teori keuangan islam

146
TEORI KEUANGAN ISLAM Rekonstruksi Metodologis Terhadap Konsep Keuangan al-Ghazali Oleh: Ahmad Dimyati, M.Ag UII Press 2007 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah Swt, dengan hidayah dan ma’unah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku Teori keuangan Islam ini. Buku merupakan buah pikiran penulis yang semula ditujukan untuk memenuhi tugas penelitian Tesis pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Namun, mengingat masih langkanya literature dalam tema ini, penulis bertekad untuk mempublikasikannya dengan harapan agar dapat bermanfaat bagi para pengkaji, peminat dan praktisi ekonomi Islam. Meskipun demikian, penulis sadar bahwa paparan dan materi yang tersaji dalam buku ini masih bersifat pengantar. Karena itu, buku ini sebenarnya lebih sebagai batu pijakan untuk mendirikan bangunan ekonomi Islam yang hingga saat ini masih on going process. Ekonomi Islam hingga detik ini masih diperdebatkan, tidak saja dalam tataran epistemologis dan the body of science-nya, tetapi bahkan pada ranah ontologisnya, tentang ada dan tidaknya. Hal ini sebenarnya merupakan proses wajar yang biasa dan harus dilalui oleh sebuah ilmu untuk mencapai taraf saintifikasinya. Karena itulah, penulis mengajak kepada semua peminat, pemerhati, penstudi, praktisi bahkan pihak yang anti ekonomi Islam sekalipun untuk terus dan terus menghadirkan ide-ide cerdas demi diakuinya ekonomi Islam sebagai salah tema kajian ilmiah yang patut untuk didiskusikan di meja-meja ilmiah, kemudian pada tataran praktisnya bisa berfungsi sebagai salah satu paradigma baru bagi praktek 1

Upload: agus-arwani

Post on 24-Nov-2015

143 views

Category:

Documents


30 download

TRANSCRIPT

TEORI KEUANGAN ISLAM

TEORI KEUANGAN ISLAM

Rekonstruksi Metodologis

Terhadap Konsep Keuangan al-Ghazali

Oleh:

Ahmad Dimyati, M.Ag

UII Press

2007

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah Swt, dengan hidayah dan maunah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku Teori keuangan Islam ini. Buku merupakan buah pikiran penulis yang semula ditujukan untuk memenuhi tugas penelitian Tesis pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Namun, mengingat masih langkanya literature dalam tema ini, penulis bertekad untuk mempublikasikannya dengan harapan agar dapat bermanfaat bagi para pengkaji, peminat dan praktisi ekonomi Islam.

Meskipun demikian, penulis sadar bahwa paparan dan materi yang tersaji dalam buku ini masih bersifat pengantar. Karena itu, buku ini sebenarnya lebih sebagai batu pijakan untuk mendirikan bangunan ekonomi Islam yang hingga saat ini masih on going process. Ekonomi Islam hingga detik ini masih diperdebatkan, tidak saja dalam tataran epistemologis dan the body of science-nya, tetapi bahkan pada ranah ontologisnya, tentang ada dan tidaknya. Hal ini sebenarnya merupakan proses wajar yang biasa dan harus dilalui oleh sebuah ilmu untuk mencapai taraf saintifikasinya. Karena itulah, penulis mengajak kepada semua peminat, pemerhati, penstudi, praktisi bahkan pihak yang anti ekonomi Islam sekalipun untuk terus dan terus menghadirkan ide-ide cerdas demi diakuinya ekonomi Islam sebagai salah tema kajian ilmiah yang patut untuk didiskusikan di meja-meja ilmiah, kemudian pada tataran praktisnya bisa berfungsi sebagai salah satu paradigma baru bagi praktek ekonomi riil.

Hal yang pasti, atas terbitnya buku ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kawan-kawan diskusi di Program Magister UIN Sunan Kalijaga, Prodi Muamalat (bang Rusydi, teh Maftuh, mas Fatah, cak Mughits, kang Muklis, si Al dan semuanya saja), para competitor terbaikku di Program Doktor UIN Sunan Kalijaga (Pak Yus, pak Imam dan Pakde Hujair di UII, kang Fajar, Gus Anwar), ananda tercinta Izza Queen Sophia dan mamanya, E.H., yang memberikan dorongan semangat tanpa henti dan semua saja yang pernah hiwar dengan penulis.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada UII Press yang telah berkenan menerbitkan buku ini. Semoga antum termasuk hamba-hamba pilihan Allah dan pengemban amanah-Nya. Amin. Dan Semoga buku kecil ini bisa menjadi inspirasi untuk melahirkan karya-karya yang lebih fenomenal. Amiin.

Sleman, 30 Oktober 2007

DAFTAR ISI :

Kata Pengantar

1. PENDAHULUAN................................... 3

Problem Epistemologis Ekonomi Islam ....................... 3

Survey Literatur... 6

Flow Concept Sebagai Landasan Teori ... 7

Ancangan Metodologis .... 9

Alur Logika Pembahasan ..... 9

2. AL-GHAZALI DAN KONSTRUK DASAR KONSEP EKONOMINYA ...... 12

Latar Belakang Sosial Politik . 12

Latar Belakang Sosial Ekonomi . 14

Kondisi Sosial - ekonomi Umat Islam Pada Masa al-Ghazali dan sebelumnya..... 14

Jalur dan Pusat Perdagangan... 15

Mata Uang dan Sistem Keuangan .. 16

Posisi al-Ghazali dalam Alur Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam . 18

Pandangan al-Ghazali terhadap Ilmu Ekonomi.. 22

Nalar Ihya Dan Nalar Ekonomi ..... 23

3. TEORI KEUANGAN AL-GHAZALI........ 29

Definisi Uang . 29

Teori Evolusi Uang .... 30

Jenis Mata Uang . 31

Nilai Uang .. 32

Fungsi Uang ... 34

Problematika Riba ...... 34

Larangan Money Hoarding 37

Good Money Vs Bad Money ..... 39

Status Hukum Perdagangan Mata Uang .... 41

Intervensi Pemerintah dalam Masalah Keuangan ...... 41

4. REKONSTRUKSI TEORI (Analisis Ekonomi Makro dan Mikro). .. 48

A. Analisis Ekonomi Makro ...... 48

1. Pengertian Uang; Flow Concept Versus Stock Concept .... 48

2. Fungsi Uang.... 49

3. Permintaan Terhadap Uang (Money demand).51

B. Analisis Ekonomi Mikro ....... 55

Uang dalam Biaya Produksi ... 55

Uang dan Tingkat Harga .... 57

Analisis Peluang dan Tantangan .... 60

Kilas-balik Sejarah Perkembangan Sistem Moneter .. 60

Implementasi Konsep Keuangan Al-Ghazali; Analisis Peluang danTantangan..... 63

Solusi Alternatif . 64

5. KESIMPULAN .... 73

DAFTAR PUSTAKA ........... 74

I. Pendahuluan

A. Problem Epistemologis Ekonomi Islam; Posisi dan Peran Etika dalam Ekonomi Islam

Terdapat perdebatan panjang di kalangan ahli ekonomi dalam hal apakah ilmu ekonomi merupakan ilmu yang sarat dengan muatan nilai dan etika ataukah sebaliknya, bebas dari unsur-unsur tersebut (wertfrei, value free).1 Sebab masuknya unsur etika dalam kawasan ilmu ekonomi menimbulkan problem epistemologis yang cukup serius, sebagaimana tercermin dalam pertanyaan di atas.2 Akan tetapi jika diskusi mengambil obyek pada ekonomi Islam,3 maka mau-tidak mau unsur etika dan nilai menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari ekonomi Islam itu sendiri.4 Hal ini karena dalam melihat ilmu ekonomi sebagai suatu obyek kajian ilmiah maupun ekonomi sebagai aktifitas dari manusia, Islam menawarkan suatu pandangan yang komprehensif, dalam arti bahwa segala aktivitas ekonomi dalam agama Islam ditujukan dalam rangka pemenuhan tuntutan ekonomis dan ruhaniyah secara serentak.5

Dalam kenyataannya Islam lebih integral dari sekedar agama. Islam sekaligus agama dan dunia, ibadah dan muamalah, peradaban dan kebudayaan serta agama dan negara. Dengan demikian Islam sebagai revealed Religion (agama samawi) telah menunjukkan cakupannya yang universal dengan mengatur pola hidup, baik dalam bentuk interaksi horisontal antara sesama manusia maupun interaksi vertikal transendental. Karena itu pula hukum Islam diciptakan dalam rangka mempersiapkan standar yang kongkret dan bukan sekedar ditujukan untuk menekankan pada aturan formil yang seringkali dipermainkan oleh sejumlah kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sebagaiamana terjadi dalam hukum sekuler (hukum buatan manusia).6 Hukum Islam sarat dengan pertimbangan moral dan nilai agama sehingga bersifat relijius. Dalam aplikasinya pada sistem ekonomi Islam, ciri khas inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem-sistem yang lain. 7Akan tetapi harus diakui bahwa term ekonomi Islam merupakan barang baru dalam disiplin ilmu ekonomi itu sendiri. Pada masa-masa awal Islam, ekonomi tidak berdiri sendiri sebagai suatu ilmu, melainkan integral dangan ajaran-ajaran hidup secara luas dalam formulasi syariah.8 Perkembangannya secara signifikan baru nampak beberapa dasa warsa yang lampau.9 Meskipun demikian akar sejarah yang kuat sangat menunjang bagi upaya pembentukan the body of science ekonomi Islam. Seiring dengan itu istilah tersebut masih multi interpretable, sama banyaknya dengan orang yang memberikan definisi. Keragaman definisi tentang ekonomi Islam dipengaruhi oleh banyak faktor. Hal yang paling berpengaruh barangkali adalah basic akademik para pemikir Islam yang mempunyai concern terhadap bidang tersebut dan pada akhirnya memberikan karakter yang bagi konsep-konsep yang mereka ajukan.10 Hal lain yang juga turut memberikan warna bagai keragaman konsep tersebut adalah sikap para pemikir tersebut terhadap ekonomi konvensional beserta dengan alat-alat analisnya. Pada satu pihak banyak pemikir ekonomi Islam kontemporer yang berusaha menjelaskan fenomena-fenomena ekonomik dalam masyarakat dengan meminjam asumsi-asumsi yang dipakai dalam ekonomi konvesional. Hal ini selain karena mereka memiliki latar belakang pendidikan ekonomi, juga karena didorong oleh kesadaran atas realitas bahwa penjelasan-penjelasan yang bersifat filosofis, normatif, etis atau istilah apapun yang semakna sekarang ini sudah tidak dapat diterima oleh banyak kalangan ahli ekonomi. Qasem Hamouri misalnya mengatakan bahwa adalah mustahil untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam yang genuine tanpa melakukan suatu upaya rekonstruksi atas landasan-landasan mikro teori ekonomi (konvensional) dan memasukkannya ke dalam ekonomi Islam.11 Sementara itu terdapat pihak lain yang serta-merta menolak semua yang berbau Barat, termasuk di dalamnya ilmu ekonomi konvensional. Meskipun demikian mereka tidak apriori menolak, melainkan mencoba menawarkan suatu bangunan konsep baru yang dipaksakan harus Islam. Istilah-istilah yang dipergunakanpun harus berbahasa Arab. Sebagai contohnya adalah konsep Iqtishad sebagai kerangka dasar pemikiran mereka, dikemukakan oleh mazhab Baqir Shadr untuk mengganti dari istilah ekonomi Islam.

Baik sikap pertama maupun kedua masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Karena itulah kemudian muncul sikap oto kritik dari sebagian kalangan ekonom Islam dengan berusaha melakukan koreksi terhadap kedua konsep sebelumnya yang nampak berseberangan. Kritik yang mereka kemukakan adalah bahwa konsep pertama sebenarnya tidak lain dari wajah baru dari pandangan Neo Klasik dengan menambahkan atribut keislaman, seperti penerapan institusi zakat dan penghapusan riba. Sedangkan konsep kedua sebenarnya merupakan upaya untuk menggali paradigma ekonomi Islam yang baru dengan meninggalkan sama sekali paradigma ekonomi konvensional.12 Namun demikian upaya demikian seringkali menemui kegagalan. Karena biasanya konsep yang ditawarkan tidak bersifat menyeluruh, tetapi merupakan jawaban kasus per kasus, tema demi tema. Sedangkan untuk membangun teori ekonomi Islam yang sama sekali baru tanpa meminjam alat-alat analisis ekonomi konvensional adalah hal yang teramat sulit dilakukan (untuk tidak mengatakan mustahil).

