teori belajar

Upload: rajnal-idumarp

Post on 09-Jan-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

teoriii beljar

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangBelajar dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer dan utama dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan manusia terlahir dengan tidak mengetahui apapun dan hanya dibekali potensi jasmaniah dan rohaniah atau akal dan pikiran. Oleh karena itu, belajar semsetinya dilakukan oleh setiap individu manusia secara terus menerus, sepanjang hayat (life long education),di sekolah maupun di luar sekolah, dibimbing atau tidak. Belajar dalam kehidupan dapat terjadi secara spontan ataupun tanpa disadari. Namun agar diperoleh proses belajar yang efesien dan bermakna, proses belajar tersebut harusnya dilakukan dengan sadar dan sengaja serta terorganisasi dengan baik.Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa belajar merupakan kebutuhan primer dari setiap individu manusia, sehingga setiap individu memiliki definisi yang berbeda mengenai makna dari belajar. Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi diri yang mengarah pada perubahan pola pikir dan tingkah laku. Perubahan yang dikehendaki dalam belajar meliputi dua hal, yaitu; (1) perubahan belajar pada dasarnya proses yang sadar serta berlangsung secara aktif dan integratif. (2)Perubahan yang terjadi pada hakikatnya merupakan aspek-aspek kepribadian yang terus-menerus berfungsi pada dirinya. Menurut Sardiman (2012),Hal ideal yang seharusnya terjadi dalam sebuah proses belajar adalah tidak hanya berupa pemindahan, tetapi juga transformasi/pengubahan baik itu pengetahuan, keterampilan, maupun nilai. Secara umum terdapat 3 tujuan belajar, yaitu 1) untuk mendapatkan pengetahuan, 2) pemahaman konsep dan keterampilan, dan 3) pembentukan sikap.Dalam pengembangan proses pembelajaran dibutuhkan suatu teori untuk mendasari pelaksanaanya (Sardiman, 2012). Terdapat berbagai teori mengenai pembelajaran yang telah ada sampai dengan sekarang seperti Teori Vgotsky, Teori Piaget, Teori Konstruktivisme, Teori Kognitivisme, Teori Behavioristik, Teori Humanistik, Teori sosio-kultur dan banyak teori lainnya. Setiap teori mendasari suatu proses pembelajaran yang cocok dengan prinsip teori tersebut. Teori belajar sendiri dapat diartikan sebagai kumpulan prinsip umum yang saling berhubungan dan penjelasan atas sejumlah fakta serta penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar (Rusuli, 2014). Dengan begitu dapat kita ketahui bahwa suatu teori dalam pembelajaran sangat dibutuhkan sebagai dasar dari pengembangan pembelajaran itu sendiri dan menjadi pedoman dari proses pembelajaran yang dilaksanakan.Teori dapat dijadikan sebagai titik mula ataupun pedoman dalam mengaplikasikan sesuatu. Hal ini disebabkan terdapat tiga fungsi teori, antara lain; membuat penemuan menjadi sistematis, melahirkan hipotesis, membuat prediksi, dan memberi penjelasan (Dahar, 2006). Konstruksi teori merupakan suatu bagian proses keberlangsungan dalam psikologi dan pendidikan, apakah yang diperhatikan itu sebagai suatu proses. Kenyataan bahwa manusia itu belajar merupakan suatu fakta yang nyata, yang tidak nyata adalah bagaimana manusia itu belajar atau mengapa manusia belajar. Suatu teori dapat menolong kita dalam menjawab pertanyaan ini (Sardiman, 2012). Hal inilah yang mendasari bahwa suatu teori dibutuhkan terkhusus dalam menjelaskan makna dari belajar dan tujuan belajar yang sebenarnya. Serta dengan memahami teori tersebut kita dapat mengembangkan bagaimana proses pembelajaran yang terbaik diberikan.Berdasarkan penjelasan tersebut, semestinya sebagai seorang pengajar sekaligus pendidik harus memahami dan dapat mengaplikasikan teori belajar dalam setiap kegiatan belajar mengajarnya. Untuk itu makalah ini akan mendeskripsikan bagaimana proses pembelajaran yang semestinya serta memberikan penjelasan apakah dalam setiap pembelajaran harus ada pengaplikasian dari setiap teori tersebut. Dalam makalah ini, penulis hanya membahas mengenai teori konstruktivisme, kognitivisme, dan behavioristik dalam pembelajaran.

