinta, seperti yang

dahulu pernah digemakan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh KH.

Mohammad Hasyim Asy‘ari, yakni pada tahun 1945. Tatkala serdadu (pasukan) sekutu yang

dipelopori Inggris datang ke Surabaya Jawa Timur pada November 1945, beliau secara tegas

mengeluarkan resolusi jihâd guna memerangi sesuatu. Perang yang dimaksud beliau, sama

sekali tidaklah dimaksudkan untuk membela nama agama semata, tetapi juga untuk membela

tanah air dan bangsa. Pasalnya, dalam pandangan NU seperti ditegaskan dalam muktamarnya

di Banjarmasin pada tahun 1936, membela tanah air dan bangsa berarti juga melindungi

semua komunitas, baik Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, Khonghucu, aliran kepercayaan,

maupun komunitas adat lainnya.149

Menurut Mufti Besar Mesir, Syaikh Ali Jum‘ah dalam Muchlis M. Hanafi,

menyebutkan 6 (enam) syarat dan etika perang (jihâd/qitâl) dalam Islam yang

membedakannya dengan terorisme (irhâbiyyah),150

yakni: pertama, cara dan tujuannya jelas

148

Tim Kodifikasi DIFA Madrasah Hidâyatul Mubtadīn, Dimensi Doktrinal Studi Metodologis

Dinamika Fenomenal (Lirboyo: Kediri Jawa Timur, 2007), h. 116-118. 149

Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan

Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 107. Di sisi lain, penggemaan persoalan perang faktanya dalam

sejarah menjadi salah satu tema yang kerap muncul di kalangan umat Islam, di antaranya adalah khotbah

dorongan berjihad (khutbah al-hats „ala al-jihâd). Riset Moch Syarif Hidayatullah berkesimpulan bahwa

khotbah berjenis ini tidak terlalu banyak ditemukan yang terdokumentasi dalam bentuk tertulis, meskipun

praktiknya mungkin banyak, terutama saat isu terkait terorisme dan semangat anti-Amerika Serikat hangat

diperbincangkan. Sejauh ini baru khotbah dorongan berjihad (KDJ) yang berasal dari Aceh Abad XIX yang

dapat ditemukan. Moch Syarif Hidayatullah, Khotbah Berjihad Perang Aceh Abad XIX (Jakarta: Puslitbang

Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2013), h. 6. Buku ini bermula

dari Disertasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok, 2013. 150

Tindakan terorisme dalam bahasa Arab disebut Irhâbiyyah, pelakunya disebut irhâbī. Kata irhâbī

dalam tataran disiplin ilmu shorof (morfologis), berasal dari kata arhaba-yurhibu-irhâban. Adapun kata Arhaba

( ب ى ر أ ) sinonim dengan kata: (rowwa‟a) ع و ر , (ar‟aba) ب ع ر أ , (khowwafa) ف و خ , dan afza‟a ع أف ز yakni

menakut-nakuti, menggertak. Lihat Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern

Sinonim Arab-Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2009), h. 48.

Page 120: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

102

dan mulia; kedua, perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang

memerangi, bukan penduduk sipil; ketiga, perang harus dihentikan bila pihak lawan telah

menyerah dan memili damai; keempat, melindungi tawanan perang dan memperlakukannya

secara manusiawi; kelima, memelihara lingkungan, antara lain untuk membunuh binatang

tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, merusak

rumah/bangunan; keenam, menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta

dengan tidak melukai mereka.

Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihâd dengan pengertian perang dan

terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma‟ al-Fiqh al-Islâmī

nomor 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional, poin kelima

menyatakan, ―Perlu diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihâd,151

terorisme, dan

kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh

dimanipulasi dan harus dipahami sesuai pengertian yang sebenarnya.‖152

Dalam pandangan Syaikh Yûsuf al-Qardhâwi, terdapat empat definisi yang

berbeda antara jihâd (al-jihâd), peperangan (al-qitâl), perang (al-harb), kekerasan (al-„unf),

dan terorisme (al-irhâb). Jihâd adalah bentuk isim mashdar dari kata jâhada, yujâhidu,

jihâdan, mujâhadah. Secara etimologi, jihâd berarti mencurahkan usaha (badzl al-juhd),

kemampuan, dan tenaga. Jihâd secara bahasa berarti menanggung kesulitan. Kata jihâd

kemudian lebih banyak digunakan dalam arti peperangan (qitâl) untuk menolong agama dan

membela kehormatan umat. Akan tetapi, dalam penjelasan selanjutnya, kita akan tahu bahwa

151

Dalam disiplin ilmu Fiqih, ulasan mengenai tema jihâd dipaparkan secara terang-benderang, dan

komprehensif. Misalnya dalam kitâb Nihâyat al-Zain fī Irsyâd al-Mubtadiīn, Syarah „ala Qurrat al-„Ain bi

Muhimmât al-Dīn fī al-Fiqh „ala Madzhab al-Syâfi‟ī, karya masterpiece Syaikh Nawawī al-Bantanī. Beliau

memulai bahasan jihâd dengan Bâb al-Jihâd diawali hukumnya, lalu golongan yang wajib ber-jihâd. Syaikh

Nawawī al-Bantanī, Nihâyat al-Zain fi Irsyâd al-Mubtadīn (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), h. 328-334. Selain itu

penulis dapati juga dalam kitab Fiqih yang lain, misalnya bahwa jihâd itu wajib, dan kewajiban itu terfokus pada

tujuh persyaratan sampai pada pembagian ghanīmah (harta rampasan perang), lihat kitâb buah karya

Taqiyyuddīn al-Dimasyqī, Kifâyat al-Akhyâr fī Halli Ghâyat al-Ikhtishâr (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 165-

178. 152

Muchlis M. Hanafi, Islam, Kekerasan dan Terorisme (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-

Qur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 33-34.

Page 121: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

103

di dalam Al-Qur‘an dan sunnah (hadis), jihâd memiliki makna yang lebih luas lagi daripada

peperangan. Al-Qardhâwī mengutip Ibn al-Qayyim bahwa jihâd terbagi ke dalam tiga belas

tingkatan, di antaranya jihâd melawan hawa nafsu, jihâd dakwah dan penjelasan, dan jihâd

sabar. Sedangkan peperangan (qitâl) adalah bagian terakhir dari jihâd, yaitu berperang

dengan menggunakan senjata untuk menghadapi musuh. Makna inilah yang banyak dipahami

oleh orang-orang. Akan tetapi, baik dari segi derivasi maupun makna, peperangan (qitâl)

berbeda dengan jihâd. Al-Qitâl adalah isim mashdar dari kata qâtala-yuqâtilu-qitâlan-

muqâtalah. Dari segi makna, ia tidak sama dengan jihâd. Sebab, kata qâtala tidak sama

dengan jâhada. Al-Qitâl diambil dari kata al-qatl, sedangkan al-jihâd diambil dari kata al-

juhd. Kata al-qitâl dan berbagai derivasinya disebutkan dalam Al-Qur‘an sebanyak 67 kali.

Lalu perang (al-harb). Peperangan (al-qitâl) yang berarti pertarungan militer tidak

sama dengan perang (al-harb) dalam pemahaman zaman sekarang. Sebab, peperangan bukan

sebuah kelaziman yang harus dilakukan dalam perang zaman modern, meskipun ia tidak bisa

lepas dari perang. Pada dasarnya, perang bersifat militer dan menggunakan berbagai jenis

senjata. Akan tetapi, pada zaman sekarang dikenal perang-perang yang lain, seperti perang

kebudayaan, perang media massa, perang ekonomi, dan perang fisik. Perang pun biasanya

dilakukan selama beberapa waktu, sebagaimana perang bangsa Arab jahiliyah atau perang

Al-Basus antara bakr dan Taghlab lalu pernag Dunia I (1914-1919) dan perang Dunia II

(1939-1945).

Kata perang (al-harb) disebutkan oleh Al-Qur‘an sebanyak enam kali. Kemudian

kekerasan (al-„unf), kekerasan berarti kasar (al-syiddah wa al-ghalzhah). Kata ini merupakan

lawan dari halus (al-rifq) dan lemah lembut (al-layyin). Kata ini tidak ada dalam Al-Qur‘an,

baik dalam bentuk mashdar, fi‟il, ataupun shifat. Yang terakhir adalah terorisme (al-irhâb),

secara etimologi, al-irhâb diambil dari kata arhaba-yurhibu-irhâban yang berarti khawwafa-

yukhawwifu-takhwīfan. Maknanya adalah memberikan ketakutan. Fi‟il tsulâsi-nya adalah

Page 122: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

104

rahiba yang berarti khâfa (takut). Lawan dari takut adalah aman. Yang dimaksud dengan

terorisme dalam pembahasan kali ini adalah menciptakan kondisi takut kepada orang-orang

yang disebabkan oleh aktivitas militer, baik individu maupun kelompok. Pada dasarnya,

tindakan teror adalah dilarang. Akan tetapi, teror ini bisa menjadi boleh jika dilakukan untuk

tujuan-tujuan yang disyariatkan dan dengan menggunakan cara-cara yang disyariatkan. Jika

tujuannya disyariatkan, tetapi caranya tidak, atau keduanya disyariatkan, dalam pandangan

Islam, hal tersebut adalah haram.153

5) Penerapan Jihâd yang Salah

Di Indonesia sendiri, acap kali sebagian umat Islam memahami agama secara

sepotong-potong. Umat Islam perlu introspeksi diri dalam pemahaman keagamaan dan cara

belajar agamanya. Sehingga tidak mengambil ayat Al-Qur‘an dan hadis Nabi secara tidak

utuh, dan mengambil ayat tanpa mengaitkan dengan ayat yang lain dalam tema yang sama,

atau mengambil hadis tanpa melihat hadis yang lain sebagai komparasi literatur (dirâsah

muqâranah). Ada sebagian umat Islam Indonesia, yang memahami agama secara substansi

sehingga lepas makna teksnya. Adapula penafsiran agama yang hanya mengambil dari makna

tekstualnya, sehingga buta untuk membaca kontekstualnya. Kesimpulan yang diambil dari

Al-Qur‘an dan hadis Rasulullah SAW hanya pemahaman yang sesuai dengan suasana diri

dan selera hati, dan tentunya berdasarkan latar belakang keilmuannya (background

knowledge), bahkan pribadinya saja tidak mau mengikuti penafsiran sahabat Nabi, tâbi‟in,

tâbi‟it tâb‟in, dan ulama-ulama yang sudah diakui integritas dan kredibilitas keilmuannya.

Pemahaman agama Islam itu harus holistik dan komprehensif (syâmil wa

mutakâmil). Wajib mengaitkan suatu teks dengan konteks turunnya teks, bahkan juga harus

153

Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fī Dhau‟

Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih

Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,

2009), h. xxv-xxxi.

Page 123: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

105

dikorelasikan dengan konteks sosial-budaya yang dialami. Pemahaman Islam yang utuh dan

paripurna akan melahirkan keberagaman yang menjadi rahmat bagi semesta alam.154

Interpretasi pemahaman keagamaan sejatinya menggunakan pendekatan yang menjembatani

antara normativitas teks ilahi dengan historisitas realitas-empiris dan juga memadukan

pendekatan tekstual (normative) dengan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara

simultan. Tidak ada agama yang mengajarkan terorisme, kekerasan, dan kasar. Agama adalah

sumber kedamaian dan ketenteraman, tetapi sebagian orang ada yang keliru dalam

menafsirkan agama. Pemahaman yang keliru itu karena terjadi tafsiran monopolistic,

misalnya atas penafsiran dan Terjemahan Al-Qur‘an pada ayat yang bertemakan perang (qitâl

dan derivasinya), jihâd, khalīfah, khilâfah dan fitnah/adu domba. Radikalisme ialah ibu

kandung dari terorisme meski tidak semua radikalis merupakan teroris. Menurut Irfan Idris,

Direktur Jenderal Deradikalisasi BNPT, radikalisme menjadi negatif saat digunakan dengan

cara mengatasnamakan agama. Itu sebabnya, terorisme memiliki dua ciri, yaitu mudah

memberikan gelar kafir (takfīr) kepada kelompok lain yang tidak sealiran/sepaham, dan

memahami makna jihâd secara sempit. Ini adalah salah satu contoh dari paham radikalisme

berjubah agama.155

Keterlibatan individu dalam organisasi Islam radikal dan kesediannya melakukan

aksi kekerasan dengan menggunakan modus teror selalu mengundang pertanyaan. Di antara

pertanyaan yang muncul adalah tentang kekuatan yang mampu menggerakkan seseorang

bertindak dengan begitu tenang, sementara resiko besar akan menimpa dirinya dan orang lain.

pembahasan pada bagian ini coba menguak pertanyaan tersebut. Ada dua hal yang ingin

diungkap. Pertama, justifikasi agama yang memberikan pembenaran terhadap aksi yang

dilakukan individu. Kedua, gerakan kolektif atau gerakan sosial (social movement) sebagai

suatu mekanisme yang digunakan oleh organisasi Islam radikal untuk mewujudkan cita-

154

Cholil Nafis, Islam Wasathi versus Islamofobia, kolom Opini Harian Umum REPUBLIKA, Rabu 25

November 2015/ 13 Shafar 1437 H. 155

Jurnal Bimas Islam Kementerian Agama, Edisi XXXIII, November 2015 M / Muharram 1437 H.

Page 124: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

106

citanya yang di antaranya meniscayakan keberadaan individu yang memiliki karakter jihadis.

Individu dengan karakter demikian bisa dicermati pada kutipan di bawah ini:

“Saudaraku, aku wasiatkan kepada antum dan seluruh umat Islam yang telah

mengazzamkan dirinya kepada jihad dan mati syahid untuk terus berjihad dan

bertempur melawan setan akbar, Amerika dan Yahudi laknat. Saudaraku, jagalah

selalu amalan wajib dan sunnah harian antum semua. Sebab dengan itulah kita

berjihad dan sebab itulah kita mendapat rezeki mati syahid. Janganlah anggap remeh

amalan sunnah akhi, sebab itulah yang akan menyelamatkan kita semua dari bahaya

futur dan malas. Hati. Saudaraku, jagalah salat malammu kepada Allah Azza

Wajalla. Selalulah isi malammu sujud kepada-Nya dan pasrahkan diri antum semua

sepenuhnya kepada kekuasaannya. Ingatlah saudaraku, tiada kemenangan melainkan

dari Allah semata. Kepada antum semua yang telah mengikrarkan dirinya untuk

bertempur habis-habisan melawan anjing-anjing kekafiran, ingatlah perang belum

usai. Janganlah takut cercaan orang-orang yang suka mencela, sebab Allah di

belakang kita. Janganlah kalian bedakan antara sipil kafir dengan tentara kafir,

sebab yang ada dalam Islam hanyalah dua, adalah Islam atau kafir. Saudaraku,

jadilah hidup antum penuh dengan pembunuhan terhadap dengan orang-orang kafir.

Bukankah Allah telah memerintahkan kita untuk membunuh mereka semuanya,

sebagaimana mereka telah membunuh kita dan saudara kita semuanya. Bercita-

citalah menjadi penjagal orang-orang kafir. Didiklah anak cucu antum semua

menjadi penjagal dan teroris bagi seluruh orang-orang kafir. Sungguh saudaraku,

predikat itu lebih baik bai kita daripada predikat seorang muslim, tetapi tidak peduli

dengan darah saudaranya yang dibantai oleh kafirin laknat. Sungguh gelar teroris itu

lebih mulia daripada gelar ulama. Namun mereka justru menjadi penjaga benteng

kekafiran.”

Kutipan langsung yang cukup panjang di atas, bersumber dari MuslimDaily.Net yang

dipublikasikan pada 9 November 2008. Judul yang dipilih MuslimDaily.Net adalah surat

wasiat Imam Samudera. Nama Imam Samudera sangat popular dan merupakan salah satu

orang yang paling diburu oleh pihak keamanan bersama pelaku lain peledakan Paddy‟s Pub

dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, pada tanggal 12 Oktober 2002 yang

kemudian dikenal dengan Bom Bali I. Bom Bali I merupakan serangkaian tiga peristiwa

pengeboman yang terjadi pada Sabtu malam, 12 Oktober 2002. Aksi teror di salah satu

destinasi wisatawan asing itu menewaskan 202 orang yang sebagian besar

berkewarganegaraan asing. Sedangkan, sekitar 300 orang mengalami luka-luka, serta

menghancurkan 47 bangunan. Pada 26 Nopember 2002, Imam Samudera alias Hudama alias

Page 125: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

107

Abdul Aziz merupakan salah satu tokoh utama di balik peledakan itu, ditangkap Tim

Gabungan Antiteror Bom dan Buser Polwil Banten di Pelabuhan Penyeberangan Merak-

Bakauheni. Pada 9 November 2008, Imam Samudera bersama dua terpidana mati lainnya

yang terkait dengan Bom Bali I, Amrozi, Ali Ghufron alias Mukhlas, dieksekusi mati.

Pada usia yang tergolong remaja (teenager) itu, seperti diceritakan Muhammad

Haniff Hassan, sebagaimana dikutip Syamsul Arifin, etos jihad Imam Samudera mulai

terbentuk. Semangat atau etos jihâd Imam Samudera mulai terasah setelah membaca buku

Abdullah Azzam yang terkenal, Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Dalam Jihâd Afghanistan

(Allah‟s Signs in the Afghan Jihâd). Setiap kali selesai membaca buku itu, lanjut Muhammad

Haniff Hassan, Imam Samudera berdoa agak kelak dapat datang ke Afghanistan sebagai

syahīd yang dijanjikan surga oleh Allah. Imam Samudera memang tidak dapat mewujudkan

hasrat jihâd dan mimpi indahnya sebagai mati syahīd156 yang akan dijemput oleh bidadari

dari surga di medan perjuangan Afghanistan, tetapi justru harus mengakhiri hidupnya setelah

diberondong peluru yang diselesaikan oleh Tim eksekutor hukuman mati, hukuman yang

harus diterima setelah terlibat dalam aksi teror di Bali pada 2002. Tetapi, kendati tidak

menjadi syahīd di Afghanistan, Imam Samudera tetap meyakini bahwa apa yang telah

dilakukan bersama kawan-kawannya di Bali merupakan perwujudan jihâd (aktualisasi dari

pemahaman jihâd). Bacalah pengakuan Imam Samudera dalam buku yang ditulisnya sendiri,

Aku Melawan Teroris:

“Berdasarkan niat atau rencana target, jelas bom Bali merupakan jihad fi sabilillah,

karena yang jadi sasaran utama adalah bangsa-bangsa penjajah seperti Amerika dan

sekutunya. Ini semakin jelas dengan adanya pembantaian massal terhadap umat

Islam di Afghanistan pada bulan Ramadhan tahun 2001 yang disaksikan oleh hampir

seluruh umat manusia di segala penjuru bumi. Bangsa-bangsa penjajah pembantai

156

Bom syahīd secara tegas para fuqahâ (ahli Fiqih) memaparkan bahwa membunuh orang-orang

muslim tak berdosa adalah haram karena tergolong perbuatan destruktif (mafsadah), kecuali ketika mereka

dijadikan perisai oleh tentara kafir. Tim Kodifikasi Lirboyo, Pengantar: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj,

Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresif dan Progresif (Perumus Lajnah Bahtsul Masâil Ponpes Lirboyo Purna

Siswa: Kediri Jatim, 2005), h. 273.

Page 126: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

108

kaum lemah dan bayi-bayi tak berdosa itulah yang disebut kaum musyrikin (kaum

kafir) yang berhak diperangi sebagaimana dalam firman Allah:… “dan perangilah

kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kaum semuanya dan

ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Taubah

[9] : 36).

Kurang lebih setahun setelah terbitnya buku Aku Melawan Teroris, Penerbit

Pustaka Qaulan Sadida menerbitkan buku berjudul, Mereka adalah Teroris ! Bantahan

terhadap Buku Aku Melawan Teroris ! Sebagaimana judulnya, buku yang ditulis oleh

Luqman bin Muhammad Ba‘abduh ini merupakan bantahan terhadap buku Aku Melawan

Teroris. Salah satu pandangan yang dibantah secara keras oleh Luqman bin Muhammad

Ba‘abduh adalah aksi teror di Bali yang diyakini sebagai jihâd oleh Imam Samudera. Luqman

mengkritik tindakan Imam Samudera, karena tidak saja telah menodai nama harum jihâd,

akan tetapi juga mengaburkan makna jihâd di mata umat Islam. Keyakinian Imam Samudera

bahwa orang kafir boleh diperangi, juga mendapatkan bantahan dari Luqman bin

Ba‘abduh…‟‟tidak semua orang kafir itu diperangi. Ada beberapa kriteria dan batasan yang

harus diperhatikan dalam hal ini.”

Tidak diketahui secara pasti apakah Imam Samudera membaca buku yang

menyerang keyakinannya itu (buku bantahan). Tetapi bisa dipastikan, kalau saja

membacanya, Imam Samudera tetap bergeming dengan keyakinan yang dipegang secara kuat

sejak usia remaja. Individu yang telah direkrut dan terlibat demikian dalam pada jaringan dan

organisasi terorisme, biasanya sulit mengkorvensi keyakinannya dengan keyakinan yang

lebih moderat. Keyakinan yang dipegang teguh oleh Imam Samudera juga akan dijumpai

pada orang lain dan terus berkelanjutan sampai kapan pun. Dalam konteks ini, kekhawatiran

sejumlah kalangan terhadap keberlanjutan radikalisme dan terorisme di Indonesia cukup

tinggi, karena selalu ada saja faktor-faktor yang dapat menggerakkannya seperti keberadaan

dan perluasan pengaruh ISIS. Melihat analisa dengan disertai data serta fakta yang aktual-

Page 127: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

109

objektif terkait pemicu radikalisme dan teorisme yang terjadi secara ilmiah pada gilirannya

menjawab tudingan miring MMI terkait problem kebahasaan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag

RI. Dari hipotesa di atas, sangat tidak tepat bila Terjemah Al-Qur‘an Kemenag menjadi

penyebab munculnya aksi brutal dan kejam (terorisme) di negeri ini. Di antara sebab-sebab

yang telah disebutkan di atas menjadi counter discourse terhadap kesimpulan semu pola

keagamaan organisasi fundamentalisme Islam politis tersebut. Sebab-sebab terjadinya

terorisme menjadi sangat penting untuk diketahui, karena dengan mengetahui sebab-sebab

yang melatarbelakanginya, maka dapat ditemukan langkah-langkah atau strategi yang tepat

dan efektif untuk memberantasnya.

6) Penyebab Lahirnya Terorisme

Fenomena aksi terorisme yang sering terjadi pada awal abad 21 ini disebabkan

banyak faktor yang berjalin kelindan. Karena itu, penting sekali dikemukakan di sini

sejumlah akar penyebab munculnya terorisme. Dalam lawatan ke Indonesia pertengahan

Februari 2016 lalu, Grand Syaikh (Imam Besar) Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Syaikh

Ahmad Muhammad Ahmad al-Thayyeb, seperti dalam wawancara eksklusif dengan Majalah

Tempo, mengatakan bahwa gerakan Islam radikal dan sebagainya, seperti jaringan terorisme

itu, memiliki agenda terselubung, tujuannya menciptakan kekacauan di negara-negara Arab,

menciptakan suasana tidak stabil, dan mengubah peta geografis batas-batas di kawasan

tersebut. Sebut saja ISIS, mereka melakukan manipulasi terhadap metode Islam yang moderat

dan toleran. Munculnya gerakan-gerakan bersenjata ini (terorisme) disebabkan oleh banyak

hal, antara lain: keputusasaan yang dialami oleh generasi muda, pendudukan Zionis terhadap

Palestina, keterbelakangan ekonomi, dan pengangguran.

Lanjut Grand Syaikh Universitas al-Azhar Kairo Mesir tersebut, untuk menghadapi

genomena global semacam ini, yang pertama perlu kita lakukan adalah menjalin persatuan.

Page 128: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

110

Kemudian, kedua, menjalin kerja sama dengan negara lain, negara-negara Barat, ataupun

negara-negara Islam. Kita juga perlu menyelesaikan persoalan umat Islam yang bertikai. Itu

perlu diselesaikan. Lalu sebarkan pemahaman yang benar bahwa Islam ataupun agama

samawi lainnya hadir untuk membawa rahmat dan kasih sayang, menciptakan perdamaian di

antara umat manusia. Lalu ajarkan pemahaman bahwa Islam agama toleran dan

mengharamkan segala hal tentang terorisme. Kita juga harus membentengi ruang gerak

mereka dengan mengepung konsep-konsep dasar atau teologis mereka yang menjadi pijakan

gerakan terorisme itu, khususnya yang terkait dengan pengkafiran.157

Secara umum,

munculnya tindakan terorisme disebabkan satu atau lebih dari faktor-faktor berikut di bawah

ini: Pertama, persoalan ideologi. Ideologi menurut Yunanto dalam buku ‗Gerakan Militan

Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara‟ sebagaimana dikutip Rohmawati adalah

seperangkat kepercayaan yang menjadi dasar dari tindakan seseorang, sekelompok partai,

atau negara. Ideologi berfungsi memberikan konsepsi, arah, tujuan, serta memberikan alasan

dan pengaturan-pengaturan terhadap gerakan dan didesain dari aktivitas gerakan. Ia juga

dapat berfungsi sebagai lem yang merekatkan individu yang terlibat dalam kegiatan. Ideologi

adalah salah satu alasan yang digunakan orang atau kelompok tertentu (jaringan teroris)

untuk melakukan tindakan kekerasan atau terorisme. Kelompok yang menggunakan ideologi

sebagai dasar aksi penebaran tindakan kekerasan tercermin dari gerakan Zionis Israel dan

juga gerakan komunis yang banyak tersebar di seluruh penjuru dunia, terutama sebagai

bagian perluasan pengaruh dari negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan RRC. Ini

terjadi terutama pada masa Perang Dingin. Alasan ideologi juga digunakan oleh beberapa

gerakan militan Islam untuk menjustifikasi tindakan yang bernuansa kekerasan, serta

dijadikan motivasi dan arah dalam aktivitas radikalnya. Oleh karena itu, sebarkan ideologi

Pancasila. Pancasila adalah dasari ideologi bangsa Indonesia yang merupakan kontrak sosial

157

Disarikan dari laporan wawancara mendalam Majalah TEMPO dengan Grand Syaikh al-Azhar

Kairo, Mesir, dimuat pada Edisi Khusus 4502/7-13 Maret 2016, h. 164-167.

Page 129: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

111

seluruh elemen bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Pada saat ini, kelompok Islam

radikal berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan syariat Islam, dan menggantikan

sistem pemerintahan yang berdasarkan UUD 1945 dengan sistem pemerintahan Islam

(khilâfah islâmiyah). Penanggulangan terorisme dan pemikiran radikalisme diharapkan akan

dapat memahamkan kelompok radikal bahwa Pancasila bukanlah seperti yang mereka

pikirkan selama ini, karena secara esensial Pancasila sudah berjalan dengan ajaran Islam.158

Kedua, soal perjuangan agama. Contoh kelompok-kelompok yang melandaskan

diri pada perjuangan agama tertentu adalah kelompok-kelompok Islam radikal yang

berkembang di seluruh dunia terutama yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam.

Tujuan perjuangan kelompok tersebut adalah membangun negara Islam yang menerapkan

hukum atau syariat Islam secara murni dalam hukum negara. Tujuan tersebut biasanya

muncul disebabkan oleh ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut terhadap kebijakan-

kebijakan pemerintah yang dinilai terlalu sekuler dan banyak didekte oleh kebijakan

modernisasi negara-negara Barat, sehingga memarjinalkan kepentingan kaum Muslimin

fundamentalis. Kelompok tersebut kemudian dikategorikan sebagai kelompok Muslim

radikal karena cara-cara yang mereka gunakan dalam upaya mencapai tujuannya kerap kali

melalui aksi kekerasan yang menimbulkan teror, baik secara langsung kepada pemerintah

maupun masyarakat luas. Kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok ini adalah

Al-Qaeda, HAMAS, Jamâah Islâmiyah (JI), dan yang paling terbaru adalah ISIS di Timur

Tengah yang jaringannya meluas hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di samping

itu pemahaman agama yang benar juga perlu dikedapankan. Sebab aksi terorisme dan

kekerasan kerap kali menjadi pilihan cara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari sebuah

organisasi radikal. Mereka secara umum bercita-cita sebuah tatanan masyarakat atau negara

yang sesuai dengan keyakinan dan perjuangan mereka. Lihat saja bagaimana mereka tidak

158

Agus Surya Bakti, Merintis Jalan Mencegah Terorisme, sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Semarak

Lautan Warna Press, 2014), h. 31.

Page 130: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

112

mau menerima sistem hukum dan konsep pemerintahan demokrasi yang sudah berlaku di

Indonesia misalnya. Hukum dan dasar negara yang ada dianggap buatan orang kafir yang

sekuler dan layak diperangi. Pengelolaan tata negara juga kebarat-baratan, karenanya dalam

pandangan mereka harus diubah menjadi sistem syariat Islam.

Ketiga, adanya faktor ketidakadilan. Munculnya aksi-aksi terorisme dalam suatu

negara itu terkait dengan kebijakan (policy), aturan, hukum pemerintah, atau pembangunan

nasional yang tidak adil dalam kondisi realistis tatanan masyarakat yang pluralistik yang

berlangsung lama dan tidak ada harapan adanya perubahan. Mereka (kelompok) yang

termarjinalkan dan sakit hati terhadap pemerintah tidak bisa menyelesaikan permasalahan

secara adil. Aksi-aksi kekerasan, menurut mereka merupakan satu-satunya cara untuk

melakukan protes terhadap pemerintah. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat gerakan

separatis yang melakukan aksi-aksi kekerasan dengan tujuan melepaskan diri dari wilayah

negara berdaulat tempat mereka tinggal. Dasar perjuangan dari gerakan ini biasanya

merupakan pencampuran antara kepentingan religius, etnis, dan dipengaruhi oleh

kesenjangan ekonomi. Gerakan tersebut seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, dan

Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di Papua. Selain itu, juga ada gerakan separatis yang

identik dengan pengajaran agama seperti kelompok Moro di Filipina Selatan atau Pattani di

Thailand. Dalam konteks global, ketidakadilan ini juga dicontohkan oleh Amerika Serikat

sebagai negara adidaya yang memiliki super power untuk mengatur dunia. Kebijakan luar

negeri AS selama ini sangat menyakiti hati umat Islam di dunia. Sebagai contoh, perlakuan

AS yang diskriminatif terhadap Afghanistan atau Irak, bertolak belakang dengan sikap

mereka terhadap perlaku Israel yang secara kasat mata berbuat semena-mena kepada rakyat

Palestina. Kekecewaan umat Islam tersebut kemudian melahirkan kelompok-kelompok

Page 131: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

113

radikal yang berusaha melawan AS dan sekutunya atas perlakuan tidak adilnya terhadao

dunia Islam.159

Keempat, adanya kegaduhan sistem sosial-politik. Penggunaan kekerasan dan

terorisme, khususnya dalam tradisi Islam modern, itu lebih banyak dipengaruhi oleh

tantangan sistem sosial politik yang dihadapi, terutama hubungannya dengan negara.

Lemahnya proses demokratisasi di banyak negara Muslim telah menciptakan frustasi dari

sebagian masyarakat karena aspirasinya tidak ditampung oleh lembaga demokrasi yang ada.

Pasca koloniasi, banyak negara Muslim yang belum secara penuh menerapkan demokrasi

sebagai sarana mengakomodasi kepentingan masyarakat. Ketika demokrasi tersebut

diterapkan dan gerakan-gerakan Islam politik berhasil masuk ke dalam kekuasaan secara

demokratis, pemerintahan yang berkuasa cenderung untuk tidak mengakuinya baik didukung

maupun tidak oleh Barat. Di sisi lain, sebagian gerakan-gerakan Islam politik ini sering

melihat bahwa kuatnya posisi negara tersebut karena dukungan pemerintahan Barat. Di sini

Barat dipersepsikan sebagai pihak yang berperan untuk tidak menerima gerakan Islam, baik

melalui cara demokratis maupun nondemokratis. Ketika cara-cara demokratis konstitusional

dihambat, sebagian dari gerakan ini menempuh cara-cara kekerasan untuk menperjuangkan

tujuan politiknya.

Dalam rangka mencapai tujuan politiknya, maksud-maksud suatu kelompok

melakukan tindakan kekerasan dan terorisme antara lain sebagai berikut:

1. Memperoleh keuntungan melalui konsesi-konsesi tertentu, seperti uang tebusan,

pembebasan tahanan politik, penyebarluasan pesan dan sebagainya; 2. Memperoleh publisitas

(publish) luas. Teroris ingin menarik perhatian masyarakat luas kepada aspirasi perjuangan

dan pengakuan terhadap eksistensinya sebagai pihak yang bersengketa. Karena biasanya

159

Alif Arrosyid, Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia tahun 2000-

2005 (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), t.h. Tesis di SPs UIN Jakarta.

Page 132: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

114

kelompok teroris itu kecil, selain tidak memiliki penopang dana yang kuat maka untuk

maksud itu, aksi terorisme yang dilakukan haruslah cukup dramatik dan menggemparkan

agar di blow up oleh media massa.; 3. Menimbulkan kekacauan luas, demoralisasi, dan

disfungsi sistem sosial. Ini adalah maksud tipikal dari kaum revolusioner, nihilis, dan anarkis,

akan tetapi strategi ini sering gagal. Masyarakat yang sebelumnya mungkin bersimpati

dengan tujuan perjuangan kaum disiden (orang yang tidak mau menurut pemerintahnya

karena dianggap pemerintah itu salah (keliru), dan thâgût (pembangkang) itu akan ikut

membantu penguasa memberantas terorisme yang membabi buta.

4. Memancing retalisasi dan atau kontra teror dari pemerintah sedemikian rupa

sehingga menimbulkan situasi yang akan menguntungkan para teroris yang pada akhirnya

bahkan mungkin dapat menggulingkan pemerintah; 5. Memaksakan kepatuhan dan ketaatan.

Ini adalah maksud yang tipikal dari suatu pemerintah yang totaliter/fasis/diktator/monolitik.

Teror yang dilakukan oleh pemerintah (state terrorism) terhadap rakyatnya sendiri bertujuan

untuk menancapkan kekuasaan mutlak pada rakyat. Cara ini juga dipakai oleh organisasi

teroris untuk maksud-maksud yang sama di kalangan para anggotanya; 6. Menghukum yang

bersalah, atau dipandang sebagai simbol dari sesuatu yang jahat/salah, seperti orang-orang

yang tidak setuju dengan tujuan perjuangan mereka, bekerja sama dengan penguasa bergaya

hidup yang bertentangan dengan paham mereka dan sebagainya.160

Kelima, lemahnya sistem negara, dalam arti lemah sisi pertahanan dan keamanan

negara, terlebih lagi ketahanan pemikiran dan pemahaman keagamaan . Serangan teroris

bersenjata yang seringkali mengincer target lunak (soft targets) sangat membahayakan

keselamatan seluruh warga negara. Serangan teroris seringkali tidak spesifik diarahkan pada

kelompok tertentu. Serangan tersebut dilakukan pada target tanpa membedakan antara

160

Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia

(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 47-51. Tesis di SPs UIN Jakarta.

Page 133: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

115

kombatan dan non-kombatan. Oleh karena itu, seringkali jatuh korban dari masyarakat yang

tidak memiliki keterlibatan dengan kelompok-kelompok yang pada dasarnya menjadi sasaran

teroris itu sendiri.161

Negara yang kuat adalah negara yang mampu mengayomi dan

mengontrol rakyatnya, memberikan hak-hak dan mampu memaksa mereka untuk

menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Sebaliknya, negara yang lemah sulit sekali

mengontrol dan menjalankan fungsi-fungsi negara dengan semestinya. Situasi seperti ini

kemudian banyak dimanfaatkan oleh kelompok atau organisasi tertentu untuk merapatkan

barisan, memoblisasi anggota, dan melakukan gerakan-gerakan tertentu dengan leluasa tanpa

khawatir akan dibasmi oleh negara. Apalagi jika kepentingan politik elit tertentu dari

penguasa negatif ikut bermain mata dengan mereka. Wahasil mereka akan semakin leluasa

melakukan berbagai rencananya.

Sebagai contoh, terlepas dari berbagai kritikan dan resistensinya, masa rezim

Soeharto sangat kuat mengontrol berbagai elemen masyarakat. Karenanya, pada masa itu

organisasi-organisasi Islam garis keras tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan

diri. Karenanya, hampir tidak pernah ada pada masa itu peledakan bom, sweeping massa,

mobilisasi jihâd, dan sebagainya. Sementara pasca rezim Soeharto, seiring isu demokratisasi

yang semakin menguat, tanpa disadari negara begitu lemah untuk mengontrol mereka.

Berbagai organisasi Islam garis keras tiba-tiba bermunculan. Mereka bahkan secara terang-

terangan mempertontonkan kekuatannya dengan dalih agama. Tak jarang mereka mengambil

alih tugas-tugas kepolisian maupun TNI dalam hal yang berkaitan dengan ketertiban sipil.

Parahnya, kekuatan mereka ini kemudian dimanfaatkan oleh elit penguasa tertentu untuk

161

Agus Surya Bakti, Merintis Jalan Mencegah Terorisme: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Semarak

Lautan Warna Press, 2014), h. 33-34.

Page 134: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

116

kepentingan politiknya. Sehingga yang terjadi kemudian simbiosis mutualisme antara elite

dengan organisasi Islam garis keras tersebut.162

7) Negara Islam: Doktrin Paling Strategis saat ini

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Masa kenabian itu ada di tengah-tengah

kalian, keberadaannya atas kehendak Allah. Allah mengangkat-Nya apabila Ia menghendaki

untuk mengangkat-Nya. Kemudian masa khalīfah yang mengikuti jejak kenabian (khilâfah al-

minhâj al-nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia

menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong, otoriter

(mulkan jabariyyan), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia

menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa khilâfah yang mengikuti jejak kenabian

(khilâfah „ala minhâj al-nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR. Ahmad dan

Baihaqi dari Nu‘man bin Basyir dari Hudzaifah bin Yaman). Sabda Nabi Muhammad SAW

di atas adalah sebuah berita ‗langit‘ yang diterima beliau untuk mengabarkan atas datangnya

suatu sistem kepemimpinan dalam lingkungan umat Islam. Era kenabian, semua sepakat

yakni sejak pengangkatan beliau sebagai Nabi, hingga wafatnya Rasulullah SAW (2 Rabi‘ul

Awwal 11 H/8 Juni 632 M). Tentu saja masa setelah beliau wafat, sebagaimana dinyatakan

dalam hadis di atas, adalah masa khilâfah yang mengikuti jejak kenabian. Pada masa ini ada

empat orang khalīfah yaitu Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq, Sayyidina Umar bin Khattab,

Sayyidina Usman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan empat orang

khalifah ini disebut juga khulafâ al-rasyidûn, yang berarti khalifah-khalifah yang mendapat

petunjuk.

162

Arif Arrosyid, Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia tahun 2000-

2005 (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), t.h.

Page 135: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

117

Setelah masa khulafâ al-râsyidīn tentu masa-masa kerajaan yang beliau sebut

mulkan adhan dan dilanjutkan masa kerajaan mulkan jabariyyan. Dalam sejarah, kita

mengetahui bahwa setelah khulafâ al-rasyidīn adalah khilafah bani Umayyah selama 90

tahun (661-750 M) di Damasykus. Dilanjutkan dari tahun 756-1031 di Kordoba, Spanyol.

Setelah bani Umayyah runtuh digantikan oleh Daulah Abbasiyyah, berdiri selama 750-1258

M, dan pusat pemerintahannya berada di Baghdad.163

Hizbut Tahrir (selain MMI yang

dikelompokkan sebagai fundamentalisme Islam politis) mengadopsi pendapat bahwa hanya

dengan Khilafah-lah syariat Islam dapat diterapkan secara menyeluruh. Khilafah

didefinisikan sebagai kepemimpinan umum dalam Islam di dunia untuk menegakkan hukum

syariat Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Berdasarkan definisi tersebut,

terdapat tiga ciri utama sistem khilafah. Pertama, khilafah merupakan kepemimpinan umum

bagi kaum muslimin seluruh dunia. Negara global tersebut dipimpin oleh satu orang khalifah

untuk seluruh umat Islam. Dalam pandangan HT, berdasarkan hadis nabi, haram hukumnya

umat Islam dipimpin oleh lebih dari satu pemimpin. Umat Islam hanya diperbolehkan

memiliki satu orang pemimpin yang mengatur urusan-urusan mereka di dunia. Dengan

demikian, khilafah yang ingin di bangun adalah satu bentuk pemerintahan global yang

bertolak belakang dengan bentuk negara bangsa. Berdasarkan argumentasi tersebut, HT

berpandangan bahwa paham nasionalisme yang berakar pada konsep negara bangas

merupakan paham yang bertentangan dengan Islam dan haram untuk diyakini. Dengan kata

lain, paham yang dianut oleh HT adalah paham anti nasionalisme dan menolak konsep negara

bangsa Dalam pandangannya, nasionalisme merupakan salah satu faktor eksternal yang

berperan dalam menghancur-kan institusi khilafah tahun 1924.164

163

Ahmad Syafi‘i Mufid, Berfikir Jihadis Divonis Teroris, Perjalanan Hidup Aktivis Muslim Indonesia

dalam buku Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2015), h. xv-xvi. 164

Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan

Sosial (Jakarta: A-Empat, 2015), h. 90-91.

Page 136: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

118

Negara Islam (daulah islâmiyah) atau (sistem kepemerintahan Islam/khilâfah

islâmiyah) dan jihâd hanyalah dua doktrin di antara senarai doktrin lainnya yang dipegang

oleh organisasi garis keras dan disebarkan kepada pihak di luar, baik secara individual

maupun kelembagaan. Selain kedua doktrin tersebut masih ada doktrin lainnya. Kajian yang

dilakukan Solahuddin seperti dikutip Syamsul Arifin terhadap salafī jihadisme ditemukan

empat doktrin kunci; yaitu: 1) Qitâl fī Sabīlillah, perang di jalan Allah SWT. 2) jihâd fardhu

„ain, jihâd merupakan kewajiban individual bagi setiap muslim untuk merebut kembali

wilayah Islam yang dikuasai oleh kaum kafir, baik kâfir ajnabī (kafir asing) maupun kâfir

mahallī (kafir tempatan) seperti para penguasa murtad yang memerintah negeri-negeri Islam,

3) irhâbiyah (terorisme). Terorisme bahkan sasarannya kaum sipil diperbolehkan sebagai

bentuk aksi qishâsh atau balas dendam, 4) tauhīd hâkimiyyah. Menurut doktrin ini,

kedaulatan merupakan milik Allah mutlak dan karenanya hukum yang dijalankannya

hanyalah hukum yang berasal dari Allah. Konsep ini berasal dari Sayyid Qutub dan Abul

A‘la al-Maududi, dan keduanya menjadikan konsep hakimiyyah sebagai bagian dari tauhid.

Konsep inilah, tauhīd al-hâkimiyyah, yang dikritik oleh kelompok salafi. Kelompok salafi

menuduh bahwa konsep ini dijadikan legitimasi teologis untuk tujuan-tujuan politiknya.165

Perwujudan doktrin ini adalah dengan mendirikan negara Islam (Islamic state) atau daulah

islâmiyah dalam nama syariat Islam untuk diterapkan. Bagi pihak yang menolak doktrin ini,

dinyatakan kâfir kendati memeluk agama Islam.166

165

Din Wahid, Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Indonesia, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta,

Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007, h, 355. 166

Menurut Azyumardi Azra, dalam konteks di Indonesia, masih ada kalangan kecil Muslim kita yang

memandang pentingnya kesatuan antara Islam dan Negara (din wa daulah). Bahkan salah satu masalah ideologis

dan sekaligus keamanan menyangkut Islam politik Indonesia dalam masa kontemporer, termasuk era reformasi

adalah masih bertahannya sel-sel sisa gerakan Negara Islam Indonesia, biasa disingkat NII, yang sering juga

disebut sebagai Darul Islam (DI, ranah Islam, atau Negara Islam ideal). NII diproklamasikan oleh Sekarmaji

Marijan Kartosuwiryo (1905-1962) pada Agustus 1949 di Cimambang, Jawa Barat. Azyumardi Azra,

Kartosuwiryo dan NII: Kajian Ulang, dalam Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic

Studies, Volume 21, No. 1, 2014, h, 177-182.

Page 137: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

119

Kajian Petrus Reihard Golose menemukan doktrin yang secara substantif memiliki

kesamaan dengan doktrin yang dikemukakan Solahuddin, yaitu 1) daulah islâmiyah. Tujuan

yang ingin dicapai oleh organisasi garis keras adalah mendirikan negara Islam yang

melampaui batas-batas negara. Dalam imajinasi organisasi garis keras, negara Islam kelak

dipimpin oleh seorang khalīfah (dengan sistem khilâfah islâmiyah, bukan pancasila misalnya

kalau konteks Indonesia). 2) hijrah. Doktrin ini menuntut setiap muslim meninggalkan

kenikmatan duniawi untuk berjuang di jalan Allah. Untuk melakukan hijrah, setiap muslim

perlu berpegang teguh terhadap nilai-nilai sebagai berikut: al-wala‟ wal bara‟ (loyal dan

memberi dukungan kepada kelompok dan tidak bersekutu dengan orang-orang yang dianggap

kafir; takfir (menyatakan pihak lain yang tidak sepaham dengannya). Jamâ‟ah (meyakini

bahwa umat Islam merupakan satu kesatuan); bai‟at (bersumpah setia kepada pemimpin dan

organisasi); 3) makna jihâd. Doktrin ini menuntut perjuangan secara nyata (fisik dan materi)

melawan musuh-musuh Allah. Untuk melakukan jihâd ini, pelakunya bahkan didoktrin

melakukan aksi bunuh diri sebagai salah satu cara mencapai kesyahidan (istisyhâd).167

C. Teks Keagamaan dan Pola Keislaman

Perjalanan sejarah di satu sisi telah melahirkan nilai-nilai dan capaian

kumulatifnya, dan teks keagamaan di sisi lain, tetaplah sama seperti sejak masa formatifnya.

Kenyataan bahwa teks (nash) bersifat terbatas, sedangkan realitas (wâqi‟‟i) terus

berkembang, menuntut para sarjana Muslim, khususnya di bidang tafsir Al-Qur‘an untuk

melakukan penafsiran (interpretation) yang cocok dengan denyut nadi perkembangan zaman.

Berbeda dengan para mufassir sebelumnya yang lebih banyak bergulat pada tataran bahasa

167

Syamsul Arifin, Multikulturalisme dalam Skema Deradikalisasi Paham dan Gerakan Keagamaan

Radikal di Indonesia, Proceeding Annual International Conference (AICIS), buku ke-2, Subtema: Islamic

Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems (STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Pendidikan

Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014) h. 175-176.

Page 138: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

120

dan perdebatan teologis, penekanan para sarjana Muslim modern dalam mengkaji Al-Qur‘an

adalah pada pentingnya melihat teks Al-Qur‘an dalam hubungannya dengan konteks.168

Agama, seperti dinyatakan banyak orang, dapat dilihat sebagai instrumen ilahiah

untuk memahami dunia. Islam, dibandingkan dengan agama-agama lain, sebenarnya

merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan

utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang ―hadir di mana-

mana‖ (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa ―di mana-mana‖,

kehadiran Islam selalu memberikan ―panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.‖

Pandangan ini telah mendorong sejumlah pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup

cara hidup yang total. Penubuhannya dinyatakan dalam syariah (hukum Islam). Bahkan

sebagian kalangan Islam melangkah lebih jauh dari itu: mereka menekankan bahwa ―Islam

adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah

kehidupan.‖ Tak diragukan lagi, mereka percaya akan sifat Islam yang sempurna dan

menyeluruh sehingga, menurut mereka, Islam meliputi tiga ―D‖ yang terkenal itu; yaitu din,

agama; dunya, dunia; dan daulah, negara. Dalam konteksnya yang sekarang, tidaklah terlalu

mengejutkan, meskipun kadang-kadang mengkhawatirkan, bahwa dunia Islam kontemporer

menyaksikan sebagian umat Islam yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan

sosial, ekonomi, dan politik pada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari

keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya.

Ekspresi-ekspresi dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer

seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam, revolusi Islam, atau fundamentalisme Islam.169

168

Cucu Surahman, Tafsir Kontekstual Jaringan Islam Liberal (JIL): Telaah atas Konsep Syariat Islam

dan Hudûd, dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies - Vol. 2, No. 1, 2013, h. 63. 169

Gambaran tentang sifat-sifat gerakan Islam ini dalam pandangan Deliar Noer bisa membingungkan

karena dikesankan ajaran Islam itu pun bisa bermacam-macam. Selain tiga nama gerakan itu, ada lagi penamaan

gerakan Islam baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Misalnya, Islam liberal, Islam ekstrim, Islam

skriptualis, Islam politik (yang sering dipertentangkan, sekurang-kurangnya dibedakan dari Islam kultural),

Islam inklusif, Islam substansialistik, Islam militan, Islam radikal, Islam formalistik, dan banyak istilah lain.

Acap kali pula, penamaan yang diletakkan ini lebih memandang sudut tertentu dari gerakan yang dimaksud,

sedangkan inti atau isinya bisa sama, sekurang-kurangnya dalam pemahaman. Penamaan itu pula yang lebih

Page 139: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

121

Pandangan holistik terhadap Islam sebagaimana diungkapkan di atas mempunyai

beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan itu telah mendorong lahirnya sebuah

kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang ―literal‖, yang hanya

menekankan dimensi ―luar‖-nya. Dan kecenderungan seperti ini telah dikembangkan

sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi ―kontekstual‖ dan ―dalam‖

dari prinsip-prinsip Islam. Karena itu, apa yang mungkin tersirat di balik ―penampilan-

penampilan tekstual‖-nya, hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan, maknanya.

Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara

kaum muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Al-Qur‘an sebagai instrumen

ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan

manusia. Mengakui syariah sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh merupakan

suatu hal, sementara memahaminya secara benar adalah hal yang lain lagi. Ada sejumlah

faktor yang mempengaruhi dan membentuk hasil pemahaman umat Islam terhadap syariah.

Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang disebut Mohammed Arkoun seperti

kutipan Bahtiar Effendi, sebagai ―estetika penerimaan‖ (aesthetic of reception), sangat

berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman. Dalam kritik-kritiknya, Arkoun

mengatakan bahwa selama ini perhatian begitu besar dicurahkan oleh para sejarawan. Karena

begitu, orang-orang Islam pada umumnya mengabaikan unsur-unsur aesthetic reception,

yakni ―bagaimana sebuah diskursus–terucap maupun tertulis–diterima oleh pendengar atau

pembaca. Soal ini, merujuk pada kondisi persepsi masing-masing budaya, atau lebih

tepatnya, masing-masing tingkatan budaya yang berhubungan dengan masing-masing

kelompok sosial pada setiap fase perkembangan sejarah. Kecenderungan intelektual yang

berbeda—apakah motifnya untuk mengetahui makna doktrin yang sebenarnya, yang secara

dikaitkan dengan suara dari sesuatu kelompok-apakah keras atau lunak, apakah dengan nada memerintah atau

memaksa atau dengan nada untuk menumbuhkan kepahaman. Akibatnya, seseorang bisa juga menjadi bingung

dibuatnya. Yang jelas, umat pun termasuk Indonesia, kurang menyatu, memperlihatkan lebih banyak keasingan

antara sesama. Lihat Deliar Noer, kata pengantar dalam buku Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan

Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju Mizan, 2002), h. xiii-xiv.

Page 140: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

122

literal terekspresikan dalam teks, atau untuk mengetahui prinsip-prinsip umum dari suatu

doktrin, di luar ekspresi literer dan tekstualnya—dalam upaya untuk memahami syariah dapat

berujung pada pemahaman yang berbeda mengenai suatu doktrin. Karenanya, kendatipun

setiap orang Islam menerima prinsip-prinsip umum yang tertuang dalam syariah, pemahaman

mereka tentang ajaran Islam diwarnai perbedaan-perbedaan.170

Benny Hoedoro Hoed mengatakan bahwa teks keagamaan adalah teks yang

subtansinya didominasi oleh tema dan topik-topik yang bersumber pada satu agama atau

lebih. Kitab suci adalah teks keagamaan yang bersumber pada satu agama. Pembicaraan kita

akan difokuskan pada teks yang bersumber pada satu agama, khususnya Al-Qur‘an. Tentu

saja ada teks keagamaan yang bukan kitab suci, seperti karya teologis dan karya sastra

keagamaan. Dunia teks keagamaan adalah teologi dan budaya agama tertentu, seperti Islam

dan Kristiani. Oleh karena itu, untuk memahami teks keagamaan wajib menguasai

teologinya. Kalau tidak, bisa saja terjadi kesalahan dalam menafsirkan teks atau bagian teks

yang bersangkutan dan menafsirkan calon pembacanya. Dalam penerjemahan teks

keagamaan, pemahaman konsep-konsep teologi menentukan bagaimana memahami teks asli

dan bagaimana menetapkan terjemahannya. Di samping itu, kita juga harus memahami alat

kebahasaan (retorika) yang digunakan dalam komunikasi tertulis ataupun lisan. Selain itu,

masalah pokok yang kita hadapi dalam penerjemahan kitab suci kelihatannya ada pada

pembacanya, yakni yang berkaitan dengan keberterimaan dan penafsiran. Dalam keadaan

demikian, penjelasan dan penafsiran oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi dan

otoritas dalam agama yang bersangkutan menjadi ―penerjemah‖ dan rujukan bagi umat yang

hanya dapat membaca dalam bahasa terjemahannya, dalam hal ini Al-Qur‘an terjemahan dari

lembaga atau orang-orang yang dianggap mempunyai otoritas tersebut.

170

Bahtiar Effendi, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara Doktrin dan

Kenyataan Empirik, dalam kata pengantar buku M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Ciputat:

Logos Wacana Ilmu, 2001), h. ix- xiii.

Page 141: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

123

Kemudian, hal yang menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah metafora yang

digunakan dalam Al-Qur‘an dan penafsirannya yang terwujud dalam terjemahan bahasa

Indonesianya. Metafora (majâz) lainnya yang menarik adalah penggambaran Allah yang

seolah-olah memiliki tangan (QS. Ali Imrân: 73); wajah (QS. al-Qashâsh: 88); dan mata (QS.

Hûd: 37). Padahal, dalam teologi Islam, Allah itu tidak berbentuk sama sekali. Ternyata,

dalam terjemahannya hanya kata tangan yang muncul dalam terjemahan Indonesianya,

sedangkan yang lain muncul dengan tafsirannya yaitu ―Allah‖ (untuk wajah) dan

―pengawasan‖ (untuk mata). Di sini penerjemah memperhatikan segi keberterimaan oleh

umat pembaca yang sudah diajari agar memandang Allah sebagai ―zat‖ yang tidak berbentuk.

Dalam hal ini, wajah, tangan, dan mata dipahami dan ditafsirkan sebagai metafora.

Sementara itu, dalam tulisan keagamaan Islam dan sastra, tidak jarang kita menemukan frasa

wajah Tuhan, tangan Tuhan, dan mata Tuhan, tetapi umumnya dipahami sebagai metafora.

Lalu, dalam penerjemahan teks keagamaan, ―jarak budaya‖ dan ―jarak waktu‖ harus

mendapat perhatian yang cukup agar penerjemahan dapat berhasil baik.171

Sebagaimana halnya Al-Qur‘an, kitab-kitab agama lain juga memiliki dimensi

kemanusiaan. Tanpa keterlibatan dan interaksi manusia dengan teks-teks keagamaan tersebut,

pesan-pesannya, tidak akan dimengerti, dicerna, dihayati apalagi diamalkan. Namun, karena

tingkat intelektualitas dan kedalaman spiritualitas manusia berbeda, dengan sendirinya kadar

pemahaman dari hasil interaksi tersebut berbeda pula. Salah satu yang menimbulkan

pemahaman beragam adalah sulitnya dipastikan apakah suatu teks harus dipahami secara

literal atau simbolis. Sebab, pada dasarnya, teks-teks keagamaan bagaikan samudera luas dari

kata-kata yang terkadang diuntai dalam kalimat-kalimat perlambang, dan tidak jarang

diungkapkan dalam kata-kata yang mengandung metafor atau makna bersayap. Jelasnya,

171

Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 33-38.

Page 142: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

124

suatu teks hanya dapat dimengerti kandungannya secara pasti oleh wujud yang

menciptakannya.

Sebagai akibat dari perbedaan pemahaman dan sudut pandang atas teks-teks

tersebut, konflik intern dalam suatu kelompok keagamaan sering tak terelakkan. Dalam

lingkungan Kristen, misalnya, kita dapati gereja-gereja Ortodoks, Roman Katolik, Anglikan,

Protestan, berikut sekian banyak afiliasinya. Dalam Islam, kita dapati dua kelompok besar;

Sunnah, Syiah dengan aneka ragam cabangnya. Demikian pula, dalam lingkungan agama

Budha kita dapati Theravadam Mahayana dan Hinayana, dan di Hindu ada Vaishnavisme,

Shaivisme, dan Saktisme sebagai sekte-sekte utamanya. Sehubungan dengan luasnya

spektrum pemahaman teks-teks keagamaan kita jumpai dalam literatur ilmu Al-Qur‘an,

misalnya tema-tema tafsīr dan ta‟wīl. Tafsīr, menurut sementara ahli, menunjuk kepada

penjelasan aspek lahiriyah (eksoteris) pesan-pesan teks, sedang ta‟wīl menunjuk kepada

pengertian aspek batiniah (esoteris) teks. Di samping itu, Al-Qur‘an sendiri membagi teks-

teks kepada dua kategori: muhkam (tidak mengandung arti beragam) dan mutasyâbih (yang

dapat memberi sekian banyak arti).

Tingkat daya persepsi dan pengertian penerima teks membuat perbedaan

pemahaman teks lebih runyam lagi. Menurut Ibnu Arabi, sufi besar Islam (1165-1240), setiap

teks Al-Qur‘an mengandung tujuh tingkat pengertian yang berbeda akibat perbedaan

kapasitas daya tangkap penerima teks tersebut. Daya tangkap Jibril yang menerima Al-

Qur‘an dari Allah berbeda dengan daya tangkap Nabi Muhammad yang menerimanya dari

Jibril. Lalu, daya resap sahabat Nabi yang menerimanya dari Nabi, berbeda pula. Begitu

seterusnya, kapasitas dan kadar pemahaman para ahli, manusia biasa, juga bertingkat dan

berbeda. Karena itu, hampir semua teks suci memiliki khazanah yang kaya dengan aneka

ragam corak dan penekanan penafsiran. Penafsiran itu antara lain mencakup penekanan aspek

sastra bahasa, filsafat, teologi, tasawuf, sosial-budaya, dan lain sebagainya. Karena itu,

Page 143: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

125

keragaman pemahaman terhadap teks keagamaan dalam suatu kelompok keagamaan adalah

sangat wajar, dan dapat dimengerti. Apalagi jika perbedaan-perbedaan itu tidak menyentuh

prinsip-prinsip dasar ajaran agama yang bersangkutan.172

Oleh sebab itu, gagasan tentang pentingnya melakukan deradikalisasi penafsiran Al-

Qur‘an terkait ayat-ayat yang terkesan ―radikal‖ menjadi sangat penting agar seseorang tidak

terdorong melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Sebab bagaimanapun produk tafsir

(begitu juga terjemahan) ikut berperan dalam memberikan warna pemahaman Islam kepada

masyarakat. Jika mereka lebih sering dikenalkan model pemahaman Islam yang radikal dan

tidak toleran, niscaya mereka akan tumbuh menjadi muslim/muslimah yang radikal dan tidak

toleran. Sebaliknya, jika kita lebih banyak memperkenalkan nilai-nilai Islam yang moderat

dan toleran berbasis pada nilai Al-Qur‘an yang rahmatan lil „âlamin (rahmat bagi semesta

alam), diharapkan kelak mereka menjadi muslim atau muslimah yang toleran di tengah

masyarakat Indonesia yang multikultur173

dan tetap komitmen (committed) terhadap ajaran

Islam. Dengan begitu, maka visi dan misi Islam sebagai agama rahmatan lil „âlamin

(peaceful Islam) dapat teraktualisasi secara nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat

Indonesia yang multikultur dan multi agama. Pendek kata, meneguhkan kembali wajah Islam

172

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1998), h.

61-62. 173

Indonesia menjadi teladan multikulturalisme karena terbentuk dengan kekayaan etnis, agama, dan

tradisi. Bangsa Indonesia unik dari segi kebangsaan dan kesatuan sehingga bisa menjadi teladan dalam melawan

narasi intoleransi. Seyogyanya dikembangkan cita-cita nasionalisme dalam semangat keagamaan yang damai.

Negara-negara Eropa terbentuk dari kebudayaan monolitik. Multikulturalisme merupakan sesuatu yang baru

bagi mereka sehingga ada kedatangan orang-orang yang berbeda suku bangsa, rasa tau agama ke wilayah

mereka, kata Robert Hefner, seorang Antropolog dari Universitas Boston Amerika Serikat dalam ceramah

bertema “Gagasan dan Kelompok Intoleran di Indonesia Beserta Tantangan ke Depan” yang digelar Grup

Mizan di Jakarta, Rabu 13 Januari 2016. Hefner mengungkapkan, sekarang saatnya bagi Indonesia tampil dan

menunjukkan kepada dunia bahwa nasionalisme bisa dicapai tanpa bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.

Keragaman yang ada justru memperkuat semangat untuk bersatu dan membentuk identitas kebangsaan

Indonesia. ―Ini yang membedakan Indonesia dari Yugoslovia dan Uni Soviet. Jika dilihat berdasarkan deskripsi

Tariq Ramadhan dalam bukunya Radical Reform bahwa Indonesia adalah satu-satunya Negara dengan

penduduk Muslim terbesar di dunia yang sukses menggabungkan duniawi yang empiris dengan cita-cita yang

normatif. Tafsir keagamaan bisa dibahas dan disandingkan dengan metode ilmiah. Indonesia bisa meninjau

kembali tafsir-tafsir keagamaan yang moderat (tawassuth) untuk diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.

Negeri ini juga dinilai berhasil dengan organisasi masyarakat keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan

Muhammadiyah, yang memperjuangkan cita-cita keagamaan melalui pendidikan dan layanan kesehatan bagi

publik. Suasana persahabatan dan bernegara memiliki unsur multikulturalisme yang tinggi. Dimuat pada Harian

Umum KOMPAS, Kamis 14 Januari 2016.

Page 144: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

126

yang teduh, santun, toleran, dan damai harus menjadi komitmen bersama, tanpa kehilangan

wibawa dan harga diri di mata umat yang lain.174

Berkaitan dengan sub tema pembahasan yaitu teks keagamaan dan pola

keislaman, maka jelas terdapat relasi/hubungan antara bahasa yang dalam hal ini terfokuskan

pada teks keagamaan (kitab suci) dan pola keagamaan seseorang. Suatu teks keagamaan

dapat mempengaruhi pola keagamaan/cara pandang (mindset) seseorang atau suatu kelompok

sosial masyarakat. Pemahaman setiap individu terhadap teks kitab suci Al-Qur‘an tentu

berbeda-beda dan tentunya akan membuahkan/memperlihatkan pola keagamaannya dalam

kehidupannya sehari-hari. Dan ini merupakan bagian dari ekspresi bahasa non verbal melalui

tindakan nyata. Ada yang secara literal memahaminya dan ada juga yang kontekstual. Selain

itu, ada bahasa verbal yang dikemukakan melalui komunikasi tindak tutur. Seperti nanti akan

dijelaskan secara terperinci dalam bab selanjutnya, bahwa kualitas/kemampuan komunikasi

mencerminkan pola pikir seseorang. Bahasa yang runut, sistematis, dan logis, menunjukkan

sang pembicaranya/penuturnya memiliki cara pandang yang baik pula. Begitu juga

sebaliknya, bila bahasa yang diucapkan keras, kasar, dan cenderung radikal/ekstrim maka

hasilnya pun akan terlihat dalam tindakannya. Teroris yang melakukan aksi pengeboman

tidaklah lain menegaskan bahwa pemahaman dia yang sempit dan tekstualis atas teks-teks

keagamaan, khususnya yang bercorak dorongan jihâd.

