tentang penulisebook.itenas.ac.id/repository/c19fa78bdf9dd2c2b2aa059e... · 2019. 7. 30. ·...
TRANSCRIPT
TENTANG PENULIS
Silvia Sukirman, lahir di Payakumbuh, pada tanggal 18 Februari
1949. Pendidikan sampai dengan SMP diselesaikannya di
tempat kelahirannya, SMA di Padang, lalu melanjutkan studi di
Bandung. Program Sarjana Teknik Sipil diperolehnya melalui
pendidikan di Universitas Katolik Parahyangan, dan pada tahun 1977 lulus
program Pasca Sarjana Jalan Raya PUTL-ITB.
Pengalaman kerja di bidang profesional dimulai sejak tahun 1974
dengan bekerja pada PT Sangkuriang, Bandung. Sejak 1975 sampai
dengan 1991 bekerja pada Indec & Ass Ltd, di Bandung, yang bergerak
di bidang jasa konstruksi terutama pekerjaan jalan dan jembatan.
Pengalaman kerja di bidang pendidikan dimulai sejak tahun 1973
dengan menjadi asisten dosen di Universitas Katolik Parahyangan, sejak
tahun 1979 menjadi dosen tidak tetap di Universitas Kristen Maranatha
dan sejak tahun 1984 sampai saat ini menjadi dosen di Institut Teknologi
Nasional, Bandung.
Di samping bekerja sesuai bidang ilmunya, bidang manajemen
pendidikan diperolehnya di Institut Teknologi Nasional, Bandung, dengan
pernah menduduki jabatan sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Sipil, Pem-
bantu Dekan Bidang Akademik dan Dekan Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Pembantu Rektor Bidang Akademik, dan terakhir sebagai
Kepala Unit Pelaksana Teknis P3AI.
Selain itu, ia juga aktif di Himpunan Pengembang Jalan Indonesia
dan dipercaya sebagai anggota tim ahli Badan Sertifikasi Asosiasi Daerah
DPD HPJI Jawa Barat periode 2003 - 2006.
Buku Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur ini meru-
pakan edisi revisi dari Buku Perkerasan Lentur Jalan Raya yang
diterbitkan pertama kali pada Tahun 1991 dan telah mengalami cetak
ulang sebanyak tujuh kali. Buku ini membahas secara menyeluruh
tentang perencanaan tebal perkerasan lentur, oleh karena itu Bab yang
membahas tentang material perkerasan jalan pada buku terdahulu,
dalam buku ini ditiadakan.
Buku ini bertujuan membantu Anda untuk memahami prinsip-
prinsip tentang perencanaan tebal perkerasan lentur dan metode peren-
canaan berbasiskan pengamatan langsung dilapangan (metode empiris).
Tema pokok bahasan antara lain:
- bagaimana menentukan beban lalulintas untuk perencanaan
tebal perkerasan jalan
- bagaimana menentukan daya dukung tanah dasar
- uraian tentang jalan percobaan AASHTO
- metode perencanaan tebal perkerasan AASHTO 1972, dan 1993
- metode perencanaan tebal perkerasan Sesuai SNI 1732-1989-F,
dan Pt T-01-2002-B
- metode perencanaan tebal lapis tambah menggunakan metode
analisis komponen dan lendutan balik.
Penerbit Nova
iv
Sukirman, Silvia Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur x +244 hlm. 16 x 23 cm. ISBN: 978-602-96141-0-7 Cetakan pertama, Februari 2010 Copyright © 2010 Silvia Sukirman Hak Cipta dilindungi Undang-undang Desain Cover: Sofyan Triana
Penerbit NOVA Kotak Pos 469, Bandung Email: [email protected]
v
KATA PENGANTAR
Perencanaan tebal struktur perkerasan jalan merupakan salah satu bagian dari rekayasa jalan yang bertujuan memberikan pelayanan terhadap arus lalulintas sehingga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.
Kesesuaian dan ketepatan dalam menentukan parameter pendu-kung dan metode perencanaan tebal perkerasan yang digunakan, sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penggunaan biaya konstruksi dan pemeliharaan jalan. Buku ini memberikan pengetahuan dasar bagi para mahasiswa dan praktisi pemula untuk memahami konsep dasar perencanaan tebal perkerasan lentur. Metode perencanaan yang diuraikan secara rinci hanyalah metode AASHTO dan Bina Marga. Pemahaman kedua metode ini diharapkan dapat menjadi dasar pengetahuan untuk mempelajari metode lainnya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Deny Zuzan, Rina Rosdiana ST., dan Sofyan Triana ST., MT., yang telah banyak membantu dalam proses penulisan dan penyelesaian buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan tentang perencanaan tebal struktur perkerasan jalan dan masukan serta saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan buku ini sangat kami harapkan. Bandung, Februari 2010 Penulis
vi
Halaman ini sengaja dikosongkan
vii
Daftar Isi halaman
Kata Pengantar .......................................................................... v
Daftar Isi .................................................................................. vii
1. Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan 1
1.1 Sejarah Perkerasan Jalan ................................................. 1
1.1.1 Telford dan Macadam ............................................ 2
1.1.2 Permulaan Perkerasan Kedap Air ........................... 4
1.1.3 Sejarah Jalan di Indonesia ..................................... 5
1.2 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan .................................... 6
2. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Jalan 9
2.1 Lapis Permukaan (Surface Course) ................................... 14
2.2 Lapis Pondasi (Base Course) ............................................ 22
2.3 Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course) ............................ 26
2.4 Lapis Tanah Dasar (Subgrade/Roadbed) ........................... 27
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan
Tebal Perkerasan 31
3.1. Beban Lalulintas .............................................................. 31
3.1.1 Konfigurasi Sumbu Dan Roda Kendaraan ................ 32
3.1.2 Beban Roda Kendaraan ......................................... 37
3.1.3 Beban sumbu ....................................................... 37
3.1.4 Volume Lalulintas ................................................. 46
3.1.5 Repetisi Beban Lalulintas ....................................... 47
3.1.6 Beban Lalulintas Pada Lajur Rencana .................... 53
viii
3.2 Daya Dukung Tanah Dasar ............................................ 55
3.2.1 Pengujian California Bearing Ratio (CBR) ................ 56
3.2.2 Nilai CBR Dari Satu Titik Pengamatan .................. 61
3.2.3 CBR Segmen Jalan ............................................... 62
3.2.4 Penetrometer Konus Dinamis (Dynamic Cone
Penetrometer (DCP) .......................................... 69
3.2.5 Modulus resilient (MR) ........................................... 74
3.2.6 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Penetapan
Daya Dukung Tanah Dasar .................................... 78
3.3 Fungsi Jalan ................................................................... 80
3.3.1 Sistem Jaringan Jalan Umum ................................. 80
3.3.2 Fungsi Jalan Umum .............................................. 81
3.3.3 Status Jalan Umum ............................................... 84
3.4 Kondisi Lingkungan ........................................................ 86
3.5 Mutu Struktur Perkerasan Jalan ...................................... 89
3.5.1 Kekasaran Muka Jalan (Roughness) ....................... 89
3.5.2 Indeks Permukaan (Serviceability Index) ................ 92
3.5.3 Tahanan Gelincir (Skid Resistance) ........................ 95
4. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO 97
4.1 Jalan Percobaan AASHTO ................................................ 98
4.1.1 Struktur Jalan Percobaan ....................................... 98
4.1.2 Penelitian di Jalan Percobaan ................................ 102
4.1.3 Perkembangan Metode AASHTO ............................ 103
4.2 Metode AASHTO 1972 ..................................................... 105
4.3 Metode AASHTO 1993 .................................................... 109
4.3.1 Beban Lalu Lintas Sesuai AASHTO 1993 ................. 109
4.3.2 Reliabilitas .......................................................... 125
ix
4.3.3 Drainase ............................................................... 130
4.3.4 Rumus Dasar Metode AASHTO 1993 ..................... 132
4.3.5 Tebal Minimum Setiap Lapisan ............................... 138
5. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode
Analisis Komponen SNI 1732-1989-F 141
5.1 Beban Lalu lintas Berdasarkan SNI 1732-1989-F ................ 141
5.2 Daya Dukung Tanah Dasar Berdasarkan SNI 1732-1989-F . 146
5.3 Parameter Penunjuk Kondisi Lingkungan
Sesuai SNI 1732-1989-F ................................................... 148
5.4 Indeks Permukaan Sesuai SNI 1732-1989-F ...................... 148
5.5 Rumus Dasar Metode SNI 1732-1989-F.............................. 151
5.6 Tebal Minimum Lapis Perkerasan....................................... 162
5.7 Konstruksi Bertahap ......................................................... 162
5.8 Prosedur Perencanaan Tebal Perkerasan
Metode SNI 1732-1989-F ................................................. 168
6. Perencanaan Tebal Perkerasan Metode Pt T-01-2002-B 171
6.1 Langkah-langkah Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan
Metode Pt T-01-2002-B .................................................... 171
6.2 Konstruksi Bertahap Sesuai Metode Pt T-01-2002-B ............ 176
6.3 Tinjauan Metode Pt T-01-2002-B Terhadap Metode
AASHTO 1993 ................................................................ 177
7. Perencanaan Tebal Lapis Tambah 179
7.1 Survei Kondisi Perkerasan Jalan ....................................... 181
7.1.1 Kerusakan Jalan .................................................... 182
7.1.2 Kondisi Struktur Perkerasan Jalan Lama ................. 188
7.2 Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan
Alat Benkelman Beam ..................................................... 190
x
7.2.1 Lendutan Balik .. .................................................. 193
7.2.2 Lendutan Balik Segmen ......................................... 198
7.3 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode SNI 1732-1989-F .................................................... 200
7.4 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pt T-01-2002-B ................................................... 201
7.5 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode No.01/MN/B/1983 .................................................. 206
7.6 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Road Design System (RDS) ..................................... 209
7.7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pd T-05-2005-B ...................................................... 212
Daftar Pustaka .......................................................................... 217
Lampiran 1 Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93 ......... 221
Lampiran 2 Tabel Angka ekivalen Berdasarkan SNI 1732-
1989-F Dan Pd.T-05-2005-B .................................... 209
Lampiran 3 Daftar Rumus ......................................................... 212
Lampiran 4 Daftar Tabel ........................................................... 241
Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan
1
BAB 1 Sejarah dan Kinerja
Perkerasan Jalan
1.1 Sejarah Perkerasan Jalan
Sejarah perkerasan jalan dimulai bersamaan dengan sejarah umat
manusia itu sendiri dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup dan
berkomunikasi dengan sesama. Perkembangan sistem struktur perkeras-
an jalan saling terkait dengan peningkatan mutu kehidupan dan teknologi
yang ditemukan umat manusia. Pada awalnya jalan hanyalah berupa
jejak manusia yang mencari kebutuhan hidup, termasuk sumber air.
Setelah manusia mulai hidup berkelompok, jejak-jejak itu berubah
menjadi jalan setapak. Dengan digunakannya hewan sebagai alat trans-
portasi, permukaan jalan dibuat rata dan diperkeras dengan batu.
Teknologi perkerasan jalan berkembang pesat sejak ditemukannya roda
sekitar 3500 tahun sebelum Masehi di Mesopotamia dan pada zaman
keemasan Romawi. Pada saat itu jalan dibangun dalam beberapa lapisan
perkerasan terutama dari pasangan batu, yang secara keseluruhan lebih
tebal dari struktur perkerasan jalan saat ini, walaupun belum mengguna-
kan aspal ataupun semen sebagai bahan pengikat.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
2
1.1.1 Telford dan Macadam
Beberapa orang yang namanya diabadikan sebagai bapak perkerasan
jalan antara lain Thomas Telford dan John Lauden Macadam. Jalan-jalan
di Indonesia peninggalan tempo dulu banyak menggunakan perkerasan
Telford atau Makadam ini.
Thomas Telford (1757 – 1834) dari Skotlandia, seorang ahli tentang batu,
membangun jalan di atas lapisan tanah dasar dengan kemiringan tidak
lebih dari 1:30. Struktur perkerasan di atas tanah dasar terdiri dari 3 lapis
dengan tebal total antara 35 – 45 cm. Ciri khas Telford adalah lapisan
batu dibangun di atas tanah dasar dimana lapis pertama terdiri dari batu
besar dengan lebar 10 cm dan tinggi 7,5 -18 cm, lapis kedua dan ketiga
terdiri dari batu dengan ukuran maksimum 6,5 cm (tinggi lapis kedua dan
ketiga sekitar 15- 25 cm), dan paling atas diberi lapisan aus dari kerikil
dengan ukuran 4 cm. Lapisan perkerasan ini diperkirakan mampu
memikul beban 88 N/mm lebar[WSDOT].
Sumber:WSDOT
Gambar 1.1 Struktur perkerasan Telford
Batu berukuran lebar 10 cm, dan tinggi antara 7,5 – 18 cm
Kerikil 4 cm
Batu pecah dan kerikil 4 cm
2 lapis dengan ukuran maksimum 6,5 cm
Lapisan tanah dasar
tebal total
Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan
3
John L. Macadam (1756 – 1836) orang Skotlandia, mengamati bahwa
pada saat itu kebanyakan perkerasan jalan dibangun dengan menggu-
nakan batu bulat [WSDOT]. Oleh karena itu dia memperkenalkan stuktur
perkerasan yang dibangun dari batu pecah. Di samping itu, Macadam
memperhatikan juga kebutuhan drainase dengan membuat struktur
perkerasan di atas lapisan tanah dasar yang memiliki kemiringan (lapisan
Telford dibangun di atas lapisan tanah dasar yang hampir rata). Keisti-
mewaan lain dari perkerasan Macadam adalah memperkenalkan peng-
gunaan batu pecah ukuran kecil (maksimum 2,5 cm) untuk membuat
permukaan perkerasan rata.
Batu pecah dengan ukuran maksimum 7,5 cm diletakkan di atas lapisan
tanah dasar dalam dua lapis. Tebal total kedua lapis adalah 20 cm.
Lapisan aus dibangun dengan ketebalan sekitar 5 cm terdiri dari agregat
berukuran maksimum 2,5 cm. Jadi tebal total struktur perkerasan
Macadam adalah 25 cm, lebih tipis dari perkerasan Telford. Lapisan
perkerasan Macadam diperkirakan mampu memikul beban 158 N/mm
lebar[WSDOT].
Sumber:WSDOT
Gambar 1.2 Struktur perkerasan Macadam
25 cm
Lapisan tanah dasar berlandai
2 lapis (masing-masing tebal 10 cm)
5 cm dan agregat berukuran maksimum 2,5 cm
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
4
Struktur perkerasan Macadam yang dikenal sebagai lapisan Macadam,
digunakan di sebagian besar dunia termasuk Indonesia. Lapisan Maca-
dam di Indonesia telah mengalami beberapa kali modifikasi antara lain
jenis lapisan Macadam basah (waterbound Macadam) dan penetrasi
Macadam. Macadam basah menggunakan tanah berbutir halus sebagai
lapisan penutup pori lapisan paling atas, sedangkan lapisan penetrasi
Macadam menggunakan aspal yang dilabur sebagai bahan pengikat
lapisan paling atas dan diberi pasir kasar sebagai batu penutup. Gambar
1.3 menggambarkan lapisan penetrasi Macadam yang sampai saat ini
masih banyak digunakan di Indonesia.
Gambar 1.3 Lapisan penetrasi Macadam
1.1.2 Permulaan Perkerasan Kedap Air
Struktur perkerasan jalan cepat menjadi rusak akibat beban lalulintas dan
air. Oleh karena itu ahli teknik jalan raya berusaha untuk menghasilkan
perkerasan yang kedap air agar tahan dalam menghadapi perubahan
cuaca dan hujan. Saat ini aspal dan semen banyak digunakan sebagai
bahan pembuat perkerasan kedap air.
Pasir kasar
Aspal
Batu pecah ≤ 2,5 cm
Batu pecah ≤ 7,5 cm
Pasir urug 10- 20 cm
Lapis aus
Batu pinggir batu pecah
Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan
5
Perkerasan jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat
tercatat ditemukan pertama kali di Babylon pada 625 tahun sebelum
Masehi, tetapi perkerasan jenis ini tidak berkembang sampai ditemu-
kannya kendaraan bermotor bensin oleh Godlieb Daimler dan Karl Benz
pada tahun 1880. Di Amerika Serikat, Warren melalui berbagai hak
patennya, mulai mengembangkan beton aspal pada awal 1900.
Sejak Portland Bill menemukan semen artifisial yang dikenal sebagai
semen portland, penggunaan semen sebagai bahan pembentuk lapisan
perkerasan jalan berkembang dengan pesat.
Perkerasan beton semen telah ditemukan pada tahun 1828 di London.
Penggunaan semen sebelum abad 20 umumnya digunakan hanya sebagai
pembentuk lapisan pondasi, dan sejak awal abad 20 semen mulai
digunakan sebagai material pengikat lapisan aus perkerasan jalan.
1.1.3 Sejarah Jalan di Indonesia
Catatan tentang sejarah jalan di Indonesia tak banyak ditemukan.
Pembangunan jalan yang tercatat dalam sejarah Bangsa Indonesia adalah
pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Pos Weg) yang dilakukan melalui
kerja paksa, pada pemerintahan HW Daendels. Jalan Raya Pos tersebut
dibangun mulai Mei 1808 sampai dengan Juni 1809, terbentang dari
Anyer di ujung Barat sampai dengan Panarukan di ujung Timur Pulau
Jawa, sepanjang lebih kurang 1000 km. Tujuan pembangunan jalan saat
itu diutamakan untuk kepentingan strategi pertahanan daripada transpor-
tasi masyarakat. Jalan-jalan cabang dari jalan pos dibangun di zaman
tanaman paksa sebagai prasarana mengangkut hasil tanaman.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
6
Di luar pulau Jawa pembangunan jalan hampir tidak berarti, kecuali di
sekitar daerah tanaman paksa di Sumatera Tengah dan Utara pada saat
itu.
Jalan tol Jagorawi sepanjang 53 km menghubungkan Jakarta – Bogor –
Ciawi yang diresmikan pada tanggal 9 Maret 1978, merupakan awal
dimulainya era baru peningkatan pembangunan konstruksi jalan di
Indonesia. Peningkatan mutu konstruksi perkerasan jalan menggunakan
beton aspal dan beton semen meningkat pesat sejak saat itu.
Perkembangan teknologi konstruksi perkerasan jalan di dunia dan dam-
pak dari dibangunnya jalan di suatu daerah telah mengubah paradigma
dari jalan hanya sebagai prasarana transportasi menjadi jalan sebagai
prasarana transportasi dan juga struktur bangunan sipil yang membawa
dampak lingkungan dan perlu mendapat perhatian yang serius.
1.2 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan
Struktur perkerasan jalan sebagai komponen dari prasarana transportasi
berfungsi sebagai:
1. penerima beban lalulintas yang dilimpahkan melalui roda kendaraan.
Oleh karena itu struktur perkerasan perlu memiliki stabilitas yang
tinggi, kokoh selama masa pelayanan jalan dan tahan terhadap
pengaruh lingkungan dan atau cuaca. Kelelahan (fatigue resistance),
kerusakan perkerasan akibat berkurangnya kekokohan jalan seperti
retak (craking), lendutan sepanjang lintasan kendaraan (rutting),
bergelombang, dan atau berlubang, tidak dikehendaki terjadi pada
perkerasan jalan.
2. pemberi rasa nyaman dan aman kepada pengguna jalan. Oleh karena
itu permukaan perkerasan perlu kesat sehingga mampu memberikan
Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan
7
gesekan yang baik antara muka jalan dan ban kendaraan, tidak
mudah selip ketika permukaan basah akibat hujan atau menikung
pada kecepatan tinggi. Di samping itu permukaan perkerasan harus
tidak mengkilap, sehingga pengemudi tidak merasa silau jika
permukaan jalan kena sinar matahari.
Agar struktur perkerasan jalan kokoh selama masa pelayanan, aman dan
nyaman bagi pengguna jalan, maka:
1. Pemilihan jenis perkerasan dan perencanaan tebal lapisan perke-
rasan perlu memperhatikan daya dukung tanah dasar, beban lalu-
lintas, keadaan lingkungan, masa pelayanan atau umur rencana,
ketersediaan dan karakteristik material pembentuk perkerasan jalan
di sekitar lokasi.
2. Analisis dan rancangan campuran dari bahan yang tersedia perlu
memperhatikan mutu dan jumlah bahan setempat sehingga sesuai
dengan spesifikasi pekerjaan dari jenis lapisan perkerasan yang
dipilih.
3. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan sesuai prosedur pengawasan
yang ada, dengan memperhatikan sistem penjaminan mutu pelaksa-
naan jalan sesuai spesifikasi pekerjaan. Pemilihan jenis lapisan
perkerasan dan perencanaan tebal perkerasan, analisis campuran
yang baik, belum menjamin dihasilkannya perkerasan yang meme-
nuhi apa yang diinginkan, jika pelaksanaan dan pengawasan tidak
dilakukan dengan cermat, sesuai prosedur dan spesifikasi pekerjaan.
4. Pemeliharaan jalan selama masa pelayanan perlu dilakukan secara
periodik sehingga umur rencana dapat tercapai. Pemeliharaan meli-
puti tidak saja struktur perkerasan jalan, tetapi juga sistem drainase
di sekitar lokasi jalan tersebut.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
8
Halaman ini sengaja dikosongkan
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
9
BAB 2 Jenis dan Fungsi
Lapisan Perkerasan Jalan Air yang menggenangi atau masuk ke dalam pori perkerasan jalan
merupakan salah satu faktor penyebab rusaknya jalan. Oleh karena itu
bagian atas jalan diusahakan memiliki sifat kedap air di samping adanya
sistem drainase jalan yang memadai. Sifat kedap air diperoleh dengan
menggunakan bahan pengikat dan pengisi pori antar agregat seperti
aspal atau semen portland. Berdasarkan bahan pengikat yang digunakan
untuk membentuk lapisan atas, perkerasan jalan dibedakan menjadi
perkerasan lentur (flexible pavement) yaitu perkerasan yang menggu-
nakan aspal sebagai bahan pengikat, perkerasan kaku (rigid pavement)
yaitu perkerasan yang menggunakan semen portland, dan perkerasan
komposit (composite pavement) yaitu perkerasan kaku yang dikombi-
nasikan dengan perkerasan lentur, dapat perkerasan lentur di atas perke-
rasan kaku atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur. Di samping
pengelompokkan di atas, saat ini ada pula yang mengelompokkan
menjadi perkerasan lentur (flexible pavement), perkerasan kaku (rigid
pavement), dan perkerasan semi kaku (semi -rigid pavement).
Beban kendaraan yang dilimpahkan keperkerasan jalan melalui kontak
roda kendaraan dengan muka jalan terdiri atas berat kendaraan sebagai
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
10
gaya vertikal, gaya rem kendaraan sebagai gaya horizontal, dan gerakan
roda kendaraan sebagai getaran. Beban tersebut dilimpahkan melalui
bidang kontak antara roda dan permukaan jalan lalu didistribusikan ke
lapisan di bawahnya. Model pendistribusian beban dipengaruhi oleh sifat
kekakuan lapisan penerima beban. Pelat beton dengan nilai kekakuan
tinggi, mendistribusikan beban kendaraan pada bidang seluas pelat
beton, sehingga beban persatuan luas yang dilimpahkan ke lapisan di
bawah pelat beton menjadi kecil. Perkerasan lentur memiliki kekakuan
yang lebih rendah sehingga beban yang dilimpahkan ke lapisan dibawah-
nya didistribusikan pada luas yang lebih sempit. Gambar 2.1 mengilus-
trasikan perbedaan pendistribusian beban kendaraan pada perkerasan
kaku dan perkerasan lentur.
Gambar 2.1 Distribusi beban pada perkerasan kaku dan perkerasan lentur
Pada Gambar 2.1a beban kendaraan didistribusikan oleh pelat beton pada
bidang yang luas sehingga beban merata yang dilimpahkan ke lapisan
dibawahnya, P0, menjadi kecil, sedangkan pada Gambar 2.1b beban
Beban roda
Distribusi beban
(a) Perkerasan kaku (b) Perkerasan lentur
P0
P1
P2
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
11
kendaraan didistribusikan pada luas yang lebih sempit daripada
perkerasan kaku, sehingga P1 lebih besar dari Po. P1 selanjutnya
didistribusikan ke lapisan dibawahnya lagi, demikian seterusnya. Karena
P2<P1, maka lapisan perkerasan lentur dibuat berlapis-lapis, dengan
lapisan paling atas memiliki sifat yang lebih baik dari lapisan di
bawahnya. Akibat tidak samanya kekakuan setiap lapis perkerasan, maka
distribusi beban lalulintas ke lapis dibawahnya seperti garis pada
Gambar 2.2, bukan seperti garis .
Gambar 2.2 Distribusi beban roda pada lapisan perkerasan lentur
Perkerasan lentur
Pada umumnya perkerasan lentur baik digunakan untuk jalan yang mela-
yani beban lalulintas ringan sampai dengan sedang, seperti jalan perkota-
an, jalan dengan sistem utilitas terletak di bawah perkerasan jalan,
perkerasan bahu jalan, atau perkerasan dengan konstruksi bertahap.
Keuntungan menggunakan perkerasan lentur adalah:
1. dapat digunakan pada daerah dengan perbedaan penurunan (differen-
tial settlement) terbatas;
Beban roda
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
12
2. mudah diperbaiki;
3. tambahan lapisan perkerasan dapat dilakukan kapan saja;
4. memiliki tahanan geser yang baik;
5. warna perkerasan memberikan kesan tidak silau bagi pemakai jalan;
6. dapat dilaksanakan bertahap, terutama pada kondisi biaya pemba-
ngunan terbatas atau kurangnya data untuk perencanaan.
Kerugian menggunakan perkerasan lentur adalah:
1. tebal total struktur perkerasan lebih tebal dari pada perkerasan kaku;
2. kelenturan dan sifat kohesi berkurang selama masa pelayanan;
3. frekwensi pemeliharaan lebih sering daripada menggunakan perke-
rasan kaku;
4. tidak baik digunakan jika sering digenangi air;
5. membutuhkan agregat lebih banyak.
Struktur perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapis yang makin ke
bawah memiliki daya dukung yang semakin jelek. Gambar 2.3 menun-
jukkan jenis lapis perkerasan dan letaknya, yaitu:
1. lapis permukaan (surface course);
2. lapis pondasi (base course);
3. lapis pondasi bawah (subbase course);
4. lapis tanah dasar (subgrade).
Perkerasan kaku
Perkerasan kaku cocok digunakan untuk jalan dengan volume lalulintas
tinggi yang didominasi oleh kendaraan berat, di sekitar pintu tol, jalan
yang melayani kendaraan berat yang melintas dengan kecepatan rendah,
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
13
atau di daerah jalan keluar atau jalan masuk ke jalan berkecepatan tinggi
yang didominasi oleh kendaraan berat.
Gambar 2.3 Struktur perkerasan lentur
Keuntungan menggunakan perkerasan kaku adalah:
1. umur pelayanan panjang dengan pemeliharaan yang sederhana;
2. durabilitas baik;
3. mampu bertahan pada banjir yang berulang, atau genangan air tanpa
terjadinya kerusakan yang berarti.
Kerugian menggunakan perkerasan kaku adalah:
1. kekesatan jalan kurang baik dan sifat kekasaran permukaan dipenga-
ruhi oleh proses pelaksanaan;
2. memberikan kesan silau bagi pemakai jalan;
3. membutuhkan lapisan tanah dasar yang memiliki penurunan (settle-
ment) yang homogen agar pelat beton tidak retak. Untuk mengatasi
hal ini seringkali di atas permukaan tanah dasar diberi lapis pondasi
bawah sebagai pembentuk lapisan homogen.
Lapis permukaan Lapis pondasi
Lapis pondasi bawah (optional)Subgrade
(Tanah dasar)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
14
Struktur perkerasan kaku terdiri dari pelat beton sebagai lapis
permukaan, lapis pondasi bawah sebagai lapis bantalan yang homogen,
dan lapis tanah dasar tempat struktur perkerasan diletakkan. Pelat beton
memiliki sambungan memanjang dan sambungan melintang seperti pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Struktur perkerasan kaku Struktur perkerasan lentur atau kaku, keduanya memiliki keuntungan dan
kerugian. Oleh karena itu desainer perlu mempertimbangkan berbagai
faktor dalam pemilihan struktur perkerasan yang sesuai untuk satu
proyek jalan. Uraian selanjutnya dalam buku ini hanya membahas ten-
tang perencanaan tebal perkerasan lentur saja.
2.1 Lapis Permukaan (Surface Course)
Lapis permukaan merupakan lapis paling atas dari struktur perkerasan
jalan, yang fungsi utamanya sebagai:
Lapis pondasi Lapis pondasi bawah
(optional)
Subgrade (Tanah Dasar)
Pelat beton
sambunganmelintang
sambunganmemanjang
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
15
1. lapis penahan beban vertikal dari kendaraan, oleh karena itu lapisan
harus memiliki stabilitas tinggi selama masa pelayanan;
2. lapis aus (wearing course) karena menerima gesekan dan getaran
roda dari kendaraan yang mengerem;
3. lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atas lapis permukaan
tidak meresap ke lapis di bawahnya yang berakibat rusaknya struktur
perkerasan jalan;
4. lapis yang menyebarkan beban ke lapis pondasi.
Lapis permukaan perkerasan lentur menggunakan bahan pengikat aspal,
sehingga menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan
memiliki daya tahan selama masa pelayanan. Namun demikian, akibat
kontak langsung dengan roda kendaraan, hujan, dingin, dan panas, lapis
paling atas cepat menjadi aus dan rusak, sehingga disebut lapis aus.
Lapisan di bawah lapis aus yang menggunakan aspal sebagai bahan
pengikat, disebut lapis permukaan antara (binder course), berfungsi
memikul beban lalulintas dan mendistribusikannya ke lapis pondasi.
Dengan demikian lapis permukaan dapat dibedakan menjadi:
1. lapis aus (wearing course), merupakan lapis permukaan yang kontak
dengan roda kendaraan dan perubahan cuaca.
2. lapis permukaan antara (binder course), merupakan lapis permukaan
yang terletak di bawah lapis aus dan di atas lapis pondasi.
Berbagai jenis lapis permukaan yang umum digunakan di Indonesia
adalah:
1. Laburan aspal, merupakan lapis penutup yang tidak memiliki nilai
struktural, terdiri dari:
a. Laburan Aspal Satu Lapis (burtu = surface dressing), terdiri dari la-
pis aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi sera-
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
16
gam dengan ukuran nominal maksimum 13 mm. Burtu memiliki
ketebalan maksimum 2 cm.
b. Laburan Aspal Dua Lapis (burda = surface dressing), terdiri dari
lapis aspal ditaburi agregat, dikerjakan dua kali secara berurutan,
dengan tebal padat maksimum 3,5 cm. Lapis pertama burda adalah
lapis burtu dan lapis keduanya menggunakan agregat penutup
dengan ukuran maksimum 9,5 mm (3/8 inci).
2. Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir = Sand Sheet = SS), merupakan lapis
penutup permukaan jalan yang menggunakan agregat halus atau pasir
atau campuran keduanya, dicampur dengan aspal, dihampar dan
dipadatkan pada suhu tertentu. Ada dua jenis latasir yaitu latasir kelas
A dan latasir kelas B. Latasir kelas A dengan tebal nominal minimum
15 mm, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum No.4,
sedangkan latasir kelas B dengan tebal nominal minimum 20 mm,
menggunakan agregat dengan ukuran maksimum 9,5 mm (3/8 inci).
Latasir digunakan untuk lalulintas ringan yaitu kurang dari 0,5 juta
lintas sumbu standar (lss). Ketentuan sifat campuran latasir seperti
pada Tabel 2.1.
3. Lapis Tipis Beton Aspal (Lataston = Hot Rolled Sheet = HRS),
merupakan lapis permukaan yang menggunakan agregat bergradasi
senjang dengan ukuran agregat maksimum 19 mm (3/4 inci).
Ada dua jenis lataston yang digunakan yaitu:
a. Lataston Lapis Aus, atau Hot Rolled Sheet Wearing Course =
HRS-WC, tebal nominal minimum 30 mm dengan tebal toleransi ±
4 mm.
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
17
b. Lataston Lapis Permukaan Antara, atau Hot Rolled Sheet Base
Course = HRS-BC, tebal nominal minimum 35 mm dengan tebal
toleransi ± 4 mm.
Tabel 2.1 Ketentuan Sifat Campuran Latasir
Latasir Indikator Sifat Campuran Kelas A & B
Jumlah tumbukan per bidang 50
Min 3,0 Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 6,0
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 20
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 75
Stabilitas Marshall (kg) Min 200
Min 2 Kelelehan (mm)
Mak 3
Marshall Quotient (kg/mm) Min 80
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60°C pada VIM ±7%
Min 80
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
HRS-WC memiliki agregat halus dan bahan pengisi (filler) lebih banyak
dari HRS-BC.
Lataston sebaiknya digunakan untuk lalulintas kurang dari 1 juta lss
selama umur rencana. Ketentuan sifat campuran lataston seperti pada
Tabel 2.2.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
18
4. Lapis Beton Aspal (Laston = Asphalt Concrete = AC), merupakan lapis
permukaan yang menggunakan agregat bergradasi baik. Laston sesuai
digunakan untuk lalulintas berat.
Tabel 2.2 Ketentuan Sifat Campuran Lataston
Lataston Sifat-sifat Campuran
WC BC
Jumlah tumbukan per bidang 75
Min 3,0 Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 6,0
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 18 17
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 68
Stabilitas Marshall (kg) Min 800
Kelelehan (mm) Min 3
Marshall Quotient (kg/mm) Min 250
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60°C pada VIM ±7%
Min 80
Rongga dalam campuran (%) pada kepadatan membal (refusal)
Min 2
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Ada dua jenis Laston yang digunakan sebagai lapis permukaan, yaitu:
a. Laston Lapis Aus, atau Asphalt Concrete Wearing Course = AC-WC,
menggunakan agregat dengan ukuran maksimum 19 mm (3/4 inci).
Lapis AC-WC bertebal nominal minimum 40 mm dengan tebal tole-
ransi ± 3 mm.
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
19
b. Laston Lapis Permukaan Antara, atau Asphalt Concrete Binder
Course = AC-BC, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum
25 mm (1 inci). Lapis AC-BC bertebal nominal minimum 50 mm de-
ngan tebal toleransi ± 4 mm.
Jika aspal yang digunakan untuk membuat AC menggunakan bahan aspal
polimer, aspal dimodifikasi dengan asbuton, aspal multigrade atau aspal
padat Pen 60 atau Pen 40 yang dicampur dengan asbuton butir maka
lapis tersebut dinamakan Laston Modifikasi.
Ketentuan sifat campuran laston seperti pada Tabel 2.3 dan untuk
campuran laston modifikasi seperti pada Tabel 2.4.
Tabel 2.3 Ketentuan Sifat Campuran Laston
Laston Sifat-sifat Campuran WC BC Base
Jumlah tumbukan per bidang 75 112
Min 3,5 Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 5,5
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 15 14 13
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 65 63 60
Min 800 1500 Stabilitas Marshall (kg)
Mak - -
Kelelehan (mm) Min 3 5
Marshall Quotient (kg/mm) Min 250 300
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60°C pada VIM 7%
Min 80
Rongga dalam campuran (%) pada kepadatan membal (refusal)
Min 2,5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
20
Tabel 2.4 Ketentuan Sifat Campuran Laston Modifikasi
Laston
Sifat-sifat Campuran WC Mod
BC Mod
Base Mod
Jumlah tumbukan per bidang 75 112
Min 3,5 Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 5,5
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 15 14 13
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 65 63 60
Min 1000 1800 Stabilitas Marshall (kg)
Mak - -
Min 3 5 Kelelehan (mm)
Mak - -
Marshall Quotient (kg/mm) Min 300 350
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60°C pada VIM ±7%
Min 80
Rongga dalam campuran (%) pada kepadatan membal (refusal)
Min 2,5
Stabilitas Dinamis, lintasan / mm Min 2500 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
5. Lapis Penetrasi Macadam (Lapen) adalah lapis perkerasan yang terdiri
dari agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi seragam.
Setelah agregat pengunci dipadatkan disemprotkan aspal kemudian
diberi agregat penutup dan dipadatkan. Lapen sesuai digunakan
untuk lalulintas ringan sampai dengan sedang.
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
21
Ukuran maksimum agregat pokok membedakan ketebalan yang dapat
dipilih, yaitu:
a. tebal 7 – 10 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran
maksimum 75 mm (3 inci).
b. tebal 5 – 8 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran
maksimum 62,5 mm (2,5 inci).
c. tebal 4 – 5 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran
maksimum 50 mm (2 inci).
6. Lapis Asbuton Agregat (Lasbutag) adalah campuran antara agregat
asbuton dan peremaja yang dicampur, dihampar dan dipadatkan
secara dingin. Lapis Lasbutag bertebal nominal minimum 40 mm
dengan ukuran agregat maksimum adalah 19 mm (3/4 inci). Keten-
tuan sifat campuran lasbutag seperti pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Ketentuan Sifat Campuran Lasbutag
Sifat Campuran Persyaratan
Derajat penguapan fraksi ringan: - Campuran untuk pemeliharaan, % - Campuran untuk pelapis, %
25 50
Jumlah tumbukan 2 x 75
Rongga dalam campuran (VIM), % 3,0 - 6,0
Rongga antara agregat (VMA), % Min. 16
Stabilitas pada temperatur ruang 25 oC, kg Min. 500
Kelelehan, mm 2- 4
Stabilitas sisa, setelah 4 hari direndam dalam air 25 oC, %
Min. 75
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
22
Ketika menentukan tebal setiap lapisan, perencana perlu memper-
hatikan tebal nominal minimum dari jenis lapis permukaan yang dipilih.
Tabel 2.6 menunjukkan tebal nominal minimum dari berbagai jenis
lapis permukaan.
Tabel 2.6 Tebal Nominal Minimum Lapis Permukaan
Jenis Campuran Simbol Tebal Nominal
Minimum (mm)
Toleransi
Tebal (mm)
Latasir Kelas A SS-A 15
Latasir Kelas B SS-B 20 -
Lapis Aus HRS-WC 30
Lataston Lapis Permukaan Antara
HRS-BC 35 ± 4
Lapis Aus AC-WC 40 ± 3
Lapis Permukaan Antara
AC-BC 50 ± 4 Laston
Lapis Pondasi AC-Base 60 ± 5 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
2.2 Lapis Pondasi (Base Course)
Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi bawah dan lapis
permukaan dinamakan lapis pondasi (base course). Jika tidak digunakan
lapis pondasi bawah, maka lapis pondasi diletakkan langsung di atas
permukaan tanah dasar.
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
23
Lapis pondasi berfungsi sebagai:
1. bagian struktur perkerasan yang menahan gaya vertikal dari beban
kendaraan dan disebarkan ke lapis dibawahnya;
2. lapis peresap untuk lapis pondasi bawah;
3. bantalan atau perletakkan lapis permukaan.
Material yang digunakan untuk lapis pondasi adalah material yang cukup
kuat dan awet sesuai syarat teknik dalam spesifikasi pekerjaan. Lapis
pondasi dapat dipilih lapis berbutir tanpa pengikat atau lapis dengan
aspal sebagai pengikat.
Berbagai jenis lapis pondasi yang umum digunakan di Indonesia adalah:
1. Laston Lapis Pondasi (Asphalt Concrete Base = AC-Base), adalah
laston yang digunakan untuk lapis pondasi, tebal nominal minimum
60 mm dengan tebal toleransi ± 5 mm. Agregat yang digunakan
berukuran maksimum 37,5 mm (1,5 inci). Ketentuan sifat campuran
AC-Base seperti pada Tabel 2.3 dan untuk AC-Base modifikasi seperti
pada Tabel 2.4.