Hal lain yang penting untuk segera disadari adalah, baik kajian ilmu ekonomi Islam dengan pendekatan sejarah (historical approach)13 maupun pendekatan positivisme-induktivisme atau yang lazim disebut dengan pendekatan empirical-basic tidak dapat dipilah-pilah. Keduanya harus sejalan dan digunakan secara padu agar kajian yang dilakukan tidak kehilangan cirikhas sebagai ilmu ekonomi sekaligus menampakkan identitas keislamannya. Pentingnya pendekatan sejarah, sebagaimana dikemukakan Monzer Khaf, bertolak dari kenyataan bahwa sejarah merupakan laboratorium bagi manusia sebagai pelaku ekonomi. Sementara itu, ekonomi sebagai salah satu cabang ilmu sosial perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan bebagai kecenderungan jangka panjang dalam dinamika ekonomiknya.14 Selain itu kajian sejarah dalam ilmu ekonomi Islam di satu sisi dapat membantu menemukan berbagai informasi dan pemahaman yang benar mengenai perjalanan sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik, di sisi lain dapat membantu merefleksikan hasil kajian sejarah tersebut sekaligus merumuskan konsep ekonomi Islam dalam wadag yang baru.15Sedangkan urgensi pendekatan empiris terhadap kajian ekonomi Islam lebih disebabkan karena banyak dari cabang ilmu-ilmu sosial, termasuk di dalamnya ilmu ekonomi yang mengadopsi pola pikir atau penalaran ilmiah yang lazim dipergunakan dalam cabang ilmu-ilmu eksakta. Barangkali dengan mengadopsi penalaran ilmu-ilmu eksakta tersebut diharapkan dapat menjelaskan dan memprediksi secara efektif dan produktif serta efisien terhadap fenomena-fenomena ekonomik, berdasarkan nilai-nilai Islam.16

Tentu yang demikian tidak mudah dan perlu perhatian yang sangat serius. Sebab untuk mendapatkan hasil yang maksimal, seorang peneliti ekonomi Islam sekaligus harus membagi perhatiannya untuk menggali timbunan sejarah klasik ekonomi Islam dengan pendekatan keislamannya dan merambah wilayah ilmu ekonomi konvensional dengan metodologinya. Tantangan yang demikian besar bukan berarti menjadi alasan untuk tidak melakukan upaya sama sekali. Pembahasan satu per satu instrumen ekonomi Islam dengan menggunakan perpaduan kedua pendekatan di atas merupakan upaya menuju pembentukan bangunan teori ekonomi Islam secara utuh. Salah satu instrumen yang sangat vital untuk segera diciptakan adalah sistem keuangan yang menunjukkan secara tegas karakter ke-Islamannya (selanjutnya disebut sistem atau konsep keuangan Islam).

Berangkat dari kenyataan ini, tulisan ini dimaksudkan untuk menawarkan suatu gagasan konsep keuangan Islam, sebagai salah satu piranti utama ekonomi Islam dengan menampilkan dan merekonstruksi pemikiran seorang tokoh besar Islam, al-Ghazali.

Mengapa harus al-Ghazali? Pertanyaan inilah yang seringkali dilontarkan kepada penulis ketika berupaya melakukan kontekstualisasi pemikiran al-Ghazali dan barangkali tokoh Islam lain, terutama yang telah mendapat legitimasi sebagai tokoh tradisional, dan mendialekkan pemikiran-pemikiran tersebut dengan masalah-masalah kontemporer. Harus diakui keberatan yang mengiringi pemilihan al-Ghazali sebagai tokoh yang pemikirannya akan dijadikan landasan epistemologi ekonomi di sini tidaklah kecil, mengingat yang bersangkutan terlanjur lebih dikenal sebagai tokoh sufi dan kalam, sekalipun sebenarnyalah dia juga banyak menulis dalam bidang lain seperti filsafat, fiqh, usul fiqh dan lain-lainnya. Keberatan itu semakin kentara manakala disebutkan bahwa yang menjadi obyek kajian utama dalam tulisan ini merupakan salah satu karya terbesarnya di bidang tasawuf, ihya ulum ad-din..

Untuk menyahuti keberatan-keberatan yang diajukan kepada penulis, beberapa argumen layak dikemukakan untuk menjawab tantangan itu sekaligus menghindari anggapan bahwa pemilihan al-Ghazali dalam tulisan ini hanya didasari oleh kepentingan subyektif ideologis semata. Pertama; bahwa pemikiran al-Ghazali yang akan direkonstruksi ulang sebagai konsep keuangan Islam di sini terletak pada aspek etisnya, dimana salah satu aspek yang menjadi perhatian al-Ghazali dalam sistematika etikanya merupakan masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi, baik sebagai aktifitas individu maupun sebagai bagian dari ilmu-ilmu pengetahuan.

Kedua, sebagaimana akan diuraikan nanti, al-Ghazali menempati posisi penting dalam untaian mata rantai sejarah pemikiran ekonomi Islam. Hal ini dibuktikan dengan beberapa pemikirannya yang dijadikan landasan bagi perumusan teori-teori ekonomi Islam oleh para pakar ekonomi Islam kontemporer. Di antaranya teori tentang pasar, intervensi negara dan institusi-institusinya dalam mengatur ekonomi, serta fungsi dan etika keuangan yang akan diulas dalam tulisan ini.

Ketiga, pemikiran al-Ghazali yang direkonstruksi dalam tulisan ini banyak merujuk pada suatu magnum corpus-nya, Ihya Ulum ad-Din yang di antaranya memuat pemikirannya tentang dasar-dasar ekonomi, termasuk masalah keuangan. Di bidang keuangan, pemikiran al-Ghazali tersebar di berbagai tempat. Yang terbanyak terdapat dalam jilid II, III dan IV (versi empat jilid). Dengan memperhatikan setting kehidupannya, sosial, politik, ekonomi dan karir ilmiahnya, barangkali dapat membantu untuk menerima bahwa sebenarnyalah tokoh yang disebut di atas memiliki pandangan yang cukup modern untuk ukuran masanya di bidang keuangan. Menurut Hasan Ibrahim sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Ahmad, keluasan pandangan al-Ghazali dalam masalah ekonomi dan khususnya keuangan sangat mungkin dipengaruhi oleh pengalamannya yang luas pula.17 Sebagaimana diketahui sepanjang hayatnya dia banyak melakukan lawatan ke berbagai negara Islam untuk menuntut ilmu dan menimba pengalaman. Hal lain yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa pada masa al-Ghazali perkembangan ekonomi di mana ia tinggal sudah terhitung sangat maju. Pasar-pasar internasional yang menjadi sentral pertemuan kegiatan bisnis para pedagang dari berbagai penjuru wilayah sudah terbentuk. Beberapa kota telah menjadi pusat pertemuan komoditas perdagangan dari berbagai negara. Di antara kota perdagangan yang terkenal adalah Isfahan.18 Terbentuk pula semacam bank yang menjadi tempat tukar-menukar uang dari berbagai negara, menerima deposit dan menyalurkannya, membuat cek (sakk) sebagai media pembayaran serta mentransfer uang.19

Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya yang berjudul Reading in Islamic Economic Thought memasukkan nama al-Ghazali ke dalam deretan tokoh pemikir ekonomi Islam fase kedua bersama-sama dengan Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan tokoh yang lain. Pada fase kedua ini pemikiran wacana ekonomi Islam telah berkembang secara intensif serta ditandai dengan perubahan dalam struktur kekuasaan Islam yang semakin luas. Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali misalnya, banyak menyinggung mengenai uang dan fungsi serta evolusi penggunaannya. Dia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu bangsa. Secara tidak khusus ia membahas pula masalah timbangan, pengawasan harga (at-tasir, intervensi pasar), penentuan pajak dalam kondisi tertentu atau darurat dan sebagainya. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar ataukah perlu adanya intervensi pemerintah.20

Pandangan keuangan al-Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis sebagai akibat pengaruh basic keilmuan tasawufnya.21 Namun yang menarik, pandangan-pandangannya tidak terbatas pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi riil yang terjadi dalam masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut, dengan disertai argumen yang logis. Karena itu agar pandangan-pandangan tersebut dapat tertata menjadi suatu konsep yang mapan, beberapa gugatan konseptual perlu diajukan, yaitu; (1) Bagaimanakah konsep dasar keuangan al-Ghazali?; (2) Bsgaimanakah konsep keuangan al-Ghazali dilihat dari analisis ilmu ekonomi?; (3) Sejauh manakah kemungkinan penerapan konsep tersebut dalam perekonomian modern?

Berdasarkan tiga gugatan di atas, tulisan ini sengaja diancangkan untuk menjelaskan dan menguji (evaluasi kritis) terhadap konsep keuangan al-Ghazali dalam penerapannya di dalam suatu sistem ekonomi Islam. Selain itu yang tidak kalah penting adalah untuk menawarkan interpretasi baru terhadap konsep ekonomi Islam_khususnya yang berkaitan dengan keuangan Islam_ berdasarkan bahan-bahan dan metode yang baru pula sehingga dengan demikian akan menjadi suatu wacana baru dan sekaligus kontribusi yang melengkapi kekurangan instrumen yang diperlukan ekonomi Islam. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi dinamika perkembangan ilmu ekonomi Islam, yaitu dalam hal; Signifikansi metodologis, dalam arti mampu memberikan penjelasan metode pemikiran al-Ghazali secara khusus yang berkaitan dengan keuangan Islam; Signifikansi praktis, yaitu memberikan paparan sejauh mana kemungkinan penerapan konsep yang telah direkonstruksi dari pemikiran al-Ghazali; serta signifikansi implikatif, maksudnya adalah setelah dilakukan pemaparan tentang kemungkinan aplikasi konsep yang telah terbangun, maka selanjutnya dijelaskan pula prediksi terhadap implikasi yang mungkin terjadi apabila konsep tersebut benar-benar diterapkan dalam konteks ekonomi moneter modern.

B. Survey Literatur

Harus diakui bahwa tulisan ini tidak berangkat dari suatu kekosongan, melainkan melanjutkan berbagai kajian dan tulisan yang sudah dilakukan sebelumnya. Kajian yang mengambil obyek al-Ghazali dengan pemikirannya sudah banyak dilakukan oleh para penulis dalam bentuk buku, artikel maupun karya-karya ilmiah yang lain. Namun demikian pada umumnya studi tersebut menitik beratkan kajiannya pada kapasitas al-Ghazali sebagai seorang ahli tasawuf, kalam, filsafat, fiqh dan usul fiqh. Juga terdapat beberapa tulisan yang mengangkat tema pemikiran al-Ghazali dalam masalah pendidikan dan bahkan politik.

Beberapa tulisan yang sedikit-banyak membahas pemikiran al-Ghazali dalam bidang ekonomi antara lain karya H. Zainal Abidin Ahmad dengan judul Dasar-dasar Ekonomi Islam (1979). Dalam buku ini dibahas pandangan beberapa tokoh muslim di bidang ekonomi, seperti Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah dan al-Ghazali sendiri. Bagian yang khusus membicarakan konsepsi ekonomi al-Ghazali termasuk di dalamnya keuangan ditampilkan dalam beberapa halaman saja, secara garis besar, sehingga tidak ditemukan pemikiran yang lengkap.

Murtadha Muttahari dengan karyanya ar-Riba wa at-Tamin (1993) juga menyinggung pemikiran ekonomi al-Ghazali, juga masalah keuangan dalam kaitannya khusus pada masalah riba.

Adiwarman Azwar Karim juga membahas secara singkat pemikiran al-Ghazali dalam bidang ekonomi Islam dengan menekankan pembahasan pada masalah evolusi pasar, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (2001). Pembahasan serupa juga ia tuangkan dalam tulisannya yang berjudul Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer (2001).

Tulisan Adiwarman yang lain berjudul Ekonomi Mikro Islami (2001), mengulas pemikiran ekonomi al-Ghazali khusus yang berkaitan dengan mekanisme pasar (market mechanism). Sedangkan bukunya yang lain berjudul Ekonomi Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro (2002) juga menampilkan pemikiran ekonomi al-Ghazali dengan penekanan pada aspek ekonomi makro.

Imamuddin Yuliadi dengan tulisannya yang bertema Ekonomi Islam; Sebuah Pengantar (2001) menyinggung secara singkat tentang pemikiran al-Ghazali dalam kaitannya dengan sejarah pemikiran ekonomi Islam.

Muhammad Nejatulah Siddiqi dalam bukunya Reading in Islamic Economic Thought (1972) menjelaskan sedikit tentang pemikiran ekonomi al-Ghazali juga dalam kerangka pereodisasi sejarah pemikiran ekonomi Islam.

Masudul Alam Chuodhury dalam beberapa tulisannya, antara lain Studies in Islamic Social Sciences dan Contributions to Islamic Economic Theory; A Study in Social Economics (1998) juga banyak mengulas pemikiran al-Ghazali dibidang politik ekonomi Islam.

Taqi ad-Din an-Nabhani dalam tulisannya yang bertitel an-Nizam al-Iqtishadi fi al-Islam (1990) juga menyampaikan pemikiran ekonomi al-Ghazali secara umum. Tulisan tersebut tanpa disertai dengan analisis yang lebih jauh, sehingga tidak bisa menampilkan karakter ekonomi Islamnya melainkan hanya sebatas aspek normatif.