D. Teori Semantik Mentalisme Noam Chomsky (Kajian Kebahasaan)

1. Pengantar Semantik

Dalam berbagai kepustakaan linguistik175

disebutkan bidang studi linguistik yang

objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Kalau istilah ini

174

Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran Al-Qur‟an Dalam Konteks Keindonesiaan yang

Multikultur, Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI, Vol. 6, No. 2, 2013, h. 150.

Page 145: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

127

tetap dipakai tentu harus diingat bahwa status tataran semantik dengan tataran fonologi,

morfologi, dan sintaksis tidaklah sama, sebab secara hierarkial satuan bahasa yang disebut

wacana dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan klausa dibangun

oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem; satuan

morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon atau bunyi.

Dari bangun-membangun kebahasaan itu, kita bisa bertanya, di manakah letaknya

semantik? Setiap bahasa memiliki ciri-ciri yang khas dalam bidang semantik, sesuai dengan

pengalaman-pengalaman ekstra linguistiknya, dan ciri-ciri khas yang dipengaruhi oleh

struktur bahasa dan lingkungannya masing-masing.176

Semantik dengan objeknya yakni

makna, berada di seluruh atau di semua tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Oleh

karena itu, ―penamaan‖ tataran untuk semantik agak kurang tepat, sebab dia bukan satu

tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan merupakan unsur

yang berada pada semua tataran itu, meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran itu tidak

sama. Oleh karena itu pula, barangkali, para linguis strukturalis tidak begitu peduli dengan

masalah makna ini, karena dianggap tidak termasuk atau menjadi tataran yang sederajat

dengan tataran yang bangun-membangun itu. Hockett (1954), salah seorang tokoh strukturalis

175

Kata ―linguistik‖ berasal dari kata Latin, lingua, yang berarti bahasa. Kata ini masih dijumpai dalam

banyak bahasa yang berasal dari bahasa Latin, misalnya Perancis (langue, langage, parole), kalau Italia

(lingua), atau Spanyol (lengua), dan dulu bahasa Inggris juga pernah meminjam dari bahasa Perancis kata yang

sekarang berbunyi ―language‖. Sesuai dengan asal ―Latin/Roman‖ itu, ilmu bahasa dikenal dalam bahasa

Inggris dengan linguistics dan linguistique yang dipungut dari bahasa Perancis. Istilah linguistics dalam bahasa

Inggris berkaitan dengan kata language itu, seperti dalam bahasa Perancis istilah linguistique berkaitan dengan

langage. Linguistik dalam bahasa Indonesia adalah nama bidang ilmu, dan kata sifatnya adalah ―linguistis‖ atau

―linguistik‖, merupakan ilmu yang mempelajari bahasa secara ilmiah, menjadikan bahasa sebagai objek dan

tujuan kajian ilmiah sebagaimana adanya (deskriptif) sehingga dapat diungkap hakikat bahasa itu. Lihat J.W.M.

Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 3. Linguistik dalam

bahasa Arab disebut „ilm al-lughah. Linguistik mengalami perkembangan berarti pada akhir abad ke-18, ketika

William Jones (W. 1793) meneliti dan menemukan bahasa Sansekerta. Jika sebelumnya metode penelitian

linguistik cenderung subyektif, maka sejak itu metodenya bersifat obyektif. Obyektivitas metode penelitian

linguistik menurut Muhammad Shalah al-Dīn Mushthafâ Bakr, dalam Muhbib, dapat diwujudkan berkat

penelitian perbandingan antara bahasa Sansekerta dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa, dan memperoleh hasil

yang ilmiah karena didasarkan atas observasi, eksperimen, dan deskripsi. Salah satu metode linguistik yang

dominan mulai abad ke-19 adalah metode deskriptif (manhaj washfī). Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian

dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008), h. 45. Disertasi Dalam Bidang Ilmu Agama Islam.

176

Gorys Keraf, Linguistik Bandingan Tipologi (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1990), h. 122.

Page 146: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

128

sebagaimana yang dikutip Abdul Chaer, menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang

kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa itu terdiri dari lima subsistem, yaitu

subsistem gramatika, fonologi, morfofonemik, semantik, dan fonotik.

Bila digambarkan maka teori Hockeet (1954) dalam Abdul Chaer, berdasarkan

penelitian penulis bisa dirumuskan dari bagan berikut ini:

Gambar 2.

Sistem bahasa teori Hockeet (1954) dalam Abdul Chaer (2007)

Subsistem Gramatika

Sistem bahasa Subsistem Fonologi bersifat sentral

Subsistem Morfofonemik

Subsistem Semantik

Subsistem Fonotik bersifat periferal

Page 147: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

129

Menurut kaum strukturalis objek makna dalam semantik tidak bisa diamati secara

empiris

Gambar 3.

Satuan bahasa (wacana) teori Hockeet (1954) dalam Abdul Chaer (2007)

Kalimat

Klausa Frasa Kata

Morfem

Fonem

Fon / bunyi

Subsistem gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral. Sedangkan

subsistem semantik dan fonetik bersifat periferal. Mengapa subsistem semantik disebut

bersifat periferal? Karena seperti pendapat kaum strukturalis umumnya, bahwa makna yang

menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris,

sebagaimana subsistem gramatika (morfologi dan sintaksis). Demikian juga dengan

Chomsky, bapak linguistik transformasi, dalam bukunya yang pertama (1957) tidak

menyinggung-nyinggung masalah makna. Baru kemudian dalam bukunya yang kedua (1965)

beliau menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua

komponen lain adalah sintaksis dan fonologi) dan makna kalimat sangat ditentukan oleh

komponen semantik ini. Sejak Noam Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik

dalam studi linguistik, maka studi semantik sebagai bagian dari studi linguistik menjadi

Page 148: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

130

semarak.177

Kajian makna dalam lingkup bahasa Arab sudah dilakukan sejak abad pertama

hijriah (permulaan Islam), yakni berupa upaya para ahli agama untuk memahami dan

memberikan interpretasi terhadap teks Al-Qur‘an. Proses itu terlihat dari usaha para linguis

dan ulama menyusun kitab mu‟jam, gharīb, tata bahasa (qawâ‟id), „ilm al-Ma‟âni dan

sebagainya sebagai usaha memahami makna teks berbahasa Arab, bahkan di antara linguis

Barat mencatat bahwa sebenarnya proses itu dimulai sejak pra-Islam. Jaroslav Stetkevych

seperti dalam Ahyani menegaskan:

“Semantic changes and developments are an old process in the Arabic language.

Since pre-Islamic times until the present moments, the changes and meanings of

words has been so great that it now requires a special philological background to be

able to read and properly understand poets Imru „al-Qays, al-Nabighah, or anfara.”

Sebagaimana ditemukan dalam literatur-literatur mengenai sastra Arab, nama-nama

yang disebut Stetkevych tersebut adalah di antara para ahli bahasa (penyair) Arab pra-Islam.

Bagi Stetkevych prosesnya perkembangan semantik Arab di awal-awal Islam dan masa-masa

berikutnya, tidak dapat dilepaskan dari peran ahli sya‘ir Arab pra-Islam walaupun secara

sistematis belum mengkaji mengenai makna bahasa.178

Semantik secara etimologi dalam

bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris ‗Semantics‘ dari bahasa Yunani yaitu ‗Sema‘

(nomina) yang berarti „tanda‟, atau dari verba „Samaino‟ yang berarti ‗menandai‘, berarti;

padanan dalam bahasa Arabnya yakni dilâlah. Kata semantik dalam terminologi dipakai

untuk ―ilmu bahasa yang mempelajari makna‖ („ilm al-dilâlah).179

Istilah ini sendiri muncul

pada tahun 1894 yang diprakarsai oleh „American Philologial Association‟. Harimurti

Kridalaksana sebagaimana dikutip Ahyani mendefinisikan semantik dalam dua sisi pandang,

177

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), h. 284-285. 178

Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 25. Tesis dipertahankan dalam Bidang Pendidikan

Bahasa Arab 179

Al-Jurjânī mendefinisikan „ilm al-Dilâlah yaitu:

طابق مقتضى الال علم يعرف بو أحوال اللفظ العريب الذي ي Al-Jurjânī, al-Ta‟rīfât (Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2003), h. 158.

Page 149: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

131

yang pertama sebagai ―bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna dan juga

dengan struktur makna suatu wicara‖. Yang kedua, sistem dan penyelidikan makna dan arti

dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.180

Mengenai objek kajian semantik yang ada pada kebanyakan literatur-literatur ilmu

bahasa, tercatat bahwa semantik terbangun oleh beberapa unsur satuan-satuan bahasan

kebahasaan (linguistik) minor yang dapat dianggap sebagai faktor-faktor perubah atau

pembentuk makna. Di samping itu, sering juga disinggung macam, relasi dan keluasan

cakupan makna pada suatu kata atau kalimat. Dalam hal ini Stephen Ullman seperti dalam

Ahyani menyatakan adanya tipologi pemaknaan bahasa berdasarkan frekuensi relatif dari

kata-kata transparan dan non-transparan, kata-kata khusus (Naw‟u) dan generik (Jins); upaya

khusus untuk meningkatkan efek emotif. Efek emotif adalah akibat yang ditimbulkan bahasa

sebagai alat yang pengungkap perasaan atau emosi, hal ini sangat dipengaruhi oleh intonasi

penutur ketika ia menuturkan suatu kalimat, kasus polisemi, homonim, dan ketergantungan

kata dan peranan konteks dalam menentukan makna.181

Kajian semantik adalah makna yang

sering disebut ‗tanda‘ atau dalam bahasa Arab dikenal dalâlah. Secara praktis, semantik

dalam ranah bahasa Arab adalah ‗ilm al-dalâlah. Pembahasan mengenai disiplin ilmu ini

sering dikaitkan dengan sejarah munculnya ilmu perkamusan/leksikologi („ilm al-mu‟jam)

dalam bahasa Arab. Hal ini dapat dimengerti karena memang salah satu dari fungsi kamus itu

sendiri ialah mengungkap makna-makna yang belum jelas/belum bisa dipahami secara

langsung. Ali al-Khûli mendefinisikan sebagaimana yang dikutip H.R. Taufiqurrochman,

makna/tanda (meaning) adalah:

من الكلمة أو العبارة أو اجلملة فهمو الشخصاملعت أو الداللة : ما ي

180

Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir), h. 23. 181

Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir), h. 26

Page 150: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

132

Artinya: “Makna/tanda adalah sesuatu yang dipahami seseorang, baik berasal dari

kata, ungkapan, maupun kalimat.”182

Menurut al-Ashfahâni seperti yang dituturkan Syihabuddin, secara etimologi

(kebahasaan), kata ma‟na berasal dari ,yang salah satu maknanya ialah melahirkan عت

seperti yang terdapat dalam ungkapan عنت األرض بالنبات „anatil ardhu binnabât (tanah

menumbuhkan tanaman). Karena itu, makna diartikan sebagai perkara yang dilahirkan dari

tuturan. Perkara tersebut ada di dalam benak manusia sebelum diungkapkan dalam sarana

bahasa. Sarana ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan makna tersebut di dalam benak.

Perkara yang terdapat di dalam benak disimpulkan sebagai hasil pengalaman yang diolah

secara tepat.183

Lebih spesifik, definisi makna/tanda menurut al-Khûli, seperti dalam H.R.

Taufiqurrochman, yaitu:

يعرب عن العالقة بت الدال )أي الكلمة( واملدلول يذوالاملعت أو الداللة : ما تنقلو الكلمة

عليو )أي الشيء أو الشخص أو املفهوم خارج اللغة(Artinya: “Makna/tanda adalah sesuatu yang dipindahkan kata atau sesuatu yang

diungkap dari (hasil) hubungan antara penanda (kata) dengan petanda (benda atau

seseorang atau sesuatu yang dipahami di luar bahasa).‖184

Dalam pengertian (disiplin bahasa

Yunani), kata semantik (semantic) secara etimologi berasal dari kata sema dalam bentuk

nominanya yang berarti ‗tanda‘ atau dalam bentuk verbanya samaino yang memiliki arti

„menandai‟ atau „berarti‟ atau „melambangkan‟. Kata semantik ini disepakati sebagai istilah

182

H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press : Suksess Offset, 2008), h. 23. 183

Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia: Teori dan Praktek (Bandung: Humaniora, 2005), h.

19-20. 184

H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 24.

Page 151: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

133

yang digunakan pada disiplin linguistik untuk menyebut salah satu ilmu bahasa yang

mengulas makna. Semantik ini merupakan bagian dari tiga tataran analisa bahasa yang

meliputi fonologi, morfologi-sintaksis, dan semantik itu sendiri.185

Hubungan antara

lafal/bahasa (intra-lingual) dengan sesuatu yang ada di luar bahasa (ekstra-lingual) dikenal

dengan teori „semantic tringle‟ (Mutsallats al-Ma‟na) yaitu segitiga bermakna yang

menghubungkan antara 3 aspek dasar yaitu: 1) simbol/kata/signifiant/penanda (dâl/‟alâmah)

yang terdiri dari bunyi bahasa, tulisan, isyarat, dan sebagainya, seperti: kata dalam pensil,

kitab (buku), dan lain-lain. 2) konsep/benak/pikiran/mind (syu‟ûr/fikrah) yang ada di dalam

diri manusia ketika memahami simbol/kata. 3) acuan/benda/sesuatu/referen/signify/petanda

(madlûl/musyâr ilaih) yang ditunjuk dari simbol/kata tersebut.

Dalam bahasa semiotika, tanda (sign) terdiri dari dua unsur yang tidak bisa

dipisahkan yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signify). Penanda adalah aspek material

dari bahasa sedangkan petanda adalah makna (konsep) yang ada dalam pikiran (mind).

Perhatikan ilustrasi teori Ogden dan Richards (1923) yaitu ‗segitiga bermakna‘ seperti dalam

Muhammad Ali al-Khûli yang dikutip H.R. Taufiqqurochman, pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.

Semantic Tringle/Segitiga bermakna teori Ogden dan Richards (1923)

(konsep, benak, pikiran / أواملد لول الفكرة و الشعور )

185

T. Fatimah Djajasudarma, Semantik I; Pengantar ke Arah Ilmu Makna (Bandung: Eresco, 1993), h.

1.

Referen/acuan

benda/sesuatu ( مدلول أو شئ (خارج أو املشار إليو

مثلث (pensil) قلم املعت

/الكلمة الرمز

(simbol/kata)

Page 152: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

134

Menurut teori „semantic tringle‟ di atas, hubungan yang terjalin antara sebuah

‗kata/simbol‘ dengan ‗acuan/benda/hal/peristiwa‘ di luar bahasa tidak bersifat langsung

(muqattha‟ah/terputus), tetapi ada media yang terletak di antara keduanya, yaitu

benak/pikiran/konsep. Kata hanya merupakan lambang (simbol) yang berfungsi

menghubungkan konsep/pikiran dengan acuan/benda. Tidak semua kata/simbol memiliki

acuan/benda. Misalnya, kata ‗walaupun‘, aduh, sekalipun bermakna, tetapi tidak menunjuk

sesuatu, tidak ada referennya. Berbeda dengan kata ‗pensil‘ yang memiliki referen, sebab ia

menunjuk pada sesuatu (sebuah benda yang terbuat dari kayu dan biasa digunakan untuk

menulis). Apabila kata/simbol dalam realita memiliki acuan dan melahirkan makna, maka

makna itu disebut dengan makna referensial. Makna referensial (al-ma‟na al-marja‟ī) adalah

makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan). Makna

referensial juga disebut makna kognitif (al-ma‟na al-ma‟rifī), makna afektif (al-ma‟na al-

wujdânī) dan makna emotif (al-ma‟na al-„âthifī).186

Salah satu ciri yang sekaligus menjadi hakikat setiap bahasa adalah bahwa bahasa itu

bersifat dinamis. Menurut Chaer dan Agustina seperti dikutip H.R. Tauqurrochman, yakni

bahwa bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu

dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik yaitu fonologi,

morfologi, sintaksis, semantik dan leksikon. Kedinamisan setiap bahasa itu terjadi karena

bahasa merupakan hasil kebudayaan manusia. Manusia adalah makhluk dinamis dan kreatif

yang cenderung kepada perubahan dan statis. Oleh karena itu, bahasa akan mengalami

perkembangan secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan

manusia sebagai pemakai bahasa. Menurut Abdul Chaer seperti dalam H.R.

Taufiqurrochman, kemungkinan perubahan makna kata disebabkan beberapa faktor, yaitu:

pertama, perkembangan Iptek, kedua, perkembangan sosial budaya, ketiga, perkembangan

186

H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 25-

26.

Page 153: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

135

pemakaian kata, keempat, perkembangan tanggapan indera dan kelima adanya asosiasi.

Faktor penyebab perubahan makna disebabkan antara lain; 1) faktor bahasa yang meliputi

perubahan pada aspek bahasa; perubahan pada kata yang sering dipakai; pengelompokam

kata pada bidang tertentu; perubahan kata yang beindikator ‗serupa‘ dan tak serupa; 2) faktor

sejarah yang mencakup benda berubah tetapi lafalnya tetap; perubahan sikap manusia

terhadap sesuatu; perubahan pengetahuan manusia terhadap sesuatu; 3) faktor sosial budaya,

4) faktor kemajuan Iptek, 5) faktor kebutuhan kata baru, 6) faktor para penutur bahasa yang

terbagi kepada aspek pertukaran tanggapan indera; asosiasi perasaan para penutur bahasa; 7)

faktor bahasa asing.187

Banyak teori tentang makna yang telah dikemukakan orang. Untuk permulaan

barangkali kita ikuti saja pandangan seorang Bapak atau pelopor Linguistik Modern yakni

Ferdinand De Saussure (dengan teori deskriptif/strukturalis) yang memberikan definisi

makna yaitu merupakan suatu konsep, pengertian, ide, atau gagasan yang terdapat dalam

sebuah satuan ujaran, baik berupa kata, gabungan kata, maupun satuan yang lebih besar

lagi.188

Penyematan pelopor linguistik modern melalui karyanya yang hebat, yaitu Course de

Linguistique Generale (1916), dan juga karena pandangan-pandangannya yang relatif baru

mengenai bahasa yang dimuat dalam buku itu. Pandangannya di antaranya adalah mengenai

(1) telaah sinkronik (al-tazâmuniyyah), dan diakronik (al-ta‟âqubiyyah) dalam studi bahasa,

(2) perbedaan langage, langue, dan parole, (3) perbedaan antara signifiant dan signifie

sebagai bentuk signe linguistique, dan (4) hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif atau

paradigmatik.189

Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam

kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam bila dilihat

187

H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 93-

111. 188

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 286. 189

Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 66.

Page 154: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

136

dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai jenis makna telah dikemukakan orang

dalam berbagai buku linguistik atau semantik dan secara umum terbagi kepada tiga macam;

makna leksikal ( dan makna kontekstual ;(املعاين التكيبية) makna gramatikal ; ( املعجمية ايناملع

.Namun ada yang menambahkan pula dengan aspek ketaksaan makna .(املعاين السياقية)

Adapun makna leksikal ( املعجمية املعاين )190

adalah makna yang dimiliki atau ada pada

leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‗sejenis

binatang berkaki empat yang biasa dikendarai‘; pensil bermakna leksikal yaitu sejenis alat

tulis yang terbuat dari kayu dan arang‘ dan air bermakna leksikal ‗sejenis barang cair yang

biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari, dan kata ‗istana‟ yang memiliki makna

bangunan untuk tempat tinggal kepala negara.191

Dengan contoh itu dapat juga dikatakan

bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil

observasi indera kita, makna yang sesuai dengan konsepnya, atau makna apa adanya. Kamus-

kamus dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang

dijelaskannya. Oleh karena itulah, barangkali banyak orang yang mengatakan bahwa makna

leksikal adalah makna yang ada dalam kamus (al-ma‟na al-mu‟jamī). Pendapat ini kalau

begitu, memang tidak salah, namun perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan dasar,

juga ada yang memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna kias dan

makna-makna yang terbentuk secara metaforis.

190

Makna leksikal dalam literatur lain disebut pula makna deskriptif atau makna denotatif, yang

merupakan relasi kata dengan konsep benda/peristiwa atau keadaan yang dilambangkan dengan kata tersebut.

Sumber informasi ini dapat dimanfaatkan dalam suatu komunikasi. Misalnya makna leksikal kata seniman

adalah ‗orang yang menciptakan karya seni‘. Di dalam komunikasi kata seniman dapat menyempit maknanya

bergantung pada konteks pembicaraan. Lihat Setiawati Darmojuwono, Semantik, dalam Pesona Bahasa:

Langkah Awal Memahami Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 114-115. 191

Abdul Chaer, Leksikologi dan Leksikografi Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 116.

Page 155: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

137

Definisi lain juga diberikan para ahli. Makna leksikal (makna asâsiyah atau

mu‟jamiyah) atau disebut juga makna denotatif atau vocabulary meaning) adalah makna yang

secara inheren dimiliki oleh sebuah leksem. Makna leksikal juga bermakna makna yang

sesuai dengan referensinya dan sesuai dengan hasil observasi alat indera. Dengan kata lain,

adalah makna yang melekat pada suatu kata.192

Makna leksikal ini dapat juga diartikan

sebagai makna kata secara lepas di luar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama

yang berupa kata dalam kamus biasanya sebagai makna pertama dari kata atau entri yang

terdaftar dalam kamus itu. Dalam bahasa Indonesia, misalnya ‗bagian tubuh dari leher ke

atas‘ adalah makna leksikal dari kata ‗kepala‘, sedang makna ‗ketua‘ atau ‗pemimpin‘

bukanlah makna leksikal, sebab untuk menyatakan makna ‗ketua‘ atau ‗pemimpin‘, kata

‗kepala‘ itu harus bergantung dengan unsur lain, seperti dalam frase ‗kepala madrasah‘ atau

‗kepala kantor‘. Untuk bisa meresapi makna suatu ujaran adalah dengan memahami makna

leksikal setiap butir kata yang digunakan. Bila kita tidak mengetahui makna leksikalnya kita

bisa melihat di kamus atau bertanya kepada yang mengerti. Namun, terkadang dijumpai

sejumlah kasus dalam studi semantik yang menyangkut makna leksikal ini. Kasus-kasus itu

adalah kasus kesinoniman, keantoniman, kehomoniman, kehiponiman, dan kehiperniman.193

Bidang yang meneliti semantik leksikal menurut asas-asasnya dinamai ―leksikologi‖.

Tujuan yang lebih praktis, yaitu menyusun kamus, dikenal sebagai ―leksikografi‖.

Leksikografi adalah leksikologi terapan. Oleh karena perkamusan adalah tugas praktis, asas-

asas leksikologis harus dilengkapi dengan (dan untuk sebagian bahkan diganti oleh) tuntutan-

tuntutan praktis pemakaian kamus. Misalnya, dalam pembuatan kamus Indonesia, tidak

masuk akal untuk memasukkan semua verba yang berawalan men- di bagian huruf M, atau

semua verba yang berawalan ber- di bagian huruf B. lebih praktislah bila (misalnya)

menyusul dimasukkan pada kata pokok, atau entri, susul, dan demikian pula kata membantu

192

Moch Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab (Tangerang: Al-Kitabah, 2012), h. 110. 193

Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitâb al-Muhir) (Jakarta: Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 57-58. Tesis di SPs UIN Jakarta.

Page 156: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

138

pada bantu, menolong pada tolong, menjual pada jual, dan berjuang pada juang. Makna

leksikal dalam deskripsi linguistik lazimnya dimarkahi dengan tanda petik tunggal, misalnya

kita mengatakan bahwa kata rumah memiliki makna rumah. Semantik leksikal secara

leksikologis mencakup segi-segi yang agak banyak jumlahnya. Antara lain, ada pokok-pokok

berikut: makna dan referensi; denotasi dan konotasi; dan analisis ekstensional dan analisis

intensional; analisis kompensional; makna dan pemakaiannya; dan kesinoniman,

keantoniman, kehomoniman, dan kehiponiman.194

Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal ( اين التكيبيةاملع ) baru ada kalau

terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi.

Umpamanya, dalam proses afiksasi ber- dengan kata dasar baju melahirkan makna

gramatikal ‗mengenakan atau memakai baju‘; dengan dasar kuda melahirkan makna

gramatikal ‗mengendarai kuda‘; dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal

‗melakukan rekreasi‘. Tampaknya makna-makna gramatikal yang dihasilkan dalam proses

gramatikal ini berkaitan erat dengan fitur makna yang dimiliki setiap butir leksikal dasar.

Fitur adalah ciri-ciri semantik yang dimiliki secara inheren oleh kata-kata itu sehingga

membedakan kata-kata itu satu dari yang lainnya.

Oleh karena itu kita mencoba menerangkan dulu apa saja fitur-fitur makna itu.

a. Fitur makna

Makna setiap butir leksikal dapat dianalisis atas fitur-fitur makna yang membentuk

makna secara keseluruhan butir leksikal itu seutuhnya. Misalnya dalam bahasa Arab ada إمرأة

dan ولد jika dianalisis fitur-fitur semantiknya yang dibatasi pada aspek manusia, laki-laki,

194

J. W. M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004),

h. 388-389.

Page 157: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

139

sudah dewasa, atau seorang yang disimpulkan dengan makna ‗perempuan dewasa‘.

Sedangkan walad adalah seorang manusia, laki-laki dan belum dewasa yang disimpulkan

dengan makna anak laki-laki.

b. makna fitur gramatikal afiksasi

Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Afiksasi merupakan

salah satu proses penting dalam pembentukan kata dan penyampaian makna. Jenis afiks dan

makna gramatikal yang dihasilkan cukup banyak dan beragam. Satu hal yang jelas makna

afiks yang dihasilkan mempunyai kaitan dengan fitur semantik bentuk dasarnya. Misalnya:

penambahan preposisi pada term kata benda (األمساء), األحرف املعاين pada األفعال (kata kerja

tertentu), maka pada beberapa kasus akan menimbulkan perbedaan dan perubahan makna dari

makna semula. Contoh pergeseran makna seperti pada kasus:

di pihak / mendukung: تعصب لو

melawan: تعصب على

menghubungkan: وصل

sampai : وصل إل

a. Makna gramatikal derivasi

Terjadinya derivasi (isytiqâq/musytâq) pada sebuah akar kata bahasa Arab akan

mengakibatkan pergeseran, penambahan bahkan perubahan makna.

d. makna gramatikal komposisi

Page 158: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

140

Butir leksikal dalam setiap bahasa adalah terbatas, padahal konsep-konsep yang

berkembang dalam kehidupan manusia terus bertambah. Oleh karena itu, selain dengan

proses afiksasi dan proses reduplikasi banyak juga dilakukan proses komposisi untuk

menampung konsep-konsep yang baru muncul itu, atau belum ada kosakatanya. Dalam hal

ini seperti term القطار al-Qithâr yang dulunya dipakaikan untuk iring-iringan unta, sekarang

dipakai untuk alat transportasi kereta, karena juga berupa rangkaian (lokomotif). Demikian

halnya dengan term-term yang dipakaikan untuk alat-alat baru seperti الاسوب ,الطائرة dan

dulu „kereta‟ digunakan untuk menampung konsep kendaraan beroda yang ditarik اجلوال

kuda. Kemudian dengan hadirnya kereta yang ditarik oleh lokomotif bertenaga uap

muncullah istilah ‗kereta api‘. Dalam perkembangannya muncul istilah-istilah seperti kereta

barang, kereta penumpang, kereta bisnis, kereta eksekutif, dan lain-lain.

e. Makna gramatikal sintaksis

Pada bahasa Arab, makna sintaksis tidak terlahir dari satuan-satuan struktur kalimat

tapi juga dipengaruhi unsur keadaan, situasi dan kondisi penutur yang menurut linguis Arab

klasik maupun modern sangat mempengaruhi warna makna kalimat.

f. Kasus kepoliseman

Polisemi adalah bila sebuah kata mempunyai makna lebih dari satu.

Selain itu, ada jenis makna yang namanya makna kontekstual. Kontekstual, menurut

Tammam Hasasan seperti dikutip Ahyani, berarti al-tatâbu‟ (التتابع), al-Īrad (اإليراد), -al التوايل

tawâli‟ (runtun/sistematis; yang dalam hal ini mengandung dua pengertian; pertama,

runtunnya unsur-unsur struktur kalimat dalam wacana yang disebut dengan siyâq al-nash

Page 159: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

141

,dan yang kedua, runtunnya kejadian yang diungkapkan bahasa ,(konteks bahasa) سياق النص

yang disebut dengan siyâq al-mauqif (konteks kejadian/situasi kajian dalam penetapan suatu

makna atau سياق املوقف). Sehingga makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam

satu konteks. Dell Hymes dalam artikelnya masih dalam Ahyani mengatakan bahwa kita baru

bisa menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks

kalimatnya.195

Dalam nazham ma‟âni, Imam al-Suyûthī dalam rujukan Ahyani

mengungkapkan:

وحده علم بو قد تعرف # أحوال لفظ عريب يؤلف

# حال وحدى سامل ومرتضى دما هبا تطابق ملقتضى

حيصر يف أحوال اإلسناد ويف # أحوال مسند إليو فاعرف

“salah satunya ilmu untuk mengetahui

Rangkaian susunan kata-kata bahasa Arab

Yang disesuaikan dengan tuntutan konteks

Rinciannya tepat, jelas dan singkat

Dalam hal menerangkan predikat dan subjek”

Untuk memberikan makna dan interpretasi yang tepat dan komunikatif pada kalimat,

seorang pendengar dan pembaca harus memperhatikan konteks kalimat secara utuh. Melihat

rangkaian kalimat dengan kalimat berikutnya, mencari hubungan dan ide pokok dari

kumpulan kalimat tersebut, lebih-lebih lagi kalau memungkinkan untuk mencari latar

belakang sosial yang menyebabkan suatu kalimat ditulis atau diungkapkan. Pada proses

pemaknaan suatu teks, berdasarkan teori konteks harus memperhatikan prinsip-prinsip yakni

195

Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddin al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: SPs UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 57-62.

Page 160: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

142

metode kata) الطريقة اليت تستعمل هبا ,(penggunaan kata dalam bahasa) إستعماهلا يف اللغة

dipergunakan), ديوي تؤ ذالدور ال (eksistensi yang diperankan). Sehingga akan didapatkan

makna yang sesuai dengan penutur/penulis ketika mengungkapkan bahasanya.196

Makna kontekstual secara aplikatif sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam

bahasa Arab, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian keislaman

pendekatan konteks dipergunakan oleh para mufassir, muhaddits dan fuqahâ dalam proses

interpretasi teks-teks dalil dan pengambilan hukum (istinbâth al-hukm). Al-Suyûthī

menegaskan bahwa sebelum interpretasi pada sebuah ayat, seseorang tidak akan mampu

memberikan pemaknaan yang tepat pada kata-kata dan rangkaian kalimatnya sebelum

melihat secara sempurna konteks bahasa yang menyangkut rangkaian dan hubungan kalimat

itu dengan kalimat sebelumnya dan sosial yang melatarbelakangi ayat itu diturunkan (asbâb

al-nuzûl), begitu juga berlaku bagi asbâb al-wurûd dalam kajian ilmu hadis.197

Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu

konteks. misalnya, makna kata kepala yang dibicarakan sebagai contoh pada berikut:

196

Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: SPs UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 175-176 dan h. 217-218. 197

Memahami hadis dengan benar juga tidak kalah pentingnya selain menginterpretasi teks suci Al-

Qur‘an. Al-Qur‘an dan hadis adalah dua sumber ajaran Islam yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. mengakui

Al-Qur‘an, mengharuskan pula mengakui hadis, begitu pula sebaliknya. Ini sesuai dengan perintah Al-Qur‘an

kepada umat Islam, untuk mengambil apa-apa yang bersumber dari Nabi SAW. Ini berarti, pengingkaran

terhadap hadis, merupakan tindakan penentangan terhadap pesan-pesan Al-Qur‘an. Sebagai sesuatu yang sangat

urgen dalam Islam, sudah seyogyanya umat Islam memahami secara benar pesan-pesan keagamaan yang

disampaikan oleh Nabi SAW melalui sejumlah hadis-Nya. Ini perlu ditekankan kembali karena ternyata masih

banyak umat Islam yang memahami hadis secara tidak tepat dan tidak benar, sehingga pesan-pesan yang

disampaikannya pun hambar begitu saja dan bahkan sesat-menyesatkan (dhollun mudhillun). Karena itu, agar

hadis dipahami secara benar, maka perlu dilakukan upaya pemahaman secara benar dan komprehensif. Misalnya

upaya pemahaman hadis melalui telaah historis, tekstualitas maupun kontekstualitas, perbandingan riwayat

(muqaranat al-riwayat), atau pendekatan-pendekatan yang lain. yang dimaksud dengan pemahaman tekstualitas

(lafzhiyyah/harfiyyah), yakni pemahaman seperti apa adanya makna hadis itu. namun, bila pendekatan tekstual

tidak bisa ditempuh, maka kita membutuhkan kontekstual. Pendekatan kontekstual mencakupi poin-poin sebagai

berikut; sabab wurud al-hadis (mengetahui latar belakang historis munculnya hadis), kemudian berdasarkan

aspek geografi, „illat al-kalam (kausalitas kalimat), dan aspek sosio-kultural. Belum lagi ditambah dengan

muatan kontroversalitas hadis, seperti problem hadis versus al-Qur‘an, hadis versus hadis, hadis versus nalar,dan

jam‟ul riwayat (mengkompromikan beberapa riwayat). Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2006), h. 151-162.

Page 161: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

143

a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih

b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu

c. Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu

Ada sisi perbedaan yang cukup mencolok bila kalimat dari contoh-contoh di atas

dilihat dari aspek kontekstualnya. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya,

yakni berkaitan dengan waktu, tempat, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.198

Dunia

ilmu, termasuk linguistik,199

bukan merupakan kegiatan yang statis, melainkan merupakan

kegiatan yang dinamis, berkembang terus, sesuai dengan filsafat ilmu itu sendiri yang selalu

ingin mencari kebenaran yang hakiki. Begitulah, linguistik struktural lahir karena tidak puas

dengan pendekatan dan prosedur yang digunakan linguistik tradisional dalam menganalisis

bahasa. Sekian puluh tahun linguistik struktural digandrungi sebagai satu-satunya aliran yang

pantas diikuti dalam menganalisis bahasa, walaupun model struktural itupun tidak hanya satu

macam. Kemudian orang pun merasa bahwa model struktural juga banyak kelemahannya,

sehingga orang mencoba merevisi model struktural itu di sana-sini, sehingga lahirlah aliran

lain yang agak berbeda, meski masih banyak persamaannya, dengan model struktural semula.

Perubahan total terjadi dengan lahirnya linguistik transformasional yang mempunyai

pendekatan dan cara yang berbeda dengan linguistik struktural. Namun, kemudian model

transformasi ini pun dirasakan orang banyak kelemahannya, sehingga orang membuat model

lain pula, yang dianggap lebih baik, misalnya model semantik generatif, model tata bahasa

kasus, model tata bahasa relasional, dan model tata bahasa stratifikasi.

198

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 289 – 290. 199

Menurut Harimurti, linguistik (linguistics) adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara

ilmiah (istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1808 dalam majalah ilmiah yang disunting oleh Johann

Severin Vater dan Friedrich Justin Bertuch). Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2008), h. 144.

Page 162: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

144

2. Teori Mentalistik dan Generatif Transformatif Noam Chomsky

Berkaitan dengan persoalan makna (bahasa/semantik), Noam Chomsky terkenal

dengan teori gramatika generatif–transformatifnya (tahwīliyyah, grammatical

transformations) dan struktur batin/dalam (al-binyah al-„âmiqah, deep structure).200

Pandangannya tentang bahasa cenderung mentalistik atau kognitivistik (nazhariyyah

„aqliyyah). Menurutnya, realitas mental mendasari perilaku aktual (the mental reality

underlying actual behavior). Setiap manusia memiliki kaidah-kaidah universal secara natural

(terwaris) yang menjadi dasar perilaku bahasa manusia, dan kaidah-kaidah itu cukup kaya

dan patut dipertimbangkan dalam kecepatan proses pembelajaran bahasa. Menurut Chomsky,

bahasa merupakan cermin terbaik akal manusia (languanges are the best mirror of the human

mind).201

Teori generatif-transformatif yang diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern

paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan

dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia. Menurut

teori ini, kapasitas genetik manusia sejak lahir juga memengaruhi kemampuannya untuk

memahami bahasa di sekitar sehingga hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang

tertanam dalam diri. Selain itu, Noam Chomsky dengan keras menentang teori pembiasaan

operan dalam pemerolehan bahasa sebagaimana dikemukakan oleh Skinner. Menurut

Chomsky tidak ada gunanya menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui

dengan baik apa sebenarnya bahasa sebagai benda yang sedang diperoleh itu. Untuk dapat

menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa di samping memahami apa sebenarnya

bahasa itu, seseorang tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur dalam

organisme (manusia) yaitu bagaimana cara-cara orang memperoleh masukan (input)

200 Noam Chomsky, Aspects of The Theory of Syntax (Cambridge Massachusetts Institute of

Technology: The M.I.T. Press ,1965), h. 128.

201 Noam Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger

Publishers, 1986), h. 1.

Page 163: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

145

informasi, dan bagaimana cara-cara perilaku berbahasa itu diatur. Semua cara ini ditentukan

oleh struktur awal yang dibawa sejak lahir yang sangat rumit dan proses perkembangannya

diatur menurut proses pematangan genetik dan pengalaman-pengalaman yang telah lalu.

Sama halnya dengan Piaget, Chomsky juga tidak pernah memperkenalkan teori

pemerolehan dan pembelajaran bahasa secara khusus. Namun, karena teori linguistik yang

diperkenalkannya dan juga artikel ulasannya mengenai buku Skinner ―Verbal Behavior‖

(1957) dalam ―Language‖ (1959) telah mengubah secara drastis perkembangan

psikolinguistik, maka satu teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa oleh beberapa

kalangan dapat disimpulkan dari teori generatif transformasinya. Teori ini digolongkan ke

dalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan pada otak (akal, mental) sebagai

landasan dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Bagi Chomsky, kemampuan

berbahasa pada manusia bukanlah produk (setting) alam, melainkan potensi bawaan manusia

sejak lahir. Ia mengemukakan teori ini sebagai hasil dari penelitiannya terhadap

perkembangan berbahasa seorang anak dalam pemerolehan bahasa berdasarkan teori

hipotesis atau teori kodrati (innate). Melalui pendekatan nativis, Chomsky mengemukakan

adanya ciri-ciri bawaan bahasa untuk menjelaskan pemerolehan bahasa asli pada anak dalam

tempo begitu singkat sekalipun ada sifat abstrak dalam kaidah-kaidah bahasa tersebut.

Masalah penting lain yang dibahas dalam teori generatif transformatif adalah daya kreativitas

dalam bahasa. Dilihat dari segi semantik, tata bahasa dari suatu bahasa adalah satu sistem

rumus atau kaidah yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi (bahasa) dan

makna (bahasa) dalam bahasa itu. Dilihat dari segi daya kreativitas, tata bahasa adalah sebuah

alat perancang yang khusus menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat

gramatikal (yang jumlahnya tidak terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat.

Chomsky menyebut alat perancang ini dengan istilah tata bahasa generatif .

Page 164: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

146

Teori generatif-transformatif, yang sebenarnya lebih condong pada pembahasan

tentang pemerolehan bahasa ibu, dewasa ini sering digunakan dalam penelitian pembelajaran

bahasa asing oleh beberapa kalangan akademisi. Padahal, Chomsky sendiri dalam teorinya

tidak pernah menjelaskan secara eksplisit tentang pembelajaran bahasa dan ia lebih

berorientasi pada pemerolehan bahasa (language acquisition). Namun demikian, beberapa

kalangan menganggap bahwa teori generatif-transformatif tetap relevan untuk digunakan

dalam pembelajaran bahasa asing. Pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing

merupakan salah satu objek kajian yang sering direlevansikan dengan teori generative

transformatif. Hal ini berawal dari hipotesis Chomsky yang mengatakan bahwa bahasa itu

bersifat universal. Bahasa Arab sendiri memang memiliki karakteristik yang unik dan

universal. Dikatakan unik karena bahasa Arab memiliki ciri khas yang membedakannya

dengan bahasa lainnya, sedangkan universal berarti adanya kesamaan nilai antara bahasa

Arab dengan bahasa lainnya.

Berangkat dari karakteristik unik dan universal bahasa Arab, subbab ini akan

mengkaji lebih dalam apakah teori generatif transformatif Chomsky relevan dalam konteks

pembelajaran bahasa Arab sebagai bahas asing ataukah hanya dalam batas proporsinya.202

Bahasa merupakan proses mental yang kompleks. Pandangan ini mengantarkannya kepada

pengetahuan mengenai proses produksi bahasa. Karena itu, ia menaruh perhatian terhadap

aspek psikologi bahasa dan teorinya difokuskan pemerolehan (acquisition) anak terhadap

bahasa ibunya. Teorinya mengenai pemerolehan bahasa ini dikategorikan sebagai teori

nativistik (al-nazhariyyah al-fithriyyah). Teori ini membenarkan pendefinisian manusia

dalam buku-buku keagamaan dan literatur Arab dimana manusia sering didefinisikan sebagai

hayawân nâthiq (hewan yang nâthiq). Nâthiq, dalam bahasa Arab, maknanya ada dua,

berbicara dan berfikir logis.

202

Bagus Andrian Permata, Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya Dalam

Pembelajaran Bahasa Arab, Jurnal Empirisma Vol. 24, No. 2, Juli 2015, h. 179-181.

Page 165: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

147

Berdasarkan analisis etimologi kata nâthiq ini, berbicara atau berbahasa terkait

dengan pikiran. Kemampuan pikir bukan saja ukuran yang membedakan manusia dengan

hewan, selain kemampuan nurani (integritas)-nya, melainkan juga untuk melihat kemampuan

pikir seseorang, lihat saja bahasa yang diucapkan/ditulisnya. Bahasa yang runut dan logis,

menunjukkan penutur atau penulisnya mempunyai pikiran yang baik. Demikian sebaliknya.

Kemampuan berbahasa yang buruk, meski tidak selalu, menunjukkan kemampuan pikir yang

tidak baik. Kebudayaan dalam arti sempit, yaitu pola pikir dan pola rasa seseorang atau

kelompok sosial tertentu, karenanya, bisa dilihat dari ucapan atau tulisannnya. Teori yang

sebanding dengan teori Chomsky yang menyarankan kajian atas sisi ekstrinsikalitas bahasa

adalah teori kontekstual (siyâq) yang juga dipakai dalam riset ini, sebagaimana disarankan

ahli bahasa semisal Firth. Menurut Firth, Berry Rogghe, dan juga Ullmann, makna sebuah

bahasa tidak akan terungkap, kecuali dengan melihat: pertama konteksnya dalam satuan

bahasa di seputarnya, baik sebelum maupun sesudahnya. Teori ini mementingkan kajian

fenomena bahasa lewat analisis atas tindak bahasa sintaktikal dan analisis atas wacana yang

dikandungnya. Kedua, menganalisis hal-hal di luar bahasa. Bagi Firth, makna bahasa adalah

fungsi dalam konteks. Ia menekankan kesejajaran konteks internal dan formal kebahasaan

dan konteks situasi eksternalnya.203

John R. Firth (1890-1960) guru besar pada Universitas London, sangat terkenal

terkenal dengan teori fonologi prosodi. Karena itulah, aliran yang dikembangkannya dikenal

dengan nama aliran prosodi; tetapi di samping itu dikenal pula dengan nama aliran Firth, atau

aliran Firthian, atau aliran London. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti

pada tataran fonetis. Fonologi prosodi sendiri terdiri dari satuan-satuan fonematis dan satuan

prosodi. Satuan-satuan fonematis berupa unsur-unsur segmental, yaitu konsonan dan vokal,

sedangkan satuan prosodi berupa ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang daripada

203

Sukron Kamil, dkk., Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam

Teks-Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: Laporan Penelitian Kompetitif-Kolektif UIN Syarif Hidayatullah,

2013), h. 2-3.

Page 166: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

148

suatu segmen tunggal. Ada tiga macam pokok prosodi, yaitu (1) prosodi yang menyangkut

gabungan fonem: struktur kata, struktur suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vokal;

(2) prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda; dan (3) prosodi yang realisasi fonetisnya

melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental. Selain terkenal

dengan teori prosodinya, Firth juga terkenal dengan pandangannya mengenai bahasa.

Pandangannya mengenai bahasa dapat ditelusuri dalam bukunya yang berjudul The Tongues

of Man and Speech (1934) dan Papers in Linguistics (1951). Firth berpendapat telaah bahasa

harus memperhatikan komponen sosiologis. Tiap tutur harus dikaji dalam konteks situasinya,

yaitu orang-orang yang berperan dalam masyarakat, kata-kata yang mereka ungkapkan, dan

hal-hal lain yang berhubungan.204

Firth juga dikenal dengan teori analisis fonetik dan teori

konteks situasi (context of situation, siyâq al-mawqif/al-hâl). Aliran utamanya adalah

pragmatisme dan disebut juga aliran sosial Inggris (al-madrasah al-ijtimâ‟iyyah al-

Injliziyyah). Pada tahun 1944, ia mendirikan sekolah linguistik deskriptif (descriptive

linguistic school) di London, sehingga metode penelitian linguistik yang menjadi

kecenderungannya adalah metode deskriptif.

Teori konteks Firth banyak didasari atau diinspirasi oleh pendapat Bronislow

Kasper Malinowsky (1884-1942), seorang antropolog asal Polandia, yang mendeskripsikan

bagaimana bahasa dan penutur bahasa itu disikapi dan diperlukan oleh masyarakatnya.

Ancangan etnografi penuturan timbul dari tradisi etnografi pada umunya dalam antropologi.

Menurutnya, bertutur saja ―to tell‖ tetapi juga ―to do‖. Hal ini didasari oleh pengamatannya

pada masyarakat primitif. Dengan demikian, kata-kata pun menjadi alat bertindak. Menurut

Firth, sebagaimana penuturan Roger T. Bell, seperti dirujuk Muhbib, konteks situasi (siyâq

al-hâl, atau menurut Tammâm Hassân, Siyâq al-Mawqif), merupakan salah bentuk asbtraksi

dari lingkungan atau sarana di mana penuturan bahasa itu terjadi. Konteks situasi meliputi

204

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 355-356.

Page 167: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

149

segala aktivitas berbahasa, lisan maupun tulisan. Komponen yang ada dalam konteks situasi

meliputi: (a) ciri-ciri partisipasi yang relevan, kepribadian yang meliputi tindak verbal dan

nonverbal; (b) obyek-obyek yang relevan; dan (c) akibat dari tindak verbal.

Teori konteks situasi menjadi dasar teori linguistiknya. Ia menolak setiap usaha

untuk memisahkan bahasa dari konteksnya dalam kehidupan manusia dan budaya. Ia

menekankan bahwa makna adalah jantung dari kajian linguistik. Dalam konteks ini, ia

memperkenalkan dua kolokasi (collocation, sanding kata, tadhâmm) untuk menerangkan arti;

yaitu arti gramatikal dan arti fonologis. Firth juga menolak distingsi (pembedaan) antara

langue dan parole yang dibuat oleh Ferdinand de Saussure sebelumnya dan distingsi antara

competence dan performance yang dibuat oleh Noam Chomsky sesudahnya. Karena,

menurutnya bahasa bukan entitas yang otonom (otonomous entity), dan tidak bisa distudi

sebagai sistem mental (mental system). Ia juga tidak sependapat dengan aliran Behaviorisme

yang menganggap bahasa sebagai bagian dari perilaku yang terbentuk karena faktor

lingkungan, karena menurutnya bahasa merupakan serangkaian peristiwa di mana pembicara

(penutur bahasa) mengekspresikan dirinya, salah satu bentuk perilaku, dan cara melakukan

suatu perbuatan. Bahasa mempunyai fungsi, bukan sekedar alat komunikasi. Oleh sebab itu,

linguistik seharusnya memfokuskan pada kajian peristiwa penuturan bahasa. Dalam konteks

ini, ia sangat menekankan pada aplikasi teknik semantik (al-wasīlah al-dalâliyyah, the

technique of semantics) dengan memperhatikan kata-kata kunci seperti: fonologi, fonem,

penuturan, konsonan, vokal, fonetik, dan sebagainya.205

Lanjut pada pendekatan analisis riset ini, Avram Noam Chomsky, lahir pada 7

Desember 1928 di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat.206

Mengutip Mansur Pateda

dalam Bagus Andrian Permata (2015), ia dibesarkan di tengah keluarga yang

205

Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik

Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 51-52. Disertasi S3

pada SPs UIN Jakarta dalam Bidang Ilmu Agama Islam. 206

Sumber: Noam Chomsky - Wikipedia, the Free Encyclopedia_unduh 8 April 2016, pkl 09.25 WIB.

Page 168: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

150

berlatarbelakang pendidikan tinggi dari pasangan William Zev Chomsky dan Elsie

Simonofsky, seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) dan

murid Z.S. Harris.207

Ayahnya seorang ahli bahasa Ibrani. Ia sangat mendorong anaknya

untuk menekuni bahasa Ibrani; dan darinya Chomsky mulai mempelajari historical linguistics

(„ilm al-lughah al-târīkhī). Pada usia 10 tahun, ia sudah diminta ayahnya untuk membaca

proofs dari naskah buku David Kimhi‟s Hebrew Grammar. Delapan tahun kemudian ia

mendaftarkan diri pada Universitas Pennsylvania di bawah bimbingan Zellig Harris (1909-

1992). Sebelum masuk kuliah, gurunya itu (Harris) telah mempercayakan pada Chomsky

untuk membaca naskah buku Method‟s in Structural Linguistics, yang sebenarnya merupakan

benih aliran transformasi. Pengaruh Harris tampak pada Tesis MA. Chomsky sudah tidak

tertarik pada deskripsi, tetap pada eksplanasi dari bahasa. Dia tidak lagi memperhatikan

prosedur penemuan (discovery procedure), tetapi lebih menitikberatkan pada prosedur

penilaian (evaluation procedure). Dia tidak perduli bagaimana seseorang mencapai suatu

hasil, tetapi yang penting adalah bahwa hasil itu haruslah yang terbaik di antara hasil-hasil

yang ada.

Embrio dari jalan pikiran Chomsky, dalam catatan Muhbib, dituangkan dalam naskah

setebal 900 halaman, The Logical Structure of Linguistic Theory yang tidak pernah

mendapatkan penerbit karena keradikalan penulisnya. Setelah mulai mengajar di

Massachusset Institute of Technology, ia baru menerbitkan karya pertamanya, Syntactic

Structure (1975). Puncak dari teori generative-transformatif-nya adalah ketika ia menerbitkan

Aspects of the Theory of Syntax (1965). Menarik dicatat, bahwa Chomsky tidak hanya

menguasai bahasa Ibrani, tetapi juga pernah belajar Al-Ajrumiyah (Jurûmiyyah, kitab Nahwu

dasar) kepada Franz Rosenthall yang juga cukup menguasai bahasa Arab. dapat dipastikan

bahwa Chomsky juga memahami bahasa Arab, karena bahasa Ibrani dan Arab termasuk

207 Bagus Andrian Permata, Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya dalam

Pembelajaran bahasa Arab, dalam Jurnal Empirisma, Vol. 24, No. 2, Juli 2015, h. 181.

Page 169: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

151

rumpun Semit. Para ahli nahwu (nuhât) Ibrani pernah tinggal dan bergumul di lingkungan

Muslim Spanyol, dan mendasarkan penelitian nahwu mereka pada metode nahwu Arab

sehingga sangat mungkin ketika menulis Tesis Magisternya, Chomsky banyak mendapat

inspirasi dari sistem gramatika bahasa Arab.208

Chomsky mengisyaratkan bahwa teori

mengenai bahasa apapun mempunyai tiga cabang utama yang menjadi poros penelitian

bahasa, yaitu : 1) teori konstruksi/struktur bahasa, 2) teori pemerolehan bahasa dan 3) teori

penggunaan bahasa. Dalam menjelaskan teorinya tentang pemerolehan bahasa (language

acquisition), Chomsky juga mengkritik dan menentang teori pembiasaan operan (operant

conditioning) dalam pemerolehan bahasa yang dicetuskan oleh B.F. Skinner (1938),209

yaitu

tentang pembiasaan operan untuk suatu prosedur di mana seseorang dapat mengontrol

tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dala lingkungan

yang relatif bebas.210

Menurut Chomsky, dalam memperoleh bahasa ibunya, anak tidak pasif

saja menunggu stimulus dari luar dirinya (seperti pendapat Skinner dan pengikut aliran

Behaviorisme), melainkan aktif dan kreatif. Kalau hanya pasif saja, tidak mungkin dalam

waktu yang relatif singkat (dari umur 18 bulan sampai dengan 42 bulan atau 3,5 tahun) anak

kecil sudah mampu menguasai gramatika yang begitu rumit.

Kemampuan anak memperoleh bahasa sedemikian cepat itu bukan karena faktor

eksternal, melainkan karena faktor bawaan (al-qudrah al-fithriyyah). Menurut innates

hypothesis (hipotesis bawaan) yang dimajukan oleh Chomsky, manusia sejak lahir itu telah

dilengkapi dengan suatu kompetensi bawaan yang khas (qudrah lughawiyyah fithriyyah),

yang memungkinkan untuk menciptakan dan memperoleh bahasa. Menurutnya, anak kecil itu

208

Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik

Tammam Hassan (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 55. Disertasi Dalam Bidang Ilmu

Agama Islam.

209

Kevin C. Costley, Avram Noam Chomsky and His Cognitive Development Theory, paper in

Arkansas Tech University, 10 Juni 2013, h, 2. 210

Bagus Andrian Permata, Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya dalam

Pembelajaran bahasa Arab, Jurnal Empirisma, Vol. 24, No. 2, Juli 2015, h. 179.

Page 170: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

152

memiliki perangkat pemerolehan bahasa, yang terkenal dengan LAD211

(Language

Acquisition Device atau wasīlah iktisâb al-lughah). Jadi, tidak seperti pendapat

Behaviorisme, anak dilahirkan dalam kondisi seperti kertas kosong, melainkan sudah dibekali

potensi alami – yang dalam istilah Tammam disebut sâliqah lughawiyyah.

Menurut Chomksy, pembicaraan/penuturan yang didengar oleh anak kecil itu masuk

melalui LAD, dan melalui LAD inilah tercipta pemikiran mengenal kaidah-kaidah bahasa

secara tidak disadari (la syu‟urui). Kaidah-kaidah natural yang merupakan perangkat

pemerolehan bahasa itu pada diri anak, dan kaidah-kaidah yang diperoleh dari bahasa tertentu

itulah yang kemudian membentuk gramatika bahasa itu. Oleh karena itu, komponen bahasa

menurut Chomsky terdiri dari tiga komponen, yaitu syntactic component, phonological

component, dan semantic component. Dari ketiga komponen ini, komponen yang dianggap

paling sentral adalah sintaktik, sedangkan komponen fonologi dan semantik hanya diberi

status interpretif saja. Dalam komponen sintaktik terdapat dua subkomponen: yaitu

subkomponen dasar dan subkomponen transformasi. Struktur luar (al-binyah al-sâthhiyyah,

surface structure) ditentukan oleh subkomponen dasar dan kemudian dikirim ke komponen

semantik untuk mendapatkan interpretasi semantiknya. Bila diperlukan transformasi, struktur

batin/dalam (al-binyah al-„âmiqah, deep structure) dikirim ke subkomponen transformasi

untuk mendapatkan struktur lahir. Struktur lahir ini kemudian dikirim ke komponen fonologi

untuk mendapatkan interpretasi fonologinya. Setelah interpretasi semantik dan fonologi

diperoleh, barulah kalimat yang diinginkan itu terbentuk.

Kompetensi atau kecakapan adalah suatu proses generatif, dan bukan ―gudang‖ yang

berisi kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat seperti konsep langue dalam teori linguistik

211

Teori LAD psiko-linguistik, Chomsky seperti dalam Ahyani menyebutkan bahwa transformasi

generatif tidak terbatas kepada unsur-unsur satuan bahasa yang akhirnya menelurkan teori semantik REST

(Revesed Extended Standard Theory) yang menekankan perlunya pragmatic dan „the mind‟ (minda) manusia,

walaupun cakupannya hanya sampai pada konteks bahasa sebuah teks. Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn

al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 43. Tesis

dipertahankan pada Bidang Pendidikan Bahasa Arab.

Page 171: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

153

De Saussure.212

Kompetensi berbahasa (linguistic competence) merupakan salah satu sistem

kaidah atau rumus yang dapat kita sebut tata bahasa dari bahasa penutur itu.

Kompetensi/kualitas bahasa seseorang mengekspresikan jalan pikiran penuturnya.213

Tata

bahasa suatu bahasa adalah uraian (deskripsi) kompetensi penutur-pendengar yang ideal; dan

uraian ini harus mampu memberikan uraian struktur tiap-tiap kalimat yang tidak terbatas

jumlahnya, serta dapat menjelaskan bagaimana kalimat-kalimat ini dipahami oleh penutur-

pendengar yang ideal itu.

Dari segi semantik,214

tata bahasa suatu bahasa adalah satu sistem rumus atau kaidah

yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi dan makna dalam bahasa itu.

Sedangkan dari segi daya kreatifitas tata bahasa adalah sebuah alat perancangan yang khusus

menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat gramatikal (yang jumlahnya tidak

terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat itu. alat perancangan inilah yang diberi

nama ―tata bahasa generatif‖ oleh Chomsky, untuk membedakan dari pernyataan deskriptif

yang hanya menggunakan sekumpulan unsur yang muncul dari uraian-uraian struktur yang

konteksnya sangat beragam. Tata bahasa generatif sebagai alat perancangan ini merupakan

satu system rumus yang tepat dan jelas yang dapat digunakan dalam gabungan baru yang

belum pernah dicoba untuk membentuk kalimat-kalimat baru. Rumus-rumus ini dapat juga

digunakan untuk menentukan struktur dan bentuk fonetik kalimat ini, dan menunjuk

penafsiran-penafsiran semantik kalimat-kalimat baru, serta menolak urutan struktur yang

212

Selain diungkap Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori

Linguistik Tammam Hassan, ada kajian menarik yang ditulis peneliti Jepang dalam membedah teori/konsep

Ferdinand De Saussure dan Noam Chomsky. Naoki Araki, Saussure and Chomsky: Langue and l-Language,

Department of Information System and Management, dalam Bull. Hiroshima Institute of Technology Japan,

Research, Vol. 49, 2015, h. 1-11. 213

Noam Chomsky, Language and Mind (UK: Cambridge University Press, 2006), h. 4. 214

Semantik (semantics) menurut Harimurti Kridalaksana memiliki dua definisi. Pertama, bagian

struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara.

Kedua, sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya. Adapun

semantik generatif (generative semantics) adalah teori semantik dalam aliran transformasi generatif yang

menganggap bahwa tidak perlu ada pembedaan antara tingkat semantik dan tingkat struktur batin karena

keduanya adalah sama sehingga sintaksis jauh lebih abstrak. Harimurti Kridalaksana, Kamus Lingustik (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 216-217.

Page 172: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

154

bukan milik bahasa itu. Menurut Chomsky, prinsip-prinsip dasar organisasi linguistik adalah

keuniversalan linguistik yang olehnya disebut tata bahasa universal (al-qawâid al-kulliyyah).

Tata bahasa merupakan satu sistem yang merupakan bagian dari organisasi intelek nurani

(struktur dalam) yang bersifat universal, berlaku pada semua bahasa di muka bumi. Tata

bahasa mempunyai peranan penting dalam pemerolehan bahasa; dan peranan ini sama dengan

yang dimainkan oleh tata bahasa generatif transformasi, misalnya dalam pengenalan bentuk-

bentuk fonetik sebuah kalimat karena rumus-rumus tata bahasa itu digunakan dalam analisis

sintaksis kalimat itu untuk mengenal isyarat-isyarat fonetik itu.

Dari uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa proses belajar bahasa, menurut

Chomsky, adalah proses pembentukan kaidah (rule formation process) bukan proses

pembentukan kebiasaan (habit formation process), seperti pendapat Behaviorisme.

Menurutnya, manusia mempunyai innate capacity, suatu kemampuan bawaan untuk

memahami dan menciptakan ungkapan-ungkapan baru. Inti gramatika generatif-transformatif

adalah bahwa bahasa dapat dipelajari secara matematis (olah otak) dengan melahirkan

berbagai kalimat–yang jumlahnya bisa tidak terbatas–ketika sebuah kalimat itu didengar, lalu

mentransformasikannya ke dalam bentuk dan kalimat lain dengan menggunakan kaidah-

kaidah tertentu. Gramatika Generatif-Transformasi mempunyai tiga sendi utama. Pertama,

kaidah struktur ungkapan, kaidah yang menjelaskan bahwa kalimat itu terstruktur dari

ungkapan-ungkapan, sedangkan ungkapan-ungkapan itu terbentuk dari kata-kata. Kedua,

kaidah transformasi, yaitu sejumlah aturan yang harus diterapkan secara ketat. Sebagian

kaidah itu bersifat obligatori (ijbârī/ إجباري) dan sebagian yang lain bersifat opsi

(ikhtiyârī/ إختياري ). Ketiga, kaidah-kaidah morfologi bunyi, kaidah yang menetapkan bentuk

akhir suatu kata yang diucapkan atau ditulis. Pada tahap berikutnya, menurut Chomsky,

Page 173: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

155

seperti yang dikutip Muhbib, gramatika mempunyai tiga komponen utama, yaitu: sintaksis,

semantik, dan fonologi dengan tetap mengacu kepada dua kaidah transformasi yakni kaidah

obligatori dan kaidah opsi. Pola-pola transformasi kalimat itu dapat dikembangkan melalui:

(1) delasi (al-hadzaf (2) ;كتب أمحد درسا menjadi كتب أمحد درسا جديدا :seperti ( فذال

penempatan ( حاللاال ) seperti: اهلل مسيع عليم predikatnya ditempati dengan kata lain, sehingga

menjadi (3) ;اهلل غفور رحيم perluasan ( تساعاال ) seperti perluasan dengan sifat atau idhafah

;باب الفصل مفتوح menjadi الباب مفتوح atau اجلامعة الكبتة مشهورة :menjadi اجلامعة مشهورة

(4) reduksi (االختصار), kebalikan dari poin 3, seperti رئيس القرية جديد menjadi الرئيس جديد;

(5) penambahan (الزيادة), yakni penambahan unsur baru dalam kalimat dengan struktur ‗athfi,

misalnya: الطالب نشيط menjadi: نشيطانالطالب واملدرس ; dan (6) permutasi (إعادة التتيب),

misalnya dengan merubah jumlah ismiyyah menjadi jumlah fi‟liyyah atau sebaliknya seperti:

215 .حيضرون الطالب menjadi حيضر الطالب

215

Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik

Tammam Hassan (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 55-59. Disertasi Dalam Bidang Ilmu

Agama Islam.

Page 174: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

156

Jadi, teori Chomsky seperti dikutip Muhbib216

tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 5.

Model Pola Transformasi Noam Chomsky

Transformation

Meaning / al-Ma‟na Spoken or Written Expression

Dapat dikatakan tata bahasa transformasi lahir dengan terbitnya buku Noam

Chomsky yang berjudul Syntactic Structure pada tahun 1957, yang kemudian

diperkembangkan karena adanya kritik dan saran dari berbagai pihak, di dalam buku

Chomsky yang kedua yang berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun 1965. Nama

yang dikembangkan untuk model tata bahasa yang dikembangkan oleh Chomsky ini adalah

Transformational Generative Grammar, tetapi dalam bahasa Indonesia lazim disebut tata

bahasa transformasi atau tata bahasa generatif. Menurut Chomsky salah satu tujuan dari

penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dianggap

sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Maka

kalau begitu, tugas tata bahasa haruslah dapat menggambarkan hubungan bunyi dan arti

dalam bentuk kaidah-kaidah yang tepat dan jelas. Setiap tata bahasa dari suatu bahasa,

menurut Chomsky, merupakan teori dari bahasa itu sendiri, dan harus mempunyai dua syarat:

di antaranya adalah pertama, kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat

diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat, dan

kedua tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah

216

Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu, h. 55-59.

Deep Structure/

Al-Binyah al-„Âmiqah

Surface Structure/

Al-Binyah Al-

Sâthhiyyah

Page 175: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

157

yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus

sejajar dengan teori linguistik tertentu.