B. Rumusan Masalah1) Bagaimana pandangan teori belajar konstruktivisme sebagai landasan pendidikan dalam membentuk pemikiran seorang peserta didik?2) Bagaimana konsep belajar berdasarkan teori kognitivisme?3) Bagaimana teori behavioristik dianggap dapat merubah tingkah laku individu peserta didik?C. Tujuan Penulisan1) Mendeskripsikan konsep belajar berdasarkan teori kognitivisme.2) Mendeskripsikan pandangan teori belajar konstruktivisme dalam membentuk pemikiran seorang peserta didik.3) Menjelaskan konsep teori behavioristik dalam mengubah tingkah laku individu peserta didik.D. Manfaat Penulisan1) Memberikan informasi dan wawasan mengenai teori belajar yang melandasi suatu proses pembelajaran (konstruktivisme, kognitivisme, dan behavioristik).2) Sebagai bahan referensi bagi penulis selanjutnya dalam penulisan mengenai teori belajar terkhusus untuk teori konstruktivisme, kognitivisme, dan behavioristik.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Teori Belajar KognitivismeMayers (dalam Bandono,2014: 9) mengemukakan belajar dipandang sebagai perolehan pengetahuan. Hal ini merupakan cerminan dari teori kognitif, yang didominasi oleh model prosesing informasi dari memori manusia. teori kognitif dimulai pada tahun 1960an dan berlanjut sampai dengan sekarang. Teori belajar ini menekankan pada studi tentang model dan proses mental atau proses internal dalam diri manusia seperti berfikir, mengingat dan pemecahan masalah, motivasi, kesengaiaan, keyakinan, dll. struktur memori kunci dan proses berfikir diidentifikasi dan dikiaskan sebagai computer dari system memori manusia. Memori dan pengingatan kembali tergantung pada prosesnya, Informasi baru dibangun di atas struktur pengetahuan. Kontrol pelaksanaan internal sangat dibutuhkan untuk memperoleh sistem sepenuhnya sehingga berfungsi secara efektif.Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti luas, cognition ialah perolehan, penataan dan penggunaan. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah psikologis manusia yang meliputi setiap prilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Mengembangkan kemampuan intelek atau kognitif nerupakan bagian tujuan pendidikan di Indonesia untuk mencerdaskan bangsa. Konsep perkembangan intelek menjadi masukan penting untuk mengembangkan sistem pendidikan dan pengajaran. Intelek adalah kemampuan jiwa atau psikis yang relatif menetap dalam proses berpikir untuk membuat hubungan-hubungan tanggapan, serta kemampuan memahami, menganalisis, mensistesiskan dan mengevaluasi. Intelektual berfungsi dalam proses pembentukan konsep dilakukan melalui pengindraan, pengamatan, tanggapan, ingatan dan berpikir (Inggridwati, 2007).Perkembangan kognitif merupakan perubahan kemampuan berpikir atau intelektual. Konsep yang mendasari pengertian merupakan kemampuan untuk menangkap sifat, arti, atauketerangan mengenai sesuatu dan mempunyai gambaran yang jelas dan lengkap tentang hal tersebut.(Hurclok, 1990). Pengertian didasarkan pada konsep yang terbentuk bukan dari kesanpengindraan secara langsung, melainkan dapat merupakan penggabungan atau perpaduaan berbagai hal yang disatukan dengan berbagai unsur, objek, situasi, sehinga menyatukannya dalam satu konsep.Teori kognitivisme berusaha menjelaskan dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir. Teori ini menjelaskan bagaimana belajar terjadi dan menjelaskan secara alami kegiatan mental internal dalam diri peserta didik. Oleh karena itu, teori kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Menurut teori ini bahwa belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks (Putrayasa, 2012 : 63).Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar daripadsa hasil belajar. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antar stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Prinsip-prinsip dasar psikologi yaitu belajar aktif, belajar lewat interaksi sosial dan lawat pengalaman sendiri. Teori ini sangat erat berhubungan dengan teori sibernetik (Majid, 2012 : 51).Menurut Soemanto (dalam Majid 2012 : 51) ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan-penemuan para ahli sebelumnya mengenai belajar sebagai proses hubungan stimulus-respons-reinforcement. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward (ganjaran) dan reinforcement (penguatan). Mereka adalah para ahli jiwa aliran kognitif. Menurut pendapat mereka, tingkahlaku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkahlaku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi, kaum kognitifis berpandangan bahwa tingkahlaku seseorang lebih bergantung pada insight (pemahaman) terhadap hubungan hubungan yang ada di dalam suatu situasi.Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan secara terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-bersambung. menyeluruh, ibarat seseorang yang memainkan musik, orang ini tidak memahami not-not balok yang terpampang pada di portitur sebagai informasi yang saling lepas berdiri sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang secara utuh masuk pikiran dan perasaannya. Dalam praktik teori ini terwujud dalam tahap-tahap perkembangan yang diusulkan oleh Jean Piaget, belajar bermakna nya dan belajar penemuan secara bebas (Free Discovery Learning) oleh Jerome Bruner (Majid, 2012 : 51).