2. Lasbutag Lapis Pondasi adalah campuran antara agregat asbuton dan
peremaja yang dicampur, dihampar dan dipadatkan secara dingin.
Lapis Lasbutag Lapis Pondasi bertebal nominal minimum 50 mm
dengan ukuran agregat maksimum adalah 25 mm (1 inci). Ketentuan
sifat campuran Lasbutag seperti pada Tabel 2.5.
3. Lapis Penetrasi Macadam (Lapen) seperti yang diuraikan pada Bab 2.1
dapat pula digunakan sebagai lapis pondasi, hanya saja tidak menggu-
nakan agregat penutup.
4. Lapis Pondasi Agregat adalah Lapis pondasi dari butir agregat. Berda-
sarkan gradasinya lapis pondasi agregat dibedakan atas agregat Kelas
A dan agregat Kelas B. Tebal minimum setiap lapis minimal 2 kali
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
24
ukuran agregat maksimum. Gradasi yang digunakan untuk lapis
pondasi Kelas A dan B dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan ketentuan sifat
lapis pondasi agregat dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.7 Gradasi Lapis Pondasi Agregat
Ukuran saringan Persen berat yang lolos, % lolos
ASTM (mm) Kelas A Kelas B
3” 75
2” 50 100
1½” 37,5 100 88 –100
1“ 25,0 77 –100 70 – 85
3/8” 9,50 44 – 60 40 – 65
No.4 4,75 27 – 44 25 – 52
No.10 2,0 17 – 30 15 – 40
No.40 0,425 7 – 17 8 – 20
No.200 0,075 2 – 8 2 – 8
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
5. Lapis Pondasi Tanah Semen adalah lapisan yang dibuat dengan
menggunakan tanah pilihan yang diperoleh dari daerah setempat,
yaitu tanah lempung dan tanah berbutir seperti pasir dan kerikil
kepasiran dengan plastisitas rendah. Bahan dicampur dengan perban-
dingan semen dan air tertentu di lokasi atau terpusat hingga merata
dan memiliki daya dukung yang cukup sebagai lapis pondasi.
Ketentuan sifat campuran setelah perawatan 7 hari di laboratorium
seperti pada Tabel 2.9.
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
25
Tabel 2.8 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat
Sifat Kelas A Kelas B
Abrasi dari agregat kasar (SNI 03-2417-1990)
mak. 40% mak. 40%
Indek plastis (SNI-03-1966-1990 dan SNI-03-1967-1990)
mak. 6 mak. 6
Hasil kali indek plastisitas dengan % lolos saringan No.200
mak. 25 --
Batas cair (SNI 03-1967-1990)
mak. 25 mak. 25
Gumpalan lempung dan butir-butir mudah pecah dalam agregat (SNI- 03-4141-1996)
0% mak. 1%
CBR (SNI 03-1744-1989)
min. 90% min. 65%
Perbandingan persen lolos # 200 dan #40 mak. 2/3 mak. 2/3 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Tabel 2.9 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Tanah Semen
Pengujian
Batas-batas sifat
(setelah perawatan 7
hari)
Metode pengujian
Kuat tekan bebas (UCS), kg/cm2
min. 20 SNI 03-6887-2002
CBR Laboratorium, % min. 180 SNI 03-1744-1989
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
6. Lapis Pondasi Agregat Semen (LFAS) adalah agregat kelas A,
agregat kelas B, atau agregat kelas C yang diberi campuran semen
dan berfungsi sebagai lapis pondasi. Lapis ini harus diletakkan di atas
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
26
lapis pondasi bawah agregat Kelas C. Ketentuan sifat campuran
setelah perawatan 7 hari di laboratorium seperti pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Semen
Kuat Tekan Bebas Umur 7 Hari (kg/cm2) Lapis Pondasi
Agregat Semen
Silinder (diameter 70 mm x tinggi
140 mm)
Silinder (diameter 150 mm x tinggi
300 mm)
Kelas A 45 75
Kelas B 35 55
Kelas C 30 35 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
2.3 Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi dan tanah dasar
dinamakan lapis pondasi bawah (subbase).
Lapis pondasi bawah berfungsi sebagai :
1. bagian dari struktur perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan
beban kendaraan ke lapis tanah dasar. Lapis ini harus cukup stabil
dan mempunyai CBR sama atau lebih besar dari 20%, serta Indeks
Plastis (IP) sama atau lebih kecil dari 10%;
2. effisiensi penggunaan material yang relatif murah, agar lapis dia-
tasnya dapat dikurangi tebalnya;
3. lapis peresap, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi;
4. lapis pertama, agar pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan lancar,
sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
27
menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca, atau lemahnya daya
dukung tanah dasar menahan roda alat berat;
5. lapis filter untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar
naik ke lapis pondasi. Untuk itu lapis pondasi bawah haruslah
memenuhi syarat:
5tanahdasarD
pondasiD
15
15 ≥ ............................................................... (2.1)
5dasartanah D
pondasiD
85
15 < ............................................................... (2.2)
dengan:
D15 = diameter butir pada persen lolos = 15%.
D85 = diameter butir pada persen lolos = 85%.
Jenis lapis pondasi bawah yang umum digunakan di Indonesia adalah
lapis pondasi agregat Kelas C dengan gradasi seperti pada Tabel 2.11,
dan ketentuan sifat campuran seperti pada Tabel 2.12. Lapis pondasi
agregat kelas C ini dapat pula digunakan sebagai lapis pondasi tanpa
penutup aspal.
2.4 Lapis Tanah Dasar (Subgrade/Roadbed)
Lapis tanah setebal 50 – 100 cm di atas mana diletakkan lapis pondasi
bawah dan atau lapis pondasi dinamakan lapis tanah dasar atau
subgrade. Mutu persiapan lapis tanah dasar sebagai perletakan struktur
perkerasan jalan sangat menentukan ketahanan struktur dalam meneri-
ma beban lalulintas selama masa pelayanan.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
28
Tabel 2.11 Gradasi Lapis Pondasi Agregat Kelas C
Ukuran saringan Persen berat yang lolos, % lolos
ASTM (mm) Kelas C
3” 75 100
2” 50 75 – 100
1½” 37,5 60 – 90
1“ 25,0 45 – 78
3/8” 9,50 25 – 55
No.4 4,75 13 - 45
No.10 2,0 8 - 36
No.40 0,425 7 - 23
No.200 0,075 5 - 15 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Tabel 2.12 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Kelas C
Sifat Kelas C
Abrasi dari agregat kasar (SNI 03-2417-1990) mak. 40%
Indek Plastis (SNI-03-1966-1990 dan SNI-03-1967-1990).
4 – 9
Batas Cair (SNI 03-1967-1990) mak. 35
Gumpalan lempung dan butir - butir mudah pecah dalam agregat (SNI- 03-4141-1996) mak. 1%
CBR (SNI 03-1744-1989) min. 35%
Perbandingan persen lolos #200 dan #40 Mak. 2/3
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
29
Berdasarkan elevasi muka tanah dimana struktur perkerasan jalan dile-
takkan, lapis tanah dasar dibedakan seperti pada Gambar 2.5, yaitu:
1. Lapis tanah dasar tanah asli adalah tanah dasar yang merupakan
muka tanah asli di lokasi jalan tersebut. Pada umumnya lapis tanah
dasar ini disiapkan hanya dengan membersihkan, dan memadatkan
lapis atas setebal 30 – 50 cm dari muka tanah dimana struktur
perkerasan direncanakan akan diletakkan. Benda uji untuk menentu-
kan daya dukung tanah dasar diambil dari lokasi tersebut, setelah
akar tanaman atau kotoran lain disingkirkan.
2. Lapis tanah dasar tanah urug atau tanah timbunan adalah lapis
tanah dasar yang lokasinya terletak di atas muka tanah asli. Pada
pelaksana-an membuat lapis tanah dasar tanah urug perlu
diperhatikan tingkat kepadatan yang diharapkan. Benda uji untuk
menentukan daya du-kung tanah dasar diambil dari lokasi tanah
untuk urugan.
Gambar 2.5 Jenis lapis tanah dasar dilihat dari elevasi muka tanah asli
3. Lapis tanah dasar tanah galian adalah lapis tanah dasar yang lokasinya
terletak di bawah muka tanah asli. Dalam kelompok ini termasuk pula
penggantian tanah asli setebal 50 – 100 cm akibat daya dukung tanah
asli yang kurang baik. Pada pelaksanaan membuat lapis tanah dasar
tanah galian perlu diperhatikan tingkat kepadatan yang diharapkan.
Tanah Dasar Tanah Galian
Tanah Dasar Tanah
Urug/Timbunan
Tanah Dasar Tanah Asli
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
30
Benda uji untuk menentukan daya dukung tanah dasar diambil dari
elevasi lapis tanah dasar.
Daya dukung dan ketahanan struktur perkerasan jalan sangat ditentukan
oleh daya dukung tanah dasar. Masalah-masalah yang sering ditemui
terkait dengan lapis tanah dasar adalah:
1. perubahan bentuk tetap dan rusaknya struktur perkerasan jalan
secara menyeluruh;
2. sifat mengembang dan menyusut pada jenis tanah yang memiliki
sifat plastisitas tinggi. Perubahan kadar air tanah dasar dapat
berakibat terjadinya retak dan atau perubahan bentuk. Faktor
drainase dan kadar air pada proses pemadatan tanah dasar sangat
menentukan kecepatan kerusakan yang mungkin terjadi.
3. perbedaan daya dukung tanah akibat perbedaan jenis tanah.
Penelitian yang seksama akan jenis dan sifat tanah dasar di sepan-
jang jalan dapat mengurangi dampak akibat tidak meratanya daya
dukung tanah dasar.
4. perbedaan penurunan (diffrential settlement) akibat terdapatnya
lapis tanah lunak di bawah lapisan tanah dasar. Penyelidikan jenis
dan karakteristik lapisan tanah yang terletak di bawah lapisan tanah
dasar sangat membantu mengatasi masalah ini.
5. kondisi geologi yang dapat berakibat terjadinya patahan, geseran
dari lempeng bumi perlu diteliti dengan seksama terutama pada
tahap penentuan trase jalan.
6. kondisi geologi di sekitar trase pada lapisan tanah dasar di atas
tanah galian perlu diteliti dengan seksama, termasuk kestabilan
lereng dan rembesan air yang mungkin terjadi akibat dilakukannya
galian.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
31
BAB 3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Perencanaan Tebal Perkerasan
Dalam proses perencanaan tebal perkerasan lentur terdapat beberapa
faktor yang perlu diperhatikan dan ikut mempengaruhi hasil perencanaan,
yaitu:
1. Beban lalulintas
2. Sifat tanah dasar
3. Fungsi Jalan
4. Kondisi lingkungan
5. Kinerja struktur perkerasan (pavement performance)
6. Umur rencana atau masa pelayanan
7. Sifat dan jumlah bahan baku yang tersedia
8. Bentuk geometrik jalan
9. Kondisi perkerasan saat ini (khusus untuk peningkatan jalan lama)
3.1 Beban Lalulintas
Beban lalulintas adalah beban kendaraan yang dilimpahkan ke perkerasan
jalan melalui kontak antara ban dan muka jalan. Beban lalulintas
merupakan beban dinamis yang terjadi secara berulang selama masa
pelayanan jalan. Besarnya beban lalulintas dipengaruhi oleh berbagai
faktor kendaraan seperti:
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
32
1. konfigurasi sumbu dan roda kendaraan
2. beban sumbu dan roda kendaraan
3. tekanan ban
4. volume lalulintas
5. repetisi sumbu
6. distribusi arus lalulintas pada perkerasan jalan
7. kecepatan kendaraan
Pemahaman komprehensif tentang beban kendaraan yang merupakan
beban dinamis pada perkerasan jalan, sangat mempengaruhi hasil
perencanaan tebal perkerasan jalan dan kekokohan struktur perkerasan
jalan selama masa pelayanan.
3.1.1 Konfigurasi Sumbu Dan Roda Kendaraan
Setiap kendaraan memiliki minimal dua sumbu, yaitu sumbu depan
disebut juga sumbu kendali, dan sumbu belakang atau sumbu penahan
beban. Masing-masing ujung sumbu dilengkapi dengan satu atau dua
roda.
Saat ini terdapat berbagai jenis kendaraan berat yang memiliki jumlah
sumbu lebih dari dua. Berdasarkan konfigurasi sumbu dan jumlah roda
yang dimiliki di ujung-ujung sumbu, maka sumbu kendaraan dibedakan
atas:
1. sumbu tunggal roda tunggal
2. sumbu tunggal roda ganda
3. sumbu ganda atau sumbu tandem roda tunggal
4. sumbu ganda atau sumbu tandem roda ganda
5. sumbu tripel roda ganda
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
33
Gambar 3.1 menggambarkan kendaraan dengan konfigurasi sumbu
tunggal, sumbu tandem, dan sumbu tripel. Sebagai usaha memper-
mudah membedakan berbagai jenis kendaraan maka dalam proses
perencanaan digunakan kode angka dan simbol.
Gambar 3.1 Berbagai konfigurasi sumbu kendaraan
Kode angka dengan pengertian sebagai berikut:
1 : menunjukkan sumbu tunggal dengan roda tunggal
2 : menunjukkan sumbu tunggal dengan roda ganda
11 : menunjukkan sumbu ganda atau tandem dengan roda tunggal
111 : menunjukkan sumbu tripel dengan roda tunggal
22 : menunjukkan sumbu ganda atau tandem dengan roda ganda
222 : menunjukkan sumbu tripel dengan roda ganda
Kode simbol dengan pengertian sebagai berikut:
• : menunjukkan pemisahan antara sumbu depan dan sumbu
belakang kendaraan
- : menunjukkan kendaraan dirangkai dengan sistem hidraulik
+ : menunjukkan kendaraan digandeng dengan kereta tambahan
Sumbu tunggal
Sumbu tandem
Sumbu tripel
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
34
Berbagai jenis kendaraan memiliki konfigurasi sumbu dan roda kendaraan
yang berbeda-beda, sehingga mengakibatkan terdapat berbagai kode
angka kendaraan, sebagai contoh:
Kendaraan memiliki sistem hidraulik (-) bersumbu tandem roda ganda (22), dan digandeng (+) dengan kereta tambahan bersumbu depan dan belakang sumbu tunggal roda ganda (2.2).
Berbagai kode kendaraan sesuai dengan konfigurasi sumbu dan rodanya
dapat dilihat pada Gambar 3.2, sedangkan Gambar 3.3 menunjukkan
berbagai jenis kendaraan berdasarkan jumlah sumbu.
Kode konfigurasi sumbu 1.1, yaitu kendaraan dengan sumbu depan dan sumbu belakang berupa sumbu tunggal roda tunggal (1).
Kode konfigurasi sumbu 1.22, yaitu kendaraan dengan sumbu depan sumbu tunggal roda tunggal (1) dan sumbu belakang berupa sum-bu tandem roda ganda (22).
Kode konfigurasi sumbu 1.22-22, yaitu kendaraan dengan konfigurasi sumbu terdiri dari sumbu depan sumbu tunggal roda tunggal (1) dan sumbu belakang berupa sumbu tandem roda ganda (22), memiliki sistem hidraulik (-) tambahan bersumbu tan-dem roda ganda (22).
Kode konfigurasi sumbu 1.22-22+2.2, yaitu kendaraan dengan konfigurasi sumbu terdiri dari sumbu depan sumbu tunggal roda tunggal (1) dan sumbu be-lakang berupa sumbu tandem roda roda ganda (22).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
35
Kendaraan komersial bersumbu kaku
Kendaraan komersial gandengan/trailer
1.1
1.1-1
1.2
1.1-11
1.11
1.1-22
1.22
1.2-1
11.11
1.2-11
11.2
1.2-2
11.22
1.2-22
+1.1
1.22-2
+1.2
1.22-22
+2.2
1.22-111
Sumber: Croney,D. & Croney,P.
Gambar 3.2 Berbagai konfigurasi sumbu dan kodenya.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
36
Gambar 3.3 Klasifikasi jenis kendaraan berdasarkan jumlah sumbu
MotorcyclesPassenger Cars
Two Axle, 4 Tire Single UnitsBuses
Two Axle, 6 Tire Single UnitsThree Axle Single Units
Four or More Axle Single UnitsFour or Less Axle Single Trailers
Five Axle Single TrailersSix or More Axle Single Trailers
Five or Less Axle Multi-Trailers
Six Axle Multi-Trailers
Seven or More Axle Multi-Trailers
12
34
56
78
910
11
1213
Sumber: AASHTO, 2004
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
37
3.1.2 Beban Roda Kendaraan
Beban kendaraan dilimpahkan keperkerasan jalan melalui bidang kontak
antara ban dan muka jalan. Untuk keperluan perencanaan tebal
perkerasan jalan, bidang kontak antara roda kendaraan dan perkerasan
jalan diasumsikan berbentuk lingkaran dengan radius sama dengan lebar
ban. Radius bidang kontak ditentukan oleh ukuran dan tekanan ban.
P = π pa2 atau
pπPa = .............................................. (3.1)
dengan:
a = radius bidang kontak
P = beban roda
p = tekanan ban
Dari Rumus 3.1 dapat dilihat bahwa ukuran ban dan tekanan ban
mempengaruhi besarnya beban roda yang akan dilimpahkan keperke-
rasan jalan.
3.1.3 Beban Sumbu
Beban kendaraan dilimpahkan melalui roda kendaraan yang terjadi
berulang kali selama masa pelayanan jalan akibat repetisi kendaraan
yang melintasi jalan tersebut. Titik A pada Gambar 3.4 menerima beban
kendaraan melalui bidang kontaknya sebanyak 2 kali, yaitu akibat
lintasan roda depan dan roda belakang. Titik A terletak pada lajur
lintasan kendaraan bersamaan dengan titik A’. Pada saat yang bersamaan
titik A dan A’ akan menerima beban yang sama. Beban tersebut berupa
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
38
beban roda yang besarnya setengah dari beban sumbu kendaraan.
Perkerasan jalan pada penampang I-I menerima beban berulang
sebanyak lintasan sumbu kendaraan. Jika kendaraan memiliki dua sumbu
maka repetisi beban pada penampang I-I adalah dua kali, dan jika
memiliki 3 sumbu maka repetisi beban adalah 3 kali. Dengan kata lain,
repetisi beban yang diakibatkan oleh satu kendaraan sama dengan
jumlah sumbunya. Oleh karena itu repetisi beban pada perencanaan tebal
perkerasan dinyatakan dengan repetisi lintasan sumbu, bukan lintasan
roda ataupun lintasan kendaraan.
Gambar 3.4 Pelimpahan beban kendaraan ke perkerasan jalan
Setiap kendaraan memiliki letak titik berat sesuai dengan desain
kendaraannya. Besarnya beban kendaraan yang didistribusikan ke
sumbu-sumbunya dipengaruhi oleh letak titik berat kendaraan tersebut.
Dengan demikian setiap jenis kendaraan mempunyai distribusi beban
Lajur lalulintas
I
I
A AA’
A
A’
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
39
yang berbeda-beda. Berat total kendaraan G pada Gambar 3.5 didistri-
busikan ke sumbu depan seberat F1 dan sumbu belakang seberat F2.
Gambar 3.5 Distribusi beban kendaraan ke setiap sumbu
F1 = G l2/l ...................................................................... (3.2)
F2 = G l1/l ...................................................................... (3.3)
dengan:
G = berat kendaraan
F1 = beban sumbu depan
F2 = beban sumbu belakang
l = jarak antara kedua sumbu
l1 = jarak antara titik berat kendaraan dan sumbu depan
l2 = jarak antara titik berat kendaraan dan sumbu belakang
Jika l2/l = A% dan l1/l = B%, berarti berat kendaraan terdistribusi A% ke
sumbu depan dan B% ke sumbu belakang, maka:
F1 = 0,0A G dan F2 = 0,0B G ............................................(3.4)
dengan:
A = persen distribusi berat kendaraan ke sumbu depan
B = persen distribusi berat kendaraan ke sumbu belakang
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
40
Tabel 3.1 menunjukkan distribusi beban sumbu dari berbagai jenis
kendaraan sebagaimana yang diberikan oleh Bina Marga pada Buku
Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan dengan alat Benkelman beam No.
01/MN/BM/83.
Tabel 3.1 Distribusi Beban Sumbu Untuk Berbagai Jenis Kendaraan
Konf
igur
asi
Sum
bu &
Tip
e
Bera
t Ko
song
(t
on)
Beba
n M
uata
n M
aksi
mum
(to
n)
Bera
t To
tal
Mak
sim
um (
ton)
1.1
Mobil Penumpang
1,5 0,5 2,0
1.2 Bus 3 6 9
1.2L Truk 2,3 6 8,3
1.2H Truk 4,2 14 18,2
1.22 Truk 5 20 25
1.2 + 2.2 Trailer 6,4 25 31,4
1.2+ 2 Trailer 6,2 20 26,2
1.2+ 22 Trailer 10 32 42
Sumber : Bina Marga, No. 01/MN/BM/83
S D
34% 66%
S D
18% 28%
D
54%
D
27% 27%
S D
18% 41%
D
41%
S D
18% 28%
D
27%
D
27%
S D
25% 75%
D
37,5%37,5%
S D
34% 66%
S D
34% 66%
50% 50%
S
D
Roda Tunggal Pada Ujung Sumbu Roda Ganda Pada Ujung Sumbu
L = truk ringan H = truk berat
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
41
Perkembangan pesat jenis kendaraan, konfigurasi sumbu, dan muatan
yang dapat diangkut kendaraan sejak 1983 sampai saat ini, mengakibat-
kan banyak jenis kendaraan yang tidak terdapat pada Tabel 3.1.
Distribusi beban sumbu untuk jenis kendaraan yang belum ada dalam
Tabel 3.1 dapat diperoleh melalui survei timbang, atau mempelajari
brosur dari jenis kendaraan tersebut.
Setiap jenis kendaraan yang sama dapat saja mempunyai beban sumbu
yang berbeda, karena kendaraan selalu mengangkut muatan dengan
berat yang tidak selalu sama. Sebagai contoh, truk ringan dengan berat
kosong 2,5 ton dapat dimuati sampai mencapai berat maksimum yang
diizinkan sebesar 8,0 ton. Setiap kali truk tersebut melintasi suatu ruas
jalan, berat truk dapat bervariasi dari 2,5 ton sampai dengan 8,0 ton,
yang tentu saja menghasilkan beban sumbu yang berbeda-beda.
Untuk perencanaan tebal perkerasan jalan sepantasnyalah beban yang
diperhitungkan adalah beban yang mungkin terjadi selama umur rencana
atau masa pelayanan jalan. Beban lalulintas rencana tidak selalu sama
dengan beban maksimum. Perencanaan berdasarkan beban maksimum
akan menghasilkan tebal perkerasan yang tidak ekonomis, tetapi peren-
canaan berdasarkan beban yang lebih kecil dari beban rata-rata yang
digunakan akan menyebabkan struktur perkerasan mengalami kerusakan
sebelum masa pelayanan habis. Pertimbangan yang bijaksana berdasar-
kan data beban kendaraan di lokasi atau sekitar lokasi, dan pertimbangan
faktor pertumbuhan beban dan volume lalulintas yang mungkin terjadi,
sangat tepat untuk dilakukan. Oleh karena itu dalam rangka perencanaan
tebal perkerasan perlu dilakukan survei beban kendaraan, kajian lalu-
lintas, serta analisis dan prediksi pertumbuhan sosio ekonomi.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
42
Survei beban kendaraan
Survei beban kendaraan adalah survei yang diperlukan sehubungan
dengan kebutuhan data tentang berat kendaraan dan distribusi beban
kesumbunya.
Hasil survei beban kendaraan berguna untuk mendapatkan data tentang:
1. berat setiap jenis kendaraan;
2. fluktuasi beban sumbu setiap jenis kendaraan;
3. distribusi beban sumbu setiap jenis kendaraan;
4. mengawasi beban sumbu maksimum.
Alat timbang yang digunakan pada survei beban kendaraan biasanya tipe
portable yang dapat dipindah-pindah sesuai lokasi yang diinginkan. Jenis
alat timbang ada dua, yaitu:
1. Static Weighing, penimbangan dilakukan dengan kendaraan berhenti
di atas alat timbang;
2. Weight-in-Motion (WIM), penimbangan dilakukan dengan kendaraan
melintasi alat timbang dengan kecepatan tertentu.
Sumber:Traffic Monitoring Guide
Gambar 3.6 Contoh alat timbang statis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
43
Keuntungan alat statis yaitu penimbangan akurat, tetapi memiliki kerugi-
an karena perlu lokasi yang aman dan membutuhkan waktu serta sejum-
lah petugas yang bekerja intensif dalam waktu yang pendek.
Keuntungan WIM yaitu alat bekerja menggunakan sensor, sehingga lebih
banyak kendaraan yang dapat ditimbang dalam waktu survei yang sama
sehingga hasil pengujian tidak bias. Kerugian penggunaan WIM adalah
biaya instalasi mahal, dan biaya pemeliharaan alat lebih mahal daripada
alat statis.
Lokasi tempat penimbangan jika digunakan alat timbang statis ditentukan
berdasarkan volume kendaraan berat yang melewati jalan tersebut.
Gambar 3.7 sampai dengan Gambar 3.10 menunjukkan berbagai tipe
lokasi survei timbang. Berdasarkan volume kendaraan berat, ditentukan
tipe lokasi pos timbang dan jumlah sampel yang dibutuhkan seperti pada
Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Jenis Lokasi Pos Timbang Dan Jumlah Sampel
Volume maksimum kendaraan berat/jam Tipe lokasi pos timbang
Jumlah sampel kendaraan berat yang ditimbang
0 – 30 Pos timbang C atau D Semua
31 – 60 Pos timbang A atau B Semua
61 – 120 Pos timbang A atau B Alternatif
121 – 180 Pos timbang A atau B 1 dari 3
180 - 240 Pos timbang A atau B 1 dari 4
Sumber: TRRL Penimbangan dilakukan sebaiknya 7 X 24 jam sehingga diperoleh fluktu-
asi rata-rata dari beban sumbu kendaraan yang melintasi jalan tersebut.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
44
Jika keadaan lokasi tak memungkinkan, survei dapat dikurangi berdasar-
kan pertimbangan setempat, tetapi sebaiknya tidak kurang dari 3 X 16
jam.
Sumber: TRRL Gambar 3.7 Denah lokasi Pos Timbang A
Sumber: TRRL
Gambar 3.8 Denah lokasi Pos Timbang B
Jalur Utama
Kendaraan ringan
Kendaraan ringan
Kendaraan berat
Kendaraan berat Bahu jalan
Pos Timbang
Pos Timbang
Pengawas Lalulintas
Pengawas Lalulintas
Pos Timbang
Jalur Utama Pengawas Lalulintas
Pos Timbang
Kendaraan ringan Pengawas Lalulintas
Kendaraan ringan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
45
Sumber: TRRL Gambar 3.9 Denah lokasi Pos Timbang C
Sumber: TRRL
Gambar 3.10 Denah lokasi Pos Timbang D
Hasil yang diperoleh dari survei beban kendaraan adalah berat roda pada
ujung sumbu yang ditimbang (Gambar 3.6). Dari berat roda diperoleh
beban sumbu. Jika nilai A dan B dari Rumus 3.4 diketahui untuk setiap
jenis kendaraan, maka penimbangan cukup dilakukan untuk satu beban
roda atau satu kelompok roda di ujung sumbu saja (½ F1 atau ½ F2).
Dari hasil penimbangan diperoleh beban atau berat dari setiap jenis
kendaraan (G). Jika tidak tersedia data dan ingin diperoleh nilai G, A, dan
Pos Timbang
Jalur Utama
Pengawas Lalulintas
Kendaraan ringan Pengawas Lalulintas
Kendaraan ringan
Jalur Utama
Kendaraan ringan
Kendaraan ringan
Kendaraan berat
Kendaraan berat
Bahu jalan
Pos Timbang
Pengawas Lalulintas
Pengawas Lalulintas
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
46
B, maka penimbangan dilakukan untuk roda depan dan belakang kenda-
raan (½ F1 dan ½ F2).
Sebagai contoh:
Dari hasil survei beban kendaraan diperoleh beban roda belakang dari
sebuah kendaraan truk seberat 2100 kg. Truk tersebut merupakan truk 2
as dengan jenis sumbu tunggal (kode angka 1.1). Distribusi beban sumbu
depan dan belakang adalah 34% dan 66%.
Jadi:
Beban sumbu belakang = 2 x 2100 kg = 4200 kg.
Beban sumbu depan = 34/66 x 4200 kg = 2200 kg
Berat total truk adalah 6400 kg.
3.1.4 Volume Lalulintas
Volume lalulintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang melewati
satu titik pengamatan selama satu satuan waktu (hari, jam, atau menit).
Lalulintas harian rata-rata adalah volume lalulintas rata-rata dalam satu
hari. Dari lama waktu pengamatan untuk mendapatkan nilai lalulintas
harian rata-rata, dikenal 2 jenis lalulintas harian rata-rata yaitu:
1. Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT), yaitu volume lalulintas
harian yang diperoleh dari nilai rata-rata jumlah kendaraan selama
satu tahun penuh.
LHRT = 365
1tahun dalam kendaraan Jumlah ................ (3.5)
LHRT dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah
tanpa median atau kendaraan/hari/arah untuk jalan 2 jalur dengan
median.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
47
2. Lalulintas Harian Rata-Rata (LHR), yaitu volume lalulintas harian yang
diperoleh dari nilai rata-rata jumlah kendaraan selama beberapa hari
pengamatan.
LHR = pengamatan harijumlah
pengamatan selamakendaraan Jumlah ...... (3.6)
LHR dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah
tanpa median atau kendaraan/hari/arah untuk jalan 2 jalur dengan
median.
Data LHR cukup akurat jika:
a. pengamatan dilakukan pada interval waktu yang dapat menggam-
barkan fluktuasi arus lalulintas selama 1 tahun;
b. hasil LHR yang dipergunakan dalam perencanaan adalah harga
rata-rata dari beberapa kali pengamatan atau telah melalui kajian
lalulintas.
3.1.5 Repetisi Beban Lalulintas
Beban lalulintas berupa berat kendaraan yang dilimpahkan melalui kontak
antara roda dan perkerasan jalan, merupakan beban berulang (repetisi
beban) yang terjadi selama umur rencana atau masa pelayanan jalan.
Konfigurasi dan beban sumbu kendaraan bermacam-macam, sedangkan
repetisi beban dinyatakan dalam lintasan sumbu kendaraan, oleh karena
itu perlu ditentukan cara untuk menyatakan repetisi beban sehingga data
yang diberikan tidak memberi peluang untuk salah menafsirkan besarnya
beban lalulintas.
Saat ini terdapat 2 cara penentuan besarnya beban lalulintas untuk
perencanaan, yaitu dinyatakan dalam:
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
48
1. repetisi lintasan sumbu standar;
2. spektra beban dimana beban lalulintas dinyatakan dalam repetisi
beban sumbu sesuai beban dan konfigurasi kelompok sumbunya.
Repetisi Lintasan Sumbu Standar
Kendaraan yang memiliki berbagai konfigurasi sumbu, roda, dan bervari-
asi dalam total beban yang diangkutnya, diseragamkan dengan meng-
gunakan satuan lintasan sumbu standar (lss), dikenal juga dengan
Equivalent Single Axle load (ESA). Sumbu standar adalah sumbu tunggal
beroda ganda dengan kriteria sebagai berikut:
- beban sumbu 18.000 pon (80 kN);
- lebar bidang kontak ban 4,51 inci (11 cm);
- Jarak antara masing-masing sumbu roda ganda 13,57 inci (33 cm);
- Tekanan pada bidang kontak = 70 pon/inci2.
Sumbu tunggal 18.000 pon yang digunakan sebagai sumbu standar
digambarkan pada Gambar 3.11.
Gambar 3.11 Sumbu standar 18.000 pon
13,57 inci
4,51 inci
18.000 pon
Tekanan angin = 70 pon/inci2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
49
Luas bidang kontak antara ban dan muka jalan sebenarnya berbentuk
elips, tetapi sebagai pendekatan diasumsikan berbentuk lingkaran dengan
radius = 4,51 inci. Luas bidang kontak keempat roda dari sumbu tunggal
= 4 x π x 4,512 = 255,601 inci2.
Jadi beban satu sumbu standar = 255,601 x 70 = 17.892 pon,
dibulatkan menjadi 18.000 pon.
Bina Marga menggunakan satuan metrik sehingga kriteria beban sumbu
standar adalah sebagai berikut:
- beban sumbu 8160 kg;
- tekanan roda 1 ban ± 5,5 kg/cm2 (0,55 Mpa);
- lebar bidang kontak 11cm;
- Jarak antara masing-masing sumbu roda ganda = 33 cm.
Sumbu tunggal 8160 kg yang digunakan sebagai sumbu standar di Indo-
nesia seperti digambarkan pada Gambar 3.12.
Gambar 3.12 Sumbu standar 8160 kg
33 cm
11 cm8.160 kg
Tekanan angin = 5,5 kg/cm2
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
50
Beban lalulintas berasal dari berbagai jenis kendaraan dengan beragam
konfigurasi sumbu dan berat kendaraan. Oleh karena itu dibutuhkan
angka ekivalen (E) yang berguna untuk mengekivalenkan berbagai
lintasan sumbu terhadap sumbu standar. Karena tujuan penyeragaman
satuan ini adalah untuk menyatakan akibat beban terhadap struktur
perkerasan jalan, maka angka ekivalen (E) adalah angka yang menun-
jukkan jumlah lintasan sumbu standar yang menyebabkan kerusakan
yang sama untuk satu lintasan sumbu atau kendaraan yang dimaksud.
Sebagai contoh:
- E sumbu tunggal roda tunggal seberat 2,2 ton = 0,005; ini berarti 1
kali lintasan sumbu tunggal roda tunggal dengan berat 2,2 ton
ekivalen dengan 0,005 kali lintasan sumbu standar, akan menye-
babkan kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan.
- E truk berat 18 ton = 2,5; ini berarti 1 kali lintasan truk dengan berat
18 ton ekivalen dengan 2,5 kali lintasan sumbu standar, akan menye-
babkan kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan.
Satu kendaraan terdiri dari minimal 2 lintasan sumbu, berarti angka
ekivalen (E) untuk setiap jenis kendaraan merupakan jumlah dari angka
ekivalen untuk lintasan semua sumbu yang dimiliki oleh kendaraan
tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya angka ekivalen adalah:
1. Kecepatan kendaraan
Kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi menyebabkan kontak
antara ban dengan muka jalan lebih singkat dibandingkan dengan
yang berkecepatan lebih rendah. Dengan demikian E sumbu kendara-
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
51
an dengan kecepatan tinggi lebih kecil dari pada E sumbu kendaraan
pada kecepatan rendah.
2. Perbedaan mutu struktur perkerasan jalan menyebabkan kemampuan
perkerasan menerima beban tanpa terjadi kerusakan akan berbeda.
Perkerasan dengan mutu lebih baik memiliki kemampuan perkerasan
menerima beban tanpa terjadi kerusakan lebih besar dibandingkan
dengan perkerasan bermutu yang lebih buruk. Dengan demikian E
sumbu kendaraan lebih kecil jika mutu perkerasan semakin baik.
3. Luas bidang kontak antara ban dan muka jalan.
Hal ini dipengaruhi oleh konfigurasi sumbu, jumlah roda, jenis dan
tekanan ban. Sumbu tandem dan atau roda ganda mempunyai jumlah
luas bidang kontak yang lebih luas dari sumbu tunggal dan atau roda
tunggal. Berarti E lintasan sumbu kendaraan untuk sumbu tandem
dan atau roda ganda lebih kecil dari E lintasan sumbu kendaraan
untuk sumbu tunggal dan atau roda tunggal.
4. Kelandaian jalan.
Pada jalan menanjak kendaraan bergerak dengan kecepatan lebih
rendah daripada di jalan datar, sehingga kontak antara ban dan muka
jalan menjadi lebih lama. Dengan demikian E lintasan sumbu kenda-
raan pada daerah tanjakan lebih besar dari E lintasan sumbu
kendaraan pada daerah datar.
5. Beban sumbu kendaraan
Beban kendaraan didistribusikan ke sumbu-sumbunya sesuai dengan
berat total kendaraan. Beban sumbu menjadi lebih besar jika berat
total kendaraan lebih berat, walaupun dengan konfigurasi sumbu
yang sama. Dengan demikian E sumbu kendaraan yang lebih berat
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
52
akan lebih besar dari pada E sumbu kendaraan dengan beban lebih
ringan.
6. Fungsi jalan.
Kendaraan yang melintasi jalan penghubung 2 kota umumnya berke-
cepatan tinggi dan dengan jenis kendaraan pengangkut beban yang
lebih berat. Kecepatan kendaraan di dalam kota relatif lebih rendah
akibat banyaknya persimpangan. Dengan demikian E lintasan sumbu
kendaraan secara tak langsung dipengaruhi juga oleh fungsi jalan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa 4 faktor utama yang
mempengaruhi nilai angka ekivalen, yaitu konfigurasi sumbu kendaraan,
beban sumbu, mutu struktur perkerasan, dan kecepatan kendaraan.
Setiap kondisi yang dapat mempengaruhi keempat faktor tersebut, akan
mempengaruhi pula nilai angka ekivalen E. Penentuan besarnya nilai E
ditentukan berdasarkan metode yang digunakan (Baca juga Bab 4, Bab 5,
Bab 6 dan Bab 7).
Spektra Beban Sumbu
Beban kendaraan yang dilimpahkan keperkerasan jalan melalui kontak
antara roda dan muka jalan bervariasi sesuai konfigurasi sumbu dan
jumlah roda di ujung masing-masing sumbu. Berbagai metode dilakukan
untuk menggambarkan variasi beban sumbu ini, antara lain dengan
mengekivalenkan ke dalam lintasan sumbu standar 18.000 pon seperti
diuraikan sebelum ini. Di samping metode mengekivalenkan ke sumbu
standar, variasi beban sumbu dapat digambarkan dalam bentuk spektra
beban. Beban lalulintas yang dinyatakan dengan spektra beban sumbu
digunakan pada perencanaan tebal perkerasan kaku dan mulai digunakan
untuk perencanaan tebal perkerasan lentur yang menggunakan metode
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
53
mekanistik-empirik. Beban sumbu pada metode spektra beban dikelom-
pokkan berdasarkan konfigurasi dan rentang beban sumbu.
Contoh spektra beban sumbu kendaraan seperti pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Contoh Spektra Beban Sumbu Kendaraan Jumlah lintasan sumbu kendaraan/hari/2 arah Beban sumbu
(ton) Tunggal Ganda Tripel
< 5 5000 400 100
5-10 3000 2000 500
10-15 200 5000 800
15-20 6 1500 900 3.1.6 Beban Lalulintas Pada Lajur Rencana
Data volume lalulintas dalam satuan kendaraan/hari tidak mencerminkan
repetisi beban lalulintas yang diterima oleh struktur perkerasan jalan.
Sebagai contoh, struktur perkerasan jalan dengan volume 5000 kenda-
raan/hari/2 arah pada jalan 2 lajur 2 arah (Gambar 3.13a) menerima
repetisi beban yang lebih berat dibandingkan dengan volume yang sama
tetapi melintasi jalan 4 lajur 2 arah (Gambar 3.13b). Dengan demikian
data volume lalulintas dengan satuan kendaraan/hari/2 arah atau
kendaraan/hari/arah tidak akurat untuk menyatakan repetisi beban
lalulintas pada perencanaan tebal perkerasan jalan.