Sejalan dengan konsep langue dan parole dari Ferdinand De Saussure, maka

Chomsky membedakan adanya kemampuan (competence) dan perbuatan berbahasa

(performance). Kemampuan adalah pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai

bahasanya, sedangkan perbuatan berbahasa adalah pemakaian bahasa itu sendiri dalam

keadaan yang sebenarnya. Dalam tata bahasa generatif ini, maka yang menjadi objeknya

adalah kemampuan ini, meskipun perbuatan berbahasa juga penting, dan yang perlu dan

menarik bagi seorang peneliti bahasa adalah sistem kaidah yang dipakai si pembicara untuk

membuat kalimat yang diucapkannya. Jadi, tata bahasa harus mampu menggambarkan

kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, yang

sebagian besar, barangkali, belum pernah didengarnya atau dilihatnya. Pada dasarnya setiap

kita mengucapkan suatu kalimat, kita telah membuat kalimat baru yang berbeda dari sekian

banyak kalimat yang pernah kita ucapkan atau tuliskan. Kemampuan seperti ini, yakni

mampu membuat kalimat-kalimat baru, disebut aspke kreatif bahasa. Dengan kata lain,

menurut aliran Chomsky ini, sebuah tata bahasa hedaknya terdiri dari sekelompok kaidah

yang tertentu jumlahnya, tetapi dapat menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.

Hal ini dapat kita bandingkan dengan kemampuan dalam mengalikan bilangan. Setiap orang

yang telah menguasai perkalian 0-9, tentu akan dapat mengalikan perkalian lain, misalnya

19x37, atau 125x4319. Kemampuan untuk mendapatkan jawaban yang benar bukanlah

karena dia telah pernah melihat atau melakukan perkalian tersebut, tetapi karena kaidah

perkalian 0-9 telah dikuasai.217

Dalam disiplin linguistik modern, ada beberapa teori yang dipakai untuk memahami

makna, antara lain: Pertama, teori referensial (نظرية إشارية) menurut Salim Sulaiman al-

217

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), h. 363 – 365.

Page 176: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

158

Khammas, sebagaimana yang dikutip H.R. Taufiqurrochman, yaitu teori pertama yang

berusaha memahami hakikat makna. Teori ini berpendapat bahwa makna sebuah ungkapan

kata/kalimat ialah apa yang dirujuknya atau untuk apa ungkapan dipakai.218

Umpamanya,

ungkapan ―si manis‖ berarti kucing yang bernama si manis. ―Kucing‖ adalah jenis kucing

atau sifat-sifat yang dipunyai kucing. Menurut teori referensial, sebuah makna tergantung

pada sesuatu/acuan yang ditunjukkan oleh kata atau kalimat dan sesuatu itu berada di luar

kata atau bahasa. Acuan sesuatu yang berada di luar, jelas tidak terbatas. Karena itu, teori ini

berupaya membatasi acuan dengan cara mengklasifikasikan dalam beberapa hal, yaitu: isim

alam; kata kerja; kata sifat; ahwal; dan isim jenis. Dalam memahami makna, teori referensial

melakukan analisis terhadap acuan, sehingga makna adalah hubungan antara bahasa/kata

dengan benda/acuan, sebagaimana teori ―segitiga makna‖ yang telah dipaparkan secara

gamblang di atas. Kelemahan teori referensial adalah adanya ketidaksamaan antara kata dan

acuan. Selain itu adanya perbedaan antara makna dan acuan; jumlah makna ada satu;

terkadang sebuah acuan telah lenyap dan tinggal maknanya.219

Kedua, teori konseptual (نظرية تصورية) adalah teori konseptual, teori ideasional, teori

intensional, dan teori mentalistik (mentalism theory). Menurut teori ini, makna suatu

ungkapan ialah ide atau konsep yang dikaitkan dengan ungkapan itu dalam pikiran orang

yang mengetahui ungkapan itu. Berarti, makna berada di dalam benak atau pikiran manusia

(dzihniyah), ketika sebuah kata didengar oleh pendengar atau dipikirkan oleh pembicara.

Menurut al-Juwainī dan al-Râzī seperti dalam H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi

Bahasa Arab, kata-kata mufrad (tunggal) tidak ditujukan pada acuan di luar bahasa, akan

tetapi pada makna-makna yang terkonsep di dalam pikiran. Pendapat yang sama dikatakan al-

Baidhâwi, Ibnu Zamalkanī, dan al-Qurtubī. Al-Râzī berargumen bahwa seseorang yang

218

H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 38. 219

H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 38-

41.

Page 177: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

159

melihat sesuatu dari kejauhan, ia mengiranya batu, lalu ia berkata batu. Ketika jaraknya lebih

dekat, ia meyakininya pohon, lalu berkata pohon. Di saat jaraknya lebih dekat lagi, ia berpikir

kuda, lalu berkata kuda. Kemudian, jika ia telah sampai dan mengetahui bahwa sesuatu itu

adalah manusia, ia pun berkata manusia. Hal ini menunjukkan bahwa lafal/kata dapat berubah

sesuatu dengan makna yang terkonsep dalam benak seseorang, bukan pada benda/acuan yang

berada di luar. Kekurangan teori konseptual antara lain: a. makna yang diajukan oleh teori ini

bersifat tidak jelas, karena konsep/benak seseorang dapat berbeda-beda dan berbilang untuk

satu acuan/benda. Misalnya ketika mendengar kata segitiga, maka ungkapan ini pada benak

seseorang dengan orang lain dapat berbeda-beda. Ada yang membayangkan segitiga sama

kaki, segitiga sama sisi dan sebagainya. Secara hemat, ia berada di dalam benak/konsep/ide

manusia yang dapat berbeda dan berubah-ubah dalam mengacu pada satu kata; b. adanya

beberapa ungkapan yang berbeda-beda terkadang hanya memiliki satu makna konseptual; c.

ada beberapa kata/lafal yang memiliki makna konseptual yang sifatnya tidak jelas dan masih

kontradiktif di kalangan manusia. Terutama, kata-kata seperti: raksasa, besar, dan lain-lain.

demikian juga kata-kata yang bersifat mentalistik (aqliyah), seperti cinta, jujur, sakit hati,

ragu dan lain sebagainya.

Ketiga, teori behavioris (نظرية سلو كية). Teori ini mengatakan bahwa makna suatu

ungkapan ialah rangsangan (matsīr) yang menimbulkannya, atau respon (istijâb) yang

ditimbulkannya, atau kombinasi dari rangsangan dan respon pada waktu pengungkapan

kalimat itu. Dengan teori ini, berarti lingkungan memiliki andil besar dalam pembentukan

bahasa dan makna. Bahasa menunjukkan kualitas pembicara. Artinya kepribadian seseorang

bisa diamati dan dianalisis dari tutur katanya, dari bacaan yang digemarinya, juga karakter

bahasa yang ada, karena setiap bahasa memiliki muatan filsafat yang akan membentuk sifat

masyarakatnya, dan pada gilirannya, secara dialektis masyarakat akan membentuk karakter

Page 178: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

160

bahasa yang ada. Ibarat sebuah disket/memori komputer, perasaan, pikiran, dan perilaku kita,

disadari atau tidak, banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang termuat dalam bahasa. Tindakan

berbahasa akan masuk dan terekam dalam sistem memori, kemudian berproses

mempengaruhi program perasaan dan pikiran yang diteruskan output-nya dalam bentuk

ucapan dan perilaku.220

Keempat, (نظرية سياقية), menurut teori ini cara untuk memahami makna bukan

dengan melihat, mendeskripsikan atau mendefinisikan acuan/benda. Akan tetapi, makna

dipahami melalui konteks kebahasaan (siyâq lughawī) yang digunakan dan konteks situasi-

kondisi (siyâq hâl-mawqif) pada saat ungkapan itu terjadi. Oleh karena itu, studi tentang

makna perlu menganalisis konteks kebahasaan dan konteks situasi-kondisi secara sekaligus,

tepat, dan cermat. Konteks (siyâq) menurut bahasa berarti kesesuaian dan hubungan. Di sini,

konteks berarti lingkungan kebahasaan (intra-lingual) dan luar kebahasaan (ekstra lingual)

yang meliputi wacana dan mengungkap maknanya. Cakupan konteks bahasa (siyâq lughawī)

antara lain bagian-bagian bahasa seperti: kosakata, kalimat dan wacana. Unsur-unsur intra-

lingual dibedakan menjadi enam aspek yaitu struktur fonem (تركيب صويت), struktur morfologis

تركيب معجمي() struktur leksikal ,(تركيب رموي) struktur sintaksis ,(تركيب صريف) , unsur idiomatik

.dan unsur pragmatik ,(مصاحبة(

Selain itu ada konteks situasi-kondisi (siyâq mawqif-hâl). Unit-unit yang ada di

dalam sebuah ungkapan kalimat (bahasa) bukan sekedar susunan beberapa kata. Akan tetapi,

lebih daripada itu, unit-unit intra-lingual juga berhubungan dengan hal-hal lain di luar

kebahasaan (ekstra-lingual). Makna leksikal (arti kamus) tidak bisa mencakup makna utuh

220

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan,

2011), h. 119.

Page 179: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

161

sebuah ungkapan, sebab unsur-unsur lain di luar bahasa juga memberi andil besar dalam

memahami makna. Misalnya, unsur kepribadian penutur, pribadi mendengar, hubungan antar

kedua pihak, situasi dan kondisi pada saat ungkapan terjadi, seperti: pakaian, tempat, mimik

wajah, dan sebagainya, semua turut mempengaruhi makna sebuah ungkapan.

Teori konseptual berpendapat, mempercayai makna hanya sebatas pada ungkapan

bahasa merupakan pemahaman yang salah, sebab antara ungkapan bahasa dan konteks bahasa

adalah dua unsur yang mesti ada dan keduanya saling melengkapi. Aspek konteks yang perlu

dipertimbangkan dalam memahami makna, antara lain: bahasa perbuatan (kalâm al-fi‟il);

karakter penutur bahasa (thabī‟ah al-mutahadditsīn); karakter tema pembicaraan (thabī‟ah

al-Asyyâ‟); aksi/situasi bahasa (al-af‟âl al-mushâhabah li al-kalâm); dan waktu pembicaraan

(zamân al-kalâm). Selain itu, ada juga yang namanya kontaeks sosial-budaya (siyâq tsaqafī-

ijtimâ‟i), yakni situasi sosial budaya kondisi pada saat ungkapan bahasa terjadi. Makna

sebuah ungkapan dapat berubah karena perbedaan aspek sosial atau budaya.221

3. Kritik atas Konsep Strukturalisme Ferdinand de Saussure dan

Behaviorisme Leonard Bloomfield

Linguistik tradisional selalu menerapkan pola-pola tata bahasa Yunani dan Latin

dalam mendeskripsikan suatu bahasa, maka linguistik strukturalis tidak lagi melakukan hal

demikian. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri

atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep-

konsep atau pandangan-pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan

oleh de Saussure. Ferdinand de Saussure sering disebut sebagai Bapak atau Pelopor

Linguistik Modern, berkat karyanya yang diterbitkan oleh murid-muridnya. Course de

Linguistique Generale (1916), yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert

221

H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 44-

50.

Page 180: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

162

Sechehay tahun 1915 (jadi, dua tahun setelah de Saussure meninggal) berdasarkan catatan

kuliah selama dirinya memberi kuliah di Universitas Jenewa tahun 1906-1911. Buku tersebut

sudah diterjemahkan oleh Wade Baskin (terbit 1966) dan juga ke dalam bahasa Indonesia

diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (terbit 1988). Pandangan-pandangannya yang relatif baru

mengenai bahasa yang dimuat dalam buku itu. Pemikirannya itu, di antaranya sebagai

berikut, yaitu pertama, telaah simbolik (al-tazâmuniyyah) dan diakronik (al-ta‟âqubiyyah)

dalam studi bahasa, kedua, perbedaan antara langage, langue, dan parole, dan ketiga,

perbedaan signifiant dan signifie, sebagai pembentuk signe linguistique, dan keempat,

hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif atau paradigmatik.

Yang dimaksud dengan la langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi

sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya

asbtrak. Sedangkan yang dimaksud dengan la parole adalah pemakaian atau realisasi langue

oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa, sifatnya konkret karena parole itu tidak lain

daripada realitas fisis yang berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lainnya. Dalam

hal ini yang menjadi objek telaah linguistik adalah langue yang tentu saja dilakukan melalui

parole karena parole itulah wujud bahasa yang konkret, yang dapat diamati dan diteliti.

Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.

Sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Untuk

lebih jelas, ada yang menyamakan signie itu sama dengan kata, signifie sama dengan makna,

dan significant sama dengan bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu.222

Teori Ferdinand de Saussure tentang bahasa cenderung menganggap bahasa sebagai

simbol yang bermakna. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari penuturnya yang hidup dalam

lingkungan sosialnya. Kajian bahasa dapat didekati secara sinkronik dan diakronik. Bahasa

terdiri dari struktur-struktur yang membentuknya, seperti bunyi bahasa (ujaran), kata-kata,

222

Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 66. Lihat pula Abdul

Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 346-348.

Page 181: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

163

frasa, dan kalimat. Makna bahasa dapat dilihat dari hubungan antara petanda dan penanda,

hubungan antara keduanya bersifat arbitrer, dan dapat dianalisis melalui segmentasi dan

klasifikasi. Secara umum, teori yang dimajukan adalah strukturalisme.223

Dalam studi bahasa, asal usulnya bisa dilacak dari teori strukturalisme De Saussure

(1857-1913). Ia menyarankan kajian bahasa bersifat intralinguistik yang sinkronik

(ta‟ashurîyyah), yaitu kajian atas bahasa sebagai tindak bahasa atau kata apa adanya,

berdasarkan fenomena bahasa yang tampak, baik sebagai fonologi, morfologi, sintaksis, dan

semantik, yang terikat oleh ruang dan waktu. Bahasa tidak harus dilihat dalam hubungannya

dengan fungsi pendidikan atau tujuan-tujuan lain di luar dirinya. Teori de Saussure yang

sering disebut teori deskriptif (washfiyyah) ini ingin membebaskan kajian bahasa dari

lingkungan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sejarah, filsafat, atau ilmu kebudayaan lain.

Teori yang menekankan ekstrinsikalitas bahasa, bagi de Saussure, kurang meyakinkan,

bahkan tidak ilmiah. Teori deskriptif de Saussure ini, terutama menolak teori historisitas

bahasa yang mengkaji perubahan bahasa sepanjang masa, baik fonologi, morfologi, sintaksis,

dan sistem sintaktikalnya. Kajian historis bahasa, karena mengkaji bahasa dalam jangka

waktu yang panjang (diakronik/târîkhiyyah) dinilai sulit diukur dan kajian bahasa yang

bersifat ektralinguisitik kurang empirik. Karenannya, dinilai de Saussure tidak ilmiah.224

Dalam pengertian bahasa dengan tindak tutur dalam konteks kebahasaan di atas,

relasinya dengan pola keagamaan, dalam studi bahasa (linguistik), bisa dikaji dengan banyak

teori. Di antaranya adalah teori mentalistik (nazhariyyah „aqliyyah) atau transformatif

(tahwîliyyah) Noam Chomsky (Lahir 1928) yang menolak teori deskriptif De Saussure yang

lahir sebelumnya. Dalam teorinya, Chomsky memandang bahasa merefleksikan pikiran

penutur/penulisnya. Bahasa merupakan ungkapan dan respon kejiwaan penulis/penuturnya

223

Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik

Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 68. 224

Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa, Laporan Penelitian Kompetitif-Kolektif UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, h. 1-2.

Page 182: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

164

atas rangsangan lingkungan yang melatari. Berbeda dengan teori deskriptif De Saussure,

objek kajian bahasa, berdasarkan teori ini, adalah seputar pengetahuan para penggunanya

dengan memahami bentuk-bentuk kalimat yang lahir karena adanya kompetensi dan

performance. Kompetensi adalah kemampuan seseorang dalam mengungkapkan perasaan

dan pikiran kepada lawan bicara/audiensnya dimana lawan bicara/audiensnya bisa

memahami. Kompetensi kebahasaan seseorang ini terkait dengan intuisi. Sedangkan

performance adalah penggunaan real atau perwujudan berbahasa dalam berragam situasi.

Pandangan Chomsky tentang kompetensi dan performance membawanya pada kesimpulan

bahwa bahasa manusia, menurutnya, lebih banyak berasal dari faktor bawaan ketimbang yang

lain seperti struktur sosial seperti diyakini Durkheim. Bahasa seseorang ditentukan lebih

banyak secara genetis. Sebab itu, teorinya sering disebut juga teori genetis. Seorang anak,

baginya, belajar bahasa bukan dari nol, melainkan hanya menyeleksi pilihan-pilhan khusus

dari suatu tatanan yang sudah dispesifikasi sebelumnya. Dalam berbahasa, seorang anak sama

dengan mengubah tombol saklar dari sebuah kotak saklar untuk menyesuaikan parameter-

parameter bahasa yang dipelajari‖. Dalam khazanah Arab, teorinya ini hampir sama dengan

teori Ibn Faris (941-1004) dalam as-Shahibi-nya. Baginya, meski bahasa berkembang sesuai

dengan perklembangan manusia penggunannya, bahasa adalah tauqifi (sebagai faktor

bawaan). Yang dijadikan rujukannya adalah QS al-Baqarah/2: 31, yiatu ayat: ―Dia (Allah)

mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda di dunia) seluruhnya‖.

Chomsky pun kemudian menyarankan menginterogasi fenomena bahasa (struktur

kalimat) yang dikaji dengan mengubahnya dalam bentuk kalimat lain, baik karena opsional

maupun keharusan. Yang opsional misalnya dengan mengubah kalimat aktif dengan pasif,

kalimat berita dengan kalimat tanya, atau mengubah kalimat positif dengan negatif, karena

sesungguhnya manusia dalam berkomunikasi dengan bahasa hanya menangkap

pikiran/gagasan. Bahasa dalam hal ini bisa berubah sesuai konteks. Sedangkan kalimat yang

Page 183: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

165

wajib diubah berlaku untuk struktur kalimat yang salah, baik karena secara logika kacau

maupun karena tidak sesuai aturan kebahasaan. Transformasi bahasa juga bisa dilakukan

dengan membuang, mengganti, memperluas, meringkas, dan menambah kata atau kalimat. Ia

juga membagi kalimat pada dua bagian: struktur sederhana (struktur lahir) dan struktur dalam

(struktur batin). Struktur yang lahir tegasnya adalah apa yang ditulis atau yang diungkap.

Sementara struktur batin adalah makna bahasa. Teori mentalistik Chomsky di atas

sesungguhnya melanjutkan dan mengaskan teori ideasi Plato. Dalam teori ini, bahasa

bersumber dan berhubungan dengan gagasan/ide-ide. Bahasa bukan saja alat/media untuk

menyampaikan pikiran, melainkan kajian atas penggunaan bahasa dengan harus merujuk

pada pikiran. Gagasan atau ide-ide merupakan titik sentral yang melahirkan dan menentukan

analisis bahasa. Gagasan adalah cermin yang tampak yang menunjukkan keadaan batin

internal penutur/penulisnya. Berkomunikasi lewat bahasa karenanya, merupakan bentuk

komunikasi pikiran.

Teori mentalistik dan kontekstual, terutama konteks budaya, yang terdapat dalam

kajian linguistik di atas dalam sosiologi sebanding dengan teori tindakan dari Max Weber

(1864-1920). Menurutnya, struktur sosial adalah produk tindakan, produk dari pilihan yang

dimotivasi. Bagaimanapun tindakan manusia sebagai masyarakat, termasuk tindakan

bahasanya, merupakan tindakan mental. Karenanya, tugas ilmu sosial, tegas Weber, adalah

mencari makna di balik tindakan, termasuk tindakan bahasa. Setiap tindakan, tegas Weber,

memiliki alasan-alasan, kejadin historis yang mempengaruhi, dan tujuan. Weber menyebut

metodenya sebagai verstehen, yaitu kemampuan untuk masuk ke dalam kehidupan mental

pelaku/penulis/penutur atas dasar tanda-tanda yang diberikannya. Sebab itulah, ia

memandang kapitalisme bukan sebagai mode produksi seperti ilmuan sosial lain, melainkan

sikap/semangat, suatu cara memandang sesuatu. Kapitalisme pun dilihat sebagai proses

rasionalisasi ekonomi. Ia pun meneliti kapitalisme kaitannya dengan etika Protestanisme.

Page 184: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

166

Baginya, meskipun faktor lain seperti kondisi material dan kepentingan-kepentingan

ekonomi ikut berpengaruh, tetapi bisa dipastikan bahwa etika Protestan yang tertera dalam

teks-teks kegamaannya merupakan salah satu faktor yang mendorong berkembangnya

kapitalisme di Barat. ini artinya agama (teks-teks bahasa Protestanisme) menjadi landasan

dalam praktik ekonomi kapitalisme bagi pelakunya. Argumennya, karena teks-teks etika

Agama Protestan, terutama Calvinisme, mendorong semangat untuk maju, menekankan pada

usaha menghindari kemalasan atau kenikmatan semaunya, menekanakan rajin bekerja, dan

menekankan pada usaha membatasi konsumsi agar uang yang ada bisa diinvestasikan

kembali. Bagi umat Prostestan, Tuhan hanya memberi peluang kepada hambanya yang yang

mau bekerja keras. Bekerja dalam pandangan Protestanisme sebagaimana tertera dalam teks

keagamaannya merupakan sebuah tugas suci dan sebagai panggilan Tuhan. Bekerja juga

merupakan prasyarat untuk mencapai keselamatan. Orang yang tidak mau bekerja dianggap

sebagai orang yang melanggar aturan/teks agama, mengikarainya, dan melanggar perintah

Tuhan. Dalam teks-teks agama ini, karena seoarang tidak mengetahui takdirnya, maka tugas

manusia mencari takdir yang terbaik untuk dirinya. Selain itu, teks-teks keagamaan

Calvisnime yang dibawa John Calvin (1509-1564) juga mengibarkan semangat belajar dan

mengizinkan pengambilan bunga uang, sesuatu yang dikutuk oleh moralis Katolik

sebelumnya. Bunga yang dihalalkan dalam reinterpretasi teks keagaman Calvinisme inilah

salah satu faktor penting berkembangnya kapitalisme di Barat.225

Adapaun Leonard Bloomfield (1887-1948) mendasarkan teorinya tentang bahasa

pada input psikologi yang pada waktu itu dominan, yaitu aliran Behaviorisme. Dalam konteks

ini, Bloomfield menghendaki supaya ilmu bahasa mengikuti metode ilmu eksakta yang ketat

(obyek yang diteliti dapat diamati dan diukur). Dengan teori tingkah laku (behaviorisme) ia

menyetujui makna-makna bahasa. Menurutnya, studi bunyi-bunyi ujaran tanpa

225

Sukron Kamil, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-

Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: Laporan Penelitian Kompetitif-Kolektif UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2013), h. 27-31.

Page 185: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

167

mempertimbangkan makna adalah sebuah abstraksi dalam penggunaan aktual, bunyi-bunyi

ujaran itu merupakan ekspresi sebagai tanda. Makna, menurutnya, merupakan bentuk

linguistik sebagai situasi di mana pembicara mengekspresikannya dan sebagai respon yang

seterusnya memanggil pendengarnya. Situasi pembicara dan respon pendengarnya berada

dalam suatu urutan koordinasi. Ilustrasinya: stimulus pembicara ⤇ pembicaraan ⤇ respon

pendengar. Makna sebagai sebuah bentuk bahasa (linguistic form) dapat dianalisis dari segi

situasi di mana pembicara mengekspresikannya. Pembicara tidak hanya hadir dengan ide

(pesan) yang hendak disampaikan, akan tetapi juga menunjukkan situasi tertentu.

Inti teori aliran Behaviorisme tersebut adalah bahwa perilaku manusia (al-sulûk al-

insânī, nazhariyyah sulûkiyyah) itu terbentuk sebagai respon terhadap adanya stimulus.

Bahasa termasuk salah satu bentuk perilaku manusia. Sejak terbitnya Language karya

Bloomfield pada tahun 1933, linguistik struktural di Amerika mengalami kemajuan yang

cukup pesat. Sejak itu ditemukan konstruk-konstruk teoritik seperti fonem dan morfem,

pemisahan tahap analitik (analytic levels) untuk subkomponen fonemik, morfemik, dan

sintaktik; di samping juga penemuan konsep relativitas linguistik dari berbagai bahasa-bahasa

non Eropa, penerapan konsep teoritik pada pengajaran bahasa. Implikasi dari temuan

tersebut, antara lain mengandung penerus Bloomfield seperti Charles Fries (1887-1967),

Robert Lado (1915-1995), Wilga Rivers, dan Nelson Brooks membuat pendekatan lisan (oral

approach) sebagai satu-satunya metode pengajaran bahasa ―yang benar‖ pada saat itu. Teori

Bloomfield yang ―disinergikan‖ dengan teori Skinner (1904-1990) tentang belajar bahasa

menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu mirip dengan pemerolehan kebiasaan yang lain,

melalui stimulus, respon, dan reinforcement (ta‟ziz, peneguhan). Bahasa dinilai sebagai

bagian dari kebiasaan atau perilaku bahasa yang dapat diperoleh (dipelajari) oleh anak kecil

secara bertahap (gradual) melalui pendengaran (istimâ‟), peniruan/imitas (muhâkat),

peneguhan (ta‟zīz), dan pengulangan (takrâr), hingga akhirnya bahasa itu dapat dikuasai

Page 186: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

168

dengan baik (menjadi kebiasaan). Perilaku bahasa, menurut Bloomfield, dirumuskan dan

dilambangkan dengan S (stimulus) ⤇ R (respon) r….s ⤇ R. Karena itu, menurutnya, bahasa

merupakan sekumpulan ujaran yang muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech

community). Ujaran inilah yang diharus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Bahasa

adalah sekumpulan data yang mungkin muncul dalam suatu masyarakat. Data ini merupakan

ujaran-ujaran yang terdiri dari ptongan perlaku (tabiat) yang disusun secara linear.226

Teori

behavioral (نظرية سلو كية) dalam filsafat bahasa juga, yang berpandangan bahwa makna

paling mendasar dari sebuah ungkapan terletak pada pesan yang dikehendaki oleh pembicara

dalam rangka mempengaruhi perilaku pendengar atau pembicara. Semua ucapan maupun

permintaan pada dasarnya memuat pernyataan dan permintaan yang menghendaki respons

dari pihak pendengar atau pembicara. Artinya, dalam bahasa selalu terkandung makna

behavioral karena adanya tuntutan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu.227

E. Ulasan Singkat Terjemah Harfiyah dan Tafsiriyah

Dalam konteks penerjemahan, suatu hal yang urgen untuk menerjemahkan Al-

Qur‘an ke dalam bahasa adalah yang bisa dipahami oleh setiap pemilik bahasa, karena intinya

Al-Qur‘an diturunkan adalah untuk dipahami kandungan ayatnya oleh ummat dan masyarakat

pembaca. Untuk itu, istilah menerjemahkan Al-Qur‘an memiliki beberapa pengertian dan

metode/cara yang harus ditempuh yaitu:

(a) Terjemah harfiyah (literal translation)

Adapun terjemah harfiyah yaitu menerjemahkan Al-Qur‘an ke dalam bahasa

sasaran (Bsa) sesuai dengan mufradât (kosakata) ataupun susunan kalimat yang sesuai

226

Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Tammâm Hassân

(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2008), h. 48-49. Disertasi pada Pendidikan Bahasa Arab. 227

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan,

2011), h. 123.

Page 187: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

169

dengan bahasa aslinya. Terjemah harfiyah dapat diartikan juga dengan memindahkan

pengertian dari satu bahasa ke bahasa lain sambil tetap memelihara susunannya dan sekalian

makna asli yang terkandung dalam teks yang ingin diterjemahkan. Penerjemahan dilakukan

dengan mengkonversi konstruksi gramatika bahasa sumber ke dalam konstruksi bahasa

penerima yang paling dekat. Terjemah harfiyah (literal/letterleijk) digunakan sebagai tahap

awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan kerumitan struktur nash (teks). Kategori

ini melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber. Kesetiaan

biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber

seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frasa, bentuk kalimat dan sebagainya. Bagaimana dalam

konteks penerjemahan Al-Qur‘an bila menggunakan teori terjemah harfiyah ini? sudah dapat

dipastikan hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena penerjemah memaksakan

aturan-aturan tata bahasa Arab (gramatical arabic) ke dalam bahasa Indonesia yang tentunya

keduanya memiliki perbedaan yang mendasar.

Menurut al-Zarqânī, terjemahan seperti ini tak ubahnya dengan kegiatan mencari

padanan kata. Terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan lafziyah atau musâwiyah. Al-

Zarqânī mengatakan:228

و وضع املرادف فهي تشبلتمجة الرفية ىي اليت تراعى فيها حماكاة األصل يف نظمو وترتيبو، فا

.يسميها مساوية، وبعضهم ترمجة لفظيةالتمجة ىذه ، وبعض الناس يسمىمكان مرادفو Terjemahan harfiyah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang

terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, dicarilah padanan kata

(murâdif) dalam bentuk bahasa penerima (Bpe), dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata

bahasa sumber (Bsu) meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sebenarnya terjemahan

harfiyah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber

228

Syaikh Muhammad Abdul ‗Azhīm al-Zarqânī, Manâhil al-„Irfân fī „Ulûm al-Qur‟an (Kairo: Dâr al-

Hadīs, 2001), juz ke-2, h. 95-96.

Page 188: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

170

(Bsu) tidak mungkin dilakukan, sebab masing-masing bahasa (bahasa sumber dan bahasa

penerima) selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata, adakalanya masing-

masing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri.229

Terjemah ini disebut juga sebagai terjemah lafziyah, menerjemahkan sesuai dengan

susunan dan struktur bahasa asal. Al-Zahabī seperti dalam Tim Tafsir Al-Qur‘an

Kementerian Agama, membagi terjemah harfiyah ini ke dalam dua model yaitu harfiyah bi

al-misl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya sesuai dengan bahasa asal dan harfiyah

bighairil misl, yaitu terjemahan yang sedikit longgar keterikatannya dengan susunan dan

struktur bahasa asal yang diterjemahkan.230

Terjemahan harfiyah bisa saja dirubah sedikit

agar berterima di dalam BSa (bahasa sasaran), sehingga terjemahan BSa: misalnya ذلك البيت

menjadi terjemahan yang berterima; rumah itu di (itu rumah di depan masjid) أمام املسجد

depan masjid. Perubahan terjemahan harfiyah ini disebut oleh Larson seperti dikutip Tardi,

sebagai terjemahan harfiyah yang dimodifikasi (modified literal translation). Istilah

terjemahan harfiyah menurut Nida, Taber, dan Larson, masih dalam kutipan Tardi, ini disebut

dengan terjemahan kata-demi-kata oleh Newmark, karena dalam terjemahan ini tata bahasa

BSu dan susunan katanya dipertahankan di dalam BSa.231

Dalam kegiatan penerjemahan, setiap jenis nash sepatutnya diperlakukan secara

khusus. Perlakuan ini menyangkut masalah teoritis yang bertalian dengan metode dan

prosedur penerjemahan, kualifikasi penerjemah, dan proses penerjemahan. Karena itu,

penerjemahan nash keagamaan berbeda dengan penerjemahan nash ilmiah, nash sastra, dan

229

Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2001), h. 60-61.

230 Tim Tafsir Al-Qur‘an, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Kemenag (Edisi yang disempurnakan),

(Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, 2012), h. 31-32. 231

Tardi, Koherensi Terjemahan Al-Qur‟an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‟an Depag RI Edisi

Tahun 2002 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 23-24. Tesis pada SPs

UIN Jakarta, konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab.

Page 189: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

171

jenis nash lainnya. Perbedaan perlakuan ini erat dengan karakteristik isi dan bahasa yang

mengungkapkan isi itu. Nash sastra misalnya, memiliki fungsi menghibur dan mendidik.

Fungsi yang demikian dimainkan dengan bahasa yang memperhatikan unsur-unsur

keindahan. Penerjemahan dilakukan dengan perlu berupa menjalankan kedua fungsi tersebut

di dalam bahasa terjemahan yang indah.

Demikian pula halnya penerjemahan (nash) teks keagamaan, misalnya dalam konteks

ini adalah nash Al-Qur‘an dan hadis Rasul, yang memerlukan penanganan tersendiri. Bagi

orang Islam, nash Al-Qur‘an memiliki aneka dimensi dan fungsi yang perlu dijaga dan diraih

manfaatnya. Agar segala kebaikan Al-Qur‘an, kedalaman makananya, dan keindahan

bahasanya tetap terpelihara, maka metode, prosedur, dan teknik penerjemahannya serta

kualifikasi penerjemahnya pun perlu dirumuskan terlebih dahulu. Di samping itu, cara

pandang (mindset) penerjemah nash-nash keagamaan tentu saja berbeda dengan cara pandang

penerjemah nash sastra atau penerjemah teks pada umumnya. Penerjemah nash keagamaan

dituntut untuk jujur dan berniat dakwah, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan

materil. Oleh karena itu, kiranya perlu disajikan pembahasan tentang hukum, menerjemahkan

nas keagamaan dengan segala aspeknya.

Banyak argumentasi yang dilontarkan para ulama tafsir tentang penggunaan

terjemahan Al-Qur‘an secara harfiyah, sebab hal itu sangat mustahil dilakukan. Berikut ini

beberapa pandangannya: menerjemahkan Al-Qur‘an dengan mengungkapkan makna dan

maksudnya ke dalam bahasa lain, baik secara harfiah maupun tafsiriyah. Hukum

menerjemahkan dengan cara seperti ini adalah mustahil untuk dilakukan dan haram menurut

syara‟ karena faktor-faktor di bawah ini. a) makna-makna Al-Qur‘an tidak mungkin dapat

diungkapkan melalui terjemahan. Demikian pula dengan tiga maksud utama Al-Qur‘an

sebagai hidayah, sebagai mukjizat Nabi SAW, dan sebagai ibadah dengan membacanya. b)

Penerjemahan dengan pengertian seperti itu berarti menyerupai Al-Qur‘an. Hal demikian

Page 190: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

172

mustahil dilakukan. c) Jika perbuatan seperti itu mustahil dilakukan, maka melakukan sesuatu

yang mustahil adalah diharamkan oleh Islam. Allah melarang manusia menjerumuskan diri

ke dalam kebinasaan, lihat QS. al-Baqarah ayat 195 di bawah ini:

ا فمه أ ف ج١ ل لل ٱ ع ا ره ثأ ٠ مه ٱ ئ ذ٠ىه خ ز أ ح هى غه ا ح ٱ ٠هحت لل ٱ ئ ه ٠٦٤ غ١

Allah tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya. d) Terjemahan dapat

melalaikan umat dari Al-Qur‘an itu sendiri. e) Al-Qur‘an dapat disebarkan bukan dengan

terjemahannya. Nabi SAW sendiri, beliau adalah manusia yang paling mengerti Al-Qur‘an—

tidak menerjemahkan Al-Qur‘an tatkala menyeru bangsa Arab, asing, dan para pemuka

masyarakat. Demikian pula halnya dengan para sahabat.232

Universitas Al-Azhar Kairo Mesir

telah lama menaruh perhatian terhadap masalah penerjemahan Al-Qur‘an. Karena itu,

diselenggarakanlah diskusi, dialog, dan seminar yang membahas masalah tersebut. Dari

kegiatan ini dapat disimpulkan fatwa berikut berkenaan dengan penerjemahan Al-Qur‘an ke

bahasa asing dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah itu.

a. Dalam menafsirkan ayat Al-Qur‘an sedapat mungkin dihindari istilah-istilah ilmiah

kecuali sebatas tuntutan agar lebih dipahami; b. tidak boleh menyuguhkan pandangan-

pandangan ilmiah. Ketika menafsirkan Surat al-Ra‟d, misalnya, tidak perlu disajikan

pandangan ahli astronomi. Penafsiran cukup dilakukan dengan menjelaskan ayat itu ke dalam

bahasa Arab; c. ketika ada beberapa masalah yang perlu diperdalam secara ilmiah, sebaiknya

dibentuk komisi yang bertugas menyusun masalah itu dan menempatkannya sebagai catatan

bagi tafsiran yang telah diberikan; d. komisi itu tidak boleh tunduk kecuali kepada apa yang

dikemukakan oleh ayat yang mulia. Karena itu, komisi jangan terikat oleh suatu mazhab fiqih

atau mazhab teologi tertentu; e. tafsiran dilakukan berdasarkan pada Qiraat Hafash, bukan

Qiraat lainnya kecuali sebatas kebutuhan konteks; f. menghindari pemaksaan dalam

pengaitan surat atau ayat yang satu dengan surat atau ayat yang lain; g. hendaknya disajikan

232

Syihabudin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h.

163-166.

Page 191: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

173

sebab-sebab turunnya ayat guna mendukung pemahaman pembaca akan makna ayat; h. pada

saat melakukan penafsiran, hendaknya satu atau sekelompok ayat yang berkenaan dengan

topik tertentu disajikan lebih dahulu. Sajian ini diikuti dengan penjelasan makna kosa kata

yang rumit secara cermat. Setelah itu, barulah makna ayat ditafsirkan dengan jelas, yang

didukung dengan ayat lain yang terkait dan dengan sebab turunnya ayat; i. hendaknya pada

permulaan surat disajikan hal-hal yang berkaitan dengan masalah surat Makkiyyah atau

Madaniyyah dan alasan surat itu digolongkan ke dalam salah satunya; j. sebuah tafsir

hendaknya didahului dengan pengantar yang menyajikan pengertian Al-Qur‘an, kandungan

utama Al-Qur‘an, dan metode penafsiran yang digunakan dalam tafsir tersebut.

Di samping acuan di atas, pembahasan para ulama Al-Azhar pun merekomendasikan

sebuah metode penafsiran makna Al-Qur‘an. Metode ini diuraikan dalam langkah-langkah

seperti berikut. Pertama, membahas sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl), menafsirkan ayat

dengan hadis dan perkataan para sahabat, meneliti periwayatan hadis dan ucapan tersebut,

menggunakan riwayat yang paling sahih dalam menafsirkan ayat dan menjelaskan kekuatan

atau kelemahan riwayat itu. Kedua, membahas kosa kata Al-Qur‘an secara lughawi,

membahas karakteristik struktur ayat yang ditafsirkan dilihat dari segi ilmu balaghah, dan

menyajikannya. Ketiga, membahas pendapat ahli tafsir dan memilih pandangan yang paling

kuat. Begitu yang ditulis al-Zarqânī, sebagaimana yang dikutip Syihabuddin. Uraian di atas

menegaskan bahwa hampir setiap aspek penerjemahan Al-Qur‘an terkait dengan hukum

syariat. Konsep penerjemahan, metode penerjemahan, dan kualifikasi penerjemah berkaitan

dengan hukum wajib dan haram. Penerjemahan Al-Qur‘an tidak dapat ditelaah dari segi teori

terjemah belaka. Karena itu, penerjemahan Al-Qur‘an perlu dipandang sebagai satu

pendekatan untuk memahami Al-Qur‘an. Demikianlah, penerjemahan Al-Qur‘an sebagai nas

keagamaan, baik secara harfiah maupun tafsiriyah, adalah tidak sama dengan

Page 192: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

174

menafsirkannya dengan bahasa Arab atau asing. Menafsirkan Al-Qur‘an dengan bahasa asing

adalah sama dengan menafsirkannya dengan bahasa Arab.233

Penerjemahan Al-Qur‘an baik secara harfiah maupun tafsiriyah dengan pengertian

seperti yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yaitu kegiatan alih bahasa hendaknya

memenuhi seluruh makna dan maksud Al-Qur‘an. Perbedaan antara terjemah harfiah dan

terjemah tafsiriyah hanyalah dalam aspek bentuk. Pada terjemah harfiah, urutan dan

sistematika nas sumber benar-benar diperhatikan, sedangkan terjemah harfiah tidak

demikian. Jadi, penerjemahan Al-Quran yang dibolehkan ialah penerjemahan dalam arti

menyampaikan nas Al-Qur‘an dan menafsirkannya sedangkan penerjemahan dengan arti

mengalihkannya ke bahasa asing adalah dilarang. Yang dibolehkan adalah menerjemahkan

Al-Qur‘an dengan makna menafsirkannya dengan bahasa asing.234

Berkaitan dengan tafsir/penafsiran, Amin al-Khûli seperti yang dikutip Istianah,

mengatakan: bahwa dalam ilmu pengetahuan, konteks sosial-politik, dan aktivitas penafsir

akan mewarnai dan memengaruhi praktik penafsiran Al-Qur‘an yang dilakukan. Pandangan

ini mengarahkan pada satu pemahaman konseptual bahwa penafsiran, dalam konteks ini

penerjemahan secara umum, tidak bisa dilepaskan dari basis sosial-politik, asal-usul, serta

genealogi keilmuan penafsir atau penerjemah. Pandangan semacam ini sejalan dengan yang

dikemukakan Karl Mannheim, bahwa pengetahuan manusia tidak bisa lepas dari subjektivitas

individu yang mengetahuinya. Pengetahuan dan eksistensi merupakan dua hal yang tidak bisa

dipisahkan. Latar belakang sosial dan psikologis subjek yang mengetahui tidak bisa

dilepaskan dari proses terjadinya pengetahuan.

233

Perlu diketahui bahwa dalam bahasa Arab terdapat lafaz-lafaz yang memiliki dua bentuk makna.

Sebagaimana yang diutarakan al-Zahabī, sebagaimana dikutip Saifuddin, pertama, makna asli (dalâlah

ashliyyah), yakni lafaz yang dapat dipahami secara langsung dan ditemukan padanannya dalam bahasa lain.

kedua, makna sekunder (dalâlah tsanawiyyah), yaitu lafaz yang sulit dapat dipahami langsung tanpa melihat

secara keseluruhan kalimat dan konteks pembicaraan. Lihat Saifuddin, Tradisi Penerjemahan Al-Qur‟an ke

Dalam Bahasa Jawa: Suatu Pendekatan Filologis (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, 2013),

Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 2, h. 241-242. 234

Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h.

174 – 177.

Page 193: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

175

Demikian juga pada aktivitas ‗penerjemahan sebagai bagian dari proses penafsiran, di

mana Richard E. Palmer masih dalam Istianah menyatakan bahwa ―menafsirkan‖ (to

interpret) secara filosofis juga bermakna menerjemahkan (to translate), karena pada dasarnya

―menerjemahkan‖ merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar, ―membawa

sesuatu untuk dipahami.‖ ketika teks tertulis dalam bahasa asing, maka ia akan menimbulkan

perbedaan perspektif dan horizon yang tak terelakkan, sehingga dibutuhkan proses

―membawa‖ bahasa asing tersebut ke dalam mediasi bahasa lain untuk dapat dipahami.

Tindakan penerjemahan pun bukan sekadar persoalan mekanis mencari makna dan

menemukan sinonim kata, akan tetapi, seorang penerjemah pun harus mampu melebur dalam

horizon ―pemahaman‖ di dalam teks. Dengan demikian, penerjemahan juga merupakan

proses penafsiran. Selain itu, penerjemahan juga berkaitan dengan ‗makna‖, karena

menentukan makna memiliki peranan penting dalam proses penerjemahan. Dengan demikian,

‗menerjemahkan‘ suatu bahasa tidaklah sesederhana memindahkan makna yang ada di balik

kata atau kalimat bahasa sumber (BSu) dalam bahasa sasaran (BSa), melainkan juga proses

mentransfer pesan dan gagasan dengan segala aspeknya. Oleh karenanya, ketepatan dalam

menentukan makna menjadi syarat penting dalam menjaga kandungan teks dari distorsi dan

tentunya menentukan kualitas hasil terjemahan.

Berkaitan dengan penerjemahan Al-Qur‘an, proses penerjemahan menjadi sesuatu

yang unik, di satu sisi proses ini dianggap hal yang profan, di sisi lain aktivitas ini dipandang

sesuatu yang sakral dan tak jarang menimbulkan kontroversi, karena bahasa Al-Qur‘an

diyakini berdimensi ilahi sehingga proses penerjemahannya pun menjadi sesuatu yang

krusial. Dimensi ilâhiyah yang terkandung dalam bahasa Al-Qur‘an menjadikannya memiliki

muatan makna yang begitu luas, dan proses penerjemahannya menjadi proses pembatasan

makna. Karena adanya pembatasan makna sebagaimana diuraikan di atas, maka sangatlah

wajar jika apa yang disodorkan oleh sebuah karya penerjemahan sangat terbatas, dan

Page 194: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

176

penerjemahan tidak mencukupi dalam upaya pemahaman yang komprehensif terhadap

kandungan Al-Qur‘an. Akan tetapi, bukan berarti umat Islam non-Arab ataupun yang tidak

menguasai bahasa Arab tidak dapat memahami Al-Qur‘an, hanya saja pemahamannya masih

terbatas pada penerjemahan saja.235

Harus dipahami bahwa ada 2 makna dalam setiap bahasa. Primer (awwaly atau ashly)

yang bisa dipahami langsung melalui zahir lafal tersebut, tanpa perantara, dan kedua makna

sekunder (tsânawī/tâbi‟ī) yang berupa makna kedua dan seterusnya di balik makna asli. Jika

dikatakan Umar pergi, seketika dari lafal tersebut kita pahami kepergian Umar. Bila ada yang

mengatakan, ―di ruangan ini ada singa‖ tentu yang dimaksud bukan makna sesungguhnya,

yaitu keberadaan hewan yang bernama singa di ruangan ini, akan tetapi seseorang yang gagah

sekali dan berani. Contoh yang pertama disebut makna primer, dan yang kedua disebut

sekunder.236

Keberadaan dua makna ini nampaknya disepakati oleh para ulama. Imam al-

Syâtibī seperti dirujuk Muchlis M. Hanafi, mengemukakan bahwa lafal-lafal dalam bahasa

Arab memliki dua bentuk makna denotative; yaitu primer (dalâlah asliyah) yang dapat

dipahami langsung dan ditemukan padanannya dalam bahasa lain, dan sekunder (dalâlah

tâbi‟ah/tsânawiyah) yang menjadi kekhasan bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur‘an

dan hanya dapat dipahami dengan mengetahui karakteristik keindahan bahasanya. Makna

primer bisa dengan mudah diungkapkan ke dalam bahasa-bahasa lain, dan itu tidak masalah.

Misalnya, ketika ingin menjelaskan umar berdiri, semua bahasa bisa

mengungkapkannya. Tetapi di dalam bahasa Arab ada penekanan-penekanan tertentu dengan

memperhatikan siapa yang diajak bicara dan apa yang ingin ditekankan. Bila sekadar ingin

memberitahu cukup dikatakan “qāma „umar”. Tetapi bila yang diajak berbicara mengingkari

235 Istianah, Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI (Sekolah

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 20-22. Tesis pada Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi

Studi Al-Qur‘an dan Hadis. 236

Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-

Qur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA), Vol. 4,

No. 2, Tahun 2011, h. 172-173.

Page 195: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

177

maka dikatakan, “inna „umara qā‟imun” atau “innamā qāma „umar”, dan seterusnya. Para

ahli bahasa modern, seperti Larson, lanjut Muchlis, juga membedakan makna primer dan

sekunder yang lazimnya lebih dikenal dengan sebutan makna ―referensial‖ dan ―konotatif‖.

Makna referensial adalah makna dasar yang dapat dilihat dalam makna leksikal, gramatikal,

atau tekstual (konteks dari teks). Sedangkan makna jenis kedua dapat dilihat pada adanya

makna tambahan seperti makna sosiokultural. Sebagai contoh, makna kata ―kursi‖ yang

mempunyai makna referensial atau makna primer ―tempat duduk‖, namun juga dapat

mempunyai makna konotatif atau sekunder, misalnya dalam kalimat ―ia baru mendapatkan

kursi yang empuk dalam perusahaan itu; proyek miliaran banyak yang diserahkan

kepadanya.‖

Makna-makna yang timbul karena memperhatikan penekanan-penekanan tertentu dan

kondisi orang yang diajak bicara (mitra tutur/mukhâtab) akan berbeda cara pengungkapannya

antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, sebab setiap bahasa memiliki karakter dan ciri

tersendiri. Perbedaan itu bisa lahir karena perbedaan tingkat kecerdasan orang yang

memahami, dan kepandaian serta kepiawaian si pembicara (mutakallim) dalam memilih kata-

kata. Ungkapan yang memiliki dua makna tersebut tentu ada di semua bahasa, apalagi dalam

bahasa Arab yang sangat kaya kosakata dan memiliki banyak keunikan. Kekayaan dan

keunikan bahasa Arab misalnya, terlihat pada beberapa kosakata dan sinonimnya. Kata tinggi

saja mempunyai enam puluh sinonim, bahkan konon kata singa bersinonim lima ratus, dan

kata yang menunjuk kepada aneka pedang ditemukan sebanyak lebih kurang 1000 kata.

Menurut De Hammaer, kata yang menunjuk unta dan keadaannya ditemukan sebanyak 5644

kata. Ada yang memperkirakan kosakata bahasa Arab berjumlah tidak kurang dari 25 juta

kosakata. Sinonim-sinonim tersebut tidak selalu sepenuhnya mempunyai arti yang sama. Kata

jalasa dan qa„ada sama-sama diterjemahkan ―duduk‖, tetapi penggunaannya berbeda. Jalasa

untuk duduk dari yang semula berbaring, dan qa‟ada untuk duduk dari yang semula berdiri.

Page 196: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

178

Selain itu bahasa Al-Qur‘an juga banyak menggunakan bentuk majāz (metafor),

musytarak (satu kata dengan dua makna atau lebih yang berbeda), adhdād (satu kata dengan

dua makna yang bertolak belakang) dan kekhasan lainnya yang tidak ditemukan dalam

bahasa lain. Atas dasar itu para ulama sepakat menyatakan banyak kata dan ungkapan dalam

bahasa Arab, lebih-lebih Al-Qur‘an yang dinilai memiliki kualitas sastra tinggi, yang tidak

ditemukan padanannya dalam bahasa lain. Ungkapan ―menjadikan tangan terbelenggu di

leher‖ dan ―membentangkan tangan selebar-lebarnya‖ seperti dalam Q.S. al-Isrā‘ /17: 29

tentu sulit dipahami dalam bahasa lain bahwa yang dimaksud adalah sifat terlalu pelit/kikir

dan sifat boros.

Karena itu, mengutip Ibnu Qutaibah, setelah menjelaskan kedua makna di atas al-

Syâthibī mengatakan sebagaimana dikutip Muchlis M. Hanafi:

يعت على ىذا الوجو الثاين، فأما على الوجو وقد نفى ابن قتيبة إمكان التمجة ىف القرآن،

األول فهو دمكن، ومن جهتو صح تفست القرآن وبيان معناه للعامة ومن ليس لو فهم يقوى على

وكان ذلك جائزا باتفاق أىل اإلسالم ، فصار ىذا اإلتفاق حجة ىف صحة التمجة حتصيل معانيو ،

]٤٦/ ٢املوافقات[على املعت األصلي

Artinya: “Ibnu Qutaibah menafikan kemungkinan Al-Qur‟an diterjemahkan, yaitu

dalam bentuk makna kedua (makna sekunder). Adapun makna pada bentuk yang pertama

(makna asli) dimungkinkan, dan atas dasar itu dibenarkan menafsirkan Al-Qur‟an dan

menjelaskan maknanya untuk orang awam dan yang tidak memiliki kemampuan untuk

menggali makna-makna Al-Qur‟an. Ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan umat/ulama

Islam. Kesepakatan ini pula yang menjadi dasar kebolehan/kebenaran terjemah pada makna

primer.”237

237

Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-

Qur‟an dan Kasus Kontemporer, h. 173-175.

Page 197: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

179

Melihat karakter bahasa Al-Qur‘an yang sedemikian rupa tentu tidak mungkin untuk

dapat menerjemahkannya secara apa adanya, yaitu dengan pengertian ―pengalihan

kalimat/kata dari bahasa pertama kepada kesamaannya dalam bahasa kedua, baik dalam tata

bahasanya maupun arti per kata‖ yang lazim disebut terjemah harfiyah, atau menurut huruf,

kata demi kata (tidak menurut makna yang terkandung dalam kalimat)‖. Terjemah harfiyah

tentu akan mengabaikan sekian banyak makna sekunder dalam Al-Qur‘an, baik yang timbul

karena karakteristik bahasa Arab yang menggunakan bentuk-bentuk majāz, musytarak dan

lainnya, atau yang timbul dari hasil ijtihad dan istimbat hukum di balik lafal yang zahir.

Tetapi itu tidak berarti Al-Qur‘an tidak dapat diterjemahkan. ―Salah jika ada yang

beranggapan Al-Qur‘an secara keseluruhan tidak mungkin diterjemahkan karena

kemukjizatan yang dimilikinya‖, demikian kata Syaikh Musthafâ al-Marāghī, dalam kutipan

Muchlis, ulama besar Mesir yang pernah menjadi Grand Syaikh/pemimpin tertinggi Al-

Azhar. ―yang benar, lanjut al-Marāghī, Al-Qur‘an mungkin diterjemahkan dari segi makna

primernya (al-ashliy), dan mustahil dapat diterjemahkan makna sekundernya‖. Di tempat lain

dalam bukunya Bahtsun fī Tarjamat al-Qur‟an al-Karīm wa Ahkāmiha, ia mengatakan,

―sebagian ayat Al-Qur‘an mungkin diterjemahkan secara harfiyah, dan sebagian lainnya tidak

mungkin‖. Bahkan kemungkinan menerjemahkan Al-Qur‘an secara harfiyah, menurut al-

Marāghī terbuka di banyak ayat, meskipun ia juga mengakui tidak mungkin menerjermahkan

keseluruhan Al-Qur‘an secara harfiyah. Yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiyah tentu

harus diterjemahkan secara tafsiriah. Berikut ungkapan al-Marāghī dalam bukunya:

إن االدعاء بأن القرآن الكرمي كلو ال ميكن ترمجتو ألنو معجز، ادعاء خاطئ، بل الق أن

.إنو ميكن ترمجتو من ناحية الدالالت األصلية، ويستحيل ترمجتو من ناحية الدالالت التابع : يقال

ى ٣٢٢٥ل ىدية ملة األزىر مانية لشهر شوا ،٥٣ .، ص”حبث يف ترمجة القرآن الكرمي وأحكامها"

Page 198: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

180

Artinya: “Mengatakan Al-Qur‟an seluruhnya tidak mungkin dapat diterjemahkan

karena sifatnya sebagai mukjizat adalah keliru. Yang benar, memungkinkan diterjemahkan

dari sisi makna primer, dan mustahil diterjemahkan dari sisi makna sekunder.”

Lanjut Syaikh Musthafâ al-Marâgī dalam Muchlis M. Hanafi:

ترمجة حرفية، وبعضها ال ميكن أن يتجم ترمجة حرفية إن بعض آيات القرآن ميكن أن تتجم “

“)٢٤. ص( ".Artinya: “Sebagian ayat Al-Qur‟an mungkin diterjemahkan secara harfiah, dan

sebagian lainnya tidak”.

ورمن نعتف بأن التمجة الرفية متعذرة يف كل القرآن، ودمكنة يف آيات كثتة أو يف أكثر

)٥٧.ص". (آيات القرآنArtinya: “Kami mengakui, terjemahan harfiah tidak mungkin dapat dilakukan

terhadap keseluruhan Al-Qur‟an, tetapi untuk banyak ayat, atau sebagian besar ayat al-

Qur‟an dimungkinkan.”

Pandangan-pandangan Syaikh Musthafâ al-Marâgī di atas membatalkan apa yang

dikemukakan oleh M. Thalib, dalam tulisannya di Majalah Gatra edisi 10 November 2010

yang berjudul ―Beda Terjemah Memunculkan Masalah‖ sebagai jawaban atas tulisan penulis

di majalah yang sama edisi 20 Oktober 2010 yang berjudul ―Beda Terjemah Bukan

Masalah‖. Di situ ia menyatakan, ―Syaikh Akbar Muhammad Musthafâ al-Marâgī

berpendapat, terjemah Al-Qur`an secara harfiyah tidak boleh. Yang dibolehkan adalah

terjemah secara maknawiyah atau tafsiriyah‖. M. Thalib tidak merujuk ke buku asli al-

Marâgī, tetapi dari tulisan Raudhah Abdul Karim Fir`aun, Tarjamat al-Qur`an al-Karīm:

Hukmuha wa Daruratuhā, Yordania, Februari 2007. Penggunaan sumber sekunder juga

dilakukan oleh M. Thalib ketika mengutip pandangan al-Syâtibī yang dikutipnya dari Dr. A.

Qadir Sulami, Tarjamah Tafsiri al-Qur`an al-Karim baina al-Ijâzah wa al-Imtinā`, Majallah

Page 199: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

181

Hawliyyatit Turâts, 2005, hlm. 3. Oleh karena itu wajar terjadi apa yang ditulis oleh M.

Thalib, ―Kutipan pendapat para ulama itu berbeda dari yang ditulis Muchlis M Hanafi,

seorang pakar tafsir, pada Gatra 20 Oktober 2010, sekalipun nama-nama ulamanya sama‖,

sebab penulis menggunakan sumber primer, sementara M. Thalib menggunakan sumber

sekunder.‖238

Diakui ulama sepakat terjemah harfiah hukumnya haram, karena tidak mungkin untuk

dilakukan. Ini tidak perlu diperdebatkan. Tetapi melihat uraian di atas, yang diharamkan

adalah untuk keseluruhan Al-Qur‘an, tidak untuk sebagiannya. Perlu juga dipahami, polemik

tentang terjemah yang pernah terjadi bukan semata-mata soal harfiah atau tafsiriah, tetapi

juga tentang upaya menjadikan terjemahan itu sebagai pengganti Al-Qur‘an. Bila dicermati

argumentasi yang dikemukakan oleh mereka yang melarang terjemahan, khususnya di awal

abad keduapuluh, pelarangan terjemah harfiyah didasari pada keberatan dan kekhawatiran

bahwa terjemah tersebut dijadikan sebagai Al-Qur‘an yang mempunyai nilai ibadah jika

dibaca. Terjemah dimaksud tentunya untuk keseluruhan Al-Qur‘an. Syaikh Rasyid Ridha

seperti dikutip Muchlis, misalnya, setelah menyampaikan argumentasi yang melarang

terjemahan ia mengatakan, ―Inti beberapa alasan yang melarang terjemahan Al-Qur‘an untuk

umat Islam agar dapat menjadi Al-Qur‘an Latin, sebagai pengganti Al-Qur‘an yang

berbahasa Arab‖. Di tempat terpisah ia mengatakan:

―Tidak boleh terjemahan itu dikatakan sebagai Al-Qur‘an atau kitab suci. Menyandarkan itu

kepada Allah adalah sebuah kebohongan dan pengingkaran terhadap kitab suci. Umat Islam

sepakat, tidak boleh hukumnya mengganti sebuah lafal Al-Qur‘an dengan lafal lain dalam

bahasa Arab, seperti ar-rayb diganti dengan asy-syakk.‖

Kekhawatiran yang sama bila Al-Qur‘an diterjemahkan juga dikemukakan oleh

Syaikh Muhammad Abu Zahrah. Ia mengatakan:

238

Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-

Qur‟an dan Kasus Kontemporer, h. 175-177.

Page 200: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

182

―Tidak boleh menerjemahkan Al-Qur‘an dan menganggapnya sebagai Al-Qur‘an, sebab itu

tidak memelihara Al-Qur‘an dari penggantian dan penyimpangan. Al-Qur‘an akan mengalami

seperti yang dialami Taurat dan Injil. Naskah asli Injil dengan empat versi yang ada dan

berbahasa Ibrani hilang. Yang ada terjemah dalam bahasa Yunani, yang kemudian

diterjemahkan ke bahasa-bahasa lain. Al-Qur‘an akan mengalami hal yang sama bila

diterjemahkan. Tetapi sejak awal jalan ke arah itu tertutup, sebab terjemah tidak mungkin

dapat dilakukan.‖

Ketika berbicara tentang hukum terjemahan harfiyah, Syaikh al-Zarqānī mengatakan:

―Jika pintu terjemahan dibuka maka banyak orang akan melakukan itu. Setiap kelompok akan

menerjemahkannya ke bahasa masing-masing, sehingga akan muncul banyak versi

terjemahan yang pasti berbeda-beda. Perbedaan terjemah itu akan memunculkan perselisihan

di kalangan umat Islam seperti yang dialami umat Yahudi dan Nasrani seputar Taurat dan

Injil. Umat Islam akan tercerai-berai, dan akan mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam

untuk memecah belah, sehingga yang satu mengatakan kepada yang lain, ‗Al-Qur‘an kami

lebih baik daripada Al-Qur‘an kalian‘.‖

Kekhawatiran itu secara fakta tidak terjadi. Umat Islam sangat paham bahwa

terjemahan Al-Qur‘an, apa pun bentuknya (harfiyah atau tafsiriyah), bukanlah Al-Qur‘an dan

tidak berkedudukan sebagai pengganti Al-Qur‘an yang memiliki kesucian. Terjemahan tidak

akan mampu mengangkut semua makna yang terkandung dalam retorika Al-Qur‘an dan

menampung semua pesan-pesannya. Terjemahan Al-Qur‘an, apa pun bentuknya, hanyalah

sebuah hasil pemahaman seorang penerjemah dengan segala keterbatasannya dan kesan yang

bisa ditangkapnya dari Firman Allah.239

Ustadz M. Thalib mengatakan bahwa al-Marâgī mengharamkan terjemah harfiyah.

Akan tetapi, menurut Muchlis M. Hanafi yang merujuk di buku aslinya, banyak pernyataan

al-Marâghī juga menegaskan terjemah harfiyah dimungkinkan.240

Lalu kenapa muncul

perbedaan pendapat tentang ini di kalangan ulama? larangan terjemah harfiyah didasari

kekhawatiran bahwa hasil terjemah itu dianggap Al-Qur‘an. Kekhawatiran itu secara fakta

tidak terjadi. Untuk itu, ditegaskan bahwa terjemah, apapun bentuknya, bukan Al-Qur‘an dan

239

Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-

Qur‟an dan Kasus Kontemporer, h. 177-178. 240

Berdasarkan hasil wawancara (interview) dengan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an,

Muchlis M. Hanafi, di Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pusat, Jl. M. H. Thamrin Lt 17, pada

Selasa, 22 Maret 2016 pukul 10.00 WIB.

Page 201: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

183

tidak mungkin menjadi pengganti Al-Qur‘an. Kemudian apakah terjemah Kemenag harfiyah

atau bukan?

(b) Terjemah ma‟nawiyah atau tafsiriyah

Terminologi terjemah ma‟nawiyah atau tafsiriyah adalah menerangkan atau

menjelaskan makna yang terkandung dalam satu buku dengan bahasa lain tanpa

memerhatikan susunan dan jalan bahasa aslinya dan juga tanpa memerhatikan sekalian

makna yang dimaksudnya. Terjemah model ini lebih mengedepankan maksud atau isi

kandungan bahasa asal, tidak terikat dengan susunan dan struktur kalimat. Dalam istilah lain,

terjemah ini dikenal dengan terjemah bebas. Sifat terjemah ini lebih luas dan elastis dalam

menangkap dan mengungkap makna kandungan ayat Al-Qur‘an. Hanya saja, mesti dibedakan

dengan istilah tafsir itu sendiri.

Baik al-Zarqânī maupun Mannâ‘ al-Qatthân, dalam Ismail Lubis (2001), sama-

sama menamakan terjemahan tafsiriyah dengan nama maknawiyah. Perbedaan pendapat

mereka cuma terletak dalam hal keterangan. Al-Zarqânī menamakan terjemahan tafsiriyah

dengan nama maknawiyah disertai keterangan, yakni terjemahan tersebut mengutamakan

kejelasan makna, sedangkan Mannâ‘ al-Qatthân tanpa alasan dan keterangan yang jelas.

