terminologi fraud e 1

20
TERMINOLOGI FRAUD 1. Definisi Fraud Fraud menurut SPA 240 menjelaskan kecurangan adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, karyawan, dan pihak ketiga, yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum. Menurut Albrecht, Albrecht, Albrecht, Zimbelman (2012) didalam bukunya Fraud Examination mendefinisikan fraud sebagai : “Fraud is a generic term, and embraces all themultifarious means which human ingenuity can devise. Which are resorted to by one individual, to get an advantage over another false representations. No definite and invariable rule can be a laid down as a general preposition in defining fraud, as it includes surprise trickery cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are those which limit human knaveri.” Adapun menurut the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraudadalah: Perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pibadi ataupun kelompok secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain. Dengan demikian fraud adalah mencangkup segala macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang diupayakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencangkup semua cara yang tidak terduga, penuh siasat atau tersembunyi, dan setiap cara yang tidak wajar yang menyebabkan orang lain tertipu atau menderita kerugian. 2. Klarifikasi Fraud (Fraud Tree) The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan

Upload: irma-surya-frany

Post on 12-Nov-2015

271 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

TERMINOLOGI FRAUD

1. Definisi Fraud Fraud menurut SPA 240 menjelaskan kecurangan adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, karyawan, dan pihak ketiga, yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum. Menurut Albrecht, Albrecht, Albrecht, Zimbelman (2012) didalam bukunya Fraud Examination mendefinisikan fraud sebagai : Fraud is a generic term, and embraces all themultifarious means which human ingenuity can devise. Which are resorted to by one individual, to get an advantage over another false representations. No definite and invariable rule can be a laid down as a general preposition in defining fraud, as it includes surprise trickery cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are those which limit human knaveri. Adapun menurutthe Association of Certified Fraud Examiners(ACFE),fraudadalah: Perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pibadi ataupun kelompok secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.Dengan demikianfraudadalah mencangkup segala macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang diupayakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencangkup semua cara yang tidak terduga, penuh siasat atau tersembunyi, dan setiap cara yang tidak wajar yang menyebabkan orang lain tertipu atau menderita kerugian. 2. Klarifikasi Fraud (Fraud Tree) The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah The Fraud Tree yaitu Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal Yang Ditimbulkan Sama Oleh Kecurangan (Uniform Occupational Fraud Classification System). ACFE dalam Tuanakotta (2010) membagi fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan perbuatan, yaitu: 1. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Statement) . Kecurangan Laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau kecurangan non finansial.2. Penyimpangan atas Aset (Asset Misappropriation) , meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).3. Korupsi (Corruption) . Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosismutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities) dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion). 3. Motif dan Indikator Fraud Identifikasi yang dilakukan Tampubolon (2005) dalam Sukanto (2007), dalam kehidupan sehari-hari motif seseorang melakukan fraud adalah: (1) Serakah. (2) Terikat perjudian, minuman keras, obat-obatan terlarang, wanita tuna susila atau gaya hidup sejenis. (3) Masalah keluarga atau memiliki keluarga sakit dan memerlukan biaya pengobatan tinggi. (4) Pola hidup yang melebihi penghasilan. (5) Krisis keuangan. (6) Memiliki pasangan simpanan. (7) Sakit hati pada perusahaan atau atasan dan ingin membalas. (8) Merasa kerja kerasnya tidak dihargai. (9) Iri kepada atasan atau rekan kerja yang kemampuannya kurang tetapi gaji lebih tinggi. (10) Bangga kalau bisa memecahkan sistem atau membobol security system.

