tedhak siten

32
MAKALAH PENELITIAN UPACARA ADAT TEDHAK SITEN di Desa Sawo, Kecamatan Sawo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur Mata Kuliah Pengelolahan Hidangan Khusus Khadeejah Aswi Akbar 13050394007 Rohmat Qodarmawan 13050394035 Wahyu Santi Ramadhani 13050394041 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

Upload: dee-aswi-akbar

Post on 17-Dec-2015

48 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

hidangan khusus

TRANSCRIPT

MAKALAH PENELITIAN UPACARA ADAT TEDHAK SITENdi Desa Sawo, Kecamatan Sawo, Kabupaten Ponorogo, Jawa TimurMata Kuliah Pengelolahan Hidangan Khusus

Khadeejah Aswi Akbar13050394007Rohmat Qodarmawan13050394035Wahyu Santi Ramadhani13050394041

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS TEKNIKJURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGAPRODI S1 PENDIDIKAN TATA BOGA 20132014 2015KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Penelitian Upacara Adat TEDHAK SITEN. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Pengelolahan Hidangan Khusus.Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Yth :1. Ibu Dwi Kristiastuti selaku dosen pengampu mata kuliah Pengelolahan Hidangan Khusus.2. Orang tua kami yang telah membantu baik moral maupun materi.3. Teman teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah iniKami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penyusunan, bahasa, atau pun penulisan. Dengan demikian, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami pada khususnya untuk lebih baik di masa yang akan datang dan para pembaca pada umumnya.

Hormat kami,

BAB IPENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang MasalahManusia adalah mahluk yang berbudaya, karena kebudayaan merupakan pendorong di dalam tingkah laku manusia dalam hidupnya. Kebudayaanpun menyimpan nilai-nilai yang menjadi landasan pokok bagi penentu sikap terhadap dunia luar. Bahkan menjadi dasar setiap tingkah laku yang dilakukan sehubungan dengan pola hidup di masyarakat (Cassirer:1987). Nilai-nilai luhur dari kebudayaan inilah yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya melalui berbagai adat istiadat yang khusus.Berkaitan dengan hal di atas, setiap kelompok masyarakat pada umumnya memiliki konsep bahwa setiap individu terbagi dalam tingkatan hidup. Tingkat demi tingkat itu akan dilalui dan akan dialami oleh individu-individu yang bersangkutan di sepanjang hidupnya, dalam Antropologi disebut sebagai stages along the life sycle. Pada tiap tingkat hidup itu individu yang bersangkutan dianggap dalam kondisi dan lingkungan tertentu. Karena itu setiap peralihan dari satu tingkat ketingkat lainnya dapat dikatakan sebagai peralihan dari satu lingkungan sosial ke lingkungan sosial yang lain. Lingkungan sosial individu mulai terbentuk sejak ia masih dalam kandungan ibunya hingga akhirnya ia meninggal dunia. Lingkungan sosial yang harus dilalui dalam perjalanan hidup seseorang meliputi masa dalam rahim atau kandungan ibunya (kehamilan), kelahiran bayi, masa anak-anak, masa remaja, dewasa, tua dan mati (Koentjaraningrat:1985). Masa peralihan ini pada dasarnya akan dilalui oleh hampir semua manusia yang hidup di dunia, walaupun tidak semua masa peralihan itu sama, karena ada yang hanya melalui masa bayi hingga anak-anak saja kemudian meninggal dan ada pula yang melalui seluruh tahapan peralihan tersebut.Pada berbagai kebudayaan ada anggapan bahwa masa peralihan manusia yaitu peralihan dari satu tingkat kehidupan atau lingkungan sosial ke tingkat kehidupan atau lingkungan sosial yang lain merupakan saat-saat penuh bahaya, baik nyata maupun ghaib. Oleh karena itu dalam beberapa kebudayaan sering dilakukan suatu upacara daur hidup (life cycle) yang dimaksudkan untuk menghindari bahaya nyata maupun ghaib yang mungkin datang. Upacara ini sering disebut dengan upacara kritis hidup (Crities rites)Di dalam kebudayaan Jawa juga mengenal upacara-upacara daur hidup, yaitu mulai dari upacara masa hamil, upacara kelahiran, upacara perkawinan, hingga upacara kematian (Darori, 2000). Masyarakat Jawa percaya bahwa rentang waktu lahir hingga mati bagi manusia merupakan saat-saat manakala dunia dan kehidupannya tergelar dan terpapar, oleh karena itu beberapa ritual hidup mesti dilaksanakan. Pelaksanaan upacara-upacara tersebut bagi masyarakat Jawa pada dasarnya untuk memenuhi krenteg dan karep (niat dan kehendak) di dalam tanggapan dunia bahwa pada dasarnya kehidupan manusia itu sakral (Linus Suryadi AG : 1993)Perubahan status seseorang yaitu pertumbuhan kearah kehidupan berikutnya menuju kearah kedewasaan, bagi masyarakat Jawa merupakan serangkaian babak yang rawan untuk diserang atau dirasuki oleh roh-roh jahat (Geertz : 1985). Bagi masyarakat Jawa kehidupan di bumi dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa gaib dan mahluk halus yang menembus perjalanan sehari-hari manusia, dimana kekuatan mahluk gaib tersebut bisa merusak atau bermanfaat. Namun yang jelas kekuatan tersebut sangat mempengaruhi kehidupan nyata manusia. Untuk itu di dalam tahapan peralihan manusia diperlukan suatu upacara khusus, agar kekuatan mahluk gaib tersebut tidak mengganggu atau merugikan manusia, namun diharapkan kekuatan tersebut dapat memberikan manfaat bagi manusia.Masyarakat Jawa meyakini bahwa upacara daur hidup yang mereka lakukan dipenuhi dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang tumbuh secara turun temurun. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut digunakan untuk mencari keseimbangan tatanan kehidupan mereka (Mulder dalam Soeseno: 1992). Salah satu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ketika memasuki babak baru dalam tingkat kehidupannya adalah upacara yang berkenaan dengan kelahiran seorang anak.Setelah seorang laki-laki dan perempuan melaksanakan pernikahan, seorang anak merupakan dambaan bagi setiap rumah tangga. Karena seorang anak mempunyai nilai-nilai khusus, misalnya nilai ekonomis status sosial, memberi suasana tenteram dalam keluarga membahagiakan orang tua, serta memberikan harapan dimasa mendatang, sebagai payung dimana orang tuanya sudah jompo karena tidak bisa bekerja lagi (Geertz : 89). Hadirnya seorang anak juga sebagai bukti nyata hasil perkawinan antar kelompok dan sering di anggap sebagai hadiah kehidupan yang jelas dari pihak wanita pada pihak suaminya.Pengharapan tinggi terhadap seorang anak (terutama anak pertama merupakan kebahagian tersendiri. Untuk itu setelah anak tersebut lahir selalu ada upacara-upacara yang dilakukan sebagai usaha penjagaan terhadap anak, diantaranya adalah upacara ketika anak menginjakan tanah untuk yang pertama kalinya atau yang sering disebut dengan upacara Tedhak Siten.1. 2. Ruang Lingkup PenelitianAgar tidak terjadi perluasan masalah dan sasaran penelitian ini dapat tercapai sesuai dengan rencana maka akan dibatasi ruang lingkup penelitiannya yaitu terbatas pada:1. Menggambarkan pelaksanaan upacara Tedhak Siten yang dilakukan oleh masyarakat2. Mengetahui makna unsur-unsur atau perlengkapan yang digunakan dalam pelaksanaan upacara Tedhak Siten3. Mengetahui makna upacara Tedhak Siten bagi masyarakat pendukungnya