Menurut Putrayasa (2012: 63), ada empat teori kognitif yang paling berpengaruh di dunia pendidikan dewasa ini, yaitu: 1) Teori Bruner 2) Teori Ausubel 3) Teori Robert Gagne 4) Teori Jean Piaget 1. Teori Bruner Menurut Putrayasa (2012: 63), Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberi perhatian pada pentingnya pengembangan kognitif. Menurut Bruner, pada dasarnya belajar merupakan proses kognitif yang terjadi dalam diri seseorang. Ada 3 (tiga) proses kognitif dalam belajar, yaitu: a. Proses pemerolehan informasi barub. Proses mentransformasikan informasi yang diterimac. Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan/melihat audiovisual dan lain-lain. Proses tranformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Tahap selanjutnya adalah menguji relevansi dan kepadatan pengetahuan atau informasi yang telah diterima tersebut. Faktor-faktor penting dalam belajar menurut Bruner, yaitu: 1) Pentingnya memahami struktur mata pelajaran. 2) Pendidikan belajar aktif. 3) Pentingnya nilai berpikir induktif. Menurut Putrayasa (2012 : 64), adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran menurut Bruner, yaitu: 1) Pentingnya struktur bidang studi Struktur mata pelajaran berisi ide-ide, konsep-konsep dasar, hubungan antara konsep atau contoh-contoh dari konsep yang dianggap penting2) Kesiapan untuk belajar Kesiapan belajar ini dipengaruhi oleh kematangan psikologi dan pengalaman anak. Untuk mengetahui apakah si pebelajar telah memiliki kesiapan dalam belajar, maka perlu diberi tes mengenai materi awal berdasarkan topik yang diajarkan3) Intuisi Intuisi adalah teknik-teknik intelektual analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan yang sah (benar) atau tidak. 4) Motivasi Motivasi adalah kondisi khusus yang dapat mempengaruhi individu untuk belajar, khususnya selama masa sekolah yang dapat membantu mendorong kemauan belajar siswa.2. Teori Belajar Bermakna oleh Ausubel Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Belajar bermakna adalah belajar yang disertai dengan pengertian. Belajar bermakna akan terjadi apabila informasi yang baru diterima si belajar mempunyai kaitan erat dengan konsep yang sudah ada/diterima oleh siswa sebelumnya dan tersimpan dalam struktur kognitif. Namun, informassi baru ini dapat saja diterima atau dipelajari siswa tanpa menghubungkannya dengan konsep atau pengetahuan yang sudah ada. Cara belajar seperti ini disebut belajar menghafal.3. Teori Robert GagneMenurut Gagne, belajar bukan merupakan proses tunggal, melainkan proses yang luas yang dibentuk oleh pertumbuhan dan perkembangan tingkah laku. Artinya, banyak keterampilan yang telah dipelajari memberikan sumbangan bagi belajar keterampilan yang lebih rumit. Contohnya, keterampilan belajar menjumlah akan berguna bagi siswa untuk belajar membagi, dimana siswa tidak perlu belajar menjumlah lagi ketika belajar membagi. Belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang menghasilkan berbagai macam tingkah laku yang berlainan yang disebut kapasitas. Kapasitas itu diperoleh orang dari stimulus yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan si belajar. Kemudian Gagne mendefinisikan pengertian belajar secara formal, bahwa belajar adalah Perubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia yang berlangsung selama satu masa waktu dan tidak semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan yang menyangkut perubahan tingkah laku.4. Teori Belajar PiagetPiaget adalah seorang psikolog developmental karena penelitian mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Dia adalah salah seorang psikolog suatu teori komperhensif tentang perkembangan intelejensi atau proses berpikir. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif melainkan kualitatif. Apabila ahli biologi menekankan penjelasan tentang struktur yang memungkinka individu mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan, maka piaget tekanan penyelidikannnya lain. Piaget menyelidiki masalah yang sama dari segi penyesuaian manusia serta meneliti perkembangan intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur intelektual terbentuk di dalam individu akibat interaksinya dengan lingkungan.Menurut Majid (2012 : 52), Piaget memakai istilai scheme secara interchangeably dengan istilah struktur. Scheme adalah pola tingkahlaku yang dapat diulang. Scheme berhubungan dengan refleks-refleks pembawaan misalnya bernafas, makan, minum, dan scheme mental misalnya pola tingkah laku yang masih sukar diamati (sikap) dan pola tingkahlaku yang dapat diamati. Menurut piaget intelegensi itu terdiri dari terdiri dari tiga aspek :a. Struktur disebut juga schemenPerkembangan intelektual anak berlangsung melalui perkembangan yang diacu Piaget sebagai skema. Piaget tidak menyinggung mengenai bentuk skema yang terjadi di dalam otak, namun yang dibahas adalah bentuk skema yang merupakan penggambaran internal mengenai kegiatan fisik atau mental, sehingga skema dapat dianggap sebagai kumpulan kaidah mengenai bagaimana caranya berinteraksi dengan lingkungan. Seorang anak yang memiliki skema tertentu akan terdorong untuk menggunakannya. Piaget menekankan, bahwa aktivitas di dalam menggunakan skema inilah yang membawa anak kearah hubungannya dengan lingkungan sehingga menghasilkan perkembangan kognitif. Jalan yang di tempuhnya anak di dalam interaksinya dengan lingkungan tergantung pada skema yang dimilkinya. Motivasi untuk mengulang kegiatan yang berhubungan dengan skema