4. Pembahasan

4.1 Faktor-Faktor Terjadinya Kecurangan (fraud) 4.1.1 Teori Segitiga Fraud/ Triangle fraud (Klasik) Dari penelitian fraud klasik yang dilakukan oleh Donald Cressey di tahun 1953 memberikan informasi fraud dilakukan atas 3 faktor : 1. tekanan (kadang-kadang disebut sebagai motivasi, dan biasanya "unshareable kebutuhan"); Meliputi a. Tekanan Finansial (Financial Pressures) ; b. Tekanan akan Kebiasaan Buruk (Vices Pressures); c. Tekanan yang Berhubungan dengan Pekerjaan (Work-Related Pressures) 2. rasionalisasi (etika pribadi); dan 3. pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga poin sudut-sudut segitiga fraud Dari penelitian triangle fraud klasik ini, banyak timbul perkmbangan yang disesuaikan dengan perkembangan fraud. Banyak perkembangan fraud yang bermunculan dan berkembang. Mulai dari teori : 1. Teori C = N + K Adalah teori yang dikenal di jajaran Kepolisian. Yang mana erupakan formuladari keperilakuan kriminal, yang dapat dijabarkan C adalah Kriminal, N adalah Niat, dan K adalah Kesempatan. Dimana Tindakan Kriminal dapat terjadi dikarenakan adanya kesempatan yang menimbulkan suatu niat. 2. Klinggard Theory C = M + D - A Adalah sebuah teori yang diperkenalkan oleh Robert Klinggard dalam Cleanning Up and Invigorating the Civil Service dalam Karyono (2013) menjelaskan faktor terjadinya fraud dapat dijabarkan C adalah Criminal, M adalah Monopoly, D adalah Decretism/ Kebijakan, dan A adalah Accountability / Pertanggungjawaban. Dimana Kriminal dapat terjadi karena adanya Monopoli dalam hal ini dapat diartikan kekuasaan, apabila dibarengi dengan adanya otoritas terhadap kebijakan akan membentuk perilaku fraud. Hal ini akan terus berkembang menjadi sebuah kecurangan apabila tidak dibarengi dengan akuntabilitas atau tanggung jawab yang jelas. Mengakibatkan fraudster lebih leluasa didalam melakukan kecurangan. 3. Teori GONE Teori GONE dikemukan oleh Bologna yang diungkapkan dalam buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional oleh BPKP tahun 1999 (Karyono, 2013). Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan fraud, yang sering disebut teori GONE (Pusdiklatwas BPKP) yaitu sebagai berikut: 1)Greed(keserakahan); 2)Opportunity(kesempatan); 3)Need(kebutuhan) ; dan 4)Expossure(pengungkapan)Faktorgreeddanneedmerupakan faktor yang berhubungan dengan pelaku fraud atau disebut faktor individu. Adapun faktoropportunitydanexposuremerupakan faktor yang berhubungan denganorganisasi sebagai korban.

4.1.2 Fraud Diamond Fraud Diamond menambah referensi mngenai perkembangan triangle fraud kedalam elemen lain yang masih berhubungan. Model ini menunjukkan hubungan antara empat elemen pengembangan dari triangle fraud. Meskipun triangle fraud hadir dan masih relevan dipergunakan didalam penjabaran faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya fraud, fraud diamond diharapkan mampu menambah referensi investigator, praktisi dan akademisi didalam pengembangan kasus fraud. Adapun nilai nilai yang dikembangkan didalam fraud Diamond antara lain : 1. adanya posisi atau fungsi otoritas didalam organisasi 2. Kapasitas untuk memahami sistem akuntansi dan mengeksploitasi kelemahan intern dan memungkinkan untuk meningkatkan tanggung jawab dan wewenang penyalahgunaan. 3. Keyakinan mengenai pendeteksian kecurangan, serta kemampuan untuk memecahkan permasalahan fraud serta tindak lanjutnya. 4. Kemampuan untuk menangani stress yang timbul didalam kasus fraud. Didalam penelitian ini dikembangkan 4 elemen diamond fraud, yaitu:

1. Incentive / Dorongan Incentive adalah suatu dorongan yang timbul dikarenakan adanya tuntutan/ tekakan yang dihadapi. Didalam penelitian ini, faktor yang paling dominan adalah incentive. Suatu imbal balas jasa yang ditrima tidak dapat memenuhi kebutuhan. Hal ini mampu menrong seorang fraudster untuk mrlakukan terjadinya fraud. Incentive merupakan balas jasa yang diberikan sesuai dengan posisi yang sitempati seseorang didalam organisasi. Model incentive yang tidak sesuai dengan jabatan atau tidak terpenuhnya kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan / fraud. Hal inilah yang menimbulkan fraud dapat terjadi. Incentive yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan berdampak kepada tindakan usaha untuk memenuhinya dengan cara lain. Trkadang tekanan / pressure ini mengakibatkan seseorang mengambil jalan pintas untuk memperolehnya. Di sisi lain, sikap keserakahan juga mendorong terjadinya kecurangan. Keserakahan ini mendorong seseorang menjadikan incentive untuk membuka peluang bagi seseorang untuk memperoleh kekayaan dengan cara yang sesingkat mungkin. Jasi indivisu tersebt dapat menghalalkan segala cara dalam pemenuhannya. Jadi, incentive dapat memicu terjadinya kecurangan yang diakibatkan keserakahan dan kebutuhan yang engakibatkan tekakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 2. Opportunity / Kesempatan Adalah suatu kesempatan yang timbul karena lemahnya pengemalian internal untuk pencegahan dan pendeteksian kecurangan. Kesempatan dapat terjadi karena adanya kekuasaan terhadap organisasi serta seorang fraudster dapat mengetahui kelemahan dari sistem yang ada, baik sistem pengendalian internal, sistem legalitas hukum, serta sanksi yang akan sitanggung, mengakibatkan kesempatan ini menjadi suatu peluang bagi fraudster untuk melakukan kecurangan. Menurut Albrecht, Albrech, Albrecht, Zimbelman (2012) faktor yang dapat meningkatkan kesempatan melakukan fraud antara lain : Kegagalan didalam menertibkan kecurangan. Keterbatasan akses informasi untuk mendeteksi kecurangan. Ketidaktahuan, kemalasan, tiak sesuai dengan kemampuan pegawai, Ketidakjelasan jejak audit / disfungsional audit. Kurangnya pengawasan dari pihak yang bersangkutan Jadi, dapat disimpulkan bahwa kesempatan timbul karena lemahnya pengendalian internal mengakibatkan timbul suatu keleluasaan bagi pelaku kecurangan untuk melakukan kecurangan. Kelemahan sistem ini dapat menjadi peluang bagi pelaku kecurangan untuk melakukan kecurangan. 3. Rationalization / Pembenaran Adalah suatu kondisi dimana pelaku kecurangan mencari suatu pembenaran terhadap suatu tindakan. Rasinalisasi merupakan suatu pembenaran yang timbul didalam pemikiran manusia yang dijadikan sebagai suatu tindakan. Rasionalisasi atau pembenaran tergantung dari orientasi seseoang didalam menyikapi suatu permasalahan. Jika diambil suatu kesimpulan, rasionalisasi dapat berdampak baik atau buruk baik bagi pelakunya maupun bagi orang lain. Pembenaran yang dilakukan oleh pelaku dengan orientasi negatif akan berdamak pada kerugian bagi orang lain. Pembnaran ini mampu menghalalkan segala cara untuk mrncapai tujuan.