Muhammad A. Al-Buraey juga secara singkat mengupas pemikiran al-Ghazali tentang administrasi negara, termasuk administrasi perekonomian bersama-sama dengan tokoh-tokoh yang lain, seperti Ibn Khaldun, Abu Yusuf, al-Mawardi dan Ibn Taimiyah. Ulasan tersebut tertuang dalam tulisannya dengan judul Administrative Development; An Islamic Perspective (1985).

Ketika Yusuf Qardawi mengulas peran nilai dan moral dalam perekonomian Islam dalam bukunya yang berjudul Daur al-Qiyam wa al-Ahlaq fi al-Iqtishad al-Islami (1995), juga banyak mengutip konsep-konsep ekonomi yang dikemukakan al-Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din.

Sementara itu tulisan S.E. Rayner bertema The Theory of Contracts in Islamic Law; A Comparative Analysis with Particular Reference to the Modern Legislation in Kwait, Bahrain and The United Arab Emirates (1991) merupakan hasil studinya terhadap hukum-hukum Islam di bidang komersil yang telah menjadi undang-undang resmi di beberapa negara Islam di kawasan Timur Tengah. Dalam tulisan ini Rayner juga mengutip pemikiran al-Ghazali tetapi lebih menekankan pada metode istinbat hukum dalam proses pembentukan undang-undang tersebut.

Sedangkan Abdul Azim Islahi dalam bukunya Economic Concept of Ibn Taimiyah (1988), dalam beberapa bagian tulisannya mengkomparasikan pemikiran Ibn Taimiyah dengan al-Ghazali dalam bidang ekonomi. Di antaranya ketika ia membahas fungsi uang dan intervensi penguasa dalam bidang ekonomi.

Dengan demikian tulisan ini mengambil tempat sebagai penerus dan pelengkap dari tulisan-tulisan yang sudah ada, sebagai penjabaran lebih lanjut yang lebih lengkap dan sistematis, khususnya dalam masalah pemikiran ekonomi al-Ghazali di bidang ekonomi yang berkaitan dengan keuangan. Tulisan-tulisan yang disebutkan di atas juga akan sangat membantu dalam tulisan ini, sebagai bahan rujukan dan perbandingan di samping karya al-Ghazali sendiri Ihya Ulum ad-Din yang akan menjadi rujukan utama.

C. Flow Concept Sebagai Landasan Teori

Dalam pembagian secara dikotomis, pandangan para ekonom (konvensional) dapat disederhanakan menjadi dua kubu ketika membahas teori keuangan (moneter). Kedua kubu tersebut adalah kelompok yang tergabung dalam teori stock concept dan yang lain berada dalam kelompok teori flow concept. Kubu pertama diwakili oleh kelompok Chambridge school, kelompok Keynesian dan Marshall (Alfred Marshall)-Pigou. Sedangkan kubu kedua dipelopori oleh Irving Fisher, kelompok Friedman dan kaum monetaris.22

Perbedaan antara kedua teori ini terletak pada asumsi-asumsi yang dipakai serta cara pandang dan model analisis yang diterapkan. Misalnya dalam flow concept uang dianggap sebagai public good sementara dalam pandangan stock concept uang dianggap sebagai private good. Perbedaan lain yang paling mendasar terletak pada pemisahan antara uang dan modal (capital), di mana uang diasumsikan selalu dalam keadaan flow (mengalir) sedangkan modal dianggap sebagai stock. Sementara itu dalam pandangan stock concept baik uang maupun modal sama-sama dianggap stock. Irving Fisher dari kelompok Flow concept menyatakan bahwa besarnya tingkat pendapatan masyarakat dapat diukur atau ditentukan oleh tingkat kecepatan peredaran atau aliran uang. Yang kemudian menjadi pertanyaan mendasar dalam teorinya adalah berapa kalikah uang yang berada dalam masyarakat berpindah tangan dalam suatu periode tertentu (misalnya satu tahun)? Dari pertanyaan dasar ini kemudian dia membangun suatu hipotesa bahwa: pada hakikatnya perubahan dalam uang beredar (Velositas) akan menimbulkan perubahan yang sama cepatnya terhadap harga-harga. Teori yang dibangun Fisher ini kemudian juga dikenal dengan teori kuantitas uang.23 Dia juga mengatakan tidak ada korelasi sama sekali antara kebutuhan memegang uang (demand for holding money) dengan tingkat suku bunga.24

Sementara itu konsep Marshall-Pigou dari kelompok stock concept menyatakan bahwa tingkat demand for holding money merupakan indikator bagi tingkat pendapatan masyarakat.25 Pertanyaan dasar dalam teori sisa tunai adalah: berapa besarkah uang yang dipegang atau disimpan oleh masyarakat dalam bentuk tunai, dalam suatu periode waktu tertentu? teori ini kemudian disebut dengan teori sisa tunai.26Sebagian ahli ekonomi berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar dalam kedua teori di atas. Karena keduanya mempunyai pandangan yang sama mengenai hubungan antara uang beredar dan harga-harga. Hipotesa yang dibangun oleh teori sisa tunai tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh teori kuantitas, yaitu perubahan dalam uang beredar akan menimbulkan perubahan yang sama lajunya ke atas harga-harga Perbedaannya barang kali jika ada adalah terletak pada cara pandang terhadap ciri-ciri pemegangan uang oleh masyarakat.27Sementara itu jika mengikuti pemetaan yang dilakukan oleh Adiwarman A. Karim, maka dapat ditemukan,bahwa dalam memandang ekonomi Islam di kalangan pemikir kontemporer terdapat tiga corak (mazhab), yaitu mazhab Baqir as-Shadr, mazhab Mainstream dan mazhab Alternatif.28 Mazhab Baqir as-Shadr dipelopori oleh Baqir as-Shadr dan Ali Syariati. Menurut mazhab ini bahwa dalam mempelajari ilmu ekonomi harus dilihat dari dua aspek, yaitu aspek philosophy of economics atau normative economics dan aspek positive economics. Mazhab ini memandang adanya perbedaan antara ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Akibatnya adalah keduanya tidak akan bisa bertemu. Istilah ekonomi Islam adalah istilah yang kurang tepat sebab ada ketidak sesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam tersebut. Pandangan demikian didasarkan pada pengertian dari ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumberdaya ekonomi (scarcity) vis a vis dengan kebutuhan manusia yang tak terbatas. Hal ini bertentangan dengan al-Quran surah al-Furqan ayat 2 yang menjamin keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan sumberdaya yang tersedia. Karena itu mazhab ini mengganti istilah ilmu ekonomi Islam dengan Iqtishad yang mengandung arti selaras, setara dan seimbang (in between).29 Kemudian menyusun dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah.30Sedangkan mazhab Mainstream, yang banyak dipelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Islamic Development Bank (IDB) antara lain M. Umar Chapra, M.A. Mannan, Nejatullah Siddiqi, Khursid Ahmad, Monzer Khaf dan sebagainya, mengakui adanya scarcity yang mendasari terbentuknya ilmu ekonomi. Karena sebagian tokoh mazhab Mainstream ini adalah alumni dari berbagai perguruan tinggi Amerika dan Eropa, maka mereka dapat menjelaskan fenomena ekonomi dalam bentuk model-model ekonomi dengan pendekatan ekonometri. Dengan demikian berbeda dengan mazhab pertama yang menolak ekonomi konvensional, mazhab ini banyak meminjam teori-teori ekonomi konvensional.31Sementara itu mazhab Alternatif yang dimotori oleh Prof. Timur Kura (Ketua pada Jurusan Ekonomi pada University of Southern California), Prof. Jomo dan Prof. Muhammad Arif, memandang pemikiran mazhab Baqir Shadr berusaha menggali dan menemukan paradigma ekonomi Islam yang baru dengan meninggalkan paradigma ekonomi konvensional, tapi banyak kelemahannya, sedangkan mazhab Mainstream merupakan wajah baru dari pandangan Neo Klasik dengan menghilangkan unsur bunga dan menambahkan zakat. Selanjutnya mazhab ini menawarkan suatu kontribusi dengan memberikan analisis kritis tentang ilmu ekonomi bukan hanya pada pandangan kapitalisme dan sosialisme (yang merupakan representasi wajah ekonomi konvensional), melainkan juga melakukan kritik terhadap perkembangan wacana ekonomi Islam.32

Meskipun demikian dalam konsep ekonomi Islam terdapat keseragaman pandangan bahwa uang adalah uang. Dalam arti ia hanya memerankan fungsinya sebagai alat tukar. Karena itulah uang merupakan public good yang harus selalu dalam keadaan mengalir atau beredar (flow).33 Sehingga praktek-praktek yang menghambat peredaran uang semisal money hoarding, sangat ditentang. Jika dibandingkan dengan konsep ekonomi konvensional, maka dapat disimpulkan bahwa Islam menolak demand for money holding, sebagaimana dalam stoc concept. Sebaliknya dengan flow concept terdapat persamaan persepsi dalam permasalahan ini.

Karena itu dalam tulisan ini, penulis sengaja memilih alat analisis flow concept dengan beberapa modifikasi, dengan asumsi bahwa jika dalam teori tersebut digunakan pemisalan bahwa uang harus selalu beredar (flow), maka hal yang sama juga dipakai dalam Islam. Untuk beberapa hal teori-teori yang sudah dibangun oleh para pemikir ekonomi Islam, terutama dari mazhab mainstream mempermudah pembahasan pada kerangka pikir ekonomi Islam.

D. Ancangan Metodologis

Sesuai dengan temanya, tulisan ini termasuk dalam jenis tulisan kepustakaan (library-Research) dengan mengambil kitab Ihya Ulum ad-Din sebagai obyek kajian pada masalah dan bagian-bagian yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian sifat tulisan ini adalah kwalitatif dengan tipe deskriptif-ekplanatoris-analitis. Maksudnya adalah dalam tulisan ini diupayakan menampilkan gambaran yang utuh dan jelas untuk selanjutnya menganalisa secara kritis34 terhadap pemikiran-pemikiran al-Ghazali khusus yang terkait dengan masalah keuangan Islam.

Sedangkan metode yang dipergunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan jalan melakukan eksplorasi terhadap berbagai sumber yang relevan dengan tema tulisan, baik sifatnya primer maupun komplementer. Sumber-sumber berupa buku-buku karya al-Ghazali dalam tema yang bersangkutan, terutama Ihya. Sedangkan sumber-sumber pelengkap berupa karya tulis yang berkaitan dengan ekonomi Islam maupun konvensional, tulisan yang berkaitan dengan al-Ghazali, jurnal, majalah, bulletin maupun surat kabar yang relevan dengan tema tulisan serta sumber yang lain.

Dalam menganalisa data dipilih metode deduktif-induktif. Artinya data-data tentang tema dan dari berbagai sumber di atas yang telah didapatkan dideskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat akan dianalisa untuk mendapatkan kategori-kategori yang relevan. Setelah itu keseluruhan data dirangkum sehingga diperoleh hasil kesimpulan kemudian diinterpretasikan dengan memperhatikan aspek sosial-budaya, ekonomi dan politik35 yang melatar belakangi pemikiran al-Ghazali. Selanjutnya sebagai langkah terakhir hasil rekonstruksi pemikiran al-Ghazali dalam masalah keuangan direfleksikan kedalam realitas kehidupan sosial-ekonomi modern, khususnya di Indonesia untuk menjajagi kemungkinan aplikasinya, baik sebagai suatu wacana ilmiah maupun tawaran konsep alternatif.

Pendekatan yang dipergunakan dalam tulisan ini metode pendekatan sejarah. Metode ini sengaja dipilih karena tulisan ini merupakan kajian teks, dalam hal ini adalah karya al-Ghazali Ihya Ulum ad Din yang memuat sebuah sistem pemikiran yang sudah menyejarah. Karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisa dan merekonstrusi sejarah pemikiran, khususnya yang terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pemikiran al-Ghazali dalam masalah keuangan. Selain itu karena kajian ini mengambil tema ekonomi Islam, maka sebagai alat bantu juga digunakan pendekatan ekonomi khususnya teori keuangan mazhab mainstream, dalam merekonstruksi konsep keuangan al-Ghazali.

E. Alur Logika Pembahasan

Untuk memudahkan pembacaan dan pemahaman secara utuh, tulisan ini dibagi kedalam beberapa bab yang saling berkaitan dan berurutan secara sistematis dan logis.

Pada bab pertama dikemukakan pendahuluan sebagai pengantar pada pokok permasalahan dan aspek-aspek metodologis suatu tulisan ilmiah, agar pembaca mengetahui secara jelas kerangkan pikiran yang terdapat dalam tulisan ini.