Salah satu lajur pada jalan 2 lajur 2 arah, atau lajur paling kiri dari salah
satu arah lalulintas pada jalan 4 lajur 2 arah menerima repetisi beban
yang lebih berat dibandingkan dengan lajur yang lain. Lajur tersebut
disebut sebagai lajur rencana. Lajur rencana adalah lajur lalulintas yang
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
54
menerima beban berulang (repetisi beban) lebih sering dan dengan
komposisi beban kendaraan yang lebih berat.
a. Jalan 2 lajur 2 arah b. jalan 4 lajur 2 arah
Gambar 3.13 Berbagai tipe jalan
Repetisi beban lalulintas pada lajur rencana ditentukan dengan
memperhatikan volume dan distribusi berbagai jenis kendaraan ke setiap
lajur. Rumus untuk menentukan repetisi beban ke lajur rencana dari
berbagai jenis kendaraan dan konfigurasi sumbu adalah sebagai berikut:
Q = ∑ LHRi x DA x DL ....................................................... (3.7)
atau
Q = ∑ LHRTi x DA x DL ..................................................... (3.8)
atau
Q = ∑ LHRTi x Ci ............................................................. (3.9)
atau
Q = ∑ LHRi x Ci ........................................................... (3.10)
dengan:
Q = repetisi beban lalulintas ke lajur rencana,
kendaraan/hari/lajur
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
55
DA = koefisien distribusi arah untuk jenis kendaraan i
DL = koefisien distribusi ke lajur rencana dari 1 arah
lalulintas untuk jenis kendaraan i
Ci = koefisien distribusi arus lalulintas 2 arah ke lajur
rencana untuk jenis kendaraan i
= DA x DL
LHRTi = Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan untuk jenis
kendaraan i, kendaraan/hari/2 arah
LHRi = Lalulintas Harian Rata-Rata untuk jenis kendaraan i,
kendaraan/hari/2 arah
3.2 Daya Dukung Tanah Dasar
Tanah dasar dapat terdiri dari tanah dasar tanah asli, tanah dasar tanah
galian, atau tanah dasar tanah urug yang disiapkan dengan cara dipa-
datkan. Di atas lapisan tanah dasar diletakkan lapisan struktur perkerasan
lainnya, oleh karena itu mutu daya dukung tanah dasar ikut mempe-
ngaruhi mutu jalan secara keseluruhan.
Berbagai parameter digunakan sebagai penunjuk mutu daya dukung
tanah dasar seperti California Bearing Ratio (CBR), modulus resilient
(MR); penetrometer konus dinamis (Dynamic Cone Penetrometer), atau
modulus reaksi tanah dasar (k). Pemilihan parameter mana yang akan
digunakan, ditentukan oleh kondisi tanah dasar yang direncanakan dan
metode perencanaan tebal perkerasan yang akan dipilih.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
56
3.2.1 Pengujian California Bearing Ratio (CBR)
CBR yang dinyatakan dalam persen, adalah perbandingan antara beban
yang dibutuhkan untuk penetrasi sedalam 0,1 inci atau 0,2 inci antara
contoh tanah dengan batu pecah standar. Nilai CBR adalah nilai empiris
dari mutu tanah dasar dibandingkan dengan mutu batu pecah standar
yang memiliki nilai CBR 100%. Pengujian CBR di laboratorium mengikuti
SNI 03-1744 atau AASHTO T193. Alat pengujian terdiri dari piston
dengan luas 3 inci2 yang digerakkan dengan kecepatan 0,05 inci/menit,
vertikal ke bawah. Proving ring digunakan untuk mengukur beban yang
dibutuhkan pada penetrasi tertentu, sedangkan arloji pengukur untuk
mengukur dalamnya penetrasi. Alat uji CBR di laboratorium seperti pada
Gambar 3.14. Beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi batu
pecah standar seperti pada Tabel 3.4.
Gambar 3.14 Alat pengujian CBR di laboratorium
Proving ring
Rangka alat
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
57
Tabel 3.4 Beban Untuk Melakukan Penetrasi Batu Pecah Standar
Penetrasi, inci Beban Standar, pon Beban standar, pon/inci2
0,1 3000 1000
0,2 4500 1500
0,3 5700 1900
0,4 6900 2300
0,5 7800 6000 Sumber: AASHTO T 193
Jenis CBR
Berdasarkan kondisi benda uji, CBR dibedakan atas:
1. CBR rencana;
2. CBR lapangan;
3. CBR lapangan rendaman.
CBR rencana, disebut juga CBR laboratorium atau design CBR, adalah
pengujian CBR dimana benda uji disiapkan dan diuji mengikuti SNI 03-
1744 atau AASHTO T 193 di laboratorium.
CBR rencana digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah dasar,
dimana pada saat perencanaan lokasi tanah dasar belum disiapkan
sebagai lapis tanah dasar struktur perkerasan. Perencanaan tebal
perkerasan jalan baru pada umumnya menggunakan jenis CBR ini
sebagai penunjuk daya dukung tanah dasar. Jenis CBR ini digunakan
untuk menentukan daya dukung tanah dasar pada kondisi tanah dasar
akan dipadatkan lagi sebelum struktur perkerasan dilaksanakan.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
58
Sebagai contoh digambarkan kondisi sebagai berikut:
Lapis tanah dasar dari struktur perkerasan jalan baru direncanakan
merupakan tanah dasar tanah asli. Lokasi tanah dasar pada tahap
perencanaan merupakan tanah sawah. Ini berarti tahap pelaksanaan
konstruksi akan dimulai dengan pekerjaan tanah mempersiapkan lapis
tanah dasar yang diakhiri dengan pemadatan tanah. Oleh karena itu jenis
CBR yang sesuai untuk menyatakan daya dukung tanah dasar sebagai
parameter perencanaan tebal perkerasan adalah CBR rencana atau CBR
laboratorium.
CBR lapangan, dikenal juga dengan nama CBRinplace atau field CBR,
adalah pengujian CBR yang dilaksanakan langsung dilapangan, di lokasi
tanah dasar rencana. Prosedur pengujian mengikuti SNI 03-1738 atau
ASTM D 4429.
CBR lapangan digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah dasar
dimana tanah dasar direncanakan tidak lagi mengalami proses pemadat-
an atau peningkatan daya dukung tanah sebelum lapis pondasi dihampar
dan pada saat pengujian tanah dasar dalam kondisi jenuh. Dengan kata
lain perencanaan tebal perkerasan dilakukan berdasarkan kondisi daya
dukung tanah dasar pada saat pengujian CBR lapangan itu.
Pengujian dilakukan dengan meletakkan piston pada elevasi dimana nilai
CBR hendak diukur, lalu dipenetrasi dengan menggunakan beban yang
dilimpahkan melalui gandar truk ataupun alat lainnya dengan kecepatan
0,05 inci/menit. CBR ditentukan sebagai hasil perbandingan antara beban
yang dibutuhkan untuk penetrasi 0,1 atau 0,2 inci benda uji dengan
beban standar. Gambar 3.15 dan Gambar 3.16 menggambarkan alat dan
pengujian CBR lapangan.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
59
cincin penguji
torak penetrasi
sweavel head
Dongkrak Mekanis
engkol
Sumber: SNI 03-1738-1989
Gambar 3.15 Alat CBR Lapangan
Gambar 3.16 UJi CBR Lapangan
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
60
CBR lapangan rendaman disebut juga undisturbed soaked CBR, adalah
pengujian CBR di laboratorium tetapi benda uji diambil dalam keadaan
”undisturbed” dari lokasi tanah dasar dilapangan. CBR lapangan ren-
daman diperlukan jika dibutuhkan nilai CBR pada kondisi kepadatan
dilapangan, tetapi dalam keadaan jenuh air, dan tanah mengalami
pengembangan (swell) yang maksimum, sedangkan pengujian dilakukan
pada saat kondisi tidak jenuh air, seperti pada musim kemarau.
Pengujian dilakukan dengan mengambil benda uji menggunakan mold
yang dilengkapi kaki pemotong. Untuk mendapatkan benda uji ”undis-
turbed” mold ditekan masuk kedalam tanah mencapai elevasi tanah dasar
rencana. Mold berisi benda uji dikeluarkan dari dalam tanah, dibawa ke
laboratorium untuk direndam dalam air selama lebih kurang 4 hari, sam-
bil diukur pengembangannya (swell). Pengujian dengan menggunakan
alat CBR dilaksanakan setelah pengembangan tak lagi terjadi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan asal tanah
untuk membuat benda uji dan jenis pengujian CBR
Benda uji yang disiapkan untuk pengujian CBR adalah benda uji yang
memodelkan kondisi lapisan tanah dasar dari struktur perkerasan jalan.
Oleh karena itu dalam mempersiapkan benda uji perlu diperhatikan hal-
hal sebagai berikut:
1. jenis lapisan tanah dasar, apakah tanah berbutir halus dengan
plastisitas rendah, tanah berplastisitas tinggi, atau tanah berbutir
kasar. Hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan tanah dalam
menahan air dan effeknya terhadap pengembangan.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
61
2. elevasi rencana dari lapis tanah dasar, apakah merupakan elevasi
tanah galian, tanah urug, atau sesuai dengan muka tanah asli. Benda
uji harus disiapkan dari tanah yang direncanakan sebagai lapis tanah
dasar (subgrade). Oleh karena itu contoh tanah harus berasal dari:
a. permukaan tanah jika elevasi lapis tanah dasar sama dengan
elevasi muka tanah.
b. material yang nantinya akan digunakan sebagai tanah urug, jika
elevasi lapisan tanah dasar rencana terletak di atas tanah urugan.
c. berasal dari lubang bor atau sumur uji (test pit) pada elevasi yang
direncanakan sebagai lapis tanah dasar. Hal ini ditemui jika elevasi
lapis tanah dasar direncanakan terletak pada tanah galian. Contoh
tanah diambil dari lubang bor jika elevasi lapis tanah dasar rencana
terletak jauh dari muka tanah saat ini, sedangkan sumur uji
digunakan jika elevasi lapis tanah dasar rencana tidak terlalu dalam
dan memungkinkan untuk membuat sumur uji. Penentuan nilai CBR
rencana untuk contoh tanah yang berasal dari lubang bor hanya
mungkin dilakukan dengan menggunakan korelasi dengan klasifi-
kasi tanah, sedangkan untuk contoh tanah dari sumur uji dilakukan
pengujian mengikuti SNI 03-1744 atau AASHTO T 193.
3.2.2 Nilai CBR Dari Satu Titik Pengamatan
Daya dukung tanah dasar dinyatakan dengan nilai CBR yang
menunjukkan daya dukung tanah sedalam 100 cm. Kadangkala lapis
tanah dasar sedalam 100 cm itu memiliki nilai CBR yang berbeda-beda
seperti pada Gambar 3.17. Untuk itu perlu ditentukan nilai CBR yang
mewakili satu titik pengamatan dengan menggunakan Rumus 3.11[Japan
Road Ass].
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
62
Lapis pertama h1, CBR1
Lapis kedua h2, CBR2
Lapis ke n hn, CBRn
Gambar 3.17 Lapisan tanah di bawah satu titik pengamatan
CBRttk pengamatan = 33
nn3
11 )h
CBR.........hCBRh(
+ ....................... ( 3.11)
dengan:
h1 + h2 +...........+ hn = h cm
hn = tebal tiap lapisan tanah ke n
CBRn = nilai CBR pada lapisan ke n
3.2.3 CBR Segmen Jalan
Jalan dalam arah memanjang dapat melintasi berbagai jenis tanah dan
kondisi medan yang berbeda. Mutu daya dukung lapisan tanah dasar
dapat bervariasi dari jelek sampai dengan baik atau sebaliknya. Dengan
demikian tidak ekonomis jika perencanaan tebal lapisan perkerasan jalan
berdasarkan nilai yang terjelek dan tidak pula memenuhi syarat jika
berdasarkan hanya nilai terbesar saja. Oleh karena itu sebaiknya panjang
jalan dibagi atas beberapa segmen jalan. Setiap segmen jalan memiliki
mutu daya dukung tanah dasar yang hampir sama. Jadi, segmen jalan
100 cm
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
63
adalah bagian dari ruas jalan yang memiliki mutu daya dukung, sifat
tanah, dan keadaan lingkungan yang relatif sama.
Pengujian CBR sebaiknya dilakukan setiap jarak 250 meter dan ditambah
ketika ditemuinya perubahan jenis tanah atau kondisi lingkungan.
Gambar 3.18 menunjukkan ilustrasi banyaknya titik pengamatan CBR
pada satu ruas jalan. Untuk alasan efisiensi interval pengujian CBR dapat
diperbesar, tetapi perlu pengendalian mutu pada pelaksanaan. Jika dite-
mui kondisi berbeda dengan yang diasumsikan pada desain, maka re-
desain wajib dilaksanakan.
segmen jalan x x x x x x x x x 250m 250m
x = titik pengamatan, daya dukung diwakili oleh CBRtitik pengamatan
segmen = bagian dari ruas jalan dengan CBRtitik pengamatan yang relatif sama,
daya dukung diwakili oleh CBRsegmen
ruas = bagian jalan antara 2 simpang
Gambar 3.18 Ilustrasi tentang titik pengamatan CBR , segmen, dan ruas jalan
Setiap segmen mempunyai satu nilai CBR yang mewakili mutu daya
dukung tanah dasar untuk digunakan pada perencanaan tebal lapisan
perkerasan segmen jalan tersebut.
ruas jalan
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
64
Nilai CBRsegmen ditentukan dengan mempergunakan metode analitis
ataupun dengan metode grafis.
Metode analitis
Beberapa metode analitis dapat digunakan untuk menentukan CBRsegmen,
antara lain:
1. Berdasarkan nilai simpangan baku dan nilai rata-rata dari CBR yang
ada dalam satu segmen.
CBRsegmen = CBRrata-rata – K.S ............................................ (3.12)
dengan:
CBRsegmen = CBR yang mewakili nilai CBR satu segmen
CBRrata-rata = CBR rata-rata dalam satu segmen
S = nilai simpangan baku dari seluruh data yang ada
dalam satu segmen
K = konstanta yang ditentukan berdasarkan
tingkat kepercayaan yang digunakan, yaitu:
K = 2,50; jika tingkat kepercayaan = 98%
K = 1,96; jika tingkat kepercayaan = 95%
K = 1,64; jika tingkat kepercayaan = 90%
K = 1,00; jika tingkat kepercayaan = 68%
2. Metode Japan Road Ass[Japan Road Ass]:
CBRsegmen = CBRrata-rata - (CBRmaks - CBRmin)/R ...................... (3.13)
dengan:
CBRsegmen = CBR yang mewakili nilai CBR satu segmen
CBRrata-rata = CBR rata-rata dalam satu segmen
CBRmaks = CBR maksimum dalam satu segmen
CBRmin = CBR minimum dalam satu segmen
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
65
R = konstanta seperti pada Tabel 3.5, berdasarkan jumlah
data CBR titik pengamatan dalam satu segmen.
Nilai CBRsegmen menggunakan Rumus 3.12 hampir sama dengan nilai yang
diperoleh dengan Rumus 3.13, untuk nilai K = 1.
Tabel 3.5 Nilai R Untuk Menghitung CBRsegmen
Jumlah titik pengamatan Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
10 3,18
Sumber:Japan Road Ass
Metode grafis
Nilai CBRsegmen dengan menggunakan metode grafis merupakan nilai
persentil ke 90 dari data CBR yang ada dalam satu segmen.
CBRsegmen adalah nilai CBR dimana 90% dari data yang ada dalam segmen
memiliki nilai CBR lebih besar dari nilai CBRsegmen.
Langkah – langkah menentukan CBRsegmen menggunakan metode grafis
adalah sebagai berikut :
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
66
1. Tentukan nilai CBR terkecil.
2. Susunlah nilai CBR dari yang terkecil ke yang terbesar, dan tentukan
jumlah data dengan nilai CBR yang sama atau lebih besar dari setiap
nilai CBR. Pekerjaan ini disusun secara tabelaris.
3. Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan
persentase dari 100%.
4. Gambarkan hubungan antara nilai CBR dan persentase dari Butir 3
5. Nilai CBRsegmen adalah nilai pada angka 90% sama atau lebih besar dari
nilai CBR yang tertera.
Contoh perhitungan:
Dari hasil pengujian CBR di sepanjang ruas jalan antara Sta 0+000
sampai dengan STA 4+250 diperoleh nilai CBR titik pengamatan sebagai
berikut:
STA CBR titik
pengamatan (%)
STA CBR titik
pengamatan (%)
0+000 6 2+250 10
0+250 7 2+500 11
0+500 6 2+750 14
0+750 6 3+000 12
1+000 8 3+250 15
1+250 7 3+500 13
1+500 8 3+750 16
1+750 9 4+000 16
2+000 8 4+250 14
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
67
Berdasarkan data CBR tersebut, maka ruas jalan dibagi menjadi 2
segmen yaitu:
- segmen pertama antara STA 0+000 sampai dengan STA 2+000
- segmen kedua antara STA 2+250 sampai dengan 4+250
Contoh perhitungan hanya untuk segmen pertama saja.
1. Dengan menggunakan metode analitis:
a. Berdasarkan nilai simpangan baku dan nilai rata-rata dari CBR yang
ada dalam satu segmen.
CBR rata-rata segmen pertama = 7,22%
Simpangan baku data = 1,09
Tingkat kepercayaan 68%, jadi K = 1
Dengan menggunakan Rumus 3.12 diperoleh:
CBRsegmen untuk segmen pertama = 7,22 – (1) (1,09) = 6,13%,
dibulatkan menjadi 6%.
b. Metode Japan Road Ass:
CBR maksimum = 9%
CBR minimum = 6%
CBR rata-rata = 7,22%
Jumlah data ada 9, dari Tabel 3.5 diperoleh R = 3,08
Dengan menggunakan Rumus 3.13 diperoleh:
CBRsegmen untuk segmen pertama = 7,22 - (9 - 6)/3,08 = 6,25 %,
dibulatkan menjadi 6%.
2. Metode grafis
Untuk metode grafis, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. nilai CBR terendah = 6%;
b. buat tabel seperti Tabel 3.6 yang menunjukkan jumlah data dengan
nilai yang sama atau lebih besar dari nilai CBR yang diamati;
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
68
c. gambarkan hubungan nilai CBR dengan persentase jumlah data
dengan nilai sama atau lebih besar dari CBR yang diamati (Gambar
3.19);
d. Nilai CBR dengan 90% data yang ada lebih besar atau sama adalah =
6,3%. Jadi, CBRsegmen untuk segmen pertama jika dibulatkan = 6%.
Dari contoh perhitungan diperoleh bahwa dengan menggunakan ketiga
metode diperoleh nilai CBR segmen yang sama yaitu 6%.
Tabel 3.6 Contoh Menentukan CBRsegmen Dengan Metode Grafis
CBR, % Jumlah data dengan nilai CBR yang sama
atau lebih besar
Persen data yang sama atau lebih besar
6 9 100 %
7 6 6/9 x 100 % = 66,7 %
8 4 4/9 x 100 % = 44,4 %
9 1 1/9 x 100 % = 11,1 %
Gambar 3.19 Contoh menentukan CBRsegmen dengan metode grafis
0
25
50
75
100 90 CBRsegmen
CBR
= 6,3 % ≈ 6 %
6 7 8 9 10
% y
ang
sam
a at
au le
bih
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
69
3.2.4 Penetrometer Konus Dinamis/Dynamic Cone Penetrometer
Daya dukung lapisan tanah dasar yang telah dipadatkan dapat diukur
langsung dilapangan dengan melakukan pengujian CBR lapangan atau
korelasi dari nilai empiris hasil pengujian penetrometer konus dinamis
(Dynamic Cone Penetrometer), dikenal dengan DCP. Alat ini banyak
digunakan di Indonesia sejak tahun 1980.
Alat DCP digunakan untuk mendapatkan data daya dukung tanah dasar
sampai kedalaman 90 cm di bawah permukaan tanah dasar. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan alat seperti pada Gambar 3.20.
Pemberat atau penumbuk seberat 9,07 kg (20 pon) dijatuhkan dari
ketinggian 50,8 cm (20 inci) melalui sebuah batang atau stang baja
berdiameter 16 mm (5/8 inci). Ujung batang atau stang berbentuk konus
dengan luas 1,61 cm2 (½ inci2) bersudut 30o atau 60o.
Analisis data lapangan dilakukan dengan menggunakan nilai kumulatif
tumbukan untuk mencapai kedalaman penetrasi tertentu seperti pada
Rumus 3.14.
DN = ND
............................................................. (3.14)
dengan:
D = kedalaman penetrasi, mm
N = jumlah pukulan untuk mencapai kedalaman D mm
Tabel 3.7 adalah contoh hasil uji alat DCP, sedangkan Gambar 3.21
menunjukkan korelasi antara jumlah tumbukan dan dalamnya penetrasi
yang dapat dicapai.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
70
Gambar 3.20 Penetrometer Konus Dinamis (DCP)
Penumbuk Jatuh bebas
D1
meteran
D
(a) (b) (c)
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
71
Tabel 3.7 Contoh Hasil Pengujian Dengan Alat DCP
Banyak tumbukan
Kumulatif tumbukan
Kumulatif penetrasi
(mm)
DN (mm/tumbu
kan) CBR (%)
0 0
5 5 65
5 10 80
5 15 130
5 20 200
5 25 210
8,4
41
5 30 270
5 35 330
5 40 380
5 45 475
5 50 575
5 55 585
5 60 610
12,1
22
5 65 670
5 70 700
5 75 720
5 80 890
5 85 810
5 90 840
7,3
58
Dari Gambar 3.21 diperoleh bahwa ada 3 lapis di bawah titik pengamatan
dengan kecepatan penetrasi yang sama yaitu:
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
72
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Kumulatif Jumlah TumbukanK
um
ula
tif
Pen
etra
si (
mm
)
Gambar 3.21 Hubungan antara jumlah pukulan dan kedalaman penetrasi
a. kedalaman 0 sampai dengan kedalaman 210 mm,
dengan DN1 = )025()0210(
−−
= 8,4 mm/tumbukan;
b. kedalaman 210 mm sampai dengan kedalaman 610 mm,
dengan DN2 = )2558(
)210610(−−
= 12,1 mm/tumbukan;
c. kedalaman 610 mm sampai dengan kedalaman 900 mm,
dengan DN3 = )5898(
)610900(−− = 7,3 mm/tumbukan.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
73
Korelasi nilai DCP dengan CBR
Daya dukung tanah berbanding terbalik dengan kecepatan penetrasi yang
ditunjukkan dengan nilai mm/tumbukan.
Rumus 3.15 dan Rumus 3.16 digunakan untuk korelasi antara nilai CBR
dengan DN hasil uji dengan alat DCP.
DCP kerucut 600:
Log10 (CBR) = 2,8135 – 1,313 Log10 DN .................................... (3.15)
DN dalam mm/tumbukan
DCP kerucut 300:
Log10 (CBR) = 1,352 – 1,125 Log10 DN ...................................... (3.16)
DN dalam cm/tumbukan
Dengan menggunakan contoh pada Tabel 3.7, maka hasil uji dengan alat
DCP dari satu titik pengamatan diperoleh sebagai berikut:
1. Jika yang digunakan adalah alat DCP dengan konus 60o, maka
dengan menggunakan Rumus 3.15 diperoleh:
a. lapis ketebalan 0 – 210 mm, CBR = 39,8%
b. lapis ketebalan 210 – 610 mm, CBR = 24,7%
c. lapis ketebalan 610 – 900 mm, CBR = 47,9%
CBRtitik pengamatan = 3333
)90
9,47297,24408,3921( ++
CBRtitik pengamatan = 34,7%
2. Jika yang digunakan adalah alat DCP dengan konus 30o, maka
dengan menggunakan Rumus 3.16 diperoleh:
a. lapis ketebalan 0 – 210 mm, CBR = 27,4%
b. lapis ketebalan 210 – 610 mm, CBR = 18,2%
c. lapis ketebalan 610 – 900 mm, CBR = 32,1%
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
74
CBRtitik pengamatan = 3333
)90
1,32292,18404,2721( ++
CBRtitik pengamatan = 24,2%
CBR yang diperoleh dengan menggunakan alat DCP ini adalah CBR
lapangan, sehingga penggunaannya disesuaikan dengan yang telah
diuraikan pada Bab 3.2.1.
3.2.5 Modulus resilient (MR)
AASHTO sejak 1986 menggunakan modulus resilient sebagai parameter
penunjuk daya dukung lapis tanah dasar atau subgrade, menggantikan
CBR yang selama ini digunakannya. Cara uji MR di laboratorium dilakukan
dengan memodelkan beban kendaraan yang diperkirakan akan meng-
gunakan perkerasan selama umur rencana. Kerugian menggunakan cara
uji ini adalah lebih kompleks, membutuhkan biaya yang lebih tinggi, dan
waktu yang lebih lama.
Modulus resilient adalah perbandingan antara nilai deviator stress, yang
menggambarkan repetisi beban roda dan recoverable strain. Perbedaan
pengertian antara modulus elastisitas (E) dan modulus resilient (MR)
ditunjukkan seperti pada Gambar 3.22.
Modulus elastisitas menunjukkan perbandingan antara σd dan deformasi
tetap (permanent deformation), sedangkan modulus resilient adalah
perbandingan antara σd dan deformasi yang dapat kembali lagi (recover-
able deformation).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
75
Sumber:Tutumluer
Gambar 3.22 Perbedaan antara modulus elastisitas (E) dan modulus resilient (MR)
Dari Gambar 3.22 diperoleh:
MR = r
d
εσ ..................................................... (3.17)
dengan:
MR = modulus resilient
σd = σ1 - σ3
εr = recoverable strain/ recoverable deformation
Gambar 3.23 menunjukkan pemahaman tentang recoverable deformation
dan permanent deformation akibat repetisi beban lalulintas dan waktu.
C L
σ3 σ3
σ3
σd
σd
Deviator Stress σd = σ1-σ3
E MR MR = σd / εr
0Axial
Strain ε1 εpermanent εrecoverable
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
76
Sumber:Tutumluer
Gambar 3.23 Recoverable deformation dan permanent deformation
Nilai MR dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kadar air, derajat
kejenuhan, kepadatan, temperatur, jumlah butir halus, dan gradasi.
Pengujian di laboratorium dapat menggunakan alat triaxial dengan beban
berulang (cyclic triaxial test), Universal Material Testing Apparatus
(UMATTA), atau analisis hasil pengujian non-destructive test dengan
menggunakan alat falling weight deflectometer (FWD).
MR untuk tanah dasar dapat pula diperoleh melalui korelasi dengan nilai
CBR seperti pada Rumus 3.18[Heukelom & Klomp seperti AASHTO 1993] dan Rumus
3.19[Olidis]. Rumus 3.18 yang diadopsi oleh AASHTO’93, dan Bina Marga,
berlaku untuk tanah berbutir halus, nonexpansive, dengan nilai CBR
rendaman kurang atau sama dengan 10. Rumus 3.19 menghasilkan nilai
MR yang lebih rendah.
Permanent Deformation
Deformation
Recoverable Deformation
Waktu
CL
σ3 σ3
σ3
σd
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
77
MR = 1500 (CBR), MR dalam psi ...................................... (3.18)
MR = 2555 (CBR)0,64, MR dalam psi .................................. (3.19)
Nilai MR untuk tanah dasar tanah galian diperoleh berdasarkan korelasi
dengan hasil klasifikasi tanah. Benda uji untuk menentukan klasifikasi
tanah diperoleh melalui lubang bor pada elevasi tanah dasar rencana.
Tabel 3.8 dan Tabel 3.9. menunjukkan nilai korelasi MR dengan klasifikasi
AASHTO dan USCS.
Tabel 3.8 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi AASHTO dan CBR
Klasifikasi Rentang CBR
(%) Rentang MR (ksi)
MR rencana (ksi)
A-7-6 1 - 5 2,5 – 7 4
A-7-5 2 - 8 4 - 9,5 6
A-6 5 - 15 7 – 14 9
A-5 8 - 16 9 – 15 11
A-4 10 - 20 12 – 18 14
A-3 15 - 35 14 – 25 18
A-2-7 10 - 20 12 – 17 14
A-2-6 10 - 25 12 – 20 15
A-2-5 15 - 30 14 - 22 17
A-2-4 20 - 40 17 - 28 21
A-1-b 35 - 60 25 - 35 29
A-1-a 60 - 80 30 - 42 38
Sumber: Witczak, 2001
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
78
Tabel 3.9 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi USCS dan CBR
Klasifikasi Rentang CBR (%) Rentang MR (ksi) MR rencana
(ksi) CH 1 – 5 2,5 – 7 4
MH 2 – 8 4 – 9,5 6
CL 5 – 15 7 – 14 9
ML 8 – 16 9 – 15 11
SW 20 – 40 12 – 28 21
SP 15 – 30 14 – 22 17
SW – SC 10 – 25 12 – 20 15
SW – SM 15 – 30 14 – 22 17
SP – SC 10 – 25 12 – 20 15
SP – SM 15 – 30 14 – 22 17
SC 10 – 20 12 – 17 14
SM 20 – 40 17 – 28 21
GW 60 – 80 35 – 42 38
GP 35 – 60 25 – 35 29
GW - GC 20 – 60 17 – 35 24
GW - GM 35 – 70 25 – 38 30
GP - GC 20 – 50 17 – 32 23
GP - GM 25 – 60 20 – 35 26
GC 15 – 40 14 – 28 20
GM 30 – 80 22 – 42 30 Sumber: Witczak, 2001 3.2.6 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Penetapan Daya
Dukung Tanah Dasar
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada penetapan daya dukung
tanah dasar adalah:
1. Nilai CBR rencana atau MR rencana untuk tanah dasar tanah galian
jalan baru, diperoleh berdasarkan klasifikasi dari contoh tanah yang
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
79
diambil dengan menggunakan alat bor. Jika terjadi perbedaan yang
cukup berarti antara CBR pada saat pelaksanaan dengan CBR rencana,
maka perlu dilakukan redesain tebal perkerasan jalan.
2. Nilai CBR rencana atau MR rencana untuk tanah dasar tanah urug,
diperoleh berdasarkan benda uji dari calon tanah urug (borrow
material). Jika terjadi perbedaan yang cukup berarti antara CBR pada
saat pelaksanaan dengan dengan nilai CBR rencana, maka perlu
dilakukan redesain tebal perkerasan jalan.
3. Pada lokasi rencana jalan yang mempunyai intensitas hujan yang
tinggi, perhatian terhadap drainase harus ditingkatkan sehingga mutu
daya dukung tanah dasar dapat maksimal.
4. Keakuratan dan ketelitian data daya dukung tanah dasar mem-
pengaruhi hasil perencanaan tebal perkerasan. Hasil perencanaan
dapat kurang tebal dibandingkan dengan yang dibutuhkan sehingga
umur rencana tidak tercapai, dan berdampak biaya rehabilitasi dan
pemeliharaan meningkat. Sebaliknya, jika tebal perkerasan terlalu
tebal berakibat biaya pertama (initial cost) tidak efisien.
5. Pada segmen dimana terdapat daerah dengan daya dukung buruk
yaitu nilai CBR lebih kecil dari nilai CBR segmen, sebaiknya terlebih
dahulu dievaluasi penyebab kondisi tersebut. Dari hasil analisis
ditentukan apakah perlu perbaikan tanah atau perlu sistem drainase di
lokasi tersebut.
6. Tanah dasar yang direncanakan sebagai hasil stabilisasi dari tanah asli,
seperti stabilisasi dengan semen, kapur, atau penguatan tanah meng-
gunakan geotextile, tensar, atau sejenisnya, maka nilai CBR atau MR
rencana yang dipergunakan untuk desain adalah nilai CBR atau MR
rencana setelah tanah dasar di stabilisasi atau diperkuat. Perlu
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
80
pertimbangan yang seksama dalam memodelkan keadaan ini di
laboratorium.
3.3. Fungsi Jalan
Fungsi jalan dapat menggambarkan jenis kendaraan pengguna jalan dan
beban lalu lintas yang akan dipikul oleh struktur perkerasan jalan.
Sebagai contoh, lalu lintas angkutan barang yang menggunakan truk
berat, trailer tunggal, atau trailer ganda pada umumnya melintasi jalan-
jalan arteri suatu wilayah.
Undang-Undang No.38 Tahun 2004 tentang Jalan membedakan jalan
berdasarkan peruntukkannya menjadi jalan umum dan jalan khusus.
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum,
sedangkan jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, atau
badan usaha, dan bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam
rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan.
3.3.1 Sistem Jaringan Jalan Umum
Sistem jaringan jalan umum yang dikenal dengan sistem jaringan jalan,
adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan
mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam
pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis.
Sistem jaringan jalan dibedakan atas:
1. sistem jaringan jalan primer;
2. sistem jaringan jalan sekunder.
Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua
wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
81
distribusi yang berwujud pusat kegiatan berupa kawasan perkotaan, yang
mempunyai jangkauan pelayanan nasional, wilayah dan lokal. Sistem
jaringan jalan primer bersifat menerus yang memberikan pelayanan lalu
lintas tidak terputus walaupun masuk dalam kawasan perkotaan.
Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi.
Sistem jaringan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan.
Jalan tol merupakan bagian dari sistem jaringan jalan dimana
penggunanya diwajibkan membayar tol, yaitu sejumlah uang tertentu
dalam rangka pengembalian investasi, pemeliharaan, dan pengembangan
jalan tol.
3.3.2 Fungsi Jalan Umum
Berdasarkan fungsinya, jalan umum dapat dikelompokkan ke dalam:
1. jalan arteri,
2. jalan kolektor,
3. jalan lokal,
4. jalan lingkungan.
Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
82
Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
Jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkut-an
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Jalan lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata
rendah.
Gambar 3.24 menunjukan skema fungsi jalan, Tabel 3.10 menunjukkan
fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan, dan Gambar 3.25 menunjukkan
skema sistem jaringan jalan dan fungsi jalan.
Gambar 3.24 Skema fungsi jalan
A
B
C
C
B
A : Jalan Arteri B : Jalan Kolektor C : Jalan Lokal
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
83
Tabel 3.10 Berbagai Fungsi Jalan Jaringan Jalan Primer Jaringan Jalan Sekunder
1. jalan arteri primer 1. jalan arteri sekunder
2. jalan kolektor primer 2. jalan kolektor sekunder
3. jalan lokal primer 3. jalan lokal sekunder
I. = Pusat Kegiatan Nasional (PKN)
II. = Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
III. = Pusal Kegiatan Lokal (PKL)
A. Sistem Jaringan Jalan Primer B. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
PA = arteri primer SA = arteri sekunder
PC = kolektor primer SC = kolektor sekunder
PL = lokal primer SL = lokal sekunder
Sumber: Purnomo
Gambar 3.25 Skema sistem jaringan jalan
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
84
3.3.3 Status Jalan Umum
Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam:
1. jalan nasional;
2. jalan kabupaten;
3. jalan kota;
4. jalan desa.
Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibu-kota propinsi, jalan
strategis nasional, serta jalan tol. Jalan strategis nasional adalah jalan
yang melayani kepentingan nasional atas dasar kriteria strategis yaitu
mempunyai peranan untuk membina kesatuan dan keutuhan nasional,
melayani daerah-daerah rawan, bagian dari jalan lintas regional atau
lintas internasional, melayani kepentingan perbatasan antarnegara, serta
dalam rangka pertahanan dan keamanan.
Jalan propinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi dengan ibukota
kabupaten atau kota, atau antar ibukota kabupaten atau kota, dan jalan
strategis propinsi. Jalan strategis propinsi adalah jalan yang diprioritaskan
untuk melayani kepentingan propinsi berdasarkan pertimbangan untuk
membangkitkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan keamanan
propinsi.
Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan
primer yang tidak termasuk jalan nasional maupun jalan propinsi,
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, atau
antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan
lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan
jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
85
Jalan strategis kabupaten adalah jalan yang diprioritaskan untuk melayani
kepentingan kabupaten berdasarkan pertimbangan untuk membangkit-
kan ekonomi, kesejahteraan, dan keamanan kabupaten.
Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan
pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta
menghubungkan antar pusat permukiman yang berada dalam kota. Jalan
kota berada di dalam daerah kota yang bersifat otonom sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang pemerintah daerah.
Jalan desa adalah jalan umum yang menghubungkan antar kawasan dan
atau pemukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
Berdasarkan Pasal 19 UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas
dan Angkutan Jalan, jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas jalan
berdasarkan:
1. fungsi dan intensitas lalulintas guna kepentingan pengaturan peng-
gunaan jalan dan kelancaran lalulintas dan angkutan jalan.
2. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi
kendaraan bermotor.
Pengelompokan jalan menurut kelas jalan adalah sebagai berikut:
1. Jalan kelas 1, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,50 m,
ukuran panjang tidak melebihi 18,00 m, ukuran paling tinggi 4,2 m,
dan muatan sumbu terberat 10 ton.
2. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi
2,50 m, ukuran panjang tidak melebihi 12,00 m, ukuran paling tinggi
4,2 m, dan muatan sumbu terberat 8 ton.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
86
3. Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi
2,10 m, ukuran panjang tidak melebihi 9,00 m, ukuran paling tinggi
3,5 m, dan muatan sumbu terberat 8 ton.
4. Jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan
bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2,50 m, ukuran panjang mele-
bihi 18,00 m, ukuran paling tinggi 4,2 m, dan muatan sumbu terberat
lebih dari 10 ton.
Fungsi jalan menggambarkan kemungkinan tipe lalu lintas yang akan
menggunakan jalan. Jalan arteri, atau jalan nasional, atau jalan kelas 1
secara nyata menggambarkan bahwa perkerasan jalan harus mampu
menerima beban lalu lintas yang lebih berat dibandingkan dengan fungsi
jalan lainnya. Hal ini tentu saja mempengaruhi tebal perkerasan jalan
tersebut.
Di samping fungsi jalan seperti yang diuraikan terdahulu, jalan yang
dibangun sekitar pintu tol menggambarkan kondisi lalu lintas dengan
perilaku yang berbeda dengan kondisi lalu lintas di antara pintu tol.
Kecepatan yang relatif rendah, dan sifat gerakan kendaraan selama antri
mengakibatkan beban lalu lintas yang dipikul oleh perkerasan di sekitar
pintu tol lebih berat, sehingga tebal lapisan perkerasan di pintu tol lebih
tebal atau dengan jenis perkerasan yang berbeda.
3.4 Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi daya tahan dan mutu pelayan-
an struktur perkerasan jalan yang terletak di lokasi tersebut. Pelapukan
material tidak hanya disebabkan oleh repetisi beban lalulintas, tetapi juga
oleh cuaca dan air yang ada di dalam dan sekitar struktur perkerasan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
87
jalan. Perubahan temperatur yang terjadi selama siang dan malam hari,
menyebabkan mutu struktur perkerasan jalan berkurang, menjadi aus
dan rusak. Di Indonesia perubahan temperatur dapat terjadi karena
perubahan musim dari musim penghujan ke musim kemarau atau karena
pergantian siang dan malam.
Air masuk ke struktur perkerasan jalan melalui berbagai cara seperti
infiltrasi melalui retak pada permukaan jalan, sambungan perkerasan,
muka air tanah dan fluktuasinya, sifat kapilaritas air tanah, rembesan
(seepage) dari tempat yang lebih tinggi di sekitar struktur perkerasan,
atau dari bahu jalan, dan mata air di lokasi. Gambar 3.26 menggambar-
kan aliran air yang mungkin terjadi di sekitar struktur perkerasan jalan.
Gambar 3.26 Aliran air di sekitar struktur perkerasan jalan
Fluktuasi air tanah Muka air
Tanah
Infiltrasi Ke bahu jalan
Infiltrasi Ke lapisan perkerasan
Evaporasi
Rembesan (Seepage) Dari
muka air tanah
Pemindahan dari bahu jalan
Dari lapisantanah di bawahnya kapilaritas
air
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
88
Besarnya intensitas aliran air ditentukan oleh:
1. presipitasi dan intensitas hujan sehubungan dengan iklim setempat.