1. 3. Lokasi PenelitianPenelitian ini dilakukan di Desa Sawo, Kecamatan Sawo, Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Desa ini merupakan sebuah desa yang berada dalam kawasan dataran tinggi di daerah Ponorogo bagian pegunungan.Pemilihan lokasi ini sebagai wilayah penelitian mengenai makna Tedhak Siten, karena sebagian besar penduduk merupakan etnis Jawa. Di desa ini upacara Tedhak Siten masih diadakan perayakan walaupun terkadang tidak menggunakan tradisi yang terdahulu dengan kata lain, telah mengalami revolusi perbedaan jaman sekarang dan dahulu tentang sajian pada saat upacara Tedhak Siten. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian.Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah:1. Untuk memberi gambaran tentang seberapa besar pengetahuan masyarakat Jawa yang ada di Desa Sawo tentang upacara Tedhak Siten.2. Untuk mengetahui makna unsur-unsur atau perlengkapan yang digunakan sehingga dapat kemudian mengerti dan memahami makna yang dikandungnya.3. Untuk mengetahui makna upacara Tedhak Siten tersebut bagi masyarakat.Adapun manfaat dari penelitian ini adalah1. Dengan penelitian ini di harapkan agar masyarakat luas di luar etnik Jawa dapat mengenal dan mengerti tentang budaya Jawa sebagai bagian daribudaya nasional2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan studi khususnya bagi mereka yang berminat mengenal budaya Jawa.