Pada bab dua disajikan konsep dasar atau kerangka berfikir al-Ghazali dalam masalah ekonomi. Dalam hal ini berbagai konstruk pemikiran yang masih dalam bentuk normatif (tasawuf) dibawa pada suatu kerangka baru, yaitu ekonomi Islam, tetapi masih memperhatikan penalaran yang dipakai al-Ghazali dalam Ihya. Karena itu secara khusus nalar yang terdapat dalam Ihya tersebut juga dibahas. Selain itu pembahasan dimulai dengan sedikit mengulas sedikit aspek latar belakang sosial-ekonomi yang melingkupi kehidupan al-Ghazali dengan tujuan mengeksplorasi aspek-aspek ekstern maupun intern yang turut membentuk pemikiran al-Ghazali. Yang demikian dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman ketika masuk pada pembahasan pada bab berikutnya.

Bab ketiga mendiskusikan secara deskriptif konsep keuangan al-Ghazali disertai analisis dengan melakukan komparasi terhadap pemikiran tokoh-tokoh lain, baik dari kalangan ulama klasik maupun para pemikir ekonomi Islam kontemporer, tetapi masih dalam bentuk normatifnya. Tujuannya adalah agar pembaca dapat melihat secara langsung bagaimana konsep asli al-Ghazali tentang keuangan serta untuk mempertegas karakter konsep tersebut.

Bab keempat merupakan sebuah upaya untuk menguji validitas (kelebihan dan kekurangan) konsep keuangan al-Ghazali yang telah dibangun dalam paradigma baru, serta kemungkinan aplikasinya dalam perekonomian modern. Dalam bab ini alat-alat analisis ekonomi mikro dan makro, baik dari ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam (sepanjang itu ada) akan digunakan. Dengan demikian akan diketahui kelebihan dan kekurangan konsep yang dikemukakan al-Ghazali ketika benar-benar direkonstruksi dalam bentuk teori ekonomi. Analisis peluang dan tantangan juga disertakan untuk menguji kemungkinan penerapan konsep tersebut dalam ekonomi modern.

Untuk mengambil intisari dari seluruh pembahasan ditarik suatu kesimpulan pada bab kelima. Beberapa catatan yang mungkin diperlukan juga dilampirkan pada bagian ini.

1 Para ahli ekonomi berselisih pendapat dalam masalah ini. Bagi yang berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan cabang ilmu yang sarat dengan nilai, maka yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah What augh to be. Sedangkan yang beranggapan ilmu ekonomi bebas dari muatan nilai maka pertanyaan mendasar adalah What is. Untuk mengetahui jawaban dari perdebatan ini baca Winardi, Ilmu Ekonomi dan Aspek-aspek Metodologisnya (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 77-78 dan 112.

2 Karena itu sebagian ahli memilah ilmu ekonomi menjadi dua macam, yaitu ilmu ekonomi positif dan ilmu ekonomi normatif. Yang pertama menyajikan dan menyelidiki fakta sebagaimana adanya sedangkan yang kedua memasukkan unsur-unsur nilai seperti baik-buruk, layak-tidak layak dan sebagainya. Lihat Dawam Raharjo, Sekapur-sirih tentang Aksiologi Ekonomi Islam, dalam Syed Nawab Heidar Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi; Suatu Sintesis Islami, terj. Husin Anis dan Asep Hikmat, cet. 3 (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 12. Ada pula yang berpendapat bahwa etika ketika memasuki kawasan ilmu ekonomi hanya dapat dilihat dalam praktek ekonomi bukan pada teorinya. Lihat Musa Asyarie, Islam; Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, cet. 1 (Yogyakarta: LeSFI bekerjasama dengan IL, 1997), hlm. 21.

3Istilah ekonomi Islam sebenarnya masih diperdebatkan tentang ada atau tidaknya, apakah Islam memiliki suatu sistem ekonomi ataukah sebatas aturan-aturan normatif saja. Lihat S.M. Hasanuzzaman, Economic Functions of an Islamic States; the Early Experience (Karachi: The Islamic Foundation , 1991), hlm. 21-22. Lihat pula Joseph Schacht, The Legacy of Islam (Oxford: Clarendon Press, 1974), hlm. 104.

4 Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa di balik sebuah sistem ekonomi Islam terdapat suatu sistem nilai (value system). Salah satu nilai tersebut adalah etika hukum Islam yang dapat mempengaruhi seorang muslim dalam menentukan suatu keputusan ekonomik yang diambilnya. Lihat Dawam Raharjo, Sekapur-sirih, hlm. 11.

5 Monzer Khaf, Ekonomi Islam; Telaah Analitik Terhadap Fungsi Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, Cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 15.

6Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, cet. 1 (Oxford University Press, 1964), hlm. 203.

7Yusuf Qardawi, Fiqh Peradaban; Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, terj. Faizah Firdaus, cet.1 (Jakarta: Rabbani Pers, 1997), hlm. 17. Lihat pula Joseph Schacht dalam, An Introduction, hlm. 203.

8 Lihat Olivier Roy, The Failure of Political Islam, alih bahasa Carol Volk, cet. 2 (Harvard Universiry Press, 1996), hlm. 132.

9 Ibid.

10 F.R. Faridi (ed), Essay in Islamic Economic Analysis, cet. 1 (New Delhi: Genuine Publications & Media PVT. LTD, 1991), hlm. 1.

11 Ibid, hlm. 9.

12Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam; Sebuah pengantar, cet.1 (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam Univesitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2001), hm. 36.

13 Pendekatan sejarah dalam mengkaji ilmu ekonomi Islam berarti menempatkannya pada kelompok ilmu-ilmu social, karena itu pendekatan-pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial ternasuk di dalamnya pendekatan sejarah sangat diperlukan. Sebab harus diakui dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial memiliki kelebihan yang tidak terdapat dalam ilmu-ilmu pasti. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan analisa yang ditawarkan bagi fenomena-fenomena kontemporer yang terjadi dalam masyarakat. Lihat Abu Baker A. Bagadeer (ed.), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, alih bahasa Muchtar Effendi Harahap.,et.al, cet. 1 (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hlm. 23.

14 Monzer Khaf, Ekonomi, hlm. 7.

15 Ibid, hlm. 8

16 Lihat Muhammad Akhyar Adnan, Metodologi Ekonomi Konvensional dan Penelitian Ekonomi Islami dalam M. Amin Abdullah dkk (ed.), Antologi Studi Islam, cet. 1 (Yogyakarta: DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002), hlm. 294-295. Ketika para ilmuwan (khususnya ilmuwan ekonomi) sosial memakai metodologi penelitian ilmu-ilmu alam, maka ilmu-ilmu tersebut tidak lagi dimasukkan dalam lingkup humaniora yang subyektif, intuitif dan impressionis. Lihat Abu Baker A. Bagadeer, Islamisasi, hlm. 23. Bandingkan dengan Dawam Raharjo, Sekapur-sirih, hlm.12.

17 Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam (Jakarta: Bulan Bintang: 1979), hlm. 291.

18 Ibid.

19 Lihat Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer, cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 61

20 Dalam hal ini M. Nejatullah Siddiqi membagi sejarah pemikiran ekonomi Islam ke dalam empat fase, yaitu: fase I (113H/731M-450H/1058M0, fase II (450 H/1058M-850H/1446 M), fase III (850 H/1446M-1350 H/1932 M) dan fase IV (1350 H/1932 M- sekarang). Lihat Imamudin Yuliadi, Ekonomi, hlm. 37-40.

21 Bernand Lewis, Islam in History; Ideas, People, and Events in the Middle East, ed. 2, cet. 1 (Chicago dan Illionois: Open Court, 1993), hlm. 98.

22 Adiwarman Karim, Ekonomi Islam; Suatu Kajian Ekonomi Makro,cet. 1 (Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002), hlm. 19-20. Pertentangan antara kedua kubu tersebut, khususnya kaum monetaris dengan Keyness terletak dalam empat hal, yaitu teori kuantitas, mekanisme transmisi kebijakan moneter, stabilitas velositas uang dan fleksibelitas harga. Lihat Michael G. Rukhstad, Macroeconomic Decission Making in the World Economy; Text and Cases, ed. 3 (The Dryden Press, 1992), hlm. 108.

23 M. Manullang, Ekonomi Moneter, cet. 13 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), hlm. 56.

24 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, ed. 2, cet. 11 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 220.

25 Adiwarman Karim, Ekonomi, hlm. 20.

26 Sadono Sukirno, Pengantar, hlm. 220.

27 Ibid, hlm. 221.

28 Lebih jelasnya lihat Adiwarman A. Karim. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer, dalam Maad; Buletin Kajian Ekonomi Syariah, diterbitkan oleh Shariah Economics Forum (SEF) Universitas Gajahmada, edisi: 2/II 8 Juni 2001, hlm. 1- 4.

29 Konsep iqtisad sebagai dasar ekonomi Islam akhir-akhir ini menjadi obyek kajian yang serius di Barat terbukti dengan banyaknya literatur yang mulai bermunculan dalam artikel-artikel penelitian maupun buku yang mengangkatnya sebagai tema utama. Lihat Olivier Roy, The Failure, hlm. 133.

30 Imamudin Yuliadi, Ekonomi, hlm30-33.

31 Ibid, hlm. 33-36.

32Ibid, hlm. 36-37.

33 Adiwarman Karim, Ekonomi, hlm. 21.

34 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 9-10.

35 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, cet. 1 ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 66.

Bab II

Konstruk Dasar Konsep

Ekonomi al-Ghazali

A. Latar Belakang Sosial PolitikAl-Ghazali terlahir dengan nama lengkap Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad al-Ghazali at-Thusi, juga dijuluki dengan gelar Hujjah al-Islam.1 Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Tus (sekarang Meshed), sebuah kota kecil di daerah Khurasan (sekarang Iran). Meninggal pada tahun 505 H/ 1111 M di tempat yang sama.2 Ayahnya bekerja sebagai pemintal benang wol dan menjual hasil produksinya sendiri ke pasar-pasar di sekitar tempat tinggalnya.3Al-Ghazali hidup pada paruh kedua masa kekuasaan dinasti Abbasiyah, di mana waktu itu kekuasaannya sudah terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan kecil yang justru memegang kekuasaan efektifnya. Daerah kelahiran al-Ghazali sendiri waktu itu dipegang oleh dinasti Saljuk yang didirikan oleh Togrel Bek (1037-1063 M) dan berhasil merebut kekuasaan dari Abbasiyah tiga tahun menjelang kelahiran al-Ghazali.4 Ia kemudian digantikan oleh putranya Alp Arslan yang memerintah tahun 1063-1072 M. Masa kejayaan Saljuk terjadi ketika itu dan saat tampuk kekuasaan didapuk oleh sultan Malik Syah (1072-1092 M) dengan wazirnya yang terkenal, Nizam al-Mulk (1063-1092 M) yang banyak berjasa bagi karir intelektual al-Ghazali. Setelah itu wajah pemerintahan dipenuhi dengan disintegrasi di berbagai bidang. Kekacauan di bidang politik, suasana persaingan aliran teologi dan antar mazhab fiqh terjadi di seluruh wilayah. Bahkan pertarungan pengaruh pemikiran-pemikiran besar dari Persia, India dan Yunani juga turut menyemarakkan suasana.5

Dari segi politik, peperangan terus berkecamuk karena perebutan kekuasaan dan kadang-kadang didasarkan atas alasan-alasan agama. Kondisi demikian diperparah dengan gencarnya serangan dari gerakan bawah tanah yang dilancarkan golongan Bathiniyah, sebuah kelompok yang dengan dalih agama menghalalkan segala macam cara untu meraih tujuannya. Aksi kelomok ini cukup meresahkan pemerintah dengan banyaknya korban yang jatuh dari kalangan pemimpin negara maupun pemimpin agama. Salah satu korbannya adalah Nizam al-Mulk yang terbunuh pada tahun 485 H/1092 M. Usaha penguasa dinasti Saljuk untuk menumpas gerakan ini dengan melancarkan sejumlah serangan ke pusat gerakan di Alamut selalu gagal. Bahkan pada tahun 490 H gerakan Batiniyah berhasil menguasai sebelas benteng di seluruh Iran, yang terbentang dari Qahistan di timur sampai Dailam di barat laut. Barulah setelah selama 177 tahun berdiri dapat dihancurkan oleh tentara Tar-Tar di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 654 H/ 1256 M.6