dapat dilihat terutama sekali pada anak-anak yang berusia beberapa bulan, yang mengayun-ayunkan kakinya sehingga menyebabkan bergeraknya semua benda di dalam kereta bayi. Perbuatannya itu akan diulang tanpa henti.b. Isi, disebut juga content yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.c. Fungsi, disebut juga function yang berhubungan dengan seseorang mencapai kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam yaitu organisasi dan adaptasi.Organisasi : berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk sistem yang koheren.Adaptasi yaitu adaptasi individu terhadap lingkungannya. Adaptasi ini terdiri dari dua macam proses komplementer yaitu asimilasi dan akomodasi. Menurut Piaget (1975) dalam Majid (2012:53), bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni 1). Asimilasi, 2). Akomodasi, 3). Equilbrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru kestruktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyasuaian struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Ekuilbrasi adalah penyesuaian berkesiambungan antara asimilasi dan akomodasi.Menurut Jean Piaget (Putrayasa, 2012 :74) ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori perkembangan kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu:1. Inteligensi Piaget mengartikan inteligensi secara lebih luas dan tidak mendefinisikan secara lebih ketat. Menurutnya, inteligensi adalah suatu bentuk ekuilibrium ke arah mana semua struktur yang menghasilkan persepsi, kebiasan, dan mekanisme sensiomotor diarahkan2. Organisasi Organisasi adalah suatu tendensi yang umum untuk semua bentuk kehidupan guna mengintegrasikan struktur, baik yang psikis ataupun fisiologis dalam suatu sistem yang lebih tinggi3. Skema Skema adalah suatu struktur mental seseorang yang secara intelektual beradapsi dengan lingkungan sekitarnya. Skema akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan kognitif seseorang4. Asimilasi Asimilasi adalah proses kognitif tempat seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Atau dapat juga dikatakan bahwa asimilasi adalah proses perpaduan antara informasi baru dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki5. Akomodasi Akomodasi adalah penyesuaian struktur internal pada ciri-ciri tertentu dari situasi khusus yang berupa objek atau kejadian yang baru. Akomodasi dapat juga dikatakan bahwa akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema lama sehingga cocok dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan yang ada6. Ekuilibrasi Ekuilibrasi adalah pengaturan diri yang berkesinambungan yang memungkinkan seseorang untuk tumbuh, berkembang, dan berubah untuk menjadi lebih mantap/seimbang. Atau dengan kata lain, ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi, sedangkan disekuilibrium adalah keadaan yang tidak seimbang antara proses asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrium dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.Menurut Piaget (dalam MAJID, 2014: 53), proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa, yang dalam hal ini Piaget membaginya menjadi 4 tahap, yaitu tahap sensori -motor, tahap pra-opersional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal.a. Tahap Sensori Motor ( 0- 2 Tahun)Tahap sensori motor berlangsung secara tidak mulus sejak dari kelahiran bayi hingga bayi berusia dua tahun. Bayi yang baru lahir memiliki sangat sedikit skema terbatas yang ada sejak di dalam kandungan dan skema ini memungkinkan bagi bayi untuk menggenggam, mengisap, dan melihat benda. Anak-anak hanya tertarika kepada sesuatu yang ada pada saat itu, begitu benda disingkirkan dari pandangannya diapun akan melupakannya. Sifat ini ada hingga nak berusia 8 bulan yaitu pada saat anak tersebut kiranya menyadari bahwa benda tersebut masih ada sekalipun tidak berada dihadapannya, dan dia berusaha mencari mainan yang disembunyikan dibelakng sesuatu benda yang lain. Piaget menamakan perkembangan ini sebagai ketetapan benda (objek permanen). Anak-anak yang berusia 8-12 bulan akan berusaha mencari mainan yang disembunyikan. Mereka telah pula mengembangkan struktur mental yang memungkinkan mereka melambangkan dunia serta memikirkan benda-benda yang mereka lihat. Pada separuh tahap sensory motor mereka sudah dapat menggunakannya untuk menggambarkan serta bertindak di dalam lingkungannnya. Menurut Piaget pada tahap pertama yaitu tahap sensori motor. Selama perkembangan dalam periode sensori motor yang berlangsung sejak anak lahir sampai usia dua tahun intelegensi yang dimiliki anak masih berbentuk primitif dalam arti masih didasarkan pada prilaku terbuka. Pada tahap ini perkembanag mental ditandai oleh kemajuan yang besar dalam kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar) melalui gerakan-gerakan dan tindakan fisik. Intelegensi sensori motor sesumgguhnya merupakan intelegensi dasar yang amat berarti karena ia menjadi fondasi untuk tipe-tipe intelegensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak.b. Tahap Praoperasional (2-7 tahun)Pada perkembangan pra operasional terjadi pada dirir anak ketika berumur 2-7 tahun. Perkembangan ini bermula pada saat anak telah memiliki penguasaan sempurna mengenai objek permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau bisasa ada. Walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan, atau sudah tak dilihat dan tak didengar lagi. Perolehan kemampuan berupa kesadaran terhadap eksistensi objek permanence (ketetapan adanya benda) adalah