Adapun faktor yang mngakibatkan pembenaran terjadi antara lain : Pelaku menganggap bahwa yang dilakukan sudah merupakan hal biasa / wajar yang dilakukan oleh orang lainnya. Maksudnya, pelaku menganggap perilaku tersebut mampu dilakukan oleh orang lain pada kondisi yang sama dengan kondisi pelaku. Hal inilah yang mendorong pelaku dapat melakukan fraud tersebut. Pelaku merasa berjasa terhadap organisasi, hal inilah yang menimbulkan sikap ingin berkuasa, merasa paling dominan dibandingkan yang lain, serta menganggap semua orang adalah sama. Sehingga pembenaran dapat dilakukan. Kepercayaan diri yang trlalu berlebihan, dikarenakan tuntutan gaya hidup mewah, serta suka berfoya foya mengakibatkan timbul suatu sikap angkuh dan ingin dominan. Hal ini juga berpengaruh terhadap kebenaran terhadap kecurangan. Rasa iri dengki juga mempengaruhi terjadinya pembenaran terhadap segala tindakan. Sifat buruk tersebut terkadang mampu menguasai diri dalam melaksanakan tindakan fraud. Pelaku menganggap tujuannya itu berbuat baik guna mengatasi masalah dengan asumsi akan dikembalikan dikemusian hari. Pelaku berpikiran mampu untuk mengembalikan segala kekayaan yang diperoleh atau diambil dari organisasi dikemuian hari. Jadi, kebenaran / rationalization merupakan suatu pembenaran terhaap suatu tindakan yang dilakukan guna memperoleh kekayaan dengan cara instant. 4. Capability / Kapabilitas tanggung jawab. Wolfe dan Hermannson (2004) berpendapat bahwa ada pembaharuan Fraud triangle untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi dan mencegah Fraud yaitu dengan cara menambahkan elemen keempat yakni Capability. Kapabilitas dapat diartikan sama dengan Kompetensi, yaitu Kemampuan. Namun pemaknaan kapabilitas tidak sebatas memiliki keterampilan (skill) saja namun lebih dari itu, yaitu lebih paham secara mendetail sehingga benar benar menguasai kemampuannya dari titik kelemahan hingga cara mengatasinya. Kapabilitas dapat diartikan sebagai suatu kemampuan serta keterampilan mennai pemahaman mendetail sehingga seorang pelaku mampu mengetahui kelemahan dan memanfaatkan kelemahan tersebut untuk melakukan kecurangan. Pengetahuan mengenai sistem pengenalian internal yang andal dapat memanfaatkan kelemahan sebagai suatu alat untuk memeras organisasi, baik melakukan pencuarian yang dilegalkan didalam organisasi. Kabalibitas dapat mengakibatkan ancaman sangat parah karena pelaku didalam organisasi merupakan orang yang memiliki kekuasaan, serta memiliki kecerasan serta memahami sistem didalam organisasi tersebut. Pelaku dapat disebut sebagai suatu tindakan white collar crime / kejahatan kerah putih. Kecurangan jenis ini memiliki ancaman sangat besar dan sangat signifikan terhaap organisasi. Kecerdasan serta pengetahuan pelaku mengenai sistem dapat menjadi titik kelemahan yang dapat dimanfaatkan bagi pelaku kecurangan. Wolfe dan Hermanson (2004) berpendapat bahwa : Many Frauds, especially some of the multibillion-dollar ones, would not have occurred without the right person with the right capabilities in place. Opportunity opens the doorway to Fraud, and incentive and Rationalization can draw the person toward it. But the person must have the Capability to recognize the open doorway as an Opportunity and to take advantage of it by walking through, not just once, but time and time again. Accordingly, the critical question is; Who could turn an Opportunity for Fraud into reality?" Artinya adalah banyak Fraud yang umumnya bernominal besar tidak mungkin terjadi apabila tidak ada orang tertentu dengan kapabilitas khusus yang ada dalam perusahaan. Opportunity membuka peluang atau pintu masuk bagi Fraud dan Pressure dan Rationalization yang mendorong seseorang untuk melakukan Fraud. Namun menurut Wolfe dan Hermanson (2004), orang yang melakukan Fraud tersebut harus memiliki kapabilitas untuk menyadari pintu yang terbuka sebagai peluang emas dan untuk memanfaatkanya bukan hanya sekali namun berkali-kali. Wolfe dan Hermanson (2004) berpendapat bahwa dalam mendesain suatu sistem deteksi, sangat penting untuk mempertimbangkan personal yang ada di perusahaan yang memiliki kapabilitas untuk melakukan Fraud atau menyebabkan penyelidikan oleh internal auditor seperti yang dikemukakan dalam jurnal penelitiannya : When designing detection systems, it is important to consider who within the organization has the Capability to quash a red flag, or to cause a potential inquiry by internal auditors to be redirected. A key to mitigating Fraud is to focus particular attention