Sementara itu, di bidang sosial keagamaan disintegrasi muncul sebagai akibat fanatisme golongan yang secara sadar di tanamkan oleh para pemuka agama, baik dari pemimpin mazhab fiqh maupun pemimpin aliran teologi. Tak jarang pemerintah turut campur dalam masalah tersebut, sebagaimana di lakukan oleh al-Kunduri, seorang wazir dinasti Saljuk yang menjadikan aliran Muktazilah sebagai paham teologi resmi negara. Dia menerapkan kebijakan untuk melarang tumbuh dan berkembangnya aliran teologi yang lain dengan cara-cara kekerasan. Sebagai akibatnya paham Asyariyah dan mazhab Syafii menjadi terdesak.7 Situasi berubah ketika Nizam al-Mulk memegang tampuk kekuasaan menggantikannya, dengan kebijakannya untuk menjadikan aliran Asyariyah sebagai paham teologi resmi negara dan mazhab Syafii sebagai mazhab resmi negara. Sebab meskipun demikian dalam upaya penyebaran paham dan mazhab yang dianutnya dia menggunakan cara-cara yang lebih halus. Yaitu dengan melakukan propaganda melalui jalur pendidikan. Beberapa madrasah didirikannya dan diberi nama sesuai dengan namanya, Nizamiyah.8 Bahkan dia juga bersedia untuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menggaji para guru dan mahasiswa di sekolah-sekolah yang ia dirikan tersebut. Menurut catatan sejarah dana yang dikeluarkan oleh Nizam al-Mulk untuk membiayai proyeknya tersebut mencapai 6.000 Dinar emas, suatu jumlah yang teramat besar untuk ukuran waktu itu.9

Fanatisme golongan yang merebak di dalam masyarakat jika di telusuri lebih jauh kebelakang sebenarnya muncul tidak lepas dari pertarungan terus-menerus pengaruh pemikiran besar yang diadopsi oleh umat Islam sebelumnya. Ketiga kekuatan tersebut adalah filsafat Yunani yang banyak mempengaruhi kelompok teolog, filsafat India yang diadopsi oleh para sufi dan filsafat Persia yang melahirkan konsep imamah dalam doktrin aliran Syiah. Ketiganya berkembang sama pesatnya dengan propaganda yang sama gencarnya pula. Akibatnya tidak jarang persaingan dan perselisihan antar kelompok berakhir dengan pertumpahan darah.10 Dalam kondisi carut-marut wajah pemerintahan yang demikianlah al-Ghazali tumbuh dan berkembang menjadi sosok pemikir yang cukup responsif dengan situasi disekitarnya. Hal ini nampak sekali jika disimak perjalanan spiritual al-Ghazali yang selalu mengalami kegelisahan intektual dan melakukan pengembaraan intelektual dari dalam upaya mencari hakikat kebenaran. Respon al-Ghazali terhadap situasi sekitarnya, khususnya di bidang sosial politik dan ekonomi juga nampak dalam surat-suratnya yang ia tujukan kepada para penguasa sebagai protes sosial.

Meskipun al-Ghazali dikenal sebagai seorang pemuka di bidang tasawuf, namun kehidupan pribadinya tidak sepenuhnya diliputi suasana kesederhanaan dan keterbatasan, bakan dia pernah sangat dekat dengan kekuasaan dan penguasa, bergelimang kemewahan harta, ketenaran nama dan kedudukan atau pangkat yang tinggi. Ketika meninggalkan Naisabur menuju ke Muaskar untuk bergabung dengan para tokoh intelektual dalam majelis seminar yang diadakan oleh Nizam al-Mulk, ia mendapatkan sambutan yang luar biasa. Sebab sebelum bergabung namanya sudah dikenal secara luas karena kedalaman ilmu dan pengetahuannya, ketajaman analisis dan kehebatan argumentasi yang diajukannya. Dalam waktu singkat ketenarannya semakin menjadi-jadi yang kemudian menyebabkannya didaulat sebagai imam para cerdik pandai dalam majlis tersebut, bahkan di seluruh wilayah Khurasan. Selama enam tahun al-Ghazali bergabung dalam majlis itu. Prestasi gemilang al-Ghazali mendorong Nizam al-Mulk untuk mengangkatnya sebagai Guru Besar serta memintanya memimpin perguruan tinggi Nizamiyah pada tahun 484 H/1091 M. Selain itu dia juga mengajar mata kuliah ilmu kalam dan fiqh.11Di sela-sela kesibukannya mengajar dan memimpin di Nizamiyah al-Ghazali secara otodidak mempelajari filsafat Yunani. Dalam waktu kurang dari dua tahun ia telah menguasai segala aspek filsafat Yunani, terutama melalui tulisan para pendahulunya, seperti Ibn Miskawaih, Alfarabi, Ibn Sina dan Ikhwan as-Safa.12 Periode ini juga merupakan masa-masa produktif al-Ghazali dengan menghasilkan banyak karya tulis. Penguasaannya terhadap filsafat dituangkan dalam karyanya yang bertema Maqasid al-Falasifah (selesai ditulis tahun 484 H) dan Tahafut al-Falasifah (selesai tahun 488 H). Atas permintaan khalifah Mustazhir bi Allah pada tahun 487 H, iapun menulis Fazaih al-Batiniyah wa Fazail al-Mustaziriyah yang ditujukan terutama untuk menghantam gerakan Batiniyah yang pada waktu itu sedang gencar-gencarnya melancarkan aksi politik. Karya fiqh yang ia tulis selama mengajar di Nizamiyah antara lain al-wasit, al-Basit dan al-wajiz (495 H). Di bidang teologi dia menulis al-Iqtisad fi al-Itiqad (488 H), Risalah al-Qudsiyyah (488-489 H), Qawaid al-Aqaid (488-489 H), . Berkat kemampuan al-Ghazali dalam menyelaraskan misi intelektual dan kemauan para penguasa, ia mendapatkan banyak anugerah, kemewahan hidup dan ketenaran nama.13

Akan tetapi secara tiba-tiba pada tahun 488 H/ 1095 M dia meninggalkan Bagdad dengan segala kemewahan dan jabatan yang ia sandangnya menuju Damaskus untuk menjalani kehidupan sufi, fakir dan zuhud. Selama menjalani kehidupan sufi tersebut ia juga melahirkan beberapa karya tulis yang penting, antara lain Jawahir al-Quran, Bidayat al-Hidayah, a-Qistas al-Mustaqim, al-Arbain fi Usul ad-Din serta IhyaUlum ad-Din (489-495 H).14Pada tahun 499H/ 1106 M atas kesadaran sendiri dan dorongan dari wazir Fakhr al-Mulk putra Nizam al-Mulk iapun kembali ke Nizamiyah untuk mengajar, tetapi dengan motivasi yang baru. Kembalinya al-Ghazali ke Nizamiyah ini tidak berlangsung lama. Sebab ia segera kembali ke tempat kelahirannya dan membangun madrasah yang dikhususkan bagi para sufi. Di masa-masa tuanya ini masih sempat lahir beberapa karya tulis, antara lain al-Munqiz min ad-Dalal (pertengahan tahun 1108 m), al-Mustasfa min ilm al-Usul selesai ditulisnya pada tahun 1109 M, Iljam al-Awam an Ilm al-Kalam (504-505 H) dan karya terakhirnya Minhaj al-Abidin.15 Akhirnya pada tahun 505 H tanggal 14 Jumadil Akhir atau 19 Desember 1111 M dia wafat.

Dengan melihat berbagai karya tulisnya yang meliputi berbagai keilmuan, banyak pihak menggolongkannya sebagai ahli kalam, filsafat, fiqh dan usul fiqh, sufi, bahkan Philip K. Hitti menyebutnya sebagai seorang saintist dan tokoh yang mampu melebur aspek pemikiran rasional dengan keimanan serta menyatukan filsafat dengan agama.16 Dunia Kristen abad pertengahan mengenalnya sebagai salah satu filosof yang banyak berpengaruh terhadap para penulis pada masa itu.17

B. Latar Belakang Sosial Ekonomi

1. Kondisi Sosial Ekonomi Umat Islam Pada Masa al-Ghazali dan Sebelumnya

Peter Gran memetakan perkembangan sejarah ekonomi umat Islam ke dalam lima tahap. Tahap pertama, disebut dengan era jahiliyah yang berlangsung hingga tahun 660 M, di mana formasi perekonomian masih didominasi corak nomadis. Tahap kedua, tahun 660-950 disebut dengan era Negara-negara agraris pemberi upeti, di mana masyarakat pada umumnya beralih dari corak kehidupan nomaden ke arah agraris. Tahap ketiga antara tahun 950 sampai dengan 1550 disebut dengan era Negara-negara perdagangan pemberi upeti karena aktifitas perekonomian pada era tersebut di dominasi oleh aktifitas perdagangan. Tahap keempat , tahun 1550 hingga 1850 adalah tahap formasi kerajaan pinggiran yang dicirikan dengan kecenderungan masyarakat untuk mulai meninggalkan cara-cara hidup dalam koloni kecil dan membentuk koloni yang lebih besar dalam bentuk kerajaan. Dan tahap kelima, antara tahun 1850 hingga sekarang disebut dengan istilah era kapitalisme pinggiran.18Al-Ghazali berada dalam era kehidupan ekonomi Islam era feodal militer atau perbudakan. Era ini ditandai dengan dominasi kehidupan agraris yang dikendalikan oleh pihak penguasa yang selalu mengawasi kegiatan para buruh. Dalam pada itu pihak penguasa berusaha mencari legitimasi atas tindakan mereka dengan cara-cara birokratik ataupun meminta bantuan kepada para pemuka agama untuk memberikan fatwa yang membenarkan tindakan tersebut, serta dengan gempuran kebudayaan di mana pemerintah membangun sarana-sarana pendidikan (madrasah) yang mendoktrinkan sikap taat dan patuh kepada penguasa. Akan tetapi pada akhirnya upaya terakhir ini gagal akibat keberhasilan al-Ghazali dalam melakukan integrasi sufisme ke dalam ortodoksi pada suatu basis tertentu.19

Akan tetapi pada sisi lain, kondisi yang demikian membawa beberapa dampak positif bagi kemajuan keilmuan dan perekonomian, sebagaimana akan dijelaskan nanti. Pesatnya perkembangan keilmuan pada masa al-Ghazali yang ditopang oleh besarnya dukungan dari pemerintah, termasuk dukungan materi dalam jumlah yang sangat besar tak pelak lagi menunjukkan kondisi obyektif perekonomian umat Islam waktu itu.20 Sebagaimana diketahui pada masa kekuasaan dinasti Abasiyah, umat Islam mencapai puncak kejayaan dan kemajuan di berbagai bidang. Wilayah kekuasaan juga bertambah semakin luas, membentang dari India di timur, berbatasan dengan semenanjung Siberia di bagian utara, berbatasan dengan teluk Persia di bagian selatan dan mencapai daratan Eropa di bagain barat.21 Sebagai konsekuensi sebuah negara yang mempunyai kedaulatan penuh serta wilayah yang cukup luas, pemerintah Islam di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah juga menaruh perhatian yang cukup pada masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia perekonomian masyarakatnya. Tercatat dalam sejarah berbagai sektor perekonomian mendapat penanganan yang cukup serius. Di antaranya adalah sektor pertanian, perdagangan dan industri.

Pada sektor pertanian hasil yang diperoleh saat itu meliputi bermaca-macam komoditas pertanian dan perkebunan khas daerah timur tengah, antara lain tebu, gandum, sorgum, minyak zaitun dan berbagai buah-buahan.22 Daerah-daerah yang menjadi sentra penghasil pertanian tersebut antara lain wilayah Irak, Mesir, Andalus, Afganistan dan lain-lain.23 Keberhasilan di bidang pertanian ini tidak lepas dari peran pemerintah dengan mendirikan dan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan, di antaranya adalah mendirikan sekolah-sekolah pertanian yang menggalakkan penelitian terhadap bermacam tanaman.24 Di samping itu pemerintah juga menekankan pentingnya irigasi bagi kebutuhan pertanian. Untuk menangani masalah irigasi tersebut dibentuk suatu badan khusus yang disebut dengan Diwan al-Ma,25 serta membuat sistem irigasi yang sangat rapi. Sistem irigasi pada waktu itu sudah menerapkan sistem pengukur tinggi-rendahnya permukaan air sungai yang dapat digunakan untuk memprediksi hasil pertanian selama satu tahun kedepan. Jika permukaan air sungai dalam satu musim rata-rata berada pada ukuran 16 dira, maka prediksi untuk hasil pertanian satu musim ke depan sangat bagus. Jika angka pada alat pengukur tersebut dalam satu musim rata-rata mencapai 18 dira, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi kelebihan pasokan air dan akan timbul bencana banjir. Sedangkan jika angka rata-rata menunjuk pada 14 dira atau kurang maka satu tahun kedepan akan terjadi bencana kekeringan dan paceklik. Beberapa kali sistem irigasi tersebut mengalami perubahan dan perbaikan. Yaitu pada masa Abd al-Aziz ibn Marwan (98 H), masa Usamah ibn Zaid masa khalifah al-Mutawakkil (248 H), dan masa kekuasaan Ahmad ibn Tulun (390 H).26

Pada bidang industri juga dicapai perkembangan yang sangat pesat. Hasil industri yang terkenal watu itu adalah industri tekstil yang berpusat di daerah Dimyat, Kufah, Marwa, Naisapur, Khuzistan, Khurasan dan lain-lain. Hasil tekstil ini kebanyakan diekspor ke negara Cina dan India.27 Dari daerah Iskandariyah, Jazirah ar-Raudah dan Dimyat dihasilkan produk industri berat, yaitu pembuatan kapal. Sebenarnya industri perkapalan ini didirikan sebagai antisipasi dari kemungkinan datangnya serangan dari daerah Bizantium dan tentara Salib, selain untuk keperluan perdagangan antar negara.28 Untuk keperluan pembuatan kapal ini pemerintah mengimpor kayu dari Eropa.29 Di samping itu hasil industri lain juga banyak dihasilkan dari berbagai daerah, antara lain idustri pengecoran logam di daerah Fustat, Tinis, Afrika Utara dan lain-lain. Industri kaca dan marmer didirikan di Syam, al-Mania dan Bagdad. Dari Fustat dihasilkan berbagai produk dari barang tambang seperti besi, emas, perak dan tembaga. untuk bahan besi terkadang diimpor dari Eropa, Sicilia dan daerah Afrika utara.30

Dari daerah Mesir pemerintah berhasil mengekspor hasil industri kulit ke wilayah Syam. Sementara itu Basrah, Iskandariah dan Fustat juga menjadi sentra pembuatan sabun dari bahan zaitun. Tempat penggilingan tebu banyak didirikan di daerah Fayum, Samhud dan Fustat. Dari hasil penggilingan tebu ini pula pemerintah mendapatkan hasil berupa pajak yang cukup besar.31

Berdasarkan gambaran di atas dapat diketahui bahwa kondisi perekonomian umat Islam waktu itu sudah sangat maju, khususnya di bidang pertanian dan peridustrian. Kemajuan ekonomi tersebut membawa konsekuensi logis berupa maraknya dunia perdagangan dan munculnya jalur-jalur perdagangan dari dalam keluar negeri dan sebaliknya. Diantara jalur perdagangan tersebut ada yang sudah terbentuk sejak lama ada pula yang muncul baru.