hasil dari munculnya kapasitas kognitif baru yang disebut representation atau mental representation (gambaran mental). Secara singkat, representasi adalah sesuatu yang mewakili atau menjadi simbol atau wujud yang lainnya. Representasi mental merupakan bagian penting dari skema kognitif yang memungkinkan anak berpikir dan menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu walaupun benda atau kejadian itu berada di luar pandangan, pendengaran, atau jangkauan tangannya. Representasi mental juga memungkinkan anak untuk mengembangkan deferred-initetion (peniruan yang tertunda) yaitu kapasitas meniru perilsaku orang lain yang sebelumnya pernah ia lihat untuk merespon lingkungan. Perilakuperilaku yang ditiru terutama perilaku-perilaku orang lain (khususnya orang tua dan guru) pernah ia lihat ketika orang itu merespon barang, orang, keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Periode perkembangan praoperasional disamping diperolehnya kapasitas-kapasitas seperti di atas, yang sangat penting adalah diperolehnya kemampuan berbahasa. Dalam periode ini anak mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar, mampu pula mengoperasikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif. Pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata kata dan gambar-gambar. Mulai muncul pemikiran egosentrisme animisme, dan intuitif. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dengan perspektif orang lain dengan kata lain anak melihat sesutu hanya dari sisi dirinya. Animisme adalah keyakinan bahwa objek yang tidak bergerak memiliki kualitas semacam kehidupan yang dapat bertindak. Seperti seorang anak yang mengatakan, pohon itu bergoyang-goyang mendorong daunnya dan daunnya jatuh. Sedangkan intuitif adalah anak-aak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin mengetahui jawaban atas semua bentuk pertanyaan. Mereka mengatakan mengetahui sesuatu tetapi mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional.Pada tahap praoperasional, anak mulai menggunakan bahasa dan simbol yang paling sederhana, anak sudah mulai melakukan gerakan-gerakan sederhana dan membuat sesuatu yang ia pahami sendiri. Pada tahap ini anak aktifitas berfikirnya belum mempunyai sistem yang terorganisasikan, cara berfikir anak dalam tahap ini tidak sistematis, tidak konsisten, tidak logis dan cendrung arti ficialism serta centration misalnya menggambar, menulis dan sebagainya tapi semua yang dilakukan terkesan tidak teratur.c. Tahap Konkrit Operasional (7-11 tahun)Priode operasional konkret yang berlangsung selama usia 7 hingga 11 tahun, anak masih tergantung pada rupa benda namun dia telah mampu mempelajari kaidah mengenai lingkungannya secara lebih canggih. Dia telah pula mempelajari kaidah mengenai konservasi dan dapat menggunakan logika sederhana dalam memecahkan berbagai permasalahan yang selalu muncul setiap kali ia berhadapan dengan benda nyata.Pada tahap ini anak dapat melakukan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan kedalam contoh-contoh yang spesifik atau konkret. Dalam priode konkret operasional yang berlangsung hingga usia menjelang remaja anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berfikir). Kemampuan satuan langkah berfikir ini berfaidah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu kedalam pemikirannya sendiri. Satuan langkah berfikir anak terdiri dari atas aneka ragam operation (tatanan langka) yang masing-masing berfungsi sebagai skema kognitif khusus yang merupakan perbuatan intern yang tertutup (interiorized action) yang dapat dibolak-balik atau ditukar dengan operasi-operasi lainnya. Satuan langkah berpikir anak kelak akan menjadi dasar terbentuknya intelegensi intuitif. Intelegensi, menurut Piaget bukan sifat yang biasanya digambarkan dengan skor IQ. Intelegensi adalah proses, tahapan atau langkah operasional tertentu yang mendasari semua pemikiran dan pengetahuan manusia, disamping merupakan proses pembentukan pemahaman. Namun demikian, masih ada keterbatasan kapasitas anak dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Anak-anak dalam rentang usia 7-11 tahun baru mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret. Inilah yang menjadi alasan mengapa perkembangan kognistif anak yang berusia 7-11 tahun tersebut dinamakan tahap konkret operasional.d. Tahap Formal Operasional (11 tahun sampai dewasa)Pada tahap ini individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkret dan berfikir secara abstrak dan lebih logis. Sebagai pemikiran yanag abstrak, remaja mengembangkan gambaran keadan yang ideal. Mereka dapat berpikir seperti apakah orang tua yang ideal dan membandingkan orang tua mereka dengan standar iseal yang mereka miliki. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan dan terkagum kagum terhadap apa yang mereka lakukan. Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni: kapasitas menggunakan hipotesis dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan kapasitas menggunakan hipotesis seorang remaja akan mampu berpikir hipotesis yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respons. Sedangkan dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, remaja akan mampu mempelajari materi materi pelajaran yang abstrak seprti ilmu agama, ilmu matematika dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih mendalam.Secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru seyogianya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut (Majid, 2012 :56).