Air hujan jatuh ke badan jalan dan masuk ke tanah dasar melalui bahu
jalan atau bagian yang berlubang pada lapis permukaan jalan. Aliran
air secara horizontal masuk ke lapis perkerasan terjadi jika kadar air
tinggi di bahu jalan dan rendah di bawah lapis perkerasan jalan. Hal ini
dapat diatasi dengan membuat bahu dari tanah berbutir kasar yang
memenuhi syarat sebagai material filter.
2. sifat kapilaritas tanah dasar.
Pada tanah dasar dengan kadar air rendah yang di bawahnya terda-
pat lapisan air tanah, maka air dapat merembes ke atas akibat adanya
gaya kapiler. Besarnya kemampuan ini ditentukan oleh jenis tanah
dasar itu sendiri.
3. sistem dan kondisi drainase di sekitar badan jalan.
Adanya air yang terperangkap dalam struktur perkerasan jalan mengaki-
batkan:
1. ikatan antara agregat dengan aspal pada lapisan perkerasan beraspal
berkurang bahkan lepas, sehingga berakibat timbulnya lubang-lubang.
2. daya dukung tanah dasar dan lapis pondasi berkurang.
3. terjadinya efek pumping apabila terdapat kendaraan berat yang
bergerak di tempat dimana ada air terjebak dalam lapisan perkerasan
jalan. Hal ini akan mempercepat rusaknya perkerasan jalan.
Perencanaan tebal perkerasan perlu memperhatikan faktor kondisi
lingkungan terutama kemungkinan masuknya air ke struktur perkerasan
jalan dan cepat atau lambatnya air meninggalkan perkerasan jalan ketika
turun hujan.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
89
3.5 Mutu Struktur Perkerasan Jalan
Mutu struktur perkerasan jalan menentukan kinerja struktur perkerasan
jalan dalam memberikan pelayanan sehingga mampu memberikan rasa
aman dan nyaman kepada pengguna jalan. Berbagai faktor mempe-
ngaruhi kinerja struktur perkerasan jalan seperti:
1. mutu setiap lapis perkerasan jalan menentukan mutu stabilitas struk-
tur perkerasan jalan menerima beban lalulintas selama masa pelayan-
an jalan. Jalan yang menurun stabilitasnya dapat mengakibatkan
terjadinya alur (rutting) yaitu deformasi pada lintasan roda kendaraan,
gelombang dalam arah melintang jalan yang disebut keriting (corru-
gation), deformasi setempat (shoving), atau amblas.
2. bentuk fisik muka jalan dapat merupakan dampak dari mutu stabilitas
jalan dalam menerima beban lalulintas atau akibat ausnya lapis
permukaan sehingga jalan kehilangan tahanan geser dan kendaraan
mudah mengalami selip. Lubang akibat hilangnya sebagian material
pembentuk perkerasan jalan atau retak pada muka jalan merupakan
bentuk fisik yang mempengaruhi kinerja struktur perkerasan jalan.
3.5.1 Kekasaran muka jalan (Roughness)
Kekasaran (roughness) muka jalan didefinisikan sebagai iregularitas
permukaan perkerasan yang berbanding terbalik dengan kenyamanan
mengemudi. Iregularitas permukaan perkerasan dapat ditemui dalam
arah memanjang (longitudinal distortion) dan arah melintang (transverse
distortion). Gambar 3.27 menunjukkan berbagai bentuk ketidak nyaman-
an pengemudi kendaraan akibat kekasaran muka jalan yang dibedakan
atas gangguan dalam arah memanjang dan melintang jalan.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
90
Gambar 3.27a menggambarkan ketidak rataan muka jalan dilihat dari
arah memanjang jalan. Gelombang jalan yang memberikan rasa tidak
nyaman kepada pengguna jalan dibedakan atas:
1. gelombang dengan amplitudo rendah tetapi frekwensi tinggi (A)
2. gelombang dengan amplitudo tinggi tetapi frekwensi rendah (B)
3. gelombang yang terjadi bersamaan antara kondisi A dan B
Gambar 3.27b menggambarkan ketidak rataan muka jalan dalam arah
melintang. Alur atau rutting yang terjadi pada lintasan roda kendaraan
sering terjadi di akhir umur pelayanan jalan atau disebabkan kurangnya
stabilitas perkerasan jalan dalam memikul beban kendaraan.
Kekasaran muka jalan diukur dengan menggunakan alat seperti rougho-
meter atau profilometer.
Gambar 3.27 Bentuk ketidaknyamanan mengemudi
a. Bentuk ketidaknyamanan dilihat dari arah memanjang jalan
b. Bentuk ketidaknyamanan dilihat dari arah melintang jalan
B Amplitudo tinggi
A Gelombang dengan frekuensi tinggi, amplitudo rendah
Tekstur kasar menyebabkan “bising”
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
91
International Roughness Index (IRI)
IRI adalah parameter penunjuk kekasaran (roughness) jalan untuk arah
profil memanjang atau longitudinal jalan. Satuan IRI adalah m/km atau
mm/m. Di samping IRI dikenal pula average rectified slope (ARS) yaitu
perbandingan antara nilai kumulatip gerakan vertikal dari sumbu bela-
kang roda tunggal kendaraan dengan jarak yang dinyatakan dalam
mm/km. IRI adalah ARS dikalikan 1000.
Alat yang digunakan untuk mengukur IRI dipasang pada sumbu belakang
mobil standar yang bergerak dengan kecepatan tertentu sesuai dengan
metode yang digunakan. Gerakan vertikal sumbu belakang kendaraan
pengamat di sepanjang jalan yang diamati, dicatat oleh komputer.
Salah satu alat pengukur kekasaran muka jalan digambarkan seperti pada
Gambar 3.28.
Sumber: Perera
Gambar 3.28 Mobil pengukur kekasaran muka jalan
Measured Profile
Body Mass
Susp Spring and Damper Axle Mass
Tire Spring
IRI
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
92
Pengukuran kekasaran muka jalan di Indonesia menggunakan alat
roughometer NAASRA yang dipasang pada kendaraan standar DATSUN
1500 Station Wagon, dengan kecepatan ± 32 km/jam[DPU,1987].
Jenis lapis permukaan yang dipilih menentukan tingkat kenyamanan
pengguna jalan. Di awal masa pelayanan jalan dengan lapis permukaan
beton aspal memiliki nilai IRI yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis
lapis permukaan lainnya.
3.5.2 Indeks Permukaan (Serviceability Index)
Kinerja struktur perkerasan jalan untuk menerima beban dan melayani
arus lalulintas secara empiris dinyatakan dengan Indeks Permukaan (IP).
IP diadopsi dari AASHTO yaitu Serviceability Index, merupakan skala
penilaian kinerja struktur perkerasan jalan yang memiliki rentang antara
angka 1 sampai dengan 5 seperti pada Gambar 3.29.
5 sangat baik
4 baik
3 cukup
2 buruk
1 sangat buruk
Gambar 3.29 Skala nilai IP sesuai AASHTO
Indeks Permukaan
(IP) Fungsi Pelayanan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
93
Angka 5 menunjukkan fungsi pelayanan yang sangat baik, dan angka 1
menunjukkan fungsi pelayanan sangat buruk.
Dari hasil penelitian AASHTO diperoleh persentase responden yang dapat
menerima kinerja struktur perkerasan jalan untuk setiap nilai IP seperti
pada Tabel 3.11.
Tabel 3.11 Nilai IP & Persentase Responden Yang Menerima
IP Persentase rensponden
yang menerima Persentase responden yang tidak menerima
4,5 100 % 0%
4,0 100% 0%
3,5 95% 0%
3,0 55% 10%
2,5 17% 50%
2,0 3% 84%
1,5 0% 100% Sumber: WSDOT
Sekitar 50% menerima IP = 3,0 dan menolak atau tidak menerima IP =
2,5. Nilai inilah yang diambil menjadi nilai IP diakhir umur rencana
(terminal serviceability index) dan nilai IP > 4,0 diambil menjadi nilai di
awal umur rencana (initial serviceability index) untuk perencanaan tebal
perkerasan jalan.
Sayers et al [WSDOT] mencatat bahwa batasan IRI (diukur dengan kece-
patan 80 km/jam) yang diterima dan ditolak seperti pada Tabel 3.12.
IRI = 4 m/km setara dengan IP = 2,4. Mobil penumpang lebih mampu
beradaptasi dengan kekasaran atau gelombang jalan daripada truk. IRI
yang dapat diterima pada jalan yang banyak dilalui oleh kendaraan truk
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
94
adalah antara 3,0 – 4,0 setara dengan IP 2,4 – 2,9. IRI pada awal masa
pelayanan yang dapat diterima kurang dari 2 m/km
Tabel 3.12 Nilai IRI dan Responden Yang Menerimanya
IRI m/km Responden
1,3 – 1,8 menerima
4,0 – 5,3 Tidak menerima Sumber: WSDOT
Korelasi antara IP dan IRI
Korelasi antara IP dan IRI terdapat dalam berbagai variasi. Pater-
son[WSDOT], 1987, memberikan korelasi seperti pada Rumus 3.20 berda-
sarkan data dari Texas, Pennsylvania, Afrika Selatan, dan Brasilia. Al-
Omari and Darter[WSDOT], 1992, memberikan korelasi seperti pada Rumus
3.21berdasarkan data dari Indiana, Lousiana, Michigan, Mexico, dan
Ohio. Janisch[Janisch], 1997, memberikan korelasi seperti pada Rumus 3.22.
a. Paterson: IP = (5) e(-0,18) (IRI)) ............................. (3.20)
b. Al-Omari dan Darter: IP = (5) e(-0,26) (IRI)) ............................. (3.21)
c. Janisch: IP = 5,697 – (2,104)√IRI ................... (3.22)
dengan:
IP = Indeks Permukaan atau Serviceability Index
IRI = International Rougness Index (mm/m; m/km)
Perlu penelitian tentang korelasi antara IRI dan IP di Indonesia yang
disesuaikan dengan alat pengukur IRI yang digunakan.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
95
3.5.3 Tahanan Gelincir (Skid Resistance)
Tahanan gelincir adalah gaya yang dihasilkan antara muka jalan dan ban
untuk mengimbangi majunya gerak kendaraan jika dilakukan pengerem-
an. Berbagai cara digunakan untuk menyatakan besarnya tahanan gelin-
cir seperti koefisien gesek, dan angka gelincir (skid number=SN).
Koefisien gesek adalah perbandingan antara tahanan gesek yang timbul
antara ban dan muka jalan dengan gaya atau beban tegak lurus
permukaan seperti dinyatakan dengan Rumus 3.23.
f = F/L .................................................... (3.23)
dengan:
f = koefisien gesek
F = tahanan gesek antara ban dan muka jalan
L = gaya atau beban tegak lurus muka jalan
Angka gelincir (SN) atau disebut juga angka gesek (friction number =FN)
adalah koefisen gesek dikalikan 100.
Jadi: SN atau FN = 100 (F/L) ....................................... (3.24)
Gesekan terjadi antara roda kendaraan dan muka jalan, oleh karena itu
besarnya tahanan gesek dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu roda
kendaraan dan muka jalan. Gesekan dari roda kendaraan dipengaruhi
oleh adhesi antara ban dan muka jalan. Besarnya gesekan ditentukan
oleh kondisi ban (ukuran, tekanan dan bunga), kecepatan kendaraan,
tekstur permukaan jalan, dan adanya lapisan air di antara ban dan muka
jalan. Gambar 3.30 menggambarkan bentuk tekstur mikro dan makro dari
muka jalan.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
96
Gambar 3.30 Tekstur permukaan jalan
Tahanan gelincir diukur dengan menggunakan alat seperti Mu-meter atau
British portable tester.
Pemilihan jenis lapis permukaan perlu disesuaikan dengan kondisi cuaca
dan bentuk geometrik jalan sehingga jalan memiliki tahanan gelincir yang
baik dan kendaraan tidak mudah selip. Di samping itu sistem drainase
jalan yang baik mengurangi dampak adanya lapisan air antara muka jalan
dan roda kendaraan sehingga tahanan gelincir atau gesekan antara muka
jalan dan roda kendaraan meningkat.
Permukaan jalan Tekstur makro
kasar (rough)
kasar (rough)
rata (smooth)
rata (smooth)
Tekstur mikro
kasar (harsh)
licin (polished)
kasar (harsh)
licin (polished)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
97
BAB 4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Metode AASHTO
Metode perencanaan tebal perkerasan lentur dibedakan atas:
1. metode pendekatan empiris, metode ini dikembangkan berdasarkan
pengujian dan pengukuran dari jalan-jalan yang dibuat khusus untuk
penelitian.
2. metode pendekatan mekanistik – empirik (mechanistic – empirical
design), metode ini dikembangkan berdasarkan sifat tegangan dan
regangan pada lapisan perkerasan akibat beban berulang dari lalu-
lintas.
Metode yang umum digunakan di Indonesia sampai saat ini adalah
metode yang merujuk kepada metode pendekatan empirik yang dikem-
bangkan pertama kali oleh American Association of State Highway
Officials (AASHO). AASHO berdiri November 1914 dan karena perkem-
bangan yang terjadi dalam dunia transportasi, maka pada tahun 1973
AASHO berubah menjadi American Association of State Highway and
Transportation Officials (AASHTO). Dalam buku ini selanjutnya AASHO
ataupun AASHTO disebut dengan AASHTO.
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
98
Sumber:WSDOT
4.1. Jalan Percobaan AASHTO
Indonesia menggunakan metode AASHTO sebagai acuan dalam menyu-
sun standar perencanaan tebal perkerasan lentur. Untuk memahami
standar perencanaan itu dengan baik perlu dipahami tentang metode
AASHTO dan penelitian yang dilakukan pada jalan percobaannya. Hasil
penelitian pada jalan percobaan yang dilaksanakan pada tahun 1958 –
1960 di Ottawa, Illinois, merupakan cikal bakal metode AASHTO yang
berkembang sampai dengan saat ini.
Jalan percobaan terletak di daerah dengan temperatur rata - rata 76oF
(25oC) di bulan Juli, dan 27oF (-3oC) di bulan Januari, terdiri dari 6 loop.
Masing-masing loop berbentuk seperti pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Bentuk loop jalan percobaan AASHTO
4.1.1 Struktur Jalan Percobaan
Struktur perkerasan dari masing-masing loop memiliki variasi tebal
lapisan dimana lapis permukaan adalah beton aspal, lapis pondasi dan
pondasi bawah dibuat dari batu pecah.
Prestressed Concrete
Loop 5
Steel I- Beam
Test Tangent
Test Tangent
Flexible
Rigid
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
99
Lapis permukaan
Lapis permukaan terdiri dari lapis beton aspal yang tebalnya bervariasi
antara 2,5 cm sampai dengan 10 cm. Beton aspal dibuat dari agregat
kasar yang berasal dari batu kapur, pasir kasar dari siliceous, bahan
pengisi dari abu batu kapur, dan aspal berpenetrasi 85-100[WSDOT].
Gradasi yang digunakan seperti Tabel 4.1 dan karakteristik benda uji
seperti pada Tabel 4.2.
Tabel 4.1 Gradasi Agregat Lapis Beton Aspal
Saringan No. Spesifikasi untuk Lapis Permukaan (surface
course)
Spesifikasi untuk Lapis Pengikat (binder
course) 1 inci 100 ¾ inci 100 88 - 100 ½ inci 86 - 100 55 - 86 3/8 inci 70 - 90 45 - 72 No.4 45 - 70 31 - 50 No.10 30 - 52 19 - 35 No.20 22 - 40 12 - 26 No.40 16 - 30 7 - 20 No.80 9 - 19 4 - 12
Sumber:WSDOT Tabel 4.2 Karakteristik Benda Uji Beton Aspal
Keterangan
Spesifikasi untuk Lapis Permukaan (surface course)
Spesifikasi untuk Lapis Pengikat (binder course)
Jumlah pukulan benda uji 50 50 Kadar aspal 5,4% 4,4% VIM 7,7% 7,7%
Sumber:WSDOT
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
100
Lapis pondasi (base course)
Lapisan pondasi jalan percobaan dibuat dari dolomitic limestone dengan
gradasi seperti pada Tabel 4.3. Nilai CBR rata-rata lapis pondasi
berdasarkan pengujian laboratorium adalah 107,7%. Nilai CBR minimum
spesifikasi adalah 75%[WSDOT].
Lapis pondasi bawah (subbase course)
Lapis pondasi bawah jalan percobaan dibuat dari dolomitic limestone
dengan gradasi seperti pada Tabel 4.4. CBR tidak diperkenankan lebih
dari 60%. Lapis pondasi bawah jalan percobaan memiliki CBR antara 28
– 51%, dengan berat volume kering lapangan antara 139 – 141 lb/ft3,
dan kadar air antara 6,1 – 6,8%[WSDOT].
Tabel 4.3 Gradasi Agregat Lapis Pondasi
Saringan No. Spesifikasi untuk Lapisan Pondasi (base course)
Rata-rata persen lolos pada setiap
loop 1½ inci 100 100
1 inci 80 – 100 90
¾ inci 70 – 90 81
½ inci 60 – 80 68
No.4 40 – 80 48
No.10 28 – 46 35
No.40 16 – 33 20
No.100 7 – 20 13,5
No.200 3 – 12 10
Sumber:WSDOT
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
101
Tabel 4.4 Gradasi Agregat Lapis Pondasi Bawah
Saringan No. Spesifikasi untuk Lapisan
Pondasi Bawah (subbase course)
Rata-rata persen lolos pada setiap loop
1½ inci 100 100
1 inci 95 - 100 100
¾ inci 90 - 100 96
½ inci 80 - 100 90
No.4 55 - 100 71
No.10 40 - 80 52
No.40 10 - 30 25
No.200 5 - 9 6,5
Sumber:WSDOT
Lapis Tanah Dasar (Subgrade)
Lapis tanah dasar dibangun dari tanah jenis A-6 setebal 1 meter.
Karakteristik tanah dasar (subgrade) adalah[WSDOT]:
- Batas cair = 31%
- Indeks plastis = 16%
- Persen lolos no 200 = 82%
- Berat volume kering = 119 lb/ft3
- Kadar air optimum rata-rata = 13% + 0,8%.
- Nilai CBR rata-rata = 2,9%
- Nilai CBR terletak antara rentang 1,9 – 3,5%
- rata-rata persen kompaksi = 98,5% (AASHO T99)
Setiap loop dari jalan percobaan dibangun dengan 3 variasi tebal perke-
rasan seperti pada Tabel 4.5.
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
102
Tabel 4.5 Tebal Perkerasan Untuk Setiap Loop Nomor Loop
Lapis Permukaan
(inci)
Lapis Pondasi (inci) Lapis Pondasi Bawah (inci)
1 1 3 5
0 6
0 8 16
2 1 2 3
0 3 6
0 4
3 2 3 4
0 3 6
0 4 8
4 3 4 5
0 3 6
4 8 12
5 3 4 5
3 6 9
4 8 12
6 4 5 6
3 6 9
8 12 16
Sumber:WSDOT 4.1.2 Penelitian di Jalan Percobaan
Keenam loop digunakan untuk meneliti berbagai hal yang berbeda, yaitu
Loop 1, tidak dilalui oleh kendaraan tetapi hanya digunakan untuk
meneliti efek dari kondisi lingkungan dan iklim. Loop 2 sampai dengan
loop 6 digunakan untuk meneliti kinerja struktur perkerasan akibat beban
lalulintas berbagai jenis kendaraan. Setiap loop, kecuali loop 1 digunakan
untuk satu kelompok jenis kendaraan sesuai dengan konfigurasi dan
beban sumbunya seperti pada Tabel 4.6.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
103
Tabel 4.6 Beban Sumbu &Jenis Kendaraan Pada Jalan Percobaan Berat dalam Kips Loop lajur Sumbu
depan Sumbu
belakang Total Total ton
2 2
2 6
4 8
1,8
3,6
4 6
12
24
28
54
12,7
24
6 9
18
32
42
73
19,1
33
6 9
22,4
40
50,8
89
23
41
9
12
30
48
69
108
32
49
Sumber:WSDOT
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
104
Loop 4 digunakan untuk penelitian kinerja perkerasan akibat beban
sumbu standar 18.000 lbs dan loop 6 untuk penelitian akibat beban
kendaraan terberat.
Penelitian dilakukan antara November 1958 sampai dengan Juni 1960
pada 332 seksi jalan percobaan. Kinerja struktur perkerasan diamati
akibat beban sumbu dan tebal perkerasan yang berbeda. Pada penelitian
dihitung pula jumlah beban yang melewati seksi percobaan sampai
kinerja struktur perkerasan mencapai IP = 1,5[WSDOT].
Dari hasil penelitian penurunan kinerja perkerasan akibat beban lalulintas,
perbedaan tebal perkerasan, jenis kendaraan dan iklim, diperoleh rumus
empiris yang diharapkan dapat dikembangkan untuk keadaan yang
berbeda dengan jalan percobaan seperti:
1. perbedaan daya dukung tanah dasar
2. lalulintas campuran dari berbagai jenis kendaraan dan beban sumbu
3. perbedaan iklim dan kondisi lingkungan
4. perbedaan jenis dan tebal perkerasan jalan
5. modifikasi dari 2 tahun pengamatan menjadi umur rencana 20 tahun.
4.1.3 Perkembangan Metode AASHTO
Metode empiris yang dikembangkan AASHTO telah mengalami
perkembangan sebanyak 5 versi yaitu:
1. 1959 – Guidelines
2. 1962 – Interim Guide
3. 1972 – Revision of Guide (Blue Manual) and NCHRP Report 128
4. 1986 – New Guide
5. 1993 – New Part III, Chapter 5 (overlay design) and other minor
revisions
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
105
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengujian maka
AASHTO mulai mengembangkan metode berbasis mekanistik – empirik.
4.2 Metode AASHTO 1972 Rumus empiris yang dikembangkan sampai dengan 1972 meng-
gambarkan bahwa tebal perkerasan jalan dipengaruhi oleh beban
lalulintas, daya dukung tanah dasar, indeks permukaan yang direnca-
nakan pada akhir umur rencana, dan faktor lingkungan atau kondisi
regional. Indeks permukaan pada awal umur rencana bernilai konstan
sebesar 4,2.
Jadi : SN = f(Wt, pt , S,R)
dengan :
SN = Structural Number, adalah angka yang menunjukkan
nilai struktur perkerasan jalan
Wt = repetisi beban sumbu standar 18.000 pon selama umur
rencana (ESAL = Equivalent Single Axle Load selama
umur rencana)
S = daya dukung tanah dasar, korelasi dari nilai CBR
R = faktor lingkungan, sesuai kondisi iklim
pt = terminal serviceability index, yaitu nilai serviceablity
index yang direncanakan di akhir umur rencana. Dua
nilai yang disediakan dalam Metode AASHTO 1972,
yaitu 2 dan 2,5.
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
106
Rumus Dasar AASHTO 1972
Dari pengukuran dan analisis data yang dilaksanakan pada jalan
percobaan di Ottawa, Illionois diperoleh rumus dasar yang menggambar-
kan hubungan antara repetisi beban, daya dukung tanah dasar, kondisi
regional, serviceability index di awal dan akhir umur rencana seperti pada
Rumus 4.1 sampai dengan Rumus 4.3.
log W18 = 9,36 log (SN + 1) – 0,20 +
5,19
t
1) (SN1094 0,40
G
++
+
log R + 0,372 (S – 3,0) . .......................................... (4.1)
Gt = log 1,5)(4,2
)p(4,2 t
−−
..................................................... (4.2)
SN = a1D1 + a2D2 + a3D3 ............................................... (4.3)
dengan:
W18 = repetisi 18,000 ESAL selama umur rencana
SN = Structural Number
R = Regional Factor (faktor regional)
S = Soil Support Scale (daya dukung tanah dasar)
pt = terminal serviceability index (indeks permukaan) di akhir umur
rencana
D1,2,3 = tebal (inci) dari lapis permukaan, pondasi, dan pondasi bawah
a1,2,3 = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan, pondasi, dan
pondasi bawah
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
107
Metode AASHO 1972 menyediakan 2 nomogram yang bentuk tanpa
skalanya seperti pada Gambar 4.2.
Sumber:WSDOT
Gambar 4.2 Bentuk Nomogram AASHTO 1972
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
20.00010.000
1.000
10050
Total ESALs (x 103)Regional
Factor (R)
Soil Support Value
Structural Number (SN)
Weighted Structural
Number (SN)
6
5
4
3
2
1
0.51.02.05.0
Tanpa skala Catatan: Nomogram ada 2 buah, yaitu untuk pt= 2,0 dan 2,5
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
108
Tebal minimal untuk setiap lapis perkerasan ditentukan dengan
menggunakan Gambar 4.3.
*
1D ≥ 1
1
aSN
*1SN = a1.
*1D ≥ SN1
*2D ≥
2
*12
aSNSN −
*2SN = a2.
*2D
*1SN + *
2SN ≥ SN2
*3D ≥
3
*2
*13
a)SN(SN SN+−
Catatan:
1. *1D , *
2D , *3D , tebal minimal lapis permukaan, pondasi, dan lapis
pondasi bawah.
2. tebal perkerasan yang digunakan harus sama atau lebih besar dari
minimum yang dibutuhkan.
Gambar 4.3 Konsep penentuan tebal minimum
Lapis Permukaan
Lapis Pondasi
Lapis Pondasi Bawah
Tanah Dasar
SN1
SN2 SN3 D3
D2
D1
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
109
dengan Metode AASHTO 1972
Prosedur perhitungan W18 sama dengan metode AASHTO 1993, oleh
karena itu pembahasan tentang hal tersebut akan diuraikan pada Bab
4.3. Metode AASHTO 1972 ini diadopsi oleh Indonesia yaitu untuk SNI
1732-1989-F, Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode
Analisa Komponen.
4.3 Metode AASHTO 1993
Perubahan mendasar untuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan
terhadap metode AASHTO 1972 terjadi melalui metode AASHTO 1986.
Perencanaan tebal perkerasan lentur jalan baru pada metode AASHTO
1993 sama dengan metode AASHTO 1986. Perbedaannya hanya ditam-
bahkan metode untuk perencanaan tebal perkerasan tambahan atau
overlay. Perubahan mendasar pada metode AASHTO 1993 terjadi untuk
perencanaan tebal perkerasan kaku.
Tabel 4.7 menunjukkan perbedaan utama antara metode AASHTO 1972
dengan metode AASHTO 1993 untuk perencanaan tebal perkerasan
lentur jalan baru.
4.3.1 Beban Lalulintas Sesuai AASHTO 1993
Beban lalulintas dilimpahkan pada perkerasan jalan melalui kontak antara
roda dan muka jalan. Oleh karena itu beban lalulintas bervariasi sesuai
dengan berat kendaraan, konfigurasi sumbu, distribusi ke masing-masing
sumbu kendaraan dan ukuran roda kendaraan. Kerusakan yang ditimbul-
kan oleh masing-masing beban lalulintas dipengaruhi oleh mutu struktur
perkerasan yang berkurang berkelanjutan selama masa pelayanan.
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
110
Tabel 4.7 Perbedaan Antara Metode AASHTO 1972 dan AASHTO 1993
No AASHTO 1972 AASHTO 1993
1 Terminal serviceability index adalah 2,0 atau 2,5.
Terminal serviceability index adalah 2,0; 2,5; dan 3,0.
2
Parameter daya dukung tanah dasar dinyatakan dalam soil support scale, yang dikonversikan dari nilai CBR
Parameter daya dukung tanah dasar dinyatakan dalam modulus resilient (MR), melalui pengujian sesuai T274, atau dapat dikorelasikan dari nilai CBR
3
Faktor regional, adalah parameter yang dipergunakan untuk perbedaan kondisi masing-masing lokasi
Parameter ini tidak dipergunakan lagi, diganti dengan parameter lain
4
Parameter baru dalam metode ini adalah:
- reliabilitas
- simpangan baku
- koefisien drainase
- life cycle costs
5 SN = a1D1 + a2D2 + a3D3
SN = a1D1 + a2 m2D2 + a3m3D3
6
Konfigurasi sumbu yang dipertimbangkan hanya konfigurasi sumbu tunggal dan sumbu tandem
Konfigurasi sumbu yang dipertimbangkan adalah tunggal, tandem, dan tripel.
7 Tabel E disediakan untuk sumbu tunggal dan sumbu tandem dengan pt = 2,0 dan 2,5
Tabel E disediakan untuk sumbu tunggal, sumbu tandem, dan tripel dengan pt = 2,0, 2,0 dan 3,0.
8 Nomogram ada dua Perubahan rumus dasar dan hanya ada satu nomogram.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
111
Sebagai usaha menyeragamkan dampak beban lalulintas terhadap struk-
tur perkerasan jalan, maka AASHTO 1972 dan AASHTO 1993 mengekiva-
lenkan repetisi berbagai jenis dan beban sumbu lalulintas ke lintasan
sumbu standar 18.000 pon (baca juga Bab 3.1.5).
Angka ekivalen beban sumbu
Angka ekivalen (E) menunjukkan jumlah lintasan sumbu standar sumbu
tunggal roda ganda dengan beban 18.000 pon yang mengakibatkan
kerusakan yang sama pada struktur perkerasan jalan jika dilintasi oleh
jenis dan beban sumbu tertentu atau jenis dan beban kendaraan
tertentu.
Sebagai contoh:
E truk =1,2, ini berarti 1 kali lintasan truk sama dengan 1,2 kali lintasan
sumbu standar (lss) mengakibatkan kerusakan yang sama pada struktur
perkerasan jalan.
Angka ekivalen, E, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti:
1. Konfigurasi dan beban sumbu
2. Nilai struktural perkerasan jalan yang dinyatakan dengan Structural
Number (SN)
3. Terminal serviceability index (pt)
Rumus dasar AASHTO untuk menentukan angka ekivalen seperti pada
Rumus 4.4(WSDOT).
[ ]4,332xG/β
G/β4,79
2xx
2s18
18
x L1010
LLLL
WW
18
x
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡++
= ............................................(4.4)
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
112
dengan:
Wx = sumbu dengan beban 1000x pon
W18 = sumbu standar dengan beban 18.000 pon
18
x
WW = bilangan terbalik dari angka ekivalen untuk beban dan
konfigurasi sumbu 1000 x pon
L18 = 18 ( beban sumbu standar dalam kilopon)
Lx = x ( beban sumbu dalam kilopon)
L2x = kode untuk konfigurasi sumbu yang ditinjau
= 1, untuk sumbu tunggal
= 2, untuk sumbu tandem
= 3, untuk sumbu tripel
L2s = kode untuk sumbu standar, selalu = 1 (sumbu tunggal)
G = ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−−
5,12,4p2,4log t
pt = terminal serviceability index
βx = 3,232x
5,19
3,232xx
L1)(SN)L0,081(L0,4
++
+ ............................................... (4.5)
SN = structural number
Angka ekivalen berdasarkan Rumus 4.4 ini bervariasi sesuai dengan
konfigurasi sumbu, beban sumbu, terminal serviceability index (pt), dan
structural number (SN). Tabel angka ekivalen untuk sumbu tunggal,
tandem, dan tripel untuk berbagai beban sumbu sesuai pt dan SN yang
dipilih, dapat dilihat pada Lampiran 1.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
113
Contoh perhitungan untuk menentukan angka ekivalen dari sumbu
tunggal, sumbu tandem, dan sumbu tridem adalah sebagai berikut:
1. Contoh perhitungan angka ekivalen untuk sumbu tunggal
Data: sumbu tunggal dengan beban 30.000 pon
- SN = 3
- pt = 2,5
Perhitungan:
[ ]4,332xG/β
G/β4,79
2xx
2s18
18
x L1010
LLLL
WW
18
x
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡++
=
dengan:
Wx = W30
W18 = W18
18
x
WW =
18
30
WW
L18 = 18 (beban sumbu standar dalam kilopon)
Lx = 30(beban sumbu dalam kilopon)
L2x = 1, untuk sumbu tunggal
L2s = 1 (sumbu tunggal roda ganda)
G = ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−−
5,12,45,22,4log = - 0,2009
β30 = 3,235,19
3,23
(1)1)(31)0,081(300,4
++
+ = 4,388
β18 = 3,235,19
3,23
(1)1)(31)0,081(180,4
++
+ = 1,2204
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
114
G/β30 = -0,2009/4,388 = - 0,04578
G/β18 = -0,2009/1,2204 = -0,1646
[ ]4,330,1646-
-0,045784,79
18
30 11010
130118
WW
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦⎤
⎢⎣⎡
++
= = 0,1260
Angka ekivalen = 1/(W30/W18) = 1/0,1260 =7,9365 ≈ 7,9
Angka ekivalen = 7,9 (sama dengan Tabel AASHTO 1993 seperti pada
Lampiran 1).
2. Contoh perhitungan angka ekivalen untuk sumbu tandem
Data: sumbu tandem dengan beban 30.000 pon
- SN = 3
- pt = 2,5
Perhitungan:
[ ]4,332xG/β
G/β4,79
2xx
2s18
18
x L1010
LLLL
WW
18
x
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡++
=
dengan:
Wx = W30
W18 = W18
18
x
WW =
18
30
WW
L18 = 18 ( beban sumbu standar dalam kilopon)
Lx = 30 (beban sumbu dalam kilopon)
L2x = 2, untuk sumbu tandem
L2s = 1 (sumbu standar)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
115
G = ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−−
5,12,45,22,4log = - 0,2009
β30 = 3,235,19
3,23
(2)1)(32)0,081(300,4
++
+ = 0,8711
β18 = 3,235,19
3,23
(1)1)(31)0,081(180,4
++
+ = 1,2204
G/β30 = -0,2009/0,8711= - 0,2306
G/β18 = -0,2009/1,2204 = -0,1646
[ ]4,3320,1646-10
0,2306-104,79
230181
18W30W
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎥⎦⎤
⎢⎣⎡
++
= = 1,4224
Angka ekivalen = 1/(W30/W18) = 1/1,4224 =0,703037 ≈ 0,703
Angka ekivalen = 0,703 (sama dengan Tabel AASHTO 1993 seperti
pada Lampiran 1)
3. Contoh untuk sumbu tripel
Data: sumbu tripel dengan beban 40.000 pon
- SN = 3
- pt = 2,5
Perhitungan:
[ ]4,332xG/β
G/β4,79
2xx
2s18
18
x L1010
LLLL
WW
18
x
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡++
=
dengan:
Wx = W40
W18 = W18
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
116
18
x
WW =
18
40
WW
L18 = 18 ( beban sumbu standar dalam kilopon)
Lx = 40 (beban sumbu tripel dalam kilopon)
L2x = 3, untuk sumbu tripel
L2s = 1 (sumbu tunggal roda ganda)
G = ⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−−
5,12,45,22,4log = - 0,2009
β40 = 3,235,19
3,23
(3)1)(33)0,081(400,4
++
+ = 0.7302
β18 = 3,235,19
3,23
(1)1)(31)0,081(180,4
++
+ = 1,2204
G/β40 = -0,2009/0,7302 = - 0,2751
G/β18 = -0,2009/1,2204 = -0,1646
[ ]4,3330,1646-10
0,2751-104,79
304181
18W40W
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎥⎦⎤
⎢⎣⎡
++
= = 1,8045
Angka ekivalen = 1/(W40/W18) = 1/1,8045 = 0,554
Angka ekivalen = 0,554 (sama dengan Tabel AASHTO 1993 seperti
pada Lampiran 1)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
117
Angka ekivalen kendaraan dengan berat konstan
Kendaraan terdiri dari minimal 2 sumbu, oleh karena itu angka ekivalen
untuk 1 kendaraan adalah jumlah angka ekivalen dari masing-masing
sumbu.
Ekendaraan = Σ Esumbu.................................................................... (4.6)
Contoh perhitungan angka ekivalen untuk satu kendaraan adalah sebagai
berikut:
Truk (1.22) dengan:
- beban sumbu depan = 14.000 pon
- beban sumbu belakang = 34.000 pon
SN = 3, dan pt = 2,5
Dari tabel angka ekivalen (Lampiran 1) untuk SN = 3 dan pt = 2,5
diperoleh:
E untuk sumbu depan, sumbu tunggal 14.000 pon = 0,35
E untuk sumbu belakang, sumbu tandem 34.000 pon = 1,11
E truk = 0,35 + 1,11 = 1,46.
Angka Ekivalen untuk kendaraan dengan berat bervariasi
Satu kendaraan yang melintasi satu ruas jalan terjadi berulang kali
dengan berat yang tidak selalu sama. Berat kendaraan selalu bervariasi
dari beban kendaraan kosong sampai dengan beban maksimum. Oleh
karena itu angka ekivalen satu kendaraan kurang tepat jika ditentukan
hanya berdasarkan berat kendaraan maksimum ataupun beban rata-rata
kendaraan. Untuk perencanaan tebal perkerasan perlu dilakukan analisis
variasi berat kendaraan berdasarkan hasil survei timbang pada jalan yang
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
118
direncanakan atau jalan sejenis. Angka ekivalen satu jenis kendaraan
ditentukan berdasarkan frekwensi rata-rata dari berbagai beban yang
dibawanya.
Langkah-langkah untuk menentukan angka ekivelen setiap kelompok
jenis kendaraan dengan beban berfluktuasi adalah sebagai berikut:
1. Lakukanlah survei timbang selama minimal 3 x 24 jam.
2. Kelompokkan data untuk setiap jenis kendaraan.
3. Data untuk setiap jenis kendaraan diolah sebagai berikut:
a. Tentukanlah beban sumbu dari setiap hasil penimbangan.
b. Kelompokkan beban sumbu berdasarkan jenis sumbu kemudi
(depan) dan sumbu-sumbu lainnya.
c. Kelompokkan beban sumbu untuk setiap jenis sumbu kendaraan.
d. Hitunglah frekwensi setiap kelompok beban dan jenis sumbu.
e. Hitunglah angka ekivalen dari setiap kelompok beban sumbu
berdasarkan nilai tengah beban.
f. Tentukan angka ekivalen masing-masing kelompok sumbu, dengan
menggunakan rumus:
E sumbu = ∑∑
i
ii
fEf
...................................................... (4.7)
g. E kendaraan = Σ Esumbu.
Contoh perhitungan angka ekivalen hasil dari survei timbang
Dari hasil olahan data hasil survei timbang diperoleh data beban sumbu
untuk truk tipe 1.22+22 seperti Tabel 4.8. Volume truk tersebut adalah
150 kendaraan/hari. Pt = 2,5 dan angka struktural (SN) = 5.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
119
Perhitungan angka ekivalen menggunakan tabel seperti pada Tabel 4.9.
Tabel 4.8 Contoh Data Frekwensi Beban Sumbu Untuk Truk 1.22+22
Beban sumbu, pon Frekwensi repetisi sumbu
Sumbu Tunggal (kode angka 1)
3.000 – 6.999 38
7.000 – 7.999 31
8.000 – 11.999 64
12.000 – 15.999 16
26.000 – 29.999 1
Jumlah frekwensi sumbu tunggal 150
Sumbu Tandem (kode angka 22)
6.000 – 11.999 66
12.000 – 17.999 51
18.000 – 23.999 115
24.000 – 29.999 32
30.000 – 31.999 34
32.000 – 33.999 2
Jumlah frekwensi sumbu tandem 300*
Catatan:
* sumbu belakang dan kereta gandeng truk dengan jenis sumbu yang sama
sehingga jumlah sumbu tandem adalah 2 x 150 = 300 jumlah sumbu.