Pemberian nama terjemahan tafsiriyah oleh al-Zarqânī bukan tanpa alasan dan keterangan

yang logis. Ahli ilmu Al-Qur‘an ini memberi nama jenis terjemahan kedua ini dengan

terjemahan tafsiriyah, karena titik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh

makna dan maksud yang tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata

tafsir. Teknik terjemahan tafsiriyah ialah dengan cara memahami maksud teks bahasa sumber

(Bsu) terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat

bahasa penerima (Bpe) tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber

Page 202: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

184

(Bsu).241

Dengan pemaparan tersebut, bisa disimpulkan bahwa istilah terjemah harfiyah yang

diutamakan adalah ketepatan dari segi bahasa aslinya, sedangkan pada terjemah tafsiriyah

yang lebih dipentingkan ialah ketepatan/kesesuaian dari segi makna atau isi kandungan

bahasa aslinya. Berikut ini pendefinisan kedua istilah tersebut sebagaimana yang tertulis

dalam karya Syaikh Muhammad Ali al-Shâbûnī:

)الرفية( أن يتجم القرآن بألفاظو ومفردات و ومجلو وتركيبو ترمجة طبق بالقسم األول واملراد

)التفستية( فهو يتجم معت وأما القسم الثاين . األصل إل اللغة اإلذملزية، أو األملانية، أو الفرنسية

وإمنا يكون مهو املعت، فيتجم القرآن بألفاظ ال ، األيآت الكرمية، حبيث ال يتقيد اإلنسان باللفظ

.يتقيد هبا املفردات والتاكيب، وإمنا يعمد إل األصل فيفهمو242

Al-Zahabī dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirûn, seperti dalam Muqadimah Tafsīr Al-

Qur‟an Kemenag RI, mengemukakan ada perbedaan antara tafsir dengan tarjamah tafsiriyah

yaitu:

a. Terletak pada kedua bahasa yang digunakan. Bahasa tafsir dimungkinkan sama

dengan bahasa yang asli, sedangkan tarjamah tafsiriyah menggunakan bahasa yang berbeda

dari bahasa asli yang diterjemahkan. Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia

seperti Tafsīr Al-Azhar karya Buya Hamka, lebih tepat disebut sebagai tarjamah tafsiriyah.

Sedangkan Tafsīr Mafâtihul Gaib karya Fakhruddin al-Râzī dan Tafsīr al-Marâghī dan lain-

lain barulah disebut dengan tafsir dalam arti yang sesungguhnya.

b. Dalam tafsir, sebagaimana yang dinyatakan dalam Tim Tafsir Al-Quran Kemenag,

pembaca suatu kitab tafsir dimungkinkan untuk melakukan kroscek kepada teks aslinya

manakala ada keraguan atau kekeliruan di dalamnya, sedangkan tarjamah tafsiriyah sangat

241

Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2001), h. 62. 242

Syaikh Muhammad Ali al-Shâbûnī, al-Tibyân fī „Ulûm al-Qur‟an (Jakarta: Dâr al-Kutub al-

Islâmiyyah, 2003), h. 210-211.

Page 203: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

185

sulit untuk melacak aslinya ketika ada keraguan atau kesalahan di dalamnya karena umumnya

pembaca pun tidak mengerti bahasa aslinya (yakni bahasa Arab). Terjemah harfiyah bagi Al-

Qur‘an boleh jadi dilakukan dengan menerjemahkan seluruh ayat-ayat Al-Qur‘an dalam

bahasa lain kata per-kata dengan memerhatikan gaya bahasanya (uslûb), sehingga

keseluruhan terjemahan itu betul-betul mengandung pengertian yang asli dari Al-Qur‘an itu,

baik dari segi bahasanya maupun syariatnya. Pekerjaan ini walau bagaimanapun dilakukan

dengan teliti dan secermat mungkin dan dikerjakan oleh para ahlinya, namun tak akan

mungkin sesuai benar dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Qur‘an itu secara tepat, sebab:

- Tak ada bahasa yang tepat untuk menyalin makna yang terkandung dalam

bahasa yang diterjemahkan; Ayat Al-Qur‘an menunjukkan kebenaran risalah Nabi dan

sekaligus adalah mukjizat (hal yang luar biasa) dan tak mungkin dicontoh manusia dan tak

mungkin diterangkan dengan tepat secara mutlak; Ayat Al-Qur‘an berfungsi sebagai

hidayah/pembimbing bagi kesejahteraan manusia di bumi dan akhirat dan pemahaman bahasa

Arab terhadap ayat itu tidaklah mungkin cocok secara mutlak dengan pemahaman dari bahasa

orang yang menerjemah. Bahkan, sesama Arab pun tidak mungkin diperoleh kesepakatan

tentang pengertian suatu makna yang terkandung dalam suatu ayat. Berdasarkan kenyataan di

atas, kita harus beranggapan bahwa tidak ada Terjemah Al-Qur‟an243

yang sempurna, siapa pun yang

mengerjakannya dan kita juga harus beranggapan bahwa terjemah harfiyah Al-Qur‟an bukanlah

Tafsir yang sebenarnya. Adapun terjemah ma‟nawiyah atau tafsiriyah hanya mementingkan apakah

dengan bahasa yang dihidangkannya orang telah mengerti dengan kandungan Al-Qur‘an itu secara

243

Ketika dilakukan revisi total terhadap Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang kemudian menghasilkan

rekomendasi untuk edisi revisi pada tahun 2004, tim revisi atau penyempurna Terjemah Al-Qur‟an Kementerian

Agama RI telah melakukan banyak pertemuan dengan sejumlah Ulama dan para Ahli Al-Qur‘an (dalam

Mukernas Alim Ulama Al-Qur‘an atau Halaqah Ulama Nusantara) untuk mendapatkan dan menampung

beberapa masukan, saran, dan kritik. Salah satu catatan dan masukan penting diberikan oleh delegasi Majelis

Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat. Mereka menganggap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI ini telah

menyalahi format Al-Qur‘an sebenarnya, karena format Al-Qur‘an adalah dari sebelah kanan dulu baru ke kiri

(tayamun), sementara Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag ini sebaliknya, dari sebelah kiri baru ke kanan

(tasyamul). Mereka mengusulkan agar format Al-Qur‟an dan Terjemahnya versi Kemenag RI ini mengikuti

format dari kanan ke kiri. Apabila tidak demikian, maka nama kitab Terjemah Al-Qur‟an ini perlu diganti

menjadi Terjemahnya dan Al-Qur‟an, bukan Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Ali Mustafa Ya‘qub, Terjemah Al-

Qur‟an dari Masa ke Masa, Mukernas Ulama Al-Qur‘an, Makalah disampaikan di kabupaten Serang, Provinsi

Banten 2013.

Page 204: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

186

tepat dan benar menurut keyakinannya. Kadang-kadang penerjemah terpaksa memberikan arti

terhadap ayat yang secara harfiyah tidak cocok dengan teks aslinya. Jadi, pada terjemah harfiyah yang

dipentingkan adalah ketepatan segi bahasa, sedangkan pada tafsiriyah yang diperhatikan adalah

ketepatan dari segi makna. Umumnya, kedua cara ini digabungkan sehingga sasaran penerjemah

yakni ketepatan bahasa dan makna tercapai. Yakni ayat-ayat diterjemahkan dahulu menurut apa

adanya, lalu untuk terjemahan tafsiriyah (bila ada) ditempatkan pada catatan kaki. Begitulah sistem

yang ditempuh oleh kebanyakan penerjemah kita, termasuk Terjemah Al-Qur‟an yang dikerjakan oleh

Tim Departemen Agama. Bagaimana membedakan antara terjemah harfiyah dengan terjemah

tafsiriyah. Untuk lebih jelasnya, baiklah penulis sebutkan sebuah contoh yaitu firman Allah yang

berbunyi:

ل ر ج غ ٠ ذ ن ع خ ه همه ئ ل عه بغهط ر ج ذ ف ز م ؾ ج غ ٱ وه عه ه ح ب ٣٦ غهسا

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan

pula engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela

dan menyesal.” (QS. al-Isrâ : [17] : 29).

Terjemah di atas disebut terjemah harfiyah, yakni larangan Allah SWT kepada

seseorang yang mengikatkan tangan ke leher atau membukanya lebar-lebar, sesuai dengan

teksnya. Akan tetapi, bilamana kita terjemahkan: “dan janganlah kamu kikir dan jangan pula

kamu terlalu pemurah”. Maka terjemahan ini disebut terjemah tafsiriyah, karena tidak sesuai

dengan teks aslinya. Akan tetapi, itulah yang dikehendaki ayat. Jadi, pada kasus terjemah

harfiyah yang dipentingkan adalah ketepatan segi bahasa, sedangkan pada terjemah tafsiriyah

yang diperhatikan adalah ketepatan dari segi makna.244

244

Tim Tafsir Al-Quran Kemenag, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan),

(Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, 2012), h. 33-34.

Page 205: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

187

BAB III

MMI SEBAGAI GERAKAN FUNDAMENTALISME ISLAM

Dalam bagian kedua/bab kedua, penulis telah mengetengahkan serta menghadirkan

kerangka konseptual dan geliat perdebatan-perdebatan mutakhir terkait fundamentalisme

Islam, klasifikasi fundamentalisme Islam, terorisme, dan teks keagamaan. Sub bahasan

lainnya diulas pula yang terkonsentrasi mengenai persoalan gerakan keagamaan di Indonesia,

pendekatan semantik mentalisme (kajian kebahasaan) sebagai pisau analisis. Pada bab ketiga

ini, penulis akan menyuguhkan ke pembaca seputar track record gerakan Islam radikal MMI,

dan MMI sebagai kelompok Islam fundamentalis. Selanjutnya, dipaparkan bagaimana agenda

formalisasi syariat Islam. Sebagai pamungkas diulas setting sosiokultural M. Thalib dan

karyanya Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah sebagai korpus data yang dikaji dalam Tesis ini.

A. Memotret Profil MMI dari Dekat

Hidup di bawah naungan syariat Islam bagi sebagian kaum muslimin adalah sebuah

cita-cita. Kekuatan cita-cita ini berbanding lurus dengan kadar keimanan yang tertanam di

dalam jiwa. Sebab penerimaan seseorang terhadap ajaran Islam mengharuskan ia menerima

syariat Islam. Sebagai bukti kekuatan cita-cita tersebut, meski rintangan apapun didesain

untuk memupus cita-cita tersebut dari dalam hati, usaha itu tak akan pernah berhasil. Ilustrasi

dan gambaran itulah yang mendorong lahirnya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Orde

Baru yang sangat keras membasmi semua gerakan yang dianggap radikal, termasuk Islam,

hanya memaksa gerakan Islam menerapkan klanestine. Ketika jatuhnya Soeharto (Orde Baru)

tepatnya pada tahun 1998, gerakan Islam yang semula underground pun bermunculan. Selain

itu lahir pula organisasi-organisasi Islam yang baru seperti Laskar Jihâd (LJ), Front Pembela

Islam (FPI), dan MMI itu sendiri. Kemunculan gerakan radikal ini menarik perhatian banyak

Page 206: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

188

ahli, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dengan mengemukakan sejumlah analisis

dan teori. Secara umum, analisis mereka bertumpu pada ephoria politik yang diperlihatkan

umat Islam. Rezim pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan represif hampir tidak

memberikan peluang sama sekali bagi warganya untuk mengekspresikan pendapat-

pendapatnya yang berbeda dari keinginan rezim. Setelah jatuhnya Orde Baru, umat Islam

melihat peluang untuk lebih mengekspresikan aspirasi mereka melalui berbagai sarana,

seperti partai politik dan ormas. Hal ini juga terkait dengan lemahnya negara selama periode

reformasi ini.245

Era reformasi membuka peluang bagi gerakan-gerakan keagamaan yang

dikategorikan radikal untuk tampil secara bebas.

Meskipun penduduk Indonesia mayoritas muslim, bahkan terbesar di dunia,

penerapan syariat Islam masih saja dianggap sebagai sebuah hantu. Penegakan syariat Islam

biasa dikesankan sebagai potong tangan, diidentikkan dengan cambuk, rajam dan berbagai

kesan seram lainnya. Berkaitan dengan pencitraan demikian, MMI sebagai institusi yang

mengusungnya kerap dianggap sebagai sebuah institusi yang intoleran.246

Di sisi lain, bangsa

ini telah sepakat menjadikan negara ini sebagai negara hukum dengan ideologi pancasila serta

sistem demokrasinya, bahkan Hefner dalam Jamhari dan Jajang Jahroni (2004), mengatakan

Indonesia adalah sedikit di antara negara-negara Muslim yang bisa menerima isu-isu

demokrasi dan globalisasi. Kedua aspek tersebut (pancasila dan demokrasi) sangat berkaitan

erat di mana hukum dijadikan panglima sedangkan demokrasi dijadikan sebuah sistem yang

dapat mengakomodir, memberi rasa kebebasan dalam berpikir, memberi hak-hak pada

masyarakat yang minoritas (persamaan hak) atau dalam arti singkatnya demokrasi yang

berupa suara/kedaulatan rakyat juga harus memiliki arti sebuah perjuangan haruslah

245

Din Wahid, Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Indonesia, dalam Studia Islamika PPIM UIN

Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007, h. 345. 246

Budi Prasetyo, Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan

Politik dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Vol 14, No. 1, Juni 2013, h. 40.

Page 207: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

189

bersandar pada perjuangan kerakyatan atau berpikir kepada kaum lemah dan tertindas, bukan

justru sebaliknya malah terjadi sebuah elitis-demokrasi.247

Dengan sebuah kesepakatan (konstitusi) bahwa negara ini menggunakan sistem

demokrasinya, tentu menjadi sebuah wadah atau bejana yang maha besar di mana di

dalamnya tumbuh, hidup, dan berkembang berbagai entitas berupa golongan, pemikiran,

gerakan, organisasi-organisasi, LSM-LSM, sampai dengan yang berbentuk aliran-aliran.

Kenyataan ini adalah buah karya dari adanya sistem demokrasi yang ada saat ini di mana

keran yang dulunya ditutup rapat-rapat pada masa Orba saat ini di masa yang sering disebut

zaman reformasi, dibuka dengan selebar-lebarnya. Ruang demokrasi adalah salah satu ruang

yang memberikan sebuah kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan berserikat yang

baginya sebuah keniscayaan yang naluriah dibangun oleh manusia, dalam kehidupan manusia

pra sejarah sampai manusia modern hingga saat ini adalah sebuah keberlangsungan yang

tiada usai dalam berserikat/berkelompok untuk dapat mewujudkan keinginannya. Kenyataan

ini menunjukkan pada dunia bahwa tujuan akan dapat tercapai dengan mudah jika melalui

instrumen yang disebut organisasi, gerakan, kelompok dan sejenisnya. Pada aspek lain,

kebebasan berpikir dinyatakan jelas dalam Al-Qur‘an, begitu pula kebebasan berpendapat

dan berserikat yang diatur dalam konstitusi negara Indonesia melalui UUD 1945 Bab X A

pasal 28 E di mana setiap orang boleh berpendapat sesuai dengan hati nuraninya.

Dari konsekuensi logis di atas, maka lahir dan berkembanglah gerakan

radikal/organisasi Islam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan hasil dalam

bejana besar yang bernuansa sistem demokrasi yang memberikan kebebasan dan berserikat.

Dan kalau ditelaah secara mendalam, semangat serta perjuangan organisasi atau gerakan

Islam ini setidaknya dalam konteks keindonesiaan sudah ada sejak awal negara ini merdeka,

hal ini terlihat dalam perjalanan sejarah perdebatan negara Islam atau penerapan syariat Islam

247 Hartono, Kontestasi Penerapan Syariat Islam di Indonesia Dalam Perspektif Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga, 2010), h. 21-22. Tesis di SPs UIN Yogyakarta.

Page 208: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

190

sebagai dasar negara di Indonesia. Negara Islam dengan cara mempraktekkan syariat Islam

seolah menjadi primadona yang selalu ingin diperjuangkan untuk benar-benar terwujud oleh

sebagian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik itu pada awalnya

melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, keagamaan, ataupun gerakan politik yang

mengatasnamakan partai Islam, organisasi Islam, dan masyarakat Islam.248

Sejauh menyangkut gerakan Islam radikal di Indonesia kontemporer, Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI) barangkali bisa disebut sebagai yang terpenting dalam

menyuarakan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Dibanding organisasi Islam lain,

dalam catatan Jamhari dan Jajang Jahroni, MMI memiliki akar historis demikian jelas, yang

bisa dilacak pada gerakan pemberontakan Dârul Islâm (DI) pada era 1950-an. Hasrat

mendirikan negara Islam, yang menjadi prasyarat utama bagi tegaknya syariat Islam, adalah

agenda perjuangan utama MMI yang dirumuskan mengacu pada upaya serupa yang telah

dilakukan sejumlah tokoh Muslim garis keras yang tergabung dalam gerakan Negara Islam

Indonesia (NII). Selain itu, hal tersebut juga bisa dilihat dari tokoh-tokoh utama MMI, yang

berasal dari mereka yang pernah mengisi daftar panjang pemerintah Indonesia Orde Baru

untuk orang-orang yang melakukan gerakan melawan negara. Untuk hanya menyebut dua

tokoh utama, Abu Bakar Ba‘asyir249

dan Irfan S. Awwas—yang menjadi orang pertama dan

kedua di tubuh MMI—pernah terlibat dalam upaya perlawanan ideologis terhadap

pemerintah Indonesia Orde Baru. Dan karena itu pula keduanya juga pernah mengalami

hukuman penjara. Di samping itu, dan mungkin terpenting, mereka—lebih khususnya Abu

248

Hartono, Kontestasi Penerapan Syariat Islam di Indonesia Dalam Perspektif Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga, 2010), h. 326. Tesis di SPs UIN Yogyakarta. 249

Abu Bakar Ba‘asyir termasuk ideolog modern Indonesia dari kelompok garis keras yang mendorong

pengikutnya untuk melakukan aksi kekerasan dan teror dengan mendasarkan diri pada ideologi ala Timur

Tengah dengan penafsiran dasar-dasar Islam secara kaku. Adam James Fenton dari Charles Darwin University,

Australia, Change and Continuity in Indonesian Islamist Ideology and Terrorist Strategies, dalam Al-Jâmi‟ah

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Journal of Islamic Studies, Vol. 52, No. 1, 2014 M/1435 H, h. 2.

Page 209: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

191

Bakar Ba‘asyir—yang memiliki jaringan dan bahkan menjadi bagian dari gerakan NII yang

juga mengagendakan pendirian negara Islam Indonesia.

Oleh karena itu, lagi-lagi dibanding organisasi Islam lainnya, MMI bisa disebut

sebagai memiliki hubungan langsung dengan gerakan Islam yang mencitakan negara Islam

dalam sejarah Indonesia kontemporer. Jadi, dalam beberapa segi penting, MMI bisa disebut

sebagai perwujudan kembali gerakan Islam radikal dalam sejarah Islam Indonesia. Bagian ini

diarahkan untuk menghadirkan satu pembahasan komprehensif tentang MMI. Pembahasan

meliputi baik sejarah dan jaringan MMI maupun sifat dari agenda perjuangan yang hendak

dicapai.250

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) didirikan secara resmi pada Senin 7 Agustus

2000 M atau pada 7 Jumadil Ula 1421 H di Yogyakarta pada saat Kongres Majelis Mujahidin

Indonesia I, tanggal 5-7 Agustus 2000. Kantor Pusatnya berada di Yogyakarta, yang

beralamat di Markaz Pusat Majelis Mujahidin Indonesia. Jl. Karanglo No. 94 Kotagede,

Yogyakarta. Telp/Faks (0274) 451665. Email : [email protected]. Media center

Markaz LPW Jabodetabek. Jl. Siliwangi Raya Blok D3, No 7, Pamulang Permai I, Pamulang

Barat, Tangerang Selatan Banten, Phone/Fax: (021) 7416144. Email:

[email protected]. 251

Penggagas lahirnya MMI adalah para pemuda aktifis Jogja di awal tahun 80-an

yang telah kembali ke dunia bebas setelah bertahun-tahun meringkuk di penjara Orde Baru.

Setelah mereka bebas di pertengahan tahun 90-an, mereka aktif berdiskusi seputar perjuangan

mereka. Lama mereka tidak segera muncul karena mencari format perjuangan yang sesuai

dengan konteks zaman. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menurut Abdulloh Fuadi

sebagaimana dikutip Edi, sejauh penelusurannya pada artikel, buku, dan hasil penelitian

250

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2004), cet ke-1, h. 47-48. 251

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan

Mencerahkan (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlus Suffah, 2013), h. ii. Rujuk pula website MMI,

http://www.majelismujahidin.com/ diunduh pada 28 Oktober 2015, pukul 08.46 WIB. Lihat pula dalam Sukron

Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 169.

Page 210: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

192

tentang gerakan organisasi ini, ditemukan 2 nama yang dikonotasikan padanya, yakni

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Majelis Mujahidin (MM). Hasil penelitian Fuadi

menunjukkan bahwa nama MMI disematkan oleh selain anggotanya, yang merujuk pada

nama kongres pertamanya yaitu ‚Kongres Mujahidin Indonesia I‛ (Mujahidin Congress I of

Indonesia). MMI merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang usianya relatif masih

baru (belum genap 12 tahun), tetapi kiprahnya sudah banyak dikenal masyarakat, bukan

hanya dalam skala nasional bahkan sudah sampai tingkat internasional.

Namanya mencuat terutama terkait dengan keberadaaan Abu Bakar Ba’asyir,

Ketua Umum pertamanya, yang terendus oleh intelijen dalam dan luar negeri memiliki peran

dalam beberapa kasus teror yang terjadi di Indonesia sepuluh tahun terakhir. Karena itulah,

di antaranya, yang membuat Ormas ini dicap sebagai organisasi radikal. Majelis Mujahidin

Indonesia lahir pada tahun 2000 di Yogyakarta. Kongres pertamanya digelar pada tanggal 5-

7 Agustus 2000 M, bertepatan dengan 5-7 Jumadil Awal 1421 H, di Gedung Mandala Bhakti

Wanitatama Yogyakarta, dengan mengusung tema ‚Menegakkan Syariat Islam‛ (Islamic

Law Enforcement). Upacara pembukaannya diklaim oleh mereka telah berlangsung semarak

dan dihadiri lebih dari 1.800 peserta dari 24 Provinsi dan mewakili beberapa elemen

organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan organisasi politik (Orpol) Islam seperti Laskar

Santri, Laskar Jundullah (tentara/pasukan Allah), Kompi Badr, Brigade Taliban, Komando

Mujahidin, dan Partai Keadilan.252

Beberapa utusan organisasi keislaman diundang dari luar

negeri. Kongres Mujahidin I itulah yang kemudian mengamanatkan kepada 32 tokoh Islam

Indonesia yang tercatat sebagai Ahlul Halli wal ‘Aqdi (AHWA) untuk meneruskan misi

penegakan syariat Islam melalui wadah yang disebut sebagai Majelis Mujahidin.253

252

Edi Junaedi, Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama dalam

Perspektif Percakapan (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 3. Tesis UIN Jakarta. 253

Reslawati, Pandangan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat terhadap Wawasan Kebangsaan

di Yogyakarta, dalam buku Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan, Editor: Asnawati dan Achmad

Page 211: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

193

Menurut hasil penelitian Tim Ilmuan Sosial LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia), kelahiran MMI dilatari oleh keprihatinan sebagian tokoh Islam akan lemah

bahkan terpinggirkannya umat Islam dalam peran pembangunan bangsa Indonesia yang lagi

terpuruk mengalami krisis multidimensi, terutama selama pemerintahan Orde Baru.

Karenanya, pasca Orde Baru muncul di kalangan umat Islam pembicaraan bagaimana

mengangkat citra dan meningkatkan peran mereka sehingga menjadikan Islam sebagai

rahmatan lil ‘âlamin. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, umat Islam memikirkan dan

mengupayakan bagaimana menciptakan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, sebuah

negeri yang bukan saja menyejahterakan umat Islam tetapi juga menciptakan kedamaian

bagi seluruh warga bangsa ini. Dan, dibicarakan juga bagaimana peran ulama, intelektual,

dan tokoh-tokoh Islam dalam proses tersebut. Atas dasar pemikiran itulah, diambil inisiatif

untuk mengumpulkan seribu ulama dari seantero nusantara lintas organisasi, partai, dan

kelompok sektarian dengan membuat sebuah Kongres yang kemudian terlahir Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI) itu, di mana Abu Bakar Ba’asyir terpilih secara aklamasi

sebagai Ketua Umumnya.254

Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan banyaknya

organisasi Islam yang sama-sama hendak memperjuangkan syariat Islam mendorong diskusi

semakin intensif. Tidak hanya dari Jogja, mereka pun mengundang kolega dan kenalan dari

berbagai daerah. Di antara tokoh yang sejak awal terlibat dalam membidani kelahiran MMI di

antaranya adalah Deliar Noor, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi Noor dan lain-

lain.255

Kelahiran organisasi Islam atau ormas ini dilatari oleh berbagai faktor. Antara lain:

pertama, obsesi kalangan muda, yang kemudian menjadi pelopor dan pengurus MMI, pada

akhirnya daulah islâmiyah atau Islamic state (negara Islam), baik dalam pengertian nasional

Rosidi (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h.

120. 254

Edi Junaedi, Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama dalam

Perspektif Percakapan (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 4. Tesis UIN Jakarta. 255

Budi Prasetyo, Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan

Politik, h. 41.

Page 212: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

194

maupun internasional yang rencananya akan berpusat di Palestina. Kedua, adanya stigma

buruk yang dilabelkan pada gerakan Islam Indonesia yang ingin membentuk daulah

islâmiyah (negara Islam) yang melahirkan Islamophobia dan selalu dihubungkan dengan DI/

TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Kartosuwiryo.

Ketiga, realitas peminggiran Islam, baik dalam pengertian hukum maupun

penganutnya. Dalam pengertian ―hukum‖ (syariat), Indonesia tidak islami karena yang

berlaku bukanlah hukum Islam dan pada tahun 2000 tidak ada satu partai pun yang

memperjuangkan itu. sedangkan dalam pengertian ―penganut Islam‖, kaum muslim sebagai

mayoritas bangsa ini telah dimanipulasi, dirampas, dan diperkosa oleh minoritas tertentu

selama berpuluh-puluh tahun. Keempat, krisis multidimensi yang menimpa Indonesia dewasa

ini yang tidak bisa diselesaikan Pemerintahan Gus Dur pada waktu itu karena manajemen dan

komitmen Islamnya yang lemah. Hal ini karena akar krisis adalah karena kontaminasinya

akidah kaum muslim Indonesia oleh berbagai hal, dicampakkannya syariat Islam dalam

hukum positif Indonesia, dan karena konspirasi Barat-Zinonis bisa dilihat dari fenomena

beberapa tokoh Yahudi yang dijadikan Gus Dur sebagai Presiden pada saat itu sebagai

penasehatnya. Mereka itu antara lain George Soros, Henry Kissinger, dan Lee Kuan Yew

yang dalam kenyataan mereka justru menginginkan Indonesia mengalami disintegrasi dengan

memprovokasi daerah-daerah lewat isu daya alam.256

Obsesi dan realitas itu mendapatkan momentumnya ketika Orde Reformasi lahir

dengan mengusung demokrasi. Hal ini karena orde ini berbeda dengan rezim Orde Lama dan

Orde Baru yang melakukan de-Islamisasi secara besar-besaran dengan salah satunya tidak

memberikan tempat sama sekali bagi gerakan politik Islam. Pada masa pemerintahan

Reformasi yang diawali oleh Habibie, gerakan itu mendapatkan tempat yang memadai. Bagi

MMI, era reformasi merupakan momentum yang memungkinkan semua orang bersikap

256

Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, Islam dan Negara; Dakwah dan Politik;

HMI; Anti Korupsi; Demokrasi; NII; MMI; dan Perda Syari‟ah (Jakarta: Pusat Studi Indonesia dan Arab

(PSIA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 170.

Page 213: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

195

transparan dalam mengekspresikan ide dan keyakinannya, termasuk Partai Komunis

Indonesia (PKI) sekalipun.

Karena itu, pada 5-7 Agustus 2000 diadakanlah kongres di Yogyakarta yang

dihadiri sekitar 1200 peserta, meski yang diundang hanya 1000 orang. Tema sentral kongres

yang kemudian menjadi tujuan dan agenda utama dan pertama pendirian organisasi adalah

tathbīq al-syarī‟ah (penerapan syariat/ajaran Islam) secara kâffah (komprehensif), tidak

secara parsial sebagaimana selama ini dipahami. Seperti diketahui umum, negara selama ini

hanya menerapkan ajaran ibadah dan sebagian perdata Islam, terutama yang ada potensi

keuangan seperti zakat, haji dan NTCR (Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk), dan di akhir Orde

Baru perbankan syari‘ah. Tujuan kongres dalam hal ini ingin menuntaskan agenda penerapan

syariat Islam hingga penerapan hukum pidana klasik. Menurut juru bicaranya, MMI meyakini

bahwa penerapan syariat Islam secara menyeluruh merupakan satu-satunya jalan yang akan

menyelesaikan ―biang kerok‖ persoalan yang menimpa Indonesia seperti KKN (korupsi,

kolusi, dan nepotisme) dan perzinaan. Ini sebagaimana yang ditunjukan hadis Nabi yang

memperlihatkan tingkat efektifitas penerapan syariah Islam secara utuh (kâffah) dalam

menyelesaikan berbagai persoalan. Sabda Nabi: “Satu hukum dari hukum yang telah

ditetapkan Allah lebih baik daripada hujan 40 malam (yang membersihkan kotoran).”

Hukum rajam misalnya, akan membersihkan kemaksiatan berupa zina. Begitu juga dengan

hukum potong tangan. Di Indonesia, jika kedua hukum itu diterapkan, niscaya negeri ini akan

terbebas dari lokalisasi prostitusi dan para koruptor-koruptor. Efektifitas ini bisa dipahami

karena adalah sesuatu yang logis bahwa suatu produk seperti komputer harus dioperasikan

sesuai dengan aturan yang membuatnya. Jika manusia dipercayai sebagai produk Tuhan maka

mengatur berbagai persoalan kehidupannya juga harus sesuai dengan aturan penciptanya

(Tuhan atau al-Khâliq). Hal ini menueurt para aktivis MMI, sebagaimana Firman Allah:

Page 214: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

196

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik

daripada hukum Allah bagi orang yang yakin.” (QS. al-Mâidah [5] ayat 50).

Ayat tersebut berbunyi:

ى ٱ أ ف حه ٠ ج ١خ ج غه ه أ ح غ ى لل ٱ ب حه م له ٤٦ ٠ه

"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang

lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.‖ (QS. al-Mâidah

[5] : 50).

Kongres yang menjadi hari lahir MMI itu agaknya melahirkan pencerahan strategi

terutama bagi peserta mantan anggota Dârul Islâm/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang

telah terbagi ke dalam faksi-faksi, termasuk KW 9 Abu Toto yang memiliki Pesantren al-

Zaitun, yang masing-masing faksi merasa paling berhak mewarisi tahta DI/TII. Hal ini karena

dalam kongres tersebut dibahas pertimbangan tathbīq al-syarī‟ah dalam kerangka logika

demokrasi yang damai dan meniscayakan prinsip mayoritas. Mengingat masyarakat muslim

adalah mayoritas dan mereka adalah golongan Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah yang taat, maka

hal itu akan menguntungkan bagi realisasi tujuan gerakan organisasi. Logika demokrasi

proporsional itu—yang memungkinkan logisnya aspirasi Islam dalam konteks masyarakat

Indonesia yang mayoritas muslim, sebagaimana logisnya aspirasi Kristen dalam negara

demokrasi yang bangsanya mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat—diharapkan juga

dipahami bangsa Indonesia non muslim.257

B. MMI sebagai Gerakan Fundamentalisme Islam

a) Visi dan Ideologi MMI

Adapun strategi dasar MMI dengan operasionalisasi pendekatan struktural

meliputi kegiatan utama: yaitu membangun dan melakukan konsolidasi, kristalisasi serta

257

Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam

dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah

dan Neng Dara Affiah (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama, 2007), h. 68 – 71. Lihat pula dalam penulis

yang sama, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 170-172.

Page 215: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

197

pembinaan pada kekuatan sosial-politik yang ada untuk tegaknya syariat Islam, serta

mengembangkan kemampuan tansīq dalam memberikan arahan sosial sesuai dengan syariat

Islam pada pemerintahan yang sedang berjalan.258

Ormas Islam keagamaan ini mengusung

visi untuk formalisasi syariat Islam dalam kehidupan umat Islam di Indonesia secara kâffah

(komprehensif, menyeluruh, utuh), sebagaimana yang selalu dituliskan sebagai slogannya.

Seiring dengan tujuan didirikannya organisasi, doktrin MMI yang ditekankan kepada

pengurus dan anggotanya adalah doktrin keharusan mendirikan daulah islâmiyah (negara

Islam).

Bagi MMI, meskipun tidak terdapat perintah tegas (qath‟ī) untuk menegakkan

daulah islâmiyah (Islamic state) tetapi kedudukannya sebagai wasâil (perantara atau institusi)

bagi tegaknya kewajiban dari Allah seperti qishâsh (hukuman yang sebanding) dan rajam,

menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib ditegakkan pula. Hal ini karena hukum pidana

Islam (jinâyah) semisal qishâsh dan rajam sama wajibnya dengan salat untuk dilaksanakan

(QS. al-Nisâ [4] : 45). Berikut ayatnya:

ه أ ع لله ٱ ا ثأ ع ذ ئىه ف و ١ لل ٱث ب ف و ٥٤ ا ظ١ش لل ٱث

―Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan

cukuplah Allah menjadi pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi

Penolong (bagimu).‖ (QS. al-Nisâ [4] : 45).

Jika tidak, maka hal itu merupakan pengingkaran (kekufuran) terhadap syariat (QS. al-

Mâidah [5] : 44), berikut redaksi ayat dan petikan terjemahannya:

ئب ض ٱ بأ ى ز س هذ ف١ ب خ س ه ه ٠ ح ٱ ث ب ىه ٱ ج١ ا أ ع ز٠ ه بدها ز٠

شث ٱ ب ج بسه ح ل ٱ ١ ا زهح ع ٱ ث فظه ا لل ٱ ت وز به و ١ ا ع ذ ا ر خ ف ل ء شه ه بط ٱ ش

خ ٱ ل ش ا ر ش ز شه ثأ ٠ بر ١ل بث ل ٠ ح ب ىه ي ث ض لله ٱ أ ه ه ئه ف أ ى ٱ ه ٥٥ فشه

―Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk

dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-

orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang

258

Reslawati, dalam Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan, h. 121.

Page 216: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

198

alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan

memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu

janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah

kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak

memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-

orang yang kafir.‖ (QS. al-Mâidah [5] : 44).

lalu ayat 45 dan 47), berikut ayatnya:

ز ج و ١ ب ع ف١ ب ١ ٱ ظ ف ٱث ظ ف ٱ أ ٱث ع ١ ه ٱ ل ٱث ل ٱ ع ل ٱث ره

ه ل ره

ٱ ٱث غ ح ٱ غ شه بص جه لظ ذق ف ر ظ ۦث ه ح ف فبس ۥ ه و ب ىه٠ ح ي ث ض لله ٱ أ

ه ه ئه ف أ ٱ ه

ظ ه ٥٤

satu lagi berbunyi :

١ ح ىه ٱ ه أ ل ب ج١ ي ث ض لله ٱ أ ف١ ب ىه٠ ح ي ث ض لله ٱ أ ه ه ئه ف أ ه

ف ٱ ٥٤ غمه

dan merupakan dosa, karena telah menyalahi perintah Allah SWT. Lebih dari itu,

pengingkaran terhadap pidana Islam juga mengakibatkan lahirnya kepemimpinan yang sesat

dan Allah pun kemudian memberi azab dengan krisis yang berkepanjangan hingga dewasa

ini. pada saat Allah telah memberi azab ini, sebagaimana dijelaskan (QS. al-Mukminûn [23] :

ayat 64-65), yang teksnya adalah:

ز ا ح ز ئر ز بأ خ ه ف١ ٱث ش اة ز ا ع ئر ٠ ج ه ه ل ٤٥ ئش ئ شه ٱا ر ج ١ ب ئىه

ل شه ظ ٤٤ ره

―Hingga apabila Kami timpakan azab, kepada orang-orang yang hidup mewah di

antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong. Janganlah

kamu memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan

mendapat pertolongan dari Kami.‖ (QS. al-Mukminûn [23] : ayat 64-65).

Allah tidak akan lagi memperkenankan doa hamba-Nya. Bagi MMI, Al-Qur‘an adalah kitab

suci yang sempurna, yang harus diimani secara keseluruhan. Tidak boleh diimani sebagian

dan diingkari sebagian lainnya sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi (QS. al-Baqarah

[2] : ayat 85). Allah SWT berfirman:

Page 217: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

199

ثه زه ل أ ر م ء إه ه زه ىه فهغ رهخ أ ىه بف ش٠م شجه د٠ ر ظ ش ١ شه ع

ٱث ل ذ ٱ ث ئ عه ٠ أ وه أهع ره رهف ش ذهه ه ش ح ١ ه ع ئخ ىه ه اجه أ ف زهإ ش ه ت ىز ٱ غ ثج ع

ر ى ب غ ثج ع فهشه ا ف ض ءه ج ه ٠ ف ه ر ع ىه ٱ ف خض ئل ١ ٱ ح ح ١ ب ذ ٠ ٱ خ م١ د ٠هش

ذ ئ اة ٱ أ ش ز ب ع ثغ لله ٱ ب ف ر ع ع ه ٥٤

―Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan

mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu

membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika

mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir

mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al

Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi

orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan

dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.

Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.‖ (QS. al-Baqarah [2] : 85).

Semuanya merupakan sesuatu yang tidak ada tawar-menawar untuk ditegakkan (iqâmat al-

dīn). Semua urusan kaum muslim hendaknya diserahkan kepada Allah, lewat ajarannya

dalam Al-Qur‘an (QS. al-Ahzâb [33] : ayat 36). Allah SWT berfirman:

ب ب إ و ه ل إ خ ه ا ئر ه لله ٱ ل ؼ عهه س ۥ أ شاأ ه ٠ ىه ه حه ٱ خ١ ش

أ ش ه لل ٱ ض ٠ ع عه س ف م ذ ۥ ػ ل ػ ج١ ٦٤ ب

―Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan

yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,

akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa

mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang

nyata.‖ (QS. al-Ahzâb [33] : 36).

Itu berarti penegakan syariat Islam secara komprehensif termasuk hukum pidananya yang

mesti diberlakukan sebagai hukum positif. Alasannya, pertama, menurut MMI, Islam adalah

agama yang mengatur dunia dan akhirat. Kedua, secara historis, daulah Islam dari masa

Nabi, khulafâ al-râsyidīn, hingga Usmani mengaku supremasi syariat secara komprehensif.

Page 218: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

200

Ketiga, fenomena, globalisasi yang memungkinkan kekuatan thâgut (setan/berhala) semakin

berani menawarkan alternatif sekulernya.259

b) Misi MMI

Adapun misi MMI adalah berjuang menyatukan potensi dan kekuatan mujahidin

agar syariat Islam menjadi sumber rujukan tunggal bagi sistem dan kebijakan kenagaraan

Indonesia dan di dunia. Majelis Mujahidin Indonesia berusaha mewujudkan cita-cita

besarnya itu melalui dakwah dan jihâd. Dakwah didefinisikan sebagai sosialisasi kewajiban

setiap muslim untuk menerapkan syariat Islam. Sedangkan jihâd dipahami sebagai bentuk

usaha serius untuk menerapkan syariat Islam. Dalam mencapai misi utama Majelis Mujahidin

menggunakan dua pendekatan sosial, yakni pendekatan struktural dan pendekatan kultural.

Pendekatan struktural, maksudnya kekuasaan negara diupayakan dipegang oleh seorang

muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam, dan siap memberlakukan syariat Islam

dalam lingkup sosial kenegaraan sehingga kehidupan bernegara benar-benar dapat dikelola

sesuai dengan ajaran yang dituntunkan oleh Allah SWT. Oleh karena Islam bersifat

“rahmatan lil „âlamin” maka dengan berlakunya syariat Islam, akan menjamin datangnya

keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

c) Struktur Organisasi MMI

Secara umum struktur organisasi MMI ini terbagi kepada dua bagian; pertama,

Ahlul Halli wal „Aqdi dan Lajnah Tanfīziyyah. (1). AHWA (Ahlul Halli wal „Aqdi) atau

lembaga legislatif dipimpin oleh Abu Bakar Ba‘asyir dengan anggota antara lain Deliar Noer,

A.M. Saefudin, KH. Mawardi Noor, Abu Muhammad Jibril, dan Muchtar Naim. (2). Lajnah

259

Sukron Kamil dalam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat

Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, h. 71-72.

Penambahan sumber terutama teks Al-Qur‘an berasal dari aplikasi software Al-Qur‟an in the Word yang pada

sumber aslinya tidak ditampilkan. Hal ini untuk memudahkan penelitian saja.

Page 219: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

201

Tanfīdziyah atau lembaga eksekutif diketuai oleh Irfan Suryahardi ‗Awwas dengan Wakil

Ketua KH. Asep Maoshul Affandi, Sekretaris Shobbarin Syakur, dan Bendahara Drs.

Toffandi.

d) Basis Keanggotaan MMI

Kendati tidak terdapat data yang otentik, jumlah anggota MMI diperkirakan

cukup besar, baik yang berdomisili di dalam maupun di luar negeri. Hal ini bisa dilihat dari

peserta yang hadir dalam kongres MMI serta dari semaraknya kegiatan-kegiatan yang digelar

mereka. Kepemimpinan dan keanggotaan MMI teratur secara rapi, karena pada Konggres I di

Jogjakarta, diputuskan bahwa MMI merupakan organisasi aliansi gerakan (tansīq amalī) yang

sifatnya universal, tidak dibatasi suku atau etnis, bangsa maupun negara. Tansīq ini bisa

diikuti oleh organisasi maupun nasional. Untuk menjadi anggota MMI syaratnya adalah

muslim, dan mau berkomitmen tinggi untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Dilihat

dari latar belakang ekonomi, anggota MMI berasal dari kalangan ekonomi menengah ke

bawah.

Dilihat dari background knowledge-nya, pengurus Ahlul Halli wal „Aqdi terdiri atas

S1, S2, dan S3, lajnah tanfīdziyah mayoritas Strata 1, dan masa anggotanya rata-rata dari

SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Dari latar belakang sosial keagamaan, anggota MMI

beraneka ragam. Ada dari NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. dari NU misalnya KH

Alawi Muhammad dari Madura, yang mengirim utusannya ke kongres. Mereka adalah NU

yang setuju dengan tathbīq al-syarī‟ah, bukan dari kalangan KH Hasyim Muzadi dan Gus

Dur yang tidak setuju. Mereka adalah dari komponen masyarakat perkotaan dan pedesaan

yang Akidahnya Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dalam arti salafiyyah (ortodoksi) yang tidak

mengenal tharīqah (tarekat). Kendati begitu, pakaiannya tetap Indonesia modern seperti kaos

oblong. Islam bagi MMI bukan di luar tetapi di dalam. Demikian pula dengan latar belakang

Page 220: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

202

partai politiknya, dari berbagai partai politik yang ada di MMI. Mereka disatukan oleh

kesiapan ―mewakafkan‖ diri untuk tegaknya syariat yang harus dimulai dari pribadi lalu

keluarga.260

e) Kongres dan Sumber Dana MMI

Sebagai sebuah organisasi gerakan, MMI memiliki jaringan nasional seperti

dengan laskar atau lembaga Islam lainnya, dan jaringan internasional seperti dengan kaum

muslim di Malaysia, Jerman, dan Australia. Namun, jaringan itu tidaklah mengikat karena

hubungan MMI dengan laskar atau lembaga lain pada level lokal atau nasional, misalnya

adalah hubungan aliansi strategis (tansīq „amalī) yang tidak harus melebur menjadi satu. Hal

ini karena peleburan merupakan sesuatu yang absurd seperti absurd-nya menyatakan NU

dengan Muhammadiyah. Demikian juga hubungan MMI dengan partai politik. Bahkan

dengan partai, bukan saja tidak ada afiliasi tetapi juga MMI tidak percaya mereka bisa

menegakkan syariat Islam, meskipun MMI berusaha mendorongnya agar mengakomodasi

aspirasi syariat Islam. Paling tidak, dengan berusaha mengembalikan Piagam Jakarta. Karena

aliansi itu, MMI membatasai gerakan hanya pada tathbīq al-syarī‟ah. MMI, dengan

demikian, tidak akan mengambil kavling gerakan lain seperti FPI yang anti kemaksiaatan,

DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) yang concern dengan dakwah, dan Muhammadiyah

yang terkenal dengan gerakan sosial-pendidikannya. MMI dalam konteks ini melakukan

koordinasi dan saling mengingatkan jika terjadi penyelewengan terhadap Islam. Mengenai

sumber pendanaan (fundraising), MMI memperolehnya dari masyarakat. MMI yakin bahwa

masyarakat sesungguhnya kaya karena fenomena membludaknya calon jamaah haji

menunjukkan demikian. Dari merekalah MMI, memperoleh dana 500 juta untuk kongres,

meskipun orang-orang yang tidak senang terhadap MMI menuduh MMI yang tidak-tidak,

260

Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam

dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, h. 74-75. Lihat juga

dalam Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 174-175.

Page 221: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

203

mengingat MMI mengadakan kongres di saat krisis ekonomi. Sumber lain tentu saja diterima

MMI sejauh halal dan tidak mengikat. MMI mendapatkan bantuan dari jaringannya dengan

kaum muslim di Malaysia, Singapura, Jerman, dan Australia dan salah satunya berkat

komunikasi internet. Selama ini, MMI belum mendapat bantuan dari negara-negara teluk di

Timur Tengah.261

f) Estafet Kepemimpinan MMI

Kepemimpinan di MMI sudah mengadopsi pola “separation of powers”. Artinya,

kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif terpisah, sejajar dan setara. Ini merupakan

struktur keorganisasian modern. Pola kepemimpinan ini mereka sebut dengan kepemimpinan

kolektif, di mana tidak ada personal yang benar-benar memiliki kekuasaan yang mutlak. Di

dalam institusi MMI, teori ini diwujudkan dengan membagi struktur kepengurusan kepada

dua komponen, yaitu Ahlul Halli wal „Aqdi yang disingkat dengan AHWA dan Lajnah

Tanfīdziyah. AHWA berfungsi sebagai lembaga legislatif. Ia memiliki beberapa tugas, antara

lain: menetapkan kodifikasi hukum Islam, memfatwakan pelaksanaan syariat Islam, memilih

badan pelaksana (lajnah tahfīz), mengawasi, mengontrol, dan meminta pertanggungjawaban

Lajnah Tanfīdzi. Sedangkah lajnah tanfīziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif MMI

yang bertugas untuk menjalankan segala keputusan musyawarah AHWA, mengajukan saran

dan usulan kepada AHWA dan bertanggungjawab kepada AHWA.

Kehadiran MMI menarik perhatian dari para ulama Indonesia, sehingga melahirkan

berbagai macam pandangan publik terhadap MMI. Karena mujâhidin secara literal bermakna

orang-orang yang berjihad. Dengan mengusung nama ini muncul bermacam-macam

spekulasi di tangah masyarakat muslim Indonesia, dan pada umumnya negatif. Ada di

antaranya yang menilai dan mengasosiasikan Majelis Mujahidin Indonesia dengan NII-nya

261

Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 173-174.

Page 222: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

204

(Negara Islam Indonesia) milik Kartosuwiryo. Senada dengan tuduhan tersebut, Muh

Nursalim menyatakan bahwa Konggres MMI I adalah proyek yang direncanakan oleh salah

satu Faksi NII yakni Faksi Abdullah Sungkar. Ada hal yang lain dengan penilaian terhadap

MMI yang dilakukan oleh Maftuh Abegebriel, ia secara terbuka melemparkan tuduhan bahwa

MMI adalah saudara kembar Jamâ‟ah Islâmiah. Di dalam tulisannya yang dimuat dalam

buku Negara Tuhan, ia menyatakan, ―.. maka sebenarnya al-Jamâ‟ah al-Islâmiyah ini bukan

tidak mungkin sudah ―nikah‖ dengan MMI yang berpusat di Jogjakarta lewat sebuah khitbah

yang berlabel “tansīq baina al-Jamâ‟ah”. Lebih dalam lagi, Abegebriel menyatakan ―tidak

begitu salah jika disimpulkan bahwa JI (Jamaah Islamiyah) dan MMI adalah Mukhtalifah al-

Asmâ wal Lughah, Muttahidah al-Asykâl wal Aghrâd, berbeda dalam nama dan bahasa, akan

tetapi sama dalam bentuk dan tujuan/cita-cita.

Sedikit berbeda dengan Abegebriel seperti dalam Budi Prasetyo, yang

menyimpulkan bahwa MMI dan JI adalah saudara kembar. Abdus Salam mengingatkan,

―Bisa saja aktifis-aktifis Islam berhaluan keras di Indoneisa yang aktif di Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI), MMI, FPI, Ikhwanul Muslimin Indonesia dan ormas-ormas radikal lainnya

diracuni oleh doktrin Jamaah Islamiyah. Pandangan yang lebih ramah diberikan Syaiful

Mujani, ―gerakan Islamis pasca Soeharto seperti KISDI, FPI, Laskar Ahlus Sunnah wal

Jama‟ah, MMI, HTI, dan lain-lain berjuang menegakkan syariah Islam secara damai.262

Dalam konteks ini patut dicatat posisi Pancasila yang membentuk ―segitiga emas‖

kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, Pancasila sebagai pandangan-dunia

(Weltanschauung) bangsa. Ini terkait dengan nilai-nilai budaya yang membentuk pola pikir

dan orientasi normatif masyarakat Indonesia. Soekarno dengan bernas menyebut pandangan-

dunia ini sebagai ketuhanan yang berkebudayaan. Artinya, Pancasila yang bersila pertama

ketuhanan dan berujung pada keadilan sosial, merupakan pandangan-dunia ketuhanan yang

262

Budi Prasetyo, Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan

Politik h. 42.

Page 223: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

205

dipraksiskan pada pembentukan kebudayaan manusiawi. Dalam terang ini, ketuhanan dan

kemanusiaan tidak bisa terpisah. Sebab ketundukan kepada Tuhan, dibuktikan melalui

pembangunan kehidupan yang manusiawi. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara. Ia

merupakan norma dasar negara (Staatfundamental norm) yang melandasi konstitusi dan

yurisdiksi. Penempatan Pancasila sebagai dasar negara merupakan penegakan pandangan-

dunia Pancasila pada level kenegaraan dan hukum. Ketiga, Pancasila sebagai ideologi

nasional263

yang menjadi garis politik segenap aktivitas sosial-politik warga negara

Indonesia. Ketika sebuah gerakan keagamaan mengusung ideologi non-Pancasila, ia

menentang semua posisi Pancasila di atas. Hal ini tentu bermasalah sebab gerakan ini tidak

berangkat dari pandangan-dunia kebudayaan Indonesia, sehingga mengusung cita-cita politik,

di luar kesejarahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika kaum radikal Islam

menolak Pancasila, maka mereka menolak sifat dasar Islam yang selaras dengan Pancasila.

Mereka menolak bahwa iman kepada Allah haruslah diamalkan melalui

perlindungan terhadap kaum fakir, hamba sahaya, dan anak yatim, sebagaimana termaktub

dalam al-Baqarah [2] : 177 yang berbunyi:

ا أ جش ٱ ظ ١ ۞ ره ىه جه ه ش ٱ لج غ ٱ شق شة جش ٱ ى ا لل ٱث ء

ٱ ٱ خش ل ٱ ١ خ ٱ ت ىز ٱ ئى ار ج ء بي ٱ ع ج ۦحه مهش ٱ ر ١ ز ٱ ث

غ ٱ ٱ ث ٱ ى١ غب ٱ غج١ ف ئ١ ل بة ٱ ش أ ل ب ٱ ار ح ظ ء ٱ فه ٱ ح ضو ه ثع ذ

ا ع ئر ظ ٱ ذها ب ج أ ٱ ف جش٠ ء ؼشا ٱ ء ع ح١ ط ج أ ٱ

ٱ ئه أه ز٠ا له ذ ط

أه ه ئه ه

ٱ زمه ٠٤٤ ه

263 Hasil survei nasional bertajuk “Islam dan Kebangsaan” yang diselenggarakan oleh Pusat

Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada

tahun 2007 menunjukkan bahwa mayoritas responden (84,7 %) lebih mendukung NKRI dan Pancasila

ketimbang beraspirasi Negara Islam (22,8 %). Survei berlangsung Maret-April 2007 dengan jumlah responden

1.200 orang tersebar di semua provinsi. Berasal dari kota (42 %) dan desa (58 %), serta pria (50 %), dan wanita

(50%) berusia 17-60 tahun. Lihat majalah Gatra seperti dalam As‘ad Sa‘id Ali. Hasil survei tersebut

memperkuat survei yang dikerjakan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2006 yang terdiri dari 69,6 %

responden masih mengidealkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila, lalu 11,5 % menginginkan seperti

Negara Islam, dan hanya 3,5 % menginginkan Indonesia seperti Negara demokrasi Barat. Adapun survei LSI

dilakukan di tiga puluh tiga (33) provinsi pada 28 Juli – 3 Agustus 2006 dengan metode multi-stage random

sampling dan wawancara tatap muka dengan margin error sebanyak 3,8 %. Jumlah responden 700 orang. As‘ad

Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2010), h. 1.

Page 224: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

206

―Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan

tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,

malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya

kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang

memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan

(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan

orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar

dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang

yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.‖ (QS al-

Baqarah [2] : 177).

Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama (NU)

memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam, melainkan mendorong

umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami

dan sekaligus membolehkan pendirian Negara bangsa. Sepuluh tahun kemudian, tokoh-tokoh

muslim Nusantara yang terlibat dalam proses kemerdekaan menerima konsep Negara

Pancasila yang disampaikan Soekarno, dan kebanyakan pemimpin organisasi Islam ketika itu

menerima gagasan Soekarno tersebut. Berdasarkan konsep kebangsaan yang kental dengan

nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa inilah, pada tanggal 17 Agustus 1945—atas nama

bangsa Indonesia—Soekarno dan Muhammad Hatta—memproklamasikan kemerdekaan

Indonesia, sebuah Negara bangsa yang mengakui dan melindungi keragaman budaya, tradisi,

dan keagamaan yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.

Gagasan Negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengalaman sejarah

Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara yang pernah melahirkan dan

mengalami peradaban-peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam semasa masa kerajaan

Sriwijaya, Aceh, Makassar, Goa, Mataram II, dan lain-lain telah memperkuat kesadaran

tentang signifikansi melestarikan kekayaan dan keragaman budaya dan tradisi bangsa.

Sementara pada sisi yang lain, dialog terus-menerus antara Islam sebagai seperangkat ajaran

agama dan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah

menegaskan kesadaran bahwa Negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam

Page 225: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

207

keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan

kehidupan berbangsa dan bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan

Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya dengan tepat mengungkapkan kesadaran

spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan

sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Dengan segenap hubungan fluktuatif yang

terjadi, semua ini bukanlah sebuah proses yang mudah, ini merupakan fakta historis yang

harus kita sadari dan pahami. Beberapa periode sejarah Nusantara berlumur darah akibat

konflik yang terjadi—antara lain—atas nama agama. Para ulama seperti Abikusno

Tjokrosujono, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasyim, Ki Bagus

Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting

Pendiri Bangsa lainnya, sadar bahwa Negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan

bukanlah Negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan Negara bangsa

yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah

menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa sadar bahwa di

dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya,

prinsip-prinsip dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang

dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqâshid al-syarī‟ah, yaitu kemasalahatan umum (al-

mashlahah al-„âmmah, the common good). Dengan kesadaran demikian mereka menolak

pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan

Negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan

melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan cara demikian,

melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi

seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil „âlamīn) dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal

Pancasila ini, setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan

Page 226: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

208

kesejahteraan duniawi, dan setiap orang bebas beribadah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi

tanpa mengabaikan yang pertama.264

Seperti yang telah dipaparkan pada latar belakang, kelahiran, agenda utama, dan

strategi yang digunakan MMI, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam Sukron

Kamil, MMI merupakan metamorfosis gerakan Islam Indonesia sebelumnya yang ingin

mendirikan negara Islam (Islamic state). Paling tidak dalam pengertian, MMI sebagai

gerakan yang mengakui supremasi syariat (ajaran Islam) secara komprehensif, meskipun

berbeda dalam strategi gerakan yang dipakai. Dalam seminar tentang penegakan syariat Islam

yang berlangsung di Yogyakarta pada 5 September 2007, Sidiq al-Jawi dari HTI dan Irfan

Awwas dari MMI menyatakan bahwa mereka memiliki tujuan yang sama, yakni menegakan

khilâfah islâmiyah, walaupun dengan mtode yang berbeda. HTI dengan cara menegakkan

khilâfah di Indonesia, MMI dengan cara memformalkan syariah Islam dalam perundang-

undangan di Indonesia.

Menurut pendapat dua orang ini, hukum hanya dari Allah, maka tidak ada hukum

selain dari Allah di muka bumi ini. hukum yang bukan dari Allah adalah sesat dan kafir, tidak

perlu ditaati. Ketaatan harus kepada hukum Allah saja. Oleh sebab itu, jika ada orang Islam

yang tidak setuju dengan khilâfah Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia, maka

sejatinya dia adalah orang-orang yang memisahkan agama dan negara. MMI dan HTI juga

menolak Negara Pancasila yang dianggapnya telah merusak Indonesia, dan ini semua akibat

kaum nasionalis sekuler seperti Soekarno, Hatta, dan para pimpinan nasional lain di

Indonesia. MMI dan HTI berpandangan bahwa untuk menyelamatkan Indonesia tidak lain

kecuali dengan syariat Islam dan khilâfah islâmiyah, sebab hanya Islam yang mampu

menjawab semua masalah di Indonesia. Penegakan syariat Islam hukumnya wajib, sebab

Islam itu kâffah, tidak bisa pilih-pilih. Bagi MMI dan HTI, penegakan syariat Islam tidak

264

KH. Abdurrahman Wahid, Musuh Dalam Selimut, dalam buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi

Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH. Abdurrahman Wahid, Prolog: Ahmad Syafii Maarif dan

Epilog: KH. A. Mustofa Bisri (Jakarta: The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009), h. 15-17.

Page 227: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

209

akan sempurna tanpa adanya kekuatan dari negara yang mendukungnya. Karena itu, ujarnya,

agar syariat Islam bisa tegak sempurna di Indonesia, tidak ada lain kecuali Indonesia harus

menjadi negara Islam atau khilâfah islâmiyah, bukan negara Pancasila seperti sekarang ini

yang membuat sengsara banyak orang Islam.265

Menurut MMI, Islam mengajarkan kepada manusia mulai dari penyucian diri

(individu) sampai pada mengatur masyarakat dan negara (politik) yang menjadi kewajiban

bagi umat Islam di manapun mereka berada. Totalitas Islam inilah yang diyakini oleh Irfan S.

‗Awwas, Ketua Lajnah Tanfiziyah MMI, bahwa Islam mengatur seluruh kehidupan

masyarakat, baik sosial, ekonomi, dan politik. Dari sinilah, Islam kemudian memiliki

konsepsi bersatunya agama dan negara. Bahkan, M. Thalib, mempertanyakan dasar

pemisahan agama dari negara, atau konsepsi agama merupakan urusan pribadi dan negara

merupakan urusan orang banyak, atau Tuhan hanyalah layak berada di masjid saja,

sedangkan kehidupan manusia yang sangat kompleks hanya diurus melalui keterampilan dan

logika manusia sendiri. Latar belakang logika semacam ini oleh M. Thalib muncul akibat

semboyan yang terkenal sekuler, ―give to God wether for God, give to the caesar wether for

caesar.‖266

Bagi MMI, formalisasi syariat Islam pada level negara (tathbīq al-syarī‟ah) yang

berarti mendirikan sebuah negara Islam, merupakan agenda dan orientasi perjuangan yang

akan dilakukan267

. Hal itu dipahami tidak saja sebagai kewajiban asasi setiap Muslim, tapi

sekaligus sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil.

265

Tim Peneliti Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH.

Abdurrahman Wahid, Prolog: Ahmad Syafii Maarif, dan Epilog: KH. A. Mustofa Bisri (Jakarta: The Wahid

Institute dan Maarif Institute, 2009), h. 161-162. 266

Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta:

Teraju Mizan, 2002), h. 102-103. 267

Islam dan Negara adalah dua entitas yang sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia senantiasa di

dalam pergumulan. Salah satu puncak pergumulan keduanya adalah Sidang Majelis Konstituante (1956-1959).

Di forum itu, kelompok Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara. Sementara kelompok nasionalis

sekular bersikukuh menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara. Karena sama-sama bersikeras, maka Presiden

Soekarno mengambil alih agenda Majelis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden yang memutar negara kembali

ke UUD 1945. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, dkk, Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan

Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina University, 2005), h. xi.

Page 228: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

210

Oleh karena itu, MMI menjadikan berlakunya syariat Islam sebagai satu keharusan, atau mati

dalam perjuangan (jihâd fī sabīlillah) untuk tujuan itu. Program penegakan syariat Islam yang

dikehendaki MMI mencakup lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara secara

keseluruhan. Pembentukan negara Islam itu sendiri dimaksudkan untuk mewujudkan negeri

yang aman, sejahtera dan selalu dalam jalur yang diridhai Allah SWT. Untuk mewujudkan

cita-cita itu, program penegakan syariat Islam dilaksanakan secara simultan dan terpadu

dalam lingkup yang meliputi: 1) penegakan syariat Islam di bidang politik, budaya, dan

pertahanan-keamanan negara yang didukung oleh pemantapan tauhid akidah Islam yang

benar di kalangan umat Islam. 2) sosialisasi syariat Islam secara menyeluruh (kâffah) pada

semua komponen bangsa secara efektif dan efisien. 3) pengembangan dan peningkatan

kemampuan umat dalam upaya menegakkan syariat Islam.268

Di sisi lain, penerapan syariat

Islam bukan tanpa soal, malah cenderung problematik. Upaya penerapan syariat Islam tentu

akan menemui berbagai kendala, mengingat banyak permasalahan yang mungkin muncul,

seperti: apakah penerapan syariat Islam itu memiliki pola atau model yang baku? Dalam

konteks apa syariat Islam itu diterapkan atau diberlakukan? Bagaimana menyikapi

persinggungan antara syariat Islam dan penerapan hukum positif yang dibentuk oleh negara?

Jika memang syariat Islam diterapkan—terutama dalam lingkup negara yang mayoritas

penduduknya beragama Islam seperti Indonesia—siapa saja pihak-pihak, atau kelompok yang

merasa diuntungkan atau dirugikan? Inilah beberapa permasalahan yang sering muncul dalam

perdebatan seputar penerapan syariat Islam.

Penerapan syariat Islam tidak lepas dari aspek historis dan sosiokultural di masa

Nabi Muhammad SAW. Jika dikaitkan dengan realitas historis, persoalan syariat juga masih

menyisakan banyak ketidakjelasan sekaligus ketidaktegasan, terutama dalam hubungannya

dengan peraturan yang ditetapkan oleh para pemimpin umat Islam. Artinya, syariat Islam

268

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2004), h. 67-68.

Page 229: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

211

pada dasarnya belum memiliki ketetapan dan prosedur yang baku sebagai sebuah pola atau

model bagi umat Islam, baik dimulai di masa Nabi SAW, khulafa rasyidun, hingga praktik

yang dijalankan di beberapa negara Timur Tengah. Atas dasar realitas kesejarahan yang tidak

memberi model baku bagi penerapan syariat Islam itulah, beberapa pemikir Islam

kontemporer yang berhaluan liberal seperti Nurcholis Madjid, Wahid, dan Wahib, misalnya,

menolak secara tegas penerapan syariat Islam beserta sistem pemerintahan yang religius-

legalistik. Penolakan itu bisa merujuk pada realitas historis seputar kebijakan Nabi SAW

terhadap piagam Madinah, sistem khilafah sebagai bentuk pemerintahan di masa sahabat,

maupun pada aspek sosial-politik lainnya atau penolakan itu juga berangkat dari pembacaan

mereka terhadap model khilafah yang memang tidak memiliki prosedur yang tetap dan baku,

karena hanya dinyatakan dalam sebuah diktum seperti musyawarah sehingga pada dasarnya

tidak ada yang namanya model negara Islam (Islamic state), meski pada masa Nabi atau

sistem khilafah yang mirip dengan konsep teokrasi memang hanya berlaku dalam konteks

saat itu yang tidak harus dikaitkan dengan persoalan sosial politik umat Islam di masa

sekarang. Perlunya penerapan syariat Islam secara substantif, kontekstual, dan rasional, harus

dan perlu diterapkan agar benturan kebijakan dan kepentingan dengan warga negara

nonmuslim bisa diperkecil. Bahkan, benturan dengan komunitas muslim sendiri. Pentingnya

menampilkan aspek substantif dari syariat Islam, tidak serta merta menghilangkan peran

negara sama sekali. Negara bisa saja ikut andil di dalamnya, selama masih pada batas-batas

yang bisa diterima oleh semua pihak. Keikutsertaan negara pada persoalan syariat lebih

mengarah pada mediasi, fasilitasi, dan akomodasi bagi kepentingan umat beragama, termasuk

Islam. Hal ini karena Indonesia tidak menganut konsep negara sekuler, sebagaimana juga

tidak menganut negara Islam. Pada batas-batas tertentu, Indonesia menganut atau

menerapkan nilai-nilai sekularistik, dan secara bersamaan juga menganut nilai-nilai religius.