on situations offering, in addition to incentive and Rationalization the combination of Opportunity and Capability. Teori ini menjelaskan bahwa kunci dalam memitigasi Fraud adalah dengan fokus pada situasi khusus yang terjadi selain Pressure dan Rationalization serta kombinasi dari Opportunity dan Capability. Wolfe dan Hermanson (2004) juga menjelaskan sifat-sifat terkait elemen capability yang sangat penting dalam pribadi pelaku kecurangan, yaitu: 1. Positioning Posisi seseorang atau fungsi dalam organisasi dapat memberikan kemampuan untukmembuat atau memanfaatkan kesempatan untuk penipuan. Seseorang dalam posisi otoritas memiliki pengaruh lebih besar atas situasi tertentu atau lingkungan. 2. Intelligence and creativity Pelaku kecurangan ini memiliki pemahaman yang cukup dan mengeksploitasi kelemahan pengendalian internal dan untuk menggunakan posisi, fungsi, atau akses berwenang untuk keuntungan terbesar. 3. Convidence / Ego 4. Individu harus memiliki ego yang kuat dan keyakinan yang besar dia tidak akan terdeteksi. Tipe kepribadian umum termasuk seseorang yang didorong untuk berhasil di semua biaya, egois, percaya diri, dan sering mencintai diri sendiri (narsisme). Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, gangguan kepribadian narsisme meliputi kebutuhan untuk dikagumi dan kurangnya empati untuk orang lain. Individu dengan gangguan ini percaya bahwa mereka lebih unggul dan cenderung ingin memperlihatkan prestasi dan kemampuan mereka. 5. Coercion Pelaku kecurangan dapat memaksa orang lain untuk melakukan atau menyembunyikan penipuan. Seorang individu dengan kepribadian yang persuasif dapat lebih berhasil meyakinkan orang lain untuk pergi bersama dengan penipuan atau melihat ke arah lain. 6. Deceit Penipuan yang sukses membutuhkan kebohongan efektif dan konsisten. Untuk menghindari deteksi, individu harus mampu berbohong meyakinkan, dan harus melacak cerita secara keseluruhan. 7. Stress Individu harus mampu mengendalikan stres karena melakukan tindakan kecurangan dan menjaganya agar tetap tersembunyi sangat bisa menimbulkan stres. Jadi, Faktor faktor yang mempengaruhi pendorong terjadi kecurangan menurut fraud diamond dipengaruhi oleh 4 elemen, yakni faktor incentive yang tidak sesuai, adanya kesempatan untuk menjalankan tindakan, adanya pembenaran yang disebabkan oleh keserakahan dan tuntutan kebutuhan serta adanya kapabilitas atau suatu pengetahuan detail mengenai sistem organisasi sehingga memudahkan pelaku kecurangan untuk melakukan kecurangan didalam organisasi tersebut. Pelaku kecurangan ini memiliki pemahaman yang cukup dan mengeksploitasi kelemahan pengendalian internal dan untuk menggunakan posisi, fungsi, atau akses berwenang untuk keuntungan terbesar. Predator vs. Accidental Fraudster Diamond Didalam pembahasan kali ini juga membahas menganai tindak lanjut pengembangan fraud diamond. Didalam pembahasan Hendersen (2014) telah menjelaskan mngenai fenomenaseoang predator dibandingkan dengan pelaku Fraud Diamond. Tindakan kecurangan yang disengaja sama hal nya sebagai suatu predator yang siap untuk memangsa buruannya. Predator dapat didefinisikan sebagai suatu komponen yang dapat memakan secara buas mangsa yang menjadi buruannya. Didalam fraud, predatr dapat diartikan sbagai suatu pelaku kecurangan / fraudster suatu tindakan ilegal yang cenerung diikuti oleh tindakan ilegal lainnya untuk menghalalkan berbagai cara. Hal ini untuk memperkuat atau menghapus kecurangan yang dilakukan sebelumnya. Jadi akan secara kontinyu melakukan kecurangan. Predator diibaratkan sebagai binatang buas yang seenaknya dapat memangsa buruannya dengan menghalalkan berbagai cara. Adapun predator memiliki karakteristik sebagai berikut: Mereka mencari organisasi di mana mereka dapat memulai skema yang mereka lakukan (Kecurangan). Mereka dapat berpindah dari satu fraud apabila mulai terdeteksi dan beralih kepada organisasi yang lain. Pelaku fraud dapat memanfaatkan kelemahan laporan keuangan dengan memanipulasi atau melakukan modifikasi laba organisasi. Mereka lebih memiliki kemampuan untuk mlakukan kecurangan tersebunyi yang sulit terungkap dengan skema yang rumit dalam menghadapi pemeriksa. Tidak memerlukan Pressure / Tekanan dan Rasionalisasi, hanya memerlukan peluang didalam menjalankan tindakannya. Fraud diamond mampu mengembangkan triangle fraud didalam menyikapi tindakan predator tersebut. Adapun triangle fraud untuk predator dapat dikembangkan sebagai berikut : Gambar. 3.4 Predator vs. Accidental Fraudster Diamond