1.5. Tinjauan PustakaMasa krisis yang ditandai dengan perubahan status bagi manusia merupakan masa saat manusia berhadapan dengan ketidakpastian. Itulah sebabnya masa krisis sangatlah mencemaskan manusia tanpa pandang bulu. Keadaan demikian tidak mungkin diatasi hanya dengan dikuasainya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi saja tetapi juga dengan keyakinan dan iman yang terwujud melalui berbagai upacara-upacara religi dan keagamaan (Wibowo : 2000).Dalam kaitannya dengan upacara religi dan agama Robertson Smith mengemukakan 3 gagasan penting:1. Disamping sistem keyakinan dan doktrin sistem upacara merupakan perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus.2. Upacara religi atau agama yang biasa dilakukan oleh banyak masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.3. Berkaitan dengan upacara bersaji, dimana sajiannya dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas pada dewa. Upacara bersaji digambarkan suatu upacara gembira, meriah dan keramat.Dalam pelaksanaan upacara religi ada 5 komponen upacara yaitu tempat upacara, saat upacara (waktu upacara), benda-benda upacara orang-orang yang melakukan upacara dan pemimpin upacara. Orang yang memimpin upacara terbagi atas 3 golongan yaitu Pendeta, Dukun dan Shaman (Koentjaraningrat: 1987).Manusia sebagai warga masyarakat membutuhkan keyakinan-keyakinan dan sentimen-sentimen serta kesadaran kolektif yang memberi identitas kepadanya dan memperkuat kebutuhan moralnya. Hal-hal tersebut sebaliknya memerlukan upacara-upacara yang ditentukan oleh gagasan-gagasan kolektif yang tidak pernah hilang dari kehidupan masyarakat (Durkheim dalam Keesing, 2000). Upacara dianggap mempertebal perasaan kolektif dan intergrasi sosial (Brown dan Durkheim dalam Keesing, 1992). Upacara merupakan cara bertindak yang terlaksana ditengah-tengah kelompok yang berkumpul tersebut, yang dipersiapkan untuk membangkitkan, melestarikan atau menciptakan kembali keadaan mental tertentu dalam kelompok itu. Dikatakan kolektif karena kelompok mengekspresikan dan melambangkan suatu keadaan mental, kekaguman yang tumbuh dari kehidupan sosial yang intensif.Menurut Durkheim, aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat desa berkaitan dengan mata pencaharian hidup, berpegang pada tradisi yang dilandasi oleh kepercayaan yang diwariskan nenek moyangnya, kemudian ditransformasikan dengan situasi yang berkembang dalam lingkungan sekitarnya. Upacara atau selametan adalah tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang untuk menegaskan dan memperingati kembali kebudayaan umum serta untuk menghilangkan kekuatan yang mengacau (Geertz, 1986).Untuk mencegah datangnya kekuatan yang datang mengganggu biasanya dilakukan beberapa ritual khusus yang dimaksudkan agar suatu bahaya yang berasal dari kekuatan diluar diri manusia tidak mengganggu kehidupannya. Dalam beberapa kebudayaan ada anggapan bahwa manusia akan mengalami masa-masa bahaya terutama pada masa peralihan dari satu tingkat kehidupan ketingkat kehidupan yang lain. Yaitu mulai masa bayi, masa remaja, dewasa, hingga meninggal, baik berupa bahaya gaib ataupun nyata. Untuk menghindari bahaya tersebut maka diperlukan upacara-upacara (ritus) ataupun untuk memberitahukan kepada orang banyak bahwa seseorang telah memasuki tahapan kehidupan tertentu (Koentjaraningrat, 1998).Van Gennep mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia memerlukan regenerasi semangat kehidupan sosial yang menurun dalam masa-masa peralihan.Untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antar masyarakat diperlukan ritus dan upacara religi. Lebih lanjut Van Gennep mengatakan bahwa dalam tahap-tahap peralihan manusia yaitu sejak dia lahir kemudian masa anakanak, melalui proses menjadi dewasa dan menikah, hingga meninggal manusia mengalami proses-proses perubahan biologi serta pertumbuhan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan dapat menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru maka dalam tahap perubahan itu diperlukan serangkaian ritus dan upacara peralihan, yang dimaksudkan untuk meregenerasi kembali semangat kehidupan masyarakat tersebut. Upacara ini merupakan rangkaian ritus dan upacara paling tua yang paling penting dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan (Daeng, 2000).Van Gennep menyatakan bahwa upacara pergantian musim, upacara kelahiran dan upacara perkawinan di sebut sebagai upacara integrasi dan pengukuhan. Upacara ini juga merupakan bagian dari upacara relegi (Daeng, 2000). Menurutnya upacara yang dilakukan merupakan keyakinan sosial yang melibatkan anggota masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara itu merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya, ini dikarenakan setiap upacara selalu memiliki makna tertentu yang berkaitan dengan masyarakat pendukungnya. Makna-makna dan gagasan tersebut dinyatakan dalam berbagai simbol-simbol upacara. Sebagai contoh dapat dikemukakan penelitian yang dilakukan oleh Bambang Sularto dkk, mengenai upacara Sekaten daerah istimewa Yogyakarta. Dikatakan bahwa upacara sekaten masih terus dilakukan karena mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat pendukungnya, yaitu memberikan