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
120
Tabel 4.9 Contoh Perhitungan E truk 1.22+22
Beban sumbu, pon Frekwensi repetisi E sumbu* repetisi lss
(1) (2) (3) (4) = (2)(3)
Sumbu Tunggal Roda Tunggal
3.000 – 6.999 38 0,005 0,190
7.000 – 7.999 31 0,029 0,899
8.000 – 11.999 64 0,090 5,760
12.000 – 15.999 16 0,360 5,760
26.000 – 29.999 1 5,390 5,390
Sumbu Tandem Roda Ganda
6.000 – 11.999 66 0,006 0,396
12.000 – 17.999 51 0,044 2,244
18.000 – 23.999 115 0,148 17,020
24.000 – 29.999 32 0,426 13,632
30.000 – 31.999 34 0,753 25,602
32.000 – 32.500 2 0,885 1,770
Total 450** 78,663 Catatan:
* diperoleh dari perhitungan seperti contoh 1 dan 2, atau Lampiran 1.
** jumlah kendaraan x 3, karena 1 kendaraan memiliki 3 kelompok sumbu
Dengan menggunakan Tabel 4.9 dan Rumus 4.7 diperoleh angka ekivalen
untuk truk 1.22+22 = 78,663/450 = 0,1748.
Repetisi beban selama umur rencana (W18)
Beban lalu lintas sesuai AASHTO 1993 dinyatakan dalam repetisi lintasan
sumbu standar selama umur rencana (W18). Rumus 4.8 atau Rumus 4.9
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
121
digunakan untuk menghitung besarnya repetisi beban lalu lintas selama
umur rencana.
W18 = ∑ LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N .................................. (4.8)
W18 = ∑ LHRTi x Ei x DA x DL x 365 x N ................................. (4.9)
dengan:
W18 = repetisi beban lalu lintas selama umur rencana,
lss/lajur/umur rencana
LHR = Lalu lintas Harian Rata-rata, kendaraan/hari/2 arah
LHRT = Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan,
kendaraan/hari/2 arah
Ei = angka ekivalen jenis kendaraan i
DA = faktor distribusi arah, digunakan untuk menunjukkan distribusi
kendaraan ke masing-masing arah. Jika data lalu lintas yang
digunakan adalah data untuk satu arah, maka DA = 1
DL = faktor distribusi lajur, digunakan untuk menunjukkan distribusi
kendaraan ke lajur rencana.
365 = jumlah hari dalam satu tahun
N = faktor umur rencana
Faktor Umur Rencana (N)
Faktor umur rencana adalah angka yang dipergunakan untuk menghitung
repetisi lalu lintas selama umur rencana dari awal umur rencana. Jika
tidak ada pertumbuhan lalu lintas maka N sama dengan umur rencana.
Dengan demikian repetisi beban lalu lintas sama dengan repetisi per
tahun dikalikan dengan lamanya umur rencana. Namun demikian, hampir
tidak pernah lalu lintas tidak mengalami peningkatan ataupun penurun-
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
122
an. Oleh karena itu N dihitung melalui pendekatan dengan menggunakan
Rumus 4.10.
N = i
1]i)[(1 UR −+ .......................... (4.10)
dengan:
UR = umur rencana, tahun
i = pertumbuhan lalu lintas pertahun (%/tahun)
Nilai N untuk berbagai nilai faktor pertumbuhan lalu lintas dan umur
rencana seperti pada Tabel 4.10.
Contoh perhitungan W18 dengan faktor pertumbuhan lalu lintas
konstan dan sama untuk semua jenis kendaraan selama umur
rencana.
Data:
Jenis kendaraan LHR
(kendaraan/hari/2 arah) Ekendaraan
Mobil penumpang (1.1) 5925 0,0003
Truk (1.22) 372 1,456
Truk (1.22+22) 30 1,657
Bus (1.22) 35 0,458
Faktor distribusi arah (DA) = 0,5
Faktor distribusi lajur (DL) = 0,9
Faktor pertumbuhan lalu lintas (i) = 4%
Umur rencana (UR) = 15 tahun
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
123
Tabel 4.10 Faktor Umur Rencana (N)
Faktor pertumbuhan lalu lintas, persen (i) Umur Rencana tahun 0 2 4 5 6 7 8 10
1 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
2 2,00 2,02 2,04 2,05 2,06 2,07 2,08 2,10
3 3,00 3,06 3,12 3,15 3,18 3,21 3,25 3,31
4 4,00 4,12 4,25 4,31 4,37 4,44 4,51 4,64
5 5,00 5,20 5,42 5,53 5,64 5,75 5,87 6,11
6 6,00 6,31 6,63 6,80 6,98 7,15 7,34 7,72
7 7,00 7,43 7,90 8,14 8,39 8,65 8,92 9,49
8 8,00 8,58 9,21 9,55 9,90 10,26 10,64 11,44
9 9,00 9,75 10,58 11,03 11,49 11,98 12,49 13,58
10 10,00 10,95 12,01 12,58 13,18 13,82 14,49 15,94
11 11,00 12,17 13,49 14,21 14,97 15,78 16,65 18,53
12 12,00 13,41 15,03 15,92 16,87 17,89 18,98 21,38
13 13,00 14,68 16,63 17,71 18,88 20,14 21,50 24,52
14 14,00 15,97 18,29 19,60 21,02 22,55 24,21 27,97
15 15,00 17,29 20,02 21,58 23,28 25,13 27,15 31,77
16 16,00 18,64 21,82 23,66 25,67 27,89 30,32 35,95
17 17,00 20,01 23,70 25,84 28,21 30,84 33,75 40,54
18 18,00 21,41 25,65 28,13 30,91 34,00 37,45 45,60
19 19,00 22,84 27,67 30,54 33,76 37,38 41,45 51,16
20 20,00 24,30 29,78 33,07 36,79 41,00 45,76 57,27
Sumber: AASHTO’93 Pehitungan:
Dari Tabel 4.10 untuk UR = 15 tahun dan i = 4% diperoleh N = 20,02.
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
124
LHR dalam kendaraan/hari/2 arah diubah menjadi LHR dalam lss/hari/2
arah.
a. Mobil penumpang (1.1) = 5925 x 0,0003 = 1,77 lss/hari/2arah
b. Truk (1.22) = 372 x 1,456 = 541,63 lss/hari/2 arah
c. Truk (1.22+22) = 30 x 1,657 = 49,71 lss/hari/2 arah
d. Bus (1.22) = 35 x 0,458 = 16,03 lss/hari/2 arah
LHRtotal = 609,15 lss/hari/2 arah
Dengan menggunakan Rumus 4.8 diperoleh:
W18 = 609,15 x 0,5 x 0,9 x 365 x 20,02
= 2.003.416 lss/umur rencana/lajur rencana.
Contoh perhitungan ESAL dengan faktor pertumbuhan lalu lintas
yang konstan untuk setiap jenis kendaraan selama umur
rencana.
Data:
Jenis kendaraan LHR
(kendaraan/ hari/2 arah)
Ekendaraan Faktor
pertumbuhan lalu lintas (%)
Mobil penump.(1.1) 5925 0,0003 6
Truk (1.22) 372 1,456 5
Truk (1.22+22) 30 1,657 3
Bus (1.22) 35 0,458 4
Faktor distribusi arah (DA) = 0,5
Faktor distribusi lajur (DL) = 0,9
Umur rencana (UR) = 15 tahun
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
125
Pehitungan:
N perlu dihitung untuk setiap jenis kendaraan karena pertumbuhan lalu
lintas tidak sama untuk setiap jenis kendaraannya. Secara ringkas
perhitungan dilakukan seperti pada Tabel di bawah ini.
LHR W18 Jenis
kendaraan
Ekendaraan (kend/hari
/2 arah) lss/hari/ 2 arah
i
(%)
N lss/ur/lajur
rencana
Mobil penumpang (1.1)
0,0003 5925 1,7775 6 23,28 6.796,70
Truk (1.22) 1,456 372 541,632 5 21,58 1.919.822,75
Truk (1.22+22) 1,657 30 49,71 3 18,60 151.866,54
Bus (1.22) 0,458 35 16,03 4 20,02 52.711,21
W18 = 2.131.197,19
Untuk mobil penumpang:
W18 = 0,0003 x 5925 x 23,28 x 365 x 0,5 x 0,9 = 6796,70
W18 selama umur rencana 2.131.197,19 lss/lajur rencana.
4.3.2 Reliabilitas
Kinerja struktur perkerasan jalan sangat ditentukan oleh 4 faktor utama
yaitu:
1. struktur perkerasan seperti tebal dan mutu setiap lapis perkerasan;
2. kondisi lingkungan seperti temperatur, curah hujan, kondisi tanah
dasar;
3. perkiraan repetisi beban lalu lintas dan proyeksi selama umur rencana;
4. perkiraan daya dukung tanah dasar.
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
126
Pada metode AASHTO 1993 diperkenalkan parameter baru yaitu
reliabilitas. Reliabilitas (R) adalah tingkat kepastian atau probabilitas
bahwa struktur perkerasan mampu melayani arus lalu lintas selama umur
rencana sesuai dengan proses penurunan kinerja struktur perkerasan
yang dinyatakan dengan serviceability yang direncanakan.
Gambar 4.4 memberikan ilustrasi bagaimana sejumlah struktur perkeras-
an yang memiliki tebal dan jenis lapis perkerasan yang sama mengalami
penurunan kinerja akibat repetisi beban lalu lintas yang dinyatakan dalam
log repetisi beban selama umur masa pelayanan. Terminal serviceability
index (pt) dicapai akibat repetisi beban lalu lintas yang bervariasi.
Lengkung distribusi normal menggambarkan hubungan antara frekwensi
dicapainya pt pada repetisi beban lalu lintas tertentu. Gambar 4.5
menggambarkan deviasi standar keseluruhan (So), ZR, dan faktor relia-
bilitas (FR).
Sumber:WSDOT
Gambar 4.4 Variasi Penurunan kinerja perkerasan selama masa pelayanan
Normal distribution
Varian kinerja struktur perkerasan
log ESALs
frekw
ensi
P
rese
nt s
ervi
ceab
ility
Ind
ex
P0
P1
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
127
Gambar 4.5 Deviasi standar keseluruhan (So), ZR, faktor reliabilitas (FR)
Reliabilitas digunakan pada metode AASHTO 1993 untuk mengalikan repetisi
beban lalu lintas yang diperkirakan selama umur rencana dengan faktor
reliabilitas (FR) ≥ 1.
Jadi, Wt = (wt)(FR) ................................................... (4.11)
dengan:
Wt = ESAL perkiraan berdasarkan kinerja struktur perke-
rasan mencapai nilai pt yang digunakan untuk
menentukan tebal lapis perkerasan.
wt = ESAL perkiraan selama umur rencana
FR = faktor reliabilitas
Log ESAL
Z
lengkung normal
S0
Log FR
ZR
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
128
Efek adanya faktor reliabilitas dalam perencanaan adalah meningkatkan
ESAL yang digunakan untuk merencanakan tebal perkerasan jalan.
FR ditentukan sebagai berikut:
FR = )( 010 SZ R− ............................................................... (4.12)
dengan:
FR = faktor reliabilitas
ZR = Z-statistik (sehubungan dengan lengkung normal)
S0 = deviasi standar keseluruhan dari distribusi normal sehu-
bungan dengan kesalahan yang terjadi pada perkiraan lalu
lintas dan kinerja perkerasan.
Tabel 4.11 menunjukkan nilai ZR, dan FR untuk S0 antara 0,4 - 0,5.
Reliabilitas 50% menunjukkan kondisi dimana ZR=0 dan faktor reliabilitas
desain (FR) = 1. Ini berarti ESAL yang digunakan untuk menghitung SN
sama dengan ESAL perkiraan selama umur rencana.
Jika reliabilitas yang digunakan = 90%, maka FR = 3,77 pada S0 = 0,45.
Ini berarti ESAL yang dipergunakan untuk menghitung SN adalah 3,77
kali ESAL perkiraan selama umur rencana. Gambar 4.6 mengilustrasikan
perbedaan hasil perencanaan antara reliabilitas 50% dengan 90%. Oleh
karena itu perencana perlu mempertimbangkan berbagai faktor resiko
kesalahan ketika memilih R dalam proses perencanaan tebal perkerasan
jalan. AASHTO 1993 menyarankan nilai reliabilitas (R) sesuai fungsi jalan
seperti pada Tabel 4.12.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
129
Tabel 4.11 Nilai Reliabilitas, ZR Dan FR
Reliabilitas, R, %
Standard Normal
Deviate (ZR)
FR untuk S0 = 0,4
FR untuk S0 = 0,45
FR untuk S0 = 0,5
50 0,000 1.00 1.00 1.00
60 -0,253 1.26 1.30 1.34
70 -0,524 1.62 1.72 1.83
75 -0,674 1.86 2.01 2.17
80 -0,841 2.17 2.39 2.63
85 -1,037 2.60 2.93 3.30
90 -1,282 3.26 3.77 4.38
91 -1,340 3.44 4.01 4.68
92 -1,405 3.65 4.29 5.04
93 -1,476 3.89 4.62 5.47
94 -1,555 4.19 5.01 5.99
95 -1,645 4.55 5.50 6.65
96 -1,751 5.02 6.14 7.51
97 -1,881 5.65 7.02 8.72
98 -2,054 6.63 8.40 10.64
99 -2,327 8.53 11.15 14.57
99,9 -3,090 17.22 24.58 35.08
99,99 -3,750 31.62 48.70 74.99
Sumber:WSDOT
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
130
Sumber:WSDOT
Gambar 4.6 Contoh reliabilitas 50% dan 90%
Tabel 4.12 Nilai Reliabilitas Sesuai Fungsi Jalan
Rekomendasi tingkat reliabilitas Fungsi Jalan
Urban Rural
Bebas hambatan 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 - 80 50 - 80 Sumber: AASHTO’93
4.3.3 Drainase
Kemampuan struktur perkerasan jalan mengalirkan air merupakan hal
penting dalam perencanaan tebal perkerasan jalan. Air masuk ke struktur
perkerasan jalan melalui banyak cara antara lain retak pada muka jalan,
Design Period Traffic
50%
90%po
pt
Pav
emen
t Ser
vice
abili
ty In
dex
R = 50%
R = 90%
ACBase
SubaseSubgrade
ACBase
SubaseSubgrade
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
131
sambungan, infiltrasi perkerasan, akibat kapilaritas, atau mata air setem-
pat. Air yang terperangkap dalam struktur perkerasan jalan dapat menja-
di penyebab:
1. berkurangnya daya dukung lapisan dengan material tanpa pengikat
2. berkurangnya daya dukung tanah dasar
3. naiknya butiran halus sebagai dampak dari efek pompa ke dalam
struktur perkerasan jalan.
4. lepasnya ikatan aspal dari agregat sebagai awal terjadinya lubang
Untuk perencanaan tebal perkerasan jalan kualitas drainase ditentukan
berdasarkan kemampuan menghilangkan air dari struktur perkerasan.
Tabel 4.13 menunjukkan kelompok kualitas drainase berdasarkan
AASHTO 1993.
Tabel 4.13 Kelompok Kualitas Drainase
Kualitas drainase Air hilang dalam
Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali air tidak mengalir
Sumber: AASHTO’93
Pengaruh kualitas drainase dalam proses perencanaan tebal lapisan
perkerasan dinyatakan dengan menggunakan koefisien drainase (m)
seperti pada Tabel 4.14.
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
132
Tabel 4.14 Koefisien Drainase (m) Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh Kualitas
drainase < 1% 1-5% 5 – 25% > 25%
Baik sekali 1,40 – 1,35 1,35 – 1,30 1,30 – 1,20 1,20
Baik 1,35 – 1,25 1,25 – 1,15 1,15 – 1,00 1,00
Sedang 1,25 – 1,15 1,15 – 1,05 1,00 – 0,80 0,80
Jelek 1,15 – 1,05 1,05 – 0,80 0,80 – 0,60 0,60
Jelek sekali 1,05 – 0,95 0,95 – 0,75 0,75 – 0,40 0,40
Sumber: AASHTO’93
4.3.4 Rumus Dasar Metode AASHTO 1993
Rumus dasar AASHTO 1993 mengalami perubahan sesuai hasil penelitian
sejak 1972. Rumus dasar metode AASHTO 1993 sama dengan rumus
pada AASHTO 1986 yaitu seperti pada Rumus 4.13.
log (W18) = ZR x S0 + 9,36 x log (SN + 1) – 0,20 +
19,5)1SN(109440,0
]5.12.4
PSIlog[
++
−Δ
+ 2,32 x log (MR) – 8,07 .... ......... (4.13)
dengan:
W18 = ESAL yang diperkirakan
ZR = simpangan baku normal, sesuai Tabel 4.12
S0 = deviasi standar keseluruhan, bernilai antara 0,4 -0,5
SN = Structural Number, angka struktural relatif perkerasan, inci
∆PSI = Perbedaan serviceability index di awal dan akhir umur rencana
MR = modulus resilient tanah dasar (psi)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
133
SN yang diperoleh dengan menggunakan Rumus 4.13 harus sama
dengan asumsi yang diambil ketika menentukan angka ekivalen (E). Jika
SN yang diperoleh tidak sama, maka penentuan angka ekivalen harus
diulang kembali dengan menggunakan nilai SN yang baru. Selain
menggunakan Rumus 4.13, SN dapat diperoleh dengan menggunakan
nomogram seperti pada Gambar 4.7.
SN adalah angka yang menunjukkan jumlah tebal lapis perkerasan yang
telah disetarakan kemampuannya sebagai bagian pewujud kinerja perke-
rasan jalan. Koefisien kekuatan relatif (a) adalah angka penyetaraan ber-
bagai jenis lapis perkerasan yang dipengaruhi oleh mutu dari jenis lapisan
yang dipilih.
SN = a1D1 + a2 m2D2 + a3 m3D3 ........................... (4.14)
dengan:
SN = angka struktural (structural number), inci
a1 = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan
a2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi
a3 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah
D1 = tebal lapis permukaan, inci
D2 = tebal lapis pondasi, inci
D3 = tebal lapis pondasi bawah, inci
m2,3 = koefisien drainase untuk lapis pondasi dan pondasi bawah
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
134
Bagan alir dari prosedur perencanaan tebal perkerasan jalan baru sesuai metode
AASHTO 1993 seperti pada Gambar 4.7
Tebal setiap lapis dari struktur perkerasan jalan ditentukan dengan menggunakan
Rumus 4.13
SN = a1D1 + a2 m2D2 + a3 m3D3 ................................ (4.13)
Dengan:
SN = structural number, angka struktur relatif dari perkerasan jalan
yang diperoleh melalui Rumus 4.12
D1,2,3 = tebal (inci) dari lapis permukaan, pondasi, dan ponda
Sumber: AASH
TO’93
Gam
bar 4.7 Nom
ogram penentuan nilai SN
dengan Metode AASH
TO 1993
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
135
Koefisien kekuatan relatif lapis permukaan ditentukan dengan
menggunakan Gambar 4.8 yang berdasarkan nilai modulus elastisitas, EAC
(psi) beton aspal.
Sumber: AASHTO’93
Gambar 4.8 Koefisien kekuatan relatif a1 untuk beton aspal
Koefisien kekuatan relatif (a2) untuk lapis pondasi ditentukan dengan
menggunakan Rumus 4.15 atau Gambar 4.9.
a2 = 0,249 (log EBS) – 0,977 ................................................ (4.15)
dengan:
a2 = koefisien relatif lapis pondasi berbutir
EBS = modulus elastisitas lapis pondasi, psi.
Modulus Elastisitas, EAC (psi), Dari Beton Aspal ( 20°C)
0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Koef
isie
n re
latif
, a1,
U
ntuk
Lap
isan
Bet
on A
spal
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
136
Sumber: AASHTO’93
Gambar 4.9 Koefisien kekuatan relatif, a2
Koefisien kekuatan relatif (a3) untuk lapis pondasi bawah ditentukan
dengan menggunakan Rumus 4.16 atau Gambar 4.10.
a3 = 0,227 (log ESB) – 0,839 ........................................... (4.16)
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.10
0.12
0.14
0.16
0.18
0.20
20
30
405060
80
60
70
3.5
2.5
4.0
15
20
25
Mod
ulus
– 1
000
psi
(4) 100 85 2.0 30
Stru
ctur
al C
oeffi
cien
t - a
2
CBR
(1)
R-v
alue
(2)
Texa
s Tr
iaxi
al
(3)
50
(1) Scale devired by averaging correlations obtained from Illionis. (2) Scale devired by averaging correlations obtained from California, New Mexico
and Wyoming. (3) Scale devired by averaging correlations obtained from Texas. (4) Scale devired on NCHRP project (3).
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
137
0
0.06
0.08
0.10
0.12
0.14
0.20
Stru
ctur
al C
oeffi
cien
t – a
3
4
3
5
2
Texa
s Tr
iaxi
al
(3)
(5) Scale devired by averaging correlations obtained from Illionis. (6) Scale devired by averaging correlations obtained from California, New Mexico and
Wyoming. (7) Scale devired by averaging correlations obtained from Texas. (8) Scale devired on NCHRP project (3).
5
30
405070
100
CBR
(1)
10
20
80
60
70
90
R-v
alue
(2)
50
25
40
30
1415
Mod
ulus
– 1
000
psi
(4) 20
13121110
dengan:
a3 = koefisien relatif lapis pondasi bawah berbutir
ESB = modulus elastisitas lapis pondasi bawah, psi.
Sumber:AASHTO’93
Gambar 4.10 Koefisien relatif, a3
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
138
Tebal minimal lapis permukaan, pondasi, dan pondasi atas ditentukan
berdasarkan SN yang diperoleh untuk masing-masing lapisan seperti
diilustrasikan pada Gambar 4.11.
4.3.5 Tebal Minimum Setiap Lapisan
Tebal minimum setiap lapis perkerasan ditentukan berdasarkan mutu
daya dukung lapis dibawahnya seperti diilustrasikan oleh Gambar 4.11.
Rumus 4.16 sampai dengan Rumus 4.21 digunakan untuk menentukan
tebal minimal masing-masing lapisan perkerasan.
Gambar 4.11 Ilustrasi penentuan tebal minimum setiap lapis perkerasan
*1D ≥
1
1
aSN ...................................................................... (4.17)
*1SN = a1. *
1D ≥ SN1 ........................................................ (4.18)
*2D ≥
22
*12
.aSNSN
m− .. ............................................................ (4.19)
*2SN = a2. m2
*2D . ............................................................ (4.20)
*1SN + *
2SN ≥ SN2 ............................................................ (4.21)
Lapis Permukaan
Lapis Pondasi
Lapis Pondasi Bawah
Tanah Dasar
SN1
SN2
SN3 D3
D2
D1
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
139
*3D ≥
33
*2
*13
a)SN(SN
mSN+−
................................................(4.22)
* menunjukkan tebal minimal yang digunakan untuk lapis permukaan ( *1D ),
lapis pondasi ( *2D ), lapis pondasi bawah ( *
3D ).
Di samping berdasarkan Rumus 4.17 sampai dengan Rumus 4.22, tebal
minimum lapis permukaan dari beton aspal dan lapis pondasi batu pecah
ditentukan juga berdasarkan Tabel 4.15.
Tabel 4.15 Tebal Minimum Lapis Permukaan Dan Lapis Pondasi
Tebal minimum lapisan (inci) ESAL
Beton aspal Pondasi batu pecah
< 50.000 1,0 4,0
50.001 – 150.000 2,0 4,0
150.001 – 500.000 2,5 4,0
500.001 – 2.000.000 3,0 6,0
2.000.001 – 7.000.000 3,5 6,0
> 7.000.000 4,0 6,0
Sumber: WSDOT Metode AASHTO 1993 diadopsi oleh Indonesia menjadi metode Pt T-01-
2002-B. Bagan alir prosedur perencanaan tebal perkerasan metode Pt T-
01-2002-B pada Bab 6 dapat digunakan sebagai bagan alir untuk metode
AASHTO 1993.
Perencanaan Tebal Perkerasan lentur
140
Halaman ini sengaja dikosongkan
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
141
BAB 5 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Metode SNI 1732-1989-F Pada saat ini telah ada metode Pt T-01-2002-B yang mengacu kepada
AASHTO 1993, walaupun demikian Metode SNI 1732-1989-F dapat tetap
digunakan terutama untuk lalulintas rendah atau jika data perencanaan
yang tersedia kurang lengkap. Oleh karena itu dalam Bab 5 ini diuraikan
langkah perencanaan tebal perkerasan lentur dengan menggunakan
Metode SNI 1732-1989-F.
Metode SNI 1732-1989-F yang dikenal dengan nama metode analisis
komponen, mengacu kepada metode AASHTO 1972 seperti telah diurai-
kan pada Bab 4.2 dan dimodifikasi sesuai kondisi jalan di Indonesia.
Perbedaan utama antara Metode AASHTO 1972 dengan Metode SNI
1732-1989-F. seperti pada Tabel 5.1.
5.1 Beban Lalu lintas Berdasarkan SNI 1732-1989-F
Beban lalu lintas berdasarkan SNI 1732-1989-F dinyatakan dalam Lintas
Ekivalen Rencana (LER) yang langkah-langkah perhitungannya adalah
sebagai berikut:
1. Angka ekivalen dihitung untuk setiap jenis kendaraan dengan terlebih
dahulu dihitung angka ekivalen masing-masing sumbu. Rumus untuk
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
142
menghitung angka ekivalen sumbu tunggal dan sumbu ganda seperti
pada Rumus 5.1 dan Rumus 5.2.
Esumbu tunggal = (8.160
kggal,sumbu tungbeban )4 ............................. (5.1)
Esumbu ganda = 0,086 (8.160
kgganda,sumbu beban )4 ..................... (5.2)
Tabel 5.1 Perbedaan Antara Metode AASHTO 1972 Dan SNI 1732-1989-F
No AASHTO 1972 SNI 1732-1989-F
1 Terminal serviceability index
adalah 2,0 atau 2,5.
Indeks Permukaan Akhir terdiri dari
1; 1,5; 2,0; dan 2,5.
2
Initial serviceability index adalah
4,2; karena lapis permukaan
dibuat dari beton aspal.
Indeks Permukaan awal terdiri dari ≤
2,4; 2,5- 2,9; 3,0 – 3,4; 3,5 – 3,9;
dan ≥ 4,0; akibat berbagai jenis lapis
permukaan yang dapat dipilih.
3
Angka ekivalen ditentukan
merupakan variabel dalam
beban sumbu, konfigurasi
sumbu, SN, pt. Angka ekivalen
AASHTO 1972 = AASHTO 1993
Angka ekivalen ditentukan
berdasarkan variabel dalam beban
dan konfigurasi sumbu.
4 SN dinyatakan dalam inci ITP dinyatakan dalam cm
5
Nomogram ada dua dan
disiapkan untuk umur rencana
20 tahun
Nomogram ada sembilan dan
disiapkan untuk umur rencana 10
tahun, walaupun disediakan Faktor
Penyesuaian (FP).
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
143
Metode SNI 1732-1989-F tidak membedakan angka ekivalen sumbu
tunggal roda tunggal dengan sumbu tunggal roda ganda. Di samping
itu pada Metode SNI 1732-1989-F tidak terdapat rumus untuk
menentukan angka ekivalen sumbu tripel. Penentuan angka ekivalen
untuk sumbu tunggal roda tunggal dan sumbu tripel dapat digunakan
rumus yang ada pada Pedoman Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Perkerasan Lentur No. Pd.T-05-2005-B seperti pada Bab 7.
E setiap jenis kendaraan merupakan jumlah dari nilai E untuk setiap
sumbu yang dimilikinya. E kendaraan dihitung dengan memperhatikan
fluktuasi beban kendaraan. Perhitungan seperti contoh pada Tabel 4.9.
2. LHR dihitung di awal umur rencana dengan menggunakan Rumus 5.3
untuk masing-masing kelompok jenis kendaraan
LHR awal umur rencana = (1+a)n. LHRs ............................... (5.3)
dengan:
LHRs = LHR hasil pengumpulan data
a = faktor pertumbuhan lalu lintas dari saat pengumpulan data
sampai awal umur rencana, persen/tahun
n = lama waktu dari saat pengumpulan data sampai awal umur
rencana, tahun.
3. Faktor distribusi kendaraan pada lajur rencana ditentukan berda-
sarkan jumlah lajur perkerasan jalan. Jika ruas jalan tidak memiliki
batas lajur, atau hanya diketahui lebar jalur saja, maka Tabel 5.2
dapat dipergunakan sebagai acuan.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
144
Tabel 5.2 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Jalur
Lebar jalur (L) ,m Jumlah lajur
L < 5,5 m 1 lajur
5,5m < L < 8,25 m 2 lajur
8,25m < L < 11,25 m 3 lajur
11,25m < L < 15,00 m 4 lajur
15,00m < L < 18,75 m 5 lajur
18,75m < L < 22,00 m 6 lajur
Sumber: SNI-1732-1989 Faktor distribusi kendaraan ke lajur rencana dapat ditentukan melalui
analisis hasil pengumpulan data volume lalulintas. Jika tak dimiliki
data tentang distribusi kendaraan ke lajur rencana dari hasil
pengumpulan data, maka koefisien distribusi kendaraan (C) pada
Tabel 5.3 dapat digunakan sebagai acuan. Namun demikian, Tabel
5.3 tidak sesuai jika dipergunakan untuk jalan tol. Distribusi
kendaraan pada jalan tol antar kota berbeda dengan jalan tol dalam
kota, karena kendaraan di jalan tol antar kota pada umumnya
menggunakan lajur kiri, kecuali untuk posisi menyalip kendaraan lain.
Oleh karena itu khusus untuk jalan tol sebaiknya menggunakan data
yang diperoleh dari survei di jalan tol sejenis.
4. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) sebagai lintas ekivalen di awal umur
rencana dihitung dengan menggunakan Rumus 5.4.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
145
Tabel 5.3 Koefisien Distribusi ke Lajur Rencana
Kendaraan ringan* Kendaraan berat** Jumlah lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,00
2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,50
3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 lajur 0,30 0,45
5 lajur 0,25 0,425
6 lajur 0,20 0,40
* berat total < 5 ton, misalnya sedan, pick up ** berat total > 5 ton, misalnya bus, truk, traktor, trailer, dan lain-
lain
Sumber: SNI-1732-1989
LEP = ∑=
=
ni
1iiLHR x Ei x Ci ......................................................... (5.4)
atau
LEP = ∑=
=
ni
1iiLHRT x Ei x Ci ......................................................... (5.5)
dengan :
LEP = Lintas ekivalen di awal umur rencana, lss/hari/lajur
rencana
LHRi = LHR jenis kendaraan i di awal umur rencana,
ditentukan dengan menggunakan Rumus 5.3.
LHRTi = LHRT jenis kendaraan i di awal umur rencana
Ei = angka ekivalen untuk jenis kendaraan i
Ci = koefisien distribusi jenis kendaraan i
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
146
5. Hitunglah Lintas Ekivalen Akhir (LEA) sebagai lintas ekivalen di akhir
umur rencana dengan menggunakan Rumus 5.6.
LEA = LEP (1+i)UR .......................................................................... (5.6)
dengan:
LEA = Lintas ekivalen di akhir umur rencana,
lss/hari/lajur rencana
LEP = Lintas Ekivalen di awal umur rencana
i = faktor pertumbuhan lalu lintas, %/tahun
UR = umur rencana, tahun
6. Hitunglah Lintas Ekivalen Rencana (LER) sebagai lintas ekivalen
rencana dengan menggunakan Rumus 5.7.
LER = )2
LEALEP( +x FP ...................................... (5.7)
dengan:
LER = Lintas Ekivalen Rencana
FP = Faktor Penyesuaian Untuk Umur Rencana
= UR/10
UR = Umur Rencana, tahun
5.2 Daya Dukung Tanah Dasar Berdasarkan SNI 1732-1989-F
Daya dukung tanah dasar dinyatakan dengan parameter Daya Dukung
Tanah Dasar (DDT) yang merupakan korelasi dari nilai CBR. Nilai CBR
yang dipergunakan untuk menentukan DDT adalah CBR yang merupakan
nilai wakil untuk satu segmen jalan. Uraian tentang hal ini dapat dibaca
dalam Bab 3.2.3. DDT dapat diperoleh dengan menggunakan Gambar
5.1, Rumus 5.8 atau Tabel 5.4.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
147
Rumus korelasi antara nilai CBR dengan DDT adalah:
DDT = 4,3 log CBR + 1,7 .................................... (5.8)
dengan:
DDT = Daya Dukung Tanah Dasar
CBR = CBR segmen, baca juga Bab 3.2.3
Skala DDT pada Gambar 5.1 adalah skala linier, sedangkan skala CBR
menggunakan skala logaritma.
Tabel 5.4. Korelasi antara CBR dan DDT
CBR DDT
3 3,75
4 4,29
5 4,71
6 5,05
7 5,33
8 5,58
9 5,80
10 6,00
20 7,29
30 8,05
40 8,59
50 9,01
60 9,35
70 9,63
80 9,88
90 10,10
100 10,30
0 0
1
2
3 4 5 10
20
30 40 50 100
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
DDT CBR
Gambar 5.1 Penentuan nilai DDT
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
148
5.3 Parameter Penunjuk Kondisi Lingkungan Sesuai SNI 1732-1989-F
Kondisi lingkungan di lokasi ruas jalan mempengaruhi kinerja struktur
perkerasan selama masa pelayanan jalan. Parameter penunjuk kondisi
lingkungan sesuai metode SNI 1732-1989-F adalah Faktor Regional (FR).
Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kinerja perkerasan jalan seperti
curah hujan dan iklim tropis, elevasi muka air tanah, kelandaian muka
jalan, fasilitas dan kondisi drainase, dan banyaknya kendaraan berat.
Nilai FR memiliki rentang antara 0,5 dan 4 seperti pada Tabel 5.5.
Berdasarkan pertimbangan teknis perencana dapat menambah nilai FR,
sesuai catatan kaki pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Faktor Regional
Kelandaian I (<6%)
Kelandaian II (6-10%)
Kelandaian III (>10%)
kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat Curah hujan
≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30%
Iklim I < 900 mm/thn
0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
Iklim II ≥ 900 mm/thn
1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
Catatan: pada bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari 30 m),
FR ditambah dengan 0,5. Pada daerah rawa, FR ditambah dengan 1,0
Sumber: SNI 1732-1989-F
5.4 Indeks Permukaan Sesuai SNI 1732-1989-F
Tebal perkerasan yang dibutuhkan dipengaruhi oleh nilai kinerja struktur
perkerasan yang diharapkan pada saat jalan dibuka untuk melayani arus
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
149
lalu lintas selama umur rencana, dan kondisi kinerja perkerasan diakhir
umur rencana. Kinerja struktur perkerasan dinyatakan dengan Indeks
Permukaan (IP) yang memiliki pengertian sama dengan serviceability
index (baca juga Bab 3.5 dan Bab 4.3).
IP di awal umur rencana atau awal masa pelayanan jalan (IP0) ditentukan
dari jenis perkerasan yang dipergunakan untuk lapis permukaan seperti
pada Tabel 5.6
Tabel 5.6 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0) Jenis Lapis Permukaan IP0 Roughness* (mm/km)
Laston ≥ 4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
Lasbutag 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
Burda 3,9 – 3,5 < 2000
Burtu 3,4 – 3,0 < 2000
Lapen 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
Latasbum 2,9 – 2,5
Buras 2,9 – 2,5
Latasir 2,9 – 2,5
Jalan tanah ≤ 2,4
Jalan kerikil ≤ 2,4
* Alat roughometer yang digunakan adalah roughometer NAASRA, yang dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500 Station Wagen, dengan kecepatan kendaraan ± 32 km/jam
Sumber: SNI 1732-1989-F
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
150
IP di akhir umur rencana yang diharapkan (IPt) ditentukan berdasarkan
fungsi jalan dan LER seperti pada Tabel 5.7.
Kinerja perkerasan jalan diakhir umur rencana seperti pada Tabel 5.7
digambarkan sebagai kondisi seperti pada Tabel 5.8
Tabel 5.7 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)
Fungsi Jalan LER lss/hari/lajur
rencana Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber: SNI-1732-1989
Tabel 5.8 Kinerja struktur Perkerasan Jalan Di Akhir Umur Rencana
IPt Kinerja struktur perkerasan
1,0 Permukaan jalan dalam keadaan rusak berat, sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.
1,5 Tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak putus)
2,0 Tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap
2,5 Permukaan jalan masih cukup stabil dan baik
> 2,5 Permukaan jalan masih stabil dan baik
Sumber: CER:04
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
151
5.5 Rumus Dasar Metode SNI 1732-1989-F
Rumus dasar Metode SNI 1732-1989-F mengacu kepada rumus
AASHTO’72 seperti Rumus 4.1 pada Bab 4, namun dimodifikasi untuk
Indonesia. Dengan demikian bentuk Rumus 4.1 diubah untuk Metode SNI
1732-1989-F menjadi seperti pada Rumus 5.9.
log (LERx 3650) = 9,36 log (2,54ITP
+ 1) – 0,20 +
5,19
t
1) 2,54ITP(
1094 0,40
G
++
+
log(FR1
)+ 0,372 (DDT – 3,0) ............................. (5.9)
dengan:
LER = Lintas Ekivalen Rencana,
dinyatakan dalam lss/hari/lajur rencana
3650 = jumlah hari dalam 10 tahun (karena nomogram
disediakan untuk umur rencana 10 tahun)
ITP = Indeks Tebal Perkerasan untuk keadaan lingkungan dan
daya dukung sesuai lokasi jalan dan Indeks Permukaan di
akhir umur rencana (nama ITP berasal dari thickness
index versi AASHTO pra ’72)
DDT = Daya Dukung Tanah Dasar
FR = Faktor Regional
Gt = log 1,5)(4,2
)IP(IP to
−−
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
152
Secara grafis Rumus 5.9 digambarkan dalam bentuk nomogram.
Indonesia memiliki berbagai nilai IP0 dan IPt, maka nomogram yang
dihasilkan dari Rumus 5.9 ada 9 buah, berdasarkan nilai IP0 dan IPt
seperti pada Gambar 5.2 sampai dengan Gambar 5.11. Dengan
menggunakan nomogram tersebut, diperoleh Indeks Tebal Perkerasan
( ITP ) Jalan.
Indeks Tebal Perkerasan ( ITP )
ITP adalah angka yang menunjukkan nilai struktural perkerasan jalan
yang terdiri dari beberapa lapisan dengan mutu yang berbeda. Oleh
karena itu untuk menentukan ITP diperlukan koefisien relatif sehingga
tebal perkerasan setiap lapisan setelah dikalikan dengan koefisien relatif
dapat dijumlahkan. Jadi ITP dihitung seperti pada Rumus 5.10.
ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3 ................................ .............. (5.10)
dengan:
ITP = Indeks Tebal Perkerasan
a1 = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan
a2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi
a3 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah
D1 = tebal lapis permukaan
D2 = tebal lapis pondasi
D3 = tebal lapis pondasi bawah
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
153
Gam
bar
5.2
Nom
ogra
m u
ntuk
IP t
= 2
,5 d
an I
P o =
≥ 4
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1DD
T
1 2
3
10.0
005.
000
1.00
050
0
100 50 1
0.5
LE
R
15ITP
14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3
FR
5.0
2.0
1.0
0.5
3 4 5 6 7 8 9 10
11
12
13
14
15 IT
P
Nom
o gra
m 1
10 5
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
154
Gam
bar 5.3 Nom
ogram untuk IP
t = 2,5 dan IP
o = 3,9 – 3,5
10987654321 DD
T 1
23
10.0005.000
1.000500
1005010510.5
LE
R
15 ITP
14131211109876543
FR
5.0
2.01.00.5
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 ITP
Nom
ogram 2
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
155
Gam
bar
5.4
Nom
ogra
m u
ntuk
IP t
= 2
,0 d
an I
P o =
≥ 4
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 DD
T
1 2
3
10.0
005.