2. Jalur-jalur dan Pusat-pusat Perdagangan.

Maraknya aktifitas perdagangan yang muncul sebagai konsekuensi logis dari kemajuan ekonomi yang berhasil dicapai oleh pemerintah Islam di bawah kekuasaan dinasti Abasiyah, menyebabkan terbentuknya pusat-pusat perdagangan di daerah-daerah kekuasaan Islam. Di antaranya adalah Damaskus yang menjadi tempat bertemunya para kafilah (rombongan dagang) dari wilayah Asia kecil atau yang disebut dengan daerah lembah sugai Efrat.32 Dari situ terbentuk jalur perdagangan menuju Arab dan Mesir. Akibatnya adalah daerah sepanjang jalur tersebut menjadi maju dan volume perdagangannya meningkat. Selain itu jalur perdagangan juga terbentuk melalui jalur sungai dan laut. Menurut Abu al-Qasim al-Farisi, waktu itu sudah terbentuk jalur perdagangan melalui sungai Dajlah dan Ubulah menuju ke India dan Cina hingga mencapai ke pantai Malabar. Akibat dari adanya jalur tersebut muncul aktifitas perdagangan di daerah Sind dan Multan. Juga terbentuk jalur yang menghubungkan Afganistan dengan daerah Tibet dan Turki. Hubungan dagang juga terjadi antar benua, yaitu Asia-Eropa dan Asia-Afrika.33 Untuk jalur perdagangan yang menghubungkan benua Asia dan Afrika dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Jalur Afrika selatan. Jalur ini melewati daerah-daerah Mesir, Burqah, Turbalas, Afrika Barat bagian Tengah dan dan Senegal.

Jalur Padang pasir. Jalur ini melewati wilayah-wilayah Mesir dan Afrika Barat.

Jalur Qawafil atau jalur para kafilah darat. Daerah yang dilalui meliputi Magrib, Sudan Selatan, Nigeria dan Senegal.

Jalur keempat yang meliputi wilayah padang timur dan lemah Nil melalui Sudan.

Jalur Selatan Arab yang melewati pantai Afrika Timur.34Sedangkan jalur-jalur perdagangan yang menghubungkan antara benua Asia dan Eropa dapat disebutkan seperti di bawah ini:

Jalur yang menghubungkan Perancis dengan daerah sungai Rwan. Utuk jalur perdagangan ini dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Bahasa pengantar yang mereka pergunakan adalah bahasa Arab, Yunani, Persi, Perancis dan Sicilia. Dari sini orang-orang Islam kembali kedaerah-daerah Kulzum dan Iskandariyah dengan membawa barang-barang yang diimpor dari Perancis.

Jalur yang menghubungkan Perancis dengan Antokia dan Bagdad. Daerah yang dilewati meliputi sungai Efrat dan Jadwalah menuju ke Persi, Aman, India dan Cina.

Jalur yang menghubungkan Rusia Selatan dengan rute Marwa, Khurasan, Samarkand dan Cina , serta

Jalur darat yang memiliki rute Andalus menuju ke Tunjah melalui celah Jabal Tariq (Gibral Tar), melalui Magrib atas, Qairawan, Mesir, Syam, Ramlah dan Damaskus, Irak, kemudian melewati daerah Kufah, Bagdad, Basrah, Persi, Ahwaz dan Kirman menuju India dan berakhir di Cina.35

Untuk lebih jelasnya rute perdagangan tersebut dapat dilihat dalam skema dan peta berikut:

Gambar II.1. Peta Rute Perdagangan Internasional Islam

Maraknya perdagangan antar daerah, antar negara bahkan antar benua tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang dengan sangat rapi mampu menata kehidupan sosial ekonomi.

3. Mata Uang dan Sistem Keuangan

Kajian tentang numismatic akhir-akhir ini mendapat perhatian serius di kalangan peneliti sejarah Islam. Sebab melalui penelitian terhadap koin-koin yang diteliti tersebut dapat dilacak kondisi sejarah sosial masyarakat pada saat dan ditempat koin tersebut berlaku. Hal ini karena biasanya koin (mata uang) yang dikeluarkan oleh penguasa-penguasa Islam masa lampau mencantumkan nama khalifah yang memerintah pada masa itu, tahun pembuatan koin, tempat pembuatan, kalimat-kalimat keislaman (paling sering dijumpai adalah syahadat) dan identitas lain yang sangat berperan bagi penelusuran sejarah Islam klasik.36 Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu ditemukan koin peninggalan masa lalu di daerah Baltic dan daerah kepulauan Gotland di Swedia. Setelah dilakukan penelitian ternyata ditemukan bahwa daerah-daerah tempat penemuan koin tersebut pada masa lalu merupakan pusat-pusat perdagangan yang cukup ramai. Juga dapat diketahun bahwa mata uang tersebut adalah dirham Islam yang dibuat di Iraq, Persia dan daerah-daerah Asia Tengah.37 Terdapat tiga kekuatan arus mata uang kuno yang turut mempengaruhi penggunaan mata uang di dunia Islam. Ketiganya adalah mata uang dari kaum Bar-bar Barat yang menggunakan mata uang dari emas dan perak, mata uang dari Imperium Bizantium (Romawi kuno) yang juga menggunakan mata uang dari emas dan mata uang dari perak yang dipergunakan oleh bangsa Sasanian (Persi kuno). Ketiga jenis mata uang tersebut terus-menerus bersaing dalam perebutan pengaruh seiring dengan persaingan kekuasaan dan politik dari ketiga kerajaan tersebut.38

Jika dirunut jauh ke belakang, ketika Islam datang mata uang yang berpengaruh dalam aktifitas transaksi mereka adalah dinar (denarius), uang emas romawi dan dirham (drachma), uang perak Persia. Hal ini karena hingga awal kedatangan Islam wilayah di sekitar semenajung Arabia berada di bawah kekuasaan kedua kekuatan raksasa imperium Romawi dan Persia tersebut. Dengan semakin kuatnya pengaruh politik kedua kerajaan tersebut, dengan sendirinya kedua mata uang tersebut semakin dipercaya pula dalam segala aktifitas bisnis mereka.39 Selain kedua mata uang tersebut terdapat juga beberapa mata uang lain yang beredar dalam masyarakat, antara lain adalah Himyarit dari Yaman.40 Jadi pada masa Rasululah hingga pemerintahan kekuasaan Abu Bakar di dunia Islam belum memiliki mata uang sendiri. Bahkan di masa kekuasaan khalifah Umar, tepatnya pada tahun kedelapan belas Hijriyah ditetapkan keputusan untuk melegalkan mata uang jenis Kisraw. Karena sebelumnya meskipun sudah dipergunakan secara luas oleh masyarakat, belum ada pengakuan resmi dari pemerintah Islam terhadap mata uang tersebut.41 Atas ide Umar pada mata uang tersebut ditambahkan inskripsi keislaman berupa tulisan alhamdulillah, Muhammad rasulullah dan la ilaha illallah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang pertama kali mempopulerkan mata uang Islam dengan tipe Romawi adalah Khalid ibn al-Walid. Dalam mata uang yang dicetak tersebut tercantum nama Khalid dengan menggunakan huruf Yunani.42Di samping itu, khalifah Umar juga menetapkan satuan berat mata uang dirham, yaitu empat puluh karat setiap dirhamnya.43 Kebijakan yang ditetapkan oleh khalifah Umar diteruskan oleh penggantinya, khalifah Usman. Sehingga praktis tidak ada perubahan kebijakan baru yang dikeluarkan. Barulah pada masa Khalifah Ali di dunia Islam mulai dicetak mata uang yang menampilkan ciri khas keislamannya. Oleh Muawiyah pencetakan mata uang ini diteruskan bahkan disebar luaskan melalui gubernur-gubernur di wilayah masing-masing. Meskipun mata uang yang dicetak tersebut masih mirip dengan mata uang Persia, tetapi pada bagian sisinya telah mencantumkan nama khalifah.44

Kebijakan khalifah Ali yang memberikan kepercayaan kepada para gubernurnya untuk menyebar luaskan mata uang Islam tersebut mendorong mereka untuk berlomba-lomba mencetak uang sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Ibn Zubair di Hijaz, Musab di Kufah dan Ziyad di Iraq. Dengan demikian pencetakan mata uang berjalan dengan tanpa adanya kontrol dari pemerintah pusat.45 Mata uang yang dicetak waktu itu masih meniru koin dari Romawi dan persi. Menurut catatan sejarah diperkirakan koin dari Persi yang ditiru adalah mata uang yang dicetak pada masa kekuasaan Khasraw II.46

Ketika khalifah Abd al-Malik ibn Marwan (65-86 H/ 685-705 M), khalifah ke lima dari dinasti Umayah, memegang kekuasaan dibuatlah peraturan yang secara resmi mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pencetakan mata uang Islam. Mata uang emas pertama kali dicetak pada tahun 698 M hingga 699 M. sedangkan mata uang perak dibuat pada tahun 696 M hingga 697 M. Ditetapkan pula berat standard mata uang dinar, yaitu satu misqal emas duapuluh dua karat untuk setiap dinarnya. Selain itu juga ditetapkan mata uang dengan nilai setengah dinar dan sepertiga dinar. Sedangkan ukuran berat mata uang perak ditetapkan dengan ukuran uqiyah, yang memiliki ukuran sama dengan empat puluh dirham dan dapat dibagi-bagi menjadi ukuran duapuluh dirham (disebut dengan nas), dua belas dirham (disebut dengan ritl), lima dirham (disebut dengan nawat) dan seper enampuluh dirham (disebut dengan sairah). Menurut versi lain ukuran berat uang dinar ditetapkan 4,25 gram emas, sedangkan standar berat uang emas Romawi adalah 4,55 gram.47 Ukuran berat uang perak adalah 2,92 gram, yang merupakan standar mata uang perak Persi.48 Perbandingan nilai tukar antara dinar dan dirham dari waktu ke waktu selalu mengalami fluktuasi dan rata-rata mencapai titik perbandingan stabil 1:10. Fluktuasi tersebut pernah berada pada level perbandingan 1:8,5 pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Tetapi pada periode Abbasiyyah berubah menjadi 1:12, kemudian 1:8,4.49

Gambar-gambar berikut memberikan ilustrasi tentang beberapa jenis mata uang yang pernah beredar pada era tersebut:

Gambar II.2. Mata Uang Islam , Sumber: sumadrid.es/ariza/coins/readisco.htm

Pada masa tersebut juga untuk pertama kalinya di dunia Islam didirikan kantor percetakan uang oleh Hajjaj, gubernur Iraq. Sebelum pendirian kantor tersebut terlebih dahulu dikirim delegasi Islam ke Persia untuk belajar tehnik percetakan mata uang.50 Mata uang yang pertama kali dicetak pada kantor percetakan uang tersebut disebut dengan dimasyqiyyah yang kemudian disebar-luaskan ke berbagai wilayah Negara Islam. Bersamaan dengan itu mata uang dari Persia dan Romawi dinyatakan tidak berlaku lagi. Akibatnya terjadi keretakan hubungan diplomasi dengan kerajaan Romawi.51 Pada masa kekhalifahan Abd ar-Rahman III yang memegang kekuasaan dinasti Umayyah di Andalus, dilakukan upaya besar-besaran untuk mensosialkan mata uang perak. Hal ini untuk mengatasi kesulitan yang timbul akibat berlakunya sistem trimetallic (sistem keuangan yang menggunakan tiga jenis mata uang) di mana pada waktu itu berlaku uang emas, perak dan tembaga. Bersamaan dengan itu juga dilakukan penataan kembali terhadap sistem moneter dengan menekankan aspek-aspek formal, serta regulasi terhadap sirkulasi dan volume mata uang yang berlaku.52

Pada abad ke delapan, yaitu ketika pemerintahan Islam dipegang oleh Bani Abbasiyah hampir tidak dilakukan perubahan kebijakan dalam hal pembuatan mata uang, kecuali mencantumkan nama-nama penguasa pada masa itu. Dan pada saat kekuasaan Abbasiyah mulai kehilangan pamornya pada abad kesembilan dan kesepuluh, sudah tidak ada lagi kontrol efektif dari penguasa tertinggi Islam yang mengawasi pencetakan mata uang. Akibatnya beberapa gubernur di berbagai wilayah membuat mata uang sendiri-sendiri, sebagaimana terjadi di wilayah Afrika utara, Mesir, daerah Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah dan Ikhsidiyah. Hal serupa dilakukan oleh penguasa-penguasa Islam di bagian timur, antara lain penguasa Tahiriyah, dan Saffarid (pada abad kesembilan), Buwaihiyah (abad 10-11), Samaniyah dari Asia tengah yang mencetak mata uang dari perak, serta Fatimiyah di Afrika utara.53 Mata uang-mata uang tersebutlah yang kemudian berlaku hingga pada masa al-Ghazali.54Pada masa-masa tersebut mata uang Islam memerankan peranan yang sangat penting bagi perdagangan internasional, dan terkenal di dunia Eropa, yaitu pada era Mancusus. Dinar disebut dengan istilah Morabiti (moravendi dalam bahasa Spanyol) oleh orang-orang eropa. Bahkan beberapa mata uang ditiru, seperti mata uang Fatimiyah yang diduplikat di Sicilia dalam bentuk mata uang Dinar al-Mohod yang dianggap mata uang paling indah dengan berat 2 gram emas juga ditiru. Tetapi masa kejayaan mata uang Islam berakhir dengan datangnya tentara mongol pada abad ketiga belas, yang di samping melakukan penyerbuan besar-besaran, juga menggantikan jenis-jenis mata uang Islam dengan mata uang baru yang terbuat dari perak dengan ukuran lebih kecil.55 Menurut versi lain, dalam catatan sejarah penggunaan mata uang yang terbuat dari emas ataupun perak oleh umat Islam sebagai mata uang resmi, terus berlangsung hingga menjelang meletusnya perang dunia pertama. Setelah perang berakhir emas dan perak sempat digunakan kembali sebagai mata uang, tetapi sifatnya parsial. Pada tahun 1924 bersamaan dengan kehancuran kekhalifahan Turki, dinar dan dirham sama sekali sudahh tidak dipakai dinegara-negara Islam. Namun demikian emas dan perak masih berlaku di beberapa negara.56 Pada tanggal 5 Agustus 1971 Richard Nixon, presiden Amerika Serikat pada waktu itu, mengumumkan dihentikannya sistem uang emas dan perak. Sebagai gantinya diberlakukan sistem uang kertas yang tidak dikaitkan sama sekali dengan emas ataupun perak sebagai standard kursnya.57

C. Posisi al-Ghazali dalam Alur Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Oleh para pemikir ekonomi Islam modern, al-Ghazali dimasukkan ke dalam salah satu pemikir ekonomi muslim pada masa pertengahan yang telah memiliki pandangan cukup komprehensif.58 Dalam bukunya yang berjudul Reading in Islamic Economic Thought, Nejatullah Siddiqi membagi sejarah pemikiran ekonomi Islam ke dalam beberapa fase, yaitu:

Fase I: 113 H/731 M-450 H/1058 M.

Fase II: 450 H/1058 M-850 H/1446 M.

Fase III: 850 H/1446 M-1350 H/1932 M

Fase IV: 1932 M-sekarang.59Pada fase pertama tercatat terdapat sedikitnya limabelas tokoh ekonom muslim yang secara riil memberikan kontribusi terhadap perkembangan pemikiran ekonomi.60 Diantara mereka terdapat nama-nama Zaid ibn Ali (738 M), Abu Hanifah (767 M), Abu Yusuf (798 M), Muhammad ibn Hasan asy-syaibani (804 M), Abu Ubaid (838 M), al-Mawardi (1058 M) dan lain-lain. Pada saat yang bersamaan di dunia Barat (eropa) belum muncul tokoh pemikir ekonomi. Di antara tokoh ekonomi muslim yang terkenal saat itu antara lain Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani, Haris ibn Asan al-Muhazibi, Zaid ibn Ali ibn Husein Ibn Ali ibn Abu Thalib, Ibn Miskawaih, al-Mawardi dan lainnya. Wacana yang berkembang saat itu adalah pemikiran ekonomi secara makro yang menyangkut kebijakan fiskal dan keuangan negara. Kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf yang sangat terkenal secara khusus membahas mengenai pajak atas tanah. Sedangkan al-Amwal karya Abu Ubaid membahas masalah pengelolaan keuangan negara dan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Sementara itu kitab al-Ahkam as-Sultaniyah yang ditulis oleh al-Mawardi lebih menekankan pembahasannya pada masalah administrasi pemerintahan. Saat itu juga mulai disinggung masalah mekanisme pasar yang jujur dan adil dan tidak jujur (fair market mechanism dan unfair market mechanism).61Fase kedua perkembangan pemikiran ekonomi Islam ditandai dengan munculnya wacana tentang ekonomi secara lebih eksplisit dan pada sisi lain ditandai pula dengan perubahan dalam struktur wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas. Wilayah kekuasaan Islam membentang dari Spanyol dan Maroko di barat hingga mencapai wilayah India dan wilayah timur lainnya. Pada fase ini muncul sekitar sebelas tokoh Islam yang memberikan apresiasi terhadap pemikiran ekonomi. Diantaranya adalah Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, Ibn Qayyim al-Jauziyah dan al-Ghazali.62 Ciri khas yang menandai pemikiran ekonomi Islam pada fase kedua ini adalah penekanannya pada masalah ekonomi mikro dan fungsi uang.63 Sebagaimana akan dijelaskan dalam tulisan ini pembahasan al-Ghazali sudah terbilang rinci dalam masalah uang dan fungsinya serta sistem keuangan yang diterapkan pemerintah. Selain itu dia juga secara logis membahas masalah mekanisme pasar, intervensi pasar, ketenagakerjaan, konsep produksi dan konsumsi dan lain-lain.64

Fase ketiga dari tahapan perkembangan pemikiran ekonomi Islam secara kebetulan bersamaan dengan era kebangkitan di dunia eropa. Di Barat saat itu muncul duapuluh dua tokoh ekonom yang ternama, sementara di dunia Islam hanya muncul beberapa nama yang mempunyai perhatian terhadap pemikiran ekonomi, antara lain Syah waliyullah, M. Iqbal dan Jamaluddin al-Afgani. Karya Syah Waliyullah yang berjudul Hujjah Allah al-baligah menerangkan bagaimana ketentuan syariah dalam kaitannya dengan perilaku seorang individu dan tatanan organisasi sosial. Sedangkan di Eropa muncul nama John Stuart Mill, Alfred Marshal yang membentuk mazhab Kapitalis Klasik. Setelah itu muncul nama Karl Marx dan Lenin yang mempelopori berdirinya mazhab Sosialis. Kemudian juga dikenal nama John Maynard Keynes dengan mazhab Neoklasiknya. Pada fase tersebut pemikiran Barat benar-benar menguasai dunia sehingga dapat bertahan sampai sekarang.65

Fase keempat perkembangan pemikiran ekonomi Islam dimulai dengan munculnya kembali kesadaran umat Islam yang melahir sosok-sosok baru di kalangan pemikir Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Tokoh-tokoh yang mempelopori kebangkitan kembali perekonomian Islam fase ini adalah Sayyid Qutb, al-Maududi dan Yusuf Qardawi. Kerangka pikir yang dipakai oleh para pemikir tersebut pada umumnya masih dalam bentuk pendekatan fiqhiyyah.66

Sampai dengan tahun 1975 pemikiran ekonomi Islam mulai menampakkan bentuknya sebagai gerakan pemikiran ekonomi yang sedikit-demi sedikit meninggalkan pendekatan fiqhiyyah tersebut. Kerangka yang dibangun mulai menggunakan pendekatan-pendekatan ekonomik. Kesadaran tersebut dipicu dengan dibentuknya Deklarasi Mekkah.67 Tahun 1980 hingga sekarang pemikiran ekonomi Islam berkembang semakin pesat. Menurut Adiwarman masa tahun 80-an hingga sekarang disebut dengan fase kontemporer yang ditandai dengan munculnya tiga aliran atau mazhab besar dalam pemikiran ekonomi Islam. Mazhab tersebut adalah mazhab Baqir Shadr (iqtisaduna), mazhab Mainstream dan mazhab Alternatif, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pada era tersebut muncul nama-nama besar di dunia ekonomi Islam, seperti M.A. Mannan, M. Umar Chapra, Anas Zarqa, M. Nejatullah Siddiqi, Khursid Ahmad, Hasanuzzaman dan lain-lain.

Dengan versi yang berbeda Khursid Ahmad membagi era kontemporer ini menjadi berapa fase, yaitu:

Fase pertama, dimulai sejak tahun 30-an. Fase ini ditandai dengan munculnya para ulama yang mekipun tidak memilki pendidikan formal di bidang ekonomi, namun memiliki pandangan yang cerdas terhadap problem sosial ekonomi yang dihadapi masyarakatnya. Berbeda dengan para ekonom Islam yang termasuk dalam kelompok modernis dan apologis yang umumnya berupaya mengubah ajaran agama Islam agar sesuai dengan praktek yang berjalan, para ulama ini justeru secara berani menegaskan kembali posisi ajaran Islam untuk merombak tatanan ekonomi yang ada agar selaras dengan prinsip dan norma Islam.68Fase kedua, selama duapuluh tahun terakhir para ekonom muslim berjuang lebih keras lagi untuk mengembangkan beberapa aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Suatu analisis ekonomi Islam tentang alasan pelarangan riba dalam Islam diketengahkan diikuti dengan menyusun kerangka pokok dari sistem perbankan dan keuangan alternatif nir riba. Pada tanggal 21 sampai 27 April tahun 1969 diselenggarakan konferensi negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur Malaysia dengan diikuti sembilan belas negara peserta. Dalam kesempatan itu ide untuk membentuk bank Islam mulai didengungkan.69 Untuk menindak lanjuti gagasan tersebut disusun pula rancang bangun perbankan Islam dalam suatu konferensi internasional pertama tentang ekonomi Islam yang diadakan di Mekkah tahun 1976, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya di London yang mengambil tema Islam dan Tata Ekonomi Internasiomal Baru. Dua even tentang ekonomi fiskal dan moneter Islam di adakan di Mekkah dan Islamabad, masing-masing pada tahun 1978 dan 1981. Selanjutnya juga digelar konferensi tentang Perbankan Islam dan strategi kerjasama ekonomi di Baden-baden, Jeman Barat pada tahun 1983. Pada fase tersebut telah muncul berbagai tulisan tentang ekonomi Islam dan keuangan Islam. Di antara karya yang sangat penting yang lahir adalah Pakistans Islamic Ideology, yang berdasarkan sebuah laporan dari panel ekonomi dan bankirnya telah menghasilkan cetak biru sistem penghapusan riba dari ekonomi modern secara komprehensif.70

Fase ketiga, ditandai dengan usaha-usaha untuk mengembangkan institusi keuangan dan perbankan bebas bunga, naik di sektor publik maupun swasta. Tercatat ada tiga puluh delapan bank dan lembaga keuangan yang beroperasi dengan sistem Islam (bebas bunga) didirikan di tiga benua, Asia, Afrika dan Eropa. Didirikan pula dua institusi keuangan multinasional, yaitu Islamic Develpoment Bank (IDB) di Jeddah dan Darul Mal al-Islami di Bahamas dan Jenewa.71