makna keberuntungan. Bagi mereka dengan ikut melibatkan diri dalam pelaksanaan upacara Sekaten, seperti keikutsertaan mereka menginang (mengunyah kinang) bersamaan dengan pertama kali dibunyikan gemelan Sekaten, mempunyai makna pengharapan akan meraih keberuntungan yang membuat diri mereka menjadi awet muda.Demikian pula pada upacara Garebeg Mulud, keikutsertaan masyarakat membunyikan pecut-pecut (Cambuk) bagi laki-laki dan bagi perempuan menyelipkan ane-ane (alat memotong padi) pada sanggul mereka bersamaan dengan drel (bunyi tembakan) mempunyai makna pengharapan akan meraih keberuntungan dalam usaha pertanian dan peternakan mereka. Bunyi pecut akan berpengaruh baik pada binatang piaraan atau ternak yaitu dapat memicu berkembang biaknya hewan ternak. sedang ane-ane yang di selipkan pada sanggul dapat melipatkan hasil panen yang di petiknya.Dari contoh diatas kita dapat melihat bahwa keberadaan suatu upacara di karenakan mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat pendukungnya. Apakah itu makna keberuntungan, makna keselamatan, ekonomi, keindahan dan lain-lain (Landmen dalam Poespowardojo, 1977). Makna dan nilai-nilai inilah yang menjadi tujuan manusia untuk memperingatinya. Karena pada dasarnya manusia adalah mahluk yang terperangkap dalam jaring-jaring makna yang di tenunnya sendiri (Geertz, 1992). Manusia selalu hidup dalam emosi-emosi, imajinasi, kerinduan dan kecemasan, ilusi dan disilusi, fantasi dan impian.Untuk memahami makna tersebut kita harus menggambarkan bukan saja apa yang sebenarnya terjadi tetapi apa yang sebenarnya diharapkan orang itu terjadi, tentang suatu gejala ataupun suatu ritual yang tujuannya untuk menelusuri makna, untuk mengungkapkan niat dibalik apa yang dilakukan orang, artinya bagi kehidupan dan penilaian, ritual, dan kepercayaan mereka (Fadhil, 2000).Dalam memahami makna akan berkaitan dengan sebuah paradigma yaitu simbol, karena makna hanya terdapat pada simbol misalnya sebuah salib, sebuah bulan sabit atau seekor ulat berbulu (Geertz, 1992). Melalui simbol-simbol tersebut masyarakat meringkas apa yang mereka katakan tentang kehidupan mereka, kualitas emosi, dan hal-hal yang seharusnya mereka perbuat. Simbol menurut Geertz adalah hal yang mempunyai arti yang sama bagi orang lain, bisa hal tersebut adalah objek tindakan, peristiwa dan lain-lain. Simbol-simbol tersebut adalah sumber informasi yang ekstrinsik melalui pemahaman bersama (Geertz,1992).1.6. Metode penelitian1.6.1. Tipe penelitianPenelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat deskriptif yang bermaksud memberi gambaran secara terperinci mengenai makna upacara Tedhak Siten bagi masyarakat Jawa di Desa Sawo. Untuk mendeskripsikan makna upacara Tedhak Siten tersebut maka dilakukan penelitian lapangan dalam mendapatkan data primer. Selain itu dalam penelitian ini peneliti juga memerlukan data sekunder yang di peroleh melalui studi kepustakaan, berupa jurnal buku-buku, dan hasil penelitian para ahli sebelumnya. 1.6.2. Teknik pengumpulan dataPenelitian mengenai makna Tedhak Siten bagi masyarakat Jawa ini dilakukan dengan menggunakan penelitian yang bersifat kualitatif untuk mendapatkan data primernya. Penelitian yang bersifat kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi (pengamatan) dan wawancara.1. Observasi (Pengamatan)Metode observasi yang digunakan disini adalah metode observasi partisipasi (pengamatan terlibat) pengamatan yang dilakukan peneliti disini adalah mengamati secara langsung pelaksanaan upacara Tedhak Siten yang di laksanakan oleh masyarakat Jawa. Peneliti mengamati alat-alat yang digunakan dan tahapan-tahapan pelaksanaan upacara Tedhak Siten. Gunanya agar peneliti memperoleh gambaran langsung tentang upacara Tedhak Siten tersebut. Selain itu peneliti juga mengamati aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam kesehariannya, terutama yang berkaitan dengan penelitian. Hal ini untuk memperoleh gambaran apakah adat istiadat Jawa masih dilakukan di dalam keseharian atau tidak.Dalam melakukan pengamatan (observasi) ini peneliti menggunakan alat bantu berupa kamera foto untuk mempublikasikan hal-hal yang penting yang berkaitan dengan masalah penelitian. Hal ini untuk memudahkan peneliti dalam memberikan gambaran tentang pelaksanaan upacara Tedhak Siten. 2. WawancaraMetode wawancara dalam penelitian ini adalah metode wawancara mendalam yang dilakukan dengan informan. Wawancara ini dilakukan dengan cara tatap muka dalam bentuk dialog dan percakapan. Wawancara mendalam ini dilakukan guna mendapatkan sebanyak mungkin gambaran dan keterangan dari informan yang berkaitan dengan topik penelitian, hal ini khususnya mengenai makna Tedhak Siten. Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan interview guide yaitu berupa daftar pertanyaan yang telah disusun sebelum dilakukan pengumpulan data lapangan. Interview guide ini di perlukan untuk mengantisipasi agar pertanyaan yang disampaikan tidak menyimpang dari topik penelitianDalam melakukan wawancara penulis melakukan tiga tahap. Tahap pertama, penulis mengidentifikasi masyarakat Desa Sawo yang terlibat aktif sebagai pemimpin atau secara langsung memiliki pengetahuan mendalam terhadap upacara tersebut. Tahap kedua, peneliti melakukan wawancara mendalam kepada informan dengan menggunakan tehnik snow ball yaitu mencari informan secara berjenjang. Informan pertama menentukan informan kedua dan seterusnya, berhenti jika data telah mencukupi. Tahap ketiga, penulis mencoba menggali lebih dalam lagi mengenai upacara Tedhak Siten pada saat wawancara dengan menganalisa makna pelaksanaan upacara Tedhak Siten bagi masyarakat. Pada saat wawancara penulis menggunakan alat bantu semacam catatan lapangan. Catatan lapangan disini digunakan untuk mencatat poin-poin penting dari hasil wawancara. Hal tersebut dimaksudkan agar peneliti dapat lebih mudah dalam penyusunan data.1.7. Analisa dataDalam penelitian ini, peneliti akan bersikap objektif terhadap data yang diperoleh di lapangan. Data-data tersebut akan diperlakukan sebagaimana adanya tanpa adanya penambahan dan pengurangan sehingga tidak mempengaruhi keaslian data. Data-data tersebut selanjutnya akan diperiksa dan akan diedit ulang untuk memeriksa kembali kelengkapan data yang diperlukan.Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara kualitatif. Semua data yang diperoleh baik dari lapangan yaitu melalui pengamatan dan wawancara ataupun studi kepustakaan disusun sesuai dengan pemahaman, fokus-fokus dan kategori-kategori tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN DAN ETIMOLOGI TEDHAK SITENTedhak Siten istilah ini berasal dari kata tedhak yang bermakna idak atau injak dan siten (dari kata siti) yang berarti lemah atau tanah. Tedhak siti atau Tedhak Siten merupakan salah satu upacara adat untuk anak yang berumur tujuh lapan ( 7 x 35 hari). Upacara ini dapat pula dijumpai di daerah-daerah diIndonesia, misalnya di Jakarta (suku Betawi) disebut dengan upacara injak tanah. Ada juga yang menyebut istilah tedhak siti dengan mudhun lemah. Upacara ini dilakukan sebagai lambang bahwa anak tersebut bersiap-siap untuk menjalani hidup dengan bimbingan orang tua. Upacara Tedhak Siten adalah suatu acara memperkenalkan anak untuk pertama kalinya pada bumi atau tanah dengan maksud anak tersebut mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupannya kelak. Bagi masyarakat Jawa upacara ini merupakan wujud pengharapan orang tua terhadap buah hatinya agar kelak siap dan sukses dalam menapaki kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan dengan bimbingan orang tuanya (Bratawijaya : 1997). Selain itu upacara ini juga sebagai bentuk penghormatan terhadap bumi sebagai tempat berpijak sekaligus yang telah memberikan banyak hal dalam kehidupan manusia. Di katakan bahwa manusia hidup dan mati berada di bumi, makan minum, rumah, kendaraan semua berasal dari bumi, maka manusia perlu menghormatinya. Sebab dengan cara seperti ini maka manusia akan mendapatkan keselarasan terhadap alam, karena dalam konsep masyarakat Jawa manusia menemukan hidupnya tergantung dari alam dan apabila hidupnya selaras akan memperoleh kebaikan (Salamun dkk, 200). Jadi dapat dikatakan bahwa upacara Tedhak Siten merupakanperingatan bagi manusia akan pentingnya hidup diatas bumi yang mempunyaihubungan yakni, hubungan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya (Wibowo, 200).Pada dasarnya setiap pelaksanaan upacara di kalangan masyarakat menunjukan adanya kandungan makna di balik upacara itu sediri, dimana makna tersebut sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakatnya. Biasanya hal itu diberikan melalui simbol-simbol dalam upacara, lambang atau simbol inilah yang sebenarnya mempunyai nilai cukup penting bagi kehidupan manusia (Rostyati : 1984). Demikian pula pelaksanaan upacara Tedhak Siten pada masyarakat Jawa, pelaksanaan upacara ini tidak hanya sebagai ungkapan terima kasih telah di beri anugrah oleh Tuhan berupa hadirnya seorang anak akan tetapi juga mempunyai makna tertentu baik bagi anak orang tua maupun bagi masyarakat. Makna upacara inilah yang akan di kemukakan pada tulisan ini.Makna adalah arti atau penilaian yang di berikan pada sesuatu. Sedangkan upacara dalam hal ini adalah tingkah laku resmi yang di bakukan untuk peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan tehnis sehari-hari akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan diluar kemampuan manusia.Berkaitan dengan upacara Tedhak Siten tersebut ternyata perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi begitu pesatnya sangat berpengaruh terhadap pandangan hidup dan sikap hidup orang Jawa dalam melanjutkan tradisi nenek moyangnya. Sehingga ada kecendrungan untuk tidak lagi melaksanakan tradisi seketat dan sedisiplin semula. Masyarakat Jawa khususnya di Sumatra Utara mulai cenderung meninggalkan segala sesuatu yang berbau tradisional. Sementara mereka lebih suka meniru hal yang bergaya moderen yang tidak jarang kabur pemahamannya. Tentu saja kecendrungan ini lebih banyak timbul karena ketidak tahuan mereka, sehingga mereka kurang menghargai dan memahami secara tepat dan benar makna serta nilai luhur yang terdapat pada pelaksanaan upcara Tedhak Siten tersebut. Padahal makna yang terbentuk dari suatu tradisi tidak akan terlepas dari masyarakat pendukugnya dan akan menemukan manfaat bagi masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Jawa itu sendiri.