000
1.00
050
0
100 50 10 5 1
0.5L
ER
15ITP
14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3
FR
5.0
2.0
1.0
0.5
3 4 5 6 7 8 9 10
11
12
13
14
15 IT
P
Nom
ogra
m 3
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
156
Gam
bar 5.5 Nom
ogram untuk IP
t = 2,0 dan IP
o = 3,9 – 3,5
10987654321 DD
T 1
23
10.0005.000
1.000500
1005010510.5 L
ER
15 ITP
14131211109876543
FR
5.0
2.01.00.5
3456789101112131415 ITP
Nom
ogram 4
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
157
Gam
bar
5.6
Nom
ogra
m u
ntuk
IP t
= 1
,5 d
an I
P o =
3,9
– 3
,5
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 DD
T
1 2
3
10.0
005.
000
1.00
050
0
100 50 10 5 1
0.5L
ER
15ITP
14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3
FR
5.0
2.0
1.0
0.5
3 4 5 6 7 8 9 10
11
12
13
14
15 IT
P
Nom
ogra
m 5
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
158
Gam
bar 5.7 Nom
ogram untuk IP
t = 1,5 dan IP
o = 3,4 – 3,0
10987654321 DD
T 1
23
10.0005.000
1.000500
1005010510.5 L
ER
15 ITP
14131211109876543
FR
5.0
2.01.00.5
3456789101112131415 ITP
Nom
ogram 6
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
159
Gam
bar
5.8
Nom
ogra
m u
ntuk
IP t
= 1
,5 d
an I
P o =
2,9
– 2
,5
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 DD
T
1 2
3
10.0
005.
000
1.00
050
0
100 50 10 5 1
0.5L
ER
15ITP
14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3
FR
5.0
2.0
1.0
0.5
3 4 5 6 7 8 9 10
11
12
13
14
15 IT
P
Nom
ogra
m 7
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
160
Gam
bar 5.9 Nom
ogram untuk IP
t = 1,0 dan IP
o = 2,9 – 2,5
10987654321 DD
T 1
23
10.0005.000
1.000500
1005010510.5 L
ER
15 ITP
14131211109876543
FR
5.0
2.01.00.5
3456789101112131415 ITP
Nom
ogram 8
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
161
Gam
bar
5.10
Nom
ogra
m u
ntuk
IP t
= 1
,0 d
an I
P o =
≥ 2
,4
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 DD
T
1 2
3
10.0
005.
000
1.00
050
0
100 50 10 5 1
0.5L
ER
15ITP
14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3
FR
5.0
2.0
1.0
0.5
3 4 5 6 7 8 9 10
11
12
13
14
15 IT
P
Nom
ogra
m 9
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
162
Koefisien kekuatan relatif ditentukan dari fungsi dan mutu perkerasan
yang ditentukan melalui nilai stabilitas Marshall (MS), kuat tekan (Kt),
atau CBR. Tabel 5.9 menunjukkan nilai koefisien relatif untuk berbagai
jenis perkerasan yang digunakan sesuai dengan SNI 1732-1989-F.
Cement Treated Base (CTB) sering juga digunakan sebagai lapis pondasi
walaupun tidak terdapat pada Tabel yang diberikan pada SNI 1732-
1989-F.
Koefisien relatif untuk CTB sesuai dengan kuat tekannya adalah sebagai
berikut[CER:04]:
a. CTB dengan kuat tekan > 45 kg/cm2, a2 = 0,23
b. CTB dengan kuat tekan 28 - 45 kg/cm2, a2 = 0,20
c. CTB dengan kuat tekan < 28 kg/cm2, a2 = 0,15
5.6 Tebal Minimum Lapis Perkerasan
AASHO 1972 membatasi tebal minimal setiap lapisan berdasarkan mutu
perkerasan setiap lapis dan beban lalu lintas seperti Gambar 4.3,
sedangkan SNI 1732-1989-F menentukan tebal minimal berdasarkan ITP
dan jenis perkerasan setiap lapisan seperti pada Tabel 5.10.
5.7 Konstruksi Bertahap
Konstruksi bertahap adalah pelaksanaan struktur perkerasan dimana lapis
permukaan tidak dilaksanakan sekaligus setebal yang dibutuhkan untuk
melayani lalulintas selama umur rencana, tetapi melalui 2 tahap.
Pelaksanaan lapis tanah dasar, lapis pondasi bawah dan lapis pondasi
dilakukan sekaligus setebal yang dibutuhkan selama umur rencana.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
163
Tabel 5.9 Koefisien Kekuatan Relatif
Kekuatan bahan Koefisien Kekuatan Relatif
a1 a2 a3 MS (kg)
Kt (kg/cm3
)
CBR (%)
Jenis perkerasan
0,40 744 0,35 590 0,32 454 0,30 340
Laston
0,35 744 0,31 590 0,28 454 0,26 340
Lasbutag
0,30 340 HRA 0,26 340 Penetrasi makadam 0,25 Lapen (mekanis) 0,20 Lapen (manual)
0,28 590 0,26 454 0,24 340
Laston atas
0,23 Lapen (mekanis) 0,19 Lapen (manual) 0,15 22 0,13 18
Stabilisasi dengan semen
0,15 22 0,13 18
Stabilisasi dengan kapur
0,14 100 Batu pecah (kelas A) 0,13 80 Batu pecah (kelas B) 0,12 60 Batu pecah (kelas C) 0,13 70 Sirtu/pitrun (kelas A) 0,12 50 Sirtu/pitrun (kelas B) 0,11 30 Sirtu/pitrun (kelas C) 0,10 20 Tanah/lempung
kepasiran Catatan: Kuat tekan stabilisasi tanah dengan semen diperiksa pada hari ke 7.
Kuat tekan stabilisasi tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke 21.
Sumber: SNI-1732-1989
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
164
Tabel 5.10 Tebal Minimum Lapis Perkerasan
ITP Tebal
minimum (cm)
Jenis perkerasan
Lapis Permukaan
< 3,00 Lapis pelindung: Buras, Burtu/Burda
3,00 – 6,70 5 Lapen/penetrasi makadam, HRA, lasbutag, laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/penetrasi makadam, HRA, lasbutag, laston
7,50 – 9,99 7,5 lasbutag, laston
>> 10,00 10 Laston
Lapis Pondasi
< 3,00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen. Stabilitas tanah dengan kapur
3,00 – 7,49 20
10
Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen. Stabilitas tanah dengan kapur. Laston atas
7,50 – 9,99 20*
15
Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen. Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi makadam. Laston atas
10,00 – 12,24 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen. Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi makadam, lapen, laston atas.
>> 12,25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen. Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi makadam, lapen, laston atas.
Lapis Pondasi Bawah Tebal minimal adalah 10 cm * batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm, jika untuk pondasi bawah
digunakan material berbutir kasar.
Sumber: SNI-1732-1989
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
165
Gambar 5.11 mengilustrasikan perbedaan antara konstruksi tidak
bertahap dengan bertahap, yang perbedaannya ada pada waktu pelaksa-
naan untuk lapis permukaan. Pada konstruksi tidak bertahap D1 dilaksa-
nakan sekaligus untuk kebutuhan selama umur rencana seperti yang
diperoleh dengan menggunakan Rumus 5.10. Lapis permukaan pada
konstruksi bertahap dilaksanakan secara bertahap yaitu pertama kali
dilaksanakan dulu setebal Da yang digunakan selama n1 tahun dan
setelah itu dilaksanakan tahap kedua setebal Db untuk digunakan selama
n2 tahun.
Dengan demikian:
1. n1 + n2 = UR
2. Da + Db tidak sama dengan D1
3. Da + Db lebih tebal dari D1
4. Pada akhir n1 kinerja struktur perkerasan belum mencapai nilai IPt
sesuai n1, namun masih memiliki nilai pelayanan sisa.
Db D1 Lapis permukaan Da D2 Lapis pondasi D2
D3 Lapis pondasi bawah D3
Lapis tanah dasar a. konstruksi tidak bertahap b. Konstruksi bertahap
Gambar 5.11 Perbedaan konstruksi tidak bertahap dengan bertahap
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
166
Keuntungan melaksanakan konstruksi perkerasan jalan secara bertahap
adalah:
1. Biaya pelaksanaan dapat disediakan bertahap.
2. Penyesuaian desain akibat terjadinya beban lalu lintas yang berbeda
dengan perkiraan pada tahap desain dapat dilakukan pada tahap
kedua.
3. Perbaikan akibat adanya kelemahan setempat pada pelaksanaan
dapat diperbaiki terlebih dahulu sebelum tahap kedua dilaksanakan.
Kerugian melaksanakan konstruksi perkerasan jalan secara bertahap
adalah:
1. Biaya pelaksanaan secara keseluruhan menjadi lebih mahal karena
total tebal perkerasan bertambah.
2. Selama masa pelaksanaan tahap kedua akan mengganggu arus lalu
lintas.
3. Beberapa utilitas jalan terganggu dan menambah biaya pelaksanaan.
Masa pelayanan n1 umumnya dipilih antara 25 – 50% masa pelayanan
total, dengan demikian penentuan besarnya 1ITP didasarkan pada LER1
untuk masa pelayanan tahap pertama. Nomogram yang digunakan sama
dengan nomogram pada konstruksi tidak bertahap tetapi LER yang
digunakan dimodifikasi terlebih dahulu. Modifikasi nilai LER dilakukan
berdasarkan asumsi bahwa lapis permukaan tahap kedua dilaksanakan
jika umur sisa dari lapis perkerasan tahap pertama mencapai nilai 40%.
Tahap pertama:
a. Jika umur sisa perkerasan diakhir tahap pertama adalah 0%, maka
1ITP dihitung berdasarkan nilai LER1. 1ITP adalah ITP tahap
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
167
pertama, sedangkan LER1 adalah LER selama umur rencana tahap
pertama.
b. Jika umur sisa perkerasan diakhir tahap pertama adalah 40%, maka
1ITP harus lebih besar dari nilai 1ITP untuk sisa umur rencana 0%.
Ini berarti untuk memikul beban yang sama yaitu LER1 tebal
perkerasan harus dibuat lebih tebal agar umur sisa perkerasan masih
40%. Untuk mendapatkan nilai 1ITP dari nomogram atau rumus
yang sama, maka LER1 harus dimodifikasi.
LER1 + (0,40x) LER1 = x LER1, sehingga diperoleh x =1,67.
Jadi, 1ITP pada konstruksi bertahap dimana diharapkan pada akhir
tahap 1 masih tersisa umur rencana 40%, diperoleh dengan meng-
gunakan nomogram yang tersedia, tetapi LER yang digunakan harus
dikalikan dengan 1,67 menjadi 1,67 LER1.
Tahap kedua:
a. 21ITP + adalah ITP selama umur rencana yaitu jumlah tahun tahap
pertama dan kedua. Jika perencanaan dilakukan sekaligus selama
umur rencana, maka 21ITP + ditentukan berdasarkan LER.
Karena pelaksanaan dilakukan bertahap maka LER1 adalah LER
selama umur rencana tahap pertama dan LER2 adalah LER selama
umur rencana tahap kedua.
Tahap pertama, LER1, n1 tahun Tahap kedua, LER2, n2 tahun n1 + n2 = umur rencana
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
168
b. Jika umur 21ITP + ditentukan berdasarkan nilai LER2, maka LER2 harus
dimodifikasi agar mencakup penggunaan selama tahap kedua dan
tahap pertama yang memiliki sisa umur rencana sebanyak 40%.
(0,60 y) LER2 + LER2 = y LER2 , sehingga diperoleh y = 2,50.
Ini berarti 21ITP + yaitu ITP pada tahap pertama dan kedua, pada
konstruksi bertahap dimana diharapkan pada akhir tahap 1 masih
tersisa umur rencana 40%, diperoleh dengan menggunakan
nomogram yang tersedia, tetapi LER yang digunakan harus dikalikan
dengan 2,5 menjadi 2,5 LER2.
5.8 Prosedur Perencanaan Tebal Perkerasan Metode SNI 1732-1989-F
Langkah-langkah perencanaan tebal perkerasan sesuai Metode SNI 1732-
1989-F seperti pada Gambar 5.12 adalah sebagai berikut:
1. Tentukan apakah konstruksi perkerasan akan dilaksanakan bertahap
atau tidak bertahap. Jika dilaksanakan bertahap tentukan masa
pelayanan tahap pertama dan kedua.
2. Tentukan beban lalu lintas pada lajur rencana (LER) seperti dije-
laskan pada Bab 5.1. Jika konstruksi perkerasan dilaksanakan secara
bertahap, maka beban lalu lintas dihitung sebagai LER1 dan LER2
seperti yang diuraikan pada Bab 5.7.
3. Tentukan daya dukung tanah dasar (DDT) seperti diuraikan pada Bab
5.2.
4. Tentukan FR seperti diuraikan pada Bab 5.3.
5. Tentukan Indeks Permukaan awal dan akhir umur rencana seperti
diuraikan pada Bab 5.4.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
169
Gambar 5.12 Bagan alir perencanaan tebal perkerasan SNI 1732-1989-F
Mulai
Input parameterperencanaan
Kekuatan tanah dasar Daya Dukung Tanah Dasar
(DDT)
Faktor Regional (FR) Intensitas curah hujan Kelandaian jalan % kendaraan berat Pertimbangan Teknis
Beban lalu lintas LER pada lajur rencana
Konstruksi bertahap atau tidak dan pentahapannya
Indeks Permukaan awal IPo akhir IPt
Jenis lapisan perkerasan
Koefisien kekuatan relatif
Tentukan tebal lapis perkerasan
Tentukan ITP1 tahap 1
Tentukan ITP selama UR
Tentukan ITP1+2 untuk tahap 1 dan tahap 2
Konstruksi bertahap
Ya
selesai
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
170
6. Tentukan ITP untuk konstruksi tidak bertahap atau 1ITP dan
21ITP + untuk konstruksi bertahap.
7. Tentukan tebal lapis permukaan (D1) atau Da dan Db untuk konstruksi
bertahap, lapis pondasi (D2), lapis pondasi bawah (D3) seperti
diuraikan pada Bab 5.6 sampai dengan Bab 5.8.
Sebaiknya tebal perkerasan direncanakan untuk beberapa variasi jenis
dan tebal lapis perkerasan, lalu dianalisis tentang biaya konstruksi,
kesukaran dalam pelaksanaan dan pemeliharaan, untuk akhirnya di-
putuskan hasil perencanaan yang optimal.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt-01-2002-B
171
BAB 6 Perencanaan Tebal Perkerasan
Metode Pt T-01-2002-B
Metode Pt T-01-2002-B mengacu kepada metode AASHO 1993 seperti
yang telah diuraikan pada Bab 4.3. Bagan alir perencanaan tebal
perkerasan seperti pada Gambar 6.1 sama dengan bagan alir untuk
perencanaan tebal perkerasan mengikuti metode AASHTO 1993.
Hampir keseluruhan tabel yang digunakan pada Metode Pt T-01-2002-B
merupakan adopsi identik dengan metode AASHTO 1993. Pada Bab 6 ini
penggunaan tabel pada Metode Pt T-01-2002-B yang sesuai dengan
tabel pada Metode AASHTO 1993, akan dirujuk langsung kepada Tabel
pada Bab 4. Di samping hal tersebut ada pula tabel yang digunakan pada
Metode SNI 1732-1989-F, digunakan juga pada Metode Pt T-01-2002-B.
Guna pemahaman yang komprehensif tentang metode ini sebaiknya
dibaca juga Bab 4.3.
6.1 Langkah-langkah Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan
Metode Pt T-01-2002-B
Beban lalulintas berdasarkan Metode Pt T-01-2002-B dinyatakan dalam
kumulatif lintas sumbu standar selama umur rencana (W18 pada Bab 4.3).
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
172
Asumsi Structural
Number (SN)
Angka Ekivalen (E)
ESAL
Perhitungan Nilai SN
D1 , D
2 , D3
Tebal perkerasan minimum
Dmin
SN hasil hitung = SN asumsi
- Standar Normal Deviate (ZR )
- Standar Deviation (S0 )
Modulus Resilient (MR )
- Indeks Permukaan Akhir IP0
- Indeks Permukaan Akhir IPt
Reliabilitas (R)
Indeks permukaan (IP)
CBR
Repetisi beban lalu lintas
Koefisien drainase (m)
Koefisien kekuatan relatif lapisan (a)
- Umur rencana - Faktor distribusi arah (D
A ) - Faktor distribusi Lajur (D
L ) - Pertumbuhan Lalu lintas (i) - LHR pada tahun dibuka - Beban & Konfigurasi Sumbu
Tidak
Ya
Gam
bar 6.1 Bagan Alir Metode Pt T-01-2002-B
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt-01-2002-B
173
Langkah-langkah perencanaan tebal perkerasan berdasarkan Metode
Pt T-01-2002-B adalah sebagai berikut:
1. Tentukan Indeks Permukaan awal (IPo) dengan menggunakan Tabel
6.1 khusus untuk lapis permukaan laston, lasbutag, dan lapen. Tabel
ini sama dengan Tabel 5.6 untuk jenis lapis permukaan yang terbatas.
Tabel 6.1 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0) Jenis Lapis
Permukaan IP0 Roughness* (IRI,
m/km) Laston ≥ 4 ≤ 1,0
3,9 – 3,5 > 1,0
Lasbutag 3,9 – 3,5 ≤ 2,0
3,4 – 3,0 > 2,0
Lapen 3,4 – 3,0 ≤ 3,0
2,9 – 2,5 > 3,0 *) Alat Pengukur ketidakrataan yang dipergunakan dapat berupa
roughometer NAASRA, Bump Integrator, dll. Sumber: Pt T-01-2002-B
2. Tentukan Indeks Permukaan akhir (IPt) dengan menggunakan Tabel
6.2 ini sama dengan Tabel 5.7, tetapi tidak mencantumkan LER.
Tabel 6.2 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)
Fungsi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
- 2,0 – 2,5 2,5 2,5 Sumber: Pt T-01-2002-B
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
174
Untuk pererencanaan tebal lapis perkerasan jalan tol sebaiknya
menggunakan IPt = 3. IPt yang disediakan oleh metode ini berbeda
dengan yang disediakan oleh Metode AASHTO 1993, karena IPt pada
Metode AASHTO 1993 hanya memiliki 3 nilai yaitu 2, 2,5 dan 3.
3. Asumsikan nilai SN untuk digunakan menentukan angka ekivalen.
4. Tentukan angka ekivalen setiap jenis kendaraan dengan terlebih
dahulu menentukan angka ekivalen masing-masing sumbu. Rumus
untuk menghitung angka ekivalen sumbu tunggal roda tunggal seperti
pada Rumus 6.1.
Esumbu tunggal roda tunggal = (kN53
kNgal,sumbu tungbeban )4 ................. (6.1)
Angka ekivalen untuk konfigurasi sumbu lainnya ditentukan dengan
mempergunakan tabel seperti pada Tabel di Lampiran 1. Tabel ini
sama dengan tabel yang diberikan oleh AASHTO 1993, sehingga tabel
yang tersedia hanya untuk IPt 2; 2,5 atau 3. Tidak ada tabel yang
tersedia untuk IPt = 1,5 dan 1. Rumus 4.4 dan Rumus 4.5 tak
dianjurkan untuk digunakan karena rumus ini berasal dari rumus
empiris yang berlaku pada kondisi IPo = 4,2 dan IPt = 3, 2,5; atau 2.
Oleh karena itu metode ini disarankan hanya digunakan sesuai
batasan yang diberikan oleh AASHTO 1993 saja.
5. Tentukan faktor distribusi arah (DA) jika volume lalulintas yang
tersedia dalam 2 arah. DA berkisar antara 0,3 – 0,7. Untuk perenca-
naan umumnya DA diambil sama dengan 0,5 kecuali pada kasus
khusus dimana kendaraan berat cenderung menuju satu arah tertentu
atau pada kasus dimana diperoleh data volume lalulintas untuk
masing-masing arah.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt-01-2002-B
175
6. Tentukan faktor distribusi lajur (DL) yaitu faktor distribusi ke lajur
rencana.
Tabel 6.3 menunjukkan faktor distribusi lajur (DL) yang diberikan
oleh Pt T-01-2002-B. Tabel ini sama dengan Tabel yang diberikan
oleh AASHTO 1993.
Tabel 6.3 Faktor Distribusi Lajur (DL)
Jumlah lajur per arah Persen sumbu standar dalam lajur rencana
1 100
2 80 100
3 60 – 80
4 50 - 75 Sumber: Pt T-01-2002-B dan AASHTO 1993
7. Hitunglah Lintas Ekivalen Selama Umur Rencana (W18) seperti pada
Rumus 4.8 atau 4.9. Nilai N dapat dilihat pada Tabel 4.10.
8. Reliabilitas seperti telah dijelaskan pada Bab 4.3.2, besarnya
ditentukan berdasarkan Tabel 4.12. So dan ZR ditentukan dengan
menggunakan Tabel 4.11 sesuai reliabilitas yang dipilih.
9. Tentukan MR tanah dasar dengan menggunakan Rumus 3.18,
CBRsegmen ditentukan seperti diuraikan pada Bab 3.2.3.
10. Tentukan nilai SN dalam inci dengan menggunakan nomogram pada
Gambar 4.7 atau Rumus 4.13.
11. SN yang diperoleh pada Butir 10 harus sama dengan yang di-
asumsikan pada Butir 3. Jika SN yang diperoleh tidak sama dengan
SN yang diasumsikan, maka langkah diulang kembali mulai dari Butir
3 sampai ditemukan SN hasil hitungan = SN asumsi.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
176
12. Tentukan koefisien drainase lapis pondasi dan lapis pondasi bawah
dengan menggunakan Tabel 4.13. dan Tabel 4.14.
13. Tentukan tebal minimum masing-masing lapisan perkerasan dengan
menggunakan Rumus 4.17 sampai dengan Rumus 4.22 dan Tabel
4.15.
14. Tentukan tebal setiap lapis dengan menggunakan Rumus 4.14.
Koefisien kekuatan relatif menggunakan Gambar 4.8 sampai dengan
Gambar 4.10 atau Rumus 4.15 dan Rumus 4.16. Tebal yang
diperoleh memiliki satuan inci, sehingga perlu diubah kesatuan cm
dan memperhatikan tebal minimum yang mungkin dapat
dilaksanakan untuk setiap jenis lapis perkerasan yang dipilih.
15. Analisis biaya yang dibutuhkan untuk konstruksi struktur perkerasan
dengan membandingkan berbagai kombinasi lapis perkerasan yang
dipilih sehingga akhirnya diperoleh desain akhir.
6.2 Konstruksi Bertahap Sesuai Metode Pt T-01-2002-B
Konstruksi bertahap sesuai metode Pt T-01-2002-B dilakukan dengan
alasan yang sama dengan yang dikemukakan pada Bab 5.7. Tahap
pertama diambil lebih pendek dari tahap kedua yaitu 25% - 50% dari
umur rencana total. Langkah-langkah perencanaan tebal perkerasan
bertahap sama dengan tanpa bertahap, hanya saja reliabilitas yang
digunakan untuk konstruksi bertahap dihitung dengan Rumus 6.2
Rbertahap = (Rseluruh)1/n ...................................... (6.2)
dengan:
Rbertahap = reliabilitas masing-masing tahapan
Rseluruh = reliabilitas keseluruhan tahapan
n = jumlah tahapan selama umur rencana
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt-01-2002-B
177
6.3 Tinjauan Metode Pt T-01-2002-B Terhadap
Metode AASHTO 1993
Metode Pt T-01-2002-B merupakan metode yang identik dengan metode
AASHTO 1993, walaupun terdapat beberapa hal yang kurang sesuai
untuk digunakan di Indonesia. Tabel 6.4 menunjukkan perbedaan utama
antara Metode Pt T-01-2002-B dan AASHTO 1993.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada Metode Pt T-01-2002-B
adalah:
1. Penggunaan satuan yang tak lazim digunakan di Indonesia yaitu
satuan imperial. Tebal lapis perkerasan dinyatakan dalam satuan inci.
2. Jenis lapis permukaan yang dipilih dapat bukan beton aspal,
sehingga IP0 memiliki variasi nilai. Rumus empiris yang dihasilkan
oleh AASHTO 1993 hanya untuk lapis beton aspal.
3. Kinerja perkerasan jalan di akhir umur rencana (IPt) sesuai AASHTO
1993 hanya terdiri dari 3 nilai yaitu 2; 2,5; dan 3; sedangkan IPt pada
Metode Pt T-01-2002-B ada yang kurang dari 2. Tabel angka ekivalen
yang disediakan tidak ada untuk nilai IPt kurang dari 2. Rumus 4.4
dan 4.5 yang dipergunakan untuk menghitung angka ekivalen seperti
pada tabel Lampiran 1 tidak dapat digunakan untuk menghitung
angka ekivalen dengan IPt kurang dari 2.
4. Daya dukung tanah dasar dinyatakan dengan MR sebagai hasil dari
pengujian sesuai AASHTO T274. Nilai MR diperoleh dengan memper-
hatikan kondisi muka air tanah dan untuk perencanaan digunakan MR
efektif.
5. Untuk nilai CBR kurang dari 10%, kedua metode memberikan
korelasi MR dengan nilai CBR.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
178
6. Koefisien kekuatan relatif ditentukan berdasarkan nilai modulus dari
setiap jenis lapis perkerasan. Untuk menyesuaikan dengan jenis lapis
perkerasan yang biasa di Indonesia disarankan untuk menggunakan
Tabel 5.9.
Tabel 6.4 Perbedaan Metode AASHTO1993 dengan PtT-01-2002-B
Keterangan AASHTO 1993 Pt T-01-2002-B
Indeks
Permukaan
Awal
po = 4,2
IPo bervariasi antara ≤ 2,4
sampai ≥ 4, sesuai dengan
jenis lapis permukaan yang
dipilih (Tabel 6.1)
Indeks
Permukaan
Akhir
pt = 2, 2,5; atau 3,0
IPt bervariasi antara 1,0; 1,5;
2,0; atau 2,5, berdasarkan
fungsi jalan (Tabel 6.2)
Disediakan dalam
bentuk tabel
Disediakan dalam bentuk
tabel, tetapi tidak ada
untuk IPt =1,5 dan 1,0.
Angka Ekivalen E sumbu tunggal tidak
dibedakan antara
sumbu tunggal roda
tunggal dengan
sumbu tunggal roda
ganda
E sumbu tunggal roda
tunggal dihitung dengan
rumus khusus.
Angka Struktural SN dalam inci SN dalam inci
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
179
BAB 7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Struktur perkerasan jalan mengalami penurunan kinerja akibat berbagai
sebab antara lain repetisi beban lalulintas, air yang dapat berasal dari air
hujan, sistem drainase yang kurang baik, perubahan temperatur dan
intensitas curah hujan, kondisi geologi lingkungan, kondisi tanah dasar
yang kurang stabil, dan proses pelaksanaan yang kurang baik. Penurunan
kinerja struktur perkerasan tidak disebabkan hanya oleh satu faktor saja,
pada umumnya saling berkaitan yang dapat saja dimulai dari satu
penyebab.
Selama masa pelayanan struktur perkerasan mengalami penurunan
kinerja dari kinerja awal yang diharapkan yaitu sama dengan IPo, sampai
dengan kinerja akhir yaitu sama dengan IPt. Gambar 7.1 menggambarkan
penurunan kinerja tanpa adanya pemeliharaan.
Waktu penurunan kinerja dari IPo sampai dengan IPt diharapkan sama
dengan umur rencana. Namun, mutu struktur perkerasan, repetisi dan
beban lalulintas yang terjadi, kondisi lapis permukaan, dan drainase jalan
dapat mempercepat terjadinya penurunan kinerja. Jika dilakukan pemeli-
haraan secara periodik penurunan dari IPo sampai mencapai IPt terjadi
pada waktu yang lebih panjang. Gambar 7.2 menggambarkan penurunan
kinerja dengan adanya pemeliharaan.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
180
Gambar 7.1 Penurunan kinerja perkerasan dari IPo ke IPt
tanpa pemeliharaan
Gambar 7.2 Penurunan kinerja perkerasan dari IPo ke IPt
dengan pemeliharaan
Struktur perkerasan jalan yang telah mencapai indeks permukaan sama
dengan IPt disebut sebagai perkerasan yang telah habis masa pela-
yanannya. Peningkatan kinerja struktur perkerasan agar mampu melayani
repetisi lalulintas selama umur rencana atau masa layanan berikutnya,
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
181
dilakukan dengan memberikan lapis tambah (overlay) tanpa atau dengan
pelebaran jalan. Kebutuhan akan pelebaran jalan ditentukan dari kemam-
puan ruang jalan melayani arus lalulintas, sedangkan pemberian lapis
tambah ditentukan dari kemampuan jalan menerima beban lalulintas.
Sebelum perencanaan tebal lapis tambah perlu dilakukan terlebih dahulu
pengumpulan data tentang kondisi struktur perkerasan jalan yang akan
diberi lapis tambah.
7.1 Survei Kondisi Perkerasan Jalan
Survei kondisi struktur perkerasan jalan terdiri dari:
1. survei kondisi permukaan jalan
2. survei kondisi struktur perkerasan jalan.
Survei kondisi permukaan jalan bertujuan untuk mengetahui tingkat
kenyamanan (rideability) permukaan jalan. Survei dibedakan atas survei
kenyamanan berkendaraan dan survei kerusakan permukaan jalan.
Survei kenyamanan berkendaraan dapat dilakukan dengan menggunakan
alat roughometer atau melakukan survei perjalanan dengan mengendarai
mobil berkecepatan tetap. Kenyamanan dikelompokkan menjadi nyaman,
kurang nyaman, dan tidak nyaman.
Survei kerusakan meliputi penilaian terhadap jenis, kualitas, dan kuantitas
kerusakan yang terjadi pada muka jalan. Kerusakan yang mungkin terjadi
antara lain retak (cracking), distorsi, cacat permukaan, pengausan, kege-
mukan (bleeding), dan atau penurunan pada bekas penanaman utilitas.
Survei kondisi struktur perkerasan jalan bertujuan untuk mengetahui
kondisi struktur perkerasan secara menyeluruh untuk memikul beban.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
182
Survei dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara destruktif atau
secara non destruktif.
7.1.1 Kerusakan Jalan
Sesuai Manual Pemeliharaan Jalan No: 03/MN/B/1983 kerusakan dikelom-
pokkan menjadi:
1. retak (cracking)
2. distorsi
3. cacat permukaan
4. pengausan
5. kegemukan (bleeding)
6. penurunan pada bekas penanaman utilitas.
Pada umumnya kerusakan yang terjadi merupakan gabungan dari ber-
bagai jenis kerusakan sebagai akibat dari berbagai faktor yang saling
terkait.
Retak
Retak yang terjadi pada permukaan jalan dibedakan atas:
1. retak halus (hair cracks), yaitu retak dengan lebar celah lebih kecil
atau sama dengan 3 mm. Retak rambut berkembang menjadi retak
kulit buaya.
2. retak kulit buaya (aligator cracks), yaitu retak dengan lebar celah lebih
besar dari 3 mm yang saling berangkai membentuk serangkaian kotak-
kotak kecil yang menyerupai kulit buaya.
3. retak pinggir (edge cracks), yaitu retak memanjang jalan, dengan atau
tanpa cabang yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu.
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
183
4. retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint cracks), yaitu retak
memanjang yang terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan
jalan.
5. retak sambungan jalan (lane joint cracks), yaitu retak memanjang
yang terjadi pada sambungan 2 lajur lalu lintas.
6. retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks), yaitu retak me-
manjang yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama
dengan perkerasan pelebaran.
7. retak refleksi (reflection cracks), yaitu retak memanjang, melintang,
diagonal, atau membentuk kotak sebagai gambaran pola retakan di-
bawahnya.
8. retak susut (shrinkage cracks), yaitu retak yang saling bersambungan
membentuk kotak-kotak besar dengan sudut yang tajam, akibat per-
ubahan volume pada lapis permukaan.
9. retak slip (slippage cracks), yaitu retak yang bentuknya melengkung
seperti sabit, akibat kurang baiknya ikatan antara lapis permukaan dan
lapis dibawahnya.
Semua retak harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum diberi lapis
tambah.
Distorsi
Distorsi atau perubahan bentuk disebabkan oleh lemahnya tanah dasar
atau pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tam-
bahan pemadatan akibat beban lalulintas.
Berbagai jenis distorsi adalah:
1. alur (rutting), terjadi pada lintasan roda kendaraan yang sejajar
dengan sumbu jalan, akibat terjadinya tambahan pemadatan akibat
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
184
beban lalulintas. Alur dapat menjadi tempat genangan air yang meng-
akibatkan timbulnya kerusakan yang lain.
2. keriting (corrugation), alur yang terjadi dalam arah melintang jalan,
akibat rendahnya stabilitas struktur perkerasan jalan.
3. sungkur (solving), deformasi plastis yang terjadi setempat, biasanya di
tempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, atau tikungan
tajam.
4. amblas (grade depressions), terjadi setempat pada ruas jalan. Amblas
dapat dideteksi dengan adanya genangan air setempat. Adanya
amblas mempercepat terjadinya lubang pada perkerasan jalan.
5. jembul (upheaval), terjadi setempat pada ruas jalan, yang disebabkan
adanya pengembangan tanah dasar akibat adanya tanah ekspansif.
Semua distorsi harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum diberi lapis
tambah.
Cacat Permukaan
Cacat permukaan biasanya merupakan kerusakan muka jalan akibat
kimiawi dan mekanis material lapis permukaan.
Berbagai jenis cacat permukaan adalah:
1. lubang (potholes), berupa mangkuk, berukuran bervariasi dari kecil
sampai dengan besar. Lubang menjadi tempat berkumpulnya air yang
dapat meresap kelapisan dibawahnya yang menyebabkan kerusakan
semakin parah.
2. pelepasan butir (raveling) lapis permukaan, akibat buruknya material
yang digunakan, adanya air yang terjebak, atau kurang baiknya
pelaksanaan konstruksi.
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
185
3. pengelupasan lapis permukaan (stripping), akibat kurang baiknya
ikatan antara aspal dengan agregat atau terlalu tipisnya lapis
permukaan.
Semua cacat permukaan harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum diberi
lapis tambah.
Pengausan
Pengausan (polished aggregate) yaitu permukaan jalan licin sehingga
mudah terjadi slip yang membahayakan lalulintas. Pengausan terjadi
akibat ukuran, bentuk, dan jenis agregat yang digunakan untuk lapis aus
tidak memenuhi mutu yang disyaratkan.
Kegemukan
Kegemukan (bleeding) yaitu naik dan melelehnya aspal pada temperatur
tinggi. Kegemukan yang mengakibatkan jejak roda kendaraan pada
permukaan jalan dan licin disebabkan oleh penggunaan aspal yang terlalu
banyak.
Gambar 7.3 sampai dengan Gambar 7.9 memperlihatkan berbagai jenis
kerusakan struktur perkerasan.
Gambar 7.3 Retak kulit buaya (aligator cracks)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
186
Gambar 7.4 Retak sambungan jalan
Gambar 7.5 Retak melintang jalan
Gambar 7.6 Alur (rutting)
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
187
Gambar 7.7 Lubang (potholes)
Gambar 7.8 Pelepasan butir
Gambar 7.9 Amblas (grade depressions)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
188
Penurunan pada bekas penanaman utilitas
Penurunan pada bekas penanaman utilitas (utility cut depressions) yaitu
kerusakan yang terjadi akibat ditanamnya utilitas pada bagian perkerasan
jalan dan tidak dipadatkan kembali dengan baik. Hal ini dapat meng-
akibatkan distorsi pada permukaan dan berlanjut dengan kerusakan
lainnya.
Sebelum diberi lapis tambah, semua penurunan akibat penanaman utilitas
ini harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum diberi lapis tambah.
7.1.2 Kondisi Struktur Perkerasan Jalan Lama
Survei kondisi struktur perkerasan jalan dibedakan melalui pemeriksaan
destruktif dan pemeriksaan nondestruktif. Pemeriksaan destruktif dilaku-
kan dengan mengambil benda uji atau pengamatan visual pada tes pit
atau sumur uji yang dibuat pada perkerasan jalan lama. Pemeriksaan
destruktif kurang disukai karena mengakibatkan kerusakan pada perke-
rasan jalan lama. Namun demikian perencanaan tebal lapis tambah
berdasarkan analisis komponen membutuhkan data kondisi perkerasan
jalan yang diperoleh melalui pemeriksaan destruktif.
Pemeriksaan nondestruktif dilakukan melalui pengujian lendutan di atas
perkerasan jalan lama tanpa merusak struktur perkerasan jalan. Oleh
karena itu banyak digunakan untuk pengumpulan data guna perencanaan
tebal lapis tambah.
Alat yang digunakan antara lain:
1. Benkelman beam, alat ini sangat umum digunakan di Indonesia
sejak 1980 an.
2. Falling Weight Deflectometer (FWD).
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
189
Alat Falling Weight Deflectometer (FWD) terdiri dari rangkaian alat yang
ditarik oleh kendaraan penarik seperti pada Gambar 7.10.
Sumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar 7.10 Falling Weight Deflectometer Prinsip kerja alat Falling Weight Deflectometer (FWD) adalah memberikan
beban impuls kepada perkerasan jalan melalui pelat beban berbentuk
lingkaran yang efeknya merupakan simulasi dari beban sumbu standar
yang bergerak. Beban impuls berupa beban yang dijatuhkan dari
ketinggian tertentu, menimbulkan lendutan yang efeknya ditangkap oleh
7 buah deflektor atau geophone yang diletakkan pada jarak–jarak
tertentu yaitu 0, 30, 40, 60, 90, 120, dan 150 cm dari pusat beban.
Pengukuran temperatur perkerasan, tempertur udara, dan kondisi
drainase dilakukan bersamaan dengan pengukuran lendutan akibat beban
Trailer FWD
Processor Komputer
Kendaraan Penarik
Unit Hidrolik
Kotak penghubung Rem tangan
Roda Depan / Penahan Batang pengukur
Deflektor Beban pelat
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
190
impuls. Hasil pengukuran FWD berupa berupa cekung lendutan seperti
pada Gambar 7.11.
Dari hasil pengukuran dan dengan menggunakan perhitungan balik (back
calculations) dapat hitung modulus resilent tanah dasar dan lapis
perkerasan.
Sumber: Branley D
Gambar 7.11 Diagram cekung lendutan
7.2 Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan Alat
Benkelman Beam
Batang Benkelman untuk mengukur lendutan perkerasan jalan pertama
kali diperkenalkan oleh A.C.Benkelman pada awal 1950. Batang Benkel-
man yang digunakan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian dengan
perbandingan 1:2 oleh sumbu O, seperti pada Gambar 7.12, dengan
panjang total batang adalah (366 ± 0,16) cm.
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
191
Sumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar 7.12 Alat Benkelman Beam
Untuk mengukur lendutan perkerasan jalan batang Benkelman diletakkan
di antara roda belakang truk yang memiliki sumbu belakang sama dengan
jenis dan beban sumbu standar. Posisi ujung batang Benkelman seperti
pada Gambar 7.13.
Sumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar 7.13 Posisi Benkelman Beam
Tumit batang (beam toe)
titik kontak tumit batang dengan permukaan jalan
batang pengukur
sumbu O
pendatar penggetar
arloji pengukur
kaki depan
pengunci kerangka kaki belakang
baterai
Beban
Berat kosong 5 Ton
4,08 Ton
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
192
Karakteristik truk yang digunakan sebagai penyebab beban pada titik
yang hendak diukur lendutannya adalah sebagai berikut:
1. Berat kosong truk (5 ± 0,1) ton
2. Sumbu belakang truk adalah sumbu tunggal roda ganda
3. Beban masing-masing roda belakang ban ganda = (4,08 ± 0,045
ton) atau (9000 ± 100) pon. Beban sumbu belakang truk sama
dengan sumbu standar 18.000 pon.
Temperatur udara dan temperatur permukaan jalan diukur bersamaan
dengan pengukuran lendutan dengan menggunakan alat seperti pada
Gambar 7.14.