Sumber : Henderson (2014 : 59) Dari gambar diatas terlihat antara accidental fraudster (atau dapat diasumsikan sebagai suatu tindakan yang disengaja tetapi tidak terlalu fokus atau tidak terlalu dominan ). Dan tindakan predator adalah suatu tindakan yang terencana dan terfokus dengan sangat baik. Predator lebih buas didalam melakukan kecurangan. Yang mana antara fraudster yang pasif (the accidential fradster) it just happened harus terjadi dikarenakan suatu tekanan dan rasionalisasi dan adanya peluang mengakibatkan kecurangan dapat terjadi. Sesuai dengan teori triangel fraud, kecurangan terjadi dikarenakan adanya tekanan terhadap kebutuhan, dan karena adanya kesempatan sehingga menghasilkan segala jenis pembenaran atau rasionasisasi untuk memperolehnya. Hal ini berbanding terbalik dengan Predator. Predator merupakan refleksi dari triangle fraud. Tetapi berbanding terbalik dengan triangle fraud. Predator buas memanfaatkan Opportunities (Kesempatan) dikarenakan adanya Criminal Mindset (pemikiran kriminal). Criminal mindset merupakan suatu pmikiran yang memahami kelemahan dari internal organisasi maupun dari puar organisasi sehingga lebih leluasa mempermainkan organisasi sesuai dengan rencana yang dikehendakinya. Criminal Mindset merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki kecerdasan dan memiliki kemampuan tinggi, serta mampu mengetahui kelemahan dari organisasi. Selain Criminal Mindset, seorang predator juga memiliki perilaku yang arrogance (arogansi). Sifat keegoisan dan arogansi dari seorang predator tidak dapat dipisahkan. Sifat arogansi membentuk suatu perilaku tidak mau kompromi dan selalu mencari solusi atas segala rancangan yang yang telah dilaksanakan. Sehingga dapat membentuk suatu sikap because they can atau mereka dapat melakukannya. Biasanya sikap arogansi, biasa dilakukan leh beberapa kalangan yang memiliki kemampuan tinggi. Jadi sikap predator merefleksikan dari triangle fraud, tetapi hanya memiliki kesamaan pada element kesempatan (opportunities). Triangle fraud terjadi karena adanya tekanan dan sikap kebenaran (rasionalisasi). Sikap predator lebih berfokus kepada adanya criminal mindset dan adanya arogansi dari pelakunya. Kesimpulan Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan antara lain : 1. kecurangan adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, karyawan, dan pihak ketiga, yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum. 2. Faktor Faktor klasik terjadinya fraud aalah Fraud Triangle yang memiliki tiga komponen, yakni Preassure, Rationalization, dan Opportunity. 3. Pengembangan teori triangle fraud salah satunya teori Diamond dan Teori Predator vs. Accidental Fraudster Diamond. 4. Diamond Theory terdiri dari empat elemen, yakni Incentive, Opportunity, Rationalization dan Capability. 5. Predator vs. Accidental Fraudster Diamond theory merupakan refleksi dari triangle fraud, tetapi berbanding terbalik dengan teori triangle fraud. Teori ini merefleksikan predator sebagai saatu pelaku yang memiliki sikap Opportunities, Criminal Mindset, dan Sikap Arrogance.