2.2. PERLENGKAPAN UPACARADalam melakukan upacara Tedhak Siten ini diperlukan perlengkapan-perlengkapan upacara yang kesemuanya menunjukkan perlambang dalam kehidupan manusia. Perlengkapan-perlengkapan upacara tersebut adalah:a Juadah atau nasi tujuh warna. Warna-warna yang dipergunakan dalam upacara Tedhak Siten tersebut adalah: Putih : Warna putih ini mempunyai warna tumetesnya bibit suci di gua garba 'rahim' ibu yang kelak akan melahirkan jabang bayi yang suci. Merah : Warna merah memiliki sifat keberanian, kebenaran Hitam : Warna hitam menggambarkan alam gumelar yang akan dilampui dalam kehidupan anak yang akan datang, tentu akan mengalami hambatan-hambatan, namun dapat dilampaui dengan selamat, tanpa halangan suatu apa. Kuning: Warna kuning melambangkan cahaya (nur) , kemenangan dan kegemilangan serta keberhasilan yang diharapkan oleh anak tersebut. Biru : Wama biru melambangkan rasa kesetiaan, rasa kepada syukur ke Tuhan Yang Maha Esa. Hijau : Warna hijau menunjukkan lambang dan harapan dalam hidup. Sikap yang tidak mudah menyerah menghadapi arus kehidupan, sikap tidak mudah putus asa. Ungul lembayung : Warna ungu merupakan lambang kedewasaan berpikir dan menunjukkan keluhuran budi yang tinggi sehingga dapat menjadi teladan bagi insan yang lainnya.