Gambar 7.14 Alat pengukur
temperatur permukaan Alat benkelman beam digunakan untuk mengukur lendutan balik,
lendutan balik titik belok, lendutan maksimum, dan cekung lendutan.
Namun, hanya lendutan balik yang umum digunakan untuk merenca-
nakan tebal lapis tambah.
Lendutan balik (rebound deflection) adalah besarnya lendutan balik
vertikal akibat beban pada titik pengamatan dihilangkan. Pengukuran
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
193
dilakukan setelah truk bergerak maju ke depan sejarak 6 m dari titik
pengamatan dengan kecepatan 5 km/jam. Gambar 7.15 menunjukkan
posisi beban pada saat pengukuran lendutan balik.
Besarnya lendutan balik dipengaruhi oleh temperatur, beban dan muka
air tanah pada saat pengukuran. Prosedur pengukuran mengikuti SNI M-
01-1990-F yaitu Metode Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur dengan
alat Benkelman Beam.
Sumber: No.01/MN/B/1983.
Gambar 7.15 Hubungan lendutan dengan pembacaan dial alat benkelman beam
7.2.1 Lendutan Balik
Berdasarkan Pedoman Pd.T-05-2005-B, besarnya lendutan balik
ditentukan dengan menggunakan Rumus 7.1.
d = 2 x (d3 – d1) x Ft x Ca x FKB-BB ...........................(7.1)
d 1 2 3
1 2
½ d
d
1 2 3
6 m
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
194
dengan:
d = lendutan balik (mm)
d1 = lendutan pada saat beban tepat pada titik pengukuran
d3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik
pengukuran
Ft = faktor penyesuaian lendutan balik terhadap temperatur standar
35oC, sesuai Rumus 7.2. untuk tebal lapis beraspal (HL) < 10
cm dan Rumus 7.3 untuk tebal lapis beraspal ≥ dengan 10 cm.
Tabel 7.1 dan Gambar 7.16 menunjukkan nilai Ft untuk
berbagai nilai TL.
Sumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar 7.16 Faktor koreksi lendutan balik terhadap temperatur standar
0,400,500,600,700,800,901,001,101,201,301,401,501,601,701,80
20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Temperatur Perkerasan, TL (oC)
Fakt
or K
orek
si L
endu
tan
(Ft)
Kurva B (HL < 10 cm)
Kurva B (HL ≥ 10 cm)
Temperatur Perkerasan, TL (oC)
Fakt
or K
orek
si L
endu
tan
(Ft)
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
195
Tabel 7.1 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft) Faktor Koreksi (Ft)
TL
(oC) Kurva A (HL ≤ 10 cm)
Kurva B (HL ≥ 10 cm)
20 1,25 1,53 22 1,21 1,42 24 1,16 1,33 26 1,13 1,25 28 1,09 1,19 30 1,06 1,13 32 1,04 1,07 34 1,01 1,02 36 0,99 0,98 38 0,97 0,94 40 0,95 0,90 42 0,93 0,87 44 0,91 0,84 46 0,90 0,81 48 0,88 0,79 50 0,87 0,76 52 0,85 0,74 54 0,84 0,72 56 0,83 0,70 58 0,82 0,68 60 0,81 0,67 62 0,79 0,65 64 0,78 0,63 66 0,77 0,62 68 0,77 0,61 70 0,76 0,59
Sumber: Pd.T-05-2005-B
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
196
Ft = 4,184 x TL-0,4025, untuk HL < 10 cm ......................... (7.2)
Ft = 14,785 x TL-0,7573, untuk HL ≥ 10 cm ........ ............... (7.3)
TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari pengukuran
langsung di lapangan atau dapat diprediksi dari tempearatur
udara, yaitu:
TL = 1/3 (Tp +Tt + Tb) .................................................. (7.4)
Tp = temperatur permukaan beraspal
Tt = temperatur tengah beraspal, dari Tabel 7.2.
Tb = temperatur bawah beraspal, atau dari Tabel 7.2.
Ca = faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)
= 1,2; jika pengujian dilakukan pada musim kemarau atau
muka air tanah rendah
= 0,9; jika pengujian dilakukan pada musim hujan atau muka
air tanah tinggi
FKB-BB = faktor koreksi beban uji Benkelman beam
FKB-BB = 77,343 x (beban uji dalam ton)(-2,0715) .................... (7.5)
Lendutan balik yang telah dikoreksi akibat temperatur, muka air tanah,
dan beban uji digambarkan seperti contoh pada Gambar 7.17. Gambar ini
mempermudah melihat secara visual tingkat keseragaman lendutan untuk
penentuan batas segmen pada tahap perencanaan tebal lapis tambah.
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
197
Tabel 7.2 Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) Lapis Beraspal
Temperatur lapis beraspal (oC) pada kedalaman Tu + Tp
(oC) 2,5 cm 5,0 cm 10 cm 15 cm 20 cm 30 cm
45 26,8 25,6 22,8 21,9 20,8 20,1 46 27,4 26,2 23,3 22,4 21,3 20,6 47 28,0 26,7 23,8 22,9 21,7 21,0 48 28,6 27,3 24,3 23,4 22,2 21,5 49 29,2 27,8 24,7 23,8 22,7 21,9 50 29,8 28,4 25,2 24,3 23,1 22,4 51 30,4 28,9 25,7 24,8 23,6 22,8 52 30,9 29,5 26,2 25,3 24,0 23,3 53 31,5 30 26,7 25,7 24,5 23,7 54 32,1 30,6 27,1 26,2 25,0 24,2 55 32,7 31,2 27,6 26,7 25,4 24,6 56 33,3 31,7 28,1 27,2 25,9 25,1 57 33,9 32,3 28,6 27,6 26,3 25,5 58 34,5 32,8 29,1 28,1 26,8 26,0 59 35,1 33,4 29,6 28,6 27,2 26,4 60 35,7 33,9 30,0 29,1 27,7 26,9 61 36,3 34,5 30,5 29,5 28,2 27,3 62 36,9 35,1 31,0 30,0 28,6 27,8 63 37,5 35,6 31,5 30,5 29,1 28,2 64 38,1 36,2 32,0 31,0 29,5 28,7 65 38,7 36,7 32,5 31,4 30,0 29,1 66 39,3 37,3 32,9 31,9 30,5 29,6 67 39,9 37,8 33,4 32,4 30,9 30,0 68 40,5 38,4 33,9 32,9 31,4 30,5 69 41,1 39,0 34,4 33,3 31,8 30,9 70 41,7 39,5 34,9 33,8 32,3 31,4 71 42,2 40,1 35,4 34,3 32,8 31,8 72 42,8 40,6 35,8 34,8 33,2 32,3 73 43,4 41,2 36,3 35,2 33,7 32,8 74 44,0 41,7 36,8 35,7 34,1 33,2 75 44,6 42,3 37,3 36,2 34,6 33,7 76 45,2 42,9 37,8 36,7 35,0 34,1 77 45,8 43,4 38,3 37,1 35,5 34,6 78 46,4 44,0 38,7 37,6 36,0 35,0 79 47,0 44,5 39,2 38,1 36,4 35,5 80 47,6 45,1 39,7 38,6 36,9 35,9 81 48,2 45,6 40,2 39,0 37,3 36,4 82 48,8 46,2 40,7 39,5 37,8 36,8 83 49,4 46,8 41,2 40,0 38,3 37,3 84 50,0 47,3 41,6 40,5 38,7 37,7 85 50,6 47,9 42,1 40,9 39,2 38,2
Sumber: Pd.T-05-2005-B
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
198
Sumber: Pd.T-05-2005-B
Gambar 7.17 Contoh hasil pengukuran lendutan balik
7.2.2 Lendutan Balik Segmen
Segmen adalah bagian dari ruas jalan yang memiliki tingkat keseragaman
nilai lendutan balik. Tingkat keseragaman dikategorikan atas sangat baik,
baik, dan cukup baik yang ditentukan dengan menggunakan Faktor
Keseragaman (FK) seperti pada Rumus 7.6.
FK = Rds x 100% ............................................... (7.6)
dengan:
FK = faktor keseragaman
dR = lendutan balik rata-rata pada satu segmen jalan
0,000
0,100
0,200
0,300
0,400
0,500
0,600
0,700
0,800
0,900
1,000
82,0
00
82,1
00
82,2
00
82,3
00
82,4
00
82,5
00
82,6
00
82,7
00
82,8
00
82,9
00
83,0
00
83,1
00
83,2
00
83,3
00
83,4
00
83,5
00
83,6
00
83,7
00
83,8
00
83,9
00
84,0
00
Km
Lend
utan
FW
D (m
m)
Lendutan Rata-rata
Km
Lend
utan
FW
D (m
m)
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
199
dR = s
n
1
n
ds
∑ ........................................................ (7.7)
S = deviasi standar atau simpangan baku
S = 1)(nn
d)()d(n
ss
n
1
2n
1
2s
ss
−
− ∑∑.......................................(7.8)
d = lendutan balik
ns = jumlah data lendutan balik dalam satu segmen.
FK ijin adalah FK yang diijinkan untuk satu segmen jalan, atau nilai FK
yang dapat diterima untuk menunjukkan keseragaman satu segmen
jalan.
Ada 3 kategori tingkat keseragaman yaitu:
1. 0 – 10%, keseragaman sangat baik
2. 11 – 20%, keseragaman baik
3. 21 – 30%, keseragaman cukup baik.
Dwakil adalah nilai lendutan balik yang digunakan untuk menunjukkan
lendutan balik satu segmen jalan dan digunakan untuk perencanaan tebal
lapis tambah. Penentuan Dwakil dipengaruhi oleh fungsi jalan dan tingkat
kepercayaan yang digunakan. Rumus dasar adalah:
Dwakil = dR + K.s ........................................................(7.9)
dengan:
Dwakil = lendutan balik untuk mewakili satu segmen jalan
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
200
dR = lendutan balik rata-rata dari satu segmen jalan
K = konstanta terkait dengan tingkat kepercayaan yang dipilih
sesuai fungsi jalan
K = 2, tingkat kepercayaan 98%, digunakan untuk jalan arteri atau
tol
K = 1,64, tingkat kepercayaan 95%, digunakan untuk jalan kolektor
K = 1,28, tingkat kepercayaan 90%, digunakan untuk jalan lokal.
7.3 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode SNI 1732-1989-F
Perencanaan tebal lapis tambah menggunakan metode SNI 1732-1989-F
hakikatnya sama dengan perencanaan tebal lapis perkerasan jalan baru
yang telah diuraikan pada Bab 5. Tebal lapis tambah diperoleh berdasar-
kan kinerja sisa dari lapis perkerasan jalan lama yang diperoleh sebagai
hasil pemeriksaan visual.
Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah menggunakan Metode
SNI 1732-1989-B adalah sebagai berikut:
1. Tentukan ITP dengan mengikuti prosedur seperti pada Bab 5.8 sesuai
umur rencana. ITP ini adalah ITP yang dibutuhkan sesuai kondisi
daya dukung tanah dasar.
2. Tentukan sisaITP dari perkerasan jalan yang akan diberi lapis tambah
dengan menggunakan Rumus 7.10.
sisaITP = K1.a1D1 + K2.a2D2 + K3.a3D3 ........................... (7.10)
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
201
dengan:
K1 = kondisi lapis permukaan berdasarkan nilai pada Tabel 7.3.
K2 = kondisi lapis pondasi berdasarkan nilai pada Tabel 7.3.
K3 = kondisi lapis pondasi bawah berdasarkan nilai pada
Tabel 7.3.
a1,a2,a3 = koefisien relatif untuk lapis permukaan, pondasi, dan
pondasi bawah (baca juga Bab 5.5)
D1,D2,D3 = tebal lapis permukaan, pondasi, dan pondasi bawah
(baca juga Bab 5.5)
3. Tentukan ∆ ITP dengan menggunakan Rumus 7.11.
∆ ITP = ITP - sisaITP ................................................(7.11)
4. Tentukan tebal lapis tambah dengan menggunakan Rumus 7.12.
D tambah = 1a
ITPΔ ................................................(7.12)
7.4 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pt T-01-2002-B
Perencanaan tebal lapis tambah menggunakan Metode Pt T-01-2002-B
yang sesuai dengan AASHTO 1993 dapat dilakukan melalui perhitungan
balik (backcalculation) dari nilai lendutan hasil pengukuran dengan FWD
atau menggunakan analisis komponen dari perkerasan jalan lama. Pada
buku ini hanya diuraikan perencanaan tebal lapis tambah menggunakan
analisis komponen.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
202
Tabel 7.3 Nilai Kondisi Perkerasan Jalan
Keterangan Nilai Kondisi
Perkerasan (%)
1. Lapis Permukaan:
a. Umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi pada lajur roda
b. Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada lajur roda, namun masih tetap stabil
c. Retak sedang, beberapa deformasi pada lajur roda, pada dasarnya masih menunjukkan ke-stabilan
d. Retak banyak, demikian juga deformasi pada lajur roda, menunjukkan gejala ketidak stabil-an
90 – 100
70 – 90
50 – 70
30 - 50
2. Lapis Pondasi:
a. Pondasi beton aspal atau penetrasi makadam - umumnya tidak retak - terlihat retak halus, namun masih tetap stabil - retak sedang, pada dasarnya masih menun-
jukkan kestabilan - retak banyak, menunjukkan gejala ketidak
stabilan b. Stabilisasi tanah dengan semen atau kapur: Indeks Plastisitas ≤ 10% c. Pondasi Macadam atau batu pecah Indeks Plastisitas ≤ 6%
90 – 100
70 - 90
50 – 70
30 – 50
70 – 100
80 - 100
3. Lapis pondasi bawah:
Indeks Plastisitas ≤ 6% Indeks Plastisitas > 6%
90 – 100 70 – 90
Sumber: SNI 1732-1989-B
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
203
Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah berdasarkan analisis
komponen yang menggunakan Metode Pt T-01-2002-B adalah sebagai
berikut:
1. Tentukan SN dengan mengikuti prosedur seperti pada Bab 6.1 sesuai
umur rencana. SN ini adalah SN yang dibutuhkan sesuai kondisi daya
dukung tanah dasar.
2. Tentukan SN efektif dari perkerasan jalan yang akan diberi lapis
tambah dengan menggunakan Rumus 7.13.
SNeff = a1’D1’ + a2’ m2D2’ + a3’ m3D3’ ........................(7.13)
dengan:
SN = angka struktural efektif dari perkerasan jalan lama, inci
a1’ = koefisien kekuatan relatif lapis permukaan sesuai kondisi
jalan lama yang diperoleh dari Tabel 7.4
a2’ = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi sesuai kondisi
jalan lama yang diperoleh dari Tabel 7.4
a3’ = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi bawah sesuai
kondisi jalan lama yang diperoleh dari Tabel 7.4
D1’ = tebal lapis permukaan jalan lama, inci
D2’ = tebal lapis pondasi jalan lama, inci
D3’ = tebal lapis pondasi bawah jalan lama, inci
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
204
Tabel 7.4 Koefisien Kekuatan Relatif (a) Jalan Lama *)
Bahan Kondisi Permukaan Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Lapis permukaan beton aspal
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah.
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau < 5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau < 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau < 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau > 10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau > 10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
0,35 – 0,40
0,25 – 0,35
0,20 – 0,30
0,14 – 0,20
0,08 – 0,15
Lapis pondasi yang distabilisasi
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah.
0,20 – 0,35
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
205
Bahan Kondisi Permukaan Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Lapis pondasi yang distabilisasi
< 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau < 5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi.
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau < 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi.
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau < 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau > 10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi.
> 10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau > 10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi.
0,15 – 0,25
0,15 – 0,20
0,10 – 0,20
0,08 – 0,15
Lapis pondasi atau lapis pondasi bawah granular
Tidak ditemukan adanya pumping, de-gradasi, atau kontaminasi oleh butir halus.
Terdapat pumping, degradasi, atau kontaminasi oleh butir halus.
0,10 – 0,14
0,00 – 0,10
Keterangan: *) Penilaian dilakukan untuk tiap segmen jalan 100m. Kerusakan yang
terjadi diperbaiki atau dikoreksi, maka nilai kondisi perkerasan jalan harus disesuaikan. Nilai ini dipergunakan untuk mengkoreksi koefisien kekuatan relatif perkerasan jalan lama
Sumber: Pt T-01-2002-B
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
206
3. Tentukan SNol yaitu SN yang dibutuhkan untuk tebal lapis tambah
dengan menggunakan Rumus 7.14.
SNol = SN - SNeff ...................................................... (7.14)
4. Tentukan tebal lapis tambah dengan menggunakan Rumus 7.15
Dol = ol
eff
ol
ol
aSNSN
aSN −
= ............................................ (7.15)
dengan:
Dol = tebal lapis tambah dalam inci
aol = koefisien relatif lapis tambah
SNol = SN tebal lapis tambah dalam inci
7.5 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode No.01/MN/B/1983
Perencanaan tebal lapis tambah Metode No.01/MN/B/1983 mengikuti
metode yang dikembangkan oleh Asphalt Institute. Tebal lapis tambah
ditentukan berdasarkan data lendutan balik yang diperoleh dari hasil
pengukuran dengan menggunakan alat benkelman beam (baca juga Bab
7.2).
Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah menggunakan data
lendutan balik sesuai Metode No.01/MN/B/1983 adalah sebagai berikut:
1. Tentukan AE18ksal dengan menggunakan Rumus 7.16.
AE18KSAL= ∑ LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N .......................... (7.16)
Rumus 7.16 ini sama dengan Rumus 4.8, yaitu menghitung repetisi
beban sumbu standar pada lajur rencana selama umur rencana.
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
207
2. Tentukan Dwakil dari segmen sesuai Rumus 7.9.
3. Tentukan lendutan balik yang diizinkan berdasarkan AE18KSAL dengan
menggunakan Gambar 7.18 atau Gambar 7.19. Gambar 7.18
digunakan untuk kondisi kritis, yaitu jika lapis permukaan bukan dibuat
dari beton aspal, sedangkan Gambar 7.19 digunakan untuk kondisi
failure, yaitu jika lapis permukaan dibuat dari beton aspal.
Gambar 7.18 Lendutan balik yang diizinkan berdasarkan kondisi kritis Rumus 7.17 dapat digunakan untuk menentukan lendutan balik yang diijinkan (Dizin) untuk kondisi kritis, yaitu jika digunakan lapis permukaan bukan lapis beton aspal. Dizin = 5,5942. e-0,2769 log AE18KSAL ................................................ (7.17)
Diz
in
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
208
Rumus 7.18 dapat digunakan untuk menentukan lendutan balik yang diijinkan (Dizin) untuk kondisi failure, yaitu jika digunakan beton aspal sebagai lapis permukaan.
Dizin = 8,6685. e-0,2769 log AE18KSAL . ................................................ (7.18)
Gambar 7.19 Lendutan balik yang diizinkan berdasarkan kondisi failure
4. Tentukan tebal lapis tambah berdasarkan lendutan balik yang diizinkan
dan Dwakil dari kondisi jalan lama dengan menggunakan Gambar 7.20.
Dwakil menunjukkan lendutan balik sebelum diberi lapis tambah, dan
Dizin menunjukkan lendutan balik setelah diberi lapis tambah. Jenis
lapis tambah yang diperoleh adalah jenis beton aspal. Jika hendak
digunakan jenis perkerasan lainnya tebal lapis tambah yang diperoleh
dari Gambar 7.20 dikonversikan dengan menggunakan koefisien relatif
(baca juga Bab 5.5.)
Diz
in
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
209
Sumber: No.01/MN/B/1983
Gambar 7.20 Hubungan lendutan balik sebelum dan estela diberi lapis tambah 7.6 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Road Design System (RDS)
Metode RDS ini dikembangkan sejak tahun 1980an dan sebelumnya
dikenal sebagai Hot Rolled Overlay Design (HRODI). Tebal lapis tambah
terdiri dari tebal yang dibutuhkan untuk membentuk bentuk permukaan
kembali dan tebal untuk meningkatkan kinerja struktur perkerasan.
Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah menggunakan Metode
RDS adalah sebagai berikut:
1. Tentukan RCI dari jalan lama dengan menggunakan alat roughometer
atau secara visual dengan menggunakan Tabel 7.5.
2. Tentukan ESA dengan menggunakan Rumus 7.19
ESA= ∑ LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N ........................(7.19)
0,5
1,0
1,5
2,0
1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50
Lend
utan
set
elah
lapi
s ta
mba
h, m
m)
Lendutan sebelum Lapis Tambah (mm)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
210
Rumus 7.19 ini sama dengan Rumus 4.8, yaitu menghitung repetisi
beban sumbu standar pada lajur rencana selama umur rencana.
Tabel 7.5 Nilai RCI secara visual
RCI Kondisi permukaan
jalan beraspal ditinjau secara visual
Tipe permukaan yang khas
8 -10 Sangat rata dan teratur Beton aspal yang baru setelah peningkatan dengan menggunakan beberapa lapis
7 - 8 Sangat baik, umumnya rata
Beton aspal setelah pemakaian beberapa tahun atau beton aspal yang baru diletakkan sebagai lapisan tipis di atas penetrasi macadam
6 - 7 Baik Lapisan tipis lama dari beton aspal, lasbutag baru.
5 - 6
Cukup, sedikit sekali atau tidak ada lubang-lubang, tetapi permukaan jalan tidak rata
Penetrasi macadam baru, latasbum baru, lasbutag setelah pemakaian beberapa lama
4 – 5 Jelek, kadang-kadang ada lubang, permukaan tidak rata
Penetrasi macadam setelah pemakaian 2 atau 3 tahun, latasbum baru, pemeliharaan jelek, berkerikil.
3 – 4 rusak, bergelombang, banyak lubang
Penetrasi macadam lama, latasbum lama, pemeliharaan jelek, berkerikil
2 – 3
rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah perkerasan hancur
Semua tipe perkerasan yang tidak dipelihara sejak lama
1 tidak dapat dilewati kecuali oleh jeep sumbu ganda
Jalan tanah dengan drainase jelek, tipe perkerasan yang tidak dipelihara sama sekali.
Sumber: CER:04
3. Tentukan Dwakil dari segmen sesuai Rumus 7.9.
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
211
4. Tentukan tebal lapis tambah untuk membentuk kembali bentuk
permukaan yang telah rusak dengan menggunakan Rumus 7.20.
T = 0,001 (9 – RCI)4,5 + Pd. Cam/4 + Tmin ................... (7.20)
dengan:
T = tebal lapis tambah untuk membentuk kembali permukaan
yang telah rusak, cm
Pd = lebar perkerasan dalam meter
RCI = Road Condition Index seperti pada Tabel 7.5 atau hasil
pengukuran dengan alat roughometer
Cam = perubahan kemiringan melintang yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kemiringan melintang yang direncanakan
Tmin = tebal minimum lapisan penutup minimal 2 cm, tetapi jika RCI
≥ 5, maka Tmin = 0
5. Tentukan tebal lapis tambah untuk meningkatkan kinerja struktur
perkerasan jalan dengan menggunakan Rumus 7.21.
t = ESA
ESADwakil
log013,008,0)log1(048,0log303,2
−−− ........................... (7.21)
dengan:
t = tebal lapis tambah untuk meningkatkan struktur perkerasan
jalan
Dwakil = lendutan balik yang mewakili lendutan balik
sepanjang satu segmen
ESA = repetisi beban lalulintas selama umur rencana
6. Tebal lapis tambah yang dibutuhkan adalah HRS setebal t + T cm.
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
212
7.7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pd T-05-2005-B
Perencanaan tebal lapis tambah Metode Pd T-05-2005-B ditentukan
berdasarkan data lendutan balik yang diperoleh dari hasil pengukuran
dengan menggunakan alat benkelman beam (baca juga Bab 7.2).
Langkah-langkah perencanaan tebal lapis tambah menggunakan data
lendutan balik sesuai Metode Pd T-05-2005-B adalah sebagai berikut:
1. Angka ekivalen dihitung untuk setiap jenis kendaraan dengan terlebih
dahulu dihitung angka ekivalen masing-masing sumbu. Rumus untuk
menghitung angka ekivalen sesuai jenis sumbu seperti pada Rumus
7.22 sampai dengan Rumus 7.25.
Esumbu tunggal roda tunggal = (5.400
kggal,sumbu tungbeban )4 ................ (7.22)
Esumbu tunggal roda ganda = (8.160
kgganda,sumbu beban )4 .................. (7.23)
Esumbu tandem roda ganda = (13.760
kggal,sumbu tungbeban )4 ................ (7.24)
Esumbu tripel roda ganda = (18.450
kgganda,sumbu beban )4 .................. (7.25)
Angka ekivalen untuk berbagai jenis dan beban sumbu dapat dilihat
pada Lampiran 2.
2. Tentukan akumulasi ekivalen beban sumbu standar (Cummulative
Equivalent Single Axleload) dengan menggunakan Rumus 7.26.
CESA = ∑=
=
ni
1iiLHR x 365 x Ei x Ci x N ............................... (7.26)
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
213
dengan:
CESA = akumulasi ekivalen beban sumbu standar selama umur
rencana, lss/ur/lajur
LHRi = LHR jenis kendaraan i di awal umur rencana,
ditentukan dengan menggunakan Rumus 5.3.
Ei = angka ekivalen untuk jenis kendaraan i
Ci = koefisien distribusi jenis kendaraan i
365 = lama hari dalam satu tahun
N = faktor umur rencana, seperti pada Tabel 4.10 atau
menggunakan Rumus 4.10.
Rumus 7.24 ini memiliki pengertian yang sama dengan Rumus 4.8;
Rumus 4.9; dan Rumus 7.16, hanya saja beberapa parameter meng-
gunakan simbul yang berbeda.
3. Hitunglah lendutan balik rencana atau lendutan balik izin dengan
menggunakan Rumus 7.27 atau Gambar 7.21.
Drencana = 22,208 x CESA(-0,2307) ........................................... (7.27)
dengan:
Drencana = lendutan balik rencana dimana lendutan diukur dengan
menggunakan alat benkelman beam.
4. Hitung tebal lapis tambah (H0) dengan menggunakan Rumus 7.28 atau
Gambar 7.22.
H0 = 0,0597
)]Ln(D)Ln(D)[Ln(1,0364 stlovsblov −+ .............................. (7.28)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
214
dengan:
Ho = tebal lapis tambah sebelum dikoreksi dengan temperatur
rata-rata tahunan di lokasi jalan, dalam satuan cm.
Dsblov = lendutan balik sebelum lapis tambah, = Dwakil pada Bab 7.2,
dalam satuan mm..
Dstlov = lendutan balik setelah lapis tambah, = lendutan balik
rencana = lendutan balik izin, dalam satuan mm.
Sumber: Pd T-05-2005-B
Gambar 7.21 Hubungan antara lendutan balik rencana dan CESA
5. Hitung faktor koreksi lapis tambah akibat perbedaan teperatur lokasi
jalan dengan temperatur standar dengan menggunakan Rumus 7.29
atau Gambar 7.23.
Fo = 0,5032 x Exp(0,0194 x TPRT) ............................ (7.29)
dengan:
Fo = faktor koreksi tebal lapis tambah
TPRT = Temperatur Perkerasan Rata-rata Tahunan untuk
daerah atau kota tertentu
Perencanaan Tebal Lapis Tambah
215
Sumber: Pd T-05-2005-B
Gambar 7.22 Hubungan antara lendutan balik sebelum dan setelah lapis tambah
Sumber: Pd T-05-2005-B
Gambar 7.23 Faktor koreksi tebal lapis tambah (Fo)
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
216
6. Hitung tebal lapis tambah terkoreksi (Ht) dengan mengalikan Ho
dengan faktor koreksi lapis tambah Fo seperti Rumus 7.30.
Ht = Ho x Fo ........................................................... (7.30)
7. Koreksi tebal lapis tambah jika jenis lapis tambah yang digunakan
tidak lapis beton aspal dengan modulus resilient (MR) = 2000 Mpa dan
stabilitas Marshall minimum 800 kg dengan menggunakan Rumus
7.31, Tabel 7.6, atau Gambar 7.24.
FKTBL = 12,51 x MR-0,333 .......................................... (7.31)
Sumber: Pd T-05-2005-B
Gambar 7.24 Faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian jenis lapisan
Tabel 7.6 Faktor Koreksi Penyesuaian Jenis Lapis Tambah (FKTBL)
Jenis Lapisan Modulus Resilient, MPa
Stabilitas Marshall, kg FKTBL
Laston Modifikasi 3000 min 1000 0,85 Laston 2000 min 800 1,00 Lataston 1000 min 800 1,23
Sumber: Pd T-05-2005-B
Daftar Pustaka
217
DAFTAR PUSTAKA
1. AASHTO, 1972, AASHTO Interim Guide for Design of Pavement
Structures.
2. AASHTO, 1993, AASHTO Guide for Design of Pavement Structures.
3. AASHTO, 1990, Standard Spesifications for Transportation Materials
and Methods of Sampling and Testing.
4. AASHTO Subcommittee on Highway Transport, 2004, Engineering
Issues Related to Trucking – Pavements.
5. ……., Traffic Monitoring Guide.
6. Bian, Yi, Subgrade under the Pavement, Term Project for ECI281A.
7. Branley D, 2002, Falling Weight Deflectometers, University of Illinois
at Urbana.
8. California Department of Transportation, 2001, Flexible Pavement
Rehabilitation Manual.
9. Croney, D & Croney P., 1991, The Design And Performance Of Road
Pavements, Second Edition, McGraw-Hill International Edition.
10. Departemen Pekerjaan Umum, Cara Uji CBR Dengan Dynamic Cone
Penetrometer (DCP).
11. Departemen Pekerjaan Umum Badan Pembinaan Konstruksi dan
Sumber Daya Manusia Pusat Pembinaan Kompetensi dan pelatihan
Konstruksi, CER:04, Standar Desain Jalan.
12. Departemen Pekerjaan Umum, Badan Penelitian dan Pengem-
bangan, Pusat Litbang Jalan Dan Jembatan, 2007, Spesifikasi Umum
Bidang Jalan Dan Jembatan.
Perkerasan Lentur Jalan Raya
218
13. Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga,
Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam
No. 01/MN/BM/83.
14. Departemen Pekerjaan Umum, Petunjuk Perencanaan Tebal Perke-
rasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, SKBI
2.3.26.1987, UDC:625.73(02).
15. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pedoman Peren-
canaan Tebal Perkerasan Lentur, Pt T-01-2002-B.
16. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pedoman Peren-
canaan Tebal Lapis Tambah Perkerasan Lentur Dengan Metode
Lendutan, Pd T-05-2005-B.
17. Harman Thomas, 2001, 2002 Pavement Design, US Department of
Transportation, Federal Highway Administration.
18. Janisch,David, 2003, An Overview of Mn/DOT’s Pavement Condition
Rating Procedures and Indices.
19. Japan Road Association, 1980, “Manual for Design and Construction
of Asphalt Pavement”.
20. Krebs, R and Walker R, 1971, Highway Materials, McGraw-Hill Book
Company, New York.
21. LTRC, Research Project 03-3P, 2003, Comparative Evaluation of
Subgrade Resilient Modulus from Non-destructive, In-situ, and
Laboratory Methods.
22. Monsere Chris, Portland State University, CE 454 Urban Trans-
portation System, Introduction to Pavement Design.
23. Olidis, C & Hein, D, Guide for the Mechanistic-Empirical Design of
New and Rehabilitated Pavement Structures, Material Charac-
Daftar Pustaka
219
terization, 2004 Annual Conference of the Transportation Asso-ciation
of Canada, Quebec.
24. Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu
lintas Jalan.
25. Purnomo, 2005, Manajemen Pembangunan Jalan.
26. Rao S, Weigh-In Motion (WIM) Detectors, 2002.
27. Rohan Perera, Effect of variation of simulation speed of quarter car
ini the IRI algorithm, Pymouth, Michigan.
28. Seeds,SB, 1999, Flexible Pavement Design, Summary of the State of
the Art.
29. SNI 03-1738-1989, Metode Pengujian CBR Lapangan.
30. SNI 03-2416-1991, Metode Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur
Dengan Alat Benkelman Beam.
31. Suaryana N. & Anggodo Y, Kajian Metoda Perencanaan Tebal Lapis
Tambah Perkerasan Lentur, Puslitbang Jalan Dan jembatan,
Bandung.
32. Sukirman S., 1999, Perkerasan Lentur Jalan Raya, Nova, Bandung.
33. Sukirman S., 2003, Beton Aspal Campuran Panas, Granit, Jakarta.
34. Sukirman S., 2006, Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, Institut
Teknologi Nasional,Bandung.
35. TRRL, Road Note No.40, A Guide to The Measurement Of Axle Loads
In Developing Countries Using A Portable Weighbridge.
36. Tutumluer, R. & Dawson, A., 2004, Resilient Characterization of
Compacted Aggregate
37. Undang-Undang Republik Indonesia No.38 Tahun 2004 tentang Jalan
Perkerasan Lentur Jalan Raya
220
38. Undang-Undang Republik Indonesia No.22 Tahun 2009 tentang
Lalulintas Dan Angkutan Jalan
39. Washington State Department of Transportation, 1995, WSDOT
Pavement Guide, Volume 2, Pavement Notes, For Design, Evaluation
and Rehabilitation.
40. Wright, PH and Dixon K, 2004, Highway Engineering, John Wiley &
Sons Pte,Ltd, Singapore
41. Witczak, M.W., 2001, Design of New and Rehabilitated AC Pavement
Design Structures, Scandinavian Seminar Series.
42. Wu, Z, 2007, Structural Overlay Design Using NDT Methods,
Louisiana Transportation Research Center.
43. http://www.pages.drexel.edu/hsuanyg/classnote%.