FRAUD EXAMINITIONCara pencegahanfrauddapat dilakukan dengan cara (Amrizal,2004) yaitu sebagai berikut:a.Membangun struktur pengendalian yang baikDalam memperkuat pengendalian intern di perusahaan, COSO(TheCommittee of Sponsoring Organizations of The Treadway Commission) pada bulan September 1992 memperkenalkan suaturerangka pengendalian yang lebih luas daripada model pengendalian akuntansi yang tradisional dan mencakup manajemen risiko, yaitu pengendalian intern terdiri atas 5 (lima) komponen yang saling terkait yaitu: 1)Lingkungan pengendalian (control environment); 2)Penaksiran risiko (risk assessment) Standar Pengendalian (control activities); 3)Informasi dan komunikasi (information and communication); 4)Pemantauan(monitoring)

b.Mengefektifkan aktivitas pengendalian : (a)Review kinerja ; (b)Pengolahan informasi; (c)Pengendalian fisik; (d)Pemisahan tugas

c. Meningkatkan kultur organisasiMeningkatkan kultur organisasi dapat dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip-prinsipGood Corporate Governance(GCG).Saifuddien Hasan (2000) dalam Amrizal (2004)mengemukakan GCG meliputi: (a)Keadilan (Fairness) ; (b)Transparansi; (c)Akuntabilitas (Accountability); (d)Tanggung jawab (Responsibility); (e)Moralitas; (f)Kehandalan (Reliability); (g)Komitmen.