b Air setaman di tempat bokor yang besar.Air setaman ini digunakan untuk memandikan atau membasuh kepala anak setelah selesai melakukan ritual upacara. Diasumsikan, setelah anak menjalani perjalanan hidupnya maka tubuh anak perlu dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel pada saat menjalani kehidupan ini.

c Tangga yang dibuat dari tebu ArjunaTebu Arjuna adalah tebu yang di dalamnya berwarna ungu. Ada juga yang menyebut sebagai Tebu Wulung. Tangga melambangkan kehidupan yang senantiasa mendaki, naik dari satu tataran ke tataran berikutnya sampai ke puncak kesuksesan. Tebu adalah tanaman yang batangnya mengeluarkan air yang manis rasanya. lni sebagai perlambang dan harapan agar kesuksesan anak adalah kesuksesan yang senantiasa memberikan rasa manis atau harapan yang membuat kecemerlangan anak sampai di puncak karier tanpa adanya halangan yang berarti.d Kurungan ayam yang dihias dengan janur kuningIni sebagai perlambangan bumi tempat anak berpijak, tempat anak mengarungi kehidupananya dengan bermacam-macam usaha untuk meraih kesuksesan hidupnya.e Padi, kapas, beras kuning, bunga telon, uang logamKesemua perlengkapan tersebut melambangkan kemakmuran yang dimiliki oleh anak kelak ketika dewasa. f Bokor berisi perhiasan kalung cincin dan peralatan seperti pensil, buku, dllPerlengkapan ini merupakan perlengkapan yang digunakan untuk melambangkan kesuksesan ketika dewasa. Misalnya perhiasan menunjukkan kekayaan, peralatan sekolah merupakan kesuksesan dalam menimba ilmu, dsb.2.3. TATA CARA RITUALUpacara Tedhak Siten biasanya dilakukan pada siang hari kira-kira pukul 11.00. Secara logika bisa dijelaskan bahwa pelaksanaan pada jam 11.00 merupakan saat yang tepat karena setelah selesai upacara adalah saat untuk makan siang ataupun saat untuk menjalankan sholat zuhur. Apabila upacara dilaksanakan sebelum pukul 11.00 dapat terjadi kemungkinan persiapan untuk upacara belum lengkap sehingga menyebabkan upacara tidak sempurna.Acara pertama dari upacara Tedhak Siten adalah anak ditetah 'dipandu' dan dibantu berjalan di atas tujuh juwadah dengan tujuh warna tersebut, kemudian diangkat naik tangga setingkat demi setingkat sampai mencapai puncaknya. Kemudian dimasukkan daIam kurungan ayam yang dihias dengan Janur dan sudah berisi tikar untuk duduk si anak maupun bokor-bokor yang berisi alat tulis, dsb tersebut di atas. Berjalan di atas juwadah berwarna-warni dan naik tangga mempunyai perlambang bahwa apabila, anak sudah besar dapat melalui segala macam rintangan atau pengalaman hidup dengan baik dan dapat naik ke puncak sukses dalam hidupnya. Ini menunjukkan prinsip budaya alon-alon waton kelakon 'perlahan-Iahan tetapi dapat mencapai kesusksesan'. Atau dengan urutan seperti ini:1. Anak dibimbing (dititah) dengan kaki menginjak juwadah (ketan) yang berjumlah 7 warna. 2. Kemudian anak tersebut di naik kan ke tangga yang terbuat dari tebu 3. Selanjutnya anak tersebut di masukkan ke kurungan ayam. Di dalam kurungan tersebut sudah ada beberapa benda seperti uang, perhiasan, mainan, alat tulis, kitab suci, dll. Benda pertama yang di ambil oleh anak merupakan perlambang kehidupannya kelak.4. Setelah selesai, beras kuning dan berbagai macam uang logam di taburkan dan perebutkan oleh para undangan.5. Anak dimandikan di bokor dengan menggunakan bunga dengan maksud membawa nama harum keluarga di kemudian hari dan bertujuan agar ia dapat menjalani kehidupan 6. Setelah mandi, anak di kenakan pakaian yang bagus.