B. Teori Belajar KonstruktivismeSejak tahun 1980-an muncul pandangan baru tentang belajar yakni teori konstruktivisme. Dalam pandangan teori konstruktivisme, proses adalah merupakan aktivitas internal belajar dalam membangun atau mengkonstruksikan pengetahuan. Belajar membangaun kebermaknaan melalui penerapan pengetahuan untuk memcahkan masalah, berinteraksi dengan orang lain dan proses pemagangan (Bandono, 2014 : 11). Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam constructivist theoriesof learning yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-atauran itu tidak lagi sesuai. Belajar itu jauh lebih banyak daripada mengingat. Bagi siswa agar benarbenar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Silaban, 2000: 7).Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwaguru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus aktifmembangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategimereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang berdiriuntuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut.Esensi dari teori konstruktivis adalah ide dimana harus siswa itu sendiri yangmenemukan dan mentransformasikan informasi kompleks apabila mereka diharuskan menjadi informasi itu sebagai miliknya. Konstruktivis dalam pembelajaran lebih menekankan pemrosesan yang bersifat topdown yang berarti bahwa siswa belajar yang dimulai dari masalah kompleks untuk dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Pemrosesan yang bersifat top-down ini bertentangan dengan pemrosesan yang bersifat bottom-up tradisional yang mana keterampilanketerampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi keterampilan yang lebih kompleks (Silaban, 2000:7). Menurut Bandono (2014 : 11), Teori belajar belajar konstruktivisme berkembang menjadi menjadi kelompok besar, meliputi :a. Kognitif individual, pandangan yang mendasar aliran ini diambil dari kerja Piaget dan kawan-kawan yang menitikberatkan pada aktifitas di dalam mengkonstruksi pengetahuan secara individual. Belajar terjadi bila harapan si belajar belum terpenuhi dan dia harus memecahkan kesenjangan antara apa yang diiginkan dengan realitas yang ada. b. Sosiokultural, pandangan ini dipelopori oleh hasil kerja Vygostky dan kawan-kawan yang memandang pentingnya konteks sokial dn kultural yang berperan dalam proses belajar. Aliran ini memfokusnya pada pentingnya tindakan koleratif dan interaksi social dalam membangun kebermaknaan belajar. Kebermaknaan dalam belajar muncul apabila si belajar mampu membangun mutualisme, saling ketergantungan, antara sesama kelompok sosial dalam rangka mencapai tujuan bersama yang ditetapkan.

C. Teori Belajar BehavioristikTeori belajar behavioristik juga dikenal dengan teori perilaku. Teori behavioristik menekankan kajiannya pada pembentukan tingkah laku berdasarkan hubungan antara stimulus dengan respon yang bisa diamati dan tidak menghubungkannya dengan kesadaran maupun konstruksi mental (Rusuli, 2014). Aliran behavioristik memandang suatu hal menjadi benar dan salah itu bergantung pada reinforcement (penguat) positif maupun negatif. Artinya jika terdapat stimulus dan setelah direspon ternyata menimbulkan kenyamanan, maka tingkah laku dikatakan benar dan jika direspon tersebut menimbulkan reinforcement negatif, maka perbuatan tersebut salah (Rusuli, 2014). Dengan kata lain jika perubahan tersebut kearah yang lebih baik maka proses pembelajaran berhasil sedangkan jika perubahan kearah lebih buruk maka proses pembelajaran dianggap gagal.Teori pembelajaran behavioristik muncul pada tahun 1985 yang disampaikan oleh Steven Jay Lynn dan John P. Garske yang menyebutkan bahwa di kalangan psikolog, pembelajaran behavioristik disebut sebagai modifikasi perilaku (behavior modification). Teori pembelajaran behavioristik sendiri telah mengalami perkembangan hingga sampai sekarang. Terdapat beberapa tokoh yang mengembangankan teori pembelajaran behavioristik, antara lain (Dahar, 2006):(1) Ivan Pavlov: Classical ConditioningPada abad ke-20, Ivan Pavlov menguji seekor anjing untuk melihat perilakunya. Selama penelitian, para ahli ini memperhatikan perubahan dalam waktu dan kecepatan pengeluaran air liur pada anjing. Sebagai hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Pavlov dan kelompok, diketahui bahwa proses belajar ternyata dapat mempengaruhi perilaku yang dianggap bersifat refleks dan tidak dapat dikendalikan seperti pengeluaran air liur.Proses perubahan tingkah laku yang terbentuk diakibatkan oleh stimulus yang diberikan dan bersifat dapat diamati secara langsung. Hal inilah yang mendasari pertama kali mengenai bahwa proses pembelajaran yang sempurna dapat menyebabkan perubahan tingkah laku pada para peserta didik.