44. http://www.pages.drexel.edu/hsuanyg/classnote2
45. http://www.mapc.org/transportation/Highway_Design_Guidelines
46. http://www.vhb.com/mhdGuide
47. http://cobweb.ecn.purdue.edu/~spave
48. http://pas.ce.wsu.edu/CE473
49. http://www.u.arizona.edu/~mhickman/CE363
50. http://www.cecs.pdx.edu
51. http://www.engr.psu.edu/ce/Academics
52. http://www2.et.byu.edu/~msaito/CE361MS
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93
221
LAMPIRAN 1
Angka ekivalen Berdasarkan AASHTO’93
Dilengkapi dengan nilai angka ekivalen berdasarkan
SNI 1732-1989-F dan Pd.T-05-2005-B
Tabel L 1.1 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 2,0
Beban Sumbu Angka Struktural (SN)1) Pd.T-05-
2005-B3)
kips ton 1 2 3 4 5 6
SNI 1732-1989-
F2) Roda ganda
2 0,9 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002 0,0001 0,0001
4 1,8 0,002 0,003 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002
6 2,7 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
8 3,6 0,03 0,04 0,04 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04
10 4,5 0,08 0,08 0,09 0,08 0,08 0,08 0,09 0,09
12 5,4 0,16 0,18 0,19 0,18 0,17 0,17 0,19 0,19
14 6,4 0,32 0,34 0,35 0,35 0,34 0,33 0,38 0,38
16 7,3 0,59 0,60 0,61 0,61 0,60 0,60 0,64 0,64
18 8,2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
20 9,1 1,61 1,59 1,56 1,55 1,57 1,60 1,55 1,55
22 10,0 2,49 2,44 2,35 2,31 2,35 2,41 2,26 2,26
24 10,9 3,71 3,62 3,43 3,33 3,40 3,51 3,18 3,18
26 11,8 5,36 5,21 4,88 4,68 4,77 4,96 4,37 4,37
28 12,7 7,54 7,31 6,78 6,42 6,52 6,83 5,87 5,87
30 13,6 10,4 10,0 9,2 8,7 8,7 9,2 7,72 7,72
32 14,5 14,0 13,5 12,4 11,5 11,5 12,1 9,97 9,97
34 15,4 18,6 17,9 16,3 15,0 14,9 15,6 12,69 12,69
36 16,3 24,2 23,3 21,2 19,3 19,0 19,9 15,92 15,92
38 17,2 31,1 30,0 27,1 24,6 24,0 25,1 19,74 19,74
40 18,1 39,6 38,0 34,3 30,9 30,0 31,3 24,21 24,21
42 19,0 49,7 47,7 43,0 38,6 37,2 38,5 29,39 29,39
44 19,9 61,8 59,3 53,4 47,6 45,7 47,1 35,37 35,37
46 20,8 76,1 73,0 65,6 58,3 55,7 57,0 42,22 42,22
48 21,7 92,9 89,1 80,0 70,9 67,3 68,6 50,01 50,01
50 22,6 113,0 108,0 97,0 86,0 81,0 82,0 58,84 58,84 1) Sumber: AASHTO’93 2) menggunakan Rumus 5.1 3) menggunakan Rumus 7.23
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
222
Tabel L 1.2 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 2,0
Beban sumbu Angka Struktural (SN)1)
kips ton 1 2 3 4 5 6
SNI 1732-1989-
F2)
Pd.T-05-2005-B3)
2 0,9 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001 0,00002
4 1,8 0,0003 0,0003 0,0003 0,0002 0,0002 0,0002 0,0002 0,0003
6 2,7 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
8 3,6 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,002 0,003 0,005
10 4,5 0,007 0,008 0,008 0,007 0,006 0,006 0,008 0,011
12 5,4 0,013 0,016 0,016 0,014 0,013 0,012 0,016 0,024
14 6,4 0,024 0,029 0,029 0,026 0,024 0,023 0,033 0,047
16 7,3 0,041 0,048 0,050 0,046 0,042 0,040 0,055 0,079
18 8,2 0,066 0,077 0,081 0,075 0,069 0,066 0,088 0,126
20 9,1 0,103 0,117 0,124 0,117 0,109 0,105 0,133 0,191
22 10,0 0,156 0,171 0,183 0,174 0,164 0,158 0,194 0,279
24 10,9 0,227 0,244 0,260 0,252 0,239 0,231 0,274 0,394
26 11,8 0,322 0,340 0,360 0,353 0,338 0,329 0,376 0,541
28 12,7 0,447 0,465 0,487 0,481 0,466 0,455 0,505 0,726
30 13,6 0,607 0,623 0,646 0,643 0,627 0,617 0,664 0,954
32 14,5 0,810 0,823 0,843 0,842 0,829 0,819 0,857 1,233
34 15,4 1,06 1,07 1,08 1,08 1,08 1,07 1,09 1,57
36 16,3 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,37 1,97
38 17,2 1,76 1,75 1,73 1,72 1,73 1,74 1,70 2,44
40 18,1 2,22 2,19 2,15 2,13 2,16 2,18 2,08 2,99
42 19,1 2,77 2,73 2,64 2,62 2,66 2,70 2,53 3,64
44 20 3,42 3,36 3,23 3,18 3,24 3,31 3,04 4,37
46 21 4,20 4,11 3,92 3,83 3,91 4,02 3,63 5,22
48 22 5,10 4,98 4,72 4,58 4,68 4,83 4,30 6,19
50 23 6,15 5,99 5,64 5,44 5,56 5,77 5,06 7,28
52 24 7,37 7,16 6,71 6,43 6,56 6,83 6,44 9,25
54 24 8,77 8,51 7,93 7,55 7,69 8,03 6,44 9,25
56 25 10,4 10,1 9,3 8,8 9,0 9,4 7,58 10,90
58 26 12,2 11,8 10,9 10,3 10,4 10,9 8,86 12,75
60 27 14,3 13,8 12,7 11,9 12,0 12,6 10,31 14,82
62 28 16,6 16,0 14,7 13,7 13,8 14,5 11,92 17,15
64 29 19,3 18,6 17,0 15,8 15,8 16,6 13,72 19,73
66 30 22,2 21,4 19,6 18,0 18,0 18,9 15,71 22,59 1)Sumber: AASHTO’93 2) menggunakan Rumus 5.2 3) menggunakan Rumus 7.24
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93
223
Tabel L 1.3 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 2,0
Beban sumbu Angka Struktural (SN)1)
kips ton 1 2 3 4 5 6
Pd.T-05-2005-B2)
2 0,9 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001
4 1,8 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,00009
6 2,7 0,0004 0,0004 0,0003 0,0003 0,0003 0,0003 0,00
8 3,6 0,0009 0,0010 0,0009 0,0008 0,0007 0,0007 0,00
10 4,5 0,002 0,002 0,002 0,002 0,002 0,001 0,00
12 5,4 0,004 0,004 0,004 0,003 0,003 0,003 0,01
14 6,4 0,006 0,007 0,007 0,006 0,006 0,005 0,01
16 7,3 0,010 0,012 0,012 0,010 0,009 0,009 0,02
18 8,2 0,016 0,019 0,019 0,017 0,015 0,015 0,04
20 9,1 0,024 0,029 0,029 0,026 0,024 0,023 0,06
22 10,0 0,034 0,042 0,042 0,038 0,035 0,034 0,09
24 10,9 0,049 0,058 0,060 0,055 0,051 0,048 0,12
26 11,8 0,068 0,080 0,083 0,077 0,071 0,068 0,17
28 12,7 0,093 0,107 0,113 0,105 0,098 0,094 0,22
30 13,6 0,125 0,140 0,149 0,140 0,131 0,126 0,30
32 14,5 0,164 0,182 0,194 0,184 0,173 0,167 0,38
34 15,4 0,213 0,233 0,248 0,238 0,225 0,217 0,49
36 16,3 0,273 0,294 0,313 0,303 0,288 0,279 0,61
38 17,2 0,346 0,368 0,390 0,381 0,364 0,353 0,76
40 18,1 0,434 0,456 0,481 0,473 0,454 0,443 0,93
42 19,1 0,538 0,560 0,587 0,580 0,561 0,548 1,12
44 20 0,662 0,682 0,710 0,705 0,686 0,673 1,35
46 21 0,807 0,825 0,852 0,849 0,831 0,818 1,62
48 22 0,976 0,992 1,015 1,014 0,999 0,987 1,91
50 23 1,17 1,18 1,20 1,20 1,19 1,18 2,25
52 24 1,40 1,40 1,42 1,42 1,41 1,40 2,86
54 24 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 2,86
56 25 1,95 1,95 1,93 1,93 1,94 1,94 3,37
58 26 2,29 2,27 2,24 2,23 2,25 2,27 3,94
60 27 2,67 2,64 2,59 2,57 2,60 2,63 4,59
62 28 3,10 3,06 2,98 2,95 2,99 3,04 5,30
64 29 3,59 3,53 3,41 3,37 3,42 3,49 6,10
66 30 4,13 4,05 3,89 3,83 3,90 3,99 6,99 1)Sumber: AASHTO’93 2) menggunakan Rumus 7.25
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
224
Tabel L 1.4 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 2,5
Beban sumbu Angka Struktural (SN)1) Pd.T-05-
2005-B3)
kips Ton 1 2 3 4 5 6
SNI 1732-1989-
F2) Roda ganda
2 0,9 0,0004 0,0004 0,0003 0,0002 0,0002 0,0002 0,0001 0,0001
4 1,8 0,003 0,004 0,004 0,003 0,003 0,002 0,002 0,002
6 2,7 0,01 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
8 3,6 0,03 0,05 0,05 0,04 0,03 0,03 0,04 0,04
10 4,5 0,08 0,10 0,1 0,10 0,09 0,08 0,09 0,09
12 5,4 0,17 0,20 0,18 0,21 0,19 0,18 0,19 0,19
14 6,4 0,33 0,36 0,35 0,39 0,36 0,34 0,38 0,38
16 7,3 0,59 0,61 0,61 0,65 0,62 0,61 0,64 0,64
18 8,2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
20 9,1 1,61 1,57 1,55 1,47 1,51 1,55 1,55 1,55
22 10,0 2,48 2,38 2,28 2,09 2,18 2,30 2,26 2,26
24 10,9 3,69 3,49 3,23 2,89 3,03 3,27 3,18 3,18
26 11,8 5,33 4,99 4,42 3,91 4,09 4,48 4,37 4,37
28 12,7 7,49 6,98 5,92 5,21 5,39 5,98 5,87 5,87
30 13,6 10,3 9,5 7,9 6,8 6,97 7,8 7,72 7,72
32 14,5 13,9 12,8 10,5 8,8 8,9 10,0 9,97 9,97
34 15,4 18,4 16,9 13,7 11,3 11,2 12,5 12,69 12,69
36 16,3 24,0 22,0 17,7 14,4 13,9 15,5 15,92 15,92
38 17,2 30,9 28,3 22,6 18,1 17,2 19,0 19,74 19,74
40 18,1 39,3 35,9 28,5 22,5 21,1 23,0 24,21 24,21
42 19,0 49,3 45,0 35,6 27,8 25,6 27,7 29,39 29,39
44 19,9 61,3 55,9 44,0 34,0 31,0 33,1 35,37 35,37
46 20,8 75,5 68,8 54,0 41,4 37,2 39,3 42,22 42,22
48 21,7 92,2 83,9 65,7 50,1 44,5 46,5 50,01 50,01
50 22,6 112,0 102,0 79,0 60,0 53,0 55,0 58,84 58,84 1)Sumber: AASHTO’93 2) menggunakan Rumus 5.1 3) menggunakan Rumus 7.23
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93
225
Tabel L 1.5 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 2,5
Beban sumbu Angka Struktural (SN)1)
kips ton 1 2 3 4 5 6
SNI 1732-1989-
F2)
Pd.T-05-2005-B3)
2 0,9 0,0001 0,0001 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001 0,00002
4 1,8 0,0005 0,0005 0,0004 0,0003 0,0003 0,0002 0,0002 0,0003
6 2,7 0,002 0,002 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
8 3,6 0,004 0,006 0,005 0,004 0,003 0,003 0,003 0,005
10 4,5 0,008 0,013 0,011 0,009 0,007 0,006 0,008 0,011
12 5,4 0,015 0,024 0,023 0,018 0,014 0,013 0,016 0,024
14 6,4 0,026 0,041 0,042 0,033 0,027 0,024 0,033 0,047
16 7,3 0,044 0,065 0,070 0,057 0,047 0,043 0,055 0,079
18 8,2 0,070 0,097 0,109 0,092 0,077 0,070 0,088 0,126
20 9,1 0,107 0,141 0,162 0,141 0,121 0,110 0,133 0,191
22 10,0 0,160 0,198 0,229 0,207 0,180 0,166 0,194 0,279
24 10,9 0,231 0,273 0,315 0,292 0,260 0,242 0,274 0,394
26 11,8 0,327 0,370 0,420 0,401 0,364 0,342 0,376 0,541
28 12,7 0,451 0,493 0,548 0,534 0,495 0,470 0,505 0,726
30 13,6 0,611 0,648 0,703 0,695 0,658 0,633 0,664 0,954
32 14,5 0,813 0,843 0,889 0,887 0,857 0,834 0,857 1,233
34 15,4 1,06 1,08 1,11 1,11 1,09 1,08 1,09 1,57
36 16,3 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,38 1,37 1,97
38 17,2 1,76 1,73 1,69 1,68 1,70 1,73 1,70 2,44
40 18,1 2,21 2,16 2,06 2,03 2,08 2,14 2,08 2,99
42 19,1 2,76 2,67 2,49 2,43 2,51 2,61 2,53 3,64
44 20 3,41 3,27 2,99 2,88 3,00 3,16 3,04 4,37
46 21 4,18 3,98 3,58 3,40 3,55 3,79 3,63 5,22
48 22 5,08 4,80 4,25 3,98 4,17 4,49 4,30 6,19
50 23 6,12 5,76 5,03 4,64 4,86 5,28 5,06 7,28
52 24 7,33 6,87 5,93 5,38 5,63 6,17 6,44 9,25
54 24 8,72 8,14 6,95 6,22 6,47 7,15 6,44 9,25
56 25 10,3 9,6 8,1 7,2 7,4 8,2 7,58 10,90
58 26 12,1 11,3 9,4 8,2 8,4 9,4 8,86 12,75
60 27 14,2 13,1 10,9 9,4 9,6 10,7 10,31 14,82
62 28 16,5 15,3 12,6 10,7 10,8 12,1 11,92 17,15
64 29 19,1 17,6 14,5 12,2 12,2 13,7 13,72 19,73
66 30 22,1 20,3 16,6 13,8 13,7 15,4 15,71 22,59 1)Sumber: AASHTO’93 2) menggunakan Rumus 5.2 3) menggunakan Rumus 7.24
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
226
Tabel L1.6 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 2,5
Beban sumbu Angka Struktural (SN)1)
kips ton 1 2 3 4 5 6
Pd.T-05-2005-B2)
2 0,9 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001
4 1,8 0,0002 0,0002 0,0002 0,0001 0,0001 0,0001 0,00009
6 2,7 0,0006 0,0007 0,0005 0,0004 0,0003 0,0003 0,00
8 3,6 0,001 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001 0,00
10 4,5 0,003 0,004 0,003 0,002 0,002 0,002 0,00
12 5,4 0,005 0,007 0,006 0,004 0,003 0,003 0,01
14 6,4 0,008 0,012 0,010 0,008 0,006 0,006 0,01
16 7,3 0,012 0,019 0,018 0,013 0,011 0,010 0,02
18 8,2 0,018 0,029 0,028 0,021 0,017 0,016 0,04
20 9,1 0,027 0,042 0,042 0,032 0,027 0,024 0,06
22 10,0 0,038 0,058 0,060 0,048 0,040 0,036 0,09
24 10,9 0,053 0,078 0,084 0,068 0,057 0,051 0,12
26 11,8 0,072 0,103 0,114 0,095 0,080 0,072 0,17
28 12,7 0,098 0,133 0,151 0,128 0,109 0,099 0,22
30 13,6 0,129 0,169 0,195 0,170 0,145 0,133 0,30
32 14,5 0,169 0,213 0,247 0,220 0,191 0,175 0,38
34 15,4 0,219 0,266 0,308 0,281 0,246 0,228 0,49
36 16,3 0,279 0,329 0,379 0,352 0,313 0,292 0,61
38 17,2 0,352 0,403 0,461 0,436 0,393 0,368 0,76
40 18,1 0,439 0,491 0,554 0,533 0,487 0,459 0,93
42 19,1 0,543 0,594 0,661 0,644 0,597 0,567 1,12
44 20 0,666 0,714 0,781 0,769 0,723 0,692 1,35
46 21 0,811 0,854 0,918 0,911 0,868 0,838 1,62
48 22 0,979 1,015 1,072 1,069 1,033 1,005 1,91
50 23 1,17 1,20 1,24 1,25 1,22 1,20 2,25
52 24 1,40 1,41 1,44 1,44 1,43 1,41 2,86
54 24 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 2,86
56 25 1,95 1,93 1,90 1,90 1,91 1,93 3,37
58 26 2,29 2,25 2,17 2,16 2,20 2,24 3,94
60 27 2,67 2,60 2,48 2,44 2,51 2,58 4,59
62 28 3,09 3,00 2,82 2,76 2,85 2,95 5,30
64 29 3,57 3,44 3,19 3,10 3,22 3,36 6,10
66 30 4,11 3,94 3,61 3,47 3,62 3,81 6,99 1)Sumber: AASHTO’93 2) menggunakan Rumus 7.25
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93
227
Tabel L1.7 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 3,0
Beban sumbu Angka Struktural (SN)1) Pd.T-05-
2005-B3)
kips ton 1 2 3 4 5 6
SNI 1732-1989-
F2) Roda ganda
2 0,9 0,0008 0,0009 0,0006 0,0003 0,0002 0,0002 0,0001 0,0001
4 1,8 0,004 0,008 0,006 0,004 0,002 0,002 0,002 0,002
6 2,7 0,014 0,030 0,028 0,018 0,012 0,010 0,01 0,01
8 3,6 0,035 0,070 0,080 0,055 0,040 0,034 0,04 0,04
10 4,5 0,082 0,132 0,168 0,132 0,101 0,086 0,09 0,09
12 5,4 0,173 0,231 0,296 0,260 0,212 0,187 0,19 0,19
14 6,4 0,332 0,388 0,468 0,447 0,391 0,358 0,38 0,38
16 7,3 0,594 0,633 0,695 0,693 0,651 0,622 0,64 0,64
18 8,2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
20 9,1 1,60 1,53 1,41 1,38 1,44 1,51 1,55 1,55
22 10,0 2,47 2,29 1,96 1,83 1,97 2,16 2,26 2,26
24 10,9 3,67 3,33 2,69 2,39 2,60 2,96 3,18 3,18
26 11,8 5,29 4,72 3,65 3,08 3,33 3,91 4,37 4,37
28 12,7 7,43 6,56 4,88 3,93 4,17 5,00 5,87 5,87
30 13,6 10,2 8,9 6,5 5,0 5,1 6,3 7,72 7,72
32 14,5 13,8 12,0 8,4 6,2 6,3 7,7 9,97 9,97
34 15,4 18,2 15,7 10,9 7,8 7,6 9,3 12,69 12,69
36 16,3 23,8 20,4 14,0 9,7 9,1 11,0 15,92 15,92
38 17,2 30,6 26,2 17,7 11,9 11,0 13,0 19,74 19,74
40 18,1 38,8 33,2 22,2 14,6 13,1 15,3 24,21 24,21
42 19,0 48,8 41,6 27,6 17,8 15,5 17,8 29,39 29,39
44 19,9 60,6 51,6 34,0 21,6 18,4 20,6 35,37 35,37
46 20,8 74,7 63,4 41,5 26,1 21,6 23,8 42,22 42,22
48 21,7 91,2 77,3 50,3 31,3 25,4 27,4 50,01 50,01
50 22,6 110,0 94,0 61,0 37,0 30,0 32,0 58,84 58,84 1)Sumber: AASHTO’93 2) menggunakan Rumus 5.1 3) menggunakan Rumus 7.23
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
228
Tabel L1.8 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 3,0
Beban sumbu Angka Struktural (AS)1)
kips ton 1 2 3 4 5 6
SNI 1732-1989-
F2)
Pd.T-05-
2005-B3)
2 0,9 0,0002 0,00002 0,0001 0,0001 0,0000 0,0000 0,00001 0,00002
4 1,8 0,001 0,0003 0,001 0,000 0,000 0,000 0,0002 0,0003
6 2,7 0,003 0,001 0,003 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001
8 3,6 0,006 0,005 0,009 0,005 0,003 0,003 0,003 0,005
10 4,5 0,011 0,011 0,020 0,012 0,008 0,007 0,008 0,011
12 5,4 0,019 0,024 0,039 0,024 0,017 0,014 0,016 0,024
14 6,4 0,031 0,047 0,068 0,045 0,032 0,026 0,033 0,047
16 7,3 0,049 0,079 0,109 0,076 0,055 0,046 0,055 0,079
18 8,2 0,075 0,126 0,164 0,121 0,090 0,076 0,088 0,126
20 9,1 0,113 0,191 0,232 0,182 0,139 0,119 0,133 0,191
22 10,0 0,166 0,279 0,313 0,260 0,205 0,178 0,194 0,279
24 10,9 0,238 0,394 0,407 0,368 0,292 0,257 0,274 0,394
26 11,8 0,333 0,541 0,517 0,476 0,402 0,360 0,376 0,541
28 12,7 0,457 0,726 0,643 0,614 0,538 0,492 0,505 0,726
30 13,6 0,616 0,954 0,788 0,773 0,702 0,656 0,664 0,954
32 14,5 0,817 1,233 0,956 0,953 0,896 0,855 0,857 1,233
34 15,4 1,07 1,57 1,15 1,15 1,12 1,09 1,09 1,57
36 16,3 1,38 1,97 1,38 1,38 1,38 1,38 1,37 1,97
38 17,2 1,75 2,44 1,64 1,62 1,66 1,70 1,70 2,44
40 18,1 2,21 2,99 1,94 1,89 1,98 2,08 2,08 2,99
42 19,1 2,75 3,64 2,29 2,19 2,33 2,50 2,53 3,64
44 20 3,39 4,37 2,70 2,52 2,71 2,97 3,04 4,37
46 21 4,15 5,22 3,16 2,89 3,13 3,50 3,63 5,22
48 22 5,04 6,19 3,70 3,29 3,57 4,07 4,30 6,19
50 23 6,08 7,28 4,31 3,74 4,05 4,70 5,06 7,28
52 24 7,27 9,25 5,01 4,24 4,57 5,37 6,44 9,25
54 24 8,65 9,25 5,81 4,79 5,13 6,10 6,44 9,25
56 25 10,2 10,90 6,7 5,4 5,7 6,9 7,58 10,90
58 26 12,0 12,75 7,7 6,1 6,4 7,7 8,86 12,75
60 27 14,1 14,82 8,9 6,8 7,1 8,6 10,31 14,82
62 28 16,3 17,15 10,2 7,7 7,8 9,5 11,92 17,15
64 29 18,9 19,73 11,6 8,6 8,6 10,5 13,72 19,73
66 30 21,8 22,59 13,2 9,6 9,5 11,6 15,71 22,59 1)Sumber: AASHTO’93 2) menggunakan Rumus 5.2 3) menggunakan Rumus 7.24
Lampiran 1, Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93
229
Tabel L1.9 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 3,0
Beban sumbu Angka Struktural (AS)1)
kips ton 1 2 3 4 5 6
Pd.T-05-2005-B2)
2 0,9 0,0001 0,0001 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 0,00001
4 1,8 0,0005 0,0004 0,0003 0,0002 0,0001 0,0001 0,00009
6 2,7 0,001 0,001 0,001 0,001 0,000 0,000 0,00
8 3,6 0,003 0,004 0,002 0,001 0,001 0,001 0,00
10 4,5 0,005 0,008 0,005 0,003 0,002 0,002 0,00
12 5,4 0,007 0,014 0,010 0,006 0,004 0,003 0,01
14 6,4 0,011 0,023 0,018 0,011 0,007 0,006 0,01
16 7,3 0,016 0,035 0,030 0,018 0,013 0,010 0,02
18 8,2 0,022 0,050 0,047 0,029 0,020 0,017 0,04
20 9,1 0,031 0,069 0,069 0,044 0,031 0,026 0,06
22 10,0 0,043 0,090 0,097 0,065 0,046 0,039 0,09
24 10,9 0,059 0,116 0,132 0,092 0,066 0,056 0,12
26 11,8 0,079 0,145 0,174 0,126 0,092 0,078 0,17
28 12,7 0,104 0,179 0,223 0,168 0,126 0,107 0,22
30 13,6 0,136 0,218 0,279 0,219 0,167 0,143 0,30
32 14,5 0,176 0,265 0,342 0,279 0,218 0,188 0,38
34 15,4 0,226 0,319 0,413 0,350 0,279 0,243 0,49
36 16,3 0,286 0,382 0,491 0,432 0,352 0,310 0,61
38 17,2 0,359 0,456 0,577 0,524 0,437 0,389 0,76
40 18,1 0,447 0,543 0,671 0,626 0,536 0,483 0,93
42 19,1 0,550 0,643 0,775 0,740 0,649 0,593 1,12
44 20 0,673 0,760 0,889 0,865 0,777 0,720 1,35
46 21 0,817 0,894 1,014 1,001 0,920 0,865 1,62
48 22 0,984 1,048 1,152 1,148 1,080 1,030 1,91
50 23 1,18 1,23 1,30 1,31 1,26 1,22 2,25
52 24 1,40 1,43 1,47 1,48 1,45 1,43 2,86
54 24 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 1,66 2,86
56 25 1,95 1,92 1,86 1,85 1,88 1,91 3,37
58 26 2,28 2,21 2,09 2,06 2,13 2,20 3,94
60 27 2,66 2,54 2,34 2,28 2,39 2,50 4,59
62 28 3,08 2,92 2,61 2,52 2,66 2,84 5,30
64 29 3,56 3,33 2,92 2,77 2,96 3,19 6,10
66 30 4,09 3,79 3,25 3,04 3,27 3,58 6,99 1)Sumber: AASHTO’93 2) menggunakan Rumus 7.25
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
230
LAMPIRAN 2
Angka ekivalen Berdasarkan SNI 1732-1989-F
DAN
Pd.T-05-2005-B
Lampiran 2 Angka ekivalen Berdasarkan SNI 1732-1989-F Dan Pd.T-05-2005-B
231
LAMPIRAN 2
Angka ekivalen Berdasarkan SNI 1732-1989-F DAN Pd.T-05-2005-B
Tabel L 2.1 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal Roda Tunggal
Beban Sumbu,
ton
SNI 1732-1989-F1)
Pd.T-05-2005-B2)
Beban Sumbu,
ton
SNI 1732-1989-F1)
Pd.T-05-2005-B2)
1 0,0002 0,0012 9 1,48 7,72
2 0,0036 0,0188 10 2,26 11,76
3 0,02 0,10 11 3,30 17,22
4 0,06 0,30 12 4,68 24,39
5 0,14 0,74 13 6,44 33,59
6 0,29 1,52 14 8,66 45,18
7 0,54 2,82 15 11,42 59,54
8 0,92 4,82 16 14,78 77,07 1) menggunakan Rumus 5.1 2) menggunakan Rumus 7.22 Tabel L 2.2 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal Roda Ganda
Beban Sumbu,
ton
SNI 1732-1989-F1)
Pd.T-05-2005-B2)
Beban Sumbu,
ton
SNI 1732-1989-F1)
Pd.T-05-2005-B2)
1 0,0002 0,0002 16 14,78 14,78
2 0,0036 0,0036 17 18,84 18,84
3 0,02 0,02 18 23,68 23,68
4 0,06 0,06 19 29,39 29,39
5 0,14 0,14 20 36,09 36,09
6 0,29 0,29 21 43,86 43,86
7 0,54 0,54 22 52,84 52,84
8 0,92 0,92 23 63,12 63,12
9 1,48 1,48 24 74,83 74,83
10 2,26 2,26 25 88,10 88,10
11 3,30 3,30 26 103,07 103,07
12 4,68 4,68 27 119,87 119,87
13 6,44 6,44 28 138,63 138,63
14 8,66 8,66 29 159,53 159,53
15 11,42 11,42 30 182,69 182,69 1) menggunakan Rumus 5.1 2) menggunakan Rumus 7.23
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
232
Tabel L 2.3 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Ganda Roda Ganda Beban
Sumbu, ton
SNI 1732-1989-F1)
Pd.T-05-2005-B2)
Beban Sumbu,
ton
SNI 1732-1989-F1)
Pd.T-05-2005-B2)
1 0,00002 0,00003 16 1,27 1,83
2 0,00031 0,0004 17 1,62 2,33
3 0,00 0,00 18 2,04 2,93
4 0,00 0,01 19 2,53 3,64
5 0,01 0,02 20 3,10 4,46
6 0,03 0,04 21 3,77 5,43
7 0,05 0,07 22 4,54 6,53
8 0,08 0,11 23 5,43 7,81
9 0,13 0,18 24 6,44 9,25
10 0,19 0,28 25 7,58 10,90
11 0,28 0,41 26 8,86 12,75
12 0,40 0,58 27 10,31 14,82
13 0,55 0,80 28 11,92 17,15
14 0,75 1,07 29 13,72 19,73
15 0,98 1,41 30 15,71 22,59 1) menggunakan Rumus 5.2 2) menggunakan Rumus 7.24
Tabel L 2.4 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tripel Roda Ganda
Beban Sumbu,
ton
SNI 1732-1989-F1)
Pd.T-05-2005-B2)
Beban Sumbu,
ton
SNI 1732-1989-F1)
Pd.T-05-2005-B2)
1 0,00001 16 0,57 2 0,00014 17 0,72 3 0,00 18 0,91 4 0,00 19 1,12 5 0,01 20 1,38 6 0,01 21 1,68 7 0,02 22 2,02 8 0,04 23 2,42 9 0,06 24 2,86 10 0,09 25 3,37 11 0,13 26 3,94 12 0,18 27 4,59 13 0,25 28 5,30 14 0,33 29 6,10 15
tidak ada pedoman untuk itu
0,44 30
tidak ada pedoman untuk itu
6,99 1) tidak ada 2) menggunakan Rumus 7.25
Lampiran 3 Daftar Rumus
233
LAMPIRAN 3
Daftar Rumus
halaman
Bab 2 Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Jalan
Rumus 2.1 : 5tanahdasarD
pondasiD
15
15 ≥ ..................................................27
Rumus 2.2 : 5dasartanah D
pondasiD
85
15 < .................................................27
Bab 3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
Rumus 3.1 : pπPa = ................................................................37
Rumus 3.2 : F1 = G l2/l ............................................................39
Rumus 3.3 : F2 = G l1/l .............................................................39
Rumus 3.4 : F1 = 0,0A G dan F2 = 0,0B G ..................................39
Rumus 3.5 : LHRT = 365
tahun1 dalam kendaraan Jumlah ........ ..........46
Rumus 3.6 : LHR = pengamatan harijumlah
pengamatan selama kendaraan Jumlah .............47
Rumus 3.7 : Q = ∑ LHRi x DA x DL .............................................54
Rumus 3.8 : Q = ∑ LHRTi x DA x DL ...........................................54
Rumus 3.9 : Q = ∑ LHRTi x Ci ..................................................54
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
234
Rumus 3.10 : Q = ∑ LHRi x Ci ................................................ 54
Rumus 3.11 : CBRttk pengamatan = 33
nn3
11 )h
CBR.........hCBRh(
+ ..... 62
Rumus 3.12 : CBRsegmen = CBRrata-rata – K.S ................................. 64
Rumus 3.13 : CBRsegmen = CBRrata-rata -(CBRmaks-CBRmin)/R ............. 64
Rumus 3.14 : DN = ND
............................................................... 69
Rumus 3.15 : Log10 (CBR) = 2,8135 – 1,313 Log10 DN ................. 73
Rumus 3.16 : Log10 (CBR) = 1,352 – 1,125 Log10 DN .................... 73
Rumus 3.17 : MR = r
d
εσ .......................................................... 75
Rumus 3.18 : MR = 1500 (CBR), MR dalam psi ............................. 77
Rumus 3.19 : MR = 2555 (CBR)0,64, MR dalam psi .......................... 77
Rumus 3.20 : IP = (5) e(-0,18) (IRI)) .............................................................................
94
Rumus 3.21 : IP = (5) e(-0,26) (IRI)) .......................................................................
94
Rumus 3.22 : IP = 5,697 – (2,104)√IRI ...................................... 94
Rumus 3.23 : f = F/L ............................................................... 95
Rumus 3.24 : SN atau FN = 100 (F/L) ......................................... 95
Lampiran 3 Daftar Rumus
235
BAB 4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
Rumus 4.1 : log W18 = 9,36 log (SN + 1) – 0,20 +
5,19
t
1) (SN1094 0,40
G
++
+ log R + 0,372 (S – 3,0) .........106
Rumus 4.2 : Gt = log 1,5)(4,2
)p(4,2 t
−−
.............................................106
Rumus 4.3 : SN = a1D1 + a2D2 + a3D3 ......................................106
Rumus 4.4 : [ ]4,332xG/β
G/β4,79
2xx
2s18
18
x L1010
LLLL
WW
18
x
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡++
= .......................111
Rumus 4.5 : βx = 3,232x
5,19
3,232xx
L1)(SN)L0,081(L0,4
++
+ ..................................112
Rumus 4.6 : Ekendaraan = Σ Esumbu ................................................117
Rumus 4.7 : E sumbu = ∑∑
i
ii
fEf
...............................................118
Rumus 4.8 : W18 = ∑ LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N ....................121
Rumus 4.9 : W18 = ∑ LHRTi x Ei x DA x DL x 365 x N ..................121
Rumus 4.10 : N = r
1]r)[(1 n −+ ....................................................122
Rumus 4.11 : .........................................................................Wt
= (wt)(FR) 127
Rumus 4.12 : FR = )( 010 SZ R− .........................................................128
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
236
Rumus 4.13 : log (W18) = ZR x S0 + 9,36 x log (SN + 1) – 0,20 +
19,5)1SN(109440,0
]5.12.4
PSIlog[
++
−Δ
+ 2,32 x log (MR) – 8,07 .......... 132
Rumus 4.14 : SN = a1D1 + a2 m2D2 + a3 m3D3 ............................ 133
Rumus 4.15 : a2 = 0,249 (log EBS) – 0,977 .................................. 135
Rumus 4.16 : a3 = 0,227 (log ESB) – 0,839 .................................. 136
Rumus 4.17 : *1D ≥
1
1
aSN ........................................................... 138
Rumus 4.18 : *1SN = a1. *
1D ≥ SN1 ............................................ 138
Rumus 4.19 : *2D ≥
22
*12
.aSNSN
m− ................................................... 138
Rumus 4.20 : *2SN = a2. m2
*2D ................................................... 138
Rumus 4.21 : *1SN + *
2SN ≥ SN2 .................................................. 138
Rumus 4.22 : *3D ≥
33
*2
*13
a)SN(SN
mSN+−
.................................... 139
Bab 5 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
Rumus 5.1 : Esumbu tunggal = (8.160
kggal,sumbu tungbeban )4 ............... 142
Rumus 5.2 : Esumbu ganda = 0,086 (8.160
kgganda,sumbu beban )4 ........ 142
Rumus 5.3 : LHR awal umur rencana = (1+a) n. LHRs ............... 143
Lampiran 3 Daftar Rumus
237
Rumus 5.4 : LEP = ∑=
=
ni
1iiLHR x Ei x Ci .........................................145
Rumus 5.5 : LEP = ∑=
=
ni
1iiLHRT x Ei x Ci .......................................145
Rumus 5.6 : LEA = LEP (1+i)UR ...............................................146
Rumus 5.7 : LER = )2
LEALEP( +x FP .......................................146
Rumus 5.8 : DDT = 4,3 log CBR + 1,7 ......................................147
Rumus 5.9 : log (LERx 3650) = 9,36 log (2,54ITP + 1) – 0,20 +
5,19
t
1) 2,54ITP(
1094 0,40
G
++
+ log(FR1 ) + 0,372 (DDT–3,0) .. .151
Rumus 5.10 : ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3 .....................................152
Bab 6 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt T-01-2002-B
Rumus 6.1 : Esumbu tunggal roda tunggal = (kN53
kNgal,sumbu tungbeban )4 ....174
Rumus 6.2 : Rbertahap = (Rseluruh)1/n...............................................176
Bab 7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Rumus 7.1 : d = 2 x (d3 – d1) x Ft x Ca x FKB-BB ...........................193
Rumus 7.2 : Ft = 4,184 x TL-0,4025, untuk HL < 10 cm ..................196
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
238
Rumus 7.3 : Ft = 14,785 x TL-0,7573, untuk HL ≥ 10cm ................ 196
Rumus 7.4 : TL = 1/3 (Tp +Tt + Tb) ......................................... 196
Rumus 7.5 : FKB-BB = 77,343 x (beban uji dalam ton)(-2,0715) ...... 196
Rumus 7.6 : FK = Rds x 100% ................................................ 198
Rumus 7.7 : dR = s
n
1
n
ds
∑ ............................................................ 199
Rumus 7.8 : S = 1)(nn
d)()d(n
ss
n
1
2n
1
2s
ss
−
− ∑∑ ....................................... 199
Rumus 7.9 : Dwakil = dR + K.s ................................................... 199
Rumus 7.10 : sisaITP = K1.a1D1 + K2.a2D2 + K3.a3D3 ..................... 200
Rumus 7.11 : ∆ ITP = ITP - sisaITP ............................................ 201
Rumus 7.12 : D tambah = 1a
ITPΔ ............................................. 202
Rumus 7.13 : SNeff = a1’D1’ + a2’ m2D2’ + a3’ m3D3’ ................... 203
Rumus 7.14 : SNol = SN - SNeff ................................................. 206
Rumus 7.15 : Dol = ol
eff
ol
ol
aSNSN
aSN −
= ........................................ 206
Rumus 7.16 : AE18KSAL= ∑ LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N ........... 206
Rumus 7.17 : Dizin = 5,5942. e-0,2769 log AE18KSAL .............................. 207
Lampiran 3 Daftar Rumus
239
Rumus 7.18 : Dizin = 8,6685. e-0,2769 log AE18KSAL ...............................208
Rumus 7.19 : ESA= ∑ LHRi x Ei x DA x DL x 365 x N .....................209
Rumus 7.20 : T = 0,001 (9 – RCI)4,5 + Pd. Cam/4 + Tmin ..............211
Rumus 7.21 : t = ESA
ESADwakil
log013,008,0)log1(048,0log303,2
−−− ......................211
Rumus 7.22 : Esumbu tunggal roda tunggal = (5.400
kggal,sumbu tungbeban )4 .....212
Rumus 7.23 : Esumbu tunggal roda ganda = (8.160
kgganda,sumbu beban )4 ........212
Rumus 7.24 : Esumbu tandem roda ganda = (13.760
kggal,sumbu tungbeban )4 .....212
Rumus 7.25 : Esumbu tripel roda ganda = (18.450
kgganda,sumbu beban )4 ..........212
Rumus 7.26 : CESA=∑=
=
ni
1iiLHR x 365 x Ei x Ci x N .........................212
Rumus 7.27 : Drencana = 22,208 x CESA(-0,2307) ................................213
Rumus 7.28 : H0 = 0,0597
)]Ln(D)Ln(D)[Ln(1,0364 stlovsblov −+ ..................213
Rumus 7.29 : Fo = 0,5032 x Exp(0,0194 x TPRT) .................................214
Rumus 7.30 : Ht = Ho x Fo ..........................................................216
Rumus 7.31 : FKTBL = 12,51 x MR-0,333 ...........................................216
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
240
LAMPIRAN 4
DAFTAR TABEL
Lampiran 4 Daftar Tabel
241
LAMPIRAN 4
Daftar Tabel
halaman
Bab 2 Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Jalan
Tabel 2.1 Ketentuan Sifat Campuran Latasir ................................ 17
Tabel 2.2 Ketentuan Sifat Campuran Lataston .............................. 18
Tabel 2.3 Ketentuan Sifat Campuran Laston ............................... 19
Tabel 2.4 Ketentuan Sifat Campuran Laston Modifikasi ................ 20
Tabel 2.5 Ketentuan Sifat Campuran Lasbutag ............................. 21
Tabel 2.6 Tebal Nominal Minimum Lapis Permukaan .................... 22
Tabel 2.7 Gradasi Lapis Pondasi Agregat ................................... .. 24
Tabel 2.8 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat ......................... 25
Tabel 2.9 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Tanah Semen .................. 25
Tabel 2.10 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Semen ............... 26
Tabel 2.11 Gradasi Lapis Pondasi Agregat Kelas C.......... ............... 28
Tabel 2.12 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Kelas C ........ ...... 28
Bab 3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan
Tabel 3.1 Distribusi Beban Sumbu Untuk Berbagai Jenis Kendaraan 40
Tabel 3.2 Jenis Lokasi Pos Timbang Dan Jumlah Sampel .............. 43
Tabel 3.3 Contoh Spektra Beban Sumbu Kendaraan .................... 53
Tabel 3.4 Beban Untuk Melakukan Penetrasi Batu Pecah Standar . 57
Tabel 3.5 Nilai R Untuk Menghitung CBR Segmen ....................... 65
Tabel 3.6 Contoh Metode Grafis Untuk Menentukan CBRsegmen ...... 68
Tabel 3.7 Contoh Hasil Pengujian Dengan Alat DCP ..................... 71
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
242
Tabel 3.8 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi AASHTO dan CBR .... 77
Tabel 3.9 Korelasi Nilai MR dengan klasifikasi USCS dan CBR ........ 78
Tabel 3.10 Berbagai Fungsi Jalan .................................................. 83
Tabel 3.11 Nilai IP dan Persentase Responden Yang Menerimanya .. 93
Tabel 3.12 Nilai IRI dan Persentase Responden Yang Menerimanya 94
Bab 4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO
Tabel 4.1 Gradasi Agregat Lapis Beton Aspal ................................ 99
Tabel 4.2 Karakteristik Benda Uji Beton Aspal............................... 99
Tabel 4.3 Gradasi Agregat Lapis Pondasi ..................................... 100
Tabel 4.4 Gradasi Agregat Lapis Pondasi Bawah ........................... 101
Tabel 4.5 Tebal Perkerasan Untuk Setiap Loop ............................ 102
Tabel 4.6 Beban Sumbu Dan Jenis Kendaraan Pada
Jalan Percobaan .......................................................... 103
Tabel 4.7 Perbedaan Antara Metode AASHO 1972 Dengan
Metode AASHTO 1993 ................................................. 110
Tabel 4.8 Contoh Data Frekwensi Beban Sumbu Untuk Truk
1.22+22...................................................................... 119
Tabel 4.9 Contoh Perhitungan E Truk 1.22+22 ............................ 120
Tabel 4.10 Faktor Umur Rencana ................................................. 123
Tabel 4.11 Nilai Reliabilitas, ZR Dan FR ........................................ 129
Tabel 4.12 Nilai Reliabilitas Sesuai Fungsi Jalan ............................ 130
Tabel 4.13 Kelompok Kualitas Drainase ......................................... 131
Tabel 4.14 Koefisien Drainase (m) ................................................ 132
Tabel 4.15 Tebal Minimum Lapis Permukaan Dan Lapis Pondasi....... 139
Lampiran 4 Daftar Tabel
243
Bab 5 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode SNI 1732-1989-F
Tabel 5.1 Perbedaan Antara Metode AASHTO 1972
& SNI 1732-1989-F .............................................. 142
Tabel 5.2 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Jalur .......................... 144
Tabel 5.3 Koefisien Distribusi ke Lajur Rencana ........................... 145
Tabel 5.4. Korelasi antara CBR dan DDT ....................................... 147
Tabel 5.5 Faktor Regional ........................................................... 139
Tabel 5.6 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0) ........ 148
Tabel 5.7 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt) ........ 149
Tabel 5.8 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan Di Akhir Umur Rencana 150
Tabel 5.9 Koefisien Kekuatan Relatif ........................................... 163
Tabel 5.10 Tebal Minimum Lapis Perkerasan ................................. 164
Bab 6 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Pt T-01-2002-B
Tabel 6.1 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IP0) ........ 173
Tabel 6.2 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt) ........ 173
Tabel 6.4 Faktor Distribusi Lajur (DL) ........................................... 175
Tabel 6.4 Perbedaan metode AASHTO1993 dengan
Metode PtT-01-2002-B .............................................. 178
Bab 7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah
Tabel 7.1 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur
Standar (Ft) ................................................................ 195
Tabel 7.2 Temperatur Tengah (Tt) dan Bawah (Tb) Lapis Beraspal 197
Tabel 7.3 Nilai Kondisi Perkerasan Jalan ..................................... 202
Tabel 7.4 Koefisien Kekuatan Relatif (a) Jalan Lama ...................... 204
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
244
Tabel 7.5 Nilai RCI secara visual ................................................... 210
Tabel 7.6 Faktor Koreksi Penyesuaian Jenis Lapis Tambah (FKTBL) ... 216
Lampiran
Tabel L1.1 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 2,0 .... 221
Tabel L1.2 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 2,0 .... 222
Tabel L1.3 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 2,0 ...... 223
Tabel L1.4 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 2,5..... 224
Tabel L1.5 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 2,5..... 225
Tabel L1.6 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 2,5 ...... 226
Tabel L1.7 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal, IPt = 3,0..... 227
Tabel L1.8 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tandem, IPt = 3,0..... 228
Tabel L1.9 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tridem, IPt = 3,0 ...... 229
Tabel L2.1 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal Roda Tunggal 231
Tabel L2.2 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tunggal Roda Ganda. 231
Tabel L2.3 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Ganda Roda Ganda ... 232
Tabel L2.4 Nilai Angka Ekivalen Untuk Sumbu Tripel Roda Ganda .... 232