Nilai moralnya adalah yang penting dalam hidup adalah kesuksesan mencapai cita-cita, bukan lamanya memperoleh cita-cita tersebut. Saat dimasukkan dalam kurungan anak akan memilih perlengkapan kehidupan yang melambangkan kesuksesan anak saat anak menjadi dewasa. Dengan memilih mainan yang disenanginya dapat terlihat apakah dia nanti dapat meraih harta benda atau ilmu (syukur jika kedua-duanya dapat teraih). Akhirnya anak dimandikan dengan air setaman yang sudah disediakan di dalam bokor. Setelah bersih dan berbusana, maka beras dan uang logam dibuang diperempatan sebagai udik-udik 'pemerataan rezeki' bagi orang lain.

2.4. PELAKSANAAN TEDHAK SITEN SAAT INIRitual Tedhak Siten yang merupakan upacara untuk mengucap syukur dan permohonan kepada Tuhan akan keselamatan dan kemudahan bagi anaknya, saat sekarang hampir-hampir tak lagi dilakukan oleh masyarakat Jawa modern. Orang Jawa tak lagi melakukan upaeara Tedhak Siten untuk anak-anaknya. Dalam kaitan ini, dapat dikemukakan beberapa asumsi tentang faktor-raktor penyebab masyarakat Jawa tidak melakukan upaeara Tedhak Siten ini. Namun demikian, kesemua asumsi ini masih perlu dikaji seeara mendalam untuk mengangkatnya sebagai alasan hipotesis. Beberapa diantaranya yaitu :1. EkonomiPelaksanaan ritual ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Membuat juadah tujuh warna, membeli seperangkat permainan dan alat sekolah, perhiasan, sejaji, dan perlengkapan yang lain, serta mengundang orang untuk memberikan restu kepada anaknya yang berusia tujuh lapan merupakan pembelanjaan yang cukup besar. Dengan demikian, mereka merasa tak perlu lagi untuk melakukan ritual ini, karena memandang segi kemanfaatannya tidak begitu besar buat mereka dan anaknya yang belum memahami arti upacara tersebut. Namun, jika ditinjau dari sisi yang berbeda, pembelanjaan yang banyak akan memberikan tambahan pendapatan bagi orang lain, misalnya, penjual bunga, koki masak, dan lain-lain orang yang secara tidak langsung terkait dengan ritual tsb.2. Budaya BaratPada zaman sekarang, telah banyak pemudapemudi Jawa yang bersekolah di luar negeri. Yang mau tak mau akan juga melihat bagaimana orang Barat melakukan budaya mereka. Televisi dan internet sebagai alat komunikasi demikian terbuka seolah tanpa filter menunjukkan budaya-budaya Barat, memasukkannya ke negara demikian deras tak terbendung.Kebiasaan yang dilakukan oleh orang Barat yang sementara dianggap juga sebagai budaya yang maju, ditiru oleh orang Jawa. Maka, orang Jawa tak lagi menyelenggarakan upacara ritual tujuh lapan melainkan ulang tahun. Peringatan kelahiran yang tadinya dilakukan dengan mendasarkan weton kelahiran dalam hitungan kalender Jawa, sekarang berdasar pada tanggal, bulan, dan tahun Masehi. Hal ini juga menggeser peran budaya Jawa dalam masyarakat Jawa itu sendiri.3. Penyebaran AgamaAgama-agama berkembang di Jawa jauh sebelum terjadi penjajahan. Mula-mula berkembang agama Hindu, kemudian Budha yang masih menggunakan upacara ritual keagamaan dengan sesaji. Sajen-sajen dibuat untuk pemelihara alam Namun, setelah Nasrani dan Islam, terutama Islam, berkembang di dalam masyarakat Jawa, upacara-upacara yang berkaitan dengan budaya mulai berkurang. Ajaran Islam melarang segala kemusyrikan dalam bentuk apapun dan Islam juga melarangdilaksanakannya upacara-upacara budaya yang tidak terdapat dalam ajarannya (Furqon, 2009: 05). Ajaran Islam tidak menganjurkan penganutnya menyesuaikan dengan budaya setempat yang masih menimbulkan pertanyaan tentang kejahilyahan atau kesyirikan, sehingga pelaksaan upacara Tedhak Siten pun untuk mereka juga ditinggalkan jika tidak sesuai dengan ajaran Islam.

BAB IIIPENUTUP

Upacara Tedhak Siten sebagai wujud kekayaan budaya Jawa tampaknya mulai surut dari lingkungan masyarakat Jawa itu sendiri. Sifat Organis masyarakat Jawa yang menunjukkan kerukunan dengan sistem gotong royong dapat terlihat pada pelaksanaan ritual Tedhak Siten ini pun mulai bergeser. Filosofi Jawa yang menunjukkan jati diri masyarakat Jawa terdapat dalam ritual ini, misal prinsip alon-alon waton kelakon, yang mendidik, bahwa hidup harus berhasil, berapapun waktu yang dibutuhkannya perIahan-lahan juga mulai menghilang. Hilangnya ritual budaya untuk mohon doa restu kepada orang tua danucapan terima kasih kepada Tuhan ini dapat bersebab pada beberapa hal yang telah dikemukakan meskipun tarikannya sebagai kesimpulan masih perIu dikaji lebih mendalam. Namun demikian, dengan berkurangnya pelaksanaan upacara Tedhak Siten ini bukan berarti bersurut pula ikatan moral kebersamaan orang Jawa yang bersifat Organis itu. Kebersamaan untuk bergotongroyong, bersama-sama mengambil keputusan demi keharmonisan alam semesta tidak boleh diabaikan. Dengan senantiasa berkelompok bersama-sama mengambil keputusan secara musyawarah mencerminkan kehidupan yang selaras dan seimbang sehingga tercapai kehidupan yang adil, makmur, aman, dan sentosa.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustakarepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25189/4/Chapter%20I.pdfhandrarini.com/wp-content/uploads/.../UPACARA-TEDHAK-SITEN.digilib.uin-suka.ac.id/.../BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdfwww.polines.ac.id/orbith/files/6-1-2010%20Hal%20158-166.pdflibrary.binus.ac.id/.../eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2-01614-DS%20Bab2repository.maranatha.edu/6497/3/0230205_Chapter1.pdfeprints.unika.ac.id/16438/2/09.13.0046_Tiara_Sebastian_BAB_I.pdfdigilib.its.ac.id/.../ITS-Undergraduate-29312-3408100032-Chapter1.pdfstaff.uny.ac.id/sites/default/files/Upacara%20Masa%20Kanak-Kanak.pdf(diakses tanggal 26 maret 2015 jam 7.45)