(2) E.L.Thorndike: Hukum PengaruhHasil studi yang dilakukan oleh Pavlov mendorong banyak peneliti untuk mencari jawaban mengenai perubahan tingkah laku manusia yang berasal dari proses pembelajaran. Dalam sejumlah eksperimen Thorndike mencoba mengamati tingkah laku kucing yang diperangkap di dalam sebuah kotak dan di luar kotak diletakkan makanan kucing. Ia mengamati bahwa si kucing ternyata selalu mengulangi perilaku yang mengarah pada keluar dan tidak mengulangi perilaku yang tidak efektif. Dari percobaan ini Thorndike mengenalkan hukum pengaruh atau dikenal dengan Law of effect.Hukum pengaruh dari Thorndike mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip. Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa teori perilaku atau behavioristik menganggap bahwa jika perilaku yang diperoleh dari hasil belajar dianggap baik, maka akan selalu diulangi tersebut. Namun jika bersifat buruk, maka akan ditinggalkan.(3) B.F. Skinner: Operant ConditioningJika pada Pavlov sebelumnya, bahwa perubahan perilaku terbentuk dari stimulus-stimulus yang diberikan, maka Skinner menganggap bahwa perubahan perilaku terjadi bukan karena adanya berbagai stimulus pada suatu objek hidup. Skinner berpendapat bahwa suatu perubahan perilaku diperoleh dari pengalaman seseorang di dalam suatu lingkungan tanpa adanya stimulus tak terkondisi apapun. Perubahan perilaku berkaitan erat dengan berbagai konsekuensi yang diperoleh dari hasil belajar. Konsekuensi disini diartikan sebagai hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh seseorang.Eksperimen Skinner dipusatkan pada penempatan subjek dalam situasi yang terkontrol dan mengamati perubahan dalam perilaku subjek itu yang dihasilkan dengan mengubah secara sistematis konsekuensi perilaku subjek tersebut.

Konsep behavioristik memandang bahwa perilaku individu merupakan hasil belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi belajar dan didukung oleh berbagai penguatan (reinforcement) untuk mempertahankan perilaku atau hasil belajar yang dikehendaki (Sanyata, 2012). Dengan begitu dapat diketahui bahwa teori pembelajaran behavioristik memiliki prinsip sebagai berikut: 1) konsekuensi, konsekuensi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah hasil perolehan seseorang dari proses pembelajaran yang ia lakukan. Konsekuensi dalam pembelajaran behavioristik ada dua yaitu yang menyenangkan dan bernilai benar dikenal dengan penguatan sedangkan yang bernilai buruk dan tidak menyenangkan dikenal dengan hukuman. 2) Kesegaran Konsekuensi, makna dari kesegaran disini adalah saat konsekuensi diperoleh dari suatu pembelajaran dan diikuti langsung oleh perubahan tingkah laku akan lebih dapat mempengaruhi dibandingkan dengan konsekuensi yang lambat datangnya. Dan terkahir adalah 3) Pembentukan (Shaping), istilah pembentukan digunakan dalam teori belajar perilaku saat mengajarkan keterampilan baru pada para siswa dalam mendekati perilaku akhir yang diinginkan (Dahar, 2006).Pendekatan behavioritik merupakan usaha untuk memanfatkan secara sistematis penegtahuan teoritis dan empiris yang dihasilkan dari penggunaan metode eksperimen dalam psikolog untuk memahami dan menyembuhkan pola tingkah laku. Menurut Corey (1986) tujun pendekatan behavioristik adalah sebagai refleksi masalah konseling, dasar pemilihan dan penggunaan strategi konseling dan sebagai kerangka untuk menilai hasil konseling. Teori behavioristik bertujuan untuk menghilangkan tingkah laku yang salah dan membentuk tingkah laku baru (Sanyata, 2011).Terdapat beberapa ciri-ciri dari teori behavioristik dalam pembelajaran yaitu, sebagai berikut (Rusuli, 2014):a) Perkembangan tingkah laku seseorang tergantung pada belajarb) Mementingkan bagian-bagian atau berbagai elemen secara tidak keseluruhanc) Mementingkan reaksi dan mekanisme saling terikatd) Bertinjuan historis, segala tingkah lau terbentuk akibat pengalaman dan latihan.Dari berbagai penjelasan