Page 230: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

212

Kenyataan ini harus dipertimbangkan dalam hubungannya dengan penerapan syariat Islam di

Indonesia.269

C. Sekilas Penjelasan Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriah

Al-Qur‘an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah karya Muhammad Thalib ini telah

terbit dalam 2 (dua) versi. Pertama, edisi spesial Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah dan koreksi

Tarjamah harfiah Al-Qur‟an Kemenag RI ukuran 21 x 14 cm, xlvi + 614 halaman yang

dicetak sebanyak 10.000 eksemplar. Kedua, edisi istimewa Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah

Tafsiriyah270

dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (digabung menjadi satu

buku) ukuran 25 x 17 cm, xlviii + 1067 halaman juga 10.000 eksemplar. Adapun grand

launching karya ini dilaksanakan di The Sultan Hotel, Jakarta pada 31 Oktober 2011 yang

dihadiri oleh perwakilan Kemenag RI, Majelis Ulama Indonesia, Hibut Tahrir Indonesia

(HTI), Kodam, Kepolisian RI, BNPT, dan sejumlah tokoh lainnya.

269

Halid Alkaf, Liberalisme Islam Indonesia: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam Liberal di

Indonesia (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 33-34. Disertasi pada Bidang

Keislaman. 270

Edisi istimewa ini yang penulis gunakan sebagai objek kajian dalam melakukan riset Tesis ini.

Untuk jumlah halaman setelah penulis lihat di footnote ada 1067 halaman disertai beberapa lampiran, seperti

Surat menyurat antara MMI dan MUI, MMI dan Kemenag RI, dan argumentasi bantah-membantah dengan

kritis antara pakar penerjemah/tim penafsir Al-Qur‘an Kemenag RI dengan ahli bahasa MMI. Edisi ini sejatinya

gabungan antara Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an

Kemenag RI. Karya Ustadz Muhammad Thalib yang ada di tangan penulis ini terdiri dari beberapa nama tim

ahli. Yakni, Penerjemah: Al-Ustadz Muhammad Thalib; Asisten Penerjemah: Slamet Suripto; Penyelaras

Bahasa: Irfan Suryahardi ‗Awwas; Pemeriksa Khat Al-Qur‟an: Zaky Imaduddin Rabbany; Penata Letak: Abu

Labib; Desain Cover: Budi Yuwono. Karya masterpiece ini sudah dicetak sebanyak empat kali yang bila

dirunutkan dari awal edisi I dicetak pada Muharram 1433 H/Desember 2011 M; edisi II, Rabi‘ul Awwal 1433 H

/ Februari 2012 M; edisi III, Rajab 1433 H / Mei 2012 M; Edisi IV, Rabi‘ul Awwal 1434 H / Februari 2013 oleh

Penerbit Ma‘had An-Nabawy, Markaz Pusat Majelis Mujahidin yang beralamat di Jl. Karanglo No. 94

Kotagede, Yogyakarta, Indonesia. Tlp/Faks: (0274) 451665. Menurut rumor yang beredar, seperti pihak

percetakan Faris, yang berbicara kepada penulis bahwa Al-Qur‘an MMI yang diditerbitkan serta dipublikasi

Yayasan Ahlu Suffah ini tidak mendapatkan izin tashih dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA)

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI sehingga tidak ada ACC terbit lagi, dengan segala

pertimbangan dan kebijakan pemerintah. Belakangan juga karena faktor politis takut memperbelah ukhuwwah

ummat Islam Indonesia.

Page 231: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

213

Buah tangan Ustadz Muhammad271

Thalib ini disusun berdasarkan tata urutan Mushaf

Utsmani, mulai dari QS. al-Fâtihah [1] hingga QS. al-Nâs [114]. Metode penulisannya sama

dengan Al-Qur‘an dan Terjemahnya milik pemerintah, yaitu Kementerian Agama RI, yakni

ayat Al-Qur‘an tersusun berdasarkan format Mushaf Al-Qur‘an Utsmani dengan dibubuhi

terjemahan pada sisi kiri, kanan dan bawahnya. Perbedaannya adalah karya Ustadz M. Thalib

ini tidak menggunakan catatan kaki (footnote) sama sekali, sebagaimana lazimnya banyak

dijumpai dalam sejumlah karya Terjemahan Al-Qur‘an terbitan Kemenag RI. Karena

tergolong ringkas dan padat, karya terjemahan ini terdiri dari 1 volume saja.

Bila kita telisik lebih dalam sebelum masuk pada QS. al-Fâtihah, sang penerjemah

menjelaskan hukum atau fatwa larangan tarjamah Al-Qur‘an harfiyah dengan bahasa Arab

beserta artinya yang mana merupakan hasil tim fatwa komite tetap lembaga riset ilmiah, Arab

Saudi. Setelah itu disusul paparan metode tafsiriyah di zaman sahabat Nabi Muhammad

SAW; pedoman tarjamah tafsiriyah Al-Qur‘an yang meliputi pengertian tarjamah Al-Qur‘an;

perbedaan tafsir dengan tarjamah tafsiriyah; perbedaan tarjamah yang memunculkan

perbedaan pemahaman; pola kalimat bahasa Arab dan bahasa Indonesia; istilah-istilah baku

dalam Al-Qur‘an; karakteristik dan misi Al-Qur‘an; hukum tarjamah Al-Qur‘an, dan kitab

referensi yang digunakan. Paparan ini akan memberi petunjuk (guidance) kepada seluruh

pembaca perihal karakteristik karya terjemahan tersebut. Lebih lanjut, sang penerjemah juga

membeberkan pengantar tambahan lainnya seperti Ulumul Qur‘an yang mencakup sejarah

turunnya Al-Qur‘an (asbâb al-nuzûl); ayat pertama dan terakhir yang diturunkan; pembagian

Al-Qur‘an; cara Al-Qur‘an turun ke bumi; pengumpulan Al-Qur‘an; ringkasan sejarah

271 Ada dua versi cetakan karya MMI. Al-Qur‟anul Karim Tarjamah Tafsiriyah, karya monumental

pertama dan satu-satunya di Indonesia, sebagai revolusi pemahaman makna Al-Qur‘an. Terbit dalam 2 versi: -

Spesial Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Ukuran 21 x

14 cm, xlvi + 614 halaman. Harga Rp 150.000,-/paket. -Istimewa Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi

Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Ukuran 25 x 17 cm, xlvi + 714 halaman. Harga Rp 195.000,-/ paket

Page 232: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

214

tentang pembukuan Al-Qur‘an, serta kajian khusus asbâb al-nuzûl; kemudian uraian ringkas

tentang sejarah Nabi Muhammad SAW juga turut dideskripsikan yang mencakup kelahiran

dan keluarga Nabi Muhammad SAW; masa muda dan pernikahannya; pengangkatannya

menjadi seorang Rasul; misi dakwahnya; peristiwa Isra‘ dan Mi‘raj; ajaran Islam masuk

Madinah; hijrah kaum muslim dan Rasulullah SAW; intimidasi kaum kafir Quraisy, hijrah ke

Madinah; sejumlah peperangan di zaman Nabi Muhammad SAW; penaklukan kota Mekah;

haji wada‘; dan wafatnya Rasulullah SAW.

Untuk memperkaya khazanah pembaca, diulas pula tentang metode memahami Islam

berikut kelebihan dan kelemahannya yang mencakup metode asâsī, „amalī, târikhī, ‗ulûm al-

Islâm, muqâranah, taqlīd, bâtini, dan syâmil–mutakâmil. Di samping itu, pembaca juga akan

terbantu dalam pencarian judul yang hendak dicari terjemahannya karena dilengkapi dengan

daftar judul dengan berdasarkan pembagian juz mushaf Al-Qur‘an.272

Pada setiap awal

penerjemahan, nama surat ditampilkan dan disebutkan artinya seperti QS. al-Fâtihah (surah

pembuka), QS. al-Baqarah (sapi betina), al-A‟râf (bukit antara Surga dan Neraka), kecuali

surah tertentu yang tidak dituliskan terjemahannya misalnya Qâf, Nûn dan QS. Yâsin. Status

setiap surah berupa makkiyah atau madaniyyah juga disebutkan setelah penyebutan nama

surah, berikut jumlah ayatnya. Awal surat yang terdiri dari huruf muqatta‟at (huruf yang

terpisah-pisah) hanya diterjemahkan sesuai huruf yang ada, semisal alif lam mīm (QS. Al-

Baqarah), alif lam mīm shâd (QS. al-A‘râf), Qâf (QS. Qâf). Adapun di bagian akhir karya

terjemahan ini dicantumkan indeks tematik Al-Qur‘an. Indeks ini sangat membantu dalam

pengelompokkan pembahasan ayat-ayat Al-Qur‘an berdasarkan topik tertentu, serta penulisan

harakah, keterangan ayat-ayat sajadah dan tanda-tanda waqaf. Sejumlah literatur bacaan

juga menjadi penambah kualitas karya ini, yang dijadikan dasar pijakan yang terdiri dari dua

belas karya tafsir; baik klasik maupun kontemporer, yaitu: Tafsīr al-Tabarī karya Abu Ja‘far

272

Lihat Muhammad Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah disertai Koreksi Terjemah Harfiyah Al-

Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Majelis Mujahidin, 2013), h. iii-xxxiv.

Page 233: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

215

Muhammad ibn Jarīr al-Tabarī; Tafsīr Bahr al-„Ulûm karya Al-Samarqandī; Tafsīr al-Durr

al-Mantsûr karya al-Suyûthi; Tafsīr al-Jalâlain karya al-Mahallī dan al-Suyûthi; Tafsīr al-

Qur‟an al-„Azhīm karya Imam Ibnu Katsīr; Tafsīr Ma‟âlim al-Tanzīl karya al-Baghawī;

Tafsīr al-Muharrar al-Wajīz karya Ibnu ‗Athiyyah; Tafsīr al-Jawâhir al-Hisan karya al-

Tsa‘âlabi; Tafsīr al-Muntakhab terbitan Kementerian Waqaf Mesir; Tafsīr al-Mishbâh al-

Munīr karya Tim Ulama India; al-Tafsīr al-Wajīz karya Syaikh Wahbah al-Zuhaylī; Tafsīr al-

Muyassar karya Râbithah „Âlam Islâmī.

Adapun sumber bacaan lainnya sebagai penunjang adalah al-Tafsīr wa al-Mufassirûn

karya al-Dzahabī; al-Tibyân fī „Ulûm al-Qur‟an karya al-Shâbunī; kitab hadis Sahīh Bukharī;

kitab hadis Sahīh Muslim; Tarjamah al-Qur‟an: Dhawâbit wa Ahkâm karya Sulthan ibn

Abdullah al-Hamdani; Qâmus al-Mu‟jam al-Wasīt karya Ibrahim Unais, dkk; Qâmus al-

Qur‟an Ishlâh al-Wujûh wa al-Nazhâir karya al-Husaini ibn Muhammad al-Damaghani;

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Jakarta (2008); Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta (1990).273

Bila ditelaah lebih

lanjut, karya yang menjadi stressing (titik tekan) karya MMI ini adalah terkait persoalan tata

bahasa Indonesia, logika bahasa Indonesia, sastra Arab, latar belakang turunnya ayat, maksud

ayat, bidang akidah, bidang syariah, bidang mu‘amalah (hubungan sosial dan ekonomi).

Untuk memastikan kesalahan terjema, M. Thalib merujuk pula maksud ayat dalam bahasa

Arabnya sehingga memudahkan untuk mengoreksi serta menemukan kesalahan

terjemahannya. Lebih lengkapnya, akan penulis suguhkan pada bab empat.

Ada sejumlah alasan penting mengemukakan setting Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah.

Pertama, posisi M. Thalib di MMI sebagai Amir (Ketua), meskipun belakangan beredar isu

bahwa ia sempat mundur dari jabatannya sebagai Amir MMI yang telah ditampuknya selama

273

Al-Ustadz Muhammad Thalib, Al-Qur‟an Al-Karim: Tarjamah Tafsiriyah, Memahami Makna Al-

Qur‟an Lebih Mudah dan Cepat (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Suffah & Pusat Studi Islam An-Nabawi,

2013), h. xviii.

Page 234: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

216

4 tahun terakhir. Ia mengajukan surat resign atau pengunduran diri ke Ahlul Halli Wal „Aqdi

(AHWA) pada 14 Juni 2012 dengan alasan tidak adanya suasana enjoy/bersahabat (nyaman)

dalam kerja sama dengan Lajnah Tanfīziyah Pusat MMI.274

Kedua, karenanya, karya Al-

Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah ini sebenarnya (bukan mutlak milik) MMI, tetapi pemiliknya

sesungguhnya adalah Ustadz M. Thalib, penyebutan Al-Qur‘an MMI secara ideologis saja,

karena ini tidak lain dunia organisasi yang digelutinya; MMI sebuah organisasi keagamaan

yang cukup radikal dan kerap kasar/cenderung ekstrim dalam pemikiran dan berbagai

pernyataannya dengan wacana formalisasi syariat Islam di Indonesia yang seirama dengan

perjuangan HTI, dan FPI, atau dengan kata lain M. Thalib bukanlah representasi utuh dari

organisasi MMI. Namun begitu, rentang waktu yang lama untuk meneliti kekurangan-

kekurangan terjemah Al-Qur‘an Kemenag patut diapresiasi. Sejumlah tokoh nasional dan

agamawan memberikan testimoni dan ada juga yang melayangkan kritik pedasnya untuk Al-

Qur‘an Tarjamah Tafsriyah ini.

274

Lihat Herry Mohammad, dkk., Mundur bukan Karena Uzur, dalam Majalah Gatra, edisi 11 Juli

2012, h. 90-91.

Page 235: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

217

BAB IV

KRITIK MMI ATAS TERJEMAHAN AL-QUR’AN KEMENAG RI

Ketika disuguhi sebuah teks, entah buku ataupun kitab suci, muncul pertanyaan di

benak kita, siapakah sesungguhnya subjek yang berbicara dan siapakah objek yang hendak

disapa oleh teks itu? Disadari atau tidak, ketika seseorang membaca sebuah buku sedikitnya

di sana terdapat tiga subjek yang terlibat dalam membangun makna yang masing-masing

mempunyai dunianya sendiri. Jika pikiran kita hanya tertuju dan terpusat pada buku, maka

sesungguhnya kita sudah berasumsi bahwa buku mempunyai eksistensi yang otonom, yang

bisa berbicara sendiri dan untuk memahami isinya kita tidak harus mengaitkan dengan subjek

pengarangnya. Bukankah kita adakalanya tenggelam dalam sebuah buku tanpa pernah

bertanya secara kritis, siapakah pengarangnya? Kepada siapa buku ini sesungguhnya

ditujukan?

Sebuah buku begitu selesai ditulis oleh pengarangnya dan kemudian diluncurkan

ke tengah masyarakat, maka ia telah menjadi milik publik. Ia akan berbicara sendiri

menyampaikan isinya melalui sistem tanda yang dimilikinya, dalam wadah bahasa yang

bersifat lokal. Asumsi ini tentu saja mengandung banyak kebenaran, meskipun juga memiliki

kelemahan. Sisi kebenarannya terletak terutama pada kenyataan bahwa kita bisa menghargai

sebuah buku dan bisa berguru pada buku-buku tanpa harus bertemu dengan pengarangnya

untuk mengecek benar-salahnya isi buku serta menanyakan apa motifnya menulis sebuah

buku. Tetapi, tidakkah sebuah teks yang hadir di depan kita bisa menipu atau, setidaknya,

tidak mampu mengungkapkan sebuah realitas yang utuh? Dengan ungkapan lain, sejauh

mana sebuah teks bisa dipercaya validitas dan akurasi derajat kebenaran yang

disampaikannya?

Page 236: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

218

Pertanyaan di atas mengajak kita menggugat otonomi sebuah teks, karena, pada

dasarnya teks hanyalah sebagian dari pikiran pengarangnya, di samping juga sebuah teks

tidak selalu akurat dalam menghadirkan sebuah realitas atau menyajikan sebuah konsep. Di

balik sebuah teks, sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan yang hendak

disajikan oleh pengarangnya. Menyadari bahwa teks dan pengarangnya saling bertautan

namun jarang sekali keduanya hadir bersama-sama di hadapan kita sebagai pembacanya,

maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran sebuah teks, faktor subjektivitas pembaca

menjadi sangat berperan. Membaca berarti juga menafsirkan. Lebih jauh lagi, membaca dan

menafsirkan sesungguhnya juga ―menulis ulang‖ dalam bahasa mental dan bahasa pikir sang

pembaca yang hanya saja tidak dituliskan. Ketika sebuah teks hadir di depan kita, maka teks

menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan membangun makna

berdasarkan sistem tanda yang ada. Jadi, makna itu muncul dari pertautan antara teks, pikiran

pengarang, dan benak pembacanya.275

Ketiga variabel itu, yaitu the world of the text, the world of the author, dan the

world of the reader, masing-masing merupakan titik pusaran tersendiri, meskipun

kesemuanya saling mendukung—bisa juga malah menyesatkan—pihak pembaca dalam

memahami sebuah teks. Bahkan, terdapat sebuah pendapat ekstrim yang menyatakan bahwa

―pikiran yang diucapkan dan dituliskan pasti mengandung kebohongan.‖ Mengapa demikian?

Karena ketika pikiran diungkapkan dengan kata-kata, ia selalu melibatkan pilihan kata dan

kalimat yang dianggap tepat dengan mempertimbangkan keadaan pendengar atau

pembacanya.276

Al-Qur‘an adalah sebuah teks, dan seperti juga semua teks yang lain, ia

membutuhkan penafsiran. Bahkan, upaya memahami Al-Qur‘an secara sederhana pun

hakikatnya adalah sebuah kegiatan penafsiran. Setiap kali seseorang membaca sebuah teks

275

Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju Mizan, 2004), h. 1-3. 276

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan,

2011), h. 63.

Page 237: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

219

dan mendengarkan pembicaraan orang lain, sejatinya mereka sedang memahami kata-kata

itu. Setiap individu belajar memproses informasi dengan cara tertentu dalam rangka

―membentuk‖ makna dari teks, meski mereka biasanya tidak menyadari proses ini. Para

pembaca Al-Qur‘an pun sebetulnya bukanlah para pengkaji yang netral dan objektif, namun

menjadi penafsirnya, dengan membawa bias dan cakrawalanya sendiri dalam menafsirkan

teks tersebut. Karena perbedaan pengalaman, kesan, nilai, dan lingkungan kultural, tiap-tiap

individu akan ―membentuk‖ makna dengan cara yang berbeda untuk mencapai pemahaman

mereka terhadap teks. Namun, subjektivitas penafsiran ini tidaklah berarti bahwa tiap-tiap

pemahaman memiliki keabsahan dan kualitas yang setara.

Para sarjana Muslim menganggap Al-Qur‘an sebagai sebuah teks yang kompleks.

Dalam usaha memahami maknanya, mereka telah berkontribusi besar dalam mengembangkan

literatur tafsir Al-Qur‘an selama 1400 tahun terakhir. Di masa modern, para sarjana Muslim

terus mengembangkan usaha untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur‘an secara

keseluruhan, dan menentukan relevansi atas teks-teks Al-Qur‘an yang khusus. Dalam banyak

hal demikian, banyak sarjana juga mengembangkan teori-teori mengenai karakteristik

kebahasaan dan makna yang menawarkan cara-cara baru dalam memahami Al-Qur‘an secara

lebih baik.277

Teks menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ajaran-ajaran utama

Islam ada dalam bentuk teks, yaitu Al-Qur‘an dan hadis. Orang-orang Islam sangat bangga

menyebut dirinya sebagai Ahlul Kitâb ‗orang-orang yang sangat menghormati kitab‘ atau

secara sederhana, ‗masyarakat teks‘. Al-Qur‘an juga menyebut para pengikut agama lain,

terutama Yahudi dan Kristen sebagai Ahlul Kitâb hanya karena sebagai umat Islam, mereka

juga menjadikan teks (kitab suci) sebagai pusat dari kesadaran beragama mereka. Bagi Ahlul

Kitâb, dunia langit hanya bisa diketahui lewat teks yang dibawa oleh para Nabi. Teks adalah

dâl (yang menunjuk, atau kehadiran sebuah tanda, signifier) dari madlûl (objek yang

277

Abdullah Saeed, Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach,

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ervan Nurtawab, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual

(Bandung: Mizan Pustaka, 2016), h. 27-28.

Page 238: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

220

ditunjuk, signified) yaitu makna abadi yang ada di dalam diri Tuhan. Bagi orang Islam, setiap

kata atau kalimat yang ada dalam Al-Qur‘an disebut ayat atau ‗tanda‘. Tanda dari suatu

makna abadi. Memang benar bahwa makna abadi itu bisa diketahui lewat ciptaan Tuhan

seperti gunung dan langit (benda-benda ciptaan ini juga disebut ayat atau persisnya ayat

kauniyah ‗tanda-tanda alam‘. Akan tetapi, ayat yang paling utama adalah teks Al-Qur‘an.

Bisa dikatakan bahwa tanpa teks ini, tidak ada Islam dan masyarakat Muslim. Masyarakat

Islam sebagai masyarakat yang eksistensinya bergantung pada teks diperkuat oleh hadis. Al-

Qur‘an yang jumlah ayatnya hanya sekitar 6.600 dan ada pendapat menyebutkan 6.666

dengan 114 surat dan 30 juz, bukanlah sebuah teks yang bisa menjelaskan semua realitas atau

ajaran dengan detail. Kalau tidak jelas, ke mana mereka harus mencari kejelasan. Berbagai

jawaban dikemukakan, ada yang merujuk pada tradisi atau konteks lokal sebagai penjelas,

seperti yang nampak terjadi pada mazhab Mâlikī yang sangat mengutamakan tradisi dan

praktek lokal Madinah. Ada juga yang merujuk pada akal seperti yang ada dalam mazhab

Hanafī. Ada juga yang menggunakan ijmâ‟ (sebuah kesepakatan atau consensus masyarakat

Muslim dalam memahami teks sebagaimana yang dikembangkan oleh mazhab Syâfi‘ī. Dan

ada juga yang menjadikan kata-kata dan perbuatan Rasul sebagai pegangan, yang kemudian

disebut hadis. Maka hadis yang dibukukan pada abad ke-3 H/ 9 M itu kini menjadi rujukan

sekunder setelah Al-Qur‘an.278

Al-Qur‘an adalah wahyu ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia

diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia ketika ia

diturunkan, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Namun demikian, Al-

Qur‘an bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala hal. Al-Qur‘an semestinya tidak

ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan, karena hal tersebut bisa menciptakan

jarak antara Al-Qur‘an dengan realitas sosial. Kendati Al-Qur‘an di satu pihak diidealisasi

278

Fuad Jabali, Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol 7 No.

1, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 1-2.

Page 239: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

221

sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang

harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai Al-

Qur‘an yang dialamatkan kepada manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu. Karena itu,

perlu adanya tafsir untuk mengungkap, menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-

prinsip kandungan Al-Qur‘an tersebut. Al-Qur‘an dalam tradisi keilmuan Islam, telah

melahirkan sederet teks turunan yang demikian mengagumkan. Teks-teks turunan itu

merupakan karya-karya spektakuler yang lahir dari tangan-tangan ulama dengan beragam

model dan metode.279

Al-Qur‘an Al-Karim yang diturunkan dengan bahasa Arab, memiliki uslûb-uslûb280

bahasa yang tinggi yang terdiri dari atas uslûb-uslûb bayâniyyah, ma‟âniyyah, dan

badī‟iyyah, di samping uslûb-uslûb yang lainnya yang lebih mudah ditangkap pengertiannya.

Al-Qur‘an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sekaligus petunjuk umat

manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan

tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang sama

mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapapun yang memahami bahasanya,

walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.

Redaksi ayat-ayat Al-Qur‘an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak

dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini

kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Qur‘an, para sahabat

Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya,

serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda

279

Hasani Ahmad Said, Diskursus Munâsabah Al-Qur‟an: Tinjauan Kritis terhadap Konsep dan

Penerapan Munâsabah dalam Tafsīr al-Mishbâh (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Kegamaan

Kementerian Agama RI, 2014), h. 4-5. 280

Kata uslûb (bentuk jamaknya ialah asâlīb) secara sederhana dapat diartikan sebagai ―cara, jalan”

atau “jalan yang terbentang”. Kata ini dipadankan dengan kata style dalam bahasa Inggris. Menurut pengertian

istilah terminologis, uslûb berarti cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengungkapkan ide dan pikirannya

yang dituangkan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dalam ilmu bahasa, istilah ini dikenal dengan sebutan

“gaya bahasa” sebagaimana yang diungkap Muhammad Hasan Abdullah dalam Muqaddimah fi al-Naqd al-

Adabī, lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur‟an: Upaya Menafsirkan Al-Qur‟an dengan

Pendekatan Kebahasaan (Jakarta: Fitra Publishing, 2006), h. 1-2.

Page 240: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

222

pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah

yang mereka dengar atau mereka baca itu.281

Sebagai pembuka bab empat, pengantar di atas sungguh cocok dalam menyisir

halaman per halaman berikut ini.

A. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag secara Umum

Bagi kaum muslimin, Al-Qur‘an adalah petunjuk (hudan) untuk menuntun umat

manusia menuju jalan yang benar. Al-Qur‘an juga berfungsi sebagai pemberi penjelasan

(tibyân) terhadap segala sesuatu, dan sebagai pembeda (furqân) antara kebenaran dan

kebatilan. Keindahan bahasa, kedalaman makna, keluhuran nilai, dan keragaman tema di

dalam Al-Qur‘an tidak akan pernah kering untuk terus diperdalam, dikaji, diteliti, dan

dimaknai dengan lebih mendalam. Oleh karena itu, upaya menghadirkan pesan-pesan Al-

Qur‘an merupakan proses yang tidak akan pernah berakhir selama manusia hidup di muka

bumi ini. Al-Qur‘an adalah kitab suci bagi umat Islam yang berisi pokok-pokok ajaran

tentang akidah, syari‟ah, akhlak, kisah-kisah dan hikmah dengan fungsi pokoknya sebagai

hudan (petunjuk) bagi umat manusia demi mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di

akhirat. Sebagai kitab suci, Al-Qur‘an harus dimengerti maknanya dan dipahami dengan baik

maksudnya oleh setiap orang Islam untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu usaha Departemen Agama (kini: Kementerian Agama) dalam rangka

memasyarakatkan Al-Qur‘an sebagai kitab suci umat Islam adalah menerjemahkan arti

kandungan kitab suci tersebut dan menafsirkannya.282

281

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), h. 112-113. 282

Bahkan dalam terbitan terbaru Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang

Yudoyono menyambut baik Penyempurnaan dan Penerbitan Tafsir ini, sebuah karya masterpiece yang disusun

oleh para Pakar dan Ulama Indonesia secara bersama-sama di bawah koordinasi Kemenag RI ini merupakan

bagian dari upaya untuk meningkatkan iman, ilmu, dan amal saleh kaum muslimin di tanah air. Presiden dan

segenap kaum muslimin di Indonesia tentu sangat bangga karena Para Ulama kita telah mampu melahirkan

Tafsīr Al-Qur‟an dalam bahasa Indonesia yang sangat lengkap dan monumental. Para Ulama terkemuka, seperti

Page 241: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

223

Karya terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama RI yang biasa disebut Al-Qur‘an

dan Terjemahnya selesai disusun oleh sebuah tim yang terdiri dari beberapa ulama anggota

Lembaga Penterjemah Kitab Suci Al-Qur‘an pada tahun 1965 dalam kurun waktu 5 tahun

(1960-1965), dan dicetak secara bertahap dan beredar pertama kali pada tanggal 17 Agustus

1965, sebanyak tiga jilid. Masing-masing jilid terdiri dari 10 juz. Dalam perkembangannya,

terjemahan tersebut mengalami beberapa kali perbaikan dan penyempurnaan. Sejak pertama

kali diedarkan pada 17 Agustus 1965 hingga sekarang, terjemahan Al-Qur‘an Kementerian

Agama setidaknya sudah mengalami dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan.

Pertama, penyempurnaan redaksional yang dianggap sudah tidak relevan dengan

perkembangan bahasa pada saat itu, yaitu pada tahun 1989. Kedua, penyempurnaan secara

menyeluruh yang mencakup aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, substansi, dan aspek

transliterasi dalam rentang waktu yang cukup lama antara tahun 1998 hingga 2002, dan edisi

2002 inilah yang dijadikan objek penelitian. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu

dilakukan oleh para ulama, ahli dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidangnya

sebagai wujud keterbukaan Kementerian Agama terhadap saran dan kritik konstruktif bagi

perbaikan dan penyempurnaan Al-Qur‘an dan Terjemahnya. Upaya itu juga didasari pada

Prof. Dr. Mahmud Yunus, Prof. Dr. Tengku M. Hasbi al-Shiddīqī, Prof. Dr. Hamka, dan Prof. Dr. M. Quraish

Shihab misalnya, telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar dalam menghadirkan pesan-pesan

Al-Qur‘an baik dalam bentuk terjemahan maupun tafsir. Akhirnya, atas nama Negara, pemerintah, dan pribadi,

Presiden mengucapkan terima kasih, apresiasi, dan penghargaan yang tulus kepada para Ulama dan semua pihak

yang telah bekerja keras tidak kenal lelah dalam penyusunan, penerjemahan, dan penerbitan Al-Qur‟an dan

Tafsirnya ini.

Karya besar para ulama kita itu patut kita hargai dan kita hormati sebagai mahakarya bagi pencerdasan

spiritual umat, bangsa, dan Negara. Melalui penerbitan Al-Qur‟an dan Tafsirnya ini tidak hanya menambah

kekayaan khazanah intelektual dunia di bidang Tafsīr Al-Qur‟an dalam berbagai bahasa, selain bahasa Arab.

Kehadiran Tafsir ini merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan akan ketersediaan kitab suci dan

tafsirnya bagi umat Islam, juga merupakan upaya untuk mendorong peningkatan akhlak mulia bagi sebuah

bangsa yang besar dan bermartabat dan menghantarkan cita-cita mewujudkan negeri yang baldatun thayyibatun

wa robbun ghofûr. Kata Sambutan Presiden RI ke-6, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang

Disempurnakan) (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, 2012), h. xvii – xviii.

Page 242: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

224

kesadaran bahwa tidak ada karya manusia yang sempurna, apalagi ketika akal manusia yang

terbatas ingin menjangkau pesan kalam Tuhan yang tidak terbatas.283

Sejak abad ke-20 tidak kurang dari 22 karya Terjemahan Al-Qur‟an lahir di negeri

mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Yang sangat populer antara lain terjemahan karya

Prof. Dr. Mahmud Yunus “Qur‟an Karim”, Al-Furqân karya A. Hassan, Al-Bayân buah

tangan Prof. T.M. Hasbi al-Shiddīqī, dan yang terbaru abad ke-21 yaitu Al-Qur‟an dan

Maknanya hasil pemikiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. Karya-karya tersebut tentu

berbeda satu sama lain. Dalam goresan Muchlis M. Hanafi, di antara buku Terjemah Al-

Qur‘an dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm, karya A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, dan Abdur

Rahim Haitami; b. Tafsīr al-Qur‟an Hidâjatur Rahmân, karya Munawar Khalil; c. Terjemah

Tafsīr, karya Maulevi Mohammad Ali; d. Tafsīr Qur‟an, karya Zainuddin Hamidy dan Hs.

Fachruddin; e. Tafsīr Qur‟an Karīm, buah tangan Mahmud Yunus; f. Tafsīr Al-Bayân, hasil

karya T.M. Hasbi al-Shiddīqī; g. Al-Furqân: Tafsīr Quran, masterpiece Ahmad Hasan; h.

Tafsīr Al-Azhar, karya monumental Buya HAMKA; i. Al-Qur‟an dan Terjemahnya, buah

tangan Tim Kementerian Agama RI; j. Al-Qur‟an dan Tafsirnya, hasil Team Work

Kementerian Agama RI; k. Tafsīr Rahmat, karangan H. Oemar Bakry; l. Terjemah dan Tafsīr

Al-Qur‟an, karya Bachtiar Surin; m. Terjemah/Tafsīr Al-Qur‟an, hasil monumental Moh.

Rifa‘I; n. Al-Qur‟an dan Maknanya, hasil spektakuler M. Quraish Shihab; o. Qur‟an

Kejawen, karya Kemajuan Islam Yogyakarta; p. Qur‟an Sundawiyah: Qur‟an bahasa Sunda,

oleh KH. Qomaruddien; q. Al-Ibrīz, ditulis oleh KH. Biysri Mustofa; r. Al-Iklīl fī Ma‟âni al-

Tanzīl, karangan KH. Mishbah Zainal Mustofa; s. Al-Qur‟an Suci Bahasa Jawa, oleh Prof.

283

Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-

Qur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf LPMA Balitbang Kemenag RI, Vol. 4, No. 2, 2011, h.

179.

Page 243: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

225

KH.R. Muhammad Adnan; t. Al-Amīn, bahasa Sunda; u. Tarjamah Al-Qur‟an, bahasa

Sunda.284

Untuk usaha pertama, Depag (Kementerian Agama) pada tahun 1967, melalui Surat

Keputusan (SK) Menteri Agama No. 26/1967 telah membentuk satu tim yang diberi tugas

untuk menerjemahkan makna-makna Al-Qur‘an ke dalam bahasa Indonesia, yang diketuai

oleh Prof. Soenaryo, SH dan beranggotakan 17 orang ulama dan akademisi. Mereka adalah

Prof. T.M. Hasbi al-Shiddīqī (wakil ketua merangkap anggota), Prof. H. Bustami A Gani,

Prof. H. Muchtar Yahya, Prof. H.M. Toha Yahya Omar, Prof. Dr. Mukti Ali, Drs. Kamal

Muchtar (sekretaris I merangkap anggota), H. Ghazali Thaib (Sekretaris II merangkap

anggota), Prof. KH. Musaddad, KH. Ali Maksum, dan Drs. Busyairi Madjidi. Anggotanya

terdiri dari KH. Syukri Ghazali, KH. M. Amin Nashir, Prof. A. Timur Djaelani, MA, Prof.

KH. Ibrahim Husein, LML, Drs. Sanusi Latif, Drs. Abd. Rahim.285

Tim ini berhasil

menyelesaikan Terjemahan Al-Qur‘an dengan baik, setelah 8 tahun bekerja. Hasil karya

mereka mendapatkan tanggapan yang sangat positif dari masyarakat, bukan saja di Indonesia,

tetapi juga negara tetangga serumpun. Terjemahan ini telah mengalami cetak berulang kali,

baik yang dibiayai melalui Departemen Agama sendiri maupun oleh penerbit swasta. Tafsir

Al-Qur‘an Departemen Agama juga hadir secara bertahap (tadarruj). Pencetakan pertama

kali dilakukan pada tahun 1975 berupa I jilid yang memuat juz I sampai dengan juz 3,

kemudian menyusul jilid-jilid selanjutnya pada tahun berikutnya. Untuk pencetakan secara

284

Muchlis M. Hanafi, Menyoal Terjemah Yang Bukan Masalah, makalah disampaikan pada Dialog

dengan Tim MMI seputar Terjemah Al-Qur‟an yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI, Jum‘at, 29 April 2011, bertempat di Anjungan Lampung Taman Mini Indonesia Indah,

Jakarta. Menurut Muchlis, sejumlah buku terjemahan di atas diberi judul tafsir. Satu hal yang menunjukkan

bahwa terjemahan juga merupakan tafsir, karena merupakan hasil pemahaman seorang penerjemah terhadap

teks Al-Qur‘an. 285

Ada beberapa versi yang penulis dapatkan, menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag,

Menteri Agama membentuk Tim Penyusun Al-Qur‟an dan Tafsirnya yang disebut Dewan Penyelenggara

Pentafsir Al-Qur‘an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. dengan Keputusan Menteri Agama (KMA)

dengan No. 90 Tahun 1972, kemudian disempurnakan dengan KMA No. 8 Tahun 1973 dengan Ketua Tim Prof.

H. Bustamai Abdul gani dan selanjutnya disempurnakan kembali dengan KMA No. 30 Tahun 1980 dengan

Ketua Tim Prof. KH. Ibrrahim Hosen, LML. Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan)

(Jakarta: Direktorat Bimas Islam Kemenag, 2012), h. xxi.

Page 244: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

226

lengkap 30 juz baru dilakukan pada tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana.

Kemudian pada penerbitan berikutnya secara bertahap dilakukan perbaikan atau

penyempurnaan di sana-sini yang pelaksanaannya dilakukan oleh Lajnah Pentashih Mushaf

Al-Qur‘an–Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan. Perbaikan tafsir yang

relatif agak luas pernah dilakukan pada tahun 1990, tetapi juga tidak mencakup perbaikan

yang sifatnya substansial, melainkan lebih banyak pada aspek kebahasaan.

Penyusunan Al-Qur‟an dan Terjemahnya didasarkan pada sebuah kesadaran dari

para penyusunnya bahwa penerjemahan Al-Qu‘ran secara harfiah tidak mungkin bisa

dilakukan, sebab bahasa-bahasa di dunia ini terlalu miskin untuk bisa menerjemahkan bahasa

Al-Qur‘an. Karenanya, yang dimaksud sebenarnya adalah terjemah makna Al-Qur‘an bukan

terjemah dengan pengertian pengalihbahasaan yang dapat menggantikan posisi teks Al-

Qur‘an itu sendiri atau menampung semua pesan yang terkandung dalam Al-Qur‘an. Karya

Tim Kemenag ini disusun dengan menggabungkan metode terjemah harfiyah dan tafsiriyah.

Lafal yang bisa diterjemahkan secara harfiyah, maka diterjemahkan secara harfiyah.

Sedangkan yang tidak bisa, maka diterjemahkan secara tafsiriyah, baik dalam bentuk

pemberian catatan kaki maupun tambahan penjelasan di dalam kurung. Dalam terjemahan

versi lama terdapat sekitar 1610 catatan kaki (footnote), sedangkan dalam edisi revisi yang

terbaru hanya 930 footnote (berkurang 680).

Dalam kata pengantar, Ketua Lembaga Penjelenggara Penterdjemah Kitab Sutji

Al-Qur‘an, Prof. R. H. A. Soenarjo, SH., pada Al-Qur‘an dan Terjemahnya terbitan Yayasan

Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur‘an (1969) disebutkan:

―Terdjemahan dilakukan seleterlijk (seharfijah) mungkin. Apabila dengan tjara demikian

terdjemahan tidak dimengerti, maka baru dijtari djalan lain untuk dapat difahami dengan

menambah kata-kata dalam kurung atau diberi not. Apabila mengenai sesuatu kata ada dua

pendapat, maka kedua pendapt itu dikemukakan dalam not.‖

Page 245: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

227

Kesan harfiyah terjemahan Kementerian Agama mungkin ditangkap oleh Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI) dari ungkapan, ―Terdjemahan dilakukan seleterlejk (seharfijah)

mungkin?‖, tetapi bila dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikutnya kesan itu akan sirna.

Hal ini sejalan dengan pandangan beberapa ulama seperti Imam al-Syâtibī, Ibn Qutaibah dan

Syaikh al-Marâghī yang menyatakan bahwa Alfâdz al-Qur‟an ada yang dapat diterjemahkan

secara harfiyah dan ada yang tidak, sesuai dengan denotasi (dalâlah) nya; asliyyah atau

tâbi‟ah/tsânawiyyah. Metode yang sama juga pernah dilakukan oleh A. Hassan bin Ahmad

dalam al-Furqân Tafsīr Al-Qur‘an, Prof. TM. Hasbi al-Shiddīqī dalam Tafsīr al-Bayân, dan

M. Quraish Shihab dalam Al-Qur‘an dan Maknanya.

Dalam pendahuluan karyanya, A. Hassan menjelaskan metodenya sebagai berikut:

―Fashal I: Tjara menjalin. Dalam mentardjamahkan ajat2 saja gunakan sedapat2nja selinan

se-kalimah dengan se-kalimah, ketjuali jang tidak dapat dilakukan demikian, baharulah

saja pakai tjara menjalin ma‘na, karena pada pandangan saja, jang tersebut itulah se-baik2

tjara bagi orang jang hendak teliti didalam tardjamahan, seperti qâla lahu, kalau disalin

selafazh dengan selafazh adalah ―ia berkata baginja‖ tetapi saja salin ―ia berkata

kepadanja‖ dan seperti âmanna billâhi biasanya disalin ―ia pertjaja dengan Allah, tetapi

saja artikan ―ia pertjaja kepada Allah.‖ Demikianlah saja berkisar dari tardjamahan

harfijah bila menjalin kefasihan bahasa Melaju atau Indonesia.‖

Cara senada dikemukakan oleh M. Hasbi al-Shiddīqī. Ia mengatakan:

―Terjemahan saya lakukan adakala bersifat menterjemahkan lafadh ayat saja, adakala

menterjemahkan ma‘na ayat, yaitu: dengan memasukkan ke dalam terjemah lafadh ma‘na

yang harus ditaqdirkan (harus dipandang ada), seperti mentaqdirkan mudlmar yang telah

dibuang dan mentaqdirkan jawab qasam= sumpah, jawab idza= apabila, jawab lau=jikalau,

jawab in=jika. Dengan demikian terjemahan itu sendiri sudah menjelaskan apa yang

dimaksud. Saya tidak menterjemahkan sebanyak lafadh yang ada saja, adalah karena yang

saya maksud adalah terjemahan ma‘na.‖

Perlu diketahui M. Hasbi al-Shiddīqī adalah wakil ketua tim penyusun (merangkap

anggota) terjemahan Kementerian Agama dengan anggota yang terdiri dari para ulama yang

berkompeten di bidangnya seperti KH. Anwar Musaddad, KH. Ali Maksum, Prof. Bustami

Page 246: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

228

Abdulgani, dan lainnya. Cara penerjemahan yang sedemikian rupa lazim dilakukan oleh para

ulama. Menurut Syaikh Musthafâ al-Marâghī, dalam menerjemahkan karya-karya ilmiah

banyak ulama berupaya keras menerjemahkannya secara harfiyah, sampai pun terjemahan itu

membuat maknanya menjadi samar. Ini dilakukan sebagai bentuk kejujuran dalam menyalin.

Ilmu filsafat dan lainnya di masa-masa awal Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Arab

dengan cara seperti ini. Menurut A. Hassan, ―karena pada pandangan saja, jang tersebut

itulah se-baik2 tjara bagi orang jang hendak teliti di dalam terdjamahan.‖286

Terjemahan

hanyalah salah satu alat bantu untuk memahami Al-Qur‘an secara sederhana. Sasarannya

tentu para pemula. Sangat naif bila seseorang yang mengerti bahasa Arab mengandalkan

terjemahan dalam memahami Al-Qur‘an. Untuk bisa memahami Al-Qur‘an secara baik tentu

harus merujuk kepada buku-buku Tafsīr Al-Qur‟an yang otoritatif (mu‟tamad).

Bagaimanapun, sebuah terjemahan adalah kreasi dan ijtihad manusia yang tidak

luput dari kekurangan di sana-sini. Menurut Ahsin Sakho Muhammad, kelemahan dalam

penerjemahan Al-Qur‘an ke dalam bahasa Indonesia, dan mungkin bahasa lain di dunia,

adalah soal keterbatasan bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia terasa ‗kerdil‘

menghadapi bahasa Al-Qur‘an yang demikian indah, kukuh dan mantap. Ada ungkapan-

ungkapan Al-Qur‘an yang sulit ditemukan padanannya secara tepat dalam bahasa Indonesia,

kecuali harus diuraikan secara panjang lebar terlebih dahulu. Memahami Al-Qur‘an dalam

bahasa aslinya yaitu bahasa Arab memang tidaklah mudah karena itulah diperlukan terjemah

Al-Qur‘an dalam bahasa Indonesia. Tetapi bagi mereka yang hendak mempelajari Al-Qur‘an

secara lebih mendalam tidak cukup terjemah, melainkan juga diperlukan Tafsir Al-Qur‘an.

Struktur bahasa Al-Qur‘an sangat sastrawi dan hanya bisa dipahami oleh mereka

yang mempunyai rasa bahasa yang sudah tinggi pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan

286

Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-

Qur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf LPMA Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,

h. 180-181.

Page 247: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

229

jika terjemahan versi tim ini mendapatkan tanggapan positif dari berbagai pihak. Beberapa

kalangan dari organisasi massa Islam telah mengajukan beberapa usulan perbaikan terhadap

terjemahan Departemen Agama ini. Kebanyakan dari tanggapan tersebut, berkisar pada aspek

kebahasaan, seperti pemilihan kata-kata yang lebih tepat untuk menerjemahkan ungkapan Al-

Qur‘an. Harus diketahui pula bahwa menerjemahkan satu ungkapan Al-Qur‘an berarti juga

menafsirkan ungkapan tersebut. Jika ungkapan Al-Qur‘an tersebut mempunyai beberapa

kemungkinan arti, maka penerjemah harus memilih salah satu saja dari sekian arti tersebut.

Tidaklah elok jika semua arti tersebut dikemukakan secara keseluruhan. Untuk itu, terjadi

tarik ulur antara satu penerjemah dengan penerjemah lainnya. Terjemahan juga terkesan

harfiyah yang maksudnya barangkali mengimbangi ungkapan-ungkapan Al-Qur‘an, sehingga

terkesan seperti memaknai ungkapan Arab yang ada pada kitab kuning yang banyak kita lihat

di dunia pesantren. Bagi pemula yang ingin belajar dalam bahasa Arab, terjemahan

Departemen Agama banyak membantu. Seperti misalnya satu kata dalam Al-Qur‘an

kemudian melihat terjemahannya, akan sulit terjadi kesesuaian. Namun, dengan

perkembangan bahasa Indonesia masa kini, terjemahan Depag tersebut dapat perlu perbaikan

di sana-sini, terutama struktur kebahasaan, sehingga bisa dicerna pembaca dengan baik,

menurut rasa bahasa orang Indonesia (dzauq al-lughah al-indûnisī) dewasa ini.

Sebenarnya terjemahan Al-Qur‘an versi Depag telah mengalami perbaikan

beberapa kali. Salah satunya adalah ketika akan dicetak di Mujamma‟ Malik Fahd di

Madinah. Terakhir adalah perbaikan yang dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk Depag.

Hasil perbaikan tersebut telah terbit menjadi Al-Qur‟an dan Terjemahnya tahun 2004 yang

lalu. Dalam penjelasan Ahsin Sakho Muhammad, perbaikan-perbaikan yang dilakukan

terhadap Terjemah Al-Qur‟an versi Depag tidak terinventarisasi secara terperinci, sehingga

untuk mengetahui perbaikan-perbaikan tersebut harus diteliti antara satu terbitan dengan

terbitan lainnya secara cermat. Namun demikian, sejatinya Terjemah Al-Qur‘an Depag secara

Page 248: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

230

garis besar telah mencerminkan apa yang dikehendaki oleh kalamullah itu. Jika ada

terjemahan yang masih juga kurang pas, maka bisa diuraikan dalam tafsir.287

Berikut ini aspek-aspek yang direvisi dalam Terjemahan Al-Qur‘an Kementerian

Agama. Antara lain: a. Menghilangkan mukaddimah tentang sejarah turunnya Al-Qur‘an dan

hal-hal yang terkait dengan itu. Mukaddimah ini dirasa terlalu banyak (145 halaman), padahal

yang dinginkan adalah sebuah cetakan Al-Qur‘an yang tidak tebal, bisa dibawa kemana-

mana; b. Menyederhanakan catatan kaki (footnote). Pada terjemahan yang lalu catatan kaki

terkesan seperti tafsir, sehingga terjadi pembengkakan dalam lembaran terjemahan. Pada

terjemahan versi baru, banyak catatan kaki yang bisa dibuang; c. Menghilangkan ungkapan

yang sebenarnya bukan terjemahan langsung dari teks, tetapi merupakan tafsir. Ungkapan itu

adakalanya dibuang atau diletakkan di catatan kaki saja. Seperti nama satu pelaku sejarah

yang masih diperselisihkan namanya di kalangan para ahli tafsir. Contohnya adalah pada

surat Yusuf ayat 21. Dalam al-Qur‘an surat Yusuf, Allah SWT berfirman:

فعنا أو ن ت خذه ولدا وكذلك وقال ال ذي اشت راه من م صر المرأتو أكرمي مث واه عسى أن ي ن

ث ر الن اس ال مك ن ا لي وسف يف األرض ولن عل مو من تأويل األحاديث واهلل غالب على أمره ولكن أك

ي علمون.

Artinya: “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya:

“Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat

kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikian pulalah Kami

memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar

Kami ajarkan kepadanya tabir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya,

tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yûsuf (12): 21).

287

Ahsin Sakho Muhammad, Aspek-Aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama

(Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2005),

Jurnal Vol 3, No. 1, h. 156-157.

Page 249: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

231

Pada terjemahan lama ditulis, “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf…” Kata

(Zulaikha) pada versi baru ditiadakan, tetapi dipindahkan ke dalam catatan kaki. Salah satu

tim ahli Tafsir Kementerian Agama RI, Ali Mustafa Yakub mengatakan bahwa riwayat ini

tidak valid.288

d. Tidak menerjemahkan nama surah. Nama surah ditampilkan apa adanya, sehingga

tidak ada orang yang mengatakan “Surah Sapi Betina” akan tetapi “Surah al-Baqarah”; e.

Teks Al-Qur‘an pada edisi Mujamma‟ ditulis dari kanan ke kiri seperti layaknya mushaf.

Pada terjemah edisi terbaru, teks Al-Qur‘an dimulai dari kanan ke kiri mengikuti terjemahan

yang ada dengan alasan bahwa cetakan ini bukan mushaf, tetapi terjemahan; f. Teks Al-

Qur‘an pada edisi terbaru diambil dari teks Al-Qur‘an yang diwakafkan oleh Yayasan Iman

Jama kepada kaum muslimin melalui Departemen Agama; g. Banyak ungkapan bahasa

Indonesia yang diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan ungkapan yang ada pada Kamus

Besar Bahasa Indonesia, seperti kata ―menafkahkan‖ diganti menjadi ―menginfakkan‖ dan

sebagainya.

288

Dalam pandangan Ali Mustafa Yaqub, bahwa sumber riwayat seputar kisah romantis Nabi Yusuf-

Zulaikha sesegera mungkin harus dibuang karena tidak berlandaskan pada kisah-kisah yang valid dan

otoritatatif. Beliau mengusulkan agar membuang kata ‗Zulaikha‘ (ada yang membaca Zalikha) pada setiap

terjemah atau footnote yang ada pada Terjemah Al-Qur‟an Kementerian Agama. Sebab dengan membiarkannya,

menurut beliau, masyarakat akan tetap tidak tahu, bahkan cenderung bertambah yakin bahwa Zulaikha itu istri

Nabi Yusuf. Setelah melewati perdebatan sengit antar tim, akhirnya disetujui pembuangan kata tersebut dalam

terjemahan ayat-ayat terkait kisah Nabi Yusuf dan menambahkan dalam footnote Surah Yusuf ayat 21 itu,

dengan kalimat: Bahwa riwayat tentang penamaan Zulaikha tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam kajian

Pengasuh Pondok Pesantren International Darus Sunnah Ciputat ini, kisah romantis antara Nabi Yusuf dan

Zulaikha tidak hanya bumbu cerita isra‟iliyyât yang menghibur kita sebelum tidur, melainkan telah merangsek

pada keyakinan atau akidah orang awam, hingga banyak dari mereka menjadikannya sebagai doa. Supaya

masyarakat awam juga tidak menerima secara taken for granted (apa adanya) tafsīr-tafsīr isra‟iliyyât yang

tersebar luas dalam kitab-kitab tafsir, melainkan menyikapinya dengan hati-hati sekaligus mengkritisinya.

Syaikh Abdul Fattâh Abu Ghuddah, seorang ahli hadis dari Syiria, ketika mengomentari kisah-kisah palsu

tentang keajaiban seputar kelahiran Nabi Muhammad SAW, berkata; Kisah-kisah itu dan hal-hal serupa banyak

tercantum dalam kitab-kitab kuning, baik dalam referensi kitab hadis maupun kitab-kitab sīrah nabawiyyah

(sejarah Nabi). Akibatnya banyak orang terkecoh, seolah kisah-kisah itu telah terjamin otentisitas

(kesahihannya). Padahal maksud para penulis kita-kitab itu tidaklah demikian. Mereka mencantumkan dalam

kitab-kitab mereka, riwayat-riwayat yang sahih maupun yang tidak sahih (palsu, maudhû‟) untuk direkam dan

diketahui, kemudian untuk diteliti otentisitasnya, bukan untuk dibenarkan atau dianggap otentik. Tentunya

apabila sudah diteliti, mana yang sahih dapat dijadikan pegangan dan yang tidak sahih harus dikubur dalam-

dalam. Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 60 -74.

Page 250: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

232

Meskipun perbaikan terjemah terakhir itu telah melalui masa yang cukup panjang,

sekitar lima tahun, namun kekurangan di sana-sini masih tetap saja ada. Untuk itu, masukan-

masukan yang konkret dari para pembaca dan pemerhati terjemah Al-Qur‘an perlu ditulis dan

dilayangkan ke Departemen Agama (yang kini Kemenag RI), melalui Lajnah Pentashihan

Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Museum Bayt Al-

Qur‘an agar bisa didiskusikan lebih lanjut, karena untuk mengubah satu kata atau ungkapan

dari terjemahan yang ada memerlukan diskusi panjang, dan harus menelaah serta melihat

kitab-kitab tafsir yang ada. Pada akhirnya, apa yang tertulis kadangkala tidak memuaskan

pihak lain. Tetapi, pemilihan itu harus terjadi.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kebutuhan masayarakat, Departemen

Agama selain menerjemahkan Al-Qur‘an, juga melakukan upaya penyempurnaan Tafsir Al-

Qur‘an secara menyeluruh yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri Agama RI

dengan KMA No 280 Tahun 2003. Tim penyempurnaan tafsir ini diketuai oleh Dr. KH.

Ahsin Sakho Muhammad, MA dengan anggota terdiri dari para cendekiawan dan ulama ahli

Al-Qur‘an dengan target setiap tahun dapat menyelesaikan 6 juz, sehingga diharapkan akan

selesai seluruhnya pada tahun 2007. Penyempurnaan Tafsir Al-Qur‘an secara menyeluruh

dirasakan perlu, sesuai perkembangan bahasa, dinamika masyarakat serta ilmu pengetahuan

dan teknologi (IPTEK) yang mengalami kemajuan pesat bila dibanding saat pertama kali

tafsir tersebut diterbitkan sekitar hampir 30 tahun yang lalu. Untuk memperoleh masukan dari

para ulama dan pakar tentang tafsir Al-Qur‘an Departemen Agama telah diadakan

Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur‘an (Mukernas Alim Ulama) yang berlangsung tanggal 28

s.d 30 April 2003 di Wisma Tugu Depag, Bogor dan telah menghasilkan sejumlah

rekomendasi dan yang paling pokok adalah merekomendasikan perlunya dilakukan

penyempurnaan tafsir tersebut. Muker Ulama Al-Qur‘an telah berhasil pula merumuskan

Page 251: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

233

pedoman penyempurnaan tafsir, yang kemudian menjadi acuan kerja tim tafsir dalam

melakukan tugas-tugasnya termasuk jadwal penyelesaian.

Pada Muker Ulama Ahli Al-Qur‘an 28 s.d 30 April 2003 merekomendasikan

sejumlah perbaikan, di antaranya sebagai berikut: Aspek bahasa yang dirasakan sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan bahasa Indonesia pada zaman sekarang; aspek substansi,

yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat; aspek munâsabah dan asbâb al-nuzûl;

aspek penyempurnaan hadis, melengkapi hadis dengan sanad dan rawi; aspek transliterasi

yang mengacu kepada Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB dua Menteri

(Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan) tahun 1987; dilengkapi

dengan kajian ayat-ayat kauniyah yang dilakukan oleh Tim Pakar Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI); teks ayat Al-Qur‘an menggunakan rasm usmani, diambil dari

Mushaf Al-Qur‘an standar yang ditulis ulang; terjemah Al-Qur‘an menggunakan Al-Qur‘an

dan Terjemahnya Departemen Agama yang disempurnakan (edisi 2002); dilengkapi dengan

kosakata, yang fungsinya menjelaskan makna lafal tertentu yang terdapat dalam kelompok

ayat yang ditafsirkan; pada bagian akhir setiap jilid diberi indeks; diupayakan membedakan

karakteristik penulisan teks Arab, antara kelompok kata ayat yang ditafsirkan ayat-ayat

pendukung dan penulisan teks hadis.

Sebagai tindak lanjut Mukernas Ulama Al-Qur‘an tersebut Menteri Agama telah

membentuk tim dengan keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 tahun 2003 dan kemudian

ada penyertaan dari LIPI yang susunannya sebagai berikut: Prof. Dr. H.M. Atho Muzhar

(Pengarah); Prof. H. Fadhal AE. Bafadal, M.Sc. (Pengarah); Dr. KH. Ahsin Sakho

Muhammad, MA (Ketua merangkap Anggota); Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

(Wakil Ketua merangkap Anggota); Drs. H. Muhammad Shohib, MA (Sekretaris merangkap

anggota); Prof. Dr. H. Rif‘at Syauqi Nawawi, MA (Anggota); Prof. Dr. H. Salman Harun

(Anggota); Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi (Anggota); Dr. H. Muslih Abdul Karim (Anggota);

Page 252: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

234

Dr. H. Ali Audah (Anggota); Dr. Muhammad Hisyam (Anggota); Prof. Dr. Hj. Huzaemah

Tahido Yanggo, MA (Anggota); Prof. Dr. H. M. Salim Umar, MA (Anggota); Prof. Dr. H.

Hamdani Anwar, MA (Anggota); Drs. H. Sibli Sardjaja, LML (Anggota); Drs. H. Mazmur

Sya‘roni (Anggota); Drs. H. M. Syatibi AH (Anggota).

Staf Sekretariat: Drs. H. Rosehan Anwar, APU; H. Abdul Aziz Sidqi, M.Ag; Jonni

Syatri, S.Ag; Muhammad Musadad, S.Th.I. Tim tersebut didukung oleh Menteri Agama RI

selaku pembina; (Alm) Dr. KH. Sahal Mahfuz; Prof. KH. Ali Yafie; Prof. Drs. H. Asmuni

Abd Rahman; Prof. Drs. H. Kamal Muchtar; dan (Alm) Mu‘allim KH. Muhammad Syafi‘i

Hadzami selaku dewan Penasehat; serta Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. H. Said

Aqil Husin al-Munawwar, MA selaku Konsultan Ahli/Narasumber. Ditargetkan pada setiap

tahun dapat menyelesaikan 6 juz, sehingga diharapkan akan selesai seluruhnya pada tahun

2007. Selain itu, berdasarkan saran dan masukan dari para pakar, penyempurnaan Tafsir Al-

Qur‟an Departemen Agama telah memasukkan kajian ayat-ayat kauniyah atau kajian ayat

dari perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini dilakukan oleh tim pakar LIPI

yang beralamat di Gatot Subroto,289

yaitu: Prof. Dr. H. Umar Anggara Jenie, Apt., M.Sc

(Pengarah); Dr. H. Hery Harjono (Ketua merangkap anggota); Dr. H. Muhammad Hisyam

(Sekretaris merangkap anggota); Dr. H. Hoemam Rozie Sahil (Anggota); Dr. H. A. Rahman

Djuwansah (Anggota); Prof. Dr. Arie Budiman (Anggota); Ir. H. Dudi Hidayat, M.Sc

(Anggota); Prof. Dr. H. Syamsul Farid Ruskanda (Anggota).

Tim LIPI dalam melaksanakan kajian ayat-ayat kauniyah dibantu oleh Kepala

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang pada waktu itu dijabat oleh Prof.

289

Perlu diketahui bahwa selain menerbitkan (1) Al-Qur‟an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan

11 jilid), Kementerian Agama mencetak pula (2) Tafsir Al-Qur‟an Tematik (tafsir maudhu‟i) sebanyak 5 jilid

yang meliputi Pembangunan Ekonomi Umat; Kedudukan dan Peran Perempuan; Etika Berkeluarga,

Bermasyarakat dan Bernegara; Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kesehatan dalam Perspektif Al-Qur‟an

yang kesemuanya itu sekarang sudah dalam bentuk digitalisasi, (3) Tafsir Ilmi (kajian Tafsir Al-Qur‘an

berdasarkan Saintifik sebanyak 3 jilid) yang terdiri dari Penciptaan Jagat Raya dalam Perspektif Al-Qur‟an dan

Sains; Penciptaan Bumi dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sains; dan Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-

Qur‟an dan Sains, serta (4) Tafsir Ringkas yang baru digarap (al-Tafsīr al-Wajīz).

Page 253: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

235

Dr. Ir. H. Said Djauharsyah Jenie, ScM., SeD. Dengan Staf Sekretariat: Dra. E. Tjempaksari,

M.Lib; Drs. Tjejetep Kurnia290

. Muker Ulama telah pula diselenggarakan pada tanggal 16. s.d

18 Mei 2005 di Palembang, tanggal 5 s.d 7 September 2005 di Surabaya dan tanggal 8. s.d 10

Mei 2006 di Yogyakarta, tanggal 21 s.d 23 Mei 2007 di Gorontalo, dan tanggal 21. S.d 23

Mei 2008 di Banjarmasin Kalimantan, dengan tujuan untuk memperoleh saran dan masukan

untuk penerbitan tafsir edisi berikutnya. Dalam catatan Kabalitbang, bahwa ia menyambut

baik hadirnya penerbitan perdana tafsir juz 25-30 yang disempurnakan ini setelah

sebelumnya pada tahun 2004 telah pula diterbitkan perdana tafsir juz 1-6, dan pada tahun

2005 diterbitkan juz 7 – 12, pada tahun 2006 diterbitkan perdana tafsir juz 13- 18, dan pada

tahun 2007 diterbitkan perdana juz 19-24 yang disempurnakan. Untuk setiap kali penerbitan

perdana sengaja dicetak dalam jumlah terbatas oleh badan litbang dalam rangka memperoleh

masukan yang lebih luas dari unsur masyarakat antara lain ulama, cendekiawan, pakar Tafsir

Al-Qur‘an, pakar hadis, pakar sejarah dan pakar bahasa Arab, pakar IPTEK, dan pemerhati

Tafsir Al-Qur‘an, sebelum dilakukan penerbitan secara massal. Dan pada tahun 2008 ini juga

diterbitkan perdana buku Mukadimah Al-Qur‟an dan tafsirnya secara tersendiri.291

Cetakan

terakhir menurut catatan Ahsin Sakho Muhammad, telah dilakukan oleh Mujamma‟ Malik

Fahd bin Abdul Aziz di Madinah, Saudi Arabia. Cetakan ini sangat baik dan menarik, hasil

kerja sama antara Departemen Agama dan pemerintah Arab Saudi.292

Selain itu, ada kritik

terhadap terjemahan Al-Qur‘an Kemenag di antaranya dituturkan oleh Ismail Lubis yaitu

―Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‘an Departemen Agama Edisi 1990.‖ Kajian disertasinya

cukup komprehensif dalam mengulas dan menganalisis kesalahan dalam terjemahan Al-

Qur‘an Depag tersebut. Berkaitan denga itu, judul buku menggunakan istilah ―falsifikasi‖

290

Muhammad Sohib, Sambutan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA), Mukadimah

Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. xxix.