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB AKUNTAN DALAM MENDETEKSI FRAUD DALAM AUDIT Dalam melaksanakan peran dan tanggung jawab profesionalnya seorang eksternal auditor dibatasi oleh standar-standar auditing yang berlaku di Indonesia, khususnya:1. ISA (SPA )240 (5)Auditor yang melaksanakan audit berdasarkan SPA bertanggung jawab untuk memperoleh keyakinan memadai apakah laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari salah saji material, yang disebabkan oleh kecurangan atau kesalahan. Karena keterbatasan bawaan suatu audit, maka selalu ada risiko yang tidak terhindarkan bahwa beberapa salah saji material dalam laporan keuangan mungkin tidak akan terdeteksi, walaupun audit telah direncanakan dan dilaksanakan dengang baik berdasarkan SPA2. SA Seksi 110 (PSA 02) Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen .Auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak, bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji material terdeteksi, yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan. 3. SA Seksi 312 (PSA 25) Risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit 4. SA Seksi 316 (PSA 70) Pertimbangan atas Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan . Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen. Tanggung jawab auditor eksternal dalam mendeteksi fraud tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam SA Seksi 316 Pertimbangan atas Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan. Suatu kecurangan dapat berakibat pada salah saji (misstatement) yang bentuknya, antara lain: # Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan # Salah saji yang timbul dari perlakukan tidak semestinya terhadap aktiva Berdasarkan SA Seksi 316 tersebut, auditor eksternal harus secara khusus menaksir risiko salah saji material dalam laporan keuangan sebagai akibat dari kecurangan dan harus memperhatikan taksiran risiko ini dan mendesain prosedur audit yang akan dilaksanakan. Prosedur audit mungkin akan berubah, bila ada risiko fraud. Misalnya, bukti audit yang dikumpulkan mungkin lebih banyak dan bukti audit tersebut ditekankan pada bukti yang diperoleh dari sumber independen di luar perusahaan. Selain itu, pengujian mungkin lebih difokuskan pada pengujian yang dilaksanakan mendekati tanggal neraca. Semua hal tersebut dilakukan untuk menentukan dampak potensial fraud terhadap kewajaran laporan keuangan5. SA Seksi 317 (PSA 31) Unsur Tindakan Pelanggaran Hukum Oleh Klien apabila terjadi unsur tindakan pelanggaran hukum (termasuk yang wujudnya fraud) maka auditor akan mengumpulkan informasi tentang sifat pelanggaran, kondisi terjadinya pelanggaran dan dampak potensialnya terhadap laporan keuangan. Terungkapnya fraud, yang berdampak pada denda dan kerugian, harus diungkapkan secara memadai dalam laporan keuangan . Lebih jauh lagi, fraud dapat memiliki dampak yang material terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan sedemikian rupa sehingga auditor eksternal tidak dapat memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. 6. SA Seksi 333 (PSA 17) Representasi Manajemen Auditor perlu meminta pernyataan dari manajemen akan informasi tentang kecurangan yang berdampak material atas laporan keuangan . Bahkan idealnya, seperti yang diatur dalam standar auditing USA yaitu AU Section 333, Management Representations, terdapat pernyataan manajemen bahwa manajemen bertanggung jawab atas desain dan implementasi program dan pengendalian untuk mencegah dan mendeteksi fraud.

Namun, Perlu ditekankan bahwa walaupun auditor bertanggung jawab untuk merancang dan melaksanakan auditnya guna memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, termasuk salah saji yang timbul dari fraud, namun karena tingginya tingkat kompleksitas fraud, auditor eksternal tidak dapat diharapkan untuk memberikan jaminan mutlak bahwa salah saji karena fraud tersebut akan terdeteksi, sebagaimana disebutkan dalam SA Seksi 110.

DAFTAR PUSTAKA Albrecht, Albrech, Albrech, Zimbelman. 2012. Fraud Examination. South-Western Institut Akuntan Publik Indonesia. 2012. Standar Perikatan Audit 240. Tanggung Jawab Auditor terkait Dengan Kecurangan Dalam Suatu Audit Atas Laporan Keuangan. Jakarta Prasetyo, et al. 2003. Peak Indonesia Fraud Prevention and investigation, Jakarta Silverstone, Sheetz. 2007. Forensic Accounting and Fraud Investigation for Non-Experts. John Wiley & Sons. New Jersey Karyono. 2013. Forensic Fraud. Yogyakarta : Penerbit ANDI Tuanokota, Theodorus M. 2010.Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif edisi 2. Salemba Empat : Jakarta Sukamto Eman,2007. Perbandingan Persepsi Antara Kelompok Auditor Internal, Akuntan Publik, Dan Auditor Pemerintah Terhadap Penugasan Audit Kecurangan (Fraud Audit) Dan Profil Auditor Kecurangan (Fraud Auditor). Thesis. Semarang: Universitas Diponegoro

Arles, Leardo Faktor Faktor Pendorong Terjadinya Fraud : Predator vs. Accidental Fraudster Diamond theory Refleksi Teori Fraud Triangle (Klasik) Suatu Kajian Teoritis. Papper Mahasiswa Magister Akuntansi. Riau: Universitas Riau. Leardo Arles Papper Mahasiswa Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Riau