mengenai teori behavioristik diatas dapat kita simpukan keterkaitannya bahwa belajar merupakan hubungan antar stimulus dan respon. Akan tetapi dalam prosesnya memiliki banyak cara yaitu dapat berupa trial-error, pembiasaan tingkah laku dengan penguatan, hubungan abtar stimulus dan respon, serta pembelajaran merupakan hasil perubahan yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Secar filosofis dapat kita katakan, bahwa behavioristik meletakkan manusia dalam kuub yang berlawanan, dimana manusia semestinya bersifat dinamis, akan tetapi dituntut bersifat mekanistik. Namun teori ini juga menjelasakan bahwa lingkungan merupakan faktor yang memiliki kekuatan alamiah bagi manusia dalam stimulus-respon dengan konsep kehidupan social learning theory.Sama seperti halnya berbagai teori yang lain, teori pembelajaran behavioristik juga memiliki kelemahan dan kelebihan di dalamnya. Untuk kelebihannya, teori behavioristik memiliki kedudukan yang kuat dalam psikologi. Prinsip dalam teori behavioristik berguna untuk menjelaskan sebagian besar perilaku manusia dan mampu mengubah perilaku seseorang jika diterapkan (Dahar, 2006).Namun, penting untuk diketahui bahwa ruang lingkup teori belajar perilaku sangatlah terbatas. Teori pembelajaran behavioristik hanya mengamati dan menilai perilaku yang tampak pada seorang individu, sedangkan untuk perubahan perilaku seperti pembentukan konsep belajar, pemecahan masalalah, dan berpikir sangat sukar diamati secara langsung (Dahar, 2006). Selain itu, teori pembelajaran ini merupakan hasil eksperimen terhadap binatang yang tentunya kapasitas binatang jauh berbeda dengan kapasitas manusia yang dibekali akal oleh yang maha pencipta. BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanDari pembahasan diatas mengenai 3 teori yang mendasari proses pembelajaran dapat ditarik kesimpulan antara lain:(1) Teori belajar kognitivisme merupakan teori pembelajaran yang terfokus pada pengembangan kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Kemampuan yang diharapkan bukan terletak pada hasil melainkan pada proses dari pembelajaran tersebut. Baik atau buruk hasil, ditentukan berdasarkan proses pembelajaran itu sendiri.(2) Teori konstruktivisme menganggap bahwa untuk membentuk pengetahuan lahir dari hasil berpikir mandiri seorang individu manusia. Dengan kata lain pembelajaran yang didasarkan dengan teori konstruktivisme memiliki tujuan untuk memberdayakan kemampuan berpikir dan menjadikan pembelajaran yang bermakna, karena pengetahuan diperoleh sendiri.(3) Teori behavioristik memiliki fokus dalam pengubahan tingkah laku individu melalui proses belajar. Teori ini berpandangan hasil dari proses belajar yang baik dan benar adalah dapat mengubah perilaku individu manusia menjadi lebih baik dari sebelumnya.B. Saran(1) Bagi para pengajar agar dapat menerapkan atau memasukkan nilai esensial dari setiap teori pembelajaran ke dalam proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya agar diperoleh pembelajaran yang bermakna bagi siswa.(2) Dalam proses pembelajaran seorang pengajar sekaligus pendidik semestinya tidak hanya melihat hasilnya saja seperti pada teori behavioristik, ataupun prosesnya saja seperti pada teori kognitivisme. Namun, harus melihat dan menilai kedua hal tersebut dengan seimbang.(3) Pengembangan kemampuan berpikir mandiri siswa seperti penjelasan teori konstruktivisme sangat dibutuhkan dalam penerapan proses pembelajaran di lingkungan sekolah.

DAFTAR PUSTAKABandono, Adi. 2014. Perdebatan Sekitar Teori Belajar dalam Praktek Pembelajaran. Sidoarjo : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:ErlanggaMajid, Ustad. 2012. Teori Perkembangan Kognitif dalam Proses Belajar Mengajar. Jurnal Edukasi Vol.7, (2). Putrayasa, Ida Bagus. 2012. Buku Ajar Landasan Pembelajaran. Universitas Pendidikan Ganesha. Rusuli, Izzatur. 2014. Refleksi Teori Belajar Behavioristik Dalam Perspektif Islam. Jurnal Pencerahan, Vol.8 (1), hal.38-54Sanyata, sigit. 2012. Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling. Jurnal Paradigma, Vol.VII (14).Sardiman. 2012. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali PressSilaban, Bajongga. 2000. Implikasi Konstruktivis Terhadap Pembelajaran Kooperatif. Jurnal UDA, Medan.

Makalah Teori Belajar Konstruktivisme, Kognitivisme dan Behavioristik | 20