291 Kata Sambutan Muhammad Atho Muzhar, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. xxiii.

292 Ahsin Sakho Muhammad, Aspek-Aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama

(Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2005),

Jurnal Vol 3, No. 1, h. 155-156.

Page 254: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

236

yang dapat diartikan memberikan gambaran kepada pembaca atas proses penelitian terhadap

ketidaktepatan penerjemahan Al-Qur‘an Depag edisi 1990. Sebelumnya dibahas

penerjemahan yang salah dalam Penerjemahan Al-Qur‘an Depag Edisi Tahun 1990 dan

sebab-sebab terjadinya penerjemahan yang salah.

Dalam disertasi doktoralnya bidang ilmu-ilmu agama Islam di IAIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, Ismail Lubis merumuskan identifikasi masalah, batasan masalah, dan

ruang lingkup pembahasan sekurang-kurangnya ada tujuh masalah yang perlu diselesaikan.

(1) Kata yang berlebihan dalam kalimat terjemahan karena mengandung arti yang sama,

sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 71 surat al-

Baqarah halaman 21, kalimat terjemahan ayat 99 surat Yunus halaman 322, kalimat

terjemahan ayat 13 surat al-Hujurât halaman 847, dan kalimat terjemahan ayat 111 surat al-

An‘âm halaman 206. (2) Frasa yang digunakan dalam kalimat terjemahan ayat tidak lazim

digunakan dalam bahasa Indonesia, yakni frasa berjalan di atas perut. Akibatnya membuat

kalimat terjemahan ayat tidak efektif karena frasa tersebut tidak mengandung makna ayat

secara tepat dan tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, misalnya kalimat terjemahan

ayat 45 surat al-Nûr halaman 552.

(3) Penggunaan bentuk superlatif yang berlebihan dalam kalimat terjemahan ayat,

sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 77 surat al-

Nisâ halaman 31. (4) Preposisi daripada yang digunakan secara berlebih-lebihan sehingga

kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 51 surat al-An‘âm

halaman 194, dan kalimat terjemahan ayat 173 surat al-Nisâ, halaman 153. (5) Makna ganda

(rancu) dalam kalimat terjemahan ayat sehingga tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan

ayat 25 surat al-Ra‘d halaman 373. (6) Penggunaan hiporkorek (sifat yang menghendaki

kerapian dan kesempurnaan akan tetapi hasilnya salah) dalam kalimat terjemahan ayat,

Page 255: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

237

sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 69 surat al-

Isrâ halaman 434, yakni penggunaan kata angin taupan. (7) Tanda baca yang tidak digunakan

sebaik-baiknya dalam kalimat terjemahan ayat, misalnya tanda baca titik dua (:) dipakai

untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat. Misalnya, kalimat

terjemahan ayat 64 dan 65 surat al-An‘âm halaman 197. Semua ini dapat dilihat kembali pada

karyanya yang sangat kritis dan akademis.293

B. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag dan Terorisme

Al-Qur‘an adalah sebuah teks, dan seperti juga semua teks yang lain, ia

membutuhkan penafsiran. Bahkan, upaya memahami Al-Qur‘an secara sederhana pun

hakikatnya adalah sebuah kegiatan penafsiran. Setiap kali seseorang membaca sebuah teks

dan mendengarkan pembicaraan orang lain, sejatinya mereka sedang memahami kata-kata

itu. Setiap individu belajar memproses informasi dengan cara tertentu dalam rangka

―membentuk‖ makna dari teks, meski mereka biasanya tidak menyadari proses ini. Para

pembaca Al-Qur‘an pun sebetulnya bukanlah para pengkaji yang netral dan objektif, namun

menjadi penafsirnya, dengan membawa bias dan cakrawalanya sendiri dalam menafsirkan

teks tersebut. Karena perbedaan pengalaman, kesan, nilai, dan lingkungan kultural, tiap-tiap

individu akan ―membentuk‖ makna dengan cara yang berbeda untuk mencapai pemahaman

mereka terhadap teks. Namun, subjektivitas penafsiran ini tidaklah berarti bahwa tiap-tiap

pemahaman memiliki keabsahan dan kualitas yang setara.

Para sarjana Muslim menganggap Al-Qur‘an sebagai sebuah teks yang kompleks.

Dalam usaha memahami maknanya, mereka telah berkontribusi besar dalam mengembangkan

literatur tafsir Al-Qur‘an selama 1400 tahun terakhir. Di masa modern, para sarjana Muslim

terus mengembangkan usaha untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur‘an secara

293

Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2001), h. 29-30.

Page 256: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

238

keseluruhan, dan menentukan relevansi atas teks-teks Al-Qur‘an yang khusus. Dalam banyak

hal demikian, banyak sarjana juga mengembangkan teori-teori mengenai karakteristik

kebahasaan dan makna yang menawarkan cara-cara baru dalam memahami Al-Qur‘an secara

lebih baik.294

Teks menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ajaran-ajaran utama

Islam ada dalam bentuk teks, yaitu Al-Qur‘an dan hadis. Orang-orang Islam sangat bangga

menyebut dirinya sebagai Ahlul Kitâb ‗orang-orang yang sangat menghormati kitab‘ atau

secara sederhana, ‗masyarakat teks‘. Al-Qur‘an juga menyebut para pengikut agama lain,

terutama Yahudi dan Kristen sebagai Ahlul Kitâb hanya karena sebagai umat Islam, mereka

juga menjadikan teks (kitab suci) sebagai pusat dari kesadaran beragama mereka. Bagi Ahlul

Kitâb, dunia langit hanya bisa diketahui lewat teks yang dibawa oleh para Nabi. Teks adalah

dâl (yang menunjuk, atau kehadiran sebuah tanda, signifier) dari madlûl (objek yang

ditunjuk, signified) yaitu makna abadi yang ada di dalam diri Tuhan. Bagi orang Islam, setiap

kata atau kalimat yang ada dalam Al-Qur‘an disebut ayat atau ‗tanda‘. Tanda dari suatu

makna abadi. Memang benar bahwa makna abadi itu bisa diketahui lewat ciptaan Tuhan

seperti gunung dan langit (benda-benda ciptaan ini juga disebut ayat atau persisnya ayat

kauniyah ‗tanda-tanda alam‘. Akan tetapi, ayat yang paling utama adalah teks Al-Qur‘an.

Bisa dikatakan bahwa tanpa teks ini, tidak ada Islam dan masyarakat Muslim.

Masyarakat Islam sebagai masyarakat yang eksistensinya bergantung pada teks

diperkuat oleh hadis. Al-Qur‘an yang jumlah ayatnya hanya sekitar 6.600 dan ada pendapat

menyebutkan 6.666 dengan 114 surat dan 30 juz, bukanlah sebuah teks yang bisa

menjelaskan semua realitas atau ajaran dengan detail. Kalau tidak jelas, ke mana mereka

harus mencari kejelasan. Berbagai jawaban dikemukakan, ada yang merujuk pada tradisi atau

konteks lokal sebagai penjelas, seperti yang nampak terjadi pada mazhab Mâlikī yang sangat

mengutamakan tradisi dan praktek lokal Madinah. Ada juga yang merujuk pada akal seperti

294

Abdullah Saeed, Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach,

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ervan Nurtawab, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual

(Bandung: Mizan Pustaka, 2016), h. 27-28.

Page 257: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

239

yang ada dalam mazhab Hanafī. Ada juga yang menggunakan ijmâ‟ (sebuah kesepakatan atau

consensus masyarakat Muslim dalam memahami teks sebagaimana yang dikembangkan oleh

mazhab Syâfi‘ī. Dan ada juga yang menjadikan kata-kata dan perbuatan Rasul sebagai

pegangan, yang kemudian disebut hadis. Maka hadis yang dibukukan pada abad ke-3 H/ 9 M

itu kini menjadi rujukan sekunder setelah Al-Qur‘an.295

Terjemahan Al-Qur‘an yang

dilakukan Tim Penerjemah Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama/Kemenag)

Republik Indonesia, secara garis besar dapat dikatakan belum sesuai dengan teori

penerjemahan Al-Qur‘an secara ilmiah. Secara rinci, terjemahan itu terbagi kepada tiga

kategori, yaitu: 1) terjemahan yang benar, padan, dan fasih; 2) terjemahan yang kurang fasih;

dan 3) terjemahan yang keliru. Menurut MMI, kategori terjemahan yang sudah benar dan

fasih, yaitu terjemahan yang secara (kebetulan) sudah menerapkan lima komponen teori

terjemahan secara penuh. Lima komponen itu adalah (1) peristilahan (terminologi); 2) aliran;

3) syarat; 4) instrumen; dan 5) teknik penerjemahan.

Adapun terjemahan yang kurang fasih, yaitu terjemahan yang kurang

terpenuhinya salah satu komponen teori penerjemahan, menjadi kurang tepat dalam diksi,

rancu dalam struktur bahasa dan hambar dalam gaya bahasa, meskipun maknanya tidak

sampai ke tingkat menyesatkan. Sedangkan terjemahan yang keliru, adalah terjemahan yang

tidak menerapkan komponen teori penerjemahan, terutama komponen terminologi,

persyaratan linguistik dan non linguistik serta teknik penerjemahan. Penggunaan kata

―terjemahnya” dalam judul yang ada dalam versi Depag RI, bukan “terjemahannya”

merupakan contoh kekeliruan aspek diksi dalam komponen syarat linguistik bahasa

Indonesia. Proses penerjemahan Al-Qur‘an yang mengikuti parsial, hasilnya tidak

memuaskan bahkan keliru apalagi penerjemahan yang tidak mengikuti teori sama sekali.

295

Fuad Jabali, Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7

No. 1, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009, h. 1-2.

Page 258: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

240

Sebenarnya Al-Qur‟an dan Terjemahnya milik Kemenag telah mengikuti term terjemahan

harfiyah atau aliran Yuhana bin Al-Bitrik dan kawan-kawan. Term dan aliran penerjemahan

harfiyah itu banyak membawa pengaruh negatif, antara lain: 1) tidak tepatnya diksi kata, 2)

kerancuan (interferensi struktur), 3) kerancuan makna ayat, dan 4) kehambaran gaya bahasa.

Di antara term penerjemahan yaitu: harfiyah, maknawiyah dan tafsiriyah, kiranya term

penerjemahan yang terakhirlah (tafsiriyah) yang paling sahih (valid) dan cukup representatif

untuk digunakan dalam proses penerjemahan Al-Qur‘an.

Dalam proses penerjemahan Al-Qur‘an, bahasa sasaran, yaitu bahasa Indonesia

yang benar, fasih/baik, komunikatif, dan mudah difahami sangatlah besar peranan dan

pengaruh positifnya. Kurang memperdulikan bahasa sasaran berarti penerjemahan tidak

mencukupi syarat linguistik yang kiranya diasumsikan akan menghasilkan terjemahan yang

rancu, keliru, bahkan menyesatkan. Adalah penting disadari, bahwa maraknya berbagai aliran

sesat yang mengatasnamakan agama, berupa radikalisme, termasuk liberalisme, dan

tekstualisme, dikhawatirkan sebagai dampak negatif dari penerjemahan Al Qur‘an Kemenag

yang salah ini. Maka, kewajiban pemerintahlah mengoreksi dan meluruskan terjemah Al-

Qur‘an ini, dan menghentikan peredaran Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang diterbitkan

Depag; supaya mereka yang anti Qur‘an tidak mempersepsikan ayat-ayat di atas sebagai

pemicu terorisme. Dan bagi generasi Muslim militan, tidak memosisikan ayat tadi sebagai

pembenaran atas tindakan teror yang marak di negeri ini.296

Bila disimpulkan dari sejumlah

perjalanan perdebatan dan kekisruhan perang wacana tersebut dapat dipotret dalam tabel-

tabel di bawah ini:

296

Irfan S Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Markaz Pusat Majelis Mujahidin

Indonesia. Jl. Karanglo No. 94, Kotagede, Jogjakarta. Telp/Hp. 0274-451665/08122761569. Lihat:

http://www.arrahmah.com/read/2011/04/25/12054-menelisik-ideologi-teroris-dalam-terjemah-quran

depag.html#sthash.uqxwfuXC.dpuf diakses kembali pada Kamis 21 Januari 2016 jam 11.46 WIB. Disarikan

juga dari Hasil Dialog Kajian Masalah-Masalah Aktual Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Lajnah

Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) dan MMI tahun 2011.

Page 259: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

241

Tabel 4.

Perdebatan dan Polemik antara MMI dan Kemenag RI

No Historis/Tanggal Keterangan

1 26 Agustus 2010 MMI mengirim surat kepada Menteri

Agama RI No 80/MMLT/VII/1431,

perihal Tarjamah Harfiyah Al-Qur‘an

Kemenag

2 8 September 2010 Majalah GATRA menampilkan reportase

problem terjemah Al-Qur‘an Kemenag

yang menjadi pemicu radikalisme dan

terorisme di Indonesia dengan tajuk besar

―Alih Bahasa Mengungkap Makna‖,

dengan interview khusus Amir MMI dan

Kepala LPMA

3 29 September 2010 Reportase itu kemudian diikuti tulisan

Amir MMI M. Thalib dengan judul

―Tarjamah Harfiyah Mengundang

Masalah‖ di majalah GATRA

4 20 Oktober 2010 Tulisan MMI ditanggapi oleh Muchlis M.

Hanafi selaku Kabid Pengkajian LPMA

Balitbang dengan artikel berjudul ―Beda

Terjemah Bukan Masalah‖, masih dalam

GATRA

5 8 November 2010 Artikel itu direspon balik lagi oleh Amir

MMI M. Thalib dengan tema tulisan

―Beda Terjemah Memunculkan Masalah‖

Tabel 5.

Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag

No Objek Surah yang Dikritik Jenis Ayat

1 Surah al-Fâtihah [1] : 7 Bidang Akidah

2 Surah al-Baqarah [2] : 62 Bidang Akidah

3 Surah Ali ‗Imrân [3] : 103 Bidang Akidah

4 Surah al-Nisâ [4] : 159 Bidang Akidah

5 Surah al-Isrâ [17] : 71 Bidang Akidah

Page 260: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

242

Tabel 6.

Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag

No Objek Surah yang Dikritik Jenis Ayat

1 Surah al-Baqarah [2] : 191 Bidang Syariah

2 Surah al-Nisâ [4] : 34 Bidang Syariah

3 Surah al-A‘râf [7] : 26 Bidang Syariah

4 Surah al-Isrâ [17] : 27 Bidang Syariah

5 Surah al-Ahzâb [33] : 40 Bidang Syariah

Tabel 7.

Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag

No Objek Surah yang Dikritik Jenis Ayat

1 Surah al-Baqarah [2] : 279 Bidang Ekonomi

2 Surah al-Nisâ [4] : 5 Bidang Ekonomi

3 Surah al-Mâidah [5] : 5 Bidang Ekonomi

4 Surah al-Taubah [9] : 34 Bidang Ekonomi

5 Surah al-Rûm [30] : 39 Bidang Ekonomi

Tabel 8.

Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag297

No Objek Surah yang Dikritik Jenis Ayat

1 Surah al-Baqarah [2] : 191 Bidang Sosial

2 Surah al-Ahzâb [33] : 51 Bidang Sosial

3 Surah al-Ahzâb [33] : 61 Bidang Sosial

297

Kesimpulan ini berkiblat pada temuan Hasil Kajian Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an

(LPMA) terhadap surat MMI yang pernah dikirimkan ke Kementerian Agama, yang kemudian diolah kembali

oleh penulis dari literatur yang masih tercecer. Selain itu data sementara yang dikaji itu disarikan dari sumber

hasil dialog Kajian Masalah-Masalah Aktual Keagamaan Terjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI (Jakarta:

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011), h. 2-51. Meskipun

begitu, sejatinya jumlah ayat keseluruhan yang dipermasalahkan M. Thalib yaitu 3.229 kesalahan dari

6.236 ayat Al-Qur’an dalam terjemah Al-Qur’an Depag dengan mengelompokkan ayat-ayat pilihan serta

prinsipil sebanyak 171 ayat dengan perincian 78 ayat di bidang akidah; lalu 42 ayat di bidang syari’ah;

35 ayat untuk bidang mu’amalah; dan ekonomi (iqtishâdiyah) sebanyak 16 ayat. Lihat M. Thalib, Koreksi

Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah, 2013), h. 852-1025.

Page 261: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

243

Untuk lebih memfokuskan parameter Kritik MMI terhadap konseptual Penerjemahan

Al-Qur‘an Kemenag RI bisa dilihat pengidentifikasiannya di bawah ini:

Tabel 9.

Garis Besar Parameter Kritik MMI terhadap Terjemah Al-Qur’an Kemenag

No Fokus/Kriteria Kritik Indikator

1 Terjemahan belum benar Terjemah masih harfiyah (tidak mau mengikuti fatwa

ulama yang mengharamkan), kemudian harus diganti

dengan terjemah tafsiriyah MMI, dan MMI

mempertanyakan proses revisi terjemah Kemenag yang

tidak pernah dipublikasikan kepada publik/masyarakat,

lalu siapa yang mengkoreksi/merevisi dan ayat mana saja

yang direvisi

2 Terjemahan kurang fasih Kurang terpenuhinya salah satu teori penerjemahan, lalu

kurang tepatnya pemilihan diksi, rancu dalam interferensi

(struktur bahasa), dan hambar dalam gaya bahasa, serta

menyalahi logika bahasa Indonesia dan tata bahasa

Indonesia

3 Terjemahan masih keliru Terjemahan tidak menerapkan komponen/unsur yang ada

dalam teori penerjemahan Al-Qur‘an secara baik,

kurangnya komponen linguistik dan non linguistik, dan

kurangnya komponen teknik penerjemahan yang baik

Apa yang dilancarkan MMI bahwa terjemah Al-Qur‘an Kementerian Agama menjadi

penyebab aksi terorisme di Indonesia adalah keliru, berlebihan, alias tidak benar. Yang salah

adalah bukan terjemahannya, melainkan pemahaman seseorang yang dangkal terhadap teks-

teks keagamaan. Asumsi-asumsi MMI didasari pada premis/logika yang mereka bangun

bahwa terjemah Al-Qur‘an Kemenag itu harfiyah, dan terjemah harfiyah itu haram, karena itu

secara otomatis terjemah Kemenag haram, ini perlu diluruskan.298

Problematikanya terletak

hanyalah pada soal metode penerjemahan saja. Kemenag menggunakan terjemah harfiyah,

sedangkan MMI menggunakan tafsiriyah. Masalah terkaitnya adalah menentukan mana teks

yang harus dipahami secara literal (haqīqī) atau secara metaforis (majâzī). Dalam tradisi

tafsir, usaha mengidentifikasi makna linguistik (yaitu makna literal) sering dianggap sebagai

298

Berdasarkan hasil wawancara dengan Muchlis M. Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-

Qur‘an (LPMA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Kemenag Thamrin Lt 17, pukul 10.00 s.d

selesai, pada Selasa 22 Maret 2016.

Page 262: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

244

titik awal kegiatan penafsiran. Apabila pemahaman literal atas sebuah kata atau teks tidak

dimungkinkan, barulah makna metaforis bisa dipertimbangkan. Secara historis, banyak

mufassir Al-Qur‘an sangat berpegang pada pemahaman teks yang agak literal, dengan

mengkaji setiap kata dalam teks dan mengidentifikasi makna literalnya atau, pada level

kalimat, memberikan kalimat tersebut sebuah penjelasan kata per kata secara langsung,

berusaha setepat mungkin dengan makna literal tiap katanya dan sesuai dengan bentuk

semantik dan sintaksis bahasanya.299

Perbedaan teknik penerjemahan ini perlu didudukkan

kembali secara cermat. Jika yang dimaksud harfiyah adalah leksikal, maka tidak mungkin

dilakukan untuk menerjemahkan Al-Qur‘an, perbedaan ini lebih bersifat variatif (ikhtilâf al-

tanawwu‟), bukan kontradiktif/bertolak belakang (ikhtilâf al-tadhâd). Selama berpijak pada

argumentasi yang benar, perbedaan ini sangat dimungkinkan dan justru memperkaya

khazanah pemaknaan.300

Seperti yang dikemukakan di atas, bahwa bila ada kata/redaksi ayat

Al-Qur‘an yang bisa diterjemahkan secara harfiyah, maka Kemenag menerjemahkannya

secara harfiyah, namun bila tidak bisa, maka diterjemahkan secara tafsiriyah.

Bila memang terjemah Al-Qur‘an menjadi penyebab aksi terorisme di Indonesia,

maka jumlah teroris di Indonesia lebih banyak, toh nyatanya bisa dihitung dengan jari, selain

itu, masyarakat Indonesia mayoritas menggunakan Al-Qur‘an Kemenag yang terbit pertama

kali tahun 1965 (seperti sudah dipaparkan di bab III), dan kapan muncul aksi terorisme di

Indonesia yaitu tahun 2000 an, masa antara sebab dan musabbab itu jaraknya sampai 35

tahun. Lagi pula perlu ditegaskan bahwa terorisme yang bernuansa agama banyak sebabnya,

salah satunya interpretasi yang salah atas ayat-ayat Al-Qur‘an bernada perang yang

diterapkan dalam situasi damai, lebih lanjut bisa dilihat pada bab II.

299

Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, diterjemahkan dari Reading the Qur‟an in

the Twenty-First Century: A Contextualist Approach, penerjemah: Ervan Nurtawab (Bandung: Mizan, 2016), h.

36 300

Tim Peneliti Kajian Aktual Masalah-Masalah Aktual Keagamaan Terjemah Al-Qur‟an Departemen

Agama RI, Editor: Zainal Abidin (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kemenag RI, 2011), h. 3.

Page 263: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

245

Adapun parameter yang digunakan MMI dalam mengkritik terjemah Al-Qur‘an

Kemenag pada tabel di atas, adalah sesuatu dinamika yang wajar dalam ranah akademik,

sebab terjemah hanya karya manusia biasa yang mungkin ada kesalahan, termasuk bisa saja

terdapat kekurangan/kesalahan dalam terjemah tafsiriyah mereka, dalam konteks ini bahkan

jauh sebelum kritikan dan koreksi dilayangkan MMI (2011), sudah ada kajian mendalam

tentang terjemah Al-Qur‘an Kemenag juga yang dilakukan oleh Ismail Lubis dan Moh

Mansyur masing-masing berupa Disertasi Doktoral, di UIN Yogyakarta (2001) dan UIN

Jakarta (1998). Kita semua menyadari bahwa terjemahan Al-Qur‘an dalam bahasa apapun

tidak mungkin sempurna dan tidak mungkin dapat menyerap secara utuh pesan-pesan dan

petunjuk yang terdapat pada kitab suci Al-Qur‘an. Apalagi kita tahu bahwa Al-Qur‘an dari

bahasa Arab yang menurut Thirdage, bahasa Arab termasuk di antara 5 (lima) bahasa tersulit

di dunia untuk dipelajari. Salah satu penyebabnya adalah ‗tata bahasa yang sangat sulit‘

seperti kalimat dalam bentuk ‗jumlah ismiyah‘ (nominal sentence), ‗jumlah fi‟liyah‘ (verbal

sentence), dan ithbâq, majâzī, musytarak, adhdâd, dan kental dengan pengaruh budaya Arab.

Bahkan berdasarkan hasil laporan yang disampaikan oleh The Pew Research Center‟s Forum

on Religion and Public Life on December 2012, melalui studi demografik (populasi) yang

komprehensif di 200 negara lebih, maka diketahui bahwa ada sekitar 1,6 milyar umat Islam di

antara 6,9 milyar penduduk di dunia (data 2010). Dengan asumsi perhitungan konservatif,

maka diperkirakan ada 85 % umat Islam yang tidak menguasai bahasa Arab. Dengan

demikian, diperkirakan terdapat 1,3 milyar muslim yang tidak paham bahasa Arab dan

memerlukan terjemahan untuk memahami kandungannya. Jumlah ini tidak termasuk non-

muslim yang mempunyai keinginan yang kuat untuk mempelajari agama Islam.301

301

Juanda P. Syarfuan, Summary Al-Qur‟an Translation Concordance Method for Any Language

(Jakarta: Perpustakaan Umum Islam Iman Jama Lebak Bulus, 2015), h. 1.

Page 264: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

246

C. Menguji Terjemah Tafsiriyah MMI sebagai Deradikalisasi

Untuk jangka waktu cukup lama, kesadaran dan pemikiran keagamaan rakyat

Muslim Indonesia dipandu oleh Al-Qur‘an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh

Departemen Agama. Sulit dipungkiri, hampir semua Al-Qur‘an terjemah yang terbit di

Indonesia mengacu pada terjemahan Depag, sebagai rujukan tunggal bagi penerbitan

terjemah Al-Qur‘an. Pada posisi sentral seperti itu, didukung tim penerjemah yang terdiri dari

para pakar dan ulama kaliber nasional, siapapun akan cenderung terpesona daripada bersikap

kritis terhadap hasil karya mereka. Namun, telaah dan penelitian selama sepuluh tahun

terhadap Al-Qur‘an dan Terjemahnya, yang dilakukan secara ilmiah dan komprehensif oleh

Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz Muhammad Thalib, membuktikan bahwa karya tarjamah

harfiyah302

milik pemerintah itu mengandung banyak sekali kesalahan, ditinjau dari segi

aqidah maupun substansi syariat Islam. Kaitannya dengan mu‘amalah, perkawinan, dan

hubungan antar umat beragama. Juga, bertentangan dengan kaidah logika, sehingga maksud

ayat menjadi keliru dan menyesatkan. Terjemahan Al-Qur‘an yang dilakukan Kementerian

Agama disoal. Sebuah penelitian selama 10 tahun menemukan 3.229 kesalahan pada

302

Berdasarkan laporan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI bahwa telah diadakan Dialog Keagamaan bersama MMI yang mengangkat Kajian

Masalah-Masalah Aktual Kehidupan Keagamaan dengan Tema: ―Terjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI‖

di Ruang Sidang Anjungan Lampung TMII Jakarta, Jum‘at 29 April 2011. Dialog ini bekerja sama dengan

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an. Dialog keagamaan ini merupakan kajian Kemenag dengan MMI yang

beralamat di Jl. Karanglo No. 94 Kotagede, Jogjakarta, yang mempermasalahkan Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an

Depag RI. Hal ini berdasarkan Surat Majelis Mujahidin Indonesia yang dikirim kepada Menteri Agama RI

Nomor 80/MMLT/VII/1431 tanggal 26 Agustus 2010 perihal Tarjamah Harfiyah Al-Quran Depag RI.

Sebenarnya jauh sebelum itu terjadi beberapa kali polemik di media massa yaitu bantah-membantah (dengan

tulisan) di Majalah GATRA edisi 8 September 2010 yang menurunkan reportase dengan tajuk ―Alih Bahasa

Mengungkap Makna‖ yang berisi koreksi terhadap Terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama antara lain dari

hasil wawancara dengan Amir Majelis Mujahidin Indonesia M. Thalib dan Kepala LPMA Muhammad Sohib

serta narasumber lain. Reportase tersebut kemudian diikuti dengan tulisan Amir MMI yang bertajuk ―Tarjamah

Harfiyah Mengundang Masalah‖ pada kolom GATRA edisi 29 September 2010 yang kemudian ditanggapi baik

oleh Muchlis M. Hanafi, dengan tulisan bertajuk ―Beda Terjemah Bukan Masalah‖ di majalah yang sama edisi

20 Oktober 2010. Lalu tulisan yang terakhir ditanggapi lagi oleh Amir MMI dengan tulisan yang berjudul ―Beda

Terjemah Memunculkan Masalah‖ pada GATRA edisi 8 November 2010. Dari sinilah polemik dan dialog itu

bermula, yang mana ingin mendudukkan secara benar dan objektif terkait tudingan MMI kepada Kementerian

Agama. Puslitbang Kehidupan Kegamaan, Editor: Zainal Abidin, Kajian Masalah-Masalah Aktual Terjemah Al-

Quran Departemen Agama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2011), h. ii – iii.

Page 265: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

247

terjemahan Al-Qur‘an tersebut. Kini koreksiannya telah dibukukan dan disuguhkan

terjemahan tafsiriyah sebagai alternatifnya.303

Umat Islam harus diselamatkan dari kesalahan memahami serta mengamalkan

ajaran Al-Qur‘an. Kitâbullah yang ada di tangan pembaca sekarang ini adalah Al-Qur‘an al-

Karim Tarjamah Tafsiriyah, sebuah karya monumental Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz

Muhammad Thalib. Bersama Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah ini, diterbitkan pula

buku berjudul Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Sejak semula, terbitnya

Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah karya Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz

Muhammad Thalib, ini dimotivasi dan dikuatkan oleh tiga alasan. Pertama, untuk

menegaskan tidak bolehnya menerjemahkan Al-Qur‘an secara literal (harfiyah). Parameter

kritik dan pijakan argumentasi MMI mengacu pada fatwa sejumlah organisasi ulama ternama

dunia, maupun secara individual yang popular di kalangan umat Islam yang mengharamkan

terjemahan al-Qur‘an secara lafziyah/harfiyah. Di antara fatwa tersebut adalah Fatwa Ulama

al-Jâmi‟ah al-Azhar Kairo Mesir pada tahun 1936 yang telah diperbarui pada tahun 1960

serta argumentasi Dewan Fatwa Kerajaan Arab Saudi No. 63947 tanggal 19 Jumadil Ula

tahun 1426 H/26 Juni 2005 M. Fatwa senada lainnya yang dijadikan dasar pegangan adalah

Dewan Ulama Universitas Rabat di Maroko, lalu Jâmi‟ah (Universitas) Yordania, Jami‘ah

Palestina, Syaikh Muhammad Husein al-Dzahabī dan Syaikh Alī al-Shâbûni. Keseluruhan

mereka telah sepakat bahwa terjemahan Al-Qur‘an yang dibenarkan adalah tarjamah

tafsiriyah, sedangkan tarjamah harfiyah terlarang atau tidak sah.304

Kedua, mengoreksi kesalahan Al-Qur‘an dan Terjemahnya versi Kementerian

Agama RI, yang ternyata mengandung banyak sekali kesalahan terjemah. Selain itu, sebagai

303

Herry Mohammad, Alih Bahasa Mengungkap Makna (Yogyakarta: Penerbit Ma‘had An-Nabawy

Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 1029. 304

Muhammad Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah al-Qur‟an Kemenag RI: Tinjauan Aqīdah,

Syarī‟ah, Mu‟âmalah, Iqtishâdiyah (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah dan Pusat Studi Islam al-Nabawi,

2013), h. 9.

Page 266: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

248

bantahan terhadap wacana keliru yang menyatakan bahwa Al-Qur‘an mengandung unsur-

unsur kekerasan dan kebencian terhadap non muslim. Bahkan, revisi Al-Qur‘an dan

terjemahnya yang diterbitkan Kemenag dipandang sebagai upaya deradikalisasi Al-Qur‘an

secara sistematis. Berdasarkan telaah syar‟iyyah yang dilakukan oleh MMI, dibuktikan

bahwa secara prinsipil maupun substansial, bukan teks ayat Al-Qur‘an yang memicu

radikalisme agama, melainkan terjemah Al-Qur‘an yang dilakukan oleh Kemenag yang telah

bermasalah, sehingga dipandang perlu untuk mengoreksinya. Karya inilah yang pertama dan

satu-satunya di Indonesia, revolusi pemahaman makna Al-Qur‘an yang dimaksudkan untuk

mengoreksi Al-Qur‘an dan Terjemahnya yang diterbitkan Departemen Agama RI. Dalam

pandangan M. Thalib, terjemahan yang dibuat oleh Kemenag dan beredar luas di masyarakat

itu tidak pernah tegas dalam menerjemahkan makna ayat-ayat Al-Qur‘an. Ketidakjelasan itu

akan mengakibatkan pemahaman pembacanya juga ngambang. Selain itu dapat mengundang

orang untuk memberi tafsir secara bebas tanpa pedoman keilmuan. Karena itu M. Thalib

mengusulkan agar Kemenag menarik terjemahan yang ada dan merombak secara total. Ini

syarat yang mesti dilakukan karena kesalahan-kesalahannya cukup fatal.

Ketiga, meluruskan persepsi keliru terhadap misi Al-Qur‘an yang disebabkan

adanya salah terjemah ayat-ayat Al-Qur‘an, demi menjaga otentisitas makna dan kehormatan

Al-Qur‘an, agar tidak ternodai oleh penyimpangan tangan-tangan manusia, sebagaimana

yang terjadi pada kitab suci agama lain. Dengan dua alasan tersebut, diharapkan tarjamah

tafsiriyah ini bisa membantu siapapun untuk dapat memahami makna Al-Qur‘an lebih mudah

dan cepat, terutama bagi mereka yang tidak paham bahasa Arab. Selain itu, untuk membuka

tabir penyesatan yang dilakukan oleh para misionaris serta orientalis, yang dengan sengaja

menerjemahkan Al-Qur‘an dengan menyisipkan ideologi dan ajaran yang melenceng dari

syariat Islam. Penelaahan selama bertahun-tahun terhadap Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang

diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia sejak 1965, kemudian mengalami revisi

Page 267: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

249

secara bertahap mulai 1989, 1998, 2002, hingga 2010, telah menyentak kesadaran iman kita.

Betapa selama ini ajaran kitab suci Al-Qur‘an ternodai akibat adanya salah terjemah yang

jumlahnya sangat banyak. Buku berjudul “Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag

RI,” ini membuktikan adanya kesalahan tersebut. Dalam buku ini hanya memuat sebagian

kecil dari 3.229 ayat jumlah kesalahan terjemah yang terdapat dalam tarjamah harfiyah Al-

Qur‟an Kemenag. Sementara kesalahan pada edisi revisi tahun 2010 bertambah menjadi

3.400 ayat. Kesalahan-kesalahan ini secara rinci dijelaskan contoh-contohnya, yang

mencakup berbagai bidang, yaitu akidah, syari‟ah, sosial dan ekonomi. Ditinjau dari sisi

akidah, tarjamah harfiyah Al-Qur‟an Kemenag ini menyalahi akidah Islam yang benar;

sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur‘an dan

hadis sahih. Sedangkan di bidang syari‘ah, tarjamah harfiyah Al-Qur‟an Kemenag menyalahi

hukum yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.

Misalnya, membaca tarjamah harfiyah Al-Qur‟an QS. al-Nisâ ayat 20 tentang perceraian.

Lalu surat al-Nûr ayat 20 versi Kemenag, seolah-olah Al-Qur‘an menganjurkan tukar

menukar istri. Begitupun terjemah Al-Qur‟an surat al-Ahzâb ayat 51, malah menyatakan

tidak berdosa menggauli perempuan yang sudah dicerai. Kira-kira terjemahan seperti ini

bagaimana kalau diimplementasikan dalam bentuk tindakan? Apakah maksud ayat tersebut

memang demikian? Terjemah ini bisa disalahpahami sebagai pembenaran terhadap

perselingkuhan antara mantan istri dengan mantan suami sekalipun mantan istri telah menjadi

istri orang lain.305

Adapun di bidang sosial, tarjamah harfiyah Al-Qur‟an Surat Al-Ahzâb ayat 61

menyatakan bahwa orang-orang munafik ataupun kafir dilaknat oleh Allah SWT. Mereka

boleh ditawan dan dibunuh tanpa ampun. Kalimat “tanpa ampun” memberikan gambaran

305

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfiziyyah MMI,

pada 31 Maret 2016, pukul 11.35 s.d selesai via telepon dan WA juga.

Page 268: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

250

buruk tentang perilaku sosial umat Islam terhadap golongan lain. Hal ini, mustahil menjadi

bagian dari ajaran sosial Islam, yang memerintahkan umat Islam supaya memperlakukan

golongan lain dengan baik selama mereka tidak memerangi Islam. Sedangkan di bidang

ekonomi, ayat-ayat yang menjelaskan bahaya riba diterjemahkan secara mengambang.

Sehingga terkesan bahwa riba tidak membahayakan kehidupan ekonomi masyarakat.306

Kembali pada persoalan deradikalisasi, secara terminologis, secara sederhana deradikalisasi

pemahaman teks keagamaan berarti upaya menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap

teks-teks keagamaan, dalam kasus ini ayat-ayat Al-Qur‘an dan juga nanti disinggung

hadisnya, khususnya ayat atau hadis yang berbicara konsep jihâd/terorisme dan perang

melawan orang kafir. Dengan demikian, deradikalisasi bukan dimaksudkan sebagai upaya

untuk menyampaikan pemahaman baru tentang Islam dan bukan pula pendangkalan akidah,

melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman agama yang

luhur ini, sehingga Barat tidak negatif lagi memandang Islam. Dalam pemahaman ayat Al-

Qur‘an itu perlu penilaian objektif, memahami konteks dan kronologi pewahyuan baik

situasi, tempat dan perilaku atau asbâb al-nuzûl-nya, harus memahami petunjuk kata Al-

Qur‘an (dilâlah al-lafadz) seperti melacak arti linguistiknya, haqiqī atau majâzī, lalu

mengerti rahasia ungkapan konteks nash Al-Qur‘an yang telah dikonfirmasi dengan pendapat

para mufassir terdahulu untuk diuji atau direkonstruksi disesuaikan dengan nash ayat Al-

Qur‘an. Terakhir, seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan berbau isrâiliyyât harus

disingkirkan.307

306

Menurut Ustadz Drs. Muhammad Thalib, selain demi menjaga otentisitas ajaran Al-Qur‘an dan

menjaga kehormatan kitab suci yang merupakan petunjuk ilahi, yang menjadi pedoman bagi seluruh manusia,

baik yang berbahasa Arab maupun non Arab, maka dari Tim MMI tidak hanya sebatas koreksi terhadap

Terjemah versi Kemenag, tetapi juga menerbitkan Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur‟an lengkap 30 juz, sebagai

tanggung jawab mereka meluruskan tarjamah harfiyah yang salah dari Al-Qur‟an dan Terjemahnya milik

Kemenag. Lihat Pengantar Korektor Al-Ustadz Muhammad Thalib dalam Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-

Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah, 2013), h. 829-830. 307

Narasuddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media

Komputindo Grup Gramedia, 2014), h. 22-23.

Page 269: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

251

Dalam bahasan lain, bahkan Mahmud Yunus mengatakan kita tidak boleh

menafsirkan Al-Qur‘an dengan isrâiliyyât (yang berasal dari Yahudi) seperti Ka‘bul Ahbar,

Ibnu Munabbih, dan lai-lain dengan merujuk hadis Bukhari, ―Janganlah kamu benarkan ahli

kitab dan jangan pula kamu dustakan.‖ Maka menjadikan isrâiliyyât sebagai tafsir Al-Qur‘an

berarti membenarkan perkataan mereka, padahal Nabi melarang membenarkan mereka itu.

Oleh sebab itu, haruslah tafsir Al-Qur‘an dibersihkan dari isrâiliyyât. Apalagi sebagian

isrâiliyyât itu tidak diterima oleh akal orang-orang terpelajar masa sekarang, seperti guruh,

petir ditafsirkan dengan suara malaikat, dan kilat ditafsirkan dengan cemeti malaikat untuk

menghalau awan dan sebagainya. Hal ini menyebabkan orang mengeritik Al-Qur‘an, padahal

sebenarnya bukan Al-Qur‘an, melainkan isrâiliyyât yang dijadikan tafsir Al-Qur‘an.308

Selain itu, deradikalisasi pemahaman nash Al-Qur‘an atau hadis melalui

pendekatan historis, sosiologis, dan antroplogis juga penting dilakukan. Sebab, perlu dicatat,

tidak semua nash mempunyai asbâb al-nuzûl-nya atau asbâb al-wurûd-nya secara khusus,

tegas, dan jelas. Sebagai alternatifnya, dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis,

dan antroplogis untuk menginterpretasikan kembali maksud nash; Al-Qur‘an dan hadis. Hal

itu berangkat dari satu asumsi ketika Allah SWT berfiman atau Nabi Muhammad SAW

bersabda pasti tidak terlepas dari situasi kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu itu.

Bagaimana pun sebuah gagasan atau ide termasuk dalam hal ini wahyu Al-Qur‘an maupun

sabda Nabi SAW selalu terikat dengan problem historis-kultural waktu itu. Dengan

pendekatan historis, sosiologis, dan antroplogis semacam itu, diharapkan akan mampu

menghindari radikalisasi pemahaman nash Al-Qur‘an dan hadis, serta relatif lebih tepat dan

akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Yang dimaksud dengan

pendekatan historis dalam hal ini suatu upaya memahami nash dengan cara

mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat firman Allah atau hadis itu

308

Mahmud Yunus, Tafsīr Qur‟an Karīm (Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah Legoso, 2015), h. v.

Page 270: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

252

disampaikan Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, pendekatan historis merupakan

pendekatan yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat

dalam nash/teks dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis-kultural ketika itu.

Adapun pendekatan sosiologi menyoroti sudut posisi manusia yang membawanya kepada

perilaku itu. Sedangkan pendekatan antroplogi lebih memperhatikan terbentuknya pola-pola

perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat.309

Penerjemahan

tafsiriyah tampaknya sangat handal, karena diasumsikan memenuhi seluruh komponen teori

penerjemahan Al-Qur‘an dan akan menghasilkan kategori terjemahan yang maknanya benar

dan bahasa ,(موثوقة) dalam misinya amanah ,(مكافئة) maksud dan kosakatanya sepadan ,(حقة)

Indonesianya fasih (مستقلة).310

Namun begitu, apa yang ditulis M. Thalib dengan lahirnya Al-Qur‘an Terjemah

Tafsiriyah sejatinya tidak tepat dikatakan sebagai sebuah deradikalisasi

penafsiran/penerjemahan yang ada sebelumnya yakni terjemah Al-Qur‘an Kemenag. Toh,

pada kenyataannya hasil terjemahan mereka (MMI) masih banyak terdapat kesalahan dan

layak diberi catatan-catatan. Dalam proses penerjemahannya, MMI agak cenderung ekstrim,

inkonsistensi dalam penafsiran ulama yang menjadi kiblat penafsirannya, lalu mengarahkan

target pembaca untuk mendorong perjuangan mereka dalam penegakan syariat Islam di

Indonesia, dan ini terbilang wajar karena mereka tergolong kelompok fundamentalisme Islam

politis seperti yang telah diulas pada bab III di atas. Bila dikatakan terjemah tafsiriyah ini

lebih valid dan paling benar dari seluruh bentuk terjemah Al-Qur‘an di Indonesia juga

menjadi masalah baru, sebab sangat tidak mungkin penerjemahan atau penafsiran manusia

309

Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media

Komputindo Gramedia, 2014), h. 53-54. 310

M. Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu

Shuffah, 2013), h. 831.

Page 271: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

253

bisa menangkap pesan firman ilahi atau memahami hakikat gagasan Tuhan yang tertuang di

dalam Al-Qur‘an tersebut secara maksimal. Bagaimana hasil terjemahan MMI dengan

Kemenag dapat ditelusuri di bawah ini.

D. Kategorisasi dan Identifikasi Ayat-Ayat Jihâd

Tema jihâd agaknya tak pernah kering untuk didiskusikan. Lebih-lebih jika

dihubungkan dengan pergumulan cara pandang di kalangan Muslim maupun di luar Muslim

dalam memahami substansi ajaran Islam. Kata jihâd seolah dipahami ―angker‖, sarat dengan

pemahaman yang serba fisik, kekerasan, dan sikap-sikap insinuatif. Akan tetapi, istilah jihâd

ini pula—yang akhir-akhir ini ―melambungkan‖ nama Islam di pentas internasional—walau

lebih banyak sisi peyoratifnya dibandingkan dengan sisi positifnya. Lagi-lagi, hal ini muncul

karena kerancuan sebuah tafsir, misalnya, yang hanya mempersempit makna jihâd dari aspek

literalnya dengan fokus pada realitas kekerasan atau hanya dalam arti perang, seperti yang

tampak dilakukan oleh kaum Muslim di berbagai belahan dunia, dan dimengerti kalangan

Barat. Untuk itulah pemahaman seperti ini perlu dikoreksi.311

Dalam dunia akademik,

polemik dalam topik jihâd tak kalah seru. Kajian jihâd mendapatkan tempat yang sangat

menarik untuk diperbincangkan. Pola pembacaan dan analisis terhadap tema Islam, jihâd,

terorisme, kekerasan, dan perang suci sangat beragam. Nada dan spirit kajian mereka juga

sangat beraneka, dari yang sangat skeptis dan mendiskreditkan Islam, sampai yang moderat

dan netral, hingga membela Islam dan jihâd sekaligus. Lalu, bagaimana peta pemikiran

mereka? Juga, bagaimana kaitan antara jihâd dan perdamaian di kalangan mereka.312

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa dalam Al-Qur‘an,

ayat-ayat seputar jihâd dengan semua bentuk derivasinya (musytaq-nya/kata turunan)

311

Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan

Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 104. 312

Imam Taufiq, Al-Qur‟an bukan Kitab Teror, Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur‟an

(Yogyakarta: Bentang Mizan, 2016), h. 13.

Page 272: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

254

terdapat kurang lebih 41 kali. 9 surat diturunkan di Mekah yang dikenal sebagai ayat

makkiyyah, dan 32 surat diturunkan di Madinah, yang kemudian populer dengan sebutan ayat

madaniyyah.313

Dengan demikian, ayat-ayat jihâd lebih banyak turun di Madinah daripada di

Mekah, yaitu empat per lima (4/5) dari ayat-ayat bernada jihâd adalah masuk dalam kategori

ayat madaniyyah. Berdasarkan fakta ini, sejatinya jihâd telah dimulai Rasulullah sejak beliau

diangkat menjadi Rasul, yakni saat masih di Mekah umat Islam sudah diperintahkan ber-

jihâd sebelum ada perintah melakukan perang (qitâl). Tentu saja, bentuk jihâd-nya tidak

memberikan perlawanan fisik terhadap mereka yang tidak menyenangi Islam dan kaum

muslimin. Hal itu mungkin disebabkan karena saat itu kaum muslimin masih lemah, belum

sanggup menentang kekuasaan kaum kafir Quraisy yang ada di Mekah.314

Untuk di Madinah, format jihâd lebih dari sekadar jihâd bersenjata (armed jihâd)

yang mempunyai implikasi signifikan terhadap kehidupan umat Islam, baik secara individual

maupun masyarakat. Pada periode madaniyah, jihâd sudah dalam pengertian berperang demi

mempertahankan diri atas penganiyaan atau serangan orang-orang kafir. Dengan demikian,

dapat ditarik sebuah benang merah bahwa jihâd mempunyai dua makna. Makna awalnya

bersifat religius, yaitu etika individu. Adapun arti turunannya adalah perang terhadap

nonmuslim yang sering melawan kaum Muslimin. Namun, patut dicatat bahwa peperangan

yang dilakukan Nabi SAW dan pengikutnya lebih dikarenakan sebagai reaksi atas agresi atau

penyerangan yang dilakukan oleh kaum musyrikin. Dengan begitu, perang yang terjadi di

zaman Nabi SAW adalah untuk mempertahankan diri. Bahkan, perang fisik terjadi adalah

karena sebuah keterpaksaan, yaitu sebagai akibat adanya serangan bertubi-tubi orang musyrik

Mekkah dan Yahudi Madinah. Patut ditekankan juga bahwa jihâd dalam konteks ayat

313

Penjelasan lebih lanjut ciri-ciri ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, dalam Mannâ‘ Khalīl al-Qattân,

Mabâhits fī „Ulûm al-Qur‟an, edisi terjemahan bahasa Indonesia “Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an,” Penerjemah:

Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), h. 71-72 dan h. 81-82. 314

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1978), h. 92.

Page 273: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

255

madaniyah ini selain berarti ―perang‖, juga dapat bermakna ―memberi bantuan kepada orang

yang sangat membutuhkan‖, seperti disebutkan dalam QS. al-Hujurât [49] : 15.315

Apabila kita telusuri lebih dalam, ayat-ayat spesifik jihâd ini hanya berkisar 38 ayat,

karena ada 3 ayat yang diulang/mirip, hanya pengulangan saja, disebabkan bentuk

derivasinya yang sama; yakni 2 ayat pada ayat makkiyyah yaitu QS. al-‗Ankabût [29] : 6 dan

QS. al-Furqân [25] : 52; dan 1 lagi ayat madaniyyah yaitu QS. al-Nisâ [4] : 95.316

a) Berikut ini detail ayat-ayat jihâd tergolong Makkiyah, yaitu:

(1) QS. al-‗Ankabût [29] : 6

بف ا ذ ج ف ذه ٠هج ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤

―Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya

sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh

alam.‖317

(2) QS. al-‗Ankabût [29] : 8

ط١ ٱ ب غ ل ٠ ث غ ذ ئ ب حه ان ج ب ث شن زهش ذ ه ظ ١ ۦث ب رهطع ف ل ع ه

ش ئ ىه جعه ه جئهىه ب ف أ ث زه ر ع وه ه ٥

―Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua

orangnya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan

sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau

patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan Aku akan beritakan

kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.‖318

(3) QS. al-‗Ankabût [29] : 69

ٱ ف١ ب ذها ج ز٠ ه ب ذ٠ جه عه ئ ع لل ٱ ح ٱ ه ٤٦ غ١

―Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan

tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-

orang yang berbuat baik.‖319

315

Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media

Komputindo Gramedia, 2014), h. 109. 316

Muhammad Fuâd Abd al-Bâqī, al-Mu‟jam al-Mufahras lī Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah

al-Mushaf al-Syarīf (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2007), h. 224-225. 317

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559. 318

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559-560. 319

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 569.

Page 274: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

256

(4) QS. al-Nahl [16] : 110

ثه ثه ئ س ا ز٠ شه بج ب ذ ث ع ا ذها ج ثه فهزه ج شه ط ا ثه ئ س ذ بث ع

س فه غ ٠٠٦ سح١

―Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah

menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu

sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‖

(5) QS. al-Furqân [25] : 52 (Diulang sebanyak dua kali)

ى ٱ رهطع ف ل ج فش٠ هذ ج١ش اج بد ۦث ٤٣ او

―Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka

dengannya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar.‖320

(6) QS. Luqmân [31] : 15

ئ ان ج ذ ب ث شن رهش أ ع ه ظ ١ ۦث ب رهطع ف ل ع بحج ه ط ب ٱ ف ه ١ بذ

ع ف رجع ٱ ب شه ج١ ع أ بة ئ ثه ش ئ ىه جعه ه جئهىه ب ف أ ث زه ر ع وه ه ٠٤

―Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang

engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati

keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang

yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka

akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.‖321

(7) QS. al-Nahl [16] : 38

أ ل ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ثه ٠ ج ل لله ٱ ع هده ٠ ع ث ١ ذا م ع بح

بط ٱ ث ش أ و ى

٠ ع ل ه ٦٥

―Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpahnya yang sungguh-

sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". Tidak demikian,

bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah,

akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‖322

(8) QS. al-‗Ankabût [29] : 6. Ayat ini sama dengan di atas, pengulangan saja.

ب ذ ج ف ذه ٠هج ف ا ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤

320

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 509. 321

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 582. 322

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 369.

Page 275: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

257

―Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri.

Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖323

b) Berikut ini ayat-ayat jihâd tergolong Madaniyyah dan segenap derivasinya, yaitu:

(1) QS. al-Baqarah [2] : 218

ٱ ئ ا ز٠ ه ا ٱ ء ا ز٠ شه ج بج ف ذها ج١ لل ٱ ع ٠ ش ئه أه ح جه ذ س لله ٱ لل ٱ

س فه غ ٣٠٥ سح١

―Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan

berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha

Pengampun, Maha Penyayang.‖324

(2) QS. Ali Imrân [3] : 142

غج أ ح ا ر ذ أ زه ه خ ٱ خه ب ج ٠ ع ٱ لله ٱ ذها ج ز٠ ىه ٠ ع ظ ٱ ٠٥٣ جش٠

―Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi

Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang

sabar.‖325

(3) QS. al-Nisâ [4] : 95 (diulang tiga kali dalam al-Mu‟jam al-Mufahras)

٠ غ ل م ٱ ز عذه إ ٱ ه ١ ١ شه غ س ٱ أه ج ٱ ؼش ه ف ذه ج١ لل ٱ ع ثأ

فهغ أ ج ٱ لله ٱ ف ؼ ه ذ٠ ثأ فهغ أ م ٱ ع عذ٠خ ج س وهل د ذ ع غ ٱ لله ٱ حه

ف ؼ ج ٱ لله ٱ ه ذ٠ م ٱ ع شاأ ج عذ٠ ظ١ ٦٤ بع

―Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang) tanpa

mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta

dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya

atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-

masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-

orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.‖326

(4) QS. al-Mâidah [5] : 35

ٱ أ ٠ ب٠ ا ز٠ ه ا ا ٱ ء ث ٱ لل ٱ رمه ع١ خ ٱ ئ ١ ا ز غه ج ف ذها ج١ ۦع ع رهف ىه ٦٤ حه

―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang

mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu

mendapat keberuntungan.‖

323

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559. 324

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 43. 325

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 85. 326

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 122-123.

Page 276: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

258

(5) QS. al-Mâidah [5] : 54

ٱ أ ٠ ب٠ ه ز٠ ا ا ء ر ذ ٠ ش ىه ع ۦد٠ لله ٱ ر٠ أ ف ف غ ثم ه ٠هحجه ٠هحج أ رخ ۥ

إ ٱ ع ه ١ أ عضح ى ٱ ع ٠هج فش٠ ف ذه ج١ ل لل ٱ ع بفه ٠ خ خ ل ئ لل ٱ ه ف ؼ ه ر

٠هإ ر١ ب عع لله ٱ ءه ٠ ش ١ ٤٥ ع

―Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad

(keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia

mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut

terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir,

yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka

mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa Dia kehendaki. Dan Allah

Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.‖327

(6) QS. al-Anfâl [8] : 72

ٱ ئ ا ز٠ ه ا ا ء شه بج ج ذها ثأ فه أ ف غ ج١ ٱ لل ٱ ع ا ز٠ ا ء

شه ظ ا ث ع ئه أه ه ؼه ٱ غ ث ع ءه ١ ب أ ا ز٠ ه ا ء ا ب ٠ه بجشه ىه ١ ز ء ش

ز ح ا ٠ه بجشه ئ ع ٱ وه شه ظ ٱ ف ز ٠ ١ ذ ه ف ع ئل شه ظ ٱ ىه ع ث ١ ل ث ١ ىه ه ١ث لله ٱ ك

ب ر ع ث ه ٤٣ ث ظ١ش

―Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta

dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman

dan memberi pertoIongan (kepada muhajirin), mereka itu satu sama lain saling

melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka

tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka

berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan

pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap

kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha

Melihat apa yang kamu kerjakan.‖328

(7) QS. al-Anfâl [8] : 74

ٱ ا ز٠ ه ا ا ء شه بج ج ف ذها ج١ ٱ لل ٱ ع ا ز٠ ا ء شه ا ظ ه ئه أه ه

إ ٱ ه ه م غ ه ب ح ح سص فش ق ش٠ ٤٥ و

―Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan

orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada

orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka

memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.‖329

327

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 155-156. 328

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 251-252. 329

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 252.

Page 277: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

259

(8) QS. al-Anfâl [8] : 75

ٱ ه ز٠ ا ا ء ا ذه ث ع شه بج ج ذها ىه ع ئه ف أه ىه ا ه أه س ل ٱ ب ث ع ح ه ؼه

أ لل ٱ ت وز ف غ ثج ع لل ٱ ئ ثىه ه ء ش ١ ٤٤ ع

―Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah serta berjihad

bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai

hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang

bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala

sesuatu.‖330

(9) QS. al-Taubah [9] : 16

غج أ ح وها رهز أ زه ب ش ٠ ع ٱ لله ٱ ذها ج ز٠ ىه ٠ زخزها ل لل ٱ ده

عه ل ۦس إ ٱ ه ١ خ ١ج ج١شه لله ٱ ب خ ر ع ث ه ٠٤

―Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, padahal Allah belum

mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman

yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Maha teliti

terhadap apa yang kamu kerjakan.‖331

(10) QS. al-Taubah [9] : 19

۞ ع أ ج ب ٱ عم ب٠ خ زه ج ح ع ح غ ٱ بس ٱ جذ ا ش ح و ا ٱ لل ٱث ء ج خش ل ٱ ١ ذ

ف ج١ ه ٠ غ ل لل ٱ ع ل لله ٱ لل ٱ عذ ۥز ٱ ذ٠ ٱ م ظ ١ ٠٦

―Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang

mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang yang

beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak

sama di sisi Allah. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim.‖332

(11) QS. al-Taubah [9] : 20

ٱ ا ز٠ ه ا ا ء شه بج ج ف ذها ج١ لل ٱ ع ثأ فهغ أ ه أ ع خ ظ ج س لل ٱ عذ د

أه ه ئه ف ب ٱ ه ٣٦ ئضه

―Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta

dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-

orang yang memperoleh kemenangan.‖333

330

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 252. 331

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 256. 332

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 256. 333

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 256.

Page 278: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

260

(12) QS. al-Taubah [9] : 24

له ئ ب اث ب و ء وه أ ث ؤه ب وه ئخ ؤه أ ص هىه ىه جه رهىه ش١ش ع أ ف ل ٱ ي بز ش ه زه

رج ح ب ش ر خ ش بد غ غ و ه ر ش ى ت ب ػ ئ ١ أ ح ىه لل ٱ عه س ج بد ۦ ف ج١ ۦع

ا ثظه ف ز ش ز ٠ أ ح لله ٱ ر ل لله ٱ ۦ ش ثأ ٱ ذ٠ ٱ م ف ٣٥ غم١

―Katakanlah: "jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-

isterimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu

khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih

kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka

tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi

petunjuk kepada orang-orang fasik.‖334

(13) QS. al-Taubah [9] : 41

ثم بل بخف بف ا فشه ٱ ج ذها ثأ ىه فهغىه أ ف ج١ لل ٱ ع ر ١ ىه ش خ ئ ىه زه وه

ر ع ه ٥٠

―Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun rasa berat, dan berjihadlah

kamu dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik

bagimu, jika kamu mengetahui.‖335

(14) QS. al-Taubah [9] : 44

ذ ٠ غ ل ٱ رهه ٠هإ ز٠ ه ٱ لل ٱث ذها ٠هج أ خش ل ٱ ١ ثأ فهغ أ لله ٱ

ه ١ ٱث ع زم١ ٥٥ ه

―Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta

izin (tidak ikut) kepadamu untuk berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah

mengetahui orang-orang yang bertakwa.‖336

(15) QS. al-Taubah [9] : 73

ٱ أ ٠ ب٠ فبس ٱ ذ ج ج ٱ ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ أ ع ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٤٦

―Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik,

dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam.

Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.‖337

334

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 257. 335

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 261. 336

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 261. 337

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 267.

Page 279: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

261

(16) QS. al-Taubah [9] : 81

ٱ ف شح فه خ م ه ث ذ عهي خ ع لل ٱ س شه و ذها ٠هج أ ا ثأ فهغ أ ف

ج١ ا لل ٱ ع ل به ا ل فشه ش ٱ ف ر ح بسه له ذ ج ش أ ش ا ح ا به ٠ ف و ه ٥٠ م

―Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang), merasa gembira dengan duduk-

duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan

jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, "Janganlah kamu berangkat (pergi

berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah (Muhammad): "Api neraka Jahannam

lebih panas, " jika mereka mengetahui.338

(17) QS. al-Taubah [9] : 86

ا ئر ض ذ ح أه عهس ا أ ه ا ج لل ٱث ء ع ذها عه ذ ع ٱ س ه ا ر ه ٱ أه ي ط ه

ا ل به س ع ىه بر م ٱ ٥٤ عذ٠

―Dan apabila diturunkan suatu surah (yang memerintahkan kepada orang-orang

munafik), "Berimanlah kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya," niscaya

orang-orang yang kaya dan berpengaruh di antara mereka meminta izin kepadamu

(untuk tidak berjihad) dan mereka berkata, "Biarkanlah kami berada bersama orang-

orang yang duduk (tinggal di rumah)."339

(18) QS. al-Taubah [9] : 88

ٱ شعهيه ٱ ى ا ز٠ ه ا ه ء ع ذها ج ۥ ثأ فهغ أ أه ه ئه ه ١ ٱ ش خ

ده أه ئه

ه ف ٱ ه ه ٥٥ حه

―Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, (mereka) berjihad dengan

harta dan jiwa mereka. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-orang

yang beruntung.‖340

(19) QS. al-Hajj [22] : 78

ج ك لل ٱ ف ا ذه ۦ ج بد ح ز ج ى ج ٱ ه ب ىه ع ١ ج ع ٱ ف ىه ٠ ذ ج ش خ ح أ ث١ىه

ش ئث ١ ى ه ه ع غ ٱ ىه ه ١ ف ه ل ج ا ز ١ذا شعهيه ٱ ١ ىه ١ ش ع ا ىه ر ىهه ا ذ ء شه

ا بط ٱ ع ه ٱ ف أ ل١ ا ح ظ اره ء ٱ ا ع ٱ ح ضو ه لل ٱث ز ظ ه ى ع ىه ٱ ف ع

٤٥ ظ١شه ٱ

338

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 268. 339

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 269. 340

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 269-270.

Page 280: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

262

―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah

memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.

(Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu

orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur‘an) ini, agar

Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi

saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat, dan

berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik Pelindung

dan sebaik-baik Penolong.‖341

(20) QS. Muhammad [47] : 31

ج ىه ه ز ع ح ٱ ج ه ذ٠ ىه ظ ٱ ج جش٠ ا أ خ ه وه ٦٠ ج بس

―Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui

orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami

uji perihal kamu.‖342

(21) QS. al-Hujurât [49] : 15

ب إ ٱ ئ ه ه ٱ ا ز٠ ه ا لل ٱث ء عه س ۦ ثه ا ٠ ش ج ر بثه ذها ثأ فهغ أ ف

ج١ لل ٱ ع ه ئه أه ظ ٱ ه ٠٤ ذله

―Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman

kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad

dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang

benar.‖343

(22) QS. al-Mumtahanah [60] : 1

ٱ أ ٠ ب٠ ا ز٠ ه ا ر زخزها ل ء ذه ع وه ذه ع ء ١ ب أ ره ٱث ئ ١ مهدح ل ذ ا ف شه ب و ث

ب وهج ء ك ٱ ٠هخ ح شعهي ٱ شجه ئ٠بوه ا رهإ أ ه لل ٱث ثىه ئ س زه ج وه ش خ ف اذ ج زه

ج١ ب ث ٱ ع ش ء زغ بر ػ ٱث ئ ١ رهغشدح أ ب ه أ ع ب ف ١ أ خ ث ب زه أ ع زه ٠ ف ه ع ىه

ف م ذ ا ػ ٱ ء ع ٠ غج١

―Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan

musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka

(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar

kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu

sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar

untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat

demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada

341

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 474. 342

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 735 343

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 745-746.

Page 281: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

263

mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu

sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang

melakukannya, maka sungguh dia telah tersesat dari jalan yang lurus.‖344

(23) QS. al-Shâf [61] : 11

ه رهإ لل ٱث عه س رهج ۦ ف ذه ج١ لل ٱ ع ثأ ىه فهغىه أ ر ١ ىه ش خ ئ ىه زه وه

ر ع ه ٠٠

―(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah

dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.‖345

(24) QS. al-Tahrīm [66] : 9

ٱ أ ٠ ب٠ ف ٱ ذ ج ج ٱ بس ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ ع أ ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٦

―Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap

keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itulah

seburuk-buruk tempat kembali.‖346

(25) QS. al-An‘âm [6] : 109

أ ل ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ب ئ ر ج ء ا٠ خ ه ١هإ ء ه ب له ث ب ب لل ٱ عذ ذه ٠ ل ٱ ئ

٠هش وه ب عشه ا أ ب ئر د ج ٠هإ ل ء ه ٠٦٦

―Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa jika

datang suatu mukjizat kepada mereka, pastilah mereka akan beriman kepada-Nya.

Katakanlah, "Mukjizat-mukjizat itu hanya ada pada di sisi Allah". Dan tahukah

kamu, bahwa apabila mukjizat (ayat-ayat) datang, mereka tidak juga akan

beriman.‖347

(26) QS. al-Nûr [24] : 53

أ ل ۞ ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ش ئ أ ه ١ خ ر جه رهم ل له شها ه خ غ ع ؽ بع

ف خ شه لل ٱ ئ

ج١شه ب خ ر ع ث ه ٤٦

―Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah sungguh-sungguh,

bahwa jika engkau suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah

(Muhammad), "Janganlah kamu bersumpah, (karena yang diminta) adalah ketaatan

yang baik. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.‖348

344

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 801. 345

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 806. 346

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 820. 347

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 191. 348

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 498.