Fase keempat, ditandai dengan munculnya tuntutan terhadap ide tentang sistem ekonomi bebas bunga ketika berhadapan dengan realitas sistem ekonomi modern, yang secara nyata berbasis bunga, dengan pendekatan komprehensif dan integral. Ada tiga hal yang harus dijawab pada fase ini, yaitu; pertama, menggabungkan berbagai karya ekonomi dalam suatu pandangan yang komprehensif tentang sistem moneter Islam secara utuh dan menghindari konsentrasi pada elemen uang dan bank yang bersifat khusus dan terpisah. Kedua, mengevaluasi kembali secara kritis berbagai model perbankan Islam yang telah dikembangkan selama bertahun-tahun dalam konteks praktek perbankan Islam dengan suatu pandangan untuk menyempurnakan teori dan praktek. Dan ketiga, mengaplikasikan semua teori yang telah dibangun dalam perspektif perekonomian, tatanan moral dan sosial Islam.72Secara kronologis perkembangan pemikiran ekonomi Islam dapat digambarkan sebagai berikut:

Grafik di atas menunjukkan, perkembangan pemikiran ekonomi Islam dimulai seiring dengan perkembangan Islam itu sendiri. Hingga tahun 900-an Hijriyah perkembangan tersebut demikian pesatnya ditandai dengan munculnya para pemikir-pemikir ekonomi Islam. Akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya, perkembangan pemikiran ekonomi Islam mengalami kemunduran. Hal itu karena beberapa sebab, antara lain perang salib, runtuhnya kekuasaan kaum muslimin di Spanyol pada tahun 1492 M, serbuan kerajaan Mongol, disintegrasi kekuasaan umat Islam di India dan munculya imperium Turki tahun 1699 dan munculnya revolusi industri eropa pada tahun 1700 sampai dengan 1760. Setelah itu perkembangan pemikiran ekonomi Islam semakin terpuruk akibat kolonialisme yang dilancarkan negara-negara Barat dan menguasai hampir seluruh wilayah Islam. Garis IP2 adalah perkiraan perkembangan pemikiran ekonomi Islam seandainya tidak terjadi gangguan-gangguan tersebut. Garis P0-P2 adalah pekerjaan rumah umat Islam untuk membangkitkan lagi pemikiran ekonomi Islam setelah sempat terpuruk dalam perangkap deislamisasi pada P0P1.73

Sedangkan perkembangan pemikiran ekonomi Islam dengan mengacu kepada tokoh-tokoh dan pemikirannya dapat diringkas dalam tabel berikut ini:74No

NAMA

TAHUN

TEMA BAHASAN

1.

FASE PERTAMA

0 450 H/- 1058 M

Aspek-aspek dasar ekonomi

a.

Abu Yusuf

731-798 M

Kitab al-Kharaj: tentang keuangan Negara, pendapatan dan pengeluaran Negara, pengendalian harga, peran pemerintah dalam perekonomian

b.

Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani

750-804 M

Kitab al-Ihtisab fi al-Rizq al-Mustahab: aktifitas perekonomian yang dianjurkan Islam, perilaku konsumen Islam.

Kitab al-Asl: macam-macam transaksi dalam Islam.

c.

Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam

838 M

Kitab al-Amwal: hak penguasa atas subyek ekonomi, jenis-jenis harta yang dikelola pemerintah, pengumpulan dan penyaluran zakat, fai, ganimah dll.

d.

Haris ibn Asad al-Muhasibi

859 M

Kitab al-Makasib: cara-cara memperoleh pendapatan melalui perdagangan, serta batasan-batasan etika tentang laba.

e.

Junaid al-Bagdadi

910 M

Ekonomi tasawuf, etika seorang muslim dalam segala kegiatan ekonomi.

f.

Ibn Miskawaih

1030 M

Pertukaran (exchange) jasa dan barang, peranan uang, syarat-syarat bagi uang, intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi.

g.

Al-Mawardi

1058 M

Al-ahkam as-Sultaniyah: pemerintahan da administrasi Negara dalam bidang politik, keamanan, perekonomian dll.

2.

FASE KEDUA

1058-1446 M

Fase terjadinya disintegrasi

a.

Al-Ghazali

1058-1111 M

Ihya Ulum ad-Din, at-Tibr al-Masybuk dan Mizan al-Amal: standar minimum kebutuhan ekonomi, norma-norma kehidupan social, ketenagakerjaan, peranan Uang, peranan pemerintah dalam ekonomi dll.

b.

Ibn Taimiyah

1263-1328 M

Masalah harga, bentuk-bentuk transaksi, keuangan, mekanisme pasar, keadilan dalam ekonomi, peranan Negara dalam ekonomi dll.

c.

M. Iqbal

1873- 1938 M

Puisi dari Timur: tanggapan Islam terhadap politik kapitalisme dan komunisme, dasar-dasar pembangunan keadilan social, zakat sebagai landasan ekonomi Negara.

3.

FASE KETIGA

1932- sekarang

System ekonomi dibahas dengan perhatian kepada keuangan Negara, zakat, usr, pengamanan social, hubungan industri dan perbankan syariah. Beberapa ekonom muslim telah menghasilkan karya tulis tentang konsumsi, produksi, pertukaran, system bagi hasil dan penghapusan riba. Tulisan-tulisan tersebut telah memproklamirkan lahirnya ekonomi Islam.

Gambar II. 4. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dan Tema-Temanya

Berdasarkan penjelasan tabel di atas dapat diketahui bahwa al-Ghazali termasuk salah satu dari sekian pemikir Islam yang mempunyai perhatian kepada bidang-bidang ekonomi. Ia berada pada awal-awal fase kedua yang merupakan akhir masa kegemilangan dunia Islam.

D. Pandangan al-Ghazali terhadap Ilmu Ekonomi

Menurut Muhammad Abid al-Jabiri tradisi keilmuan Islam dapat dipetakan menjadi tiga macam sistem yang membentuk suatu bangunan ilmiah secara utuh. Ketiganya adalah sistem pengetahuan demonstratif (an-nizam al-marifi al burhani), gnostik (an-nizam al-marifi al-irfani), dan tekstual atau linguistik (an-Nizam al-marifi al-bayani).75

Sistem pengetahuan demonstratif adalah suatu sistem yang menempatkan nalar dan eksperimen manusia sebagai sumber pengetahuan tanpa harus melalui petunjuk teks-teks keagamaan. Kebanyakan pendukungnya adalah kaum paripatetik Islam yang mengembangkan filsafat yang berakar pada tradisi Aristotelian. Oleh kaum illuminasionis sistem ini disebut dengan filsafat diskursif (al-hikmah al-bahsiyyah).76 Sedangkan sistem pengetahuan gnostik adalah suatu sistem pengetahuan yang menempatkan metode intuitif (kasyf, ilham) sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan tertinggi. Para pengembangnya terdiri dari para kaum sufi dengan ajaran tasawufnya, mazhab Syiah Imamiyah dan Islamiliah dengan ajaran talimiyyah-nya serta para filosof illuminasionis.77 Sistem terakhir, tekstual atau linguistik adalah sistem pengetahuan yang menempatkan teks-teks keagamaan sebagai sumber utama bagi epistemology. Biasanya sistem ini didukung dan dikembangkan dalam ilmu-ilmu kebahasaan (gramatika, sastra dan lain-lainnya), ilmu-ilmu fiqh dan usul fiqh, teologi serta ilmu ilmu al-quran dan hadis.78

Dalam perkembangannya, sebagaimana disebutkan sebelumnya, ketiga sistem pengetahuan tersebut tidak bersifat eklusif. Bahkan sebaliknya perlahan tapi pasti mengalami suatu sistesis dan membentuk suatu gugusan keilmuan baru yang menampakkan ciri khas dari masing-masing ketiganya. Di tangan al-Ghazali sistem bayani membuka diri terhadap sistem irfani dan burhani. Bentuknya yang jelas adalah keberhasilannya memadukan unsur-unsur tasawuf dan fiqh dengan jalan mendekonstruksi tasawuf menjadi dua bagian, yaitu tasawuf yang mengkaji ilmu-ilmu muamalah dan yang lain mengkhususkan pada ilmu-ilmu mukasyafah.79 Ilmu Mukasyafah dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang disebut dengan zahir (external knowledge) dan batin (internal knowledge). Yang pertama menjadi pokok kajian dalam kitab Ihya,80 sedangkan yang kedua menjadi pokok kajian dalam karya-karyanya yang lain seperti misykah al-Anwar. Menurut al-Ghazali tasawuf yang mengkaji ilmu-ilmu muamalah memilih obyek kajian yang sama dengan ilmu fiqh, yaitu seputar kewajiban-kewajiban agama. Tetapi perspektif yang dipakai berbeda. Jika ilmu fiqh memfokuskan pada aspek pelaksanaan jasmaniah, maka tasawuf lebih kepada aspek pelaksanaan spiritualnya.81 Sedangkan keterbukaan sistem demonstratif diperlihatkan oleh al-Ghazali dalam upayanya mengintrodusir logika Yunani kepada para pemikir hukum dengan menulis satu bab khusus dalam karyanya, al-Mustasyfa, serta menjelaskannya dalam tulisannya yang lain, Miyar al-Ilm dengan memperbanyak contoh-contoh yang diperlukan.82Sementara itu al-Ghazali juga melakukan klasifikasi ilmu menjadi beberapa katergori. Dari beberapa tulisannya, antara lain Kitab al-Ilm dalam Ihya, ar-Risalat al-Laduniyyah, mizan al-Amal dan Jawahir al-Quran dapat ditemukan empat sistem klasifikasi ilmu yang berbeda-beda, yaitu;

Ilmu teoritis dan praktis

Ilmu huduri dan ilmu husuli

Ilmu syariyyah dan ilmu aqliyyah

Ilmu-ilmu fardu ain dan fardu kifayah.83Dari keempat sistem klasifikasi ilmu tersebut, al-Ghazali menempatkan ilmu ekonomi kedalam klasifikasi terakhir. Dia menyatakan bahwa mempelajari ilmu ekonomi adalah wajib bagi setiap muslim yang bekerja (kullu muslim muktasab) sebagaimana kewajiban menuntut ilmu yang lain. Sedangkan tujuan mempelajarinya tidak lain adalah untuk menghindari kesulitan dalam bermuamalah dan hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada larangan-larangan agama.84

E. Nalar Ihya dan Nalar Ekonomi

Al-Ghazali merupakan satu di antara sekian banyak pemikir Islam terkemuka yang sangat produktif. Hasil karyanya tidak terhitung dan bahkan meliputi berbagai cabang keimuan, terutama di bidang fiqh, usul fiqh, tasawuf, kalam dan filsafat.85 Meskipun demikian puncak karya intelektual al-Ghazali sebagaimana diakui oleh banyak pihak tertuang dalam Ihya Ulum ad-din, ditulis antara tahun 1099 hingga 1102.86 Pada bagian ini akan diulas secara singkat seputar kitab tersebut dengan menitikberatkan pada pembahasan nalar ekonomi yang terdapat di dalamnya.

Dipercaya kitab ini merupakan hasil integrasi dari berbagai cabang keilmuan yang ditulis oleh al-Ghazali setelah masa pengembaraanya yang panjang, baik pengembaraan dalam arti fisik maupun spiritual dan intelektual.87 Bahkan Ibn Najar mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh al-Ghazali dalam Ihya ini merupakan hasil kontemplasi panjang dan tidak diperoleh melalui seorang guru-sama sekali. Tulisan tersebut merupakan buah marifat, ilham dan wahyu yang diterima oleh al-Ghazali. Akan tetapi penilaian yang demikian nampaknya berlebih-lebihan dan tidak dapat diterima oleh nalar maupun syara.88Memetakan isi Ihya, Muhammad Badawi Tiyanah dalam pengantarnya untuk kitab tersebut membaginya ke dalam empat bagian, yaitu pertama di sebut rub al-Ibadat (act of worship), yang memuat pembahasan tentang ilmu, kaidah-kaidah umum di bidang akidah maupun permasalahan fiqh pada umumnya. Bagian kedua disebut dengan rub al-Adat (customs), yang menjelaskan aspek norma dan etika dalam berbagai aktifitas keseharian manusia. Bagian ketiga disebut dengan rub al-muhlikat (destructive quality of the soul), yang menjelaskan tentang penyakit moral dan bahayanya bagi kehidupan bermasyarakat. Bagian keempat disebut dengan rub al-Munjiyat (quality leading to salvation). Bagian terakhir ini memuat penjelasanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ahlak terpuji yang dapat menyelamatkan manusia dari kesengsaraan di dunia dan akhirat.89Untuk melakukan pembacaan terhadap kitab ini, setidaknya terdapat beberapa konstruk nalar yang harus dipergunakan, untuk dapat memahami isinya secara utuh. Konstruk nalar yang dimaksud adalah nalar syariyyah, nalar falsafiyah dan nalar sufiyah. Ketiganya merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan bukan merupakan suatu susunan hierakis. Namun demikian masing-masing mempunyai dominasi tertentu dalam pemakaiannya.90Nalar syariyyah dalam kitab ini nampak dominan ketika membahas masalah-masalah yang terkait erat dengan hukum Islam (fiqh) dan usul fiqh. Pemakaiannya juga nampak ketika al-Ghazali me