Page 282: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

264

(27) QS. Fâthir [35] : 42

أ ل ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ب ئ ج ه ز٠ش ء ١ ىهه أ ذ ه ٱ ذ ئح ل ب ب ف ج ه ء

ب ز٠ش ه اد سا ئل ص ٥٣ هفه

―Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh bahwa jika

datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih

mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). Tetapi ketika pemberi

peringatan datang kepada mereka, tidak menambah (apa-apa) kepada mereka, bahkan

semakin jauh mereka dari (kebenaran).‖349

(28) QS. al-Taubah [9] : 79

ٱ ز٠ ٠ ضه ٱ ع١ ط ه إ ٱ ه ١ ل ٱ ف ٱ ذ ظذ ل ز٠ ئل ٠ جذه جه ه ذ

ف ١ غ شه خ خش ه لله ٱ ع ه ه اة ز ع ١ ٤٦ أ

―(Orang-orang munafik itu) yaitu mereka yang suka mencela orang-orang beriman

yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang

tidak memperoleh (untuk disedekahkan) sekedar kesanggupannya, maka orang-orang

munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan

mereka akan mendapat azab yang pedih.‖350

(29) QS. al-Mâidah [5] : 53

يه ٠ مه ٱ ز٠ ه ا ل أ ا ء ٱ ء إه ا أ ل ز٠ ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ئه ىه ع جط ذ أ ع ح ه ه

ا ف أ ط خ ج حه ٤٦ غش٠

―Dan orang-orang yang beriman akan berkata, "Inikah orang yang bersumpah secara

sungguh-sungguh dengan (nama) Allah, bahwa mereka benar-benar beserta kamu?"

Segala amal mereka menjadi sia-sia, sehingga mereka menjadi orang yang rugi.‖351

(30) QS. al-Hajj [22] : 78

ج ك لل ٱ ف ذها ۦ ج بد ح ز ج ى ج ٱ ه ب ىه ع ١ ج ع ٱ ف ىه ٠ ذ ج ش خ ح أ ث١ىه

ش ئث ١ ى ه ه ع غ ٱ ىه ه ١ ف ه ل ج ا ز ١ذا شعهيه ٱ ١ ىه ١ ش ع ا ىه ر ىهه ا ذ ء شه

ا بط ٱ ع ه ٱ ف أ ل١ ا ح ظ اره ء ٱ ا ع ٱ ح ضو ه لل ٱث ز ظ ه ى ع ىه ٱ ف ع

٤٥ ظ١شه ٱ

349

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 623. 350

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 268. 351

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 155.

Page 283: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

265

―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah

memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.

(Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu

orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur‘an) ini, agar

Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi

saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat, dan

berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik Pelindung

dan sebaik-baik Penolong.‖352

E. Studi Kasus Teks Terjemahan bernada Jihâd

Kita tidak bisa ketika melihat sebuah hasil penafsiran ayat/terjemahan tanpa

melihat aspek lain yang melingkupinya. Begitu pula dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‘an

dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Bila ingin memahami ayat-ayat Al-Qur‘an secara paripurna

maka harus melihat asbâb al-nuzûl-nya, dan ketika ingin memahami matan hadis secara

sempurna maka harus melihat asbâb al-wurûd-nya.353

Dalam memahami kandungan Al-

Qur‘an dan hadis Nabi SAW juga jangan sekadar mengandalkan terjemah. Sebab, betatapun

sempurna sebuah terjemahan, tetap saja ada titik kelemahan, yaitu distorsi dimensi-dimensi

yang tidak terwakili oleh bahasa penerjemah, dan ini akan berimbas sangat signifikan pada

hasil pemahamannya terhadap teks-teks utama keislaman, terlebih itu susunan dan bahasa Al-

Qu‘an yang merupakan mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad

SAW, misalnya keindahan susunan retorikanya (balâghah).

Kendala lain yang tidak bisa dibilang sepele, orang yang awam bahasa Arab tidak

akan mengerti, apakah pemahaman penerjemahnya benar atau salah. Ini karena mereka tidak

mengetahui susunan bahasa Al-Qur‘an dan hadis dalam bentuk aslinya, di samping cakupan

352

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 474. 353

Untuk memahami hadis dengan tepat, kelengkapan itu disusun Yusuf al-Qaradhâwī sebagaimana

dikutip Nizar, sebagai berikut: 1) mengetahui petunjuk Al-Qur‘an yang berkenaan dengan hadis Nabi dimaksud;

2), menghimpun hadis-hadis yang setema; 3) menggabungkan dan men-tarjih-kan antar hadis Nabi yang

‗kelihatan‘ bertentangan; 4) mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi hadis ketika

diucapkan/diperbuat serta tujuannya; 5) mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya

(haqiqi) dan bersifat metafora (majazi); 6) mampu membedakan antara hadis yang berkenaan dengan alam gaib.

Ada juga pendekatan tekstualis dan kontekstualis. Tekstualis menekankan aspek bahasa, dan kontekstualis

menekankan pada aspek historis, dan konteks sosial-budaya-psikologis. Nizar Ali, Hadis versus Sains

(Yogyakarta: Teras, 2008), h. 7-10.

Page 284: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

266

semantiknya. Dikhawatirkan, karena ketidaktahuannya, mereka akan menelan mentah-

mentah apa yang dipahaminya dari terjemah itu. Tidak ada jaminan, bahwa aspek penguasaan

aspek kebahasaan bahasa yang diterjemahkan (mastery of translated language) berpengaruh

terhadap pemahaman yang benar, sesuai yang dikehendaki teks. Namun, paling tidak itu telah

mempersempit jarak antara ruang bahasa yang diterjemahkan dengan ruang bahasa

penerjemahan. Banyak faktor yang menyebabkan kerja penerjemahan menjadi niscaya

kendati tetap memiliki kelemahan dan kekurangan, antara lain; pertama, perbedaan istilah

dan kaidah antara bahasa yang diterjemahkan dengan bahasa yang dipakai untuk

menerjemahkan. Kedua, perbedaan pemahaman dalam menangkap isyarat-isyarat bahasa.

Ketiga, khazanah bahasa yang terus-menerus mengalami perkembangan dan perubahan.

Keempat, kekayaan bahasa dan tradisi berpikir suatu masyarakat tidak selalu sama dengan

masyarakat lain. Kelima, kondisi sosial, psikologi, antropologi, dan geografi yang berbeda

antara kedua bahasa. Keenam, setiap bahasa memiliki akar serta lingkungan kultural yang

khusus. Dalam kasus penerjemahan teks-teks otoritatif keislaman ini, ada dua objek yang

menjadi titik perhatian. Pertama, bahasa Arab sebagai bahasa yang diterjemahkan (translated

language). Kedua, bahasa non Arab sebagai bahasa penerjemahan (translation language).

Sebagai sebuah bahasa, bahasa Arab banyak memiliki keunikan, kekhasan dan keistimewaan

yang tidak dimiliki bahasa lain. Konon, bahasa Arab menempati urutan kedua dalam hal

kerumitan bahasanya, setelah bahasa Cina. Penggalian pemahaman Al-Qur‘an dan hadis

hanya melalui karya-karya terjemah merupakan langkah yang kurang dapat

dipertanggungjawabkan. Karenanya, para ahli ulûm al-Qur‟an dan ulûm al-Hadīs

menetapkan, penguasaan aspek-aspek kebahasaan dan kesusasteraan Arab merupakan syarat

utama dalam mendapatkan pemahaman yang benar ketika menggali kekayaan kandungan

makna Al-Qur‘an dan hadis.354

354

Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet ke-2, h. 129-137.

Page 285: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

267

Meskipun pemahaman secara tekstual dan literal terkadang tidak dapat dielakkan,

namun model pemahaman tekstual dan literal an sich pada gilirannya dapat melahirkan

perilaku yang terkesan anarkis, tidak toleran, dan cenderung detsruktif. Ajaran jihâd

misalnya, secara pragmatis sering dipahami sebagai ―perang suci‖ (holy war) untuk

melakukan penyerangan dan pemaksaan terhadap kelompok lain yang tidak sepaham

dengannya. Hal ini tentunya dianggap menodai wajah Islam yang ramah, santun, dan penuh

kedamaian. Lebih jauh, akan timbul mispersepsi dan menimbulkan cibiran dan citra negatif

terhadap agama Islam dan umat Islam secara keseluruhan.355

Kata jihâd seolah dipahami ―angker‖, syarat dengan pemahaman yang serba fisik,

kekerasan, dan sikap-sikap insinuatif. Akan tetapi, istilah jihâd ini pula—yang akhir-akhir ini

―melambungkan‖ nama Islam di pentas internasional—walau lebih banyak sisi peyoratifnya

dibandingkan dengan sisi positifnya. Lagi-lagi, hal ini muncul karena kerancuan sebuah

tafsir, misalnya, yang hanya mempersempit makna jihâd dari aspek literalnya dengan fokus

pada realitas kekerasan atau hanya dalam arti perang, seperti yang tampak dilakukan oleh

kaum Muslim di berbagai belahan dunia, dan dimengerti kalangan Barat. Untuk itulah

pemahaman seperti ini perlu dikoreksi.356

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab

sebelumnya, bahwa dalam Al-Qur‘an, ayat-ayat seputar jihâd dengan semua bentuk

derivasinya (musytaq-nya/kata turunan) terdapat kurang lebih 41 kali. 9 surat diturunkan di

Mekah yang dikenal sebagai ayat makkiyyah, dan 32 surat diturunkan di Madinah, yang

kemudian populer dengan sebutan ayat madaniyyah.357

Apabila kita telusuri lebih dalam,

ayat-ayat spesifik jihâd ini hanya berkisar 38 ayat, karena ada 3 ayat yang diulang/mirip,

hanya pengulangan saja, disebabkan bentuk derivasinya yang sama; yakni 2 ayat pada ayat

355

Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2014), h. 2. 356

Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan

Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 104. 357

Penjelasan lebih lanjut ciri-ciri ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, dalam Mannâ‘ Khalīl al-Qattân,

Mabâhits fī „Ulûm al-Qur‟an, edisi terjemahan bahasa Indonesia “Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an,” Penerjemah:

Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), h. 71-72 dan h. 81-82.

Page 286: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

268

makkiyyah yaitu QS. al-‗Ankabût [29] : 6 dan QS. al-Furqân [25] : 52; dan 1 lagi ayat

madaniyyah yaitu QS. al-Nisâ [4] : 95.358

Jika di hadapan seseorang disuguhkan sebuah teks-

teks tertulis, maka pertama yang terlihat adalah rangkaian huruf yang membentuk kata,

kemudian rangkaian kata yang membentuk kalimat, tanda titik, koma, tanda tanya, dan

seterusnya. Semua itu adalah ―tanda‖ yang sengaja dibuat oleh pengirim tanda (baca:

pengarang/penulis teks) untuk mempengaruhi pembacanya. Dengan tanda-tanda pembaca

diajak pengarang untuk menjelajahi atau menyelami ide-ide yang ia tuangkan dalam

hamparan teks, pun dengan petunjuk tanda, pembaca bisa mengetahui makna sebuah teks.

Dari sekian banyak tanda, tanda yang acapkali didapati pembaca dalam sebuah teks adalah

tanda bahasa. Sebab ua adalah komponen yang membentuk sesuatu menjadi teks dan bisa

dibaca oleh setiap orang. Kendati demikian, pembaca tidak bisa mengabaikan tanda-tanda

yang sifatnya non bahasa (ekstra-lingual), sebab ia juga membentuk kelahiran teks semisal

ruang, waktu, situasi, kondisi dan keilmuan pengarang, budaya dan lain-lain.359

Berikut ini ditampilkan ayat-ayat jihâd sebagai korpus data yang dijadikan objek

penelitian. Dalam menganalisis sejumlah ayat ini, penulis melakukan langkah-langkah seperti

berikut: mengemukakan terlebih dahulu pandangan-pandangan ulama tafsir sebelumnya

dengan merujuk kitab-kitab tafsir tentunya yang dijadikan pijakan penafsiran/penerjemahan

(apakah penerjemahannya selaras/berpedoman dengan kaidah atau pakem penafsiran ulama

pada umumnya), lalu membedah sisi konstruk metodologis terjemahannya (konsisten atau

inskonsisten dalam menerapkan metode terjemahan ayatnya), kemudian menelisik komponen

linguistik bahasa Arabnya maupun non linguistiknya ataupun dari segi interferensi (demi

meneropong sejauhmana ketepatan kritik terjemah M. Thalib terhadap terjemahan Al-Qur‘an

Kemenag), juga soal struktur bahasa, dan gramatikal/tata bahasa Indonesianya, serta

358

Muhammad Fuad Abd al-Bâqī, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah

al-Mushaf al-Syarīf (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2007), h. 224-225. 359

Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer

“ala” M. Syahrur (Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), h. 103.

Page 287: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

269

diperkaya dengan teori analisis semantik leksikal, gramatikal, dan kontekstual serta generatif

transformatif yang digagas Noam Chomsky sehingga dapat menghasilkan analisa teks

terjemahan yang lebih objektif atas terjemahan M. Thalib tersebut.

Dengan begitu, akan tampak pemahaman redaksi ayat/nash Al-Qur‘an yang utuh,

tidak skriptual/literal, holistik tidak parsial, agar relasi tindak terorisme dengan teks

keagamaan dapat terbenam sedalam-dalamnya dan tidak ada lagi apologetik faktor

keterpengaruhan teks-teks keagamaan pada lahirnya radikalisme agama dan terorisme. Sebab,

tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kekerasan apalagi terorisme bagi para

penganutnya. Sebab, tidak ada satu pun agama yang membolehkan radikalisasi pemahaman

agama. Sebagaimana juga telah ditegaskan dalam kongres umat Islam Indonesia, bahwa

tindakan kekerasan dapat muncul di kalangan umat agama apa saja, atau kelompok bangsa

dan ras mana saja.360

Ada sembilan surat yang diturunkan di Mekah dan sembilan surat di Madinah

ditampilkan/dianalisis. Pertimbangannya bahwa perintah jihâd sudah dimulai Nabi sejak

beliau diangkat menjadi Rasulullah, yakni saat masih di Mekah. Tentu saja, bentuk jihâd-nya

tidak memberikan perlawanan fisik terhadap mereka yang tidak menyenangi Islam dan kaum

muslimin. Hal itu mungkin disebabkan karena saat itu kaum muslimin masih lemah, belum

sanggup menentang kekuasaan kaum kafir Quraisy yang ada di Mekah.361

Lalu ayat-ayat

jihâd bercirikan Madaniyyah yang sejatinya ada 32 ayat, namun dikaji hanya sembilan saja,

kesembilan ayat tersebut agar memudahkan pembaca yang dipilih secara acak (sampling),

dan juga studi kasus yang dikritisi MMI. Untuk di Madinah, format jihâd lebih dari sekadar

jihâd bersenjata (armed jihâd) yang mempunyai implikasi signifikan terhadap kehidupan

umat Islam, baik secara individual maupun masyarakat. Pada periode madaniyah, jihâd sudah

dalam pengertian berperang demi mempertahankan diri atas penganiyaan atau serangan

360

Susilo Bambang Yudhoyono, Pengantar dalam buku Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman

Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, 2014), h. xvi. 361

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1978), h. 92.

Page 288: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

270

orang-orang kafir. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa jihâd

mempunyai dua makna. Makna awalnya bersifat religius, yaitu etika individu. Adapun arti

turunannya adalah perang terhadap nonmuslim yang sering melawan kaum Muslimin.

Namun, patut dicatat bahwa peperangan yang dilakukan Nabi SAW dan pengikutnya

lebih dikarenakan sebagai reaksi atas agresi atau penyerangan yang dilakukan oleh kaum

musyrikin. Dengan begitu, perang yang terjadi di zaman Nabi SAW adalah untuk

mempertahankan diri. Bahkan, perang fisik terjadi adalah karena sebuah keterpaksaan, yaitu

sebagai akibat adanya serangan bertubi-tubi orang musyrik Mekkah dan Yahudi Madinah.

Patut ditekankan juga bahwa jihâd dalam konteks ayat madaniyah ini selain berarti ―perang‖,

juga dapat bermakna ―memberi bantuan kepada orang yang sangat membutuhkan‖, seperti

disebutkan dalam QS. al-Hujurât [49] : 15.362

a) Berikut ini ayat-ayat Jihâd tergolong Makkiyyah, yaitu:

(1) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 6

)التعبت( ب ذ ج ف ذه ٠هج ف ا ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI) ―Dan barangsiapa berjihad, maka

sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya

sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak

memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖363

―Siapa saja yang berjuang menegakkan agama

Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka

ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri.

Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan

amal kebaikan semua manusia.‖364

Berdasarkan teori al-Zarqânī, terjemah Kemenag harfiyah, sedangkan terjemah M.

Thalib tafsiriyah. Penerjemahan M. Thalib terdapat penambahan kalimat bersabar melawan

362

Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media

Komputindo Gramedia, 2014), h. 109. 363

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 559. 364

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 493.

Page 289: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

271

hawa nafsunya. Ini tidak lazim, karena bila kita telusuri Tafsīr al-Jalâlain dan Tafsīr Marâh

Labīd Syaikh Nawawi al-Bantanī tidak ditemukan dalam penafsiran/buku tafsir mereka.

Disebutkan dalam Tafsir Nawawi, ۦ ذه ف غ ب ٠هج ج ذ ف ا ditafsirkan أي ومن صرب على

النفس، فإن منفعة صربه لو، ال هلل تعال الشدة يف حماربة الكفار ويف خمالفة jihâd tidak diartikan

dengan menegakkan Agama Allah, namun sabar dalam memerangi kaum kafir.365

MMI/M. Thalib sekilas tidak mengikuti prosedur penerjemahan yang baku, namun

lebih menyuguhkan sebuah penafsiran yang mereka pahami berdasarkan pola pikir

keagamaannya. Kata/lafaz jihâd, dalam terjemahan Kemenag dialihbahasakan secara apa

adanya, lain halnya dengan MMI yang langsung diartikan dengan arti menegakkan agama

Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya. Ini menyimpulkan pola pikir keagamaan mereka

yang fundamentalis. Terjemahan ini jelas sekali bersifat tafsiriyah karena memberi padanan

redaksi yang meluas bahkan tumpang tindih (overlapping) dengan tidak memerhatikan

redaksi bahasa asalnya. Teks terjemahan ‖berjuang menegakkan agama Allah‖ merupakan

penafsiran yang selaras dengan teori Noam Chomsky bahwa bahasa merefleksikan pikiran

penuturnya/penerjemahnya. Bahasa bukan saja merupakan bentuk dari isi penuturan, tetapi

juga merupakan alat atau instrumen dari proses berpikir. Jelas kiranya, bahwa hasil, yang

dapat diperoleh dengan menggunakan suatu teknik, akan tergantung dari baik buruknya

teknik yang dipergunakan. Di samping itu, bahasa juga bukan hanya merupakan alat mati dari

pikiran. Di luar logika ia mempunyai peranan-peranan lain di bidang kehidupan manusia.

Satu-kesatuan kata menghubungkan keterkaitan antara konsep pikiran dengan acuan/benda

(hasil terjemahan).366

365

Syaikh Muhammad Nawawī, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd

Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz 2, h. 171. 366

Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa (Yogyakarta: Pustaka Pinus, 2006), h, 122.

Page 290: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

272

Unsur-unsur struktur batin (deep structure) yang terdapat dalam pola kalimat

terjemahan di atas menampakkan struktur luar (surface structure) dari kelompok MMI yang

cenderung radikal. Kaidah transformasi mengubah struktur batin yang dihasilkan oleh kaidah

kategori untuk struktur lahir. Struktur batin (pola pikir dan pola rasa individu/kelompok)

memiliki semua unsur yang diperlukan dan berpengaruh pada cara pandang mereka terhadap

teks. Padahal, terjemahan ayat itu masih bisa dipertimbangkan mengingat konteks ayat tidak

terkait dengan situasi peperangan. Menurut Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, makna jihâd pada

ayat tersebut adalah jihâd dengan menanggung penderitaan dan kesabaran atas cobaan dan

penganiyaan di jalan Allah.367

(2) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 8

)التعبت(ط١ ٱ ب غ ل ٠ ث غ ذ ئ ب حه ان ج ب ث شن زهش ذ ه ظ ١ ۦث ب رهطع ف ل ع ه ئ

ش ىه جعه ه جئهىه ب ف أ ث زه ر ع وه ه ٥

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Dan Kami wajibkan kepada manusia agar

(berbuat) kebaikan kepada kedua orangnya.

Dan jika keduanya memaksamu untuk

mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang

engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu,

maka janganlah engkau patuhi keduanya.

Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan

Aku akan beritakan kepadamu apa yang telah

kamu kerjakan.‖368

―Wahai manusia, Kami perintahkan kepadamu

untuk berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jika ibu

bapakmu mengajakmu untuk menyembah tuhan-

tuhan selain Aku, padahal akalmu tidak dapat

membenarkan perbuatan syirik itu, janganlah kamu

taati ibu bapakmu itu. Kalian kelak pasti kembali

kepada-Ku. Aku akan memberitahukan kepada

kalian segala perbuatan yang telah kalian lakukan

di dunia.‖369

367

Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟

Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih

Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,

2009), h. 74. 368

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559-560. 369

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan

Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 494.

Page 291: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

273

Berkiblat pada gagasan yang dicetuskan al-Zarqânī dan al-Qatthân tentang

penerjemahan, maka terjemah Kemenag bercorak harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib

tafsiriyah. Dalam terjemahan Kemenag, ayat jihâd ان ئ ج ذ dialihbahasakan menjadi

―Dan jika keduanya memaksamu‖ sedangkan terjemahan MMI, ان ئ ج ذ adalah Jika ibu

bapakmu mengajakmu untuk menyembah tuhan-tuhan selain Aku. Pola

penerjemahan/pemaknaan ini masih dimungkinkan, namun pola penerjemahan/penafsiran ini

tidak dapat memonopoli sejumlah penafsiran ulama dalam kitab tafsirnya. Selain itu, kalimat

ب غ حه ٠ ذ ث غ ط١ ب ٱل ditambahkan awalnya terjemahan ‖Wahai manusia‖ yang

sebenarnya tidak ada pada teks aslinya. Ini cukup memengaruhi aspek penerjemahan dan

penafsiran. Dalam al-tafsīr al-munīr Syaikh Nawawi al-Bantanī dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan ayat ب غ حه ٠ ذ ث غ ط١ ب ٱل adalah أي أمر نا اإلنسان بالرب بوالديو

bahwa seseorang diperintahkan untuk berbakti kepada والعطف عليهما ألهنما سبب وجود الولد

kedua orangtuanya dan berlemah lembut kepada keduanya. Tidak didahului wahai manusia

( الناس )يا أيها .370 Sebagai pembanding, M. Quraish Shihab menerjemahkan ayat tersebut

dengan makna: ‖Dan Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia (wasiat yang) baik (yaitu

supaya mereka berbakti) terhadap kedua orangtuanya, dan jika keduanya memaksamu untuk

menyekutukan Aku dengan (sesuatu) yang engkau tidak ada ilmu pengetahuan tentang itu,

maka janganlah engkau mematuhi keduanya. Hanya kepada-Ku-lah tempat kembali, lalu Aku

370

Syaikh Muhammad Nawawi, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd

Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-2, h. 169-170.

Page 292: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

274

beritahukan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.‖371

Terjemahan ayat ini bila

dianalisis secara semantik leksikal dan kontekstual tidak dapat memberikan interpretasi

semantik yang utuh, sebab komponen fonologis yang muncul tidak membentuk satu-kesatuan

tata bahasa yang lengkap.

(3) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 69

ت()التعب ٱ ف١ ب ذها ج ز٠ ه ب ذ٠ جه عه ئ ع لل ٱ ح ٱ ه ٤٦ غ١

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Dan orang-orang yang berjihad untuk

(mencari keridaan) Kami, Kami akan

tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.

Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang

yang berbuat baik.‖372

―Orang-orang yang sungguh-sungguh

memperjuangkan agama Kami dengan segala

penderitaan, niscaya akan Kami bukakan jalan-

jalan keluar dari kesulitan mereka. Sungguh Allah

selalu beserta mereka yang memperjuangkan

agama Allah dengan baik.‖373

Berdasarkan konsep yang dikemukakan al-Zarqânī dan al-Zahabī tentang

penerjemahan, maka terjemah Kemenag bercorak harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib

tafsiriyah. Kemenag menerjemahkan ج ذها dengan yang berjihad untuk (mencari keridaan)

Kami, sedangkan M. Thalib mengartikan ج ذها dengan sungguh-sungguh memperjuangkan

agama Kami dengan segala penderitaan. Penerjemahan ini masih dimungkinkan. Meskipun

begitu, tampaknya MMI begitu ‖memaksakan‖ arti kata ج ذها dengan tambahan redaksi

memperjuangkan agama Kami dengan segala penderitaan.

371

M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, Dilengkapi Asbâbun Nuzûl, Makna dan Tujuan

Surah, dan Pedoman Tajwid (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 397. 372

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 569. 373

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan

Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 503.

Page 293: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

275

Pandangan Noam Chomsky tentang bahasa dan realitas mental/pikiran, menguatkan

akan hal ini. Bila dikaitkan dengan terjemahan ayat jihâd di atas, maka terdapat

kecenderungan penerjemah menginterpretasikan teks yang cenderung menunjukkan pola

pikir yang dianutnya. Pandangannya tentang bahasa cenderung mentalistik atau kognitivistik

(nazhariyyah „aqliyyah). Menurutnya, realitas mental mendasari perilaku aktual (the mental

reality underlying actual behavior). Setiap manusia memiliki kaidah-kaidah universal secara

natural (terwaris) yang menjadi dasar perilaku bahasa manusia, dan kaidah-kaidah itu cukup

kaya dan patut dipertimbangkan dalam kecepatan proses pembelajaran bahasa. Menurut

Chomsky, bahasa merupakan cermin terbaik akal manusia (languanges are the best mirror of

the human mind). Pola pikir keagamaan MMI yang tergolong fundamentalis, atau M. Thalib

yang dalam hal ini selaku penerjemahnya/penafsirnya mempengaruhi corak pemahamannya

terhadap teks tersebut. Tampak bahwa pembaca terasa digiring untuk memperjuangkan

ideologi MMI, yaitu memperjuangkan agama Allah.

Teori generatif-transformatif yang diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern

paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan

dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia. Menurut

teori ini, kapasitas genetik manusia sejak lahir juga memengaruhi kemampuannya untuk

memahami bahasa di sekitar sehingga hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang

tertanam dalam diri. Stuktur luar yang muncul dalam terjemahan ayat ج ذها, mencerminkan

struktur dalam pada corak kelompok keagamaan itu. Struktur batin/luar (al-binyah al-

sâthhiyyah, surface structure) ditentukan oleh subkomponen dasar dan kemudian dikirim ke

komponen semantik untuk mendapatkan interpretasi semantiknya. Bila diperlukan

transformasi, struktur batin/dalam (al-binyah al-„âmiqah, deep structure) dikirim ke

subkomponen transformasi untuk mendapatkan struktur lahir. Struktur lahir ini kemudian

Page 294: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

276

dikirim ke komponen fonologi untuk mendapatkan interpretasi fonologinya. Setelah

interpretasi semantik dan fonologi diperoleh, barulah kalimat yang diinginkan itu terbentuk.

(4) QS. al-Nahl [16] : ayat 110

)التعبت( ثه ثه ئ س ا بج ز٠ شه ب ذ ث ع ا فهزه ذها ج ثه ج شه ط ا ثه ئ س ذ بث ع

س فه غ ٠٠٦ سح١

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang

yang berhijrah setelah menderita cobaan,

kemudian mereka berjihad dan bersabar,

sungguh, Tuhanmu setelah itu benar-benar

Maha Pengampun, Maha Penyayang.‖374

―Wahai Muhammad, sungguh Tuhanmu menjadi

pelindung bagi orang-orang yang berhijrah, yang

sebelumnya mengalami penyiksaan orang-orang

kafir, kemudian mereka berjihad dan bersabar.

Sungguh Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang kepada orang-orang yang berhijrah dan

bersabar setelah mengalami penderitaan berat.‖375

Mengacu pada definisi yang diutarakan al-Zarqânī dan al-Zahabī tentang

penerjemahan, maka terjemah Kemenag bercorak harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib

tafsiriyah. Pola terjemahan di atas dimungkinkan bila melihat kitab-kitab tafsir yang menjadi

rujukan MMI. Kendati begitu ada problem-nya juga. ―Wahai Muhammad hadir dalam

terjemahannya yang tidak ditemukan padanannya pada teks aslinya. Terjemahan ayat ini bila

dianalisis secara semantik leksikal dan kontekstual tidak dapat memberikan interpretasi

semantik yang utuh, sebab komponen gramatikal yang muncul tidak membentuk satu-

kesatuan tata bahasa yang lengkap. Dari segi semantik gramatikal, suatu tata bahasa adalah

satu sistem rumus atau kaidah yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi dan

makna dalam bahasa itu. Sedangkan dari segi daya kreatifitas tata bahasa adalah sebuah alat

374

Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 380. 375

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 333.

Page 295: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

277

perancangan yang khusus menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat

gramatikal (yang jumlahnya tidak terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat itu.

sebagai komprasi juga, bandingkan dengan terjemahan Teungku Muhammad Hasbi al-

Shiddīqī, ―Kemudian bahwasanya Tuhanmu memberikan pertolongan kepada orang-orang

yang berhijrah sesudah mereka mengalami cobaan, kemudian mereka berjihad di jalan Allah,

dan bersabar: Tuhan engkau, sesudah engkau melakukan pekerjaan itu, sungguh Maha

Pengampun, dan Maha kekal rahmat-Nya.‖376

(5) QS. al-Furqân [25] : ayat 52

)التعبت( ى ٱ طع ره ف ل ج فش٠ هذ ج١ش اج بد ۦث ٤٣ او

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Maka janganlah engkau taati orang-orang

kafir, dan berjuanglah terhadap mereka

denganya (Al Quran) dengan (semangat)

perjuangan yang besar.‖377

―Wahai Muhammad, karena itu janganlah kamu

mengikuti orang-orang kafir. Berjihadlah kamu

dengan Al-Qur‘an ini untuk melawan orang-orang

kafir dengan semangat jihad yang besar.‖378

Berlandaskan gagasan al-Zarqânī, terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan

MMI/M. Thalib tafsiriyah. Surat ini termasuk surat makkiyyah yang memuat perintah kepada

Rasulullah SAW untuk ber-jihâd terhadap orang-orang kafir dengan hujjah dan bayân

(keterangan) serta menyampaikan Al-Qur‘an. Sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, jihâd

tersebut digambarkan ―jihâd yang besar‖ untuk menunjukkan kedudukannya yang tinggi dan

kepentingannya.379

Sebagai pembanding lihat misalnya M. Quraish Shihab dalam karyanya,

376

Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddīqī, Al-Bayân, Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2002), Juz 1-15, h. 623-624. 377

Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 509. 378

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 447 379

Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟

Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih

Page 296: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

278

beliau menerjemahkan ayat di atas berikut ini: ―Maka, janganlah engkau (Nabi Muhammad

saw) mengikuti (hawa nafsu) orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka

dengannya (al-Qur‘an) dengan jihad yang besar.‖ Beliau menerjemahkan ۦ ج بد ا ذ ه ث ج

ج١ش ا dengan berjihadlah menghadapi mereka dengannya (al-Qur‘an) dengan jihad yang و

besar.380

Dorongan untuk melakukan jihâd terlihat jelas dalam penerjemahan MMI. Hal

tersebut amatlah wajar sebab mereka termasuk kalangan Islam fundamentalis yang

teridentifikasi sebagai organisasi yang rajin menyuarakan tegaknya jihâd dan agenda

formalisasi syariat Islam. Kita tahu bahwa salah satu misi mereka ialah berjuang untuk

penegakan syariat Islam secara kâffah, secara efektif, dan memobilisasi dukungan moral

maupun material dari segenap elemen dan komponen umat demi kepentingan syariat Islam di

bumi Indonesia. Hal demikian itu, selaras dengan gagasan Noam Chomsky bahwa bahasa

merefleksikan pikiran setiap pembicaranya/penafsirnya/penerjemahnya. Sebab, bahasa

mencerminkan persoalan sosial budaya, termasuk di dalamnya faktor keagamaan. M. Thalib

yang menjadi Amir MMI kita sama-sama paham bahwa organisasi yang dipimpinnya

termasuk kelompok fundamentalis Islam politis.

(6) QS. Luqmân [31] : ayat 15

)التعبت(ئ ان ج ذ ب ث شن رهش أ ع ه ظ ١ ۦث ب رهطع ف ل ع بحج ه ط ب ٱ ف ه ١ بذ

ع ف رجع ٱ ب شه ج١ ع أ بة ئ ثه ش ئ ىه جعه ه جئهىه ب ف أ ث زه ر ع وه ه ٠٤

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,

2009), h. 75. 380

M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya: Dilengkapi Asbâbun Nuzûl, Makna dan Tujuan

Surah, dan Pedoman Tajwid (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 364.

Page 297: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

279

―Dan jika keduanya memaksamu untuk

mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang

engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu,

maka janganlah engkau menaati keduanya,

dan pergaulilah keduanya di dunia dengan

baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali

kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku

tempat kembalimu, maka akan Aku

beritahukan kepadamu apa yang telah kamu

kerjakan.‖381

―Jika ibu bapakmu mengajakmu untuk

menyekutukan Aku, padahal kamu tidak punya

sedikit pun bukti adanya tuhan selain Aku,

janganlah kamu taat kepada mereka. Sekalipun

demikian, bergaullah dengan ibu bapakmu di dunia

ini dengan baik. Ikutilah agama orang-orang yang

bertaubat kepada-Ku. Kepada-Kulah kelak kamu

akan dikembalikan. Di akhirat kelak, Aku akan

memberitahukan kepadamu segala perbuatan yang

telah kamu lakukan di dunia.‖382

Merujuk pada gagasan al-Zarqânī, terjemah Kemenag di atas terlihat harfiyah,

sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. Dalam terjemahan Kemenag, kata ان ج ذ

diterjemahkan memaksamu, sedangkan MMI mengajakmu. Pola penerjemahan ini boleh saja

dilakukan, hanya perbedaan dalam pilihan kata (diksi).

(7) QS. al-Nahl [16] : ayat 38

)التعبت(أ ل ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ثه ٠ ج ل لله ٱ ع

ده ه ٠ ع ث ١ ذا م ع بح ث ش أ و ى

٠ ع ل بط ٱ ه ٦٥

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Dan mereka bersumpah dengan (nama)

Allah dengan sumpahnya yang sungguh-

sungguh: "Allah tidak akan akan

membangkitkan orang yang mati". Tidak

demikian, bahkan (pasti Allah akan

membangkitnya), sebagai suatu janji yang

benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan

manusia tiada mengetahui.‖383

―Orang-orang kafir bersumpah dengan sungguh-

sungguh seraya menyebut nama Allah. Mereka

berkata: ―Allah tidak akan menghidupkan kembali

orang yang telah mati.‖ Bukan begitu, janji Allah

untuk menghidupkan kembali manusia pasti benar.

Akan tetapi, sebagian besar manusia tidak

menyadari.‖384

381

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 582. 382

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 514. 383

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 369. 384

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 322.

Page 298: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

280

Merujuk pada gagasan al-Zarqânī, terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan

MMI/M. Thalib tafsiriyah. Pola penerjemahan ini masih dibolehkan, terletak pada perbedaan

ketepatan rasa bahasa. Mahmud Yunus menerjemahkan: ‖Mereka bersumpah dengan nama

Allah dengan sesungguh-sungguh sumpah, bahwa Allah tidak akan membangkitkan orang

yang mati. Ya janji Allah yang sebenarnya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.‖385

(8) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 6. Ayat ini sama dengan di atas, pengulangan saja.

)التعبت( ب ذ ج ف ذه ٠هج ف ا ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Dan barangsiapa berjihad, maka

sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya

sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak

memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖386

―Siapa saja yang berjuang menegakkan agama

Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka

ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri.

Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan

amal kebaikan semua manusia.‖387

9) QS. al-Furqân [25] : ayat 52, Ayat ini sama dengan di atas, pengulangan saja.

)التعبت( ى ٱ رهطع ف ل ج فش٠ هذ ج١ش اج بد ۦث ٤٣ او

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Maka janganlah engkau taati orang-orang

kafir, dan berjuanglah terhadap mereka

denganya (Al Quran) dengan (semangat)

perjuangan yang besar.‖388

―Wahai Muhammad, karena itu janganlah kamu

mengikuti orang-orang kafir. Berjihadlah kamu

dengan Al-Qur‘an ini untuk melawan orang-orang

kafir dengan semangat jihad yang besar.‖389

385

Mahmud Yunus, Tafsīr Qur‟an Karīm (Tangerang: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2015), h. 385. 386

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 559. 387

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 493. 388

Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 509. 389

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 447

Page 299: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

281

2) Ayat-Ayat Jihâd termasuk Madaniyyah

Pertama, QS. Al-Baqarah [2] : ayat 190-193

)التعبت(٠٦٦ ع ز ذ٠ ه ٱلل ل ٠هحت ٱ ئ

ا ل ر ع ز ذه ىه زه ٠هم ٱلل ٱز٠ ج١ ا ف ع ل زه

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang

yang memerangi kamu, tetapi jangan

melampaui batas. Sungguh, Allah tidak

menyukai orang-orang yang melampaui batas.

(190).

Wahai kaum mukmin, berperanglah kalian untuk

membela Islam melawan orang-orang yang

memerangi kalian. Janganlah kalian melanggar

syari‘at perang. Sungguh Allah tidak menyukai

orang-orang yang melanggar syari‘at perang.

(190).

)التعبت(

ه ل رهم زه م ز ٱ ذ فز خه أ ش ٱ وه جه ١ ثه أ خ ش ح ه أ خ شجه ه ه ١ ثه ث مف زه ح ه ه ٱل زه٠٦٠ ى فش٠ ا ءه ٱ ض ه ج

ز و ه ه ف ٱل زه وه ه ف ا ل ز ف١ وه ٠هم زه ز ح ا ش ح غ جذ ٱ عذ ٱ

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui

mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka

telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih

kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah

kamu perangi mereka di Masjidilharam,

kecuali jika mereka memerangi kamu di

tempat itu. Jika mereka memerangi kamu,

maka perangilah mereka. Demikanlah balasan

bagi orang-orang kafir (191).

Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh

kalian di mana pun kalian temui mereka di medan

perang dan dalam masa perang. Usirlah musuh-

musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu

diusir. Merintangi kaum muslim melaksanakan

syari‘at Islam itu lebih berat dosanya daripada

membunuh di Masjidil Haram. Akan tetapi kalian

jangan memerangi musuh-musuh kalian di sekitar

Masjidil Haram kecuali mereka memerangi kalian

di tempat itu. Jika musuh-musuh kalian

memerangi kalian di tempat itu, maka perangilah

mereka. Demikian itu adalah hukuman bagi orang-

orang kafir (191). )التعبت(

٠٦٣ س سح١ فه ٱلل غ ا ف ا ٱز ف ا

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

Page 300: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

282

Tetapi jika mereka berhenti, maka sungguh,

Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang

(192).

Jika musuh-musuh kalian berhenti dari memerangi

kalian di sekitar Masjidil Haram, maka janganlah

kalian perangi mereka di tempat itu. Sungguh

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

kepada semua makhluk-Nya (192). )التعبت(

ل ه زه ز ر ىه ل ح خ فز ٠ ىه ه ٱ ٠ ذ لل ٱ ف ا ذ ف ل ا ز ئل عه ٱ ع ظ ١

٠٦٦

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

"Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada

lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah

semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada

(lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-

orang zalim. (193)."390

"Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh

kalian sampai rintangan terhadap pelaksanaan

syari‘at Islam lenyap, dan manusia mengikuti

agamanya semata-mata karena taat kepada Allah.

Jika musuh-musuh kalian mau berhenti dari

merintangi pelaksanaan syari‘at Islam, maka

antara kalian dengan mereka tidak ada alasan

untuk bermusuhan. Bermusuhan dibolehkan hanya

terhadap orang-orang yang melakukan gangguan

pelaksanaan syari‘at."391

Ayat ini termasuk yang dikritik keras MMI atas penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag

sebab dapat menimbulkan pemahaman yang sensitif di kalangan umat Islam Indonesia.

Penerjemahan ayat Kemenag di atas tampak harfiyah. Di sisi lain, MMI menerjemahkannya

secara tafsiriyah. Perbedaan yang cukup menonjol begitu terlihat di dalamnya. Penerjemahan

Kemenag lebih praktis dan insya Allah telah sesuai dengan teknik/prosedur penerjemahan Al-

Qur‘an karena selaras dengan redaksi ayat/nash Al-Qur‟an. Karena ini soal ranah terjemah,

390

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 36-37.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di Bab I, bahwa Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang sedang dikaji ini

merupakan Edisi 2002, namun diadakan lagi oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat

Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI, sebanyak 400.000 eksemplar. Terbitan

Edisi tahun 2002 ini meminimalisir bagian mukadimah dan footnote (catatan kaki). Kemudian dari segi format,

naskah Al-Qur‟an dan Terjemahnya Departemen Agama (kini: Kementerian Agama) yang lama tahun 1990

bentuknya sangat tebal, yaitu 1294 halaman dengan footnote 1610. Dengan demikian, format edisi tahun 2002

lebih tipis dan praktis untuk mudah dibawa, dengan 924 halaman (berkurang 370 halaman) dan dengan 930

catatan kaki (berkurang 680) yang telah direvisi dan disempurnakan dari edisi sebelumnya dan terbuka pula

untuk penyempurnaan edisi-edisi selanjutnya dalam Kata Pengantar Ketua LPMA, h. vi. 391

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan

Mencerahkan (Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 35-36. Hak penerbitan dan

publikasi pada Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta–Indonesia.

Page 301: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

283

maka seperti itulah terjemahannya. Namun, terjemahan MMI agak melebar dari teknik

penerjemahan dan tata bahasa Indonesia serta bias dari penafsiran ulama seperti dalam Tafsīr

al-Jalâlain dan Tafsīr Munīr392

Marâh Labīd Syaikh Nawawi.

Ketiga ayat tersebut turun di Madinah. Ayat 191 surat al-Baqarah di atas tidak dapat

dipisahkan dari ayat 190 surat al-Baqarah karena kata ganti orang hum (mereka) yang ada

dalam surat al-Baqarah 191 kembali/tertuju/mengarah kepada orang-orang yang memerangi

kamu (orang Islam). Maka, konteks kalimat (siyâq al-kalimat) pada ayat 190 dan 191 adalah

dalam suasana/konteks perang dan kaum muslimin dilarang memulai serangan kepada

nonmuslim, akan tetapi jika kaum nonmuslim dalam realitasnya lebih dahulu memerangi

umat Islam maka wajib untuk membalasnya (hanya kepada yang sudah jelas memerangi),

bila di sana ada anak-anak, wanita-wanita, atau orang tua yang sudah renta, para rahib, dan

orang yang beribadah dalam rumah peribadatan agama lain,393

maka tidak wajib

memeranginya alias jangan melampaui batas, dengan demikian pemahamannya menjadi:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan janganlah kamu

melanggar batas (190) dan bunuhlah orang-orang yang memerangi kamu itu di mana saja

kamu menjumpai mereka (191)”.394

392

Dalam kitab Tafsīr al-Jalâlain misalnya, kata fitnah dialihbahasakan menjadi syirik. Pengungkapan

perjuangan kepada syariat perang dan syariat Islam pun tidak ditemukan. Lihat al-Mahallī dan al-Suyûthī, Tafsīr

al-Qur‟an al-„Azhīm (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al‘Arabiyyah, t.t), h. 28. Begitu pula yang penulis dapati

dalam karya Syaikh Nawawī, bahwa terjemahan ayat تنة أشد من القتلوالف ditafsirkan al-mihnah نة اليت يفتب هبا احمل شركهم با اهلل وعبادة األوثان :قيل :yaitu ujian, pendapat lain mengatakan اإلنسان، كا اإلخراج من الوطن أصعب من القتل

وصدىم لكم عنو أشر من قتلكم إياىم فيو يف الرم syirik kepada Allah misalnya menyembah patung-patung di

masjidil haram, bukan dalam arti menegakkan syariat Islam. Syaikh Muhammad Nawawi, al-Tafsīr al-Munīr li

Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-1, h. 56-57. 393

Keterangan bisa ditemukan dalam Tafsīr al-Qurtubī karya Imam al-Qurtubī (Kairo: Dar al-Sya‘ab,

2181), h. 723-724. 394

Menurut Ibnu ‗Abbas, ayat di atas dan tiga ayat sesudahnya (Al-Baqarah 191-193) diturunkan pada

perjanjian Hudaibiyah. Pada saat itu, Rasulullah SAW dan para sahabat dihalang-halangi atau dicegah sehingga

tidak bisa beribadah ke kota Mekkah. Kesimpulan pokok dari perjanjian Hudaibiyah itu di antaranya adalah

supaya kaum Muslimin mengerjakan umrah pada tahun berikutnya. Karena itu, Nabi beserta para sahabat telah

menyiapkan segala sesuatu untuk bisa umrah pada waktu yang telah disepakati. Mereka khawatir jika kaum

kafir Quraisy tidak menepati janji tersebut, bahkan kalau sampai menghalangi dan memerangi Rasul, dan

sahabat untuk masuk Masjidil Haram, padahal para sahabat juga menghindari peperangan di bulan mulia (al-

Asyhur al-Hurum). Maka, turunlah ayat itu, (QS. al-Baqarah 190-193), sebagai legitimasi kebolehan berperang

Page 302: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

284

Dalam terjemah Kemenag, kata ه ه ٱل زه dialihbahasakan menjadi bunuhlah mereka,

sedangkan M. Thalib dengan perangilah musuh-musuh mereka. Hanya perbedaan diksi

(variasi penerjemahan) saja. Selain itu, kata fitnah dalam terjemahan Kemenag secara

harfiyah meskipun diberi footnote, yaitu menimbulkan kekacauan, seperti mengusir sahabat

dari kampong halamannya, merampas harta dan menyakiti atau mengganggu kebebasan

seseorang beragama. Lain halnya dengan terjemahan M. Thalib/MMI, kata fitnah

diterjemahkan menjadi merintangi kaum muslim melaksanakan syari‘at Islam. Sebagai

pembanding lihat misalnya M. Quraish Shihab dalam menerjemahkan ayat 191, yaitu: ―Dan

bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka

telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih keras dari pembunuhan, dan janganlah

kamu memerangi mereka di Mesjid al-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di

tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.

Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.‖ Dalam menerjemahkan kata fitnah, M.

Quraish Shihab menerjemahkan sedemikian adanya.395

Sebagai perbandingan kata fitnah, dalam Tafsīr al-Qurtubī, dijelaskan:

ا قولو تعال: والفتنة أشد من القتل = أي الفتنة اليت محلوكم عليها وراموا رجوعكم هب -الثانية

إل الكفر أشد من القتل. قال ماىد : أي من أن يقتل املؤمن، فالقتل أخف عليو من الفتنة. وقال

وىذا دليل على أن غته : أي شركهم باهلل وكفرىم بو أعظم جرما وأشد من القتل الذي عتوكم بو.

يوم من رجب اآلية نزلت يف شأن عمرو بن الضرمي حت قتلو واقد بن عبد اهلل التميمي يف آخر

di bulan terhormat, dan sebatas untuk mempertahankan diri saja. Lihat Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wâhidī

al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl (Jakarta: Dina Berkah Utama, t.t), h. 33-34. 395

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera

Hati, 2004), Vol. 1, kelompok XV, h. 420.

Page 303: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

285

الشهر الرام، حسب ما ىو مذكور يف سرية عبد اهلل ابن جحش على ما يأتى بيانو، قالو الطربي

396وغته.Makna terjemahan ayat M.Thalib/MMI sangat jauh berbeda dengan redaksi ayat asal.

Pada analisis berikutnya, ―ideologi‖ penerjemahan yang dimunculkan MMI begitu jelas

terbaca, karena pada redaksi ayat bahasa sumbernya tidak tercantum frasa syariat perang dan

syariat Islam. Penerjemahannya pun cenderung kasar, radikal, dan terkesan ekstrim. Sebab

ayat ini berbicara soal perang yang tidak boleh diterapkan pada kondisi damai. Ayat tersebut

tidak bisa dilepaskan dari ayat sebelum dan setelahnya. Pemaknaan tersebut senada dengan

konsep Noam Chomsky bahwa bahasa memengaruhi penuturnya, bahasa merupakan

ungkapan dan respon kejiwaan penulis/penutur/penerjemah atas rangsangan lingkungan yang

melatarinya, seperti yang telah dipahami sebuah penerjemahan tergantung dari sosio-historis-

kultural, bahkan unsur politik juga melingkupi si penerjemahnya.

Begitu juga yang berlaku pada kasuistik term syariat Islam, di mana MMI sebagai

kelompok Islam fundamentalis yang sangat vokal dalam menggembor-gemborkan

konsep/agenda formalisasi syariat Islam di Indonesia menghadirkannya dalam bentuk

terjemahan mereka. Pembaca terjemah serasa ―diarahkan‖ atau ―digiring‖ untuk mendukung

garis perjuangan/visi dan misi mereka. Sebab, jika sudah memasuki wilayah/domain

penafsiran, faktor subjektivitas dari masing-masing penafsir, dalam konteks ini tentu saja

penerjemah, tentu akan menjiwai pandangannya terhadap sebuah ayat atau hadis. Dari sini,

MMI tampak overlapping dari pola penerjemahan Al-Qur‘an yang baku, karenanya karya

mereka lebih tepat sebagai produk tafsir, bukan terjemah.

396

Al-Qurtubī, Tafsīr al-Qurtubī (Kairo: Dar al-Sya‘ab, 2181), h. 725.

Page 304: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

286

Kedua, QS. al-Shâf [61] : ayat 11

)التعبت( رهإ ه لل ٱث عه س رهج ۦ ف ذه ج١ لل ٱ ع ثأ ىه فهغىه أ ر ١ ىه ش خ ىه ئ زه وه

ر ع ه ٠٠

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

‖(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan

Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan

harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik

bagimu jika kamu mengetahui.‖397

‖Perdagangan itu adalah kalian beriman kepada

Allah, beriman kepada Rasul-Nya dan kalian

berjihad untuk membela Islam dengan harta kalian

dan jiwa kalian. Keimanan dan jihad itu adalah

lebih baik bagi kalian, jika kalian benar-benar

menyadari beratnya adzab akhirat.‖398

Pada kalimat terjemahan di atas, Kemenag menerjemahkan secara harfiyah, namun

tidak bagi MMI, mereka menerjemahkanya secara tafsiriyah, meskipun agak cenderung

berdasarkan tafsiran ideologi mereka. Bila merujuk pada kitab tafsir seperti Tafsīr al-Jalâlain

karya Imâm Jalâluddin al-Suyûthī dan al-Mahallī399

tidak ditemukan ungkapan membela

Islam dalam redaksi ayat tersebut. Dalam Tafsīr Nawawī disebutkan, yang dimaksud dengan

ٱلل ج١ ف ع ذه رهج adalah dalam ketaatan kepada-Nya.400

Karena karya M. Thalib ini

bercorak agak ke domain tafsir, makna jihâd diinterpretasikan dengan penambahan membela

Islam. Secara analisa kebahasaan/linguistik, sedikit agak membingungkan meskipun

pembaca/target audien lebih cepat memahami. Rangkaian terjemahan M. Thalib/MMI ini

cukup eksklusif dengan mengarahkan pembacanya untuk penegakan syariat Islam. Dari sini,

MMI pun bisa dianalisis secara harfiyah, kata amwâlikum dan anfusikum diterjemahkan apa

adanya. Tampak ada inkonsistensi dalam pola penerjemahannya, yaitu terjemah dengan harta

397

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 806. 398

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 711. 399

Lihat al-Mahallī dan al-Suyûthī, Tafsīr al-Qur‟an al-„Azhīm (Jakarta: Dâr Ihya al-Kutub

al‘Arabiyyah, tt), h, 457.

400 Syaikh Muhammad Nawawi, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd

Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-2, h. 56-57.

Page 305: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

287

kalian dan jiwa kalian. Ada redundansi di sini, pengulangan yang tak perlu pada pronomina

kalian. Dibilang harfiyah pada khusus ayat ini, karena diterjemahkan apa adanya, sedangkan

terjemah Kemenag malah tampak tafsiriyah. MMI terlihat ada instabilitas dalam pola

penerjemahannya.

Berkaitan dengan persoalan makna dalam terjemahan di atas, hal itu seirama dengan

teori Noam Chomsky yang terkenal dengan teori gramatika generatif-transformatifnya,

pandangannya tentang bahasa cenderung mentalistik atau kognivistik (nazhariyyah

„aqliyyah). Menurutnya, realitas mental mendasari perilaku aktual. Setiap manusia memiliki

kaidah-kaidah universal secara natural (terwaris) yang menjadi dasar perilaku bahasa

manusia. Dalam pandangan Chomsky, bahasa merupakan cermin akal manusia. Bahasa

merupakan proses mental yang kompleks. Konsepnya ini mengantarkannya kepada

pengetahuan mengenai proses produksi bahasa. Oleh karena itu, ia menaruh perhatian

terhadap aspek psikologi bahasa yang difokuskan pada pemerolehan bahasa (language

acquisition) yang dikenal dengan teori nativistik. Teori ini juga mengatakan bahwa makna

suatu ungkapan ialah rangsangan (matsīr) yang menimbulkannya, atau respon (istijâb) yang

ditimbulkannya, atau kombinasi dari rangsangan dan respon pada waktu pengungkapan

kalimat itu. Dengan teori ini, berarti lingkungan memiliki andil besar dalam pembentukan

bahasa dan makna. Terjemahan M. Thalib tersebut tidak lain mencerminkan garis

pikirannya/organisasi yang diketuainya yang populer sebagai kelompok garis Islam radikal-

fundamentalis politis. Maka, secara naluriah hasil terjemahannya seperti yang tampak pada

kasuistik di atas.

Page 306: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

288

Ketiga, QS. al-Anfâl [8] : ayat 39

)التعبت(ل ه زه ز ل ح خ فز ر ىه ٠ ىه ه ٱ ٠ ه ذ ۥوه لل ٱ ف ا ا ز ب لل ٱ ف ا ٠ ع ث ه

٦٦ ث ظ١ش

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

‖Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada

lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah

semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran),

maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa

yang mereka kerjakan.‖401

‖Wahai Muhammad, perangilah kaum musyrik sampai tidak

ada lagi kemusyrikan dan penyembahan berhala di

Makkah, dan orang-orang Makkah mengikuti Islam

semata-mata karena Allah. Jika kaum musyrik

tidak mau berhenti dari perbuatan syirik mereka,

maka Allah Maha Mengetahui apa saja yang

mereka lakukan.‖402

Berdasarkan teori al-Zarqânī, terjemah Kemenag tampak harfiyah dan MMI

tafsiriyah. Kata ه ل زه dialihbahasakan dengan perangilah mereka, sedangkan M. Thalib

menerjemahkannya dengan perangilah kaum musyrik. Ayat di atas masih berhubungan

dengan surat al-Baqarah ayat 190 tentang izin dan perintah berperang. Ia juga berhubungan

denga ayat sebelumnya berisikan tentang masih dibukanya pintu taubat bagi kafir Quraisy

yang telah melakukan pembangkangan dan berupaya sekuat tenaga untuk mencegah

kebebasan beragama sahabat Nabi Muhammad SAW. Ayat di atas berisikan perintah untuk

memerangi mereka. Tujuan utama dari perintah tersebut adalah untuk menghindari fitnah.

Secara etimologi, kata fitnah berarti membakar logam emas dengan cara memasukkannya ke

dalam api untuk diketahui kemurniannya. Fitnah juga dipakai dengan memasukkan manusia

ke dalam api neraka. Fitnah yang dimaksud pada ayat di atas adalah fitnah sebagai tindakan

kezaliman dan di luar dari kepatutan sehingga mengancam kaum Muslimin. Menurut

penjelasan Ibnu Umar ra., mengenai ayat di atas, bahwa pada zaman Nabi SAW jumlah umat

401

Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 245. 402

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 213.

Page 307: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

289

Islam masih sedikit. Ketika seseorang baru masuk Islam, ia difitnah baik dengan cara

membunuhnya, maupun mengikatnya dengan tali. Namun, ketika umat Islam telah banyak

kuantitasnya, fitnah tersebut tidak ada lagi. Terkait ini, Ibnu Hajar al-‘Asqallânī dalam

Syarah Sahih al-Bukhârī memaparkan sebuah hadis yang berkenaan dengan ayat di atas:

ل ) ه زه ز ل ح إذ كان ابن عمر: قد فعلنا على عهد رسول اهلل، قال ( خ ز ف ر ىه

، اإلسالم قليال، فكان الرجل يفب يف دينو: إما يقتلوه وإما يوثقوه، حىت كثر اإلسالم، فلم تكن فتنة

403فلما رأى أنو ال يوافقو فيما يريد.

Selain untuk menghilangkan fitnah, dalam pandangan M. Quraish Shihab,

sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar, tujuan utama perintah perang pada ayat tersebut

adalah untuk menegakkan din (agama) sepenuhnya bagi Allah SWT. Kata din dalam ayat ini

dapat dimaknai sebagai agama Allah SWT yang salah satu bentuknya adalah menegakkan

dan mendukung kebebasan beragama. Kepatuhan kepada Allah SWT, adalah melaksanakan

apa yang diperintahkan-Nya. Adapun memaksakan orang lain memilih agama tertentu,

apalagi memeranginya untuk tujuan tersebut sama sekali bukan cermin kepatuhan kepada

Allah SWT. Tidak tepat kiranya tuduhan yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur‘an menyuruh

umatnya menyebarkan agama dengan perang.404

Sebagai pembanding terjemahan ayat ini apa

yang dilakukan oleh ulama tafsir Indonesia, Mahmud Yunus menerjemahkan dengan:

‖Perangilah mereka itu, hingga tak ada fitnah dan adalah agama sekaliannya bagi Allah. Jika

mereka berhenti, sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan.‖ kata

fitnah dialihbahasakan seperti adanya saja. Meskipun begitu, beliau memberikan keterangan

di catatan kaki (footnote) yaitu hendaklah perangi orang-orang kafir itu sehingga habis fitnah.

403

Ibnu Hajar al-‗Asqallânī, Fath al-Bârī bi Syarhi Sahīh al-Bukhârī (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2004), juz

ke-8, h, 360. 404

Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media

Komputindo Gramedia, 2014), h. 132.

Page 308: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

290

Arti fitnah itu ialah ancaman dan bermacam-macam siksaan yang diderita oleh seseorang,

karena ia memeluk agama Islam.405

Keempat, QS. al-Taubah [9] : ayat 5

)التعبت( ذها ه ٱل عه ه شه ٱح ظه زهه خه ه ه ذر ج ١ ثه ح ش شو١ ه ا ٱ ه ه ف ٱل زه شه حه خ ٱل ش هشه ٱ ا ٱغ ف ار

٤ س سح١ فه ٱلل غ ئ ه ج١ ا ع ح ف خ ا ٱضو ه ار ء ح ا ٱظ ه أ ل ب ا ذ ف ا ر بثه ش ط وه

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

‖Apabila telah habis bulan-bulan haram,

maka perangilah orang-orang musyrik di

mana saja kamu temui, tangkaplah dan

kepunglah mereka, dan awasilah di tempat

pengintaian. Jika mereka bertobat dan

melaksanakan salat serta menunaikan zakat,

maka berilah kebebasan kepada mereka.

Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha

Penyayang.‖406

‖Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram

telah berlalu, maka umumkanlah perang kepada

kaum musyrik di mana saja kalian temui mereka

di Tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah

mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka

dari segenap penjuru. Jika kaum musyrik

bertaubat, lalu melakukan shalat dan menunaikan

zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka.

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

kepada semua makhluk-Nya.‖407

Apabila ayat ini diinterpretasi secara parsial/skriptual, tidak holistik, dan dilepaskan

dari kaidah asbâb nuzûl al-ayat (sisi historis/latar belakang turunnya ayat), maka siapa saja

yang membacanya, apalagi nonmuslim, tentu akan sangat membahayakan. Akan tercipta

bahwa agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan tindakan anarkis dan

destruktif. Pemandangan itu bisa kita lihat dalam praktek keberagaman masyarakat kekinian

di dunia, terutama di Barat (baca: Amerika dan sekutu-sekutunya), selalu saja mereka

menyematkan agama Islam yang luhur ini sebagai agama yang membawa kekerasan, kasar,

penyebar teror, dan sebagainya yang merendahkan, padahal sejatinya ayat tersebut berbicara

405

Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim Prof. Dr. H. Mahmud Yunus (Jakarta: Mahmud Yunus wa

Dzurriyyah, 2015), h. 252. 406

Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 254. 407

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 220.

Page 309: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

291

pada kondisi peperangan. Untuk aplikasi ayat-ayat model seperti itu tidak boleh digunakan

pada suasana damai.

Al-Suyûthī juga tidak menyebutkan asbâb al-nuzûl ayat ini. Namun, dari rangkaian

ayat sebelumnya diperoleh informasi bahwa ayat ini berkenaan dengan kondisi interaksi

kaum Muslimin dengan kaum musyrikin. Ayat ini menekankan perihal sikap kaum Muslimin

setelah melewati bulan-bulan yang dihormati (al-Asyhur al-Hurum). Dalam konteks ayat ini,

kata al-musyrikīn menurut Sayyid Thantawi sebagaimana yang dirujuk Nasaruddin Umar

diartikan sebagai orang-orang khianat yang menghentikan tenggat waktu damai bagi mereka.

Sedangkan bagi mereka yang tidak khianat dan tetap mematuhi perjanjian damai dalam

tenggang waktu tertentu di antara mereka, maka tidak termasuk cakupan kata tersebut.

Adapun perintah ا ه dalam ayat ini bukanlah perintah wajib, tetapi hanya ف ٱل زه

semacam izin untuk memerangi. Hal ini sama dengan perintah menangkap dan menawan

mereka. Perintah tersebut bertujuan membebaskan wilayah Mekkah dan sekitarnya atau

paling tidak Jazirah Arab dari pengaruh kemusyrikan. Wahbah al-Zuhayli sebagaimana yang

dikutip Nasaruddin Umar, menjelaskan bahwa perintah qitâl pada ayat ini adalah khusus pada

kaum musyrikin Arab, bukan selainnya. Menurut Ibnu Katsir, perintah memerangi kaum

musyrikin pada konteks ayat ini bersifat temporer, yaitu hanya berlaku pada tahun itu saja,

karena menurut pendapat mayoritas bahwa dilarang berperang di Masjidil haram.

Setelah Nabi SAW wafat, maka Abu Bakar selaku khalifah menggunakan ayat di

atas sebagai dalil untuk memerangi orang murtad. Di awal kepemimpinannya, banyak orang

muslim yang lemah imannya beralih ke agama semula. Mereka beranggapan bahwa Nabi

Muhammad SAW telah wafat dan risalah kenabiannya telah terputus. Selain itu, banyak

kaum Muslimin yang enggan membayar zakat di mana ketika itu zakat dipungut oleh Negara.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Khalifah Abu Bakar bermusyarawah dengan Umar,

Page 310: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

292

kemudian mereka memutuskan untuk memerangi mereka.408

Dalam Tafsir Ibnu Katsir

dijelaskan makna ayat ش شو١ ه ا ٱ ه ه ف ٱل زه شه حه خ ٱل ش هشه ٱ ا ٱغ yaitu ف ار 409

ع١ ىفبس أ اىزبة

Kelima, QS. al-Hajj [22] : ayat 78

)التعبت(ج ك لل ٱ ف ذها ۦ ج بد ح ز ج ى ج ٱ ه ب ىه ع ١ ج ع ٱ ف ىه ٠ ذ ج ش خ ح ش ئث أ ث١ىه ١

ى ه ه ع غ ٱ ىه ه ١ ف ه ل ج ا ز ١ذا شعهيه ٱ ١ ىه ١ ش ع ا ىه ر ىهه ا ء شه ذ ع

ا بط ٱ ه ٱ ف أ ل١ ا ح ظ اره ء ٱ ا ع ٱ ح ضو ه لل ٱث ز ظ ه ى ع ىه ٱ ف ع ظ١شه ٱ

٤٥

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan

jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah

memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan

kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah)

agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah)

telah menamakan kamu orang-orang muslim

sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-

Qur‘an) ini, supaya Rasul (Muhammad) itu

menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu

semua menjadi saksi atas segenap manusia.

Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah

zakat dan berpegangteguhlah kepada Allah.

Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik

pelindung dan sebaik-baik penolong.‖410

‖Wahai orang-orang mukmin, berjihadlah kalian

dengan sungguh-sungguh untuk membela Islam.

Allah akan menguji kalian. Allah tidak membuat

syari‘at agama yang memberatkan kalian. Syari‘at

agama kalian itu juga syari‘at Ibrahim, nenek

moyang kalian. Sejak semula Allah menamakan

kalian muslimin di dalam kitab-kitab suci terdahulu

dan dalam Al-Qur‘an ini. Agar Muhammad

menjadi rasul yang kelak menjadi saksi bagi kalian,

dan kalian menjadi saksi bagi umat para rasul

sebelumnya. Karena itu, laksanakanlah shalat,

keluarkan zakat dan berpegang teguhlah pada

Islam, agama Allah. Allah adalah Tuhan yang

menjadi penguasa kalian. Allah adalah sebaik-baik

penguasa dan sebaik-baik pemberi pertolongan.‖411

Berdasarkan konsep al-Zarqâī tentang penerjemahan, maka TerjemahnKemenag

harfiyah sedangkan M. Thalib tafsiriyah. Kemenag menerjemahkan ك ذها ف ٱلل ح ج

,dengan ―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya ج بدۦ

sedangkan MMI dengan ‖Wahai orang-orang mukmin, berjihadlah kalian dengan sungguh-

sungguh untuk membela Islam. Allah akan menguji kalian. Terjemahan M. Thalib

408

Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media

Komputindo Gramedia, 2014), h. 134. 409

Ibnu Katsir Abi al-Fida Ismail bin Katsir al-Dimasyī, Tafsir Ibnu Katsir (Dar Ihya al-Kutub al-

‗Arabiyyah: Isa al-Halaby wa Syurakauhu, t.t), h. 371. 410

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 474. 411

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 415

Page 311: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

293

dipengaruhi oleh struktur bahasa dan sesuai dengan konsep pikiran/benaknya. Pembaca terasa

digiring pada visi-misi dan garis perjuangan MMI. Dari penerjemahan ayat sebelumnya,

mereka kerap membawa alam pikiran pembaca/target audien tarjamah tafsiriyah untuk selalu

membela Islam, meninggikan formalisasi syariat Islam, dan syariat perang, misalnya. Hal ini

tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi MMI dan pelabelan kelompok Islam garis keras mereka

yang rigid dan fundamentalis dan mendukung basis spirit/perjuangan mereka. Konseptual

semantik mentalisme Noam Chomsky bisa digunakan untuk menganalisis penerjemahan ayat

ini, bahwa bahasa merefleksikan/mengekspresikan pikiran penuturnya, begitu juga yang

diaplikasikan pada sebuah penafsiran/penerjemahan yang memang acap kali dilatarbelakangi

oleh sisi back ground knowledege penerjemahnya, baik sosio-historis-kulturalnya. Frasa

‖syariat agama‖ muncul dalam terjemahan MMI, jelas memberikan bahwa bahasa merupakan

cerminan pola pikir dan pola rasa yang tersematkan pada pola keagamaan fundamentalisme

politis tersebut, yang terkesan mengarahkan pembacanya untuk men-support garis perjuangan

mereka. Frasa yang digunakan tidak lazim dalam kalimat terjemahan dan mengundang

kerancuan makna sehingga terjemahan menjadi tidak efektif. Ini juga selaras dengan

konsep/teori situasi dan kontekstualisasi (نظرية سياقية), menurut teori ini cara untuk

memahami makna bukan dengan melihat, mendeskripsikan atau mendefinisikan acuan/benda.

Akan tetapi, makna dipahami melalui konteks kebahasaan (siyâq lughawī) yang digunakan

dan konteks situasi-kondisi (siyâq hâl-mawqif) pada saat ungkapan itu terjadi. Oleh karena

itu, studi tentang makna perlu menganalisis konteks kebahasaan dan konteks situasi-kondisi

secara sekaligus, tepat, dan cermat.

Page 312: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

294

Keenam, QS. al-Tahrīm [66] : ayat 9

)التعبت( ٱ أ ٠ ب٠ فبس ٱ ذ ج ج ٱ ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ ع أ ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٦

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir

dan orang-orang munafik dan bersikap

keraslah terhadap mereka. Tempat mereka

adalah Jahanam dan itulah seburuk-buruk

tempat kembali.‖412

―Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan orang-

orang kafir yang melanggar perjanjian damai

dengan senjata, dan melawan orang-orang munafik

dengan hujah dan ancaman. Lakukanlah tindakan

keras kepada kaum kafir dan munafik. Tempat

tinggal kaum kafir dan munafik kelak adalah

neraka Jahanam, seburuk-buruk tempat tinggal.‖413

Terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib dengan metode

tafsiriyah. Kata فبس ىه ذ ٱ dialihbahasakan dengan berjuang melawan orang kafir yang ج

melanggar perjanjian damai dengan pedang. Terjemahan pada contoh ayat ini membedakan

perlakuan terhadap kaum munafik dengan kaum kafir. Untuk kaum munafik, tidak

dibenarkan menggunakan kekuatan senjata, tetapi hanya menggunakan argumentasi dan

hujjah saja, alias mereka tidak boleh diperangi. Berbeda dengan kaum kafir yang menyatakan

kekafirannya secara terang-terangan, yang dibolehkan menghadapinya dengan kekuatan

senjata/perang (silâh). Dari sini jelas bahwa jihâd tidak selamanya bermakna qitâl.

Seandainya jihâd yang menjadi (stressing) ditekankan pada ayat itu adalah qitâl, tentu hal

tersebut sudah dilakukan oleh Rasulullah sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah

SWT. Akan tetapi, beliau tidak memerangi orang-orang munafik.414

M. Thalib menyuguhkan

terjemahannya dengan memasukkan ideologi garis perjuangan mereka. Hal demikian sangat

412

Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 820. 413

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 723. 414

Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟

Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih

Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,

2009), h. 76.

Page 313: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

295

wajar, sebab seorang penafsir atau penerjemah akan terkungkung dengan tingkat

keterpahaman, lingkungan, latar belakang keilmuan yang melatarinya. Penerjemahan ayat ini

ditakutkan dapat mendistorsi maksud ayat jika tidak mempertimbangkan aspek pemaknaan

leksikal, kemudian penafsiran ulama sebelumnya, serta latar sosio-historis-kulturalnya.

Redaksi terjemahan tafsiriyah ada kecenderungan diarahkan untuk mendukung perjuangan

agenda organisasi yang tersemat pada penerjemahnya. Dan ini seiring/sesuai dengan konsep

Noam Chomsky.

Kita harus memahami Islam secara komprehensif, tidak parsial. Sebagaimana yang

telah penulis jelaskan di awal, bahwa ada sejumlah ayat Al-Qur‘an dan hadis Nabi yang

berbicara tentang perang dan nada yang mengulas tentang kondisi damai. Kesemuanya harus

bisa diterapkan secara proporsional dan tepat. Pada kasus ayat ini, bila kita

mengaplikasikannya di dalam kehidupan masyarakat dalam situasi damai, maka kita akan

bisa saja menjadi jihadis-teroris. Sebab ayat tersebut berbicara peperangan dan mesti

diterapkan pada kondisi perang. Kita harus paham bahwa Islam tidak hanya terdiri dari ayat

ini. bahkan banyak ayat lain yang bercerita tentang perdamaian antar sesama umat manusia.

Mungkin bila ada orang Islam/kaum muslimin yang menggunakan ayat perang ini untuk

kondisi damai, itu berarti merupakan suatu kesalahan. Untuk memahami Islam, kita mesti

melihatnya dari Rasulullah SAW, bukan dari seorang muslim yang mungki keliru dalam

memahami ajaran Islam. Mungkin saja salah seorang muslim di antara kita membuat

kesalahan dalam menginterpretasikan ajaran Islam. Namun, kita tidak boleh menggeneralisir

bahwa Islam seperti itu. Itu hanya kasus personal yang keliru, bukan ajaran Islam yang

sebenarnya.415

Dikarenakan karya MMI ini terjemah tafsiriyah, hasil terjemahannya sama dengan

tafsir al-Thabari, seperti berikut ini:

415

Ali Mustafa Yaqub, Islam between War and Peace (Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2009), h. 58.

Page 314: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

296

ٱ أ ٠ ب٠ فبس ٱ ذ ج ج ٱ ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ ع أ ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٦

ٱ أ ٠ ب٠ ) ع ع١ هللا ط حذ ج١ روش رعب ٠مي فبس ٱ ذ ج ج ٱ ) ثبغ١ (ىه ه ( فم١

ٱ أ ٠ ب٠ ل لزبدح ع ،عع١ذ ثب: لبي ،ثشش حذثب ب ره ف ٠مي لزبدح وب .اغب ثبع١ذ ذ ج ج

فبس ٱ ٱ ىه ه ٠غع ع اب فم١ . ع١ اظلح اغل أ ٠جبذ اىفبس ثبغ١ ج١ هللا أش: لبي فم١

١ هع غ ٱ . ثبحذد ع أ . هللا راد ف ع١ اشذد: ٠مي ى ه ه ظ١ش ج ىث/ ٠مي ج

ثئ . ج بس ئ١ ٠ظ١ش از ظ١شه ٱ ظ ثئ : لبي ٦ .ج ئ١ ٠ظ١ش از ػع ٱ ظ 416

Ketujuh, QS. al-Taubah [9] : 20

)التعبت( ٱ ا ز٠ ه ا ا ء شه بج ج ف ذها ج١ لل ٱ ع ثأ فهغ أ ه أ ع خ ظ ج س لل ٱ عذ د

أه ئه

ه ف ب ٱ ه ٣٦ ئضه

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Orang-orang yang beriman dan berhijrah

serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan

jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di

sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang

memperoleh kemenangan.‖417

―Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan

berjihad guna membela Islam dengan harta dan

jiwa mereka, di sisi Allah mereka mendapatkan

derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang

yang tidak berhijrah dan berjihad. Mereka itulah

orang-orang yang selamat dari siksa neraka.‖418

Terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. MMI

menerjemahkan kata jihâd dengan membela Islam. Bila kita sepintas membaca terjemahan

ayat ini, seakan-akan Islam terkesan agama yang menyuruh berperang. Padahal, Al-Qur‘an

dan pengalaman Rasulullah SAW menunjukkan bahwa jihâd itu tidak harus selamanya

dengan kekerasan, kekejaman, apalagi sampai menghilangkan jiwa manusia yang tak

berdosa, seperti pengeboman yang sangat memilukan hati itu. Ada sekitar 41 ayat jihâd

seperti telah dijelaskan sebelumnya di awal, namun perintah ber-jihâd itu selalu diawali

416

Ibnu Jarir al-Thobari, Tafsīr al-Thabarī, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wil ay al-Qur‟an (Kairo Mesir:

Syirkah Mustafa al-Halaby wa Awladihi, 1954), h. 169. 417

Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 256. 418

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 223.

Page 315: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

297

dengan perintah hijrah terlebih dahulu dan ini terbukti pada kasus ayat ini, yaitu ا و ر اج ى ا و و ن م ا

ج ذها dan tidak pernah sebaliknyaو ج اى د و ا lalu ا شه بج . Dengan begitu, jihâd sejatinya

bukan untuk menghilangkan nyawa manusia, melainkan menghidupkan orang. Terjemahan

MMI dalam ayat ini cenderung menggiring pembaca kepada agenda perjuangan mereka

yakni penegakan syariat Islam, Islam tampak lebih superioritas dengan dorongan semangat

pembelaan jihâd. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa

karakteristik MMI adalah disiplin menegakan atau menjalankan dakwah serta jihâd, dan

komitmen menyatukan seluruh kekuatan kaum Muslimin di Indonesia untuk berjuang

menegakkan panji-panji syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan. Hal ini tentunya selaras

dengan konsep Noam Chomsky bahwa bahasa merefleksikan pikiran

penuturnya/penafsinya/penerjemahnya. Bahasa merupakan ungkapan dan respon kejiwaan

penulisnya/penuturnya/penerjemahnya atas rangsangan lingkungan yang melingkupinya. M.

Thalib memberi padanan redaksi yang agak meluas dari redaksional bahasa asalnya/teks

aslinya.

Kedelapan, QS. al-Taubah [9] : 73

)التعبت( ٱ أ ٠ ب٠ فبس ٱ ذ ج ج ٱ ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ ع أ ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٤٦

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

Page 316: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

298

―Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-

orang kafir dan orang-orang munafik, dan

bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat

mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah

seburuk-buruk tempat kembali.‖419

―Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan kaum

kafir dan kaum munafik, dan bersikap keraslah

terhadap mereka. Tempat tinggal mereka kelak

adalah neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk

tempat.‖420

Mengacu pada gagasan al-Zarqânī dan al-Qatthân, Terjemah Kemenag terlihat

harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. Kata فبس ىه ذ ٱ dialihbahasakan dengan ج

berjuanglah melawan kaum kafir. Terjemahan pada contoh ayat ini membedakan perlakuan

terhadap kaum munafik dengan kaum kafir. Untuk kaum munafik, tidak dibenarkan

menggunakan kekuatan senjata, tetapi hanya menggunakan argumentasi dan hujjah. Berbeda

dengan kaum kafir yang dibolehkan menghadapinya dengan kekuatan senjata/perang.

MMI/M. Thalib menyuguhkan terjemahannya dengan memasukkan ideologi garis perjuangan

mereka. Penerjemahan ayat ini ditakutkan dapat mendistorsi maksud ayat jika tidak

mempertimbangkan aspek pemaknaan leksikal dan semantik gramatikal, kemudian

penafsiran ulama sebelumnya, serta latar sosio-historis-kulturalnya. Redaksi terjemahan

tafsiriyah ada kecenderungan diarahkan untuk mendukung perjuangan agenda organisasi

yang tersemat pada penerjemahnya.

Hal ini senada dengan konsep yang ditawarkan Noam Chomsky bahwa komponen

semantik memberikan interpretasi makna pada deretan unsur terjemahan yang dihasilkan oleh

subkomponen dasar (dari komponen sintaksis dan fonologis). Kata berjuanglah dalam

terjemahan MMI berbeda dengan terjemah Al-Qur‘an Kemenag yakni berjihadlah! Yang

tentunya output terjemahannya berpengaruh pada interpretasi ayat itu. Dalam tataran

generatif transformatif, bahwa pada proses pemaknaan teks harus berdasarkan teori konteks

yang memperhatikan konsep-konsep pikiran (mind) sehingga akan didapati makna yang

419

Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 267. 420

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan

Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 233. Hak penerbitan

dan publikasi pada Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta – Indonesia.

Page 317: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

299

sesuai dengan penutur/penerjemah ketika mengungkapkan bahasanya. Selain itu, menurut

Yusuf al-Qardhâwī, makna bersikap keras ١ ٱغ هع ع yaitu tidak memandang remeh

tindakan yang dilakukan oleh dua kelompok kafir dan munafik untuk mengganggu Islam dan

para pengikutnya. Apabila mereka berbuat demikian, mereka harus dilawan dengan keras

tanpa belas kasih.421

Sebagai komprasi, bandingkan dengan terjemahan Teungku Muhammad

Hasbi al-Shiddīqī: ―Wahai Nabi, tunjukkanlah segala kemampuanmu dalam menantang

orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan berlakulah keras terhadap mereka, dan

tempat kembali mereka adalah jahanam dan itulah sejahat-jahat tempat kembali.‖422

Kesembilan, QS. Muhammad (47) : ayat 31

)التعبت( ج ىه ه ز ع ح ٱ

ج ه ذ٠ ىه ظ ٱ ج جش٠ ا أ خ ه وه ٦٠ ج بس

(Terjemah Kemenag)

(Terjemah MMI)

―Dan sungguh, Kami benar-benar akan

menguji kamu sehingga Kami mengetahui

orang-orang yang benar-benar berjihad

dan bersabar di antara kamu; dan akan

Kami uji perihal kamu.‖423

―Wahai orang-orang beriman, Kami akan

menguji kalian, sehingga dapat Kami buktikan

siapa di antara kalian yang mau berjihad dan

bersabar menghadapi musuh Allah. Kami akan

menampakkan keadaan yang sebenarnya dari

kalian semua.”424

421

Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟

Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih

Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,

2009), h. 77. 422

Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddiqi, Al-Bayân, Tafsir Penjelas Al-Qur‟anul Karim (Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2002), Juz 1-15, h. 443. 423

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 735 424

M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan

Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 649. Hak penerbitan

dan publikasi pada Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta – Indonesia.

Page 318: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

300

Berlandaskan pada teori al-Zarqânī dan al-Zahabī, terjemah Al-Qur‘an Kemenag

harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib bercorak tafsiriyah. Bila ditelaah dari aspek semantik

leksikal dan gamatikal (tata bahasa), M. Thalib menerjemahkan kalimat ع ز ح ىه ج ه

ذ ٠ ج ه dengan penambahan Wahai orang-orang beriman yang sebenarnya tidak ada dalam ٱ

redaksi ayat Al-Qur‘an. Adapun kata al-mujâhidīn dialihbahasakan siapa di antara kalian

yang berjihad dan kata al-shâbirīn dengan arti bersabar menghadapi musuh berbeda dengan

terjemah Al-Qur‘an Kemenag secara apa adanya sesuai dengan redaksi awal. Noam Chomsky

yang terkenal dengan gagasan tata bahasa transformasi atau tata bahasa generatif,

mengatakan bahwa tugas tata bahasa adalah harus memenuhi dua syarat: pertama, kalimat

yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut

sebagai kalimat yang wajar dan kedua tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa

sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu

saja.

Ada gejala yang tak lazim dalan penerjemahan ayat di atas yang dilakukan M.

Thalib. Kemunculan kalimat wahai orang-orang beriman cukup problematik. Lalu, arti

bersabar menghadapi musuh, tampak begitu emosional dan menggebu-gebu, karena pada

umumnya sabar terklasifikasi hanya tiga: bersabar dalam taat kepada Allah; sabar atas

musibah/ujian; dan sabar dalam meninggalkan maksiat. Sejalan dengan konsep

kompetensi/kemampuan (competence) dan perbuatan bahasa (performance), Chomsky

mengatakan bahwa kemampuan ialah pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai

bahasanya. Pada contoh kasuistik ini, terjemahan ayat di atas tampaknya cenderung pada

pengetahuan penerjemahnya, bahasa yang digunakan dalam terjemahannya tersebut

merefleksikan pola pikir keagamaan M. Thalib. Kaidah tata bahasa menggambarkan

kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak wajar serta cukup

menggambarkan hubungan bunyi (redaksi Al-Qur‘an) dan arti (terjemahan ayat) dalam

Page 319: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

301

bentuk kaidah-kaidah yang tepat dan jelas. Sebab, kompetensi/kualitas bahasa seseorang

mengekspresikan jalan pikiran penuturnya dan hubungan antara lafal/bahasa (intra-lingual)

dengan sesuatu yang ada di luar bahasa (ekstra-lingual) cukup signifikan.

Page 320: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

302

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Merujuk pada gagasan al-Zarqânī, al-Zahabī, dan al-Qatthân tentang definisi

terjemah, harus diakui, bahwa terjemah Al-Qur‘an Kemenag bersifat harfiyah, sedangkan

terjemah MMI tafsiriyah. Meskipun begitu, kedua-duanya dibenarkan dari aspek metode

penerjemahan. Tidak benar bila terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama menjadi pemicu

beragam aksi terorisme di Indonesia. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan,

perilaku radikalisme/terorisme agama berkorelasi positif dengan pemahaman agama

seseorang yang dangkal, tidak holistik, dan tekstualis/skriptualis. Pemahaman literalis dan

subjektif terhadap kitab suci dan teks keagamaan lainnya lah yang bisa menjadi variabel

paling signifikan dalam mendorong timbulnya terorisme agama. Di satu sisi, kehadiran

terjemah tafsiriyah MMI yang semula sebagai koreksi atas terjemah Al-Qur‘an Kemenag

justru menimbulkan masalah baru, dan kurang tepat bila dikatakan sebagai solusi terjemahan

apalagi sebagai bentuk deradikalisasi (menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap teks

keagamaan). Sebab, MMI sendiri tergolong kelompok fundamentalisme Islam politis yang

cenderung kaku, kurang bisa menerima keragaman pendapat, cenderung radikal pola

pemikirannya, dan terjemahan mereka pun masih bisa diperdebatkan serta layak diberi

catatan-catatan.

Riset ini juga berkesimpulan bahwa terkait radikalisme agama maupun terorisme

di Indonesia, bahkan dalam konteks global, sangat besar dipengaruhi oleh pandangan yang

kerdil, literalis, dan sempit terkait pemahaman agama seseorang (ideologi), terutama ayat-

ayat yang bercorak jihâd dan perang (qitâl), kemudian adanya faktor ketimpangan sosial-

Page 321: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

303

politik, ketidakadilan, dan siklus ekonomi yang tidak stabil, problem pengangguran,

ketimpangan kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan lemahnya sistem ketahanan negara.

B. Saran-saran / Rekomendasi

Berdasarkan temuan dan analisis data yang dilakukan, saran-saran yang bisa

diketengahkan antara lain:

1) Temuan MMI perlu disimpan sebagai kekayaan khazanah intelektual, yang akan

dibaca ummat dan dijadikan bahan pertimbangan ketika ada revisi terjemahan Kemenag

berikutnya. Meskipun nanti perlu dikaji lebih mendalam.

2) Pola Penerjemahan MMI/M. Thalib lebih mencerminkan pola pikir penyusunnya.

Seperti gagasan Noam Chomsky bahwa bahasa merefleksikan pola pikir penuturnya. Di

samping itu, M. Thalib berbeda sekali penafsirannya dengan metodologi ulama tafsir yang

menjadi referensinya seperti terjemah ayat jihâd, qitâl, syariat perang, dan syariat Islam,

meskipun ujarannya lebih lugas, selain mendorong garis besar ideologi perjuangan mereka.

Karena itu, terjemahan tafsiriyah M.Thalib ini, menurut hemat penulis adalah terjemahan

‖ideologis‘‘ mereka.

3) Deideologisasi dan deradikalisasi yang ideal adalah dengan mentransformasikan

pemahaman agama yang utuh, holistik, tidak parsial, harus komprehensif, bukan justru

menimbulkan permasalahan baru. Oleh karena itu tidak cukup belajar agama hanya melalui

terjemah Al-Qur‘an, harus menelusuri buku-buku Tafsir yang lebih luas penjelasannya.

4) Sejumlah terjemahan Kemenag memang bernada perintah (fi‟il amr, aktif), namun

karena menggunakan harfiyah, maka begitulah hasilnya. Sedangkan MMI lebih tafsiriyah.

Penelitian ini semoga berguna bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Kritik konstruktif,

saran, dan masukan sangat penulis nantikan demi kesempurnaan karya ilmiah sejenis lainnya,

yang nantinya dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak tertentu sebagai bahan pertimbangan

dalam membuat kebijakan-kebijakan (policy maker). Wallâhu a‟lam bi al-shawâb.

Page 322: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

304

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an, Terjemahnya, dan Tafsirnya

Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI, Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia,

2012.

Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan), Jakarta: Direktorat

Bimas Islam Kemenag, 2012.

Thalib, M. Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah,

Tepat dan Mencerahkan, Yogyakarta: Ma‘had An-Nabawy Markaz Pusat Majelis

Mujahidin, 2013.

Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, Jakarta:

Lentera Hati, 2004, Vol. 1, kelompok XV.

-------------------------, Al-Qur‟an dan Maknanya: Dilengkapi Asbâbun Nuzûl, Makna dan

Tujuan Surah, dan Pedoman Tajwid, Tangerang: Lentera Hati, 2013.

Yunus, Mahmud. Tafsīr Qur‟an Karīm Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Jakarta: Mahmud Yunus

wa Dzurriyyah, 2015.

Al-Shiddīqī, Teungku Muhammad Hasbi. Al-Bayân, Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim,

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.

Al-Dimasyqī, Ibnu Katsīr Abi al-Fida Ismail bin Katsīr, Tafsir Ibnu Katsīr, Dar Ihya al-Kutub

al-‗Arabiyyah: Isa al-Halaby wa Syurakauhu, t.t.

Al-Thobari, Ibnu Jarir, Tafsīr al-Thabarī, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wil ay al-Qur‟an (Kairo

Mesir: Syirkah Mustafa al-Halaby wa Awladihi, 1954.

Al-Qurtubī, Tafsīr al-Qurtubī, Kairo: Dar al-Sya‘ab, t.t.

Kamus-Kamus Arab dan Indonesia (Klasik, Modern, dan Kontemporer)

Al-Bâqī, Muhammad Fuâd Abd. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi

Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarīf, Kairo: Dâr al-Hadīs, 2007.

Al-Jurjâni, Ali. al-Ta‟rīfât, Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2003.

Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus (al-„Ashri) Kontemporer Arab-Indonesia,

Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998.

Page 323: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

305

Ba‘albaki, Munir, dan Rohi Ba‘albaki, Kamus al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Terj:

Achmad Sunarto, Surabaya: Halim Jaya, 2006.

Djuaeni, M. Napis. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Istilah Politik-Ekonomi), Jakarta:

Mizan Publika, 2006.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Departemen Pendidikan

Nasional, Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015.

Munawwir, KH. Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997. Marjuni, Kamaluddin Nurdin. Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-

Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2009.

Yusuf, dkk., Choirul Fuad. Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Buddha, Khonghucu), Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan

Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015.

Buku-Buku

Al-‗Asqallânī, Ibnu Hajar. Fathul Bârī bi Syarhi Sahīh al-Bukhârī, Kairo: Dâr al-Hadīs,

2004.

Al-Bantanī, Syaikh Nawawi. Nihâyat al-Zain fi Irsyâd al-Mubtadiīn, Beirût: Dâr al-Fikr,

2005.

Al-Dimasyqī, Taqiyyuddīn. Kifâyat al-Akhyâr fī Halli Ghâyat al-Ikhtishâr, Beirût: Dâr al-

Fikr, 1994.

Al-Ghalâyainī, Syaikh Musthafâ. Jâmi‟ al-Durûs al-„Arabiyyah: Mausû‟ah fī Tsalâtsati

Azjâ‟, Kairo: Dâr al-Hadīs, 2005.

Al-Mubârakfûrī, Tuhfah al-Ahwadzī bi Syarhi Jâmi‟ al-Tirmidzī (Syarah Sunan al-Tirmidzī,

Kairo: Dâr al-Hadīs, 2001.

Al-Mahallī dan Jalâluddīn al-Suyûthī, Tafsīr al-Qur‟an al-„Azhīm, Indonesia: Dâr Ihyâ al-

Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.

Al-Naisabûri, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wâhidī. Asbâb al-Nuzûl, Jakarta: Dina Berkah

Utama, t.t.

Al-Shâbûnī, Syaikh Muhammad Ali. al-Tibyân fī „Ulûm al-Qur‟an, Jakarta: Dâr al-Kutub al-

Islâmiyyah, 2003.

Al-Qatthân, Mannâ‘ Khalīl. Mabâhits fī „Ulûm al-Qur‟an, edisi terjemahan bahasa Indonesia

“Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an,” Penerjemah: Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera Antar

Nusa, 2015.

Page 324: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

306

Al-Zarqânī, Syaikh ‗Abdul ‗Azhim. Manâhil al-„Irfân fī „Ulûm al-Qur‟an, Kairo: Dâr al-

Hadīs, 2001, juz ke-2.

Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim

Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana,

1999.

Afadhal, dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005.

Agus, Zulkifli. Orientasi Pemikiran Semantik Ibnu Jinnī: Analisis Buku al-Khashâis; Suatu

Tinjauan dari Segi Makna, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2004.

Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddin al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir), Jakarta: SPs

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Asyhari, Korelasi Tarjamah Harfiyah dan Ekstrimisme: Studi Kritis terhadap Al-Qur‟an

Terjemah Kementerian Agama RI, Surabaya: Pascasarjana UIN Sunan Ampel, 2015.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,

2002.

Ali, Nizar. Hadis versus Sains, Yogyakarta: Teras, 2008.

Arrosyid, Alif. Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia tahun

2000-2005, Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Azra, Azyumardi. Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim dari Australia hingga Timur Tengah,

Jakarta: Hikmah Mizan, 2007.

---------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan

XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Edisi Perenial. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2013. ---------------------, Pergolakan Politik Islam, Jakarta: Paramadina University, 1996.

Ali, As‘ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa, Jakarta: Pustaka LP3ES,

2010.

Alkaf, Halid. Liberalisme Islam Indonesia: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam

Liberal di Indonesia. Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

Bakti, Agus Surya. Merintis Jalan Mencegah Terorisme: (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta:

Semarak Lautan Warna, 2004.

------------------------, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan

Deradikalisasi, Jakarta: Daulat Press, 2014.

Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2004.

Page 325: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

307

Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu

Sosial lainnya, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.

Busyro, Muhtarom. Shorof Praktis Metode Krapyak. Pengantar: KH. Ahmad Warson

Munawwir dan KH. Atabik Ali, Yogyakarta: Menara Kudus, 2007.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007. ----------------, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. ----------------, Leksikologi dan Leksikografi Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007.

Chomsky, Noam. Aspects of The Theory of Syntax, Cambridge Massachusetts Institute of

Technology: The M.I.T. Press ,1965.

----------------------, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use, New York: Praeger

Publishers, 1986.

---------------------, Language and Mind, UK: Cambridge University Press, 2006.

Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik I; Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung: Eresco,

1993.

Djojosuroto, Kinayati. Filsafat Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Pinus, 2006.

Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (Editors), The Sage Handbook of Qualitative

Research, California USA: Sage Publication, 2005.

Enizar. Jihad ! the Best Jihad for Moslems, Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2007.

Hanafi, Muchlis M. Islam, Kekerasan, dan Terorisme, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf

Al-Qur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015.

-----------------------, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan

Al-Qur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf LPMA Balitbang Kemenag

RI, Vol. 4, No. 2, 2011. ------------------------, Menyoal Terjemah Yang Bukan Masalah, makalah disampaikan pada

Dialog dengan Tim MMI seputar Terjemah Al-Qur‟an yang diselenggarakan oleh

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jum‘at, 29 April 2011.

Hartono, Kontestasi Penerapan Syariat Islam di Indonesia Dalam Perspektif Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Yogyakarta: Program

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010.

Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju Mizan, 2004.

---------------------------, dan Ahmad Gaus AF, dkk, Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan

dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina University, 2005. ---------------------------, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, Bandung:

Mizan, 2011.

--------------------------, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Books Mizan, 2012.

Hidayatullah, Moch Syarif. Cakrawala Linguistik Arab, Tangerang: Al-Kitabah, 2012.

Page 326: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

308

----------------------, Khotbah Berjihad Perang Aceh Abad XIX, Jakarta: Puslitbang

Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama,

2013.

Hoed, Benny Hoedoro. Penerjemahan dan Kebudayaan, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006.

Istianah, Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI,

Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.

Jahroni, Jajang dan Jamhari. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004.

Junaedi, Edi. Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama Dalam

Perspektif Percakapan, Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil

Society, Syariah dan HAM, Fudamentalisme, dan Antikorupsi, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2013. ------------------, Islam dan Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan

Politik, HMI, Anti-Korupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah, Jakarta: Pusat

Studi Indonesia Arab (PSIA) UIN Jakarta, 2013. ----------------, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat

Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru

Islam, Editor: Imam Tolkhah dan Neng Dara Affiah, Jakarta: Badan Litbang

Departemen Agama, 2007.

Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Tipologi, Jakarta: Gramedia, 1990.

Lubis, Ismail. Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990,

Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.

Machali, Rochayah. Pedoman bagi Penerjemah, Jakarta: Grasindo Gramedia, 2000.

Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta:

Paramadina University, 1999.

Mas‘ud, Abdurrahman. Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Mubarok, Ahmad Zaki. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur‟an

Kontemporer “ala” M. Syahrur, Yogyakarta: elSAQ Press, 2007.

Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Musa, Ali Masykur. Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-Isu Aktual,

Jakarta: Serambi, 2014.

Page 327: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

309

Mohammad, Herry. Alih Bahasa Mengungkap Makna, Yogyakarta: Ma‘had An-Nabawy

Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 2003.

Raya, Ahmad Thib. Rasionalitas Bahasa Al-Qur‘an: Upaya Menafsirkan Al-Qur‘an dengan

Pendekatan Kebahasaan, Jakarta: Fitra Publishing, 2006.

Reslawati, Pandangan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat terhadap Wawasan

Kebangsaan di Yogyakarta, dalam buku Mereka Membicarakan Wawasan

Kebangsaan, Editor: Asnawati dan Achmad Rosidi, Jakarta: Puslitbang Kehidupan

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015. Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim

Indonesia, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Said, Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah Al-Qur‟an: Tinjauan Kritis terhadap Konsep

dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Puslitbang Lektur dan

Khazanah Kegamaan Kementerian Agama RI, 2014.

Saeed, Abdullah. Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist

Approach, terj oleh Ervan Nurtawab, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual,

Bandung: Mizan Pustaka, 2016.

Saifuddin, Lukman Hakim, Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Menuju Islam

Indonesia yang Ramah dan Moderat, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2014.

Santoso, Arif Gunawan. Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI Sebagai

Gerakan Sosial, Jakarta: Penerbit A-Empat, 2015.

Setiawati, Darmojuwono, Semantik, dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami

Linguistik Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Suyasubrata, Sumaidi. Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1989.

Sugiyarto, Wakhid. Direktori Paham, Aliran dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, Editor:

Wakhid Sugiyarto dan Syaiful Arif, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan

Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012.

-------------------------, Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia, Editor: Wakhid

Sugiyarto, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI, 2015.

Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan,

1998.

Page 328: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

310

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, Bandung: Mizan, 2007.

Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia: Teori dan Praktek, Bandung: Humaniora,

2005.

Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi

bukan Aspirasi, Bandung: Mizan Pustaka, 2006.

Tardi, Koherensi Terjemahan Al-Qur‟an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‟an Depag

RI Edisi Tahun 2002, Jakarta: SPs UIN Jakarta, 2008.

Thalib, M. Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI, Yogyakarta: Yayasan Islam

Ahlu Shuffah, 2013.

Taufiqurrochman, H.R. Leksikologi Bahasa Arab, UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008.

Taufiq, Imam. Al-Quran bukan Kitab Teror, Membangun Perdamaian Berbasis Al-Quran,

Yogyakarta: Bentang Mizan, 2016.

Tim Ahli Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik

Indonesia, Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Editor: Jaja Zarkasyi dan

Thobib al-Asyhar, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2014.

Tim Kodifikasi Purna Siswa Lirboyo Kediri, Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresi dan

Progresif, Editor: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, Lirboyo: Madrasah Hidayatul

Mubtadiin Kediri Jawa Timur, 2005.

Tim Kodifikasi DIFA Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Dimensi Doktrinal Studi Metodologis

Dinamika Fenomenal, Lirboyo: Kediri Jawa Timur, 2007.

Tim Penulis Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor:

KH. Abdurrrahman Wahid, Epilog Ahmad Syafi‘i Ma‘arif dan KH. Ahmad Mustofa

Bisri, Jakarta: The Wahid Institute dan Ma‘arif Institute, 2009.

Tim Puslitbang Kehidupan Kegamaan, Editor: Zainal Abidin, Kajian Masalah-Masalah

Aktual Terjemah Al-Quran Departemen Agama, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat

Kemenag RI, 2011.

Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis, Jakarta: Elex Media

Komputindo Gramedia, 2014.

Verhaar, J. W. M. Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,

2004.

Wahab, Muhbib Abdul. Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik

Tammam Hassan, Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Yaqub, Ali Mustafa. Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. ------------------------, Islam between War and Peace, Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2009.

Page 329: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

311

---------------------, Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme, Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2015.

Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia,

Jakarta: Teraju Mizan, 2002.

Jurnal Penelitian (Nasional dan Internasional), Prosiding, dan Hasil Riset Ilmiah

Araki, Naoki. Saussure and Chomsky: Langue and l-Language, Department of Information

System and Management, dalam Bull. Hiroshima Institute of Technology Japan,

Research, Vol. 49, 2015.

Arifin, Syamsul Multikulturalisme Dalam Skema Deradikalisasi Paham dan Gerakan

Keagamaan Radikal di Indonesia, paper dalam Proceeding Annual International

Conference on Islamic Studies (AICIS) XIV, Buku 2 subtema: Islamic Jurisprudence

in Resolving Contemporary Problems, Editor Muhammad Zain, dkk., STAIN

Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama

RI, 2014.

Azra, Azyumardi. Kartosuwiryo dan NII: Kajian Ulang, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta,

Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 21, No. 1, 2014.

Chirzin, Muhammad. Jihâd dalam Al-Qur‟an: Perspektif Modernis dan Fundamentalis,

Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, januari-Juni 2009.

Costley, Kevin C. Avram Noam Chomsky and His Cognitive Development Theory, Arkansas

Tech University, 10 Juni 2013.

Duraesa, M. Abzar. Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi terhadap Perkembangan

Teologi Terorisme di Kota Samarinda, paper Proceeding in Annual International

Conference (AICIS) XIV, Buku 4, Subtema: Multicultural Education in Indonesia:

Challenges and Opportunities, STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal

Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014.

Fenton, Adam James. Change and Continuity in Indonesian Islamist Ideology and Terrorist

Strategies, dalam Al-Jâmi‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Journal of Islamic

Studies, Vol. 52, No. 1, 2014 M/1435 H.

Hanafi, Muchlis M. Tafsir terhadap Dasar-Dasar Ideologi Takfir Kelompok Islam Radikal,

dalam Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Volume 7, No. 2, November 2014.

Ichwan, Moch. Nur. Negara, Kitab Suci, dan Politik: Terjemah Resmi Al-Qur‟an di

Indonesia,dalam buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia,

Penyunting: Henri Chambert-Loir, Jakarta: Kepustakaan Populer (KPG) Gramedia,

Forum Jakarta-Paris bekerja sama dengan Pusat Bahasa, dan Universitas Padjajaran

Bandung, 2009.

Jurnal Bimas Islam Kemenag, Edisi XXXIII, November 2015 M/Muharram 1437 H.

Page 330: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

312

Jabali, Fuad. Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang dalam Jurnal Lektur Keagamaan

Vol 7 No. 1, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI, 2009.

Jahroni, Jajang. Modernisme dan Radikalisme Islam di Indonesia: Menafsirkan Warisan

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta,

Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004.

Kamil, Sukron dkk., Pola Keagamaan dan Bahasa: Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks

Keislaman Kontemporer, dalam Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif, Jakarta:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Muhammad, Ahsin Sakho. Aspek-Aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen

Agama, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan

Diklat Departemen Agama, 2005, Jurnal Vol 3, No. 1.

Mustaqim, Abdul. Deradikalisasi Penafsiran Al-Qur‟an Dalam Konteks Keindonesiaan yang

Multikultur, Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an,

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Vol. 6, No. 2, 2013.

Permata, Bagus Andrian. Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya

dalam Pembelajaran bahasa Arab, Jurnal Empirisma, Vol. 24, No. 2, Juli 2015.

Prasetyo, Budi. Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial,

Budaya, dan Politik dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Vol 14, No. 1, Juni 2013.

Syahrullah, Tarjamah Tafsiriah Terhadap Al-Qur‟an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi,

bentuk PDF dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies – Vol. 2, No 1.

Syarfuan, Juanda P. Summary Al-Qur‟an Translation Concordance Method for Any

Language, Jakarta: Perpustakaan Umum Islam Iman Jama Lebak Bulus, 2015.

Surahman, Cucu. Tafsir Kontekstual Jaringan Islam Liberal (JIL): Telaah atas Konsep

Syariat Islam dan Hudûd, dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies-Vol. 2, No.

1, 2013.

Syuaib Z, Ibrahim. “Dakhīl al-Naqli Dalam Al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama RI

Edisi 2004”. Lembaga Penelitian: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2009.

Waid, Abdul. ISIS: Perjuangan Islam Semu dan Kemunduran Sistem Politik (Menyoal Nilai-

Nilai Keislaman ISIS Secara Normatif dan Historis dan Mengkomparasikannya

Dengan Sistem Politik Kekinian), paper in Annual International Conference (AICIS),

XIV, Buku 3, Subtema: Nusantara Islamic Civilization: Value, History, and

Geography, Editor: Muhammad Zain, dkk, STAIN Samarinda Balikpapan:

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014.

Wahid, Din. Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Indonesia, dalam Studia Islamika PPIM

UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007.

Page 331: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

313

Harian (Koran) Nasional dan Majalah

Harian Umum REPUBLIKA, Rabu 25 November 2015/13 Shafar 1437 H.

Harian Umum REPUBLIKA, Jum‘at 15 Januari 2016/ 4 Rabi‘ul Awwal 1437 H

Harian Koran SINDO, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015

Harian KOMPAS dalam liputan Internasional, Minggu, 27 Maret 2016.

Harian KOMPAS pada Rabu, 4 November 2015. Harian Umum KOMPAS, Kamis 14 Januari 2016.

Harian Umum KOMPAS, 16 November 2015

Harian Umum KOMPAS, 30 Desember 2015 Majalah Gatra, edisi 11 Juli 2012. Majalah www.TEMPO.CO Jum‘at, 6 Juli 2012.

Majalah TEMPO, Senin 16 November 2015, Edisi 5092 Tahun XIV

Majalah TEMPO, edisi 4448/25-31 Januari 2016

Majalah TEMPO Edisi Khusus 4502/7-13 Maret 2016

Situs Internet/laman Website, dan Hasil Wawancara

Program CD al-Maktabah al-Syâmilah (cetakan/edisi ketiga)

http://www.nu.or.id/

http://www.majelismujahidin.com/

http://www.majelismujahidin.com/al-quran-tarjamah-tafsiriyah/#comment-894 www.alqurantafsiriyah.blogspot.com

www.chomsky.info.

https://www.isomil.id/

http://news.detik.com/bbc-world/3091179/larang-muslim-masuk-ke-amerika-trump-dikecam-

pro-yahudi, Rabu, 20 Januari 2016 pukul 12.56 WIB.

http://www.liputan-terkini.com/7912/professor-chomsky-if-you-want-to-stop-terrorism-stop-

killing-muslims.html

http://www.arrahmah.com/read/2011/04/25/12054-menelisik-ideologi-teroris-dalam-

terjemah-quran depag.html#sthash.uqxwfuXC.dpuf

http://www.youtube.com/ Metro TV, Mata Najwa, Menolak Takluk

http://www.youtube.com/ Metro TV, Mata Najwa, Sesal Mantan Teroris

http://www.youtube.com/ Benang Merah TV One, Mencuci Otak Teroris

http://www.youtube.com/ Tv One Diskusi ILC, ISIS Mengancam Kita?

Hasil wawancara dengan Muchlis M. Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an

(LPMA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Kemenag Thamrin Lt

17, pukul 10.00 s.d selesai, pada Selasa 22 Maret 2016.

Hasil wawancara dengan Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfiziyyah MMI, pada 31 Maret

2016, pukul 11.35 s.d selesai via telepon dan WA (Whatsapp) juga.

Page 332: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

314

DAFTAR SINGKATAN

AICIS : Annual International Conference on Islamis Studies

AHWA : Ahlul Halli Wal ‘Aqdi

BIN : Badan Inteligen Negara

BNPT : Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

FPI : Front Pembela Islam

GAM : Gerakan Aceh Merdeka

GPK : Gerakan Pengacau Keamanan

HTI : Hizbut Tahrir Indonesia

HAM : Hak Asasi Manusia

ISIS : Islamic State of Iraq and Syiria

ICG : International Crisis Group

ICIS : International Conference of Islamic Scholars

JI : Jamaah Islamiyah

JIL : Jaringan Islam Liberal

KIK : Kamus Istilah Keagamaan

KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

LAD : Languange Acquisition Device

LPMA : Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an

MUI : Majelis Ulama Indonesia

MMI : Majelis Mujahidin Indonesia

NU : Nahdlatul Ulama

NII : Negara Islam Indonesia

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

Page 333: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

315

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

USA : United State of America

WTC : World Trade Center

Page 334: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

316

GLOSARIUM

Penjelasan yang diberikan pada glosarium ini secara umum mengacu pada Kamus Istilah

Keagamaan Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan (2015), al-Jurjânī (2003), KBBI

(2001), dan al-Qardhâwī (2009).

Al-Qur‘an : Kitab suci umat Islam dalam bahasa Arab yang

diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad

SAW sebagai petunjuk dan pembeda (yang hak dan

batil), terdiri atas 30 juz, 114 surah, dan 6.326 ayat.

Agama

:

Ajaran/sistem yang mengatur tata keimanan

(kepercayaan) seseorang dan peribadatan kepada Allah,

Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang

berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia

serta lingkungannya. Agama sejatinya membawa

kebahagiaan/nirwana.

Asbâb Nuzûl al-Ayat : Sebab berupa peristiwa yang melatarbelakangi turunnya

ayat Al-Qur‘an seperti pertanyaan dari sahabat kepada

Nabi SAW mengenai suatu persoalan

Asbâb Wurûd al-Hadīs

:

Sebab berupa peristiwa yang melatarbelakangi keluarnya

hadis seperti pertanyaan dari sahabat kepada Nabi SAW

mengenai suatu persoalan

Clash of Civilization

:

Teori konflik/pembenturan peradaban yang dicetuskan

Samuel P. Huntington, seorang analis politik sekaligus

penasehat (advisor) mantan Presiden Amerika George

W. Bush. Teorinya sangat provokatif dengan menuduh

Islam yang paling potensial dalam mengancam

peradaban Barat yang kini sedang berada di puncak

kekuasaannya.

Doktrin

:

Ajaran tentang asas suatu aliran politik, keagamaan,

secara bersistem, khususnya dalam penyusunan

kebijakan (policy) sebuah negara.

Deradikalisasi : Upaya menghapuskan pemahaman yang

radikal/ekstrim/keras terhadap teks-teks keagamaan

terutama yang bersumber dari Al-Qur‘an dan hadis Nabi

Muhammad SAW.

Fundamentalisme Islam

:

Sekelompok orang yang cenderung berpikir rigid/kaku,

cenderung memonopoli atas tafsir-tafsir agama, mereka

berpegang kepada fundamen-fundamen keimanan dan

pada perjalanannya mengalami konotasi negatif.

Page 335: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

317

Gerakan Transnasional

:

Gerakan lintas negara, gerakan yang berasal dari negara

lain.

Hadis

:

Segala perkataan, perbuatan, ketetapan, dan taqrir yang

tersematkan kepada Rasulullah SAW

Ideologi

:

Kumpulan ide, gagasan, keyakinan sebagai pedoman

normatif yang digunakan oleh segenap kelompok tujuan

dasar.

Jihâd

:

Perjuangan tiada henti dengan mencurahkan segala yang

dimilikinya, baik nyawa, harta, maupun ilmu, hingga

tercapai apa yang diperjuangkan dengan niat semata-

mata mengharap rida Allah. Makna kedua, perjuangan

menegakkan kalimah Allah

Khawârij

:

Pengikut Ali bin Thalib yang tidak setuju adanya tahkīm

(penyelesaian damai) antara pasukan Ali bin Abi Thalib

dan Muawiyah, dan menuduh Ali dan Muawiyah telah

kafir, lalu mereka keluar dari Kufah ke Desa Harura

untuk memisahkan diri dari pasukan Ali

Negara Islam/Daulah Islâmiyah

:

Tujuan yang ingin dicapai oleh Organisasi Islam radikal

atau Islam garis keras yang melampaui batas-batas

Negara. Dalam imajinasi mereka, Negara Islam kelak

dipimpin oleh seoarang khalifah

Purifikasi : Pengamalan peribadatan Islam dari pengaruh-pengaruh

paham yang tidak berlandaskan pada ajaran Islam atau

Pemurnian ajaran agama Islam.

Radikalisme : Paham yang berpikir sempit, kaku, keras, eksklusif,

bertindak untuk menuntut perubahan ke akar-akarnya,

serta cenderung memonpoli kebenaran

Terorisme : Usaha teror dengan usaha menciptakan ketakutan,

kengerian dalam usaha mencapai tujuan tertentu,

terutama tujuan politik, baik dilakukan oleh seseorang

atau kelompok/golongan

Wahabi Gerakan ini memfokuskan diri pada ajakan untuk

meneladani para salaf. Faham/Gerakan ini berkiblat pada

pemahaman-pemahaman semisal Muhammad ibn Abdul

Wahab, Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Al-

Albani, dan Ibnu Fauzan.

Page 336: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

318

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1:

Instrumen bahan wawancara dengan Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA (Kepala Lajnah

Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an Badan Litbang Kemenag RI).

Wawancara dilakukan pada Selasa, 22 Maret 2016

1) Bagaimana pendapat Bapak tentang Al-Qur‘an Terjemah Tafsiriyah MMI?

2) Apa kritik dan masukan Bapak tentang karya mereka?

3) Apa pendapat Bapak terkait tuduhan miring/klaim subjektif MMI bahwa Terjemah Al-

Qur‘an Kemenag menjadi sumber radikalisme dan terorisme agama di Indonesia?

4) Bagaimana komentar/tanggapan Bapak tentang pola/teknik penerjemahan MMI?

5) Apakah Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an sudah mentashih karya MMI tersebut dan

sudah memberi izin publish-nya terjemah tafsiriyah?

6) Selaku mewakili Kemenag, apakah Bapak setuju dengan debat publik dan atau clash

action yang diajukan MMI?

7) Bagaimana pendapat Bapak tentang peran strategis instansi pemerintah semisal BNPT,

BIN, Densus 88, TNI, Polri, Ulama-Umaro, dan Kemenag sendiri dalam membendung

arus radikalisme dan memberantas terorisme di Indonesia?

Page 337: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

319

Lampiran 2:

Instrumen bahan wawancara dengan Ustadz Irfan S. Awwas (Kepala Lajnah Tanfidziyah

MMI). Interview dilakukan pada Kamis, 31 Maret 2016.

1) Bagaimana pendapat Bapak tentang Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI?

2) Apa benar pemicu terorisme dan radikalisme di Indonesia karena faktor Terjemah Al

Qur‘an Kemenag?

3) Bukankah faktor penyebab munculnya terorisme banyak dan kompleks, apa komentar

Bapak?

4) Apakah benar Terjemah Tafsiriyah MMI menawarkan alternatif terjemahan dari yang

sudah ada sebelumnya, seperti Terjemah Al-Qur‘an Kemenag?

5) Apa saran dan masukan Bapak/MMI untuk terjemah Al-Qur‘an Kemenag?

6) Apa pendapat Bapak tentang peran BNPT, BIN, Densus 88, TNI, Polri, Kemenag, Ulama

dan Umaro dalam memberantas terorisme di Indonesia?

7) Dari kejadian terorisme di Sarinah Thamrin Jakarta Pusat beberapa waktu lalu, ada

sumber/reportase menyebutkan misalnya majalah Tempo, bahwa pelaku teror di Ibukota

itu ada kaitannya dengan jaringan Mujahidin Barat atau Mujahidin Indonesia Timur.

Apakah itu ada ketersambungan/korelasinya dengan organisasi MMI? Bagaimana

pandangan Bapak?

Page 338: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

320

Lampiran 3:

KEPUTUSAN SIDANG PLENO AHLUL HALLI WAL „AQDI (AHWA)

KONGRES MUJAHIDIN IV.425

Sentul City Bogor, 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013 M. Nomor: 01/AHWA

MM/VIII/2013

Menimbang:

1. Keadaan Demisioner kepengurusan Ahlul Halli Wal „Aqdi Majelis Mujahidin periode

2008-2013

2. Perlunya diputuskan kepengurusan Ahlul Halli Wal „Aqdi Majelis Mujahidin pada

Kongres Mujahidin IV untuk periode 2013-2018 M

Memperhatikan:

1. Qawâidut Tanzhīm dan Qawâidut Tanfīdz

2. Keputusan Sidang Pleno I dan II Kongres Mujahidin IV

3. Pendapat dan masukan yang disampaikan peserta Kongres Mujahidin

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

A. Kepemimpinan Ahlul Halli Wal „Aqdi (AHWA):

Ketua/Amir Majelis Mujahidin : Drs. Muhammad Thalib

Wakil Ketua/Wkl. Amir : Abu Muhammad Jibriel AR

Katib Am : Drs. Nashruddin Salim, SH, MH

Wakil Katib Am : Drs. Farid Ma‘ruf NS

Bendahara : dr. Harun Rasyid, Sp BU, MARS

Wakil Bendahara : Dr. H. Irfianda Abidin, SE, MBE

B. Pengurus Lajnah Tanfīdziyah Majelis Mujahidin:

1. Ketua : Irfan S. Awwas

2. Sekretaris : M. Shabbarin Syakur

3. Bendahara : Drs. Tofandi

Pimpinan Sidang Ahlul Halli Wal „Aqdi

18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013

Drs. Muhammad Thalib Drs. Nashruddin Salim, SH, MH

Ketua Sekretaris

425

Lihat dalam http://majelismujahidin.com/ diambil pada 3 Desember 2015, pukul 10.00 WIB.

Page 339: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

321

Lampiran 4:

Alhamdulillah, Kongres Mujahidin IV telah usai terlaksana, kembali Ustadz

Muhammad Thalib memimpin Majelis Mujahidin melanjutkan kepemimpinannya yang lalu.

Ribuan peserta kongres yang hadir pun turut bersuka ria mendengar keputusan rapat Ahlul

Halli Wal „Aqdi (AHWA) tersebut. Sebelum pembacaan keputusan, dibacakan juga

keputusan Kongres Mujahidin IV tentang rekomendasi Indonesia Bersyari‘ah. berikut

rekomendasi kongres selengkapnya.

Keputusan Kongres Mujahidin IV Tentang Rekomendasi Indonesia Bersyari’ah

Menimbang:

1. Kewajiban kaum muslim melaksanakan ajaran agama (syariat Islam) secara kâffah,

dalam seluruh aspek kehidupan; pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, Negara dan

antar bangsa. (QS. Al-Baqarah [2] : 208).

2. Hak konstitusional umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam berdasarkan

Keputusan Presiden No. 150, 1959, tentang Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 (LNRI No.

75, 1959) yang mengakui berakunya Piagam Jakarta (charter Jakarta). Dan ditegaskan

dalam perubahan ke 4 UUD 1945.

3. Qawaidut Tanzhim dan Qawaidut Tanfidz Majelis Mujahidin.

Memperhatikan:

1. Preambule UUD 45 alinea ketiga yang berbunyi: “Atas berkat rakhmat Allah Yang

Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan

kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini

kemerdekaannya”.

2. UUD 45 Bab XI tentang Agama, pasal 29 ayat (1) dan (2):

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

3. Sekularisasi produk perundang-undangan Negara, tanpa pertimbangan ajaran agama

yang notabene menjadi dasar utama pembangunan masyarakat dan Negara sesuai

dengan UUD NRI 45 Ps. 29 ayat (1) dan (2).

4. Perlu adanya payung hukum yang melindungi syariat Islam sebagai dasar

pengambilan keputusan dan kebijakan negara/wakil rakyat untuk melegalisasikan

peraturan dan perundang-undangan pemerintah RI.

5. Hasil keputusan Sidang Pleno I dan II dan pendapat para peserta Kongres

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

1. Rekomendasi Kongres Mujahidin IV tentang Penegakan syariat Islam dalam

Kehidupan Berbangsa dan Bernegara sebagaimana terlampir;

2. Pemilihan pengurus harian AHWA Majelis Mujahidin

3. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan.

Page 340: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

322

REKOMENDASI INDONESIA BERSYARI’AH

KONGRES MUJAHIDIN IV

Sentul City, Bogor, 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013 M

1. DASAR NEGARA, PEMILU DAN KEPEMIMPINAN NASIONAL:

1. Dasar Negara harus sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 45 bahwa negara berdasar

Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Sistim Pemilu yang menyalahi dan tidak sesuai dengan syariat Islam ditolak.

3. Kepemimpinan Nasional harus memiliki komitmen terhadap pelaksanaan syariat

Islam (agama) di lembaga negara dan menjadi contoh tauladan (uswatun hasanah)

dalam melaksanakannya.

2. EKONOMI:

Sistem ekonomi ribawi harus ditinggal. Pembangunan ekonomi Negara harus disesuaiakan

dengan Syariat Islam:

1. Sistem moneter disesuaikan dengan syariat Islam.

2. Memutus mata rantai ekonomi dengan IMF dan World Bank.

3. Sumber-sumber kekayaan Negara dan BUMN Mutlak harus dikuasai oleh Negara.

3. MORAL:

1. Sistem politik bernegara dibangun sesuai syariat Islam.

2. Pembangunan akhlak bangsa harus sesuai dengan syariat Islam.

4. PENDIDIKAN:

1. Sistim pendidikan Nasional harus diintegrasikan dengan Agama.

2. Semua aktifitas pendidikan harus didanai oleh Negara.

5. PENGUSAHA DAN BURUH:

1. Hubungan buruh dan majikan harus mengikuti ketentuan syariat Islam.

2. Menjamin kehidupan buruh sesuai dengan hak hidup manusia yang ditetapkan oleh

syariat Islam.

3. Negara harus membantu para pengusaha yang tidak mampu mengupah buruh dengan

layak menggunakan dana Negara.

6. PEREMPUAN:

1. Hak-hak perempuan disesuaikan dengan ketentuan syariat Islam.

2. Kaum perempuan wajib mendahulukan fungsinya sebagai ibu dalam membangun

keluarga sesuai syariat Islam.

3. Ekspor tenaga kerja wanita (TKW) haram menurut syariat Islam.

7. HUKUM:

1. Hukum peninggalan kolonial Belanda wajib ditinggalkan.

Page 341: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

323

2. Syariat Islam harus menjadi hukum Negara sebagai konsekwensi adanya mayoritas

rakyat Indonesia beragama Islam.

3. HAM internasional harus disesuaikan dengan syariat Islam.

4. Hukuman mati dan pemiskinan bagi koruptor.

5. Perdagangan narkoba dan jaringannya harus dihukum mati, sedangkan pecandunya

harus dihukum dan direhabilitasi.

8. RAKYAT MISKIN

Kesejahteraan rakyat miskin menjadi tanggungjawab Negara dan orang-orang kaya

9. PENANGGULANGAN TERORISME

Menyayangkan dan mengkitik keras prilaku dan tindakan Densus 88, yang banyak

menembak mati tersangka teroris dan tidak diketahui identitasnya secara pasti, tanpa melalui

proses hukum yang adil dan benar. Padahal profesionalisme Densus semestinya mampu

untuk sekedar melumpuhkan tanpa harus membunuh, sehingga dapat menguak prilaku

terorisme ini di Pengadilan. Hal ini bertentangan dengan syariat Islam dan HAM

Internasional.

10. MISS WORLD

Majelis Mujahidin menolak keras rencana diselenggarakannya miss world di seluruh

wilayah NKRI karena akan merendahkan martabat wanita dengan mengumbar aurat yang

diharamkan oleh syariat Islam.

Sentul City, 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013

Peserta Kongres Mujahidin IV426

426

http://majelismujahidin.com/ diunduh pada 2 Desember 2015 pukul 08.00 WIB.

Page 342: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

324

Lampiran 5:

Daftar Gambar

1) Teori Miles dan Huberman untuk analisis data ................................................................. 35

2) Sistem bahasa (Teori Hocket) ......................................................................................... 128

3) Satuan bahasa (wacana) ................................................................................................... 129

4) Semantic tringle/segitiga bermakna ................................................................................. 133

5) Model pola transformasi Noam Chomsky ....................................................................... 156

Page 343: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

325

Lampiran 6:

Daftar Tabel

1) Tabel 1 Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Seluruh Dunia ................................................. 72

2) Tabel 2 Negara dan Kasus Kematian Akibat Terorisme .................................................... 75

3) Tabel 3 Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Indonesia ........................................................ 85

4) Tabel 4 Perdebatan dan Polemik antara MMI dan Kemenag .......................................... 241

5) Tabel 5 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang akidah ................. 241

6) Tabel 6 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang syariah ................. 242

7) Tabel 7 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang ekonomi ............... 242

8) Tabel 8 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang sosial .................... 245

9) Tabel 9 Parameter kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag

secara garis besar ............................................................................................................. 243

Page 344: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

326

CURRICULUM VITAE

Nama : Nasrullah Nurdin

Tempat/Tgl lahir : Jakarta, 10 Desember 1987

Alamat Rumah : Jl. Kembangan Selatan RT 001/02 Gang H. Jasan No. 53, Kembangan

Selatan Jakarta Barat 11610. Tlp (021) 58301340

Alamat Kantor : Jl. M.H. Thamrin No. 6 Lt 17, Jakarta Pusat. Tlp (021) 3920 688

Aktivitas kini :

1) Pegawai Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pusat

2) Director of Anas Corner

3) Penulis di Penerbit Erlangga, Penulis di Bumi Aksara, dan Penulis

pada Jurnal Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Penulis pada

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, dan Penulis pada Jurnal Mushaf

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (Terakreditasi LIPI) serta

publikasi bertaraf Nasional dan Internasional lainnya.

4) Pengisi Khotib Jumat di Masjid Daud Nursiah Paloh Metro TV Kedoya

Jakbar, Khotib di Masjid At-Taqwa Jakbar, Pengisi Seminar Nasional

dan Internasional, Pengisi Kajian Keislaman Masjid Baitus Shobri

Jakbar, dan Khotib di Masjid Al-Hijrah Perumahan Poris Indah

Tangerang, Banten.

5) Sekretaris Lembaga Falakiyah PWNU DKI Jakarta

Email : [email protected] dan [email protected]

Facebook : Nasrullah

Twitter : anasresidence atau nasrul_nurdin

Blog : http://saungberkarya.blogspot.com

Website : www.anascorner.com (on going process)

PIN BBM : 5313282D

Contact Person : 0856-8230-670 dan 0812-8426-6564

Penghargaan dan beasiswa yang pernah diraih :

- Tahun 2005-2006, Penghargaan Santri/Siswa terbaik Ponpes Al-Hidayah Basmol

Jakbar

- Tahun 2006, mendapat scholarship (beasiswa) The Habibie Center Kemang Jaksel

Page 345: terorisme dan teks keagamaan: studi komparatif atas terjemah al

327

- Tahun 2007, mendapat beasiswa dari Yayasan Beasiswa Prov DKI Jakarta

- Tahun 2008, mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar Jakarta dan Juara III

Lomba Membaca Kitab Kuning tingkat Marhalah „Ulya se Provinsi DKI Jakarta

- Tahun 2009, mendapat beasiswa dari Women International Club Jakarta

- Tahun 2010, mendapat beasiswa dari Kedubes India Jakpus

- Tahun 2011, mendapat sponsor dari Embassy of Saudi Arabia dan Kemenag RI Pusat

- Tahun 2012-2013, mendapat tugas dinas ke sejumlah wilayah Indonesia

- Tahun 2014, mendapat Student Achievement Award dari Rektor UIN Jakarta

- Tahun 2015, peserta Indonesia Award program PT Astra International

- Tahun 2015, mendapat beasiswa Tesis dari Yayasan Supersemar dan BAZIS DKI

- Tahun 2016, menerbitkan buku terbaru di Erlangga Publishing

Sejumlah karya buku yang telah dipublikasikan baik pribadi maupun tim dan masih

dalam proses penerbitan.

- Mushaf Al-Burhan Khusus Wanita dan Tajwid Color full, (sebagai Proofreader)

- Kepompong Ramadhan Republika (bersama Tim)

- Berdakwah di Papua, Kota Injil

- Approaches in Islamic Studies

- Kajian Islam Kontemporer, belajar dari sumbernya

- Mukjizat Amalan Harian

- Jaringan Pemikiran Hadis Mesir – Indonesia

- Apresiasi Intelektual Islam terhadap Naskah Klasik Keagamaan

- Terorisme dan Teks Keagamaan

- Mereguk 50 Pesan Ilahi yang Super

- Berbakti kepada Kedua Orangtua (Skripsi S1 Ponpes Darus Sunnah)

- Pendekatan Sosioklutural atas Teks Terjemahan: Telaah Domestikasi dan

Foreignisasi (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta )